ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH BERIRIGASI DI INDONESIA Effendi Pasandaran Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161
ABSTRAK Ada tiga alternatif kebijakan yang dibahas dalam pengendalian konversi lahan sawah beririgasi, yaitu kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah beririgasi yang perlu dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Model kebijakan yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan dapat memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena munculnya rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan. Karena kelangkaan lahan dan air akan berlangsung terus maka kebijakan pengendalian konversi lahan hendaknya ditempatkan dalam kerangka pendekatan keterpaduan pengelolaan sumber daya lahan dan air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dan perbaikan sistem usaha tani. Kata kunci: Kebijakan pertanian, konversi lahan sawah, kegiatan kolektif, kapital sosial
ABSTRACT Policy alternatives to control irrigated land conversion in Indonesia There are at least three policy alternatives considered to control conversion of irrigated land, namely policy to regulate land control through central authority, creation of personal rewards associated with development and protection of rice fields, and developing collective capacity of local communities to control their own land resources. The community model when facilitated properly is expected to be able to foster their social capital includes the willingness to self restraint among users of land and water as through collective actions the local community provides individual with a sense of identity and belonging. As land and water will continually become scarce resources, a policy to control land conversion has to be placed within the framework of integrated land and water management approach in a river basin along with the improvement of farming systems. Keywords: Agricultural policy, land conversion, community model, social capital
S
istem persawahan Indonesia bukanlah semata-mata diperlukan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan perkembangan yang telah berlangsung ribuan tahun, sistem persawahan telah memelihara keberlangsungan sistem produksi dan lingkungan hidup dan juga mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi. Namun demikian, eksistensi sistem persawahan menghadapi berbagai ancaman sejalan dengan makin rusaknya sumber daya alam akibat pendekatan pembangunan yang bersifat eksploitatif. Lahan sawah di daerah padat penduduk seperti Jawa mengalami konversi menjadi lahan untuk berbagai keperluan. Konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya berJurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
sifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah baru di luar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengkompensasi kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang lama untuk membangun lahan persawahan dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Konversi lahan sawah yang cukup signifikan dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) juga akan mempunyai dampak yang serius terhadap lingkungan produksi. Perubahan penggunaan lahan dapat mempengaruhi keseimbangan hidrologis dalam DAS dan pada gilirannya mempengaruhi karakteristik ketersediaan air sepanjang tahun. Kerusakan ling-
kungan sebagai akibat konversi lahan di suatu DAS dengan sendirinya tidak dapat dikompensasi oleh perluasan lahan sawah di DAS yang lain. Paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu kelangkaan sumber daya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan peningkatan jumlah penduduk. Oleh karena itu, dalam tulisan ini dibahas status lahan sawah berdasarkan fase-fase perkembangan yang terjadi dalam DAS dalam kaitannya dengan faktor-faktor tersebut. Selanjutnya disoroti keterkaitan hubungan multifungsi sistem persawahan dalam perspektif fasefase perkembangan sumber daya lahan dan air sebagai basis untuk membangun kerangka kebijakan yang terpadu, ter123
masuk alternatif kebijakan dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Walaupun pada akhir tulisan ini hanya ditonjolkan tiga alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan, kerangka pendekatan terpadu yang merupakan matriks keterkaitan antara fase perkembangan DAS dan multifungsi lahan sawah memuat pilihan kebijakan yang lebih beragam.
MULTIFUNGSI SISTEM PERSAWAHAN DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI Tantangan utama masyarakat abad 21 adalah bagaimana mengatasi kesenjangan yang semakin besar antara permintaan dan ketersediaan sumber daya alam seperti lahan dan air yang semakin langka. Kedua sumber daya tersebut sangat vital bagi kehidupan masyarakat, termasuk peranannya untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Walaupun keterbatasan sumber daya alam sudah lama didengungkan, misalnya dalam limits to growth oleh Club of Rome (Meadows 1972), dan upayaupaya untuk memenuhi kebutuhan pangan telah berlangsung sejak dasawarsa 1960an melalui Revolusi Hijau, kemiskinan dan kelaparan masih terjadi secara signifikan di berbagai belahan dunia. Hal ini menggarisbawahi pentingnya upaya mengatasi kelangkaan sumber daya alam. Di samping upaya inovatif untuk perbaikan efisiensi pemanfaatan sumber daya, upaya kebijakan yang berupa terobosan dianggap perlu, seperti konservasi sumber daya alam termasuk di dalamnya sistem persawahan yang dilindungi secara abadi untuk menopang produksi pangan. Sebelum membahas lebih lanjut kebijakan terobosan tersebut, perlu disoroti terlebih dahulu kelangkaan sumber daya. Kelangkaan sumber daya terjadi karena meningkatnya persaingan dalam pemanfaatan sumber daya sehubungan dengan meningkatnya nilai ekonomi sumber daya yang bersangkutan. Persaingan dalam pemanfaatan sering menyebabkan terjadinya konflik. Bergantung pada tingkat kelangkaan yang terjadi, konflik dapat merebak antarpengguna dalam suatu lokalita atau meluas antarwilayah administrasi dalam suatu negara, bahkan dapat terjadi konflik antarnegara. Kelangkaan sumber daya tidak saja dipicu oleh peningkatan 124
permintaan, tetapi juga karena ketidakadilan dalam akses sumber daya alam dan lingkungan (Homer-Dixon 1994). Sistem persawahan beririgasi merupakan suatu sistem yang bersifat multifungsi. Ada tiga fungsi utama yang terkait satu dengan lainnya yang memerlukan hubungan yang serasi agar sistem tersebut dapat dipertahankan eksistensinya. Pertama, fungsi yang menopang produksi pangan. Lahan, air, praktek bercocok tanam, dan kelembagaan yang terkait merupakan elemen yang diperlukan dalam proses produksi. Fungsi yang kedua adalah fungsi konservasi. Termasuk dalam fungsi ini adalah pemeliharaan elemenelemen biofisik yang ada, seperti jaringan irigasi dan persawahan. Apabila elemenelemen tersebut terpelihara maka fungsi konservasi dapat berlangsung dengan baik. Fungsi yang ketiga adalah pewarisan nilai-nilai budaya. Termasuk dalam fungsi tersebut adalah kapital sosial dan kearifan lokal yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Pengelolaan konflik dalam rangka pemanfaatan sumber daya merupakan salah satu elemen dari nilai-nilai budaya. Penetrasi faktor-faktor eksternal seperti program investasi yang sematamata hanya menekankan fungsi pertumbuhan ekonomi dapat saja mengganggu keserasian hubungan multifungsi yang sudah ada. Tugas melindungi sistem persawahan bukanlah hal yang mudah dilakukan, mengingat adanya benturan kepentingan antara individu yang ingin memanfaatkan sawah untuk tujuan yang dianggap mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dengan kepentingan masyarakat atau bangsa untuk mempertahankan keberlanjutan eksistensi sistem persawahan yang ada. Terkait dengan sistem persawahan adalah air untuk keperluan irigasi. Bagi Indonesia, sawah irigasi merupakan penopang utama produksi pangan khususnya padi. Bergantung pada fase perkembangan dalam suatu DAS, kelangkaan air dapat terjadi dengan alasan yang berbeda-beda. Kelangkaan air dapat terjadi karena ketidakmampuan untuk mengakses air yang ada karena keterbatasan prasarana dan teknologi. Pada fase berikutnya, apabila prasarana sumber daya air telah dibangun dan dimanfaatkan, dapat saja terjadi kelangkaan air karena masalah manajemen irigasi. Kelangkaan air akan terus berlanjut karena persaingan yang
semakin meningkat, dan apabila hal itu terjadi akan muncul kelangkaan air secara fisik, yaitu ketersediaan air tidak dapat memenuhi permintaan misalnya untuk irigasi. Pada masa sekarang dan yang akan datang, sawah irigasi menjadi makin langka terutama di Jawa dan Bali, yang disebabkan oleh meningkatnya persaingan dalam penggunaan lahan dan air dengan berbagai sektor nonpertanian. Pertanyaan yang muncul adalah apabila fenomena kelangkaan sumber daya lahan dan air terus berlanjut karena meningkatnya penggunaan lahan dan air di luar sektor pertanian, apakah degradasi sumber daya alam yang telah terjadi selama ini akan terus berlangsung? Degradasi sumber daya alam tidak saja disebabkan oleh berkurang dan rusaknya hutan, tetapi juga oleh meluasnya urbanisasi, kawasan industri, dan pariwisata. Apakah kekhawatiran seperti yang dikemukakan oleh Hardin (1968) yang menyebabkan terjadinya the tragedy of the commons tidak dapat dihindarkan? Walaupun observasi selama ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan bagi pengguna untuk mengendalikan diri dalam pemanfaatan sumber daya alam yang merupakan common pool resources, seperti perairan, perikanan, dan sumber daya pertanian selama berabad-abad (Ostrom 1990; Schlager 2002), bagi Indonesia, kecenderungan berkurangnya areal persawahan khususnya di Jawa terus berlangsung dan belum ada langkah-langkah kebijakan yang efektif ataupun tindakan yang dilakukan masyarakat setempat untuk mengendalikan konversi lahan sawah.
STATUS LAHAN SAWAH Sistem persawahan di Indonesia merupakan warisan budaya yang telah berlangsung sejak lama. Sawah tadah hujan diduga sudah ada sejak 1600 tahun SM di lembah-lembah atau dataran banjir suatu DAS (Van Setten Van der Meer 1979; Ward 1985). Sistem irigasi yang ditambahkan pada sawah tadah hujan baru terjadi pada penghujung milenium pertama oleh masyarakat tani sendiri. Walaupun sistem irigasi yang dibangun pada umumnya berskala kecil dan dengan teknologi penyadapan air yang relatif sederhana, sistem sawah irigasi dengan aturan-aturan pengelolaan air dan praktek budi daya padi merupakan identitas budi daya masyaJurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
rakat pedesaan. Praktek budi daya padi mewariskan nilai-nilai budaya seperti gotong royong, kepercayaan timbal-balik dalam alokasi air, serta musyawarah dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pemeliharaan sistem irigasi dan tata tanam. Dengan dibangunnya sistem irigasi skala besar oleh pemerintah kolonial sejak pertengahan abad 19, banyak sawah tadah hujan dikonversi menjadi sawah beririgasi. Demikian pula banyak sistem irigasi masyarakat direkonstruksi menjadi sistem irigasi skala besar yang lebih permanen. Berbeda dengan irigasi masyarakat yang bersifat otonom, irigasi pemerintah kolonial dirancang untuk mendukung suatu rancangan tata tanam yang memerlukan pengaturan melalui sistem birokrasi. Dalam perkembangan lebih lanjut, baik irigasi pemerintah kolonial, sawah tadah hujan maupun irigasi masyarakat juga mengalami perluasan. Pada tahun 1918, misalnya, tercatat luas sawah beririgasi sebesar 1,40 juta ha. Melalui perluasan irigasi besar-besaran, pemerintah kolonial mengalokasikan dana 90 juta gulden untuk membangun irigasi. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1928 luas sawah beririgasi telah menjadi dua kali lipat yaitu 2,80 juta ha. Depresi ekonomi pada tahun 1930-an menyebabkan investasi publik di bidang irigasi menurun (Giessen 1946). Pada tahun 1928−1950, tambahan areal sawah irigasi hanya sebesar 700.000 ha atau 25% dari areal sawah irigasi tahun 1928. Dengan demikian, pada tahun 1950 total luas sawah beririgasi hanya 3,50 juta ha.(Burger 1975). Selama lima dasawarsa
terakhir, walaupun dengan investasi irigasi baik untuk rehabilitasi maupun perluasan yang mungkin melebihi US$10 miliar, tidak banyak tambahan areal sawah irigasi yang diperoleh. Pada tahun 2000, areal sawah irigasi diperkirakan hanya 4,80 juta ha. Secara netto hanya ada tambahan sekitar 1,30 juta ha sawah irigasi atau kurang dari 40%. Dalam kurun waktu yang sama, areal irigasi di dunia meningkat dari 80 juta ha menjadi 270 juta ha atau lebih dari tiga kali lipat areal irigasi tahun 1950 (FAO 2000). Rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain disebabkan derasnya konversi lahan sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir, terutama di sentra produksi padi di Jawa. Pada tahun 1978– 1998, misalnya, konversi lahan sawah irigasi mencapai 1 juta ha (Irawan 2004). Hal yang memprihatinkan dari program investasi publik di bidang irigasi adalah sawah irigasi yang dikonversi umumnya yang sistem irigasinya baru selesai direhabilitasi. Sebagai contoh, tidak lama setelah sistem irigasi Cisadane direhabilitasi dengan dana bantuan World Bank pada 1970-an, sebagian dari sawah irigasinya dikonversi menjadi lapangan terbang. Demikian pula perluasan perkotaan dan industri mengkonversi sawahsawah irigasi di pinggiran perkotaan (Firman 2004). Menurut ICID (2005), Indonesia dengan penduduk 220 juta hanya berada pada peringkat kesembilan dalam hal luas areal irigasi. India yang penduduknya di atas 1 miliar mempunyai areal irigasi 57 juta ha dan Cina dengan penduduk 1,30 miliar
mempunyai areal irigasi 55 juta ha. Baik Cina maupun India mempunyai areal irigasi lebih dari 10 kali lipat areal irigasi Indonesia, sedangkan kepadatan penduduk Indonesia per kilometer persegi, khususnya Jawa yang merupakan produsen utama beras, tidak jauh berbeda dengan kedua negara tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa daya dukung sawah irigasi Indonesia lebih tinggi dari kedua negara tersebut, terutama karena intensitas tanam yang cukup tinggi. Tabel 1 menunjukkan pangsa berbagai sumber daya lahan dalam mendukung produksi padi di Indonesia pada tahun 1980−2000. Sawah irigasi tetap merupakan sumber daya lahan terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah irigasi tahun 1990−2000 meningkat dari 66,75% menjadi 73,93%, sedangkan pangsa produksi sedikit menurun dari 85,39% menjadi 84,48%. Sumber daya lahan yang kedua terpenting setelah sawah irigasi adalah sawah tadah hujan. Di samping kontribusinya yang cukup signifikan terhadap produksi padi, sawah tadah hujan merupakan sumber daya bagi perluasan areal irigasi. Pangsa sawah tadah hujan terhadap total produksi padi Indonesia pada tahun 1990 sebesar 10,17% dan meningkat menjadi 11,89% pada tahun 2000, walaupun areal sawah tadah hujan cenderung menurun dari 2,27 juta ha pada tahun 1980 menjadi 1,99 juta ha pada tahun 2000. Pangsa sawah irigasi dan sawah tadah hujan pada tahun 2000 menjadi sekitar 96% dari total produksi padi Indonesia.
Tabel 1. Areal sawah, areal panen, dan produksi padi di Indonesia, 1980− 2000. 1980
1990
2000
Sawah
Luas sawah (000 ha)
Luas panen (000 ha)
Produksi (000 t)
Luas sawah (000 ha)
Luas panen (000 ha)
Produksi (000 t)
Luas sawah (000 ha)
Irigasi
4.040 (57,09)
6.707 (68,84)
25.485 (85,95)
4.450 (54,15)
7.565 (66,75)
38.580 (85,39)
4.648 (61,43)
8.273 (73,93)
43.845 (84,48)
Tadah hujan
2.270 (32,08)
2.270 (23,30)
3.405 (11,48)
2.187 (26,61)
2.187 (19,30)
4.593 (10,17)
1.991 (26,32)
1.991 (17,78)
6.172 (11,89)
Pasang surut
473 (6,69)
473 (4,85)
568 (1,92)
481 (5,85)
481 (4,24)
770 (1,70)
587 (7,76)
587 (5,25)
1.232 (2,38)
Lain
293 (4,14)
293 (3,01)
194 (0,65)
1.100 (13,39)
1.100 (9,71)
1.237 (2,74)
340 (4,49)
340 (3,04)
649 (1,25)
Jumlah
7.076 (100)
9.743 (100)
29.652 (100)
8.218 (100)
11.333 (100)
45.180 (100 )
7.566 (100)
11.191 (100)
51.898 (100)
Luas panen Produksi (000 ha) (000 t)
Sumber: Pasandaran et al. (2006).
Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
125
Sawah pasang surut secara potensial merupakan sumber daya penting bagi produksi padi Indonesia di masa mendatang. Namun karena berbagai kendala lingkungan produksi yang dihadapi petani, perkembangan sawah pasang surut dewasa ini tidak seperti yang diharapkan. Areal sawah pasang surut meningkat dari 473.000 ha pada tahun 1980 menjadi 587.000 ha dan pangsa produksi meningkat dari 1,92% pada tahun 1990 menjadi 2,38% pada tahun 2000. Lambatnya perluasan areal sawah pasang surut antara lain disebabkan oleh berkurangnya investasi publik di wilayah tersebut dan juga oleh kegagalan megaproyek di Kalimantan pada akhir 1990-an. Badan Litbang Pertanian telah sejak lama melakukan investasi penelitian di wilayah pasang surut, antara lain dengan mendirikan Balai Penelitian di Kalimantan Selatan dan Stasiun Penelitian di Karang Agung, Sumatera Selatan. Hasil-hasil penelitian di bidang pengelolaan tata air mikro dan ameliorasi lahan menunjukkan potensi produktivitas yang cukup tinggi yang dapat diperoleh di wilayah tersebut. Tantangan yang dihadapi adalah merealisasi potensi tersebut dalam skala luas yang disesuaikan dengan fase-fase perkembangan. Secara keseluruhan terlihat bahwa luas sawah irigasi masih tetap meningkat walaupun terjadi konversi lahan sawah termasuk sawah irigasi di Jawa. Kalau hanya dilihat dari kepentingan produksi padi nasional, konversi lahan sawah dewasa ini masih bukan merupakan ancaman yang serius. Masalahnya adalah lahan sawah beririgasi di Jawa dapat dianggap sebagai aset bangsa yang perlu dipertahankan, karena apabila kecenderungan melakukan business as usual terus berlangsung dengan konversi yang makin meluas karena sudah tidak ada lagi lahan yang dapat dijadikan sawah irigasi, maka salah satu fungsi utama sawah beririgasi sebagai pemelihara lingkungan akan berkurang. Sebagai akibatnya, degradasi sumber daya lahan dan lingkungan akan terus berlangsung. Sebelum membahas berbagai alternatif kebijakan dalam mengendalikan konversi lahan, ada baiknya disoroti faktor- faktor yang mempengaruhi proses konversi lahan. Pertama adalah perkembangan perkotaan dan industri yang memerlukan lahan yang luas. Menurut Firman (2004), kebijakan investasi yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi pada 126
dasawarsa 1980-an dan 1990-an telah mendorong investor asing dan domestik menanamkan usahanya sehingga meningkatkan permintaan lahan untuk industri. Kemudahan yang diberikan kepada para pengembang sering mengabaikan hak-hak pemilik tanah dan mendorong terjadinya spekulasi dalam jual-beli tanah. Hal ini merupakan salah satu alasan tidak terkendalinya konversi lahan pertanian menjadi lahan perkotaan dan industri. Akibat spekulasi, banyak lahan pertanian yang menjadi terlantar. Firman (2004) juga menyatakan bahwa pajak tanah dianggap tidak efektif dalam mengendalikan konversi lahan, bersama-sama dengan ijin lokasi dan ijin bangunan merupakan instrumen untuk memperoleh tambahan pendapatan bagi negara, tetapi tidak merupakan instrumen untuk mengendalikan konversi lahan. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan investasi dan pemanfaatan lahan yang terjadi selama ini belum berpihak kepada kepentingan rakyat; suatu paradigma pembangunan yang masih merupakan warisan pemerintah kolonial. Menurut Irawan (2004), konversi lahan sangat sulit dihindari karena faktorfaktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya land rent lahan untuk pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1:500 untuk kawasan industri dan 1:622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto 1996). Permintaan lahan cenderung tinggi pada kawasan pertanian yang sudah berkembang, terutama yang berdekatan dengan sasaran konsumen seperti pinggiran kota. Demikian pula perlindungan oleh pemerintah terhadap lahan produktif relatif lemah yang antara lain akibat permintaan pasar yang underestimate, yang hanya manganggap lahan pertanian sebagai penghasil komoditas yang bernilai ekonomi rendah.
PERSPEKTIF KEBIJAKAN Ada tiga alternatif kebijakan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pertama adalah upaya untuk membatasi kepentingan pribadi atau selfinterest secara terusmenerus untuk memperoleh lahan dalam rangka memenuhi berbagai tujuan kehidupan. Apabila hal ini tidak terkendali akan menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Salah satu alternatif kebijakan
adalah sentralisasi pengendalian, yaitu suatu keputusan politik yang mengambil alih atau membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya dalam suatu wilayah, baik yang berupa collective pool resources seperti halnya tanah ulayat maupun lahan sawah yang sudah menjadi milik individu. Sampai saat ini belum ada contoh pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas. Dalam hal sumber daya air, cukup banyak contoh praktek pemberian wewenang kepada otoritas lokal ataupun dalam suatu wilayah yang lebih luas ketika ketersediaan air terbatas. Pada musim kemarau panjang dan air semakin terbatas, misalnya, pengaturan air dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi. Walaupun demikian, tidak selalu pendekatan sentralistik dapat diandalkan. Pengaturan air oleh suatu otoritas dalam wilayah yang luas seperti wilayah Jatiluhur tidak jarang menyebabkan ketidakpuasan petani seperti pada musim kemarau 2003. Pendekatan yang sentralistik juga sering menyebabkan pemanfaatan sumber daya menjadi tidak efisien (Ostrom 1990). Pendekatan sentralistik juga sering tidak dilengkapi dengan pengetahuan lokal yang memadai untuk memantau perkembangan sumber daya yang diperlukan untuk menentukan aturan-aturan pengendalian yang memadai. Karena sawah beririgasi sangat erat kaitannya dengan penyediaan air, apakah mungkin otoritas yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengendalikan air juga terlibat dalam pengendalian persawahan? Masalahnya bukan terletak pada integrasi kewenangan karena integrasi kewenangan akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti penyalahgunaan otoritas. Kemampuan untuk secara konsisten menjaga aturan-aturan seperti Keppres no 53 tahun 1989 yang melindungi lahan-lahan produktif termasuk lahan irigasi untuk dimanfaatkan bagi keperluan lainnya ternyata tidak efektif. Demikian pula kemampuan melaksanakan rencana tata ruang oleh pemerintah daerah. Daya tarik pemanfaatan lahan oleh para investor sedemikian besarnya sehingga dengan mudah mengatasi berbagai kendala yang ditetapkan melalui aturan-aturan baik yang sifatnya nasional maupun daerah. Kedua, membangun instrumen kebijakan yang memberikan insentif kepada pemilik sawah beririgasi baik individual maupun kolektif. Para pemilik sawah beririgasi mempunyai posisi yang strategis Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
dalam menjalankan ketiga fungsi utama, baik fungsi produksi dan konservasi maupun warisan nilai-nilai budaya. Untuk maksud tersebut diperlukan suatu evaluasi tentang daerah-daerah irigasi yang memenuhi syarat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Langkah yang telah diambil oleh UNESCO untuk menetapkan subak Jatileuwih di Bali sebagai cagar budaya yang perlu dilindungi merupakan salah satu contoh yang dimaksud. Diperlukan suatu pemetaan tentang status lahan sawah pada berbagai DAS menurut fase-fase perkembangan untuk dapat menetapkan kebijakan insentif yang memadai. Dinamika perkembangan sumber daya lahan dan air dalam suatu DAS pada hakekatnya dapat dibagi dalam tiga fase perkembangan seperti dijelaskan dalam Tabel 2 (Pasandaran 2006). Pada fase pertama, baik lahan maupun air yang tersedia memungkinkan terjadinya perluasan areal untuk memenuhi tujuan produksi. Perluasan sawah tadah hujan yang merupakan salah satu penciri fase awal pengembangan irigasi cenderung meningkat dan apabila kemudian prasarana irigasi dibangun, sawah tadah hujan yang ada terintegrasi menjadi sistem irigasi. Pada fase ini, karena kelimpahan sumber daya alam yang tersedia, nilai ekonomi lahan dan air relatif rendah dan jarang terjadi konflik dalam pemanfaatan sumber daya. Fase kedua ditandai oleh pemanfaatan sumber daya lahan yang disesuaikan dengan berbagai keperluan produksi pertanian, termasuk pengembangan prasarana pendukung untuk produksi dan pemasaran. Permintaan lahan dan air dari sektor nonpertanian mulai meningkat dan kelangkaan ketersediaan kedua sumber daya tersebut mulai muncul. Pada fase ini, peluang perluasan relatif kecil, tetapi sudah mulai tampak konversi lahan walaupun dalam laju yang relatif rendah. Intensitas tanam mulai meningkat. Demikian pula diversifikasi mulai terjadi dan upaya perbaikan pemanfaatan air mulai menonjol. Pada fase ketiga mulai terjadi pergeseran pemanfaatan sumber daya lahan dan air dari yang bernilai ekonomi rendah ke yang bernilai ekonomi tinggi. Konversi lahan pada fase ini cukup signifikan untuk memenuhi permintaan industri dan perumahan yang semakin meningkat. Frekuensi terjadinya konflik menjadi makin sering, tidak saja dalam suatu sektor tetapi juga antarsektor penggunaan. Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
Walaupun peran dari ketiga fungsi utama ada pada masing-masing fase perkembangan, ada instrumen kebijakan yang perlu diprioritaskan setiap fase. Tabel 3 menunjukkan alternatif kebijakan yang dianggap sesuai menurut fungsi utama pada setiap fase perkembangan. Pada fase pertama, kebijakan investasi publik diperlukan untuk mendukung peningkatan produksi pangan. Dari segi kepentingan produksi pangan nasional, investasi irigasi hendaknya dilakukan pada DAS fase pertama karena peluang untuk dilakukan pada DAS fase-fase selanjutnya makin menipis. Hal itu tercermin dari pergeseran pangsa pulaupulau besar di Indonesia dalam memproduksi padi. Sumatera yang pada tahun 1985 mempunyai pangsa areal irigasi 19% dari total areal irigasi, pada tahun 2002 naik menjadi 21% dengan pangsa produksi
padi sebesar 22,70% dari produksi padi nasional (Pasandaran et al. 2006). Areal persawahan di pulau ini masih banyak yang berada pada fase pertama dengan perkembangan prasarana yang belum mencukupi. Perluasan areal persawahan juga terjadi di Sulawesi. Pangsa areal panen padi di Sulawesi meningkat dari 8,80% pada tahun 1970 menjadi 10,50% pada tahun 2002. Mungkin saja terjadi di beberapa daerah irigasi di luar Jawa, yang secara potensial masih memungkinkan dilakukan perluasan areal persawahan namun terhalang oleh berbagai kendala, baik finansial maupun teknis yang dihadapi petani. Suatu instrumen kebijakan yang memberi insentif kepada petani perlu dipertimbangkan setelah diadakan pengkajian masalah-masalah yang dihadapi untuk memungkinkan terealisasinya
Tabel 2. Fase-fase perkembangan sumber daya lahan dan air dalam DAS. Fase 1
Fase 2
Fase 3
Perluasan sawah tadah hujan dan sawah irigasi
Menurunnya pertumbuhan sawah tadah hujan dan irigasi
Berkurangnya secara cepat sawah tadah hujan dan irigasi
Monokultur padi
Diversifikasi tanam
Diversifikasi usaha tani
Lahan dan air berlebihan
Perbaikan efisiensi sumber daya air
Transfer sumber daya lahan dan air ke sektor penggunaan yang bernilai ekonomi lebih tinggi
Nilai lahan dan air rendah
Nilai air dan lahan meningkat
Nilai lahan dan air tinggi
Konflik pemanfaatan rendah
Konflik lokal mulai muncul
Konflik antarsektor meluas
Tabel 3. Pilihan kebijakan mendukung eksistensi multifungsi sawah irigasi menurut fase-fase perkembangan dalam DAS. Fase perkembangan
Multifungsi lahan sawah Peningkatan produksi
Konservasi
Pelestarian nilai budaya
Fase 1
Investasi: - prasarana - perluasan sawah irigasi
Investasi: - prasarana konservasi - sumber daya manusia
Pengkajian: - kearifan lokal - kapital sosial
Fase 2
Perbaikan efisiensi: - alokasi - distribusi
Pemeliharaan: - jaringan irigasi - kelembagaan petani
Pemberdayaan masyarakat: - kearifan lokal - kapital sosial
Fase 3
Diversifikasi: - pola tanam - usaha tani
Pelembagaan: - forum dialog - kemitraan konservasi
Pelembagaan: - forum terpadu multistakeholder - nilai budaya
127
potensi penuh sawah irigasi dalam suatu daerah irigasi. Pada fase kedua, aturan kelembagaan untuk membahas konflik dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air perlu diperkuat mengingat mekanisme pasar dalam banyak hal tidak memadai dalam menentukan alokasi sumber daya tersebut. Apabila hanya mengandalkan mekanisme pasar, para petani yang umumnya lemah posisi ekonominya mudah tergoda untuk menjual sawahnya. Upaya kebijakan pada fase ini diperlukan untuk mempertahankan fungsi yang kedua, yaitu terpeliharanya lingkungan yang sehat termasuk udara yang bersih, sawah sebagai penyaring air dan penyerap banjir. Suatu forum multistakeholder perlu dilembagakan untuk menjaga keberlangsungan fungsi kedua mengingat fungsi tersebut menyangkut kepentingan umum. Forum ini dapat menjadi media advokasi untuk memperjuangkan terpeliharannya fungsi kedua sawah irigasi dalam suatu DAS. Alternatif kebijakan yang ketiga adalah penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan dan air. Perspektif kebijakan ini terkait dengan multifungsi lahan sawah yang ketiga, yaitu adanya warisan budaya yang melekat pada sawah irigasi. Menurut teori identitas psikologi sosial, masyarakat memperoleh harga diri dari kelompok atau masyarakat di mana mereka berada. Adanya rasa identitas yang kuat dalam masyarakat mendorong kerja sama antarindividu dan membawa aspirasi mereka semakin dekat dengan yang ada pada masyarakat (Van Vught 2002). Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, lahan merupakan identitas kultural yang diwariskan secara turuntemurun (Kasryno et al. 2004). Sebagai identitas kultrural, nilai budaya yang melekat pada lahan tidak saja merupakan perekat sosial dan status sosial, tetapi juga sebagai kapital sosial. Nilai-nilai yang terkandung dalam kapital sosial yang pada hakekatnya adalah kearifan lokal ada yang bersifat umum seperti asas saling mempercayai, hubungan timbal-balik dalam berbagai kegiatan, norma, serta aturan aturan dalam kegiatan kolektif. Hubungan kepercayaan dapat dianggap sebagai pelumas kerja sama dalam kegiatan kolektif (Uphoff 2002). Hubungan kepercayaan tersebut juga dapat menciptakan jejaring
128
kerja sama dan kewajiban sosial, baik di antara orang-orang yang saling kenal maupun yang tidak saling kenal dalam suatu struktur sosial yang sama (Fukuyama 2001). Pertukaran timbal-balik biasanya terjadi dalam proses produksi yang dilakukan secara kolektif, misalnya dalam pengelolaan tanah ulayat dan pemeliharaan jaringan irigasi. Pertanyaan yang terkait dengan kecenderungan konversi lahan sawah irigasi yang makin meningkat adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan kolektif yang merupakan warisan budaya tersebut untuk menahan tekanan selfinterest dalam pemanfaatan lahan yang berasal dari luar masyarakat tani. Jika masyarakat telah membangun ikatan yang kuat maka sumber daya lahan dan air dapat dikendalikan melalui aturan-aturan masyarakat sendiri. Apabila anggota masyarakat merasa yakin pentingnya sumber daya tersebut dalam menjaga kualitas hidup masyarakat setempat, maka mereka akan terikat untuk memelihara eksistensi sistem persawahan yang ada. Mekanisme hubungan interaktif antaranggota masyarakat dapat dipakai untuk melakukan koreksi apabila muncul dilema sosial, seperti pertentangan kepentingan yang didorong oleh kepentingan pribadi untuk mengkonversi lahan sawah dan kepentingan masyarakat untuk memelihara kualitas lingkungan hidup. Dengan demikian harus ada kapital sosial yang cukup memadai untuk mengoreksi dilema sosial. Pertanyaan yang muncul adalah bila kapital sosial yang ada pada masyarakat makin melemah karena pengaruh pendekatan pembangunan sentralistik dan kebijakan konversi lahan yang permisif dalam kurun waktu yang cukup lama, apakah kapital sosial tersebut masih dapat dipulihkan? Tidak mudah untuk menjawab tantangan tersebut karena berbagai upaya untuk membalik kecenderungan tidaklah mudah dilaksanakan. Demikian pula tidak ada informasi yang cukup memadai tentang status kapital sosial di wilayah pedesaan. Namun demikian pada era desentralisasi, paling tidak suatu forum keterpaduan yang merepresentasi berbagai pemangku kepentingan seperti yang diusulkan pada Tabel 3 dapat dirintis oleh pemerintah. Hal ini akan dapat menjadi pintu masuk untuk mengadakan multistakeholder dialog, dan untuk menjajaki kekuatan kolektif berupa kapital sosial
yang ada pada masyarakat. Diperlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah daerah untuk memberdayakan kapital sosial yang ada pada masyarakat, yang tidak saja diperlukan untuk mengatasi masalah konversi lahan tetapi juga pengelolaan sumber daya alam pada umumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Sistem persawahan beririgasi di Indonesia merupakan aset bangsa karena tidak saja diperlukan untuk mendukung ketahanan pangan nasional, tetapi juga untuk menjaga kualitas lingkungan hidup dan merupakan warisan budaya yang perlu dipelihara keberlanjutannya. Dibandingkan dengan perkembangan irigasi secara global, perkembangan areal sawah irigasi di Indonesia selama lima dasawarsa terakhir sangat lambat. Walaupun demikian, sawah irigasi merupakan sumber daya terpenting dalam menyumbang produksi padi Indonesia. Sekitar 85% dari total produksi padi dan 74% areal panen padi tahun 2000 berasal dari sawah irigasi. Dinamika sistem persawahan menunjukkan adanya fase-fase perkembangan yang terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan nilai ekonomi lahan dan air. Walaupun total areal sawah irigasi selama dua dasawarsa terakhir tetap menunjukkan peningkatan, areal sawah irigasi di Jawa cenderung menurun karena meningkatnya persaingan dalam penggunaan lahan dan air. Penurunan tersebut juga dipicu oleh makin meluasnya kelangkaan air yang terjadi di masa yang akan datang. Ada tiga alternatif kebijakan untuk mengendalikan konversi lahan yang perlu dipertimbangkan yang disesuaikan dengan fase-fase perkembangan dan fungsi utama sawah irigasi dalam suatu DAS. Pertama, kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral, yaitu suatu keputusan politik yang mengambil alih atau membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya dalam suatu wilayah. Kedua, kebijakan yang bertujuan memberikan insentif kepada pemilik sawah beririgasi, baik individual maupun kolektif, karena posisinya yang strategis dalam menjalankan fungsi produksi, konservasi, dan warisan nilai-nilai budaya. Ketiga adalah penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan dan air.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
DAFTAR PUSTAKA Burger, D.H, 1975. Sociologisch-Economische Geschiedenis van Indonesia, deel II, Indonesia in de 20e eew, KIT, Amsterdam. p. 33−46. FAO. 2000. The State of Food and Agriculture, 2000: Lessons from the past 50 years. FAO. Rome. p 171−197. Firman, T. 2004. Major issues in Indonesia’s urban land development Land Use Policy 21: 347−355. Fukuyama, F. 2001. Social capital, civil society, and development. Third World Quarterly 22 (1): 7−20. Giessen, van der C. 1946. Bevloeing van rijst op Java en Madoera, Landbouw (Batavia, Java) XIX(3): 100−123. Hardin, G. 1968. The tragedy of the commons. Science 162: 1.243−1.248. Homer-Dixon, T.F. 1994. Environmental scarcities and violent conflict: Evidence from cases. International Security 19(1): 5−40. ICID (International Commission on Irrigation and Drainage). 2005. Irrigation and Food Production Information of ICID Network Countries Arranged in Descending Order of Irrigated Area. ICID, New Delhi, India. p. 1−5. Irawan, B. 2004. Konversi lahan sawah di Jawa dan dampaknya terhadap produksi padi. hlm. 295−325. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran
Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
dan A.M. Fagi (Ed.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kasryno, F., E. Pasandaran, dan A.M. Fagi. 2004. Peranan hak ulayat dalam pembangunan pertanian yang adil dan berkelanjutan. hlm. 6−16. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Ed.). Tanah Ulayat dan Budidaya Padi Minangkabau. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Yayasan Padi Indonesia, Jakarta. Meadows, D.L. 1972. The Limits of Growth: A report for the club of Rome Project on the predicament of mankind. Potomac Associates, London. 205 pp. Nasoetion, L. dan J. Winoto. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. hlm. 64−82. Dalam Hermanto (Ed.). Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge University Press, New York. 280 pp. Pasandaran, E. 2006. Prospek ketersediaan sumber daya lahan dan air untuk mendukung ketahanan pangan. hlm. 211−224. Dalam E. Pasandaran, B. Sayaka, dan T. Pranaji (Eds.). Pengelolaan Lahan dan Air di Indo-
nesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Pasandaran, E., P. Simatupang, and A.M. Fagi. 2006. Perspective of rice production in Indonesia. In Sumarno, Suparyono, A.M. Fagi, and M.O. Adnyana (Eds.). Rice Industry, Culture, and Environment, Book I. Indonesian Center for Rice Research (In Press). Schlager, E. 2002. Rationality, cooperation, and common pool resources. Am. Behavioral Sci. 45(5): 801−819. Uphoff, N. 2002. The agricultural development challenge we face. p. 3−19. In N. Uphoff (Ed.). Agro-ecological Innovations Increasing Food Production with Participatory Development. Earth Scan Publication, London. Van Setten Van der Meer, N.C. 1979. Sawah cultivation in ancient Java: Aspects of development during the Indo-Javanese Period, 5th−15 th Century. Oriental Monogr. Ser. 22: 5−33. Van Vught, M. 2002. Central, individual, or collective control? Social dilemma strategies for natural resource management. Am. Behavioral Sci. 45(5): 783−800. Ward, W.B. 1985. Science and Rice in Indonesia. Agency for International Development, Oelgeschlager, Gunn and Hain Publishers, Inc, Boston. p. 1−11.
129