MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail:
[email protected]
Abstract Balinese society are bound by two village system, they are village administration (village official) and traditional village (desa pakramaan). In practice, the two systems villages are often overlap . Thus, it is not uncommon cause of conflict in society. This condition is worsened by the full authority for Pakraman to manage its resources based on the Bali Provincial Regulation No. 3 of 2001 on Pakraman. In an effort to resolve conflicts need for conflict management in the form of deliberation to reach a deal. Keywords: conflict, traditional village.
Pendahuluan Di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya telah banyak terjadi konflik yang bernuansa aspek sosial budaya, baik antarindividu, antarkelompok, maupun antardesa. Pada umumnya yang menjadi penyebab terjadinya konflik adat adalah terjadinya perbedaan dalam mempersepsikan dan menyingkapi pelaksanaan aturan adat. Selain itu, konflik adat juga disebabkan karena adanya rasa tidak puas terhadap sistem adat yang berlaku dalam
1
masyarakat, serta terjadinya konflik kepentingan antaranggota masyarakat desa adat. Konflik pada dasarnya selalu ada dalam kehidupan masyarakat. Menurut teori konflik, kesatuan dalam masyarakat terbentuk oleh adanya sistem yang dipaksakan (Ritzer&Douglas, 2011: 154). Konflik dipandang sebagai aspek penting untuk melahirkan suatu perubahan. Konflik dan disintegrasi yang terjadi dalam masyarakat didorong oleh adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial (Setiadi dan Kolip, 2011: 347). Konflik tidak selalu dapat diselesaikan dengan damai. Terkadang, konflik justru berakhir dengan kekerasan. Terdapat beberapa macam bentuk konflik, diantaranya konflik gender, konflik rasial dan antarsuku, konflik antarumat agama, konflik antargolongan, konflik kepentingan, konflik antarpribadi, konflik antarkelas sosial, dan konflik negara. Di Bali, konflik kepentingan bernuansa adat yang terjadi di daerah Bangli, Gianyar, dan Karangasem dipicu adanya ketidaksepakatan terhadap pelaksanaan upacara kematian yang dipengaruhi hubungan sosial yang kurang harmonis. Konflik kepentingan yang berkedok konflik adat sering kali terjadi dalam masyarakat Bali. Terkadang, adat juga digunakan sebagai alat untuk memberikan sanksi terhadap kelompok yang lemah dan menunjukkan kekuasaan dan wewenangnya. Konflik adat juga dapat disebabkan adanya perebutan aset desa maupun aset lainnya yang memiliki nilai ekonomi, konflik penentuan tapal batas desa baik secara administrasi maupun secara adat, pemekaran desa, dan konflik yang disebabkan oleh tradisi yang terlalu mengikat.
2
Masyarakat Bali memiliki keunikan karena menggunakan dua bentuk desa, yaitu desa adat dan desa administrasi. Dengan berlakunya otonomi daerah, payung hukum yang secara tegas melindungi dan mengatur desa pakraman adalah Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Perda ini merupakan pengganti dari Perda Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Tingkat I Bali, yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Berdasarkan perda tersebut, istilah desa adat diganti menjadi desa pakraman. Perda Provinsi Bali Nornor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menentukan sebagai berikut: Desa pakraman adalah “kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri” (pasal 1 no urut 4). Banjar Pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian Desa Pakrarnan (Pasal 1 nomor urut 4). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Pasal 5 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 menyatakan bahwa desa pakraman mempunyai tugas sebagai berikut. 1. Membuat awig-awig (aturan desa).
3
2. Mengatur krama desa (masyarakat desa). 3. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa. 4. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. 5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan rnengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras-paros”, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat). 6. Mengayomi krama desa (masyarakat desa). Pasal 6 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 menyatakan bahwa desa pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut. 1. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa (warga desa) sesuai dengan awig-awig (aturan adat) dan adat kebiasaan setempat. 2. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana. 3. Tidak melakukan perbuatan melanggar hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Dari Perda ini paling tidak dapat ditemukan enam unsur pokok yang membentuk desa pakraman, yaitu. 1. Kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali. 2. Mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun.
4
3. Dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa). 4. Mempunyai wilayah tertentu. 5. Mempunyai harta kekayaan sendiri. 6. Berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari keenam unsur itu dapat dipahami bahwa perda tersebut berupaya menegaskan bahwa sistem sosial masyarakat (desa pakraman) Bali bercorak Hindu. Substansi awig-awig desa pakraman juga dikatakan dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan penjabaran dari falsafah Tri Hita Karana, yaitu (1)Parhyangan sebagai kongkretisasi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud upacara keagamaan; (2)Pawongan sebagai perwujudan hubungan manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial; dan (3)Palemahan atau wilayah berupa perwujudan hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Akan tetapi, ada kelemahan dari Perda No. 3 Tahun 2001 karena dalam perda tersebut tidak secara tegas menjelaskan mengenai cakupan wilayah desa adat dengan desa administrasi. Kondisi inilah yang seringkali menjadi pemicu terjadiya konflik adat di Bali. Selain itu, perda tersebut belum mengatur kedudukan sekaa taruna (organisasi pemuda) sebagai organisasi yang hidup dan berkembang di banjar adat. Sebagai payung hukum desa pakraman, perda tersebut juga masih memungkinkan munculnya multitafsir. Oleh karena itu, Perda ini hendaknya dipandang sebagai landasan yuridis formal bagi eksistensi desa
5
pakrama di Bali. Selebihnya, peranan dan fungsi desa pakraman dalam mengatur kehidupan krama adat harus dikembalikan pada otonomi desa pakraman yang meletakkan awig-awig sebagai sumber aturan yang harus diikuti di wilayah desa pakraman tersebut.
Pembahasan Perda Provinsi Bali Nornor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menyebutkan bahwa desa pakraman adalah “kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri” (pasal 1 no urut 4). Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakrarnan (Pasal 1 nomor urut 4). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Hanya saja, Perda No. 3 Tahun 2001 tidak membahas secara tegas bahwa di Bali selain desa pakraman juga terdapat desa dinas, dimana masing-masing mempunyai wewenang tersendiri. Sehingga melalui perda tersebut, seolah menggambarkan bahwa di Bali hanya diberlakukan satu sistem desa yakni desa pakraman. Perda No. 3 Tahun 2001 juga memberikan otonomi yang sangat besar pada desa pakraman sehingga kondisi tersebut sangat berpotensi dalam
6
memperkeruh berbagai konflik adat yang terjadi di Bali. Konflik dengan intensitas kecil pun sangat berpotensi dalam memicu terjadinya konflik yang lebih besar lagi. Sehingga bila ditinjau situasi di Bali saat ini sering kali terjadi konflik yang berlebih hanya dipicu permasalahan yang cukup sederhana. Kasus Konflik antara Desa Adat Kemoning dengan Budaga menjadi salah satu contoh nyata konflik adat yang berakhir dengan kekerasan. Terbunuhnya seorang warga menjadi bukti bahwa otoritas penuh yang dimiliki desa pakraman memicu terjadinya arogansi dari anggota masyarakat desa pakraman. Padahal pada awalnya konflik tersebut diindikasi diawali dengan adanya perebutan tanah kuburan, Pura Dalem, beserta Pura Prajapati yang pada awalnya diempon (dikelola) oleh kedua desa tersebut beserta Desa Adat Galiran dan Gunung Niang. Karena konflik yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat antaranggota masyarakat desa adat, akhirnya konflik berujung pada kekerasan dan petikaian. Kasus ini menjadi bukti bahwa terjadinya disfungsi dalam sistem pengelolaan desa pakraman (desa adat) terkait dengan desa administrasi yang tidak berjalan beriringan. Dari ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana sesungguhnya pengaruh perda terhadap konsistensi dan pemahaman masyarakat terhadap tugas dan fungsi dari desa pakraman. Desa pakraman dan desa dinas merupakan pilar-pilar utama dalam kehidupan masyarakat Bali. Desa pekraman yang biasanya dikaitkan dengan keberadaan Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Dalem, dan Bale Agung) menjadi identitas yang sangat penting bagi masyarakat Bali. Hal itu kemudian
7
menjadi alasan mengapa konflik adat di Bali kebanyakan berkaitan dengan tanah kuburan. Konflik adat seperti itu pula yang menjadi penyebab pecahnya konflik antara Desa Kemoning dengan Desa Budaga di Klungkung. Pada awalnya konflik disebabkan adanya kesalahpahaman antarkedua desa berkaitan dengan upacara keagamaan
yang
berlangsung
di
Pura
Dalem
setempat.
Kemudian
kesalahpahaman ini terus berlanjut dengan adanya pembubaran panitia pelaksana upacara tersebut dan adanya pengakuan terhadap tanah kuburan yang sebelumnya di gunakan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama. Kemudian peristiwa pembubaran ini menjadi titik awal dari gerakan massa, hingga pada akhirnya konflik ini pecah menjadi pertikaian berdarah. Pada pertikaian ini, masalah yang menjadi awal terjadinya konflik menjadi meluas. Yang berawal dari kesalahpahaman kini meluas menjadi perebuatan tapal batas. Diduga dalam kasus ini dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Sebab, bersamaan dengan itu Pemprov Bali sedang mewacanakan untuk melakukan pemekaran desa pakraman. Desa pakraman yang mengalami pemekaran akan memperoleh dana sebesar 50 juta untuk administrasi. Akan tetapi, persyaratan dari pemekaran ini adalah desa adat tersebut harus memiliki Pura Kahyangan Tiga, LPD, serta kuburan sendiri. Hal itulah yang kemudian menjadikan salah satu dari desa pakraman yang bertikai ini berupaya untuk mengakui segala bentuk aset desa pakraman yang pada awalnya dimiliki bersama. Akhirnya konflik yang terjadi antara dua desa pakraman ini dapat diredam setelah adanya keterlibatan tokoh masyarakat di
8
Klungkung dan pembuktian yang dilakukan oleh Majelis Utama Desa Pakraman akan keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan tanah kuburan menjadi kepemilikan bersama. Kendatipun upaya perdamaian yang dilakukan oleh Pemda Klungkung dan tokoh masyarakat setempat telah mampu meredam konflik yang ada, tetapi nyatanya hal tersebut belum sepenuhnya mampu membentuk kesatuan masyarakat secara utuh. Hal in nampak dari sikap masyarakat di dua desa tersebut yang masih belum mau berbaur satu dengan yang lainnnya. Begitu pula dalam upacara keagamaan yang masih harus berhadapan dengan potensi konflik yang mungkin saja sewaktu-waktu dapat memuncak. Jika di lihat dalam konteks sosiologis, konflik yang terjadi di Desa Kemoning dan Budaga merupakan efek dari kebijakan yang ada di Provinsi Bali yang berkaitan dengan keberadaan Desa Pakraman dan Desa Dinas yang seolah dalam pelaksanaannya saling tumpang tindih. Kondisi ini pada akhirnya berpengaruh terhadap pemahaman serta kondisi di masyarakat. Ketidakteraturan di dalam sistem sosial akan memunculkan kebingungan di dalam masyarakat. Kondisi yang demikian sangat mudah memicu terjadinya potensi konflik di dalam masyarakat. Untuk itu kemudian patut diperhatikan bagaimana korelasi antara sistem yang ada dalam masyarakat terhadap kemunculan dari beberapa konflik adat di Bali. Konflik dapat berdampak pada perubahan dalam sebuah struktur. Selain itu, konflik juga berdampak pada bertambah kuatnya rasa solidaritas kelompok, hancurnya kesatuan kelompok, adanya perubahan kepribadian individu,
9
hancurnya nilai-nlai dan norma sosial yang ada, hilangnya harta benda, dan adanya korban jiwa (Setiadi dan Kolip, 2011: 377). Untuk menghindarkan konflik dari dampak negatif, perlu adanya kesadaran dari masing-masing pihak yang berkonflik untuk melaksanakan musyawarah sehingga memperoleh kesepakatan.
Kesimpulan Konflik adat yang terjadi di Bali dipengaruhi oleh perbedaan pemahaman terhadap aturan yang berlaku bagi masyarakat ada. Lemahnya Perda No. 3 Tahun 2001 dengan memberikan otonomi yang berlebih pada desa pakraman tidak pula mampu untuk mengayomi warga desa pakraman agar senantiasa memperoleh kesejahteraan. Selain lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2001, konflik adat yang terjadi di Bali juga dipengaruhi oleh tumpang tindihnya pelaksanaaan antara pemerintahan desa adat dengan desa dinas (secara administrasi). Kondisi inilah yang menimbulkan salah tafsir dalam masyarakat. Untuk menjembatani permasalahan tersebut, perlu kiranya dilakukan tinjauan ulang dan revisi dari perda bersangkutan sehingga nantinya dapat dihasilkan perda yang benar-benar mampu mengayomi masyarakat dengan berbagai aspek kehidupannya yang sangat kompleks. Adanya kedudukan dua desa yakni desa pakraman dan desa dinas perlu dipertimbangangkan kembali sehingga masingmasing dapat melakukan hak dan kewajibannya masing-masing dengan harapan bahwa desa di Bali kembali pada garis keharmonisan dan keseimbangan seperti yang diharapkan.
10
Daftar Pustaka Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern. Yogyakarta: Kencana. SARAD/104/Desember 2008 Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana http://www.parisada.org/index.php?option= com content&task=view&id
11