II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Perjanjian Multilateral Perdagangan Dunia
2.1.1 ASEAN Free Trade Area (AFTA) AFTA merupakan Free Trade Area, yaitu suatu bentuk kerja sama perdagangan regional dimana diantara para anggotanya terjadi perdagangan secara bebas, namun tetap mempertahankan tarif masing-masing terhadap negara bukan anggota. AFTA ini dibentuk pada bulan Januari 1992 oleh negara-negara Asia Tenggara, dimana mereka menyepakati pengaturan perdagangan sesuai syarat-syarat yang tercantum dalam Artikel XXlV GATT. Para pemimpin ASEAN ketika itu menyadari bahwa perekonomian mereka secara pesat didorong oleh pasar menuju ke suatu integrasi ekonomi baik regional maupun internasional, dan dengan bergabung mereka berharap memperkokoh posisi kolektif agar diperoleh keuntungan yang lebih besar dari integrasi mereka dalam perekonomian dunia (Soesastro, 1994). Pelaksanaan AFTA sendiri sudah sedemikian dekat yaitu tahun 2003 yang memerlukan konsentrasi tersendiri agar Indonesia siap menghadapinya. Melalui AFTA ini diharapkan tercipta perdagangan bebas di kawasan ASEAN dengan menurunkan tarif antar negara anggota dan qengurangi hambatan non-tarif yang pada akhirnya meningkatkan daya saing ASEAN ' di pasaran dunia. Mekanismenya disepakati melalui CEPT (Common Effective Preferential Tariffs) yaitu skema tarif
yang disetujui
semua
negara anggota ASEAN.
Penerapan CEPT dalam rangka
menciptakan liberalisasi perdagangan intra ASEAN, mencakup semua produk manufaktur termasuk barang modal dan hasil pertanian yang telah diolah maupun tidak diolah. Menurut Langhammer (Ruru, 1996) terdapat 2 faktor yang menjadi alasan mengapa kehadiran AFTA terasa penting : (a) CEPT yang menjadi inti AFTA sebenarnya seirama dengan Putaran Uruguay, sehingga melalui CEPT ini diharapkan dilakukan persiapan-persiapan yang lebih matang dalam melaksanakan kebijakan penguranganlpenghapusan tarif atau non tarif sebelum diberlakukannya sistem perdagangan multilateral GATTWO. (b) Melalui AFTA diharapkan memberi manfaat terhadap ekonomi intra ASEAN, yaitu mendorong peningkatan efisiensi sehingga memperkuat posisi ASEAN atas tekanan perdagangan internasional. Sedangkan bagi lndonesia sendiri, lwan Jaya Azis menyoroti bahwa pembentukan AFTA setidaknya memperbesar volume perdagangan dan investasi intra ASEAN, serta memperbesar bargaining position dalam menyelesaikan persoalan dengan suatu atau kelompok negara seperti Amerika, Eropa, NAFTA, dan lainnya. Disamping itu tentunya secara tidak langsung menekan industri Indonesia agar menjadi lebih efisien (Ruru, 1996). Memang pada awalnya CEPT hanya melibatkan produk-produk manufaktur dan pertanian, namun dalam pertemuan tahun 1994 dan 1995 dicapai konsensus untuk mengurangi pengecualian, memperluas lingkupnya sampai ke produk jasa, bahkan mempercepat batas akhir pelaksanaan. Kerjasama AFTA ini juga telah diparluas ke masalah-masalah diluar
perdagangan, seperti : harrnonisasi standar, kesadaran timbal balik dalam pengujian dan sertifikasi produk, serta liberalisasi investasi. Kerjasama diatas bertujuan untuk membebaskan arus modal, meningkatkan investasi, keterkaitan antar industri, dan saling melengkapi diantara anggota. Komoditi yang dilibatkan dimasukkan dalam skema CEPT dan dibedakan dalam 2 jalur yaitu : jalur cepat (fast-track) dan jalur normal (normal-track). Pemotongan tarif bea masuk bagi produk yang dikategorikan fast-track lebih cepat dibandingkan normal-track. Pada fast-track terdapat 15 kelompok komoditi, dan yang pada saat ini masih bertarif diatas 20% akan diturunkan menjadi 0
- 5% pada tahun 2000, sementara tarif dibawah 20%
akan diturunkan menjadi maksimum 5% pada tahun 1998. Pada normaltrack, komoditi yang sudah bertarif maksimum 20% akan diturunkan menjadi dibawah 5% pada tahun 2000, sedangkan yang masih bertarif diatas 20% diharapkan akan dibawah 5% pada tahun 2003. Sasaran waktu tadi tidak dapat dianggap ringan, mengingat dari daftar produk yang Masuk dan Dikecualikan dalam skema CEPT, terlihat bahwa Indonesia masih kurang siap dalam mengidentifikasi produk-produk pilihannya untuk diperdagangkan di kawasan ASEAN. Bahkan untuk beberapa produk Petrokimia yang sebelumnya sudah masuk dalam Inclusion List, dalam sidang Dewan AFTA 1997 malah dikeluarkan kembali dan dimasukkan kedalam kelompok Temporary Exclusion List, dimana tindakan ini dianggap keluar dari kesepakatan bersama. Sementara itu produk-produk pertanian mentah tersebar dalam kategori Inclusion List, Temporary
Exclusion, dan Sensitive List. Item-item yang masuk Sensitive List akan diliberalisasi secara terpisah dari CEPT, tetapi tetap berpedoman pada W O . Dalam pertemuan Dewan AFTA tahun 1995 di Brunei, telah disepakati penurunan tarif rata-rata semua negara anggota berdasarkan skema CEPT sesuai dengan Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Penurunan Tarif CEPT ASEAN 1996-2003 (%)
Brunei Indonesia Malaysia Thailand Filipina Singapura ASEAN
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2.46 11.63 5.93 14.10 9.17 0 7.76
2.29 10.61 5.14 12.69 8.33 0 7.00
1.91 8.84 4.42 10.15 7.16 0 5.79
1.74 7.91 3.67 9.28 6.53 0 5.19
1.39 5.81 2.90 7.00 5.42 0 3.97
1.39 5.70 2.83 6.99 4.90 0 3.88
1.39 5.00 2.83 5.78 4.89 0 3.47
1.39 4.25 2.83 4.63 3.73 0 2.95
Sumber : Sekretariat ASEAN dalam Wiranta ( I 996) Dari sidang Dewan AFTA 1997 diindikasikan bahwa rata-rata tarif kawasan ASEAN pada tahun I997 sudah mencapai 6.38%, yang kemudian akan menjadi 4.02% pada tahun 2000 dan mencapai 2.55% pada tahun
2003. Dan sekitar 87% dari total tarif yang termasuk dalam Inclusion List akan bertarif 0-5% pada tahun 2003. Sementara itu liberalisasi sektor jasa diharapkan dicapai paling lambat akhir Maret 1998, yang mencakup 5 sektor yaitu transportasi maritim, transportasi udara, jasa bisnis, telekomunikasi dan pariwisata. Indonesia sendiri hanya meliberalisasi 2 sektor jasa yaitu transportasi maritim dan pariwisata, lebih sedikit daripada komitmen yang
disetujui dalam VVTO yaitu transportasi maritim, pariwisata, telekomunikasi, konstruksi dan perbankan. Dalam
perkembangannya
perdagangan
intra-ASEAN
terus
mengalami peningkatan yang cukup berarti (Wiranta, 1996), dimana pada tahun 1994 sudah mencapai 95 miliar dollar, berarti naik 100% dibandingkan tahun 1990. Total perdagangan intra-ASEAN ini mencapai 20% dari total perdagangan ASEAN dengan dunia yang mencapai 500 miliar dollar pada tahun 1994. Ekspor intra-ASEAN telah meningkat pesat dari nilai US$ 2.8 miliar (1965) menjadi US$75.6 miliar (1995)) berarti meningkat hampir 30 kali selama 30 tahun. Bila dilihat rasio intra-ASEAN ekspor terhadap GDPnya, memang Indonesia belum banyak menikmati kue ini, dimana pada tahun 1995 baru mencapai 5%, kontras dengan Malaysia yang rasionya sudah 30% (1995), bahkan Singapura sudah mencapai 81% (1995). Dalam 5 tahun terakhir (1990-1994) perdagangan ASEAN dengan negara-negara maju seperti Jepang, AS, dan Uni Eropa tetap tinggi terbukti dengan nilai perdagangannya yang terus meningkat. Perdagangan ASEAN dengan Cina juga mengalami grafik meningkat, sementara dengan SAARC (South Asia Association Regional Cooperation) masih relatif kecil. Total ekspor ASEAN dengan blok-blok perdagangan lainnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari data-data yang ada, perkembangan ekspor ASEAN (Thailand, Ma!aysia, Indonesia, Pilipina, Singapura, Vietnam dan Brunei) terhadap dunia telah berkembang dari US$ 11.9 miliar (constant 1995 price)
pada tahun 1965 menjadi US$28.3 miliar (1975), US$77.0 miliar (1985), dan US$320.5 miliar pada tahun 1995. Perdagangan
lndonesia
dengan
negara-negara
ASEAN
menunjukkan grafik yang meningkat selama 5 tahun terakhir. Transaksi ekspor ke dan impor dari Singapura memperlihatkan nilai yang tertinggi. Peningkatan ekspor lndonesia ke ASEAN meningkat 136% dalam kurun waktu 5 tahun (1989-1994), sedangkan pangsa ekspor ke ASEAN terhadap total ekspor lndonesia meningkat dari 10% ke 14% dalam periode yang sama. Sementara itu pangsa impor dari ASEAN menurun dari 10% menjadi 9% dari total impor Indonesia. Memang kalau dilihat dari neraca perdagangan maka telah terjadi surplus perdagangan antara Indonesia-ASEAN,tetapi tidak demikian dengan sektor non-migas yang mengalami defisit selama ini, kecuali baru pada tahun 1994 sektor non-migas mengalami surplus. Hal ini patut diwaspadai apalagi dengan berlakunya AFTA secara penuh nanti. 2.1.2 Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)
Pembentukan APEC dilatar belakangi oleh perkembangan situasi politik dan ekonomi dunia yang begitu cepat khususnya di Soviet dan Eropa Timur pada waktu itu. Selain itu APEC terbentuk karena munculnya kekhawatiran terhadap macetnya Putaran Uruguay. Bentuk kerjasama antar pemerintahan ini didirikan tahun 1989 beranggotakan negara-negara Asia Pasifik termaiuk Amerika Serikat. Kerja sama APEC pendekatannya agak berbeda dengan blok-blok ekonomi yang sudah terbentuk seperti Pasar
Tunggal Eropa dan NAFTA. Sasarannya adalah memperkuat Sistem Ekonomi dan Perdagangan Multilateral yang bebas dan terbuka (Free & Open Multilateral Trade), dan bukan merupakan blok perdagangan yang tertutup (Inward Looking Economic atau Trading Block). Guna mencapai sasaran tersebut maka setiap anggota sepakat dalam : (a) trade & investment liberalization, (b) trade facilitation, dan (c) technical cooperation. Dengan strategi dan sarana tersebut diharapkan dapat diwujudkan visi dalam membangun dan memperkuat Sistem Perdagangan Dunia yang terbuka melalui penghapusan secara bertahap berbagai jenis hambatan arus barang, jasa dan modal antar anggota, serta antar anggota dengan non-anggota secara saling menguntungkan. lntinya para anggota APEC mempunyai komitmen terhadap liberalisasi perdagangan dan investasi dalam rangka regionalisasi terbuka, tetapi tanpa ikatan secara hukum, artinya anggota yang melanggar tidak dikenakan sanksi namun lebih bernuansa berkurangnya wibawa negara tersebut. Memang APEC memiliki kekhasan karena organisasi ini tidak didirikan atas dasar perundingan resmi sesuai dengan Artikel XXlV GATT tentang pengaturan kerjasama perdagangan regional, seperti bentuk-bentuk klasik misalnya custom unions (contohnya Masyarakat Eropa) atau free trade area (contohnya NAFTA). Namun para anggotanya sepakat tentang suatu program aksi menuju liberatisasi perdagangan dan investasi pada tahun 2010 bagi anggota yang tergolong maju dan tahun 2020 bagi yang tergolong berkembang.
Dalam melaksanakan komitmennya, negara-negara anggota membuat Rencana Aksi lndividu atau Individual Action Plan (IAP). Pada pertemuan APEC 1996 di Manila telah dicapai kesepakatan tentang materi Rencana Aksi lndividu (IAP) dan Rencana Aksi Bersama (Collective Action PlanICAP). IAP dan CAP memuat tentang liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi untuk segera melaksanakan 15 bidang yaitu : tarif, non-tarif, jasa, investasi, standar dan kesesuaian, prosedur pabean, hak kekayaan
intelektual, kebijakan persaingan,
pengadaan pemerintah,
deregulasi, ketentuan asal barang, mediasi sengketa, mobilitas pengusaha, penerapan hasil-hasil putaran Uruguay, dan analisa informasi bersama. Prinsip-prinsip APEC masih konsisten dengan WTO, dan jika dilihat dari kecepatan dan besamya penurunan tarif ternyata komitmen APEC masih lebih maju dibanding komitmen WTO. Semenjak tahun 1989, para anggota APEC telah menurunkan tarif dan mengurangi hambatan non-tarif secara unilateral. Sampai dengan tahun 1996 rata-rata tarif yang telah diturunkan sudah hampir setengahnya dari 15% menjadi 9%. Dewasa ini 3 negara anggota mempunyai tarif rata-rata mendekati 0%, 14 negara berada dibawah IS%, dan sebagian besar lainnya sudah dibawah 10%. Dari pertemuan Manila (1996) tersebut, Indonesia sepakat melakukan penjadualan pengurangan tarif berdasarkan Most Favoured Nations sampai tahun 2003.
Pengurangan tarif disetujui pada
hampir semua pos tarif, dengan tertinggi sampai pada 5% dan 10% pada 2003.
Karakteristik anggota-anggota APEC sangat bervariasi, khususnya jika dilihat dari indikator-indikator ekonominya. Organisasi ini menghimpun negara-negara industri maju, negara-negara industri baru (NICs), dan negara-negara yang sedang membangun. Berdasarkan data tahun 1995 pendapatan perkapita negara-negara tersebut berkisar antara US$ 40 000 (Jepang) sampai dibawah US$ 1 000 (PNG, Philipina, Indonesia, RRC). Sedangkan nilai ekspornya berkisar antara US$2 miliar (Brunei) hingga US$ 582 miliar. Dewasa ini kelompok negara APEC menguasai sekitar 55% GNP dunia, atau sekitar US$ 13 triliun. Nilai ekspor dan impornya merupakan 40% dari nilai ekspor dan impor dunia. Nilai perdagangan berbagai negara Asia Pasifik dengan sesama negara APEC ternyata sudah melampaui nilai perdagangan luar negeri dengan kawasan-kawasan lain, dan peningkatannya sangat drastis dari US$ 61 miliar (1970), menjadi US$ 338 miliar (1980) bahkan menjadi US$939 miliar (1990) (Nasution, 1994). Dari sudut kepentingan ekonomi lndonesia kawasan Asia Pasifik adalah kawasan strategis. Berdasarkan data IMF dari total ekspornya, maka ekspor lndonesia ke kawasan ini pada tahun 1993 mencapai 77%. Sementara itu 69% impor lndonesia berasal dari kawasan ini. Selain itu 52% dari total investasi asing, dan 35% dari bantuan luar negeri berasal dari kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan data sampai tahun 1995 (Listiyadi, et.al., 1997), total pegdagangan luar negeri antara lndonesia dengan negara-negara APEC telah mencapai US$ 61.7 miliar, yang didominasi oleh perdagangan non-migas. Pada tahun 1995 neraca perdagangan masih positif US$7 miliar,
dimana total ekspor ke seluruh negara APEC mencapai US$ 34.4 miliar sedangkan total impornya mencapai US$ 27.4 miliar. Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura merupakan 3 negara utama tujuan ekspor terbesar. Sedangkan negara asal impor terbesar bagi lndonesia juga dipegang oleh Jepang dan Amerika. Oleh karena itu merupakan kewajiban pemerintah untuk mengkaji secara serius apa dampak positif dan negatif kerjasama ini. Banyak pengamat berpendapat bahwa APEC akan bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Memang dari sudut pandang impor saja, diperkirakan bahwa pembentukan APEC akan meningkatkan defisit neraca perdagangan lndonesia dengan negara-negara APEC, tetapi kondisi ini akan mendorong daya saing produk domestik untuk bersaing dengan barang-barang impor. Sementara itu visi APEC tersebut dapat dijadikan momentum bagi lndonesia untuk menuju perluasan akses pasar dunia. Bagaimana dampak APEC dan berbagai bentuk kerjasama regional lainnya pada akhirnya akan tergantung dari reaksi kita untuk dapat memanfaatkan peluang-peluang yang ada. 2.1.3 World Trade Organization (WTO)
Dengan disahkannya UU No. 711994 berarti lndonesia telah bergabung secara resmi, dimana kesepakatannya dimulai 1 Januari 1995 dan akan mencapai komitmen yang telah disepakati pada IJanuari 2005. Melalui organisasi
ini
diharapkan
adanya
pengurangan
hambatan
dalam
perdagangan yang dilakukan dengan cara memperluas akses pasar barang dan jasa. Dalam WTO terdapat peraturan dan sanksi yang mengikat anggotanya secara hukum.
WTO sendiri sebenarnya telah mengalami proses yang panjang, dimana sebelumnya dalam bentuk GATT telah memulai proses perundingan semenjak 1947 yang pada waktu itu diadakan di Genewa-Swiss. Akhirnya dalam putaran yang kedelapan selama kurun waktu 1986-1993, dapat menghasilkan beberapa kesepakatan yang ditanda tangani di Marrakesh, Maroko pada April 1994. Beberapa hasil penting dari kesepakatan itu adalah : (a) VVTO menggantikan GATT yang muiai berfungsi semenjak 1 Januari 1995, (b) Perbaikan akses pasar melalui penurunan tarif sebesar 33% dari sebelumnya kecuali pada produk pertanian, (c) Perdagangan tekstil yang selama ini diatur dalam MFA diintegrasikan ke dalam GATT dengan masa peralihan 10 tahun, (d) Perdagangan produk pertanian secara bertahap dialihkan dalam GATT, (e) Liberalisasi perdagangan jasa, (f) Perlindungan intellectual property fights, dan (g) Penyempurnaan aturan untuk mencegah proteksi terselubung seperti anti-dumping, subsidi, dan safeguards. Sementara itu kesepakatan tersebut juga berhasil menentukan batas waktu
liberalisasi secara tegas untuk beberapa sektor industri. Komitmen jadual penurunan tarif bersifat mengikat secara menyeluruh (binding), dimana pada tahun 2005 tarif yang ada pada suatu negara tidak boleh melebihi tarif bindingnya, tetapi tarif binding ini ditentukan sendiri oleh masing-masing negara anggota. Penurunan tarif yang sudah
berjalan dapat saja dinaikkan lagi jika dianggap perlu tetapi tidak boleh melebihi tarif bindingnya. Untuk Indonesia, komitmen yang diberikan walaupun memiliki sisi positif tetapi tidak berdampak luas terhadap deregulasi perdagangan dan tingkat proteksi yang ada. Alasannya adalah bahwa tarif yang disepakati sebagai binding cukup tinggi yaitu 40%, atau hampir dua kali lipat lebih tinggi dari tarif rata-rata di banyak negara. Apalagi komitmen tarif tersebut tidak menyeluruh, dimana ada sekitar 5% dari total item yang masih berada dalam katagori Excepfion Lisf. Alur penurunan tarif dari ketiga forum kerjasama yang diikuti Indonesia yaitu, AFTA, APEC dan WTO cukup bervariasi. Penurunan tarif pada komitmen AFTA terlihat paling cepat, kemudian diikuti forum APEC dan selanjutnya WTO. Dalam konteks WTO, penurunan tarif Indonesia berjalan datar dengan rata-rata 20%, dimana tarif bindingnya sebesar 40%. 2.1.4
Blok-blok Regional Lainnya
Sazanami (1997) membagi ekonomi dunia atas 3 integrasi regional yang terutama, yaitu Amerika Utara (USA dan Kanada), Eropa Barat (anggota OECD dan Yugoslavia), dan Asia Pasific (termasuk didalamnya Jepang, Australia dan Selandia Baru). Ketiga kelompok ini pada tahun 1993 masing-masing menguasai 16.8%, 44%, dan 26.2% dari total ekspor dunia, berarti 87% dari total ekspor dunia. Sementara itu dari data statistik IMF pada ,
tahun 1990, ternyata 55.7% PDB dunia dikuasai oleh negara-negara maju
(G7 dan 16 negara maju lainnya), sedangkan ekspor barang dan jasa dunia
75.7% nya dikuasai mereka. Berarti kegiatan produksi, investasi dan perdagangan dunia berpusat pada sejumlah kecil negara saja, yaitu 23 negara dari 209 negara yang diliput IMF. Menarik pula diamati bahwa kelompok G7 (Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Italia, lnggris dan Kanada) menguasai 47.7% PDB dunia dan 55.6% dari ekspor barang dan jasa dunia. Seperti
sudah
diketahui
bahwa negara-negara maju dan
berkembang membentuk bermacam-macam blok-blok regional. lndonesia ikut serta dalam APEC dan AFTA, tetapi juga dikenal blok-blok besar lainnya seperti EU, NAFTA, SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation), ANZCER (Australia dengan Selandia Baru), bahkan dalam skala yang lebih sempit (Jamin, 1994) seperti model segitiga pertumbuhan (Growth TriangleIGT) diantaranya : segitiga Hongwandong, Sungai-Kuning, Tumen, Southern GT (Sijori), dan Northern GT. Kerjasama GT ini pada hakekatnya merupakan kesepakatan diantara sejumlah negara (dua atau lebih) yang secara geografis berdekatan dan berupaya untuk mengembangkan perekonomian mereka. Dengan terbentuknya GT-GT ini, dimana Indonesia juga ikut serta dalam beberapa GT, secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan perdagangan Indonesia, karena kerjasama ini bersifat komplementer. Bagaimana dampak dengan makin berkembangnya blok-blok perdagangan tersebut apalagi
dengan kecenderungan yang
makin
proteksionis. Dalam suatu survey di Jepang (Jamin, 1994) disimpulkan bahwa blok NAFTA merupakan ancaman serius bagi produk-produk Jepang dan ASEAN, bahkan dua pertiga dari perusahaan-perusahaan Jepang yang disurvey berniat untuk merelokasikan pabrik-pabriknya dari kawasan nonNAFTA ke kawasan NAFTA. Estimasi OECD bekerjasama dengan World Bank memperkirakan bahwa 5 tahun mendatang Indonesia akan kehilangan US$ 1.9 miliar pertahun. Oleh karena itu keberhasilan GATT sangat diharapkan semua pihak. Hasil studi Sekretariat GATT pada tahun 1993, mengemukakan bahwa dengan disetujuinya Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) maka perdagangan dunia akan meningkat US$ 745 miliar atau sekitar 12% di tahun 2005 dan dengan adanya peningkatan akses pasar ini maka pendapatan dunia diperkirakan naik sebesar US$230 miliar pertahun dalam periode 1995-2005.
2.2 Studi terdahulu Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Ekonomi suatu negara
Secara konseptual diyakini bahwa perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara aggregate disuatu kawasan, namun untuk masing-masing negara anggota dampaknya tidaklah sama, ada yang lebih diuntungkan atau sebaliknya. Syafaat (1997) dalam tulisannya mengangkat hasil penelitian Dee dan Kibbin (1996) yang mengemukakan bahwa liberalisasi perdagangan di kawasan APEC diperkirakan akan memberikan manfaat yang besar bagi semua negara anggota termasuk negara-negara berkembang di Asia, namun diingatkan pula bahwa adanya biaya yang harus ditanggung sejumlah negara dalam jangka pendek, sebelum mereka dapat memetik manfaat perdagangan bebas tersebut. Biaya itu tercermin dengan meningkatnya jumlah pengangguran, banyak pabrik harus tutup karena kalah bersaing sebagai akibat dihapuskannya proteksi, kemudian meningkatnya apresiasi mata uang sejalan dengan meningkatnya investasi asing, serta menurunnya daya saing ekspor. Dalam tulisan Syafaat (1997) juga dikutip hasil penelitian Lewis dan Robinson (1995) yang mendapatkan bahwa kesepakatan APEC lebih menguntungkan bagi Indonesia dibandingkan AFTA ataupun kesepakatan perdagangan bebas lainnya. Pendapat yang senada juga diungkapkan Mulyono (1997) dalam tulisan i~miah"~a. Memang perdagangan dunia diyakini berperan besar dalam meningkatkan kemakmuran global, dan terhambatnya peningkatan volume
perdagangan akan menghambat pula peningkatan kemakmuran tersebut, oleh karena itu langkah-langkah yang mengurangi atau menghapuskan proteksi tentunya perlu didukung semua pihak. Namun perlu disadari bahwa manfaat yang diterima setiap negara yang berdagang akibat liberalisasi itu, tidak saja berbeda tetapi sering kali dapat merugikan masyarakat suatu negara. Bagi Indonesia sendiri dengan makin liberalnya perdagangan dan investasi telah mempercepat akumulasi kapital sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang melebihi sasaran pada waktu-waktu yang lalu. Namun dipihak lain kecenderungan diatas justru mengikis surplus neraca perdagangan,
serta
memperburuk
defisit
current
account
karena
membengkaknya bunga pinjaman asing pemerintah maupun swasta. Melihat kenyataan diatas tentunya pemerintah kita perlu hati-hati mengantisipasi kecenderungan liberalisasi ini. Matusz et al (1999) telah melakukan survei terhadap 50 studi empirik yang pada intinya memperlihatkan bahwa Biaya Penyesuaian terhadap diberlakukannya liberalisasi perdagangan ternyata relatif kecil dibandingkan keuntungan yang diperolehnya. Dengan diberlakukannya liberalisasi perdagangan akan meningkatkan lapangan kerja di bidang manufaktur serta secara umum akan mengurangi kemiskinan. Pada awalnya memang memberi dampak negatif misalnya akan meningkatkan defisit Fiskal serta Inflasi, tetapi beberapa waktu kemudian justru akan berdampak positif. Bahkan Papageorgion et al (1990) dalam studinya mendapatkan bahwa liberalisasi perdagangan tidak mengurangi employment dalam jangka pendek
sekalipun. Mengapa employment dibidang manufaktur akan meningkat, khususnya dinegara sedang berkembang? Ketika liberalisasi perdagangan diterapkan, maka negara-negara tersebut cenderung akan menspesialisasi pada industri yang mempunyai comparative advantage pada labor intensive, disamping itu industri akan berusaha untuk meminimalkan terlepasnya faktorfaktor produksi. Sedangkan mengapa biaya penyesuaian relatif kecil, dikarenakan bahwa adjustment cost bersifat jangka pendek sedangkan manfaat yang didapat akan terus berlangsung bersama-sama dengan tumbuhnya ekonomi. Perdagangan bebas diyakini akan bermanfaat karena konsumen maupun perusahaan dapat membeli barang-barang dari produsen yang paling efisien. Dawanto (1997) melakukan studi bagaimana dampak perdagangan bebas terhadap performansi ekonomi Indonesia, melalui indikator RERP (Real Effective Rate of Protection). Pada Tabel 3 memperlihatkan RERP untuk sektor manufaktur, dimana secara rata-rata telah jauh berkurang semenjak 1987 dengan nilai 63% menjadi 15% pada tahun 1995. Dengan adanya pengurangan hambatan tarif tersebut ternyata memberikan hasil positif yang terlihat dari beberapa indikator performansi makroekonomi. Terindikasi bahwa pertumbuhan ekspor lebih tinggi pada sektor-sektor yang tingkat proteksinya rendah, dan secara keseluruhan pertumbuhan ,total ekspor meningkat semenjak berlakunya Reformasi Perdagangan tersebut. lmpor juga meningkat tetapi masih lebih rendah dari pertumbuhan ekspor non-migas, dan sebagian besar impor terdiri dari
barang-barang intermediate dan modal. Selain itu produktifitas juga meningkat,
neraca
perdagangan
membaik,
bahkan
meningkatkan
penerimaan pemerintah serta penyediaan lapangan kerja. Hertel et al (1996) melakukan suatu studi yang mempelajari bagaimana pengaruh Kesepakatan Putaran Uruguay terhadap ekonomi dunia pada tahun 2005 ketika kesepakatan tersebut telah dapat diimplementasi secara lengkap. Tabel 3. Tingkat Proteksi Efektif Riil (RERP) Berbagai Sektor beserta Kinerjanya di lndonesia SEKTOR
Makanan, Minuman, dan Tembakau Produk Kayu Tekstil Engineering Produk Kimia Produk Non Metal Perikanan Peternakan Produk Kertas Tanaman Pangan Tan. Perkebunan Logam dasar Minyak dan LNG Kehutanan Manufaktur Lainnya
RERP 1987
RERP 1995
VAIO EXPORT (a) GROWTH (b)
104
(a) Value added / output in 1990; (b) Export 1990 / export 1985 Sumber : Fane (1995) dalam Darwanto (1997). Trade Liberalisation in Indonesia : Impacts and Issues
Studinya mempertimbangkan pula kemungkinan terjadinya perubahan kecenderungan terhadap ekonomi dunia menjelang tahun-tahun tersebut. Diasumsikan bahwa perubahan-perubahan tersebut membawa dampak sebagai berikut : (a) tingkat pertumbuhan ekonomi negara berkembang relatif tinggi dibandingkan negara maju, (b) keterbukaan perdagangan makin meningkat disertai terjadinya perubahan struktur output dan konsumsi di semua negara, dan (c) terjadinya perubahan pada tingkat proteksi dalam rangka mengakomodasi non tariff barrier. Diperkirakan bahwa share GDP dan
Perdagangan negara-negara Asia
(diluar
Jepang)
mengalami
peningkatan yang cukup nyata. Share ekspor dari semua negara dan kawasan dunia ke negara-negara Asia juga meningkat, demikian pula dengan total ekspor dari Asia, dimana ha1 ini menunjukkan makin pentingnya kawasan Asia bagi perdagangan dunia di masa mendatang. Dalam studinya mereka juga berhasil memetakan distribusi perolehan Total Welfare Gain negara-negara di dunia serta kawasan-kawasan tertentu pada tahun 1992 yang dibandingkan dengan perkiraan yang diperoleh pada tahun 2005 (lihat Tabel 4). Era globalisasi juga ditandai dengan munculnya blok-blok regional ekonomi dan perdagangan. Blok-blok yang sudah terbentuk ini bervariasi karakteristiknya, ada yang meliputi negara-negara maju saja (European Community), r;legara-negara berkembang saja (SAARC), bahkan ada blok dimana anggota-anggotanya sendiri bervariasi kondisi ekonominya (APEC). Dikhawatirkan bahwa blok-blok regional tersebut apalagi blok negara maju
bersifat eksklusif yang justru merugikan negara-negara non-anggota khususnya negara-negara berkembang. Studi Hallett (1994) mempelajari bagaimana dampak keberadaan Masyarakat Eropa (1992) terhadap negaranegara berkembang. Didapatkan bahwa memang pengaruhnya cukup penting bagi negara-negara Eropa, tetapi tidak memberikan dampak yang berarti bagi negara-negara berkembang. Tabel 4. Persentase Perolehan Total Welfare 1992 Tariff United States Canada EU-12 Japan NIC'S China Indonesia Malaysia Philippines Thailand Latin America Sub-Saharan Africa South Asia Rest of Wold
I
Sumber : Hertel et al (1996)
MFA
2005 Both
Tariffs
MFA
Both
Berapa besar
pengaruhnya terhadap
negara berkembang tersebut
tergantung masing-masing terhadap elastisitas pendapatan dan harga dengan negara-negara Eropa yang bersangkutan. Trade creation dan diversion yang muncul pada negara-negara berkembang akan saling menetralisir, justru dampak yang paling dirasakan adalah adanya pengalihan FDI ke negara-negara anggota. Dalam kaitannya dengan European Community ini Hoekman et al (1999) mendapatkan bahwa peningkatan kesejahteraan yang cukup signifikan bagi para anggotanya tidak sekedar karena eliminasi masalah tarif dan kuota saja, tetapi karena mereka berhasil pula untuk mereduksi kendalakendala non-tariff barriers, seperti peraturan-peraturan mengenai kesehatan dan keselamatan, kompetisi, lisensi, sertifikasi, lingkungan, prosedur administrasi,
dan lainnya. Ditemukan bahwa penerapan liberalisasi
perdagangan hanya melalui eliminasi tarif saja akan memberikan hasil tidak optimal , bahkan justru dapat menurunkan kesejahteraan negara anggota. Sementara itu bagaimana dampak liberalisasi perdagangan dalam suatu blok perdagangan terhadap para anggotanya. Walaupun tidak dapat dikatakan sama, tetapi penelitian Rajapakse et al (1997) dapat memberikan gambaran situasi terhadap Indonesia dalam lingkungan AFTA, apakah dengan berkurangnya hambatan-hambatan perdagangan didalam AFTA akan memberikan cjampak positif bagi para anggota AFTA sendiri. Rajapakse meneliti fenomena yang terjadi pada Srilangka sebagai anggota blok regional SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation) sekaligus
menganalisis bagaimana prospek perdagangan yang terjadi dengan adanya kebijakan liberalisasi perdagangan. Hipotesa awal adalah bahwa dengan berkurangnya hambatan tarif dan non-tarif akan meningkatkan perdagangan diantara negara-negara yang tergabung dalam blok tersebut. Tetapi harus diingat pula bahwa kondisi ini atas dasar asumsi bahwa negara-negara tersebut mempunyai potensi untuk memproduksi barang-barang yang diperlukan negara anggota lainnya dimana hambatan tarif dan non-tarif selama ini menjadi penghalang utama. Ternyata selain hilangnya hambatanhambatan tadi ada faktor-faktor lainnya yang menyebabkan timbulnya suatu perdagangan, dan fenomena ini terlihat dalam SAARC dimana komoditikomoditi utama yang dihasilkan negara anggotanya adalah komoditi-komoditi yang sejenis, sehingga masuk aka1 bila perdagangan diantara negara-negara anggota tidak mengalami perubahan berarti. Ekspor Srilangka sendiri ke SAARC walaupun meningkat secara absolut tetapi pangsanya terhadap total ekspor justru menurun, disisi lain pangsanya malah meningkat cukup besar terhadap NAFTA dan Eropa Barat. Pendapat senada
dengan
Rajapakse et
al
(1997) juga
dikemukakan oleh Schiff (1999). Dalam studinya Schiff mengemukakan bahwa kesejahteraan suatu kawasan yang menerapkan PTA (Preferential Trade Agreement) tidak akan meningkat jika negara-negara anggota didalam kawasan tersebut sebelumnya bukan merupakan natural trading partner. Fenomena ini juga ditemukan oleh Soloaga (1999) dalam studinya yang
menggunakan model Gravity, dimana regionalisasi tidak secara nyata mempengaruhi perdagangan daiam suatu kawasan perdagangan. Penelitian berkaitan dengan perdagangan dunia juga dilakukan oleh Moran (1988), dengan mengembangkan suatu model ekonometrika struktural dinamis untuk menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi pada ekspor barang-barang manufaktur. Hasil penelitian mengemukakan bahwa harga, domestic productive capacity, dan aktifitas ekonomi eksternal merupakan faktor-faktor utama yang menentukan ekspor manufaktur dari negara-negara berkembang. lmplikasinya adalah bahwa kebijakan ekonomi domestik seperti promosi investasi dan kebijakan yang mendorong aktifitas ekspor seperti kebijakan harga akan sangat berperanan dalam meningkatkan penerimaan devisa. Ratnawati (1996) meneliti dampak kebijakan tarif impor dan pajak ekspor terhadap kinerja perekonomian, sektor pertanian dan distribusi pendapatan di Indonesia melalui pendekatan Model Keseimbangan Umum. Dalam penelitian tersebut disimulasi berbagai alternatif kebijakan yaitu penurunan tarif impor, pajak ekspor, dan kombinasi diantara keduanya. Secara umum didapatkan bahwa penurunan tarif impor dan pajak ekspor akan meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia, yang dicerminkan melalui peningkatan Riil Produk Domestik Bruto serta menguatnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar. Dampak liberalisasi perdagangan dikawasan Asia Pasifik juga diteliti oleh Feridhanusetyawan (1997) dengan menggunakan pendekatan
GLOBAL CGE (Computable General Equilibrium). Beberapa hasil yang diperoleh adalah bahwa makin progresifnya proses liberalisasi maka makin besar kesejahteraan yang diperoleh, dan eliminasi tarif sekaligus memberikan hasil lebih baik daripada secara gradual. Hasil lain yang cukup menarik adalah bahwa negara-negara dengan kebijakan perdagangan yang lebih terbuka serta mempunyai share perdagangan lebih besar terhadap GDP, akan memperoleh manfaat lebih besar. 2.3 Studi terdahulu lndonesia
Pengembangan
Model
Makroekonometrika
Ezaki (1983) dalam artikelnya 'An Econometric Model of lndonesia
with Particular Reference to the Monetary Sector
: 1970-1980',
mengembangkan suatu model ekonometrika lndonesia dengan titik berat pada sektor Moneter, sekaligus menginvestigasi keterkaitannya dengan sektor Riil. Submodel moneter ini sepenuhnya tergantung pada balance-
sheets otoritas moneter dan deposit money bank yang dianalisis perilakunya. Ekternal-Shocks dicerrninkan dengan melakukan simulasi-simulasi kebijakan melalui 5 variabel eksogennya yaitu : real export, export deflator, rate of
interest on domestic credit, required reserve ratio, dan borrowings from Bank Indonesia. Model serupa dikembangkan oleh Simatupang (1986) melalui disertasinya yang berjudul 'An econometric model of the Indonesian monetary
sectot.
Dalam
studi
ini
diperlihatkan
keterbatasan
model-model
makroekonomi lndonesia yaitu tidak menyertakan keterkaitan antara sektor
riil dengan moneter, serta mengabaikan upaya otoritas moneter dalam mensterilkan dampak neraca pembayaran terhadap jumlah uang beredar. Disamping memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut, Simatupang juga melakukan simulasi terhadap kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perubahan kurs valuta dan tingkat bunga pinjaman Bank lndonesia kepada bank-bank umum. Boediono (1979) mengembangkan suatu model makroekonomi jangka pendek, melalui 2 submodel yang mampu melacak aspek-aspek mikro dan makro selama periode 1970-1976. Kedua submodel tadi baik secara terpisah maupun bersama-sama dapat digunakan sebagai kerangka Peramalan jangka pendek dan analisis kebijakan. Memang disadari keterbatasan model tersebut karena data yang tersedia tidak cukup untuk mengembangkan suatu model terpadu, sehingga dimanfaatkannya metode pseudo data. Pamungkas ( I 984) mencoba mengembangkan suatu model ekonomi lndonesia yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan proses pertumbuhan ekonomi. Dalam analisisnya juga dipertimbangkan kebijakankebijakan pemerintah mengenai investasi, public finance, perdagangan luar negeri, dan moneter. Selain aspek pertumbuhan studi tersebut juga menganalisis masalah employment, poverty, dan distribusi pendapatan. Studi tersebut mengemukakan beberapa hipotesis, yaitu : (a) hubungan antara growth dan equity tergantung pada instrumen kebijakan yang digunakan, dan (b) hubungan antara growth dengan employment adalah langsung berarti
bahwa meningkatnya pertumbuhan juga
diikuti dengan peningkatan
employment sekaligus mengurangi poverty. Sedangkan lsdijoso (1992) menyoroti perlunya pengetahuan tentang keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor riil maupun moneter, oleh karena itu perlu dibangun model ekonometrika yang menekankan keterkaitan antar sektor-sektor tersebut. Model yang dihasilkan merupakan gabungan dari 9 blok persamaan yaitu : finansial, fiskal, tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan, agroindustri, industri pengolahan lainnya, dan industri pengolahan migas. Selanjutnya melalui model makro ekonomi tersebut, lsdijoso menganalisis beberapa dampak kebijakan seperti kebijakan devaluasi, kebijakan uang ketat, dan kebijakan turunnya harga ekspor migas. Biro Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Institute of Developing Economies (1984) dalam rangka proyek ELSA (Econometric Link
System for ASEAN), berkesempatan mengembangkan suatu model Makroekonometrika lndonesia yang diharapkan dapat dikaitkan dengan negara-negara ASEAN, Korea, Jepang, dan USA melalui suatu model perdagangan
intemasional.
Struktur
model diharapkan juga
dapat
dihubungkan dengan tabel Input-Output Indonesia. Penekanan lebih banyak dilakukan pada sektor Produksi dan Employment, sedangkan sektor perdagangan belum diperinci lebih jauh. BPS juga mengkaji model-model ekonometrik Indonesia yang telah dikembangkan sebelumnya, dimana disebutkan terdapat 3 kategori yaitu : (a) model-model yang dikembangkan
dalam proyek-proyek ECAFE, IAEA dan ICU pada tahun 60-an dan 70-an, dimana model-model ini masih sangat agregratif , (b) model-model yang sudah mulai didisagregasi dan cukup mampu menangkap aspek-aspek penting
ekonomi
Indonesia, contohnya
adalah
model-model yang
dikembangkan oleh LPEM-UI dan Gupta , dan (c) model-model yang juga melibatkan variabel populasi penduduk dimana variabel ini dianggap cukup berpengaruh dalam mempengaruhi ekonomi Indonesia, disebut juga sebagai model Econometric-Demographic. Azis dan Ekawati (1990) mengembangkan model ekonometrik yang dapat dikaitkan dengan ASEAN LINK (LINK = The International Linkage of
National Economic Models) untuk menjelaskan perekonomian lndonesia (Nakamura, 1990). Modelnya mencoba melihat pengaruh perdagangan ekstemal dengan mendisagregasi beberapa negara mitra perdagangan potensial yang mempengaruhi lndonesia (ASEAN, Jepang, Amerika, Eropa dan Rest of the world). Model serupa Azis dan Ekawati, juga dikembangkan oleh Semudram et a1 (1990) untuk perekonomian Malaysia, Constantino et a1 (1990) di Filipina, Heng & Low (1990) di Singapura, dan Nidhiprabha et a/
(1990) di Thailand. Sedangkan model keterkaitan perdagangan ASEAN dilakukan oleh Nakamura (1990), dan Heng & Low (1990). Model Azis ini cukup mampu menangkap perubahan situasi perdagangan eksternal melalui disagregasi negara-negara tujuan, namun pembagian produknya masih terbatas, yakni hanya membagi atas barang manufaktur, barang primer, dan migas. Beberapa skenario eksternal diperlihatkan dengan melakukan
beberapa simulasi kebijakan, yaitu : (a) perubahan apresiasi yen terhadap dollar, (b) peningkatan maupun pengurangan ekspor dan impor terhadap negara-negara mitra dagang Indonesia diluar ASEAN, (c) peningkatan perdagangan intra ASEAN, (d) peningkatan Foreign Direct Investment, dan (e) pengurangan tarif irnpor. Soekarni (1992), rnengernbangkan suatu model ekonornetrika guna keperluan Link System untuk menjelaskan perekonomian Indonesia. Modelnya masih aggregatif serta cenderung berorientasi pada aggregate demand. Melalui model ini ingin dianalisa bagaimana pengaruh ekonorni internasional terhadap ekonomi Indonesia, dan diharapkan pula agar model ini dapat dikaitkan dengan model ekonometrika dunia. Model lndonesia ini terdiri dari blok-blok Consumption, Investment, Government Sector, Exports, Imports, Monetary, dan Price. Perilaku Ekspor dan lmpor didisagregasi berdasarkan SITC, dan belurn menangkap negara-negara tujuan ekspor dan asal impor. Sernenjak tahun 1986, Bank lndonesia bekerjasama dengan Central Planning Bureau of Netherlands, sudah membangun suatu model makro ekonomi yang disebut MODBI (Macroeconomic Model of Bank Indonesia). Model ini untuk kepentingan jangka pendek yang terus diperbaharui setiap tahun, dirnana versi terakhirnya adalah versi Juni-1997. Model ini dimanfaatkan untuk membuat peramalan serta analisis simulasi berbagai alternatif kebijakan. Secara teknis model terdiri dari 6 blok yaitu :
Kapasitas
Produksi, Harga, Domestik Demand, BOP, Pemerintah, dan
Moneter. Tokunaga (1996) juga mengembangkan model makroekonometrika untuk ekonomi Indonesia. Model yang didisain untuk keperluan peramalan dan simulasi kebijakan ini diperbaharui per-kuartal, dan versinya pada Desember I996 disebut BAPPENAS-TSQ Quarterly Macroeconometric Model 1996 (BTQM96). Disesuaikan dengan kebijakan pemerintah yang baru, maka dikembangkan versi terbarunya yaitu BTQM97, dimana dalam versi ini capital stock dibagi atas swasta dan pemerintah, sekaligus diperbaharui keterkaitan sektor moneter dan fiskal. Model ini memuat 6 blok yaitu : Produksi, Demand Akhir, Pemerintah, Moneter, Harga, dan BOP. Sedangkan simulasi meliputi : peningkatan reserve requirements ratio, pengurangan investasi pemerintah, peningkatan ekspor migas, peningkatan nilai tukar, serta peningkatan Foreign Direct Investment. Dari studi-studi terdahulu yang dikemukakan dalam sub bab ini, ternyata telah ada beberapa model makroekonometrika yang dikembangkan, dimana model yang dihasilkan cakupannya bervariasi tergantung dari tujuan yang ditetapkan peneliti. Ada model-model yang menekankan hanya pada sisi aggregate demand saja, ada pula yang mengkombinasikannya dengan sisi aggregate supply. Ada model-model yang menitikberatkan pada aspek moneter ekonomi Indonesia saja, dan ada pula yang lebih aggregate dengan memerinci
aspek
Fiskal
ataupun
aspek
Perdagangannya.
Model
Makroekonometrika yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah
pendekatan dari sisi aggregate demand saja, dengan mempertimbangkan aspek Moneter, Fiskal dan Perdagangan. Dalam rangka mengakomodasi fenomena perdagangan bebas, maka aspek perdagangan mendapatkan perhatian iebih besar dengan meninjau beberapa komoditi utama serta mempertimbangkan beberapa negara utama tujuan ekspor dan negara asal impor, agar dampaknya terhadap kinerja perdagangan kita lebih terlihat.