J. Sains & Teknologi, Agustus 2007, Vol. 7 No. 2: 93–102
ISSN 1411-4674
ADAPTASI EKOLOGI PETANI MENURUT STATUS PENGUASAAN TANAH DAN AGROEKOSISTEM DI DUA DESA KABUPATEN PINRANG Rhommy Reynald* dan M. Saleh S. Ali** * Bapedalda Kabupaten Pinrang ** Guru Besar Sosiologi Pertanian Unhas
ABSTRACT The purpose of the research was to know the pattern of ecological adaptation and livelihood strategies of peasans in two villages of Pinrang Regency, South Sulawesi. The factors behind that landownership status and ecosystem determinant. The case study method was employed. Informant purposive sampling was utilized. Data were analyzed by qualitative approach and verstehen componential analysis. The results were as follows. Ecological adaptation of peasants was due to local knowledge of peasants on the ecosystem condition. After ecological adaptation was done, the livelihood strategies of peasants was occupied. The determinant of the livelihood strategies was due to the status of landownership and livelihood diversification. The amount of land cultivation affected in the income dofference among the peasants, and thereby their livelihood strategies, which tended to be accumulative, consolidative, and survive. Key words : ecological adaptation, livelihood strategies, ecosystem, landownership, peasants
ketergantungan pada kegiatan budidaya pertanian (on farm), lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi antara sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan jasa penunjang serta keterkaitan antara kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat perdesaan, rendahnya akses masyarakat pada sumber permodalan dan sumber daya ekonomi produktif lainnya, serta terbatas dan belum meratanya tingkat pelayanan prasarana dan sarana dasar bagi masyarakat desa. Secara ekologis, Kabupaten Pinrang dengan luas wilayah 1.961,77 km2 atau 196.177 hektar merupakan suatu zona paripurna dengan memiliki keragaman ekosistem yang karakteristiknya terbagi atas wilayah ekosistem hutan (37,13%), ekosistem dataran rendah (23,76%), ekosistem dataran tinggi (13,74%), ekosistem pesisir pantai (8,02%), sedangkan
PENDAHULUAN Persoalan petani merupakan persoalan bangsa yang selalu diperdebatkan, tidak hanya terbatas bagi negara agraris dan negara berkembang. Secara dramatis, beberapa polemik bisa diangkat sebagai ilustrasi bagaimana perdebatan intelektual mengenai masalah petani dan pedesaan di Indonesia masih sangat menarik. Pada sisi empirik, terdapat tiga hal dialami petani yang tinggal di pedesaan saat ini, yakni kesulitan hidup petani dalam kemiskinan, subordinasi taraf kehidupan yang marjinal, dan kerentanan penghidupan terhadap perubahan. Kondisi itu tidak terlepas dari adanya kendala sosiologis posisi petani yang menempatkannya sebagai golongan (lapisan) penduduk yang paling “kurang beruntung” di pedesaan, seperti rendahnya tingkat penguasaan lahan pertanian oleh rumah tangga petani dan tingginya 93
Rhommy Reynald & M. Saleh S. Ali
ISSN 1411-4674
sebagian besar menikmati kecukupan air irigasi dari sistem irigasi Bendungan Benteng dengan memanfaatkan aliran sungai Saddang. Sebaliknya bagi komunitas petani yang tinggal di kawasan upland (perkebunan) jauh dari aliran sungai, mereka menghadapi kesulitan untuk dapat menjangkau ketersediaan air sehingga masih banyak yang memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan pengolahan kebunnya. Kondisi ekstrim wilayah dan lingkungan (ekosistem) yang berbeda, berpengaruh terhadap kerentanan hidup petani. Selain itu, petani juga kurang memahami fungsi ekologis dan daya dukung lingkungan sebagai bagian dari pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Ketergantungan adaptasi ekologi petani lowland pada variasi musim dan kesulitan petani upland dalam mengakses sumberdaya air yang cukup, akan menjadi beban kumulatif bagi adaptasi penghidupan petani. Karena kerentanan hidup petani sangat terkait erat dengan adaptasi ekologi dan adaptasi (strategi) penghidupan petani terhadap kondisi wilayah ekosistem, maka terjaminnya stabilitas daya dukung ekosistem secara berkelanjutan perlu menjadi perhatian utama semua “stakeholder” pembangunan demi terbangunnya kawasaan perdesaan yang mampu meningkatkan ketangguhan (resiliensi) dan kesejahteraan hidup petani. Dengan mengasumsikan kerentanan hidup petani di Sulawesi Selatan disebabkan oleh relatif masih rendah tingkat kemajuan ekonominya, lemah kelembagaannya, timpang struktur sosialnya, relatif rendah tingkat pendidikan formalnya, lemah dalam mengakses sumberdaya inovasi, teknologi, finansial, dan
sisanya digunakan untuk kawasan pemukiman (3,44%) dan kawasan lain yang belum dimanfaatkan (13,91%). Statistik kependudukan mencatat jumlah penduduk terakhir sampai tahun 2006 sebanyak 332.921 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 159.583 jiwa (47,9%) dan perempuan 173.338 jiwa (52,1%). Dari jumlah penduduk tersebut, terdapat 170.022 (51%) jiwa yang bermata pencaharian sebagai petani. Dengan angka ini menunjukkan bahwa pola penghidupan petani sangat tergantung dan mengandalkan hidupnya pada kestabilan daya dukung ekosistem dimana sebagian besar petani menetap dan berusaha. Dalam konteks pewilayahan ekosistem antara dataran rendah (lowland;hilir) dan dataran tinggi (upland;hulu), ditemukan masalahmasalah potensial yang dihadapi komunitas petani di perdesaan. Bagi petani yang hidup menetap dan berusaha di kawasan lowland (persawahan) masih sangat tergantung pada ekstrim perubahan variasi musim. Pada saat musim kemarau, petani sawah terpaksa harus mengatur sirkulasi ketersediaan air irigasi yang cukup. Sementara, di lain pihak bagi petani miskin yang lahan sawahnya terbatas, mereka terpaksa tidak mendapatkan cukup (merata) sirkulasi air irigasi dibandingkan dengan petani kaya yang luas lahan sawahnya. Sedangkan saat musim penghujan, petani kebun yang hidup menetap dan berusaha di kawasan upland memiliki resiko bencana ekologis, banjir dan longsor akibat curah hujan yang ekstrim. Penelitian yang dilakukan Rhommy (2002), menemukan bahwa komunitas petani yang tinggal di kawasan lowland (persawahan) 94
Ecological Adaptation, Livelihood Strategies, Ecosystem
ISSN 1411-4674
ekologi (ekosistem), terutama di lihat dari pendekatan konsep “sustainable livelihood”. Perubahan dan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, dan ekologi yang dialami oleh komunitas petani di pedesaan bukan semata-mata dipandang sebagai peristiwa artifisial kontraktual, melainkan haruslah dipandang sebagai “penampakan” (visualisasi) natural yang kemudian digali kedalaman epistemologisnya dengan melibatkan seluruh potensi dan energi sirkumtantif untuk menemukan jawaban ontologis yang implikatif.
jaringan kelembagaan, dan lemah representasi ekonominya di level regional, nasional, dan internasional, maka strategi adaptasi (livelihood strategies) petani perlu dilihat dari determinan diversifikasi penghidupan (livelihood diversification) yang masih hidup di pedesaan, sesuai dengan kerangka konsep yang dipaparkan oleh Frank Ellis (2000). Bagaimana komponen determinan itu terbentuk, hal itu perlu dijelaskan melalui strategi adaptasi penghidupan petani dan entitas pedesaan yang melatarbelakanginya. Lebih-lebih jika hal itu dikaitkan dengan relativitas perbedaan sosial, ekonomi, dan ekosistem yang terjadi dalam mempengaruhi aktivitas penggunaan dan pengelolaan sumberdaya demi kelangsungan hidupnya (sustainable livelihoods). Dengan sulitnya masyarakat pedesaan mengakses inovasi teknologi, kelembagaan ekonomi dan modal finansial secara formal, maka dalam mengatasi tekanan kehidupan (stress) dan kerentanan ekologis (vulnerability), menurut ChambersConway (1992) dan Ellis (2000) aspek kehidupan dan pengidupan masyarakat difokuskan pada kemampuan (capabilities), modal (asset), dan aktivitas (activities) sebagai livelihood assets masyarakat lokal yang bisa menjelaskan mengapa masyarakat pedesaan masih bisa bertahan (survival) dan mengatasi kesulitan hidupnya (adaptation) secara mandiri. Studi ini menyoroti pentingnya tindakan adaptasi ekologi dan strategi adaptasi penghidupan (livelihood strategies) pada komunitas pedesaan dalam menghadapi segala bentuk perubahan yang terjadi menurut perbedaan status sosial (penguasaan tanah), ekonomi (rumah tangga), dan
METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) pada lokalitas desa yang memungkinkan untuk melakukan studi mendalam tentang strategi penghidupan (mata pencaharian/nafkah) komunitas petani menurut karakteristik status penggunaan lahan (lahan luas, lahan sempit, tidak punya lahan), status sosial ekonomi (kaya, menengah, miskin), dan zona agroekosistem (dataran tinggi dan dataran rendah). Ada dua desa yang dipilih; Pertama, Desa Watang Kassa yang merupakan wilayah administratif Kecamatan Batulappa mewakili zona agroekosistem upland area (pedesaan hulu dataran tinggi); Kedua, Desa Pincara, Kecamatan Patampanua yang mewakili zona agroekosistem lowland area (pedesaan hilir dataran rendah). Kedua desa penelitian terletak dalam wilayah distrik Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan dan secara agroekologis masuk dalam ekosistem sub DAS Hilir Saddang. Sumber data adalah responden atau informan kunci dan penelahaan studi-studi dokumen serta data 95
Rhommy Reynald & M. Saleh S. Ali
ISSN 1411-4674
4o1’130” sampai 30o19’13” Lintang Selatan (LS) dan 119o16”30” sampai 119o47’20” Bujur Timur (BT) dengan batas wilayah administratif sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Enrekang, sebelah selatan berbatasan dengan Kotamadya Pare-Pare, sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar dan Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat. Secara adminsitratif pemerintahan, wilayah Kabupaten Pinrang terbagi menjadi 12 Kecamatan dengan 104 desa dan kelurahan. Potensi geografis dan peranan penting wilayah Kabupaten Pinrang memiliki peranan yang cukup penting di Sulawesi Selatan, sebagai : a) kabupaten lumbung padi di Provinsi Sulawesi Selatan, produksi rata-rata pada tahun 2006 489.617 ton dengan luas lahan panen 79.233 ha; b) adanya bendungan pengelolaan sumberdaya air untuk irigasi yaitu Bendungan Benteng bagi kebutuhan pertanian di Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Sidrap; c) adanya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bakaru dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Suppa dengan lingkup pelayanan regional (tingkat provinsi di Sulawesi Selatan), bahkan hingga ke Provinsi Sulawesi Barat; d) daerah penghasil kakao potensial, dengan rata-rata produksi kakao 24.553 ton luas lahan panen 22.342 ha; dan e) wilayah penghasil ikan dan udang (tambak) potensial, jumlah produksi tahun 2006 17.237,95 ton dengan luas panen 15.834 ha. Secara adminsitratif pemerintahan, wilayah Kabupaten Pinrang terbagi menjadi 12 Kecamatan dengan 104 desa dan kelurahan. Dari
gambaran umum mengenai desa penelitian, keadaan ekologi, keadaan geografi, keadaan demografi, status dan stuktur kepemilikan tanah, data monografi desa, data statistik (tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten), peta sebaran wilayah, dan tata guna lahan. Yang menjadi informan kunci, yang diajak wawancara secara mendalam dalam penelitian ini adalah delapan belas orang petani yang terdiri dari enam orang yang memiliki dan mengusahakan tanah garapan yang luas (> 0,5 ha), enam orang yang memiliki dan mengusahakan tanah garapan yang sempit (< 0,5 ha), dan enam orang yang tidak memiliki tanah garapan (landlessness) tetapi juga sebagai buruh tani penggarap lahan orang lain, yang dianggap mengetahui dengan lebih baik hal-hal yang berkaitan erat dengan masalah penelitian. Penetapan wilayah lokasi sebaran informan dilakukan pada desa-desa purposive menurut tipologi agroekosistem desa, yakni tipe pedesaan kawasan hilir (lowland area), dan tipe pedesaan kawasan hulu (upland area). Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode snowball sampling technic melalui informan kunci yang dengan Wawancara Mendalam (in-depth interview) dan Pengamatan Terlibat (participant observation) HASIL DAN PEMBAHASAN Secara geografis, Kabupaten Pinrang memiliki luas wilayah 1.961,77 Km2 atau 196.177 ha, terletak di bagian tengah dan berhimpitan dengan pantai Barat Provinsi Sulawesi Selatan. Letak titik koordinat geografisnya antara 96
Ecological Adaptation, Livelihood Strategies, Ecosystem
ISSN 1411-4674
peluang tersedianya dan terjaminnya modal penghidupan (livelihood asset) untuk melakukan aktivitas penghidupan semakin besar. Lapisan petani berlahan luas di desa dataran tinggi Watang Kassa rata-rata memiliki tanah dengan luasan hektar agak kurang, yakni 1,67 hektar. Sementara pemilikan dan penguasaan tanah oleh petani berlahan luas di desa dataran rendah Pincara rata-rata menunjukkan bidang tanah yang lebih luas, yakni 3,67 hektar. Kepemilikan dan penguasaan tanah bagi lapisan petani berlahan sempit yang tidak terlalu jauh perbedaan luasannya, di Desa Watang Kassa rata-rata luasannya sekitar 0,57 hektar, sedangkan di Desa Pincara rata-rata luasannya sekitar 0,77 hektar. Di Desa Pincara informan petani berlahan luas, disamping mendasarkan usahanya pada aset tanah milik sendiri, kebanyakan juga berusaha menggadaikan tanahnya dengan motif penumpukan atau akumulasi surplus produksi dan modal (strategi akumulasi). Kasus sakap dan gadai yang dilakukan petani informan relatif sedikit terjadi di desa dataran tinggi Watang Kassa, dibandingkan dengan di pedesaan hilir Pincara. Di desa hulu Watang Kassa, kebanyakan usahatani didasarkan pada usahatani milik (komunal dan warisan), sedangkan di desa hilir Pincara banyak usahatani yang berbasis tanah sakap dan gadai, menurut informan kunci juga diperoleh petunjuk bahwa di desa hilir lapisan petani yang berlahan luas juga pro-aktif dalam melakukan akumulasi melalui pembelian tanah serta melakukan penggadaian tanah (menggadaikan tanahnya). Petani di desa hulu hidup dalam dua
pewilayahan kecamatan tersebut, penelitian dilakukan di dua desa, meliputi desa dataran tinggi dan desa dataran rendah yakni Desa Watang Kassa dan Desa Pincara. Kedua desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Batulappa dan Kecamatan Patampanua. Kecamatan Batulappa berada di wilayah dataran tinggi (upland ecosystem), sedangkan Kecamatan Patampanua di wilayah dataran rendah (lowland ecosystem). Karakteristik dan Aset Penghidupan Informan Petani di Desa Dataran Tinggi dan Desa Dataran Rendah. Rata-rata jumlah (jiwa) anggota keluarga informan petani di Desa Watang Kassa (desa hulu) sebesar 6,43 jiwa, sedangkan angka rata-rata jumlah (jiwa) anggota keluarga petani informan di Desa Pincara (desa hilir) relatif lebih rendah, yaitu 3,11 jiwa. Dari segi umur nampak bahwa rumahtangga petani informan di Desa Watang Kassa umumnya lebih tua dibandingkan di Desa Pincara. Struktur umur rumah tangga dalam jiwa di desa dataran tinggi Watang Kassa masih banyak jiwa penduduk yang masuk lapisan generasi dewasa dan generasi tua, karena lapisan generasi muda melakukan migrasi (merantau; massompe’) mencari nafkah yang lebih baik dengan tujuan Provinsi Kalimantan dan negara Malaysia. Keyakinan masyarakat Bugis Tanah merupakan tumpuan kehidupan, makin luas penguasaan tanah, makin banyak jumlah anggota (jiwa) rumah tangga petani informan yang bekerja. Selain itu penguasaan aset produksi ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap strategi penghidupan petani. Makin banyak aset yang dikuasai, merupakan 97
Rhommy Reynald & M. Saleh S. Ali
ISSN 1411-4674
memanfaatkan lingkungan yang ada dalam aktivitas usahataninya. Konsep adaptasi ekologi yang digunakan sebagai pedoman berusahatani masyarakat Bugis di Kabupaten Pinrang dinamakan Lontara Palaonrumma, yakni cara penanggalan dan kalender musim tanam tradisional. Lontara Palaonrumma ini ditemukan dalam penelitian sebagai ungkapan manifestasi daya pikir dan akal serta pengalaman-pengalaman warisan leluhur yang justru menjadi kelebihan mereka dalam melakukan adaptasi ekologi terhadap gejala-gejala alam dan berusaha keras mengungkap apa yang harus diketahui serta apa yang harus dikerjakan dimanfaatkan untuk kegiatan berusahatani. Lontara palaonrumma difokuskan pada pengetahuan usaha tani yang digunakan oleh masyarakat petani (kaum tani) secara turun temurun dalam pertanian padi sawah dan telah menyatu dengan sistem kepercayaan dan budaya setempat. Lontara palaonrumma ini terdiri atas : a) penentuan waktu tanam (mappamula attanang) berdasarkan hari dan bulan dalam suatu musyawarah pertanian yang disebut mappalili yang dipimpin oleh tokoh adat pertanian (punggawa galung); dan b) penetapan kalender musim tanam yang mengikuti penetapan nama-nama tahun dalam lontara palaonrumma selama 8 (delapan) tahun atau sewindu (sipariama). Persekutuan kampung yang bersifat genealogis ekologis. membentuk suatu ikatan kerukunan satu kampung, karena keterikatan mereka dalam suatu wilayah ekosistem yang disebut “wanua” (kampung). Keterikatannya dalam suatu ekosistem yang berkarakter
penghidupan, yaitu tanaman pangan dan tanaman komoditas perdagangan (cash crops), sesuai dengan pola tanam yang diterapkan. Pada sisi tanaman pangan, yaitu dalam memenuhi kebutuhan pangan, mereka bersifat subsisten, dalam arti produksi hanya untuk kepentingan rumah tangga dan keluarga sendiri. Dinamika penghidupan petani lebih menarik ditemukan pada pengusahaan tanaman padi di desa hilir Pincara, dengan hadirnya buruh tani pemanen (passaro, passangking dan paddaros). Masa panen di desa hilir ini biasanya hanya berlangsung selama satu bulan. Namun para petani tunakisma dan buruh tani pemanen, dapat memperoleh peluang kerja sampai tiga hingga empat bulan, dengan jalan mencari panenan (mappadaros) di desa-desa sekitar dengan melalui penghubung agen daros (punggawa daros). Pekerjaan di bidang jasa panen lainnya, misalnya sebagai buruh pengangkut hasil panen (pattasi) juga selalu dilakukan setiap musim panen tiba. Dimana sekelompok pattasi dikoordinir oleh seorang punggawa pattasi yang memimpin sejumlah sepuluh sampai empat puluh orang buruh angkutan hasil panen. Adaptasi Ekologi Usahatani : Lontara Palaonrumma, Pola Penguasaan Tanah dan Sistem Teknologi Pengetahuan Usahatani Temuan di kedua desa penelitian bahwa sistem pengetahuan dan daya adaptasi penggunaan teknologi akan selalu disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam serta sistem distribusi dan pengalokasian hasil eksploitasi tersebut. Adaptasi petani dalam bentuk pengetahuan dan kearifan lokal petani secara ekologis termanifestasi dengan mengelola dan 98
Ecological Adaptation, Livelihood Strategies, Ecosystem
ISSN 1411-4674
riwayat pengelolaan pertanian di Kabupaten Pinrang mempopulerkan dengan istilah “bage waselle” atau mengerjakan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil. Bage waselle kemudian populer dengan istilah teseng namun dalam pemaknaan kegiatannya sifatnya sama. Sistem dan pola penguasaan tanah yang populer digunakan di desa dataran rendah Pincara, yakni “makkatani” hampir sama dengan sistem teseng di dalam pemanfaatannya. Dimana pemilik menggadaikan tanah sawahnya kepada orang yang akan menggarap tanah gadai, dimana si penggadai tanah (pakkatani) yang menggadai tanah memberikan jaminan berupa uang dengan perjanjian pada waktu tertentu akan dikembalikan kepe-milikan tanah tersebut kepada si pemilik tanah. Lazimnya pengem-balian kepemilikan tanah ini setelah penggadai tanah telah mendapatkan keuntungan dari hasil panennya yang sebanding dengan uang jaminan yang diberikan pada pemilik tanah sebelum tanah itu digarapnya. Yang dimaksud makkatani ini sebenarnya adalah praktek penggadaian tanah dengan sistem pembayaran harga gadai dari tanah garapan dalam bentuk uang. Pada umumnya penguasaan dan pemilikan tanah dengan sistem “makkatani” ini dilakukan antara pemilik tanah dengan petani penggarap sawah (pakkatani), dimana si pemilik tanah melepaskan sepenuhnya hak penggarapan tanah kepada si petani penggarap dan kemudian petani penggarap memberikan imbalan berupa uang di muka setelah perjanjian disepakati. Strategi Penghidupan Petani : Tanah, Strategi Penghidupan dan
kolektif, menunjukkan adanya ketergantungan komunitas kampung tersebut terhadap sebuah kepastian penguasaan dan pemilikan tanah yang menjadi milik mereka yang paling berharga. Tanah bagi petani merupakan hubungan yang amat menyejarah. Tanah bagi komunitas kampung di pedesaan dataran tinggi Watang Kassa dan sekitarnya merupakan suatu rantai penghubung antara generasi lapisan masyarakat baik di masa lalu, masa kini, dan mendatang. Penguasaan dan pemilikan tanah di Desa Watang Kassa adalah tanah komunal warisan yang dipayungi secara adat dan diwariskan secara turun temurun yang disebut “galung manna”. Artinya tanah yang diwarisi secara turun temurun. Awal mula kehadiran tanah galung manna di Desa Watang Kassa, merupakan suatu kepemilikan tanah yang dimiliki oleh rumpun keluarga tua bernama Indo Ali dan Pua’ Jambu. Teseng yang juga dikenal oleh masyarakat selama penelitian ini dilaksanakan,lebih dominan populer dilakukan oleh kaum tani di Desa Pincara yang hamparan sawahnya terletak di dataran rendah (hilir) dengan pemanfaatan sistem irigasi pertanian teknis. Teseng dalam bahasa Bugis berati perjanjian bagi hasil. berdasarkan kesepakatan lisan kedua belah pihak antara pemilik (to mappateseng) dan penggarap (to matteseng). Teseng dalam arti harfiahnya berarti mengerjakan atau menggunakan kepunyaan orang lain atas keluasan atau izin pemiliknya. Menurut penuturan informan kunci, teseng populer juga di masyarakat tani Kabupaten Pinrang sebagai sistem mabbage. Dengan sistem mabbage inilah kemudian dalam 99
Rhommy Reynald & M. Saleh S. Ali
ISSN 1411-4674
pertanian (on farm) dan aktivitas di luar sektor pertanian (off farm). Strategi survival petani miskin sangat bergantung pada luas tidaknya penguasaan tanah. Gambaran mengenai penguasaan tanah, peluang kerja, dan peluang berusaha mempengaruhi tingkat pendapatan dan membentuk variasi strategi survival di antara petani sampel di Desa Watang Kassa dan Desa Pincara dapat diikuti dari beberapa fenomena sosiologis dan temuan empiris berikut ini. Penguasaan tanah, yang tercermin sebagai usaha menggarap tanah untukmenghasilkan perolehan yang optimal menyebabkan petani menerapkan pengetahuan (teknologi) usaha tani. Penguasaan tanah untuk memperoleh hasil, mengakibatkan petani akan memperjakan sejumlah tenaga kerja. Hal ini merupakan peluang kerja bagi buruh tani (patteseng) atau petani miskin yang menyakap tanah orang lain. Untuk memperoleh hasil dan pendapatan (ekonomi) yang optimal, maka petani akan melakukan pilihan hidup, yaitu sebagai petani mereka akan memilih antara pengetahuan usahatani atau usaha di luar sektor pertanian (offfarm), dan sebagai petani pekerja atau buruh tani mereka akan memilih antara tetap bekerja di sektor pertanian ataukah melakukan usaha di sektor luar pertanian. Pada petani (rumah tangga) kategori survival, semua anggota keluarga harus terlibat dalam mencari nafkah. Implikasinya adalah terbatasnya peluang berusaha, terutama di sektor off-farm, bagi keluarga petani kategori survival. Sementara petani yang termasuk kategori akumulasi membatasi penggunaan tenaga kerja keluarga sendiri dalam
Dinamika Strategi Penghidupan (Akumulasi, Kosnsolidasi, dan Survival) Fenomena modernisasi pertanian banyak mewarnai dimensi penghidupan masyarakat selama berlangsungnya penelitian di pedesaan dataran tinggi Desa Watang Kassa dan pedesaaan dataran rendah Desa Pincara. Diversifikasi (nafkah ganda;sambilan) dan berbagai pilihan strategi penghidupan (livelihood strategies) di kedua desa penelitian mencerminkan adanya komersialisasi dan monetisasi dalam tingkat yang cukup tinggi. Hal ini mempengaruhi pula dinamika penguasaan tanah di kedua desa penelitian dengan munculnya perubahan-perubahan yang menyangkut pemilikan dan penguasaan tanah. Perubahan pemilikan tanah penguasaan ini didominasi atas perubahan yang bersifat sementara : melalui bagi hasil dan gadai. Sedangkan yang bersifat tetap adalah melalui warisan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari yang sesuai dengan kriteria “batas kehidupan” (penghidupan), seseorang setidaktidaknya harus mengkonsumsi kebutuhan setara 240 kg beras. Setidaknya diperlukan penguasaan tanah minimal (0,5) setengah hektar, yang dalam konsepsi Sajogyo (1986) termasuk kategori I (survival). Sedangkan kategori II (konsolidasi) merujuk pada petani kelas menengah yang menguasai tanah antara 0,5 hektar hingga 1 hektar, dan kategori III (akumulasi) merujuk pada petani kaya yang menguasai tanah lebih dari 1 hektar. Aktivitas petani miskin sebagai strategi penghidupan survival pada dasarnya dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu aktivitas di sektor 100
Ecological Adaptation, Livelihood Strategies, Ecosystem
ISSN 1411-4674
banyak barang konsumsi pokok, lebih mengutamakan tersedianya tabungan dan kelayakan mendapatkan kredit sebagai persiapan mengatasi kondisi kesulitan. Bagaimana bertahan hidup, itulah masalah yang menentukan strategi survival kaum proletariat pedesaan yang terdiri dari kaum tani tunakisma, penyakap, dan buruh tani. Golongan atau lapisan masyarakat bawah dari penduduk desa adalah petani tunakisma yang penyakap dan buruh tani yang ciri khasnya adalah hampir tidak mempunyai kelengkapan alat produksi usahatani dan juga sama sekali tidak mempunyai akses yang lebih pada bahan pangan. Kesengsaraan mereka ini sangat pekat, dan karena itu mereka tidak mungkin melakukan pengeluaran untuk hal lain kecuali makan dan bertahan hidup.
berusahatani, kecuali sebagai pengelola, sehingga dapat ikut dalam peluang kerja di sektor off-farm dan peluang berusaha di sektor pertanian (on-farm). Akumulasi merupakan kunci untuk menganalisis perilaku ekonomi lapisan petani berlahan luas (golongan ekonomi atas). Kelompok kecil pemilik tanah yang menguasai sebagian besar modal pertanian jarang sekali tampak di sawah. Mereka menyerahkan kegiatan bercocok tanamnya kepada penyakap dan buruh tani, namun mereka melakukan pengawasan untuk menjamin agar pengusahaan mereka dikelola secara efisien. Bagi kebanyakan di antara mereka, perdagangan merupakan sumber penghidupan kedua, Strategi yang umumnya dianut oleh petani berlahan sempit dan penggadai tanah dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Anggota rumah tangga yang tergolong lapisan tingkat menengah ini ikut aktif dalam berusaha tani dan membantu mengerjakan tanah yang mereka miliki atau gadai. Lapisan petani ini jarang kelihatan dalam kegiatan ekonomi desa, walau secara umum jumlahnya mencakup sepertiga penduduk di masing-masing desa penelitian. Diversifikasi usaha yang mereka lakukan berbentuk usaha sampingan yang mencakup pedagang eceran dengan membuka warung atau kios, komisi sebagai perantara dalam transaksi dagang, bahkan terkadang pula menjalankan ojek sebagai pengojek di lingkungan sekitar desa itu. Dalam menerapkan strategi konsolidasi, aktivitas penghidupan yang dilakukan oleh lapisan petani berlahan sempit diwujudkan dengan berusaha melakukan perbaikan rumah dan peralatannya, kepemilikan lebih
KESIMPULAN Strategi adaptasi penghidupan petani dipengaruhi oleh penguasaan tanah, status sosial ekonomi, dan kondisi ekologis. Bentuk-bentuk variatif penguasaan tanah yang sifatnya warisan, gadai, dan sakap mempengaruhi terbentuknya status sosial ekonomi petani dalam kedudukannya pada struktur masyarakat petani di pedesaan. Ragamnya kondisi ekologi penggunaan lahan di desa dataran tinggi dan desa dataran rendah menyebabkan perbedaan modifikasi strategi penghidupan petani. Di desa dataran tinggi, makin ragam kondisi ekologi yang terjadi strategi penghidupan petani makin konsolidatif. Di desa dataran rendah, makin ragam kondisi ekologi yang terjadi strategi penghidupan petani semakin akumulatif. 101
Rhommy Reynald & M. Saleh S. Ali
ISSN 1411-4674
meningkatkan penghidupannya; (4) kerusakan ekosistem pertanian di pedesaan yang semakin hari semakin meluas; dan (5) perubahan ekologi yang mempengaruhi seluruh akvititas penghidupan petani di pedesaan.
Daya adaptasi ekologi petani di pedesaan dataran tinggi lebih adaptif dan responsif serta berbeda nyata dibandingkan dengan petani di pedesaan dataran rendah. Petani informan di pedesaan dataran tinggi relatif lebih solider dalam mengelola usahataninya, yakni cenderung lebih adaptif memperhatikan kondisi ekosistem dengan menerapkan nilai kekerabatan dan kesatuan. Petani informan di pedesaan dataran rendah relatif lebih komersial dalam mengelola usaha taninya, yaitu lebih responsif memperhatikan dan menerapkan diversifikasi usaha (nafkah ganda) demi mencukupi kebutuhan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA Chambers, Robert and Gordon Conway. 1992. Sustainable Rural Livelihoods: Practical Concepts for the 21st Century; Ellis, Frank (2000) Determinants od Livelihood Diversification dalam Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. UK, Oxford University Press __________(2002).Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. UK, Oxford University Press. Sayogyo (2002) Struktur Agraria, Proses Lokal dan Pola Kekuasaan; SAINS-Sajogyo Inside Bogor (2002) www.ekonomirakyat.org Rhommy (2002), Penelitian Studi Komparatif Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kondisi Penghidupan (Pendekatan Livelihood Strategies) di Tiga Desa Sulawesi Selatan bersama mahasiswa Fakultas Geografi Pasca Sarjana Universitas Utrecht Belanda Rogier Vogeliej, Mascjha Singelieng, dan Marja Rijerse dengan mahasiswa Program S-3 PPs Unhas A. Adri Arief dan Rhommy R.M. Manule
SARAN Pendekatan sosiologi ekologi manusia ternyata mampu untuk lebih memahami pola adaptasi ekologi yag dilakukan petani dengan kondisi ekosistem yang berbeda. Hasil studi ini masih terbatas, sehingga masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Pendekatan ekosistem dan status penguasaan tanah yang dilandasi dengan daya adaptasi ekologi petani dapat menjadi suatu model analisis dalam mencermati modifikasi dan pilihan strategi penghidupan yang dilakukan petani dalam kehidupannya di pedesaan Strategi adaptasi penghidupan petani perlu diintegrasikan dengan daya adaptasi ekologi petani dalam menangani masalah-masalah harus dipecahkan, yaitu : (a) lemahnya peningkatan nilai tambah perekonomian berbasis pengelolaan usaha tani tradisional; (2) masih meluasnya gejala kemiskinan di pedesaan; (3) kelangkaan akses modal finansial bagi petani tunakisma untuk 102