I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru
khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat Statistik mencatat bahwa subsektor peternakan menyumbang Rp. 33 309.9 Milyar (12.75 persen) dari jumlah total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian secara nasional. Permintaan terhadap komoditi peternakan sebagai sumber protein hewani diperkirakan akan semakin meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran akan gizi masyarakat. Susu sebagai salah satu hasil komoditi peternakan merupakan bahan makanan yang menjadi sumber gizi atau zat protein hewani. Kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi susu dari 6.80 liter/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi
7.70
liter/kapita/tahun
pada
tahun
2008
(setara
dengan
25
gram/kapita/hari) yang merupakan angka tertinggi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2008). Pembangunan subsektor peternakan khususnya pengembangan usaha sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein hewani dan sebagai upaya mendukung program revitalisasi putih untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.
2
Permintaan terhadap komoditi susu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, walaupun bila dibandingkan dengan negara-negara lain tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Namun produksi susu nasional belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan impor susu dari luar negeri. Selain melakukan impor pemerintah juga melakukan ekspor susu dalam bentuk susu olahan.
Tabel 1. Perkembangan Ekspor, Impor dan Konsumsi Susu Indonesia, Tahun 2003-2007 No
Tahun
Ekspor Susu Olahan (000 ton) 45.58 40.93 45.02 -
Impor Susu Bubuk (000 ton) 579.65 497.68 309.74 1 238.44 1 347.98
Konsumsi Susu (000 ton) 1 133.09 957.63 845.74 1 854.94 1 984.88
3.73
7.04
1 2003 2 2004 3 2005 4 2006 5 2007 Pertumbuhan (%) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2008. Keterangan: ’-’ data tidak tersedia.
Tabel 1 menjelaskan bahwa ekspor susu olahan dan impor susu bubuk mengalami fluktuasi, dan 2006 mengalami peningkatan yang sangat signifikan sejak tahun 2005 terlihat impor susu berada pada titik terendah. Pertumbuhan impor susu setiap tahun sebesar 3.73 persen, hal ini mengindikasikan bahwa jumlah susu yang diimpor setiap tahun meningkat. Tahun 2007 impor susu mencatat angka 1 347.98 ribu ton susu, angka tertinggi sejak tahun 2003. Tingginya volume impor disebabkan karena rendahnya produktivitas peternak dan tingginya konsumsi susu dalam negeri (termasuk susu olahan). Pertumbuhan konsumsi susu nasional sebesar 7.04 persen, hal ini menjelaskan bahwa pasar susu
3
nasional terus berkembang, nilai konsumsi susu nasional tahun 2003 sebesar 377.77 ribu ton dan naik menjadi 1 984.88 ribu ton tahun 2007. Sehingga kondisi ini yang memperkuat alasan (IPS) untuk memenuhi bahan bakunya dari luar negeri. Susu bubuk merupakan bahan baku utama yang digunakan oleh industri pengolah susu (IPS) yang, pada umumnya, perusahaan modal asing (PMA) untuk menghasilkan produk-produk susu olahan yang siap konsumsi. Negara pengimpor susu utama ke Indonesia antara lain adalah Australia, Perancis, dan Selandia Baru. Negara-negara tersebut merupakan penghasil susu dengan kualitas terbaik. Pengembangan usaha sapi perah merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat serta pengurangan tingkat ketergantungan nasional terhadap impor susu. Usaha persusuan di Indonesia sudah sejak lama dikembangkan. Usaha ternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (80 persen), empat sampai tujuh ekor (17 persen), dan lebih dari tujuh ekor (tiga persen). Hal itu menunjukkan bahwa sekitar 64 persen produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil, sisanya 28 persen diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah, dan delapan persen usaha ternak sapi perah skala besar Erwidodo (1998) dan Swastika (2005). Sehingga dengan keragaan usaha ternak sapi perah kita
yang masih sangat kecil menyebabkan
ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk impor. Kondisi ini tentunya akan memperlemah daya saing usaha usaha ternak sapi perah di Indonesia. Faktor pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, harga biaya input, struktur industri, kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor itu dapat dibedakan atas: (1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha,
4
seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti lingkungan alam. Oleh karena itu, apabila pemerintah mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu di atas, maka diharapkan komoditas susu segar lokal dapat berkembang sebagai komoditas substitusi susu impor. Pengembangan sektor peternakan khususnya usaha ternak sapi perah perlu terus dilakukan karena kemampuan pasok susu peternak lokal saat ini baru mencapai 25 persen sampai 30 persen dari kebutuhan susu nasional (GKSI, 2007). Besarnya jumlah impor susu nasional menjadikan Indonesia menjadi net importir dan juga menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu segar sebagai produk substitusi impor. Mengingat kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan serta besarnya kekurangan pasokan susu dalam negeri, terdapat kerugian yang diperoleh Indonesia akibat dilakukannya impor susu. Bentuk kerugian tersebut ialah terkurasnya devisa nasional, hilangnya kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari menganggurnya atau tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan agribisnis persusuan, dan hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik.
5
Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia sangat signifikan, karena tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional akan susu. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran kebijakan pemerintah dalam hal perdagangan sangat mempengaruhi dinamika perkembangan peternakan sapi perah di tengah kondisi perdagangan bebas dan persaingan dengan susu impor. Pasar produk susu segar di Indonesia cenderung memiliki struktur pasar oligopsoni dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) sebagai konsumen utama (Hutagaol dan Karo-Karo, 2009), hal tersebut juga didukung bahwa koperasi susu dan peternak memiliki posisi tawar yang lemah dalam memasok dan menentukan harga susu kepada IPS (Djohan, 2008). Atien et al. (2004) menyebutkan lemahnya posisi tawar peternak terhadap IPS yang lebih cenderung untuk menggunakan bahan baku impor merupakan salah satu kendala utama. Hal ini menimbulkan resiko yang besar dalam usaha ternak sapi perah rakyat dan akan mempengaruhi daya saing usahaternak sapi perah dalam jangka panjang. Peternak tidak mendapat insentif dalam pengusahaan usahaternaknya, sehingga kemampuan untuk meningkatkan skala usaha dan produksi tidak bisa dilakukan.
1.2.
Perumusan Masalah Pengembangan usaha ternak sapi perah ternyata sangat banyak mengalami
kendala dan hambatan. Berbagai tantangan yang dihadapi oleh usaha ini cukup berat baik di tingkat global dan regional, makro serta mikro. Tingkat global dan regional tantangan yang dihadapi adalah meningkatnya kegiatan ekspor dan
6
substitusi impor dalam upaya perolehan dan penghematan devisa negara (Yusdja, 2005). Sedangkan pada tingkat makro, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional dalam hal ini, pangan protein asal ternak khususnya susu, meskipun sebagian besar (75 persen) masih merupakan komponen impor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Tingkat mikro tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan pendekatan kesejahteraan peternak melalui peningkatan efisiensi usaha yang terkait dengan upaya peningkatan populasi ternak dan skala usaha. Adanya tantangan-tantangan dan perkembangan tersebut, maka pembangunan peternakan, khususnya pengembangan usaha sapi perah ditujukan kepada satu visi yaitu terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal (Mandaka dan Hutagaol, 2005). Visi tersebut mengandung arti bahwa usaha peternakan tangguh yang diidamkan harus memihak kepada rakyat, memanfaatkan potensi sumberdaya lokal dan memfasilitasi usaha peternakan rakyat. Salah satu yang menjadi program utama adalah meningkatkan konsumsi susu masyarakat, sehingga upaya yang dilakukan diantaranya adalah meningkatkan supply di dalam negeri dan secara bertahap mengurangi ketergantungan peternak terhadap industri pengolahan susu (IPS) dalam kaitannya dengan distribusi dan
produksi. Sehingga upaya untuk
meningkatkan daya saing susu lokal dapat dipenuhi. Salah satu kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditi susu lokal adalah upaya untuk melindungi peternak dan koperasi susu sapi perah Indonesia, pada tahun 1985 terdapat Instruksi Presiden No. 2 yang membuat kebijakan tentang susu impor. Instruksi tersebut disusun berdasarkan kesepakatan
7
tiga menteri (Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan serta Koperasi) yang berisi bukti serap susu nasional. Apabila IPS membeli susu impor maka diwajibkan untuk membeli susu dari peternakan nasional, jika IPS impor susu sebanyak dua kilogram maka wajib membeli susu dari peternak atau koperasi sebanyak satu kilogram. Saat Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas (WTO/World Trade Organization) pemerintah mencabut Instruksi Presiden No. 2 tahun 1985 (diganti dengan Instruksi Presdien No. 4 tahun 1998). Pencabutan kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan proteksi dari pemerintah terhadap para peternak nasional. Hal ini menyebabkan IPS leluasa untuk membeli susu impor dari luar negeri. Alasan lain yang digunakan oleh IPS untuk melakukan impor susu adalah, bahwa produksi susu nasional belum mampu memenuhi kebutuhan nasional yang sangat besar. Kendala terbatasnya produksi, disamping tingginya akan permintaan susu mengindikasikan bahwa usahaternak sapi perah sangat prospektif untuk dikembangkan karena dukungan pasar atau demand domestik. Selain itu, sejak November tahun 2008 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 145/PMK.011/2008 tentang bea masuk ditanggung pemerintah atas impor barang dan bahan oleh industri pengolahan susu untuk tahun anggaran 2008, dengan nilai Rp 107 miliar untuk periode November-Desember 2008. Namun, pada 2009 pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Permenkeu No. 19/PMK.011/2009 yang menetapkan tarif impor nol persen untuk susu dan turunannya. Keputusan Menteri Keuangan tersebut akan mempengaruhi usahaternak sapi perah lokal yang ada di sentra-
8
sentra sapi perah, terutama keunggulan komperatif dan kompetitif susu segar terhadap susu impor. Kondisi di atas menyebabkan posisi peternak terutama peternak rakyat yang berada pada kegiatan budidaya yang memberikan nilai tambah yang rendah. Hal ini diperparah pula oleh posisi peternak rakyat kecil yang terjepit karena harus menghadapi kekuatan monopoli di pasar input dan kekuatan monopsoni di pasar output usahaternak (Saragih, 1998 dan Saptana, 1999). Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dimana pada setiap tingkatan usahternak sapi perah ini memiliki tantangan dan kendala. Kendalakendala tersebut, menjadi penyebab rendahnya produksi nasional sehingga IPS harus mengimpor susu untuk memenuhi susu nasional. Oleh karena itu, untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri yang meningkat setiap tahun tersebut, apakah sebaiknya pemerintah mengimpor ataukah memproduksi sendiri dengan meningkatkan produktivitas usahaternak sapi perah dalam negeri?. Permasalahan penting lain yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah, apakah usahaternak sapi perah tersebut memiliki daya saing (keunggulan komperatif dan kompetitif) dalam penggunaan sumberdaya domestik?.
1.3.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ’’Daya saing
usahaternak sapi perah, dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha ternak sapi perah di daerah sentra Jawa Barat”. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1.
Menganalisis tingkat efesiensi finansial dan ekonomi usahaternak dalam memproduksi susu sapi segar di daerah sentra sapi perah Jawa Barat.
9
2.
Menganalisis dan mengukur keunggulan kompetitif dan komparatif komoditas susu sapi di daerah sentra sapi perah Jawa Barat.
3.
Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing peternakan sapi perah di sentra Jawa Barat.
4.
Menganalisis sensitivitas perubahan harga input dan output terhadap keuntungan dan daya saing peternakan sapi perah di daerah sentra Jawa Barat.
1.4.
Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1.
Bagi pemerintah pusat dan daerah dapat menjadi rujukan dan masukan serta bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan peternakan sapi perah, terutama dalam hal peningkatan daya saing.
2.
Bagi koperasi susu sapi perah dan IPS dapat mengetahui informasi mengenai penetapan harga susu dan penentuan jumlah yang akan diserap oleh IPS.
3.
Bagi peternak sapi perah dapat memperoleh informasi dan masukan dalam upaya peningkatan efisiensi produksi dan daya saing susu yang dihasilkan.
4.
Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti merupakan bahan referensi maupun informasi bagi penelitian lanjut secara lebih mendalam
pada
pengembangan
metodologi
maupun
pengembangan
komoditas susu dan usaha peternakan yang efisien, produktif, berdaya saing dan berkelanjutan di Indonesia.
10
1.5.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian, terutama subsektor
peternakan merupakan keharusan dalam menggerakan perekonomian berbasis ekonomi kerakyatan, oleh karena itu kebijakan pengembangan subsektor peternakan juga harus mampu menyusun kebijakan yang tepat dan memberikan kesejahteraan bagi peternak. Penelitian ini dilakukan di lokasi sentra penghasil susu terbesar di Jawa Barat, dimana yang dijadikan lokasi unit penelitian adalah tingkat kecamatan utama penghasil susu terbesar di masing-masing kabupaten. Sehingga lokasi penelitian di setiap kabupaten hanya pada wilayah yang masuk dalam wilayah kecamatan tersebut. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usaha ternak sapi perah yang meliputi perhitungan nilai sumberdaya domestik/Domestic Resource Cost Ratio (DRC), Private Cost Ratio (PCR), analisis efisiensi yang dilihat berdasarkan keuntungan baik sosial maupun privat dan aspek dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditas susu tersebut. Penelitian ini lebih difokuskan dan mengukur tingkat daya saing usaha peternakan pada tingkat usahatani peternakan dengan skala kecil dan sangat kecil (kepemilikan sapi perah/lakstasi sebanyak 1-3 ekor per peternak) dan bukan pada skala besar (industri) pengolahan. Adapun yang menjadi batasan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Penelitian ini difokuskan di kabupaten sentra penghasil susu terbesar di Jawa Barat yakni Kabupaten Bandung Barat, Bandung, dan Garut.
11
2.
Pengukuran daya saing peternakan sapi perah atau komoditi susu hanya dilakukan pada level usahatani peternakan tersebut.
3.
Dilihat dari ruang lingkup, studi ini terbatas pada data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi pada usaha ternak sapi perah yang ada di tingkat desa. Data ini juga terbatas pada penggunaan data cross section yang bersifat statis.