1.
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
2.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
3.
Maha Pemurah la§'i Maha Penyayang
4.
Yang menguasai hari pernbalasan
5.
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada lah kami mohon pertolongan
6.
Tunjukilah kami jalan yang lurus
7.
(yai tu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikma t kepada mereka; bukan .( jalan ) mereka yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat
Engka~
( AL FAA TIHAH )
Ku persembahkan tulisan ini kepada ayah, ibu. kakak-l{akak dan adi kku 4~rsayang
!3 /
MASALAH REPROOUKSI PAOA SAPI PERAH 01 OAERAH TINGKAT II CIREBON
oleh
WAS ITO B. 18.1147
FAKU~TAS
KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1985
H/!,yflG
/0 12
RINGI\ASAN WAS I 'I;
o.
Masalah Reproduksi pada Sapi Perah di Daerah
Tingka t II Cirebon (Di bawah bimbingan I1QZES R. TOELIHERE). Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui masalah reproduksi pada sapi perah serta sa!]l pai berapa jauh perhatian peternak terhadap masalah tersebut dan penanganannya dalam upaya pengembangan dan peningka tan produksi sapi perah di Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon. Sapi perah cukup penting artinya bagi peternak sehingga dijuluki "Raja Kaya" dan merupakan tiga sumber "Tambang Ema s" (pu tih-susu, merah-daging dan hijau-pupuk).
"Tambang
Emas Putih" telah dirasakan manfaatnya dalam mensejahterakan rna syara ka t. Usaha peternakan sapi perah di Daerah Tingkat II Cirebon umumnya bersifat peternakan rakyat dengan pemilikan rata-ra ta 4 - 8 e.kor sapi.
Beternak sapi perah merupakan ma-
ta pencaharian tambahan dengan cara beternak yang dilalrukan secara intensif. Tujuan utama berternak untuk produksi susu.
Tingkat
kesuburan ternak 73,3% sapi beranak untuk pertama kali pada umur dua sampai tiga tahun.
Pengembangan sapi perah di da-
erah tersebut meIaIui tiga jalur yai tu GKSIjKUD, PUSP s«rta Cra sh Pro gra m. Dari keseluruhan responden 16,7% dari p eterna k sapi mi lilmya pernah mengalami keguguran pada awal masa kebuntingan dan 11,1 % keguguran pada aldrLr- rnasa kebuntingan. retensio secundinae pada sapi milik responden i
Nasalah
SeK~)~~~!~~
sudah pernah terjadi.
Jurnlah kematjan ternak lebih tinggi
dibanding jumlah kelahiran (Tabel
7).
ea ra yang dj pa lla i pe terona k da1am mengawinkan sapinya 93,3% melalui III dengan i'r-elntVlell[;1. pelaksanaan IB sampai burr ting me~uru t r-esponden ~3,'5 % Be tel ah di IB dua kali; 30% setelah di III tiga ka1j atau lebjh dnn 26,7% Betelah di IB satu lenli.
Jurnlah aleseptor dan dosis IB meningkat dari tahun
lee tahun ('l'abel 9 atau 10). Kasus-Imsus reproduksi dan kebidanan selama tahun 1985/ 1986 frekUlvensi terbanya k a dalah ka sus eLP /p eriodik (Ta bel 12).
Tingkat pendidikan formal peternak 50% SD.
Bidang m~
najemen peternalean masih lrurang diperhatilean misalnya tatalaksana kandang, pembuangan kotoran sapi dan salurannya, falf tor makanan terutama pemanfaatan limbah pertanian yang meli!!! pah. Permasalahan tersebut di atas tercermin dari penurunan populasi sapi perah selama tahun 1983 - 1985 (Tabel 6). Perm~.salahan
itu dltunjang dengan faktor sosial-ekonoml darl
peternak dan kurangnya tenaga lapang bidang neternakan.
MASALAH REPRODUliSI P"DA SAPI PERAH DI DAERAH TINGKA T II CIREEON
SKRIPSI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada
~akultas
Kedokteran Hewan
Insti tut Pertanian Bogor
01 eh: WASITO
Sarjana Kedokteran Hewan 1986 B 18.1147
FAKULTAS ImDOKTERAN HENAN
INSTITUT PERTANIAN EOGOR
1986
HI II" YA '1' HI DU P
Penulis dilahirkan di Dinjai pada tanggal 20 Maret 1961, sebagai anak ke enarn dari tujuh bersaudara, dari ayah bernarna Arnat Rebin dan Ibu bernctrna Viainem. Pada tahun 1973 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Pungai Pasar VlIL(Binjai). kan ke Sekolah da tahun 1977. lah
~lenengah
l~enengah
Kemudian pada tahun 1975
melanju~
Pertama Neg:eri I Binjai, dan lulus P.!!.
Pada tahun 1978 penulis rnelanjutkan ke Seko -
Atas Negeri I Binjai, dan lulus pada tahun 1981.
Pada tahun 1981 penulis memasuki Insti tut Pertanian Bo gor melalui Proyek Perintis 11 dan pada tahun 1982 terdartar di Fakul tas l\edokter'an Hewan.
Pada tanggal 13 Maret 1986 di-
nyatakan lulus sebagai Sarjana g:edokteran Hewan.
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatl(an ke hadirat Allah yang t.§. lah memberi rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis telah
da~
pat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Ins ti tu t Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada 1.
Bapak Prof. Dr. Mozes R. Toelihere, M.Sc.
sebagai dosen
pembimbing dalam penyusunan skripsi ini. 2.
Seluruh Staf Pengajar di lingkungan Fakul taa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah membimbing selama penulis menuntut ilmu.
3.
Seluruh petugas perpustakaan FKH sat IPB, Perpustakaan
4.
~
IPB, Perpustakaan Pu-
Fakultas Peternakan IPB.
Semua pihak yang telah membantu penulis selama menuntut ilmu di F'KH - IP B •
.'; baca.
Kri tik dan Saran sangat penulis harapkan dari para pemSemoga apa yang dituangkan dalam skripsi ini
bermanf~
at bagi mereka yang memerlukan. Bogor, Desember 1986 Penulis
.:iv
DA F'rJ\ R lSI
Halaman RINGK.ASAl~ K1~~IA
........................................................................ " ..
P~:NGAN~\l\R
III
i
....................................................................
iv
DAFTAR Tl\bl!:L ...................................................................... ..
vi
DA. F'rl\ R G.A ifJBli II .................................................................... ..
viii
I.
PENDAHULUAN
•••••••••••••••••••••••••••••••
1
II.
TINJA UAN PUSTAKA .. ................................................ .
3
Sejarah Perkernbangan Sapi Perah di Indonesia ...... ,. ...................................... .. Sapi Perah dalarn Perspektif Sistem Pernbangunan Peternakan di Indone S18
............................................................
3 4
Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu ............••..••••
Pengaruh Lingkungan 'terha dap ;Per kembangan Produkti vi tas Sapi Perah Faktor Genetik dalam Perkernbangan Sapi Perah .............................................. Pentingnya Penanganan Penyakit Re~ roduksi pade Sapi Perah •••..•••••
9
12 17 18
III.
METODlo: Pl!.:NGA1'lB1L.'IN DJiTA
•••••••••••••••••••
26
IV.
HASIL ..........................................................................
27
Keadaan Umum Kabupaten Daerah Tin£ ka t II Cirebon ......................................
27
Perkembangan Peternakan Ruminansia Besar di Kabupaten Daerah Tingkat II Oirebon .....................••
28
Pembinaan Usaha Petani Ternak •••• Pengamanan Ternak •........•••••.• Produksi Peternakan •..••..•..••••
28 36
. .................................... .
V.
Pl!.:MBA H.'ISA N
VI.
KE S1MPU LA N DAN S.Afu~N
.D.AE'Tl\R PUSTHKA
LA /IlP1RII N
.
36
37
.o • .o . . . . . . . . . . .o . . . . . . . . . . ..
42
.............. .o.o.o.o .. .o.o.o.o .... .o .. .o • .o......................
44
.........
. .
.
.. .. .. .. . .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . v
47
DAFTnI1 TABEL Ralaman Nomor 1. 2. 3.
4.
'I'eks Perkembangan Populasi Sari Perah di Indonesia selama 12 tahun ( 1974 - 1985 ) •••..•••....••
4
I\esenjangan an tara Produksi dan Konsumsi terhadap kebutuhan baku gizi ( 1984 - 1988 )....
5
Daya Produksi Susu dan Produl{si Susu ra ta-rata Perlaktasi Sapi FH di beberapa Perusahaan.,
11
Rata-rata Umur beranak pertama, Lama laktasi, Masa kering, Calving interval pada beberapa
Peternak Sapi Perah..........................
15
5,
Penggunaan lahan di Kabupaten Cirebon tahun
1985.............................................................................
27
6.
Populasi Ternak Ruminansia Besar di Kabupaten Cirebon 1983 - 1985 •.....•...••..•..••.••.••.
28
Dartar Perkembangan Sapi Perah (GKSI, PUSP, Crash Program) di Kabupaten Cirebon 1985 .....
29
7. 8.
9.
Hasil IB pada Sapi Perah di Kewedanan Ciledug (Ka bupa ten Cirebon) 1985/1986 •••••••••••••••• Hasil Inseminasi Buatan pada Sapi di Kabupa.-. ten Cirebon 1985/1986 ....................................... ·~ .... ..
10.
Hasil Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) pada Sapi di Kabupaten Cirebon 1985/1986 ••.•..•.•..••••
11.
Jumlah Kelahiran pada Sapi Perah di Kabupaten Cirebon 1985/1986 ..................................................... ..
12.
Diagnosis Kasus Reproduksi dan Kebidanan pada Sapi Perah di Kabupaten Cirebon 1985/1986 ••••
13.
32 32
35
Produksi Komodi ti Daging dan Susu di Ka bupa ten Cirebon 1983 - 1985 ••.•.•..•.••••••.••.•. Lampiran
1.
2.
Konsumsi daging, telur dan susu per kapi ta per ta hun ( 1974 - 1985 )....................
47
Populasi ternak di Indonesia ( 1974 - 1985 ).
48
vi
Nomor
Halaman Lampiran
3.
Beberapa negara oenghasil ternak sapi di berbagai negara di dunia................
.'49
4.
Penyebaran ternak dana berbantuan.......
50
5.
Pertirnbangan nilai bobot untuk resDonden (p enj elasan) •• • • • • . • . • • . • • • • • . . . • . • • • • • •
.51
Realisasi Inseminasi Buatan di daerah ta hun 1980' - 1984 (dosis) ••.•••.••••••••• -:
·52
Kelahiran dari Inseminasi Buatan menurut Propinsi tahun 1980 - 1984..............
.53
Kasus-kasus Penyakit Hewan Meuular kecuali Uuggas di Daerah Tingkat II Cirebon tahun 1978 - 1985 •.......•...••..•.•.••
54
6.
7. 8.
DA ~'TA It
Gli MB11 It Halaman
Nemer
1.
2.
Teks l'eta penyebaran Sapi l)er'ah di beberapa Kecamat an Daerah Tingkat II Kabupaten Cireben tahun 1984· ••••••••••••••••••••..• ~ ••••.•..••••••••• ·
5-5-
Peta Da era h Penye ba ran PenYiJ ki t Anthrax dan Brucellosis di beberapa Kecmnatan Daerah 'fingkat II Kabupaten Cirebel! tahun 1984 ••••••••••
56
viii
I.
PENDAHULUAN
Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, maka permi£ taan terhadap bahan pangan bermutu atau yang lebih baik nilai gizinya juga akan meningka t.
Hal ini nya ta akan terli-
ha t dengan meningka tnya p ermin taannya akan daging, telur, dan susu.
Kebutuhan protein pada manusia rata-rata 55 gram
per kapita per hari, yang terdiri dari 35 gram protein
nab~
.ti, 15 gram protein asal ikan, serta 5 gram protein hewani asal ternak. Henurut Dirjen Peternakan, tingkat konsumsi protein
h~
wan asal ternak pada ma syara ka t dewasa ini men capai 4,1 kg per kapita per tahun.
Pada akhir Pelita III yang lalu tinE;
kat konsumsi baru mencapai 2,31 gram per kapita per hari, yang melipu ti 1,44 gram asal daging, telur 0,53 gram dan sy su 0,34· gram (Anonimus, 1986e ).
(lihat tabel lampiran 1).
Dengan meningka tnya permin taan bahan pangan bermu tu, maka prospek pengembangan peternal{an sapi perah cukup cerah malah perlu dikembangkan lagi.
Seperti telah kita ketahui
dan disadari bersama, sapi perah sebagai "Raja Kaya" dan
s~
bagai tiga sumber "'fambang Emas" (putih-susu, merah-daging, hijau-pupuk).
"Tambang Emas Putih" telah dirasakan man1'aal
nya dalam .mensejahterakan masyarakat.
Jadi kita harus me-
nyedialcan sendiri protein hewani tersebut dengan jalan meningkatlcan populasi dan produksi hasil ternak yang telah ada.
Hal tersebut dicanangkan dalam kebijaksanaan 'pemerin-
tah pada Pelita IV untuk melaksanaJmn swasembada protein he wani (Direktorat Jenderal Peternakan, 1982).
2
Bishop (1979) menyatakan bahHa usaha peternakan merupakan proses produksi, sehingga rendahnya tingkat pendapatan disebabkan oleh penggunaan faktor-faktor produksi tidak efisien.
Worrel (1978) berpendapat bahHa efisiensi usaha
sangat penting untu){ mencapai keuntungan maksimum dari suo!!. tu kegia tan produksi. Pada umumnya para peternak sapi perah di Indonesia co!!. ra berternaknya masih berdasarkan atas pengalaman dari orang tuanya dari generasi ke generasi.
Cara berternak ter.
sebut tidak dapat dibiarkan terus apabila ki,ta menghendaki kemajuan dalam bidang peternakan untuk mencapai efisiensi dalam produksi susu.
Perlu diketahui bahHa variasi kemam-
puan berproduksi susu untuk seekor sapi 30% dipengaruhi 1 eh sifa t
0-
genetis dan 70% 01 eh keadaan lingkungan (makanan,
ta talal{sana, iklim, p enyaki t dan lain-lain) (Sudono, 1984). Mengingat prospek pengembangan pete:makan sapi perah yang cUkup baik dalam rangka peningkatan taraf hidup, kecerda san dan kesejahteraan masyarakat maka patutlah kalau rna salah sapi p erah p erlu mendapa t per!;latian.
Tulisan ini
mengetengahkan masalah reproduksi pada sapi perah di daerah tingkat II Cirebon dan usaha penanganannya untuk pengembangan dan peningka tan produksi terna k sapi perah.
II.
'EIN']A UAN PUS'l'AI\A
Sejarah Perkembangan Sari Perah di Indonesia Peternakan sopi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19 dengan impor sapi-sapi perah bangsa Jersey, Ayrshire serta Hilking Shorthon dar-i Australia.
Kemudian pada
permulaan abad l,e-20 didatangkan sapi perah jenis Fries HoI land (FH) dari negeri Belanda.
Pada awalnya petemakan sa-
pi perah diusahakan 01 eh penduduk non pribumi un tuk memenuhi kebutuhan orang-orang l:lelanda.
Baru pada tahun 1925 di-
perkiralran berdiri perusahoan sapi perah pribumi yang
pert~
rna.
Pada tahun 1911 populasi sapi perah di Jawa dan Madura tercatat 6.468 elwr, tahun 1930 sekitar 13.238 ekoli' dan 21552 ekor pada tahun 1940.
Pada tahun 1959 diselingi dengan
impor sapi perah bangsa !led Danish dari Denmark, tetapi tidak sesuai dengan lingkungan di Indonesia. ,Peranakannya masih terdapat di Pulau Madura.
Dari daerah yang sama pada
tahun 1962 diimpor sapi-sapi FH.
Sapi tersebut pada tahun
1965 diimpor lagi dari negeri Belanda.
Pada tahun 1979 dan
1980 dida tangkan sapi FH dan Ilawara Shorthon yang jumlahnya ribuan ekor (Sudono, 1984). ( lihat Tabel Lampiran 3 ). Selama Peli ta IV untuk mencapai sasaran produksi susu akan didatangkan sapi perah sebanyak 50.800 ekor impor dan 26.000 ekor dari dalam negeri (Anonimus, 1986'e). Adapun perl{embangan populasi sapi perah dari tahun 19 74 sa~pai tahun 1985 terlihat dalam Tabel 1.(lampiran 2).
4
Ta bel 1.
Perkembangan populasi sapi p'erah di Indonesia 8elama 12 tahun ( 1974 - 1985 )
adalah 7,82%
Kenai kan ra ta rata 8elama Pelita I ~'ahun
Jumlah dalam s eri bu ekor
'rahun
Jumlah dalam seri bu ekor
1974
86
1979
94
1975
90
1980
103
1976
87
1981
113
1977
91
1982
140
1978
93
1983
162
Kenaikan rata-rata selama Pelita II
a)
1984
adalah 2,03%
b) 173
1985
186
Kenaikan rata-rata selama Pelita III adalah 11,9996 Sumber: Buku Statistik Peternakan tahun 1986 Ket: a) angka diperbaiki b) angka sementara Sapi Perah D3.1am Per8pektif Sistem Pembangunan Peternakan di Indonesia Dengan p erki raan p ertambahan p en duduk Indonesia 296 p e£ tahun dan peningkatan pendapatan per kapita 4-59& serta ela.§. tisi tas permintaan terhadap peningkatan pendapatan untul{
d~
ging dan susu sebesar 1,3 dan 1,5 maka permintaan terhadap komoditi tersebut diperkiralcan 7,6% dan 8,4% per tahun. Bila laju perkembangan produksi komodi ti tersebut tetap saja seperti 10 tahun terakhir, maka akan terdapat kesenjang,..
5 an antara produksi dan·konsumsi terhadap kebutuhan baku gi zi ( Tabel 2 ). Ta bel 2.
Kes enj angan an tara produksi dan konsumsi terhadap kebutuhan baku gizi (1984 - 1988)
Perin ci an ])a ging
1984
1985
1986
1987
1988
767,3
825,6
888,3
955,8
1028,5
1092,0 1118,5
1144,0
(000 ton)
Konsumsi ef'ektif'(a)
Kebutuhan baku gizi 1042,6 1067,3 ( b)
Produksi (c)
677,5
Kesenjangan(c-a) Kesenjangan (c-b)
707,7
773,0
808,2
-89,8 -117,9
-148,9 -182,8
-220,3
-365,1 -359,6
-352,6 -345,0
-335,8
1067" 4
739,4
Susu (000 tonl. Konsumsi ef'ektif'(a)
825,5
880,3
938,6 1001,0
Kebutuhan baku gizi
481,2
492,6
504,0
516,0
528,0
98,9107,5
117,6
128,7
140,8
(b)
Produksi (c) Kesenj angan (c-a)
-727,2 -772,8
-821,0 -872,3
-926,6
Kesenjangan(c-b)
-382,9 -385,4
-386.4 -387,3
-387,2
Sumber: Di t.
Bina Program, Dit. Jen. Peternakan,1982
Dari angka-angka dalam tabel tersebut didapatkan perbedaan yang cukup besar antara permintaan nyata dengan kemampuan produksi susu dalam negeri dipenuhi dengan susu impor dan besarnya kurang lebih 80% dari seluruh permintaan ( Anonimus, 1982a)
Peka tanggap pemerintah dimanif'estasikan.dengan akselerasi injeksi impor sapi perah guna menggalakkan produksi
6 susu lokal ke a rah
volume yang I ebih mendeka ti kes eimbang
an dan hal ini berlangsung melalui tiga jalur yai tu PUSP, Koperasi dan Banpres.
Pada Ilepelita IV impor ditambah me-
lalui jalur P.erusahaan In ti Hakya t
(PIIl) Persusuan.
Namun
dalam penyaluran produksi susu, ketergantungan akan jasa pabrik pengolahan susu belum terpeeahkan seeara seimbang A tmadilaga , 1983 ). Dari segi po tensi pengembangan ( f'aktor sosial-ekonomi menyangkut segi pendidikan, l{esehatan dan jumlah penduduk) mempunyai effek potensiatif.
Dari segi kebijaksanaan Pe-
merintah yang tertuang dalam IlEPELITA, proses pembangunan petemakan seeara garis besar di tempuh melalui masa rehabi. litasi, konsolidasi, pengembangan, diversif'ikasi spesialis dan semua i tu berti tik tolak dari penciptaan iklim terlak", sanya azas 'P-dnea Usaha '['emak' yang meliputi temak bibit, tepat makan, tepat manajemen, tepat pengendalian penyaltit, dan tepat pemasaran( Atmadilaga, 1983). Menurut Triwibowo (1986.) panea usaha diartikan panea terampil yang berarti terampil atau mampu memilih bibit unggul, terampil memilih atau menyediakan pakan yang bergi. zi, terampil memelihara terna l{ dengan baik, terampil un tuk meneegah penyaki t ternak dan terampil memasarkan hasil. Dengan lahimya Direktora t Bina Haaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Petemakan di tambah adanya direktorat baru ialah Direktorat Penyuluhan Petemakan, maka istilah panea
. (lima) masih kurang lengkap.
Istilah yang lebih
lengkap bukan lagi Panea Us aha tetapi menjadi Sapta Usaha
7 usaha yang belul1l disebU't ialah pasca. panen dan manaj em en'; pembentul{an koperasi.
Pasca panen berarti penanganan hasil
peternakan yang mudah busuk. Kedudukan Direktorat Jenderal Peternakan sebagai pela]f sana kebijaksanaan Pemerintah berfungsi sebagai koordinator dan pencipta perubahan, pengendali, pembina dan lembaga pelayananj sedang lembaga yang terkai t meHakili unsur pendi 'dikan, penelitian, himpunan proresi, organisasi peternak, dan asosiasi usaha.
Kebijakan dalam diversj.fikasi usaha
d~
pat berupa instrumen Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Penanaman Modal Asing(P~~) atau Penanaman Modal Dalam Neg~ ri(PMDN).
Dalam meningkatkan usaha ternak tradisional ke
usaha ternak majujkomersial perlu didukung oleh subsektor lain.
Sebagai contoh dalam rangka kegiatan agro-hutani, sl:!.
dah mulai digalakkan penanaman rumput gajah, perkebunan te£ lantar yang tidak dilanjutkan dapat ditranformasikan menjadi pusat produk rumput gajah;hijauan dan limbah pertanian bergizi dari lahan pertanian serat dukungan hijauan ( Atmadilaga, 1983 ). Usaha Sapi Perah malalui Hadah koperasi yang dimulai sejak tahun 1978 dengan kordinator Bapak Menteri Muda Urusan Koperasi ( Anonimus, 1982 a ).
Menurut ketua umum GKSIj
koperasi primer yang benar-benar aktif ,:tahun 1985., ada 173 s!1. dang tahun 1983 ada 183 koperasi serta pada tahun 1984 ada 178 koperasi.
Disamping jumlah koperasi mengalami
penuru~
an, diimbangi jumlah peternak anggota koperasi yang menu run.
Fada tahun 1985 tercatat 59.524 orang, sedang pada
tahun 1984 ada 61.000 orang.
Penurunan jumlah peternak ini
8
aldbat pemindahan sapi bagi koperasi yang lemah, disamping terdapat peternak yang gagal (Anonimus, 1986d ). Eerlandaskan manfaat ganda, Pemerintah berusaha
meny~
diakan ban tuan ternak kepa da p etani yang dip erol eh dari d.§. na A PBN, Banpres, Crash Program, dan ban tuan luar negeri seperti ADE, IFliD, IEHD, N'rASP, SESTADP ( Anonimus, 1986b ). Dalam rangka pengembangan sapi perah, akan dilaksanakan
be~
bagai inaeam pola yalmi pola mandiri,' PIH Persusuan, dengan jaminan pihak ketiga (Anonimus, 1986e ).'
(lampiran 4).
Fada 25 Oktober 1986, Presiden Republik Indonesia memberikan restu dan petunjuk ten tang PIR Persusuan (bentuk pembinaan) melalui sistim kerja sama tertutup yang saling menguntungkan antara Inti (perusahaan) dan Plasma (petani peternak yang tergabung dalam KUD).
Bertindak sebagai Inti
adalah PT. Nandi Amerta Agung dengan fasilitas penanaman m.Q. dal asing, sedang permodalan dari inti meliputi Gabungan Ko perasi Susu Indonesia(GKSI) 20%, Land 0 Lakes(LOL) 2196, Co2, perative fussiness Internasional(CEI) 4% dan PT.
Mantrust
55%., Usaha budidaya ternak tetap dilakukan oleh petani dan KUD susu diberi fungsi pembinaan anggota serta pengawasan hubungan Inti - Plasma ( Anonimus, 1986 a). Masalah PIR Persusuan di Jawa Tengah melibatkan semua potensi pembangunan yang ada.
Fada tanggal 17 Maret 1986
dikeluarkan Petunjuk Pelaksana PIR Persusuan dan disetujui oleh Hapat Tim Kordinasi Persusuan Nasional yang selanjutnya 12 Mei 1986 Menteri Pertanian melalui SK no. 280;KPTS/ TN. 320/86 menetapkan Tata. Cara Pelaksanaan Kebijaksanaan Pengembangan Peternakan Sapi Perah dengan Pola PIR.
9 'l'anggal 2 Juni 1986 Nenteri Pertanian mencabut kembali SK no. 280!KP'fSjrN. 320,/86 dan dengan memperhatikan petunju!{ Presiden. kepda Nen teri Kordina tor bidang EKUIN dan Pengawa§. an Pembangunan maka keluar SK no. 322;KPTSl'fN. 320;86 ( Ana nimus, 1986f). Guna mendapatkan sukses dalam usaha peternakan sapi P.!1. rah harus dapat menggabungkan kemampuan tatalaksana yang ba ik dengan menentukan lokasi peternakan yang baik, besarnya peternakan, sapi yang berproduksi tinggi, pemakaian peralatan yang tepa t,
tanah yang subur un tuk tanaman hijauan dan
pemasaran yang baik (Sudono, 1984). Berbagai Faktor Yang Membengaruhi Produksi Susu Secara garis besar peternakan di Indonesia dibagi menjadi peternakan daerah padat penduduk (Jawa, Madura dan Ba'li) dan petemakan daerah jarang penduduk (luar Ja"la).
Hal
ini mempunyai implikasi pengaruh terhadap cara pemeliharaan ternak yang dapa t bersifa t in tensif a tau eks tensif (A tmadilaga, 1983). Pada dasarnya ada dua macam pembagian jenis perusahaan sapi perah yaitu sapi perah rakyat dan sapi perah perusahaan.
Dari kedua jenis usaha tersebut pada umumnya mempergu-
nakan j enis sapi keturunan Fries Holland atau hasil persil.§, ngan dengan sapi lokal yang dikenal sebagai Sapi Grati (So.!1. harto, 1979).
Kedua usaha tersebut untuk memperbaiki mutu
ternak loiml yang pada umumnya mempunyai produktivitas rendah, angka kelahiran rendah disertai dengan laju pertambahan berat badan yang rendah pula.
10 Secara garis besar ada dua pembagian sapi perah yaitu bangsa sapi perah yang besar seperti FH dan bangsa sapi
p~
rah l{ecil seperti Jersey yang lrurang begi tu dikenal oleh p eternak Indonesia,
Sapi p erah bangsa besar dapa t mengha-
silkan produksi susu lebjh banyak bila dibandingkan bangsa kecil,
tetapi butir lemak susunya lebih.keciJ., padahal bu-
tir-butir lemak ada hubungannya dengan kerusakan susu (Gunawan,1986.), Un tuk pengembangan wilayah ternak perah dengan sapi FH tidak terdapa t hamba tan walaupun di da taran rendah. Per'soalannya banya makanan yang cukup kuantitas dan kualitas serta tatalaksana yang baik dan menghasillmn produksi susu tinggi bila dibandingkan dengan sapi-sapi perah lainnya, baik di daerah iklim sedang maupun di daerah tropis (Sudono,
1983).
Disamping itu sapi FH dapat digunakan se-
bagai penghasil daging yang baik dengan cara digemukkan dan menghasilkan pertambahan bobot badan rata-rata 0,90 kg per ekor per hari (Horan, 1978), Beberapa peneliti di daerah tropis menunjukkan bahwa sapi Brown Swiss memiliki p enurunan f'ertili tas dan produksi susu lebih rendah dari sapi FH (Sudono, 1983).
Dalam
tahun 1977 produksi susu diduga baru memenuhi 15% dari kebutuhan domestik (Anonimus, 1978),
Untuk memperkecil imb.§.
ngan antara permintaan dan produksi oleh Pemerintah ditempuh dua cara yaitu program j.nseminasi buatan' (IB) dan impOl' sapi betina (Sudono, 1983), Pada umumnya daya produksi susu sapi perah di Indone-
sia
mas1.h rendl'll"l d:ibl!lnc1iDrr,
OU]1i ]1">1;'llh
eli daerah il{lim se-
11
dang.
Dengan program IB yani'. dilalmkan sekar'ang produksi
susu s api p erah dapa t di tingka tkan walaupun tidak tinggi ( Soemarmo, 1980; Sitorus dan Subandryo, 1979 ).
Peningkal
an susu yang rendah tersebut disebabkan program IB yang tidak,'diikuti dengan pencatatan produksi susu, seleksi dan P.!i. nyingkiran (Tabel 3). 'l'abel 3.
Daya Produksi Susu dan Produksi Susu r.atarata P'erlaktasi Sapi FH di b'eberapa Perusahaan
Daya produksi susu rata-rata per satu masa laktasi (kg)
Tempa t
Sumber data
Salatiga
2535
Tossin, 1978
Cirebon
2848
Purwanto, 1979
Pujon
2339
Widodo §.1 aI, 1980
Lembang I
3495
Mekir, 1982
Lembang I I
3033
l1ekir, 1982
Rawa Sen eng
3365
Mekir, 1982
Ba turaden
2558
Mekir, 1982
Dari tabel ter.sebut tampak bahwa proauksi susu sapi FH di dataran rendah (Cirebon) dapat lebih tinggi dari pada di dataran tinggi membuktikan
bah~,a
(Baturaden, Salatiga).
Keadaan ini
tidak ada hamba tan untuk memelihara sapi
FH di daerah panas ( Sudono, 1983 ). Apabila tahun 1978 rasio produksi susu dalam negeri dan impor ialah 1 : 20, maka pada tahun 1985 menjadi 1 : 2 ,Delam masa Pelita, IV rasio tersebut,'diharapk~n dapat
di
kan terus sampai 1 : 1 dengan terus mengembangkan kemampu-
12
an produksi susu dalam negeri ( Anonimus, 1986 c
r.
Ke be.!:
hasilan tersebut karena dilaksanakannya kebijaksanaan Pemerintah me.lalui impor sapi perah yang diikuti peningkatan p!!. layanan telmis kepada peternak: bimbingan dan penyuluhan di sertai penyediaan fasili tas; lcebijaksanaan pemasaran susu, melalui pembelian susu oleh KUD dengan impor bahan baku susu oleh Industri Pengolahan Susu. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Perkembangan Produktivitas Sari Perah Peningkatan produksi ternak sapi perah memerlukan pe -: ningkatan pakan yang cukup, terutama penyediaan hijauan yang murah.
!iasil intensifikasi daerah padat penduduk terhadap
tanaman pangan tidak saja menghasilkan pangan lebih banyak tetapi menghasilkan limbah pertanian yang juga melimpah( LeE. dosukoyo, 1983 ).
Limbah pertanian merupakan bahan ligno -
selulosa yang banyak dihasilkan tetapi belum digunakan sec.§. ra efisien, dalam sistem pakan digolongkan sebagai pakan non konvensional.
Limbah pertanian yang penting di Indonesia all
ta ra lain j erami padi, jagung, sorgum, ka cang tanah, ka cang kedele; pucuk tebu; pucuk ketela rambat atau ketela pohon. Gangguan nutrisi mempunyai pengaruh besar terhadap reproduksi sapi perah.
'l'ingkat enersi dalam makanan, kerja,
laktasi dan faktor lingkUngan lain seperti iklim atau cuaca sangat ·mempengaruhi tingkat kesuburan (Anonimus, 1978 ). Kondisi sapi yang jelek tidak mendapat makanan yang culrup un tuk enersi menyebabkan terganggunya siklus berahi ( A chmad, 1983 ).
13 Sapi yang mengalami balans enersi negatif akan mengalami kegagalan berahi dan ovulasi (Arthur, 1979).
Bebera-
pa mineral yang penting dalam fungsi reproduksi adalah cobaIt, mangan, ternbaga, fosfor.
Defisiensi mineral menyeba.!2
kan kegagalan berahi dan berahi yang tidak teratur ( Hafez,
1969 ). Faktor makanan dengan tingkat enersi tidak menentu sebelum dan sesudah beranak memberikan pengaruh reproduksi nya ta (A chmad, 1983.).
pengaruh tersebut dapat dibagi merr
jadi empat kelompok: a,_
Tingkat enersi yang tinggi sebelum dan sesudah beranak berpengaruh lebih baik terhadap interval antar kelahiran
b.
Tingkat enersi yang tinggi sebelum beranak dan rendah sesudah beranak menunjukkan tingkat konsepsi , yang kurang memuaskan
c.
Tingkat enersi yang rendah sebelurn beranak dan tinggi sesudah beranak menyebabkan tertunda berahi pertama
d.
Tingkat enersi yang rendah sebelum dan sesudah beranak beraki ba t rendahnya tingka t konsepsi dan panjangnya interval antar kelahiran Program kesehatan pada peternakan sapi perah hendaknya
dijalankan secara teratur, terutama di daerah-daerah yang
s~
ring terja:qgld t, p eI).yaki t 'menular. misal:. rna sti tis, tuberkulQ sis, brucellosis, anthraks, apthae epizootica, cacar sapi, ringHorm, anaplasmosis dan piroplasmosis serta p enyaki t ber sifa t tidak menular seperti mill{ fever, ketosis, dan timpani ( Sudono, 1984 ).
Penyakit reproduksi ternak
yang disebab-
kan oleh faktor mal,anan dapat diakibatkan oleh konsumsi pa -
14 kan bebas, keI'acunan, zat-zat penghambat, defisiensi atau kelebihan mineral dan vi tamin seperti penyaki t metabolik
p~
dOl sapi bunting, melahirkan dan laktasi, milk fever atau grass tett;ll'ly ( Reksohadiprodjo, 1984 ). Penyaki t~penyaki t sapi perah dapat menimbulkan kemunduran produksi susu di perusahaan.
Penyakit-penyakit ters.§.
but antar" lain penyaki t yang menyebabkan kematian pedet s.§. perti penyakit saluran pencernaan, gangguan makanan, pengaruh lingkungan dan pengaruh prenatal; mastitis; penyakit respirasi dan penyakit reproduksi 'tjipto, 1983 ).
( Soesanto, Arab dan Su -
Infeksi saluran pencernaan berupa enteritis
dan septicemia paling sering disebabkan oleh
~.
coli dan p.§.
da pedet banyak menimbulkan kerugian ( Ward et aI, 1974 'd!::!, lam Soesanto et al., 1983 ).
Faktor musim dan metereologik
sangat penting dalam kehidupan pedet ( Martin et a1., 1975). Udara yang berpengaruh negatif pada pedet terutama pada ming gu pertama umur pedet. Penyakit menular penyebab kemajiran dapat dibagi dalam dua ka tegori yai tu penyaki t sistemik seperti tuberkulosis yang terJ{adang menyerang organ reproduksi dan penyaki t kelamin menular khusus yang menyerang organ reproduksi seperti trichomoniasis, vibriosis, brucellosis dan mikoplasmosis. Penyebab kemajiran dapat juga, disebabkan oleh penyakit ven.§. ral granular, vulvovaginitis pustular menular ( Toelihere, 1981a ).
15
Problema dalam "Tatalaksana. Peternakan Sapi Perah Tatalaksana adalah cara-c"ra pemeliharaan ternak setiap harinya.
Faktor-faktor yang perlu diperhatilmn dalam tata -
laksana guna mencapai efisiensi produksi susu adalah umur be£ ana k p ertama, lama la ktasi, ma sa kering, efisiensi reproduksi ("calving interval",
'service per conception', calving perce!2
tage", dan "service period ll ) , peremajaan dan culling serta p~ makaian tenaga ker j a ( Sudono, 1984 )' Tiibel 4 ). Tabel 4.
Tempat
Rata-rata Umur Beranak Pertama, ~ama Laktasi, l1asa Kering, Calving Interval pada beberapa Peternakan Sapi Perah
Sapi betina dewasa ( ekor )
Umur beranak pertama (bln)
Lama· masa laktasi (bUlan)
Calving interval (bulan)
29
42
11 ,6
15,5
203
33
12,46
15,4
Bogor
44
36
8,4
15,0
Baturaden
75
28
10,3
13,9
11 ,6
14,3
13.41
15.66
Pangal engan Lembang
Rawa Beneng Cirebon
110 34
33
Sebenarnya sapi FH dan keturunannya dapat beranak
pert~
rna p" da umur 2 sampai 2,5 tahun, a sal ta talal{sana dan pemberian makanan pada anak sapi/sapi dara c,ukup baik.
Lama lak-
t&si tergantung persistensi, masa kering dipengaruhi gangguan reproduksi. Calving interval yang bai1c ialah 12 sampai 13 bulan. Bila lebih pendek dari 320 h&rj" d"apat menurunkan produksi s£
16 su 9% dari laktasi yang sedang berjalan dan penurunan 3,7% pada laktasi berilmtnya.
Bila diperpanjang sampai 15 bulan
produlcsi naile masing-masing 3,5% ( Johansen, 1961 dalam Sudono, 1984 ).
l-lenurut Asdell (1955) bila ahglca SIC lebih
1,85 perlu perbailcan dalam reprodulcsi. od terbaik 2 bulan.
Hasil service peri-
Sebailmya peremajaan per tahun 20-25%
dari jumlah sapi betina dewasa, sedang untuk efisiensi tena ga kerja sebailmya satu orang menangani 6 sampai 7 ekor sapi de~lasa.
Henurut Yapp dan Nevans (1955) dalam Sudono;
dengan sistim pemeliharaan "cut and carry" dalam pemberian rumput, seorang tenaga kerja dapat melayani 10 sampai 12 ekor sapi dewasa. 'l.'a talaksana mencakup pembersihan kandang dari ko toran ternak.
Dengan membuang kotoran sapi sebagai pupuk kandang
maka fertilitas dan kondisi fisik tanah dapat dipertahankan disamping i tu pupuk kandang sapi perah Iebih baik nilainya dari pada pupuk kandang sapi po tong karena sapi perah ba. nyak menggunakan biji-bijian.
Jadi walaupun belum seperti
tambang emas putih-susu, manfaat sebagai tambang ernas hijau pupuk telah dirasakan juga dan turut mernberi andil tidak
s~
ja dalam mensejahterakan masyarakat tetapi turut juga memeIihara kelestarian Iingkungan ( Sudono, 1984 ). Kotoran ternak dapat menggantikan sebagian bahan penYJ:! sun ransum 5 sampai 30 persen, tergantung jenis kotoran dan ternak yang mengkonsumsikannya 1986).
Nuller, 1982 dalam Serniadi
Hasil analisis limbah gas bio kotoran sapi di -
Eropah menunjukkan kandungan pro tein ka sar 21,9%; 1 ernak 1,3 persen dan serat kasar 2276 serta· abu 21,1% ( Harris et
g.
17 1982 ) dan Soemi tro menyebutkan bahVla nilai kandungan protein kasarnya
9.4 - 11.25%.( dalam Semiadi. 1986 ).
F'aktor Genetik dalam Perleembangan SaRi Perah Untuk memperbailei mutu genetile temale, guna meningkatkan produkti vi tas harus melalui usaha pemuliaan.
Pemuliaan
temak ialah cara-ca'ra seleksi dan sistem perkaViinan untuk memperoleh ternak yang mulia dengan sifat-sifat keturunan produksi tinggi. daya adaptasi yang baik terhadap iklim dan tahan terhadap beberapa penyakit (Sudono, 1984).
Sistem
perkaViinan yang umum digunalcan pada sapi perah ialah: a.
Ka,lin silang (cross breeding) ialah perkaViinan antara dua hewan yang berlainan bangsa, untuk membentuk bangsa ternak yang baru.
b.
Grading-up ia1ah perlcawinan antara pejantan mumi
dan·
betina lokal, misalnya sapi Grati. c.
KaViin alam (inbreeding) ialah perlcawinan antar keluarga
d.
Kawin luar (out breeding) Dasar-dasar seleksi yang umum dipakai ialah seleksi
berdasarkan tipe seperti bentuk badan, kontes/lomba, s11silah/pedigree dan atas uji produi{si.
Pemuliaan dan faktor
linglcungan atau interalcsi an tara keduanya merupakan faktor penentu produktivitas ternalc. Peningkatan mutu genetik sapi perah dapat diketahui ngan menduga ripitabilitas, heritabilitas dan korelasi
gen~
tik sifat-sifat produks~ ( Van Vlech dan Henderson. 1961 Fol ey ~ a1.( .1973 8i susu 0.5.
d~
).
) melaporlcan bahVla ripi ta bili tas produk-
Suhartati et al.
18 pi tabU i. tas dan heri tabili tas produksi susu sapi perah di Yayusan :3antu l'iaria sebesaX'
0,~8
;:': 0,16 dan 0,32 ± 0,38.
Hipitabi.l itas dipengaI'uhi oleh jumlah catatan yang digunakan dan pengapuh 1ingkungan yang bersi fa t semen tapa. dan llllaire (1978) dulam 0umudllita
~
a1.
Lin,
(1983) melapor -
kan bullwa heritubilitus pI'oduksi susu 0,25 - 0,45 dan dipengaruhi jum1 ah con toh yang digunakan dalam p erhi tungan. Menurut Pirchener (1969) seleksi'terhadap 1 (8atu) 8ifat berpengaruh tcrhudap sifat-sifat lain, apabiilia terdapat korelasi genetik yang besar antara sifat-sifat tersebut. Hoque dun Hodges (1980) dalam :3ullludhita ~ a1.
(1983) mela-
porlcun bahwa korelusi genetik antara produksi susu laktasi pertama dengan lumanya berprodul(si pada sapi perah 0,34 0,94. lnseminasi Buatan (18) salah satu kebijaksanaan Peme rintah dalam rangka menambuh populasi sapi perah.
IB
pert~
ma kali diperkenalkan di Indonesia pada permulaan tahun-50 an oleh Prof. G. Seit dari DenmDrk di F'akultas Kedokteran Hewan dan Lembaga Pene1itian Peternakan Bogor. Manf'aat dari 1B meliputi mempertinggi penggunaan peja!}. tan unggul, sanga t menghema t biaya, mempertinggi po tensi sf. leksi ternak, mencegah penul
1981b ).
Pentingnyd Penanganan penyakit Heproduksi pada Sapi Perah 'foelihere (1983) meny8talwn secara normal dalam suatu ,kelompol{
sapi pereh yang dlkelola dengen baik menunjukkan
19
angka Jeonsepsi (CR) 65-75% pada perkawinan/inseminasi pertama dengan jumlah inseminasi per konsepsi (SIC)
sebanyak
1,3 - 1,7 dan in terval kelahiran a tau j angka waktu an tara satu kelahiran dengan ke1ahiran berilrutnya sekitar 12-13 b]l lan.
Pada akhir tahun pengelolaan, 90% sapi betina
lam ke10mpoknya telah bunting atau beranak;
di da-
jadi seharusnya
hanya 10% yang infertil dan 2,5% steril yang harus di singkirkan dari kelompok tema k betina. Achmad (1983) mengutip pernyataan Arthur (1978) bahwa problema infertili tas pada sapi di tandai interval beranak lebih dari 400 hari, interval antara beranak dengan terjadi nya konsepsi ber'iJrut lebih 120 hari, tingkat konsepsi yang kurang dari 50% serta service per konsepsi berikutnya lebih besar dari 2.
Infertilitas karena komplikasi setelah
ber~
anal, sering dj.sebablmn oleh retensi plasenta atau metritis Achmad, 1983 ). Sebagian
besar kegagalan reproduksi disebabkan oleh
gangguan fungsional
( Nara et al., 1972).
Hal ini diseba£
kan 01 eh ketidaks eimbangan hormonal, kausa nu trisional dan kausa kongeni tal /heredi tel'.
Masalah ini dapa t didiagno sis
secara praktis di lapangan melalui eksplorasi rektal lihere, 1983 ).
( Toe-
Kegagalan reproduksi adalah hasil interak-
si berbagai kausa komplek dan sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama manajemen dan pemberian rna kanan yang buruk dan lcurangnya peranan dokter hewan dalam menangan i
berbagai p enyaki t repro dulcsi ( To elihere, 1983 ).
Infertilitas kerena f8J{tor makanan dapat berupa kelru rangan makanan, lcelaparan/inasiasi, obesi tas, defisiensi vi
20 tamin atau mineral ( Toelihere, 1981 ).
Menurut Djojosuda,£
mo dan Partodihardjo (1978) bahwa kegagalan reproduksi da pat diklasif'ikasikan menjadi 3 pokok yaitu f'aktor pengelol.§. an, f'aktor in tern he\oJan, dan f'a\{tor lain yang bersif'at aksi den (kecela\wan).
F'aktoy· intern hevian dapat dibeda-bedakan
menjadi bebel'apa segi yai tu kelainan bentuk anatomi, kelai!2 an fungsi endokrin dan segi penyaki t. Toelihere(1981a) menyatakan bahwa gangguan hormonal d.§. pat meliputi ova ria yang sistik, kegagalan berahi atau ane.§. trus, kawin berulang karena kegagalan ovulasi, kegagalan p embuahan dan kema tian embrional.
Anestrus dapa t di bagi
dua yaitu anestrus dengan corpus luteum (CL) yang normal s~ perti kegagalan berahi karena kebuntingan, corpus luteum persisten (eLP), subestru atau silent heat, berahi yang tidak diamati; dan anestrus tanpa CL seperti subestrus, anestrus karena kelemahan atau penurunan berat badan, dei'isiensi mskanan, penyakit-penyakit kronik dan melemahkan, senili tas, iklim, ovarium yang sisti!c dan kondisi lain seperti hi pofungsi.ovarium, hipoplasia ovari !congenital, i'reemartin, tumor ovarium dan gangguan pada hipoi'isis. Anestrus yang berhubungan dengan patologi uterus dan CL yang i'ungsional atau kebuntingan, mungkin disebabkan kegagalan pelepassn bahan luteolitik dari endometrium ( Gin ther, 1968 dalam Toelihere, 1981a).
Apabila CL menetap sa!!!
pai beberapu bulan, CL tersebut akan terletak sentral pada ovarium dan mskin sulit didiagnosis.
11enurut Kidder et
&.
(1952) bershi tensng terjadi 44,3% selama 60 hsri post oartum dan hanya 11% antal's 60 dan 308 hari.
21 Gangwar et E.,l. (1965) menunjukkan bahwa pada sapi-sapi dara yang ditempatkan dalam lnmdang bersuhu 24-35 0 C lama periode estrus hanya 11 jam dibanding dengan 20 jam pada sg hu 17 -
18°C.
Dibawah stress panas insidenanestrus menca-
pai 30% dibandingkan dengan hanya 7 - 8% bila tanpa stress panas. Ovarium yang sisti!c merupakan !causa utama infertilitas pada sapi perah, dan hampir 25% sapi yang ngadat dalam reproduksi mengandung ovari.um yimg sistik ( Toelihere, 1981a). Sebab dasar ova ria yang sistik adalah kegagalan hipofisis dalam melepaskan jurnlah LH yang cukup untuk menyebabkan ovg lasi dan pengembangan corptis luteum. Sebab-sebab kawin berulang dapat dibagi dalam dua kelompolc yai tu kegagalan fertili tas dan kematian embrio dini ( Casida, 1961 dalarn 1'oelihere, 1981a).
Menurut Roberts,
(1971) bahwa kawin berulang akibat patologik dan manajerial seperti lcelainan anatomik saluran reprodulcsi yang bersi fat kongenital/genetik, kelainan ova atau sperma atau em brio muda yang bersifat kongenital, proses perbarahan meng lar atau traumatik, gangguan hormonal dan defisiensi nutri sional. Kejadian kawin berulang terendah pada sapi dara(5,2%). dan meningkat rnenjadi 13,3% pada sapi tua yang berumur 9 tahun atau lebih ( Hewett, 1968 dalam
Toelihere,1981a
).
Kema tian embrio dini pada sapi yang kawin berulang men capai 28,5% (Old, 1969 dalam 'l'oelihere, 1981 a ) . Bishop (1979) sebagian besar l{ematian embrional dis§. babkan oleh faktor-faktor genetik.
Kebanyakan kematian
22 embrional dini terjadi segera sesudah 16 hari masa kebuntinE an ( Hawk et al., 1955 dalam Toelihere, 1981a). Faktor-faktor herediter penyebab sterilitas atau infertilitas dapat dibagi atas bentuk-bentuk yang menghasilkan d.§, fek anatomik terhadap organ reproduksi dan bentuk yang ku rang jelas dan sulit ditentukan.
Defek herediter biasanya'
disebabl{an oleh pengaruh satu gene autosomal tunggal dengan penetrasi yang kurang lengkap dan aplasia segmentalis ductus Mulleri atau 'white heifer disease' adalah suatu defek genetik yang berhubungan dengan warna putih terutama terdapat
p~
da sapi Shorthon dan keturunannya ( Toelihere, 1981a). Kelakuan berahi pada sapi mungkin bersifat genetik, misalnya berahi yang 1 emah a tau berahi tenang.
Inbreeding
atau silang dalam umumnya menyebabkan penurunan kesuburan,t.§, tapi derajat infertilitas tergontung pada pejantan yang dip~ kai, sedang cross breeding dapat mempertinggi kesuburan pada ternak ( To elihere, 1981a). Sebah-sebab patologik infertilitas atau sterilitas akibat trauma/infeksi atau keduanya yang umumnya diperoleh pada waktu atau sesudah beranak.
Kadang-kadang ditemukan tumor
pada organ reproduksi yang dapat menyebabkan infertilitas. Keadaan patologi tersebut dapot berupa patologi ovarium (tg mor, ovaritis, siste parovarial); patologi saluran telur ( salpingitis, hydrosalpinx, pyosalpinx); patologi uterus (en dometritis, pyometra, perimetritis, parametritis, mukometra atau hydrometra, abses pada dinding uterus, dan metritis
('l
sklerotik atau tumor utepus); patologi cervix (cervicitis, siste pada cervix); patologi vagina (vaginitis, siste dan
23 tumor); dan patologi vestibulum/vulva (vestibulitis, vulvitis, sista vestibular dan tumor vulva) ( Toelihere, 1981 a ). Kegagalan reproduksi akibat penyakit dapat disebabkan oleh kuman, virus, protozooa dan berbagai infeksi jasad renik campuran.
Kegagalan reprodul(si yang sangat nyata akibat
kausa kuman ialah abortus(kelahiran fetus sebelum waktunya) ( Djojosudarmo dan partidihardjo, 1978).
Kuman-kuman ter-
sebut merupakRn kausa penyakit brucellosis, Vibriosis, leptospirosis, listerosis dan sebagainya. Brucellosis yang disebabkan oleh Brucella abortus Bang penularannya melalui rute alat pencernaan dan masuk pereda:.'", ran darah dan bermanifestasi di alat reproduksi. dapa t
juga melalui koi tus, tetapi j arang terj adio
Penularan Vi brio -
sis disebabkan oleh Vibrio fetus veneralis yang disebarkan malalui jalan perkawinan atau inseminasi buatan (IB) menyebabkan abortus pada kebuntingan dua sampai enam bulan. Leptospirosis akibat
1..
pomona dan
1..
canicola dengan
simptom warna urine yang merah hi tam sampai seperti kecap. Listerosis yang disebabkan Listeria monocytogenes dapat menyebabkan abortus pada segala umur kebuntingan tetapi biasa pada ke bun tingan 4 bulan kea ta s.
Tuberkulosi s dengan tube.!:
kel dapat tumbuh dalam mukosa uterus, cervix, vagina, tuba fallopi atau ovarium.
Escherichia coli, Corynebacterium
pyogenes, Strep toco ccus 32"
dan Staphylococcus sp, bukanlah
penyebab infertili tas yang bersifat enzootik. Kegagalan reprodu1(si yang terjadi akiba t virus umumnya bersifat sekunder.
Kalau ada kejadian abortus umumnya
dis~
24 babkan karena fibris tinggi dan setelah hewan normal alat reproduksinya baik kembali( Djojosudarmo et al., 1978 ). EAE ( Enzootic Abortion
Of
EVie ) dan EEA
( Enzootic Bovine
Abortion) menyebabkan abortus secara enzootik.
Bedanya
EAE menyerang kal'lanan domba sedang EEA menyerang kawanan pi.
Gejala penyakit berupa plasentitis terlihat adanya
cak-bercak yang jika diperiksa secara mikroskopis akan mukan inclusion bodies, terutama pada EEA.
s~
be~
dit~
Virus IPV ( In-
fectious Pustular Vul vovagini tis ) a tau IBR ( Infectious Bo vin e Rhino tra che tis ) menyerang semua sapi baik jantan a tau betina tua dan muda. Epivag adalah nama singkatan dari Specific Bovine Vene ~
Epididymi tis and Vagini tis artinya penyaki t ini berma,'-
nifestasi dalam epididymis dan vagina, di tularkan melaui h)d bungan kelamin.
Peradangan yang terjadi menjalar dari vagi
na ke cervix, uterus, tuba Fallopi dan 25% dari sapi dalam kawanan yang terserang pada umumnya menjadi steril secara permanen ( Djojosudarmo et
~.,
1978).
GVD ( Granular Ve-
nereal Disease) tidak menyebabkan sterili tas
tetapi dapat
membuka jalan bagi infeksi jasad renik lain untuk menyebabkan radang di vagina dan penis.
Virus Diarrheae sangat me-
nular dan mudah menyebabkan sakit dengan morbidity rate tinggi (sampai 100%) tapi angka kematian rendah (mortality rate 4-8%) serta yang bunting mudah mengalami keguguran ( Djojosudarmo et al., 1978).
Diagnosis yang sangat berde-
ka tan ialah Hinderpest( dalam hal mortality dan morbidi ty rate) dan Coriza Gangrenosa Bovis.
25 Kegagalan reproduksi yang disebabkan oleh protozooa; teru tama tri chomonas dan toxoplasma ( Djojosudarmo et ~., 1978 ).
Trichomoniasis disebablwn oleh Trichomonas fetus,
protozooa dengan bentulmya mirip ikan sepat menyebabkan abortus puda lcebuntingan
dibawah Umur 4 bulan sedangkan
pada kebuntingan 4 bulan atau lebih jarang terjadi.
Bila
kebuntingan telah mencapai 6 bulan l{eatas anak selamat sam pai lahir normal. alami.
Penyebarannya melalui perkawinan secara
Pada sapi betina 'l'richomonas fetus di temukan dalam
vagina, cervix dan isi uterus sedang pada heHan jantan pada mukosa penis, preputium dan terbanyak di daerah fornix. Toxoplasmosis akibat 'I'oxoplasms gondii dapat ditemukan pada dinding uterus dan plasenta setelah sapi mengabortuskan ka£ dungan. Sekali-kal i didapa tkan keja dian abortus yang tidak disebabkan oleh sesuatu penyakit, namun dari plasenta yang menderita placentitis dapat dilihat dan diasingkan sejenis jamur.
Mucormycosis adalah penyakit jamur yang disebabkan
Rhizopus, Absidis dan l'1ucor menyebabkan abortus pada kebu£ tingan 3-7 bulan ( Djojosudarmo
rt
a1., 1978 ).
losis disebabkan oleh Aspergillus fumigatus
Aspergil-
( genus parasit
Aspergillus) menyerang hampir semua jenis hewan dan manusia, sering ditemukan pada kejadian abortus pada kuda dan sapi.
III.
METODE PENGAMBILAN DATA
I:a ta untuk penulisan skripsi ini dikumpl11kan dari Ka bu paten I:aerah Tingkat II Cirebon selama masa praktek daerah pada bulan Juli 1986.
I:ata tersebut terdiri dari data pri-
mer dan da ta skun der. I:ata primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan peternak sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang lah disusun dalam kuesioner.
t~
Pertanyaan-pertanyaan terse -
but berguna untuk mendapatkan keterangan mengenai identitas peternak, tehnik beternak, kawin alam, inseminasi bUatan
p~
da ternak dan anamnese terhadap gangguan reproduksi ternak. Wawancara dilakukan pada peternak yang dipilih secara acak dan tersebar di tiga kecamatan yaitu Waled, Babakan. Ciledug ( I:aerah Kewedanan Ciledug ).
Pertimbangan yang
eli
pergunakan adalah seluruh responden petani peternak diberi bobot nilai 100% a tau mempunyai bobot nilai lebih 100%., '. Bobot nilai 100% dipergunakan apabila setiap responden hanya mempunyai satu pilihan dari banyak pilihan yang diberikan untuk satu kri terium, lebih darE 10096,dipergunakan u!l tuk setiap responden yang diperbolehkan memilih lebih dari satu pilihan atau keseluruhan pilihan dari banyaknya pilihan yang diberikan untuk satu kriterium. ( Tabel lampiral) 5-
4 dan.B: )". Sumber data skunder adalah Lap9ran Tahunan Dinas
Pete~
nakan Kabupaten Cirebon tahun 1983 sampai tahun 1985 berupa keadaan umum, perkembangan peternakan, pembinaan usaha
pe~
ni ternak, pengamanan ternak dan produksi peternakannya.
IV.
RASIL
Keadaan Umum ])l.erah 'I'ingkat II Cirebon raerah Tingkat II Cirebon merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat bagian utara yang terl etak pada
_ 7° Lin tang Sel a-
108°40' - 108°48' Bujur Timur Luas wilayah 948,39 km
tan.
2
terdiri dari 6
~Iilayah
pemban
tu bupati serat 21 kecamatan dan 2 wilayah perwakilan kecamatan dan secara keseluruhan meliputi 204 desa. Letak ketinggian dari permukaan laut antara 0 - 103 m, mempunyai iklim tropis dengan suhu rata-rata antara 28 samg
pai 33 C dan curah hujan !
1952 mm per tahun.
Jumlah penduduk di Ka bupa ten Cirebon 1. 408.337 jiwa
(1985). Hata pencaharian penduduk beragam mencakup pengusaha, petani, nelayan tumooak, peternak, dan pegawai negeri; atau sektor lain seperti industri/kerajinan. Penggunaan lahan yang ada di Kabupaten Cirebon dapat diliha t dalam Ta bel S. Ta bel 5.
Penggunaan lahan di Ka bupa ten Ci rebon tahun 1985
Peman faa tan lahan
Luas ( ha )
Pemanfaatan lahan
Pekarangan
14.041
Tambak
Luas (ha )
1.263
Tegal ;Kebun
5.738,058
Penggembalaan
La dang
1.404,411
KolamjErnpang
1.517,19
637,618
Hutan Negara
2.232
Rutan Rakyat;Kayu-kayu
661,7
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dalam Dinas Peter nakan Kabupaten IATI II Cirebon 1985
28
l'erkembangan Peternakan RLlminansia Besar di Kabupaten D'lTI II Cirebon Populasi ternak tahun 1985 dapat dikatakan mengalami p eningka tan, meskipun ada ternak yang populasinya menurun seperti sapi perah (Tabel 6). Ta bel 6.
Populasi 'l'ernak Ruminansia Besar di Ka bupaten Cirebon tahun 1983 - 1985
Jenis ternak
Kuda sapi perah Sapi potong Kerbau
Jumlah dalam ekor ( tahun) 1983 1984 1985 429
450
448
1.458
1.180
1 .116
224
112
149
15.694
17.767
18.430
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Cirebon, 1985. Pembinaan Us aha Petani Ternak Ternak nagara yang ada di Kabupaten Cirebon adalah: (1).
Ternal{ bantuan Presiden (Banpres) Ternak bantuan Presiden ada tiga jenis yai tu sapi Peranakan Ongole(PO) disebarkan tahun 1977 berjumlah 50 ekor, sapi Drougt Master disebarkan tahun 1978 berju!!!. lah 40 ekor dan sapi Brahman disebarkan tahun 1978
s~
ban yak 12 ekor. (2).
Ternak pengembangan usaha sapi perah (PUSP) Ternak ini merupakan salah satu proyek pemerintah dalam proyek persusuan.
Pelaksanaan proyek PUSP di Ka-
bupaten Cirebon sejak 1981/1982 terdiri 3tahapan deng an jumlah keseluruhan ada 580 ekor.
Jumlah akhir ta-
29 .\1.un. 1983/1984 a!;la 527 ekor dan 1985 ada 658 e1&:or •.
(3).
Ternak Gabunean Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Temak ini merupakan sapi perah kredi t yang berasal dari koperasi yang disalurkan melalui GKSI. sebut disebarkan pertama kali
Sapi tel:
tahun 1981 (25 April),
jumlah keseluruhannya sampai droping ketiga ada 350 ekor.
pada akhir tahun 1983/84 ada 294 dengan jumlah
keturunan 489 ekor. (4).
Ternak" Crash Program" l1erupakanternak sapi dengan tipe dwiguna yai tu sapi Sahiwal Cross.
Jumlah droping pertama kali ada 130
ekor, pada akhir tahun 1983/1984 ada 123 ekor dengan keturunan sebanyak 46 ekor tetapi 28 ekor disebarkan lagi dan pada tahun 1985 ada 120 ekor. Perkembangan sapi-sapi gabungan koperasi susu Indonesia, pengembangan usaha sapi perah(PUSP) dan sapi Crash Program tertera pada Tabel 7 Tabel
"f..
Program
dan Gambar Lampiran 1.
Daf'tar perkembangan sapi perah (GKSI, PUSP, Crash Program) di Kabupaten Cirebon tahun 1985
Jumlah petemak (orang)
Jumlah Droping (ekor)
Perkembangan lLahir Mati (ekor) (ekor)
GKSI
178
350
178
190
PUSP
97
580
362
284
130
130
109
119
Crash Program
Sumber: Dinas Petemakan Kabupaten Cireblim, 1985.
30 Dari )l:eseluruhan respondenjpetani ternak sapi perah (100%), pekerjaan utama mereka yaitu 90% bertani; 26,7% berdagang; pegawai negeri 26,7% dan pamong desa 6,7%.
P~
ternakan sapi perah tersebut ada yang dimulai tahun 1979 (6,7%), tahun 1982 (50%), tahun 1983 (23,3%), tahun 1984 ( 6,7 %), dan tahun 1985 (1 6,7 %) • Tujuan berternak sapi perah ,'pada
ttmumnya
untuk diam.,
bil susunya (100%), untuk ternak potong (43,3%) dan 6,7% untuk diambil pupuknya. ~upakan
Status pemilikan ternak 93,3% me-
milik s endiri dan 6,7% adalah ti tipan.
Kemauan.,
berternak sapi perah 83,3% atas inisiatif sendiri; 10% kar. na ikut-ikutan dan 6,7% karena mendapat himbauan orang.' Bentuk kandang yang dibangun peternak 60% bersifat s~ mi permanen; 26,7% bersifat sederhana dan 13,3% bersifat kandang permanen. Tingkat pendidikan formal peternak 50% SD; 109t\'-SLTP; 16,7% SLA;'6,7%'pernah m'endudtlki Jenjang pergtiruiin, tingg:j. sedangkan .16,7%'. tidak'perpah bersekolah., .. ])3.lam ma salah tehnik berternak 93,3% cara berternak dengan sistim dikandangkan terus menerus (intensif) dan
h~
nya 6,7% dikandangkan sore sampai pagi, siang dilepas (semi intensif).
Dari sejumlah ternak sapi perah pada waktu
p enca cahan memiliki variasi 8,3% j an tan dan 11,4% betina ( pedet lebih kecil atau sarna dengan 1 tahun); 15,2% betina muda (1 - 3 tahun); 55,396 betina dewasa dan 9.8% jantan d&, wasa (3 - 8 tahun).
Mengenai tingkat kesuburan ternak:
73,3% sapi beranak un tuk pertama kali pada umur 2-3 tahun
31 33,3% pada umur 3-4 tahun dan 6,7% pada umur 4-5 tahun. Dari semua responden
menga talcan sapi betina dewasa yang
beranak satu kali dalam satu sampai dua tahun (23,3%); pernah beranalc tetapi sudah dua tahun tidak beranak lagi(26,7%) dan 6,7% betina dewasa belum pernah beranak sama selcali. Adapun pengenalan tanda-tanda berahi pada sapi perah oleh peternak yang sis tim pemeliharaannya secara intensif umumnya sudah paham yaitu 100% menyatakan sapinya terlihat gelisah, menguak-nguak; keluar lendir jernih, lengket, te ~ng
tembus dari alat kelamin.
Sedangkan tanda berahi yang
bersifat kurang nafsu makan, produksi susu turun dan alat kelamin bagian luar (vulva) bengkak, merah dan hangat ,ada 93,3% dari responden.
Pada peternakan yang semi intensif
(6,7%) mengenali tanda-tanda berahi pada sapinya dengan gejala menaiki hewan lain atau diam saja bi:l!a dinaiki baik oleh jantan atau betina. Sebanyak 56,7% responden menyatakan ballwa lama tandatanda berahi sapi p erah berlangsung 12 jam; 33, 3%menya tal'.'" kan berlangsung 20 jam dan 10% berpendapat selama 26 jam ( pengamatan dimulai pada pagi hari). Cara yang dipakai peternak dalam men,gawinkan sapinya 93,3% melalui kawin suntik dan 26,7% kawin alamo
Responden
yang menya takan perkawinan alam; 27,2% P ej an tan yang diguna:" kan adalah milik sendiri; 27,2% menyewa pejantan orang lain dan 18,1% pejantannya milik dinas peternakan.
Keseluruhan..,
nya menyatakan bahwa cara mengawinkannya dengan menggiring p ej an tan ke tempa t betina.
32 Inseminasi l3uatan pada sapi perah mulai dilaksanakan di Kabupaten D1erah Tingkat II Cirebon sekitar tahun 1980 Jumlah akseptor clan closis IE meningkat clari tahun ke tahun ( Ta bel 8 clan 9 ). Tabel 8.
Hasil IE pada sapi perah di Kecamatan Waled, Babakan dan Ciledug ( Kabupaten Cirebon ) tahun 1985/1986.
Jumlah akseptor 113
Triwulan
113 ke
I
III
IV(Jan-Mar'85) 279 211 I
215
48
16
1,32
177
27
'7
1,20
II 159 III 135 IV(Jan-Mar'86) 136
139
17 31 18
3
1,16
7 9
1,33 1,27
97 109
CR
SIC
II
%)
(
74 80,'7 85.3 75,3 80
Sumber: Insemina tor Kewedanan Ciledug, 1986. Tabel 9.
Tahun
Hasil IE pa,da sapi di Ka bupa ten Cirebon
Target (dosis)
Jumlah akseptor
1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983.-/1984
600 1000 2000 2000
250 674 1000 1500
1984/1985
2500
1200
Triwulan
akseptor I
I (Apr-Jun'85) 483 II 395 III 379 IV(Jan-Mar'86) 376
355 338 230 264
215 506 1650 2000
113 ke II III
97 45 100 51
Dosis yang dicapai
31 12 41 47
SIC 'IV 8 12
CR
( %l
1,33 1,20 1,55 1 , 51
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Cirebon 1984 -1985.
74 84,7 60,3 69
33 Peternak sapi perah (responden); 93,3% sudah mendenga l' istilah atau pengertian kawin suntik pada sapi; 90% mereka mendengar dari dinas peternakan; 10% mendengar dari ternan:; 6,7% dari kontak tani dan 6,7% dari siaran pedesaan.
J::ari
93,396 peternak tersebut sudah mengikutsertakan sapinya da lam program lB. Sebanyak 73·,')% responden menyatakan apabila terlihat tanda-tanda berahi pada pagi hari langsung melaporkan pada p etugas pa da saa t i tu juga dan 26,7% melaporkannya baru pada siang a tau sore harinya.
Seperti hal diatas bila tanda-
tanda berahi terlihat pada sore hari.
Apabila sapi terlihat
berahi pada pagi hari dan melaporkannya langsung, sapi gikawinkan pada siang atau sore harinya (83,3%) dan 16,7% menyatakan dikawinkan pada besok paginya.
Apabila sapi terlihat
tanda-tanda berahi pada sore hari dan langsung melaporkan, sapi dikawinkan pada besok paginya (100%).
Seratus persen
melaporkan sapi yang berahi kepada,inseminator; 26,7% bisa juga pada mantri hewan atau pada kontak tani (6,796). J::alam hal frekwensi pelaksanaan 15 sampai bunting ada 43,3% menyatakan dua kali; 26,7% satu kali; 16,796 tiga kali dan 13,396 menyatakan lebih dari tiga kali.
Kalau sapi tidak
bunting setelah dikawinkan, responden menya'takan bahwa tan da-tanda berahi akan terulang lagi 3.minggu berikutnya(73,3% atau 2 minggu berikutnya (10%) atau 4minggu berikutnya(10%) atau 5 minggu berikutnya (6,7%).
Perkawinan pertama dilaku-
kan pada induk apabila anaknya sudah berumur 2 bulan (73,3%) a tau 3 bulan (26,7%).
34 Tabel 10.
Hasil Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) pada sapi di Ka bupa ten D'l. TI II Cirebon
Jumlah IB (dosis)
Tahun
Hasil PKB Posi tip Nega tip
1980/1981
215
100
115
1981/1982
506
147
359
1982/1983
1650
Ei20
1030
1983/1984
2000
850
1150
1984/1985 Triwulan ke I (Kpril-Juni' 8 5)
392
II
125 163
79 101
46 62
III
189
143
46
IV (Jan - Mar'86)
129
89
40
Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Cirebon 1984-1985. Tabel 11.
Tahun
Jumlah kelahiran sapi di Kabupaten Cirebon
Bunting ( + )
Lahir
Jantan
Betina
1980/1981
100
50
30
20
1981/1982
147
93
63
30
1982/1983 1983/1984 1984/1985 Triwulan ke I (Apr';"Jun'85) II III IV April, Mei'86
620
11 34 53 16 23
9 27 45 22 22
850 392
389 161
26 101 143 89 53
20 61 98 38 45
Sumber: Dinas Peternakan Kabupa ten Cirebon 1984-1985.
35 Alasan peternak dengan dipakainya IB 90% ber'pendapat m)l rah atau menguntungkan dan praktis (60%).
Jumlah kelahiran
selama sa tu tahun yang lalu baik dengan kawin alam a tau IB 6,8% dari jumlah populasi adalah jantan, dan 17,9% betina. Jumlah kema tian selama sa tu tahun 1,5% dari jumlah popula si karena keguguran dan 2,3% mati muda. Kasus-kasus reproduksi dan kebidanan banyak ditemukan pada sapi perah peternak ( Tabel 12 ). Tabel 12.
Diagnosis Kasus Reproduksi dan Kebidanan pada Sapi Perah tahun 1985/1986 di Kabupaten Cirebon.
Diagnosis Hipofungsi ovarium CLP ,lperiodik
Jumlah yang menderita ( ekor)
4
Metri tis
115 18
Aspesifik
123
Siste ovarium Jumlah
49 309
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Cirebon, 1986. Dari keseluruhan responden 16,7% sapi miliknya pernah mengalami abortus pada awal kebuntingan dan 11,1 % abortus p!:.. da akhir kebuntingan.
Masalah retensio secundinae pada sapi
milik responden seki tar 44,4% pernah terjadi.
Sebanyak 60%
peternak menyatakan kalau ada berahi sesudah kelahiran terakhir, interval antara kelahiran terakhir dan munculnya
ber~
hi pertama lebih dari aatu bulan dan 40% menyatakan kurang dari sa tu bulan.
36 Pengamanan Ternak Kegia tan yang dila lrukan dalam pencegahan dan pemberan ta.§. an penyaki t adalah vaksinasi dengan metode yang disesuaikan terha dap sif'a t timbulnya penya ki t hewan menular, misaInya si.§. tern 'crash program' bila penyakit bersif'at enzootik, dan sistern ring vaksinasi untuk penyaki t Ngorok (SE) serta Anthrax. Pengama tan penyaki t hewan menular dilakukan dengan jalan pemeriksaan kesehatan hewan ( Gambar 2 ). dilakukan di pos 'check point'
Penolakan penyakit
terhadap ternak yang masuk ke
daerah Kabupaten Girebbn. Jumlah kasus penyakit di daerah tersebut yang banyak di temukan pada ternak sapi antara lain masti tis, infeksi dan timpani ( Lampiran S ).
Kegia tan da lam bidang keseha tan ma-
syarakat veteriner meliputi pemberantasan penyakit zoonosis, kesehatan daging dan kesehatan susu. Produksi PeternakFln Komodi ti ternak seperti daging dan susu selama tiga tahun terakhir di Kabupaten Girebon terlihat pada Tabel 13. Tabel 13.
Jenis komodi ti
])3. ging
Susu
(kg) (Ii ter)
Produksi komoditi daging sapi dan susu di Kabupaten ffiTI II Girebon 1983 - 1985.
1983 29.095 1.018.479
Produksi tahun 1984 36.210 1.074.012
1985 44.540 1 .051 .200
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Girebon,1986. Kebutuhan makanan ternak dipenuhi dari pengadaan hijauan, dan pengolahan limbah pertanian yang melimpah.
V.
PEMPAHASAN
Sebagaimana daerah lndonesia 1ainnya, Kabupaten Cirebon mempunyai iklim tropis dengan suhu rata-rata 28-33°C. Curah hujan
+
1.952 mm per tahun.
Lua s da erah 948,39
km 2 , berpenduduk 1.408.337 jiwa (1985).
I:ar'i sebagian be-
sal' responden, selain sebagai petani peternak sapi perah, mereka juga bertani. te.-re. ta 5-8
Us aha peternakannya mereka memil:ilki ra
ekor sapi, umumnya dikerjakan 01 eh mereka
sendiri;keluarga. I:apat di]wtakan beternak sapi perah merupakan mata pencaharian tarnbahan guna meningkatkan pendapatan per ]wpi tanya.
Peternak sapi perah di daerah terse-
but mulai dirintis tahun 1979. Tujuan ut(!ma . usaha beternak sapi perah tersebut pada umumnya un tuk dimanfaa tItan susunya, tetapi aapa t, aeka1igua dipergt.makan pada saat-saat kritis butuh uang dengan menjual ternak tersebut, sedang nupu]{ dianggap sebagai hasil sampingan. Seorang peternak ada yang sekaligus memiliki sapi perah dari KUD dan PUSP; dari KUD.
tetapi umumnwa mereka mempero1ehnya
Sejak tahun 1981/1982 dengan adanya pelaksanaan
"Proyek PUSP dan GKSI melalui KUD maka banyak peternak yang memelihara sapi perah atas kemauan seridiri, dan sebagianya dipengaruhi peternak lain.
Jadi pengembangan sapi perah
di daerah Kabupaten Cirebon melalui
~~ga
jatur : GKSI/KUD,
PUSP dan Crash Programe. Peternak mengambil pendidikan formal dan informal.
38 Pendidikan formal terbanyak hanya tingkatan SD, tetapi ada sebagian kecil sudah pernah kuliah di perguruan Tingka tan
tinggi.
pendi dikan yang rendah ini akan menyuli tkan
mer~
ka un tuk men erima inovasi baru, umumnya mereka hanya menco!1. toh yang dilakukan oleh orangtuanya.
Dengan berbekal pendi
dikan informal yang banyak, haJ tersebut akan menunjang us.!!. ha peternakannya.
Sumber pendidikan informal adalah penyu-
luhan dari Dinas Peternakan, kursus atau pengalaman keluarga terdeka t. Hampir 100% cara beternaknya dilakukan secara intensif dan pada umumnya kandangnya bersifat semipermanen.
Delam
bidang manajemen mereka masih kurang memperhatikan, Qdsalnya tatalaksana kandang, pembuangan kotoran sapi dan salurannya dan air.
Hal tersebut jalas terlihat dengan tingginya kasus
mastitis di tahun 1984.
Faktor makanan juga kurang mendapat
perhatian baik hal tersebut ditinjau dari komposisi, kuantitas dan kualitas :
misalnya hijauan tanpa penambahan konsen-
trat sebagai penguat, vitamin dan mineral.
Limbah pertanian
teru tama pucuk tebu yang bera sal dari Perkebunan Inti Rakya t hanya diberikan dalam bentuk segar. an
frek~ensi
Hal ini perlu peningkaj;.
pendidikan informal terutama dalam hal pengolah
an limbah pertanian yang melimpah, tatalaksana kandang yang baik dan pemanfaat!m kotoran sapi sebagai pupuk atau gas bio sa bagai bahan tambahan makanan ternak.
Ca ra yang paling ef-
fisien memberikan penerangan pada peternak dengan jalan de tang ke l'umah atau turuthadir di saat-saat ada:pertel1lUap. Selama tahun 1983 -
1985 populasi sapi perah mengalami
39 penurunan, banyak f'aktor yang mempengaruhi seperti kasus p&. nyaki t masti tis di tambah nilai SIC
atau rrilai CR (%).
Hal
ini menyebabkan peternak merasa dirugikan sehingga mereka menjual sapinya saja
terlebih-lebih bila ada kebutuhan da-
na mendesak misalnya untuk membiayai sekolah anak, ataupun tingginya angka kema tian ternak di banding angka kelahiran. Hal tersebut perlu peningkatan pelayanan kesehatan dan lB. Sapi-sapi yang sampai di tangan peternak umumnya sudah siap kawin, ra ta-ra ta p ertama tahun dan hal
kali beranak pada umur 2-3
ini dianggap tingl{S t kesuburan ternak baik.
Responden umumnya sudah men genal tanda-tanda berahi pada
s~
pi seperti geliseh, menguak, kurang naf'su meken, produksi susu turun, dari alat kelamin bagian luar tampak bengkak, merah, hangat dan basah atau keluar lendir yang kental dan transparan. Menurut para peternak lamanya berahi pada sapi perah umumnya 12 jam, tetapi 33,3% berpendapat sekitar 20 jam. Bissanya sulit untuk mengetahui timbulnya berahi pertama, sehingga jangka Haktu tersebut hanya diperldraRan. Sebagian besar cara yang dipakai dalam mengawinkan sapi nya dengan IB, a,lasan mereka umumnya murah dan menguntungkan. Istilah IB didapat dari Dinas Peternakan.
Bila sapinya be-
rahi pada pagi hari, peternak langsung melapor pada petugasl insemina tor ,kemu.dian ai IB' siang' a tau sore hariJ.
P~rmasa
lahan IB dan prosedurnya umumnya peternak sudah memahami. Service per concept jon atau jumlah inseminasi per kebun tingen (SIC) sapi perah responden berkisar antara
2-3.
SIC yang baik berkisar 1,3-1,7, ini tergan tung dari ketram-
pilan inseminator, kesuburan ternak serta faktor lingkungan. Pemeriksaan kebuntingan dHakukan 2-3 bulan dari awal IB, bila hal tersebut 3 minggu setelah perkawinan tidak memperlihatkan tanda berahi. Ternyata siklus berahi sapi sudah diketahui oleh peter nak, menurut mereka siklus berahi selama
3 minggu (jika se-
telah di\mwinkan ternya ta sapi tidak bunting, maka tanda rahi akan timbul 3 minggu kemudian).
Jika pada waktu
b~
ters~
but tidak berahi mereka mengira sapinya bunting. Perkawinan pertama dilakukan pada induk apabila anaknya sudah berumur aua a tau tiga bulan..
Ke:adaau.
~tersebu t
sesuai
dengan proses in volusinya uterus dan berguna memp erbesar konsepsi rate untuk pengembangan sapi ke arah lebih baik. Sebagian petemak mempergunakan
ka~1in
alam dengan pejantan
milik sendiri atau menyewa; alasan mereka karena sudah ~h IE 4 kali belum juga bunting, dan \mwin alam nilai SIC nya baik (. sa tu sampai dua ).
Kasus-kasus reproduksi menurut responden antara lain keguguran (pada awal a tau akhir kebun tingan) dan retensio secundinae.
I\egagalan reproduksi karena hewan gagal bere-
produksi biasanya tidak segera mendapat perhatian dari petemak, sebab kenyataannya yang gagal. bereproduksi masih produktif dalam bidang lain seperti susu, pupuk atau daging dan yang lebih parah lagi seHaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi keperluan mendadak.
Basalah ini tidak sebesar
k~
rugian akibat wabah penyakit yang menyebabkan kematian. Asdell (1955) melakukan taksirannya bahHa di seluruh
41 Amerika Serika t kerugian yang dideri ta oleh peternak sapi karena kegagalan reproduksi sekitar 250 juta dollar per hunnya.
t~
Fal{tor lingkungan seperti kekeringan, kurang rum-
pu t, kurang mineral akan berpengaruh pada nilai S/C ( faktor tidak langsung ), sedangkan faktor langsung terdapat pada tubuh hewan sendiri misalnya hipofungsi ovarium, corpus luteum persisten (CLP), metritis atau siste ovarium yang diakibatkan oleh kausa hormonal dan tata laksana. Hal ini perlu penanganan/terapi dengan pemberian obat berupa harmon atau antibiotik pada metritis (gangguan faktor langsung).
Jadi didalam penanganan masalah reproduksi di-
perlukan keterpaduan antara faktor intern (hewan) dan faktor lingkungan.
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil kuisioner dan data dari Dinas PeteE nakan Kabupaten I/I.TI II Cirebon serta ditunjang oleh studi pustaka yang telah dilalmkan untuk penyusunan skripsi ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Usaha peternakan sapi perah di daerah Kabupaten Cirebon umumnya bersifat peternakan rakyat," setiap petani peternak rata-rata mempunyai 4-8 ekor sapi dan biasanya dikerjakan oleh mereka sendiri/keluarga.
2.
Peternakan sapi perah tersebut sudah mulai dirintis sejak tahun
1979 dan tujuan utama berternak umumnya
untuk diambil susunya.
Peternakan tersebut bukanlah
sebagai pekerjaan utama mereka.
3.
Pengembangan sapi perah di Kabupaten Cirebon melalui tiga jalur yaitu GKSI/KUD, PUSP, dan Crash Program.
4.
Peternak umumnya memiliki pendidikan formal dan infoE mal.
Pendidikan formal terbanyak hanya sampai tingkat
Sekolah Dasar.
5.
Hampir 100% cara berternalmya dilakukan secare inten8i f dengan ben tuk kandang yang umumnya semi p ermanen.
6.
Dalam bidang manajemen, mereka masih kurang memperhati kan, baik tata laksana kandang, faktor makanan dan pemanfaatan limbah pertanian yang melimpah dengan baik.
7.
Selama tahun
1983-1985 populasi sapi perah mengalami
penurunan, hal ini kemungkinan akibat kasus mastitis yang tinggi ditambah nilai SIC lebih tinggi dari 2, dan angka kematian lebih tinggi dibanding angka kela-
43 hiran pada ternak. 8.
Tingkat kesuburan ternak baik, rata-rata pertama kali beranak pada umur 2-3 tahun.
Responden umumnya sudah
mengenal tanda-tanda berahi pada s·api perah dan lama berahi sekitar 12 jam.
9.
Sebagian besar cara yang dipakai untuk mengawinkan sapinya dengan IB, alasan mereka murah dan menguntungkan. Perihal IB dan prosedurnya sudah dipahami peternak.
10.
Nilai SIC sapi perah responden antara 2-3 (kurang baik) sedang nilai CR sekitar 62%.
11.
Si klus berahi sapi p erah menuru t p etemak berlangsung tiga minggu sekali.
Perkawinan pentama pada induk
ap~
bila anaknya sudah berumur 2-3 bulan. 12.
Kasus-kasus reproduksi yang dialami responden an tara lain abortus dan retensio secundinae.
Menurut sumber
Dinas Peternakan kasus terbanyak adalah corpus luteum persisten dan aspesifik, tetapi di temukan juga kasus siste ovarium, metritis, dan hipofungsi ovarium. Untu\( menunjang perkembangan sapi perah di Kabupaten Cirebon saya sarankan: a.
Diperlukan pendidikan inf'ormal Secara intensif' kepada peternak dari Dinas Peternakan atau jawatan lain terurna mengenai tata laksana, makanan dan pemanfaatan limbah pertanian yang melimpah.
b.
Perlunya penambah&n tenaga lapangan seperti inseminator dan asisten tehnis reproduksi •...
DAFTAR PUSTAKA Achmad, P. 1983. Problema Reproduksi pada Ruminansia Besar . di Yokyakarta. Froc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. P4/BP3. Deptan. Bogor. Anonymus, 1978. Beef Cattle Production in the Tropics. De partment of Tropical Veterinary Seience, James Cook Uni versi ty, Quensland. 222-223.
Anonimus, 1982a.
Himpunan Ha sil Diskusi Upaya Pengembangan dan Mensinambungkan Usaha Sapi Perah tnelalui Wadah Koperasi. GKSI." Di"\:!. Jen. Peternakan. Jakarta.
Anonymus, 1982b. AUIDP Short Course in Veterinary Epidemi ology 1'KI1 - IPB. Anonimus, 1986a. Pola Earu PIR Persusuan. nakan Indon. no. 16. Jakarta.
Swadaya Peter-
Redistri busi 'I'ernak dari Proyek Pengem Anonimus, 1986b. bangan Petani kecil. Swadaya Pet. Indon. no. 16. Jakarta. Anonimus, 1986c. Swadaya Pet.
Kini sudah ada Juklak PIR Persusuan. Indon. no. 16. Jakarta.
Anonimu s, 198 6d. Swadaya Pet.
Sapi Perah untuk Jawa perlu ditambah. Indon. no. 17. Jakarta.
Anonimus, 1986e. Dari l'lUKEHNAS III PPSKI Sala tiga. ya Pet. Indon. no. 17. Jakarta. Anonimus, 1986f. Masalah PIR Persusuan. don. no. 18. Jakarta.
Swadaya Pet.
Swad.§. In-
Arthur, G. H. 1979. Veterinary and Obstetrics, 4th Edi tion Balliere Tindall, London. Asdell, S. A. 1955. Cattle l"ertility and Sterility Little, Browr: and Company, Toronto and Boston. Atmadilaga, D. 1983. Ruminansia Besar dalam Perspektif Sistem Pembangunan Peternakan di Indonesia. Proc. PeE temuan Ilmiah Ruminansia Besar. P4/BP3. Deptan. Bogor. Bishop, C. E. 1979. Pengantar Analisa Ekonomi FJenerbit Mutiara. Jakarta. p.316.
~ertanian
Djojosudarmo, S., S. Partodihardjo, 1978. Tiga kegagalan Reproduksi, Ilmu-ilrnu Heproduksi ternak. Fl{H - IPB. Bogor, Tidak diterbitkan. Dinas Pet. Kabupaten Cirebon, 1986.
Laporan Tahunan 1983-1985
45
Fol ey, ~': C., ? L. J:Ja th, To:. Ii. Di. ckinson, and H. A. 'l'll cleer. 1973: I)fllry Cattle: Principles, practices, problems prorlts, Lea and F~briger, Philadelphia. ' ..
_._-_ _ - - - ..
GangHar, P. C., C. Branton and D. L. Evans. 1965. Reproduction and Physiological Hesponses or Holstein feirers to controlled and natux-al climatic conditions. J. Dairy Sci. 48, 222. Gunav/an, 1986a. Beberapa fal(\-or- yang mempengaruhi Produksi susu. SHadaya Pet. Indo. no. 16. Jakarta. Hafez, E. S. E. 1969. Heproduction in Farm animals, 2nd Edi tion, Lea, Febiger, Philadelphia, 336. Kidder, H. E.; G. H. Bar-rett and L.E. Casida. 1952. A Study or Ovula tion in six Families or Holstein Frisians J. Dairy. :3ci. 35, 436. • Lebdosulwyo, S. 1983. Pemanfaatan Limbah Pertanian untuk Menunjang kebutuhan pakan Huminansia. Proc. Pertemuan 11miah Huminansia Besar. P4/8P3. Bogor. Hartin, S. W., C. IL Scl1l-wbe and C. E. Frants. 1975. Dairy calf mortality rate: characteristics of calf mortality Hates in 'l'alare Conty. Calirornia. AJVH, 36: 1099 1104. 1·loran, J. l:l. 1978. Perbandingun perrormans jenis sapi daging Indonesia. Proc. Seminar Huminansia. Bogor. Nara, l:l. S., S. LJjojosudarmo, ~1. H. Toelihere, A. Adnan dan ll. l:l. Uasution, 1972. Evaluasi Inseminasi Buatan dan Laporan Pemberantasan Kemajiran di Daerah Balai Inseminasi Buatan Ungaran, JaHa 'l'engah. FKH - 11'13 dan Dinas Peternakan Ja,·/a Tengah. Pirchner, F.
W. H.
1969. Population genetics in animals breeding Freeman and Company, San Fransisco.
Heksoh8diprodjo, S. 1984. BPFE. Yokyakarta. Hoberts, S. J. 1971. sease. Roberts.
PenyaJcit-penyakit Produksi 'rernak
Veterinary Obstetries and Genital DiI th e ca. N. Y.
Semiadi, G. 1986. Pemanfaatan Limbah Biogas sebagai Pakan 'l'ernak. SHadaya Pet. Indo. no. 17. Jakarta. Sitorus, P. dan Subandriyo, 1979. Heritabilitas dan 'l'ransmi si Produksi l'lani Belm Impor pada Sapi Perah Friesian Holland di iJaerah Lernbang. Proe. Seminar Penelitian d
46 Soemarno, 1980. Evaluasi Produksi Susu Sapi PH. Hasil IB dengan Henggunakan Semen Beku di Balai Pembibi tan Ternak Baturaden. Seminar numinansia Kedua. Pusat PeneIi tian dan I'engembangan Ternak. Bogor. Soesanto, M., A. Bangun dan S. Nitisuwiryo. 1983. Beberapa Penyakit numinansia dan Aspek Penelitiannya. Proc. Pertemuan llmiah Ruminansia Besar. P4/BP3. Deptan. Bogor. Sudono, A. 1983. Perkembangan Ternak Ruminansia Besar Ditinjau dari Ilmu Pemuliaan Ternak Perah di Indonesia. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. P4/BP3. Dep tan. Bogor. 1984.
Sapi Perah (Diktat).
Fapet.
IPB.
Bo-
gor. Suhartati, F. H., D. Sularsoro dan W. Hardjosubroto. 1979. Pendugaan Nilai Heritability dan Ripitability Produksi air susu Sapi FH. di Perusahaan Susu Ssnta Maria Raw~ seneng. 'l'emanggung. Bull. Fapet. UGM III (1): 4-9. Sumudhita,. W., A. Sudono dan H. Martojo. 1983. Parameter Fenotipik dan Genetik Sirat-sirat Produksi Sapi Perah FH pada Perusahaan-perusahaan Peternakan. Proc. Pertemuan Ilmiah Huminansia Besar. P4/BP3. Bogor. Toelihere, M. R. 1981a. FKH - IPB. Bogor. Angkasa.
1981b. Bandung.
Jlmu Kemajiran Pada Ternak Sapi. Diktat. Inseminasi Buatan pada Ternak.
1983. Tinjauan tentang Penyakit Reprodu!£ si pada Huminansia Besar di Indonesia. Pro e. Pertemg an Ilmiah Ruminansia Besar. P4/BP3. Bogor. Triwibawo, H. 1986. Dari Panea Usaha memiju Sapta Usaha. Swadaya Pet. Indor.. no. 18. Jakarta. Van Vleck, L. D. and C. H. Henderson. 1961. Estimates or Genetic Parameters or Some Functions or part Lactation Milk Records. J. Dairy. Sci 44: 1073-1084. Worrel, A. C. 1958. Economic or American Forestry, John \'.'" Wiley and Sous New York, London.
LAMPIRAN
K()NSU~ISII)AGII;G."I
'rabel 1.
Meat. l;~J?g
C·:~r:.ING
TAHVN
Year
L !
,\1" 1/
Kenai!<;an rata-rata
Pelita I 1%) ~.29 A ~'t:rag(' ;ncrcaH' ofPditaJ(':,) , ___ _ ___ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 1__
:
1974
!
1976 1977
I
ltJ7B
Kenai"-an rata-rata
Pelna 1\ i%} A I'('r.1,I:(' b/{''-('Ils('
oj J'~lila If
r-::.)
4~8
hopor
Supplv
D.N
hupon
Supply
[Jplll('Slic
12,27
:5\J~\J (1 .... 00
~·C'·;SUM:;l/K.ArITA
TOri )
Pr"'/UCf
5,23
Impor hnp(Jn
Dllooog .\!C~I
.+1----
14,05
Tolur
S1I'U
L'gX
Milk.
-----
44,07
11,69
2,85
7
n 467:7
i
2,1
405,:l
~7 ...
0.1
1.0
43[,.e
65
~
D.> 0.1 0.1
1.4
450,1
68,3
1,3
46~.C
110,7
1,7
..; 7(0,3
12:':,7
I 3,72 4,36
2.9 >,2 3.1
3,98 4,17 3,:.11
2.2
0.,12
..).~;~
,
14,a I
I "",1.)4 ·U)4
• ; ....
I,
il J\flgk.llhpmlJ:ul.., I~.,
....
3.65
22,94
2,81
,.7
KI!tt:l:tllq;UI
TH
f'-:~ '.ll'lIf/.l'(.Jr c(JIl$llmpl/rnl
(1'11)
__ _ _
40J,l 435,0
,9.,5
(00:) IC.l 1
l:g;: ({.OO Produksi
1
; fJ.')f1!t:·st!c I ProduCI
ELUH UAN SUSU Plit KAPIT,\ PeR TAIIUN ;".hlt. n.rnlll'l(1fitlli {I" C!lt'lIl pt'l y(,ur
T :CUR
{f1(/iJ 1<_'Il}
I prOd~kSir ,D.N
___
(000 i('>'J }
{jllil
f '. ," •
2) Angkn SI!O\enwra 'J"'u'I'Ontn' fi:;lIr~J
1.84
r
1,94
I -, > .84
.r--:':::
Sumber ; Bwell Statistik Peterne~an tahun 1986 Direktorat Bina Program, Ditjennruc
~
48
Tabel 2.
porUlASI TERNAK DIINDONESIA (1974 - 1985) Livestock population in Indonesia
(000 Ekorl
(1974 -1985)
(ODD Head)
TAHUN
Sapi perah
$api potong
Kerbsu
Kambing
YEAR
dairy cdtr/e
beef carrltJ
buffalo
goat
Domba sheep
3
4
5
6
7
2,28
1,46
2
(1)
Babi
Kud.
Pig
hOfslI
8
Kennikan rota·rats
Pelitll I (%1 A
7,1l:.!
- 0,18
-4,::10
.;,!.>4
6.360
~.415
6.517
3.':'03
2.905
600
2.707
627
0,03
\'t'rclg~ incr~IJS('
0/ NItta I (%) 86
1974 1975
90
6.242
2.432
6
31~
3.274
1976
67
6.2~7
:> .~'a4
690':
3.603
2. SA7
631
1977
91
C.217
2.292
7.:32
3 864
2.979
659
1978
~:l
6.:>30
:<.312
e. 051
.
3.011
2.902
6'5
-0,19
",04
+5,58
+ 1.66
+ 0,13
+.0,72
Kenaikan rata·rata Pelita II (%)
-+2,03
A l'CrcJgf' increQs~ of Pefit" /I (%)
--
'"
6.364
2.~3.2
7,
':.071
2.959
596
1.J3
6,LI..:lO
2.457
7. C91
4.124
3.155
6'6
1981
113
0.516
2.483
7.790
4.177
3.364
637
1982
140
6.C.94
2.513
7.891
4.231
J.SB7
658
1983
'62
G.SSQ
2.538
8.049
4,3'6 .
3.677
665
1,02
1,90
0,03
:3,73
4,91
1,61
6.867
2.620
8.141
4.365
3.854
67.
7081
2.706
8.235
3.956
686
1979
1980
(;~9
Kenaikan rata·rata
Pelita 111 (%)
11 ,99
A w:rage increase of Pe/{ta III ('lo)
1984
1l
1
rJ
21 1985
Keterongon
Remarks
186
1) Angka dipenllJiki
R (vis(d flZl.lrts 2) Angka semen tara
Temporary figure,
Sum1:)er: Buku Stf;l,tist1};: Patern:12::an t8.nun 19 8 6
lJirektorat Bina Program, llitjennal<
4.416
BEHER.\PA NEGAltA PENGfiASll TEHNAK SAPIIJI BtlUIAC \1 NfG;\R,\ III DUi'IA
Ta bel 3.
Cuf/h' prot/ucinx
-.,-
"
--.
I
19S0
I
Country
Pupula,; terhadap fOOO Ekod Total Populasi
Poptl!ation
Perccn(ag~
i (DOO h~ad)
of (otal pO[1l1loti,;)11
I
host:ntase Pupulasi terhadap fOOD Ekod Total
I
u'IIJ"/cl
PUPuliJSi
(000 Ekor)
--~r--~----~--~--~ Icrt~ad~p
Total
Populasi
Pt"rcen log .. "/ tolal popl/latioll
1.
,I
6.400
INDIA
)182.500 , 11.192 BRAZIL 91.000 ARGENTINA 55.161 CHINA 52.491 MEXICO 31.094 ETHIOPIA 25.000 AUSTRALIA 26.205 BANGLADESH 33.000 FRANCE 23.919 COLOM81~ 23.945
2. U.S.A. 3. 4.
I I
5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
0,54
15.19 9,25 9,57 4.6.:1 4,37 2,59 2.16 2.18 2.75 t,99 1,99
G.r.16
182,000 114.321 93.000 54.235 53.410 31.784 26.100 25.16B 3S.c..OO 23.5:33 2i1.2~1
O. &4
p<)plllarWII
5~4
15,04 9,45 7,69 4,48 4,41 28,94 2,16 2,08 2,89 1.95 2.00
182,000 115,690 93.000 57.882 55.056 36.200 26.200 24.544 35.010 23.605
45,21
0.~4
terhadap
{OOD Ekorl Total Papulasi
l'O"1I1:1ri()~1 I'l'n'elfltlge IPopulation {IWO /U'!l.11! "f r'I!~1 I(oon head}
6
Prosentase
Pros.en!ase PupuJasr
, INDONESIA 1)
1984 2}
1983
PIOSI!IIIi}se
Populasi
PoplI/arioll {lIOO h!!odJ
IIiI'
1'J!l"2
1----+-Pro~cnlase
I
1--
10?ol
I NEGARA
CfJ/llllnO /1/
Percentage (If If)tJ/
6.822
14,flII
terhad
Papulas; PI)pltiation tVOI) head)
populcrhlfl
.
\
Pupulasi
0,55
182.000 115.121 92.000 53.67 a 57.450 36.000 26.300 22.471 36.660 23.656
14,84
9.43 7,58 4,12 4,49 2,92 2,14 2,00 2.1lG 2,00
2ti.4!)!)
2,00
24.275
.:l OD
552,6'8-1
43,0"
I
f 1.226,43'2
100
11.226. 536
9,39 7,~B
4,38
4.68 2.94 2.14 1,83 2,94 1,93
6.751
182.160 114.040 129.000 53.500 58.560 33.917 26.000 21.846 36.300 23.570 23.960
perct!lItage
of total popo/atio n
0,53
14,41 9,02 10,20 4,23 4.63 2,68 2,06 1,72 2,87 1,86 l,B9
.---~-
LO!Iin·tain
Noga'O!I
I
544.103
------DUNIA
45~54"011
j 1.201.010
lOa
Ket6rangan
1) Angka diperbalki
Remarks
Revl.ud figurrs 2) Angka sementara
1.209.333
Sumber
I
1
45,37
554.777
100
1.264.381
43,88 100
-
Buku Statistik Peternakan tahun 1986 Dire!Ctorat Bina Program, Ditjennak:
...
Temporary /igtftrl $umber SourCl'
100
556.593
FAO Bul/elbiSO! Statistic.
Fcbmary i91N
f:'-IO Bulletin orSmtistic,
P,.'!ln/oTl' /')84
\0
Tabe1 4.
PENYEBARAN TERNAK DANA BERBANTUAN Disrriblltio,} of foreign funded livestock
JUMLAH PENYEBARAN
Number 0/ Uistriburioll
NlImD Proyek
No.
Name of project
Ketcrangl!ln
RcmarkJ
, 980/1981
1981/1982
1982/1983
1983"984
(2'
(3)
(4)
(5)
1.972 2.381
1984/1985
Jumlah
toral 11)
1.
2.
3.
4.
ADS I I. Sapl Lokal b. Sapl Impor <. Kambing
(6)
17)
654 564 1.435
-
4.610 2.945 3.434
-
-
1,984
-
4.600
8.563
'1.318
632
1.441
.52
-
-
1.998
-
-
(8)
IFAD. F
-
Sopllokal
..
SE5TAOP. Sapi lakal
500
b. SlIpl Impor
-
-
I.B.R.D. II
-
1.000
-
719
24.501
890 1.600
-
-
4.015
1.600
1.779
"
Sapi
Jumlah
Tond
8.216
15.156
13.088
2.490
1,998
-
1.436
-
39.450
Cattle Kambing
Goat.
-
3.434
.
Sumber : Buku Statistik Peternakan tahun 1986 Direktorat Bina Program, Ditjennak
'(g
51 Tabel lampiran 5.
A.
Pertimbangan nilai bobot untuk responden
Responden p etani p eternak: 30 orang Setiap p etani peternak hanya rnempunyai sa tu pilihan d.§!. ri ban yak pilihan yang diberikan untuk setiap point.
Jumlah responden dalam orang dalam persen (%)
Gara berternak
28
93,3
semi intensif
2
6,7
c.
ekstensif
o
o
B.
Responden petani peternak: 30 orang
a.
intensif
b.
Setiap responden dapat memilih lebih dari satu pilihan dari banyak pilihan yang diberikan untuk setiap point.
Tujuan berternak sapi
Jumlah responden dalam orang persen ( %)
a.
diambil susunya
30
(A)
100·"
b.
sebagai ternak potong
15
( B)
50
c.
tenaga kerja
0
(D)
0
d,
pupuk
2
( C)
6,7
Keterangan: (A): (B): (C): (D):
responden terbanyak responden terbanya k responden terbanyak responden terbanyak dan seterusnya
p ertama kedua ketiga keempat
Tabel 6.
REALISASII.B. DI DAERAH : TAHUN 1980 sid 1984 (do,is) Realization 0/ A I in regions 1980 - 1984 (dosis)
PAOPINSI
No.
Province
(1)
80181
(3)
(2)
1. 2. 3. 4. 5.
0.1. I\cch Surnlltora U tortl Sumotufa 8arot Sumatoro Selatan Lompung
8.
DKI. Jo ..... '"
Bllfllt
35.228
JIIW8
TengDh
58.761
7. 8.
••
l302 9.799 8.298
9.575
-
0.1. YogYDkartti
10.
JawllI Timur
11.
0.'
12. 13. 14. ·15. 1S. 17. 18. 19. 20. 21.
NT. NTT Sullllwosl Soloten
Sui ",wasl Tenget"l Sulawesi Utero Sulawosl Ton09ol1fo KnlimlVltrrl Tin\ur Kcllmontar'l Sol lit 1)11 KalmOf'lton Beret Blitumodon
22.
Al~
23. 24.
Jambl Bongkulu
12.998 37.306 4.902 2.088 6.581 6.996 505 1.0£19
-
81/P2
C2/B3
83/84' )
(.)
(5)
(G)
2.840
1.159 2.016 9.096 620 7.4 71 1.968 2(1.310 35.931 8.583 39.405 2.441 1.238 979 4.283 159 595
3.406" 11.3B9 10.291
G20 12.596 1.075 43.177 72.697 16.400 54,340
11.771 B.658 1.602 12.902
l.tO;)J Sl.2!;8 82.462 17.544
72.009
5.632 2.917 . 3.835 4.453 475 1.672
7.B39 3.055 5.184 8.417 2.527 1.022
-
2.279 217
-
3.B3~
1.323
-
-
704 4.518 482
2J8 2.028
-
-
-
2.474 lSB
218
20D
-
-
04'85 2 )
(7)
4.678 7,057 7.837
803 18.813 2.279 50.79G 67.580 20.154 97.462 5.595 3.471 3.645 5.106 1.387 957 509 500 399 5.512 '
p
762
1..450 733 369
J\,Jrnldl
202.934
240.799
. 298.929
142.971
328.354
--
XOtDfong.,: 1) Angka dlporb,vltl
Remarlu
R~vls~d
figures
2) DDfos/d M"rot 1985
Sumber
Bulcu Statistik Peto.rnalcan tahun 1986 Direktorat Bina Program, Ditjennak
I V1
'"
Tabel 7.
KELAHIRAN DARI INSEMINASI BUAT AN MENURUT PROPINSI TH. 1980 - 1984 Birth from A I by Prol·jnce in J980 - J984
Propin$i No.
Province
BOIB1
81/82
82/83
8J/84'J
(3)
(4)
(5)
(6)
, ,393
77 2.525 2.014
1,305 1.84.6
(2)
(1) .
84/85 2 )
--,!,I
,
(7)
i 1. 2. 3.
0.1. Aceh Sumoll1ra Utera Sum.ura Barat Riau
4.
6. 6. 7. B. 9. III 11. 12. 13. 14. 16. 16.
n. '1"19. 20. 21.
::.0. 23. 24.
Jambi Sumatra Sel aun Lompung
B37
2.315
--
-
4.386
Jaw. Tengah 0.1. Yogya Jaw. Tlmur
BoI'
NTB NTT Kalimantliln Barllt K~lmantan
Soleton
Kalimantan Timur Sulawell Uura Sulawesi Tengllh Sulawesi Salatan Boturllldon - Sulawosl TonljJ90n
•
2.706
1.653
OKI Jaya JilWa Bllrillt
I,
1.089 245 1.586
9.056
6B5 166
-339
-
. 360
--
5 156
-
-
302 3.620 9.141 22.462 2.160 11.074
-
1.030 19B
-
30B
-
-
4.998 11.328 1.717
11.818 5.375 5.375 699 690 69
-
1.035 64 23 33 29" 35
Bengkulu
29.
B!.lO 1.923 13.
37 12 33
"'
3.957
3.960
57 , 4.264 1 B.864 2.409 20.061 248 831 lBB 69 1.024 110
215 12.900 22.541
65 37'
52
-
Koterengan: 1) Angka dlporbDlkl
Remarks
36.676
33.684
Revucd JigUT'l!~ 2) Data sid Maret 1985
Sumber
66.063
66.101
I
114 24
,
2.655 20.1347 443 763 171 97
1.005 114
97
." 5
i
I
25 9
Jumloh
!
,
69.342
Bllicu Statistik Peternakan tahun 1986 Direktorat Bina Program, Ditjenna.~ \J1 \.>l
Ta bel 8.
Tahun
Masti tis
Kasus-ka sus Penya ki t Hewan Menula r kecuali Ungga s di L'aerah Tingkat II Cirebon tahun 1978 - 1985.
Helmint
1978/1979 1979/1980
1
1980/1981
2
3
1982/1983
3
3 66
1983/1984
90 13
89 61
1
Scabies
Timpani
SE/Ngorok
6
10
1981/1982
1984/1985
Kasus nen;raki t Anthrax Infeksi
53 16
1
10
1
83 81
109
61
17
3 7
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Cirebon 1984 - 1985.
\.n A
Gambar 1.
Peta Penyebaran Sapi Perah di beberapa Kecama tan Daerah Tingkat II Kabupaten Cirebon tahun 1984 Skala 1 : 250
Kabupaten Indramayu
.
/'
~
~.~.~
.
/
')
i,l
('
, t"'-"~')
(
".-'
Gegesik
"
.- '
-
/
L AUT
Cirebo
JAW A
Klangen~Il_+---~-Uta
\
Ciwaringin
Cirebon Sela tan
Kabupaten Kuningan
Beber
'\, ...
_..
\.
'--.
sari
Keterangan: Daerah pengambilan -I, II, III : data primer +-' -.- - -+-
Ba ta s Propinsi
-----.-
Batas Kabupaten Ba tas Kecama tan
F -
Daerah Penyebaran Sapi Pel'ah
Sumber:
Dinas Peternakan Kabupaten Cirebon, 1984
Prop. \Jawa
Gambar 2.
Peta Daerah Penyebaran Penyaki t Anthrax dan Brucello sis di beberapa Kecama tan Daerah 'l'ingkat II Kabupaten Cirebon tahun 1984 1
Skala Kabupaten Indramayu /.r
,./
'\
+ .. +' -+_._.-
.
')
,/'
,,/
250 : Batas Propinsi
.
Batas Kabupa ten Batas Kecamatan
j '\
/'
Gegesik
Kapet~kan
lusukan LA U T
JAW A
\,
I,
Kabupaten Kuningan
Losar Keterangan:
~.::::SI
Daerah
!IIIIIIIIII~
Daerah
Sumber
: Dinas Peternakan Dati II l\abupaten Cirebon, 1984
1.
Dengan nama Allah Yang Naha Pemurah lagi Naha Penyayang
2.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
3.
Maha Pemurah
4.
Yang menguasai hari pernbalasan
5.
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engka£ lah kami mohon pertolongan
6.
Tunjukilah kami jalan yang lurus
7.
(yai tu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikma t kepa da mereka; bukan .( jalan ) mereka yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat
la~i
Maha Penyayang
( AL FAA TIHAH )
Ku persembahkan tulisan ini kepada ayah, ibn, kakak-Ka1{Sk dan adikku "t€lrsayang