FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RESIKO OSTEOPOROSIS PADA LANSIA DI KENAGARIAN API-API WILAYAH KERJA PUSKESMAS PASAR BARU KECAMATAN BAYANG KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2013 Aida Minropa*
ABSTRAK Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif seperti osteoporosis akan menjadi masalah yang memerlukan perhatian khusus. Prevalensi osteoporosis di Indonesia mencapai 19,7%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan resiko osteoporosis pada lansia di kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. Jenis penelitian yang adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian telah dilakukan pada tanggal 20-31 Januari 2013, jumlah responden 48 orang lansia dan jenis data adalah data primer. Teknik pengambilan sampel random sampling. Data diolah menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan 68,8% responden berjenis kelamin perempuan. 70,8% responden umur ≥ 55 tahun. 58,3% responden memiliki tipe tubuh gemuk. 70,8% responden mempunyai aktivitas fisik rendah. 79,2% responden diet tidak cukup kalsium. 75,0% responden resiko positif osteoporosis. Terdapat hubungan: antara jenis kelamin, umur, tipe tubuh, aktivitas fisik dan diet dengan resiko osteoporosis. Disarankan kepada Puskesmas untuk memberikan penyuluhan kesehatan kepada lansia tentang resiko osteoporosis dan modifikasi gaya hidup. Dapat menjadi pedoman bagi peneliti selanjutnya dalam desain dan alat ukur yang berbeda.
Kata Kunci : Faktor resiko, Osteoporosis, lansia
Alamat Korespondensi : Aida Minropa,SKM.,M.Kes Dosen Prodi D III Keperawatan STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang Jl. Jamal Jamil Pondok Kopi Siteba Padang
PENDAHULUAN Pelaksanaan pembangunan Nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur bedasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin baik dan usia harapan hidup yang makin meningkat, sehingga jumlah Lanjut Usia (Lansia) semakin bertambah (Wijaya, 2010). Saat ini penduduk di Indonesia mempunyai umur harapan dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun (Depkes RI, 2012). Pada tahun 2010 jumlah lansia mengalami peningkatan mencapai 9,58% dan pada tahun 2020 diprediksi mengalami peningkatan sebesar 11,20%. Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan pola distribusi penyakit bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif. Salah satu penyakit degeneratif yang semakin tinggi angka prevalensinya dan perlu di waspadai adalah Osteoporosis (Depkes RI, 2008). Osteoporosis adalah penyakit metabolik tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah disertai mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang akhirnya dapat menimbulkan kerapuhan tulang dan menyebabkan fraktur. Osteoporosis disebut sebagai silent desease karena proses kepadatan tulang bekurang secara perlahan dan berlangsung secara progresif selama bertahun-tahun tanpa disadari disertai tanpa adanya gejala. Bahkan pasien Osteopororsis yang dapat diidentifikasi setelah terjadi fraktur hanya kurang dari 25% (Cosman, 2009). Penderita Osteoporosis beresiko mengalami fraktur yang meningkatkan beban sosioekonomi berupa perawatan biaya ynag besar. Selain itu juga menyebabkan kecacatan, ketergantungan pada orang lain yang menyebabkan gangguan aktivitas hidup, fungsi sosial, dan gangguan psikologis sehingga terjadi penurunan kualitas hidup bahkan sampai menyebabkan kematian. Resiko kematian bagi pria yang menderita Osteoporosis sama dengan orang yang
menderita kanker prostat. Sedangkan resiko kematian bagi wanita sama dengan orang yang menderita kanker payudara bahkan lebih tinggi dari orang yang menderita kanker rahim (Tandra, 2009). Penyakit kerapuhan tulang ini melanda seluruh dunia dan telah melumpuhkan jutaan orang. Fakta dari lembaga National Osteoporosis Foundation di Amerika menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Lebih dari 1.5 juta orang di Amerika menderita tulang patah setiap tahunnya yang diakibatkan oleh osteoporosis dan hampir 34 juta orang lainnya diperkirakan mengalami kerendahan densitas tulang (kerapuhan tulang) yang mengakibatkan mereka berada dalam kondisi terancam menderita osteoporosis (Clupster, 2009). International Osteoporosis Foundation (IOF) mencatat 20% pasien patah tulang Osteoporosis meninggal dalam waktu satu tahun. Sepertiga diantaranya harus terus berbaring di tempat tidur, sepertiga lainnya harus dapat dibantu untuk dapat berdiri dan berjalan. Hanya sepertiga yang dapat sembuh dan beraktivitas optimal (Suryati, A Nuraini, 2006). Faktor resiko Osteoporosis dklasifikasikan menjadi dua yaitu faktor resiko primer dan faktor resiko skunder. Faktor resiko primer adalah faktor yang tidak dapat di ubah termasuk usia, jenis kelamin, ras, genetik, menopause/andropause dan ukuran kerangka yang kecil. Faktor resiko skunder yaitu faktor yang dapat di ubah atau dimodifikasi termasuk kurang asupan kalsium dan vitamin D, olah raga tidak teratur, kebiasaan merokok, konsumsi minuman beralkohol dan kopi yang berlebihan dan penggunaan obat-obatan penyebab osteoporosis dalam jangka panjang (Junaidi, 2007). Prevalensi Osteoporosis di Indonesia sudah mencapai 19,7%. Berdasarkan hasil analisis data resiko osteoporosis oleh Puslitbang Gizi Depkes bekerja sama dengan
Fonterra Brand Indonesia yang dipublikasikan tahun 2006 menyatakan 2 dari 5 orang Osteoporosis. Hal ini juga didukung oleh Indonesian White Paper yang dikeluarkan oleh Perhimpunan osteoporosis Indonesia (Perosi) pada tahun 2007 yaitu Osteoporosis pada wanita yang berusia di atas 50 tahun mencapai 32,3% dan pada pria di usia diatas 50 tahun mencapai 28,85. Secara keseluruhan percepatan proses penyakit Osteoporosis pada wanita sebesar 80% dan pria 20% (Suryati, A Nuraini, 2006). Dengan bertambahnya usia maka angka kejadian Osteoporosis akan semakin meningkat, seperti yang ditunjukkan data di Indonesia antara lain Lima Provinsi dengan resiko Osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatera Selatan (27,7%0, Jawa Tengah (24,02 %), Yogyakarta (23,5 %), Sumatera Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan Timur (10,5%) (Pranoto, 2011). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat pada bulan Februari 2009, PT Fontera Brands Indonesia melakukan pemeriksaan densitas massa tulang dengan alat densitometry di berbagai tempat di Sumatera Barat dengan hasilnya yaitu dari 4521 orang yang diperiksa didapatkan kejadian Osteoporosis sebanyak 15,43% Osteoporosis, 35,96% Osteoponia, 48,59% normal.
Indonesia
memiliki
resiko
3.286 orang umur 45-59 tahun, 1.420 orang umur 60-69 tahun dan sisanya umur lebih dari 70 tahun sebanyak 1.108 orang Pada lansia, seiring dengan pertambahan usia fungsi organ tubuh justru menurun, tubuh mengalami kehilangan tulang trabekular dan penyerapan kalsium menurun pula sehingga resiko osteoporosis semakin besar. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita , hal ini disebabkan pengaruh penurunan kadar hormon estrogen yang membantu pengangkutan kalsium ke dalam tulang. Perawakan yang kecil dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan, padahal tulang akan giat membentuk sel bila di tekan oleh bobot yang berat. Sedangkan seseorang yang kurang gerak dan berolahraga otot-ototnya tidak terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat mempercepat penururunan tahanan dan kekuatan pada tulang. Pengaruh diet terhadap resiko osteoporosis, bila makanan yang mengandung cukup kalsium di konsumsi sejak usia dini dapat membantu memperkuat massa tulang, mencegah pengaruh negatif dari berkurangnya keseimbangan kalsium dan mengurangi tingkat kehilangan kalsium pada tahun-tahun berikutnya.
Osteoporosis dapat menyerang semua orang, meskipun tingkat risikonya berbedabeda. Adapun faktor risiko terjadinya osteoporosis dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan seperti jenis kelamin, umur, ras, riwayat keluarga, tipe tubuh dan menopause. Sedangkan faktor risiko yang dapat dikendalikan yaitu aktivitas fisik (olah raga), diet, kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol (Wirakusumah, 2007).
Studi pendahuluan selama dua hari pada tanggal 5-6 Juni 2012 di Posyandu lansia ApiApi dari 10 orang lansia yang diwawancarai yaitu enam orang lansia berjenis kelamin perempuan dan empat orang laki-laki. Empat orang lansia berumur 45-50 tahun dan enam orang lansia berumur 50 tahun keatas. Sementara itu dari pengukuran antropometri tiga orang lansia memiliki ukuran rangka yang kecil, dua orang lansia tidak pernah meminum susu kalsium atau suplemen kalsium dan dua orang lansia tidak pernah melakukan olahraga rutin.
Dari laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan jumlah lansia pada tahun 2010 sebanyak 40.163 orang dan tahun 2011 sebanyak 41.911 orang. Di Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang sendiri jumlah Lansia sebanyak 5.814 orang dengan rincian 3.201 orang perempuan dan 2.613 orang laki-laki.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang FaktorFaktor yang berhubungan dengan resiko Osteoporosis pada lansia di wilayah posyandu lansia Api-Api Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2012.
METODE PENELITIAN
Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Lansia yang ada di wilayah Kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Tahun 2013 yang berjumlah 480 orang.
Pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu sebanyak 10% dari populasi. Jumlah lansia di Kenagarian Api-Api Wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru dalam penelitian ini yaitu 480 orang dan jumlah sampel dalam penelitian menurur rumus di atas yaitu 48 orang dengan criteria sampel :
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Jika populasi besar dari 100 maka sampel diambil 10-15% dari jumlah populasinya, kecil dari 100 maka sampel yang diambil semua populasi (Arikunto, 2006).
a. Lansia yang berumur 45 tahun keatas b. Lansia ada di tempat pada saat penelitian c. Bersedia menjadi responden d. Mampu berkomunikasi dengan baik. e. Lansia yang tidak sedang dalam keadaan sakit terbaring f. Lansia yang didampingi anggota keluarga lain pada saat penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 20-31 Januari 2013 tentang faktor –faktor yang berhubungan dengan resiko osteoporosis pada lansia di
kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2013, didapatkan hasil penelitian sebagai berikut :
1.Jenis Kelamin Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013 No.
Jenis Kelamin
f
%
1.
Pria
15
31.3
2.
Wanita
33
68.8
48
100
Jumlah
Dari tabel 1 terlihat bahwa lebih dari separoh (68,8%) responden berjenis kelamin wanita. Wanita mempunyai resiko terkena osteoporosis lebih besar dari pada pria. Secara umum wanita memiliki resiko osteoporosis empat kali lebih banyak dari pria. Hal ini terjadi antara lain karena massa tulang wanita lebih kecil dari pria (Wirakusumah, 2007).
Pada perempuan, hormon estrogen sangat berpengaruh dalam mempertahankan kepadatan tulang. Saat kadar estrogen menurun pasca menopause, maka penurunan kepadatan tulang akan semakin cepat. Selama 5-10 tahun pertama setelah menopause, perempuan bisa mengalami penurunan massa tulang sebesar 2-4% per tahun. Artinya mereka
akan kehilangan massa tulang sebesar 25-30% dalam masa ini. Percepatan penurunan massa tulang pasca menopause ini merupakan penyebab utama terjadinya osteoporosis pada perempuan (Guyton, 2000). Asumsi peneliti pada wanita lebih beresiko mengalami osteoporosis karena pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun akibat dari penurunan fungsi ovarium pada masa menopause akan mempengaruhi proses remodelling tulang
Yang bertujuan untuk mempertahankan tulang yang sehat, sebagai proses pemeliharaan tulang dengan mengganti tulang yang tua dengan tulang yang baru. Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodelling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai yang beresiko menimbulkan osteoporosis.
2. Umur
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013 No. 1. 2.
Umur < 55 Tahun ≥ 55 Tahun Jumlah
Dari table 2 terlihat lebih dari separoh (70.8%) responden berumur ≥ 55 Tahun. Semakin tua umur seseorang, resiko terkena osteoporosis menjadi semakin besar. Proses densitas (kepadatan) tulang hanya berlangsung sampai seseorang berumur 25 tahun. Selanjutnya, kondisi tulang akan tetap konstan hingga usia 40 tahun. Setelah umur 40 tahun, densitas tulang mulai berkurang secara perlahan. Oleh karenanya, massa tulang akan berkurang seiring dengan proses penuaan. Berkurangnya massa tulang ini akan berlangsung terus sepanjang sisa hidup (Wirakusumah, 2007).
f
%
14 34
29.2 70.8
48
100
Asumsi peneliti, responden yang memiliki umur ≥ 55 tahun memiliki resiko osteoporosis karena pada lansia akibat proses penuaan terjadi penurunan kemampuan tubuh dalam penyerapan kalsium. Osteoporosis erat kaitannya dengan proses penuaan di mana cadangan kalsium menipis dengan bertambahnya usia. Selain itu penurunan massa tulang dapat terjadi akibat proses penyusutan tulang yang cepat dibanding proses pembentukan tulang.
3. Tipe Tubuh Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tipe Tubuh di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013 No. 1. 2.
Tipe Tubuh Gemuk Kurus Jumlah
Dari tabel 3 terlihat lebih dari separoh (58.3%) responden memiliki tipe tubuh Kurus. Menurut Cosman (2009), badan yang gemuk dapat memberikan beban berat setiap hari pada tulang untuk mendorong pembentukan tulang, sama dengan olahraga. Badan yang gemuk juga dapat mempermudah produksi hormon estrogen dari jaringan lemak. Ini adalah satu-satunya manfaat badan yang sedikit gemuk pada kesehatan. Rangka tubuh atau bentuk tubuh dari wanita menopause. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separoh responden memiliki tipe tubuh kurus. Hal ini karena berdasarkan hasil kuesioner penelitian, didapatkan banyak responden dengan berat badan kurus dengan indeks masa tubuh di bawah 18,5. Estrogen tidak hanya dihasilkan oleh ovarium, namun juga di hasilkan oleh
f 20 28 48
% 41.7 58.3 100
kelenjer adrenal dan dari jaringan lemak. Jaringan lemak atau adiposa dapat mengubah hormon androgen menjadi estrogen. Semakin banyak jaringan lemak yang dimiliki oleh wanita semakin banyak hormon estrogen yang di produksi. Penurunan massa tulang pada wanita yang kelebihan berat badan dan memiliki kadar lemak yang tinggi, pada umumnya akan lebih kecil. Adanya penumpukan jaringan lunak dapat melindungi rangka tubuh dari trauma patah tulang (Lane, 2012). Asumsi peneliti, responden dengan tipe tubuh kurus memiliki resiko osteoporosis lebih besar dari pada responden dengan tipe tubuh normal atau lebih karena massa tulang pada tubuh yang kurus cenderung kurang terbentuk sempurna sehingga tulang menjadi kurang padat dan beresiko untuk terjadi osteoporosis.
4. Aktifitas Fisik (olahraga) Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Aktifitas Fisik (olahraga) di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013 No. 1. 2.
Dari separoh aktivitas Menurut rendah olahraga
Aktivitas Fisik Tinggi Rendah Jumlah
tabel 4 terlihat bahwa lebih dari (70.8%) responden memiliki fisik (olahraga) yang rendah. ’ Wirakusumah (2007), semakin aktivitas fisik dan intensitas semakin besar resiko terkena
f 14 34 48
% 29.2 70.8 100
osteoporosis. Hal ini terjadi karena aktivitas fisik dan olahraga dapat membangun tulang dan otot menjadi lebih kuat.
Asumsi peneliti rendahnya aktivitas fisik pada responden disebabkan kebiasaan responden melakukan olahraga yang tidak teratur padahal menurut teori Joging dan jalan cepat yang dilakukan
secara teratur atau rutin sangat baik untuk mencegah osteoporosis. dengan intensitas ringan dengan durasi 30-40 menit lakukan minimal 3x seminggu (Purwoastuti, 2009).
5. Diet Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Diet di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013 No. 1. 2.
Diet Kalsium Cukup Tidak Cukup Jumlah
Dari tabel 5 terlihat bahwa lebih dari separoh (79.2%) responden memiliki diet yang tidak cukup kalsium dan fosfor. Menurut Wirakusumah (2007), pola makan yang tidak memperhatikan kecukupan asupan kalsium dan fosfor beresiko osteoporosis. Makanan sumber Kalsium dan Fosfor dapat membantu memperkuat massa tulang, mencegah pengaruh negatif dari berkurangnya keseimbangan kalsium dan mengurangi tingkat kehilangan tulang pada tahun-tahun selanjutnya.
f 10 38 48
% 20.8 79.2 100
Asumsi peneliti rendah asupan Kalsium pada responden disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang tinggal di tepi pantai cenderung mengkonsumsi ikan laut yang tinggi. Akan tetapi jenis ikan yang di konsumsi kemungkinan adalah jenis ikan yang di konsumsi tidak dengan tulangnya seperti ikan teri yang lazim di kionsumsi dengan tulangnya. Kandungan Kalsium pada 100 gr ikan teri adalah 500-1200 mg, sedangkan pada ikan tongkol hanya 92 mg.
6. Resiko Osteoporosis Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Resiko Osteoporosis di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013 No. 1. 2.
Resiko Osteoporosis Resiko Negatif Resiko Positif Jumlah
Dari tabel 6 terlihat bahwa lebih dari separoh (75.0%) responden memiliki resiko positif osteoporosis. Osteoporosis adalah hilangnya massa tulang penipisan dari tulang yang mengakibatkannya menjadi kurang padat. Salah satu penyebabnya adalah berkurangnya estrogen sesudah menopause. Sesudah menopause, wanita
f 12 36 48
% 25.0 75.0 100
dapat kehilangan 2-5 % massa tulang pertahun selama 5 tahun. Hal ini mendatangkan risiko tinggi, karena tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Hutapea, 2005).Osteoporosis adalah suatu penyakit dengan tanda utama berupa berkurangnya kepadatan tulang, yang berakibat meningkatnya kerapuhan tulang dan
meningkatnya resiko patah tulang (Junaidi, 2007). Penilaian resiko osteoporosis dilakukan dengan menggunakan formulir tes semenit resiko osteoporosis yang di keluarkan oleh IOF (International Osteoporosis Foundation) berupa 10 item pertanyaan yaitu pernah menderita patah tulang, riwayat orang tua pernah didiagnosa mengalami osteoporosis atau pernah mengalami patah tulang, , pernah minum obat kortikosteroid, tinggi badan berkurang lebih dari 3 cm, secara teratur minum minuman beralkohol, merokok lebih dari 20 batang sehari, sering menderita diare, mengalami menopause sebelum usia 45 tahun (khusus untuk
wanita), haid pernah terhenti selama 12 bulan kecuali karena hamil dan menopause (khusus wanita), pernah menderita impotensi, libido menurun atau gejala lain yang berhubungan dengan tingkat testoteron yang rendah (khusus pria). Jika salah satu jawaban adalah “Ya” ini berarti seseorang beresiko terkena osteoporosis (Depkes RI, 2008). Dari tabel 6 terlihat bahwa lebih dari separoh (75.0%) responden memiliki resiko osteoporosis. Hal ini disebabkan oleh banyak responden yang memiliki riwayat menopuase sebelum umur 45 tahun, memiliki riwayat fraktur akibat terjatuh, memiliki orang tua yang mengalami riwayat fraktur dan riwayat merokok.
7. Hubungan Jenis Kelamin dengan resiko Osteoporosis Tabel 7 Hubungan Jenis Kelamin dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013
Jenis Kelamin Pria Wanita Jumlah
Resiko Osteoporosis Resiko Negatif Resiko Positif Total F % F % 8 53.3 7 46.7 15 4 12.1 29 87.9 33 12 36 48 ρ value = 0.004
Dari tabel 7 terlihat bahwa dari 33 responden yang berjenis kelamin wanita terdapat 29 responden (87.9%) memiliki resiko positif osteoporosis sedangkan yang memiliki resiko negatif osteoporosis sebanyak 4 responden (12.1%). Secara statistik dengan uji Chi-Square menunjukkan nilai ρ value = 0.004 (ρ < 0.05) yang berarti ada hubungan antara jenis kelamin dengan resiko osteoporosis. Wanita mempunyai risiko terkena osteoporosis lebih besar dari pada pria. Sekitar 80% diantara penderita osteoporosis adalah wanita. Secara umum, wanita menderita osteoporosis empat kali lebih banyak daripada pria. Satu dari tiga wanita memiliki kecendrungan untuk
% 100 100 100
menderita osteoporosis. Adapun kejadian osteoporosis pada pria lebih kecil yaitu satu dari tujuh pria. Hal ini terjadi antara lain karena massa tulang wanita 4 lebih kecil dibandingkan dengan pria. Nilai massa tulang wanita umumnya hanya sekitar 800 gram lebih kecil dibandingkan dengan pria yaitu sekitar 1.200 gram. Karena nilai massa tulang yang rendah itulah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang sangat mungkin terjadi (Wirakusumah, 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Fatmah (2008) dimana didapatkan temuan lansia wanita 4 kali lebih beresiko
mengalami osteoporosis di banding lansia laki-laki. Asumsi peneliti resiko lansia wanita lebih tinggi mengalami osteoporosis daripada pria karena wanita mengalami menopause. Menurunnya hormon estrogen saat menopause berkontribusi pada peningkatan absorpsi kalsium dan berperan dalam percepatan hilangnya otot-otot rangka wanita saat menopause. Setelah menopause akibat penurunan 8.
fungsi ovarium, keseimbangan antara proses pembentukan tulang (osteoblast) dan proses penghancuran tulang (osteoklas) mulai mengalami gangguan, fungsi osteoblas menurun dan pembentukan tulang baru pun mulai berkurang padahal osteoklast berlangsung dengan sangat cepat. Selain itu wanita lebih beresiko dari pada pria karena wanita memiliki massa tulang yang lebih kecil dari pada pria.
Hubungan umur dengan resiko osteoporosis
Tabel 8 Hubungan Umur dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di Kenagarian ApiApi Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013
Umur < 55 Tahun ≥ 55 Tahun Jumlah
Resiko Osteoporosis Resiko Negatif Resiko Positif Total F % f % 8 57.1 6 42.9 14 4 11.8 30 88.2 34 12 36 48 ρ value = 0.002
Dari tabel 8 terlihat bahwa dari 34 responden yang berumur ≥ 55 tahun terdapat 30 responden (88.2%) memiliki resiko positif osteoporosis sedangkan yang memiliki resiko negatif osteoporosis sebanyak 4 responden (11.8%). Dari 14 responden yang berumur < 55 tahun terdapat 8 responden (57.1%) tidak memiliki resiko osteoporosis. Secara statistik dengan uji ChiSquare menunjukkan nilai ρ value = 0.002 (ρ < 0.05) yang berarti ada hubungan antara umur dengan risiko osteoporosis. Semakin tua umur seseorang, risiko terkena osteoporosis menjadi semakin besar. Proses densitas (kepadatan) tulang hanya berlangsung sampai seseorang berumur 25 tahun. Selanjutnya, kondisi tulang akan tetap konstan hingga usia 40 tahun. Setelah umur 40 tahun, densitas tulang mulai berkurang secara perlahan. Oleh karenanya, massa tulang akan berkurang seiring dengan proses penuaan.
% 100 100 100
Berkurangnya massa tulang ini akan berlangsung terus sepanjang sisa hidup. Dengan demikian, osteoporosis pada usia lanjut terjadi akibat berkurangnya massa tulang. Pada lansia, kemampuan tulang dalam menghindari keretakan akan semakin menurun. Kondisi ini juga diperparah dengan kecendrungan rendahnya konsumsi kalsium dan kemampuan penyerapannya. Timbulnya berbagai penyakit pada lansia juga akan semakin menurunkan kemampuan penyerapan kalsium maupun meningkatnya pengeluaran kalsium. (Wirakusumah, 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Mamat Lukman (2008) di Desa Cijambu, dimana terdapat hubungan antara usia dengan resiko osteoporosis. Asumsi peneliti, adanya hubungan antara umur responden dengan resiko
osteoporosis, hal ini disebabkan oleh umur seseorang sangat berpengaruh terhadap kekuatan tulangnya. Usia akhir 30-an tulang kehilangan kalsium lebih cepat dari pada asupan kalsium. Dengan makin bertambah usia, kemampuan tubuh menyerap kalsium dari makanan yang dimakan makin menurun. Berkurangnya penyerapan kalsium menyebabkan
menurunnya kepadatan dan massa tulang sehingga berisiko pengeroposan. Osteoporosis erat kaitannya dengan proses penuaan di mana cadangan kalsium menipis dengan bertambahnya usia. Selain itu penurunan massa tulang dapat terjadi akibat proses penyusutan tulang yang cepat dibanding proses pembentukan tulang.
9. Hubungan tipe tubuh dengan resiko osteoporosis Tabel 9 Hubungan Tipe Tubuh dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013
Tipe Tubuh Gemuk Kurus Jumlah
Resiko Osteoporosis Resiko Negatif Resiko Positif Total F % f % 10 50.0 10 50.0 20 2 7.1 26 92.9 28 12 36 48 ρ value = 0.002
Dari tabel 9 terlihat bahwa dari 28 responden yang memiliki tipe tubuh kurus terdapat 26 responden (92.9%) memiliki resiko positif osteoporosis sedangkan dari 20 responden yang memiliki tipe tubuh gemuk terdapat 10 responden (50.0%) memiliki resiko positif osteoporosis. Secara statistik dengan uji Chi-Square menunjukkan nilai ρ value = 0.002 (ρ < 0.05) yang berarti ada hubungan antara tipe tubuh dengan resiko osteoporosis. Semakin kecil rangka tubuh maka semakin besar resiko terkena osteoporosis. Demikian pula dengan wanita yang mempunyai tubuh kurus cenderung mempunyai resiko yang lebih tinggi terkena osteoporosis dari pada yang mempunyai berat badan lebih besar. Faktor resiko yang dapat dikendalikan berat badan adalah faktor yang menentukan kepadatan tulang, tetapi bisa juga berfungsi memberikan perlindungan mekanis (Wirakusumah, 2007).
% 100 100 100
Badan yang gemuk dapat memberikan beban berat setiap hari pada tulang untuk mendorong pembentukan tulang, sama dengan olahraga. Badan yang gemuk juga dapat mempermudah produksi hormon estrogen dari jaringan lemak. Ini adalah satu-satunya manfaat badan yang sedikit gemuk pada kesehatan. Rangka tubuh atau bentuk tubuh dari wanita menopause. Alat ukur yang digunakan adalah antropometri dengan skala interval (Cosman, 2009). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Fatmah (2008) dimana didapatkan adanya hubungan antara tipe tubuh dengan risiko osteoporosis. Asumsi peneliti, terdapatnya hubungan antara tipe tubuh dengan resiko osteoporosis, hal ini disebabkan oleh karena perawakan yang kurus memiliki bobot tubuh cenderung ringan, padahal tulang akan giat membentuk sel bila ditekan oleh bobot yang berat. Karena
posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada area tersebut, terutama pada daerah pinggul dan panggul. Selain itu indeks massa tubuh yang kurang menyebabkan jaringan lemak yang rendah padahal jaringan lemak dapat
menghasilkan estrogen yang dapat berfungsi dalam pemeliharaan tulang.
10. Hubungan aktivitas fisik dengan resiko osteoporosis Tabel 10
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013
Aktivitas Fisik Tinggi Rendah Jumlah
Resiko Osteoporosis Resiko Negatif Resiko Positif Total F % f % 11 78.6 3 21.4 14 1 2.9 33 97.1 34 12 36 48 ρ value = 0.000
Dari tabel 10 terlihat bahwa dari 34 responden yang memiliki aktivitas fisik rendah terdapat 33 responden (97.1%) memiliki resiko positif osteoporosis sedangkan dari 14 responden yang memiliki aktivitas tinggi terdapat 11 responden (78.6%) memiliki resiko negatif osteoporosis. Secara statistik dengan uji ChiSquare menunjukkan nilai ρ value = 0.000 (ρ < 0.05) yang berarti ada hubungan antara aktivitas fisik (olahraga) dengan resiko osteoporosis. Semakin rendah aktivitas fisik, semakin besar risiko terkena osteoporosis. Hal ini terjadi karena aktivitas fisik (olahraga) dapat membangun tulang dan otot menjadi lebih kuat, juga
% 100 100 100
meningkatkan keseimbangan metabolisme tubuh (Wirakusumah, 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Fatmah (2008) dimana terdapat tingginya persentase resiko osteoporosis pada responden dengan tingkat aktivitas fisik rendah. Asumsi peneliti, terdapatnya hubungan antara aktivitas fisik dengan resiko osteoporosis, karena kegiatan fisik (olahraga) yang kurang menyebabkan pembentukan tulang tidak maksimal. Kurangnya berolahraga juga dapat menghambat proses pembentukan tulang sehingga kepadatan tulang akan berkurang.
11. Hubungan diet dengan resiko osteoporosis Tabel 11 Hubungan Diet dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di Kenagarian ApiApi Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013
Diet
Resiko Osteoporosis Resiko Negatif Resiko Positif
Total
%
Cukup Kalsium & Fosfor Tidak Cukup Kalsium & Fosfor Jumlah
F 7
% 70.0
f 3
% 30.0
5 12
13.2
33 36
86.8
Dari tabel 11 terlihat bahwa dari 38 responden yang memiliki diet yang tidak cukup kalsium dan fosfor terdapat 33 responden (86.8%) memiliki resiko positif osteoporosis sedangkan dari 10 responden yang memiliki diet cukup kalsium dan fosfor terdapat 3 responden (30%) memiliki resiko positif osteoporosis. Secara statistik dengan uji Chi-Square menunjukkan nilai ρ value = 0.001 (ρ < 0.05) yang berarti ada hubungan antara diet dengan resiko osteoporosis Secara statistik dengan uji Chi-Square menunjukkan nilai ρ value = 0.001 (ρ < 0.05) yang berarti ada hubungan antara diet dengan resiko osteoporosis. Pola makan yang tidak seimbang yang kurang memperhatikan kandungan gizi seperti kalsium, fosfor dan vitamin D dapat beresiko menimbulkan osteoporosis.. Makanan sumber kalsium, fosfor, dan vitamin D yang dikonsumsi cukup sejak usia dini dapat membantu memperkuat massa tulang, mencegah pengaruh negatif dari berkurangnya keseimbangan kalsium dan mengurangi KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian tentang penelitian yang telah dilakukan pada bulan Januari 2013 tentang faktor –faktor yang berhubungan dengan resiko osteoporosis pada lansia di kenagarian Api-Api Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Lebih dari separoh (68,8%) responden berjenis kelamin perempuan pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 2. Lebih dari separoh (70,8%) responden berumur ≥ 55 tahun pada lansia di
10
100
38 100 48 100 ρ value = 0.001
tingkat kehilangan massa kalsium pada tahun-tahun selanjutnya (Wirakusumah, 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sri Prihartini,dkk (2010) dimana terdapat tingginya proporsi resiko osteoporosis pada responden dengan asupan kalsium dan fosfor < 70 %. Asumsi peneliti, terdapatnya hubungan antara diet dengan resiko osteoporosis, karena Kalsium merupakan komponen utama pembentuk tulang, yang akan memicu tekanan mekanik pada tulang, meningkatkan aktivitas osteoblas sehingga meningkatkan kepadatan massa tulang. Selain itu diet yang kurang kalsium yang kurang menyebabkan tubuh kekurangan kalsium sehingga tubuh mengkompensasi pengeluaran hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh yang lain termasuk dari tulang sehingga beresiko terhadap pengeroposan tulang. kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 3. Lebih dari separoh (58,3%) responden memiliki tipe tubuh kurus pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 4. Lebih dari separoh (70,8%) responden memiliki aktivitas fisik rendah pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 5. Lebih dari separoh (79,2%) responden memiliki diet tidak cukup kalsium pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah
kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 6. Lebih dari separoh (75,0%) responden memiliki resiko positif osteoporosis pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 7. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan resiko osteoporosis pada pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 8. Ada hubungan antara umur dengan resiko osteoporosis pada pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 9. Ada hubungan antara tipe tubuh dengan resiko osteoporosis pada pada lansia di kenagarian wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Api-Api Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 10. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan resiko osteoporosis pada pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013. 11. Ada hubungan antara diet dengan resiko osteoporosis pada pada lansia di kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013.
Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian maka peneliti menyarankan : 1.
2.
3.
Kepada masyarakat agar dapat memodifikasi pola hidup khususnya lansia dengan cara memperhatikan asupan zat gizi utama tulang yaitu kalsium dan fosfor, berolahraga secara teratur, menghentikan kebiasaan merokok sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat osteoporosis dengan cara menyebarkan leaflet-leaflet yang berisikan informasi tentang pencegahan osteoporosis. Kepada Puskesmas khususnya program Promkes dan Perkesmas agar dapat memberikan penyuluhan kesehatan pada lansia tentang osteoporosis terutama tentang cara mempertahankan kepadatan tulang dengan mengkonsumsi zat gizi tinggi kalsium dan fosfor, melakukan aktifitas olahraga secara teratur serta dengan menghindari faktor resiko dan melakukan skrining faktor resiko khususnya kepada lansia agar kejadian osteoporosis dapat dicegah secara dini. Kepada Peneliti Lain agar data ini dapat dijadkan data awal dalam penelitian selanjutnya yang lebih mendalam yang berhubungan dengan faktor resiko osteoporosis dalam desain, sampel dan alat ukur yang berbeda dan tidak terbatas pada variabel-variabel yang tercantum dalam penelitian saja sehingga dapat diketahui faktor-faktor lain yang berhubungan dengan resiko osteoporosis.
DAFTAR PUSTAKA Budiarto, Eko.2002. Biostatistik untuk kedokteran dan kesehatan masyarakat. Jakarta : EGC Cosman, Felicia. 2009. Panduan Lengkap
Osteoporosis: agar Tulang
Anda Tetap Sehat. Yogyakarta: BFirst Hutapea, Ronald. 2005. Sehat dan Ceria di Usia Senja. Jakarta: Rineka Cipta
Junaidi, Iskandar. 2007. Osteoporosis. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Suharsimi Arikunto, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
Purwoastuti, Endang. 2009. Waspada Osteoporosis. Yogyakarta : Kanisius Sutanto, Luciana B. 2005. Menopause. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Waluyo, Srikandi. 2010. 100 Questions & Answers Menopause atau Mati Haid. Jakarta:Elek Media Komputindo Wirakusumah, Emma S. 2007. Mencegah Osteoporosis Lengkap dengan 39 Jus dan 38 Resep Masakan. Jakarta: Penebar Plus Tandra, Hans. 2009. Segala Sesuatu Yang harus Anda Ketahui Tentang Osteoporosis, Mengenal, Mengatasi dan Mencegah Tulang Keropos, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Ode, Sharif La. 2012. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika
Noorkasiani, S. Tamher. 2011. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika Clupster. 2009. Bahaya Osteoporosis. http://clupst3r.wordpress.com/200 9/10/12/bahaya-osteoporosis/. Diakses tanggal 10 November 2011 Depkes RI. 2008. Berdiri Tegak, Bicara Lantang, Kalahkan Osteoporosis. http://www.depkes.go.id/index.ph p/berita/press-release/404-berdiritegak-bicara-lantang-kalahkanosteoporosis.html. Diakses tanggal 11 november 2012 http://www.jurnalkesehatan.info/mencegah -osteoporosis-denganberolahraga-secara-teratur. Diakses tanggal 15 November 2012 http://databaseartikel.com/kesehatan/peny akit-kesehatan/20115622mengenal-osteoporosis.html Http://Onrongmarokinarisal.Blogspot.Com /2011/12/Anatomi-TulangManusia.Html.Diakses Tanggal 20 Desember 2011