AKUNTANSI PEMERINTAH BERBASIS AKRUAL KONSEP, PEMIKIRAN, DAN IMPLEMENTASI DI INDONESIA
MODUL
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Sang Khalik atas perkenanNya, modul Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual: Konsep, Pemikiran dan Implementasi
di
Indonesia ini dapat diselesaikan dengan segenap kemampuan yang ada. Modul ini diharapkan mampu memerkaya wacana tentang konsep dan implementasi Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual. Modul ini merupakan rangkaian tulisan para dosen dari berbagai universitas negeri di Indonesia sebagai bagian kegiatan dari program State Accountability Revitalitation (STAR)ADB Loan Nomor 2929-INA, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Indonesia. Modul ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para peserta khususnya dalam memahami konsep dan pemikiran akuntansi akrual sektor publik sekaligus sebagai bahan diseminasi mengenai implementasi akuntansi akrual sektor publik. Kami berharap, modul ini bermanfaat bagi mahasiswa (khususnya mahasiswa jurusan akuntansi pemerintah), para praktisi akuntansi pemerintah dalam meningkatkan kualitas transparansi
dan
akuntabilitas
keuangan
publik,
serta
para
pembaca
pada
umumnya.Akhirnya, penyusun mengucapkan terimakasih kepada BPKP atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti kegiatan Customized International Study and Benchmarking Course on Public Sector Accrual Accounting at Massey University New Zealand. Mengingat tak ada gading yang tak retak, kami menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi peningkatan kualitas modul.
Desember 2013 Penyusun: Ardianto Arief Surya Irawan Islahuddin Muhammad Ichsan Ni Putu Sri HartaMimba RatnaAyuDamayanti
i
Univ. Airlangga Univ. GadjahMada Univ. Syiah Kuala Univ. Indonesia Univ. Udayana Univ. Hasanuddin
SA AMBUTA AN PENA ANGGUNGJAWAB B STAR-B BPKP Puji syukuur kami paanjatkan bahhwa atas perkenan Tu uhan yang M Maha Kuassa, modul Akunntansi Pem merintahan Berbasis A Akrual: Konsep, Pem mikiran daan Implementasi di Indonnesia ini daapat diselessaikan oleh para dosen n yang men njadi peserta ta dalam Cu ustomized Interrnational Sttudy and Benchmarkin B ng Course on Public Sector Acccrual Accounting at Masssey Universsity New Zealand Z padda bulan Ok ktober 2013. Kami m memberikan apresiasi yangg tinggi kepada para peenyusun moodul ini khu ususnya dossen dari Unniversitas Airlangga, A Univversitas Gaddjah Mada, Universittas Syiah Kuala, K Univ versitas Inddonesia, Universitas Udayyana dan Unniversitas Hasanuddin. H Kami berhharap modu ul ini mamppu memberrikan tambaahan wawassan akadem mis terkait konsep dan impplementasi akuntansi a akkrual sektorr publik di Indonesia I bbagi para mahasiswa, prakttisi, dan pembaca paada umumnnya, khusussnya mahasiswa karyya STAR 2013 2 dan seterrusnya. Kaami yakin bahwa moodul ini dapat d mem mberi sumbbangan ilm miah bagi penggembangan akuntansi sektor publikk yang haru us diimplem mentasikan ppemerintah pusat dan pemeerintah daerrah di Indon nesia sebaggaimana diaamanatkan PP P Nomor 771/10, PMK K Nomor 213/P PMK.05/20013, dan Perrmendagri N Nomor.64/2 2013. Terima kaasih kami ucapkan keppada para peenyusun mo odul dan edditor. Semoga modul ini
dapat
m menjadi
su umbangan
berharga
dari
pro ogram
Sttate
Accountability
Revittalitation(STAR)-ADB B Loan Noomor 2929--INA Badaan Pengawaasan Keuan ngan dan Pembbangunan (B BPKP) bagii pengembaangan akunttansi sektor publik di Inndonesia.
Deseember 2013 PENA ANGGUNG GJAWAB SSTAR-BPKP P
Justan n R Siahaann
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................... i SAMBUTAN PENANGGUNGJAWAB STAR-BPKP............................................ ii DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
KONSEP DAN PEMIKIRAN AKUNTANSI PEMERINTAH BERBASIS AKRUAL (APBA) Akuntansi Akrual Dan Penerapannya Di Sektor Publik: Sebuah Agenda Pembaruan: Ratna Ayu Damayanti......................................................................
1
Analisis Manfaat Dan Kelemahan: Penggunaan Basis Anggaran Dan Basis Akuntansi: Ardianto....................................................................................
18
Transisi Dari Akuntansi Berbasis Akrual Menuju Penganggaran Berbasis Akrual:Arief Surya Irawan..................................................................................
24
Manfaat Basis Akrual Akuntansi Pemerintahan: Pondasi Manajemen Biaya Entitas Pemerintahan: Muhammad Ichsan ..........................................................
28
FAKTOR KUNCI SUKSES IMPLEMENTASI APBA Kajian Variabel-Variabel Kesuksesan Penerapan Basis Akrual Dalam Sistem Akuntansi Pemerintahan: Muhammad Ichsan .........................................
44
Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Tinjauan Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia: Ni Putu Sri Harta Mimba .........................
65
Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam Penerapan Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual: Strategi Pengembangandan Pelatihan:Arief Surya Irawandan Islahuddin..................................................
73
Analisis Pengaruh Implementasi Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual (APBA) Atas Entitas Pelaporan Keuangan Pemerintah: Arief Surya Irawan............................................................................................
79
ISU-ISU AKUNTANSI KHUSUS DALAM IMPLEMENTASI APBA Akuntansi Akrual Sektor Publik dan Isu-isu Diseputarnya: Ratna Ayu Damayanti..........................................................................................
88
Akuntansi Akrual Terkait Aset Tetap (Disesuaikan Untuk Memahami PP 71 Tahun 2010): Ardianto ........................................................................................
iii
112
AKUNTANSI AKRUAL DAN PENERAPANNYA DI SEKTOR PUBLIK: SEBUAH AGENDA PEMBARUAN Ratna Ayu Damayanti Universitas Hasanuddin
ABSTRAK Paper ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan akuntansi akrual dan kesesuaian penerapan akuntansi akrual pada sektor publik. Fenomena adopsi akuntansi akrual oleh sektor publik di seluruh dunia telah terjadi selama 20 tahun terakhir. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan. Paper ini menyoroti perkembangan akuntansi akrual, debat argumen pendukung dan penentang akuntansi akrual, serta isu-isu akuntansi akrual. Penelitian ini menunjukkan bahwa akuntansi akrual merupakan konsep yang lebih baik dibandingkan basis kas, akan tetapi akuntansi akrual masih membutuhkan perbaikan mendasar agar sesuai dengan karakteristik sektor publik. Adopsi akuntansi akrual memiliki risiko yang besar sehingga membutuhkan perencanaan yang baik untuk menghindari kegagalan. Kata Kunci: akuntansi akrual, sektor publik
ABSTRACT The purpose of this paper is to describe the development of accrual accounting and the suitability of the application of accrual accounting in the public sector. The phenomenon of accrual accounting adoption by the public sector around the world has taken place over the last 20 years. In this study, researcher used data collection techniques such as library research. This paper highlights the development of accruals accounting, debates around supporting and opponents arguments, and issues in accruals accounting. The findings of this paper explained that accrual accounting is a better concept than cash basis, but accrual accounting still requires fundamental improvements to match the characteristics of the public sector. The adoption of accrual accounting has a greater risk that requires good planning to avoid failure. Keyword: accrual accounting, public sector
PENDAHULUAN Di kehidupan sehari – hari masyarakat sangat akrab dengan keberadaan organisasi sektor publik di sekitar lingkungannya. Institusi pemerintah seperti dinas pendidikan, puskemas, dan universitas merupakan beberapa contoh dari organisasi sektor publik. Dinas, badan dan institusi tersebut menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat semata – mata untuk kesejahteraan masyarakat dengan prinsip nirlaba bukan seperti sektor swasta yang memiliki tujuan untuk mendapatkan laba. Mahmudi (2010:34) mengatakan organisasi sektor publik sering digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, kurang inovasi dan kreativitas serta berbagai kekurangan lainnya. Gambaran ini sesungguhnya sangat merugikan mengingat fakta bahwa organisasi sektor publik mengelola uang yang sangat besar dari masyarakat. Buruknya
1
pengelolaan organisasi sektor publik memunculkan kritik keras sehingga mendorong terjadinya reformasi manajemen sektor publik. Reformasi sektor publik tidak hanya terjadi di negara– negara maju, tetapi beberapa negara berkembang dan negara tertinggal secara aktif terus melakukan reformasi lembaga publik. Salah satu gerakan reformasi sektor publik yang paling popular adalah konsep New Public Management yang disingkat NPM. Pada sektor swasta, akuntansi memiliki peranan yang sangat penting. Perkembangan akuntansi di sektor ini sangat pesat dan bergerak dinamis mengikuti perkembangan perekonomian dibandingkan dengan akuntansi sektor publik. Akuntansi sendiri telah berperan untuk menghasilkan sumber informasi yang kemudian digunakan untuk proses pengambilan keputusan ekonomi yang lebih baik. Informasi yang dihasilkan akuntansi menjadi alat untuk mengukur sejauh mana efisensi dilakukan dan sebagai alat pertanggungjawaban. Perkembangan akuntansi yang sangat pesat di sektor swasta tidak diikuti sektor publik. Lahirnya konsep New Public Management menyebabkan reformasi akuntansi di sektor publik. Dimulailah masa di mana prinsip – prinsip akuntansi yang ada di sektor swasta diadopsi oleh sektor publik. Djamhuri
dan
Mahmudi
(2006:318)
menarik
kesimpulan
tentang hubungan
antara konsep New Public Management dengan reformasi akuntansi di organisasi sektor publik sebagai berikut : The implication of adopting New Public Management model is the need to conduct a series of reform in public sector, i.e. accounting, budgeting reform, financial management reform, audit reform, as well as institutional reform. The migration to accrual accounting from cameral (cash basis) accounting and single entry is one form of public sector accounting reform. Sedangkan menurut Bunea dan Cosmina (2008:1) menggambarkan hubungan New Public Management dengan reformasi akuntansi di sektor publik sebagai berikut: New Public Management is focused on efficiency, as governments around the world are being asked to do more with less and to be fully accountable to the community for resources entrusted to them. Accounting plays a crucial role in New Public Management developments as the means by which measurements are made, achievements are documented, and negotiations take place. (ditebalkan untuk penegasan) McKendrick (2007:2) menjelaskan bahwa akuntansi akrual telah menyebar ke banyak negara seiring dengan perkembangan New Public Management. Hal ini merupakan bagian dari bentuk adopsi proses dan teknik manajemen swasta ke manajemen sektor publik.
2
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa reformasi di bidang akuntansi merupakan bagian dari konsep New Public Management. Akuntansi pada sektor publik menjadi alat pengukuran untuk menentukan apakah sektor publik telah mencapai efisiensi. Salah satu reformasi akuntansi di sektor publik adalah perubahan basis akuntansi. Perubahan basis akuntansi dari akuntansi kas ke akuntansi akrual merupakan salah satu ciri adopsi konsep New Public Management oleh sektor publik. Akuntansi akrual sendiri merupakan konsep yang sangat popular digunakan di sektor swasta, karena akuntansi akrual dianggap memberikan benefit
yang
besar
kepada
penggunanya. Akuntansi akrual memberikan informasi yang lebih bisa diandalkan karena mampu memberikan informasi tentang kewajiban dan hak yang akan diterima di masa depan sehingga keputusan ekonomi dapat diambil lebih baik. Akuntansi akrual telah menjadi asumsi dasar dalam kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Basis akrual menjelaskan bahwa transaksi yang mempengaruhi keuangan perusahaan dicatat pada saat terjadi bukan didasarkan pada saat menerima atau mengeluarkan uang (Kieso et al, 2011:51). Contoh lain adalah Ikatan Akuntan Indonesia (2009:5) melalui Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.1 (Revisi 2009) paragraf 21 mewajibkan perusahaan untuk menyusun laporan keuangan atas dasar akrual. Adanya regulasi ini menjelaskan bagaimana krusialnya konsep akuntansi akrual di sektor bisnis. Organisation for Economic Co-operation and Development (2002:2) menjelaskan bahwa penggunaan basis akuntansi akrual yang menjadi tren di berbagai Negara saat ini tentu sangat terkait dengan tujuan dan manfaat dari penggunaanya itu sendiri. Penggunaan basis akrual merupakan salah satu ciri dari praktik manajemen keuangan modern (sektor publik) yang bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih transparan mengenai biaya (cost) pemerintah dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan di dalam pemerintah dengan menggunakan informasi yang diperluas, tidak sekadar memperhatikan kas. Secara umum, basis akrual telah diterapkan di negara-negara yang lebih dahulu melakukan reformasi manajemen publik seperti New Zealand yang pertama kali menerapkan laporan keuangan dan anggaran berbasis akrual di dunia sejak tahun 1990. Tujuan kunci akuntansi akrual adalah untuk meminta pertanggungjawaban para manajer dari sisi keluaran (output) dan/atau hasil (outcome) dan pada saat yang sama melonggarkan kontrol atas masukan (input). Dalam konteks ini, para manajer diminta agar bertanggung jawab untuk seluruh biaya yang berhubungan dengan output/outcome yang dihasilkannya, tidak sekadar dari sisi pengeluaran kas. Karena itu, hanya 3
basis akrual yang memungkinkan
untuk
mengakui
semua
biaya,
dengan
demikian
dapat mendukung pengambilan keputusan oleh para manajer organisasi sektor publik secara efisien dan efektif. Berbagai dorongan untuk mereformasi akuntansi pada sektor publik juga hadir dari berbagai lembaga internasional. Dalam Beberapa tahun terakhir sampai sekarang organisasi global seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan International federation of Accountants (IFAC) aktif mempromosikan adopsi manajemen dan teknik sektor swasta ke sektor publik (Roob dan Newberry, 2007:743). Dengan banyaknya dukungan dan dorongan dari lembaga – lembaga penting tidak mengherankan jika akuntansi akrual diadopsi oleh sektor publik. Setiap negara sekarang berusaha untuk melakukan perubahan sistem akuntansi di sektor publik, misalnya Indonesia yang secara bertahap merubah sistem basis kas menjadi sistem akrual mulai tahun 2003 sampai tahun 2014. Meskipun terlihat baik, konsep akuntansi akrual
sendiri
masih memiliki banyak perdebatan dari beberapa pihak. Carlin (2005:1)
mengatakan : Debates about the adoption of accrual accounting and financial reporting techniques by the public sector have been so widespread over the last decade that they may be labelled, without risk of inaccuracy, peripatetic. Questions as to whether accrual based techniques should be adopted by public sector entities are largely passe´ in the antipodes where they have penetrated every layer of the public sector over the past decade. Konsep akuntansi akrual masih diperdebatkan karena banyak yang berfikir bahwa sektor publik dan sektor swasta harus memiliki sistem yang berbeda karena memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa kritik lain mengatakan bahwa akuntansi akrual merupakan usaha untuk membuat sektor publik menjadi institusi yang neoliberal. Hal ini diungkapkan oleh Ellwood dan Newberry (2006:1) yang menyimpulkan bahwa “paper suggest that in both countries, accrual accounting, as developed, also provides a means to reduce the government’s role to that of procurer of services and enforcer of rules set by others, thus advancing a controversial privatisation and trade liberalization agenda which is consistent with neo-liberal principles.” Selain itu argumen bahwa akuntansi akrual dapat memberikan akuntabilitas yang lebih baik juga mendapatkan tantangan dari beberapa ahli yang menyatakan bahwa tidak semua sektor publik cocok dengan akuntansi akrual dan justru akuntansi akrual sendiri yang mengaburkan informasi akuntabilitas. Beechy (2007:1) memberikan argumen terkait akuntabilitas yang disediakan akuntansi akrual sebagai berikut “The argument of this paper is 4
that the use of full accrual accounting actually obscures operating accountability and transparency in some types of organizations.” Beberapa argumen di atas memberikan keraguan terhadap konsep akuntansi akrual sendiri. Keraguan ini hadir karena anggapan bahwa ketika sektor publik mengadopsi teknik-teknik yang ada di sektor swasta maka sektor publik akan berfikir seperti sektor swasta. Perubahan pola berfikir sektor publik ini sangat ditakuti karena secara prinsip sektor publik dan swasta tidak sama. Adopsi teknik – teknik ini secara umum mendorong sektor publik untuk menjadi efisien. Tuntutan untuk menjadi efisien membuat sektor publik melakukan konsep privatisasi. Contoh reformasi di sektor publik dapat di lihat dari Negara New Zealand seperti yang dijelaskan Roob dan Newberry (2007:743) “The creation of State Owned Enterprises occurred at an early stage (1985–1986) in New Zealand’s public sector reforms. An extensive programme of privatization followed, against mounting public opposition that culminated in a changed electoral system.” Privatisasi ini sejalan dengan ideologi neoliberal yang ingin mengurangi peran pemerintah dalam proses produksi. Ideologi neoliberal berusaha agar swasta mendominasi perekonomian. Ini tentu sangat berbahaya mengingat ideologi ini dapat menyebabkan kerusakan sistem perekonomian. Beberapa Negara berkembang biasanya didorong oleh ahli dan teknokrat yang didukung oleh membuat
IMF
untuk
melakukan
reformasi,
teknokrat
ini
perbaikan didasarkan dengan proposal yang sesuai dengan ideologi bukan sains
ekonomi (Stiglitz:2003). Konsep neoliberal ini
ternyata juga disebarkan melalui lembaga – lembaga
internasional yang getol untuk mempromosikan konsep akuntansi akrual. Kelsey dalam Ellwood
dan
Newberry
(2007:1)
mengatakan.
“The economic policy underlying the
structural adjustment and reform programmes advocated by such key supra-national agencies as the OECD, the International Monetary Fund (IMF), the World Bank and its allied agencies, and credit rating agencies is distinctively neo-liberal.” Melihat uraian di atas terlihat bahwa masih terjadi perdebatan yang cukup rumit mengenai konsep New Public Management dan turunannya yaitu akuntansi akrual. Konsepkonsep ini masih diperdebatkan sehingga penulis berusaha untuk
mencoba
mengurai
perkembangan teori akuntansi akrual dan berusaha melihat bagaimana akuntansi akrual diterapkan di sektor publik. Tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan penelitian adalah sebagai berikut: 1) 5
Untuk
mengetahui
perkembangan
akuntansi
akrual
terkait
dengan
latar belakang
kemunculan dan proses penerapannya di sektor publik. 2) Untuk mengetahui perdebatan pendukung dan penentang teori akuntansi akrual 3) Untuk mengetahui isu–isu akuntansi akrual di sektor publik Jenis studi ini tergolong dalam studi pustaka atau literatur (Library Research) berupa pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. kajian pustaka merupakan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai suatu masalah/topik kajian. Menurut Sangadji dalam Akbar (2012:54), “Pengertian penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu”.
HUBUNGAN NEW PUBLIC MANAGEMENT DAN PENERAPAN AKUNTANSI AKRUAL Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa kita dapat menarik benang merah antara New Public Management dengan akuntansi akrual. New Public Management telah mereformasi pengelolaan keuangan sektor publik dengan menggunakan pendekatan – pendekatan yang ada pada sektor swasta dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan sektor publik. Untuk mencapai tujuan ini maka diperlukan sebuah alat pengukuran kinerja dan pertanggungjawaban. Akuntansi yang berperan sebagai alat pengukuran kinerja dan pertanggungjawaban juga mengalami sebuah perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah penerapan sistem akrual yang merupakan adopsi dari sektor swasta menggantikan sistem kas. Upping dan Oliver (2011:1) menjelaskan sebagai berikut : New Public Management (NPM) is a management philosophy which focuses on the change in management practices of the public sector towards more private sector practices, with accountability focusing on results rather than processes. NPM introduces a new imperative for efficiency and transparency into all elements of the public sector. One important element of this change can be seen in the accounting practices with a move from cash to accrual accounting, together with the adoption of management accounting techniques to measure and control activities. Sedangkan Bunea dan Cosmina (2008:1) menjelaskan bahwa konsep New Public Management
yang
berfokus
pada
efisiensi
memaksa
seluruh
pemerintahan
yang
mengadopsinya untuk bekerja lebih keras dan bertanggungjawab secara akuntabel kepada
6
masyarakat mengenai sumber daya yang digunakan, sehingga akuntansi memainkan peranan penting dalam perkembangan New Public Management berkaitan dengan pengukuran kinerja penggunaan sumber daya. Oleh karena itu akuntansi khususnya akuntansi akrual merupakan konsep yang ada akibat munculnya New Public management hal ini diperkuat oleh Watkins dan Edward (2007: 34) yang menjelaskan bahwa “Accounting is seen within this domain as an integral component of what is now termed New Public Management”. Lebih lanjut Coonnely and Hyndmen menjelaskan “The move from cash to accruals accounting by many governments is viewed as an aspect of an ongoing New Public Management agenda designed to achieve a more businesslike and performance-focused public sector”. Dari uraian di atas tentu sangat jelas konsep akuntansi akrual adalah sebuah konsep turunan dari New Public Management karena akuntansi akrual merupakan bentuk sistem manajemen sektor privat yang diadopsi ke sektor publik sebagai alat pengukuran kinerja. Bahkan Pentingnya akuntansi akrual terhadap New diungkapkan
oleh
Liekerman
(2003:3)
Public
Management
yang menjelaskan bahwa pemerintah yang
mengadopsi New Public Management maka dalam bidang akuntansi harus juga menjalankan akuntansi akrual. Tanpa akuntansi akrual maka adopsi New Public Management akan berjalan kurang lancar. PERKEMBANGAN AKUNTANSI AKRUAL DI SEKTOR PUBLIK Pada tahun 1980-an terjadi fenomena perubahan gaya manajemen di sektor publik akibat
stagnansi ekonomi
yang
menghantam beberapa
negara seperti New Zealand,
Australia dan Inggris. Fenomena perubahan ini popular disebut New Public Management. Apa yang memotivasi perubahan? Alasan utamanya adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Pemerintah yang dianggap tidak efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber daya pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ketidakpuasan ini dipicu oleh keadaan utang pemerintah yang terus meningkat, pajak lebih tinggi, dan turunnya pertumbuhan ekonomi. Dalam banyak kasus pemerintah diminta untuk mereview perannya dalam kegiatan dan operasi serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Pemerintah diinginkan untuk berbuat lebih banyak dengan diiringi tuntutan agar manajer sektor publik menjadi lebih akuntabel (Buhr, 2010:12). Konsep New Public Management mulai diterapkan di Inggris pada tahun 1979 di masa pemerintahan Perdana Menteri Margareth Tacther sebagai bentuk perbaikan dari konsep administrasi publik tradisional yang terlihat tidak berjalan efisien. Bentuk reformasi yang
7
dilakukan Margareth Tacther adalah melakukan pengurangan jumlah kota, mengurangi biaya dan meningkatkan pelayanan (Gruening, 2001:2). Stagnansi ekonomi yang dihadapi New Zealand mendorong mereka untuk melakukan inovasi. Inovasi yang dilakukan adalah menjalankan privatisasi dan desentralisasi di sektor publik. Sedangkan Australia pada tahun 1980-an juga mengalami kesulitan ekonomi yang sangat rumit sehingga pada tahun 1983 Perdana Menteri Australia saat itu Robert Hawke telah mendukung gagasan pengelolaan berdasarkan hasil (output) dengan memulai reformasi manajemen keuangan di sektor publik untuk mencapai tujuan ini. Atas dasar ini pula Australia melakukan privatisasi, restrukturisasi pemerintah dan evaluasi program dilakukan untuk mencapai tujuan ini (Janet dan Robert, 2007:15). Watkins dan Edward (2007: 34) menjelaskan salah satu konsep yang diturunkan dari New Public Management adalah adopsi gaya manajemen sektor privat ke
sektor publik.
Kebutuhan transparansi, akuntablitas dan penilaian kinerja dalam sistem New Public Management mendorong penggunaan Akuntansi Akrual. Sektor privat sudah sangat familiar menggunakan akuntansi akrual, sedangkan sektor
publik
baru mengenal penggunaan
akuntansi akrual pada tahun 1992 ketika New Zealand menjadi Negara pertama yang mengadopsi akuntansi akrual sebagai basis pelaporan keuangan. Dalam pemilihan basis akuntansi, akuntansi kas masih mendominasi di seluruh dunia. Akan tetapi tren yang terjadi adalah perubahan secara bertahap dari akuntansi kas menuju akuntansi akrual. International Federation of Accountants (2010:1) merekomendasikan akuntansi akrual akan mendorong transparansi dan akuntabilitas pada pengelolaan keuangan sektor publik. Pemerintah memberikan pelayanan publik tanpa memprioritaskan keuntungan. Tujuan utama dari akuntansi dan penganggaran pemerintah adalah menjelaskan kualitas barang dan jasa publik yang diberikan kepada warganya. Sebelumnya pemerintah tidak perlu melaporkan biaya operasi dan penerimaan kepada masyarakat dengan model yang sama sebagaimana sektor swasta melaporkannya kepada para pemegang saham. Tujuan akuntansi penganggaran pemerintah lebih sederhana karena hanya berfokus pada pengendalian input. Pengelolaan keuangan pemerintah menekankan bahwa dana harus digunakan secara ketat sesuai dengan anggaran yang telah disetujui oleh lembaga legislatif. Penerapan akuntansi
berbasis kas pada
akuntansi dan penganggaran pemerintah konsisten dengan kebutuhan manajemen sektor publik
sehingga basis ini banyak diadopsi. Situasi mulai berubah pada 1990-an ketika
munculnya peristiwa yang memicu kekhawatiran dan gencarnya implementasi New Public Management. Peristiwa yang memicu ini antara lain keinginan untuk mengatasi kesulitan 8
fiskal atau krisis utang, keharusan menjaga kredibilitas dan reputasi sektor publik sebagai sektor ekonomi yang modern atau canggih, adanya tuntutan perubahan oleh organisasiorganisasi internasional, tekanan dari otoritas audit nasional, dan tuntutan masyarakat agar adanya peningkatan akuntabilitas dan kinerja pemerintah dalam rangka mendukung efektifitas dan efisiensi (Shi, 2005:7). Lebih lanjut Shi menjelaskan serangkaian reformasi di sektor publik mulai dilakukan. Salah satu bentuk reformasi adalah reformasi penyediaan barang publik dengan memungkinkan sektor swasta untuk berpartisipasi. Masuknya sektor swasta meningkatkan permintaan informasi akuntansi yang lebih transparan dan akurat dari pemerintah, kemudian hal ini mendorong pemerintah untuk menyajikan informasi yang cukup memudahkan perhitungan dan perbandingan biaya. Konversi ke basis akrual dalam akuntansi sektor publik membantu pengukuran biaya yang lebih akurat. Reformasi lain terfokus pada orientasi anggaran berbasis kinerja, output dan outcome dengan pendekatan manajemen pengeluaran publik. Akuntansi akrual diyakini menjadi instrumen penting dan bermanfaat untuk pemeriksaan efisiensi dan efektivitas biaya pemerintahan. Penggunaan akuntansi akrual merupakan salah satu ciri dari praktik manajemen keuangan modern (sektor publik) yang bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih transparan mengenai biaya (cost) pemerintah dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan di dalam pemerintah dengan menggunakan informasi yang diperluas, tidak sekadar basis kas. Secara umum, akuntansi akrual telah diterapkan di negara-negara yang lebih dahulu melakukan reformasi manajemen publik. Tujuan kuncinya adalah untuk meminta pertanggungjawaban para manajer dari sisi keluaran (output), hasil (outcome) dan pada saat yang sama melonggarkan kontrol atas masukan (input). Para manajer di sektor publik diminta agar bertanggung jawab untuk seluruh biaya yang berhubungan dengan output/outcome yang dihasilkannya, tidak sekadar dari sisi pengeluaran kas. Dengan demikian akuntansi akrual dapat mendukung pengambilan keputusan oleh para manajer secara efisien dan efektif (Organisation for Economic Co-operation and Development, 2002:11). Salah satu faktor yang mendorong adopsi akuntansi akrual adalah ketidakpuasan dan banyaknya
kekurangan
yang
dimiliki
oleh
basis
kas. Meskipun memiliki banyak
keterbatasan, akuntansi berbasis kas memiliki beberapa kelebihan sehingga masih banyak digunakan oleh sektor publik di beberapa Negara. Kelebihan itu adalah sederhana, lebih murah dan mudah untuk dipahami oleh non-akuntan (Buhr, 2010:12). Akan tetapi trend dan tuntutan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi mendorong akuntansi akrual untuk diadopsi oleh 9
sektor publik. Akuntansi akrual menjadi sangat popular dengan dukungan berbagai organisasi internasional seperti Bank Dunia, Organization of Economic and Development, International Monetary Fund dan Lembaga Pemeringkat Kredit (Ellwood, 2007:1). Negara - negara yang mengadopsi akuntansi akrual membutuhkan waktu yang sangat lama. Mengapa dibutuhkan waktu begitu lama untuk berubah? Jones
dalam
Buhr
(2012:12) menjelaskan tentang kurangnya kebutuhan komparatif laporan keuangan antar sektor publik untuk menilai kinerja. Hal ini dikarenakan masing–masing pemerintah memiliki kemampuan untuk menetapkan kebijakan keuangan dan akuntansi sesuai keinginannya. Selain itu, dulu akuntansi pada sektor publik hanya dilihat sebagai alat pertanggungjawaban bukan sebagai alat pengambilan keputusan sehingga keunggulan akuntansi kas yang sangat sederhana menyebabkan pemerintah enggan untuk pindah ke akuntansi akrual. Memperkenalkan akuntansi akrual mendapatkan tantangan dalam proses adopsinya sehingga membutuhkan pendekatan bertahap (Treasury, 2005:40). Perlu diketahui bahwa tidak ada perubahan mendadak dari kas ke akrual. Perubahan basis akuntansi dilakukan bertahap melalui basis kas, basis kas yang dimodifikasi, basis akrual dimodifikasi, dan terakhir basis akrual. Kas yang dimodifikasi berbeda dari basis kas dalam akhir tahun penyesuaian dilakukan untuk beberapa non-cash item seperti piutang dan utang. Akrual Modifikasi berbeda dari akuntansi berbasis akrual dalam aset modal tidak diakui sebagai aset melainkan sebagai pengeluaran secara penuh dalam periode di mana mereka dibeli. PERBANDINGAN PENERAPAN AKUNTANSI AKRUAL DI BEBERAPA NEGARA Pada bagian ini kita akan melihat contoh penerapan akuntansi akrual di sektor publik. Penulis akan memperlihatkan penerapan akuntansi akrual di New Zealand, Fiji dan Nepal. New Zealand mewakili kesuksesan penerapan akuntansi akrual
sedangkan
Fiji
dan
Nepal
mewakili kegagalan penerapan akuntansi akrual. New Zealand menjadi negara pertama yang sepenuhnya melaksanakan akuntansi akrual baik di tingkat nasional dan lembaga. Reformasi akuntansi akrual di New Zealand merupakan paling komprehensif di antara semua negara. Perubahan adalah bagian dari gelombang reformasi tahun 1980-an sebagai akibat dari kesulitan fiskal negara. Reformasi ini bertujuan untuk mencapai efisiensi. Untuk mencapai tujuan ini New Zealand menjalankan tiga kebijakan yaitu memisahkan fungsi komersial dari operasi pemerintah lainnya, menguatkan garis pertanggungjawaban menteri dan eksekutif dan merancang anggaran dan sistem manajemen keuangan untuk meningkatkan pengukuran kinerja sektor publik.
10
Tiga kebijakan ini mempengaruhi adopsi akuntansi akrual di New Zealand. Departemen Keuangan New Zealand sudah mulai mempersiapkan akuntansi akrual pada tahun 1987. Public Finance Act
diundangkan pada tanggal 1 Juli 1989. Undang-undang
tersebut yang menjelaskan penggunakan metode dan
pelaporan
akuntansi
akrual
untuk
penganggaran
keuangan. Undang-undang juga mendefinisikan atribut dari manajemen
fiskal yang baik, dan memastikan pemerintah memenuhi kriteria tertentu. Undangundang
ini menciptakan insentif bagi para politisi untuk mengejar kebijakan dalam
kepentingan jangka panjang negara, bukan sesuai kepentingan politis jangka pendek (Ruth R, 1996:5). Pada tahun 1992
New Zealand berhasil membuat
laporan
keuangan dengan
akuntansi akrual di seluruh entitas pemerintah. New Zealand butuh tiga tahun untuk menerapkan akuntansi akrual dan empat tahun untuk menghasilkan laporan keuangan konsolidasi untuk seluruh pemerintah (Beerson B,2011:17). Secara keseluruhan, reformasi keuangan di New Zealand menghasilkan perubahan positif yaitu peningkatan akuntabilitas, kinerja keuangan yang lebih baik, mencapai efisiensi dan pengurangan staf. Lebih lanjut Beerson menjelaskan bahwa New Zealand adalah pelopor dalam adopsi akuntansi akrual. Sebagai pelopor tentu New Zealand harus mampu merumuskan konsep akuntansi akrual ini tanpa berpanduan dari negara – negara lain. Oleh karena itu terdapat beberapa tantangan yang dialami oleh New Zealand dalam mengadopsi akuntansi akrual yaitu biaya implementasi yang cukup besar dan kualitas informasi yang belum langsung dirasakan manfaatnya. Akuntansi akrual memerlukan biaya implementasi yang besar. Perubahan basis akuntansi memaksa seluruh departemen di New Zealand mengganti sistem informasi keuangan mereka hanya dalam waktu dua tahun. Selain itu terdapat risiko pengambilan keputusan yang buruk di awal implementasi. Hal ini diakibatkan pemerintah belum terbiasa menggunakan informasi akuntansi akrual. Sejak konversi ke akuntansi akrual volume dan kompleksitas laporan pemerintah kepada parlemen telah meningkat. Kompleksitas laporan keuangan menyebabkan parlemen membutuhkan saran analitis independen dari para ahli yang tentu akan memakan waktu dan biaya. Akuntansi akrual merupakan salah satu bagian dari paket reformasi keuangan New Zealand yang berperan penting dalam peningkatan akuntabilitas, efisiensi dan kinerja pemerintah. Tetapi dalam menilai perbaikan ini tidak boleh mengabaikan bentuk reformasi keuangan lainnya dan mengutamakan akuntansi akrual sebagai faktor tunggal. International Federation of Accountant Public Sector Comitte (1996:19) menjelaskan New Zealand telah 11
menikmati manfaat dari penerapan akuntansi akrual, karena telah melakukan pendekatan yang komprehensif dalam menerapkan strategi pemerintah, meningkatkan kualitas keputusan dan memungkinkan pengawasan yang efektif oleh parlemen. Sementara itu Menurut Digitaki dalam Tickell (2010:74) Fiji mencoba mengadopsi akuntansi akrual pada tahun 1994, Departemen Keuangan menanggapi dengan mencoba untuk memperkenalkan akuntansi akrual, bersama dengan banyak reformasi sektor publik lainnya. Sebuah kantor proyek akuntansi akrual didirikan pada tanggal 14 November 1994 setelah kabinet memberikan persetujuan untuk menerapkan sistem akuntansi akrual. Pengenalan akuntansi akrual di departemen pemerintah dibutuhkan untuk menyediakan manajemen suatu sistem informasi manajemen yang lebih efisien dan akurat dibanding sistem keuangan secara tunai. Pada tahun 1994 pemerintah Fiji menetapkan proses adposi akuntansi akrual melalui dua tahap. Tahap pertama akuntansi akrual dilaksanakan oleh tiga Departemen (kehutanan, kelautan dan keuangan) sebagai pilot project. Tahap kedua adalah implementasi secara penuh di seluruh departemen. Departemen pilot project menyediakan informasi anggaran akrual bulan Maret 1995 dan menyelesaikan migrasi tanggal 1 Januari 1996. Departemen yang tersisa menyediakan informasi anggaran akrual pada Maret 1996 dan menyelesaikan migrasi tanggal 1 Januari 1997. Akan tetapi rencana ini tidak berjalan dengan mulus karena sampai tahun 1999 Fiji belum dapat mengadopsi akuntansi akrual. Proyek ini terhenti pada tahun 1999 akibat gejolak politik. Tickell (2010:75) menjelaskan bahwa faktor kegagalan Fiji disebabkan oleh: 1) penerapan akuntansi akrual yang tergesa–gesa tanpa perencanaan yang baik. 2) pengembangan sistem informasi akuntansi yang kurang baik. 3)
terlalu bersandar dengan
konsultan internasional. 4) kemampuan tenaga akuntansi yang rendah Setelah
mengalami
kegagalan
pemerintah
Fiji
melakukan
perbaikan
sistem
implementasi pada tahun 2004. Pemerintah Fiji berusaha merencanakan kembali model implementasi
yang baik
melalui pengembangan
komprehensif untuk mengatasi faktor
kegagalan pada percobaan sebelumnya. Fiji memulai proyek adopsi akuntansi meningkatkan kemampuan akuntan dan membuat pilot project yang lebih kecil. Usaha – usaha ini relatif membutuhkan waktu yang cukup panjang sehingga adopsi akuntansi akrual berjalan lambat. Contoh kegagalan penerapan akuntansi akrual dapat dilihat di Nepal. Nepal merupakan salah satu negara yang kurang mampu secara ekonomi. Keadaan ini menyebabkan Nepal sering menerima bantuan dana dari lembaga internasional. Lembaga internasional berharap dana ini dapat dipertanggungjawabkan dengan baik sehingga “memaksa” Nepal untuk mengadopsi 12
akuntansi penerapan
akrual.
Adhikari
akuntansi
akrual
P di
dan
Mellemfik
Nepal
F
diakibatkan
(2011:136) menjelaskan kegagalan oleh ketidakmampuan lembaga
internasional dalam melihat rendahnya kemampuan sumber daya manusia dan kurangnya motivasi dari pemerintah. Kurangnya motivasi akrual
bukan
pemerintah
karena
adopsi
akuntansi
berdasarkan keinginan sendiri melainkan pemaksaan dari organisasi
internasional. KESIMPULAN Paper ini menyimpulkan bahwa akuntansi akrual merupakan salah satu bagian dari paket reformasi keuangan negara dan daerah yang berperan penting dalam peningkatan akuntabilitas, efisiensi dan kinerja pemerintah. Tetapi dalam menilai perbaikan ini kita tidak boleh mengabaikan bentuk reformasi keuangan lainnya dan hanya mengutamakan akuntansi akrual sebagai faktor tunggal. Beberapa negara telah menikmati manfaat lebih dari penerapan akuntansi akrual karena telah melakukan pendekatan yang komprehensif untuk menerapkan strategi pemerintah, meningkatkan kualitas keputusan dan memungkinkan pengawasan yang efektif oleh Parlemen. DAFTAR PUSTAKA Akbar, C. 2012. Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat (Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat yang Secara Efektif). Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Adhikari, P and Mellamvik, F. 2011. The Rise and Fall of Nepalese Central Government. Journal of Accounting in Emerging Economies vol 1. 12: 123-143. Anwar, S. 2007. Budgeting and Budgetary Institutions, Public Sector Governance and Accountability. Washington: World Bank. Athukorala, L. 2003. Accrual Budgeting and Accounting in Government and its Relevance for Development member Countries. Manila: Asian Development Bank. Barton, D. 2004. How to Profit from Defence: A Study in The Misaplication of Business Accounting to the Public Sector in Australia. Financial Accountability and Management. 10: 281-304. Bastian, I. 2009. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta: BPFE- Yogyakarta. Beechy, T.H. 2007. Does Accrual Accounting Enhance Accountability. The Inovation Journal: The Public Sector Inovation Journal Volume 12, 1:1-18.
13
Blondal,
J.
2003.
Accrual Accounting and Budgeting:
Key
Issues
and
Recent
Developments. OECD Journal on Budgeting,3 : 43-131. Bovaird, T. Loffer, E.2003. Public Management and Governance. New York: Routledge. Buhr, N. 2010. From Cash to Accrual and Domestic to International Government Accounting Standard Setting in Last 30 Years. Makalah Disajikan pada Sixth Accounting History International Conference, Welington. 19 Agustus. Carlin, M. T. 2005. Debating the Impact of Accrual Accounting and Reporting in the Public Sector. Financial Accountability and Management, 3: 309- 336. Christensen, T et al.2007. Organization Theory and The Public Sector, Instrument, culture and Myth. New York: Routledge. Connolly, C. Hyndman, N. 2010. Accrual Accounting in public sector : a road not always taken. Makalah disajikan pada seminar Institute of Public Administration. IPA. Rome, 28-30 November. David, P. 4 November 2009. Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT KIMIA FARMA Tbk. Hal 1. Djamhuri, A. dan Mahmudi. 2006. New Public Mananagement, accounting reform and institutional perspective of public sector accounting in indonesia. Jurnal Bisnis dan Akuntansi,3:301-321. Drechsler, Wolfgang, 2005, “The Rise and Deinise of the New Public Management”, postautistic
econoinics
review,
Issue
No.
33,
Online
(http://www.paecon.net!PAEReview/issue33/Drechsler33.htm diakses 20 januari 2013). Economic and Social Council United Nations, 2003, “Revitalizing public administration as a strategic action for sustainable human development:an overview”, New York : Economic and Social Council United Nations. Ellwood, S. Newberry, S. 2006. Public Sector accrual Accounting Institutionalising NeoLiberals Principles. Accounting, Auditing, Accountability Journal vol 20, 4: 549-573. Fadly, M. 2012. Implementasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kecamatan Bua Punrang Kabupaten Luwu. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar. Program Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Halim, A. dan Syam, M. 2011. Akuntansi Keuangan Daerah.Jakarta: Salemba Empat. Hari, R. 2008. Implementasi Kebijakan Pemberian Dana Subsidi Public Service Obligation Pada Kereta Rel Listrik JABOTABEK. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Program Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 14
HM Treasury. 2005. Delivery the Benefit of Accrual Accounting for Whole Public Sector. London. HM Treasury. Hood, C. 1991. A Public Management for All Season. Royal Institute Public Admnistration Journal Volume 69, 1: 1-19. Hughes, O. 2003. Public Management and Administration an Introduction (3rd Edition). New York: Palgrave Macmillan. Hughes, J. 2009. International Public Sector Accounting Stadards. Dalam F.B.Bogui (ed), Handbook of Govermental Accounting (hlm.491-519). New York: CRC Press. Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juli 2009. Jakarta: Salemba Empat. Ismawati.K.2011.Accrual
Accounting
dalam
New
Public
Management,
http://unsa.ac.id/ejournal/indekx.php/smoothing/article/view/820/246,
(online),
diakses
11
Desember 2012). International Public Sector Accounting Board. 2011. International Public Sector Accounting Standards. London: International Public Sector Accounting Board. International
Organization
of
Supreme
Audit
Institution.1995.
Accounting Standard
Framework. Vienna: International Organization of Supreme Audit Institution. Janet, V. dan Robert, B. 2007. The New Public Service. New York: M.E. Sharpe Kieso, D et al. 2011. Intermediate Accounting IFRS Edition. Danvers: John Wiley & Sons. Likierman, A., 2003. Planning and controlling UK public expenditure on a resource basis, Public Money & Management 23, 45-50. Lynn, L. 2006. Public Management Old and New. New York: Routledge. Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja sektor Publik (edisi 2). Yogyakarta : Unit Pemerbit dan Percetakan Sekolah tinggi Ilmu Manajemen YKPN Mahsun, M et al. 2011. Akuntansi Sektor Publik (edisi 3).Yogyakarta: BPFE –Yogyakarta. Marti, C. 2006. Accrual Budgeting: Accounting Treatment of Key Public Sector Items and Implications for Fiscal Policy, 1: 45-65. Mckendrick, J. 2007. Moderrnization of the Public Sector Accounting System in Central and Eastern European Countries : The Case of Romania. International Public Management Review,8 :165-185. Memorandum Pembahasan Penerapan Basis Akrual dalam Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. 2006. Jakarta: Komite Standar Akuntansi Pemerintah.
15
Nawawi, Z. 2010. Perkembangan Ilmu Administrasi Publik dan Isu – isu Kontemporer Administrasi Negara di Indonesia. Palembang: Program Pasca Sarjana Universitas Sjakhyakirti. Nordiawan, D. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat Organisation for economic Co-Operation and Development. 2002. Accrual Accounting and Budgeting. Makalah disajikan dalam Twenty-third Annual Meeting of OECD Senior Budget Officials, OECD, Washington DC, 3-4 Juni. Prayudi. 15 Januari 2007. Kebangkrutan Akuntansi Kapitalis. Hal 1. Ruth, R. 1996. Opening and Balancing the books: the New Zealand experience. Perspectives Accrual Accounting. 1: 5-11. Roob,
A.
Newberry,
S.
2007.
Globalization
:
Govermental
Accounting
and
International Financial Reporting Standards. Sosio-Economic Review, 5: 725-754. Shi, Y. 2005. Accrual Reform in Public Sector in China. Stanfoed Center for International Development. 1: 1-46. Simanjuntak, B. 2010. Moving Towards Accrual Accounting. Makalah Disajikan pada Regional Public Sector Conference, Jakarta 8 November. South Asian Federation of Accountants. 2006. A Study Accrual Based Accoutning for Goverments and Public Sector Entities in SAARC Countries. New Delhi. SAFA. Stallebrink, Odd. 2007. An Investigation of Discretionary Accruals and Surplus – Deficit Management : Evidance from Swedish Municipalities. Financial Accountabiity & Management. 18: 441-458. Stallebrink, odd and Sacco, J. An Austria Perspective on Comercial Accounting Practices in Public Sector: Accounting Forum vol 27. 3: 339-358. Stiglitz, J. 6 Juli, 2006. Don’t Trust Technocrats. Guardian, hlm 1. Sunil, J. Kerry, J. New Public Management (NPM), Managerialism, and Value for Money (VFM) Audit:
A Review of Empirical Literature with Special Reference to Australia.
Paper Presented at Accounting Finance Australia And New Zealand conference in, Sydney Australia 6-8 juli 2008. Syarifuddin, 2003. Mencari Bentuk Standar Akuntansi Pemerintahan Daerah. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Kontroversi Penerapan Akuntansi Dalam
Mewujudkan
Good
Pemerintahan
Governance. Ikatan Akuntan Indonesia Cabang
Sulawesi Selatan. Makassar, 17 Juli. Tickel,
G.
2010.
Cash
to
Accrual 16
Accounting:
One
Nation’s
Dilemma.
International Business & Economic Reseach Journal. 11: 71-78. Upping, P. Oliver, J. 2011. Accounting Change Model for the Public Sector: Adapting Luder's Model for Developing Countries.
International Review of Business Research Papers
Vol. 7. 1: 364 – 380. Vinnari, Erja and Nasi, Salmi. 2008. Creative Acounting in the Public Sector. ’Milking’ Water utilities to Balance Municipal Budgets and Accounts. Financial Accoutability and Management. 5: 97-116. Watkins, A. Edward, C. 2007. Accounting, New Public Management and American Politics: Theoretical Insights into the National Performance Review. Critical Perspectives on Accounting, 18: 33–58. Wynee, A. 2003. Do Private Sector Financial Statement Provide a Suitable Model for Public Sector Accounts. Makalah Disajikan pada European Group of Public Administration annual conference on “Public Law and the Modernising State” in, Oeiras Portugal. 3-6 September 2003. Wynee, A. 2004. Is The Move to Accrual Based Accounting a Real Priority for Public Sector Accounting. (online), www2.accglobal.com/doc/publicsector/ps_doc009.pdf,
diakses
27 Februari 2013). Yamamoto, H. 2003. New Public
Management
Policy Papers, 1: 1-31.
17
Japan
Practice.
Institute International
ANALISIS MANFAAT DAN KELEMAHAN: PENGGUNAAN BASIS ANGGARAN DAN BASIS AKUNTANSI Ardianto (Universitas Airlangga)
Abstrak Artikel ini membahas analisis manfaat dan kelemahan dari penggunaan basis pencatatan yang berbeda antara penganggaran dan akuntansi. Kajian analisis ini memberikan gambaran trade off yang terjadi antara manfaat dan kelemahan dalam penggunaan basis yang berbeda-beda tersebut. Sistem penganggaran pada umumnya terpisah dari sistem akuntansi. Domain penganggaran dianggap sebagai bagian dari sistem akuntansi manajemen, sedang akuntansi keuangan memiliki sistem terpisah yakni sistem akuntansi keuangan. Tulisan ini akan memberikan gambaran manfaat dan kelemahan yang terjadi jika kedua kondisi ini dibandingkan, yaitu ketika penganggaran berbasis kas dengan akuntansi berbasis akrual, dan kondisi penganggaran maupun akuntansi keduanya berbasis akrual. Pada akhirnya artikel ini memberikan alternatif solusi yang masih terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut, khususnya di dunia akademisi untuk memberikan manfaat di tataran praktis. Kata kunci: analisis manfaat dan kelemahan, basis anggaran, basis akuntansi
PENDAHULUAN Dalam PP 71 tahun 2010, dinyatakan bahwa basis untuk akuntansi menggunakan basis akrual.
Penandingan anggaran dengan realisasinya
dalam praktik di lapangan
masih
diwujudkan dalam bentuk Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang saat ini umumnya masih menggunakan basis kas.
Di lain pihak PP 71 tahun 2010 mensyaratkan untuk menyajikan
Neraca, Laporan Operasional dan Laporan Perubahan Ekuitas dengan basis akrual.
PP 71
tahun 2010 dalam kerangka konseptualnya juga telah menyatakan jika suatu saat anggaran disusun dengan basis akrual, maka Laporan Realisasi Anggaran (LRA) juga harus disusun dengan basis akrual. (PP 71 tahun 2010 Kerangka Konseptual paragraf 44.) Basis akrual sektor publik sesungguhnya memiliki tekanan tujuan yang berbeda dibanding pada sektor swasta. Penekanan di sektor publik lebih diperuntukkan dalam rangka menghitung biaya layanan atau cost of service yang akan digunakan untuk menilai efisiensi dan keekonomisan organisasi pemerintahan dalam mencapai tujuan.
Pada sektor swasta
tekanannya lebih pada penandingan yang tepat antara pendapatan dengan biaya. Pemahaman atas perbedaan tujuan penerapan akrual basis ini perlu mendapat perhatian karena dalam praktik penandingan yang tepat antara pendapatan dengan biaya secara teknis tidak mudah untuk dilakukan dengan tepat. Hal ini disebabkan prosedur formal yang memakan waktu.
18
Kondisi ini seringkali menghambat kecepatan dalam pengakuan yang pada akhirnya berdampak pada penandingan antara pendapatan dengan biaya. Jika dibandingkan dengan praktik di sektor bisnis, sesungguhnya selain perbedaan, terdapat pula beberapa kesamaan konsep mendasar yang dapat diadopsi jika memang selaras dengan tujuan pertanggungjawaban keuangan di sektor publik. Hal tersebut antara lain: 1. Format anggaran dan realisasi harus sama sehingga dapat ditentukan varian atau selisih untuk kepentingan pengendalian. 2. Tujuan penyusunan laporan keuangan adalah untuk pertanggungjawaban keuangan terhadap stakeholder dan untuk pengambilan keputusan. 3. Keduanya memiliki kerangka dasar akuntansi yang hampir sama. Saat ini basis yang
umum digunakan dalam penganggaran adalah berbasis kas. Laporan
Realisasi Anggaran dengan demikian juga berbasis kas. Hal ini dapat dipahami dengan fakta bahwa APBD/N juga masih menggunakan basis kas. Dengan berlakunya PP 71 tahun 2010 menyebabkan Laporan Keuangan Pemerintah akan disajikan dalam basis akrual. Pembahasan selanjutnya dalam artikel ini adalah melihat manfaat dan kelemahan atas kondisi di mana penganggaran menggunakan basis kas dan akuntansi menggunakan basis akrual. Ditelaah pula kondisi ketika anggaran berbasis akrual dengan akuntansi juga berbasis akrual. PERBANDINGAN ANGGARAN BASIS KAS DENGAN ANGGARAN BASIS AKRUAL Untuk melihat manfaat dan kelemahan penggunaan basis yang berbeda antara anggaran dan akuntansi, dapat ditabulasikan sebagai berikut: Anggaran Basis Kas, Akuntansi Basis Akrual Manfaat 1.
Anggaran berbasis kas telah lazim diterapkan pada sektor publik. Tidak memerlukan perubahan paradigma penganggaran.
2.
Sederhana pemahaman anggaran yang didasarkan pada kas dan hanya ditandingkan
Anggaran Basis Akrual, Akuntansi Basis Akrual
Kelemahan 1.
2.
Tidak dapat ditandingkan antara anggaran berbasis kas dengan realisasi hasil operasional maupun posisi keuangan yang disajikan dalam basis akrual. Pada dasarnya hanya melihat apakah aliran kas masuk dan keluar yang dianggarkan telah
Manfaat 1.Dapat dilakukan pengendalian atas posisi keuangan dan operasional organisasi
1.
Terdapat kerumitan menentukan target anggaran atas pencapaian posisi keuangan dan hasil operasi di masa depan.
2..Penganggaran tidak semata pada arus kas namun juga terhadap hasil akhir posisi keuangan dan operasi dari sebuah organisasi sehingga
2.
Diperlukan pemahaman yang lebih atas interpretasi penyajian laporan anggaran dalam bentuk neraca,
19
Kelemahan
Anggaran Basis Kas, Akuntansi Basis Akrual Manfaat
Kelemahan
dengan realisasinya. 3.
Anggaran tidak disajikan akrual sehingga tidak ada perubahan dari praktik yang berlaku sebelumnya. Cost pelaporan lebih rendah.
Anggaran Basis Akrual, Akuntansi Basis Akrual Manfaat dapat diukur efisiensi pelayanan publik.
dilaksanakan sesuai rencana tersebut. Tidak melihat aspek efisiensi atas aktivitas tersebut. 3.
4.
Kelemahan
Pengendalian atas capaian operasional dan posisi yang hendak dicapai entitas kurang dapat dilakukan.
laporan operasional maupun laporan perubahan ekuitas pada saat akan menyusun anggarannya. 3.
Keterserapan anggaran kas sebagai sebagai tolok ukur keberhasilan menyebabkan kecenderungan menyamakan anggaran dengan realisasi.
Dimungkinkan terjadi lebih banyak penyajian laporan, antara lain anggaran kas dan realisasinya, anggaran Operasional (LO) dan realisasinya, anggaran posisi keuangan dan realisasinya dst.
Dalam praktik di sektor bisnis, telah lazim dilakukan penyusunan anggaran kas, anggaran keuangan (neraca)
dan anggaran operasional (laba rugi) yang selanjutnya
ditandingkan dengan realisasi masing-masing.
Pada dasarnya anggaran ini tidak semata
dilakukan untuk menjustifikasi adanya pengeluaran kas. Anggaran sesungguhnya adalah alat untuk perencanaan (planning), pengendalian (controlling) dan koordinasi (coordinating). Anggaran juga tidak sekadar menambahkan atau mengurangi angka dari tahun sebelumnya pada saat penyusunannya. Anggaran seharusnya diturunkan dari proses perumusan strategi menuju perencanaan strategi, selanjutnya menghasilkan sasaran strategis dan program kerja. Program kerja inilah yang menjadi dasar penyusunan
anggaran. Dengan perbedaan tujuan
sektor bisnis dengan sektor pemerintah, maka yang perlu dikaji adalah manakah yang dapat diadopsi oleh sektor pemerintah dalam konteks penganggarannya dan manakah yang tidak perlu. Apakah anggaran dalam format pelaporan keuangan juga diperlukan, ataukah cukup anggaran yang berbasis kas saja. Dengan demikian adalah relevan jika analisis perbedaan basis ini dilakukan.
20
PERMASALAHAN Pertanyaan kunci adalah apakah penganggaran di sektor pemerintah cukup dengan anggaran kas ataukah perlu
disusun hingga anggaran operasional dan anggaran finansial
(posisi keuangan) yang berbasis akrual.
Beberapa pandangan dapat saja berbeda, namun
perlu diperhatikan tujuan penyusunan laporan keuangan
pada entitas
pemerintah.
Jika
keefektifan, efisiensi dan keekonomian adalah sebuah upaya yang akan dicapai, tentunya dalam operasi dari sebuah entitas pemerintah juga harus dikendalikan dengan perencanaan yang mengarah pada pencapaian tujuan organisasi (pemerintah) tersebut.
Laporan atas operasi
entitas pemerintah, yang berdasar PP 71 tahun 2010 dikenal dengan istilah
Laporan
Operasional, seharusnya juga mendapat porsi penganggaran sebelum pelaksanaan operasinya. Implikasinya adalah anggaran harus disusun dengan basis yang sama dengan laporan operasional, yang tidak lain menggunakan basis akrual. Kondisi pengendalian ini dapat dicapai jika basis yang digunakan dalam penganggaran sama dengan basis akuntansi. Di sisi lain terdapat kelemahan atau hambatan dalam menyamakan basis anggaran dengan basis akuntansi, antara lain: 1. Akan bertambah upaya (effort) untuk menyajikan laporan. Hal ini disebabkan masingmasing
laporan
akan
ditandingkan
dengan
realisasinya.
Setidaknya
disamping
menggunakan LRA yang berbasis akrual, tentunya untuk pengambilan keputusan terkait kas, laporan anggaran kas dan realisasinya (Anggaran Cash Flow) juga masih diperlukan (sulit untuk dapat ditinggalkan). 2. Kebiasaan dalam membaca anggaran berbasis kas dibanding anggaran berbasis akrual di sektor pemerintahan menyebabkan kemungkinan salah interpretasi bagi pengguna jika diubah ke basis akrual. Dengan demikian diperlukan upaya pemahaman bagi para pihak yang berkepentingan (stakeholder). 3. APBN/APBD masih berbasis kas dan tidak mudah langsung merubah ke basis akrual 4. Software atau sistem terkait penyajian laporan harus disesuaikan untuk menghasilkan penandingan yang setara antara format anggaran (akrual) dan format laporan keuangan (akrual). Kondisi ini memerlukan penyamaan kode akun dan sebagainya agar setiap pos yang dilaporkan telah terdapat dalam pos yang dianggarkan. Jika tidak cermat kondisi ini juga dapat menimbulkan permasalahan teknis.
21
PP 71 tahun 2010, mensyaratkan entitas pelaporan untuk menyajikan setidaknya 7 jenis laporan sebagai berikut: 1. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) 2. Laporan perubahan saldo anggaran lebih (SAL) 3. Neraca 4. Laporan Operasional (LO) 5. Laporan Arus Kas (LAK) 6. Laporan Perubahan Ekuitas 7. Catatan atas laporan keuangan (CALK) Poin 1 dan 2 disebut dengan laporan pelaksanaan anggaran, sedang poin 3 hingga 7 disebut laporan finansial. Jika nantinya digunakan
anggaran akrual maka implikasi terhadap penandinganya
adalah dengan pelaporan akuntansi akrual pula. Pada saat itu sesungguhnya analog dengan melaporkan laporan operasional (berbasis akrual) ditandingkan dengan realisasinya yang juga berbasis akrual sehingga dihasilkan anggaran selisih lebih/kurang dari operasi. Akibatnya adalah terdapat anggaran posisi keuangan yang juga menampung anggaran selisih lebih/kurang pada sisi ekuitasnya. anggaran
Pada dasarnya terdapat tarik menarik antara perlunya menyusun
yang kompleks namun memberi
manfaat yang optimal atau anggaran yang
sederhana namun terbatas dalam memberikan manfaat. Dalam lampiran PP 71 tahun 2010 ditunjukkan bahwa berdasar UU no 1 tahun 2004 pasal 70 ayat 2 dinyatakan bahwa pengakuan pendapatan dan belanja pada APBN/APBD menggunakan basis akrual. Faktanya sebagian besar praktik yang berlaku dalam penganggaran dan pelaporan pelaksanaan anggaran di Indonesia adalah berbasis kas. ( Halim dan Kusufi, 2012).
Oleh
karena itu, relevan untuk mengkaji penerapan anggaran yang berbasis akrual untuk ditandingkan dengan laporan realisasi yang berbasis akrual pula. Selanjutnya peran akademisi diperlukan untuk memperjelas konsep dan analisis lebih lanjut atas manfaat dan biaya setiap perubahan yang terjadi. PENUTUP Komponen penting dari basis akrual pada sistem akuntansi pemerintah adalah adanya akuntabilitas dan transparansi fiskal (Kara dan Kilic 2011). Dengan demikian tidak dapat
22
dipungkiri bahwa penerapan basis akrual pada pelaporan keuangan sudah pada arah yang benar. Langkah selanjutnya yang tidak kalah penting adalah telaah lebih mendalam kelemahan dan kekuatan penggunaan sistem penganggaran yang berbeda basis dengan akuntansinya.
laporan
Jika penganggaran akan diubah ke basis akrual, perlu pula dikaji bagaimana
pengendalian atas arus kas serta implikasi yang lain terkait basis yang digunakan dalam APBN/D. Kajian mendalam atas permasalahan ini penting untuk dilakukan karena perbedaan konsep yang ideal dengan praktik seringkali timbul karena pengetahuan manusia yang terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Perbaikan ke arah yang lebih ideal merupakan kenyataan yang tidak terhindarkan seiring dengan pemahaman yang meningkat atas suatu konsep yang ideal. Di sisi lain aspek biaya dan manfaat juga perlu menjadi pertimbangan.
Setiap
perubahan memerlukan biaya, dengan demikian perlu pula ditinjau asas kemanfaatannya. Apakah perubahan tersebut memberikan manfaat yang lebih besar menjadi fokus kajian pula. Apapun yang akan digunakan dalam sistem penganggaran seharusnya didukung oleh perangkat undang-undang/peraturan yang saling mendukung sehingga tidak menimbulkan permasalahan bagi pengguna peraturan tersebut. REFERENSI Iqbal dan Kusufi, dalam Halim dan Kusufi, 2012, Akuntansi Sektor Publik-Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba 4 Kara, E dan Kilic Y. , 2011 Accounting Recording System on Accrual Basis at Local Autorities in Turkey, International Journal of Business and Social Science Vol2 no 15 PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan UU no 1 tahun 2004
23
TRANSISI DARI AKUNTANSI BERBASIS AKRUAL MENUJU PENGANGGARAN BERBASIS AKRUAL Arief Surya Irawan (FEB Universitas Gadjah Mada)
The transition to the accrual basis of accounting may bring certain advantages in the appropriate context. In contrast, the cash basis of accounting has served almost all governments well over at least the last two hundred years (Andy Wynne, 2004)
PENDAHULUAN Dalam proses penyusunan anggaran secara garis besar terdapat dua metode yaitu metode basis kas dan basis akrual. Metode basis kas dan basis akrual adalah dua representasi akhir dari gambaran kemungkinan penganggaran. Umumnya, negara-negara di dunia banyak yang menggunakan metode basis kas dalam aktivitas penganggaran sektor publik. Namun demikian, saat ini kebanyakan lembaga pemerintah bekerja dengan pola hibrida (hybrid), yaitu sistem kas dengan komitmen yang merupakan pengejawantahan dari basis akrual. Akan tetapi, tren menunjukkan anggaran publik memberikan informasi mengenai kos dari aktivitas dan semakin mengarah menjadi basis akrual. Mengapa sejumlah negara beralih menggunakan akuntansi akrual? Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa alasan dapat dikemukakan. Pertama, akuntansi akrual menyediakan informasi untuk menjalankan organisasi dengan cara lebih efektif dan efisien. Kedua, sistem akuntansi akrual menciptakan kemungkinan untuk memberikan informasi baru yang merefleksikan realitas ekonomi dari organisasi. Hal ini akan semakin nyata dengan adanya dukungan dari sistem manajemen akuntansi. Pada keadaan ini, akuntansi basis akrual mungkin merupakan instrumen penting untuk meningkatkan akuntabilitas. Ketiga, reformasi akuntansi akrual mungkin juga dilandasi oleh pengalaman terdahulu dengan organisasi lain. Informasi arus kas masih penting untuk dalam rangka mengontrol kondisi fiskal dan untuk identifikasi kebutuhan perbendaharaan sebagai bagian dari ekonomi makro (kebijakan moneter dan fiskal) dan peraturan penganggaran. Oleh karena itu, negara-negara yang
24
memperkenalkan penganggaran basis akrual juga menyediakan informasi arus kas agar memiliki ikhtisar yang lebih lengkap. EVOLUSI MENUJU AKUNTANSI AKRUAL DAN PENGANGGARAN AKRUAL Beberapa pakar mengatakan bahwa terdapat evolusi proses penyusunan anggaran dari basis kas menjadi basis akrual. Tabel di bawah menunjukkan perbandingan luas reformasi penganggaran dan akuntansi akrual pada 6 negara OECD. Tabel 1: Akuntansi akrual dan akuntansi pada pemerintahan Pusat/Federal dan Satuan Kerja di enam negara anggota OECD. Penganggaran Akrual Australia
Departemen
Satuan Kerja
Departemen
Satuan Kerja
X
X
X
X
X
X
Kanada Belanda
X
Swedia Inggris Raya
Akuntansi Akrual
X
X
Amerika Serikat
X X
X
X
X
X
X
Sumber: Sterck, et.al, 2005
Sterck et. Al (2005) dengan berdasarkan hasil studi reformasi penganggaran dan akuntansi di atas, telah menyusun tiga skenario terkait dengan evolusi ke arah penganggaran akrual: a. Skenario 1: Penganggaran basis kas dan akuntansi basis kas Pada skenario ini dapat ditemui negara yang menggunakan penganggaran dan akuntansi basis kas dan komitmen, contoh Belanda. b. Skenario 2: Penganggaran basis kas dan akuntansi basis akrual Pada skenario ini dapat ditemukan negara yang mengadopsi sistem akuntansi berbasis akrual, namun belum mengganti metode sistem penganggaran dengan tetap berdasar basis kas, contoh Amerika Serikat, Kanada dan Swedia. c. Skenario 3: Penganggaran dan Akuntansi Akrual secara penuh Pada scenario ketiga, sistem akuntansi basis akrual didukung dengan sistem penganggaran basis akrual, contoh Australia dan Inggris.
25
PERBANDINGAN AKUNTANSI AKRUAL DENGAN PENGANGGARAN AKRUAL Akuntansi akrual fokus pada pencatatan dan pascapelaporan transaksi. Secara teknis, sebuah pemerintahan dapat mengimplementasikan akuntansi akrual tanpa harus melakukan perubahan pada kerangka kerja penganggaran berbasis kas yang berlaku termasuk untuk kementerian maupun lembaga Penganggaran akrual, mencakup perencanaan basis akrual. Dalam hal ini penganggaran akrual menggabungkan penganggaran basis kas dengan transaksi- non-kas termasuk aset, kewajiban dan ekuitas. Sebagai contoh, anggaran akrual akan mencakup anggaran biaya, itemitem non kas seperti depresiasi dan pengelolaan dana pensiun. Hal ini memungkinkan anggaran akrual menyediakan infomasi terkait implikasi pemanfaatan sumber daya atas aktivitas pemerintah yang sudah ditetapkan. Peruntukan anggaran untuk pemerintah/DPR juga dapat dikalkulasi dengan menggunakan basis akrual untuk membayar kos total (full cost) operasi pemerintah tidak tergantung pada saat kapan pengeluarannya terjadi. Sebaliknya, hal ini akan menimbulkan isu kompleksitas akuntansi dan manajemen kas yang harus diselesaikan sebelum basis akrual diimplementasikan. PENYELARASAN AKUNTANSI AKRUAL DENGAN PENGANGGARAN AKRUAL Banyak pendapat yang menyatakan bahwa reformasi akuntansi dan penganggaran seyogyanya diselaraskan sehingga ada dasar penandingan antara rencana pemerintah dengan hasil keuangan aktual. Blonde (2004 dalam Halim dan Kusufi, 2012) menyatakan bahwa tanpa perubahan dalam pengelolaan penganggaran, perubahan ke arah akuntansi berbasis akrual akan mengalami kegagalan dalam rangka menciptakan perubahan budaya maupun insentif yang pada akhirnya akan mengurangi kebermanfaatan perubahan tersebut. Pemerintah bisa saja memutuskan untuk mengadopsi akuntansi berbasis akrual sebagai langkah awal sebelum mengaplikasikan penganggaran akrual yang cenderung lebih kompleks impelementasinya. Akumulasi pengalaman implementasi akuntansi akrual dan ketersediaan data historis akan memberi kontribusi positif pada saat transisi ke penganggaran akrual
TANTANGAN REFORMASI PENGANGGARAN DAN AKUNTANSI BASIS AKRUAL Penerapan sistem akuntansi dan penganggaran basis akrual memunculkan banyak tantangan antara lain: 26
1. Transformasi manajemen berdasarkan kas menjadi berdasar prasyarat akrual 2. Memperoleh perhatian dan meyakinkan anggota parlemen 3. Menghadapi standar persaingan 4. Memutuskan pilihan antara sentralisasi atau desentralisasi sistem software 5. Meningkatkan fungsi finansial 6. Menghadapi tumbuhnya kebutuhan akuntan profesional 7. Mengurangi kompleksitas sistem PENUTUP Evolusi menuju akuntansi akrual mengarah kepada implementasi penganggaran akrual dapat dilakukan dengan 3 skenario yaitu penganggaran kas maupun akuntansi berbasis kas, penganggaran kas dan akuntansi berbasis akrual atau penganggaran akrual dan akuntansi berbasis akrual. Apapun metode perubahan yang dipilih tidak mengakibatkan kebutuhan akan informasi tentang kas menjadi berkurang. REFERENSI
Ahyaruddin, Muhammad, 2013, Tantangan Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual Di Pemerintahan Indonesia, akhyaruddinmsc.blogspot.com, diakses 20 Januari 2014 Halim, Abdul, dan Syam Kusufi. 2012. Teori, Konsep, dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik, dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah. Salemba Empat. Jakarta. Kahn, Abdul & Stephen Mayers, 2009, Transition To Accrual Accounting, Technical Notes And Manuals, International Monetary Fund. Sterck, M., Scheers, B., Conings, Veerie & Boukaeert B., 2005, Linking Budgeting and Accounting Reforms an International Comparison, presented at 10th biennial CIGAR Conference
27
MANFAAT BASIS AKRUAL AKUNTANSI PEMERINTAHAN: PONDASI MANAJEMEN BIAYA ENTITAS PEMERINTAHAN Muhammad Ichsan Program Studi Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk melihat manfaat penerapan akuntansi berdasarkan hasil penelitian pada entitas pemerintahan yang mempunyai kewajiban dan telah menerapkan akuntansi akrual. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dipahami bahwa akuntansi akrual jika dilaksanakan dengan baik, apalagi jika diintegrasikan dengan penerapan sistem akuntansi biaya akan memberikan manfaat dalam: meningkatkan kualitas penggunaan sumber daya, penguatan akuntabilitas, peningkatan transparansi atas total biaya aktivitas pemerintahan, dan penilaian secara lebih komprehensif atas pengaruh dari aktivitas pemerintahan terhadap perekonomian. Penerapan akuntansi pemerintahan akrual di Indonesia, sebenarnya telah mulai dilakukan sejak pemerintah memberikan penetapan Badan Layanan Umum/BLU (2005). Walaupun masih terdapat pro dan kontra terhadap penerapan akuntansi pemerintahan akrual, namun dapat dipahami bahwa akuntansi akrual dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan biaya suatu entitas sehingga usaha-usaha untuk melakuan efisiensi dapat dilakukan. Dari pembahasan contoh kasus diketahui bahwa penerapan akuntansi akrual di entitas pemerintahan sebaiknya dimulai dari entitas pemerintahan yang mempunyai tugas memberikan atau menyediakan barang / pelayanan langsung kepada masyarakat. Entitas pemerintahan tersebut memerlukan suatu sistem akuntansi yang dapat digunakan untuk menghitung biaya satuan (unit cost). Mengetahui biaya satuan (unit cost) tidak sematamata ditujukan untuk menetapkan nilai biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat, tetapi juga berguna agar entitas tersebut dapat dikelola secara ekonomis, efisien, efektif, serta meningkatkan aspek kualitas tatakelola pemerintahan. Dengan mengetahui biaya satuan layanan juga dapat diketahui berapa proporsi yang harus ditanggung oleh pemerintah melalui APBN. Kata Kunci
: akuntansi akrual, akuntansi biaya, biaya satuan (unit cost), badan layanan umum, manajemen biaya, keadilan antar generasi.
PENDAHULUAN Gelombang perubahan dunia yang dipacu oleh inisiatif penerapan Manajemen Publik Baru (MPB) / New Public Management (NPM) telah mendorong banyak negara untuk segera mengambil langkah perubahan. Ini merupakan pilihan yang paling realistis dan paling logis karena negara menghadapi semakin menguatnya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi yang lebih baik dalam pengelolaan sumber daya keuangan, yaitu agar pengelolaannya dapat dilakukan secara ekonomis, lebih efisien, dan semakin efektif. Dalam dua dasawarsa terakhir, banyak negara melaksanakan reformasi dalam bidang pengelolaan keuangan negara yang merupakan bagian penting dari inisiatif Manajemen Publik Baru (MPB) / New Public Management (NPM). Salah satu reformasi yang dilakukan adalah mengganti atau merubah sistem akuntansi anggaran negara yang semula menggunakan basis kas (budgetary cash accounting systems) menjadi sistem anggaran dan akuntansi yang berbasis akrual, yaitu basis akuntansi yang digunakan oleh entitas bisnis.
28
Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa akuntansi akrual diyakini mempunyai manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan akuntansi kas.Diamond (2002 : 9-10) dalam dokumen International Monetary Fund (IMF) yang berjudul : Performance Budgeting: Is Accrual Accounting Required?, menuliskan ada empat manfaat dari akuntansi akrual yaitu : 1.
Meningkatkan Kualitas Penggunaan Sumber daya (Improve Resource Allocation).
2.
Penguatan Akuntabilitas (Strengthened Accountability).
3.
Meningkatkan Transparansi atas Total Biaya dari Aktivitas Pemerintahan (Enhanced Transparency on Total Resources Costs of Government Activities).
4.
Melihat dengan Lebih Komprehensif atas Pengaruh dari Aktivitas Pemerintahan Terhadap Perekonomian (More Comprehensive View of Government’s Impact on The Economy). Uraian deskriptif atas berbagai manfaat akuntansi akrual sudah banyak dituliskan.
Namun hasil penelitian atas manfaat dari praktik akuntansi akrual yang telah berjalan di entitas pemerintahan, terutama di Indonesia, masih sedikit. Di Indonesia, reformasi pengelolaan keuangan negara telah berjalan lebih dari satu dasawarsa yaitu sejak ditetapkannya paket undang-undang keuangan negara, yang terutama adalah Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undangundang (UU) Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dengan dilaksanakannya reformasi ini maka pengelolaan keuangan Negara harus dapat dijalankan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 17 tahun 2003. Paket perundang-undangan keuangan negara tersebut telah menetapkan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilaksanakan dengan dukungan penerapan sistem akuntansi yang baik berpondasikan pada sistem pengendalian internal yang kokoh. Dalam paket perundang-undangan keuangan negara tersebut juga telah ditetapkan bahwa pelaksanaan sistem akuntansi akrual paling lambat 5 tahun sejak UU No. 17 tahun 2003 ditetapkan atau pada tahun 2008. Selama basis akrual belum dilaksanakan, pemerintah menjalankan sistem akuntansi menggunakan basis akuntansi cash towards accrual. Hal ini didukung Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai dasar pelaksanaan sistem akuntansi pemerintahan dengan basis cash towards accrual.
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang 29
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) merupakan dasar pelaksanaan sistem akuntansi pemerintahan dengan basis akrual. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan manfaat dari penerapan akuntansi akrual di entitas pemerintahan berdasarkan hasil penelitian pada suatu entitas pemerintahan di Indonesia yang telah menerapkan akuntansi akrual. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi entitas pemerintahan di Indonesia yang telah melaksanakan akuntansi akrual, menghitung biaya dari satu pelayanan yang dilaksanakan entitas pemerintahan tersebut, serta menguraikan manfaat perhitungan biaya pelayanan tersebut dalam peningkatan kualitas penggunaan sumber daya, penguatan akuntabilitas, peningkatan transparansi atas total biaya suatu pelayanan, dan penilaian pengaruhnya terhadap kebijakan fiskal. AKUNTANSI AKRUAL VERSUS AKUNTANSI KAS Dalam banyak literatur, akuntansi akrual diyakini mempunyai beberapa manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan akuntansi kas, yang oleh Eriotis, Filippos dan Dimitrios (2011 : 155) dikelompokkan dan diikhtisarkan sebagai berikut : (i) it provides a clear picture of the total cost of government programs, activities and services provided; better measurement of costs and revenues; enhancement of control process and transparency; (ii) greater focus on outputs; focus on the long-term impact of decisions; (iii) more efficient and effective use and management of resources and greater accountability; (iv) reduction and better measurement of public expenditures; (v) better presentation of the financial position of the public sector organisations; (vi) better financial management; improvement of performance measurements and greater comparability of managerial performance between periods and organizations by calculating indicators on the basis of comprehensive and consistent financial and operational data; (vii) greater attention to assets and more complete information on public organisations’ liabilities through better assets and liabilities management; (viii) better planning for future funding requirements (ix) helps with make/buy or rent/buy decisions; (x) better decisions on feasibility of providing services; (Mellett, 2002; and Olsen dkk., 2001; Barrett, 1993; Evans, 1995; Pallot, 2000; Mellor, 1996; Brusca, 1997; Funnel and Cooper, 1998; Ryan, 1998; Chan, 2003; Guthrie, 1998; Jones, 2004; Barzelay, 1992; Moe, 1994; Venieris and Cohen, 2004; Cohen dkk., 2007; Aucoin, 1995; Pessina and Steccolini, 2007; OECD, 2005; and International Federationof Accountants - Public Sector Committee, 2000 and 2002, pp. 7–10). Diamond, (2002 : 8-9) menyatakan bahwa “…, an accrual system recognize a financial flow, which does not result in cash flows – e.g., depreciation, transfer, write-off of physical
30
assets, and accrued interest – which were necessary to consider from an efficiency viewpoint, representing the full costs of providing government services, and which also allowed a wider assessment of government operations.”. Selanjutnya Diamond (2002 : 9-10) menjelaskan berbagai manfaat yang bisa diperoleh dari penggunaan akuntansi akrual, yang utama adalah : 1.
Meningkatkan Kualitas Penggunaan Sumber daya (Improve Resource Allocation) Akuntansi kas tidak dapat menyediakan informasi yang berkaitan dengan seluruh biaya (full costs) dari penyediaan layanan publik. Sementara akuntansi akrual mampu menyediakan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menghitung seluruh biaya pelayanan berdasarkan pada biaya seluruh sumber daya yang digunakan (termasuk sumber daya non kas seperti penggunaan aset tetap/fixed assets). Dengan menggunakan metode full cost bisa dilakukan analisis efisiensi dan perkiraan kebutuhan dana untuk mengganti aset yang sekarang digunakan.
2.
Penguatan Akuntabilitas (Strengthened Accountability) Akuntabilitas akan semakin baik ketika pertanggungjawaban pengelolaan keuangan tidak hanya terbatas pada sumber daya kas masuk (cash inflows) dan kas keluar (cash outflows), tetapi juga terhadap asset selain kas (non cash asset) dan kewajiban (liabilities). Dengan akuntansi akrual, entitas perlu menentukan secara jelas kinerja pelayanan yang ingin dicapai dan biaya keseluruhan (full cost) dari pelaksanaan pelayanan tersebut, lebih jauh definisi yang kinerja yang jelas akan menentukan informasi keuangan dan non keuangan yang dibutuhkan untuk mengelola organisasi dan mengelola pengeluaran.
3.
Meningkatkan Transparansi atas Total Biaya dari Aktivitas Pemerintahan (Enhanced Transparency on Total Resources Costs of Government Activities). Akuntansi akrual juga mempunyai manfaat yang bersifat umum dalam menyediakan informasi operasional pemerintahan yang berpotensi untuk meningkatkan transparansi dan memperbaiki tanggung jawab fiskal (fiscal responsibility). Akuntansi akrual mempunyai prinsip pengungkapan penuh (full disclosure) atas aset dan kewajiban serta pendapatan dan beban.
4.
Melihat dengan Lebih Komprehensif atas Pengaruh dari Aktivitas Pemerintahan Terhadap Ekonomi (More Comprehensive View of Government’s Impact on The Economy) Informasi kas dalam laporan arus kas (cash flow statement) lebih jelas menunjukan rekonsiliasi antara arus kas bersih terhadap perubahan dalam saldo kas dan bank sebagaimana disajikan dalam neraca (balance sheet), hal ini akan mengurangi berbagai hal yang tidak dapat dijelaskan dalam data laporan fiskal. Lebih jauh lagi klasifikasi arus kas 31
kedalam kelompok aktivitas operasi, aktivitas investasi dan aktivitas pembiayan, akan menyedian informasi yang dapat digunakan untuk menelusuri pengaruh arus kas pemerintah terhadap aktvitas ekonomi yang terkait. Mengutip hasil studi yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), McPhee(2006 : 3) menyampaikan beberapa manfaat dari pelaksanaan akuntansi akrual yang dapat diperoleh oleh entitas publik, termasuk kemampuan untuk : 1.
Reflect and provide the basis for accountability for the additional flexibility provided to public sector managers;
2.
Underpin objectives for a more competitive approach to public sector provision;
3.
Facilitate more efficient and effective resource management;
4.
Improve accountability by extending the notion of performance beyond the use and application of cash; and
5.
Provide a longer term focus on the effect of government and management decisions. Dukungan terhadap penggunaan basis akrual di Pemerintahan dari waktu ke waktu
semakin meningkat, apalagi jika dikaitkan dengan inisiatif peningkatan kualitas Government Finance Statistic (GFS). Namun demikian, bukan berarti akuntansi kas tidak dibutuhkan atau sudah tidak mempunyai dukungan sama sekali. Diamond (2002:4) mengutip dari IFAC (1998) menjelaskan bahwa masih terdapat pro dan kontra terhadap basis kas yang diikhtisarkan sebagai berikut : Pros : • •
•
•
Cons :
Easily comprehended by users; • Allows judgment on compliance with budget appropriations, traditionally • cash-based. Simple to implement, this case of compilation, facilitates reports being timely, reliable, • and comparable. Cost are low due to the lower level of accounting skills required. •
Limited scope, not good at showing the impact of transactions resulting in cash flows outside the current reporting period. Cannot meet the demands for information on assets and liabilities, and impact of current consumption of the stock of assets held by government, transactions in kind and arrears. Focuses solely on cash flows and ignores other resource flows which may also affect government’s ability to provide goods and services now and in the future (e.g. accumulated borrowings and other liabilities). Limits accountability to use of cash, ignores accountability for management of assets and liabilities.
Sumber : IFAC (1998)
32
KEADILAN ANTARGENERASI DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Pengelolaan keuangan negara harus dijalankan berdasarkan pada prinsip keadilan, di mana pihak yang menikmati manfaat yang lebih besar seharusnya dapat memberikan konrtibusi lebih besar kepada negara. Dalam ilmu akuntansi hal ini dikenal sebagai prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity). Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan pada bagian yang menjelaskan mengenai peranan pelaporan keuangan di dalam paragraf 25, lampiran I.01 dari PP Nomor 71 tahun 2010, menjelaskan bahwa pelaporan keuangan mempunyai peran untuk menjaga keadilan antargenerasi (intergenerational equity) yaitu untuk membantu para pengguna dalam mengetahui kecukupan penerimaan Ppemerintah pada periode pelaporan untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban pengeluaran tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam mengelola keuangan negara, pemerintah harus berusaha dengan sungguh-sungguh agar aktivitas operasional pemerintahan dan program-program pemerintah saat ini tidak dibiayai dengan pembiayaan yang akan menjadi beban sangat berat bagi generasi selanjutnya. Vinnari dan Nasi (2008 : 99) mengutip Robinson (1998) menyampaikan bahwa pemenuhan prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity) sering dianggap sebagai kriteria kunci untuk menjaga posisi fiskal pemerintah. Keadilan antargenerasi didasarkan pada prinsip bahwa para pembayar pajak dari generasi tertentu harus membiayai semua pengeluaran dan memberikan kontribusi dalam pembiayaan aset produktif sebanding dengan berapa banyak manfaat yang mereka terima dari aset tersebut. Sebagai sebuah konsep abstrak, prinsip keadilan antargenerasi ini dioperasionalkan melalui ekuitas antarperiode, yang pada gilirannya mensyaratkan harus adanya kecukupan pendapatan dari pajak yang dikumpulkan dalam setiap periode fiskal untuk menutupi biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan layanan selama periode tersebut. Hal ini, pada gilirannya, memerlukan anggaran dan rekening tahunan yang seimbang serta pengendalian penggunaan ekuitas antar periode dalam pengalokasian anggaran yang tepat, meskipun dalam praktik tetap menimbulkan kontroversi. Berdasarkan hal tersebut pemerintah harus dapat menghitung dengan baik keseluruhan biaya dari program yang dijalankan (full program costs) dan keseluruhan biaya atas pelayanan yang diberikan (full services costs). Untuk itu Pemerintah memerlukan sistem akuntansi yang dapat menyajikan informasi tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sistem akuntansi yang berbasis akrual. 33
AKUNTANSI AKRUAL DAN MANAJEMEN BIAYA NPM sejatinya mengarahkan dan mendorong agar pengelolaan pemerintahan dijalankan dengan lebih baik, yaitu lebih ekonomis, lebih effisien dan lebih efektif. Michel(2004 : 3) menekankan bahwa “state and local governments have come under increasing preasures to do more with less”. Hal ini sebagaimana perusahaan-perusahaan di sektor bisnis yang selalu bersaing untuk menjadi lebih baik yaitu dengan menjadi lebih cepat, lebih murah dan lebih berkualitas. Eriotis., Filippos dan Dimitrios (2011 : 154) menyatakan bahwa : “governments are implementing numerous market-based and businesslike reforms, broadly known as New Public Management (NPM), aiming at bringing the public sector in line with the private sector”. NPM digunakan sebagai instrumen untuk memperkenalkan disiplin pasar (market discipline) kedalam birokrasi publik juga sebagai pendorong perubahan fokus dari akuntabilitas masukan (input accountability) dan proses (process accountability) menjadi akuntabilitas keluaran (output accountability) dan hasil (result oriented accountability). Dalam kaitannya akuntansi akrual dengan NPM, McPhee, (2006 : 2) menyatakan bahwa “accrual accounting, and then accrual budgeting, were important elements in a suite of public sector reforms directed to improving the efficiency and responsiveness of government services, and enhancing the accountability for the use of public resources”. Akuntansi dan anggaran akrual merupakan elemen penting yang tepat digunakan dalam melaksanakan reformasi di sektor publik untuk meningkatkan efisiensi dan responsivitas pelayanan publik, serta meningkatkan akuntabilitas dari penggunaan sumber daya publik. Penerapan akuntansi akrual di pemerintahan dapat membantu menyediakan data dan informasi yang dapat digunakan untuk melakukan efisiensi. Hal ini dapat dilaksanakan dengan melakukan manajemen biaya (cost management) dengan sebaik-baiknya, seperti dengan melakukan analisis biaya (cost analysis) dan perhitungan biaya per program / per layanan (cost of programs / cost of services). Vinnari dan Nasi (2008 : 97) berdasarkan hasil penelitian Guthrie dkk., (1999 : 210) menulis: “an increasingly notable element of the NPM movement is the seemingly endless list of accounting-based, ‘financial management’ techniques that are being drawn on in the pursuit of reform” dan bahwa : “ the field of NPFM is replete with jargon – terms such as ‘accrual accounts’, ‘performance indicators’, ‘delegated budgets’, ‘full costs’, . . .to name just a few”. Selanjutnya Vinnari dan Nasi (2008 : 97) menyampaikan bahwa upaya untuk memecahkan masalah keuangan publik telah dilakukan dengan memasukkan serta mengadopsi
34
model yang berasal dari sektor swasta (lihat misalnya, Hood 1995; dan Gruening, 2001). Hal ini dikenal dengan Manajemen Publik Baru (MPB)/New Public Management (NPM), yang menyoroti peran manajemen keuangan dan akuntansi sebagai dasar untuk melakukan perubahan (reformasi). Dalam kerangka NPM dipahami bahwa akuntansi sektor publik, khususnya bidang manajemen keuangan dan akuntansi biaya, harus dikembangkan untuk meniru praktik sektor bisnis. Sejalan dengan Vinnari dan Nasi, Michel, (2004 : 3) telah menjelaskan bahwa “cost analysis can be an effective weapon in the government finance arsenal to tackle this fiscal pressure. Cost analysis can help managers identify inefficient programs and find areas of potential cost savings,….. It can help governments justify fee increases and user fees to recover the full cost of services”.
Selanjutnya Michel, (2004 : 2) menjelaskan bahwa “cost analysis
techniques use information to make management decisions”. Michel, (2004 : 2 -3) lebih lanjut menjelaskan bahwa analisis biaya (cost analysis) dapat digunakan untuk: 1.
Evaluating the efficiency of programs;
2.
Setting fees and charges;
3.
Evaluating whether a service should be contracted out or performed in house;
4.
Evaluating the budgetary effect of increasing or decreasing the level of services;
5.
Setting indirect cost rate for federal grant reimbursement and charging enterprise funds;
6.
Comparing the prices and long term costs of capital equipment; and
7.
Monitoring the implementation of the budget.
ENTITAS PEMERINTAHAN YANG SUDAH MENERAPKAN AKUNTANSI AKRUAL Waktu penerapan akuntansi berbasis akrual di dalam sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia telah diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 dan Pasal 70 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004, yang menetapkan bahwa pelaksanaan sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual paling lambat dilaksanakan 5 tahun sejak UU No. 17 tahun 2003 ditetapkan atau pada tahun 2008.Tetapi ketentuan tersebut tidak dapat dijalankan jika belum ada Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang berbasis akrual. Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) berbasis akrual yang dapat digunakan dalam sistem akuntansi pemerintahan baru ditetapkan dengan PP Nomor 71 tahun 2010. Dan jika kita mengacu pada penetapan tanggal efektif pelaksanaan
Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PSAP) berbasis akrual ini, maka dapat diketahui bahwa Pernyataan Standar 35
Akuntansi Pemerintahan (PSAP) ini berlaku efektif untuk laporan keuangan atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran mulai tahun anggaran 2010, dan dalam hal entitas pelaporan belum dapat menerapkan PSAP ini, entitas pelaporan dapat menerapkan SAP berbasis kas menuju akrual paling lambat 4 (empat) tahun setelah tahun anggaran 2010 atau tahun 2014. Berdasarkan hal tersebut maka secara sekilas diyakini bahwa sebelum tahun 2014 belum ada entitas pemerintahan yang sudah melaksanakan akuntansi berbasis akrual. Sejatinya tidaklah demikian, sebenarnya telah ada entitas-entitas pemerintahan yang telah menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual, hanya saja entitas ini tidak menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) namun menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Entitas pemerintahan tersebut adalah entitas pemerintahan yang diberikan status sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dalam Pasal 1 ayat (23) UU Nomor 1 Tahun 2004 disebutkan bahwa BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatan didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Definisi tersebut memberikan penekanan bahwa BLU harus dapat beroperasi / dikelola secara efisien dan memiliki produktivitas tinggi hingga dapat efektif mencapai tujuannya dalam memberikan pelayanan kepada publik. Untuk menunjang kelancaran operasional organisasi, BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan oleh BLU tersebut. Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU mengatur bahwa imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan
ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas
dasar perhitungan biaya per unit layanan. Tarif layanan yang ditetapkan oleh BLU harus mempertimbangkan aspek-aspek antara lain: (1) kontinuitas dan pengembangan layanan, (2) daya beli masyarakat, (3) asas keadilan dan kepatutan, dan (4) kompetisi yang sehat. Untuk dapat menghitung biaya per unit layanan dan menentukan tarif, maka BLU perlu menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual sebagai kerangka pelaksanaan sistem akuntansi biaya. Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum, disebutkan bahwa sistem akuntansi BLU terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan, Sistem Akuntansi Aset Tetap dan Sistem Akuntansi Biaya. Selanjutnya Pasal 9 PMK Nomor 76/PMK.05/2008 tersebut 36
menjelaskan bahwa sistem akuntansi biaya di BLU paling sedikit mampu menghasilkan informasi tentang harga pokok produksi, biaya satuan (unit cost) per unit layanan dan informasi tentang analisis varian (perbedaan antara biaya standar dan biaya sesungguhnya). Berdasarkan data per 27 Mei 2013 yang disajikan dalam laman elektronis Direktorat Pembinaan
Pengelolaan
Keuangan
Badan
Layanan
Umum,
Direktorat
Jenderal
Perbendaharaan, Kementerian Keuangan (www.ppkblu.depkeu.go.id) diketahui bahwa terdapat 141 entitas pemerintahan yang telah diberikan status sebagai BLU. Pemberian dan penetapan status BLU dimulai sejak tahun 2005, di mana Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) merupakan salah satu entitas pemerintahan pertama yang ditetapkan berstatus BLU. Dengan adanya entitas pemerintahan yang telah diwajibkan dan mungkin telah banyak yang berhasil menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual, yaitu entitas pemerintahan dengan status BLU, maka kita seharusnya dapat mempelajari manfaat dari penerapan akuntansi akrual tersebut.
PERHITUNGAN BIAYA SATUAN DAN TARIF KAMAR RAWAT INAP KELAS 2 DI RUMAH SAKIT X Rumah Sakit Umum yang dimiliki oleh Pemerintah merupakan salah satu entitas pemerintahan yang dapat diberikan status sebagai BLU. Oleh karena itu maka Rumah Sakit Umum yang dimiliki oleh Pemerintah merupakan salah satu entitas pemerintahan yang harus (sudah) menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual dan bahkan diwajibkan untuk menjalankan sistem akuntansi biaya. Untuk itu kita bisa mengambil pelajaran untuk mengetahui manfaat penerapan akuntansi berbasis akrual bahkan akuntansi biaya. Bagian ini diambil dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Munteh dan Ichsan (2013) dengan judul penelitian Analisis Perhitungan Biaya Satuan Layanan Dalam Penetapan Tarif Badan Layanan Umum Rumah Sakit: Studi Kasus Rawat Inap Umum Kelas II Rumah Sakit X. Penelitian bertujuan untuk menghitung biaya satuan (unit cost) kamar Rawat Inap Umum Kelas II Rumah Sakit (RS) X dengan menggunakan metode analisis biaya distribusi ganda (double distribution cost analysis) berdasarkan data dari laporan keuangan yang disusun dengan menggunakan basis akrual, kemudian berdasarkan hasil perhitungan biaya satuan (unit cost) tersebut dilakukan perhitungan tarif layanan. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit yang berada di bawah Kementerian Kesehatan RI c.q. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan beroperasi di wilayah Kota Bogor. Sampai saat dilakukannya penelitian, Rumah Sakit X ini belum pernah menghitung biaya 37
satuann (unit cosst) layanan sebagai daasar penenttuan tarif layanan, hall ini mengindikasikann bahwaa sistem akkuntansi biaaya di rumaah sakit ini belum dib bangun denngan baik. Tarif yangg berlakku saat ini dibuat berdasarkan padaa tarif rumaah sakit sekiitar terhadapp produk layanan yangg sama, dan ditetappkan pada tahun t 20122 berdasarkaan Surat Keeputusan D Direktur Utaama Rumahh n kamar raw wat inap adaalah terdiri dari d : Sakit X. Tarif unntuk layanan Tabel 1 Ta arif Kamarr Rawat Inap Non Psiikiatri (Um mum)
Sumber :M Munthe dan n Ichsan (20 013)
Dari data keuangan tahun 201 2, peneliti mendapatk kan informaasi biaya rumah sakitt selamaa tahun 20112.Informassi biaya rum mah sakit in ni adalah in nformasi yaang berasal dari sistem m akuntaansi berbasii akrual, seh hingga dalam m biaya terrsebut termaasuk beban yang belum m dilakukann pembaayarannya dan d penggun naan sumbeer daya yang g tidak beru upa kas. Data terseebut kemud dian dianallisis untuk ditentukan mana biayya yang beerupa biayaa langsuung (direct cost), c yaitu biaya yangg berhubung gan langsung g dengan obbjek yang akan a diteliti,, dan m mana biaya yang beru upa biaya tiidak langsu ung (indirect cost), yaaitu biaya yang tidakk berhubbungan langgsung deng gan objek yyang akan diteliti sehingga pembbebanannyaa dilakukann dengann menggunakan prosed dur alokasi biaya. Anaalisis biaya dilakukan j uga untuk mengetahui m i bagiann dari biayaa-biaya terseebut yang m merupakan beban b dari jenis j pelayaanan yang lain, l sepertii layanaan unit penuunjang mediik. Berdasarkkan hasil an nalisis biayaa, maka dap pat diketahu ui jumlah tootal biaya yang y terkaitt dengann penggunaaan kamar pada p rawat innap umum kelas k II, seb bagai berikuut: Tabell 2 Jumlah Total Keseeluruhan B Biaya Kama ar Rawat Inap Umum m Kelas II (Full ( Cost)
Sumbeer :Munthe dan d Ichsan (2013) (
38
Berdasarkkan tabel di d atas, dipperoleh biay ya satuan pada Rawaat Inap No on Psikiatrii (Umum m) Kelas III adalah seebesar Rp. 502.909 peer hari peraawatan, yaittu diperoleh h dari totall biaya R Rp. 3.596.3303.780 dibaagi dengan 7.151 hari perawatan. p Untuk peerhitungan tarif t pelayaanan, Mentteri Kesehaatan telah m menetapkan n Peraturann Menteeri Kesehataan (Permenk kes) Nomorr 12 tahun 2013 2 tentang g Pola Tariff BLU Rum mah Sakit dii Lingkuungan Kem menterian Kesehatan, K yyang mengaatur bahwa biaya gaji ppokok pegaawai negerii sipil (P PNS) dan biaya penyussutan tidak boleh dimaasukkan sebagai kompoonen biaya untuk u biayaa satuann (unit cost) yang akan dijadikan seebagai dasaar menghitun ng tarif. bel 2 Jumla ah Total Biiaya Kamarr Rawat In nap Umum Kelas II Tab T Tanpa Biay ya Gaji PNS S dan Biay ya Penyusuttan (Permeenkes)
Sumbeer :Munthe dan d Ichsan (2013) (
Berdasarkkan hal tersebut maka biaya satuan pada Raawat Inap N Non Psikiattri (Umum)) Kelas II adalah sebesar Rp. 265.719 peer hari peraw watan, yang g didasarkan an pada totaal biaya Rp.. 1.900.156.704 dibbagi dengan n 7.151 harii perawatan. Mengacu pada Kep putusan Meenteri Keseehatan RI No. 582/M MENKES/S SK/VI/19977 tentang Pola Perhhitungan Tarrif Rumah S Sakit Pemerrintah yang menentukaan bahwa taarif di Kelass ne) yang diggunakan un ntuk melaku ukan perhituungan tariff layanan dii II merrupakan dassar (baselin kelas pperawatan lainnya, l den ngan kata laain bahwa taarif di kelass II ini dihitu tung dengan n rumus = 1 x Unitt Cost. kan perhitunngan biaya satuan s (unitt Berdasarkkan hal terseebut di atas,, maka jika menggunak cost) yyang dihituung sesuai dengan d Perm menkes akaan diperoleh nilai tariff sebesar Rp. R 265.7199 yang berarti terddapat selisih h kurang ssebesar Rp. 61.719 dari d tariff yyang saat ini i berlaku.. Sedangkan jika menggunaka m an perhitunngan biaya satuan s (unitt cost) berddasarkan selluruh biayaa 909 yang teerdapat seliisih kurangg (full ccost) maka akan diperoleh nilai ttarif sebesaar Rp. 502.9 sebesaar Rp. 298.9909 dari tariiff yang saat at ini berlaku u.
39
Perhitungan ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3 Perhitungan dan Perbandingan Tarif Kamar Rawat Inap Umum Kelas II Kelas II Pola Hitunga Tarif (Kepmenkes)
1 x Unit Cost
Baseline Unit Cost (Permenkes)
265.719
Baseline Unit Cost (Full Cost)
502.909
Tarif Saat Ini (SK Dir RS) (a)
204.000
Tarif Berdasarkan Unit Cost (Permenkes) (b)
265.719
Tarif Berdasarkan Unit Cost (Full Cost) (c)
502.909
Selisih : Selisih a - b
(61.719)
Selisih a - c
(298.909)
Dengan kondisi penetapan tarif di RS X seperti itu, maka RS X sejatinya mengalami kerugian atau dengan kata lain bahwa pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menyediakan dana untuk menutupi biaya operasional RS X. Hal ini akan sangat membebanni APBN dan tidak sesuai dengan prinsip BLU. Di sisi lain pengamatan singkat di lapangan mengindikasikan bahwa terdapat kesalahan pengelolaan (missmanagement) di RS X, di mana pengelolaan biaya tidak dilakukan dengan baik. Misalkan terdapat biaya yang pembayarannya ditanggung RS X namun biaya tersebut mencakup beban yang sebenarnya digunakan bukan untuk operasional RS X tetapi untuk perumahan karyawan. Jika pengelolaan biaya (cost management) dapat dilakukan dengan baik, sehingga efisiensi dapat terus dilakukan, maka nilai tarif yang sudah ditetapkan saat ini mungkin saja adalah tarif yang sesuai dengan unit cost dari layanan tersebut. MANFAAT INFORMASI AKUNTANSI AKRUAL Berdasarkan pada penelitian di RS X tersebut maka dapat dipahami bahwa akuntansi akrual jika dilaksanakan dengan baik dan diintegrasikan dengan penerapan sistem akuntansi biaya akan dapat memberikan manfaat dalam hal: 1.
Meningkatkan Kualitas Penggunaan Sumber daya (Improve Resource Allocation).
2.
Penguatan Akuntabilitas (Strengthened Accountability).
3.
Meningkatkan Transparansi atas Total Biaya dari Aktivitas Pemerintahan (Enhanced Transparency on Total Resources Costs of Government Activities).
40
4.
Melihat dengan Lebih Komprehensif atas Pengaruh dari Aktivitas Pemerintahan Terhadap Ekonomi (More Comprehensive View of Government’s Impact on The Economy).
KESIMPULAN Penerapan akuntansi akrual oleh Pemerintah Indonesia, sebenarnya telah mulai dilakukan ketika pemerintah memberikan penetapan BLU untuk pertama kalinya (2005) yang berarti sudah lebih dari satu windu. Beberapa BLU telah berhasil menjalankan sistem akuntansi berbasis akrual, bahkan ada yang sudah berhasil menerapkan sistem akuntansi biaya. Dalam contoh tulisan di atas, RS X belum berhasil menerapkan sistem akuntansi biaya sehingga belum secara paripurna merasakan manfaat akuntansi akrual untuk kebutuhan pengelolaan biaya. Walaupun masih terdapat pro dan kontra untuk penerapan akuntansi akrual di pemerintahan, namun dari tulisan di atas dapat dipahami bahwa akuntansi akrual dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan biaya suatu entitas sehingga usaha-usaha untuk melakuan efisiensi dapat dilakukan.Walaupun contoh penarapan akuntansi akrual yang sudah ada saat ini adalah di entitas pemerintahan yang berstatus BLU, namun ini tidak mengurangi makna bahwa akuntansi akrual dapat memberikan manfaat yang tidak dapat diberikan oleh akuntansi kas. Contoh kasus di atas, menunjukkan bahwa penerapan akuntansi akrual pada entitas pemerintahan yang lainnya sebaiknya dimulai dari entitas pemerintahan yang mempunyai tugas memberikan atau menyediakan barang/pelayanan langsung kepada masyarakat.
Entitas
pemerintahan tersebut memerlukan suatu sistem akuntansi yang dapat digunakan untuk menghitung biaya satuan (unit cost). Mengetahui biaya satuan (unit cost) tidak semata-mata ditujukan untuk menetapkan nilai biaya satuan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Namun juga berguna agar entitas yang bersangkutan dapat dikelola dengan ekonomis, efisien, dan efektif, serta dapat meningkatkan aspek kualitas tatakelola pemerintahan. Dengan mengetahui biaya satuan layanan juga dapat diketahui berapa proporsi yang harus ditanggung oleh Pemerintah melalui APBN. SARAN Penerapan akuntansi akrual di entitas pemerintahan yang lain (selain BLU) sebaiknya dimulai dari entitas pemerintahan yang mempunyai tugas memberikan atau menyediakan
41
barang / pelayanan langsung kepada masyarakat. Entitas pemerintahan tersebut memerlukan suatu sistem akuntansi yang dapat digunakan untuk menghitung biaya satuan (unit cost). Ini mungkin dapat menjadi salah satu landasan berpikir untuk menggunakan strategi bertahap (phased strategy) dalam mengimplementasikan akuntansi akrual. Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan yang terkait dengan BLU, untuk mengetahui berapa banyak BLU yang telah berhasil membangun sistem akuntansinya dengan baik dan benar-benar digunakan dalam pengelolaan organisasi dan pengambilan keputusan. Penelitian lain juga bisa dilakukan untuk melakuan pemetaan entitas pemerintahan yang lain baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mempunyai tugas untuk memberikan atau menyediakan barang/pelayanan langsung kepada masyarakat. REFERENSI Buhr, Nola., (2010), From Cash to Accrual and Domestic to International: Government Accounting Standard Setting in the Last 30 Years, Plenary Speech, 19 August 2010, Sixth Accounting History International Conference, Wellington, New Zealand. Colquhoun, Philip., (July 2010), Intergenerational Equit in Municipal Accounting : New Zealand 1910s, Working Paper Series, Working Paper No. 71, Victoria University of Wellington, New Zealand. Diamond, Jack., (2002), Performance Budgeting : Is Accrual Accounting Required?, International Monetary Fund. McPhee, Ian., (2006), Financial Management in The Public Sevtor : How Accrual Accounting Enhances Governance and Accountability, Australian National Audit Office. Michel, R. Gregory., (2004), Cost Analysis and Activity Based Costing for Government, Government Finance Officer Association (GFOA). Munthe, Syahrawi., dan Ichsan, Muhammad., (2013), Analisis Perhitungan Biaya Satuan Layanan Dalam Penetapan Tarif Badan Layanan Umum Rumah Sakit (Studi Kasus Rawat Inap Umum Kelas II Rumah Sakit X), Program Studi Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Nikolaos, Eriotis., Filippos, Stamatiadis., dan Dimitrios, Vasiliou., (2011), Assessing Accrual Accounting Reform in Greek Publik Hospitals : An Empirical Investigation, International Journal of Economic Sciences and Applied Research 4(1) : 153 – 183. Robinson, M., (1998), Accrual Accounting and the Efficiency of the Core Public Sector, FinancialAccountability & Management, Vol. 14, No. 1, Hal. 21–37.
42
Vinnari, Eija M., dan Nasi, Salme., (2008), Creative Accrual Accounting in The Public Sector : ‘Milking’ Water Utilities to Balance Municipal Budgets and Accounts,
Financial
Accountability & Management, 0267-4424. W L McGuinness, (Agustus 1988), Implementation of Accrual Accounting for Government Departments. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang PerbendaharaanNegara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. International Monetary Fund, Government Finance Statistics Manual 2001. www.ppkblu.depkeu.go.id.
43
KAJIAN VARIABEL-VARIABEL KESUKSESAN PENERAPAN BASIS AKRUAL DALAM SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAHAN Muhammad Ichsan Program Studi Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Dengan ditetapkannya standar akuntansi pemerintahan (SAP) berbasis akrual yang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2010 sebagai pengganti dari PP Nomor 24 Tahun 2005, penerapan pemerintahan akuntansi akrual di Indonesia sudah tidak dapat ditawar lagi. Studi ini bertujuan untuk memperoleh gambaran umum variabel-variabel pendorong kesuksesan penerapan akuntansi pemerintahan berbasis akrual. Hasil studi menunjukkan bahwa setidaknya terdapat empat variabel utama yang harus diperhatikan agar implementasi akuntansi pemerintahan berbasis akrual dapat dilaksanakan dengan baik, yaitu: (1) strategi implementasi akuntansi berbasis akrual, (2) prakondisi yang harus disiapkan, (3) faktor kunci sukses dan (4) pengelolaan isu-isu akuntansi khusus. Dari hasil studi dapat diuraikan lebih lanjut bahwa terdapat sedikitnya enam komponen prakondisi yang harus disiapkan menjelang implementasi akuntansi akrual, terdapat setidaknya sepuluh komponen faktor kunci sukses, dan terdapat setidaknya lima komponen isu-isu akuntansi yang khusus yang harus diperhatikan dan dipahami. Kata Kunci :
Akuntansi Pemerintahan, Basis Akrual, Strategi Penerapan Basis Akrual, Isu-isu Strategis, Variabel Kesuksesan Implementasi Basis Akrual
PENDAHULUAN Krisis keuangan yang menerpa Indonesia pada Tahun 1997 seolah membangunkan kesadaran bangsa Indonesia dari tidur nyenyak yang panjang. Sehingga bangsa ini mulai melihat kenyataan bahwa pengelolaan keuangan negara membutuhkan perbaikan segera dan perubahan yang mendasar yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Keengganan melakukan perubahan hanya membawa keuangan negara pada tepi jurang kehancuran yang ditandai dengan semakin melemahnya nilai kurs Rupiah terhadap mata uang asing. Tahun 1998 kesadaran akan perlunya perbaikan pengelolaan keuangan negara semakin membesar hingga munculnya tuntutan pergantian Kepala Pemerintahan, Presiden Soeharto, yang dianggap lamban dalam memberikan respon dan mengambil keputusan serta melaksanakan tindakan perbaikan. Gejolak nilai rupiah yang tidak terkendali membuat sektor riil goyah dan banyak perusahaan harus menurunkan aktivitas operasionalnya bahkan menutup usahanya. Hal ini akhirnya memicu gejolak sosial yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya,
44
yang akhirnya memaksa pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden saat itu B.J. Habibie. Pergantian kepala pemerintahan tersebut merupakan titik awal pelaksanaan reformasi keuangan negara. Dalam proses reformasi ini perbaikan pengelolaan keuangan Negara terus dilakukan secara berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (god governance) dan membangun sistem pengendalian internal (internal control) yang kokoh. Merujuk pada pendapat Mardiasmo (2003 : 27) mengenai elemen-elemen dalam pelaksanaan reformasi pengelolaan keuangan daerah, maka dapat dikatakan bahwa dalam reformasi pengelolaan keuangan negara, selain reformasi dalam bidang kelembagaan, harus dilakukan reformasi di bidang lainnya yaitu: 1.
Reformasi Sistem Pembiayaan (financing reform).
2.
Reformasi Sistem Penganggaran (budgeting reform).
3.
Reformasi Sistem Akuntansi (accounting reform).
4.
Reformasi Sistem Pemeriksaan (audit reform).
5.
Reformasi Sistem Manajemen Keuangan (financial management reform). Sementara Nasution (2008 : 1) dalam kapasitasnya sebagai Kepala Badan Pemeriksa
Keuangan menuliskan bahwa perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal atau keuangan negara adalah merupakan bagian terpenting dari penegakan tata kelola atau tata pemerintahan yang baik (good governance). Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara harus diwujudkan dalam 5 (lima) tahapan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, pertama perencanaan dan penganggaran, kedua pelaksanaan anggaran, ketiga akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban anggaran, keempat pengawasan internal dan kelima pemeriksaan oleh auditor eksternal yang independen. Dalam kerangka reformasi pengelolaan keuangan negara, pemerintah kemudian menetapkan paket perundang-undangan keuangan negara yaitu Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang(UU) Nomor 15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan dan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara. Salah satu aspek perubahan paling substansial dalam reformasi pengelolaan keuangan negara yang dituangkan dalam paket perundang-undangan keuangan negara tersebut adalah diharuskannya pemerintah menyajikan laporan keuangan (LK), sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara
45
(APBN)/pengelolaan keuangan daerah (APBD), yang dihasilkan dari pelaksanaan sistem akuntansi. Dalam kaidah ilmu akuntansi pelaksanaan sistem akuntansi harus didasarkan pada Prinsip-prinsip Akuntansi Berlaku Umum (Generally Accepted Accounting Principles) yang dituangkan dalam bentuk standar akuntansi. Untuk itu Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 51 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa akuntansi digunakan untuk menyusun laporan keuangan pemerintah pusat/daerah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Dalam perjalanan reformasi pengelolaan keuangan negara di bidang akuntansi, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang kemudian telah diganti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Penggantian PP Nomor 24 Tahun 2005 dengan PP Nomor 71 Tahun 2010 didasarkan pada ketentuan yang ada dalam Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 yang menetapkan bahwa basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan selambatlambatnya dilaksanakan 5 tahun setelah UU Nomor 17 Tahun 2003 ditetapkan atau pada Tahun Anggaran 2008. Namun demikian, dalam ketentuan tersebut diberikan aturan fleksibilitas dalam masa transisi yang mengatur bahwa selama basis akrual belum dapat dilaksanakan maka dapat digunakan basis kas untuk pendapatan dan belanja. Karena adanya ketentuan masa transisi maka dalam PP Nomor 71 Tahun 2010 dimuat Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang berbasis akrual yang berada di Lampiran I dan PSAP berbasis kas menuju akrual yang berada di Lampiran II. Memang ada masa transisi dalam penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan namun masa transisi tersebut telah ditetapkan batasan waktunya. Dalam bagian tanggal efektif pemberlakuan PSAP dinyatakan bahwa PSAP berbasis akrual berlaku efektif untuk laporan keuangan atas pertanggungjwaban pelaksanaan anggaran mulai Tahun Anggaran 2010, namun dalam hal entitas pelaporan belum dapat menerapkan PSAP berbasis akrual maka entitas pelaporan dapat menerapkan PSAP berbasis kas menuju akrual paling lama 4 (empat) tahun setelah Tahun Anggaran 2010.Berdasarkan hal tersebut maka Tahun 2014 merupakan tahun di mana sistem akuntansi pemerintahan harus dijalankan dengan menggunakan basis akrual.
46
Penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan memang sudah menjadi keharusan karena sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan namun bukan berarti bahwa penerapan basis akrual akan dapat dengan mudah dilaksanakan tanpa hambatan. Untuk mengurangi risiko kegagalan implementasi basis akrual maka perlu dilakukan kajian (studi) terhadap berbagai variable yang dapat mendukung keberhasilan implementasi basis akrual tersebut. Studi yang dilakukan ditujukan untuk mendapatan gambaran umum terkait dengan berbagai variable yang dapat mendukung keberhasilan implementasi basis akrual berdasarkan pada hasil studi literatur. Saat ini banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan di berbagai negara, baik dalam sistem akuntansi di pemerintah pusat maupun dalam sistem akuntansi di pemerintah daerah. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran agar penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik. Terdapat dua kelompok besar Sistem Akuntansi Pemerintahan di Indonesia saat ini, sesuai dengan struktur pemerintahan dan sejalan dengan arsitektur pengelolaan keuangan negara, yaitu Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) dan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD). Pengaturan teknis kedua jenis sistem akuntansi tersebut merupakan tanggungjawab dari dua kementerian yang berbeda di mana SAPP diatur oleh Menteri Keuangan dan SAPD diatur oleh Menteri Dalam Negeri dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan hal tersebut maka studi ini akan sangat berguna dan berkaitan dengan pelaksanaan basis akrual, baik pada SAPP maupun SAPD. Adapun keberhasilan pelaksanaan dari akuntansi akrual ini menjadi tanggung jawab dari masing-masing entitas pelaporan, baik pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah. Entitas pelaporan dapat diartikan sebagai unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyajikan laporan pertanggungjawaban, berupa laporan keuangan yang bertujuan umum, yang terdiri dari: (a) Pemerintah pusat; (b) Pemerintah daerah; (c) Masing-masing kementerian negara atau lembaga di lingkungan pemerintah pusat; (d) Satuan organisasi di lingkungan pemerintah pusat/daerah atau organisasi lainnya, jika menurut peraturan perundang-undangan satuan organisasi dimaksud wajib menyajikan laporan keuangan.Walaupun entitas pelaporan untuk sementara masih diperkenankan menerapkan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual, entitas pelaporan diharapkan dapat segera menerapkan SAP Berbasis Akrual.
47
STUDI LITERATUR Manfaat Akuntansi Akrual di Sektor Publik Sudah lebih dari dua dekade isu mengenai penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan terus berkembang. Trend penerapan basis akrual terus meningkat di berbagai negara walaupun masih ada diskusi dan perdebatan dari para ahli mengenai keuntungan dan kerugiannya. Para pendukung penerapan basis akrual menyampaikan bahwa penggunaan basis akrual di sektor publik akan memberikan manfaat yang lebih baik dibandingkan jika sektor publik hanya menggunakan basis kas. Basis akrual juga diharapkan menjadi jawaban yang tepat atas meningkatnya tekanan dari masyarakat agar sektor publik dapat membangun tata kelola pengelolaan keuangannya dengan lebih baik. Tickell (2010 : 71) mengutip Dickinson (2000) menjelaskan bahwa “This migration from cash-basis accounting to accrual-basis accounting is the result of calls for greater accountability and transparency in the public sector”. Sementara Blondal (2003 : 45) menyatakan bahwa “the objective of moving financial reporting to accruals is to make the true cost of government more transparent…. A further objective for adopting accruals is to improve decision-making in government by using this enhanced information”. Selanjutnya Tickell (2010 : 71) menuliskan kutipan dari Public Sector Committee (2002) yang menyatakan : “The Public Service Committee (PSC) of the International Federation of Accountants (IFAC) believes that accrual-based financial statements, rather than cash-based financial statements, provide the most relevant, reliable, comparable and useful information for users of financial information”. Rkein (2008 : 16) merujuk pada Aucoin (1990), Barzelay (1992), dan Hood (1991) menuliskan bahwa dalam pelaksanaan reformasi di sektor publik, yang menjadi trend di dunia internasional karena dorongan yang terjadi di era New Public Management (NPM), akuntansi akrual diharapkan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam hal menyediakan informasi keuangan untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas sektor publik sehingga pengelolaan keuangan yang ekenomis, efisiens, dan efektif dapat dicapai. Sementara Buhr (2010 : 11) memberikan perhatian terhadap pengelolaan biaya dengan menyatakan “…a cash basis of accounting has its problems. It fails to provide the total cost of government programs and activities, thereby making it difficult to make decisions about expanding or contracting programming. Under the cash basis of accounting, significant asset holdings in the form of tangible capital assets go unreported”.
48
Nasution (2008 : 10) menekankan perlunya perubahan mendasar untuk secara bertahap menggantikan akuntansi yang berbasis kas dengan akrual. Selanjutnya Anwar Nasution menjelaskan bahwa dalam sistem akuntansi berbasis akrual dapat diukur biaya pelayanan jasa pemerintahan, efisiensi serta kinerja pemerintah. Dalam sistem berbasis akrual juga dapat diketahui kewajiban kontijensi pemerintah karena dicatat komitmen atau hak maupun kewajiban kontijensi negara terutama untuk penerimaan maupun pengeluaran yang melampaui masa satu tahun anggaran. Anggaran berbasis akrual akan memungkinkan perencanaan anggaran jangka panjang yang melebihi satu tahun anggaran. Beberapa ahli menyampaikan pendapatnya yang masih menyiratkan adanya keraguan atas penerapan basis akrual secara penuh di sektor publik. Beechy (2007 : 2) menyampaikan argumentasi bahwa “…the use of full accrual accounting actually obscures operating accountability and transparency in some types of organizations. This is particularly true when the organization has either (or both) of two characteristics: (1) the funding sources do not correspond with the beneficiaries of the organization’s activities, or (2) the organization is delivering public (collective) goods and/or services rather than private goods/services”. Baboojee (2011) melakukan penelitian dengan judul peningkatan pelayanan melalui perubahan dari akuntansi kas ke akuntansi akrual.Penelitian ini menyampaikan sebuah permasalahan/pertanyaan penelitian bahwa apakah penerapan akuntasi akrual merupakan elemen penting dalam peningkatan pelayanan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari penerapan basis akrual terhadap peningkatan layanan. Rkein (2008), melakukan penelitan terkait dengan akuntansi akrual dan reformasi sektor publik di Australia. Rkein menunjukkan bahwa penerapan akuntansi akrual di Australia bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan reformasi di sektor publik. Adopsi dilakukan secara bertahap di mana pertama kali adopsi dilaksanakan di organisasi yang memberikan pelayanan (business like services) hingga kemudian diterapkan di seluruh bagian sektor publik. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa memang ada manfaat yang diperoleh dari penerapan basis akrual, namun manfaat penerapan basis akrual belum seluruhnya dapat diperoleh dan penerapan basis akrual di setiap instansi juga sangat bervariasi. Trend penggunaan akuntasi akrual di sektor publik tidak serta merta mendorong terwujudnya suatu desain sistem akrual yang baku. Dees dan Neelissen (2004) melakukan penelitian dengan membandingkan lima negara yang menjadi pionir dalam menerapkan anggaran akrual dan akuntansi akrual di pemerintah pusat yaitu Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, Inggris, dan Swedia. Di dalam bagian kesimpulan Dees dan Neelissen 49
menuliskan bahwa desain yang paling optimal dari sistem akrual di sektor publik masih akan menjadi suatu perdebatan yang hangat di masa mendatang.
Kondisi dan Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi Basis Akrual Walaupun tidak ada desain baku untuk implementasi basis akrual di sektor publik namun penelitian atas berbagai pengalaman implementasi basis akrual tersebut telah menunjukkan adanya suatu kondisi/faktor yang perlu disiapkan agar implementasi basis akrual dapat dilaksanakan dengan baik. Tickell (2010 : 74) merujuk pada dokumen dari Komite Sektor Publik di IFAC
(Public Sector Committee) (2002 : 19) menjelaskan bahwa “accrual
accounting, while arguably successfully implemented in developed economies, is yet to be successfully integrated into the accounting systems of many developing economies. This is despite numerous attempts by some countries. It has been recognised by IFAC’s Public Sector Committee that the factors that may influence the nature and speed of the migration to accrual accounting include: 1.
The system of government and the political environment of the nation,
2.
Whether the reforms are focused solely on changing the reporting framework or encompassing other wider scale reforms,
3.
Whether the changes are being driven from the “top down” or “bottom up”,
4.
The current basis of accounting used by the entity, the capability of existing information system, and the completeness and accuracy of existing information, particularly in relation to assets and liabilities,
5.
The basis of accounting to be used in the preparation of budget documents,
6.
The level of political commitment to the adoption of accrual accounting, and
7.
The capacity and skills of the people and organizations responsible for implementing the changes”. McGuinness (1988 : 48) menyampaikan pendapat bahwa agar berhasil menerapkan
akuntansi basis akrual perlu diperhatikan beberapa faktor kunci (critical success factors) yang disusun berdasarkan urutan prioritas sebagai berikut: 1.
Commitment to accrual accounting from top management.
2.
A system design which is simple and is tightly controlled so that simplicity of design can be maintained.
3.
A strong emphasis on staff training to ensure that staff understand accrual accounting concepts. 50
4.
High quality planning.
5.
An acknowledgment of project leaders’ authority and responsibility.
6.
A committed and resourceful project team. Khan dan Mayes (2009:12–13) menyampaikan pandangannya secara ringkas bahwa
terdapat beberapa kondisi penting yang harus disiapkan agar dapat berpindah ke akuntansi akrual dengan baik, yaitu: 1.
An acceptable cash accounting based system.
2.
Political ownership.
3.
Technical capacity.
4.
Systems. Sementara Ouda (2008 : 102-106), dengan menggunakan “Basic Requirements Model
for Successful Implementation of Accruall Accounting in the Public Sector”, menyajikan prakondisi dan faktor-faktor yang dibutuhkan agar implementasi akuntansi akrual dapat berhasil dilaksanakan dalam sebuah model persamaan sebagai berikut: AC (ps)
=
f (MCC + PBS + PAS + CS + WC +CC + BAC+ SAI + ABC + ITC + IFS)
Keterangan: AC (ps) MCC PBS PAS CS WC CC BAC SAI ABC ITC IFS
= Accounting Change(transition to accrual accounting in the public sector); = Management Culture Changes(internal management changes/ NPM); = Political and Bureaucratic Support (legislative, executive and bureaucracy support); = Professional and Academic (advisory) Support (in the accounting field); = Communication Strategy(includes booklet, journal, conferences, seminars,etc); = Willingness to Change(staff motivation, will, training and qualification); = Consultation and Co-ordination(an essential step for central guidance accounting change); = Budgeting of Adoption Costs(for the whole implementation period); = Tackling of Specific Accounting Issues(assets identification and valuation, assets register, reporting entity, opening balances, etc.); = Accounting and Budgeting Consistency (integration); = Information Technology Capability; and = International Financial Support.
Isu-isu UtamaDalam Implementasi Basis Akrual Implementasi basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan, selain memerlukan penyiapan kondisi yang dapat mendukung keberhasilan implementasinya, juga perlu memperhatikan isu-isu yang mungkin muncul. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena isu implementasi akuntansi akrual mungkin saja akan berbeda bagi setiap entitas (agency). Blondal
51
(2003 : 45-54) menguraikan beberapa isu penting yang harus diperhatikan ketika akan berpindah ke basis akrual, yaitu: 1.
Isu Pengakuan atas Aset Tertentu (Key Recognition Issues) Sektor publik mempunyai beberapa aset berbeda dengan sektor bisnis, seperti:
2.
a.
Aset Warisan Budaya (Heritage Assest).
b.
Aset Militer (Military Assets).
c.
Aset Infrastruktur (Insfrastructure Assets).
d.
Program Jaminan Sosial (Social Insurance Programmes).
Isu Penilaian (Valuation Issues) Dalam hal ini terdapat isu antara penggunaaan metode penilaian berdasarkan pada nilai historis (historical cost) ataukah menggunakan nilai saat ini (current value).
3.
Standar Akuntansi (Accounting Standards) Berkaitan dengan siapa yang menyusun dan menetapkan standar akuntansi serta seberapa cepat proses adopsi dan adaptasi standar akuntansi internasional.
4.
Isu Implementasi (Implementation Issues) Terdapat beberapa isu penting yang berkaitan proses implementasi yaitu: a. Menumbuhkan Perubahan Budaya (Fostering a “cultural change”). b. Model Implementasi (Implementation Models). c. Kebutuhan Komunikasi (Need for Communications). d. Keahlian Akuntansi (Accountacy Skills). e. Seleksi Peralatan IT (Selection of IT Equipment). Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara yang melaksanakan konversi ke
akuntansi akrual, Wynne (2004:12-13) menyampaikan adanya risiko yang cukup signifikan. Lebih lanjut Wynne (2004:14-15) menyampaikan bahwa terdapat beberapa isu akuntansi yang harus disepakati sebelum akuntansi akrual diterapkan, terutama pada beberapa isu sebagai berikut: 1.
Taxation revenues: when should tax revenues be recognised? When the profits are made? - When the profits are reported? - When the tax is paid?.
2.
Depreciation: how should decisions be made about asset lives? -Should these be a matter for the asset user or for the Ministry of Finance? -Should adjustments be made to depreciation that is caused by lack of maintenance or investment to prolong the asset life?.
52
3.
Approaches to the recognition and measurement of property, plant and equipment: there can be disagreement about: - which assets to value - the valuation methodology current, historic or replacement cost and - how often to revalue.
4.
Military assets: should military assets be - capitalised and depreciated (what life?) or treated as revenue expenditure?
5.
Infrastructure assets: should infrastructure assets be capitalised and if so how should they be valued? - Should land and the structures on it be treated differently? - How should they be valued and re-valued?.
6.
Natural resources such as mineral reserves and forests: are these to be included in the accounts and if so on what basis are they to be valued?. Khan dan Mayes (2009 : 6-11) menjelaskan beberapa isu yang berkaitan dengan proses
transisi ke akuntansi akrual dalam konteks yang lebih luas, yaitu: 1.
Formulating acccounting policies.
2.
Gaps in current International Accounting Standards.
3.
Cash information in an accrual framework.
4.
Alignment of accrual accounting and budgeting.
5.
Budget classification and the charts of accounts.
6.
Opening balance sheet.
7.
Central versus Decentralized Financial Process.
8.
Consolidation Issues.
9.
“Controlled” and “administered” items.
Standar Akuntansi Pemerintahan Sampai saat ini, pemerintah telah dua kali menetapkan standar akuntansi pemerintahan, pertama adalah PP Nomor 24 Tahun 2005 dengan 11 Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang dengan diawali dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan. Ini merupakan standar akuntansi yang disusun dengan berlandaskan pada penggunaan basis kas menuju akrual (cash towards accrual). Dalam PSAP ini diatur bahwa setiap entitas pelaporan harus dapat menyajikan 4 (empat) jenis laporan keuangan pokok dan terdapat 2 (dua) laporan tambahan yang tidak wajib disajikan. Kedua adalah PP Nomor 71 Tahun 2010, yang merupakan peraturan yang menetapkan standar akuntansi pemerintahan yang disusun dengan berlandaskan pada penggunaan basis
53
akrual (accrual). PSAP berbasis akrual disajikan pada lampiran 1 sampai dengan 12 Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang dengan diawali dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan. Dalam akuntansi akrual ini, entitas pelaporan harus dapat menyajikan 7 (tujuh) jenis laporan keuangan. Dalam PSAP berbasis akrual, laporan keuangan dikelompokkan ke dalam dua kelompok laporan yaitu laporan pelaksanaan anggaran yang masih menggunakan basis kas dan kelompok laporan finansial yang sudah menggunakan basis akrual. Dalam laporan finansial terdapat laporan operasional yaitu laporan pelaksanaan anggaran yang disajikan dengan menggunakan basis akrual. PSAP berbasis akrual yang ditetapkan dalam PP Nomor 71 Tahun 2010 merupakan langkah awal penerapan basis akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia. PSAP basis akrual tersebut tentunya masih akan terus dikembangkan sehingga pejabat pengelola keuangan pada entitas pelaporan dituntut untuk dapat mengimplementasikan dengan sebaikbaiknya. Strategi Implementasi Basis Akrual Asian Development Bank (ADB) dalam dokumen yang berjudul “Accrual Budgeting and Accounting in Government and its relevance for Developing Member Countries” menyajikan bahwa penerapan basis akrual dapat dilakukan dengan dua metode/model/strategi yaitu metode big bang atau perubahan secara radikal dan metode bertahap. Pilihan atas metode konversi harus dilakuan secara hati-hati, namun sampai saat ini metode big bang sangat jarang digunakan.Buhr (2010 : 11) menyatakan “It should be noted that there was not necessarily an abrupt change from cash to accrual. Many governments went through a cash, modified cash, modified accrual, accrual transition”. Dalam penerapan akuntansi akrual secara bertahap Khan dan Mayes (2009 : 13) menjelaskan bahwa hal itu dapat dilakukan dengan memperhatikan : (1) implementation timeframe and sequencing. (2) implementation staging by business areas, dan (3) implementation staging by sector or size, and pilot studies.Pemilihan strategi dan area pentahapan sangat penting bagi keberhasilan implementasi akuntansi akrual. Salah satu keberhasilan dari penerapan akuntansi akrual pada akhirnya dapat dilihat dalam opini dari hasil pemeriksaan atas laporan keuangan.Nasution (2008 : 49) menyampaikan bahwa terdapat 6 (enam) langkah (komponen) yang perlu diperhatikan agar laporan keuangan pemerintah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yaitu: 1.
Sistem pembukuan dan perencanaan anggaran
54
2.
Sistem aplikasi teknologi komputer (IT related)
3.
Inventarisasi aset dan utang
4.
Jadwal
waktu
penyusunan
laporan
keuangan
dan
pemeriksaan
serta
pertanggungjawabkan anggaran 5.
Quality assurance yang dilakukan oleh pengawas intern
6.
Sumber daya manusia. Pemilihan strategi implementasi akuntansi akrual harus dilakukan secara hati-hati agar
implementasi akuntansi pemerintahan akrual dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan risiko kegagalan yang minimal. PEMBAHASAN Berdasarkan pada hasil studi literatur tersebut di atas dapat dipahami bahwa terdapat 4 (empat) variabel keberhasilan penerapan akuntansi akrual di pemerintahan yaitu: 1.
Strategi Implementasi.
2.
PrakondisiYang Harus Disiapkan.
3.
Faktor Kunci Sukses.
4.
Isu-isu Akuntansi. Pejabat pengelola keuangan di setiap entitas pelaporan dan entitas akuntansi sebagai
pihak yang bertanggung jawab dalam keberhasilan penerapan akuntansi akrual perlu memahami keempat varibel tersebut di atas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan karakteristik dari organisasinya sehingga risiko penerapan akuntansi akrual dapat diminimalkan dan diantisipasi dengan baik. Strategi Implementasi Implementasi akuntansi akrual harus dilaksanakan pada Tahun 2014, namun entitas pelaporan pada umumnya belum mempunyai rencana terkait bagaimana akuntansi akrual ini akan dilaksanakan bahkan mungkin ada beberapa entitas pelaporan yang belum mengetahui hal ini. Untuk itu entitas pelaporan perlu segera diberikan pemahaman akan kewajibannya untuk segera mengimplementasikan akuntansi akrual. Selaras dengan strategi implementasi akuntansi akrual yang secara nasional menggunakan metode bertahap, entitas pelaporan bisa menggunakan metode tersebut dalam membangun sistem akuntansi di entitasnya masing-masing. Berdasarkan hal tersebut, kementerian sebagai salah satu entitas pelaporan dapat menyusun rencana implementasi Sistem
55
Aakuntansi Instansinya (SAI) dengan menentukan target waktu lalu menentukan target fokus penerapan basis akrual. Bagi kementerian/lembaga yang mempunyai Badan Layanan UMUM (BLU), sebaiknya fokus untuk membangun sistem akuntansi yang baik di BLU lebih dahulu kemudian dapat dilanjutkan pada entitas akuntansi yang mempunyai infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) yang paling baik sebagai pilot project. Keberhasilan implementasi akuntansi akrual di BLU dan pilot project akan sangat membantu dalam konversi seluruh sistem akuntansi basis kas menuju akrual. Dalam variabel strategi implementasi akuntansi akrual, pemerintah (pusat) perlu menetapkan pedoman terkait bagian-bagian mana yang menjadi kewenangan pemerintah dan bagian-bagian mana yang merupakan kewenangan dari kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Dalam strategi implementasi akuntansi akrual perlu pendekatan top down dan bottom up, sehingga isu-isu akuntansi yang spesifik disuatu entitas pelaporan dan entitas akuntansi dapat diakomodasi dan dijalankan dalam sistem akuntansi berbasis akrual. Prakondisi Yang Harus Disiapkan Penerapan basis akrual secara bertahap merupakan pilihan paling rasional. Sebelum implementasi basis akrual dilaksanakan,
setiap entitas pelaporan perlu mempersiapkan
beberapa kondisi yang dapat mendukung keberhasilan implementasi akuntansi akrual, yaitu: 1.
Manajemen perubahan Perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar seluruh elemen di entitas pelaporan dan entitas akuntansinya siap menghadapi perubahan. Entitas pelaporan perlu merencanakan dan melakukan sosialisasi secara periodik kepada seluruh pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan akuntansi akrual untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan perlunya perubahan basis akuntansi menjadi basis akrual. Perubahan basis akuntansi ini sebaiknya juga dimasukkan dalam kerangka kerja reformasi birokrasi.
2.
Komitmen pimpinan puncak terhadap akuntansi akrual Dengan telah ditetapkannya PP 71 Tahun 2010 sebenarnya dukungan politis sudah ada, yang kemudian perlu dipersiapkan adalah komitmen dari pimpinan dari setiap entitas pelaporan untuk menerapkan akuntansi akrual. Selain itu, pimpinan dari setiap entitas pelaporan juga harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk membangun tata kelola dan sistem pengendalian internal organisasi yang baik.
3.
Entitas sudah mempunyai sistem dan prosedur yang telah berjalan dengan baik dengan menggunakan basis akuntansi yang mengarah ke basis akrual
56
Pimpinan dari masing-masing entitas pelaporan perlu memastikan bahwa sistem dan prosedur operasional keuangan secara umum, khususnya sistem dan prosedur akuntansi yang selama ini menggunakan basis kas menuju akrual, telah dijalankan dengan baik. Jika terdapat hal-hal yang masih harus diperbaiki maka segera dilakukan perbaikan, termasuk perbaikan dalam sistem pengendalian internal.Entitas pelaporan yang hasil pemeriksaan atas laporan keuangannya masih mendapatkan opini tidak wajar atau tidak memberikan pendapat, kemungkinan akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam melaksanakan akuntansi akrual. 4.
Telah mempunyai sistem informasi akuntansi yang baik yang dapat menyajikan laporan keuangan yang lengkap terutama berkaitan dengan aset dan kewajiban, termasuk melaksanakan konsolidasi laporan keuangan Entitas pelaporan yang telah mempunyai sistem informasi akuntansi yang baik dan menjalankannya
dengan
baik
akan
lebih
cepat
memiliki
kemampuan
untuk
mengimplementasikan akuntansi akrual. Untuk itu, pimpinan dari setiap entitas pelaporan harus benar-benar memahami dan mayakini bahwa sistem informasi akuntansi yang ada saat ini, walaupun masih menggunakan basis kas menuju akrual, telah berjalan dengan baik. 5.
Menyiapkan rencana implementasi akuntansi akrual Entitas pelaporan harus menyusun rencana implementasi akuntansi akrual dengan sebaikbaiknya.Perencanaan tersebut harus meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan keberhasilan implementasi akuntansi akrual, seperti penyiapan dan pelatihan sumber daya manusia, penyusunan sistem dan prosedur berbasis akrual,hingga pembangunan sistem informasi akuntansi yang berbasis akrual.
6.
Menyiapkan sumber daya manusia yang mempunyai kapasitas dan keahlian akuntansi dan manajemen organisasi yang memadai untuk melaksanakan perubahan Entitas pelaporan sebaiknya sudah mempersiapkan sumber daya manusia yang memahami akuntansi pemerintahan berbasis akrual dengan jumlah yang memadai. Penyiapan dan pelatihan sebaiknya dilakukan sejak sebelum implementasi akuntansi akrual tersebut dilaksanakan.
Faktor Kunci Sukses Untuk menjaga kontinuitas dan keberhasilan pelaksanaan implementasi akuntansi akrual, maka pimpinan dari setiap entitas pelaporan harus benar-benar menjaga agar
57
beberapafaktor kunci sukses dibawah ini dapat dibangun dan dijalankan dengan sebaikbaiknya, yaitu: 1. Kesiapan dan kemauan menerima perubahan Kesiapan dan kemauan menerima dan melaksanakan perubahan sangat penting dalam implementasi akuntansi akrual karena akuntansi akrual akan merubah banyak hal dalam sistem dan prosedur organisasi yang selama ini sudah dijalankan. Terkait jalannya reformasi birokrasi, sebaiknya perubahan basis akuntansi ini dimasukkan dalam kerangka kerja reformasi birokrasi dari setiap entitas pelaporan yang bersangkutan. 2. Strategi komunikasi Pimpinan entitas pelaporan perlu menyiapkan strategi dan saluran komunikasi agar proses, hasil dan implikasi dari perubahan ke akuntansi akrual dapat dikelola dengan baik. Komunikasi juga perlu dilakukan dengan asosiasi profesi, praktisi, dan akademisi. 3. Integrasi antara anggaran dan akuntansi Memperhatikan karakteristik organisasi pemerintahan, implementasi akuntasi akrual sebaiknya dipandang secara integral dengan sistem anggaran. Integrasi yang baik antara anggaran dan akuntansi akan mengurangi risiko dan meningkatkan peluang keberhasilan implementasi akuntansi akrual. 4. Mengelola isu-isu akutansi spesifik dengan baik Dalam implementasi akuntansi akrual, ada kemungkinan setiap entitas pelaporan mempunyai isu-isu akuntansi yang spesifik. Untuk itu setiap entitas pelaporan harus mampu mengidentifikasi isu-isu akuntansi akrual yang ada di entitas pelaporannya. 5. Penanggungjawab implementasi dengan tugas dan kewenangan yang jelas. Pimpinan dari setiap entitas pelaporan perlu menunjuk atau menegaskan penanggung jawab pelaksanaan implementasi akuntansi akrual. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran (awareness) dan pemahaman seluruh pihak akan adanya perubahan basis akuntansi. 6. Konsultasi dan kordinasi yang berkelanjutan Penanggungjawab implementasi akuntansi akrual harus menjaga agar proses konsultasi dan koordinasi dalam rangka implementasi akuntansi akrual dapat terus berjalan dengan baik. Konsultasi dan koordinasi dapat dilakukan dengan pihak eksternal, seperti dengan penyusun standar akuntansi dan akademisi. Konsultasi, dan koordinasi di internal entitas pelaporan perlu dilakukan seperti entitas akuntansi yang melakukan konsultasi terkait satu
58
isu akuntansi kepada penanggungjawab implementasi akuntansi akrual, atau koordinasi antar entitas akuntansi. 7. Struktur organisasi dan sistem prosedur Struktur organisasi entitas pelaporan yang ada saat ini sudah dapat menunjang pelaksanaan sistem akuntansi dengan basis kas menuju akrual. Penerapan akuntansi akrual akan menyebabkan banyak bagian dalam sistem dan prosedur yang harus dirubah dan kemungkinan besar akan membutuhkan struktur organisasi yang baru. 8. Kapabilitas teknologi informasi dan komunikasi Setiap entitas pelaporan sejatinya mengelola sumber daya keuangan yang sangat besar yang harus dipertnaggungjawabkan penggunaannya. Setiap entitas pelaporan memiliki sejumlah entitas akuntansi, untuk itu penyiapan aplikasi sistem informasi dan komunikasi sangatlah penting untuk mendukung keberhasilan proses perubahan ke akuntansi akrual. Dalam hal ini perlu juga dikelola proses perpindahan dari sistem informasi akuntansi yang lama ke sistem informasi akuntansi berbasis akrual.Bagi entitas pelaporan yang mempunyai entitas akuntansi dalam jumlah yang banyak dengan lokasi yang tersebar, hal ini akan menjadi pekerjaan yang memerlukan perhatian khusus. 9. Kesiapan sumber daya manusia Entitas pelaporan perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang memahami akuntansi pemerintahan berbasis akrual dengan jumlah yang memadai, terus memberikan pelatihan yang berkelanjutan agar sistem akuntansi di entitas pelaporan dan entitas akuntansi dapat tetap dijalankan, dipelihara dengan baik, dan ditingkatkan sesuai dengan perkembangan PSAP. 10. Penyediaan sumber daya keuangan Entitas pelaporan perlu menyediakan sumber daya keuangan yang cukup agar implementasi akuntansi akrual dalam sistem akuntansi dapat dijalankan dengan baik. Penyiapan sumber daya keuangan dapat dimasukkan dalam Rencan Kerja dan Anggaran entitas pelaporan yang bersangkutan dan dikelola secara ekonomis, efisien, dan efektif. Isu-isu Akuntansi Beberapa isu akuntansi yang perlu diperhatikan pada saat implementasi basis akrual adalah sebagai berikut:
59
1.
Klasifikasi anggaran, kode akun, dan kode barang Adanya dua kelompok laporan keuangan yang berbeda yaitu laporan pelaksanaan anggaran yang mengunakan basis kas dan laporan finansial yang mengunakan basis akrual memunculkan kebutuhan adanya integrasi antara klasifikasi anggaran dengan kode akun, untuk memudahkan dalam pencatatan transaksi dan penyusunan laporan keuangan.
2.
Neraca awal Ada kemungkinan di mana setiap entitas pelaporan harus mengecek kembali kebenaran dari nilai neraca pada saat awal sistem akuntansi berbasis akrual dilaksanakan.Hal ini untuk menjaga validitas data yang tercantum dineraca.
3.
Sentralisasi atau desentralisasi pencatatan Desain sistem akuntansi berbasis akrual perlu disusun dengan tepat sehingga dapat dengan jelas memisahkan mana pencatatan akuntansi yang dilaksanakan secara desentralisasi di tiap-tiap entitas akuntansi dan mana transaksi yang dicatat secara terpusat. Jika basis akrual belum digunakan sepenuhnya maka harus ditentukan jenis transaksi yang sudah harus dicatat menggunakan basis akrual dan jenis transaksi mana yang masih diperbolehkan untuk tidak dicatat dengan menggunakan basis akrual.
4.
Konsolidasi laporan keuangan Adanya kemungkinan bahwa tidak semua entitas akuntansi atau tidak semua jenis transaksi akan menggunakan basis akrual maka akan memunculkan isu yang berkaitan dengan konsolidasi laporan keuangan.
5.
Penyusunan kebijakan akuntansi Setiap entitas pelaporan perlu menyusun kebijakan akuntansi yang sesuai dengan karakteristik organisasinya dengan merujuk pada PSAP. Dalam implementasi akuntansi akrual, ada kemungkinan bahwa setiap entitas pelaporan akan mempunyai isu-isu akuntansi yang spesifik yang berbeda satu dengan yang lain. Untuk itu, setiap entitas pelaporan harus mampu mengidentifikasi isu-isu akuntansi tersebut agar diatur dalam kebijakan akuntansi. Beberapa isu yang terkait dengan kebijakan akuntansi yang utama adalah sebagai berikut: a. Pengakuan atas Aset Tertentu Beberapa entitas pelaporan mungkin mempunyai beberapa aset yang berbeda, seperti: aset warisan budaya, aset militer, aset infrastruktur, sumber daya alam, sumber daya laut,dan program jaminan sosial. Untuk itu, entitas pelaporan yang bersangkutan harus
60
memahami karakteristik aset tersebut dan dapat menetapkan kebijakan akuntansi yang tepat untuk mengakui aset-aset tersebut dalam laporan keuangannya. b. Isu Penilaian Isu penilaian seringkali berada pada pilihan penggunaaan metode penilaian berdasarkan pada nilai historis (historical cost) atau menggunakan nilai saat ini (current value). Hal ini menjadi semakin menarik ketika dikaitkan dengan pengakuan atas asset tertentu, seperti diuraikan pada poin huruf a di atas. c. Pendapatan Isu utama yang berkaitan dengan pendapatan dalam akuntansi akrual adalah pendapatan pajak. Terdapat beberapa pertanyaan: kapan seharusnya pendapatan pajak diakui dalam sistem akuntansi berbasis akrual? d. Penyusutan Pelaksanaan penyusutan dalam sistem akuntansi berbasis akrual akan penuh dengan tantangan seperti bagaimana dan siapa yang berhak menentukan umur kegunaan aset tetap, bagaimana dengan aset militer, serta bagaimana menentukan metode penyusutan yang cocok. e. Penilaian kembali atas aset Setiap entitas pelaporan mungkin memiliki aset yang belum diketahui nilainya sehingga harus dilakukan penilaian kembali tersebut agar dapat dicantumkan di dalam neraca. Pemilihan metode penilaian akan menjadi arena diskusi yang cukup panjang. Demikian pembahasan terkait kajian variabel-variabel yang dapat mendukung keberhasilan implementasi akuntansi akrual dalam sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia. Kajian singkat ini masih perlu diperkaya dan diperdalam lagi dengan studi literatur yang lebih luas dan studi lapangan. SIMPULAN Berdasarkan hasil kajian pada bagian studi literatur dapat dipahami bahwa setidaknya terdapat 4 (empat) variabel utama yang harus diperhatikan agar implementasi akuntansi akrual dalam SAI di kementerian/lembaga dapat dilaksanakan dengan baik, yaitu: (1) strategi implementasi SAI berbasis akrual, (2) prakondisi yang harus disiapkan, (3) faktor kunci sukses dan (4) pengelolaan isu-isu akuntansi yang khusus. Untuk mengelola keempat variabel ini dengan baik, entitas pelaporan memerlukan pedoman yang jelas dari pemerintah pusat.
61
Dari kajian prakondisi yang harus disiapkan menjelang implementasi akuntansi akrual, terdapat 6 (enam) komponen (kondisi) yang harus disiapkan, terdapat 10 (sepuluh) komponen (kondisi) faktor kunci sukses yang harus dikelola dengan baik, dan terdapat 5 (lima) komponen yang harus diperhatikan dan dipahami dalam isu-isu akuntansi khusus.
DAFTAR PUSTAKA Baboojee, Beerson., (October 2011), Improving service delivery through changing from cash to accrual accounting: Lessons for South Africa based on a cross-national study, Research report presented in partial fulfillment of the requirements for the degree of Master of Development Finance, University of Stellenbosch, Supervisor: Dr. Gavin Woods. Badan Pemeriksa Keuangan, (2007), Makalah untuk Luncheon Discussion Musyawarah Nasional Ketiga Asosiasi Pemerintah Provinsi, Surabaya, Senin, 22 Oktber 2007. Beechy, Thomas H., (Professor Emeritus of Accounting, Schulich School of Business, York University), (2007) Does Full Accrual Accounting Enhance Accountability?,The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 12(3), 2007, article 4. Blondal, Jon R., (2003), Accrual Accounting and Budgeting: Key Issues and recent Development, OECD Journal on Budgeting, Vol. 3, No. 1, OECD, 2003. Buhr, Nola., (Edwards School of Business University of Saskatchewan Saskatoon, Canada), (2010), From Cash to Accrual and Domestic to International: Government Accounting Standard Setting in the Last 30 Years, Plenary Speech Delivered 19 August 2010, Sixth Accounting History International Conference Wellington, New Zealand Champoux, Mask., Accrual Accounting in New Zealand and Australia : Issues and Solutions, Harvard Law School, Federal Budget Policy Seminar, Briefing Paper No. 27. Dees, Martin. dan Neelissen, Paul., (2004), Five Countries Pioneering Accrual Budgeting and Accounting in Central Government, International Journal of Auditing,Netherlands Court of Audit,January 2004. Fitria, Voni M., (2012) Kajian Atas Variabel Kebutuhan Dasar dan Strategi Persiapan Pemerintah Bagi Implementasi Akuntansi Basis Akrual Pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Sekolah Tinggi ilmu Ekonomi Indonesia Banking School, Jakarta, 2012. Freeman, Robert J. dan Shoulders, Craig D., (2003) Govermental and Nonprofit Accounting, 7th ed. United States of America, Pearson Education. Granof, Michael H., (2003), Goverment and Not-for-profit Accounting, 3th ed. United States of America, John Wiley & Sons. 62
Jones, Rowan. dan Pendlebury, Maurice., (2000) Public Sector Accounting. 5th ed. England, Prentice Hall. Khan, Abdul.danMayes, Stephen., (2009), Transition to Accrual Accounting, Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund, September 2009. Mardiasmo.,(2002), Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2002. McGuinness, W.L., (1988), Implementation of Accrual Accounting for Government Departments, Agustus 1988. Nasution, Anwar.,(2008), Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Era Reformasi, Badan Pemeriksa Keuangan RI. Ouda, Hasan A.G., (2008), Towards a Generic Model for Government Sector Reform: The New Zealand Experience, International Journal on Government Financial Management. Public Sector Committee, (2000), Government Financial Reporting: Accounting Issues and Practices, Study 11, International Federation of Accountants. Rkein, Ali., (2008), Accrual Accounting and Public Sector Reform: Northern Territory Experience, A thesis submitted in fulfilment of the requirements for the degree Of Doctor of Philosophy, School of Law and Business Faculty of Law, Business and Arts Charles Darwin University, May 2008. Simanjuntak, Binsar. H., (205), Menyongsong Era Baru Akuntansi Pemerintahan di Indonesia, Jurnal Akuntansi Pemerintah, LPKPAP-BPPK Departemen Keuangan RI, Volume 1, Mei 2005. Tickell, Geofrrey.,(2010), Cash to Accrual Accounting: One Nation’s Dilemma, International Business & Economics Research Journal, Indiana University of Pennsylvania, USA, November 2010, Volume 9, Number 11. Tjandra, W Riawan., (2006), Hukum Keuangan Negara, PT Grasindo, Jakarta. Triharta, A.B., (2013), From “Cameral Bookkeeping” to Accrual (IPSAS) Governmental Accounting: Indonesian Experience, Policy Discussion on International Public Sector Accounting Standards, Medan, Indonesia, 28 June 2013. World Bank, (1998), Public Expenditure Management Handbook, Washington USA. Wynne, Andy.,(2004), Is The Move to Accrual Based a Real Priority for Public Sector Accounting?, ACCA. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 63
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.05/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. www.bpk.go.id www.depkeu.go.id www.djbn.depkeu.go.id www.ifac.org/public-sector www.imf.org www.ksap.org www.perbendaharaan.go.id www.wordlbank.org
64
PENERAPAN AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL TINJAUAN PERSPEKTIF MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA Ni Putu Sri Harta Mimba Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
ABSTRAK Penerapan Akuntansi Pemberintah Berbasis Akrual (APBA) adalah suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, sesuai amanat Peraturan Perundangan nomor 71/2010. Saat ini, pemerintah daerah mempunyai beberapa kesulitan dalam menerapkan APBA dengan baik. Tulisan ini fokus pada permasalahan dari perspektif sumber daya manusia, karena controlable bagi pemerintah daerah untuk mengatasinya. Ada tiga masalah utama, yaitu: terbatasnya staf dengan pengetahuan akuntansi yang cukup, rotasi staf dalam waktu yang singkat, dan kemampuan staf dalam pengelolaan aset. Pemerintah daerah bisa mengatasi permasalahan tersebut dengan memperbaiki sistem perekrutan staf, misalnya staf bagian keuangan harus mempunyai latar belakang akuntansi sehingga hasil berbagai pelatihan seperti pelatihan APBA juga akan lebih maksimal, pada akhirnya kualitas pelaporan keuangan akan lebih baik. Mengingat banyaknya peraturan terkait APBA, rotasi staf di pemerintah daerah tidak dilakukan dalam waktu singkat untuk memberikan kesempatan staf untuk belajar. Pemerintah daerah juga sebaiknya menerbitkan petunjuk teknis yang jelas tentang pengelolaan aset. Melalui kerjasama dengan BPKP dan instansi terkait lainnya dalam memberikan pelatihan tentang APBA, diharapkan sumber daya manusia di pemerintah daerah lebih siap menerapkan APBA paling lambat tahun 2015. Kata kunci: akuntansi pemerintah berbasis akrual, sumber daya manusia, rotasi staf, pengelolaan aset
PENDAHULUAN Selama lebih dari dua puluh tahun, banyak negara yang termasuk dalam Less Developed Countries (LDCs) telah menerapkan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dalam reformasi sektor publik mereka, seperti di Asia dan Afrika (Betts, 2003; Hope dan Chikulo, 2000; Smith, 2002; Helmsing, 2002). Desentralisasi memungkinkan alokasi pengeluaran pemerintah yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal (Smith, 2004) dan memungkinkan penyediaan barang dan jasa publik (Heady, 2001) yang lebih baik. Sistem desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintah. Mengingat banyak manfaat dari sistem desentralisasi, sebagian besar lembaga donor internasional mensyaratkan negara-negara yang mereka danai untuk menerapkan sistem desentralisasi (Irlandia, et al., 2003). Melalui desentralisasi,
pemerintah pusat mengharapkan pemerintah daerah bisa
meningkatkan akuntabilitas dan kinerja mereka sekaligus sebagai alat yang berharga bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi pemerintah daerah dan untuk menahan mereka bertanggung jawab adalah informasi kinerja mereka (Kloot, 1999; Cf Wilkinson, 2005). Untuk
65
alasan ini, desentralisasi di sebagian besar negara-negara berkembang menyebabkan permintaan yang lebih tinggi untuk laporan informasi kinerja sektor publik. Isu desentralisasi menjadi lebih penting di Indonesia karena ada pergeseran dari sistem pemerintahan terpusat ke sistem terdesentralisasi. Pergeseran ini membawa perubahan signifikan, di mana pemerintah daerah menerima wewenang, tanggung jawab dan pendanaan yang lebih besar. Mengingat banyaknya lingkup transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan kecepatan pergeseran sistem pemerintahan yang sangat cepat dari sentralisasi ke desentralisasi (kurang dari 19 bulan), penerapan sistem desentralisasi di Indonesia saat itu disebut sebagai 'big bang' desentralisasi (Hofman dan Kaiser, 2002). ‘Big bang’ desentralisasi memberikan otoritas dan tanggung jawab cukup besar kepada pemerintah di tingkat kabupaten/kota. Kewenangan mencakup sebelas bidang utama pembangunan, seperti kesehatan dan pekerjaan umum. Selanjutnya, Pemerintah Indonesia melaksanakan pemilihan langsung untuk
bupati/walikota, gubernur dan presiden. Sistem pemilihan langsung ini mendorong
bupati/walikota untuk meningkatkan kinerjanya dan lebih bertanggung jawab kepada pemilih mereka. Informasi kinerja pemerintah daerah menjadi semakin penting sebagai salah satu dasar penilaian kinerja bagi pemerintah pusat. Pemerintah pusat telah melakukan banyak usaha untuk memerangi korupsi di Indonesia (Sumarto et al., 2003; Henderson dan Kuncoro, 2004). Upaya pemberantasan korupsi ini juga mendorong kebutuhan informasi kinerja yang lebih transparan karena memiliki peran penting dalam kontrol manajerial (cf Kloot, 1999:567). Misalnya, pemerintah pusat mengharuskan pemerintah daerah untuk mengungkapkan laporan akuntabilitas kinerja di media massa (misalnya surat kabar lokal), yang dikenal sebagai laporan ILPPD (Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah). Mendekati satu dekade 'big bang' desentralisasi pada tahun 2011, pemerintah pusat telah memperkenalkan suatu inovasi untuk meningkatkan kualitas laporan kinerja. Pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 71/2010 yang menjadi dasar
diberlakukannya
Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual (APBA). Regulasi ini membawa perubahan signifikan dalam akuntansi pemerintah, dari metode 'kas menuju akrual' ke 'basis akrual’. Karena karakteristik khusus dari organisasi sektor publik di LDC dibandingkan dengan di negara maju, seperti kemampuan sumber daya manusia yang relatif lebih rendah dalam organisasi sektor publik serta tingkat korupsi pegawai yang relatif lebih tinggi (Mimba et al., 2007), bagaimana tantangan dan peluang pemerintah daerah di Indonesia dalam melaksanakan metode akuntansi
66
akrual terutama dilihat dari perspektif sumber daya manusianya, merupakan topik yang menarik untuk didiskusikan. Tujuan dari tulisan ini ada dua. Pertama, untuk membahas pergeseran dari metode akuntansi pemerintah berbasis 'kas menuju akrual' menjadi akuntansi pemerintah berbasis akrual sesuai amanat peraturan pemerintah nomor 71/2010. Kedua, untuk mengeksplorasi beberapa komplikasi yang dihadapi staf pemerintah daerah dalam memenuhi laporan keuangan berbasis akrual. Ketiga, untuk membahas solusi alternatif yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah di Indonesia. Struktur dari tulisan ini adalah sebagai berikut. Pertama, tulisan ini membahas peningkatan peran pemerintah daerah di Indonesia setelah diberlakukannya desentralisasi. Selanjutnya, akan dibahas beberapa masalah yang dihadapi oleh karyawan pemerintah daerah. Akhirnya, tulisan ini mengkaji beberapa solusi alternatif yang diusulkan untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi karyawan tersebut. Di Indonesia, stimulus penting bagi pemerintah daerah untuk memproduksi dan meningkatkan kualitas informasi kinerja keuangan dan non-keuangan adalah pemerintah pusat, melalui berbagai peraturan (Instruksi Presiden nomor 9/1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 3/2007, 24/2005, 8/2006, dan 60/2006). Peraturan-peraturanini bertujuan memperbaiki kualitas laporan kinerja organisasi pemerintah. Pada tahun 2010, melalui Peraturan Pemerintah nomor 71/2010, pemerintah pusat meminta semua organisasi pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk menerapkan Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual (APBA).
Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual (APBA) Sebelum tahun, 2003, setiap organisasi pemerintahan hanya menyampaikan laporan perhitungan anggaran (PAN atau Perhitungan Anggaran Negara), sebuah memorandum terhadap PAN, dan laporan tahunan (terdiri dari perencanaan dan realisasi proyek/DIP dan kegiatan/DIK) ke level legislatif. Pada tahun 2003, pemerintah pusat mengharuskan semua instansi pemerintahn untuk menyampaikan laporan keuangan yang harus mengikuti standar akuntansi pemerintah melalui undang-undang nomor 17/2003). Undang-undang ini mengharuskan penggunaan basis akrual untuk standar akuntansi pemerintah. Namun, pemerintah pusat menunda pelaksanaan akuntansi pemerintah berbasis akrual karena saat itu belum memiliki cukup pengalaman dalam menyusun laporan keuangan berbasis akrual. Alasan lainnya adalah karena infrastruktur yang belum memadai. Untuk menjembatani hal ini, pada tahun 2005, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 24/2005 67
tentang metode akuntansi yang berbasis 'kas menuju akrual'. Dalam basis ini,
laporan
keuangan di tingkat pemerintah daerah terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan di tingkat SKPD atau Biro di kabupaten/kodya hanya terdiri dari tiga laporan: laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan. Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71/2010 sebagai tindak lanjut dari undang-undang nomor 17/2003, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pelaksanaan akuntansi pemerintah berbasis akrual. Penggunaan basis akrual ini telah dimulai sejak tahun anggaran 2013 oleh pemerintah pusat. Diharapkan semua organisasi pemerintah termasuk pemerintah daerah, sudah melaksanakan APBA paling lambar akhir tahun 2015.
PERMASALAHAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PELAKSANAAN APBA Persyaratan untuk menggunakan basis akrual dalam penyusunan laporan keuangan menyebabkan beberapa komplikasi bagi pemerintah daerah di Indonesia. Penyebab dari kesulitan tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor internal (e.g. kemampuan sumber daya manusia yang terbatas) dan faktor eksternal (e.g. pergantian peraturan dari pemerintah pusat yang relatif sering tentang laporan keuangan, banyaknya peraturan yang tumpah tindih dan tenggat waktu penyerahan laporan keuangan yang ketat dari pemerintah pusat). Mengingat faktor eksternal merupakan faktor yang tidak bisa dikontrol bagi pemerintah daerah, tulisan ini akan fokus pada faktor internal terkait dengan SDM, seperti kemampuan yang terbatas mengenai akuntansi, rotasi staf dalam waktu singkat, dan pengetahuan staf yang lemah dalam manajemen aset.
Keterbatasan pengetahuan akuntansi Umumnya, jumlah staf dari pemerintah daerah sudah mencukupi. Tetapi, jumlah staf yang memiliki pemahaman akuntansi yang cukup sangatlah terbatas. Banyak dari mereka yang tidak memiliki pengetahuan akuntansi sebelum direkrut sebagai staf akuntansi. Situasi ini dapat memberikan penjelasan mengapa berbagai program pelatihan memberikan dampak yang relatif kecil dalam meningkatkan pengetahuan akuntansi staf pemerintah daerah. Pengimplementasian basis akrual membutuhkan staf yang memahami dengan baik logika akuntansi. Staf akuntansi tidak hanya harus tahu anggaran, melainkan juga harus mengerti karakteristik dari setiap transaksi dan pengaruhnya terhadap akun-akun laporan keuangan.
68
Rotasi staf dalam waktu singkat Pada beberapa pemerintah daerah, staf akuntansi biasanya menyelesaikan rotasi dalam waktu singkat (yaitu kurang dari lima tahun). Keadaan ini membawa kesulitan kepada staf akuntansi. Umumnya mereka mempunyai waktu yang terbatas untuk beradaptasi dengan situasi baru dan regulasi yang terkait pelaporan keuangan. Staf akuntansi harus dapat memperbarui pengetahuan mereka terkait dengan peraturan laporan keuangan melalui pelatihan dan lokakarya.
Manajemen aset Beberapa masalah yang dialami staf pemerintah daerah yang terkait dengan aset adalah penganggaran aset tetap (misalnya penganggaran belanja dalam mendapatkan aset tetap), penilaian kembali aset (misalnya penyusutan aset tetap), manajemen aset (misalnya daftar aset tetap),dan penggunaan aset tetap. Rekomendasi yang diberikan oleh auditor eksternal terkadang tidak bisa menurunkan secara signifikan berbagai masalah yang dihadapi staf terkait pengelolaan aset tetap. Masalah dalam hal aset tetap bisa dikatakan sebagai salah satu masalah terpenting yang membuat banyak laporan keuangan pemerintah daerah tidak dapat menerima opini auditor tertinggi, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Selain itu, permasalahan aset ini akan menjadi lebih buruk bila bupati/walikota sebagai kepala pemerintah daerah tertinggi kurang memiliki kemauan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan mereka.
ALTERNATIF SOLUSI UNTUK MASALAH SUMBER DAYA MANUSIA Alternatif solusi yang bisa dilakukan terkait terbatasnya jumlah staf yang memiliki pemahaman akuntansi yang cukup adalah dengan memperbaiki proses perekrutan untuk staf baru. Tidak seperti mekanisme perekrutan sebelumnya yang tidak memiliki kriteria khusus untuk posisi bagian keuangan, mekanisme perekrutan staf nantinya harus memiliki kriteria khusus. Misalnya, untuk posisi bagian keuangan, calon staf harus memiliki latar belakang pengetahuan akuntansi. Hal ini bisa diharapkan sebagai titik awal untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan. Dengan kualitas staf bagian keuangan yang lebih baik, diharapkan pelatihan dan lokakarya terkait dengan peningkatan kualitas pelaporan keuangan (misalnya lokakarya untuk memperkenalkan APBA) akan lebih efektif. Staf yang mempunyai
pengetahuan
akuntansi yang cukup akan membuat mereka lebih mudah memahami perubahan basis 'cash towards accrual' ke basis
'accrual'. Secara bertahap, pelatihan pada staf yang sudah
69
mempunyai latar belakang pengetahuan di bidang akuntansi diharapkan bisa mengurangi secara signifikan berbagai masalah dalam penyusunan laporan keuangan. Masalah yang disebabkan oleh adanya rotasi staf dalam waktu singkat, terkait erat dengan komitmen bupati/walikota untuk memperbaiki kebijakan rotasi mereka. Lebih khusus lagi, untuk posisi tertentu yang memerlukan pengetahuan terkini tentang berbagai peraturan terkait pelaporan keuangan (misalnya kepala bagian keuangan), akan lebih baik jika bupati /walikota mempertimbangkan untuk menempatkan staf pada posisi yang sama minimal selama tiga tahun. Terkait masalah dalam pengelolaan aset, akan lebih baik jika pemerintah pusat mengeluarkan pedoman yang jelas bagi pemerintah daerah. Selain itu, bupati/walikota harus memberikan kesempatan staf mereka untuk mengikuti berbagai pelatihan tentang pengelolaan aset. Selain beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan sumber daya manusia yang mereka hadapi, pemerintah pusat juga bisa memegang peranan penting dalam mendorong staf pemerintah daerah agar bekerja dengan lebih baik. Salah satu hal yang bisa dilakukan pemerintah pusat adalah memberikan sanksi yang tepat bila laporan keuangan yang dihasilkan pemerintah daerah tidak berkualitas ataupun terlambat dilaporkan. Saat ini sanksi keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terkait keterlambatan penyampaian laporan keuangan mereka adalah berupa penundaan pencairan Dana Alokasi Umum (DAU). Mengingat dampak negatif bagi masyarakat setempat, sanksi pemerintah pusat seharusnya tidak berupa penundaan pencairan dana. Sebaliknya, sanksi harus dibebankan kepada staf pemerintah daerah yang bertanggung jawab, bukan sanksi kepada institusi. Sebaiknya, bila ada sanksi, sanksi tersebut harus diberikan kepada bupati/walikota atau kepala unit keuangan pemerintah daerah. Sanksi yang diberikan kepada staf atau pelaksana diharapkan membuat mereka lebih memperhatikan pelaporan keuangan dan persyaratan lainnya yang terkait. Dengan demikian, kualitas laporan keuangan diharapkan lebih baik dan disampaikan ke pemerintah pusat dengan tepat waktu.
KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penerapan Akuntansi Pemberintah Berbasis Akrual (APBA) adalah suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, sesuai amanat Peraturan Pemerintah nomor 71/2010. Kualitas laporan keuangan diharapkan meningkat, sehingga transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah 70
juga bisa meningkat. Saat ini, pemerintah daerah mempunyai beberapa kesulitan dalam menerapkan APBA dengan baik. Dilihat dari perspektif sumber daya manusia, ada tiga masalah utama, yaitu: terbatasnya staf dengan pengetahuan akuntansi yang cukup, rotasi staf dalam waktu yang singkat, dan kemampuan staf dalam pengelolaan aset. Tulisan ini fokus pada permasalahan tersebut karena umumnya controlable atau masih dalam kewenangan pemerintah daerah untuk mengatasinya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah daerah terkait permasalahan sumber daya manusia. Untuk meningkatkan jumlah staf yang memiliki pengetahuan akuntansi yang cukup, sistem perekrutan staf sebaiknya diperbaiki dengan mensyaratkan latar belakang pendidikan tertentu, misalnya, untuk bagian keuangan, semua staf mempunyai latar belakang akuntansi. Dengan demikian, hasil pelatihan akan lebih maksimal, termasuk pelatihan tentang akuntansi akrual dan pengelolaan aset. Pemahaman staf yang lebih baik diharapkan bisa meningkatkan kualitas laporan keuangan yang dihasilkan. Terkait rotasi staf, diharapkan pemerintah daerah melakukan rotasi staf tidak dalam waktu yang singkat. Staf akan mempunyai waktu cukup untuk belajar, terlebih lagi dengan banyaknya peraturan dan sistem baru yang harus mereka pelajari, seperti penerapan APBA. Melalui kerjasama dengan BPKP dan instansi terkait lainnya dalam memberikan pelatihan tentang APBA, diharapkan semua pemerintah daerah di Indonesia bisa menerapkan APBA paling lambat tahun 2015. Selain itu, pemerintah pusat juga bisa memegang peran penting dalam mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan mereka dengan memberikan sanksi yang tepat. Sanksi yang diberikan sebaiknya bukan kepada institusi pemerintah daerah, melainkan kepada staf yang bertanggung jawab terhadap pelaporan keuangan suatu institusi. REFERENSI Betts, I.L. (2003)‘Decentralization in Indonesia’, International’s Journal for Decision Makers, 5(5), pp.1-9. Heady, F. (2001) Public administration: a comparative perspective, 6th ed. (New York: Marcel Dekker Inc). Helmsing, A.H.J. (2002) "Decentralization, enablement, and local governance in low-income countries", Environment and Planning C: Government and Policy, 20, pp.317-40. Hofman, B., and Kaiser, K. (2002)‘The making of the big bang and its aftermath: a political economy perspective’, In: GSU conference, Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?,Georgia State University, 1-3 May 2002.
71
Hope, K.R. and Chikulo, B.C. (2000) ‘Decentralization, the new public management, and the changing role of the public sector in Africa’, Public Management, 2(1), pp.25-42. Indonesian Government (2003) ‘State financial management’, Law number 17/2003. Jakarta: The Indonesian Government. Indonesian Government (2005) ‘Regional government’, Government Regulation number 24/2005. Jakarta: The Indonesian Government. Indonesian Government (2007) ‘Local government reports’, Government Regulation number 3/2007.Jakarta: The Indonesian Government. Indonesian Government (2007) ‘LPPD, LKPJ and ILPPD’, Government Regulation number 3/2007. Jakarta. Indonesian Government (2008) ‘Goverment Regulation number 60/2008. Jakarta. Indonesian Government (2007) ‘Government Regulation number 59/2007. Jakarta. Ireland, M., McGregor J.A., and Saltmarshe, D. (2003) ‘Challenges for donor agency countrylevel performance assessment: a review’, Public Administration and Development, 23(5), pp.419-31. Kloot, L. (1999) ‘Performance measurement and accountability in Victorian local government’, The International Journal of Public Sector Management, 12(7), pp. 565-583. Mimba N.P.S.H., van Helden G.J., and Tillema, S. (2007) ‘Public sector performance measurement in developing countries: a literature review and research agenda’. Journal of Accounting and Organizational Change, 3(3), pp. 192-208. Smith, B. (2002) ‘Decentralisation’, in: C. Kirkpatrick, R. Clarke, and C. Polidano (Eds), Handbook on Development Policy and Management, pp. 389-399 (Cheltenham, UK: Edward Elgar). Sumarto, S., Suryahadi, A., and Arifianto, A. (2003) ‘Governance and poverty reduction: evidence from newly decentralized Indonesia', in Y. Shimomura (Eds), The Role of Governance in Asia, pp. 27-64 (Singapore, Utopia Press). Wilkinson, J. (2005) ‘The growth of performance measurement: help or hindrance?’,inG. Drewry, C. Greve, and T. Tanquerel (Eds), Contracts, Performance Measurement and Accountability in the Public Sector, pp. 11-26 (WashingtonDC: IOS Press).
72
PERSPEKTIF MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) DALAM PENERAPAN AKUNTANSI PEMERINTAH BERBASIS AKRUAL: STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PELATIHAN Arief Surya Irawan (Universitas Gadjah Mada) Islahuddin (Universitas Syiah Kuala)
Poin-poin penting Semua staf yang terlibat dalam transisi perubahan menuju akuntansi berbasis akrual harus memahami arti penting dan alasan perubahan, mampu melaksanakan apa yang sudah menjadi tanggung jawab mereka, mengoperasikan sistem dan prosedur sistem yang baru serta memahami informasi yang dihasilkan. Entitas pemerintahan perlu menilai dampak perubahan kompetensi yang dibutuhkan pada posisi yang relevan dan mengembangkan strategi pengembangan termasuk pelatihan dalam rangka meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan. Beberapa opsi yang dapat dipilih untuk menangani adanya kesenjangan kompetensi meliputi pola rekruitmen yang sesuai, kerja sama dengan konsultan maupun perguruan tinggi, pengembangan kursus-kursus eksternal dan pelatihan bagi staf yang ada. Perlu kiranya melakukan aktivitas sosialisasi dan pemberian informasi yang dibutuhkan kepada beberapa kelompok masyarakat seperti politisi atau media dalam rangka edukasi maupun penyadaran akan arti penting reformasi keuangan.
PENDAHULUAN Unsur SDM merupakan salah satu elemen penting dalam implementasi APBA. Beberapa problema yang dihadapi entitas pemerintahan terkait aspek SDM antara lain rendahnya keterampilan staf, lemahnya pengalaman relevan, fasilitas kurang mendukung, lemahnya kepemimpinan (leadership) dan lemahnya pola ‘penalti’ (Harun dan Kamase, 2012). Secara teknis bahasan ini akan membahas isu-isu terkait dengan sumber daya manusia (SDM) khususnya dalam hal identifikasi, desain dan sistem pelatihan. Lebih jauh pembahasan juga akan mencakup capacity building dalam aspek pengembangan SDM, pengembangan organisasional termasuk kerangka kerja legal-formal. Sukses tidaknya adopsi akuntansi (berbasis) akrual dan perubahan sistem terkait, tidak mungkin tercipta tanpa adanya dukungan SDM yang memadai. Pelatihan terkait dengan manfaat akuntansi akrual dan kesadaran akan arti penting reformasi keuangan negara menjadi elemen penting dalam keberhasilan implementasi agar tercipta suatu keselarasan tujuan (goal congruence) antara pemerintah dengan personalia terkait. Pelatihan tersebut perlu dilakukan dalam setiap level kepemerintahan. Pengembangan strategi pelatihan yang efektif termasuk pola pelatihan yang sesuai perlu disusun untuk mengantisipasi manajemen risiko dalam masa transisi. Adapun risiko yang muncul dalam transisi implementasi akuntansi akrual adalah
73
proses perubahan tidak mampu memenuhi tujuan perubahan, melebihi anggaran yang tersedia maupun ketertinggalan proses dibandingkan jadwal yang telah ditetapkan. Dari sisi individu staf terkait, perlu kiranya untuk: 1. Memahami alasan mengapa perubahan harus dilakukan, desain reformasi, pendekatan implementasi transisi, dan implikasi sebagai akibat reformasi 2. Memahami unsur pragmatis/praktis atas impelementasi reformasi sekaligus mampu untuk melaksanakan perubahan yang dibutuhkan 3. Mampu mengoperasikan sistem dan prosedur terkait implementasi baik di tingkat pusat maupun daerah 4. Mampu memanfaatkan informasi yang dihasilkan sistem baru Lebih jauh, perubahan sistem manajemen keuangan termasuk akuntansi keuangan membutuhkan adanya perubahan budaya dan pola pikir/paradigma (mind-shift). Sebagai contoh, pejabat negara diharapkan memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar atas reformasi manajemen keuangan entitas sehingga mereka menyadari kebutuhan akan sumber daya yang kompeten dan memadai. Oleh karena itu aspek teknikal dan kultural perlu disampaikan dalam strategi pengembangan komunikasi dan pelatihan.
STRATEGI PENGEMBANGAN PELATIHAN Adapun strategi pengembangan pelatihan dapat diwujudkan dalam pola berikut: a. Indentifikasi kelompok yang menjadi sasaran Identifikasi kelompok sasaran dan strategi pelatihan terkait dengan kelompok tertentu dimaksudkan agar pelatihan dapat disusun sesuai kebutuhan (customized) termasuk jumlah peserta pelatihan. Meskipun sifat dan komposisi kelompok sasaran bisa jadi beragam, namun bisa dikelompokkan dalam contoh berikut: Kelompok sasaran dalam Pemerintah Pusat:
Politisi dan Legislatif
Badan Pengawas Publik (Public Oversight Bodies)
Central Entities (for example Audit Personnel)
Analis Keuangan/Anggaran (Budget/Finance Analysts)
Kepala Departemen (Heads of Departments/Entities)
Pimpinan Senior (Senior Managers)
74
Pimpinan Operasional (Operational Managers)
Kepala Bagian keuangan (Finance Managers)
Staf Keuangan (Finance Staff)
Staf Umum (General Staff)
Media
Kelompok sasaran dalam Pemerintah Daerah/Satuan Kerja Perangkat Daerah
Tim Impelementasi Reformasi (Reform Implementation Team)
Pimpinan Senior (Senior Management)
Pimpinan Program (Program Managers)
Kepala Bagian Keuangan
Staf Keuangan dan Administrasi
Auditor Internal
Staf Sistem Informasi
Manajer Aset (Asset Managers)
Selanjutnya, meskipun tujuan pelatihan atas kelompok sasaran di atas bisa saja berbeda, namun dapat ditarik beberapa tujuan tertentu yaitu: a) Peningkatan kepedulian pimpinan kunci organisasi pemerintahan terkait peran, maksud, dan tujuan reformasi b) Manajemen dan staf lain perlu memahami peran dan tanggung jawab mereka dalam konteks reformasi termasuk hubungan antar berbagai bagian/elemen organisasi b. Identifikasi kebutuhan pelatihan Untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, perlu kiranya melihat dampak reformasi terhadap jenis keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge) dan perilaku (behavior) yang dapat digabungkan dalam suatu kompetensi yang dibutuhkan dari berbagai posisi kepemerintahan. Kompetensi di atas akan sangat bermanfaat jika dapat diekspresikan dalam hal output dan perilaku. Meskipun pengembangan kompetensi butuh waktu, namun eksistensi suatu kerangka kerja (framework) untuk posisi tertentu pada sektor publik memungkinkan staf pemerintah untuk mengembangkan kompetensi mereka secara lebih mudah sehingga memudahkan untuk mengetahui jenis pelatihan yang dibutuhkan. Apabila jenis keterampilan yang dibutuhkan dalam perubahan sistem telah diidentifikasi selanjutnya dapat dibandingkan dengan keterampilan dan pengalaman yang ada. Saat entitas berpindah dari basis kas ke basis
75
akrual, maka terdapat perubahan pada jenis pengetahuan yang dibutuhkan dan pola manajemen dan operasional entitas. Perlu dipahami bahwa pelatihan tidak hanya berfokus pada ketrampilan akuntansi namun harus memiliki setidaknya dua komponen: 1) Komponen teknikal terkait keterampilan dan pengetahuan yang harus dikuasai. 2) Komponen lingkungan/organisasional yang mencakup nilai-nilai (values), kebijakan (policies) dan praktik (practices) yang ada. Secara ringkas, seorang peserta pelatihan tidak hanya akan menguasai aspek teknikal terkait akuntansi akrual dan manajemen informasi tetapi juga memahami alasan implementasi akuntansi akrual, peraturan-peraturan dan kebijakan terkait, termasuk norma-norma khusus kepemerintahan. Adopsi akuntansi akrual pada umumnya disertai dengan pendelegasian tanggung jawab manajemen keuangan kepada para pimpinan program. Selanjutnya perlu kiranya dilakukan suatu analisis kesenjangan (gap analysis) terkait keterampilan dan pengetahuan dalam kondisi saat ini dengan persyaratan kompetensi untuk implementasi perubahan. Apabila kebutuhan di atas dapat diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah membuat pertimbangan cara alternatif bagaimana pelatihan akan dilaksanakan. c. Strategi pelatihan Beberapa pilihan strategi untuk menangani kesenjangan antara kondisi saat ini dengan kompetensi yang dibutuhkan antara lain: 1) Melakukan rekrutmen dari sektor privat. 2) Merekrut dari entitas sektor publik lain. 3) Menggunakan jasa konsultan. 4) Pengembangan melalui studi lanjut bekerja sama dengan universitas. 5) Pelatihan untuk staf yang ada. 6) Seminar dan loka karya (workshop) yang diberikan entitas audit eksternal d. Sistem pemberian materi pelatihan (delivery system) Entitas yang akan mengadakan pelatihan SDM perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: 1) Topik dan isi. 2) In-house atau eksternal atau dalam bentuk training of trainers (ToT).
76
3) Metode pemberian materi (dapat berupa gabungan antara pemberian materi oleh instruktur, perkuliahan berbasis kompter, loka karya maupun magang/on the job trainings/internships). 4) Waktu pelatihan (perlu dipertimbangkan waktu yang tepat karena jika terlalu awal staf dapat saja lupa atas apa yang mereka pelajari, oleh karena pemberian pelatihan bisa dilakukan sebelum dan sesudah implementasi perubahan). e. Evaluasi dan penilaian Reviu pasca pelaksanaan pelatihan dapat digunakan sebagai evaluasi efektivitas pelatihan sekaligus sebagai dasar penilaian kebutuhan pelatihan selanjutnya. Laporan hasil pemeriksaan (LHP) maupun reviu atas laporan keuangan pemerintah dapat dijadikan sebagai indikasi sejauh mana pelatihan tambahan dibutuhkan. f. Pelatihan silang (cross-training) Dalam mengembangkan strategi pelatihan untuk berbagai kelompok karyawan, entitas perlu mempertimbangkan adanya pelatihan silang sehingga staf akan lebih menyadari hubungan antar berbagai aktivitas sekaligus memungkinkan adanya perpindahan staf dari satu area ke area yang memiliki beban kerja yang lebih tinggi. g. Pelatihan berkesinambungan (ongoing training) Pelatihan berkesinambungan terkait pengelolaan manajemen keuangan maupun akuntansi secara umum sangat dibutuhkan. Sebagai tindak lanjut dari implementasi akuntansi akrual, entitas akan membutuhkan pengembangan kebijakan dan prosedur terkait untuk mendukung pengoperasian sistem baru. Kebijakan dan panduan terkini juga merupakan bentuk pelatihan yang akan membantu staf dalam melaksanakan kewajiban mereka. SIMPULAN Semua elemen SDM yang terlibat dalam transisi perubahan menuju akuntansi berbasis akrual harus memahami arti penting dan alasan perubahan, mampu melaksanakan apa yang sudah menjadi tanggung jawab mereka, mengoperasikan sistem dan prosedur sistem yang baru serta memahami informasi yang dihasilkan. REFERENSI Harun, H. and Kamase, Haryono P., 2012, Accounting Change and Institutional Capacity: The Case of Provincial in Indonesia’, Australasian Accounting Business and Finance Journal, Vol. 6 Issue 2
77
International Federation of Accountants (IFAC), 2011, Transition to the Accrual Basis of Accounting: Guidance for Governments and Government Entities, http://www.ifac.org
78
ANALISIS PENGARUH IMPLEMENTASI AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL (APBA) ATAS ENTITAS PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH Arief Surya Irawan (Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada)
ABSTRAK Penerapan Akuntansi Pemberintah Berbasis Akrual (APBA) merupakan program yang telah menjadi keharusan sejak dilaukan reformasi keuangan negara yang diawali dengan implementasi Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ditegaskan melalui Peraturan Perundang-undangan nomor 71/2010, serta diatur lebih lebih teknis dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 64/2013. Implementasi APBA membutuhkan perencanaan dan strategi pelaksanaan yang matang dengan mempertimbangkan beragam aspek terkait. Tulisan ini memberikan analisis terkait implementasi APBA yang dikaitkan dengan pra-kondisi, langkah-langkah implementasi, dan penyesuaian yang harus dilakukan oleh entitas pelaporan. Pada akhirnya pemerintah dapat memilih opsi perubahan basis akuntansi menjadi akrual dan opsi apakah akan melakukan perubahan basis penganggaran. Beberapa implikasi atas implementasi APBA dibutuhkan untuk mendukung kelancaran transisi mencakup mandat yang jelas, komitmen politik, komitmen pemerintah dan pejabat kunci, sumber daya yang memadai, struktur manajemen perubahan yang efektif, dukungan kapasitas teknologi informasi dan sistem informasi yang memadai, serta dan dukungan legislatif Kata kunci: akuntansi pemerintah berbasis akrual, pra-kondisi, langkah-langkah implementasi, entitas pelaporan Accrual accounting is not "an end in itself, but rather, as a means of shifting the emphasis of the budgetary process away from cash inputs, towards outputs and outcomes, in the hope that this will result in greater management efficiencies, and hence, better outcomes for Governments and the communities they serve" (Carlin and Guthrie, 2000)
PENDAHULUAN Perubahan basis akuntansi dari basis kas menjadi basis akrual diharapkan mampu memberikan manfaat terkait dengan informasi penentuan cost dalam rangka program penghematan (cost saving) maupun informasi atas aset sehingga mampu memberikan informasi akurat terkait peningkatan pendapatan (revenue generating). Implementasi akuntansi berbasis akrual diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas,
kesinambungan,
memberikan dasar
pengukuran yang lebih baik terkait dampak kebijakan pemerintah, meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasional dan mendorong peningkatan integritas.
79
Selanjutnya, informasi yang dihasilkan akan lebih relevan terkait kebijakan ekonomi makro, khususnya kebijakan fiskal. Kerangka kerja akuntansi berbasis akrual menjadi sangat penting untuk menentukan kos total (full cost) aktivitas pemerintah secara sistematik yang pada akhirnya berperan penting dalam pencapaian kerangka kerja manajemen kinerja sektor publik yang lebih efisien dan efektif. PRA-KONDISI TERKAIT PENERAPAN APBA Secara umum, implementasi APBA dapat menjadi salah satu faktor pendukung dalam menghasilkan perubahan perilaku para pengambil keputusan. Namun, beragam manfaat positif yang didapat dari implementasi APBA dapat diraih saja perubahan tersebut juga meliputi berbagai aspek lain termasuk accrual budgeting (Khan dan Meyer, 2009). Sifat dan kecepatan dari penerapan basis akrual tergantung pada sejumlah faktor. Oleh karena itu, isu-isu pada masa transisi menuju implementasi basis akrual harus diidentifikasi secara komprehensif dan dikaji secara mendalam, sebab perubahan tersebut bukan sekadar perubahan teknis akuntansi akan tetapi mempengaruhi sejumlah faktor lainnya yang harus dipersiapkan. Isu-isu tersebut antara lain:
Apakah penggunaan basis akrual hanya untuk pelaporan keuangan atau diterapkan dalam reformasi yang lebih luas, misalnya dalam penganggaran.
Apakah penerapan basis akrual akan dilakukan secara top-down atau bottom-up. Bila diterapkan secara top-down biasanya penerapan basis akrual dilakukan secara mandatory (wajib) untuk semua entitas dalam rentang waktu (time frame) yang pasti dan seragam. Sedangkan bila diterapkan secara bottom-up, harus dilakukan pilot project terlebih dahulu pada entitas tertentu, untuk meyakinkan bahwa basis akrual dapat dilaksanakan dengan baik. Penerapan akuntansi akrual dalam jangka waktu pendek (1-3 tahun) akan berisiko timbulnya ’reform fatigue’ yaitu hilangnya semangat dan antusiasme para penyelenggara akuntansi karena merasa lelah dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus tanpa merasakan manfaatnya secara langsung. Untuk mengatasi risiko itu disarankan agar penerapan basis akrual dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu medium (4-6 tahun), dengan cara: o Terapkan pada beberapa entitas akuntansi tertentu di Pemerintah Pusat yang sudah dianggap mapan dalam proses akuntansi, sebagai pilot project;
80
o apabila pilot project sudah berhasil, maka pengalaman praktik akuntansi akrual ini dapat ditransfer dan digunakan untuk bahan sosialisasi ke instansi-instansi pemerintah lain.
Komitmen di level politik untuk menerapkan akuntansi akrual.
Kapasitas dan keahlian orang-orang yang terkait dan/atau bertanggung jawab dengan adanya perubahan tersebut.
Peraturan Perundang-undangan terkait pengelolaan keuangan negara yang ada.
Standar akuntansi yang sedang berjalan dan persiapan perubahannya;
Sistem (teknologi) informasi yang sedang berjalan dan persiapan perubahannya.
Kelengkapan dan keakuratan informasi keuangan yang ada, terutama informasi tentang aset dan kewajiban (utang).
Khan dan Mayes (2009) dalam ”Transition to Accrual Accounting” menyimpulkan beberapa isu terkait dengan penerapan basis akrual, yaitu: 1. Perumusan kebijakan akuntansi. Basis kas hanya mencatat transaksi penerimaan dan pembayaran kas, relatif akan mudah dioperasikan. Pengakuan dan pengukuran/penilaian atas transaksi yang semakin kompleks menyebabkan persyaratan kemampuan teknis dan judgment lebih tinggi karena mengandung risiko kesalahan dan salah saji yang tinggi. Isu utama adalah bahwa pemerintah perlu fokus pada kebijakan akuntansi yang paling tepat dan konsisten dengan standar akuntansinya. 2. Kesenjangan/gap dengan standar internasional. Standar akuntansi pemerintah internasional yang diterbitkan oleh The International Public Sector Accounting Standards Board (IPSASB) dirancang untuk memfasilitasi penerapan umum pelaporan keuangan pemerintah yang dapat diperbandingkan secara internasional. 3. Informasi kas dalam kerangka kerja akrual. Penerapan basis akuntansi akrual bukan berarti menghilangkan basis kas, tetapi pengelolaan kas merupakan bagian yang integral dari kerangka manajemen keuangan berbasis akrual. Basis akrual yang modern mempunyai fungsi-fungsi untuk mendukung basis akuntansi dan pelaporan secara kas.
81
4. Sinkronisasi antara akuntansi akrual dengan anggaran Banyak pakar berpendapat bahwa konsep akuntansi dan anggaran harus disamakan agar terdapat basis yang jelas dan transparan dalam pembandingan antara apa yang direncanakan dan hasil aktual. Akuntansi berkaitan dengan pelaporan transaksi ex-post, sementara anggaran merupakan perencanaan ex-ante dalam basis akrual. Secara teknik, pemerintah dapat saja menerapkan basis akuntansi akrual tanpa mengubah kerangka penganggaran berbasis kas, sehingga dalam pelaporan akuntansi berbasis akrual, pertanggungjawaban anggaran berbasis kas akan tetap disusun. Sebagai contoh, negara seperti Amerika Serikat menerapkan pelaporan keuangan/akuntansi berbasis akrual tanpa mengadopsi pola penganggaran berbasis akrual, sementara Selandia Baru menerapkan basis akrual secara simultan pada akuntansi dan penganggaran. 5. Klasifikasi anggaran dan akun standar. Apabila pemerintah menerapkan basis akrual pada akuntansi dan anggaran secara simultan, akun standar dan klasifikasi anggaran sebaiknya disamakan; namun jika pemerintah menerapkan basis akrual hanya pada akuntansi saja akan ada perbedaan antara akun standar dan klasifikasi anggaran. 6. Neraca awal. Neraca awal dari penerapan basis akrual harus didukung dengan informasi dan pengungkapan memadai untuk kepentingan audit. 7. Proses keuangan yang tersentralisasi atau terdesentralisasi Pertimbangan proses keuangan sentralisasi atau desentralisasi menyangkut apakah tingkat kementerian atau satuan kerja disyaratkan melaporkan secara harian operasinya atau tidak. Pemerintah perlu menilai skala dan kompleksitas transaksi yang tercakup dalam identifikasi dan pengukuran atas transaksi akun basis akrual. Untuk negara berkembang, kendala kapasitas seperti itu tidak mungkin dicapai dalam jangka pendek. 8. Konsolidasi Baik pola sentralisasi atau desentralisasi pelaporan pemerintah, konsolidasi laporan secara keseluruhan tetap merupakan titik penting sehingga identifikasi akun entitas untuk kepentingan eliminasi dapat dilakukan.
82
LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI APBA Asian Development Bank (dalam Widjajarso) memberikan rekomendasi implementasi APBA, yaitu: 1. Kehati-hatian dalam memilih strategi implementasi Terdapat dua model utama dalam penerapan akrual basis yakni model langsug (big bang) dan model bertahap (gradual). Pendekatan model big bang dilakukan dalam jangka waktu yang sangat singkat. Keuntungan pendekatan ini adalah mendukung terjadinya perubahan budaya organisasi, cepat dan dapat menghindari risiko kepentingan, namun mengandung kelemahan, seperti beban kerja tinggi, ketiadaan waktu untuk menyelesaikan masalah yang timbul, dan komitmen politik yang mungkin bisa berubah. Contoh sukses penerapan adalah di Selandia Baru yang didukung tiga faktor yakni adanya krisis fiskal, dukungan politisi, dan adanya reformasi birokrasi yang memberikan fleksibiltas kepada SDM. Alternatif lain yakni pendekatan bertahap, seperti pelaksanaan di pemerintah federal Amerika Serikat. Keuntungan pendekatan ini adalah antisipasi permasalahan yang mungkin timbul dan cara penyelesaiannya selama masa transisi, basis kas masih dapat dilakukan secara paralel untuk mengurangi risiko kegagalan. Sedangkan kelemahannya adalah akan membutuhkan banyak SDM, perubahan budaya organisasi tidak terjadi, dan hilangnya momentum penerapan basis akrual. 2. Komitmen politik merupakan salah satu kunci penting. Komitmen politik dalam penerapan basis akrual bagi negara berkembang menjadi sangat esensial, sehingga komitmen politik ini diperlukan untuk menghilangkan adanya kepentingan yang tidak sejalan. 3. Tujuan yang ingin dicapai harus dikomunikasikan Hasil dan manfaat yang ingin dicapai dengan penerapan basis akrual harus secara intens dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. 4. Perlunya tenaga akuntan yang andal. Tenaga akuntan yang profesional akan sangat diperlukan didukung pola rekrutmen yang sesuai dan pelatihan yang cukup. 5. Sistem informasi akuntansi harus memadai Informasi akuntansi berbasis kas merupakan titik penting dalam perubahan ke basis akrual. Jika suatu negara belum memiliki sistem akuntansi berbasis kas yang dapat diandalkan,
83
maka negara tersebut terlebih dahulu berkonsentrasi pada peningkatan sistem dan proses yang ada, sebelum mempertimbangkan perpindahan ke akuntansi akrual. 6. Badan audit tertinggi harus memiliki sumber daya yang tepat Badan Audit memegang kunci yang sangat penting dalam penerapan basis akrual baik sebagai mitra maupun sebagai reviewer proses pelaksanaan dan hasil yang akan diperoleh. 7. Penerapan basis akrual harus merupakan bagian dari reformasi birokrasi Penerapan basis akrual tidak boleh hanya dilihat sebagai masalah teknik akuntansi saja, tetapi penerapan ini membutuhkan perubahan budaya organisasi dan harus merupakan bagian dari reformasi birokrasi secara menyeluruh. Informasi yang dihasilkan dengan basis akrual akan menjadi berharga dan sukses apabila informasi yang dihasilkan digunakan untuk dasar membuat kebijakan publik yang semakin baik. Perubahan ini tidak secara otomatis terjadi, tapi perlu secara aktif dipromosikan secara kontinyu. Khan and Mayes (2009) mendiskusikan kemungkinan rangkaian implementasi akuntansi akrual termasuk pelaporan keuangan periodik disesuaikan dengan tingkat entitas (line-entities) maupun pemerintah secara keseluruhan. Salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan pada tahap awal adalah berfokus pada aset-aset keuangan dan kewajiban-kewajiban keuangan yang cenderung lebih mudah untuk diukur. IMPLIKASI PENERAPAN APBA Penerapan APBA di atas memiliki implikasi antara lain: 1. Perubahan kebijakan akuntansi perlu dibuat secara retroaktif dengan menerbitkan kembali informasi keuangan yang terdahulu sebagai akibat dari perubahan-perubahan kebijakan akuntansi. 2. Surplus anggaran adalah selisih antara pendapatan dan beban (bukan belanja) 3. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari kebijakan akuntansi memang harus direviu oleh Badan Audit. Transisi menuju akuntansi berbasis akrual merupakan mandat perundang-undangan sehingga menjadi proyek utama pemerintah yang membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang matang. Transisi akan berjalan dengan lancar dan lebih cepat apabila mencakup beberapa hal di bawah:
84
1. Mandat yang jelas Terdapat sebuah kebutuhan akan mandat yang jelas dari tingkat kepemerintahan yang sesuai terkait seberapa jauh reformasi keuangan akan dilakukan, jangka waktu yang diharapkan dan lembaga otoritas pemerintah yang akan menginisiasi perubahan sekaligus pihak yang akan bertanggung jawab sebagai pengawas perubahan 2. Komitmen politik Komitmen politik dari berbagai lembaga pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat umumnya dibutuhkan untuk mengawal perubahan pada tahap-tahap awal sekaligus tetap mendukung apabila perubahan tersebut menemui hambatan pada saat pelaksanaan 3. Komitmen pemerintah pusat dan pimpinan kunci Komitmen pemerintah dan pimpinan lembaga pemerintahan dibutuhkan karena perubahan basis akuntansi dan reformasi keuangan melibatkan perubahan pada struktur kekuasaan (power structure). Pimpinan kunci diharapkan dapat menjadi garda depan perubahan sekaligus menjadi pihak yang ‘meluruskan’ jika pelaksanaan perubahan melenceng dari sasaran awal. 4. Sumber daya yang memadai (SDM dan keuangan) Beragam keterampilan dibutuhkan untuk mengelola dan melmelihara akuntansi berbasis akrual. Identifikasi jenis keterampilan yang dibutuhkan dan perencanaan pengembangan SDM dapat dilihat pada bab sebelumnya. 5. Struktur manajemen proyek yang efektif Manajemen proyek pada umumnya memecah proyek ke dalam komponen terpisah sehingga dapat dikelola oleh para individu dengan keterampilan dan pengalaman sesuai. Sebuah proyek reformasi seyogyanya memiliki: a) Dokumen kerangka kerja (filosofi) b) Rencana Implementasi formal c) Deskripsi tugas dan tanggung jawab yang jelas d) Indikator Kinerja/Tonggak penting proyek termasuk prosedur pemantauan kinerja entitas dan individu e) Proses pengesahan f) Mekanisme koordinasi dan komunikasi formal g) Informasi terkait kos/biaya proyek terkait
85
6. Dukungan kapasitas teknologi dan sistem informasi yang memadai Adopsi pelaporan keuangan berbasis akrual bersama reformasi di bidang sektor publik lain sering melibatkan perubahan pada skala sistem informasi 7. Dukungan pihak legislatif Dukungan legislatif khususnya terkait proses pengesahan perundang-undangan memiliki beberapa manfaat antara lain kuatnya dukungan DPR atas kebijakan perubahan yang diambil pemerintah SIMPULAN Berdasarkan bahasan-bahasan di atas, simpulan yang dapat diambil antara lain: 1. Basis akrual akan memberikan gambaran informasi yang lebih utuh, akurat, transparan dan lebih bermanfaat, misalnya informasi biaya terkait aktivitas pemerintah dan proses pengambilan keputusan pemerintah maupun stakeholders lain. 2. Proses implementasi APBA perlu dirancang secara hati-hati karena mempunyai implikasi yang tidak dapat dihindari, misal terkait proses penganggaran. Pendekatan penerapan yang bersifat total dan segera perlu dilakukan agar tidak kehilangan momentum perubahan dari basis kas ke basis akrual. 3. Terdapat opsi terkait perubahan basis penganggaran dari basis kas ke basis akrual karena perubahan tersebut tidak serta merta harus diterapkan dalam mengaplikasikan basis akuntansi akrual. 4. Beberapa implikasi atas implementasi APBA mencakup mandat yang jelas, komitmen politik, komitmen pemerintah dan pejabat kunci, sumber daya yang memadai yaitu SDM yang kompeten dan unsur keuangan, struktur manajemen perubahan yang efektif, dukungan kapasitas teknologi informasi dan sistem informasi yang memadai, dan dukungan legislatif REFERENSI Halim, Abdul, dan Syam Kusufi, 2012, Teori, Konsep dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah, Salemba Empat, Jakarta International Public Sector Accounting Standard Board, 2011, Transition to the Accrual Basis of Accounting: Guidance for Public Sector Entities, Study 14, 3rd Edition, IFAC, New
86
York, USA Kahn, Abdul & Stephen Mayers, 2009, Transition To Accrual Accounting, Technical Notes And Manuals, International Monetary Fund Mulyana, Budi, Penggunaan Akuntansi Akrual di Negara-negara Lain: tren Negara-Negara Anggota
OECD,
kumpulan
file
akuntansi
pemerintahan,
http://sutaryofe.staff.uns.ac.id/files/2011/10/Akuntansi-berbasis-akrual.pdf, diakses 20 Januari 2014 Widjajarso, Bambang, Penerapan Basis Akrual Pada Akuntansi Pemerintah Indonesia: Sebuah Kajian
Pendahuluan,
kumpulan
file
akuntansi
pemerintahan,
http://sutaryofe.staff.uns.ac.id/files/2011/10/Akuntansi-berbasis-akrual.pdf, diakses 20 Januari 2014
87
AKUNTANSI AKRUAL DI SEKTOR PUBLIK DAN ISU-ISU DISEPUTARNYA Ratna Ayu Damayanti Universitas Hasanuddin I believe accounting is not an end in itself, but an information tool to enhance [...] the sustainability of budgetary policies, performance measurement and the transparency of the State’s financial position. These precepts need to guide accounting choices and should not become the exclusive preserve of technicians. - Florence Parly, French Budget Minister
PENDAHULUAN Selama satu dekade terakhir, seiring dengan perkembangan waktu, semakin banyak organisasi pemerintahan di belahan dunia ini yang menerapkan sistem akuntansi akrual dalam pelaporan keuangan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu reformasi mendasar dari arsitektur manajemen keuangan pemerintahan. Fenomena ini, kemudian, banyak diperdebatkan baik dalam lingkungan manajemen publik itu sendiri maupun dalam berbagai literatur akademik, di mana perdebatan tersebut lebih terfokus kepada hal-hal yang teknis. Sejumlah bukti empiris juga menunjukkan bahwa akuntansi akrual dan pelaporan keuangan yang diterapkan pada organisasi sektor publik telah memberikan suasana baru bagi penelitian dalam bidang ini. Oleh karena itu, berkaitan dengan perkembangan tersebut, tulisan ini membahas perdebatan berkaitan dengan penerapan akuntansi akrual dan pelaporan keuangan di sektor publik, membahas pandangan para ahli yang membingkai pendekatan dalam perdebatan tersebut, dan membahas dampak dari reformasi. Tulisan ini juga menunjukkan dampak positif dalam perubahan kualitas pengambilan keputusan keuangan di sektor pemerintahan, di mana penerapan akuntansi dan pelaporan keuangan akrual dapat memberikan informasi yang berkualitas terhadap beberapa keputusan kunci seperti keputusan mengenai outsourcing dan competitive tendering. Perdebatan tentang penerapan teknik akuntansi dan pelaporan keuangan akrual telah demikian menyebar selama dekade terakhir sehingga dapat diberi label sebagai “musnahnya
88
risiko ketidaktelitian”, dan perubahan terus bergerak ke arah perbaikan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan apakah teknik berbasis akrual ini harus diadopsi oleh setiap entitas dalam organisasi sektor publik?, di mana hal ini masih merupakan perdebatan dan dipertanyakan (Pallot, 1994; English et al., 2000). Masalah serupa yang juga masih menjadi perdebatan oleh beberapa kelompok kepentingan adalah penerapan secara luas basis akrual dalam manajemen keuangan dan kerangka pelaporan, misalnya di UK (Likierman, 2000), atau yang masih berada pada tahap mengumumkan untuk bergerak ke arah basis akrual, misalnya Hong Kong (Awty, 2002). Jadi, fenomena perdebatan atas penerapan akuntansi akrual di beberapa negara terjadi mulai dari saat perkenalan sampai dengan akuntansi akrual telah berlangsung. Perdebatan di atas telah membawa dampak pada perkembangan literatur tentang akuntansi akrual dan pelaporan keuangan di sektor publik selama dekade terakhir. Berkaitan dengan hal di atas, pembahasan literatur telah terpecah menjadi empat topik utama, yaitu, pertama, topik pembahasan berkaitan dengan pertanyaan mengenai keinginan atau alasan untuk memperkenalkan akuntansi akrual ke dalam organisasi sektor publik. Topik kedua, adalah anggapan bahwa adopsi akuntansi akrual sebagai sesuatu yang given (harus diterima), sehingga pembahasan mengarah pada proses pengadopsian berlangsung (Brorstrom, 1998; Ryan, 1998). Aliran ketiga dalam literatur berbicara mengenai model dan teknik implementasi akuntansi akrual. Pertanyaan yang muncul adalah apakah metodologi yang diterapkan pada organisasi sektor privat juga harus diterapkan pada organisasi sektor publik? Sementara diketahui bahwa organisasi sektor publik memiliki karakteristik yang berbeda dengan sektor privat. Oleh karena itu, dalam literatur akademik pembahasan menjadi semakin berkembang yaitu adanya alternatif lain yang diterapkan dengan menggabungkan perbedaan keduanya sehingga berkembang suatu model unik dalam ranah ruang publik? Pertanyaan-pertanyaan ini, kemudian berkembang pada tataran konseptual (Newberry, 2001) dan berkaitan dengan fenomena teknis tertentu seperti masalah perlakuan akuntansi atas aset yang bernilai budaya, ilmiah dan aset heritage di mana hal ini akan dipaparkan lebih detail pada pembahasan di bawah ini.
AKUNTANSI AKRUAL: SUATU FENOMENA BARU Akuntansi dan pelaporan keuangan berbasis akrual bukanlah sebuah hal yang baru, namun, merupakan suatu fenomena baru ketika diterapkan pada organisasi sektor publik. Misalnya, di Australia, departemen Postmaster-General telah mempersiapkan rekening komersial pada organisasinya (termasuk laporan rugi-laba dan laporan neraca) pada tahun 89
1913, dan terus menggunakan bentuk pelaporan tersebut sepanjang waktu (Standish, 1968 dikutip dalam Carlin, 2003). Namun demikian, pada waktu itu akuntansi berbasis kas masih lebih unggul dan banyak digunakan daripada akuntansi berbasis akrual dalam model akuntansi dan pelaporan keuangan pada organisasi sektor publik di seluruh dunia (OECD, 2002). Pergeseran ke arah struktur berorientasi akrual yang komprehensif atas akuntansi dan pelaporan keuangan di sektor publik mulai berlangsung di akhir 1980-an, terutama pada negara Australia dan New Zealand. Yurisdiksi terakhir merupakan negara berdaulat pertama yang sepenuhnya menerapkan akuntansi akrual pada kedua tingkatan pemerintahan baik nasional maupun lokal termasuk agensi milik pemerintah. Pada awal 1980-an, menurut informasi IFAC (1996), telah banyak organisasi pemerintah di New Zealand yang mengadopsi akuntansi akrual dalam pelaporan keuangannya. Dorongan yang paling signifikan untuk mengadopsi akuntansi akrual secara keseluruhan dalam organisasi pemerintahan adalah adanya dua peraturan perundang-undangan, yaitu State Sector Act 1988 (New Zealand) dan Public Finance Act 1989 (New Zealand). Perdebatan Akuntansi Akrual di Sektor Publik Pengenalan akuntansi berbasis akrual dan pelaporan keuangan pada berbagai tingkatan organisasi pemerintah di seluruh dunia bukanlah hasil dari sebuah gerakan yang perlahan. Namun, merupakan gerakan revolusioner di bidang sektor publik di mana terjadi pro dan kontra atas gerakan ini, bahkan penerapan akrual secara keseluruhan atau sebagian, perkembangannya telah cukup baik dan berkelanjutan sampai dengan saat ini. Contoh kecil kelompok yang mendukung gerakan ini dapat dilihat pada berbagai artikel (seperti, berbagai tulisan yang mengungkap perubahan standar akuntansi di Australia yaitu AAS 27, 29, dan 31 (AARF, 1991, 1993, 1998); Barrett, 1994; Gillibrand dan Hilton, 1998; Heald dan Georgiou, 1995; IFAC, 1994, 1996, 2002; Rowles, 1993; Talbot, 1998). Di sisi lain, terdapat beberapa contoh artikel yang mengekspresikan pandangan kritis (lihat Guthrie, 1993, 1998; Jones dan Puglisi, 1997; McCrae dan Aiken, 1994; Mellett, 1997). Literatur-literatur yang mendukung adopsi akuntansi dan pelaporan keuangan akrual di sektor publik umumnya ditandai dengan simbol keberhasilan sistem akrual di sektor privat, sementara kurangnya bukti empiris yang mendukung keberhasilan tersebut pada organisasi sektor publik (Potter, 1999). Beberapa isu muncul seiring dengan berjalannya pekerjaan adopsi ini. Pada tingkat yang paling sederhana, beberapa literatur membenarkan penerapan akuntansi akrual atas dasar tingkat kepercayaan atas informasi yang diberikan (OECD, 1993). Penulis lain membenarkan pernyataan tersebut dengan berpendapat
90
bahwa organisasi sektor publik seharusnya mengadopsi akuntansi dan pelaporan akrual dengan mengacu pada pernyataan bahwa sistem pelaporan berbasis akrual memiliki keunggulan dibandingkan dengan alternatif sistem lainnya (Mellor, 1996). Apabila diamati dari beberapa artikel, maka hasil karya pengadopsian ini lebih mirip sebagai harmonisasi daripada sebuah keseriusan prinsip. Hal ini disebabkan karena sistem akuntansi akrual dipandang sebagai “sesuatu yang baik” dalam manajemen publik dan pelaksanaannya atas dasar perasaan bukan dari suatu pemikiran yang matang (Carlin, 2003). Dengan demikian, pengadopsian ini merupakan suatu panggilan untuk bertindak, sehingga pernyataan yang muncul adalah “mengapa” organisasi sektor publik mengadopsi struktur pelaporan model baru, dan bukan sebuah penjelasan mengenai “bagaimana” pengadopsian ini harus dijalankan ke dalam bentuk praktis, atau pun penjelasan mengenai “apa” dampak yang akan diperoleh apabila implementasi telah dilaksanakan. Pada tingkatan yang lebih luas, tiga argumen utama berkembang dan muncul kembali dalam implementasi akuntansi akrual dan pelaporan. Hal ini untuk mengantisipasi pernyataan bahwa pengadopsian akuntansi akrual hanya merupakan struktur retorika. Pertama, adalah isu yang sering diungkapkan bahwa penerapan pelaporan berbasis akrual dapat meningkatkan transparansi, baik secara internal maupun eksternal (Denis, 1993; Micallef, 1994; Wong, 1998). Kedua, sementara isu berkaitan dengan peningkatan transparansi berkembang, ditegaskan pula bahwa peningkatan transparansi, khususnya transparansi internal dapat mendorong kinerja organisasi yang lebih luas terutama melalui peningkatan alokasi sumber daya (Ball, 1994; Likierman, 2000). Argumen ketiga, adalah organisasi yang menggunakan akuntansi berbasis akrual mampu mengidentifikasikan biaya (full cost) dari berbagai aktivitas pelayanan. Hal ini dapat membuat organisasi menjadi lebih efisien, alokasi sumber daya yang lebih baik dan peningkatan kinerja (Evans, 1995). Setiap argumen yang dikemukakan di atas merupakan sasaran kriti dari para kelompok yang kontra. Klaim yang menyatakan bahwa akuntansi akrual menawarkan transparansi yang lebih luas, karena sistem akrual memberikan kepercayaan dan objektivitas dari angka yang dihasilkan dalam laporan keuangan. Isu yang berkembang pada beberapa literatur, dalam konteks sektor privat, mengemukakan adanya kerentanan akuntansi (seperti, creative accounting) dan pelaporan keuangan berbasis akrual yang dapat membingungkan pemakai sehingga berdampak pada berkurangnya transparansi (Clarke et al., 1997; Jensen, 2001; Schilit, 2002). Di samping itu, belum ada literatur yang menjelaskan bahwa akuntansi akrual bermakna
91
pada organisasi sektor publik, dan hal ini merupakan tantangan paling mendasar bagi kelompok yang peduli dengan fenomena ini. Beberapa penulis, seperti Clarke et al. (1997), Jensen (2001), dan Schilit (2002) telah berkecimpung dengan isu tersebut ketika mereka mengkonseptualisasikan teknologi akuntansi, apakah sistem berbasis kas atau akrual, sementara penulis lain bersikap netral dan tidak berkomentar. Isu tersebut merupakan agenda mendasar yang berada di belakang dari tujuan akuntansi. Agenda ini menunjukkan bahwa transparansi mungkin saja telah berkurang baik secara langsung maupun tidak langsung, dan situasi ini dapat terlihat oleh dunia pada umumnya. Namun demikian, situasi ini tidak memberikan jawaban secara langsung kepada masalah yang sedang dihadapi, yakni, apakah pengenalan akuntansi akrual di sektor publik memiliki dampak dalam meningkatkan transparansi. Sementara, penulis lain memberikan label atas produk dari sistem pelaporan sektor publik yang berbasis akrual sebagai suatu praktik yang "menyesatkan" (Barton, 1999). Pernyataan ini tampaknya ditujukan sebagai kontra argumen pada kelompok optimis yang berpandangan bahwa pelaporan keuangan berbasis akrual dapat mendorong transparansi. Namun, apa yang menjadi argumen Barton memiliki pengaruh kecil terhadap sistem pelaporan berbasis akrual. Argumen Barton ditujukan untuk mengkritisi Australian Accounting Standard (AAS) 27 yaitu Financial Reporting by Local Governments. Pada standar tersebut dikatakan bahwa organisasi pemerintah daerah menilai tanah yang digunakan sebagai jalan menurut persepsi mereka (pemerintah), kemudian melakukan penilaian dan identifikasi aset tersebut untuk setiap periode pelaporan keuangan. Jadi, pada dasarnya argumen yang dikemukakan Barton berkaitan dengan hal di atas, dan bukan pada penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di sektor publik, oleh karenanya tidak berhubungan dengan tingkat transparansi pemerintah. Pengamatan serupa dilakukan oleh Walker et al. (1999, 2000) yang merupakan kontribusi terbaru dengan mengkritisi penggunaan akuntansi biaya saat ini (current cost) pada GTEs. Kritik mereka menunjukkan adanya penurunan kemampuan penyediaan informasi yang dihasilkan dalam rangka pengambilan keputusan. Sekali lagi, kritik utama bukan pada akuntansi dan pelaporan berbasis akrual pada organisasi pemerintahan umumnya, melainkan, tentang aspek teknis tertentu atas implementasinya. Jadi, ungkapan yang menyatakan bahwa basis akrual di sektor publik hanya sebuah retorika belaka telah diabaikan selama hampir satu dekade.
92
Hal yang sama juga terjadi pada argumen “transparansi” yang dikaitkan dengan perbaikan kinerja organisasi, di mana sangat sedikit dukungan empiris. Sementara terdapat sejumlah literatur yang signifikan membicarakan isu berkaitan dengan sistem dan tehnik pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik (Bowerman dan Humprhey, 2001; Neale dan Pallot, 2001; Walker, 2001). Di sisi lain, literatur yang secara kritis dan empiris membahas dugaan hubungan antara penerapan akuntansi dan pelaporan berbasis akrual dengan peningkatan kinerja di sektor publik, pada umumnya belum tampak. Sangat terbatasnya penelitian atau pengamatan yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini (Carlin dan Guthrie, 2001). Namun demikian, terdapat sejumlah kecil tulisan publikasi yang menunjukkan bahwa biaya pelaksanaan akuntansi dan pelaporan berbasis akrual melebihi manfaat yang diterima (Jones dan Puglisi, 1997), sedangkan Mellet (2002) memberikan wawasan yang lebih mendalam atas beberapa hal meragukan yang telah dihasilkan dari penerapan teknik-teknik baru tersebut seperti akuntansi akrual. Namun secara keseluruhan, respon-respon kritis dapat diredam. Hal ini semata-mata disebabkan karena sulitnya mengumpulkan bukti empiris keterkaitan antara reformasi yang terjadi dengan perubahan kinerja dalam lingkungan yang kompleks (yaitu sektor publik). Penelitian lebih banyak didominasi oleh “ruang reformasi” (sebagai hasil dari implementasi berkelanjutan dari tehnik New Public Management) (Carlin, 2002). Kondisi ini semakin parah ketika struktur New Public Financial Management (NPFM) dan pelaporan yang dikombinasikan dengan struktur administratif baru diperkenalkan. Akibatnya, sulit untuk mengembangkan benchmarks yang memberikan informasi data tren atau membuat perbandingan cross sectional yang valid antara reformasi akuntansi akrual dan peningkatan kinerja karena terlalu banyak reformasi yang terjadi di sektor pemerintahan (Pallot, 2001). Pada akhirnya, sebagian besar "bukti" yang disebutkan di atas diabaikan dan hubungan antara akuntansi akrual di sektor publik dengan perbaikan kinerja, lebih didasarkan pada penekanan opini yang objektif dibandingkan dengan data (misalnya: Richardson, 1994). Secara efektif tanggapan kritis yang lebih dapat terukur (dibuktikan) adalah keterkaitan antara implementasi akuntansi akrual dengan perbaikan informasi dalam pengukuran biaya, yang mengarah kepada keputusan alokasi sumber daya dan kinerja yang lebih baik secara keseluruhan. Robinson (1998, 22) berpendapat bahwa saran untuk mengadopsi sistem akrual dapat meningkatkan konseptualisasi biaya atas pelayanan yang diberikan oleh sektor publik, dan hal tersebut adalah sesuatu yang masuk akal. Argumen ini dimungkinkan karena akuntansi akrual dapat menggambarkan ukuran biaya dengan menggunakan pertimbangan “full accrual 93
cost”. Konsep ini mencakup semua biaya modal dan biaya-biaya yang terkait dan sifatnya berulang, termasuk biaya penyusutan dan beberapa pengukuran biaya modal yang digunakan untuk memproduksi barang atau jasa tertentu (Robinson: 1998, 22). Hal ini berarti bahwa biaya akrual penuh digunakan dalam sistem akuntansi dan pelaporan berbasis akrual, termasuk penilaian aset (yang memasukkan perhitungan penyusutan dan biaya modal), serta biaya modal. Argumen ini, kemudian, didukung oleh penulis lain yang menunjukkan, baik secara empiris dan analitis, bahwa pilihan ini adalah pilihan terbaik, di mana pada saat itu organisasi pemerintahan menghasilkan keputusan yang berkualitas buruk atas informasi berkaitan proses investasi dan alokasi sumber daya (Carlin, 2003). Bahkan beberapa pendukung yang sangat fanatik mengatakan bahwa pengenalan sistem akuntansi akrual di sektor publik adalah suatu tindakan ideal dan hal ini merupakan argumen yang “sangat kuat” (Carlin, 2003).
Kritik Akuntansi Akrual di Sektor Publik Sebagaimana telah diungkapkan di atas, tampak bahwa jawaban normatif para pendukung akuntansi akrual dipandang relatif lemah atau belum terjawab dengan memuaskan (Carlin, 2003). Oleh karena itu, ada baiknya terlebih dahulu kita cermati pertanyaan yang berkembang di sejumlah besar literatur berkaitan dengan apa yang menjadi dasar utama pembahasan akuntansi akrual di sektor publik? Untuk itu gambaran tiga studi kasus berbeda yang bersumber dari beberapa tulisan sebagaimana yang diceritakan oleh Carlin (2003) akan memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Studi kasus pertama berfokus pada argumen yang secara terus-menerus diperdebatkan pada beberapa jurnal selama dekade terakhir, yaitu berkaitan dengan masalah akuntansi heritage (warisan) dan sejumlah aset yang serupa. Pada tahun 1981, berawal dari tulisan Robert Mautz yang mempertanyakan apakah monumen, reserves, taman, jalan, dan infrastruktur fisik dan sosial lainnya dapat dianggap sebagai kewajiban ataukah aset. Pertanyaan ini didasarkan pada pandangan bahwa adanya aliran arus kas keluar untuk memelihara dan mempertahankan aset tersebut dalam rangka memberikan layanan sepanjang waktu (Mautz, 1981). Selama hampir satu dekade, kontribusi yang ia berikan tidak dikomentari ataupun diperdebatkan dalam literatur dan hal ini membuatnya kecewa (Mautz, 1988). Selanjutnya, pada awal dekade 1990an, sekelompok kecil penulis mulai memperdebatkan dengan serius pertanyaan yang sulit untuk dijawab berkaitan dengan perlakuan akuntansi atas aset berupa heritage (warisan), budaya dan aset yang bersifat ilmiah dalam konteks sektor publik (misalnya: Pallot, 1990). Kontribusi awal kelompok kecil tersebut lebih menekankan pada perlunya untuk secara berhati-hati 94
mengevaluasi aset atas heritage, budaya dan aset ilmiah. Dalam hal ini, perlu adanya penilaian dengan menggunakan kriteria yang berbeda dari kriteria yang umumnya digunakan untuk mengukur dan mengakui aset keuangan dan fisik konvensional. Di sisi lain, berkembanglah pandangan yang kontra dengan pendapat di atas. Pandangan ini menegaskan bahwa aset-aset seperti budaya, aset ilmiah, dan heritage pada organisasi sektor privat telah lama ada dan penilaiannya dilakukan oleh organisasi kolektor aset. Organisasi ini telah melakukan penilaian atas aset-aset tersebut dengan cara yang konsisten dengan perlakuan akuntansi yang lebih konvensional. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada alasan yang merintangi untuk terus bergerak ke arah akuntansi akrual, karena hambatan atas penilaian aset dapat dikendalikan dengan menggunakan cara sektor privat (sebagaimana yang sudah terjadi di New Zealand dan saat ini dalam proses pelaksanaan di New South Wales) (Rowles, 1991). Selain itu, pendekatan penilaian juga telah menjadi bahan pembahasan dalam discussion paper yang diterbitkan oleh Australian Accounting Research Foundation pada tahun berikutnya. Namun demikian, pandangan skeptis atas penyamaan penilaian aset antara sektor privat dan publik bermunculan, kritik komprehensif atas akuntansi akrual dilakukan oleh Carnegie dan Wolnizer pada tahun 1995 (Carnegie dan Wolnizer, 1995). Mereka berpendapat bahwa secara komprehensif heritage, koleksi ilmiah dan budaya tidak memenuhi syarat untuk diakui sebagai aset. Hal ini disebabkan karena barang-barang tersebut tidak memenuhi definisi atau kriteria pengakuan atas aset yang ditetapkan dalam kerangka konseptual (Australia). Selain itu, pengakuan dan penilaian barang-barang ini dapat menjadi permasalahan karena adanya tradeoff atas biaya manfaat dengan informasi keuangan yang disediakan karena pengguna informasi tidak dapat diidentifikasi. Pada akhirnya, Carnegie dan Wolnizer (1995) berpendapat bahwa misi pemerintah sehubungan dengan aset budaya, heritage, dan ilmiah hanya sekadar mengungkapkan bahwa barang tersebut “ada” dan “menguasainya”, dan bukan mengganggap aset tersebut “sebagai kegiatan bisnis”. Akibatnya, apabila pengakuan dan penilaian aset tersebut menggunakan gaya komersial (sektor privat) maka akan menghasilkan informasi yang secara fundamental bertentangan dengan tujuan inti lembaga pemerintahan dalam kaitannya dengan penyajian laporan keuangan. Pernyataan Carnegie dan Wolnizer dengan cepat direspon oleh para pegawai pemerintahan. Mereka berpendapat bahwa pengakuan dan penilaian aset budaya, heritage dan ilmiah, tidak berhubungan dengan nilai-nilai inti dari organisasi sektor publik. Pengakuan dan penilaian aset tujuannya adalah untuk mempertahankan dan melanjutkan kelangsungan nilai dari aset-aset tersebut (Hone, 1997 dikutip dalam Carlin, 2003). Pada dasarnya, informasi atas 95
penilaian aset ini dibutuhkan (Vic PAEC, 1995 dikutip dalam Carlin, 2003), dan tidak satu pun definisi atau pengakuan aset berdasarkan kerangka konseptual menyesatkan dalam laporan keuangan entitas sektor publik, yang merupakan hasil dari penilaian dan penggabungan koleksi budaya, heritage, dan ilmiah (Micallef dan Peirson, 1997). Contoh studi kasus kedua yang menjadi pembahasan dalam berbagai literatur adalah pertanyaan mengenai sesuaikah kerangka konseptual akuntansi sektor privat untuk tujuan pelaporan keuangan ditransfer tanpa modifikasi ke organisasi sektor publik? Asal-usul dari perdebatan ini dapat ditelusuri kembali ke dekade akhir 1970-an (Anthony, 1978 dikutip dalam Carlin, 2003), dan sejumlah literatur yang signifikan membahas pertanyaan di atas yang diterbitkan pada pertengahan 1990-an, pada akhirnya perdebatan berlanjut terus sampai dengan sekarang. Dua kelompok pemikir bergabung untuk mengemukakan gagasannya. Pandangan pemikir pertama bersandar pada pemahaman atas “netralitas sektor”, gagasan bahwa satu kerangka konseptual, dan satu organisasi saja yang mengatur akuntansi dan pelaporan di mana aturan tersebut berfungsi baik untuk sektor privat maupun publik (MacIntosh, 1999; McGreggor, 1999 ; Micallef dan Peirson, 1997). Pandangan alternatif dari pemikir berikutnya mengatakan bahwa sifat dari sektor publik sangat berbeda secara fundamental dengan sektor swasta. Kondisi ini karena pasar di mana pemerintah beroperasi berbeda, tujuan berbeda, dan sifat dari aset dan kewajiban pemerintah yang berbeda apabila dibandingkan dengan sektor swasta. Oleh karena itu, seperangkat peraturan yang berbeda pun seharusnya diterapkan untuk mengatur akuntansi dan pelaporan keuangan baik di sektor publik maupun di sektor privat (Barton, 1999, 2002; Carnegie dan Wolnizer, 1999). Sebagaimana perdebatan tentang aset heritage, aset budaya dan ilmiah yang diulas di atas, perdebatan mengenai kerangka konseptual sektor publik juga menunjukkan tanda-tanda perseteruan yang sengit (Barton, 2002), tanpa adanya pemecahan sedikit pun. Gambaran studi kasus ketiga adalah perseteruan berkaitan dengan akrual sebagai alat retorika. Kumpulan tulisan yang menentang pendapat bahwa pengenalan akuntansi akrual sektor privat ke dalam sektor publik sebagian besar karena alasan raison d'etre di mana akuntansi sektor privat secara fundamental berbeda dengan akuntansi sektor publik dan keduanya tidak dapat dipertemukan. Penulis yang mengadopsi argumentasi ini menunjukkan bahwa fokus utama akuntansi sektor privat yaitu, profitabilitas, solvabilitas dan struktur modal, di mana fokus ini tidak relevan dalam setting organisasi publik (Aiken dan Capitanio, 1995; McCrae dan Aiken, 1994; Ma dan Matthews, 1992). Ketidaksesuaian mendasar dari fokus utama tersebut menyebabkan teknologi dan teknik akuntansi sektor privat yang diadopsi ke 96
sektor publik yaitu akuntansi akrual hanyalah sebuah keputusan retorika belaka alih-alih sebuah kenyataan, sehingga hal ini menjadi agenda yang lebih luas dan perlu diseriusi (Guthrie, 1998). Pandangan sekilas dari tiga aliran literatur di atas menggambarkan suasana yang tidak terdamaikan dalam perdebatan mereka menyangkut akuntansi sektor publik dan pelaporan keuangan. Elemen inti dari masing-masing tingkat perdebatan berakhir tanpa penyelesaian, dan kurangnya kerangka konseptual yang mereka tawarkan untuk memahami akuntansi akrual di sektor publik dalam konteks lingkungan organisasi yang baru. Jadi, perdebatan tentang akuntansi untuk aset budaya, heritage dan ilmiah, kerangka konseptual yang tepat, dan implementasi retorika vs kenyataan, belum menghasilkan suatu titik temu yang material dalam memahami pengaruh sistem akuntansi akrual di organisasi sektor publik. AKUNTANSI AKRUAL DAN KERANGKA KONSEPTUAL Bagian ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan kontribusi yang dibuat oleh literatur sebelumnya. Yaitu perdebatan tentang kerangka konseptual, sifat aset dan kewajiban sektor publik, ketidaksesuaian antara tujuan dan sasaran organisasi sektor publik dan metode mereka mengadopsi prinsip keuangan. Saat ini berbagai penelitian telah dilakukan yang menunjukkan dampak dari manajemen keuangan baru yang diterapkan di sektor publik, mereka memperlihatkan adanya kemiripan dengan manajemen perusahaan komersial dalam hal sistem pelaporan, meskipun perbedaan mendasar tetap ada (Newberry, 2001; Newberry, 2002). Akuntansi berbasis kas dan akrual merupakan dua titik akhir pada spektrum basis akuntansi dan penganggaran. Di satu pihak basis kas secara tradisional telah diterapkan oleh negara-negara anggota OECD untuk kegiatan sektor publik mereka. Di pihak lain, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi tren utama menuju akrual. Sekitar setengah dari negaranegara yang telah menerapkan basis akrual, mengadopsi akrual sebagai sebuah status. Temuan studi pada umumnya menyatakan bahwa pengunaan akuntansi akrual untuk pelaporan keuangan lebih besar daripada untuk tujuan penganggaran. Hal ini menjadi gambaran bahwa beberapa negara sedang bermigrasi ke penganggaran akrual. Dua alasan yang paling sering dikutip untuk hal ini yaitu, pertama, anggaran akrual diyakini mempunyai risiko atas kebijakan anggaran. Keputusan politik berkaitan dengan pengeluaran uang, harus disesuaikan dengan anggaran saat dilaporkan. Hanya pendekatan akuntansi berbasis kas yang mengakomodasi kebutuhan tersebut. Selain itu, berdasarkan basis akrual proyek-proyek modal besar, misalnya, dengan alokasi beban penyusutan yang sesuai dan dilaporkan dapat menimbulkan ketakutan bahwa penyusutan dapat meningkatkan pengeluaran atas proyek-
97
proyek tersebut. Kedua, agak bertentangan dengan alasan pertama, legislatif sering menunjukkan resistensi terhadap penerapan penganggaran akrual. Resistensi ini sering disebabkan oleh rumitnya basis akrual. Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa legislatif di negara-negara yang telah mengadopsi penganggaran akrual umumnya memiliki peran yang relatif lemah dalam proses anggaran. Inti permasalahannya adalah penerapan akrual yang hanya untuk pelaporan keuangan dan tidak untuk anggaran tidaklah dipandang sebagai masalah yang serius. Padahal anggaran adalah dokumen manajemen kunci di sektor publik dan akuntabilitas didasarkan pada pelaksanaan anggaran yang disetujui oleh legislatif. Jika anggaran dilaksanakan dengan basis kas, padahal anggaran adalah dasar yang penting bagi politisi dan pegawai pemerintahan dalam melaksanakan manajemen strategi di pemerintahan, maka kedua pihak tidak akan mendapatkan informasi penting dalam membuat keputusan-keputusan manajemen. Oleh karena itu, risiko yang terjadi adalah pelaporan keuangan yang menggunakan basis akrual hanya menjadi sekadar latihan teknis murni akuntansi (Blondal, 2003). Meskipun kekhawatiran di atas terjadi, faktanya semakin banyak negara mengadopsi akrual hanya untuk pelaporan keuangan mereka. Hal ini biasanya berlangsung pada kementerian dan lembaga individual yang menjadi pionir dalam mengadopsi akrual untuk pelaporan mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak kementerian dan lembaga mengadopsi akrual, dan kemudian laporan keuangan untuk seluruh pemerintah disajikan secara akrual. Tujuan pelaporan keuangan berbasis akrual adalah untuk membuat biaya penyelenggaraan pemerintahan lebih transparan. Misalnya, dengan menghubungkan biaya pensiun pegawai pemerintahan selama periode waktu bekerja dengan hak yang didapatkan setelah pensiun. Selain itu, utang pemerintah yang luar biasa besarnya dapat dirancang sedemikian rupa, sehingga semua pengeluaran bunga yang dibayarkan sekaligus pada akhir pinjaman akan teralokasi sepanjang tahun-tahun pinjaman berlangsung. Tujuan lebih lanjut alasan mengadopsi akrual adalah untuk meningkatkan pengambilan keputusan dalam pemerintahan dengan menggunakan informasi yang lebih akurat. Hal ini perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. Negara-negara yang telah mengadopsi akrual, umumnya, berada di garis depan reformasi manajemen publik. Reformasi ini bertujuan untuk menjamin pimpinan yang bertanggung jawab atas hasil dan/atau output sekaligus mengurangi fokus kendali pada input. Dalam konteks ini, diharapkan para pimpinan bertanggung jawab atas semua biaya yang terkait dengan hasil dan/atau output yang dihasilkan, bukan hanya fokus pada pengeluaran uang tunai. Hanya akuntansi akrual yang memungkinkan untuk mencatat 98
semua biaya-biaya tersebut, sehingga mendukung proses pengambilan keputusan yang efektif dan efisien oleh pimpinan. Singkatnya, ketika para pimpinan diberikan fleksibilitas untuk mengelola sumber daya mereka sendiri (input), mereka memiliki informasi yang diperlukan untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, penerapan akrual merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi yang lebih luas. Penggunaan akrual untuk pelaporan keuangan akan menjadi lebih sukses di negara-negara yang telah secara signifikan mengurangi fokus kendali atas input. Sejumlah masalah muncul ketika beralih ke akuntansi akrual. Pertama, pemerintah memiliki beberapa jenis aset dan kewajiban yang tidak ada di sektor privat. Kedua, setelah memutuskan untuk pindah ke akrual, keputusan itu harus dibuat berkaitan dengan metode penilaian yang akan digunakan, yaitu biaya historis (historical cost) atau biaya saat ini (current cost). Ketiga, isu yang berkaitan dengan penentuan standar akuntansi akrual, karena standar akuntansi internasional sedang dikembangkan. ISU- ISU TERBARU TENTANG AKUNTANSI AKRUAL DI SEKTOR PUBLIK Sejumlah isu pengakuan muncul ketika akuntansi akrual diterapkan pada sektor publik. Hal ini disebabkan beberapa jenis aset dan kewajiban sama sekali tidak ada di sektor privat, termasuk aset warisan (heritage), aset militer, aset infrastruktur dan program asuransi sosial. 1. Heritage Assets Aset warisan termasuk bangunan bersejarah, monumen dan situs arkeologi, museum, galeri dan koleksi arsip. Isu-isu yang terkait dengan pengakuan aset tersebut umumnya tidak terlalu signifikan berdampak pada keuangan fiskal secara keseluruhan. Hal ini umumnya dimulai dari fakta bahwa akrual dipandang oleh beberapa orang sebagai penetapan "nilai pasar" pada sesuatu yang nilainya secara inheren budaya dan tidak moneter. Dari sudut pandang yang lebih teknis, aset warisan sangat berbeda dari jenis lain aset. Mereka memiliki siklus hidup yang sangat panjang, umumnya, diukur dalam ratusan tahun. Nilai mereka tidak berkurang dari waktu ke waktu karena keausan (tapi bisa ada biaya pemeliharaan yang signifikan), bahkan, nilai aset tersebut cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Biaya akuisisi mereka umumnya tidak dikenal dan dalam banyak kasus sama sekali tidak relevan untuk tujuan penilaian berdasarkan nilai pasar. Akuisisi aset mungkin terjadi melalui cara-cara non-orthodox, seperti yang disesuaikan selama perang. Aset umumnya tidak
99
berharga dalam arti apapun, karena penjualan mereka umumnya dilarang oleh hukum. Dan, menurut sifatnya, mereka tidak memiliki nilai penggantian. Mendefinisikan apa yang merupakan aset warisan seringkali cukup sulit. Lebih kompleks lagi ketika bangunan bersejarah memiliki kegunaan ganda: misalnya, kantor-kantor pemerintah yang terletak di istana sejarah. Haruskah ini diperlakukan sebagai aset normal atau sebagai aset warisan? Atau haruskah aset dipisahkan sehingga bagian dari nilai bangunan dihitung sebagai aset normal dan sisanya diperlakukan sebagai aset warisan? Isi museum dan galeri adalah hal khusus lain. Beberapa negara mengambil pendekatan yang sangat komprehensif. Misalnya, New Zealand menghargai isi dari arsip nasional dengan penilaian yang diberikan oleh sebuah rumah lelang internasional. Isi galeri seni, dalam banyak hal, yang paling berharga dari semua aset warisan, karena merupakan pasar seni internasional yang hidup. Dalam praktiknya, beberapa negara melakukan penilaian khusus, sementara negara lainnya tidak. Di samping itu, ada beberapa negara yang tidak melakukannya untuk koleksi yang telah ada, tetapi melakukannya untuk akuisisi baru. 2. Military Assets Perlakuan aset militer merupakan masalah unik lainnya di sektor publik. Pandangan internasional jelas mendukung pengakuan aset militer sebagai aset lainnya. Jika mereka harus diperlakukan berbeda, maka mendefinisikan apa yang merupakan aset militer perlu diperjelas. Hal ini perlu dilakukan untuk membedakan antara aset tujuan militer bersifat umum dan aset militer bersifat khusus. Perlu pula diketahui bahwa aset ini juga rentan terhadap kerusakan dini, baik
melalui
kerugian
dalam
pertempuran
atau
karena
usang
(misalnya,
musuh
mengembangkan senjata militer yang canggih sehingga menyebabkan aset ini tidak berguna). Kriteria mendefinisikan apa yang merupakan aset militer tertentu dapat lebih diperketat. Misalnya, barang-barang pendukung (seperti angkutan militer) dapat dikapitalisasi dan disusutkan, sedangkan item tempur (seperti jet tempur) tidak akan dikapitalisasi dan disusutkan. Amerika Serikat menggunakan pendekatan di atas untuk aset militernya. Mereka sekarang telah memutuskan bahwa semua properti militer, tetap harus dikapitalisasi dan disusutkan. Mereka percaya bahwa perubahan itu secara konseptual benar dan akan membantu manajemen dalam perhitungan biaya penuh untuk memproduksi output. Hal ini juga menghindari masalah yang terkait dengan pendefinisian apa sebenarnya yang merupakan aset militer itu? Di samping itu, pandangan bahwa aset militer rentan terhadap kerusakan dini
100
karena alasan-alasan yang disebutkan di atas dapat diterima. Tapi pendekatan yang diadopsi adalah untuk depresiasi secara normal dan dicatat sebagai kerugian jika aset tersebut dihancurkan atau menjadi usang. Sejumlah isu militer khusus lainnya dapat diidentifikasi. Pertama, sulit untuk melakukan penelitian di bidang aset militer, terutama bila sistem militer baru sedang dikembangkan. Hal ini terjadi karena keengganan pihak militer untuk memberikan informasi dan juga karena mereka sering merahasiakan biaya. Kedua, militer memegang peranan tidak proporsional dari surplus aset - seperti fasilitas yang dinonaktifkan - yang dicatat sebesar nilai nihil, tetapi pada dasarnya harus diberikan nilai negatif karena biaya militer tidak bisa di publikasikan. Ketiga, penggunaan eksklusif atas aset militer yang digunakan untuk komunikasi dan penggunaan wilayah udara, di mana situasi ini membutuhkan biaya besar bagi pemerintah. Di samping itu, informasi yang diberikan memiliki nilai komersial yang besar. Timbul pertanyaan bagaimana, dan jika perlu, kedua isu terakhir dapat secara khusus diperlakukan dengan menggunakan akuntansi akrual. 3. Infrastructure Assets Aset infrastruktur adalah kategori sektor publik yang penting. Aset ini meliputi jalan raya dan aset jaringan lainnya. Aset ini sering memiliki nilai yang sangat tinggi, dan sering menjadi tanggung jawab pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (pemerintah daerah). Isu-isu utama dari aset infrastruktur yang dapat diidentifikasi dari beberapa literatur sebagaimana uraian Blondal (2003) adalah, pertama, bagaimana dampak dari umur ekonomis yang sangat panjang dalam menentukan metode penyusutan yang sesuai. Dalam konteks ini, ada contoh kasus di mana aset tersebut tidak didepresiasikan, melainkan hanya menyatakan bahwa aset tersebut dipertahankan sedemikian rupa. Kedua, isu berkaitan dengan pengakuan aset infrastruktur yang dihubungkan dengan kebutuhan untuk belanja pemeliharaan atas aset tersebut, di mana pengeluaran ini sering diabaikan oleh pihak pemerintah. Ketiga, seringkali sangat sulit untuk memperkirakan biaya akuisisi asli dari aset tersebut jika metode biaya perolehan digunakan. Hal ini baik karena usia tua dan kesulitan dalam memisahkan investasi awal dan biaya pemeliharaan. Keempat, adalah isu berkaitan dengan pemilihan metode penilaian (biaya perolehan vs nilai saat ini) memiliki dampak yang sangat tinggi atas aktiva tersebut.
101
4. Social Insurance Programmes Perlakuan program asuransi sosial, seperti program pensiun hari tua di sektor publik, adalah masalah yang sangat kontroversial di lingkungan akuntansi akrual. Hal yang perlu ditekankan di sini adalah program ini tidak merujuk pada perlakuan atas program pensiun pegawai pemerintah, tetapi program ini merupakan kewajiban kontrak di mana perlakuan atas kewajibannya harus jelas. Ada dua pemikiran tentang hal ini: mereka yang berpendapat bahwa program asuransi sosial diperlakukan sebagai kewajiban bagi pemerintah dan mereka yang berpendapat bahwa bukan sebagai kewajiban. Pada dasarnya, program-program ini merupakan kewajiban yang sangat besar bagi pemerintah di masa depan, terutama dalam keadaan jumlah populasi usia tua yang besar. Pengalaman sejarah dan politik berkaitan dengan program ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya memperlakukannya sebagai kewajiban, tetapi juga sebuah penghormatan. Walaupun pandangan ini memiliki dasar kuat, namun, tidak ada satu negara pun yang menerima konsep ini. Artinya, tidak ada kasus di mana program asuransi sosial diperlakukan sebagai kewajiban. Alasan untuk ini bermacam-macam, dan yang paling menarik adalah program ini bukan merupakan transaksi kontrak, apabila di kemudian hari pemerintah ingin mengurangi tingkat tunjangan yang dibayarkan di masa depan, maka orang-orang yang merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah dapat mengajukan ke pengadilan untuk mencari ganti rugi atas kehilangan manfaat ini. Perlu dicatat bahwa program ini merupakan transfer pendapatan yang dibiayai oleh pajak yang wajib, dan bahwa tingkat keuntungan sering berhubungan tidak langsung atau bahkan tidak proporsional dengan tingkat pajak yang sebenarnya dibayar. Intinya, secara umum dapat diterima bahwa pengalaman sejarah dan politik telah menunjukkan bahwa pemerintah menghormati "janji" mereka kepada para pensiunan. Namun, dengan jumlah populasi orang tua yang besar, reformasi diperlukan untuk menjamin keberlanjutan program ini. Kewajiban yang diakui berdasarkan tingkat manfaat saat ini, akan menghambat reformasi tersebut. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bagaimana penerapan akrual dapat berpengaruh terhadap perilaku. Pendapat kontra dari para ahli akan hal ini adalah informasi tambahan program jaminan sosial sangat dibutuhkan. Mereka berpendapat bahwa pemerintah memiliki komitmen jangka panjang yang sama pentingnya, misalnya, di bidang kesehatan dan pendidikan. Mengapa
102
program asuransi sosial yang diberikan perlakuan khusus? Hal ini menimbulkan pertanyaan konseptual mendasar tentang ruang lingkup model akuntansi. 5. Valuation issues Pendekatan tradisional untuk penilaian adalah berdasarkan harga historis. Namun demikian, terjadi gerakan yang berkembang untuk mengadopsi pendekatan harga saat ini (current cost) untuk penilaian. Secara konseptual, valuasi dengan menggunakan harga saat ini umumnya dipandang sebagai superior, namun pertimbangan praktis sering menyebabkan kelanjutan/adopsi dari pendekatan biaya historis. Namun, ada masalah terlepas dari pendekatan yang diadopsi. Pendekatan historis atas penilaian aset didasarkan pada biaya akuisisinya setelah dikurangi penyusutan. Hal ini tampak sebagai pendekatan yang lebih objektif karena didasarkan pada jumlah yang harus dibayarkan untuk aset tersebut. Selain itu, akan lebih mudah penanganannya dari sudut pandang praktis. Masalah dengan pendekatan harga historis, adalah bahwa nilai-nilai aset menjadi out-of-date, di mana nilainya semakin berkurang dengan berjalannya waktu sejak akuisisi. Masalah utama lainnya adalah inkonsistensi dalam perlakuan aset individu, baik antara entitas dan dalam entitas itu sendiri. Sebagai contoh, dua bangunan yang identik dapat dinilai sangat berbeda jika mereka dibeli pada waktu yang berbeda. Masalah selanjutnya - terutama dalam konteks sektor publik - adalah catatan tidak lengkap sehingga biaya akuisisi tidak diketahui. Valuasi dengan menggunakan nilai saat ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah di atas. Dengan sifatnya, metode ini lebih relevan, karena informasi tidak out-of-date. Karenanya, metode ini dipandang sebagai indikator yang lebih baik untuk mengetahui sumber daya yang ada dalam suatu entitas dan dasar yang lebih baik untuk mengevaluasi kinerja suatu entitas. Hal ini terutama terjadi ketika menghitung biaya yang sebenarnya dikeluarkan atas layanan yang diberikan (seperti aliran informasi dari neraca ke laporan laba-rugi dalam bentuk depresiasi). Valuasi dengan menggunakan harga saat ini juga nilainya jauh lebih besar untuk analisis ekonomi. Penggunaan metodologi valuasi saat ini sangat membutuhkan banyak pertimbangan profesional dalam membuat penilaian. Ada beberapa metodologi berbeda yang dapat digunakan dalam menerapkan valuasi berdasarkan harga saat ini, yaitu, biaya penggantian yang disusutkan, nilai penggunaan dan nilai realisasi bersih. Masing-masing metode memiliki masalah mereka sendiri. Biaya penggantian terdepresiasi mengasumsikan bahwa orang akan membeli aset yang sama di masa
103
depan dengan harga yang sama, di mana hal tersebut kemungkinan besar tidak terjadi. Sementara nilai penggunaan, metodologi ini sangat tergantung pada niat manajemen. Ketika pendekatan ini diadopsi dalam lingkungan non-kompetitif, suatu entitas dapat meningkatkan biaya sehingga arus kas dari aset bertambah. Akibatnya, nilai aset akan meningkat. Masalah dengan pendekatan nilai realisasi bersih, terjadi misalnya pada aset khusus, di mana harga pasar mungkin tidak ada atau mungkin harga tersebut tidak akurat. Kesulitan lebih lanjut dengan valuasi menggunakan harga saat ini adalah hasilnya dapat berfluktuasi secara signifikan dari tahun ke tahun, menciptakan keuntungan ketika nilai naik, tapi kerugian ketika nilai turun. Hal ini dapat memiliki dampak besar pada surplus defisit (bottom line) yang dilaporkan pemerintah. Apakah politisi bersedia untuk menerima bahwa bottom line pemerintah dapat ditentukan oleh fluktuasi seperti itu? Juga, akan berbahaya dan merusak disiplin fiskal, apabila keuntungan dari fluktuasi tersebut digunakan untuk meningkatkan pengeluaran lainnya? Padahal keuntungan tersebut bukanlah sebuah keuntungan yang nyata dalam bentuk penerimaan uang. Hal ini yang menjadi sorotan yaitu perubahan perilaku karena adopsi akuntansi akrual dan berakibat kurang baik.
ISU AKUNTANSI AKRUAL DAN PERILAKU APARATUR NEGARA Pelaksanaan akuntansi akrual dalam pemerintahan adalah perubahan yang besar, terutama jika hal itu dilakukan dengan tujuan untuk memberikan manfaat maksimal dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas kepada pengguna eksternal. Pengalaman pemerintah New Zealand, memberikan begitu banyak pelajaran baik di tingkat makro maupun mikro yang sulit untuk dibedakan secara jelas. Mungkin pelajaran yang paling penting adalah akuntansi akrual dapat diwujudkan secara penuh pada negara tersebut. Tidak ada penghalang teoritis fundamental bagi pemerintah untuk mencegah pelaksanaan akuntansi akrual. Sebaliknya, ada banyak bahan rekomendasi bagi pengembangan akuntansi akrual dalam pemerintahan saat ini, untuk diterapkan dalam konteks mendorong kinerja manajemen. Sebuah pertanyaan dapat dikemukakan berkaitan dengan penerapan akuntansi akrual yaitu apakah praktik akuntansi akrual membawa perubahan yang signifikan bagi perilaku pimpinan dan pegawai pemerintah dalam melayani kepentingan warganya? Tentu saja, untuk mengetahui hal itu perlu penelitian empiris yang harus diuji. Salah satu pendapat yang menarik diungkapkan oleh Bunea dan Cosmina (2006:2) yang menyatakan bahwa sistem akuntansi akrual tujuannya bukan untuk melayani dirinya sendiri, melainkan terciptanya perubahan 104
mentalitas dalam proses anggaran yang semula sangat kaku. Karenanya, setiap reformasi dianggap berhasil apabila membawa perubahan dalam perilaku orang-orang yang ditargetkan. Secara umum, Khan dan mayes (2009:4) berpendapat bahwa akuntansi akrual dapat membantu menghasilkan perubahan perilaku bagi para pengambil keputusan anggaran dan pimpinan. Misalnya, informasi akuntansi akrual yang diterima oleh anggota dewan dapat digunakan sebagai instrumen pengawasan dan mengevaluasi kinerja pemerintah secara komprehensif. Pertanyaan pun dapat diajukan oleh dewan kepada pemerintah berkaitan dengan alokasi penggunaan sumber daya publik termasuk aset modal, kebijakan pemerintah tentang kewajiban jangka panjang seperti pensiun. Dalam hal ini kinerja keuangan pemerintah bukan hanya sekadar realisasi program. Dengan cara ini, sistem akuntansi akrual dapat memfasilitasi perubahan sikap dan perilaku dari para aparatur karena mereka merasa diawasi dan dievaluasi secara ketat oleh dewan (legislatif), sehingga akan muncul perubahan kebijakan pemerintah yang menguntungkan masyarakat secara substansial. Pendapat ini didukung oleh Simanjuntak (2010) yang menjelaskan bahwa informasi akuntansi akrual mendorong partisipasi masyarakat dalam memantau penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, laporan keuangan yang diaudit oleh auditor menjadi milik publik. Masyarakat dapat mengakses informasi tersebut dalam rangka memantau pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam alokasi sumber daya. Masyarakat dapat memberikan masukan, pendapat atau kritik berdasarkan laporan keuangan. Lebih lanjut, Simanjuntak menjelaskan bahwa akuntansi akrual akan meminimalkan potensi korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena adanya kewajiban sistem pelaporan keuangan dan didukung oleh sistem pemeriksaan. Menurut Norman (1994, p.081), hal ini memberikan pelajaran bahwa: Accounting is important and exciting when it generates information that is used by decision makers. Conversely, without decision-makers demanding and using accrual information then the implementation effort is far less likely to succeed. Sementara itu, permintaan informasi akuntansi akrual cenderung meningkat, sesuai dengan tren reformasi administrasi manajemen publik. Dalam hal ini, pengembangan informasi akrual harus dilihat sebagai bagian integral dari reformasi ini dan bukan merupakan kegiatan mandiri. Pada tingkat operasional sejumlah pelajaran dapat diamati (Norman: 1994, par.082): 1.
Komitmen sangat penting. Hal ini memerlukan pemahaman yang jelas, bahwa akuntansi akrual tidak akan membawa manfaat pada dirinya sendiri, melainkan memberikan informasi yang bernilai tambah, dan dapat membawa manfaat pada peningkatan kualitas keputusan. Pelajarannya adalah, komitmen didasarkan pada harapan palsu tidak akan 105
memberikan hasil yang baik. Lebih baik bersikap skeptis, daripada percaya kemudian murtad. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil maksimal dibutuhkan komitmen yang kuat pada setiap tingkatan organisasi pemerintah dalam melaksanakan akuntansi akrual. Di samping itu, biaya untuk menerapkan sistem akuntansi akrual dibandingkan dengan sistem akuntansi kas relatif tidak berbeda secara signifikan. 2.
Trade-off terjadi dan karena itu diperlukan pemahaman bersama tentang tujuan utama untuk menyelesaikan trade-off. Contoh pada negara New Zealand, treasury membuat keputusan untuk tidak terlibat dalam pelatihan pimpinan bagian keuangan untuk menghindari kooptasi treasury terhadap bagian keuangan dan penerapan konsep baru (sistem akrual). Karenanya, tuntutan untuk mencapai pemahaman bersama atas tujuan utama adalah keputusan yang tepat.
3.
Mengidentifikasi dan menanggapi risiko besar dalam organisasi. Sebagai contoh, di New Zealand pengaturan meliputi spesifikasi output pemerintah, identifikasi semua aset di lingkungan organisasi, mendefinisikan pelaporan entitas pemerintah dan menghilangkan penumpukan pekerjaan pemerintahan.
4.
Memanfaatkan keuntungan dari kesuksesan yang telah dicapai oleh akuntansi akrual di sektor privat. Misalnya, dengan memanfaatkan software akuntansi berdasarkan GAAP yang telah tersedia bagi sektor privat, serta tenaga terampil dan ahli yang telah tersedia di mana ke semua unsur tersebut dapat digunakan dalam rangka mendukung reformasi manajemen keuangan di sektor publik. Pandangan lain yang menjelaskan bahwa akuntansi akrual membawa dampak
perubahan perilaku karena mendorong prinsip neoliberalisme dalam penyelenggaraan negara. Ellwood dan Newberry (2007:550) menjelaskan bahwa Inggris dan New Zealand memperlihatkan gejala dari tripod besi neo-liberal yang jelas yaitu, kebijakan moneter anti inflasi, disiplin fiskal pada tingkatan makro untuk mencapai anggaran berimbang, dan reformasi tingkatan mikro melalui liberalisasi perdagangan dan memperluas peran sektor bisnis. Upaya untuk mengurangi peran pemerintah akan konsisten dengan keinginan untuk memperluas peran sektor bisnis. Reformasi neo-liberal ini dilakukan dengan melaksanakan privatisasi pada kegiatan-kegiatan pemerintah. Privatisasi dimulai dari infrastruktur berbasis industri dengan alasan untuk mengurangi utang pemerintah. Privatisasi ini menyebabkan kegiatan ekonomi didominasi oleh sektor privat. Pada awalnya privatisasi ini ditoleransi tetapi setelah itu kebijakan privatisasi dikritik karena memperlihatkan gejala neoliberalisasi.
106
Lebih lanjut, mereka juga menjelaskan bahwa privatisasi ini didukung oleh akuntansi akrual yang dikembangkan di sektor publik Inggris dan New Zealand. Akuntansi akrual memberikan informasi terkait kinerja pemerintah yang mendorong penilaian efisiensi dan efektivitas. Informasi ini digunakan sebagai landasan untuk melakukan privatisasi jika ada kegiatan pemerintah yang dinilai tidak efektif dan efisien. Penilaian akuntansi akrual terkadang memberikan gambaran bahwa kegiatan pemerintah tidak berjalan efisien sehingga perlu dilaksanakan privatisasi dalam rangka mencari efisiensi melalui keterlibatan sektor privat. Penilaian efisiensi dan efektivitas oleh akuntansi akrual selalu dijadikan alasan yang ampuh bagi aparatur pemerintahan untuk memuluskan privatisasi. Selain itu, akuntansi akrual menyebabkan pengetatan keuangan dan penganggaran menyebabkan pengurangan layanan yang diberikan pada masyarakat. Pemerintah cenderung untuk berfokus pada laporan keuangan tetapi mengabaikan pelayanan kepada masyarakat. Akuntansi akrual yang telah dikembangkan di organisasi sektor publik ternyata memiliki dampak pada keputusan mengistimewakan, yaitu memajukan aspek privatisasi agenda neo-liberal. Apalagi dengan fakta bahwa akuntansi akrual aktif dikembangkan oleh organisasi yang erat kaitannya dengan paham neoliberalisme seperti IMF dan Worldbank. Tujuan dasar akuntansi pemerintahan seharusnya adalah perlindungan uang rakyat dan pengelolaan pemerintahan yang efisien dan efektif, bukan sebagai alat yang dijadikan alasan untuk melemahkan pemerintah melalui pengurangan peran pemerintah. KESIMPULAN Penerapan sistem baru manajemen keuangan publik (NPFM) umumnya dianggap sebagai suatu kesuksesan. Pada awal pelaksanaan terdapat ketidakpuasan dan hal ini umum terjadi bagi sekelompok orang yang status quo. Komitmen pimpinan politik dan manajemen senior yang terus berlangsung mendorong sebagian besar pimpinan sektor publik untuk menyambut dan melaksanakan perubahan. Penekanan pada biaya, serta isu berkaitan dengan keputusan dan pertimbangan akuntansi yang laporannya dapat disalahartikan, dapat mengakibatkan kegagalan pada sebagian material. Komentar ini bersumber dari survey yang digambarkan di atas terhadap pimpinan sektor publik. Selain itu, hal yang dapat disimpulkan dari tulisan di atas adalah pengenalan metode akuntansi sektor privat dinilai lebih positif dengan sedikit pandangan negatif dibandingkan bentuk lain dari perubahan sektor publik. Perubahan sistem keuangan dipandang oleh pemakai sebagai suatu disiplin yang dibutuhkan dalam rangka profesionalisme manajemen sektor publik. Di sisi lain, kelompok lainnya menganggap skeptis perubahan tersebut, karena sistem
107
baru mengidentifikasikan biaya modal, membedakan antara sistem akuntansi kas dan akrual, serta penentuan biaya overhead (biaya tidak langsung) untuk setiap unit aktivitas. Implementasi sistem baru manajemen keuangan publik dipandang berhasil pada negara New Zealand. Hal ini disebabkan karena masing-masing elemen sistem keuangan di pemerintahan memperkuat unsur-unsur lainnya dalam memberikan pendekatan yang komprehensif, seperti penerapan strategi perencanaan keuangan pemerintah, memfasilitasi pengambilan keputusan yang berkualitas bagi pimpinan sektor publik, dan memungkinkan terlaksananya pengawasan yang efektif oleh dewan (perwakilan masyarakat). DAFTAR PUSTAKA Aiken, M., dan Capitanio, C., 1995. Accrual Accounting Valuations and Accountability in Government: A Potentially Pernicious Union. Australian Journal of Public Administration. Vol. 54. No. 4: 564 – 575. Anthony, R., 1978. Financial Accounting in Nonbusiness Organisations – An Exploratory Study. Financial Accounting Standards Board. Connecticut. Australian Accounting Research Foundation (AARF), 1991. Australian Accounting Standard AAS 27: Financial Reporting by Local Governments. AARF. Melbourne. Australian Accounting Research Foundation (AARF), 1993. Australian Accounting Standard AAS 29: Financial Reporting by Government Departments. AARF. Melbourne. Australian Accounting Research Foundation (AARF), 1998. Australian Accounting Standard AAS 31: Financial Reporting by Governments. AARF. Melbourne. Awty, A., 2002. Hong Kong Moves On. Australian CPA. February: 50 – 51. Ball, I., 1994. Reinventing Government: Lessons Learned From the New Zealand Treasury. The Government Accountants Journal. Vol. 43: 19 – 25. Barrett, P., 1994. Success in Managing Accrual Accounting – More Gain than Pain. ASCPA Seminar. Canberra. Barton, A., 1999. Land Under Roads – A Financial Bonanza or Fool’s Gold?. Australian Accounting Review. Vol. 9. No. 1: 9 – 15. Barton, A., 2002. Public Sector Accounting: A Common Reporting Framework? A Rejoinder. Australian Accounting Review. Vol. 12. No.3: 41 – 45. Blondal, J.R., 2003. Accrual Accounting and Budgeting: Key Issues and Recent Developments. OECD Journal on Budgeting. Vol. 3. No. 1. ISSN 1608-7143. Bowerman, M., dan Humphrey, C., 2001. Should Non-Financial Performance Information be Audited? The Case of Public Service Agreements in UK Government. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 3: 35 – 43. Brorstrom, B., 1998. Accrual Accounting, Politics and Politicians. Financial Accountability & Management. Vol. 14. No. 4: 319 – 333. Bunea, C. B., dan Cosmina, 2006. Arguments for Introducing accrual based accounting in Public Sector. (online). (http://mpra.ub.muenchen.de/18134/I/MPRA Paper:18134). diakses 8 Desember 2012.
108
Carlin, T., dan Guthrie, J., 2001. The New Business of Government Budgeting: Reporting NonFinancial Information in Victoria. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 3: 17 – 26. Carlin, T., 2000. Measurement Challenges and Consequences in the Public Sector. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 2: 63 – 72. Carlin, T., 2002. Linkage and Legitimisation – A Decade of Public Sector Financial th
Management Reforms in Australia. Proceedings of 7 Annual Asia Pacific Decision Sciences Institute Conference. July. Bangkok. Carlin, T., 2003. Accrual Accounting & Financial Reporting in the Public Sector: Reframing the Debate. Macquarie Graduate School of Management (MGSM) Working Paper: 22. November. Carnegie, G., dan Wolnizer, P., 1995. The Financial Value of Cultural, Heritage and Scientific Collections: An Accounting Fiction. Australian Accounting Review. Vol. 5. No. 1: 31 – 47. Carnegie, G., dan Wolnizer, P., 1999. Unravelling the Rhetoric About the Financial Reporting of Public Collections as Assets. A Response to Micallef and Peirson. Australian Accounting Review. Vol. 9. No. 1: 16 – 21. Clarke, F., Dean, G., dan Oliver, K., 1997. Corporate Collapse – Regulatory, Accounting and Ethical Failure. Cambridge University Press. Cambridge. Dennis, J., 1993. Financial Reporting by the Government in Canada. CMA Magazine. November. Ellwood, S., dan Newberry, S., 2006. Public Sector accrual Accounting Institutionalising NeoLiberals Principles. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 20. No. 4: 549 – 573. English, L., Guthrie, J., dan Carlin, T., 2000. Transformation of Public Sector Financial rd
Management: Reflection on the Victorian Experience Downunder. EAA 23 Annual Congress. Munich. Germany. Evans, M., 1995. A Change for the Better?. Accountancy. Vol. 115. February: 92 – 94. Gillibrand, A., dan Hilton, B., 1998. Resource Accounting and Budgeting: Principles, Concepts and Practice – the MOD Case. Public Money & Management. Vol 18. No. 2: 21 – 28. Guthrie, J., 1993. Australian Public Sector Accounting: Transformations and Managerialism. Accounting Research Journal. Vol. 6. No. 2: 15 – 25. Guthrie, J., 1998. Application of Accrual Accounting in the Australian Public Sector – Rhetoric or Reality. Financial Accountability & Management. Vol. 14. No. 1: 1 – 19. Heald, D., dan Georgiou, G., 1995. Resource Accounting: Valuation, Consolidation and Accounting Regulation. Public Administration. Vol 73 (4): 63 – 71. International Federation of Accountants (IFAC), 1994. Implementing Accrual Accounting in Government: The New Zealand Experience. IFAC Occasional Paper 1. IFAC. New York. International Federation of Accountants (IFAC), 1996. Perspectives on Accrual Accounting. IFAC Occasional Paper 3. IFAC. New York.
109
International Federation of Accountants (IFAC), 2002. Resource Accounting – Framework of Accounting Standard Setting in the UK Central Government Sector. IFAC Occasional Paper 7. IFAC. New York. Jensen, M., 2001. Corporate Budgeting is Broke, Lets Fix It. Harvard Business Review. November. 94 – 101. Jones, S., dan Puglisi, N., 1997. The Relevance of AAS 29 to the Australian Public Sector: A Case for Doubt?. Abacus. Vol. 33. No. 1: 115 – 132. Khan, A., dan Mayes, S., 2009. Transition to Accrual Accounting. (online). (http:// http://blogpfm.imf.org/files/fad-technical-manual-2.pdf). diakses 10 Desember 2013. Likierman, A., 2000. Changes to Managerial Decision-Taking in U.K. Central Government. Management Accounting Research. Vol 11: 253 – 261. Ma, R., dan Matthews, R., 1992. What’s Wrong with ED 55. Financial Forum. November. ASCPA. Melbourne. MacIntosh, I., 1999. Public Sector Accounting Standard Setting in the Next Century. The Standard. No. 3. AAAR and AASB. Mautz, R., 1981. Financial Reporting: Should Government Emulate Business?. Journal of Accountancy. August: 53 – 60. Mautz, R., 1988. Monuments, Mistakes and Opportunities. Accounting Horizons. June: 123 – 128. McCrae, M., dan Aiken, M., 1994. AAS 29 and Public Sector Reporting: Unresolved Issues. Australian Accounting Review. Vol. 4. No. 2: 65 – 72. McGregor, W., 1999. The Pivotal Role of Accounting Concepts in the Development of Public Sector Accounting Standards. Australian Accounting Review. Vol. 9. No. 1: 3 – 8. Mellett, H., 1997. The Role of Resource Accounting in the U.K Government’s Quest for Better Accountin. Accounting and Business Research. Vol. 27. No. 2: 157 – 168. Mellett, H., 2002. The Consequences and Causes of Resource Accounting. Critical Perspectives on Accounting. Vol. 13: 231 – 254. Mellor, T., 1996. Why Governments Should Produce Balance Sheets. Australian Journal of Public Administration. Vol. 55. No. 1: 78 – 81. Micallef, F., dan Peirson G., 1997. Financial Reporting of Cultural, Heritage, Scientific and Community Collections. Australian Accounting Review. Vol. 7. No. 1: 31 – 37. Micallef, F., 1994. A New Era in Reporting by Government Departments. Australian Accountant. March: 33 – 34. Neale, A., dan Pallot, J., 2001. Frontiers of Non-Financial Performance Reporting in New Zealand. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 2: 27 – 34. Newberry, S., 2001. Public Sector Accounting: A Common Reporting Framework?. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 1: 2 – 7. Newberry, S., 2002. The Conceptual Framework Sham. Australian Accounting Review. Vol. 12. No. 3: 47 – 49. Norman, R., 1994. Re-invented Government - the New Zealand Experience. Public Sector Committee Occasional Paper 1. October. Wellington.
110
OECD, 1993. Accounting for What? The Value of Accounting to the Public Sector. Occasional Papers on Public Management. Paris. OECD, 2002. Accrual Accounting and Budgeting – Key Issues and Recent Developments. Paris. Pallot, J., 1990. The Nature of Public Assets: A Response to Mautz. Accounting Horizons. June: 79 – 85. Pallot, J., 1994. The Development of Accrual-Based Accounts for the Government of New Zealand. Advances in International Accounting. Vol. 7: 289 – 310. Pallot, J., 2001. A Decade in Review: New Zealand’s Experience With Resource Accounting and Budgeting. Financial Accountability & Management. Vol. 17. No. 4: 383 – 400. Parly, F., 2000. Accrual Accounting and Budgeting. Major International Symposium on Accrual Accounting and Budgeting. 13-14 November. Paris. Potter, B., 1999. The Power of Words: Explaining Recent Accounting Reforms in the Australian Public Sector. Accounting History. Vol. 4. No. 2: 43 – 72. Richardson, R., 1994. Opening and Balancing the Books: The New Zealand Experience. The Parliamentarian. October: 244 – 246. Robinson, M., 1998. Accrual Accounting and the Efficiency of the Core Public Sector. Financial Accountability & Management. Vol 14. No. 1: 21 – 37. Rowles, T., 1991. Infrastructure and Heritage Asset Accounting. Australian Accountant. July: 69 – 73. Rowles, T., 1993. Comment: In Defence of AAS 27. Australian Accounting Review. Vol.3. No. 2: 61 – 64. Ryan, C., 1998. The Introduction of Accrual Reporting Policy in the Australian Public Sector – An Agenda Setting Explanation. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 11. No. 5: 518 – 539. Schilit, H., 2002. Financial Shenanigans: How to Detect Accounting Gimmicks & Fraud in nd
Financial Reports. 2 Ed. McGraw-Hill. New York. Simanjuntak, B., 2010. Moving Towards Accrual Accounting. Makalah Disajikan pada Regional Public Sector Conference. 8 November. Jakarta. Talbot, C., 1998. Output and Performance: Time to Open Up the Debate. Public Money & Management. Vol. 18. No. 2: 4 – 5. Walker, R., 2001. Reporting on Service Efforts and Accomplishments on a Whole of Government Basis. Australian Accounting Review. Vol. 11. No. 3: 4 – 16. Walker, R., Clarke, F., dan Dean, G., 1999. Reporting on the State of Infrastructure by Local Government. Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 12. No. 4: 441 – 58. Walker, R., Clarke, F., dan Dean, G., 2000. Use of CCA in the Public Sector: Lessons Learned From Australia’s Experience with Public Utilities. Financial Accountability & Management. Vol. 16. No. 1: 1 – 32. Wong, S., 1998. Full Speed Ahead – How to Move Forward Full Accrual Accounting for Capital Assets. CMA Magazine. October: 18 – 22.
111
AKUNTANSI AKRUAL TERKAIT ASET TETAP (DISESUAIKAN UNTUK MEMAHAMI PP 71 TAHUN 2010) Ardianto Universitas Airlangga
KONSEP AKRUAL PADA PENCATATAN ASET TETAP Pencatatan dengan sistem akrual adalah pencatatan suatu transaksi pada saat terjadinya (dapat
berupa
pendapatan/beban/piutang/utang/pengakuan
beban
penyusutan),
bukan
didasarkan semata atas penerimaan/pengeluaran kas. Pencatatan dengan basis akrual dapat meningkatkan pengukuran kinerja suatu entitas karena terjadi penandingan yang tepat antara pendapatan dan beban. Basis akrual juga memberikan manfaat dalam menghitung beban pelayanan per unit yang lebih akurat. Penggunaan basis akrual dengan demikian tidak hanya untuk pengukuran kinerja dalam arti surplus atau defisit pada laporan operasional saja, namun juga untuk penghitungan unit cost pelayanan publik. Hal ini perlu menjadi perhatian, karena sektor pemerintahan bukanlah organisasi profit yang diukur kinerjanya semata-mata berdasar laba. Efektifitas, efisiensi dan keamanan asset adalah faktor yang penting untuk diperhatikan. Dengan penerapan basis akrual termasuk dalam hal pencatatan asset yang tercermin dari penyusutannya akan memberikan informasi beban atas pemanfaatan asset yang dikonsumsi pada periode tertentu. Hal ini akan memberikan kontribusi pada pembebanan biaya yang akurat atas pelayanan yang diberikan pada periode tersebut. Konsep akrual
memiliki implikasi penandingan yang tepat antara pendapatan dan
beban. Nilai perolehan aset tetap
tidak dapat langsung ditandingkan seluruhnya secara
langsung dengan pendapatan dalam rangka mengukur kinerja. Diperlukan alokasi sistematis sepanjang masa manfaat asset atas nilai perolehan asset tersebut setelah dikurangi dengan nilai sisa untuk menentukan bagian dari aset tetap yang dapat ditandingkan secara periodik. Alokasi ini dikenal dengan istilah penyusutan asset. Basis akrual antara lain terimplementasi dengan adanya penyusutan asset sebagaimana yang diatur dalam SAP pada PP 71 tahun 2010. Terdapat beberapa isu yang penting terkait penyusutan aset tetap di pemerintahan yang harus mendapat perhatian: 1.
Masalah estimasi masa manfaat. Bagaimana
kebijakan dalam menentukan masa manfaat asset.
Diperlukan kebijakan
akuntansi untuk menetapkan masa manfaat asset berdasarkan klasifikasi asetnya.Secara
112
konsep, seharusnya masa manfaat asset tergantung pada jangka waktu aset direncanakan digunakan.
Jika tidak ada rencana pembatasan jangka waktu pemakaian, maka
kemampuan asset tersebut member manfaat ekonomi bagi entitas menjadi dasar masa manfaat. Pada PP 71/2010 klasifikasi aset tetap adalah: a.
Tanah;
b.
Peralatan dan Mesin;
c.
Gedung dan Bangunan;
d.
Jalan, Irigasi, dan Jaringan;
e.
Aset Tetap Lainnya; dan
f.
Konstruksi dalam Pengerjaan.
Kebijakan akuntansi harus mengatur tentang bagaimana estmasi masa manfaat pada setiap klasifikasi aset tetap tersebut untuk keperluan perhitungan penyusutan aset tetap. (Kecuali tanah dan konstruksi dalam pengerjaan) tidak disusutkan, sebagaimana yang diatur pada par 57 sbb: Selain tanah dan konstruksi dalam pengerjaan, seluruh aset tetap dapat disusutkan sesuai dengan sifat dan karakteristik aset tersebut. Perlu ditelaah secara periodik apakah masa manfaat yang ditetapkan untuk penyusutan asset masih relevan atau ada perubahan. Jika ada perubahan estimasi maka perlu dilakukan penyesuaian sesuai aturan tentang perubahan estimasi dalam PSAP 10. 2.
Masalah perolehan aset tetap dan nilai yang akan disusutkan. Dalam pengelolaan aset tetap di Pemerintahan, aset tetap dicatat berdasarkan harga perolehan. Jika informasi harga perolehan tidak diketahui/didapatkan, maka dapat dicatat berdasarkan harga wajar asset yang diterima tersebut (SAP Par 24). Perolehan aset tetap telah diatur dengan jelas pada PSAP no 7 paragraf 23 PP 71 tahun 2010 lampiran I. Menurut SAP tersebut dinyatakan bahwa pada awalnya Aset tetap dicatat berdasarkan perolehannya.
Barang berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk diakui
sebagai suatu aset dan dikelompokkan sebagai aset tetap, pada awalnya harus diukur berdasarkan biaya perolehan.
Bila aset tetap diperoleh dengan tanpa nilai, biaya aset
tersebut adalah sebesar nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh. Untuk keperluan penyusunan neraca awal, biaya perolehan asset tetap adalah sebesar nilai wajar asset pada saat penyusunan saldo awal tersebut dilakukan. Untuk periode selanjutnya setelah proses berjalan, jika diperoleh asset baru, maka harus dicatat sebesar nilai perolehan atau harga wajar bila harga perolehan tidak ada.
113
Kebijakan akuntansi harus mencakup bagaimana metode dalam penilaian asset yang diperoleh tanpa nilai (misal donasi), sehingga nilai wajar asset dapat diketahui. Secara umum yang dimaksud dengan nilai wajar adalah adalah nilai tukar aset atau penyelesaian kewajiban antar fihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar. Definisi ini masih sangat umum.Diperlukan pedoman teknis dalam penentuan nilai wajar. Terkait penilaian aset, dinyatakan dalam SAP bahwa secara umum penilaian kembali aset tetap tidak diperkenankan dalam SAP. Aset tetap adalah komponen yang signifikan pada pemerintahan. Kesalahan dalam penilaian Aset sesungguhya dapat berdampak material. Dilema yang terjadi adalah jika dilakukan penilaian, maka akan menimbulkan biaya penilaian yang besar dan dapat masih tetap berisiko terhadap ketidak akuratan atas penilaiannya. Jika aset tetap tidak dinilai kembali ketika nilai sudah tidak wajar, maka sesungguhnya hal ini juga memiliki implikasi
terhadap relevansi laporan. Alternatif
solusinya adalah perlu dipertimbangkan untuk pengungkapan atas nilai wajar aset tetap jika nilai asset telah menunjukkan nilai yang tidak wajar dan nilai wajar tersebut dapat diukur dengan andal. 3.
Masalah estimasi nilai sisa asset yang akan disusutkan. Niai sisa aset sangat penting dalam menentukan besarnya nilai tersusutkan. Jika dalam menghitung besarnya penyusutan periodik tidak mempertimbangkan nilai sisa,
maka pada akhir masa manfaat nilai buku
aset akan nol. Hal ini tdaklah realistis. Sebagai ilustrasi, jika sebuah kendaraan disusutkan 5 tahun tanpa nilai sisa, maka pada akhir tahun ke lima nilai buku kendaraan akan menjadi nol. Hal ini menjadi sangat tidak realistis. Dengan memberikan nilai sisa misal pada kasus tersebut diberikan nilai sisa sebesar Rp. 30.000.000,- maka pada akhir masa manfaat masih terdapat nilai residu yang layak. (meskipun nilai ini pun masih berpotensi tidak sama dengan harga pasar saat itu, namun setidaknya lebih mendekati pada realitas nilai wajar dibanding jika sama sekali tidak memiliki nilai). Alternatif solusinya adalah dengan memberikan nilai residu pada saat menghitung formula penyusutan. 4.
Masalah manajemen aset Permasalahan manajemen aset terkait sistem pengelolaan aset daerah. Permasalahan akrual basis sesungguhnya mendorong upaya pembenahan sistem yang dapat mendukung penacatatan akrual. Sebagai contoh ketika jasa pelayanan sebuah RSUD telah dilakukan, maka pendapatan harus diakui meskipun uang belum diterima. Dalam praktik seringkali karena kendala sistem maka pengakuan pendapatan ini menunggu hasil verifikasi pihak ketiga, yang hasilnya tidak langsung diketahui pada periode yang sama. Dengan demikian 114
beban sudah terjadi periode saat ini, namun pendapatan dimungkinkan baru dicatat beberapa periode yang akan datang. Alternatif solusi perlu dilakukan analisis terhadap sistem yang berlaku, khususnya terkait pengendalian operasi dan informasi. Pengendalian operasi akan mencakup upaya melihat gap sistem yang ada dengan yang seharusnya ada. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian antara lain perlunya memastikan
efektifitas,
efisiensi dan security dari operasi. Di lain pihak pengendalian informasi memerlukan validitas dalam penginputan data aset tetap yang mencakup pula akurasi, kelengkapan, dan juga terkait pembaruan dalam data aset tetap.
Pokok Pokok Pengaturan Aset tetap Di Entitas Pemerintahan Berdasar PP 71 Tahun 2010. Terdapat perubahan akuntansi aset tetap dari PP nomor 24 tahun 2005 menjadi PP nomor 71 tahun 2010, yaitu: 1.
Perubahan penyajian perolehan aset tetap donasi dari Laporan Realisasi Anggaran ke Laporan Operasional.
2.
Perubahan nilai penyusutan dari diinvestasikan dalam aset tetap menjadi beban penyusutan dalam Laporan Operasional. Jika diringkas,
standar akuntansi pemerintahan
(PP 71 tahun 2010)
mengatur
pencatatan asset tetap sebagai berikut: 1.
Perolehan asset Aset tetap diakui pada saat manfaat ekonomi masa depan dapat diperoleh dan nilainya dapat diukur dengan handal. Untuk dapat diakui sebagai aset tetap harus dipenuhi kriteria sebagai berikut : a.
Berwujud;
b.
Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan;
c.
Biaya perolehan aset dapat diukur secara andal;
d.
Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas; dan
e.
Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan.
Apabila perolehan aset tetap memenuhi kriteria aset donasi, maka perolehan tersebut diakui sebagai pendapatan operasional (paragraph 48). 2.
Pemanfaatan asset Pengeluaran setelah perolehan awal suatu asset tetap yang memperpanjang masa manfaat atau yang kemungkinan besar memberi manfaat ekonomi di masa yang akan datang dalam 115
bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja, harus ditambahkan pada nilai
tercatat aset yang bersangkutan. Nilai penyusutan
untuk masing-masing
periode diakui sebagai pengurang nilai tercatat aset dalam neraca dan menjadi beban penyusutan dalam laporan operasional (paragraph 54). Aset tetap disajikan berdasarkan biaya perolehan aset tetap tersebut dikurangi akumulasi penyusutan.
Apabila terjadi
kondisi yang memungkinkan penilaian kembali, maka aset tetap akan disajikan dengan penyesuaian pada masing-masing akun aset tetap dan akun ekuitas. Tanah yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah tidak diperlakukan secara khusus, dan pada prinsipnya mengikuti ketentuan
seperti yang diatur pada pernyataan tentang
akuntansi aset tetap. Aset bersejarah diatur dengan pernyataan yang tidak mengharuskan pemerintah untuk menyajikan aset bersejarah (heritage assets) di neraca namun aset tersebut
harus
diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. 3.
Penghapusan aset Suatu aset tetap dieliminasi dari neraca ketika dilepaskan atau bila aset secara permanen dihentikan penggunaannya dan tidak ada manfaat ekonomi masa yang akan datang. Aset tetap yang secara permanen dihentikan atau dilepas harus dieliminasi dari Neraca dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Aset tetap yang dihentikan dari penggunaan aktif pemerintah tidak memenuhi definisi aset tetap dan harus dipindahkan ke pos aset lainnya sesuai dengan nilai tercatatnya.
Tujuan Pelaporan Aset Tetap 1.
Tujuan Penyajian Aset Tetap di Neraca Pelaporan atas aset tetap dapat menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para
pengguna dalam menilai posisi aset tetap sehingga dapat memahami kapasitasnya untuk menghasilkan manfaat di masa depan. Secara umum pelaporan aset tetap dapat meningkatkan akuntabilitas dan membantu dalam membuat keputusan.
116
2.
Komponen Aset Tetap ASET TETAP Tanah
xxx xxx
Peralatan dan Mesin
xxx xxx
Gedung dan Bangunan
xxx xxx
Jalan, Irigasi, dan Jaringan
xxx xxx
Aset Tetap Lainnya
xxx xxx
Konstruksi dalam Pengerjaan
xxx xxx
Akumulasi Penyusutan
(xxx)
Jumlah Aset Tetap
XXXXX
Untuk keperluan penyusunan neraca awal, biaya perolehan asset tetap adalah sebesar nilai wajar asset
pada saat
penyusunan saldo awal tersebut dilakukan.
Untuk periode
selanjutnya setelah proses berjalan, jika diperoleh asset baru, maka harus dicatat sebesar nilai perolehan atau harga wajar bila harga perolehan tidak ada. Secara umum keberadaan Standar Akuntansi Pemerintahan ini telah memperjelas arah teknis penyusunan laporan keuangan di pemerintahan, bahkan format laporan telah diberi ilustrasi, namun transformasi dari non akrual menuju akrual masih menghadapi persoalan yang harus segera di atasi.
SEKILAS TENTANG
TANTANGAN DALAM
PENERAPAN
AKUNTANSI
AKRUAL PP no 71 tahun 2010 telah menunjukkan
upaya dalam peningkatan akuntabilitas
terhadap publik oleh instansi pemerintah. Dalam penerapannya dimungkinkan terdapat kendala kendala yang memerlukan solusi sistemik, antara lain disebabkan: 1.
Perdebatan antara substance over form atau form over substance. Prosedur baku dalam akuntansi di sektor pemerintahan seringkali menyebabkan pencatatan tertunda karena menunggu penyelesaian dokumen resmi. Hal ini menyebabkan pengakuan tertunda yang berdampak tidak sempurnanya pengakuan secara real time. Di lain pihak, keberadaan dokumen yang sah untuk mendukung pencatatan juga diperlukan dalam untuk menjaga ketertiban administrasi publik dan untuk kepentingan pengendalian.
2.
Sistem akuntansi yang memerlukan perubahan dalam desain sistem memerlukan waktu transisi dan sangat tergantung pada pemahaman SDM terkait penyusunan sistem tersebut.
117
3.
Belum semua jenis transaksi yang mendukung pelaporan akrual telah diatur dalam SAP. Masih terdapat pertimbangan kesederhanaan untuk kepentingan agar segera dapat diterapkan.
4.
SDM di daerah mungkin masih belum siap dalam proses pencatatan dengan akrual, kebiasaan lama yang berbasis kas menuju akrual menyebabkan proses perubahan berjalan lamban.
5.
Sinkronisasi
makna
dalam
definisi/istilah-istilah
akuntansi
dalam
berbagai
peraturan/perundangan. Dalam hal ini memerlukan pemahaman yang kuat baik konsep maupun aspek kebahasaan. Perbedaan interpretasi atas definisi yang dimaksudkan dalam berbagai peraturan/perundangan akan berdampak hingga di tataran operasional. Saat ini pengelolaan keuangan pemerintah daerah sedang menghadapi tantangan yang besar. Peraturan Pemerintah no 71 tahun 2010 sedang diuji implementasinya di lapangan. Target telah di depan mata dengan kewajiban penerapan penuh pada tahun 2015. PP nomor 71 Tahun 2010 yang merupakan pengganti PP nomor 24 Tahun 2005 tentang SAP masih perlu mendapat dukungan pemikiran dan solusi terkait berbagai permasalahan khususnya terkait masalah pengakuan dan sistem akuntansinya. Beberapa pendapat berbeda muncul terkait penerapan akuntansi akrual pada entitas pemerintahan. Sebagian berpendapat bahwa pendekatan akrual hanya cocok ketika entitas akan mengukur kinerjanya (profitabilitas), sedangkan pemerintah bukan lembaga berorientasi profit sehingga penerapan akuntansi akrual dianggap tidak sesuai. Pandangan lain justru sebaliknya, mereka menyatakan bahwa akuntansi akrual sangat mendesak. Penerapan akuntansi akrual tidaklah semata untuk pengukuran kinerja. Akuntansi akrual diperlukan di sektor publik, karena diperlukan dalam pengukuran unit cost atas pelayanan publik. Pengukuran sangatlah penting, karena jika suatu aktivitas pelayanan publik tidak diukur, maka aktivitas pelayanan tersebut tidak dapat dikelola dengan baik. Terlepas adanya pro dan kontra atas penerapan akrual, dengan dikeluarkannya PP Nomor 71 Tahun 2010, sesungguhnya yang lebih penting adalah bagaimana penerapan akuntansi akrual dapat dilakukan secara efektif sehingga meminimalkan cost dan menghasilkan kualitas laporan keuangan pemerintahan yang lebih baik, sehingga pengambilan keputusan menjadi lebih baik.
Pembahasan solutif Permasalahan sesungguhnya saat ini adalah belum siapnya di tataran aplikasi di lapangan karena belum siapnya kebijakan akuntansi yang akan digunakan untuk penerapan PP 118
nomor 71 Tahun 2010. Keberadaan standar akuntansi tidak serta merta dapat diaplikasikan di tataran praktik, hal ini karena standar akuntansi pada dasarnya masih bersifat umum, sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan akuntansi yang spesifik untuk implementasi di lapangan. Sebagai ilustrasi, ketika di lapangan terjadi pertanyaan atas nilai kapitalisasi asset, seringkali masih terdapat benturan antara perlunya penetapan angka spesifik untuk kepraktisan atau perlunya keleluasaan dalam membuat pertimbangan atas hakekat pengeluaran tersebut. Kemampuan SDM dalam membuat pertimbangan (judgment) menjadi permasalahan tersendiri. Perlukah diatur secara spesifik dalam kebijakan akuntansi terkait materialitas, ataukah diperlukan penjelasan atas konsep kapitalisasi, bahwa yang dapat dikapitalisasi ke aset adalah setiap pengeluaran yang akan memberikan manfaat ekonomi lebih dari satu periode akuntansi. Akibat adanya tambahan manfaat ekonomi tersebut, pengeluaran selayaknya diakui sebagai aset agar dapat disusutkan untuk penandingan yang wajar antara pendapatan dan beban. Terdapat dilema antara kepraktisan dengan kebenaran filosofis atas sebuah konsep akuntansi. Dalam rancangan kebijakan akuntansi perlu dicari alternatif untuk mengakomodasi keduanya. Kebijakan akuntansi dapat menyatakan tingkat materialitas tertentu sekaligus memberikan batasan kapan sebuah pengeluaran dapat dikapitalisasi ke aset. Pada entitas akuntansi yang dikonsolidasikan pada entitas pelaporannya, penggunaan standar akuntansi yang berbeda seringkali dapat menimbulkan permasalahan. Salah satu upaya penting yang harus dilakukan adalah memastikan seluruh proses dalam pelaksanaan implementasi PP 71 tahun 2010
telah dilakukan secara benar sejak awal proses
implementasinya. Kegagalan yang terjadi ketika implementasi telah berlangsung lama, akan mengakibatkan konsumsi sumber daya yang sangat besar dan menyebabkan kerugian yang tidak kita harapkan. Peningkatan kebutuhan sumber daya dalam pengembangan sistem akibat perubahan peraturan memang tidak dapat dihindari, namun jika setiap entitas dapat mencegah terjadinya kesalahan dalam implementasi akuntansi akrual sejak awal tahap implementasinya, maka efisiensi dan efektifitas dapat dicapai. Sebagai ilustrasi, merombak sistem kodifikasi akun (chart of account) yang salah dan membangun kembali sistem kodifikasi yang benar tentu akan lebih mahal dibanding mencegah kesalahan tersebut terjadi. Biaya atas kesalahan yang terjadi sesungguhnya termasuk pula biaya atas dampak keputusan yang salah yang diambil akibat kesalahan informasi yang disajikan. Atas dasar argumen tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa upaya pencegahan kesalahan adalah faktor penting dalam strategi implementasi PP 71
119
Tahun 2010. Dengan demikian pembahasan selanjutnya adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kesalahan implementasi sejak awal proses implementasinya. Upaya strategisnya adalah mempercepat koordinasi antar entitas dan departemen terkait khususnya dalam menghasilkan sarana dalam implementasi PP 71 tahun 2010. Keberanian membuat keputusan atas kebijakan akuntansi untuk mendukung akuntansi akrual sangat diperlukan. Makin lama proses penyusunan prasarana untuk penerapan akuntansi akrual akan makin meningkatkan risiko kegagalan pencapaian target implementasi penuh di tahun 2015. Langkah strategis selanjutnya adalah meningkatkan kapasitas SDM yang menguasai bidang akuntansi untuk ditempatkan pada pos yang tepat. Langkah selanjutnya adalah kaderisasi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi akuntansi yang akan ditempatkan di sektor pemerintahan. Perencanaan dalam penempatan staf di bidang akuntansi harus terencana, rotasi staf akuntansi yang tidak terencana akan menyebabkan sistem yang sedang dalam tahap pengembangan berubah menjadi tahap kritis karena staf pengganti belum menguasai bidangnya.
Tidak kalah penting adalah komunikasi antara penyusun sistem informasi
akuntansi berbasis akrual dengan pengguna sistem tersebut. Jika digunakan media software dalam implementasi sistem, menjadi penting mencegah kesalahan dalam komunikasi saat sistem informasi tersebut berada dalam tahap desain. Keberhasilan implementasi tidak hanya menjadi tanggungjawab bidang akuntansi, karena ketika sistem akuntansi disusun, peran desainer dan programmer ikut menentukan keberhasilan sistem tersebut. Beberapa kesalahan mendasar akibat kesalahan komunikasi bahkan seringkali tidak disadari hingga laporan keuangan dihasilkan dan menjadi dasar pengambilan keputusan. Aspek keperilakuan perlu mendapatkan perhatian. Setiap perubahan akan dapat diikuti dengan baik manakala terdapat keyakinan dari pelaku perubahan, bahwa sistem yang baru akan dapat diimplementasikan. Makin tidak jelas arah implementasi sebuah sistem yang baru, akan menyebabkan keraguan akan keberhasilan sistem yang baru tersebut bagi para pelakunya. Hal ini selanjutnya dapat makin menyulitkan penerapan sistem yang baru.
Penerapan sistem
akuntansi akrual secara penuh merupakan hal yang relatif baru bagi sebagian besar entitas pemerintah daerah. Perlu diyakinkan bahwa sarana untuk implementasi berupa pedoman kebijakan akuntansi yang jelas telah disiapkan dengan baik. Hal ini juga menjadi penentu keberhasilan implementasinya di masa depan. Benchmarking pada negara lain yang telah berhasil menerapkan sistem akuntansi pemerintahan yang berbasis akrual adalah langkah yang sangat strategis untuk meningkatkan motivasi dan keyakinan bahwa sesungguhnya kita mampu untuk menjadi lebih baik dan setara dengan bangsa lain di dunia. 120
Pendidikan akuntansi berperan penting dalam mensukseskan implementasi PP nomor 71 Tahun 2010. Pengetahuan konsep akuntansi akrual yang memadai diperlukan bagi sumber daya manusia yang akan menjadi ujung tombak implementasi akuntansi akrual ini. Pengetahuan konseptual diperlukan ketika terjadi perdebatan di lapangan.
Dengan
pengetahuan konseptual yang makin matang dapat dihasilkan pemahaman yang makin dalam atas filosofi yang mendasari sebuah standar akuntansi dan kebijakan akuntansi yang akan dipilih. Pemahaman yang mendalam atas filosofi yang mendasari sebuah standar akuntansi dapat memberikan kemampuan prediksi atas kemungkinan perubahan yang akan terjadi di masa depan. Program bea siswa S2 terhadap staf di pemerintahan pada berbagai perguruan tinggi saat ini diharapkan dapat menjadi pemicu akselerasi dalam implementasi PP 71 Tahun 2010. SDM diharapkan tidak hanya loyal, namun juga memiliki kompetensi di bidangnya. Dengan keseragaman kompetensi pada berbagai instansi maupun departemen, diharapkan memudahkan dalam koordinasi. Makin banyak SDM memiki kompetensi di bidang akuntansi diharapkan implementasi sistem akuntansi akrual dapat diterapkan dengan lebih efektif. Beberapa standar mungkin dapat berubah seiring dengan perubahan lingkungan. Dengan pendidikan akuntansi maka setiap perubahan akan dapat dihadapi dengan mudah oleh setiap individu yang berpengetahuan, karena kemampuannya dalam adaptasi yang tinggi berbekal pengetahuan dan kemampuan prediksi yang dimilikinya. Pendidikan akuntansi diharapkan dapat berdampak multiplier jika pengetahuan yang didapatkan mahasiswa (staf pemerintahan yang tugas belajar) dibagi kepada lingkungan di mana staf tersebut bekerja. Dosen pengajar juga perlu terus di tingkatkan kompetensinya. Masih diperlukan peningkatan khususnya pengalaman dosen dalam melihat penerapan akuntansi akrual di pemerintahan daerah negara lain.
Dengan mengetahui bagaimana aplikasi sistem akuntansi akrual di
negara-negara yang telah melaksanakan sistem tersebut, pendidik akuntansi dapat membagikannya dalam proses pembelajaran kepada mahasiswa. Integrasi antara pengetahuan konsep dan pengalaman praktis tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk mendesain perkuliahan agar tujuan pembelajaran tercapai.
SIMPULAN Penerapan akuntansi akrual sebagaimana diatur dalam PP nomor 71 Tahun 2010 masih memiliki berbagai kendala dalam penerapannya. Namun demikian, terdapat beberapa langkahlangkah strategis untuk mengatasinya. Salah satu poin penting yang diusulkan dalam makalah
121
ini adalah perlunya mencegah kesalahan dalam implementasi akuntansi akrual sedini mungkin dengan menyiapkan langkah-langkah antisipatif sebagai berikut: 1.
Mempercepat koordinasi antar entitas dan departemen terkait khususnya dalam menghasilkan sarana dalam implementasi PP 71 tahun 2010.
2.
Meningkatkan kapasitas SDM yang menguasai bidang akuntansi untuk ditempatkan pada pos yang tepat.
3.
Kaderisasi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi akuntansi yang akan ditempatkan di pemerintah daerah.
4.
Perencanaan yang baik dalam penempatan staf di bidang akuntansi.
5.
Peningkatan efektifitas komunikasi antara penyusun sistem informasi akuntansi berbasis akrual dengan pengguna sistem tersebut
6.
Perhatian terhadap aspek keperilakuan, antara lain dengan meningkatkan keyakinan para pelaku tentang keberhasilan penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di masa depan.
7.
Peningkatan peran dunia pendidikan akuntansi khususnya dalam memberikan kontribusi peningkatan kompetensi pelaku implementasi PP 71, Tahun 2010. Berdasarkan poin-poin tersebut di atas pendidikan akuntansi menjadi suatu keharusan
bagi staf pemerintah daerah
yang akan ditempatkan sebagai ujung tombak implementasi
akuntansi akrual berdasar PP nomor 71 Tahun 2010. Salah satu upaya yang telah dilakukan saat ini adalah terbentuknya kerjasama BPKP dengan Perguruan Tinggi melalui Program STAR (State Accountability Revitalization). Kerjasama dan koordinasi antar departemen diharapkan menjadi strategi yang tepat untuk mengantisipasi dan mengawal penerapan PP 71 Tahun 2010. Upaya tersebut dapat meningkatkan kemampuan para
pengelola keuangan di sektor
pemerintahan daerah, serta kementrian/lembaga. Sebagai penutup tidak ada kata terlambat untuk keberhasilan penerapan PP nomor 71 Tahun 2010. Antisipasi adalah kata yang tepat untuk menghadapi kesalahan yang tidak diharapkan.
REFERENSI PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. PP 24 tahun 205 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Makalah Ardianto untuk BPKP-persyaratan program Course- New Zealand.
122
Accrual Basis International Short