22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP CAPACITY BUILDING 1. Pengertian Capacity Building Penelusuran definisi capacity building memiliki variasi antar satu ahli dengan ahli lainnya. Hal ini dikarenakan capacity building merupakan kajian yang multi dimensi, dapat dilihat dari berbagai sisi, sehingga pendefinisian yang sama masih sulit didapat. Secara umum konsep capacity building dapat dimaknai sebagai proses membangun kapasitas individu, kelompok atau organisasi. Capacity building dapat juga diartikan sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok atau organisasi yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, keterampilan, potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi sehingga individu, kelompok atau organisasi dapat bertahan dan mampu mengatasi tantangan perubahan yang terjadi secara cepat dan tak terduga. Capacity building dapat dimaknai sebagai proses kreatif dalam mengembangkan kemampuan yang sudah ada. Capacity building dapat pula dimaknai sebagai proses kreatif dalam membangun kapasitas yang belum nampak. T. Nill dan C Mindrum (2001) menyatakan capacity building merupakan istilah yang digunakan untuk membangun suatu masyarakat melalui perubahan pada dirinya, misalnya peningkatan ilmu pengetahuan, skill, pengorganisasian program dan lain-lain. Capacity Building
23
merupakan sebuah model proses perubahan, gerak perkembangan dan perubahan yang bertingkat secara individu, kelompok, organisasi maupun perubahan pada pembentukan frame work sebuah sistem kearah yang lebih baik. Menurut Ann Philbin, beliau mendifinisikan capacity building sebagai berikut : Capacity building is defined as the "process of developing and strengthening the skills, instincts, abilities, processes and resources that organizations and communities need to survive, adapt, and thrive in the fast-changing world." Philbin (1996). Dengan pernyataan di atas, Ann Philbin berusaha mendefinisikan Capacity
Building
atau
pengembangan
kapasitas
sebagai
proses
mengembangkan dan meningkatkan keterampilan, bakat, kemampuan sumber daya organisasi sebagai kebutuhan untuk bertahan, menyesuaikan diri, dan menumbuhkan organisasi di era perubahan yang cepat. Sementara itu, Merilee S. Grindle mendefinisikan capacity building sebagai upaya yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan efficiency, effectiveness, dan responsiveness kinerja. Yakni efficiency, dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome; effectiveness berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan responsiveness yakni bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut., sebagaimana dikemukakan bahwa “Capacity building is intended to encompass a variety of strategies that
24
have to do with increasing the efficiency, effectiveness, and responsiveness of government performance.” Grindle, M.S (Keban, 2000 : 7) Dalam pengertian yang lain, Valentine Udoh James mencoba memberikan pengertian capacity building sebagai berikut : Capacity Building as attemp to enhance the ability of people of developing nations to develop esssential politics and management skills necessary to build their nation’s human, economic, social political and cultural structures so as to their proper place in global affairs” James, V.U. (1998 : 25) Dengan pernyataan di atas, Valentine Udoh James mendefinisikan capacity building sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat negara
sedang
berkembang
untuk
mengembangkan
keterampilan
manajemen dan kebijakan yang esensial yang dibutuhkan untuk membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga mereka eksis dalam percaturan global. Capacity building didefinisikan oleh Brown (2001 : 25) sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan. Milen (2001 : 142) melihat capacity building sebagai tugas khusus, karena tugas khusus tersebut berhubungan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi atau sistem tertentu pada suatu waktu tertentu. Pengembangan kapasitas dapat juga didefinisikan sebagai sebuah proses untuk : a. Meningkatkan kemampuan individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, dan juga masyarakat untuk menganalisa lingkungan mereka,
25
b. Mengenali masalah-masalah, kepentingan-kepentingan, dan kesempatan-kesempatan, c. Merumuskan strategi-strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan tersebut di atas serta untuk meraih kesempatan-kesempatan yang relevan, d. Merancang sebuah rencana untuk program-program, dan e. Memanfaatkan secara efektif sumber-sumber dasar yang mendukung pelaksanaannya, memantau dan mengevaluasi rencana programprogram, serta f. Menggunakan arus balik untuk mempelajari pelajaran-pelajaran Pengertian lain mengenai capacity building juga dikemukakan oleh Katty Sensions (Soeprapto, Riyadi, 2006 : 11) yang memberikan definisi : “capacity building usually is understood to mean helping governments, communities and individuals to develop the skills and expertise needed to achieve their goals. Capacity building program, often designed to strengthen participant’s abilities to evaluate their policy choices and implement decisions effectively, may include education and training, institutional and legal reforms, as well as scientific, technological and financial assistance” Dengan pernyataan di atas, capacity building umumnya dipahami sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat ataupun individu dalam mengembangkan keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Program pengembangan kapasitas seringkali didesain untuk memperkuat kemampuan dalam mengevaluasi pilihan-pilihan
kebijakan
mereka
dan
menjalankan
keputusan-
keputusannya secara efektif. Pengembangan kapasitas bisa meliputi pendidikan dan pelatihan, reformasi peraturan dan kelembagaan, dan juga asistensi finansial, teknologi dan keilmuwan. Sedangkan Morrison (2001 : 1) menyatakan : “Capacity building can best be seen as a process to induce, or set in motion, multi-level change in individuals, groups, organisations and systems. Ideally, capacity building seeks to strengthen the self-adaptive
26
capabilities of people and organisations, in order that they can respond to a changing environment, on an on-going basis. Capacity building is a process and not a product. In particular, capacity building is a multi-level learning process, which links ideas to action. Capacity building, in this view, can be defined as actionable learning”. Dengan pernyataan di atas, Morrison berusaha mendefinisikan capacity building atau pengembangan kapasitas sebagai Actionable Learning. Sebuah proses yang menyebabkan atau menggerakkan perubahan multi-tingkatan pada individu, grup, organisasi dan sistem. Idealnya, pengembangan kapasitas berupaya memperkuat kemampuan adaptasi diri dan organisasi, dengan tujuan agar mereka dapat merespon perubahan lingkungan di atas situasi yang tengah berlangsung. Dan dalam pernyataan tersebut terdapat kata kunci definitif tentang pengembangan kapasitas, yakni : a. Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses. b. Pengembangan kapasitas adalah proses pembelajaran multi-tingkatan meliputi individu, grup, organisasi dan sistem. c. Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap. d. Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionabel learning ; dimana pembangunan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pembelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus beradaptasi atas perubahan. Proses ini merupakan kerangka “5Cs” (Lima ‘C’). Morrison pun menggambarkan kerangka pengembangan kapasitas sebagai Actionabel Learning dalam gambar berikut:
27
Change goals Establish clear goals for and indicators of change
Change demands Assess the knowledge, skill and organizational demand implied change
Change readiness Assess current state of readiness to meet the knowledge and skill demand of
Change gaps Determine knowledge, structural and skill gaps between current end goal state
Actionabel Learning Strategies
Conceptualization Knowning that
Capacity Can do
Concern Knowning self
Change monitoring Monitor movement toward or away from change goals
The 5Cs
Consideration Knowing Why
Capability Knowning how
Re-changing Anticipate and be prepared to change the change stategies
Gambar 2.1 Capacity Building as Actionabel Learning for Change. Terrence Morrison (2000 : 5)
28
2. Dimensi dan Tingkatan Capacity Building Seperti yang telah diuraikan di atas, konsep
“Capacity building”
secara umum merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja individu, kelompok atau organisasi, dengan memusatkan perhatian kepada dimensi, Keban (2000 : 7) mengemukakan bahwa dimensi pengembangan kapasitas terdiri atas : (1) pengembangan sumberdaya manusia; (2) penguatan organisasi; dan (3) reformasi kelembagaan. Dalam konteks pengembangan sumberdaya manusia, perhatian diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional dan teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain training, pemberian gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistem rekruitmen yang tepat. Dalam kaitannya dengan penguatan organisasi, pusat perhatian ditujukan kepada sistem manajemen untuk memperbaiki kinerja dari fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro. Aktivitas
yang
harus
dilakukan
adalah
menata sistem
insentif,
pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi, dan struktur manajerial. Dan berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam hal ini aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan “aturan main” dari sistem ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi
29
sistem kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan berkembangnya masyarakat madani. Dimensi peningkatan kemampuan ini juga diungkapkan oleh beberapa pengarang lain. Menurut A. Fiszbein (Keban, 2000 : 7), peningkatan kemampuan difokuskan pada: (1) kemampuan tenaga kerja (labor); (2) kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan; dan (3) kemampuan “capital” yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Sementara itu, D. Eade (Soeprapto, 2006 : 12) merumuskan peningkatan kemampuan dalam tiga dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) network. Nampaknya pengembangan dimensi individu dan organisasi merupakan kunci utama atau titik strategis bagi perbaikan kinerja (Mentz, 1997), tetapi masuknya dimensi network ini sangat penting karena melalui dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya. J.S. Edralin (Soeprapto, 2006 : 12) juga mengumpulkan berbagai pendapat yang menggambarkan pemahaman mereka tentang “capacity building”. Misalnya, World Bank memfokuskan peningkatan kemampuan kepada: (1) pengembangan sumberdaya manusia, khususnya training, rekruitmen, pemanfaatan dan pemberhentian tenaga kerja profesional, manajerial dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses, sumberdaya, dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja interaksi organisasi, yaitu koordinasi kegiatankegiatan organisasi, fungsi jaringan kerja, dan
30
interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi, yaitu aturan dan perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas-tugas pembangunan, dan dukungan keuangan dan anggaran; dan (5) lingkungan kegiatan yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi, dan kondisikondisi yang berpengaruh terhadap kinerja. Sementara itu, UNDP (Soeprapto, 2006 : 13) memfokuskan pada tiga dimensi yaitu: (1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia), yaitu kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) modal (dimensi phisik) yaitu menyangkut peralatan, bahan-bahan yang diperlukan, dan gedung; dan (3) teknologi yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, pembuatan keputusan, pengendalian dan evaluasi, serta sistem
informasi
manajemen.
Dan
United
Nations
memusatkan
perhatiannya kepada: (1) mandat atau struktur legal; (2) struktur kelembagaan; (3) pendekatan manajerial; (4) kemampuan organisasional dan teknis; (5) kemampuan fiskal lokal; dan (6) kegiatan-kegiatan program. Semua dimensi peningkatan kemampuan diatas dikembangkan sebagai strategi untuk mewujudkan nilai-nilai “good governance”. Pengembangan sumberdaya manusia misalnya, dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral dan etos kerja. Pengembangan kelembagaan merupakan strategi penting agar suatu lembaga pemerintahan mampu: (1) menyusun rencana strategis
31
ditujukan agar organisasi memiliki visi yang jelas; (2) memformulasikan kebijakan dengan memperhatikan nilai efisiensi, efektivitas, transparansi, responsivitas, keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan; (3) mendesain organisasi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas, tingkat desentralisasi dan otonomi yang lebih tepat, dan (4) melaksanakan tugas-tugas manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel, adaptif, dan lebih berkembang. Dan pengembangan jaringan kerja, misalnya merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama atau kolaborasi dengan pihak-pihak luar dengan prinsip saling menguntungkan. Bila dicermati berbagai pendapat diatas maka “capacity building” sebenarnya berkenaan dengan strategi menata input dan proses dalam mencapai output dan outcome, dan menata feedback untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada tahap berikutnya. Strategi menata input berkenaan dengan kemampuan lembaga menyediakan berbagai jenis dan jumlah serta kualitas sumberdaya manusia dan non manusia agar siap untuk digunakan bila diperlukan. Strategi menata proses berkaitan dengan kemampuan lembaga merancang, memproses dan mengembangkan kebijakan, organisasi dan manajemen. Dan strategi menata feedback berkenaan
dengan
kemampuan
melakukan
perbaikan
secara
berkesinambungan dengan mempelajari hasil yang dicapai, kelemahankelemahan input dan proses, dan mencoba melakukan tindakan perbaikan secara nyata setelah melakukan berbagai penyesuaian dengan lingkungan. Strategi-strategi tersebut harus dinilai secara cermat tingkat kelayakannya
32
pada bidang-bidang strategis yang menjadi prioritas utama kegiatan pada saat sekarang. Dari uraian di atas dapatlah dikemukakan bahwa capacity building memiliki dimensi dan tingkatan sebagai berikut : a. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada individu b. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada organisasi c. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada sistem Berikut gambaran mengenai tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas :
Tingkatan Individual
Pengetahuan, keterampilan, kemampuan, pengelompokkan kerja
Tingkatan Organisasi
Pengambilan keputusan Sumber-sumber Prosedur-prosedur Struktur-struktur
Tingkatan Sistem
Kerangka kerja formal yang mendukung kebijakankebijakan
Pengembangan kapasitas
Gambar 2.2 Tingkatan Capacity Building Sumber : The Capacity Building For Local Government Toward Good Governance Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS Dari gambar tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan
kapasitas
harus
dilaksanakan
secara
efektif
dan
berkesinambungan pada 3 (tiga) tingkatan-tingkatan : a. Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yan mendukung pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu;
33
b. Tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringanjaringan organisasi; c. Tingkatan individual, contohnya ketrampilan-keterampilan individu dan
persyaratan-persyaratan,
pengetahuan,
tingkah
laku,
pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orangorang dalam organisasi-organisasi. Dari pemaparan mengenai dimensi pengembangan kapasitas di atas, penulis dapat simpulkan sebagai berikut. a. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada sistem merupakan satu entitas yang terdiri dari seluruh komponen yang berada di dalamnya. Komponen-komponen tersebut diantaranya seperti kebijakan dan sumber daya manusia dan lainnya. Misalnya pengembangan kapsitas diterapkan pada dimensi sistem dengan fokus pada pembenahan kebijakan makro tentang undang-undang Guru dan Dosen yang akan mempengaruhi semua elemen pendidikan di wilayah nasional agar tercapai tujuan pendidikan yang bermutu. b. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada kelembagaan atau organisasi terdiri atas sumber daya organisasi, budaya organisasi, ketatalaksanaan, keputusan
dan
struktur lainnya.
organisasi Misalnya
atau
sistem
pengambilan
pengembangan
kapasitas
34
diaplikasikan pada dimensi organisasi dengan fokus pada pembenahan budaya organisasi sekolah melalui kegiatan rapat atau diskusi mengenai
evaluasi
kinerja
organisasi
sekolah
dengan
tujuan
menumbuhkembangkan budaya organisasi pembelajar (Learning Organization). c. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada individu internal organisasi adalah segala kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi serta mewujudkan kinerja yang ditujukan untuk mencapai tujuan organisasi seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan
bekerjasama,
mengimplementasikan menggunakan
teknologi
kemampuan
kebijakan dan
memahami
organisasi,
dan
kemampuan
kemampuan-kemampuan
lainnya.
Misalnya pada sektor pendidikan dimensi pengembangan kapasitas guru yang kemudian diadakan suatu pendekatan untuk membina kemampuan guru dalam mengembangkan potensinya ketika mengajar, memberi bimbingan, melakukan penulisan-penulisan kelas dan sebagainya yang akhirnya diharapkan dapat digunakan untuk kepentingan peserta didik dan masyarakat.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Capacity Building Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun kesuksesan program pengembangan kapasitas. Namun secara khusus Soeprapto (2006 : 18) mengemukakan
faktor-faktor signifikan yang
35
mempengaruhi pengembangan kapasitas meliputi 5 (lima) hal pokok yaitu, komitmen bersama, kepemimpinan, reformasi peraturan, reformasi kelembagaan, dan pengakuan tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Pertama, komitmen bersama. Collective commitments dari seluruh aktor yang terlibat dalam sebuah organisasi sangat menentukan sejauh mana pengembangan kapasitas akan dilaksanakan ataupun disukseskan. Komitmen bersama ini merupakan modal dasar yang harus terus menerus ditumbuhkembangkan dan dipelihara secara baik oleh karena faktor ini akan menjadi dasar dari seluruh rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi. Tanpa adanya komitmen baik dari pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah dan juga staff yang dimiliki, sangatlah mustahil mengharapkan program pengembangan kapasitas bisa berlangsung apalagi berhasil dengan baik. Kedua, kepemimpinan. Faktor conducive leadership merupakan salah satu hal yang paling mendasar dalam mempengaruhi inisiasi dan kesuksesan
program
pengembangan
kapasitas
personal
dalam
kelembagaan sebuah organisasi. Dalam konteks lingkungan organisasi publik, harus terus menerus didorong sebuah mekanisme kepemimpinan yang dinamis sebagaimana yang dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini karena tantangan ke depan yang semakin berat dan juga realitas keterbatasan sumber daya yang dimiliki sektor publik. Kepemimpinan kondusif yang memberikan kesempatan luas pada setiap elemen organisasi
36
dalam menyelenggarakan pengembangan kapasitas merupakan sebuah modal dasar dalam menentukan efektivitas kapasitas kelembagaan menuju realisasi tujuan organisasi yang diinginkan. Ketiga, reformasi peraturan. Kontekstualitas politik pemerintahan daerah di Indonesia serta budaya pegawai pemerintah daerah yang selalu berlindung pada peraturan yang ada serta lain-lain faktor legal-formalprosedural merupakan hambatan yang paling serius dalam kesuksesan program pengembangan kapasitas. Oleh karena itulah, sebagai sebuah bagian dari implementasi program yang sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan maka reformasi (atau dapat dibaca penyelenggaran peraturan yang kondusif) merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan dalam rangka menyukseskan program kapasitas ini. Keempat, reformasi kelembagaan. Reformasi peraturan di atas tentunya merupakan salah satu bagian penting dari reformasi kelembagaan ini. Reformasi kelembagaan pada intinya menunjuk kepada pengembangan iklim dan budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan program kapasitas personal dan kelembagaan menuju pada realisasi tujuan yang ingin dicapai. Reformasi kelembagaan menunjuk dua aspek penting yaitu struktural dan kultural. Kedua aspek ini harus dikelola sedemikian rupa dan menjadi aspek yang penting dan kondusif dalam menopang program pengembangan kapasitas karena pengembangan kapasitas harus diawali pada identifikasi kapasitas yang dimiliki maka harus ada pengakuan dari personal dan lembaga tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki dari
37
kapasitas yang tersedia (existing capacities). Pengakuan ini penting karena kejujuran tentang kemampuan yang dimiliki merupakan setengah syarat yang harus dimiliki dalam rangka menyukseskan program pengembangan kapasitas.
4. Persyaratan-persyaratan dalam Capacity Building Ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui sebelum sebuah program pengembangan kapasitas. Persyaratan-persyaratan itu antara lain partisipasi, inovasi, akses informasi, akuntabilitas dan kepemimpinan (Yuwono : 2003). Partisipasi merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting karena menjadi dasar seluruh rangkaian kegiatan pengembangan kapasitas. Partisipasi dari semua level, tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi juga level pimpinan atas, menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan program, maka sudah semestinya inisiatif partisipasi ini dibangun sejak awal hinga akhir program pengembangan kapasitas dalam rangka menjamin kontinuitas program. Inovasi juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah penting mendesak. Harus diakui bahwa inovasi adalah bagian dari program pengembangan kapasitas, khususnya dalam kerangka menyediakan berbagai alternatif dan metode pengembangan kapasitas yang bervariasi, dan menyenangkan. Hampir tidak mungkin terjadi pengembangan kapasitas tanpa diikuti oleh inovasi (karena capacity building merupakan bentuk dari sebuah inovasi). Pembangunan mengabaikan, menghambat
38
ataupun tidak memberikan ruang terhadap inovasi. Inovasi penting karena pekerjaan bukanlah sesuatu yang statis sifatnya, tetapi justru dinamis sesuai dengan tuntutan publik yang kian tinggi. Kemudian, akses terhadap informasi merupakan persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan program pengembangan kapasitas. Pada bentuk organisasi yang tradisional dan birokratis, semua informasi dipegang dan dikuasai oleh pimpinan. Kondisi seperti ini jelas tidak
memungkinkan
pengembangan
kapasitas.
Sebaliknya,
pengembangan kapasitas salah satunya harus dimulai dengan memberikan akses dan kesempatan untuk memperoleh informasi secara cukup baik dan efektif guna mendukung program yang akan dilaksanakan. Akuntabilitas juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah urgennya.
Akuntabilitas
penting
untuk
menjaga bahwa
program
pengembangan kapasitas juga harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga menuju pada suatu hasil yang diinginkan. Dengan kata lain akuntabilitas dibutuhkan dalam rangka penjaminan bahwa program pengembangan kapasitas merupakan kegiatan yang legitimate, kredibel, akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan. Persyaratan yang terakhir adalah kepemimpinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas kepemimpinan memegang peranan penting dalam kesuksesan program pengembangan kapasitas organisasi. Kepemimpinan yang dipersyaratkan dalam pengembangan kapasitas antara lain adalah keterbukaan (openness), penerimaan terhadap ide-ide
39
baru (receptivity to new ideas), kejujuran (honesty), perhatian (caring), penghormatan terhadap harkat dan martabat (dignity) serta penghormatan kepada orang lain (respect to people). Semakin pemimpin memberikan kepercayaan dan suasana kondusif pada staf untuk berkembang, maka akan semakin sukseslah program pengembangan kapasitas dalam sebuah organisasi.
5. Indikator Capacity Building Capacity Building atau pengembangan kapasitas memiliki karakteristik yang definitif. Menurut Milen (2001 : 5) bahwa pengembangan kapasitas memiliki karakteristik sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
Merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Memiliki esesensi sebagai sebuah proses internal. Dibangun dari potensi yang telah ada. Memiliki nilai intrinsik tersendiri. Mengurus masalah perubahan. Menggunakan pendekatan terintegrasi dan holistik. Pengembangan kapasitas adalah sebuah proses membangun kapasitas
yang bukan sekedar bertumpu pada perwujudan kegiatan mambangun kapasitas satu stakeholder saja. Bukan pelaksanaan kegiatan pelatihan untuk perorangan atau kelompok tertentu saja, karena pengembangan kapasitas bersifat multi-dimensi dan terdiri atas multi aktifitas yang bersifat pemelajar semua stakeholder yang kapasitasnya dituntut mengalami peningkatan status untuk menjadi kontributor terhadap sustainabilitas kinerja kolektif.
40
Pengembangan kapasitas pun akan selalu dipengaruhi oleh faktor eksternal yang menjadi lingkungan pembelajarannya. Dalam jangka waktu yang sangat panjang dan tak berkesudahan, maka pengembangan kapasitas memerlukan aktifitas adaptif untuk meningkatkan kapasitas semua stakeholder-nya. Berkaitan dengan aktivitas adaptif atau adaptabilitas, Moh. Fakry Gaffar (1998 : 5) dalam penulisannya mengenai “upaya untuk meningkatkan adaptabilitas manajemen sekolah”, menyebutkan bahwa adaptabilitas mencakup hal-hal sebagai berikut : a. Kemampuan membuat keputusan Kemampuan membuat keputusan, misal bagi seorang kepala sekolah terutama berhubungan dengan policy amatlah penting, sebab menyangkut
kelancaran
pelaksanaan
fungsi
secara
menyeluruh.
Keberanian dan kemampuan membuat keputusan merupakan salah satu syarat
untuk
menjadikan
seseorang
mempunyai
sikap
mandiri.
Kemampuan membuat keputusan pada tingkat yang amat mikro inilah merupakan suatu kemampuan kepemimpinan yang amat langka. b. Kemampuan professional guru Berbagai
studi
menunjukan
bahwa
guru
yang
mampu
mempengaruhi perilaku belajar anak dengan lebih efektif, fungsi guru yang langsung menangani proses belajar di kelas amatlah strategic dalam upaya meningkatkan adaptabilitas manajemen sekolah terutama dalam kaitannya dengan learning anak. Peningkatan kemampuan professional guru ini dapat ditempuh melalui berbagai cara antara lain : pemberian
41
kesempatan untuk mengikuti inservice trainning, menyediakan program pembinaan yang teratur, dan menciptakan forum akademik guru. c. Menstabilkan kurikulum Hal ini mengandung arti menghindari ketidakstabilan kurikulum, sebab perubahan yang terlalu sering yang melibatkan begitu banyak unsur dan begitu banyak orang akan menimbulkan kekacauan dan kepanikan. Menstabilkan kurikulum tidak berarti membuat kurikulum itu statis, kurikulum tetap dinamis mengikuti setiap gerak perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dalam arti isi bukan kerangka dan struktur. Kemampuan untuk mendinamiskan kurikulum ini sebenarnya berada pada tingkat sekolah yaitu kepala sekolah sebagai academic leader dan guru sebagai instructional leader dalam bidangnya. d. Meningkatkan komunikasi Kelancaran fungsi dan interaksi fungsional dalam manajemen sekolah ditentukan oleh efektifitas komunikasi sekolah itu, karena itu proses komunikasi dengan policy dalam komunikasi perlu mendapat perhatian yang utama dari kepala sekolah dan pengawas. Sebab bila terjadi kemacetan komunikasi, kerugiannya amat tinggi dan mahal. Komunikasi ini mencakup komunikasi professional antar guru, komunikasi edukatif dengan murid, dan komunikasi koordinatif dengan pimpinan masyarakat dan para orang tua murid. e. Menjadikan learning sebagai fokus manajemen
42
Ini berarti merubah secara konseptual dan fundamental ketitik yang benar dan amat essensial. Hingga saat ini tidak banyak kepala sekolah yang berpikir bahwa keseluruhan kegiatan manajemen sekolah yang dipimpinnya harus digiring untuk menciptakan satu situasi dimana anak dapat belajar dengan lebih baik, dan dimana anak merasa bahwa sekolah adalah tempat yang terbaik bagi mereka untuk belajar. Untuk mewujudkan tujuan ini menjadi kenyataan kepala sekolah perlu mengubah orientasinya dengan menggiring keseluruhan fungsi berbagai unsur sekolah menuju satu titik yaitu learning anak didik. Profesionalitas seluruh tenaga akademik dan non akademik sekolah merupakan prasyarat untuk mewujudkan tugas ini disertai dengan dedikasi dan komitmen yang tinggi. f. Professional Growth Professional growth ini secara menyeluruh harus dipolakan baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, hingga pada tingkat lembaga. Professional growth ini mengandung dua arti; pertama dikaitkan dengan usaha peningkatan kemampuan profesional yang dapat dilakukan secara independent pada tingkat sekolah atau oleh masing-masing individu yang bersangkutan, dan kedua
berkaitan dengan jenjang karir
kepegawaian dan ini harus dipolakan dari tingkat yang lebih tinggi.
6. Kegiatan Capacity Building Pengembangan
kapasitas
memiliki
aktifitas
tersendiri
yang
memungkinkan terjadinya pengembangan kapasitas pada sebuah sistem, organisasi, atau individu, dimana ada aktifitas tersebut terdiri atas
43
beberapa fase umum, yakni ; persiapan, analisis kebutuhan, perencanaan dan pemrograman, implementasi, dan evaluasi. GTZ (Gandara, 2008 : 18).
PERSIAPAN 1. Identifikasi kebutuhan untuk proses pembangunan kapasitas 2. Penentuan tujuan 3. Menyatakan tanggung jawab
EVALUASI 1. Evaluasi dampak 2. Perencanaan ulang rencana tindak pembangunan kapasitas
1. 2. 3. 4. 5.
ANALISIS Identifikasi isu Analisis proses Analisis organisasi Assesmen kesenjangan kapasitas Memunculkan semua kebutuhan pembangunan kapasitas
SIKLUS
CAPACITY BUILDING
PERENCANAAN 1. Membuat rencana tindak multi tahun (tahunan) 2. Membuat rencana pembelanjaan jangka menengah 3. Menyusun skala prioritas
AKSI 1. Pemrograman tahunan dan penganggaran keuangan 2. Perencanaan proyek 3. Penyeleksian penyedia jasa
Gambar 2.3 Siklus capacity building sumber : Modul A P4D DEPDAGRI RI GTZ (Gandara, 2008 : 18)
Penjelasan mengenai uraian kegiatan pengembangan kapasitas di atas adalah sebagai berikut : a. Fase Persiapan. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1). Identifikasi kebutuhan untuk pengembangan kapasitas, langkah kerja
44
ini memiliki kegiatan utama yaitu mengenali alasan-alasan dan kebutuhan nyata untuk mengembangkan kapasitas. (2). Menentukan tujuan-tujuan. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama yaitu melakukan
konsultasi
dengan
stakeholder
utama
untuk
mengidentifikasi isu utama pengembangan kapasitas (3). Memberikan tanggung jawab. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama yaitu menetapkan penanggungjawab kegiatan pengembangan kapasitas, misal membentuk tim teknis atau satuan kerja (4). Merancang proses pengembangan kapasitas. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama yaitu menentukan metodologi pemetaan sesuai permasalahan yang muncul dan membuat penjadwalan kegiatan tentang proses pemetaan dan
tahapan
perumusan
berikutnya
tentang
rencana
tindak
pengembangan kapasitas. (5). Pengalokasian sumber daya. Kegiatan utamanya
adalah
mengidentifikasi
pendanaan
kegiatan
proses
pengembangan kapasitas dan mengalokasikan sumber daya dengan membuat formulasi kebutuhan sumber daya sesuai anggaran yang dibutuhkan dan dapat disetujui oleh pihak berwenang. b.
Fase Analisis. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1). Mengidentifikasi permasalahan dalam hal ini kegiatan utamanya berupa melakukan pemeriksaan terhadap masalah untuk penyelidikan lebih lanjut. (2). Analisis terhadap proses dalam hal ini kegiatan utamanya berupa menghubungkan permasalahan untuk pemetaan kapasitas dengan proses kinerja system, organisasi dan individu. (3).
45
Analisis organisasi dalam hal ini kegiatan utamanya berupa memilih organisasi untuk diselidiki legih dalam (pemetaan organisasional). (4). Memetakan gap dalam kapasitas dalam hal ini kegiatan utamanya adalah berupa memetakan jurang pemisah antara kapasitas ideal dengan kenyataannya. (5). Menyimpulkan kebutuhan-kebutuhan pengembangan kapasitas yang mendesak dalam hal ini kegiatan utamanya
adalah
berupa
menyimpulkan
temuan-temuan
dan
mengumpulkan usulan-usulan untuk rencana tindak pengembangan kapasitas. c. Fase Perencanaan. Pada fase ini terdapat 3 langkah kerja yaitu : (1). Perencanaan tahunan, kegiatan utamanya adalah merumuskan draf rencana tindak pengembangan kapasitas. (2). Membuat rencana jangka menengah,
kegiatan
utamanya
berupa
pertemuan-pertemuan
konsultatif. (3). Menyusun skala prioritas, kegiatan utamanya berupa menetapkan skala prioritas pengembangan kapasitas dan tahapantahapan implementasinya. d. Fase Implementasi. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1). Pemrograman, kegitan utamanya berupa mengalokasikan sumber daya yang dimiliki saat ini. (2). Perencanaan proyek pengembangan kapasitas,
kegiatan
utamanya
berupa
merumuskan
kebijakan
implementasi pengembangan kapasitas. (3). Penyeleksian penyedia jasa layanan pengembangan kapasitas, kegiatan utamanya berupa mengidentifikasi
layanan
dan
produk
luar
terkait
kebutuhan
46
implementasi pengembangan kapasitas yang akan dikerjanakan. (4). Implementasi proyek, kegiatan utamanya berupa implementasi program tahunan pengembangan kapasitas sesuai sumber daya yang ada dan jadwal yang tersedia. (5). Monitoring proses, kegiatan utamanya berupa melakukan monitoring terhadap aktifitas-aktifitas pengembangan kapasitas. e. Fase Evaluasi. Pada fase ini terdapat 2 langkah kerja yaitu : (1). Evaluasi dampak, kegiatan utamanya berupa mengevaluasi pencapaian pengembangan
kapasitas,
seperti
peningkatan
kinerja.
(2).
Merencanakan ulang rencana tindak pengembangan kapasitas, kegiatan utamanya adalah melakukan analisa terhadap temuan monitoring proses dan evaluasi dampak dalam konteks kebutuhan perencanaan ulang pengembangan kapasitas. Sedangkan Yap (2000 : 26) mengemukakan, bahwa cara-cara mengembangkan kapasitas adalah dengan melakukan kegiatan berikut: a. Menganalisa lingkungan individu, grup, organisasi, komunitas, dan masyarakat yang akan dikembangkan kapasitasnya. b. Mengidentifikasi dan merumuskan masalah, kebutuhan, isu dan peluang terkait individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat yang akan dikembangkan kapasitasnya. c. Merumuskan strategi untuk membangun kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait. d. Merancang rencana aksi untuk membangun kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait. e. Menghimpun dan menggunakan semua sumber daya yang sudah ada untuk mengimplementasikan, mengawasi, dan mengevaluasirencana aksi pengembangan kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait. f. Menggunakan umpan balik untuk mempelajari pelajaran yang dapat diambil dari keseluruhan proses pengembangan kapasitas yang
47
diterapkan terhadap individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait. 7. Strategi Capacity Building Brown, La Fond dan Mc Intyre (Gandara, 2008 : 28) mendeskripsikan sebuah strategi pengembangan kapasitas ke dalam gambar berikut ini. Tingkat Kapasitas
Kinerja Kinerja Sistem
Sistem
(akses, mutu, pemerataan, efisiensi)
Organisasi
Kinerja Organisasi
Personil
Kinerja Personil
Sustainabilitas W A K T U
Kinerja Sistem Yang Sustainabel
Peningkatan Status
Kapasitas individu/komunitas/masyarakat
Perubahan perilaku individu/komunitas/masy arakat
Sustainitas perubahan individu/komunitas/masyarakat
LINGKUNGAN EKTERNAL KEBUDAYAAN-SOSIAL-EKONOMI-POLITIK-PERATURAN-LINGKUNGAN HIDUP
Gambar 2.4 Strategi capacity building (dimodifikasi dari Overview Conceptual Framework : Brown, La Fond dan Mcintyre, (Gandara, 2008 : 28) Pengembangan kapasitas secara stratejik akan mengarah pada sustainabilitas kinerja sistem. Dapat diterapkan semisal pada sistem kesehatan atau sistem pendidikan, misalnya. Maka untuk mencapai sustainabilitas kinerja sistem kesehatan diperlukan faktor waktu, yang dimanfaatkan oleh para personil, organisasi dan komponen-komponen
48
sistem kesehatan untuk bekerja dengan baik. Mereka harus menunjukkan kinerja sistem yang baik, mudah diakses, bermutu, merata dan berkeadilan, serta efisien. Itu berarti semua komponen pemilik kapasitas (individu/personil, masyarakat, organisasi, institusi) harus memunculkan kinerja mereka sampai pada sustainabilitas. Peran
individu,
komunitas,
dan
masyarakat
sebagai
konsumen/pengguna produk dan layanan yang diberikan oleh para personil organisasi (bagian dari sistem) adalah melakukan demand position dan terus mempengaruhi kapasitas personil, organisasi, dan sistem untuk meningkatkan kapasitas kinerjanya. Mereka adalah stakeholder yang berhak atas bagian mereka, seperti masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan dan para siswa yang membutuhkan layanan pendidikan, misalnya. Tak ada mereka maka sistem tidak akan mencapai sustainabilitasi. Semua stakeholder pengembangan kapasitas akan meningkatkan status mereka masing-masing secara sinergis dan integral. Pada akhirnya, seiring waktu pula status yang meningkat itu dapat menjadi indikator kinerja sistem yang sustainabel sebagai buah dari kolektifitas kinerja sistem, organisasi dan personil. Di sisi lain pula, dapat disimak adanya perubahan perilaku perorangan, komunitas dan masyarakat yang bersesuaian dengan kinerja sistem, organisasi, personil. Selain itu meningkatkan status mereka, maka seiring
49
waktu pula, perilaku mereka yang berubah dan berindikasi sustainabel akan berkontribusi pada sistem yang sustainabel. Sementara faktor eksternal, seperti kebudayaan, politik ekonomi, aturan legal, dan lingkungan hidup akan terus mempengaruhi dinamika seluruh komponen proses pengembangan kapasitas
yang sedang
berlangsung dan tidak pernah berakhir itu.
8. Tujuan Capacity Building Morrison (2001 : 23) menyatakan, bahwa tujuan pengembangan kapasitas adalah pembelajaran, dimulai sejak mengalirnya kebutuhan untuk mengalami suatu hal, mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian dalam hidup, dan membangun kemampuan yang dibutuhkan dalam beradaptasi untuk perubahan. Keban (2000 : 7) mengemukakan pendapat Grindle (1997) bahwa pengembangan kapasitas adalah serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan responsifitas dari kinerja. Dengan demikian, bahwa tujuan akhir dari pengembangan kapasitas yang secara umum diidentikkan pada perwujudan sustainabilitas suatu sistem, secara khusus ditujukan pula untuk mewujudkan : a. b. c. d.
Efisiensi. Efektifitas. Responsifitas. Pembelajaran yang terindikasi pada kinerja individu, grup, organisasi dan sistem.
50
B. KONSEP PROFESIONALISME GURU 1. Pengertian Profesionalisme Penulusuran definisi profesionalisme pun memiliki variasi yang berbeda antar para ahli, namun secara umum istilah profesionalisme sudah dikenal luas dikalangan masyarakat. Pengertian yang muncul dimasyarakat umum seolah-olah hanya teruntuk bagi personil tingkat manajer, sedangkan sesungguhnya istilah profesional itu berlaku untuk semua personil mulai dari tingkat atas sampai ketingkat paling bawah. Pengertian profesional secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing. Oleh karena itu seseorang atau tenaga profesional tidak dapat dinilai dari satu segi saja, tetapi harus dari segala segi. Di samping keahlian dan keterampilannya juga perlu diperhatikan mentalitasnya. Jadi yang dikatakan dengan tenaga profesional itu ialah tenaga yang benar-benar memiliki keahlian dan keterampilan serta sikap mental terpuji, juga dapat menjamin bahwa segala sesuatunya dari perbuatan dan pekerjaannya berada dalam kondisi yang terbaik dari penilaian semua pihak. Konsep tentang profesionalisme saat ini menuntut adanya kemampuan seorang pegawai dalam melaksanakan tugas pekerjaan dengan efesien dan efektif. Menurut Pamudji (1994 : 20-21), profesionalisme adalah : “a vocation or occupation requiring advanced training in some liberal art or science and usually involving mental rather than manual work, as teacing, engeneering, writing, etc”. Dari kata dasar profesionalisme ini kemudian
51
muncul kata jadian profesional yang artinya Engage in special occupation for pay etc. dan profesionalisme yang artinya profesional quality, status, etc. Selanjutnya Pamuji mengartikan orang yang profesional memiliki atau dianggap
memiliki
keahlian,
akan
melakukan
kegiatan-kegiatan
diantaranya pelayanan publik dengan mempergunakan keahliannya itu sehingga menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik mutunya, lebih cepat
prosesnya,
mungkin
lebih
bervariasi
yang
kesemuanya
mendatangkan kepuasan pada masyarakat. Profesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang tidak mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar (MenPAN, 2002 : 25). Yang dimaksud profesional adalah kemampuan, keahlian atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu yang relatif lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima masyarakat (MenPAN, 2002 : 14). Profesionalisme di dunia kerja bukan sekedar ditandai oleh penguasaan IPTEK saja, tetapi juga sangat ditentukan oleh cara memanfaatkan IPTEK itu serta tujuan yang dicapai dengan pemanfaatannya itu. Seorang profesional harus dapat: a. Memberi makna dan menempatkan IPTEK itu dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi dirinya sendiri maupun organisasi atau
52
peru-sahaan dimana ia bekerja serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; b. Mencerminkan sikap dan jati diri tehadap profesinya dengan kesungguhan
untuk
mendalami,
menguasai,
menerapkan
dan
bertanggungjawab atas profesinya; c. Memiliki sifat intelektual serta mencari dan mempertahankan kebenaran; d. Mengutamakan dan mendahulukan pelayanan yang maksimal di atas imbalan jasa, tetapi tidak berarti bahwa jasanya diberikan tanpa imbalan. Pendapat lain dikemukakan oleh Pamungkas (1996 : 206-207), bahwa manusia profesional dianggap manusia yang berkualitas yang memiliki keahlian serta kemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi kepuasan orang lain atau masyarakat dengan memperoleh pujian. Ekspresi keahlian tersebut tampak dalam perilaku analis dan keputusankeputusannya. Demikian hasil kerja profesional selalu memuaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilannya, dan menjadi sumber bagi peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran dan kesejahteraan baik dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya. Kusnandar (2007 : 46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang”.
53
Sementara
itu
Danim
(2002
:
23)
mendefinisikan
bahwa,
profesionalisme adalah komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan
kemampuan
profesionalnya
dan
terus-menerus
mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala (2002 : 199) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah “sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”. Sedangkan Poerwopoespito & Utomo (2000 : 266), mengatakan bahwa profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham profesionalisme se-lalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya. Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional, dan profesional berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok yang disebut profesi, artinya pekerjaan tersebut bukan pengisi waktu luang atau sebagai hobi belaka. Jika profesi diartikan sebagai pekerjaan dan isme sebagai pandangan hidup, maka profesional dapat diartikan sebagai pandangan untuk selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja sungguh-sungguh, kerja keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi dan penuh dedikasi demi keberhasilan pekerjaannya. Jadi pada dasarnya profesionalisme berkenaan dengan sikap peduli baik terhadap klien atau pun terhadap profesinya, Seperti yang diungkapkan
54
oleh David H. Maister bahwa profesionalisme adalah terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang professional sejati adalah seorang teknisi yang peduli (Maister, 1998 : 23). Dari pemaparan mengenai konsep profesionalisme, penulis dapat simpulkan bahwa, yang paling utama profesionalisme berkenaan dengan sikap dan nilai-nilai yang dimunculkan oleh para profesional dalam menjalani aktivitas dan tanggung jawab profesinya. Seseorang dengan profesi tertentu mungkin memiliki keterampilan atau kompetensi yang tinggi di bidang keahliannya, tetapi dia belum bisa dikatakan profesional sebelum secara handal dan konsisten mampu mendemonstrasikannya melalui sikap peduli terhadap klien dan pekerjaannya.
2. Dimensi Profesionalisme Hall. R (Muhammad, Rifqi. 2008 : 3). Mengembangkan konsep profesionalisme dari level individu meliputi lima dimensi, yaitu : a. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohani dan kemudian kepuasan material. b. Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya paran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut. c. Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain. d. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan
55
profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. e. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesinya. Sementara itu Maister (1998 : 25) mengisyaratkan profesionalisme pada level individu meliputi 4 (empat) dimensi yaitu : a. b. c. d.
Kebanggaan pada pekerjaan Komitmen pada kualitas Dedikasi pada kepentingan klien Keinginan tulus untuk membantu
3. Ciri-ciri Profesionalisme Maister (1998 : 21-22), mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme sejati yaitu : a. Bangga pada pekerjaan mereka, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas. b. Berusaha meraih tanggung jawab. c. Mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan inisiatif. d. Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas. e. Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang telah ditetapkan untuk mereka. f. Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah bagi orang yang mereka layani. g. Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang-orang yang mereka layani. h. Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang-orang yang layani. i. Belajar memahami dan berfikir seperti orang-orang yang mereka layani sehingga bisa mewakili mereka ketika orang-orang itu tidak ada ditempat. j. Adalah pemain tim. k. Bisa dipercaya memegang rahasia. l. Jujur, bisa dipercaya dan setia. m. Terbuka pada kritik-kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri.
56
Sedangkan Mahfud MD (Wangmuba, 2009) antara lain menunjukan beberapa karakteristik budaya akademis yang berpengaruh terhadap profesionalisme sebagai berikut : a. Bangga atas pekerjaannya dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas. b. Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif. c. Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai peran diluar pekerjaannya. d. Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani. e. Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam suatu tim. f. Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal. g. Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya. Selain itu kita lihat ada lima diskursus profesional yang berbeda diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain: a. Profesionalisme material (Material professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas. b. Profesionalime metodologikal (Methodological professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar. c. Profesionalisme sosial (Social professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa dijadikan contoh dan referensi perilaku dalam kehidupan masyarakat. d. Profesionalisme demokratis (democratic professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniature demokrasi masyarakat. e. Profesionalisme manajerial (managerial professionalism) merujuk pada kedudukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilitator belajar. Sudarwan Danim (Wangmuba, 2009)
57
4. Pengertian Guru Guru adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal dan sistematis. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 1) dinyatakan bahwa : “Guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Guru merupakan sosok yang paling berperan dalam menentukan kualitas pembelajaran di sebuah lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah. Guru merupakan komponen terpenting dalam peristiwa pembelajaran peserta didik. Sebaik apapun program pendidikan yang termuat dalam kurikulum tanpa adanya peranan guru yang mengolahnya menjadi materi yang dapat difahami, tidak akan berarti apa-apa bagi peserta didiknya. Sejalan dengan ini, Bank Dunia (Suhardan, Dadang, 2001: 20) mengemukakan bahwa: Guru merupakan titik sentral dalam usaha mereformasi pendidikan, dan mereka menjadi kunci keberhasilan setiap usaha peningkatan mutu pendidikan. “apapun namanya, apakah itu pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, peningkatan pelayanan belajar, penyediaan buku teks, hanya akan berarti apabila melibatkan guru”. Sementara itu Moh. Fakry Gaffar (2007: 2) menyatakan bahwa: “guru adalah jabatan profesional yang memiliki
tugas
pokok
yang amat
menentukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik”.
58
Hal ini menunjukan bahwa guru merupakan sebuah profesi yang menuntut adanya keahlian khusus di bidangnya (sebagai guru). Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.
5. Hakikat Profesi Guru Uno (2008 : 15) mengungkapkan, guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan. Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, yaitu sebagai berikut. a. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi. b. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan. c. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pembelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik. d. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan di berikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi) agar
59
e.
f.
g.
h. i.
peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi atau hubungan antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan seharihari. Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya. Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupaun di luar kelas. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut. Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan
hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta dapat melakukan perbaikan dan pengembagan. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang telah demikian pesat, guru tidak lagi hanya bertindak sebagai penyaji informasi, tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian, keahlian guru harus terus dikembangkan dengan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar.
6. Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan) Uno (2008 : 15) mengungkapkan, pada dasarnya perubahan perilaku yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang guru.
60
Atau dengan perkataan lain, guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta didik. Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh (suri teladan) bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru. Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu, apabila seseorang ingin menjadi guru yang profesional maka sudah seharusnya ia dapat selalu meningkatkan wawasan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang atau pun up grading dan/atau pelatihan yang bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya. Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui peningkatan kemampuan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu adanya perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang diharapkan akan berpengaruh pada cara belajar siswa, diantaranya sebagai berikut. a. Memperkecil kebiasaan cara guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik. b. Guru hendaknya berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta didik yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta didik untuk berpikir dan bekerja (melakukan). c. Mengubah dari sekedar metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil
61
kebiasaan cara belajar peserta didik yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru. d. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok, percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi. 7. Tugas Guru Dalam lingkup profesi guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat oleh profesinya maupun di luar tugas formalnya. Secara garis besar tugas guru dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni tugas profesi, tugas kemanusiaan dan tugas kemasyarakatan. Sebagai salah satu profesi resmi kedudukan guru memerlukan keahlian khusus. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pekerjaannya. Terkait dengan hal tersebut ditegaskan bahwa tugas guru sebagai profesi mencakup beberapa persyaratan: a. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam, b. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya, c. Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai, d. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilakukannya, dan e. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan. Usman (2008 : 15) Selain persyaratan tersebut, sebetulnya masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu profesi antara lain yaitu, a. Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
62
b. Memiliki klien atau obyek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya, dan c. Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat. Sebagai bahan perbandingan, berikut ini disajikan pula ciri-ciri keprofesian yang dikemukakan oleh D. Westby Gibson ,1965 (dalam Usman, 2000) secara rinci adalah sebagai berikut, a. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi, b. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik, c. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan professional, dan d. Dimilikinya organisasi profesional yang di samping melindungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, akan tetapi sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindaktindak etis profesional kepada anggotanya. Sementara itu, Moh. Fakry Gaffar (2007 : 2-3) menguraikan tugas pokok guru adalah sebagai berikut: a. Membantu peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensinnya sehingga tumbuh dan berkembang dengan total dan sempurna. b. Membantu peserta didik agar potensi intelektual, emosional dan spiritualnya tumbuh berkembang secara seimbang dan harmonis serta sempurna. c. Mentransformasikan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang penuh kreatifitas dalam proses belajar mengajar, sehinga khasanah ilmu pengetahuan dan kreatifitas peserta didik tumbuh dan berkembang pula. d. Menanamkan nilai-nilai positif yang diperlukan dalam hidup ke dalam diri peserta didik sehingga melekat dan tumbuh menjadi satu dengan prilaku peserta didik. e. Membangun watak dan kepribadian peserta didik menjadi orang yang memiliki watak dan kepribadian utuh dan sempurna. f. Membantu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang beradab dan bermartabat.
63
g. Menumbuhkembangkan dalam diri peserta didik nilai-nilai perilaku mulia. h. Memberikan tuntunan kepada peserta didik untuk mengenal mana perbuatan yang baik dan yang tidak, mana perbuatan yang dilarang mana pula yang tidak dilarang, mana perbuatan yang salah dan mana pula yang benar yang perlu dalam kehidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman. Sementara itu, Usman (2008 : 6-8) memberi penjelasan bahwa, tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. Tugas kemanusiaan juga menjadi salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetiakawanan sosial. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilannya tidak menarik, maka kegagalan
64
pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para siswanya. Para siswa akan enggan menghadapi guru yang tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan masyarakat (homoludens, homopuber, dan homosapiens) dapat mengerti bila menghadapi guru. Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang juga tidak kalah pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik (yaitu yang bermoral Pancasila). Memang tidak dapat dipungkiri bila guru mendidik anak didik sama halnya guru juga bertugas mencerdaskan bangsa secara keseluruhan. Bila dipahami, maka tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. Secara singkat tugas guru dapat digambarkan melalui bagan berikut.
65
TUGAS GURU
Meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup
MENDIDIK
PROFESI
MENGAJAR
Meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
MELATIH
Mengembangkan keterampilan dan penerapannya
Menjadi orang tua
KEMANUSIAAN
Auto Pengertian (homoludens, homopuber, dan homosapiens) Transformasi diri Auto Identifikasi
Mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga Negara yang bermoral Pancasila
KEMASYARAKATAN Mencerdaskan Bangsa Indonesia
Gambar 2.5 Tugas-tugas Guru Menurut Uzer Usman (2008 : 8)
Tugas pokok guru di atas merupakan kerangka acuan bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dalam tugas pokok tersebut dikemukakan bahwa tugas guru bukan hanya sekedar melakukan transformasi ilmu kepada siswa, akan tetapi lebih jauh dari itu guru juga harus mengupayakan agar siswa dapat mengimplementasikan pengetahuan yang diperolehnya dari proses pendidikan dalam kehidupannya.
66
8. Profesionalisme Guru Berdasarkan penelusuran mengenai konsep profesionalisme di atas, pada dasarnya penulis lebih tertarik kepada definisi profesionalisme yang diungkapkan oleh David H. Maister bahwa profesionalisme adalah terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang professional sejati adalah seorang teknisi yang peduli (Maister 1998 : 23). Sementara itu pendefinisian mengenai guru dan hal-hal yang berkenaan dengannya, pada kenyataannya sudah cukup banyak teori dan para ahli yang membahas mengenai hal ini, namun khusus dalam penelitian ini, penulis lebih mengacu pada pengertian yang diungkapkan oleh Moh. Fakry Gaffar (2007: 2) yang menyatakan bahwa: “guru adalah jabatan profesional yang memiliki tugas pokok yang amat menentukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik”. Hal ini menunjukan bahwa guru merupakan sebuah profesi yang menuntut adanya keahlian khusus di bidangnya (sebagai guru). Mengacu pada teori di atas, hakikatnya guru adalah dia yang memiliki kompetensi keguruan, guru adalah dia yang memahami tugas dan fungsi profesinya, guru adalah dia yang memahami secara mendalam hakikat profesi dan kode etik keguruan. Seseorang dikatakan sebagai guru apabila dia bekerja sebagai tenaga pengajar di lembaga pendidikan tertentu secara professional dan memiliki kompetensi sebagai seorang guru. Namun guru belum bisa dikatakan kompeten dan profesional apabila dia tidak memiliki
67
dan menunjukkan sikap kepedulian terhadap perkembangan dan pertumbuhan peserta didik dan terhadap profesi keguruannya. Dari pemaparan teori di atas, yang dimaksud dengan profesionalisme guru adalah sikap yang dimunculkan oleh seorang guru ketika menjalankan aktivitas kerjanya sebagai pendidik, pengajar dan pelayan pendidikan bagi peserta didik.
C. KONSEP PENGARUH CAPACITY BUILDING TERHADAP PROFESIONALISME GURU Tugas pokok guru merupakan kerangka acuan bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran,
Moh. Fakry Gaffar (2007 : 2-3)
menguraikan tugas pokok guru adalah sebagai berikut: 1. Membantu peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensinya sehingga tumbuh dan berkembang dengan total dan sempurna. 2. Membantu peserta didik agar potensi intelektual, emosional dan spiritualnya tumbuh berkembang secara seimbang dan harmonis serta sempurna. 3. Mentransformasikan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang penuh kreatifitas dalam proses belajar mengajar, sehinga khasanah ilmu pengetahuan dan kreatifitas peserta didik tumbuh dan berkembang pula. 4. Menanamkan nilai-nilai positif yang diperlukan dalam hidup ke dalam diri peserta didik sehingga melekat dan tumbuh menjadi satu dengan prilaku peserta didik. 5. Membangun watak dan kepribadian peserta didik menjadi orang yang memiliki watak dan kepribadian utuh dan sempurna. 6. Membantu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang beradab dan bermartabat. 7. Menumbuhkembangkan dalam diri peserta didik nilai-nilai perilaku mulia. 8. Memberikan tuntunan kepada peserta didik untuk mengenal mana perbuatan yang baik dan yang tidak, mana perbuatan yang dilarang mana pula yang tidak dilarang, mana perbuatan yang salah dan mana
68
pula yang benar yang perlu dalam kehidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman. Mengacu pada tugas pokok guru diatas, dapat disimpulkan bahwa tugas yang dibebankan kepada guru semakin hari semakin berat, khususnya bagi guru-guru di sekolah menengah kejuruan yang sedang berada pada jalur RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan sudah mengimplementasikan standar mutu ISO 9001 versi 2000 yang tentunya mengarah pada penjaminan mutu pendidikan. Menyadari semakin beratnya tanggung jawab yang diamanahkan kepada guru saat ini, maka untuk mewujudkan semua itu guru dituntut untuk menampilkan sikap profesional, komitmen yang tinggi terhadap karir keguruan, rasa bangga menyandang jabatan seorang guru dan dedikasi terhadap kepentingan peserta didik. Hal ini harus tertanam dan melekat pada diri setiap guru, sejalan dengan pendapat tersebut, David. H. Maister mengisyaratkan profesionalisme pada level individu meliputi 4 (empat) dimensi yaitu : 1. 2. 3. 4.
Kebanggaan pada pekerjaan Komitmen pada kualitas Dedikasi pada kepentingan klien Keinginan tulus untuk membantu (Maister, 1998 : 25) Disisi lain David H. Maister pun mendefinisikan profesionalisme
adalah terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang professional sejati adalah seorang teknisi yang peduli. Berdasarkan pendapat di atas, sekiranya kita sepakat bahwa untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas yang mampu berbicara baik di
69
level nasional maupun internasional, dibutuhkan para pendidik atau guru yang benar-benar ahli di bidangnya dan disamping kompetensi, guru pun dituntut untuk memiliki jiwa profesional yang tinggi yang mau peduli dan mengabdi untuk kepentingan peserta didik khususnya dan kemajuan pendidikan umumnya serta memiliki loyalitas terhadap sekolah yang sering kita sebut profesionalisme. Sejalan dengan pernyataan di atas, Hall. R (Syahrir : 2002 : 7). Mengembangkan konsep profesionalisme dari level individu meliputi lima dimensi, yaitu : 1. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohani dan kemudian kepuasan material. 2. Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya paran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut. 3. Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain. 4. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 5. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesinya. Mengacu pada dimensi profesionalisme di atas, profesionalisme guru yang akan diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
70
1. Pengabdian guru, hal yang diukur dari pengabdian guru dalam penelitian ini adalah sikap yang dimunculkan oleh guru ketika menjalankan tangung jawab dan tugas profesinya yang dilandasi oleh nilai-nilai loyalitas. 2. Kewajiban sosial, hal yang diukur dari kewajiban sosial pada guru dalam penelitian ini adalah sikap guru dalam memegang amanah yang diberikan oleh konstituen selaku pendidik dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan. 3. Kemandirian guru, hal yang diukur dari kemandirian guru dalam penelitian ini adalah sikap guru dalam mengambil keputusan atas tindakan-tindakan yang dilakukannya tanpa ada campur tangan dan intervensi
dari
pihak
mana
pun
dan
guru
mampu
mempertanggungjawabkannya. 4. Keyakinan terhadap profesi keguruan, hal yang diukur dari keyakinan terhadap profesinya dalam penelitian ini adalah rasa bangga guru terhadap profesi guru yang disandangnnya. 5. Hubungan dengan sesama profesi, hal yang diukur dari hubungan guru dengan sesama profesinya dalam penelitian ini adalah sikap yang dimunculkan guru dalam menjalani aktivitas kerjanya dengan kode etik keguruan sebagai acuan guru dalam berperilaku. Berangkat dari pemaparan mengenai aspek-aspek yang diukur untuk menilai profesionalisme guru, dapat kita sepakati bahwa profesionalisme guru merupakan sikap dan nilai-nilai yang dimunculkan oleh guru ketika
71
menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya yang diwujudkan melalui kelima aspek di atas. Namun apabila kita cermati, sikap guru tersebut tidak serta merta muncul dengan sendirinya, tentu ada aktivitasaktivitas yang membangunnya. Bicara mengenai sikap, pada dasarnya sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh Individu. Jadi pada dasarnya sikap yang dimunculkan oleh setiap individu berawal dari kegiatannya untuk selalu belajar terhadap pekerjaan, artinya setiap individu akan selalu dihadapkan pada peroalan-persoalan yang muncul dalam pekerjaan sebagai akibat dari kebiasaan. Dari pemaparan di atas, pada intinya khusus dalam penelitian ini, profesionalisme guru dapat terdeteksi melalui sikap guru terhadap profesinya sebagai pendidik yang diwujudkan melalui pengabdian, kewajiban sosialnya, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan sesama profesi. Sementara itu sikap yang ditunjukkan oleh guru tersebut dapat dibangun memalui kesadaran atau inisiatif setiap guru untuk selalu belajar dari pekerjaannya dan membelajarkan diri terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan kerjanya dengan memaksimalkan ide-ide yang dimilikinya atau dengan kata lain guru harus memiliki inisitatif untuk mengembangkan kapasitasnya sebagai pendidik dan pengajar, dengan kata lain modal pembentukan profesionalisme guru
72
adalah pengembangan kapasitas diri yang berkelanjutan, seperti yang diungkapkan oleh Terrence Morrison (2001 : 4), bahwa ‘…..Capacity building which links ideas to action…..’ dari pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap. Sehingga dapat kita sepakati bahwa profesionalisme guru terbentuk oleh pengembangan kapasitas diri berkelanjutan. Mengacu pada uraian di tersebut, dalam membentuk profesionalisme guru dapat dilakukan melalui pendekatan capacity building atau pengembangan kapasitas. Capacity building yang dimaksud merupakan proses pengembangan diri yang dilakukan oleh guru secara terus menerus dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya melalui inisiatifnya untuk selalu membelajarkan dirinya. Sejalan dengan ini, T. Nill dan C Mindrum (2001) menyatakan capacity building merupakan istilah yang digunakan untuk membangun suatu masyarakat melalui perubahan pada dirinya, misalnya peningkatan ilmu pengetahuan, skill, pengorganisasian program dan lain-lain. Capacity Building merupakan sebuah model proses perubahan, gerak perkembangan dan perubahan yang bertingkat secara individu, kelompok, organisasi maupun perubahan pada pembentukan frame work sebuah sistem kearah yang lebih baik. Sedangkan Morrison (2001 : 1) menyatakan : “Capacity building can best be seen as a process to induce, or set in motion, multi-level change in individuals, groups, organisations and systems. Ideally, capacity building seeks to strengthen the self-adaptive capabilities of people and organisations, in order that they can respond to a changing environment, on an on-going basis. Capacity building is a process and not a product. In particular, capacity
73
building is a multi-level learning process, which links ideas to action. Capacity building, in this view, can be defined as actionable learning”. Dengan pernyataan di atas, Morrison berusaha mendefinisikan capacity building atau pengembangan kapasitas sebagai Actionable Learning. Sebuah proses yang menyebabkan atau menggerakkan perubahan multi-tingkatan pada individu, grup, organisasi dan sistem. Idealnya, pengembangan kapasitas berupaya memperkuat kemampuan adaptasi diri dan organisasi, dengan tujuan agar mereka dapat merespon perubahan lingkungan di atas situasi yang tengah berlangsung. Dan dalam pernyataan tersebut terdapat kata kunci definitif tentang pengembangan kapasitas, yakni : 1. Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses. 2. Pengembangan kapasitas adalah proses pembelajaran multi-tingkatan meliputi individu, grup, organisasi dan sistem. 3. Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap. 4. Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionabel learning ; dimana pembangunan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pembelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus beradaptasi atas perubahan. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa capacity building merupakan sebuah proses dalam meningkatkan kinerja guru yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh guru untuk melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan dengan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini mengembangkan kapasitas sebagai pendidik dan pengajar peserta didik dalam kehidupan di sekolah menengah
74
kejuruan, dan melakukan penulisan seperti penulisan tindakan kelas serta perilaku-perilaku profesional yang berkontribusi pada masyarakat adalah sebuah keharusan bagi setiap pengembangan kapasitas guru. Adapun pihak yang perlu membangun kapasitas guru itu tentunya adalah guru itu sendiri dan penanggungjawab teknis pada lembaga atau sekolah. Sedangkan, fungsi peserta didik adalah sebagai stakeholder pendidikan yang berposisi sebagai pengguna layanan dari sekolah. Secara konstitusional di Indonesia, menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 secara implisit dinyatakan bahwa kapasitas guru adalah pendidik
professional
dengan
tugas
utama
mendidik,
mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.. Capacity building guru bukanlah proyek jangka pendek, melainkan suatu proses pembelajaran jangka panjang yang dapat diukur keberhasilan proses dan hasilnya dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, ketika guru selalu mengembangkan dan menambah pembelakalan diri yang dilakukan secara terus-menerus dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan relevan dalam meningkatkan kinerjanya. Mendidik dan mengajar peserta didik merupakan kewajiban setiap guru, maka di sinilah pengembangan
kapasitas
sedang
berlangsung
dan
dapat
diukur
eksistensinya, termasuk efektifitas dan efisiensi dalam membelajarkan peserta didik dan pada hal-hal tertentu. Dan pada sesi tersebut
75
pengembangan kapasitas guru sedang berlangsung dan dapat diukur. Apalagi, jika dalam hal ini dapat ditemukan indikasi berhasilnya proses motivasi yang berkelanjutan dari diri sendiri, sesama guru, dan dari kepala sekolah. Membangun kapasitas guru untuk menjalankan tugas-tugas yang spesifik, secara teori akan berhubungan dengan adanya pengembangan kapasitas pada dimensi organisasi dan sistem pendidikan
yang
melingkupinya, serta pada peserta didik, komunitas dan masyarakat. Oleh karenanya, pengembangan kapasitas guru termasuk dalam multi-dimensi pengembangan kapasitas sekolah. Pengembangan kapasitas guru merupakan upaya guru dalam memenuhi haknya. Seperti hak mendapatkan gaji dan asuransi yang layak agar
kinerjanya
sukses
di
atas
landasan
kapasitas
yang
terus
dikembangkan. Tanpa pemenuhan hak guru, maka pengembangan kapasitas akan sulit bergerak. Pasti akan selalu ada hambatan dalam pengembangan kapasitas guru apabila hak guru dilanggar. Aktivitas pengembangan kapasitas guru di lingkungan sekolah menengah
kejuruan
dapat
dituangkan
dalam
bentuk
pelatihan,
keikutsertaan dalam seminar dan lokakarya, pemberian kesempatan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, fasilitasi bahan-bahan dan sumber pendukung proses belajar mengajar yang diamanahkan kepadanya seperti buku-buku sumber untuk mata pelajaran
76
yang ditanganinya, proyektor dan teknologi audio-visual penunjang kegiatan pembelajaran dan lainnya. Faktor-faktor eksternal di luar sekolah, seperti, lingkungan hidup, politik, ekonomi, peraturan perundang-undangan, kebudayaan dan lainnya akan selalu mempengaruhi guru agar kapasitasnya meningkat yang seterusnya akan terakumulasi membentuk pola pikir dan persepsi yang dijadikan acuan oleh guru dalam bersikap dan berperilaku sebagai pendidik dan pengajar. Hal ini disebut dengan profesionalisme guru. Jadi, kesimpulan akhir dari seluruh pemaparan di atas adalah adanya pengaruh yang signifikan dari capacity building terhadap profesionalisme guru hal ini dikarenakan bahwa aktivitas-aktivitas yang membangun terbentuknya sikap (profesionalisme) guru adalah aktivitas belajar yang dilakukan oleh setiap individu (guru) sebagai wujud pengembangan kapasitasnya, sehingga fenomena ini dapat diukur keberadaannya. Berikut gambaran mengenai arah dan letak pengaruh capacity building terhadap profesionalisme guru.
77
LEARNING
LEARNING Good Governance In Education Sector
Peraturan Pemerintah Otonomi Daerah
Kepuasan Masyarakat
Dukungan dan kepercayaan masyarakat
SEKOLAH
Desentralisasi Pendidikan
Layanan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu
LEARNING ORGANIZATIONS
Nilai-nilai Budaya Mutu Kinerja Organisasi Kepemimpinan Struktur Organisasi Komunikasi Org Sumber Daya Org
Tuntutan masyarakat Jaminan masa depan seperti memperoleh pekerjaan, perkembangan intelektual/kedewasaan, perkembangan akhlak/spiritual peserta didik, dsb
GURU
Profesionalisme Personil
Peraturan Daerah Tentang Pendidikan
Pemerataan Pendidikan
PENCITERAAN PUBLIK
LEARNING TO SELF
Dinas Pendidikan
Capacity Building
Keterampilan, Potensi diri, Ilmu, Teori, Pengetahuan, dsb
LEARNING Gambar 2.6 Skema Pengaruh Capacity Building Terhadap Profesionalisme Guru