S ETIO BUDI DAN KARTAATMADJA: EFISIENSI PENGGUNAAN AIR PADA PADI SAWAH
Efisiensi Penggunaan Air dan Hubungannya dengan Produktivitas Padi Sawah di Wilayah Layanan Irigasi Waduk Pondok, Ngawi 1
2
Didiek Setio Budi and S. Kartaatmadja 1
2
Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi Balai Pengkajian dan Teknologi Tanaman Pangan, Ungaran
ABSTRACT. Performance of Water Use Efficiency and It’s Relation to the Productivity of Lowland Rice in the Irrigation Service Area ot the Pondok Water Reservoir, Ngawi. A field study on rice productivity and water use efficiency was conducted during year 2000 second dry season crop (from July to October 2000) at farmers’ field in the head, middle and down stream of the Pondok water reservoir service area, Padas sub-district, Ngawi district. The soil type in the study area was dominated by dark grey grumosol low in total soil nitrogen, organic carbon and exchangeable potassium. The soil texture was from clay to heavy clay with low to moderate rate of permeability. The objectives of the study were: a) to study the relative growth, yield components and yield of rice for the second dry season with a triple rice crop intensification in the head, middle and tail end sections of the irrigation serice area of the Pondok water reservoir; b) to study the variability in total water consumption and water productivity of rice cultivation based on the distance from the reservoir during the second dry season and c) to quantify the relationship between water use efficiency and productivity for each section. The results of the study indicate that average of productivity varied among the three sections. The yield in the head section was 5.51 t/ha, and was highest in the middle with 6.12 t/ha and was lowest in the tail section at 5.14 t/ha. The average total water consumption differed among the three sections. Total water consumption was highest in the tail section with 847.3 mm and followed by the head with 740.8 mm and was lowest in the middle section with 683.6 mm. The highest water use efficiency was found in the middle with 8.95 kg grain/mm/ha water, followed by the head with 7.32 kg grain/mm/ha water and the tail section with 6.22 kg grain/mm/ha water. The relationship between water use efficiency and productivity in the head followed the equation: Y = 3.28 + 0.00075 X (R 2 = 0.38* r= 0.61* n=12) where Y was water use efficiency in kg grain/mm/ha water and X was rice productivity in kg/ha , whereas in the middle was described with the equation: Y= 1.59 + 0.0012 X (R 2 =0.53* r = 0.73** n=12) and in the tail section was represented by the equation: Y= 0.5 + 0,00108 X (R2 = 0.41* r=0.64* n=12). Key words: Rice, productivity and water use efficiency. ABSTRAK. Suatu penelitian lapang telah dilakukan pada musim kemarau kedua tahun 2000 (dari Juli sampai Oktober) di daerah hulu, tengah dan hilir wilayah layanan irigasi waduk Pondok, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi. Jenis tanah didominasi oleh Grumosol Kelabu dengan kandungan bahan organik karbon dan kalium tersedia relatif rendah. Tekstur tanah berkisar dari liat sampai liat halus, laju permeabilitas rendah sampai sedang. Penelitian bertujuan untuk melihat efisiensi penggunaan air dan hubungannya dengan produktivitas padi sawah pada pengairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman di wilayah pengairan tengah (BD 11 Ki) menampilkan pertumbuhan, komponen hasil, hasil maupun efisiensi penggunaan air lebih baik dibanding wilayah hulu (BD 5 Ka) dan bagian hilir (BD 14 Ka) sistem irigasi Dero Kanan. Rata-rata produktivitas yaitu 5508 kg/ha di hulu (BD 5 ka), 6122 kg/ha di wilayah tengah dan 5144 kg/ha di hilir (BD 14 Ka). Rata-rata konsumsi air total paling banyak adalah di bagian hilir (847,3 mm) dan paling sedikit di wilayah tengah (683,6 mm). Tingkat efisiensi penggunaan air berbeda menurut lokasi. Ratarata efisiensi penggunaan air paling tinggi ditemukan di wilayah tengah
(8,95 kg gabah/mm/ha) dan paling rendah di wilayah hilir (6,22 kg gabah/mm/ha). Hubungan antara efisiensi penggunaan air dan produktiitas di wilayah hulu tercermin dalam persamaan: Y = 3,28 + 0,00075 X (R2 = 0,38*; r = 0,61*; n = 12) dimana Y adalah efisiensi penggunaan air dan X adalah produktivitas, sedang di wilayah tengah dengan persamaan: Y= 1,59 + 0,0012 X (R2 = 0,53* r = 0,73** n = 12) dan wilayah hilir dengan persamaan Y= 0,5 + 0,00108 X (R2 = 0,41*; r=0,64* n=12). Kata kunci: Padi, produktivitas, efisiensi penggunaan air.
A
ir bagi pertanian pangan, khususnya padi, tidak hanya menentukan produktivitas tanaman, tetapi juga terhadap intensitas pertanaman (IP) dan luas tanam potensial. Hingga tahun 1984, secara parsial air menyumbang 16% dari laju kenaikan produksi padi nasional, sedangkan secara integrasi dengan varietas dan pupuk menjadi 75% terhadap produksi nasional (Bank Dunia, 1987 dalam Abdurachman, et al. 2000). Perluasan areal secara ekstensifikasi dan peningkatan IP harus didukung oleh efisiensi pemanfaatan sumber daya air, terutama di Jawa dan Bali. Berdasarkan siklus hidrologi, upaya penghematan air dapat ditempuh dengan meningkatkan efisiensi penggunaan air sungai dan waduk, mengurangi aliran air permukaan dan menambah volume air tertampung berupa air tanah dan waduk. Umumnya titik rawan dalam siklus hidrologi adalah sistem pengairan continuous flow pada padi sawah yang kurang efisien, limpasan air permukaan yang sebagian besar terbuang ke laut dan suplai air untuk pemukiman dan industri mengakibatkan pencemaran air minum (kualitas air) dan penggunaan air tanah yang intensif (over pumping) menyebabkan intrusi air laut (Baharsyah dan Fagi, 1995). Upaya untuk menghemat air secara ekonomis pada masa yang akan datang perlu dikembangkan melalui peningkatan produktivitas per satuan air. Salah satu upaya mengurangi variabilitas suplai air adalah melalui conjuntive use permukaan dan air tanah. Suplai air di Indonesia sangat beragam. Keperluan air di Asia diperkirakan sekitar 100-150 liter/kapita/hari sedangkan ketersediaan air rata-rata 4300 m3/kapita/ tahun (ADB 1996 dalam Pasandaran, 1996). Pada saat ini pemakaian air untuk irigasi mencapai 80-95%, untuk mengairi sekitar 4,5 juta hektar sawah, 11
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002
yang terdiri atas 3,8 juta hektar layanan irigasi yang dikelola PU, tersebar di 6.731 daerah irigasi (DI) dan sisanya merupakan irigasi desa (Direktorat Bina Program Pengairan dalam Pusposutardjo, 1996). Upaya efisiensi pendayagunaan sumber daya air merupakan determinan dari pencapaian keberhasilan pelestarian swasembada beras. Di masa mendatang, kuantitas, kualitas, pola permintaan pasokan air akan mengalami perubahan, permintaan meningkat, sedangkan pasokan relatif menurun. Peningkatan permintaan akan air disebabkan oleh a) peningkatan kebutuhan domestik akibat pertumbuhan penduduk dan urbanisasi; b) peningkatan kebutuhan air untuk pertanian maupun nonpertanian; c) meningkatnya kebutuhan air yang bersifat intangible. Pasokan air mengalami perubahan ke arah kelangkaan akibat perubahan tata guna lahan yang mengarah kepada degradasi (Hermanto et al., 1995). Tingkat efisiensi total dalam pemanfaatan air irigasi di Indonesia sampai saat ini baru sekitar 50% karena kehilangan air dalam jaringan irigasi cukup banyak. Rendahnya efisiensi irigasi antara lain disebabkan oleh tidak teraturnya petak-petak sawah, ukuran petak tersier tidak baku. Menurut Hardjoamidjojo (1994) upaya peningkatan efisiensi pemakaian air dalam bidang pertanian dapat dilakukan antara lain dengan mengubah sistem penyaluran atau sistem pemberian air didukung oleh pemilihan jenis tanaman, masa tanam, dan manajemen yang tepat (Hermanto et al., 1995). Prinsip low flow management adalah suatu metode pendayagunaan air irigasi secara efisien melalui penghematan pemberian air bagi tanaman mendekati kebutuhan fisiologisnya. Di wilayah tropis, prinsip ini relevan diterapkan di musim kemarau. Operasionalisasi low flow management membutuhkan kontrol outflow dari petak-petak tersier dan fluktuasi pasokan air irigasi antarwaktu. Dengan mengontrol outflow, diketahui kecukupan air sehingga kelebihan pasokan dapat diturunkan atau dieliminasi (Hermanto et al., 1995). Teknik pengairan yang efisien adalah upaya yang segera dapat dioperasionalkan. Teknik pengairan continuous flow yang selama ini diterapkan di lahan irigasi dengan efisiensi penyaluran 80% memerlukan 3 air 12.000 m /ha/musim. Teknik pengairan bergilir 4-5 hari di antara petak usahatani tidak menyebabkan tanaman mengalami cekaman kekurangan air, bahkan dapat menghemat air 30-40% atau menggunakan air 3 hanya 8.000-9.000 m /ha/musim dan meningkatkan efisiensi pemupukan urea 25-50% (Fagi dalam Baharsyah dan Fagi, 1995). Sumber pertumbuhan yang dapat digali dan dioptimalkan dalam masalah peningkatan produktivitas antara lain optimalisasi lahan sawah irigasi melalui rehabilitasi jaringan irigasi dan efisiensi pengelolaan air 12
di tingkat petani. Efisiensi irigasi masih belum optimal, baru mencapai sekitar 65%, yang disebabkan karena sistem jaringan, cara penggunaan, dan pengetahuan pengelolaan yang belum memadai. Masih banyak air yang tidak termanfaatkan dengan baik. Keberlanjutan sistem irigasi ditentukan oleh aspek fisik, sosial ekonomi, finansial, biologis/lingkungan dan politis (Gultom et al., 2000). Penelitian ini bertujuan untuk melihat efisiensi penggunaan air dan hubungannya dengan produktivitas padi sawah di wilayah layanan irigasi waduk Pondok, Jawa Timur.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di daerah irigasi Dero Kanan, wilayah pengairan waduk Pondok, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi pada musim tanam padi ketiga atau MK II (dari bulan Juni sampai Oktober 2000). Di daerah penelitian jenis tanah sebagian besar Grumosol Kelabu, tipe iklim C3 (Oldeman, 1975). Berdasarkan analisis data curah hujan dari 1989 sampai 1999, di daerah penelitian memiliki enam bulan basah (Nopember sampai April) dan lima bulan kering (MeiSeptember). Baik di bagian hulu, tengah maupun hilir, tanah didominasi oleh tekstur liat yang berkisar dari liat halus (fraksi liat 70%) sampai sangat halus (fraksi liat > 86%), bobot isi 0,94 g-1,0 g/ml dan laju permeabilitas rendah (0,64 cm/jam) sampai sangat rendah 0,07 cm/jam. Tanah penelitian bersifat alkalis dengan kisaran pH (H 2O) 7,4 (hilir) sampai 7,8 (hulu), kandungan bahan organik (0,76-1,0%) dan kahat kalium (0,19 me-0,39 me/100 g). Tanah mempunyai tingkat kejenuhan basa >100% di bagian hulu (BD 5 Ka) dan 69% di bagian hilir (BD 14 Ka). Rendahnya tingkat kejenuhan basa terutama disebabkan oleh konsentrasi kalsium (Ca) relatif tinggi dibanding magnesium dan natrium yaitu 60,0 me/100 g di hulu dan 46,2 me/100 g di hilir. Dalam penelitian ini dipilih tiga zona pengairan yaitu bagian hulu (dekat waduk) yaitu petakan sawah mendapat air dari saluran tersier BD 5 Ki; wilayah tengah yaitu daerah pengairan dari saluran tersier BD 11 Ki; dan untuk mewakili daerah pengairan bagian hilir (tail end) dipilih saluran tersier BD 14 Ka. Di setiap wilayah pengairan hulu, tengah dan hilir dipasang sebuah penakar hujan tipe observatorium untuk pengamatan curah hujan. Pengamatan dilakukan setiap hari dari sejak tanam sampai panen. Selain itu juga dipilih 12 unit petak sawah dengan cara pemupukan nitrogen dan pengelolaan air berbeda. Enam unit petak sawah berjarak 50 m dari saluran
S ETIO BUDI DAN KARTAATMADJA: EFISIENSI PENGGUNAAN AIR PADA PADI SAWAH
tersier dan enam petak sawah lainnya dari hamparan yang sama, berjarak 300 m dari saluran tersier. Di setiap unit petak sawah dipasang sebuah skala miring dan satu unit piezometer (kedalaman 75 cm dari permukaan tanah). Pada setiap unit petakan sawah dipilih lima rumpun contoh (crop samples) untuk mengkarakterisasi tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun dan komponen hasil. Pengamatan tinggi tanaman dan jumlah anakan per rumpun dilakukan sekali pada saat panen. Kepadatan gulma diamati pada saat tanaman berumur 21 dan 35 hari. Pengukuran biomas gulma dilakukan pada petak berukuran 1 x 1 m. Gulma dicuci, o dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 C selama dua hari dan ditimbang. Komponen hasil yang diamati meliputi jumlah malai per rumpun, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan bobot 1.000 butir gabah isi. Hasil gabah dari petak sawah di bagian hulu, tengah dan hilir didapat dari tanaman padi yang dipanen dari petak ubinan masing-masing berukuran 3 x 3 m (enam petak ubinan berjarak 50 m dan enam petak ubinan lainnya berjarak 300 m dari saluran tersier). Data konsumsi air total didapat dengan cara memonitor tinggi muka air pada sekat pintu (cm) dan waktu yang diperlukan untuk mengairi setiap unit petak sawah. Banyaknya air yang disuplaikan ke setiap unit petak diukur dengan sekat ukur tipe rektangular (segi empat dan dibuat terjunan) dengan persamaan garis hasil kalibrasi Q = 0,015 L H3/2, dimana L 20 cm dan H adalah kedalaman muka air (cm) dan Q adalah volume air (l per detik). Efisiensi penggunaan air dinyatakan dengan hasil (kg/ha) dibagi dengan konsumsi air total (mm) (10 hari setelah tanam-7 hari menjelang panen). Hasil analisis rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun, komponen hasil, hasil dan penghitungan efisiensi penggunaan air dari bagian hulu, tengah dan hilir dibandingkan dengan menggunakan uji t (small sample: n<30) menurut Gray dan Ulm (1973) dengan formula berikut: s=
(n1 -1) s12 + (n 2 - 1) s 22 n 1 + n2 - 2
dimana s adalah simpangan baku, s12 dan s22 masing-masing adalah ragam dari karakteristik tanam tertentu dari wilayah hulu dan wilayah tengah atau hilir, n 1 dan n2 masing-masing adalah banyaknya pengamatan, dalam hal ini n 1 = n 2 = 12.
t hitung =
( x 1 - x2 ) - (u 1 - u 2) s 1/n1 + 1/n2
dimana x1 dan x2 masing-masing adalah rata-rata karakteristik tanaman tertentu dari wilayah hulu dan tengah atau hilir. Nilai t tabel pada taraf 0,05 atau t 0,05 (22) dengan selang -1,717 sampai + 1,717. Analisis juga dilakukan terhadap korelasi dan regresi linier sederhana antara nilai efisiensi penggunaan air (peubah X) dan produktivitas (peubah Y) untuk mengetahui perubahan produktivitas bila teknologi distribusi air diperbaiki. Di samping itu juga dianalisis hubungan antara produktivitas dengan efisiensi penggunaan air yang ditunjukkan pada nilai koefisien korelasi (r) dari wilayah hulu (BD 5 Ka), tengah (BD 11 Ki) dan hilir (BD 14 Ka) di sistem irigasi Dero Kanan wilayah pengairan waduk Pondok, Kabupaten Ngawi. Penyelesaian analisis regresi dan korelasi dibantu dengan perangkat lunak komputer "MINITAB" (Erfiani et al., 1997) Curah hujan diukur dengan penakar hujan tipe observatorium. Di setiap wilayah pengairan (hulu, tengah dan hilir) dipasang sebuah penakar hujan yang diamati setiap hari, dari sejak tanam sampai panen. data radiasi surya dan suhu udara diperoleh dari stasiun Lanud Iswahyudi, Madiun. Tinggi genangan air di petakan sawah diukur dengan skala miring yang juga digunakan untuk pengukuran rembesan dan perkolasi dari petakan sawah. Tingkat genangan air bersamaan dengan pengamatan curah hujan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman Tanaman di wilayah tengah nyata lebih tinggi dibandingkan dengan di wilayah hulu dan hilir. Jumlah anakan per rumpun terbanyak juga terdapat pada tanaman dari sawah bagian tengah dan hulu (Tabel 1). Perbedaan tinggi tanaman lebih banyak disebabkan oleh ketersediaan air. Di wilayah tengah, ketersediaan air lebih banyak dari wilayah hulu dan hilir. Kekurangan air selama fase vegetatif dan reproduktif dapat menekan pertumbuhan tanaman (De Datta et al., 1975). Jumlah anakan per rumpun ditentukan oleh suplai air dan nitrogen selama fase vegetatif (De Datta et al., 1975). Di wilayah tengah, suplai N relatif lebih tinggi dibanding wilayah hulu dan hilir sehingga tanaman di wilayah tengah lebih produktif menghasilkan anakan.
13
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002
Kepadatan Gulma Kehilangan hasil yang disebabkan oleh gulma di lahan sawah bervariasi menurut waktu infestasi gulma, kesuburan tanah, varietas yang ditanam dan cara tanam (De Datta et al., 1969). Gulma yang dominan adalah dari jenis rumput. Dalam penelitian ini, penyiangan dilakukan dengan tangan (hand weeding) dan bukan dengan cara mekanis. Sebagian besar petani tidak menggunakan jenis herbisida yang efiskasinya tinggi, dan hanya sebagian yang menggunakan herbisida Indamin dan Alley pada saat tanaman berumur 18 hari atau dua hari menjelang pemupukan urea kedua. Pengamatan kepadatan gulma di ketiga wilayah pengairan disajikan pada Tabel 2. Pertumbuhan gulma nyata terhambat pada kondisi lahan tergenang. Jenis gulma yang termasuk dalam
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan tanaman padi saat panen di wilayah hulu (BD 5 Ka), tengah (BD 11 Ki) dan hilir (BD 14 Ka) daerah irigasi waduk Pondok, Ngawi, Jawa Timur, MK II 2000. Wilayah Hulu (BD 5 Ka) Tengah (BD 11 Ki) Hilir (BD 14 Ka)
Tinggi tanaman (cm)
Anakan (jumlah/rumpun)
90,4 b (±1,6) 95,8 a (±2,3) 86,7 c (±1,6)
16,1 a (±1,0) 16,0 a (±0,3) 13,6 b (±1,1)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji t.
Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
Tabel 2. Rata-rata kepadatan gulma pada saat tanaman padi berumur 21 dan 35 hari di wilayah hulu (BD 5 Ka), tengah (BD 11 Ki) dan hilir (BD 14 Ka) daerah irigasi waduk Pondok, Ngawi, Jawa Timur, MK II 2000. Kepadatan gulma (g/m2) Wilayah
Hulu (BD 5 Ka) Tengah (BD 11 Ki) Hilir (BD 14 Ka)
21 HST
35 HST
27,9 b (±12,1) 22,5 c (±7,6) 32,1 a (±12,4)
20,4 b (±3,9) 15,8 c (±3,7) 24,3 a (±4,9)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji t.
golongan tanaman C3 lebih dominan pada kondisi tergenang (submerged) sedang gulma pada golongan tanaman C4 lebih dominan pada kondisi kering (dry land). Penggenangan awal pertumbuhan mengendalikan E. crusgalli dan drainasi yang tepat mengurangi pertumbuhan gulma akuatis. Air dalam (deep water) biasanya gagal mengendalikan gulma jenis rumput. o Suhu air pada 35 C atau diatasnya efektif dalam mengurangi E. crusgalli (Smith, 1983). Komponen Hasil Pada Tabel 3 tampak bahwa tanaman padi di wilayah tengah mempunyai komponen hasil lebih baik, kecuali jumlah gabah per malai. Perbedaan komponen hasil antarlokasi selama fase reproduktif antara lain disebabkan oleh perbedaan intensitas cekaman kekurangan air. Komponen hasil sebagian besar ditentukan oleh lingkungan, terutama air selama fase reproduktif dan pematangan (De Datta and Malabuyoc, 1976). Selain air, perbedaan komponen hasil antarlokasi juga disebabkan oleh intensitas radiasi surya dan suhu udara selama fase reproduktif dan pematangan. Selama fase reproduktif (primordia sampai pembungaan 100%), wilayah tengah menerima radiasi surya dengan 2 akumulasi 12.750 kalori/cm /hari, wilayah hulu 11.700 2 kalori/cm / h a r i d a n w i l a y a h h i l i r 1 1 . 0 0 0 2 kalori/cm /hari. Intensitas radiasi surya yang tinggi selama fase repro- duktif mengakibatkan bertambahnya komponen hasil, terutama jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah per malai (sink capacity). Kapasitas limbung (sink size) biasanya ditentukan sebelum fase pembungaan, seperti jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah per malai. Jumlah gabah isi dan bobot 1.000 butir ditentukan selama fase pematangan atau setelah pembungaan. Di wilayah tengah, tanaman mempunyai bobot kering lebih tinggi dibanding wilayah hulu dan hilir, hal ini berhubungan dengan produksi asimilat selama fase reproduktif (Yoshida dan Parao, 1976).
Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
Tabel 3. Rata-rata komponen hasil padi di wilayah hulu (BD 5 Ka), tengah (BD 11 Ki) dan hilir (BD 14 Ka) daerah irigasi waduk Pondok, Ngawi, Jawa Timur, MK II 2000. Komponen hasil Wilayah Hulu (BD 5 Ka) Tengah (BD 11 Ki) Hilir (BD 14 Ka)
Malai (jml/rumpun)
Gabah (jml/malai)
Gabah isi (%)
1.000 butir (g)
13,8 b (±1,7) 15,7 a (±0,4) 11,5 c (±1,1)
128,7 a (±10,4) 124,6 b (±8,3) 118,7 c (±9,0)
83,8 b (±4,0) 89,9 a (±0,6) 76,7 c (±2,6)
25,2 b (±0,3) 25,6 a (±0,4) 24,7 c (±0,3)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji t.
14
S ETIO BUDI DAN KARTAATMADJA: EFISIENSI PENGGUNAAN AIR PADA PADI SAWAH
Akumulasi suhu harian (daily temperature) selama o fase pematangan di wilayah hulu yaitu 612,5 C, di wio o layah hulu 701,0 C dan di wilayah hilir yaitu 750,5 C. Tingginya suhu harian selama fase pematangan menurunkan bobot 1.000 butir dan efisiensi pengisian gabah (Oldeman et al., 1986). Tanggap tanaman padi sawah terhadap pemupukan nitrogen bervariasi menurut intensitas radiasi surya dan suplai air sehingga berbeda-beda menurut musim tanam. Pada kondisi kekurangan suplai air (847,3 mm) dan intensitas radiasi surya yang tinggi seperti di wilayah hilir, pemberian pupuk N dengan takaran tinggi tidak efisien, justru menurunkan bobot 1.000 butir. Perbedaan komponen hasil antarlokasi disebabkan oleh perbedaan faktor kesuburan tanah, regim air, kepadatan gulma dan serangan hama dan penyakit (De Datta and Malabuyoc. 1976). Jumlah gabah isi ditentukan oleh kondisi suhu selama fase pematangan, cuaca yang tidak optimal selama tahap reduksi pembelahan dan anthesis, dan kerapatan tanaman yang tinggi menentukan jumlah gabah isi per malai. Jumlah malai dan gabah isi menentukan bobot 1.000 butir (Oldeman et al., 1986). Produktivitas Pada Tabel 4 tampak bahwa produktivitas padi sawah berbeda menurut lokasi (hulu, tengah dan hilir). Produktivitas paling tinggi terdapat di wilayah tengah yaitu 6122 kg/ha. Pada wilayah hulu dan hilir, produktivitas menurun masing-masing sebesar 10% dan 16%. Perbedaan produktivitas tersebut antara lain disebabkan oleh: a) waktu tanam; b) suplai air atau tingkat defisit air tanah; c) regim suhu dan radiasi selama fase reproduktif dan pematangan; d) serapan N pada saat pembungaan; c) komponen hasil. Perbedaan akumulasi intensitas radiasi surya , suhu minimum udara serta perbedaan antara suhu maksimum dan minimum selama fase pematangan merupakan faktor yang dapat menjelaskan perbedaan produktivitas menurut wilayah dan waktu tanam (Oldeman et al., 1986).
Selama fase pematangan tanaman padi, di wilayah tengah mendapatkan akumulasi radiasi surya sebanyak 2 2 11.375 kal/cm /hari, wilayah hulu 8.875 kalori/cm /hari 2 dan wilayah hilir 9.875 kalori/cm /hari. Selisih akumuo lasi suhu maksimum dan minimum 275 C di wilayah o o tengah 225 C, di wilayah hulu, dan 212,5 C di wilayah hilir. Rendahnya produktivitas di wilayah hulu dan hilir antara lain disebabkan oleh adanya cekaman air (water stress) selama fase reduktif sehingga mempunyai dampak fisiologis yang berbeda. Indikator yang realistis dalam menjelaskan perbedaan tersebut adalah melalui nilai hisapan matrik tanah yang mencapai -0,7 sampai -0,9 bar, sedangkan di wilayah tengah berkisar antara -0,3 sampai -0,6 bar. Batas kritis tanaman padi sawah terhadap status kekurangan air tanah adalah -0,8 bar pada tanah bertekstur halus (De Datta and Malabuyoc, 1976). Fenomena lain yang dapat menjelaskan perbedaan produktivitas tanaman di ketiga wilayah pengairan yaitu melalui perbedaan nilai komponen hasil, ter- utama jumlah gabah isi dan bobot 1000 butir. Kekurangan air selama fase pengisian gabah menyebabkan tingginya kehampaan atau berkurangnya pengisian gabah dan akumulasi karbohidrat (De Datta and Malabuyoc, 1976). Wilayah tengah memiliki tingkat pengisian gabah dan bobot 1000 butir yang lebih tinggi dibanding wilayah tengah dan hilir, sehingga produktivitas lebih baik. Perbedaan intensitas cekaman air selama fase reproduktif (anthesis dan pengisian gabah) mengakibatkan penurunan hasil. Besarnya penurunan hasil bergantung pada toleransi varietas terhadap cekaman air, struktur jaringan irigasi dan kondisi hidrologis lahan yang dikontrol oleh topografi dan parameter fisik tanah lainnya. Kondisi iklim tampak mengurangi hasil pada tingkat suplai air yang rendah. Kondisi ini mempercepat pengeringan tanah dan penurunan cadangan air tanah. Lingkungan air yang kurang optimal dan pengelolaan tanaman yang tidak baik (poor crop management) dapat dianggap sebagai faktor utama pembatas produktivitas (Reyes, 1975; Hirasawa, 1999).
Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
Tabel 4. Produktivitas padi di wilayah hulu (BD 5 Ka), tengah (BD 11 Ki) dan hilir (BD 14 Ka) daerah irigasi waduk Pondok, Ngawi, Jawa Timur, MK II 2000. Wilayah Hulu (BD 5 Ka) Tengah (BD 11 Ki) Hilir (BD 14 Ka)
Hasil (kg/ha); ka:14% 5508,3 b (±196,59) 6122,1 a (±288,85) 5144,2 c (±120,81)
Konsumsi Air Total dan Efisiensi Penggunaan Air Pada Tabel 5 tampak bahwa konsumsi air total maupun efisiensi penggunaan air berbeda di antara ketiga wilayah. Penggunaan air terbanyak (847,3 mm) adalah di bagian hilir dan paling sedikit (683,6 mm) di wilayah tengah. Efisiensi penggunaan air paling tinggi
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji t.
15
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002 Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
Tabel 5. Rata-rata konsumsi air total dan efisiensi penggunaan air di wilayah hulu (BD 5 Ka), tengah (BD 11 Ki) dan hilir (BD 14 Ka) daerah irigasi waduk Pondok, Ngawi, Jawa Timur, MK II 2000. Wilayah Hulu (BD 5 Ka) Tengah (BD 11 Ki) Hilir (BD 14 Ka)
Konsumsi air total (mm)
Efisiensi penggunaan air (kg gabah/mm/ha)
805,7 683,6 847,3
7,44 b (±0,24) 8,95 a (±0,48) 6,08 c (±0,21)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji t. Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
terjadi di wilayah tengah (8,95 kg gabah/mm/ha) dan paling rendah (6,08 kg gabah/mm/ha) di wilayah hilir. Tingkat konsumsi air total bersifat spesifik lokasi. Di wilayah hilir terjadi keretakan tanah (crakcing) dengan intensitas tinggi yang menyebabkan penggunaan air menjadi banyak. Di wilayah hulu konsumsi air yang lebih banyak disebabkan oleh kondisi hidrolis tanah, dan laju permeabilitas, sehingga tanah cepat kering. Tanah yang dilumpurkan, bila terjadi defisit suplai air yang relatif lama, maka tanah akan cepat retak hal ini didukung oleh kandungan liat yang tinggi (Prihar et al., 1985). Perbedaan efisiensi penggunaan air di antara ke tiga wilayah pengairan tersebut antara lain disebabkan oleh: a) serapan air olehtanaman; b) kondisi cuaca (suhu, angin, intensitas radiasi surya dan kelembaban relatif udara) selama pertumbuhan tanaman; c) produktivitas tanaman, dan d) suplai air yang dipengaruhi oleh sifat fisik tanah (Pasandaran, 1996). Suplai air irigasi di petakan sawah sebagian besar hilang melalui limpasan permukaan yang dapat mencapai 50%. Kehilangan air di permukaan tanah berpengaruh langsung terhadap konsumsi air dan efisiensi penggunaan air. Tingkat kehilangan air banyak terjadi di saluran tersier setelah air melalui pintu saluran pemasukan (beyond turnout) (Miranda and Levine, 1978). Pengelolaan air yang tidak efisien akan mengurangi efisiensi penggunaan pupuk nitrogen. Penggunaan pupuk nitrogen yang tinggi dapat mengurangi cekaman air karena sistem perakaran tanaman diperbaiki. Dalam penelitian ini, penggunaan air lebih banyak dikontrol oleh sifat fisik tanah, hidrologis, tata letak petak sawah dan suplai air. Pada wilayah hilir yang sering mengalami kekurangan air dapat menggunakan jumlah pupuk N yang moderat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air (Reyes et al., 1975). Nilai efisiensi penggunaan air merupakan indeks yang dapat digunakan dalam menilai adaptasi tanaman terhadap kekeringan. Rendahnya efisiensi penggunaan air di wilayah hilir lebih banyak disebabkan oleh teknologi produksi yang belum efisien. Efisiensi 16
penggunaan air dapat ditingkatkan dengan memahami perilaku transpirasi tanaman, stomata daun dan aktivitas fotosintesis yang dipertahankan (maintenace of photosynthetic activity) (Cabuslay et al., 1999). Hubungan antara Produktivitas dan Efisiensi Penggunaan Air Terdapat hubungan positif antara tingkat produktivitas dengan efisiensi penggunaan air. Di wilayah hulu, hubungan tersebut adalah Y = 3,28 + 0,00075 X (R 2 = 0,38* r= 0,61* n=12) dimana Y adalah efisiensi penggunaan air (kg gabah/mm/ha) dan X adalah produktivitas(kg/ha), di wilayah tengah dengan persama2 an: Y= 1,59 + 0,0012 X (R =0,53* r = 0,73** n=12) dan wilayah hilir dengan persamaan: Y= 0,5 + 0,00108 2 X (R = 0,41* r=0,64* n=12). Dari fakta ini jelas diketahui bahwa perbaikan produktivitas tanaman melalui teknik budi daya memberikan pengaruh langsung terhadap efisiensi penggunaan air. Wilayah pengairan tengah memiliki saluran tersier yang relatif lebih baik dibanding wilayah hulu dan hilir. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat produktivitas maupun efisiensi penggunaan air lebih baik. Terjadinya ketidakmerataan pendistribusian air di wilayah hulu dan kekeringan di wilayah hilir menyebabkan turunnya produktivitas sekaligus efisiensi penggunaan air di wilayah hilir (BD 14 ka).
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Di wilayah pengairan tengah (BD 11 Ki), pertumbuhan, komponen hasil, hasil dan efisiensi penggunaan air lebih baik dibanding wilayah hulu (BD 5 Ka) dan hilir (BD 14 Ka) jaringan irigasi Dero Kanan. Rata-rata produktivitas padi adalah 5508 kg/ha di wilayah hulu, 6122 kg/ha di wilayah tengah, dan 5144 kg/ha di wilayah hilir. Rata-rata konsumsi air total paling banyak terjadi di hilir (847,3 mm), dan paling sedikit (683,6 mm) di wilayah tengah. Tingkat efisiensi penggunaan air berbeda menurut lokasi. Efisiensi penggunaan air tertinggi ditemukan di wilayah tengah (8,95 kg gabah/mm/ha) dan terendah (6,22 kg gabah/mm/ha) di wilayah hilir.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., Irsal Las, A. Hidayat dan E. Pasandaran. 2000. Optimalisasi sumber daya lahan dan air untuk pembangunan pertanian tanaman pangan. Dalam: Simposium penelitian tanaman pangan IV. Tonggak kemajuan teknologi produksi
S ETIO BUDI DAN KARTAATMADJA: EFISIENSI PENGGUNAAN AIR PADA PADI SAWAH tanaman pangan. Konsep dan strategi peningkatan produksi pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 22-24 November 1999. p: 28-54. Baharsyah, Justika dan A.M Fagi. 1995. Konsepsi dan implementasi gerakan hemat air. Dalam: Kongres III Perhimpi dan Simposium Meteorologi Pertanian IV. Peningkatan sumberdaya iklim dalam meningkatkan prospek usahatani. Kerjasama antara Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia dengan Universitas Gadjahmada. Yogyakarta. 26-28 Januari 1995. p. 1-15. Cabuslay, G., O. Ito and A. Alejar. 1999. Genotypic differences in physiological responses to wter deficit in rice. In: Genetic improvement of rice for water limited enviroments. O.Ito et al (eds). International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. p: 99-116. De Datta, S.K., W.P Abilay and G.N Kalwar. 1975. Water stress effects in flooded tropical rice. In: Water management in Philippine irrigation systems: Research & Operation. Water management workshop. 11-14 December 1972. The International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines. p: 19-36. De Datta, S.K and J. Malabuyoc. 1976. Nitrogen response of lowland and upland rice in relation to tropical enviromental conditions. In: Proceeding of the symposium on Climate & Rice. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. p: 509-539. De Datta, S.K and R.W Herdt. 1983. Weed control technology in irrigated rice. In: Proceedings of the Conference on "Weed control in rice" Jointly sponsored by the International Rice Research Institute and International Weed Science Society. 31 August-4 September 1981. Los Banos. Laguna. Philippines. p: 89- 118. Erfiani, Hari Wijayanto, I Made Sumertajaya, Indahwati, Itasia Dina Sulvianti, Julio Adisantoso dan Zulkarnaen Pulungan. 1997. Panduan pengelolaan data menggunakan MINITAB. PPM-STK IPB. Jurusan Statistika dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. p: 32-34. Gray, A. William and Otis M. Ulm. 1973. Elementary probability and statistics. With optional computer applications. CollierMacmillan, Publishers. London. p.159. Goswami, N.N and N.K Banerjee. 1980. Phosphorus, potassium and other microelements. In: Soils and rice. International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines. p.561-580. Gultom, B., Handaka, R. Thahir dan A. Unadi. 2000. Kesiapan sumber daya manusia dan peran Engineering pertanian dalam pembangunan pertanian tanaman pangan. Dalam: Simposium penelitian tanaman pangan IV. Tonggak kemajuan teknologi produksi tanaman pangan. Konsep dan strategi peningkatan produksi pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 22-24 November 1999. p. 115-153. Hermanto, Sumaryanto dan Effendi Pasandaran. 1995. Pengelolaan sumberdaya air dalam rangka menunjang pemantapan swasembada pangan. Dalam: Kongres III Perhimpi dan Simposium Meteorologi Pertanian IV. Peningkatan sumberdaya iklim dalam meningkatkan prospek usahatani. Kerjasama antara Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia dengan Universitas Gadjahmada. Yogyakarta. 26-28 Januari 1995. p. 1-15. Hirasawa, T. 1999. Physiological characterization of the rice plant for tolerance of water deficit. In: Genetic improvement of rice for water limited enviroments. O.Ito et al (eds). International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. p: 89-98. Miranda, S.M and G. Levine. 1978. Effects of physical water control parameters on lowland irrigation water management. In: Irrigation policy and management in Southeast Asia. International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines. p.77-92. Oldeman, L.R. 1975. An agroclimatic map of java. CRI (LP3) Bogor. Oldeman, L.R., D.V Seshu and F.B Cady. 1986. Response of rice to weather variables. Report of an IRRI/WMO Special Project). International Rice Research Institute. Manila. Philippines. Pasandaran, E. 1996. Nilai ekonomi air dalam kerangka menghadapi era baru pengelolaan sumber daya air. Dalam: Prosiding Seminar Nasional. Gerakan Hemat Air. Perhimpi, Peragi dan Perhepi. Jakarta. 11 Juli 1996. Halaman: 59-68. Prihar, S.S., B.P Ghildyal and H.S Sur. 1985. Physical properties of mineral soils affecting rice-based cropping systems. In: Soil physics and rice. International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines. 57-70. Pusposutardjo, S. 1996. Rancangbangun dan sistem jejaring irigasi serta agihan air dalam kaitannya dengan gerakan hemat air. Dalam: Prosiding Seminar Nasional. Gerakan Hemat Air. Perhimpi, Peragi dan Perhepi. Jakarta. 11 Juli 1996. p. 85-100. Reyes, Rodolfo D. 1975. An analysis of some factors affecting rice yield response to water. In: Water management in Philippine irrigation systems: Research & Operation. Water management workshop. 11-14 December 1972. The International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines. p: 37-52. Smith Jr, R.J. 1983. Weeds of major economic importance in rice and yield losses due to weed competition. In: IRRI (ed) Weed control in rice. International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines. 19 p. Yoshida, S and F.T Parao. 1976. Climatic influence on yield and yield components of lowland rice in the tropics. In: Proceeding of thesymposium on Climate & Rice. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. p. 471-494.
17