ISSN: 2086-3861
PENGARUH JARAK TANAM YANG BERBEDA TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN EUCHEUMA COTTONII DENGAN METODE LEPAS DASAR DI PERAIRAN TELUK GERUPUK, LOMBOK TENGAH, NUSA TENGGARA BARAT (NTB) Abdul Muqsith Program Studi Budidaya Perikanan Akademi Perikanan ibrahimy
Abstrak Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau dikenal dengan nama lain ganggang laut, seaweed atau agar-agar. Salah satu jenis rumput laut yang sudah dibudidayakan secara intensif di wilayah perairan pantai adalah Eucheuma cottonii. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jarak ikat tanam yang sesuai untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii di perairan Teluk Gerupuk dengan metode lepas dasar. Rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) karena berlangsung pada kondisi lapang dengan 4 perlakuan jarak ikat yang berbeda yaitu perlakuan A (15 cm), perlakuan B (20 cm), perlakuan C (25 cm) dan perlakuan D (30 cm). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jarak ikat tanam yang berbeda pada rumput laut jenis Eucheuma cottonii menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata terhadap metode tanam lepas dasar. Perlakuan A (dengan jara 15 cm) memberikan pertumbuhan paling tinggi dengn hasil analisa regresi didapatkan persamaan linier pada pertumbuhan mutlak y = 125,07–2,424x dengan nilai R2 = 0,99 dan pada laju pertumbuhan y = 108.53–0.177x dengan nilai R2 = 0,97. Pada penelitian ini disarankan untuk menerapkan penanaman rumput laut dari jenis Eucheuma cottonii dengan metode lepas dasar sebaiknya berjarak 15 cm pada jarak ikat tanam dengan bobot tanam 100 gram. Kata kunci : Eucheuma cottonii, jarak ikat tanam, pertumbuhan Abstrack One Indonesian marine living resources are potentially enough seaweed or other known marine algae, seaweed or agar-agar. One type of seaweed that has been cultivated intensively in the inshore areas is Eucheuma cottonii. The purpose of this study is to determine the appropriate planting distances tied to the growth of Eucheuma cottonii in the waters off the Gulf Gerupuk basic method. The experimental design in this study was Randomized Block Design (RAK) since going on the field conditions with four different bonding distance treatment is treatment A (15 cm), treatment B (20 cm), treatment C (25 cm) and treatment D (30 cm). From this research we can conclude that the distance bunch of different plant species Eucheuma cottonii seaweed showed a highly significant difference on the planting method freelance basis. Treatment A (with the auger 15 cm) gave the highest growth with less result of linear regression analysis obtained in the growth equation y = 125.07-2.424 x absolute value of R2 = 0.99 and the SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
19
ISSN: 2086-3861
growth rate y = 108.53-0.177x R2 = 0.97. In this study recommended to implement the planting of the species Eucheuma cottonii seaweed freelance basis method is better at a distance of 15 cm with a weight belt planting planting 100 grams. Keyword : Eucheuma cottonii, belt planting distance , growth PENDAHULUAN Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Sumber daya kelautan tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif (Syafikri, 2009). Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir. Selain dapat digunakan sebagai bahan makanan, minuman dan obat-obatan, beberapa hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, alginat dan karaginan merupakan senyawa yang cukup penting dalam industri (Istini, 1998 dalam Bawa, Putra dan Ida, 2007). Masyarakat sekitar pantai telah mengenal dan memanfaatkan rumput laut dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan obat tardisional maupun bahan makanan. Selain itu rumput laut juga dimanfaatkan untuk kesehatan (Susanto, 2009). Saat ini rumput laut di Indonesia banyak dikembangkan di pesisir pantai Bali dan Nusa Tenggara. Mengingat panjangnya garis pantai Indonesia (± 81.000 km), maka peluang budidaya rumput laut sangat menjanjikan. Jika menilik kebutuhan pasar dunia ke Indonesia yang setiap tahunnya mencapai rata-rata 21,8 % dari kebutuhan dunia, sekarang ini pemenuhan untuk memasok permintaan tersebut masih sangat kurang, yaitu hanya berkisar 13,1%. Rendahnya pasokan dari Indonesia disebabkan karena kegiatan budidaya yang kurang baik dan kurangnya informasi tentang potensi rumput laut kepada para petani (Putra, 2008). Dalam upaya mengembangkan usaha budidaya rumput laut yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi nelayan di Nusa Tenggara Barat (NTB), Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IP2TP) Mataram melakukan pengkajian budidaya rumput laut Eucheuma cottonii selama 2 tahun, yaitu pada bulan Juli 1996 sampai dengan Maret 1997 di Teluk Serewe dan April 1997 sampai dengan Maret 1998 di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur. Hasil pengkajian di Teluk Serewe menunjukkan bahwa budidaya rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan rakit terapung ukuran 10 m x 10 m, memberikan laju pertumbuhan dan produktivitas yang tertinggi di lokasi tersebut. Waktu tanam yang optimal adalah bulan April s/d September. Sedangkan hasil pengkajian di Teluk Ekas menunjukkan bahwa budidaya rumput laut yang menggunakan rakit terapung ukuran 5 m x 5 m dan 5 m x 10 m, memberikan laju pertumbuhan dan produktivitas yang tertinggi dengan waktu tanam yang optimal adalah April s/d September (Nazam, Prisdiminggo dan Arief, 2004). Sehingga perlu dilakukan suatu penelitian mengenai jarak ikat tanam yang memberikan laju pertumbuhan optimal untuk diterapkan pada setiap metode budidaya rumput laut, baik secara lepas dasar maupun menggunakan rakit apung. SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
20
ISSN: 2086-3861
Menurut Anggadiredja, Achmad, Heri dan Sri, (2006) klasifikasi dari Eucheuma cottoniI adalah sebagai berikut : Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Bangsa : Gigartinales Suku : Solieriaceae Marga : Eucheuma Jenis : Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong dalam divisio rhodophyta. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut bermacam-macam, ada yang bulat seperti tabung, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (dua-dua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous}, lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Soegiarto dan Putra, 1978 dalam Kamlasi, 2009). Lebih lanjut menurut Kamlasi (2009), ciri-ciri Eucheuma cottonii adalah thallus dan cabang-cabangnya berbentuk silindris atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spine Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabangcabangnya. Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abauabu atau merah. Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks. Eucheuma cottonii, dari divisio algae merah dan marga Eucheuma umumnya tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar perairan. Persyaratan lain untuk tumbuhnya jenis ini adalah adanya gerakan air, cahaya yang cukup untuk terjadinya variasi suhu dan memperoleh aliran air laut yang tetap. Kondisi tersebut sangat ideal untuk perairan yang memiliki pantai dengan daerah pasang surut yang relatif luas dengan pasokan aliran air yang tetap, sehingga pada saat surut daerah pantai tidak mengalami kekeringan. Selain itu pantai-pantai juga memiliki tingkat pencahayaan matahari yang sangat banyak yang memungkinkan adanya variasi suhu yang cukup untuk kebutuhan budidaya jenis Eucheuma tersebut (Anonymous, 2009a). Sedangkan Aslan (1998) menyatakan bahwa umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati. Proses fotosintesa rumput laut tidak hanya dipengaruhi oleh sinar matahari saja, tetapi juga membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang cukup baik makro maupun mikro. Unsur hara ini banyak didapatkan dari lingkungan air yang diserap langsung oleh seluruh bagian tanaman. Untuk mensuplai unsur hara ini biasanya dilakukan pemupukan selama budidaya. Untuk membantu menyediakan unsur hara dalam jumlah yang optimal dan
SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
21
ISSN: 2086-3861
supaya cepat diserap oleh rumput laut ini, maka harus disediakan unsur hara yang sudah dalam keadaan siap pakai (ionik) (Putra, 2008). Dalam pertumbuhannya rumput laut memerlukan cahaya matahari untuk proses photosynthesa, karena itu meskipun hidupnya di bawah permukaan laut tetapi yang tidak terlalu dalam. Pada umumnya rumput laut terdapat di sekitar pantai dalam jumlah dan jenis beragam, namun hanya beberapa jenis saja yang dapat dimakan karena alasan rasa. Agar tidak rancu mengenai rumput laut, rumput laut yang dimaksud tersebut adalah phaecophcease dan rhodophycease. Walaupun sebenarnya ada puluhan jenis rumput yang tumbuh di perairan Indonesia. Ada beberapa jenis yang sudah dikenal atau diperdagangkan di luar maupun dalam negeri, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang telah dibudidayakan, diantaranya adalah jenis Eucheuma, Glacilaria dan Gelidium dengan beberapa speciesnya (Anonymous, 2009b). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jarak ikat tanam yang sesuain optimal untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii di perairan Teluk Gerupuk dengan metode lepas dasar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang Metode yang sesuai untuk diterapkan dalam budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii serta standar kualitas rumput laut yang diterapkan oleh industri pada pembudidaya rumput laut dengan metode lepas dasar METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lokasi uji coba budidaya rumput laut Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok, Stasiun Gerupuk, Teluk Gerupuk, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada bulan Februari 2011 sampai April 2011. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain patok (besi dan bambu), timbangan dapur (khitchen scale), martil, tali ris, jaring pengaman, camera digital, tongkat skala, horiba water cecker (HWC)/alat pengukur kualitas air, secchi disk, kain (3 x 3 m), pisau, gunting dan spidol. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bibit rumput laut, aquadest, tissue, tali rafia, nylon cable, bambu dan fiber plastik. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Adapun rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun dengan menggunakan 4 perlakuan dan 4 kali ulangan. Parameter Uji 1) Pertumbuhan Mutlak Pertumbuhan mutlak merupakan suatu selisih pertumbuhan antara pertumbuhan pada waktu tertentu (Wt) dan pertumbuhan waktu awal (Wo) (Affandie, et.al., 2002 dalam Amiluddin, 2007) dengan rumus : Pertumbuhan Mutlak = Wt1 – Wt0 Dimana : Wt1 = pertumbuhan pada waktu t dan Wt0 = pertumbuhan waktu awal 2) Laju Pertumbuhan Pengukuran dan penghitungan bobot rumput laut sangat penting karena berhubungan erat dengan laju pertumbuhan yang akan digunakan sebagai parameter utama dalam penelitian ini. Untuk mengetahui laju SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
22
ISSN: 2086-3861
pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus menurut Amin, et.al., (2005) berikut: G = (Wt/Wo )1/t x 100% Dimana : G = laju pertumbuhan harian t = lama penanaman, Wt = berat tanaman saat t hari; 1 = konstanta, dan Wo = berat tanaman awal. Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian, dianalisa secara statistik dengan menggunakan analisa keragaman (Uji BNT) sesuai dengan rancangan yang digunakan rancangan acak kelompok (RAK). Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah sidik ragam yaitu suatu cara untuk menguraikan ragam total menjadi komponen ragam. Bila F Hitung > F 5%, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Pertumbuhan Mutlak Hasil penelitian mengenai pertumbuhan mutlak dari Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :
Gambar 1. Pertumbuhan Mutlak Eucheuma Cottonii Dari analisa sidik ragam dan uji BNT menunjukkan perlakuan yang berbeda sangat nyata sehingga diperoleh persamaan regresi linier y = 125.07 - 2.42x, dengan R2 = 0,99 dan hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :
Gambar 2. Regresi Linier Pertumbuhan Mutlak Eucheuma cottonii SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
23
ISSN: 2086-3861
2) Laju Pertumbuhan Hasil penelitian mengenai laju pertumbuhan dari Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :
Gambar 3. Laju Pertumbuhan Eucheuma cottonii Dari analisa sidik ragam dan uji BNT menunjukkan perlakuan yang berbeda sangat nyata sehingga diperoleh persamaan regresi linier y = 108.53–0.17x, dengan R2 = 0,97 dan hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut :
Gambar 4. Regresi Linier Laju Pertumbuhan Eucheuma cottonii Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh pada data pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan menunjukkan bahwa dari minggu ke minggu pertumbuhan Eucheuma cottonii mengalami peningkatan pertumbuhan yang signifikan. Hal tersebut dapat diamati pula pada grafik pertumbuhan yang cenderung mengalami peningkatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata dari tiap perlakuan jarak ikat tanam. Dimana hasil yang memberikan pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan paling tinggi adalah perlakuan A (jarak ikat tanam 15 cm) dan yang paling rendah adalah perlakuan D (jarak ikat tanam 30 cm). Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan daya ikat antar rumput laut pada saat terhempas gelombang dan arus laut.
SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
24
ISSN: 2086-3861
Karena semakin erat ikatan sesama rumput laut maka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang semakin tinggi. Thallus yang menjadi faktor utama dalam pertumbuhan membutuhkan perlindungan tersendiri dari hempasan gelombang dan arus laut sehingga akan sulit terjadi kerontokan thallus pada saat terjadi gelombang dan arus. Sebaliknya apabila jarak ikat tanam lebih renggang maka daya tahan terhadap hempasan gelombang dan arus akan semakin rendah/kecil. Hal ini akan menyebabkan lebih mudah terjadi kerontokan pada thallus saat terjadi hempasan gelombang dan arus laut. Menurut Sutjiptorahadi, (1996) menyatakan bahwa pada metode lepas dasar pertumbuhan Eucheuma cottonii sangat tergantung dari kualitas perairan dan jarak ikat tanam yang diterapkan. Semakin kecil jarak ikat tanam maka akan memberikan suatu keuntungan pada daya ikat antar bibit pada saat adanya gelombang laut. Hal ini diperjelas oleh pernyataan Rusman, (2009) bahwa pertumbuhan bibit Eucheuma cottonii pada jarak tanam yang rendah dengan metode lepas dasar berpengaruh positif terhadap pertumbuhan bibit. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor pendukung maupun faktor penghambat. Adapun beberapa faktor pendukung yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : Arus pada perairan Teluk Gerupuk pada saat penelitian yang cukup besar berkisar antara 1/10–1/30 m/s. Hal tersebut dapat memberikan pengaruh pada pergantian oksigen secara berkelanjutan, baik karena arus bawah pada saat pasang maupun arus atas pada saat air laut surut, menurut Mubarak (1999) dalam Amin, et.al., (2005) menyatakan kondisi perairan yang optimum untuk budidaya Eucheuma sp. adalah kecepatan air sekitar 20-40 cm/dtk; Kecerahan yang cukup tinggi dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan E. cottonii. Kecerahan di lokasi penelitian berkisar antara 80-100% pada saat surut dan antara 50-70% pada saat pasang. Kedalaman tempat alga tumbuh juga berbeda-beda, bergantung pada tingkat kejernihan air laut. Semakin jernih air laut, semakin besar pula kemungkinan ditemukannya alga di perairan yang lebih dalam (Susanto, 2009). Dari kecerahan tersebut dapat memberikan penyerapan dari cahaya matahari yang digunakan dalam proses fotosintesis yang tinggi pula. Terutama sinar merah yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut untuk proses pembakaran energi yang ada untuk energi pertumbuhan. Gelombang yang menjadi faktor pengadukan mineral di perairan berkisar antara 20/200-40/200 cm/s, yang dapat memberikan efek pengadukan yang cukup tinggi untuk penyebaran mineral secara merata pada lingkungan perairan. Rusman (2009) menyatakan bahwa gelombang dan arussangat berperan penting dalam proses distibusi mineral dalam perairan dengan kisaran optimal 20-40 cm/s. Selain faktor tersebut di atas, adapun faktor pendukung lainnya yaitu : suhu yang berkisar antara 24 - 27 CC, kandungan oksigen terlarut (DO) yang berkisar antara 4 - 13 ppm, pH yang berkisar antara 6,5 - 8, sedangkan untuk salinitas berkisar antara 29 - 31 promil yang dapat mendukung untuk pertumbuhan yang optimal bagi E. cottonii. Mubarak (1999) dalam Amin, et.al, (2005) menyatakan kondisi perairan yang optimum untuk budidaya Eucheuma sp. adalah dasar perairan cukup keras, tidak berlumpur, kisaran salinitas 28 - 34 ppt (optimum 33 ppt), suhu air berkisar 20 - 28 0C dengan fluktuasi harian maksimal 4 0C. SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
25
ISSN: 2086-3861
Dari perhitungan regresi yang diperoleh, pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii menunjukkan perbedaan dengan pertumbuhan pada ikan secara umumnya yang menunjukkan pertumbuhan yang cenderung membentuk kurva kuadratik. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan Eucheuma sp. yang semakin hari semakin meningkat tanpa ada pertumbuhan yang melambat samapi titik panen. Petumbuhan ini ditandai dengan makin banyaknya thallus yang berkembang. Trono, (1974) dalam Amin, et.al., (2005) menyatakan bahwa makin besar gerakan air, makin banyak difusi yang menyebabkan proses metabolisme semakin cepat serta mengakibatkan pertumbuhan tanaman semakin cepat. Selain itu, arus berfungsi menghomogenkan massa air sehingga fluktuasi salinitas, suhu, pH, dan zat-zat terlarut dapat dihindari. Lebih jelas diungkapkan oleh Amin, et.al, (2005) bahwa apabila arus yang diperoleh sama pada tiap bagian tali rentang, maka kesempatan untuk tumbuh akan sama, baik untuk thallus yang berada di bagian tepi maupun thallus yang berada di bagian tengah. Dari hal tersebut pertumbuhan rumput laut terletak pada pertambahan perkembangan dari jumlah thallus yang semakin banyak tumbuh. 3) Kelulushidupan E. cottonii Tingkat kelulushidupan dari rumput laut Eucheuma cottonii di perairan Lombok Selatan dapat dikategorikan 100% mampu bertahan hidup apabila dilihat dari data yang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut :
Gambar 5. Kelulushidupan E. cottonii Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap perlakuan (jarak ikat tanam 15 cm, 20 cm, 25 cm dan 30 cm) memberikan tingkat kelulushidupan yang seragam yaitu 100%. Hal tersebut berarti perairan Teluk Gerupuk yang digunakan sebagai lokasi penelitian memiliki potensi yang sangat tinggi untuk budidaya Eucheuma cottonii karena mampu memberikan tingkat kelulushidupan yang seragam pada tiap perlakuan jarak ikat tanam. Hal ini disebabkan oleh kualitas perairan Teluk Gerupuk yang mendukung untuk kelangsungan hidup bibit Eucheuma cottonii yang ditanam. Terutama dari arus dan ombak yang relatif tenang dan kecerahan yang tinggi untuk tanaman dapat melakukan kegiatan fotosintesis dalam menghasilkan energi. Sehingga thallus dapat tumbuh dengan subur. Menurut Samsuarip, (2006) menyatakan arus dan ombak yang berkekuatan besar dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman seperti
SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
26
ISSN: 2086-3861
patah, atau terlepas dari substratnya. Selain itu penyerapan zat hara dapat terhambat karena belum sempat diserap telah dibawa kembali oleh arus. Sedangkan menurut Rusman, (2009) menyatakan kelulushidupan Eucheuma cottonii tergantung dari intensitas cahaya matahari dalam fotosintesis dan besarnya arus serta ombak yang dapat menyebabkan thallus rontok atau patah. Namun dalam kurun waktu satu tahun perairan Teluk Gerupuk memiliki tingkat kesuburan yang berbeda, yaitu pada saat musim sebelum penghujan, musim penghujan dan musim setelah penghujan. Dimana sebelum musim penghujan tingkat kesuburan perairan sangat tinggi karena belum terbanyak endapan lumpur yang dapat menghambat pertumbuhan dari rumput laut. Pada saat musim penghujan tingkat pertumbuhan ratarata dari rumput laut sangat rendah disebabkan banyaknya endapan lumpur pada saat hujan. Lumpur yang terdapat di daratan akan terbawa turun oleh air hujan menuju tempat penanaman rumput laut. Sedangkan pada saat musim setelah penghujan tingkat pertumbuhan dan kelulushidupannya mulai stabil lagi karena mulai berkurangnya endapan lumpur terbawa oleh hujan. Ambas, (2006) menyatakan bahwa dasar perairan yang berlumpur dapat mengakibatkan kekeruhan yang sangat tinggi sehingga akan dapat mengganggu proses fotosíntesis karena mampu menurunkan penetrasi cahaya yang akan menuju perairan. Hal tersebut di atas yang menjadi pertimbangan para pembudidaya rumput laut untuk menanamkan usahanya di perairan Lombok dengan metode lepas dasar. Selain itu wilayah yang sangat jauh dari transportasi merupakan alasan lain untuk para pembudidaya melakukan usahanya di perairan tersebut. Namun, akhir-akhir ini merupakan suatu program khusus dari Departemen Kelautan dan Perikanan khususnya Balai Budidaya Laut (BBL)–Lombok untuk melakukan pengembangan budidaya rumput laut dari jenis Eucehuma cottonii, Ptilophora sp., dan Gelidium amansii dalam rangka pengembangan dunia perikanan dari hasil non-ikan. Kualitas Air Data kualitas air yang diperoleh selama penelitian berlangsung dapat dikategorikan kualitas air dari perairan Lombok Selatan khususnya Teluk Gerupuk sangat memungkinkan untuk adanya usaha budidaya rumput laut baik dari jenis Eucehuma cottonii, Ptilophora sp., maupun Gelidium amansii dapat dilihat pada gambar 6 berikut :
Gambar 6. Kualitas Air Harian SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
27
ISSN: 2086-3861
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa kisaran dari nilai tersebut dapat dikategorikan sangat cocok untuk budidaya rumput laut secara umumnya sesuai dengan kisaran rata-rata kualitas air yang dibutuhkan Eucheuma cottonii untuk dapat hidup dan berkembang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mubarak (1999) dalam Amin, et.al, (2005) bahwa kondisi perairan yang optimum untuk budidaya Eucheuma sp. adalah kecepatan air sekitar 20–40 cm/dtk, dasar perairan cukup keras, tidak berlumpur, kisaran salinitas 28-34 ppt (optimum 33 ppt), suhu air berkisar 20-280C dengan fluktuasi harian maksimal 4 0C, kecerahan tidak kurang dari 5 m. Sedangkan Samsuarip (2006) menyatakan bahwa selain harus dipertimbangkan kelayakan lokasi, juga perlu diperhatikan daya dukung lahan yang meliputi dasar perairan agak keras yang terdiri dari pasir dan karang serta bebas dari lumpur, pada waktu surut masih digenangi air dengan kedalaman antara 30–60 cm, kejernihan air tidak kurang dari 5 cm, kisaran kadar garam 28–34 o/oo, pH air antara 7–9, mengandung cukup makanan berupa makro dan mikro nutrien dan suhu air (20-28 OC) dengan fluktuasi harian maksimum 4 OC. Namun, sudah dijelaskan sebelumnya yang menjadi masalah pada budidaya rumput laut di perairan Lombok Selatan secara umumnya adalah masalah endapan lumpur yang tergolong banyak. Oleh karena itu, perlu adanya suatu langkah khusus untuk penanggulangan masalah tersebut serta adanya bulan-bulan tertentu yang tidak bisa ditanami rumput laut yaitu pada saat musim penghujan karena tingkat kesuburan dari perairan tersebut sangat rendah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap laju pertumbuhan Eucheuma cottonii, dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa : • Pertumbuhan Eucheuma cottonii sangat tergantung dari tingkat kesuburan perairan dan dasar perairan yang akan menjadi lokasi tanam rumput laut tersebut; •
Pertumbuhan mutlak dari Eucheuma cottonii hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan A (dengan jarak bibit 15 cm) memiliki tingkat pertumbuhan paling tinggi dan perlakuan D (dengan jarak tanam 30 cm) memiliki pertumbuhan paling rendah dengan nilai R2 = 0,99 dan R2 = 0,97 dengan persamaan regresi linier adalah y = 125,07–2,424x dany = 108,53–0,177x
Saran •
•
Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan bahwa : Dari perlakuan yang diberikan pada percobaan penelitian ini, penulis menyarankan agar dalam budidaya Eucheuma cottonii dengan metode lepas dasar untuk menerapkan jarak ikat tanam 15 cm dengan bobot tanam 100 gram; Selain itu perlu juga adanya penelitian mengenai musim tanam yang berbeda bagi rumput laut, karena tiap tahun perairan memiliki kandungan nutrisi yang berbeda. Antara sebelum musim penghujan, pada saat musim hujan dan setelah musim hujan.
SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
28
ISSN: 2086-3861
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2009a. Hasil Kajian Potensi Rumput Laut di Kabupaten Rote Ndao. Perkembangan Ekonomi Makro Regional. Kupang. 36 Hal. ----------------, 2009b. Aspek Produksi Budidaya Rumput Laut. kliping dunia ikan dan mancing.htm. Wordpres.com. 4 hal. Ambas, Irvan. 2006. Pelatihan Budidaya Laut (COREMAP FASE II KAB. SELAYAR) ; Budidaya Rumput Laut. Yayasan Mattirotasi. Makasar. 5 hal. Amiluddin, N.M. 2007. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 15 hal. Amin, T. P., Rumayar, Femmi N.F., D. Kemur dan IK Suwitra. 2005. Kajian Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonii) dengan Sistem dan Musim Tanam yang Berbeda di Kabupaten Bangkep Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 8, No.2, Juli 2005 : 282-291 Anggadiredja, J.T., Achmad, Z., Heri, P., dan Sri I. 2006. Rumput Laut; Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta. 50 hal. Aslan, Laode. 1998. Budidaya Yogyakarta. 46 hal
Rumput
Laut.
Penerbit
Kanisius.
Bawa, A.A., Bawa Putra dan Ida Ratu, L. 2007. Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan Dari Rumput Laut Jenis (Eucheuma cottonii). Jurnal Kimia. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran. 14 hal. Kamlasi. 2009. Budidaya Eucheuma cottonii. Thesis.rtf. 25 hal. Muhammad, S. 1992. Diktat Kuliah Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan. . LUW / UNIBRAW/ FISH Fisheries Project Malang. 137 hal. Natzir, M. 1998. Metode Penelitian. Cetakan III Ghalia Indonesia. Jakarta. 622 hal. Nazam, Prisdiminggo dan Arief Surahman. 2004. Dampak Pengkajian Budidaya Rumput Laut Di Nusa Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. 31 hal. Putra, W. A. 2008. Budidaya Rumput Laut. Agromania Group. Pejaten Barat. Jakarta Selatan. 6 hal. Rusman. 2009. Teknis Demplot Budidaya Rumput Laut. DKP-Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok. Nusa Tenggara Barat. 98 hal. Samsuarip. 2006. Karakterisasi karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen, konsentrasi KOH dan lama ekstraksi. Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Jeneponto. Flores. 23 hal. Sutjiptorahadi, B. 1996. Budidaya Eucheuma cottonii. Balai Kajian Laut. Magelang. Jawa Tengah. 24 hal. SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
29
ISSN: 2086-3861
Susanto. 2009. Alga Merah Pengungkap Kebenaran Taksonomi. Kebenaran Itu Tidak Memihak. Koran Ibukota. Jakarta. 40 hal. Syafikri, Dedi. 2009. Prospek Budidaya Rumput Laut Dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan di Kabupaten Sumbawa. Manajemen Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Program Paca Sarjana Universitas Diponegoro.
SAMAKIA, Volume 2, No. 1, Februari 2012
30