Muhammad Maulana ׀A 33 Years Old Woman with Tuberculosis Spondylitis
A 33 Years Old Woman With Tuberculosis Spondylitis Muhammad Maulana Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak Spondilitis Tuberkulosis (TB) atau Pott disease ialah suatu osteomielitis kronik tulang belakang yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa. Daerah yang paling sering terkena, berturut-turut ialah daerah torakal terutama bagian bawah, daerah lumbal dan servikal 1 - 4. Spondilitis TB dapat timbul dengan defisit neurologis pada sekitar 10-47% kasus TB. Kasus ini menjelaskan pasien wanita berusia 33 tahun yang datang dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkai yang semakin memberat disertai benjolan pada punggung pasien. Pasien memiliki riwayat batuk lama namun tidak pernah mendapat terapi TB. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi o 83x/menit, frekuensi napas 22x/menit dan suhu 36,8 C. pada status lokalis didapatkan gibus berukuran 2x3 cm setinggi vertebrae thoracal VII-VIII. Pada pemeriksaan sistem motorik didapatkan penurunan kekuatan otot ekstremitas inferior (4/4). Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan LED. Pemeriksaan foto rontgen vertebrae thorakal menunjukkan spondilitis thoracal VII-VIII. Pasien ini didiagnosis paraparese inferior ec spondilitis tuberkulosis. Pasien diberikan OAT dan terapi suportif lainnya. Kata kunci: Gibus, spondilitis tuberculosis, paraparese, Pott disease. Abstract Tuberculosis (TB) spondylitis or Pott's disease is a chronic osteomyelitis of the spine which is caused by Mycobacterium tuberculosa. The most commonly affected areas is primarily the lower thoracic area, lumbar and cervical regions 1 – 4, respectively. TB spondylitis may presents with neurological deficits in approximately 10-47% of TB cases. This case describes a 33-years-old female patient who came with complaints of weakness in both legs which was getting worse, with a lump on the back of the patient. Patient had a history of long-term cough, but never got TB therapy. On physical examination, we found the awareness is compos mentis. Blood pressure 110/70 mmHg, pulse 83x/minute, respiratory rate 22x/min and o temperature 36,8 C. The localist status obtained Gibus measuring 2x3 cm on the seventh-eighth thoracic vertebraes. On examination of the motor system, we obtained decreased muscle strength of inferior limbs (4/4). Laboratory test showed elevated ESR. X-ray examination showed seventh-eighth thoracic vertebraes spondylitis. This patient was diagnosed paraparese inferior ec tuberculosis spondylitis. The patient was given antituberculosis drugs and other supportive therapies. Keywords: Gibus, paraparese, Pott disease, tuberculosis spondylitis. Korespondensi: Muhammad Maulana, S.Ked, ׀
[email protected]
Pendahuluan Spondilitis Tuberkulosis(TB) atau Pott disease ialah suatu osteomielitis kronik tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Infeksi umumnya mulai dari korpus vertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke jaringan sekitarnya. Daerah yang paling sering terkena, berturutturut ialah daerah torakal terutama bagian bawah, daerah lumbal dan servikal 1 - 4.1 Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, terdapat 9 juta kasus TB baru dan 1,5 juta penduduk dunia meninggal akibat infeksi kuman tuberkulosa. Indonesia menempati peringkat kelima setelah India,Tiongkok, Nigeria dan Pakistan sebagai negara yang memiliki jumlah penderita TB terbanyak, dengan jumlah 410.000 – 520.000 kasus TB.2 Sebanyak 20% penderita TB paru akan mengalami
penyebaran TB ke organ di luar paru atau TB ekstraparu atau extrapulmonary tuberculosis(EPTB).3Pada tahun 2007, WHO menyebutkan kasus EPTB sekitar 14%. Lokasi paling umum dari EPTB adalah limfe, pleura dan tulang atau sendi.Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 4050 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Spondilitis TB di negara yang memiliki sistem diagnostik dan pelaporan yang baik, jumlah kasusnya dapat mencapai 20-25% kasus TB secara keseluruhan dan mencapai 50% dari seluruh kasus TB tulang.4-8 Spondilitis TB dapat timbul dengan defisit neurologis pada sekitar 10-47% kasus TB. Di negara yang sedang berkembang J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 141
Muhammad Maulana ׀A 33 Years Old Woman with Tuberculosis Spondylitis
penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik.9 Berikut akan disajikan sebuah kasus seorang wanita usia 33 tahun dengan paraparese inferior et causa spondilitis TB.
Kasus Pasien wanita berusia 33 tahun, dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkaidisertai rasa tebal dan kesemutan sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan mulai dari perut bagian atas hingga kedua ujung kaki. Pasien juga mengatakan terdapat benjolan keras dan tidak bisa digerakkan pada bagian punggung yang muncul sebelum pasien mengalami keluhan lemas pada kedua tungkai. Benjolan menyebabkan punggung pasien terasa kaku untuk digerakkan. Pasien pernah menderita batuk selama 1 bulan tetapi tidak pernah melakukan pemeriksaan dahak dan tidak pernah minum obat selama 6 bulan. Pasien tidak ada keluhan demam. Pasien mengatakan banyak berkeringat di malam hari dan mengalami penurunan berat badan dalam satu bulan terakhir. Pasien tidak ada riwayat trauma. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, GCS E4V5M6 = 15. Tanda vital didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,8oC. Pada status generalis dalam batas normal.Pada status lokalis didapatkan gibus berukuran 2x3 cm setinggi vertebrae thoracal VII-VIII. Pada pemeriksaan sistem motorik didapatkan penurunan kekuatan otot ekstremitas inferior (4/4). Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hb 10,1 g/dl, LED 90 mm/jam, leukosit 8.800/ul, hitung jenis 0/2/0/70/20/8 dan trombosit 427.000/ul. Pemeriksaan kimia darah (profil lipid, ureum kreatinin, asam urat dan elektrolit) dalam batas normal. Pemeriksaan radiologis menunjukkan adanya spondilitis torakal VIIVIII. sore dan malam hari serta adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu). Defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia akibat kompresi medula spinalis. Keluhan bejolan pada punggung menunjukkan adanya gibus atau angulasi vertebra akibat spondilitis yang terjadi.10
Pasien ini didiagnosis sebagai paraparese inferior et causa spondilitis tuberkulosa. Terapi yang diberikan berupa terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa. Pemberian terapi medikamentosa meliputi cairan Ringer Laktat, vitamin B1 B6 dan B12 2 x 1 tablet, Natrium diklofenak 2x25 mg per oral, dan obat antituberkulosis (OAT) RHZE (Rifampisin 1x600 mg, Isoniazid 1x300 mg, Pirazinamid 1x1.500 mg, Etambutol 1x1.500 mg). Terapi non medikamentosa meliputi diet tinggi kalori tinggi protein. Prognosis pada pasien ini adalah ad bonam (ad vitam) dan dubia ad bonam (ad fungsionam dan ad sanationam). Pembahasan Berdasarkan anamnesis, terdapat defisit neurologis berupa kelemahan pada kedua tungkai pasien yang dirasakan mulai dari perut bagian atas hingga ujung kaki sejak 2 bulan yang lalu, dan makin memburuk tiap harinya. Pasien juga mengeluh adanya benjolan pada punggung belakang yang diperkirakan berasal dari tulang punggung pasien. Benjolan tersebut muncul sebelum timbul keluhan kelemahan pada tungkai pasien.Pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan keras dan terfiksirdengan ukuran 2x3 cm. Pasien juga memiliki riwayat batuk selama 1 bulan sekitar 6 bulan lalu, namun pasien tidak memeriksakan diri ke puskesmas atas keluhan batuknya ini. Selain itu, pasien mengeluh sering berkeringat di malam hari terutama ketika tidur sehingga pasien beberapa kali mengganti pakaian dan selama 2 bulan terakhir ini pasien mengalami penurunan berat badan yang awalnya 73 kg menjadi 68 kg. Anamnesis pasien sudah bisa mengarahkanbahwa keluhan paraparese disebabkan spondilitis karena kecurigaan tuberkulosa pada pasien ini. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weightbearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 142
Muhammad Maulana ׀A 33 Years Old Woman with Tuberculosis Spondylitis
TB tulang (±50% kasus) dengan kecenderungan terjadi defisit neurologis sebanyak 10-47%. Spondilitis TB atau Pott disease ialah suatu osteomielitis kronik tulang belakang yang disebabkan oleh kuman tuberkulosa. Infeksi umumnya mulai dari korpus vertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke jaringan sekitarnya. Daerah yang paling sering terkena adalah area torako-lumbal.1,5,9 Pada pemeriksaan fisikdidapatkan gibus pada tulang punggung pasien setinggi thoracal VII-VIII serta terdapat kelemahan otot ekstremitas inferior. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subkondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.5 Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung saraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat.5 Klasifi kasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan. Sistem klasifi kasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain: formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas
vertebra dan gejala neurologis; membagi spondilitis TB menjadi tiga tipe (I, II, dan III).11 Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis diantaranya peningkatan LED (90 mm/jam) dan pemeriksaan rontgen vertebra thorakal (AP/Lat) menunjukkan terjadinya spondilitis pada thoracal VII-VIII. Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit. Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior korpus vertebra, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi korpus vertebra anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.10 Pada pasien dengan diagnosis spondilitis tuberkulosa juga seharusnya dilakukan pemeriksaan penunjang mantoux test atau Ig anti tuberkulosa untuk memastikan apakah penyebab keluhan pasien memang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.10 Penatalaksanaan utama adalah obat anti tuberkulosa dengan dosis yang disesuaikan dengan berat badan pasien yaitu 68 kg (>60 kg). Sesuai dengan pedoman penatalaksanaan tuberkulosis yang dikeluarkan Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), pada pasien diberikan Rifampisin 1 x 600 mg, Isoniazid 1 x 300 mg, Etambutol 1 x 1500 mg dan Pirazinamid 1 x 1000 mg selama masa intensif. TB pulmoner dan ekstrapulmoner mendapatkan regimen terapi yang sama (2HRZE/4HR) namun untuk terapi TB tulang, kemoterapi OAT perlu dilanjutkan hingga 9 bulan karena sulitnya menilai respon terapi.10,12,13
Tabel 1. Klasifikasi spondilitis TB menurut GATA.
11
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 143
Muhammad Maulana ׀A 33 Years Old Woman with Tuberculosis Spondylitis
Sedangkan, untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defisit neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan durasi kemoterapi selama 9– 12 bulan.14 Pemberian natrium diklofenakyang termasuk golongan obat antiinflamasi nonsteroid ditujukan untuk pengobatan akut dan kronis gejala-gejala reumatoid artritis, osteoartritis dan ankilosing spondylitis. Obat ini memiliki aktivitas antiinflamasi, analgesik dan antipiretik dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga pembentukan prostaglandin terhambat sehingga mengurangi nyeri yang dialami oleh pasien.15 Pemberian Vit B1 B6 dan B12 ditujukan untuk suplemen atau terapi suportif, seperti vitamin B1 bermanfaat untuk membantu mengatasi gejala kelelahan karena sifatnya yang dapat berperan dalam metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi dan dapat mengurangi penumpukan asam laktat. B6 diberikan untuk mengantisipasi efek samping dari pemberian rifampisin, sedangkan vitamin B12 dapat membantu pembentukan sel darah merah yang akan digunakan untuk menghasilkan oksigen yang akan diberikan ke seluruh jaringan dan mencegah terjadinya hipoksia terutama sistem persarafan. Kombinasi
ketiganya juga dapat mempengaruhi pembentukan serotonin dimana serotonin sangat terlibat dalam proses relaksasi.12 Terapi konservatif memberikan hasil yang baik, namun pada kasus tertentu diperlukan tindakan operatif. Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Indikasi tindakan operatif antara lain:16-18 a. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis dan radiologis memburuk. b. Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel. c. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit neurologik, terdapat abses paravertebral d. Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan OAT. e. Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak. Meskipun beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak ada perbedaaan yang signifikan spondilitis tuberkulosa yang diterapi konservatif maupun operatif, namun ada beberapa keunggulan dari
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 144
Muhammad Maulana ׀A 33 Years Old Woman with Tuberculosis Spondylitis
tindakan operatif. Keunggulan tersebut antara lain kejadian kifosis lebih sedikit, pembebasan jaringan saraf yang terkompresi dengan cepat, nyeri lebih cepat berkurang, tingginya persentasi dari fusi tulang, fusi tulang yang lebih cepat, tingkat relaps yang lebih rendah, dapat kembali beraktivitas lebih cepat dan lebih sedikit kehilangan jaringan tulang.19-22 Prognosis ad vitam pada kasus ini adalah ad bonam karena hal ini dipengaruhi oleh keadaan pasien pada saat datang masih baik.Prognosis ad fungsionamadalah dubia ad bonam dikarenakan sangat tergantung dari kondisi pasien sendiri yang dipengaruhi luas lesi yang tidak terlalu besar sehingga pengembalian fungsi diharapkan dapat kembali mendekati semula. Prognosis ad sanationam dubia ad bonam dikarenakan tidak ada faktor resiko yang dapat membuat keadaan pasien makin memburuk tetapi harus selalu diingatkan untuk mengkonsumsi OAT tepat waktu. Prognosis pasien dengan spondilitis TB dipengaruhi oleh usia, deformitas kifotik, letak lesi, defisit neurologis, diagnosis dini, kemoterapi, fusi spinal, komorbid, tingkat edukasi dan sosioekonomi. Faktor usia muda dihubungkan dengan prognosis yang lebih baik.24 Parthasarathy et al.menyatakan bahwa pasien dibawah 15 tahun dan dengan kifosis lebih dari 30o cenderung tidak responsif terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain memperburuk estetika, dapat mengurangi kemampuan bernafas. Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi korpus vertebra yang nyata dikombinasi dengan kemoterapi OAT yang adekuat menjanjikan pemulihan yang sempurna pada semua kasus. Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS memiliki prognosis yang buruk. Sebuah penelitian lain di Nigeria menyebutkan bahwa pasien dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung malas datang berobat sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti paraplegia.25-27
Simpulan Spondilitis Tuberkulosis (TB) atau Pott disease adalah suatu osteomielitis kronik tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Spondilitis TB dapat timbul dengan defisit neurologis. Regimen terapi yang digunakan sama seperti TB pulmoner yaitu obat antituberkulosa. Daftar Pustaka 1. Mumenthaler M, Mattle H. Fundamental of neurology. NewYork: Thieme; 2006. hlm. 146-7. 2. World Health Organization. Global tuberculosis report 2014. Geneva: WHO Press; 2014. 3. World Health Organization. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, financing. Geneva: WHO Press; 2005. 4. Agarwal P, Rathi P, Verma R, Pradhan CG. Tuberculous spondilitis: Global lesion. Special issues on tuberculosis [internet]. Bombay: Bombay Hospital; 1999 [diakses tanggal 12 Mei 2015]. Tersedia dari: http://www.bhj.org.in/journal/special_ issue_tb/SP_17.htm. 5. American Cancer Society. Brain and spinal cord tumor in adults [internet]. Atlanta: American Cancer Society; 2009 [diakses tanggal 4 Mei 2015]. Tersedia dari: http://www.cancer.org/acs/groups/cid /documents/ webcontent/003088-pdf. 6. Guzey FK. Thoracic and lumbar tuberculous spondylitis treated by posterior debridement, graft placement and instrumentation: a retrospective analysis in 19 cases. J Neurosurg Spine. 2005; 3: 450- 8. 7. Hidalgo JA, Alangaden G, Cunha BA, Herchline TE, Gohn JF Jr, Talavera F. Pott Disease. Medscape; 2014. [disitasi 2015 Mei 12]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/articl e/226141-overview. 8. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation between operative and conservative therapy in
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 145
Muhammad Maulana ׀A 33 Years Old Woman with Tuberculosis Spondylitis
9.
10.
11.
12. 13.
14.
15.
16.
17.
18.
spondylitis tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital Bandung. Maj Kedokt Indon. 2010; 60(7): 318-22. Sai Kiran NA, Vaishya S, Kale SS, Sharma BS, Mahapatra AK. Surgical results in patients with tuberculosis of the spine and severe lower-extremity motor deficits: a retrospective study of 48 patients. J Neurosurg Spine. 2007; 6: 320–6. Aminorf JM, Greenberg AD, Simon PR. ClinicallNeurology. Edisi ke-7. New York: Lange Medical Books/McGrawHill; 2005. hlm. 155-7. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new classifi cation and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics (SICOT). 2008; 32: 127– 33. Treatment of Tuberculosis: guidelines. Edisi ke-4. Geneva: World Health Organization Press; 2010. American Thoracic Society, CDC, Infectious Diseases Society of America. Treatment of tuberculosis. MWRR. 2003; 52(RR-11): 1–77. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current diffi culties in the diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J. 2006; 82: 46-51. Hassan SS, Yunus SH, Latif A. Study and improvement of methods for The determination of diclofenac sodium in pharmaceutical preparations. Pak J Pharm. 2007-2010; 20-23(1&2): 7-10. Sudjadi CV. Pengaruh pemberian tablet kombinasi vitamin B1, B6, dan B12 terhadap kelelahan otot. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current difficulties in the diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J. 2006; 82: 46-51. Solomon L, Marwick DJ, Nayagam S. Apley's system of orthopaedics and
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
fracture. Edisi ke-9. London: Arnold; 2010. Sell P. Expert's comment concerning grand rounds case entitled "Posterior listhesis of a lumbar vertebra in spinal tuberculosis" (by Matthew A. Kirkman and Krishnamurthy Sridhar). Eur Spine J. 2011; 20(1): 6-8. Moesbar N. Infeksi tuberkulosa pada tulang belakang. Majalah Kedokteran Nusantara. 2006; 39(3): 279-89. Jutte PC, Van Loenhout-Rooyackers JH. Routine surgery in addition to chemotherapy for treating spinal tuberculosis. Cochrane Database Syst Rev. 2006; 1: CD004532. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. TB (partial update) clinical guideline DRAFT (November 2010). Tuberculosis: clinical diagnosis and management of tuberculosis, and measures for its prevention and control. London: Royal College of Physicians; 2006. Rasouli MR, Mirkoohi M, Vaccaro AR, Yarandi KK, Rahimi-Movaghar V.Spinal Tuberculosis: Diagnosis and management. Asian Spine J. 2012; 6(4): 294-308. Garg RK, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis: a review. The Journal of Spinal Cord Medicine. 2011; 34(5): 44054. Jain AK. Tuberculosis of the spine a fresh look at an old disease. J Bone and Joint Surg. 2010; 92(7): 905-13. Njoku CH, Makusidi MA, Ezunu EO. Experiences in management of pott’s paraplegia and paraparesis in Medical Wards of Usmanu Danfodiyo University Teaching Hospital, Sokoto, Nigeria. Annals of African Medicine. 2007; 6(1): 22–5. Zuwanda, Janitra R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK. 2013; 40(9): 661-73.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 146