118
5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1.
Analisis Efektifitas Kebijakan Penerapan Model Vessel Monitoring System (VMS) bagi Kapal Penangkap Ikan
5.1.1
Analisis Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perikanan Pendukung Kebijakan Penerapan VMS Sampai saat ini cukup banyak peraturan perundangan yang berkaitan
dengan pengelolaan perikanan di Indonesia, dan berdasarkan hasil wawancara dengan tim teknis VMS di bidang hukum, diperoleh keterangan bahwa dari sekian banyak peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan di Indonesia, baru ada satu produk hukum yang secara langsung dan rinci mengatur tentanga penyelenggaraan VMS, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 29/MEN/2003 tentang penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, yang ditandatangani dan disahkan pada bulan Agustus 2003. Untuk menguatkan pernyataan di atas, berdasarkan hasil wawancara kepada Professor Martin Tsamenyi, Director Centre For Maritime Policy, University of Wollongong pada tanggal 27 Juni 2003 ketika berkunjung ke Indonesia dalam acara konsultasi “Legal Framework VMS” di Departemen Kelautan
dan
Perikanan
RI,
serta
komunikasi
melalui
e-mail
[email protected] diperoleh kesimpulan bahwa walaupun terdapat banyak sekali peraturan yang mengatur tentang perikanan di Indonesia, tapi tidak satupun dari peraturan tersebut yang secara khusus/spesial mengatur tentang bagaimana operasional VMS. Menurutnya dasar hukum yang paling berhubungan dengan pelaksanaan VMS di Indonesia, antara lain adalah , wawancara cara ini dilakukan ketika produk hukum berupa Kepmen No 29 Tahun 2003 tentang penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan belum diterbitkan. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, maka pada bagian awal bab ini dilakukan analisis terhadap beberapa produk peraturan perundangan di bidang pengelolaan perikanan di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan kebijakan VMS, sehingga diperoleh informasi peraturan perundangan yang secara langsung
119 dan tidak langsung berkaitan erat dengan penerapan VMS. Tabel 22 menyajikan hasil analisis peraturan perundangan yang berhubungan dengan VMS. Tabel 22 Analisis Isi Peraturan Perundangan di Bidang Pengelolaan Perikanan Yang Mendukung Penerapan Kebijakan VMS No
Jenis Peraturan Perundangan
Tentang
Hasil Analisa ( Ketentuan Yang Dapat Mendukung Penerapan VMS)
1
Peraturan Pemerintah No. 5/1983
Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia
Tidak Mengatur VMS Pengaturan tentang Perizinan (Bab IV) dan Ketentuan Pencabutan Izin (Bab V) dapat mendukung Penerapan VMS.
2
Keputusan Pemerintah No. 15/1984
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di ZEE Indonesia.
Tidak Mengatur VMS Pasal 3, Pasal 5 dan pasal 9 tentang Pengaturan Izin penangkapan ikan oleh kapal asing dapat mendukung penerapan VMS
3
Keputusan Menteri 475/1985
Izin untuk perusahaan swasta dan asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia
Tidak Mengatur VMS Pasal 1, pasal 2 dan pasal 7 tentang ketentuan izin bagi perusahaan asing/lokal , TAC yang dapat mendukung VMS Pasal lain tentang identifikasi kapal, badan kapal, kewajiban, sanksi dan larangan juga dapat mendukung VMS
4
Keputusan Menteri 476/1985
Penunjukan tempat (pelabuhan) di mana kapal nelayan asing harus melaporkan sebelum, selama dan setelah penangkapan ikan di ZEE.
Tidak Mengatur VMS Pasal 1, ketentuan bagi kapal asing untuk masuk ke salah satu dari 9 pelabuhan yang ditunjuk Pasal 5, kapal asing wajib menerima aparat pengawas jika diperlukan
5
Peraturan Pemerintah 15/1990
Tentang Usaha Penangkapan Ikan
Tidak Mengatur VMS Pasal 1, pasal7, pasal 13 mengatur batasan dan jenis perizinan kapal asing di ZEEI ( IUP, PPKA, SPI)
bersambung…………..
120 sambungan…….. No 6
Jenis Peraturan Perundangan Keputusan Menteri 815/1990
Tentang Perizinan Usaha Perikanan Di ZEEI
7
8
9
10
Hasil Analisa ( Ketentuan Yang Dapat Mendukung Penerapan VMS) Tidak Mengatur VMS Pasal 4, 6 dan 12 mengatur Izin bagi kapal asing di ZEEI, termasuk Perusahaan Indonesia yang berminat gunakan kapal asing , IUP untuk Izin dan PPKA untuk persetujuan
Keputusan Menteri 816/1990
Penggunaan Carter Kapal Asing untuk di ZEEI
Tidak Mengatur VMS
Keputusan Menteri 144/1993
Penetapan suatu pelabuhan sebagai pangkalan penangkap ikan untuk kapal nelayan asing yang dicarter yang menangkap ikan di ZEE
Tidak mengatur VMS
Pasal 1, 3,4 dan 8 mengatur ketentuan tentang Perizinan (IUP dan PPKA untuk Indonesia dan SIPI untuk asing), Pelabuhan pangkalan, Ekspor melalui pelabuhan, batas jumlah kapal Penetapan 23 pelabuhan pangkal bagi kapal asing yang menangkap di ZEEI (pasal 1) Pemeriksaan sebelum dan sesudah penangkapan (pasal 2) Identifikasi badan kapal (pasal 3)
Keputusan Menteri 57/1995
Keputusan ini menerangkan keputusan 144/1993
Tidak mengatur VMS
Keputusan Menteri 508/1996
Carter Kapal Asing dan Penghapusan sistem Carter secara bertahap
Tidak mengatur VMS
menambahkan dua pelabuhan sebagai pangkalan untuk kapal nelayan asing yang dicarter oleh perusahaan Indonesia. Pasal 1, membatasi kapal penangkap ikan dengan sistem carter Pasal 3, Penghapusan sistem carter secara bertahap Pasal 4, Mengatur izin import kapal
11
Keputusan Menteri 770/1996
Tentang penggunaan fish-nets ( bottom trawl) di ZEE wilayah Samudra India, perairan Sumatera bagian barat dan perairan di sekitar daerah Aceh.
Tidak mengatur VMS Mengizinkan alat tangkap Fish Net (Bottom Trawl) oleh kapal Asing di ZEEI (Samudera India) Juga mengizinkan kapal Lokal dari kayu dengan ukuran kurang dari 80GT
bersambung…………..
121 sambungan…….. No 12
Jenis Peraturan Perundangan Keputusan Menteri 392/1999
Tentang Tentang daerah penangkapan ikan.
Hasil Analisa ( Ketentuan Yang Dapat Mendukung Penerapan VMS) Tidak mengatur VMS Membagi wilayah penangkapan kedalam tiga daerah atau zona perairan penangkapan Zona pertama, antara nol samapai 6 mil laut 9 pasal 3 Zona kedua, antara 6 sampai 12 mil laut ( pasal 4) Zona ke tiga, antara 12 mil sampai batas ZEE, dan mengatur jenis kapal yang diizinkan di Zona tersebut ( pasal 5)
13
Keputusan Menteri 995/1999
Potensi Sumber daya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) di wilayah perikanan Republik Indonesia.
Tidak mengatur VMS
14
Keputusan Menteri 996/1999-
Petunjuk implementasi mengenai pengawasan dalam aktivitas penangkapan ikan.
Tidak mengatur VMS Mengatur tugas aparat pengawasan dan pelaksanaan pengawasan terhadap tracking kapal, daerah penangkapan, wilayah yang dilindungi. (pasal 6, 9) Diwajibkan menggunakan tanda identifikasi bagi kapal penangkap , kapal pengangkut dan pengumpul
15
Keputusan Presiden 14/2000
Pemanfaatan kapal ikan yang ditangkap oleh pemerintah.
Kapal ikan yang melanggar hukum disita oleh Pemerintah beserta semua peralatannya
16
Keputusan Menteri 45/2000
Tentang perizinan usaha perikanan.
Mengatur mekanisme dan prosedur bagi pengusaha untuk memperoleh berbagai jenis Izin dalam kegiatan penangkapan ikan, baik lokal maupun asing keputusan ini tidak mencakup perizinan SIPI untuk kapal asing karena kapal tersebut tidak diizinkan lagi untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia.
Mengatur tentang total tangkapan ikan yang diperbolehkan di Perairan Indonesia ( pasal 2) dan di Perairan ZEEI ( pasal 2)
bersambung…………..
122 sambungan…….. No
Jenis Peraturan Perundangan
Tentang
Hasil Analisa ( Ketentuan Yang Dapat Mendukung Penerapan VMS)
17
Peraturan Pemerintah No. 142/2000
Menguraikan tentang tarif atas jenis penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan
Tidak mengatur VMS Pasal 2 mengatur kewajiban kapal penangkap ikan membayar PNBP Pasal 4, Tarif dihitung berdasarkan ukuran kapal, jenis, banyaknya armada, dan jenis alat tangkap Pasal 7 , kewajiban hanya diberlakukan kepada semua kapal penangkap ikan di atas 30 GT, atau kapal yang berukuran 18 meters dan beroperasi di luar 12 mil
18
Keputusan Menteri 46/2001
Tentang Pendaftaran ulang perizinan usaha penangkapan ikan.
Tidak mengatur VMS mewajibkan semua kapal penangkap ikan (asing maupun lokal) untuk melakukan pendaftaran ulang izin mereka, pasal 2 Menguraikan tentang sanksi, terhadap kapal yang melanggar ketentuan tersebut termasuk pencabutan izin, pasal 5.
19
Keputusan Menteri 47/2001
Tentang usaha ikan.
menguraikan tentang format izin usaha penangkapan ikan yang baru dan dinyatakan pula secara jelas bahwa semua kapal penangkap ikan perlu dipasang VMS/alat transmitter untuk mendapatkan izin usaha penangkapan.
No
format izin penangkapan
Sumber : Hasil Analisis
Tabel 22 menunjukkan sejumlah peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan bidang perikanan, namun tidak satupun dari peraturan perundangan tersebut yang secara langsung berisi ketentuan tentang pemantauan kapal penangkap ikan dengan sistem VMS. Hasil analisis isi terhadap peraturan perundangan tersebut dapat disimpulkan pula bahwa ketentuan ketentuan yang mengatur pengelolaan perikanan pada berbagai peraturan tersebut sangat mendukung adanya penerapan sistem pemantauan kapal penangkap ikan dengan teknologi VMS. Sistem pemantauan kapal penangkap ikan dengan teknologi VMS dapat memberikan informasi kepada penegak hukum tentang adanya indikasi pelanggaran terhadap ketentuan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan tersebut di atas.
123 Peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan perikanan yang pertama kali memuat tentang VMS adalah peraturan perundangan yang diterbitkan tahun 2001 berupa Keputusan Menteri No. 47 tentang Format Izin Usaha Penangkapan Ikan, dinyatakan dalam peraturan tersebut bahwa semua kapal perikanan diwajibkan memasang VMS untuk mendapatkan izin. Tabel 23 merupakan hasil identifikasi dan analisis terhadap peraturan perundangan yang berkaitan langsung dengan VMS. Tabel 23 Peraturan Perundangan di Bidang Pengelolaan Perikanan Yang Berkaitan Langsung Dengan Penerapan Kebijakan VMS No
Peraturan Perundangan
Tentang
Hasil Analisa
1
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 47 tahun 2001
Format Izin Usaha Penangkapan Ikan
Memuat tentang VMS Ketentuan VMS tidak diatur secara rinci, hanya mewajibkan bagi semua kapal penangkap ikan untuk memasang VMS dalam memperoleh Izin Penangkapan ikan
2
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 60 tahun 2001
Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Memuat tentang VMS Namun tidak diatur secara rinci, Menyebutkan kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan system pemantauan kapal Vessel Monitoring System (VMS); Pasal 32, ayat (1)
3
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003
Tentang perizinan Usaha Penangkapan Ikan
Memuat tentang VMS menetapkan bahwa setiap kapal perikanan wajib memasang transmitter untuk pemasangan system pemantauan kapal (Vessel Monitoring System); (bab XI pasal 65)
4
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.29/MEN/2003
Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, yang ditandatangani dan disahkan pada bulan Agustus 2003.
Memuat ketentuan-ketentuan yang khusus tentang Penyelenggaraan VMS Seluruh Bab (13 Bab) dan Pasal (29 Pasal) memuat ketentuan tentang penyelenggaraan VMS di Indonesia, mulai dari kelembagaan, mekanisme, kewajiban dan sanksi
bersambung………
124 sambungan…….. No 5
Peraturan Perundangan Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004
Tentang Tentang Perikanan
Hasil Analisa Memuat tentang VMS Hanya Pasal 7, ayat (1) huruf j saja yang menyatakan tentang VMS, yaitu :Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan “ Sistem Pemantauan Kapal Perikanan Dalam Penjelasan UU 31 diuraikan, yang dimaksud dengan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan adalah salah satu bentuk system pengawasan dibidang penangkapan ikan yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan , contoh VMS
Sumber : Hasil Analisis
Lima buah peraturan perundang-undangan yang diuraikan pada Tabel 23 seluruhnya memuat pernyataan yang berkaitan dengan VMS, namun sebagian besar hanya memuat pernyataan tentang diperlukannya setiap kapal penangkap ikan menggunakan VMS, tetapi tidak secara rinci mengatur mekanisme penyelenggaran VMS dilakukan terhadap kapal-kapal penangkap ikan di Indonesia. Hanya satu saja peraturan perundangan yang benar-benar secara rinci mengatur penyelenggaraan VMS di Indonesia, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 29/MEN/2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, yang ditandatangani dan disahkan pada bulan Agustus 2003. Organisasi pengelola VMS sesuai ketentuan yang dimuat dalam Kepmen tersebut adalah PSDKP, akan tetapi dalam implementasi Kepmen tersebut menjumpai beberapa kendala, antara lain: (1)
Walaupun pada Bab III, Pasal 4 telah ditetapkan badan pengelola sistem adalah PSDKP dan lembaga pendukung adalah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap/DJPT (dalam memberikan data, menetapkan tahapan dan pemasangan transmitter dan penyiapan ID transmitter) dan Badan Riset Kelautan Perikanan /BRKP (untuk mendukung menetapkan spesifikasi teknis VMS, termasuk sistem integrasinya). Namun kenyataan di lapangan, koordinasi antar lembaga tersebut sulit dilakukan, sehingga banyak ditemukan permasalahan-permasalahan seperti : (a) Tidak ada jadwal
125 pendaratan kapal yang pasti di pelabuhan pangkalan (ketidaktaatan dalam mendarat di pelabuhan pangkalan berkaitan dengan), (b) Tidak mampu mendeteksi jumlah pengeluaran izin sesuai prioritas pemasangan, (c) Sulitnya memilih target kapal yang akan dipasang alat transmitter (2)
Bab IV telah diatur kewajiban dan pentahapan pemasangan transmitter, dan di pasal 9 disebutkan bahwa “setiap kapal perikanan Indonesia dan/atau kapal perikanan asing yang memperoleh Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, wajib dilengkapi transmitter sebagai bagian dari sistem pemantauan kapal perikanan”. Kenyataan di lapangan banyak kapal perikanan yang menolak untuk dipasang transmitter, dan terdapat pula kasus kapal perikanan yang mematikan alat transmitter dan bahkan melepas alat transmitter yang sudah dipasang.
(3)
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap menetapkan pelabuhan perikanan dan pelabuhan umum tertentu sebagai lokasi pemasangan transmitter dengan mempertimbangkan aspek teknis dan geografis yang paling menguntungkan bagi
penyelenggara
dan
perusahaan
perikanan
untuk
melakukan
pemasangan transmitter (sesuai Bab VI, pasal 13). Pada pelaksanaannya lembaga pengelola sistem (PSDKP) selalu mengalami kesulitan untuk memasang transmitter. (4)
Kepmen tersebut juga memuat kewajiban pengguna transmitter, (Bab VII, pasal 15) namun dalam pelaksanaannya PSDKP kesulitan melakukan tindakan atau sanksi terhadap kapal perikanan yang melakukan pelanggaran.
(5)
Pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan, pengguna transmitter dikenakan pungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Bab IX, pasal 23). Kenyataannya sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur secara rinci tentang pungutan tersebut. Sehingga membuat ketidakpastian baik bagi penyelenggara maupun para pengusaha.
(6)
Masih besarnya resistensi dari pengusaha atau pemilik kapal dengan berbagai alasan seperti : kekhawatiran diketahuinya posisi atau tracking kapal yang semula tidak dapat diawasi, kehawatiran akan adanya dana
126 tambahan atas penggunaan alat transmitter, tidak mau memahami manfaat VMS bagi manajemen sumberdaya ikan yang terkait dengan efektivitas perizinan dan kelestarian sumberdaya ikan, cukup menimbulkan kesulitan lembaga pengelola dan aparat pengawas PSDKP untuk memberikan sanksi terhadap pengusaha yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Keberadaan Peraturan di atas dan Kepmen Nomor 29 tersebut belum seutuhnya mampu mendorong pelaksanaan VMS di Indonesia, banyak terdapat permasalahan dan kendala dalam pelaksanaannya, dan salah satu penyebabnya adalah belum adanya peraturan yang lengkap dan rinci yang mengatur pelaksanaan VMS. Sehingga DKP membutuhkan peraturan yang lebih rinci untuk dapat menerapkan VMS secara efektif, termasuk kebijakan-kebijakan di bidang financial atau pungutan yang menyangkut pembiayaan transmitter dan air time, kebijakan tentang dimungkinkannya lembaga penglola VMS oleh pihak swasta seperti di beberapa negara dalam bentuk operator, karena kelemahan lembaga pengelola dari pihak pemerintah adalah berkaitan dengan pembiayaan VMS. Ke depan keberlangsungan kegiatan VMS sangat tergantung dari biaya operasioanal rutin yang tidak dimungkinkan menggunakan anggaran dari APBN yang tidak fleksibel, sehingga diperlukan peraturan yang memungkinkan pihak ketiga menjadi pengelola VMS, dimana pihak ketiga dapat menciptakan penerimaan pendapatan dari penyelenggaraan VMS. Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, walaupun tidak secara rinci memuat ketentuan tentang penerapan VMS, namun sebagai peraturan perundangan di bidang pengelolaan perikanan merupakan kebijakan pemerintah yang memiliki kekuatan hukum dan kelengkapan dalam mendukung sistem pengawasan kapal ikan. Berbeda dengan undang-undang tentang perikanan yang lama (UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan), UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan telah meletakkan masalah pengawasan menjadi sangat penting. Dalam UU No. 9 tahun 1985, masalah pengawasan hanya diatur dalam satu pasal saja, yaitu pada pasal 23 yang mengamanatkan pembentukan peraturan pemerintah tentang pengawasan dan pengendalian saja, yang hingga saat ini peraturan pemerintah tersebut belum ada.
127 Undang-undang No. 31 tahun 2004 ini, mengatur masalah pengawasan dalam 8 pasal yaitu pasal 43, 44,45, 66, 68 dan 69. Pasal-pasal tersebut tampak jelas bahwa pengawas perikanan diberikan peranan dan tugas yang cukup signifikan untuk mendukung terwujudnya pemanfaatan dan pengelolaan perikanan yang bertanggung-jawab. Hal ini terlihat dalam pasal 66 ayat 2 yang menyatakan pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Artinya yang berhak mengawasi pelaksanaan dari UU No. 31 tahun 2004 dan ketentuan pelaksanaannya adalah pengawas perikanan. Ketentuan lain dari UU. No 31 tahun 2004 yang sangat strategis dan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melaksanaan penegakan hukum terhadap pelanggaran di bidang perikanan adalah dilengkapinya pengawas perikanan dengan senjata api dan/atau alat pengaman lainnya (Pasal 69 ayat 1). Disebutkan pula dalam pasal tersebut bahwa kapal pengawas perikanan mempunyai tugas pengawasan dan penegakan hukum, dan kapal pengawas perikanan dapat dilengkapi dengan senjata api dan mempunyai wewenang untuk menghentikan, memeriksa dan menahan kapal yang diduga melakukan tindakan pidana. Ketentuan tentang kelengkapan senjata api dan kewenangan kapal pengawas perikanan sangat mendukung kebijakan penerapan VMS di Indonesia. Hasil analisis berupa adanya indikasi pelanggaran oleh kapal penangkap ikan yang dilakukan oleh Puskodal VMS DKP dapat segera ditindaklanjuti oleh pengawas perikanan dan kapal pengawas perikanan untuk melakukan tindakan hukum di lapangan sesuai ketentuan UU 31 tahun 2004. Dukungan lain yang sangat penting dari UU 31 tahun 2004 terhadap kebijakan penerapan VMS adalah adanya pedoman bagi pengawas perikanan bahwa pengawasan tidak hanya dilakukan di laut tapi juga dilakukan di darat/pelabuhan melalui mekanisme penerapan Log Book Perikanan (LBP) dan Surat Laik Operasional (SLO). Pasal 43 sampai 45 menyatakan bahwa setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan wajib memiliki SLO dari pengawas perikanan dan SLO ini diterbitkan apabila kapal perikanan yang bersangkutan memenuhi syarat administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana
128 ditentukan dalam pasal 44 ayat (2). SLO merupakan dasar bagi syahbandar menerbitkan Surat Izin Berlayar. Konsekuensi dari ketentuan atau amanat UU 31 tahun 2004 khususnya yang berkaitan dengan LBP dan SLO tersebut di atas adalah perlunya dirancang pelabuhan perikanan di beberapa daerah menjadi lembaga ”integrator” di daerah yang berfungsi menangani dan mengintegrasikan fungsi-fungsi pengawasan masing-masing unsur MCS perikanan (VMS, Log Book Perikanan, Surat Laik Opersional) sehingga pelabuhan tidak lagi hanya berfungsi melayani kepentingan Direktorat Perikanan Tangkap (DJPT), tapi juga sebagai ujung tombak pelaksanaan pengawasan aparat pengawas dalam mendukung penerapan VMS. Gambar 34 berikut ini merupakan konfigurasi sistem yang mengintegrasikan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (VMS) dengan Sistem Log Book Perikanan, Sistem Perizinan dan Surat Laik Operasional di pelabuhan.
Data Produksi
Statistik
Data Potensi
Catch Report
Kapal Illegal
Fishing Power Dugaan Pelanggaran Zona / Alat Tangkap TAC / JTB
Data Izin Kapal (Zona & Fishing Power)
Gambar 34 Sistem Integrasi VMS Dengan Perizinan, Log Book Perikanan dan Surat Laik Opersional di Pelabuhan.
129 Apabila seluruh pelabuhan perikanan difungsikan sebagai lembaga integrator di daerah (seperti pada Gambar 34) yang memiliki data-data lengkap VMS seluruh kapal sesuai pelabuhan pangkalannya, maka pelaksanaan pengawasan akan lebih efektif. Pengintegrasian teknologi VMS dengan Sistem Perizinan (dokumen izin), Sistem Log Book dan SLO di pelabuhan merupakan sistem yang sangat efektif dalam melakukan pengendalian dan pengawasan SDI termasuk pengendalian illegal fishing. Efektifitas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan VMS secara langsung seperti Kepmen Nomor 29 tahun 2003 dan UU Nomor 31 tahun 2004 sangat ditentukan bagaimana implementasi di lapangan. Tantangan yang paling berat adalah dalam hal menyiapkan aspek sumberdaya manusia, khususnya aparat pengawas dan penegak hukum (baik kualitas dan kuantitasnya) dan sarana/prasarana pendukung (infrastruktur) serta mekanisme dan tata hubungan kerja diantara lembaga pengelola, instansi pendukung, pelabuhan perikanan dan aparat penegak hukum.
5.1.2
Analisis Efektivitas Kebijakan Penerapan VMS Berkaitan dengan impelementasi kebijakan, menurut Samodra (1994 :
15) kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yakni tujuan yang jelas, sasaran yang spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen ketiga ini, biasa disebut sebagai implementasi, merupakan komponen yang berfungsi mewujudkan komponen kesatu dan kedua, yaitu tujuan dan sasaran khusus. Berdasarkan tinjauan pustaka ini, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sistem pengawasan kapal ikan sudah memiliki isi yang lengkap namun belum didukung oleh cara mencapai sasaran kebijakan tersebut. Sehingga diperlukan keseriusan pemerintah dalam melengkapi kebijakan yang telah ada dengan petunjuk pelaksanaan dari kebijakan yang telah dikeluarkan. Menurut Dunn (1994), kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik dapat dirumuskan indikator pertanyaannya sesuai tipe kriteria kebijakan yang digunakan, dan beberapa kriteria yang digunakan sebagai indikator dalam melakukan evaluasi kebijakan antara lain adalah efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan. Analisis efektivitas kebijakan penerapan
130 VMS akan dilakukan berdasarkan beberapa kriteria evaluasi kebijakan tersebut, dan hasil analisis disajikan dalam Tabel 24. Tabel 24 Analisis Efektivitas Kebijakan Penerapan VMS No 1
2
3
Kriteria Efektivitas
Efisiensi
Kecukupan
Ukuran Apakah hasil yang diinginkan tercapai?
Seberapa besar usaha telah dilakukan?
Seberapa jauh dapat memecahkan masalah?
Keberhasilan 1. Target 1.500 kapal untuk dipasang transmitter tidak tercapai, tercapai 1323 kapal 2.
Dari 1.323 kapal yang berfungsi hanya 528 ( 39,9%)
3.
Target yang aktif ikut VMS tidak sesuai rencana skenario yang mengutamakan kapal pukat ikan dan udang
1. Dari segi biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui DKP sudah cukup besar baik dari APBN maupun softloan 2.
Dan dari segi waktu, kegiatan VMS telah dimulai sejak tahun 2003.
3.
Hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan.
1.
Teknologi VMS sudah mampu memantau adanya indikasi pelanggaran izin dan penangkapan namun belum secara online , sehingga butuh waktu yang lama melakukan analisis
2. Masalah pelanggaran terhadap izin, alat tangkap dan wilayah penangkapan tetap terjadi. 4
Perataan
Apakah Penerapan dan pemasangan alat VMS merata?
1.
Penerapan VMS belum merata keseluruh kapal perikanan, karena keterbataan transmitter dan biaya
2. Pemasangan alat transmitter tidak memenuhi target prioritas jenis kapal dan alat tangkap yang telah ditetapkan 5
Responsivitas
Apakah target sasaran menerima dan puas?
1.
Sebagian besar pengusaha masih belum dapat menerima penerapan VMS dengan berbagai alasan
2.
Pengusaha takut dikenakan beban biaya
3. Pengusaha tidak merasakan manfaat, dan merasa dirugikan
bersambung…………….
131 sambungan……… No 6
Kriteria Ketepatan
Ukuran Apakah hasil yang diinginkan berguna?
Keberhasilan 1.
2.
Bagi pemerintah, kebijakan ini sangat berguna karena sangat mendukung tugas pengawasan dan penegakkan hukum di bidang perikanan, namun sampai saat ini kemampuan teknologi VMS yang ada masih terbatas, perlu dukungan komponen lain dalam pengawasan sumberdaya ikan seperti sistem perizinan, sistem log Book, LLO, kapal patroli dan penegakka hukum. Bagi pengusaha, ada yang merasakan berguna karena dapat ikut memantau armada kapalnya, dan banyak yang merasa dirugikan
Sumber : Hasil Analisis
Melalui beberapa indikator evaluasi terhadap kebijakan penerapan VMS seperti pada Tabel 24 dapat disimpulkan bahwa dari seluruh indikator yang digunakan untuk melakukan evaluasi dan menganalisis efektivitas kebijakan penerapan VMS, semuanya menunjukkan gambaran bahwa penerapan VMS di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil atau belum efektif. Hal ini terbukti dengan banyaknya rencana yang tidak tercapai, banyak persoalan-persoalan, keterbatasan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga pengelola VMS dalam mengimplementasikan kebijakan VMS, yaitu antara lain : (1)
Salah satu ukuran keberhasilan penerapan kebijakan teknologi VMS di Indonesia adalah terpenuhinya target sebanyak 1.500 kapal ikan yang ikut program VMS pada tahun 2004. Ternyata hasilnya agak jauh dari harapan, karena pada akhir tahun 2004 baru terdapat 987 kapal ikan (lokal dan asing) yang ikut program VMS, dan dari jumlah itu hanya sekitar 549 atau sekitar 55,6% yang aktif berfungsi dan dapat dipantau. Kemajuan di tahun 2005 juga belum menunjukkan hasil yang optimal, dimana sampai sekarang (per Juni 2005) seluruh kapal yang terlibat dalam program VMS baru berjumlah 1.289 kapal (kapal lokal sebanyak 714 dan kapal asing 575 kapal). 714 kapal lokal tersebut yang berfungsi alat VMS-nya hanya 41,0% atau sekitar 293 kapal ikan, sedangkan untuk kapal asing yang berfungsi alat VMS-nya hanya sekitar 48,7% atau sekitar 280 kapal ikan asing.
132 (2)
Jika dilihat dari target atau sasaran program VMS yang mengutamakan jenis kapal ikan dengan alat tangkap Pukat Ikan dan Pukat Udang, maka dari sekitar 465 kapal ikan yang terdaftar dan jenis alat tangkapnya pukat ikan baru sekitar 68 kapal ikan saja yang ikut VMS dan dari sekitat 302 kapal Pukat Udang yang ikut program VMS hanya 109 kapal saja.
(3)
Segi kelembagaan, lembaga pengelola VMS (PMO VMS) dinilai tidak dapat menjalankan fungsinya dengan optimal. Hal ini disebabkan karena lembaga PMO VMS yang berada di bawah Dirjen PSDKP tidak mampu mengintegrasikan kepentingan masing-masing lembaga terkait, baik internal DKP maupun eksternal dalam pelaksanaan VMS. Dari sisi organisasi Pusdal (Pusat Pengendalian VMS), keterlibatan Dit. PSDI dalam analisis data VMS juga belum ada. Sehingga informasi yang dihasilkan Pusdal baru sebatas pelanggaran transmitter, dan pelanggaran wilayah.
(4)
Disamping itu personil yang menjabat dan duduk sebagai anggota PMO masih dibebani tugas fungsional sehari-hari dan pimpinan PMO VMS yang berada di Eselon III mengalami kesulitan mengundang pejabat-pejabat Eselon II dan Eselon I dalam rapat koordinasi untuk pengambilan keputusan. Kondisi ini mengakibatkan mekanisme kerjasama antar unit terkait tidak berfungsi, sehingga tindak lanjut informasi yang dihasilkan oleh Pusdal sulit dilaksanakan.
(5)
Segi kemampuan monitoring, pusat pengendalian (Pusdal) VMS di DKP sudah mampu mendeteksi secara otomatis kapal-kapal yang mematikan transmitter (Tx) tetapi belum mampu secara online melarang kapal-kapal yang mematikan Tx untuk keluar dari pelabuhan. Terhadap kapal-kapal yang melakukan pelanggaran jalur penangkapan DKP juga belum mampu secara langsung mengetahui nomor izin kapal yang bersangkutan untuk dilakukan penindakan secara tegas. Pusdal VMS belum mampu mendeteksi secara langsung dan rinci identitas kapal ikan yang terindikasi melakukan pelanggaran. Sehingga informasi yang dihasilkan Pusdal baru sebatas pelanggaran transmitter. Pusdal VMS DKP hanya mampu mengidentifikasi kapal-kapal yang melanggar wilayah melalui gerak kapal atau jalur lintasan penangkapan ikan (tracking) dan ID transmitter-nya, untuk mengetahui data
133 kapal penting lainnya seperti nama jenis alat tangkap, asal perusahaan, nomor izin dan wilayah tangkap, perlu dilakukan integrasi data dengan program lain, sehingga membutuhkan waktu yang agak lama. (6)
Kemampuan analisis indikasi pelanggaran wilayah operasi penangkapan belum ada sehingga harus ditingkatkan dengan cara menyempurnakan software sistem pemantauan yang memiliki peta zonasi di 9 daerah penangkapan. Standarisasi wilayah perizinan dibuat dengan koordinat yang jelas. Sehingga jika terjadi pelanggaran wilayah penangkapan (keluar dari koordinat yang telah ditetapkan dalam izin) oleh kapal penangkap ikan maka secara otomatis sistem mengeluarkan peringatan sebagai tanda adanya pelanggaran wilayah penangkapan. Fungsi pengawasan yang dilakukan Puskodal dapat lebih efektif jika zonasi penangkapan diterapkan secara konsisten dan terintegrasi anatara sistem perizinan dengan VMS.
(7)
Sisi penegakan hukum terhadap kapal-kapal ikan yang melakukan pelanggaran masih dinilai belum dilakukan secara tegas, karena masih banyak kapal yang melanggar peraturan (karena sengaja tidak memasang transmitter) tapi tetap tidak dikenakan sanksi.
Sebagai perbandingan, dapat dilihat efektivitas penerapan VMS di beberapa negara lain, khususnya di beberapa negara berkembang berikut ini (Smith, 1999). Penerapan VMS di Afrika telah menghasilkan keuntungan (pendapatan) yang diperoleh dari pemberian izin terhadap kapal asing, denda yang diterapkan terhadap pelanggaran, sehingga dapat membiayai operasional VMS. Kegiatan VMS dipusatkan pada proyek yang disebut “MCS of Industrial Fishing” dan lembaga donornya adalah Grand Duchy of Luxembourg dan lembaga atau agen pelaksananya adalah FAO dan Lux-Development. Negara-negara lain yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini antara lain: Cape Verde, The Gambia, Guinea, Guine-Bissau, Mauntania, Senegal and Sierra Leone. Negara-negara tersebut tergabung dalam “Sub Regional Fisheries Commission (CRSP)”. Pelaksanaan VMS di Namibia diterapkan dengan cara yang sangat keras berdasarkan monitoring terhadap semua pendaratan ikan, selain itu mereka menempatkan pengamat (observers) pada kapal-kapal utama dan menyebarkan
134 kapal-kapal patroli ikan serta pesawat bersayap dan helikopter untuk melakukan pengamatan lapangan. Efektivitas kegiatan dapat dilihat dari adanya penangkapan kapal ikan yang melanggar dan tindakan hukum dilakukan oleh pengadilan Namibia. Pelaksanaan VMS di Peru juga dapat dijadikan sebagai perbandingan, di negara tersebut penyelenggaraan VMS telah dimulai pada tahun 1992 dan sebagai pilot project pertama adalah untuk kapal ikan asing. Tahun 1998 Peru memilih Argos-CLS sebagai provider VMS untuk kapal perikanan nasional dan pada phase pertama dipasang VMS terhadap 200 kapal, selanjutnya pada phase II, III, IV, dan ke V masing masing sebanyak 200, 200, 180 dan 160. Jumlah keseluruhan kapal yang telah dipasang VMS sampai dengan Agustus 2004 sebanyak 940 kapal. Artinya Peru membutuhkan waktu selama 6 tahun untuk melaksanakan kebijakan VMS, dimulai pada tahun 1992 dan baru tahun 1998 phase pertama kebijakan VMS benar benar diterapkan dan efektifitas pelaksanaan VMS di negara tersebut baru bisa dirasakan setelah 6 tahun berjalan. Kapal ikan yang dipasang transmitter adalah kapal skala industri (ukuran 15 m atau 20 GT keatas). Kegiatan kapal ikan hanya di atas 5 mil, dan perairan 5 mil dari pantai hanya diperuntukkan bagi kapal ikan tradisional (artisanal fisheries). Jenis dan junlah kapal ikan yang telah dipasang VMS adalah : (1) Purse Seine sebanyak 1.000 kapal, terpasang 800 kapal, (2) Pukat Ikan sebanyak 70, terpasang 70 kapal, (3) Long Line sebanyak 115 kapal, dan terpasang 50 kapal, dan terakhir (4) Multi Propose sebanyak 80 kapal, terpasang 20 kapal.. Kapal ikan nasional dikenakan pungutan sebesar $ 200 per bulan untuk keperluan biaya : lisensi, transmitter, air time dan biaya pemeliharaan. Bagi kapal asing dikenakan beberapa pungutan, antara lain: biaya pelayanan sebesar 4,5 juta/bulan, biaya pemasangan dan pelepasan transmitter sebesar 5,7 juta/bulan dan biaya garansi transmitter sebesar 36 juta, yang akan dikembalikan bila habis masa operasinya. Terdapat beberapa perbedaan pengelolaan perikanan antara Peru dengan Indonesia, dimana perbedaan tersebut sangat mendukung kelancaran proses pelaksanaan VMS di Negara Peru, perbedaan tersebut antara lain :
135 (1)
Garis pantai di Peru lebih pendek, yaitu 2.414 km, luas lautnya pun lebih kecil 878.696 km2.
(2)
Jumlah kapal ikan di Peru berkisar hanya 1500 kapal.
(3)
Dalam surat izin penangkapan tidak ada pembagian wilayah tangkap. Yang ada hanya pelarangan menangkap ikan bagi kapal skala industri di perairan 5mil dari pantai.
(4)
Pola penangkapan mengunakan pola “one day fishing”, setiap hari kapal ikan diwajibkan kembali ke pelabuhan.
(5)
Prosedur pemanfaatan pungutan biaya VMS dapat dilakukan langsung oleh instansi terkait.
(6)
Pungutan iuranVMS melekat pada izin.
(7)
Kelebihan hasil tangkapan ikan dari yang diizinkan akan dikenakan sanksi (pembayaran).
(8)
Ada observer on board di beberapa kapal dan di pelabuhan untuk sampling hasil tangkapan dalam membantu badan riset kelautan Peru (IMARPE).
(9)
Pada waktu tertentu ada penutupan penangkapan ikan (close season) bila dinilai jumlah ikan mulai banyak tertangkap (over fishing).
Salah satu aspek yang dapat dilihat sebagai hasil dari efektivitas pelaksanaan kebijakan VMS adalah adanya sejumlah kapal penangkap ikan yang di beri sanksi berupa pencabutan izin operasi penangkapan karena melakukan pelangaran dalam melakukan kegiatan penangakapan ikan. Data yang diperoleh pada bulan Agustus 2005 diketahui bahwa terdapat 39 kapal penangkap ikan atau terdiri dari 15 perusahaan yang direkomendasikan oleh lembaga pengelola VMS untuk dilakukan tindakan pencabutan izin (SIPI/SIKPI). Berdasarkan data tahun 2005 akhir diperoleh informasi bahwa pencabutan izin telah dilakukan terhadap kapal penangkap ikan yang melanggar sejumlah 62 kapal. Berdasarkan berbagai kendala diatas, ada satu alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk menindaklanjuti program VMS di Indonesia, VMS hanya diperuntukkan terhadap kapal kapal yang tidak pernah ke pelabuhan pangkalan, sedangkan kapal kapal yang disiplin dan terjadwal kepelabuhan belum diwajibkan program VMS, namun perlu dilakukan pengecekan di pelabuhan melalui System
136 Logger (untuk cek tracking) dan LPB untuk cek hasil tangkapan. Informasi ini disampaikan ke Puskodal. Sistem Monitoring dan SDM yang melakukan collecting dan analisa data dipersiapkan oleh setiap pelabuhan.
5.2
Perumusan
Penentuan
Prioritas
Strategi
Penerapan
Vessel
Monitoring System (VMS) Berdasarkan hasil analisa efektivitas penerapan kebijakan VMS di atas, dipaparkan bahwa masih banyak kendala dalam proses pemasangan perangkat transmiter VMS, disamping
masih lemahnya peraturan pemerintah yang
mendukung operasional pemasangan, kurangnya integrasi antar lembaga serta perilaku para pengusaha yang menolak pemasangan perangkat VMS tersebut. Beragam permasalahan ini mendorong perlu perumusan strategi dalam menerapkan kebijakan penerapan VMS kepada kapal penangkap ikan berukuran 100 GT ke atas. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) kepada lima orang pakar dan praktisi dalam bidang kelautan dan perikanan, ditetapkan enam aspek yang menjadi pertimbangan dalam implementasi VMS. Keenam aspek tersebut adalah ekonomi, sosial budaya, biologi, teknologi VMS, kelembagaan dan aspek hukum serta kebijakan (baik eksternal dan internal DKP). Keenam aspek tersebut merupakan sebuah dasar yang perlu dikaji sebagai pertimbangan penerapan sistem pemantauan kapal ikan dengan menggunakan model VMS. Keenam aspek tersebut diidentifikasi untuk mendapatkan peluang dan ancaman untuk aspek ekonomi, sosial budaya, biologi dan hukum dan kebijakan eksternal serta identifikasi kekuatan dan kelemahan untuk aspek teknologi VMS, kelembagaan dan aspek hukum dan kebijakan internal. 5.2.1
Identifikasi Peluang dan Ancaman
5.2.1.1 Aspek Hukum/Kebijakan Eksternal Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, beberapa peraturan/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sistem pemantauan kapal penangkap ikan yang menjadi faktor peluang untuk penerapan sistem VMS, seperti yang disampaikan berikut ini:
137 (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
(2)
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 29/MEN/2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan.
(3)
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.
(4)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa kebijakan di atas merupakan sebuah dukungan yang memberikan peluang dalam merumuskan model penerapan pemantauan kapal penangkap ikan dengan metode VMS.
5.2.1.2 Aspek Ekonomi Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah perairan laut sebesar dua per tiga bagian dari wilayah seluruhnya. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut secara optimal akan memberikan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tinjauan secara ekonomi atas sumber daya laut seperti yang dijelaskan sebagai berikut: (1)
Perkembangan Produksi Perikanan Laut Data Departemen Kelautan dan Perikanan yang disampaikan ke Komisi IV DPR (Business News, 26 Februari 2005) disebutkan bahwa ratarata produksi perikanan tangkap tahun 2004 naik 2.79%. Seiring dengan meningkatnya produksi perikanan tersebut, penyediaan ikan untuk konsumsi di dalam negeri pada tahun 2003-2004 juga naik 2.78%. Dalam periode yang sama konsumsi per kapita naik 1.5%, kondisi ini mengindikasikan rendahnya konsumsi per kapita, maka pola konsumsi ikan masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan.
(2)
Komoditi Ekspor Perikanan Laut Potensi pasar dunia untuk industri perikanan sangat menjanjikan, seperti yang dituliskan pada Kompas 18 Mei 2005, tentang ”Mereka yang Berjaya di Industri Perikanan Dunia” menyatakan bahwa tidak ada industri pangan di dunia ini yang begitu mengglobal seperti perikanan. Lebih dari 75% hasil tangkapan ikan dunia dewasa ini (sekitar 80 juta ton lebih per tahun) diperdagangkan di pasar internasional. Dengan 38 juta manusia yang
138 menggantungkan hidup di sektor itu, sektor perikanan memainkan peran penting dalam upaya pengentasan dari kemiskinan dan kebutuhan protein hewani. Data FAO menunjukan nilai ekspor ikan dunia tahun 2001 mencapai 58,2 milyar dolar AS, angka ini naik 5% dibandingkan tahun 2000. Produksi perikanan menyumbang 15-16% dari asupan protein hewani global. Komoditas perikanan merupakan komoditas ekspor yang selalu meningkat, kebutuhan ikan masyarakat internasional sebesar 5% per tahun dan mencapai 140 juta ton pada tahun 2004. Namun pemanfaatan potensi perikanan bagi Indonesia masih rendah, ditunjukan pada tahun 2002, dimana potensi lestari sebesar 6,2 juta ton per tahun dan baru termanfaatkan sebesar 64% (Business News, 17 Maret 2005). Ekspor hasil perikanan Indonesia meningkat secara signifikan dari sisi mutu maupun hasilnya, dalam periode 2003-2004 volume ekspor perikanan Indonesia naik 7,37%, dan nilainya naik lebih tinggi mencapai 30,33% (Business News, 21 Februari 2005).
Tabel 25 Pertumbuhan Produksi Perikanan Tangkap di Dunia Tahun 2000 (ribu ton)
Tahun 2002 (ribu ton)
Rata-rata Pertumbuhan per tahun (%)
24.580,7 1.942,2
27.767,3 2.191,7
6,3 6,2
788,5
915,1
7,7
Jepang 762,8 Sumber: Kompas, 28 Mei 2005
828,4
4,2
Negara China India Indonesia
Bila dilihat kapasitas ekspor produksi ikan Indonesia tingkat dunia dapat diperlihatkan pada Tabel 25. Seperti yang diperlihatkan pada tabel tersebut, posisi Indonesia sebagai negara pengekspor ikan masuk ke dalam peringkat ketiga produksi ikan dan memiliki pertumbuhan tertinggi dari empat negara yang memiliki kapasitas produksi ikan tertinggi di dunia. Untuk ekspor pada tahun 2002, Thailand tercatat sebagai eksportir terbesar setelah China dengan nilai sebesar 3,7 milyar dollar AS (Kompas 28 Mei
139 2005), sedangkan nilai ekspor Indonesia berada pada peringkat kelima dengan nilai sebesar 2,004 milyar dollar AS dengan volume ekspor sebesar 696.290 ton pada tahun 2003 (Suara Pembaruan, 5 Januari 2005). (3)
Kontribusi Sektor Perikanan dalam PDB Kontribusi sektor perikanan dalam PDB naik 26,04% lebih tinggi dari kenaikan PDB nasional sebesar 12,14 %. Produksi perikanan pada periode 2000-2004 juga meningkat dengan rata-rata sebesar 5,21% per tahun, dari 5,107 juta ton pada tahun 2000 menjadi 5,948 juta ton pada tahun 2003. Produksi perikanan nasional tersebut masih didominasi oleh usaha penangkapan dengan kontribusi sebesar 79,49% pada tahun 2003. (Suara Pembaruan, 5 Januari 2005).
(4)
Beberapa indikasi lainya yang menyebabkan kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal yang menjadikan ancaman bila tidak dilakukannya sistem pengawasan perikanan laut (DKP:2004) adalah : 1) Penangkapan ikan di wilayah ZEEI dan ekspor tidak termonitor (± 4.900 kapal) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 1,2 Milyar; 2) Kapal ilegal yang melanggar daerah penangkapan (± 1.275 kapal) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 573,75 Juta; 3) Kapal eks impor dengan penetapan pengadilan (± 475 kapal) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 142,50 Juta; 4) Kapal eks impor dengan ABK asing (± 6.500 ABK) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 7,80 Juta; Total kerugian US$ 1.924.050.000, dan menurut FAO (2001) ikan yang ditangkap secara ilegal 1,5 juta ton per tahun, sehingga menambah jumlah kerugian menjadi US$ 4 Milyar. Berdasarkan identifikasi di atas, secara ekonomi sumberdaya perikanan
Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan negara sehingga pemanfaatan model VMS sebagai sistem pengawasan pemantauan kapal penangkap ikan diupayakan untuk meningkatkan kontribusi pendapatan negara pada sektor perikanan laut. Namun kondisi tersebut juga masih memprihatinkan karena masih tingginya tingkat pencurian ikan. Sebuah artikel berjudul “Fishermen Leery of Federal Fishing Rule Changes“ (Bauman, 2005)
140 menyatakan bahwa negara/pemerintah perlu melakukan evaluasi apakah VMS diperlukan dalam semua aspek perikanan, bila diperlukan maka negara atau pemerintah pusat yang membiayai atas pemakaian VMS. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab negara dalam membiyai kegiatan VMS menjadi pertimbangan khusus.
5.2.1.3 Aspek Sosial Budaya Sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 yang berlanjut kepada krisis multidimensi dan multikomplek di Indonesia, struktur sosial budaya masyarakat Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dari sikap kritis masyarakat jika melihat suatu kebijakan pemerintah yang dinilainya bertentangan dengan pandangan atau norma-norma yang ada di masyarakat. Kondisi ini juga terlihat pada penerapan kebijakan pemantauan kapal penangkap ikan dengan model VMS sebagai sistem pengawasan kapal ikan. Beberapa sikap para pengusaha kapal ikan di antara lain adalah (1) Sikap tidak bersedia untuk di awasi; (2) Adanya penolakan pada saat pemasangan alat VMS di kapal; dan (3) Ketidakdisiplinan dalam memakai alat VMS dengan mematikan alat tersebut agar tidak berfungsi. Perilaku pengusaha kapal ikan yang tidak tunduk mematuhi aturan pemerintah dalam pemasangan alat VMS merupakan kendala dan ancaman dalam penerapan kebijakan VMS sebagai sistem pemantauan kapal ikan di Indonesia. Penolakan pengusaha kapal ikan dalam penerapan kebijakan model VMS lebih banyak disebabkan oleh keterbatasan informasi yang mereka dapatkan atas manfaat yang dirasakan dari teknologi ini. Seperti yang dituliskan oleh Kompas 15 Juli 2004, ditinjau dari aspek sosial model VMS akan memberikan manfaat sebagai berikut (1) nelayan tradisional akan mendapatkan jaminan usaha yang pasti; (2) terkikisnya potensi konflik sosial, khususnya antara perusahaan perikanan besar dengan menengah; dan (3) adanya peningkatan kesejahteraan yang disebabkan adanya peningkatan produksi. Dengan demikian, jika ditinjau dari tiga manfaat tersebut penerapan VMS merupakan peluang yang secara sosial
141 ekonomi dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan. Manfaat lain yang juga merupakan daya tarik dari program VMS adalah tersedianya fasilitas layanan website VMS secara gratis, melalui sistem website VMS ini memungkinkan perusahaan perikanan untuk memantau kapal perikanan yang mereka miliki tanpa memandang letak geografisnya, dan diharapkan melalui penyediaan fasilitas pelayanan ini dapat merupakan insentif atau rangsangan bagi pengusaha perikanan untuk tertarik mengikuti program VMS.
5.2.1.4 Aspek Biologi Tinjauan terhadap aspek biologi adalah berkaitan dengan sumber daya ikan, seperti yang dituliskan oleh Kompas 15 Juli 2004 yang mengupas ”Menekan Kerugian Negara”, potensi sumber daya ikan diperkirakan mencapai 6,2 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan 3,7 juta ton per tahun. Sumber daya perikanan ini umumnya bersifat common property artinya kepemilikannya bersifat umum serta open access, yang berarti pula akses terhadapnya bersifat terbuka. Sumber daya perikanan juga bersifat renewable (mampu pulih), namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Hal tersebut menjadi latar belakang perlunya sumberdaya perikanan dikelola dengan baik guna mencegah upaya penangkapan yang melewati ambang kemampuan regenerasinya (over fishing). Berkaitan dengan kegiatan over fishing, seperti yang diberitakan oleh Kompas, 19 November 2003, dituliskan bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar 1-4 milyar dollar AS per tahun akibat kegiatan pencurian ikan, namun kerugian terbesar adalah kerugian atas hilangnya sumber daya ikan itu sendiri. Kondisi ini memperlihatkan, betapa Indonesia belum mampu dalam mengawasi sumber daya ikan akibat pencurian dan penangkapan yang tidak terkendali. Menurut ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995)
menetapkan
bahwa
negara
bertanggung
jawab
menyusun
serta
mengimplementasikan sistem MCS terhadap pengelolaan penangkapan ikan. Konvensi hukum laut PBB 1982 (United Nations Convention Law of the Sea) menyebutkan pula bahwa pengelolaan sumber daya ikan mempunyai tiga tujuan utama. Pertama, pemanfaatan sumber daya ikan secara rasional. Kedua, pelestarian sumber daya ikan. Ketiga, keserasian usaha pemanfaatan. Bertitik
142 tolak dari kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu benang merah, bahwa setiap negara mempunyai kewajiban melakukan pengelolaan sumber daya ikan secara lestari dan bertanggung jawab. Dalam konteks inilah VMS sebagai bagian dari MCS (Monitoring, Control, and Surveillance) menjadi sangat penting dan relevan. Ketentuan FAO tersebut akan menjadi sebuah ancaman yang cukup serius bagi Indonesia yang menuntut Indonesia melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan melalui pengembangan sistem pengawasan .
5.2.2
Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan
5.2.2.1 Peraturan Hukum dan Kebijakan Internal Keberadaan peraturan pendukung secara internal seperti Kepmen Nomor 29, belum seutuhnya mampu mendorong pelaksanaan VMS di Indonesia. Sehingga DKP membutuhkan peraturan yang lebih rinci untuk dapat menetapkan VMS secara efektif, termasuk kebijakan-kebijakan di bidang financial yang menyangkut pembiayaan transmitter dan air time. Indikasi masih lemahnya kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mengatur
operasional
implementasi
VMS
adalah
masih
bermasalahnya
operasional pemasangan perangkat transmitter sehingga berakibat tidak tercapainya target pemasangan perangkat tersebut. 5.2.2.2 Kelembagaan Lembaga pengelola VMS yang ada saat ini berada di bawah Dirjen PSDKP yang dioperasionalkan oleh PMO VMS di bawah Direktur Sarana dan Prasarana PSDKP. Sumber daya manusia yang ada di lembaga PMO VMS adalah pejabat atau personil yang masih bertugas menjalankan tanggung jawab fungsional di direktorat masing-masing. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih antara tugas fungsional dengan tugas pengembangan penerapan VMS. Pimpinan PMO yang masih merangkap pada jabatan Eselon III seringkali mengalami kesulitan dalam berkordinasi dengan pejabat Eselon II pada internal DKP maupun pada instansi lain. Akibatnya koordinasi dalam pengambilan keputusan sulit dilakukan karena kurang terlibatnya para pejabat yang memiliki
143 kewenangan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu diperlukan lembaga integrator sebagai pengelola sistem VMS yang berada di bawah menteri dan mampu mengkoordinasikan semua lembaga internal (PSDKP, BRKP dan DJPT) mapun eksternal (TNI AL, POLAIRUT, dan Kejaksaan) yang terkait dengan sistem VMS. Identifikasi lainnya seperti yang diungkapkan di Kompas 13 Juli 2004, “Bisnis Industri Perikanan Masih Terapung-apung“ dituliskan bahwa secara lembaga TNI AL masih memiliki keterbatasan anggaran, peralatan dan personel. Kebutuhan standar dalam mengamankan laut yuridis nasional tidak kurang dari 239 KRI dan 114 pesawat udara patroli maritim, sedangkan kebutuhan minimal adalah 160 KRI dan 64 pesawat udara, namun kemampuan yang ada saat ini hanya 114 KRI dan 53 pesawat yang masih terbatas. Selain itu data yang diperoleh melalui DKP (2004) posisi kapal pengawas yang ada saat ini seperti yang tercantum pada Tabel 26. Daftar penempatan kapal pengawas lengkap dengan informasi pangkalan dan daerah operasi disajikan pada Lampiran 5.
Tabel 26 Kemampuan Armada Pengawas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kapal Pengawas Baracuda 01 Baracuda 02 Hiu 001 Hiu 002 Hiu 003 Hiu 004 Hiu 005 Hiu 006, 007, 008* Todak 01, 02* Marlin 01-06* (Speedboat)
Jumlah
Penempatan
1 1 1 1 1 1 1 3 2 6
Ketapang (Kalbar) Tanjung Pandan (Babel) PPS Bungus (Sumbar) Bitung (Sulut) PPS Jakarta Larantuka (NTT) Merauke (Papua) Sorong, Belawan, Tarakan Kendari, Gorontalo Bali, Mataram, Cilacap, Kotabaru, Makasar
* Pengadaan tahun 2003 (belum beroperasi) Sumber: Ditjen PSDKP, 2003
144 Dilihat dari jumlah dan kemampuan armada pengawas yang dimiliki saat ini, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 26, terlihat bahwa komposisi jumlah dan kemampuan armada pengawas yang ada saat ini masih jauh dari yang diharapkan dalam mengawasi wilayah laut Indonesia yang demikian luas. Sehingga kondisi menunjukan sangat memprihatinkan dan kemampuan yang dimiliki sangat lemah untuk mengoptimalkan sistem pengawasan perairan laut Indonesia. Apabila dibandingkan dengan Malaysia yang luas wilayah lautnya lebih kecil dengan Indonesia tetapi memiliki armada kapal pengawas yang lebih banyak. Sistem MCS di Malaysia didukung oleh kemampuan surveillance 85 unit kapal dari berbagai ukuran yang tersebar di 26 pangkalan di seluruh Malaysia, termasuk Sabah dan Sarawak Demikian halnya untuk kondisi sumber daya manusia, saat ini jumlah pegawai PPNS sebanyak 554 pegawai sedangkan untuk WASDI sebanyak 124 pegawai. Jumlah sumber daya yang ada saat ini pun masih jauh dari apa yang diharapkan dalam sistem pengawasan kapal penangkap ikan. Namun demikian usaha dari DKP untuk menetapkan target jumlah dan kemampuan sumber daya tersebut untuk terus ditambah, dimana DKP mengharapkan tambahan 120 pegawai dalam setiap tahunnya. Kondisi tersebut merupakan kelemahan secara lembaga yang berpengaruh pada penerapan model VMS dalam sistem pengawasan kapal ikan.
5.2.2.3 Aspek Teknologi VMS Secara teknologi, VMS merupakan salah satu teknologi monitoring yang memiliki kehandalan dalam melakukan fungsi pengawasan dan pemantauan kapal penangkap ikan, melalui sistem satelit, akan mudah mengetahui posisi kapal. Posisi kapal dapat dipantau dengan menggunakan jasa satelit navigasi (Global Positioning System/GPS) ataupun satelit lain yang berfungsi untuk menentukan lokasi dengan menempatkan penerima sinyal di kapal. Sesuai dengan tujuannya, seperti yang tertuang di dalam Kepmen Nomor 29 Tahun 2003, tujuan dari penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan melalui teknologi VMS adalah:
145 (1)
Meningkatkan pengelolaan sumber daya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan.
(2)
Meningkatkan pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan.
(3)
Meningkatkan ketaatan kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan secara lestari dan berkelanjutan.
Dilihat dari kemampuannya, teknologi VMS memiliki kemampuan sebagai berikut: (1)
Kemampuan dalam monitoring gerak kapal yang menyangkut sebagai berikut: 1) Posisi 2) Kecepatan 3) Jalur lintasan (tracking) 4) Waktu terjadinya pelanggaran, dalam hal terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kapal ikan maka beberapa aspek yang dapat diindikasikan yaitu: penyalahgunaan alat tangkap, pelanggaran wilayah tangkap, kemungkinan transhipment, ketaatan dalam penggunaan Tx dan Keypad, ketaatan di titik lapor/pelabuhan. 5) Keamanan pelayaran 6) Membantu memberikan informasi posisi kapal dalam beberapa kasus kejahatan di laut seperti kehilangan kontak, pembajakan dan kecelakaan; 7) Manajemen sumber daya ikan a) Mengetahui dengan lebih nyata di lapangan usaha penangkapan yang dilakukan di perairan mana saja, intensitasnya berapa, sehingga perkiraan sumber daya yang telah dimanfaatkan dapat diketahui; b) Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan;
146 c) Integrasi dengan sistem lain Dengan
sistem
radar
satelit
alat
deteksi
lainnya
untuk
mengidentifikasi kapal yang tidak memiliki transmitter yang merupakan indikasi kapal ilegal.
Keuntungan atas penerapan teknologi VMS yang dapat diperoleh atau dirasakan diantaranya adalah: (1)
Bagi Pemerintah 1) Mengurangi kerugian negara dari kegiatan illegal fishing dan illegal export; 2) Dapat melakukan pengendalian dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan; 3) Dapat memperoleh data dan informasi mengenai pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara cepat dan akurat.
(2)
Bagi Perusahaan Perikanan 1) Adanya jaminan berusaha (situasi yang kondusif, aman dan kepastian usaha jangka panjang); 2) Akses data dan informasi mengenai potensi dan pasar yang cepat dan akurat; 3) Memudahkan pengawasan operasional armada;
(3)
Bagi Para Nelayan Tradisional 1) Adanya jaminan berusaha 2) Menghilangkan potensi konflik sosial khususnya dengan perusahaan perikanan menengah dan besar; 3) Adanya peningkatan kesejahteraan disebabkan adanya peningkatan efisiensi produksi. Paparan di atas telah ditunjukkan kemampuan dari teknologi VMS yang
mampu melakukan sistem pengawasan kapal ikan, namun demikian di sisi lain terdapat kelemahan bagi Indonesia yang belum memiliki kemampuan dalam mengembangkan teknologi VMS yang berakibat pada tingginya tingkat ketergantungan Indonesia kepada vendor luar negeri, dan kemampuan teknologi VMS yang ada saat ini masih terbatas, sehingga belum berperan secara optimal.
147
5.2.3
Analisis Strategi Penerapan VMS dengan Matriks SWOT Berdasarkan hasil identifikasi peluang-ancaman dan kekuatan-kelemahan
di atas maka dapat disarikan ke dalam matriks SWOT untuk mendapatkan formulasi prioritas strategi penerapan model VMS dalam sistem pemantauan kapal ikan di Indonesia. Aspek SWOT harus diambil dari keenam aspek ekonomi, sosial,
biologi,
teknologi,
kelembagaan
dan
hukum/kebijakan.
Untuk
mendapatkan peluang dan ancaman ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, biologi dan hukum/kebijakan eksternal; sedangkan untuk mendapatkan kekuatan dan kelemahan ditinjau dari aspek kelembagaan (meliputi otoritas dan koordinasi antar lembaga, pendanaan, SDM dan kemampuan), aspek teknologi dan kebijakan internal yang pendukung penerapan VMS.
148 Tabel 27 Matriks SWOT Strategi Penerapan VMS No 1
STRENGTHS – S Aspek Lembaga Sudah adanya lembaga yang berwenang untuk pengawasan sumberdaya ikan Adanya perencanaan pengadaan SDM guna mendukung implementasi VMS
No 1
2
Aspek Teknologi VMS : a. Sudah memiliki Pusat Koordiantor pengendalian VMS, dan 2 regional center di batam dan ambon b. Sistem Pemantauan dengan VMS sudah dapat dioperasikan oleh DKP
2
3
Aspek Kebijakan: - Sudah memiliki peraturan hokum yang mengatur VMS secara khusus (Kepmen 29)
3
OPPORTUNITIES – O (PELUANG) Aspek Politik dan Kebijakan: a. UU NO 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai landasan yang kuat dalam membangun sistem pengawasan b. Akan adanya Inpres tentang ilegal fishing
No 1
SO STRATEGIES Menyediakan kebijakan pendukung dalam pengawasan VMS (O1;S3)
No 1
Aspek Ekonomi: Sektor Perikanan Laut memiliki pertumbuhan produksi yang terus meningkat, dan Indonesia sebagai negara produsen terbesar ketiga, dan perikanan tangkap memberikan kontribusi pada PDB
2
3
Aspek Biologi : Perairan laut Indonesia yang sangat luas dengan potensi kekayaan ikan yang berlimpah
3
Membangun sistem pengawasan perikanan yang terintegrasi (O4;W4)
3
No 1
THREATS – T (ANCAMAN) Aspek Politik dan Kebijakan Eksternal: Tuntutan dunia internasional terhadap lemahnya pelestarian budidaya laut Indonesia
No 1
ST STRATEGIES Menyediakan kebijakan pendukung dalam pengawasan perairan laut Indonesia (S2;T1)
No 1
2
Aspek Ekonomi: Hilangya pendapatan devisa pada sektor perikanan laut akibat tingginya tingkat pencurian ikan laut Aspek Sosial dan Budaya: Perilaku pengusaha kapal ikan yang miliki kesadaran rendah, keraguan dalam mengikuti VMS dan menolak pemasangan alat VMS serta tidak disiplin dalam mengaktifkan alat Keraguan pengusaha ikan terhadap pembiayaan VMS Tingkat keamanan alat VMS yang terpasang di Kapal tidak terjamin Aspek Biologi Tingginya tingkat pencurian ikan oleh kapal lokal dan asing (1.5juta ton/tahun)
2
Pemanfaatan Teknologi VMS sebagai sistem pengawasan kapal pengakapan ikan (S2;T2)
2
Pemanfaatan Teknologi VMS sebagai sistem pengawasan kapal pengakapan ikan (T2;W1-5)
3
Melakukan penegakkan hukum dalam sistem pengawasan penangkapan ikan dan untuk menjaga keamanan perangkat hukum (S2;T3)
3
Melakukan penegakkan hukum dan nyediakan perangkat hukum yang dapat mewajibkan kepada semua pemilik kapal ikan (T3;W3)
No 1
2
3
4
Membentuk SDM yang memiliki kemampuan dalam pengawasan (O1;S1)
4
Pemanfaatan Teknologi VMS sebagai sistem pengawasan kapal ikan (O1, O2;W1)
Menyusun metode pembebanan biaya VMS yang memiliki daya tarik bagi pengusaha penangkapan ikan (T3;S3) Menyediakan perangkat hukum dalam sistem pengawasan penagkapan ikan (S2;T4)
2
WEAKNESSES – W Aspek Lembaga: a. Lembaga PMO yang ada tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal b. Belum adanyan integrasi secara intensif dari masing-masing lembaga dalam sistem pengawasan kapal ikan c. Kurangnya fasilitas pendukung bagi Lembaga yg memiliki kwenangan pengawasan kapal ikan d. Dukungan SDM yang belum memiliki kapabilitas dalam memanfaatkan dan mengembangkan teknologi VMS e. Keterbatasan dana dalam mendukung sistem pengawasan kapal ikan Aspek Teknologi VMS : a. Ketergantungan yang tinggi pada vedor perangkat VMS b. kemampuan teknologi VMS masih terbatas, tidak mampu menganalisis indikasi pelanggaran secara ”on line” Aspek Kebijakan Internal: Kebijakan pendukung yang berkaitan dengan operasi pelaksanaan VMS masih belum lengkap WO STRATEGIES Menyediakan kebijakan pendukung dalam pengawasan VMS (O1;W3,W5) Membentuk lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam pengawasan yang didukung dengan fasilitas pendukung (W3;O1) Pemanfaatan Teknologi VMS sebagai sistem pengawasan kapal ikan (O1, O2;W1) Memberdayakan lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam pengawasan kapal (O1;W1,3) Membangun sistem pengawasan perikanan yang terintegrasi (O4;W4) WT STRATEGIES Menyediakan perangkat hukum dalam sistem pengawasan penagkapan ikan (T1;W3)
Menyusun metode pembebanan biaya VMS yang memiliki daya tarik bagi pengusaha ikan (T3;W3) 4
Menyediakan perangkat hukum dalam sistem pengawasan penagkapan ikan (T4;W2)
Sumber : Hasil Analisis
Atas dasar matriks SWOT di atas, maka pilihan atau alternatif strategi di atas dikelompokan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: (1)
Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS yang dapat memberikan keringanan biaya bagi pengusaha kapal ikan. Strategi ini menjadi perlu untuk dilaksanakan karena adanya perilaku masyarakat (pengusaha) yang
149 kurang memahami manfaat teknologi VMS untuk jangka panjang sehingga merasa
terbebani
terhadap
biaya
pemasangan
perangkat
VMS.
Pertimbangan atas munculnya strategi ini didasari kepada analisis SWOT di atas dengan pertimbangan pada poin Menyusun metode pembebanan biaya VMS yang memiliki daya tarik bagi pengusaha kapal ikan (T3,S3; T3,W3). (2)
Strategi optimalisasi lembaga, strategi ini dimunculkan atas pertimbangan dari strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT di atas, yaitu Memberdayakan lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam pengawasan kapal (O1;W1,3).
(3)
Strategi pengembangan sumber daya manusia, strategi ini dimunculkan atas pertimbangan dari strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT di atas, yaitu Membentuk
SDM yang memiliki kemampuan dalam pengawasan yang
didukung dengan fasilitas pendukung (O1,W1; O1,S1). (4)
Strategi penegakan hukum dalam sistem pemantauan kapal ikan, strategi ini dimuncukan atas pertimbangan dari beberapa strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT di atas, diantaranya adalah (1) Menyediakan kebijakan pendukung dalam pengawasan VMS (O1,S3; O1;W3; T1,S2;T1,W3), (2) Menyediakan perangkat hukum dalam sistem pengawasan penagkapan ikan (T3,S2;T4,S2), dan (3) Menyediakan perangkat hukum yang dapat mewajibkan kepada semua pemilik kapal ikan (T3;W3).
(5)
Strategi optimalisasi sistem pengawasan kapal ikan, strategi ini dimuncukan atas pertimbangan dari beberapa strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT di atas, diantaranya adalah Pemanfaatan Teknologi VMS sebagai sistem pengawasan kapal ikan (O1-2,W1;).
Dari kelima strategi di atas perlu dikelompokkan menjadi tiga pilihan strategi yang dilakukan analisis AHP berdasarkan pertimbangan manfaat dan biaya untuk menetapkan model strategy yang diprioritaskan untuk dijalankan dalam menerapkan kebijakan VMS, yaitu sebagai berikut (1)
Strategi pembebanan biaya penerapan VMS yang dapat memberikan keringanan biaya bagi pengusaha kapal ikan. Strategi ini menjadi perlu untuk dilaksanakan karena adanya perilaku masyarakat (pengusaha ikan)
150 yang kurang memahami manfaat teknologi VMS untuk jangka panjang sehingga merasa terbebani terhadap biaya pemasangan perangkat VMS. (2)
Strategi optimalisasi lembaga dan pengembangan sumber daya manusia, strategi ini dimunculkan atas pertimbangan penggabungan antara strategi pemberdayakan lembaga dan SDM yang memiliki otoritas penuh dalam pengawasan yang didukung dengan fasilitas pendukung.
(3)
Strategi penegakan perangkat hukum dan sistem pengawasan kapal ikan, strategi ini dimuncukan atas pertimbangan penggabungan antara penegakan perangkat hukum dengan pemanfaatan teknologi VMS sebagai sistem pengawasan kapal ikan (O1-2,W1).
(4)
Ketiga strategi di atas selanjutnya dilakukan analisis manfaat dan biaya untuk dipilih menjadi strategi yang memiliki prioritas tertinggi. Analisis keputusan dalam penerapan metode VMS dengan menggunakan
piranti AHP secara hirarki ditunjukan pada bagian metodologi 5.3
Analisis Pemilihan Strategi Penerapan VMS dengan AHP AHP (Analitic Hierarchy Proces) merupakan metode pengambilan
keputusan, yang peralatan utamanya adalah sebuah hierarki. Hierarki suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah dalam kelompokkelompoknya dan kemudian diatur menjadi suatu hierarki. Elemen yang mempunyai kesamaan dikelompokkan menjadi satu. Untuk menentukan penting tidaknya suatu elemen dibandingkan elemen lainnya, digunakan nilai atau skala terbatas (Saaty, 1992). Data utama AHP adalah persepsi manusia yang dianggap ahli. Kriteria ahli bukan berarti jenius, pintar dan bergelar doktor, tetapi lebih mengacu pada orang yang mengerti benar permasalahannya (Permadi, 2002). 5.3.1
Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat untuk Masing-Masing Aspek (Analisis Manfaat) Dalam menganalisis manfaat penggunaan metode VMS bagi pengawasan
kapal penangkap ikan dilakukan melalui analisis AHP dengan menggunakan tinjauan terhadap manfaat dari penerapan metode VMS. Penilaian
manfaat
penerapan metode VMS ditinjau dari enam aspek yaitu: ekonomi, sosial, biologi,
151 teknologi, kelembagaan dan hukum atau peraturan. Diagram AHP untuk aspek manfaat disajikan pada bagian metodologi Bab 3 disertasi ini, sedangkan tinjauan secara manfaat atas penerapan metode VMS untuk sistem pengawasan kapal ikan yang ditinjau dari keenam aspek seperti yang diperlihatkan pada Tabel 28. Tabel 28 Tingkat Kepentingan Manfaat Penerapan VMS dari MasingMasing Aspek Aspek Ekonomi Sosial Biologi Teknologi Kelembagaan Hukum Total
Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
0.3838
0.3219
0.1778
0.1382
0.1763
0.1103
0.0538
0.1663
0.0274
0.0165
0.1810 1.0000
0.2468 1.0000
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 28, terlihat bahwa manfaat ekonomi yang paling besar atas penerapan model VMS dapat dirasakan oleh pemerintah maupun pengusaha kapal ikan. Hasil ini mengindikasikan bahwa penerapan model VMS akan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam pengelolaan sumber daya ikan sehingga dapat memberikan peningkatan pendapatan nilai ekonomis. Seperti yang dipaparkan pada tinjauan aspek ekonomi pada sub bab sebelumnya Indonesia memiliki kekayaan sumber daya ikan (SDI) yang sangat melimpah, terbukti bahwa Indonesia merupakan negara produsen ikan terbesar ketiga di dunia. Kontribusi terhadap PDB pun sektor perikanan tangkap memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu sebesar 79,49% pada tahun 2003 (Suara Pembaruan, 5 Januari 2005). Produksi perikanan pada periode 2000-2004 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,21% per tahun, dari 5,107 juta ton pada tahun 2000 menjadi 5,948 juta ton pada tahun 2003. Apabila penerapan model VMS berhasil, dan usaha penangkapan ikan dapat dikendalikan dan kelestarian sumberdaya ikan lebih terjaga, maka peningkatan produksi
152 perikanan lebih terjamin, karena tingginya kakayaan SDI yang dimiliki sampai dengan saat ini masih belum memiliki sistem pemantauan dan pengawasan yang handal. Tinjauan atas manfaat pada keenam aspek tersebut adalah: (1)
Ekonomi Seperti yang telah dikatakan di atas, berdasarkan hasil FGD maka terdapat empat manfaat yang dirasakan dalam penerapan model VMS ditinjau dari bidang ekonomi meliputi: 1) Manfaat adanya peningkatan pendapatan baik yang dirasakan oleh pemerintah maupun pemilik kapal, model VMS akan mengurangi atau mencegah tingkat pencurian ikan sehingga akan meningkatkan pendapatan bagi kedua belah pihak; 2) Manfaat penghematan biaya pemantauan kapal ikan, melalui model VMS,
sistem
pemantauan
dan
pengawasan
kapal
ikan
dapat
dikendalikan melalui sentral pengawasan di darat sehingga tidak perlu lagi kapal patroli yang harus berkeliling setiap saat; 3) Manfaat berkurangnya tingkat pencurian ikan, model VMS akan mengawasi setiap kapal yang melakukan pencurian ikan atau transaksi penjualan ikan di tengah laut, artinya tingkat kerugian negara atas hilangnya ikan akan berkurang; Sebagai akibat dari berkurangnya tingkat pencurian, maka sumber daya ikan akan terjaga sehingga nelayanpun tidak lagi kesulitan dalam mendapatkan ikan sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi nelayan. Dari keempat manfaat di atas, setelah dilakukan survei terhadap lima orang pakar dan praktisi di bidang kelautan dan perikanan untuk mendapatkan manfaat mana yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi bagi pihak pemerintah dan pengusaha kapal ikan, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 29.
153 Tabel 29 Tingkat Kepentingan Manfaat Yang dirasakan Pemerintah dan Pengusaha dari Aspek Ekonomi Aspek Ekonomi Peningkatan Pendapatan Menghemat Biaya dan Waktu Pengawasan Mengurangi Kerugian Negara Meningkatkan Kesejahteraan Nelayan Total
Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
0.6871
0.6604
0.0663
0.0606
0.0652
0.1976
0.1814 1.0000
0.0814 1.0000
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Berdasarkan Tabel 29, terlihat bahwa manfaat secara ekonomi yang paling besar dirasakan oleh pemerintah dan pengusaha kapal ikan atas pemanfaatan model VMS adalah dalam hal peningkatan pendapatan. Sehingga atas dasar tingkat kepentingan dari keempat manfaat di atas maka pilihan strategi yang paling sesuai bagi kedua pihak seperti yang disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 30 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Ekonomi Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM
Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
0.7283
0.2170
0.2082
0.7180
0.0635 0.0650 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Ditinjau dari aspek manfaat ekonomi maka perlu dipilih suatu strategi dalam penerapan model VMS sebagai sistem pemantauan kapal ikan. Berdasarkan hasil analisis dengan matriks SWOT telah dipilih tiga pilihan strategi seperti yang diperlihatkan pada Tabel 30. Dari tiga pilihan
154 strategi
tersebut,
menurut
kelima
responden
menyatakan
lebih
memprioritaskan strategi sistem pembebanan biaya VMS merupakan strategi yang paling sesuai dilakukan bagi pengusaha kapal ikan, sedangkan strategi yang paling sesuai untuk diprioritaskan bagi pihak pemerintah adalah strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan. Pilihan prioritas ini didasarkan karena bagi pihak pemerintah lebih memandang dari segi regulasi dan hukum yang memiliki kekuatan dalam penerapan model VMS karena berdasarkan pengalaman implementasi pada tahap pertama terlihat bahwa pemerintah belum memiliki kesiapan dalam regulasi pendukung penerapan model VMS. Namun dari pihak pengusaha lebih menekankan pada aspek biaya karena seperti hasil sosialisasi dan pengunpulan data melalui kuesioner tentang penerapan VMS, sebagian besar pengusaha kapal merasa keberatan dalam pembiayaan investasi dan operasional alat tersebut. (2)
Sosial Tinjauan atas aspek manfaat sosial yang dapat dirasakan dalam penerapan model VMS berdasarkan hasil FGD didapat tiga manfaat sosial yaitu: 1) Menekan terjadinya konflik antara pemilik kapal dengan nelayan, melalui teknologi VMS, pemilik kapal akan mendapatkan informasi yang pasti terhadap kegiatan penangkapan dan jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan, sehingga dapat mengurangi potensi konflik diantara keduanya. Demikian halnya bagi pihak pemerintah, model VMS akan menekan konflik sosial antara pemerintah dengan pengusaha kapal dalam menilai kegiatan penangkapan dan informasi hasil tangkapan. 2) Meningkatkan kesadaran nelayan bahwa dalam melakukan penangkapan mereka tidak melakukan tindak kesewenangan yang berdampak pada kelestarian sumber daya ikan dan pelanggaran hukum. 3) Meningkatkan rasa aman bagi semua pihak, karena melalui teknologi VMS akan membantu mengetahui posisi kapal yang mengalami kecelakaan atau hilang di tengah laut.
155 Berdasarkan ketiga aspek di atas, setelah dilakukan survei dan wawancara terhadap lima orang pakar di bidang perikanan laut dalam menilai tingkat kepentingan dari ketiga manfaat sosial di atas, maka dapat diperoleh hasil seperti pada Tabel 31.
Tabel 31 Pembobotan Manfaat Sosial Penerapan VMS Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Aspek Sosial
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
Menekan Potensi Konfliks Meningkatkan Kesadaran Nelayan Meningkatkan Rasa Aman
0.2559 0.1904 0.0811 0.7403 0.6630 0.0703 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang terlihat pada Tabel 31, manfaat sosial yang paling besar bobotnya bagi pengusaha adalah dapat meningkatkan rasa aman dalam melakukan kegiatan penangkapan/berlayar, sedangkan manfaat sosial yang dirasakan bagi pemerintah adalah dapat meningkatkan kesadaran bagi nelayan dalam upaya peningkatan sistem pengawasan dan pelestarian sumber daya ikan Indonesia. Pemberian kesadaran bagi nelayan atas manfaat model VMS menjadi perhatian yang paling penting karena berdasarkan
hasil
laporan
sosialisasi
penerapan
model
VMS
mengindikasikan bahwa sebagian besar pengusaha kapal belum memiliki kesadaran atas manfaat dari model VMS bagi mereka. Dengan demikian melalui penerapan model VMS ini diharapkan pemerintah dapat merasakan manfaat yang besar atas tingginya kesadaran pengusaha akan pentingnya model VMS. Berdasarkan ketiga manfaat di atas, maka prioritas strategi yang paling sesuai baik bagi pemerintah maupun pengusaha kapal ikan dalam menerapkan model VMS adalah sebagai berikut:
156 Tabel 32 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Sosial Strategi
Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
0.7283
0.2172
Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM
0.2082 0.7187 0.0635 0.0651 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Ditinjau dari manfaat sosial, prioritas strategi penerapan VMS yang paling sesuai bagi pengusaha kapal ikan adalah sistem pembebanan biaya, karena melalui strategi ini diharapkan pengusaha dapat terdorong untuk merasakan manfaat sosial dari penerapan model VMS. Prioritas strategi bagi pemerintah adalah stratagi penegakan hukum dan peningkatan kemampuan pengawasan, artinya strategi ini menjadi lebih diprioritaskan karena melalui penegakan hukum dan kemampuan pengawasan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan dapat menekan potensi konflik antara pemerintah dan pengusaha. (3)
Biologi Tinjauan atas manfaat secara biologi dalam penerapan model VMS berdasarkan hasil FGD meliputi tiga manfaat, yaitu: 1) Mengurangi
tindakan
atau
perilaku
nelayan
yang
melakukan
pelanggaran dengan cara melaggar wilayah operasi penangkapan, sehingga dapat merusak kelestarian sumberdaya ikan dan meyebabkan terjadinya over fishing atau melakukan penangkapan yang melebihi batas yang ditetapkan. 2) Sebagai akibat poin satu di atas akan berdampak pada terjaganya kelestarian sumber daya ikan; 3) Sebagai akibat kedua poin di atas, maka akan mudah bagi perencanaan dan pengelolaan sumber daya ikan, karena setiap nelayan menjadi disiplin dalam menangkap ikan sesuai izin yang mereka peroleh.
157 Berdasarkan ketiga aspek manfaat biologi di atas, maka hasil hasil survei terhadapa lima orang ahli dan pakar di bidang kelautan dan perikanan dalam menilai tingkat kepentingan dari ketiga aspek tersebut, didapat hasil seperti pada Tabel 33. Tabel 33 Pembobotan Manfaat Biologi Penerapan VMS Aspek Biologi
Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
0.6728 0.2429
0.1904 0.7394
Mengurangi Over Fishing Pelestarian Sumber Daya Ikan Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Ikan
0.0842 0.0702 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang disajikan pada Tabel 33, manfaat secara biologi yang dirasakan pengusaha adalah dalam hal dapat mengurangi pelanggaran wilayah tangkap yang meyebabkan over fishing sedangkan bagi pemerintah adalah manfaat pelestarian sumber daya ikan. Manfaat secara biologi antara mengurangi over fishing dan pelestarian sumber daya ikan merupakan dua aspek manfaat yang paling signifikan tingkat manfaatnya. Hal ini terjadi karena Indonesia memiliki tingkat kerugian yang paling tinggi akibat pencurian ikan dan over fishing yang tidak terkendali. Sehingga atas dasar pertimbangan manfaat biologi tersebut, maka strategi yang sesuai seperti yang disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Biologi Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
Sistem Pembebanan Biaya VMS
0.7283
0.2170
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.2082
0.7180
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.0650
Strategi
1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
158 Ditinjau dari manfaat biologi, prioritas strategi penerapan VMS yang paling sesuai bagi pengusaha kapal ikan adalah sistem pembebanan biaya, karena melalui strategi ini diharapkan pengusaha dapat terdorong untuk merasakan manfaat biologi terutama dalam melestarikan sumberdaya ikan dengan mengurangi kegiatan over fishing. Prioritas strategi bagi pemerintah adalah stratagi penegakan hukum dan peningkatan kemampuan pengawasan, artinya strategi ini menjadi lebih diprioritaskan karena melalui penegakan hukum dan kemampuan pengawasan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan dapat menekan potensi konflik antara pemerintah dan pengusaha. (4)
Teknologi Tinjauan atas aspek manfaat teknologi dari penerapan model VMS berdasarkan hasil FGD meliputi empat aspek manfaat, yaitu: 1) Keandalan teknologi VMS akan meningkatkan kemampuan sistem pengawasan dan pemantauan penangkapan ikan dan ketaatan nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan. 2) Memudahkan dalam mendapatkan data dan informasi tentang kegiatan penangkapan dan hasil tangkapan. 3) Kemudahan dalam mengakses data dan informasi secara realtime online; 4) Data dan informasi yang diperoleh akan memberikan manfaat untuk menganalisis berbagai kebutuhan berkaitan dengan perencanaan dan pengelolaan sumber daya seperti jumlah tangkapan, jumlah kapal, wilayah penangkapan dan potensi ikan.
Keempat aspek manfaat teknologi di atas, berdasarkan hasil survei untuk mendapatkan tingkat kepentingan didapat hasil seperti yang tersaji dalam Tabel 35.
159 Tabel 35 Pembobotan Manfaat Teknologi Penerapan VMS Aspek Teknologi
Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
Kemampuan Pengawasan
0.5314
0.5874
Kelengkapan Data dan Informasi
0.3021
0.2509
Akses Informasi
0.1057
0.1164
Analisis Informasi
0.0608
0.0463
1.0000 1.0000 Sumber : Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang disajikan pada Tabel 35, manfaat secara teknologi yang dirasakan oleh pengusaha dan pemerintah memiliki kesamaan manfaat, yaitu teknologi VMS dapat memberikan kemampuan dalam pengawasan kapal penangkap ikan. Sehingga atas dasar pertimbangan manfaat teknologi tersebut, maka strategi yang sesuai seperti yang disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 36 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Teknologi Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
Pembebanan Biaya VMS
0.7283
0.2170
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.2082
0.7180
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.0650
1.0000
1.0000
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar da Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang terlihat pada Tabel 36, pemilihan strategi penerapan model VMS yang ditinjau berdasarkan manfaat secara teknologi maka prioritas strategi sistem pembebanan biaya menjadi prioritas utama bagi pengusaha kapal ikan, karena ditinjau dari manfaatnya penerapan teknologi VMS akan membutuhkan biaya investasi dan pemeliharaan yang cukup besar bagi pihak pengusaha kapal ikan. Namun bagi pihak pemerintah prioritas strategi yang sesuai adalah melalui penegakan hukum dan peningkatan kemampuan pengawasan. Alasan kenapa strategi ini menjadi
160 lebih prioritas karena secara teknologi model VMS memiliki kemampuan yang dapat diandalkan sebagai sistem pemantauan dan pengawasan kapal ikan, disamping itu pemerintah juga perlu menyiapkan perangkat hukum dalam menunjang sistem pemantauan dan pengawasan tersebut. (5)
Kelembagaan Tinjauan atas manfaat kelembagaan atas penerapan model VMS bagi sistem pemantauan dan pengawasan kapal ikan seperti yang disajikan berikut ini: 1) Optimalisasi fungsi pengawasan sumberaya ikan, tersedianya teknologi dan perangkat VMS dapat dijadikan sarana pendukung dalam meningkatkan peran dan fungsi lembaga yang melakukan pemantauan dan pengawasan kapal penangkap ikan. 2) Kemudahan dalam melakukan koordinasi antar lembaga, teknologi VMS diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antara lembaga yang terkait dalam sistem pengawasan; 3) Memberikan ketegasan yang kuat terhadap fungsi dan tugas setiap lembaga yang terkait dalam sistem pengawasan, hasil pemantauan kapal ikan dapt merupakan bukti untuk melakukan penegakkan hukum. Berdasarkan ketiga aspek manfaat di atas, setelah dilakukan survei terhadap lima orang pakar di bidang kelautan dan perikanan untuk menilai tingkat kepentingan dari ketiga aspek manfaat tesebut, maka dapat diperoleh hasil seperti pada Tabel 37.
Tabel 37 Pembobotan Manfaat Kelembagaan Penerapan VMS Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
Optimalisasi Pengawasan
0.6584
0.6941
Optimalisasi Koordinasi antar Lembaga
0.2529
0.2310
Ketegasan dalam kewenangan setiap lembaga
0.0887
0.0749
Aspek Kelembagaan
1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
161
Seperti yang disajikan pada Tabel 37, manfaat paling besar dirasakan bagi pengusaha dan pemerintah adalah dapat mengoptimalkan sistem pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan. Bagi pemerintah, dengan adanya pemanfaatan model VMS akan mendukung mengoptimalkan fungsi pengawasan pada lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengawasan. Sedangkan bagi pengusaha manfaat yang didapat adalah adanya kepastian terhadap lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan, karena saat ini belum ada lembaga yang memiliki kewenangan penuh dalam sisitem pengawasan kapal ikan. Atas dasar pertimbangan di atas, maka prioritas strategi yang sesuai bagi kedua belah pihak seperti yang disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 38 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Kelembagaan Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
Pembebanan Biaya VMS
0.7283
0.2170
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.2082
0.7180
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.0650
1.0000
1.0000
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Bagi pemerintah strategi yang menjadi prioritas adalah strategi penegakan hukum dan peningkatan kemampuan pengawasan, artinya jika ditinjau dari segi manfaat lembaga, pemerintah perlu menyiapkan perangkat hukum dalam menunjang optimalisasi lembaga pengawasan tersebut. Sedangkan jika ditinjau dari pihak pengusaha, perlu dibuatkan model sistem pembebanan biaya VMS, karena dengan adanya optimalisasi lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengawasan kapal ikan maka untuk mendukung optimalisasi pengawasan tersebut perlu disiapkan model sistem pembebanan biaya pengadaan perangkat VMS yang mampu memotivasi pengusaha untuk ikut VMS.
162 (6)
Hukum dan Peraturan Tinjauan atas aspek manfaat di bidang hukum dan peraturan dengan adanya penerapan model VMS didapat tiga manfaat yang meliputi: 1) Penerapan model VMS dapat dijadikan salah satu perangkat hukum; 2) Model VMS dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam mendukung dan membuktikan tindak pidana pelanggaran dan pencurian ikan; 3) Dapat meningkatkan kepatuhan para nelayan agar tidak melakukan pelanggaran wilayah tangkap dan pencurian ikan Berdasarkan ketiga aspek manfaat di atas, setelah dilakukan survei oleh lima orang pakar di bidang kelautan dan perikanan dalam menilai tingkat kepentingan dari ketiga aspek tersebut, maka dapat diperoleh hasil seperti pada Tabel 39.
Tabel 39 Pembobotan Manfaat Hukum Penerapan VMS Aspek Hukum
Bobot Manfaat Bagi Pengusaha
Bobot Manfaat Bagi Pemerintah
Kelengkapan Perangkat Hukum Mendukung Tindak Pelanggaran Meningkatkan Kepatuhan
0.6843 0.3190 0.2276 0.2005 0.0881 0.4800 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan PraktisiPerikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang disajikan pada Tabel 39, manfaat yang paling besar dirasakan di bidang hukum bagi pemerintah adalah model VMS dapat dijadikan upaya dalam meningkatkan kepatuhan dari pemilik kapal. Karena dengan adanya model VMS seluruh kapal ikan akan selalu terawasi dan dapat meminimalkan tingkat pencurian dan illegal fishing dengan demikian kelestarian sumber daya ikan selalu terjaga. Sedangkan bagi pengusaha manfaat
yang paling besar dirasakan manfaatnya adalah sebagai
kelengkapan dalam perangkat hukum, artinya dengan adanya model VMS pemerintah akan mudah dalam membuktikan adanya tindak pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal ikan. Atas dasar pertimbangan
163 manfaat hukum tersebut, maka strategi yang sesuai bagi kedua pihak seperti yang disajikan pada Tabel 40. Tabel 40 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Hukum Strategi
Bobot Manfaat Bobot Manfaat Bagi Pengusaha Bagi Pemerintah
Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM
0.7283 0.2170 0.2082 0.7180 0.0635 0.0650 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Pemilihan strategi penerapan VMS yang ditinjau berdasarkan manfaat secara hukum terdapat perbedaan pilihan. Bagi Pemerintah strategi yang sesuai adalah melalui penegakan hukum, namun bagi pengusaha adalah strategi sistem pembebanan atas biaya penerapan VMS.
5.3.2
Pemilihan Strategi VMS Berdasarkan Biaya untuk Masing-Masing Aspek Analisis biaya dilakukan untuk melihat seberapa besar biaya yang harus
dikeluarkan (baik biaya tangible maupun intangible) dalam implementasi model VMS. Tinjauan analisis aspek biaya tidak hanya dilihat pada pihak pemerintah, namun juga dilihat pada pihak pengusaha. Aspek-aspek biaya yang harus dikeluarkan dalam penerapan model VMS ditinjau pula dari enam bidang yaitu ekonomi, sosial, biologi, teknologi, kelembagaan dan hukum atau peraturan. Diagram AHP untuk aspek manfaat disajikan pada bagian metodologi pada bab 3 disertasi ini, sedangkan tinjauan secara biaya atas penerapan model VMS untuk pemantauan dan pengawasan kapal ikan yang ditinjau dari keenam bidang disajikan pada Tabel 41.
164 Tabel 41 Pembobotan Atas Biaya Penerapan VMS Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
Ekonomi
0.4426
0.4223
Sosial
0.1978
0.1699
Biologi
0.1469
0.1596
Teknologi
0.0700
0.0247
Kelembagaan
0.0326
0.0589
Hukum
0.1101
0.1646
Aspek
Total
1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Berdasarkan Tabel 41 terlihat bahwa biaya secara ekonomi atas penerapan model VMS merupakan biaya yang paling besar yang dirasakan bagi pemerintah maupun pengusaha kapal ikan. Dasar pemilihan kenapa biaya secara ekonomi merupakan biaya yang lebih besar dibandingkan biaya pada bidang lainnya adalah: (1)
Bagi pihak pemerintah, secara ekonomi dibutuhkan biaya investasi dan biaya operasional penerapan perangkat VMS.
(2)
Bagi pihak pengusaha, secara ekonomi juga dibutuhkan biaya investasi dan biaya airtime perangkat transmiter.
(3)
Biaya secara ekonomi merupakan biaya yang lebih dahulu dirasakan bagi kedua pihak dibandingkan biaya pada aspek lainnya. Tinjauan biaya secara detail untuk keenam aspek atas penerapan metode
VMS adalah sebagai berikut: (1)
Ekonomi Seperti yang dituliskan di atas, biaya secara ekonomi merupakan biaya yang paling besar dirasakan baik oleh pemerintah maupun pengusaha bila dibandingkan biaya pada kelima bidang lainnya. Hasil dari FGD, pertimbangan biaya ekonomi yang harus menjadi beban bagi kedua pihak meliputi:
165 a) Biaya Investasi, yaitu biaya investasi perangkat keras dan lunak dari teknologi VMS. b) Biaya Pemeliharaan, yaitu biaya pemeliharaan bila terjadi kerusakan atas teknologi VMS. c) Biaya Operasional, yaitu biaya tenaga dan perangkat pendukung dalam menjalankan perangkat VMS bagi pihak pemerintah dan biaya sewa atau air time setiap bulannya bagi pihak pengusaha. d) Biaya Pengembangan, yaitu biaya yang harus dikeluarkan apabila ada pengembangan teknologi baru dari VMS yang ada saat ini
Dari keempat biaya ekonomi di atas, melalui
AHP dan FGD
dilakukan analisis untuk mendapatkan biaya ekonomi yang paling besar dirasakan bagi kedua pihak, hasilnya disajikan pada Tabel 42.
Tabel 42 Pembobotan Biaya Ekonomi Penerapan VMS Aspek Ekonomi
Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
Biaya Investasi Biaya Pemeliharaan Biaya Operasional Biaya Pengembangan
0.5886 0.6798 0.0568 0.0659 0.0947 0.1832 0.2600 0.0711 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Pada Tabel 42 terlihat bahwa, baik pemerintah maupun pengusaha, biaya investasi merupakan beban biaya yang terbesar dirasakan bagi kedua pihak. Sehingga atas dasar pertimbangan biaya ekonomi tersebut, maka strategi yang sesuai adalah seperti yang disajikan pada tabel berikut ini.
166 Tabel 43 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Ekonomi Strategi Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM
Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
0.0653
0.2231
0.6901 0.7077 0.2446 0.0693 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Apabila ditinjau dari beban biaya yang dikeluarkan, maka strategi yang memiliki beban biaya terbesar bagi pengusaha adalah strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan. Strategi ini menjadi beban biaya terbesar karena akan menjadi beban biaya terbesar bagi pengusaha bila mereka melakukan pelanggaran hukum. Demikian halnya bagi pemerintah, strategi ini memungkinkan terjadinya kolusi antara aparat penegak hukum dan pengusaha bila penerapannya tidak didukung dengan sistem pengawasan yang kuat. (2)
Sosial Analisis biaya yang ditinjau dari sisi sosial berkaitan dengan penerapan model VMS meliputi: 1) Biaya Pelatihan, bagi pihak pemerintah adalah biaya yang harus dikeluarkan dalam memberikan pelatihan kepada nelayan atau pemilik kapal. Sedangkan bagi pengusaha adalah biaya yang kehilangan kesempatan menangkap ikan karena mengikuti pelatihan. 2) Biaya Konflik Interest, yaitu biaya intangible bila terjadi konflik interest antara pemerintah dengan pemilik kapal, atau antara pemilik kapal dengan nelayan; 3) Biaya Pembinaan dan Pemberdayaan, bagi pihak pemerintah adalah biaya yang harus dikeluarkan dalam membina para pemilik kapal agar sadar untuk menggunakan perangkat VMS, sedangkan bagi pengusaha adalah biaya intangible karena membina kesadaran nelayan.
167 4) Biaya Sosialisasi, adalah biaya sosialisasi secara nasional atas penerapan model VMS kepada para pemilik kapal. (Bagi Pemerintah dalam bentuk biaya penyelenggaraan, dan bagi pengusaha dalam bentuk biaya ikut serta dan mengganggu usaha penangkapan). Berdasarkan keempat aspek di atas, setelah dilakukan survei kepada lima orang pakar di bidang kelautan dan perikanan melalui AHP dan FGD dalam menilai biaya yang dikeluarkan, maka dapat diperoleh hasil seperti pada Tabel 44. Tabel 44 Pembobotan Biaya Sosial Penerapan VMS Aspek Sosial
Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
Biaya Pelatihan Biaya Konflik Interest Biaya Pembinaan Biaya Sosialisasi
0.1830 0.0425 0.6469 0.6215 0.0579 0.1295 0.1488 0.2395 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Berdasarkan Tabel 44 diketahui bahwa biaya konflik interest merupakan beban biaya besar yang dirasakan oleh pengusaha kapal. Pertimbangan atas biaya ini dikarenakan kemungkinan terjadinya konflik interest atas pemasangan perangkat transmitter, baik antara pengusaha dengan nelayan maupun antara pengusaha dengan pemerintah. Sedangkan beban biaya sosial yang paling besar dirasakan oleh pihak pemerintah adalah biaya sosialiasi. Beban biaya sosialisasi manfaat dan kewajiban pemasangan perangkat transmitter bagi seluruh pengusaha kapal ikan diseluruh Indonesia menjadi besar bagi pihak pemerintah karena pemerintah perlu mensosialisasikan. Sehingga atas dasar pertimbangan biaya sosial tersebut, maka strategi yang diprioritaskan bagi kedua pihak seperti yang disajikan pada Tabel 45.
168 Tabel 45 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Sosial Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
Sistem Pembebanan Biaya VMS
0.0701
0.0544
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7180
0.7130
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.2119
0.2326
1.0000
1.0000
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang terlihat pada Tabel 45, pilihan strategi yang memberikan beban
biaya
sosial terbesar adalah strategi penegakan hukum dan
kemampuan pengawasan. Secara sosial strategi ini menjadi beban biaya terbesar bagi kedua pihak karena dapat dimungkinkan terjadinya kolusi oleh pengusaha yang nakal dan oknum aparat yang meloloskan pengusaha yang melanggar hukum. Sehingga terdapat kemungkinan terjadinya konflik interest, baik bagi kedua pihak maupun di antara pengusaha dengan pengusaha maupun aparat pemerintah dengan aparat pemerintah. (3)
Biologi Analisis biaya yang dikeluarkan dalam penerapan VMS yang ditinjau dari sisi biologi berkenaan dengan kelestarian sumber daya ikan. Hasil penelitian melalui FGD menyimpulkan adanya dua biaya yang menjadi beban pada aspek biologi, yaitu : 1) Biaya operasional pemantauan kegiatan penangkapan ikan agar pengusaha tidak melanggar wilayah tangkap dan penggunaan alat tangkap. 2) Biaya opersional pengecekan dan analisis terhadap hasil tangkaan yang dilakukan di pelabuhan pendaratan ikan, untuk mengetahui apakah jenis dan jumlah tangkapan sesuai dengan alat tangkap yang tertera di izin. Berdasarkan kedua aspek di atas, setelah dilakukan analisis AHP dalam menilai biaya yang paling besar dikeluarkan dari kedua aspek tesebut, maka dapat diperoleh hasil seperti pada Tabel 46.
169
Tabel 46 Pembobotan Biaya Biologi Penerapan VMS Aspek Biologi
Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
Biaya opersional pengecekan dan pemantauan kegiatan penangkapan .
0.7500
0.1250
Biaya opersioanal pengecekan dan analisis hasil tangkapan di pelabuhan pendaratan ikan.
0.2500
0.8750
1.000
1.0000
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang disajikan pada tabel di atas, biaya secara biologi yang dirasakan pengusaha adalah Biaya operasional pengecekan dan pemantauan kegiatan penangkapan melalui monitor. Pertimbangan ini didasarkan karena biasanya perusahaan melakukan pelanggaran wilayah tangkap tidak sesuai dengan wilayah yang tercantum dalam izin. Jika ini sering dilakukan dalam skala besar akan menyebabkan alokasi sumberdaya ikan terganggu dan menimbulkan over fishing di wilayah tertentu dan kelestarian sumberdaya tidak terjaminl. Namun bagi pihak pemerintah adalah biaya yang memiliki beban biaya terbesar adalah biaya opersioanal pengecekan secara kontinu hasil tangkapan di pelabuhan pendaratan ikan. Kegiatan pengecekan secara kontinu ini memerlukan biaya operasional yang cukup besar, karena jika tidak dilakukan pengecekan akan berakibat sering terjadinya pelanggaran penggunaan alat tangkap. Sehingga atas dasar pertimbangan biaya biologi tersebut, maka prioritas strategi yang sesuai seperti yang disajikan pada Tabel 47. Tabel 47 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Biologi Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
Pembebanan Biaya VMS
0.0676
0.0653
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7116
0.6901
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.2207
0.2446
1.0000
1.00
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
170 Seperti yang terlihat pada Tabel 47, strategi penerapan VMS yang ditinjau berdasarkan biaya aspek biologi memiliki kesamaan, yaitu penegakan hukum dan kemampuan pengawasan. Bagi kedua pihak strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan merupakan strategi yang memiliki beban biaya terbesar bagi kedua pihak. Karena dengan adanya penegakan hukum dan kemampuan pengawasan akan memperkecil pengusaha dalam mendapatkan ikan, karena telah dibatasi untuk ikan-ikan tertentu saja yang boleh ditangkap. Sedangkan bagi pemerintah biaya operasional pengecekan hasil tangkapan kepada semua kapal yang telah kembali dari laut menjadi beban biaya yang cukup besar. Karena dimungkinkan akan sering terjadi pelanggaran hukum atas kelebihan penangkapan atau kesalahan atas ikan yang ditangkap oleh para pengusaha. (4)
Teknologi Analisis biaya yang harus dikeluarkan atas penerapan teknolgi VMS terdiri atas tiga pertimbangan, yaitu: 1) Biaya pelatihan atas pengembangan teknologi VMS kepada operator VMS. Bagi pihak pemerintah diperlukan biaya yang cukup besar dalam melatih atas pengembangan teknologi VMS demikian halnya bagi pengusahan adalah biaya pelatihan atas implementasi pengembangan teknologi terbaru; 2) Biaya intangible atas ketergantungan kepada vendor VMS. Baik bagi pemerintah dan pengusaha akan merasakan ketergantungan atas vendor teknologi VMS; 3) Biaya kehilangan Data dan Informasi bila terjadi masalah atau kerusakan VMS. Baik bagi pemerintah dan pengusaha akan merasakan kehilangan data dan informasi jika terjadi masalah atau kerusakan dari perangkat teknologi VMS.
Berdasarkan ketiga aspek di atas, maka dilakukan pilihan untuk memilih biaya yang terbesar dari ketiga biaya di atas. Hasil dari pemilihan yang dilakukan kepada lima orang pakar di bidang kelautan dan perikanan
171 dalam menilai biaya yang dikeluarkan dari ketiga aspek tesebut, maka dapat diperoleh hasil seperti pada Tabel 48. Tabel 48 Pembobotan Biaya Teknologi Penerapan VMS Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
Biaya pelatihan atas pengembangan teknologi VMS kepada operator VMS
0.0811
0.0630
Biaya intangible atas ketergantungan kepada vendor VMS
0.6630
0.6923
Biaya kehilangan Data dan Informasi bila terjadi masalah atau kerusakan VMS
0.2559
0.2447
1.0000
1.0000
Aspek Teknologi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Hasil dari pemilihan didapat bahwa pilihan biaya yang terbesar atas teknologi VMS adalah biaya intangible atas ketergantungan kepada vendor VMS. Sehingga atas dasar pertimbangan biaya teknologi tersebut, maka strategi yang sesuai seperti yang disajikan pada Tabel 49. Tabel 49 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Teknologi Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
Pembebanan Biaya VMS
0.0670
0.0810
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7116
0.2814
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.2207
0.6376
1.0000
1.0000
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang terlihat pada Tabel 49, strategi yang memberikan beban biaya terbesar bagi pihak pengusaha, adalah strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan, karena dengan pilihan strategi ini akan dapat menjerat para pengusaha yang tidak menaati peraturan untuk menerapkan teknologi VMS padahal di sisi lain mereka telah dibebankan oleh biaya ketergantungan teknologi dari vendor VMS. Sedangkan bagi pemerintah strategi yang memiliki beban biaya tertinggi adalah strategi peningkatan
172 kemampuan lembaga dan SDM, strategi ini beban biaya terbesar pilihan karena untuk peningkatan kemampuan lembaga dan SDM merupakan salah satu aset dalam keberhasilan penerapan teknologi VMS sehingga pemerintah
harus
menyiapkan
kapabilitas
SDM
dan
optimalisasi
kemampuan lembaga.
(5)
Kelembagaan Analisis atas biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam penerapan VMS yang berkaitan dengan kelembagaan berdasarkan hasil FGD meliputi empat aspek, yaitu: 1) Biaya intangible bila terjadi konflik interest antar lembaga yang berkaitan dengan sistem pengawasan perairan laut. 2) Biaya pelatihan tentang teknologi VMS kepada lembaga-lembaga yang berkaitan dengan sistem pengawasan perairan laut. 3) Biaya kerjasama antar lembaga 4) Biaya sosialisasi tentang teknologi VMS kepada lembaga-lembaga yang berkaitan dengan sistem pemantauan dan pengawasan kapal penangkap ikan. Berdasarkan keempat aspek di atas, maka dilakukan pilihan aspek biaya kelembagaan mana yang memiliki beban biaya yang paling besar bagi pihak pemerintah dan pengusaha. Hasil analisis AHP terhadap ke empat aspek biaya diatas disajikan seperti pada Tabel 50.
173 Tabel 50 Pembobotan Biaya Kelembagaan Penerapan VMS Aspek Kelembagaan Biaya intangible bila terjadi konflik interest antar lembaga yang berkaitan dengan sistem pengawasan perairan laut Biaya pelatihan tentang teknologi VMS kepada lembaga-lembaga yang berkaitan dengan sistem pengawasan perairan laut Biaya kerjasama antar lembaga Biaya sosialisasi tentang teknologi VMS kepada lembaga-lembaga yang berkaitan dengan sistem pengawasan perairan laut
Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
0.5582
0.5792
0.0457
0.0439
0.2709
0.1190
0.1251
0.2579
1.0000
1.0000
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Berdasarkan hasil survei seperti yang disajikan pada Tabel 50 diketahui bahwa biaya secara kelembagaan yang dirasakan pengusaha dan pemerintah adalah biaya intangible bila terjadi konflik interest antar lembaga yang berkaitan dengan sistem pemantauan dan pengawasan kapal penangkap ikan . Biaya ini akan timbul jika pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam membagi tanggungjawab dalam sistem pengawasan kapal ikan dari lembaga-lembaga yang terkait. Demikian halnya bagi pengusaha akan merasakan beban biaya yang cukup besar karena setiap lembaga yang terkait saling melakukan pengawasan sehingga akan membebani biaya pengusaha kapal. Atas dasar pertimbangan biaya kelembagaan tersebut, maka strategi yang sesuai seperti yang disajikan pada Tabel 51.
Tabel 51 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Kelembagaan Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM
Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
0.0676
0.0654
0.7116 0.6751 0.2207 0.2595 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
174 Seperti yang terlihat pada Tabel 51, strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan merupakan strategi yang memiliki biaya yang tertinggi bagi kedua pihak. Artinya bagi pemerintah, strategi ini memerlukan biaya cukup besar dalam menyiapkan dan mengimplementasi perangkat hukum dan sistem pengawasan, demikian pula bagi pengusaha, strategi ini menjadi beban biaya terbesar apabila mereka terkena sanksi hukum yang telah disiapkan pemerintah. Penegakan hukum dimungkinkan akan terjadi konflik interest antara pengusaha dengan pemerintah apabila penerapannya tidak dijalankan dengan semestinya seperti adanya kolusi. Lemahnya lembaga pengawasan kapal ikan yang ada saat ini merupakan salah satu penyebab utama dari ketidaktaatan pengusaha dan tingginya pencurian ikan di perairan laut di Indonesia serta kerugian negara akibat pencurian tersebut. Kerugian seperti yang dituliskan Kompas, 15 Juli 2004 tentang Menekan Kerugian Negara, tertulis kerugian negara mencapai dua milyar dollar AS per tahun. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Duta Besar Keliling untuk Hukum Laut/Kelautan Prof. Hasjim Djalal dalam Kompas 22 Februari 2000, yang menyatakan bahwa adanya pencurian ikan oleh kapal asing menunjukan lemahnya koordinasi antar instansi. (6)
Hukum dan Peraturan Tinjauan atas aspek hukum dan peraturan dalam sistem pemantauan dan pengawasan kapal ikan di Indonesia menjadi perhatian yang paling utama, hal ini karena perangkat hukum yang ada masih lemah dan lamban. Seperti yang dituliskan dalam Kompas, 30 Juli 2004 tentang Peradilan Pencurian Ikan Lamban, pada harian tersebut dituliskan bahwa sistem peradilan di Indonesia belum ampuh dan lamban bila menyangkut kapal sitaan dalam kasus pencurian ikan. Akibatnya kapal asing yang disita pihak Indonesia itu sudah rusak sebelum diserahkan kepada nelayan untuk dimanfaatkan. Sistem peradilan yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di Malaysia, dinegeri jiran tersebut proses peradilan terhadap kapal asing yang ditangkap karena melanggar batas kelautan berlangsung maksimal dua minggu. Lemah dan lambannya sistem hukum dan peradilan
175 di Indonesia ini berakibat pada beban biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha akibat hilangnya kesempatan untuk menangkap ikan. Analisis aspek biaya yang harus dikeluarkan dalam penerapan VMS yang berkaitan dengan hukum dan peraturan meliputi tiga aspek yaitu: 1) Biaya pengadaan perangkat hukum dan peraturan yang berkaitan dengan penerapan teknologi VMS. 2) Biaya sosialisasi perangkat hukum dan peraturan kepada pengusaha atau pemilik kapal atau nelayan. 3) Biaya intangible atas pelanggaran yang terjadi dalam penerapan VMS. Berdasarkan ketiga aspek di atas, maka perlu dipilih aspek biaya mana yang memiliki beban biaya terbesar dalam penerapan model VMS. Setelah dilakukan analisis AHP dan wawancara untuk mengetahui biaya yang dirasakan terhadap ketiga aspek di atas, maka dapat diperoleh hasil seperti pada Tabel 52. Tabel 52 Pembobotan Biaya Hukum Penerapan VMS Aspek Hukum Biaya pengadaan perangkat hukum dan peraturan yang berkaitan dengan penerapan teknologi VMS Biaya sosialisasi perangkat hukum dan peraturan kepada pemilik kapal atau nelayan Biaya intangible atas pelanggaran yang terjadi dalam penerapan VMS
Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
0.0792
0.0676
0.24114
0.2207
0.6794
0.7116
1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang disajikan pada Tabel 52, pembobotan biaya dari aspek hukum dan peraturan yang paling tinggi dirasakan adalah biaya intangible atas pelanggaran yang terjadi dalam penerapan VMS baik bagi pengusaha maupun bagi pihak pemerintah. Bagi kedua pihak biaya intangible yang dimaksud adalah adanya biaya kolusi antara pengusaha dengan oknum
176 pemerintah dalam mengatasi pelanggaran penerapan VMS. Sehingga atas dasar pertimbangan biaya hukum tersebut, maka strategi yang sesuai seperti yang disajikan pada Tabel 53. Tabel 53 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Hukum Aspek Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM
Bobot Biaya Bagi Pengusaha
Bobot Biaya Bagi Pemerintah
0.0676
0.0654
0.7116 0.6751 0.2207 0.2595 1.0000 1.0000 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang terlihat pada Tabel 53, strategi yang memiliki beban biaya terbesar atas penerapan VMS yang ditinjau berdasarkan biaya hukum dan peraturan memiliki kesamaan pilihan yaitu penegakan hukum dan kemampuan pengawasan. Bagi Pemerintah peraturan hukum yang dibuat harus dapat menjamin untuk menekan kolusi antara pengusaha kapal ikan dengan oknum pemerintah. Karena bila adanya celah untuk disalahgunakan maka akan melemahkan pemerintah dalam kemampuan pengawasan kapal ikan. Indikasi adanya kolusi ini seperti yang diberitakan dalam Kompas, 22 Februari 2000 tentang KSAL Laksamana Achmad Sutjipto: ”Tinjau Ulang Perizinan Kapal Ikan”, pada harian tersebut tertulis ”pencurian ikan di Laut Jawa maupun di laut-laut lainnya di wilayah Indonesia selain karena keterbatasan armada TNI AL dalam mengawasi seluruh wilayah laut RI, juga dimungkinkan karena adanya kolusi, yakni kolusi antara pencuri ikan dengan aparat yang bertugas menjaga keamanan laut.”
Berdasarkan hasil analisis terhadap aspek biaya dan manfaat dalam penerapan model VMS dalam sistem pemantauan dan pengawasan kapal ikan di Indonesia maka dapat disimpulkan seperti pada Tabel 54. Tabel tersebut memperlihatkan, bahwa untuk aspek manfaat, strategi sistem pembiayaan VMS
177 merupakan strategi yang memiliki nilai manfaat tertinggi bila dibandingkan kedua strategi lainnya. Sedangkan jika ditinjau berdasarkan aspek biaya, strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan merupakan strategi yang memiliki biaya tertinggi pada setiap bidang dibandingkan kedua strategi lainnya.
Tabel 54 Analisis Prioritas Strategi Berdasarkan Biaya dan Manfaat Bagi Pengusaha Aspek Aspek Manfaat Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM Aspek Biaya Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM
Total Nilai Seluruh Bidang 4.3696 1.2494 0.3810 0.4060 4.2547 1.3394
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005.
Pilihan strategi bila ditinjau pada setiap bidang memiliki prioritas yang berbeda, untuk
bidang ekonomi, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 55,
strategi sistem pembebanan biaya VMS mendapatkan nilai skor tertinggi yaitu 0.7283, artinya strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar jika ditinjau dari bidang ekonomi bagi pihak pengusaha. Sedangkan bila ditinjau dari asepk biaya, strategi yang memerlukan biaya yang paling besar adalah strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan yaitu 0.6901. Sehingga jika ditinjau dari bidang ekonomi, dan dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya, didapat nilai skor tertinggi dengan skor 0.6630 pada strategi sistem pembebanan biaya VMS sebagai prioritas strategi yang paling sesuai bagi pihak pengusaha.
178 Tabel 55 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang Ekonomi Strategi
Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7283
0.0653
0.6630
0.2082
0.6901
-0.4819
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.2446
-0.1811
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Untuk tinjauan pada bidang sosial, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 56, strategi sistem pembebanan biaya VMS mendapatkan nilai skor tertinggi yaitu 0.7283, artinya strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar jika ditinjau dari bidang sosial
bagi pihak pengusaha. Namun jika ditinjau dari aspek biaya,
strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan merupakan strategi yang memiliki biaya tertinggi, hal ini terlihat dari besarnya nilai skor tertinggi pada aspek biaya, yaitu 0.7180. Sehingga jika ditinjau dari bidang sosial, dan dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya, didapat nilai skor tertinggi (dengan skor 0.6581) terdapat pada strategi Sistem pembebanan biaya VMS sebagai prioritas strategi yang paling sesuai bagi pihak pengusaha. Tabel 56 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang Sosial Strategi
Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7283
0.0702
0.6581
0.2082
0.7180
-0.5098
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.2119
-0.1484
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Tinjauan pada bidang biologi seperti pada Tabel 57, pada bidang biologi terlihat bahwa strategi sistem pembebanan biaya VMS mendapatkan nilai skor
179 tertinggi yaitu 0.7283, artinya strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar bila ditinjau pada bidang biologi bagi pihak pengusaha. Sedangkan jika ditinjau dari aspek biaya, strategi penegakan hukum dan kemampuan pengawasan merupakan strategi yang memiliki biaya tertinggi, hal ini terlihat dari besarnya nilai skor tertinggi pada aspek biaya, yaitu sebesar 0.7116. Sehingga untuk mendapatkan strategi apa yang paling sesuai bagi pengusaha bila ditinjau dari bidang biologi (seperti yang diperlihatkan pada tabel di bawah ini), maka dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya, dan didapat nilai skor tertinggi sebesar 0.6606 pada strategi sistem pembebanan biaya VMS sebagai prioritas strategi yang paling sesuai bagi pihak pengusaha. Tabel 57 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang Biologi Strategi
Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7283
0.0676
0.6606
0.2082
0.7116
-0.5034
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.2207
-0.1572
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Pemilihan strategi yang ditinjau melalui bidang teknologi (seperti pada Tabel 58), pada bidang teknologi diperlihatkan bahwa Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS mendapatkan nilai skor tertinggi yaitu 0.7283, artinya strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar secara teknologi bagi pihak pengusaha. Sedangkan jika ditinjau dari aspek biaya, strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi yang memiliki biaya tertinggi, hal ini terlihat dari besarnya nilai skor tertinggi pada aspek biaya, yaitu sebesar 0.7116. Sehingga dengan melakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya (seperti yang terlihat pada Tabel 58), maka didapat nilai skor tertinggi sebesar 0.6606 pada strategi sistem pembebanan biaya VMS sebagai prioritas strategi yang paling sesuai bagi pihak pengusaha.
180 Tabel 58 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang Teknologi Strategi
Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7283
0.0676
0.6606
0.2082
0.7116
-0.5034
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.2207
-0.1572
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Untuk
memilihan
strategi
yang
ditinjau
berdasarkan
bidang
kelembagaan, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 59, strategi sistem pembebanan biaya VMS merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar bila ditinjau dari bidang kelembagaan bagi pihak pengusaha. Sedangkan jika ditinjau dari aspek biaya, strategi peningkatan kemampuan lembaga dan SDM merupakan strategi yang memiliki biaya tertinggi, hal ini terlihat dari besarnya nilai skor tertinggi pada aspek biaya, yaitu sebesar 0.7116. Sehingga untuk memilih strategi yang paling diprioritaskan bila ditinjau dari persepsi pengusaha, maka dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya (seperti yang terlihat pada Tabel 59), terlihat bahwa strategi sistem pembebanan biaya VMS merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan sehingga strategi ini merupakan strategi yang paling sesuai bagi pihak pengusaha. Tabel 59 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang Kelembagaan Strategi
Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7283
0.0676
0.6606
0.2082
0.7116
-0.5034
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.2207
-0.1572
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
181 Untuk memilih strategi yang sesuai bila ditinjau berdasarkan bidang hukum dan peraturan, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 60, terlihat bahwa Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar bila ditinjau dari bidang hukum dan peraturan bagi pihak pengusaha, karena strategi ini memiliki nilai terbesar yaitu 0.7283. Sedangkan jika ditinjau dari aspek biaya, strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi yang memiliki biaya tertinggi, hal ini terlihat dari besarnya nilai skor tertinggi pada aspek biaya, yaitu sebesar 0.7116. Sehingga untuk memilih strategi yang paling diprioritaskan bila ditinjau dari persepsi pengusaha, maka dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya (seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini), terlihat bahwa strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan sehingga strategi ini merupakan strategi yang paling sesuai bagi pihak pengusaha. Tabel 60 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang Hukum Strategi
Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7283
0.0676
0.6606
0.2082
0.7116
-0.5034
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0635
0.2207
-0.1572
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Secara keseluruhan, untuk memilih strategi yang paling sesuai bagi pihak pengusaha bila ditinjau dari keenam bidang, maka dilakukan penjumlahan atas semua skor manfaat pada setiap strategi, kemudian mengurangkannya dengan semua skor biaya pada setiap strategi. Hasil penjumlahan skor manfaat setiap strategi dan penjumlahan skor biaya setiap strategi seperti yang terlihat pada Tabel 61 dibawah ini. Pada tabel tersebut di atas terlihat bahwa jika dilihat dari aspek manfaat maka strategi yang paling sesuai menurut Pengusaha Kapal Ikan adalah strategi Sistem Pembeban Biaya VMS, namun jika dilihat dari aspek biaya
182 strategi yang paling sesuai adalah penegakan peningkatan Kemampuan Lembaga dan SDM, karena memiliki biaya terendah. Sehingga untuk dapat memilih atas dasar aspek biaya dan manfaat dilakukan dengan mengurangi nilai skor pada manfaat dengan nilai skor pada biaya dengan hasil seperti pada Tabel 61. Tabel 61 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Analisis Biaya dan Manfaat bagi Pengusaha Pilihan Strategi Menurut Pengusaha
Total Manfaat Dikurangi Total Biaya
Sistem Pembebanan Biaya VMS 3.9636 Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan -3.0053 Kemampuan Lembaga dan SDM -0.9584 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang diperlihatkan pada tabel di atas, setelah dilakukan pengurangan skor antara skor manfaat dengan biaya, terpilih strategi Sistem Pembiayaan VMS sebagai strategi yang paling sesuai bagi Pengusaha Kapal Ikan. Pemilihan prioritas strategi untuk pihak pemerintah seperti yang diperlihatkan pada Tabel 62, menunjukkan bahwa strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi yang memiliki nilai manfaat yang paling besar pada keenam bidang dibandingkan dua strategi lainnya. Sehingga jika dilihat secara total manfaat maka strategi ini merupakan strategi yang memiliki prioritas utama untuk dilaksanakan bagi pihak pemerintah bila dibandingkan dua strategi lainnya. Namun demikian, bila ditinjau dari aspek biaya bagi pihak Pemerintah, strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi yang memiliki nilai biaya paling besar pada setiap bidang bila dibandingkan dengan dua strategi lainnya. Sehingga jika dilihat secara total biaya maka strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi yang memiliki beban biaya yang paling besar bila dilaksanakan bagi pihak pemerintah bila dibandingkan dua strategi lainnya.
183
Tabel 62 Penilaian Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Analisis Biaya dan Manfaat bagi Pemerintah Aspek Aspek Manfaat Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan Kemampuan Lembaga dan SDM
Total Nilai seluruh bidang 1.3020 4.3086 0.3902
Aspek Biaya Pembebanan Biaya VMS 0.5546 Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan 3.7424 Kemampuan Lembaga dan SDM 1.7030 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar dan Praktisi Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Untuk dapat melihat pilihan strategi pada setiap bidang berikut ini disampaikan hasil analisisnya. Pilihan strategi pada bidang ekonomi bagi pemerintah, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 63 di bawah, pada bidang ekonomi diperlihatkan bahwa Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan mendapatkan nilai skor tertinggi yaitu 0.7180, artinya strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar secara ekonomi bagi pemerintah. Namun demikian strategi ini juga memerlukan biaya yang paling besar, hal ini terlihat dari besarnya nilai skor tertinggi pada aspek biaya, yaitu 0.7077. Sehingga dengan melakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya (seperti yang terlihat pada Tabel 63), maka didapat nilai skor tertinggi sebesar 0.0103 pada strategi sistem Pembebanan Biaya VMS sebagai prioritas strategi yang paling sesuai bagi pihak pemerintah. Tabel 63 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada Bidang Ekonomi Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
Aspek Manfaat 0.2170
Aspek Biaya 0.2231
-0.0061
0.7180
0.7077
0.0103
Selisih
Kemampuan Lembaga dan SDM 0.0650 0.0693 -0.0042 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
184 Untuk memilih strategi yang sesuai bila ditinjau berdasarkan bidang sosial, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 64 di bawah ini, terlihat bahwa Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar bila ditinjau dari bidang sosial, karena strategi ini memiliki nilai manfaat terbesar yaitu 0.7187. Sedangkan jika ditinjau dari aspek biaya, strategi ini pula yang memiliki biaya tertinggi, hal ini terlihat dari besarnya nilai skor tertinggi pada aspek biaya, yaitu sebesar 0.7130. Sehingga untuk memilih strategi yang paling diprioritaskan bila ditinjau dari persepsi pemerintah, maka dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya (seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini), terlihat bahwa strategi sistem Pembebanan Biaya VMS merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (dengan skor 0.1628), sehingga strategi ini merupakan strategi yang paling sesuai bagi pihak pemerintah. Tabel 64 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada Bidang Sosial Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Pembebanan Biaya VMS
0.2172
0.0544
0.1628
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7187
0.7130
0.0057
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0651
0.2326
-0.1675
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Pemilihan strategi yang sesuai bila ditinjau berdasarkan bidang biologi bagi pihak pemerintah, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 65 di bawah ini, pada tabel tersebut terlihat bahwa Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar bila ditinjau dari bidang biologi, dengan nilai sebesar yaitu 0.7180. Sedangkan jika ditinjau dari aspek biaya, strategi ini pula yang memiliki biaya tertinggi, dengan nilai skor tertinggi sebesar 0.6901. Sehingga untuk memilih strategi yang paling diprioritaskan bila ditinjau dari persepsi pemerintah, maka dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya (seperti yang terlihat pada tabel di
185 bawah ini), terlihat bahwa strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (dengan skor 0.1517), sehingga strategi ini merupakan strategi yang paling sesuai bagi pihak pemerintah. Tabel 65 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada Bidang Biologi Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS
0.2170
0.0653
0.1517
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7180
0.6901
0.0279
Strategi
0.1796 Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0650
0.2446
Untuk memilihan strategi yang sesuai bila ditinjau berdasarkan bidang teknologi bagi pihak pemerintah, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 66, pada tabel tersebut terlihat bahwa Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar bila ditinjau dari bidang teknologi, dengan nilai sebesar yaitu 0.7180. Namun bila ditinjau dari aspek biaya, strategi Kemampuan Lembaga dan SDM merupakan strategi yang memiliki biaya tertinggi, dengan nilai skor tertinggi sebesar 0.6376. Sehingga untuk memilih strategi yang paling diprioritaskan bila ditinjau dari persepsi pemerintah, maka dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya (seperti yang terlihat pada tabel 66), terlihat bahwa strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (dengan skor 0.4366), dengan demikian strategi ini merupakan strategi yang lebih diprioritaskan bagi pemerintah.
186 Tabel 66 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada Bidang Teknologi Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS
0.2170
0.0810
0.1359
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7180
0.2814
0.4366
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0650
0.6376
-0.5726
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Bila ditinjau berdasarkan bidang kelembagaan, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 67, pada tabel tersebut terlihat bahwa Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar bila ditinjau dari bidang kelembagaan, dengan nilai sebesar yaitu 0.7180. Demikian halnya jika ditinjau dari aspek biaya, strategi tersebut memiliki biaya tertinggi, dengan nilai skor sebesar 0.6751. Sehingga untuk memilih strategi yang paling diprioritaskan bila ditinjau dari persepsi pemerintah, maka dilakukan pengurangan antara skor pada aspek manfaat dengan biaya (seperti yang terlihat pada tabel 67 di bawah ini), terlihat bahwa strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (dengan skor 0.1515), dengan demikian strategi ini merupakan strategi yang lebih diprioritaskan bagi pemerintah. Tabel 67 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada Bidang Kelembagaan Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS
0.2170
0.0654
0.1515
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7180
0.6751
0.0429
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0650
0.2595
-0.1945
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
187 Terakhir adalah pemilihan prioritas strategi bila ditinjau berdasarkan bidang hukum bagi pemerintah (Tabel 68), diketahui bahwa Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan merupakan strategi ini memberikan manfaat yang lebih besar bila ditinjau dari bidang hukum, dengan nilai sebesar yaitu 0.7180. Demikian halnya jika ditinjau dari aspek biaya, strategi ini juga merupakan strategi yang memiliki biaya tertinggi, dengan nilai skor tertinggi sebesar 0.6751. Sehingga untuk memilih strategi yang paling diprioritaskan bila ditinjau dari persepsi pemerintah, maka diperoleh hasil bahwa strategi Pembebanan Biaya VMS merupakan strategi yang memberikan manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (dengan skor 0.1515), sehingga strategi ini merupakan strategi yang lebih diprioritaskan bagi pemerintah. Tabel 68 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada Bidang Hukum Aspek Manfaat
Aspek Biaya
Selisih
Sistem Pembebanan Biaya VMS
0.2170
0.0654
0.1515
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.7180
0.6751
0.0429
Kemampuan Lembaga dan SDM
0.0650
0.2595
-0.1945
Strategi
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Pemilihan strategi secara keseluruan bagi pihak pemerintah yang ditinjau atas aspek manfaat dan biaya berdasarkan keenam bidang di atas, maka dilakukan penjumlahan atas semua skor manfaat pada setiap strategi pada masing-masing bidang, kemudian mengurangkannya dengan semua skor biaya pada setiap strategi pada masing-masing bidang. Hasil penjumlahan skor manfaat setiap strategi dan penjumahan skor biaya setiap strategi seperti yang terlihat pada Tabel 68. Pada tabel tersebut di atas terlihat bahwa jika dilihat dari aspek manfaat maka strategi yang memiliki nilai manfaat terbesar bagi pemerintah adalah strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan, namun jika dilihat dari aspek biaya strategi tersebut memiliki biaya yang terbesar. Sehingga untuk dapat memilih atas dasar
188 aspek biaya dan manfaat dilakukan dengan mengurangi nilai skor pada manfaat dengan nilai skor pada biaya dengan hasil seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 69 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Analisis Biaya dan Manfaat bagi Pemerintah
Pilihan Menurut Pengusaha
Total Manfaat Dikurangi Total Biaya
Sistem Pembebanan Biaya VMS
0.7474
Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
0.5663
Kemampuan Lembaga dan SDM
-1.3129
Sumber: Hasil Penelitian dari 5 Responden Pakar Perikanan Kelautan dengan pengumpulan mengunakan metode AHP, 2005
Seperti yang diperlihatkan pada tabel di atas, setelah dilakukan pengurangan skor antara skor manfaat dengan biaya, terlihat strategi yang paling sesuai bagi pemerintah adalah penegakan hukum dan kemampuan pengawasan. Strategi ini dipilih karena berdasarkan hasil pengurangan dari nilai manfaat dan nilai biaya memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan kedua strategi lainnya.
5.4
Pemilihan Model Strategi Penerapan VMS dengan Analisis ”Game Theory” Teori permainan menganalisa cara bahwa dua pemain atau lebih memilih
strategi yang bersama sama saling mempengaruhi. Teori ini dikembangkan sebagian besar oleh John von Newmann (1903-1957), seorang jenius dalam bidang matematika kelahiran Hongaria (Samuelson, ). Teori permainan telah digunakan oleh para ekonom untuk mempelajari interaksi para oligopolis, perselisihan manajemen - serikat pekerja, kebijakan kebijakan negara, perjanjian lingkungan. Filosofi yang menjadi pedoman dalam teori permainan adalah : Pilih strategi anda dengan menanyakan apa yang paling masuk akal bagi anda dengan mengasumsikan bahwa lawan anda sedang menganalisa strategi anda dan melakukan yang terbaik buat mereka.
189 Pihak Royal Swedish Academy of Sciences pernah memberikan penghargaan nobel ekonomi tahun 2005 kepada Robert J Aumann dan Thomas C. Schelling (Kompas, Oktober 2005). Keduanya dinilai telah mengembangkan apa yang dikenal dengan “Game Theory” yang digunakan dalam penyelesaian konflik seperti konflik dagang atau bisnis, bahkan bisa dikembangkan dalam penyelesaian perang. Disebutkan bahwa game theory merupakan sebuah sains atau analisis strategi yang mencoba untuk menentukan aksi yang dilakukan para pemain yang berbeda guna menjamin hasil terbaik bagi masing-masing. Teori permainan (Game theory) merupakan peralatan matematis yang erat kaitannya dengan penerapan metoda AHP dalam penanganan kasus yang bernuansa konflik Game theory adalah metoda pengambilan keputusan manakala pengambil keputusan berhadapan dengan “lawan yang aktif”. Artinya terdapat dua pihak yang masing-masing berbeda satu sama lain terhadap suatu keputusan, dan keputusan dari satu pihak akan dijawab oleh keputusan dari pihak lain dengan memperhatikan strategi dan langkah dari pihak lawannya. Kondisi seperti inilah yang mengarah secara umum kepada “permainan” (Game), dan analisis terhadap situasi kompetitif ini dinamakan “Teori Permainan”. Dalam kasus penerapan kebijakan VMS terhadap kapal penangkap ikan, terdapat dua pihak yang saling bertentangan satu sama lain, dan hasil analisis AHP menunjukkan adanya perbedaan prioritas strategi penerapan VMS yang diinginkan Pemerintah dan diinginkan Pengusaha. Analisis Game Theory yang digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi pada “two person games”, yaitu, analisis difokuskan pada situasi dimana hanya terdapat dua partisipan (Pemerintah dan Pengusaha). Dalam permainan antara dua partisipan (pemain) yang “zero sum” (lihat Tabel 70), jumlah dari payoffs setiap pemain adalah nol. Berapapun payoffs yang diperoleh satu pemain, maka lawannya akan kehilangan (kalah) sebesar payoffs tersebut. Nilai payoffs yang positif menggambarkan keuntungan pemain yang strateginya diterapkan. Sebaliknya nilai payoffs yang negatif mencerminkan kekalahan pemain lain, yang berarti kemenangan atau perolehan pemain lain.
190 Tabel 70 Matrik Payoff Two Person Zero Sum Game Pemain Y
Pemain X
Strategi 1
Srategi 2
Strategi 1
5
3
Strategi 2
-4
-1
Sumber : “AHP” (Permadi, PAU-EK-UI, 1992)
Pada contoh Tabel 70 dapat diketahui, jika pemain X memilih untuk dilaksanakan Strategi 1 dan pemain Y strategi 2, maka pemain X akan memperoleh 3 unit, nilai ini juga mencerminkan kekalahan (kehilangan) sebesar 3 unit bagi pemain Y. Sedangkan jika pemain X menjalankan startegi 2 dan pemain Y memilih strategi 1, maka kekalahan bagi pemain X sebesar 4 unit (payoffs negatif) dan pemain Y mendapat kemenangan sebesar 4 unit. Untuk menetapkan mana strategi yang dipilih, maka dilakukan analisis sebagai berikut, pemain X akan memilih strategi 1 karena apapun strategi yang dipilih pemain Y ia senantiasa akan mendapatkan kemenangan. Sebaliknya pemain X akan mengalami kekalahan kalau ia memilih strategi 2. Pemain Y diasumsikan sadar bahwa pemain X akan memilih strategi 1, maka untuk meminimisasi kerugian pemain Y akan memilih strategi 2 yang memberikan kerugian sebesar 3 unit, dibandingkan jika memilih strategi 1 dengan kerugian sebesar 5 unit. Nilai 3 tersebut merupakan nilai dari permainan ini (the value of the game). Pada contoh tersebut telah diidentifikasi satu strategi bagi setiap pemain. Jika seorang pemain mengidentifikasikan suatu strategi yang menguntungkan untuk digunakan sepanjang waktu permainan, maka kondisi ini disebut sebagai “Pure strategy”. Dan jika setiap pemain menerapkan pure strategy maka akan diperoleh suatu permainan yang unik yang dinyatakan sebagai saddle point. Saddle point merupakan nilai payoff minimum bagi baris dan sekaligus merupakan nilai maksimum bagi kolom dimana payoff tersebut terletak (row mincolumn max). “Teori Permainan” dapat bersifat “ Zero – Sum Games dan dapat pula bersifat Non Zero Sum Games. Dalam game yang bersifat Non Zero Sum Game maka tidak selalu benar bahwa perolehan (hasil) dari pemain satu harus sama
191 dengan kehilangan (kerugian) dari pemain lainnya, bisa terjadi kedua pemain sama-sama untung atau sama sama kehilangan (Mclaughlin : 1979). Permainan antar dua pemain yang non zero sum, dikenal beberapa istilah keseimbangan, yaitu (1) Keseimbangan pareto, terjadi bila kedua pemain mendapatkan nilai payoff yang paling baik dari semua nilai payoff yang mungkin terjadi, (2) Keseimbangan Nash, terjadi apabila setiap pemain tidak memiliki kemungkinan untuk meningkatkan nilai payoff-nya atau tidak seorang pemainpun dapat meningkatkan hasilnya dengan strategi tertentu yang diterapkan pemain lain. Dalam mempertimbangkan strategi yang memungkinkan, kasus yang paling sederhana yakni kasus mengenai strategi yang dominan. Situasi ini muncul ketika seorang pemain mempunyai strategi tunggal yang terbaik tak peduli strategi apapun yang dipakai pemain lain. Diasumsikan bahwa pihak Pemerintah bertujuan agar kebijakan VMS dapat diterapkan bagi kapal penangkap ikan dan pihak pengusaha cenderung menolak kebijakan tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, maka penggunaan analisis Game Theory dapat membantu memberikan pilihan model strategi yang paling mungkin dapat dilakukan dan dapat diterima/dilaksanakan oleh kedua belah pihak (Pemerintah dan Pengusaha). Berdasarkan analisis AHP terhadap penerapan kebijakan Pemantauan Kapal ikan dengan teknologi VMS dari aspek manfaat dan biaya, terdapat perbedaan pilihan prioritas strategi penerapan VMS yang diinginkan baik oleh Penerintah maupun oleh pengusaha atau pemilik kapal ikan. Keduanya memiliki perbedaan dalam pemilihan strategi yang telah dianalisis berdasarkan analisis manfaat dan biaya. Bagi Pengusaha, strategi yang sesuai diterapkan adalah strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS, karena melalui analisis manfaat dan biaya, strategi ini merupakan strategi yang memiliki nilai skor tertinggi dibandingkan kedua strategi lainnya. Namun bagi Pemerintah, strategi yang paling sesuai adalah strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan. Untuk menentukan pilihan model penerapan strategi VMS yang sama sama memberikan manfaat yang paling besar bagi kepentingan penerapan kebijakan VMS saat ini baik bagi pemerintah maupun pengusaha, dilakukan analisis “Game
192 Theory” dengan melakukan estimasi/valuasi secara kualitatif terhadap aspek keuntungan (perolehan) dan aspek biaya (kerugian) dari penerapan strategi strategi tersebut, seperti yang disajikan pada Tabel 71 tentang ”Kualitatif Estimasi/Valuasi Keuntungan & Biaya Penerapan Strategi B dan H berikut ini : Tabel 71 Estimasi/Valuasi Kualitatif Keuntungan & Biaya Penerapan Model Strategi B dan H Dalam Penerapan VMS No I
Model Strategi Model Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS
Pemain 1. Pemerintah
( Strategi B ) 2. Pengusaha
II
Model Strategi Penegakkan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
Pemerintah
( Strategi H )
2. Pengusaha
Sumber : Hasil Analisis
Keuntungan
Biaya
• Potensi pendapatan dari praktik ilegal fishing dan transhipment • Potensi pendapatan dari pelanggaran daerah penangkapan • Potensi pendapatan dari pelangaran masa berlaku izin • Potensi pendapatan dari kecurangan awak kapal di laut • Potensai pendapatan dari penghematan opersional • Penghematan pengawasan dilapangan
• Memberikan subsisi biaya Transmitter (Tx) • Subsidi biaya airtime • Biaya pemeliharaan dan pengelolaan
• Potensi pendapatan dari praktik transhipment lebih optimal • Potensi pendapatan dari pelanggaran daerah penangkapan lebih optimal • Potensi pendapatan dari pelangaran masa berlaku Izin lebih optimal
• Biaya peningkatan kemampuan monitoring teknologi VMS. • Biaya penambahan armada kapal patroli dan persenjataannya • Biaya penambahan Regional Centre di 9 wilayah. • Biaya penambahan SDM Pengawas / PPNS • Biaya Pewngelolaan dan pemeliharaan
• Potensi pendapatan dari kecurangan awak kapal di laut • Potensai pendapatan dari penghematan opersional • Penghematan pengawasan dilapangan melalui web site
• Menyediakan alat VMS sendiri • Membayar airtime per tahun • Membayar Fee VMS • Adanya peluang wilayah tangkap diketahui pesaing • Biaya pemeliharaan dan pengoperasian alat
• Nilai kerahasiaan wilayah tangkap yang diketahui pesaing • Biaya pelatihan dan pemeliharaan alat VMS
Hasil
P1
P2
P3
P4
193 Tabel 71 menjelaskan secara kualitatif beberapa estimasi/valuasi terhadap aspek keuntungan (perolehan) dan aspek biaya (kerugian) dari penerapan Strategi B (strategi sistem pembebanan biaya VMS) dan strategi H (strategi penegakan hukum dan peningkatan kemampuan pengawasan). P1 (Payoff 1) merupakan payoff bagi pemerintah yang diperoleh dari selisih keuntungan dan biaya dari penerapan strategi B, P2 (Payoff 2) merupakan payoff/hasil yang diperoleh pemain pengusaha dari strategi B. Penerapan strategi H memberikan hasil P3 (Payoff 3) bagi pemain pemerintah dan hasil P4 (Payoff 4) bagi pemain pengusaha. Aspek keuntungan dan biaya dari masing-masing strategi penerapan VMS baik bagi pemerintah maupun pengusaha yang diuraikan secara kualitatif tersebut perlu dikonversi ke dalam nilai nominal, sehingga dapat ditentukan hasil yang ditimbulkan (payoffs) dari masing-masing strategi bagi pemerintah maupun pengusaha. Hasil yang ditimbulkan strategi B bagi pemerintah disebut : P1 , hasil yang ditimbulkan strategi B bagi pengusaha disebut : P2 , hasil yang ditimbulkan Strategi H bagi pemerintah adalah P3 dan hasil yang ditimbulkan strategi H bagi pengusaha adalah P4 Untuk menghitung hasil yang ditimbulkan masing-masing strategi (B & H) baik bagi pemerintah maupun pengusaha, maka berikut ini diuraikan perkiraan estimasi perhitungan setiap pilihan strategi, yaitu sebagai berikut: (1) Strategi B Pihak Pemerintah (a) Keuntungan Potensi pendapatan dari praktik transhipment atau illegal fishing,adalah sebagai berikut : a) Kapal Asing : Berdasarkan data dari PMO VMS PSDKP jumlah kapal asing yang telah ikut VMS adalah sebanyak 610 dan rata-rata ukuran GT-nya adalah 100 GT ke atas. Jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan kapal asing adalah Pukat Ikan ZEEI Arafura. Diasumsikan 15% (acuan 15% dapat dilihat pada lampiran 6) yang melakukan transhipment per tahun, maka potensi kerugian diselamatkan adalah:
yang dapat
194 15% x 610 x 2.000 kg (produktivitas) x Rp. 40.000 (harga Ekspor) x 200 GT = Rp. 1,464 Trilyun Karena Strategi B dengan kemampuan teknologi VMS saat ini dinilai kurang/belum optimal, maka nilai yang dapat diselamatkan hanya 30% dari potensi tersebut , yaitu sebesar : Rp. 1,464 Trilyun x 30% = Rp 439,2 M/tahun b) Kapal Lokal : Dari 1500 kapal yang ikut pasang VMS, maka jumlah kapal lokal adalah sebesar 890 kapal. Diasumsikan sebanyak 10% terutama yang mengunakan alat tangkap pukat ikan dan udang melakukan transhipment, maka kerugian negara yang dapat diselamatkan adalah (acuan 10% berdasarkan lampiran 6): 10% x 890 x 2000 kg (Produktivitas) x Rp. 40.000 (Harga Ekspor tuna dan udang) x 100 GT (rata-rata GT) = Rp. 712 M/tahun Karena Strategi B dengan kemampuan saat ini dinilai kurang optimal, maka diestimasi hanya 30% dari potensi tersebut yang dapat diselamatkan, yaitu sebesar : Rp. 712 M x 30% = Rp 213,6 M/tahun c) Potensi nilai rupiah yang dapat diselamatkan dari kapal yang melanggar daerah penangkapan adalah sebesar : 15 % x 1500 x ratarata nilai 1 kapal yang melanggar (Rp. 4,5 M) = Rp 1,01 trilyun. Dihitung 30% dari nilai tersebut, yaitu sebesar : Rp. 303,7 M. Perhitungan
ini
didasarkan
pada
data
PSDKP
(2004)
yang
menyebutkan bahwa kapal yang melanggar daerah penangkapan (± 1.275 kapal) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 573,75 Juta ( Rp. 5,1 trilyun), (berarti nilai kerugian per kapal adalah 573,75/1.275 = USD 0,45 juta). d) Potensi nilai rupiah yang dapat diselamatkan dari pelanggaran masa berlaku izin adalah sebesar : Nilai potensi dana yang dapat disimpan dari kapal asing yang melanggar adalah : 10% x 610 kapal x rata-rata tarif/GT (US $ 175) x rata-rata GT (100GT) = Rp 9,714 Milyar. Karena belum Optimal, maka untuk pilihan strategi B, hasil yang diperoleh sebesar 30% Rp. 9,714 M = Rp. 2,914 M
195 Untuk kapal lokal dapat dihitung sebagai berikut : o PPP : 10% x 890 kapal x rata-rata GT (100) x rata-rata tarif Rp. 50.000 (lihat PP 62) = Rp 445 juta o PHP : 10% x 890 kapal x rata-rata GT (100) x rata-rata produktivitas (2 ton) (lihat Kepmen 38) x rata-rata harga patokan ikan (Rp. 7500) x 1000 x 2,5% = Rp. 3,337 M o Sehingga total Rp. 3,782 M Karena belum optimal, maka untuk pilihan strategi B, hasil yang diperoleh sebesar 30% Rp. 3,782 M = Rp. 1,134 M
(b) Biaya (Kerugian) Potensi biaya atau kehilangan bagi pemerintah dengan diterapkannya strategi B ini adalah sebagai berikut: a) Pemerintah harus menyediakan dana pengadaan transmitter untuk 1500 kapal masing-masing Rp. 20.000.000 = Rp. 30 milyar b) Menyediakan dana pembayaran air time sebesar 1.500 kapal x Rp. 6.000.000 = Rp. 9 milyar c) Biaya pemeliharaan dan pengelolaan VMS di pusat dan 2 regional centre = Rp. 8 milyar/tahun. d) Biaya pemeliharaan dan perawatan kapal patroli per tahun 17 kapal x 1 Milyar = 17 Milyar. e) Biaya Operasioanal per tahun 1 kapal adalah 3 Milyar, sehingga biaya 17 kapal adalah : 17 x 3 Milyar = 51 Milyar. Pihak Pengusaha (a) Keuntungan a) Diasumsikan terdapat 10% dari 1.500 kapal yang melakukan pelanggaran sepengetahuan
menjual pemilik
hasil
tangkapan
kapal,
maka
di
tengah
laut
tanpa
nilai
uang
yang
dapat
diselamatkan adalah : 5% x 1.500 x Rata-rata hasil tangkapan (1
196 ton/tahun) x Harga rata rata ikan ekspor (Rp.30.000) x rata rata GT (100) = Rp. 225 Milyar. b) Karena kemampuan VMS saat ini belum optimal, maka diperkirakan hanya 30% saja yang dapat diselamatkan : 30% x Rp 225 M = Rp 67,5 milyar. c) Penghematan BBM dari kegiatan penangkapan, karena sering ditemui pemilik kapal dibohongi oleh awak kapal tentang jalur penangkapan. Kebutuhan BBM perliter/tahun untuk kapal rata rata 100 GT adalah 384.000 liter/tahun. Diasumsikan sebanyak 5% diambil dengan mengurangi jarak operasi penangkapan dan apabila dari 1.500 kapal diasumsikan sebanyak 5% melakukan hal yang sama, berarti nilai yang dapat dihemat adalah : 5% x 1500 x (5% x 384.000) x harga BBM (Rp. 5.400) = Rp. 7,776 milyar. Pedoman umum penggunaan BBM bagi kapal perikanan adalah : 0,2 liter/jam/pk (koefisien). Jenis kapal ikan waktu berangkat dan pulang serta operasi penangkapan menggunakan BBM rata-rata 20 sampai 24 jam, dan selama 1 tahun waktu efektif operasional adalah antara 135 hari sampai 200. Ukuran 100 GT sama dengan 300 sampai 400 pk. Jadi besarnya penggunaan BBM/tahun untuk kapal berukuran 100 GT adalah : 400 (PK) x 24 (waktu efektif) x 200 (waktu efektif 1 tahun) x 0,2 liter = 384.000 liter/tahun Karena kemampuan VMS saat ini belum optimal, maka diperkirakan hanya 30% saja yang dapat diselamatkan : 30% x Rp. 7,776 Milyar = Rp 2,4 milyar. (b) Biaya (Kerugian) a) Kemungkinan hilangnya hasil tangkapan karena wilayah tangkap diketahui pihak pesaing. Diasumsikan kejadian ini dialami oleh sekitar 5% dari jumlah kapal (baik asing maupun lokal), dan hasil tangkapan berkurang 10% dari rata-rata hasil tangkapan (2000 kg), berarti potensi kerugian yang diestimasi adalah;
197 Kapal asing : 5% x 610 (jumlah kapal asing) x (10% dari 2000) x Rp. 40.000 x 200 GT (rata-rata GT) =Rp. 48,8 Milyar Kapal lokal : 5% x 890 (jumlah kapal lokal) x (10% dari 2000 kg) x Rp. 10.000 x 100 GT = Rp. 8,9 Milyar b) Biaya pemeliharaan dan pengoperasian alat per tahun/kapal adalah Rp. 2 juta, sehingga untuk 1500 kapal dibutuhkan biaya : Rp. 3 Milyar (2) Strategi H Pihak Pemerintah (a) Keuntungan Potensi pendapatan dari praktik transhipment atau illegal fishing, adalah sebagai berikut : a) Jumlah kapal asing yang telah ikut VMS adalah sebanyak 610 dan rata-rata ukuran GT-nya adalah 100 GT ke atas. Jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan kapal asing adalah Pukat Ikan ZEEI Arafura. Diasumsikan 15% (acuan 15% dapat dilihat pada lampiran 6) yang melakukan transhipment per tahun, maka potensi kerugian yang dapat diselamatkan adalah: 15% x 610 x 2.000 kg (produktivitas) x Rp. 40.000 (harga Ekspor) x 200 GT = Rp. 1,464 Trilyun b) Jumlah kapal lokal adalah sebesar 890 kapal. Diasumsikan sebanyak 10% terutama yang menggunakan alat tangkap pukat ikan dan udang melakukan
transhipment,
maka
kerugian
negara
yang
dapat
diselamatkan adalah (acuan 10% berdasarkan lampiran 6): 10% x 890 x 2000 kg (Produktivitas) x Rp. 40.000 (Harga Ekspor tuna dan udang) x 100 GT (rata-rata GT) = Rp. 712 M/tahun c) Potensi nilai rupiah yang dapat diselamatkan dari kapal yang melanggar daerah penangkapan adalah sebesar : 15 % x 1500 x ratarata nilai 1 kapal yang melanggar (Rp. 4,5 M) = Rp 1,01 trilyun. d) Potensi nilai rupiah yang dapat diselamatkan dari pelanggaran masa berlaku izin adalah sebesar : Nilai potensi dana yang dapat disimpan
198 dari kapal asing yang melanggar adalah : 10% x 610 kapal x rata-rata tarif/GT (US $ 175) x rata rata GT (100GT) = Rp 9,714 Milyar Untuk kapal lokal dapat dihitung sebagai berikut : o PPP : 10% x 890 kapal x rata-rata GT (100) x rata-rata tarif Rp. 50.000 (lihat PP 62) = Rp 445 juta o PHP : 10% x 890 x rata-rata GT (100) x rata-rata produktivitas (2 ton) (lihat Kepmen 38) x rata-rata harga patokan ikan (Rp. 7500) x 1000 x 2,5% = Rp. 3,337 M o Sehingga total Rp. 3,782 M (b) Biaya (Kerugian) Potensi
biaya
atau
kehilangan
biaya
bagi
pemerintah
dengan
diterapkannya strategi H ini adalah sebagai berikut: a) Biaya peningkatan kemampuan monitoring teknologi VMS di pusat dan 2 regional centre Rp. 10 Milyar b) Biaya penambahan armada kapal patroli dan persenjataannya, kebutuhan kapal patroli di Indonesia adalah 89 buah, diasumsikan di ZEE membutuhkan 60 buah masing-masing Rp. 30 Milyar = Rp 1,8 Trilyun, dan kapal patroli di perairan teritorial sebanyak 26 kapal @ Rp. 12 Milyar = Rp. 312 M. c) Biaya penambahan regional centre di 9 wilayah., dan diasumsikan masing-masing regional centre membutuhkan dana Rp. 5 M, sehingga dibutuhkan sebanyak Rp. 45 M. d) Biaya penambahan SDM Pengawas / PPNS sebanyak 5000 PPNS untuk pusat dan daerah, jika 1 PPNS digaji Rp. 1,5 juta/bulan, maka satu tahun dibutuhkan dana: Rp. 90 Milyar. e) Biaya Pengelolaan dan pemeliharaan Pusat dan Daerah 1 tahun adalah Rp. 9,5 Milyar. f) Biaya perawatan dan biaya operasional : Perawatan 89 kapal x 1 Milyar = 89 Milyar, biaya operasional 89 kapal x 3 Milyar = Rp. 267 Milyar.
199 Pihak Pengusaha (a) Keuntungan : a) Diasumsikan terdapat 5% dari jumlah kapal (baik asing maupun lokal) yang melakukan pelanggaran menjual hasil tangkapan di tengah laut tanpa sepengetahuan pemilik kapal, maka nilai uang yang dapat diselamatkan adalah : Kapal asing : 5% x 610 (jumlah kapal asing) x rata-rata hasil tangkapan (2 ton/tahun x 25%) x Harga rata-rata ikan ekspor (Rp. 40.000) x 200 GT (rata-rata GT) = Rp. 122 Milyar. Kapal Lokal : 5% x 890 (jumlah kapal lokal) x Rp.10.000 (harga rata-rata lokal) x 500 kg (25 % dari produktivitas) x 100 GT (rata-rata GT) = Rp. 22,250 Milyar b) Penghematan BBM dari kegiatan penangkapan, karena sering ditemui pemilik kapal dibohongi oleh awak kapal tentang jalur penangkapan. Kebutuhan BBM perliter/tahun untuk kapal rata-rata 100 GT adalah 384.000 liter/tahun. Diasumsikan sebanyak 5% diambil dengan mengurangi jarak operasi penangkapan dan apabila dari 1.500 kapal diasumsikan sebanyak 5% melakukan hal yang sama, berarti nilai yang dapat dihemat adalah : 5% x 1.500 x (5% x 384.000 liter) x harga BBM (Rp. 5.400) = Rp. 7,776 Milyar. (b) Biaya (Kerugian) a) Menyediakan alat VMS sendiri dengan harga Rp. 20.juta, sehingga diperlukan biaya oleh pengusaha sebesar Rp. 30 Milyar. b) Membayar airtime per tahun sebesar Rp. 6 juta, sehingga dibutuhkan dana sebesar Rp. 9 Milyar. c) Kemungkinan hilangnya hasil tangkapan karena wilayah tangkap diketahui pihak pesaing. Diasumsikan kejadian ini dialami oleh sekitar 5% dari 1500 kapal, dan hasil tangkapan berkurang 10% dari rata-rata hasil tangkapan (2000 kg), berarti potensi kerugian yang diestimasi
200 adalah : 5% x 1500 x (300 kg) x Rp. 40.000 (harga ikan ekspor) x 150 GT (rata-rata GT) = Rp135 milyar. d) Biaya pemeliharaan dan pengoperasian alat per tahun/kapal adalah Rp. 2 juta, sehingga untuk 1.500 kapal dibutuhkan biaya: Rp. 3 Milyar Setelah dilakukan estimasi secara kuantitatif terhadap aspek keuntungan dan biaya dari masing-masing strategi (B & H) baik bagi pemerintah maupun pengusaha, maka data-data kuantitatif tersebut disusun ke dalam sebuah tabel untuk memudahkan melakukan analisis penetapan model strategi yang paling mungkin dilaksanakan, yaitu disajikan pada Tabel 72 tentang estimasi/valuasi kuantitatif keuntungan dan biaya penerapan model strategi B dan H Dalam Penerapan VMS berikut ini : Tabel 72 Estimasi/Valuasi Kuantitatif Keuntungan & Biaya Penerapan Model Strategi B dan H Dalam Penerapan VMS No
Model Strategi
Pemain
I
Model Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS ( Strategi B )
1. Pemerintah
Keuntungan • • • •
Rp. 439,2 M Rp. 213,6 M Rp. 303,7 M Rp. 2,9 M/thn Rp. 1,1 M/thn
Total :
960 M/thn
Biaya • • • • •
Hasil (Payoff/P)
Rp. 30 M Rp. 9 M Rp. 8 M Rp. 17 M Rp. 51 M
Total : 115 M
Rp 845 M
(P1)
2. Pengusaha
• Rp. 67,5 M • Rp. 2,4 M
• Rp. 48,8 M • Rp. 8,9 M • Rp. 3 M
Total : 69,9 M
Total: 60,7 M
Rp
9,2 M
(P2 )
201
No II
Model Strategi Model Strategi Penegakkan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
Pemain 1. Pemerintah
Keuntungan • • • • •
Rp. 1,464 Trilyun Rp. 712 M Rp. 1,01 Trilyun Rp. 9,714 M Rp. 3,782 M
( Strategi H ) Total : 3,199 T
Biaya • • • • • • • •
Hasil (Payoff/P)
Rp. 10 M Rp. 1,8 Trilyun Rp. 312 M Rp. 45 M Rp. 90 M Rp. 9,5 M Rp 89 M Rp.267 M
Total: 2,622 T
Rp. 576,9 M
(P3)
2. Pengusaha
• Rp. 122 M • Rp. 22,250 M • Rp. 7,776 M
• • • •
Total : 152,03 M
Total : 177 M
Rp. 30 Rp. 9 Rp. 135 Rp. 3
M M M M Rp.(24,97) M
(P4)
Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan Tabel 72 dapat disimpulkan, apabila model strategi yang diterapkan adalah strategi sistem pembebanan biaya VMS (strategi B), maka estimasi hasil atau Payoff bagi pemerintah (P1) adalah sebesar Rp. 845 M, dan Payoff bagi pengusaha (P2) adalah sebesar Rp.9,2 M.. Apabila strategi penegakan hukum (strategi H) yang diterapkan, maka estimasi hasil atau Payoff yang diperoleh pemerintah (P3) adalah Rp. 576,9 M, sedangkan bagi pengusaha (P4) mengalami kerugian sebesar - Rp. 24,97 M. Untuk menentukan pilihan model penerapan strategi VMS yang sama sama memberikan manfaat yang paling besar bagi kepentingan penerapan kebijakan VMS saat ini baik bagi pemerintah maupun pengusaha, maka estimasi hasil masing-masing strategi penerapan VMS tersebut dianalisis melalui “Game Theory”, seperti yang disajikan pada Tabel 73 tentang matrik Game Theory berikut ini :
202 Tabel 73 Matrik Game Theory PIHAK PENGUSAHA Strategi Penegakkan Hukum dan Kemampuan Pengawasan
B
A Strategi Penegakkan Hukum dan Kemampuan Pengawasan PIHAK PEMERINTAH
576,9 M,
576,9 M, 9,2 M
- 24,97 M
P3 , P2
P3 , P4 D
C
Strategi Sistem Pembebanan Biaya
Strategi Sistem Pembebanan Biaya
845M, -24,97 M
P1 , P4
845M, 9,2 M
P1 , P2
Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan analisis “Game Theory” terhadap dua strategi penerapan VMS yang berbeda antara pemerintah dan pengusaha seperti yang disajikan pada Tabel 73, maka dihasilkan beberapa penilaian untuk masing-masing pilihan strategi yang diperlukan sebagai pertimbangan untuk menentukan pilihan model penerapan strategi VMS mana yang saat ini paling mungkin dilakukan untuk mendukung penerapan kebijakan VMS serta menentukan alternatif model strategi ke depan, yaitu sebagai berikut: 1. Apabila strategi penegakkan hukum dan peningkatan kemampuan pengawasan dipilih (P3, P4) ) dan diterapkan saat ini sebagai strategi penerapan VMS, maka akibat yang muncul terhadap Pemerintah dan Pengusaha adalah : a. Bagi Pemerintah (DKP): Pemerintah memperoleh manfaat atau hasil yang diestimasi potensi nilai rupiahnya adalah sebesar Rp.576,9 M, namun ada beberapa konsekuensi
203 yang harus dilakukan pemerintah untuk menerapkan strategi ini, antara lain : (1)
Pemerintah atau lembaga pengelola VMS dituntut meningkatkan kemampuan teknologi pengawasan agar mampu mendeteksi setiap pelanggaran secara cepat “Online”, sehingga memerlukan biaya yang cukup besar.
(2)
Pemerintah harus melengkapi armada kapal patroli yang mampu mengawasi area pengawasan wilayah laut sebanyak 89 buah, baik kapal patroli untuk wilayah ZEE, maupun wilayah teritorial, diperkirakan memerlukan biaya sekitar 50 Milyar.
(3)
Pemerintah harus mengeluarkan biaya perawatan kapal patroli dan biaya operasional pengawasan untuk kegiatan patroli.
(4)
Pemerintah perlu memenuhi syarat jumlah tenaga pengawas atau PPNS sebanyak 5000 personil, hal ini juga akan menambah biaya untuk membayar gaji per bulan.
(5)
Kebijakan penerapan VMS akan mengalami kesulitan karena masih terjadi pelanggaran-pelanggaran dan penolakan.
b. Bagi Pengusaha : Hasil estimasi perolehan bagi pengusaha ternyata negatif dimana pengusaha diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp. 24,97 M, hal ini disebabkan beberapa konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha, antara lain : (1)
Pengusaha harus membayar atau membeli transmitter untuk dipasang di kapal dengan harga kira-kira 20 juta rupiah.
(2)
Pengusaha harus membayar airtime sebesar 6 juta pertahun, harga ini adalah harga subsidi.
(3)
Beban pungutan secara tiba-tiba bertambah, selama ini beban pungutan PPP dan PHP untuk kapal ukuran 100GT adalah 40 juta per tahun.
204 (4)
Kondisi di atas menyebabkan pengusaha tidak tertarik mengikuti kebijakan penerapan VMS, apalagi setelah harga BBM naik, para pemilik kapal atau pengusaha semakin mengalami kesulitan.
2. Apabila strategi sistem pembebanan biaya VMS yang meringankan pihak pengusaha dipilih (P1 dan P2) dan diterapkan saat ini, maka akibat yang ditimbulkan baik bagi pemerintah maupun pengusaha adalah sebagai berikut: a. Pihak Pemerintah Pemerintah memperoleh manfaat atau hasil yang diestimasi potensi nilai rupiahnya adalah sebesar Rp 845 M, hal ini disebabkan beberapa kelebihan strategi ini bagi pemerintah, antara lain : (1)
Pemerintah tidak perlu sekaligus mengeluarkan biaya untuk meningkatkan
kemampuan
pengawasan
(teknologi
VMS,
pengembangan Regional Centre, penambahan armada kapal patroli, penambahan
tenaga
pengawas/PPNS),
tapi
dilakukan
secara
bertahap. (2)
Pemerintah dapat meneruskan kebijakan penerapan VMS dan secara bertahap melakukan penyempurnaan secara fokus terhadap 1.500 transmitter yang sedang dioperasikan dan merencanakan kebijakan yang sesuai untuk penerapan VMS ke depan.
(3)
Pemerintah perlu mengeluarkan dana untuk mensubsidi biaya air time ataupun alat VMS.
(4)
Pemerintah dapat melakukan fungsi pengawasan dan pemantauan terhadap kapal penangkap ikan
b. Pihak Pengusaha Hasil estimasi perolehan bagi pengusaha ternyata positif dimana pengusaha diperkirakan mendapatkan nilai manfaat sebesar Rp. 9,2 M, manfaat ini bagi pengusaha dapat dinilai lebih baik dibandingkan penerapan startegi H, hal ini disebabkan beberapa hal sebagai berikut :
205 (1)
Pengusaha memperoleh keringanan berupa fasilitas gratis untuk alat transmitter dan biaya airtime, atau gratis alatnya tapi airtimenya bayar, atau hanya membayar sebagian saja.
(2)
Sebagian pengusaha yang menolak, secara perlahan akan tertarik mengikuti kebijakan ini dan bersedia dipasang transmitter.
(3)
Melalui fasilitas Website yang diberikan, pengusaha dapat secara mudah ikut memonitor keberadaan armada kapal penangkap ikan mereka masing-masing.
3. Apabila masing-masing strategi tersebut diterapkan secara bersama-sama, artinya pilihan penerapan strategi penegakan hukum dijalankan namun kepada pengusaha diberlakukan penerapan strategi sistem pembebanan biaya yang meringankan pengusaha (kotak C dan B). Akibat yang muncul bagi kedua pihak adalah : a. Bagi pemerintah akan mendapatkan hasil yang maksimal, sementara kerugian pengusaha juga maksimal (permainan di kotak C). b. Sedangkan di kotak permainan B, pendapatan bagi pemerintah tidak optimal, walaupun bagi pengusaha cukup menarik karena masih terdapat nilai keuntungan bagi pengusaha walaupun kecil. Dari hasil analisis ”Game Theory” dan analisis perbandingan terhadap beberapa pilihan model strategi penerapan VMS, maka dapat disimpulkan bahwa kotak permainan D (P1 , P2 ) atau pilihan strategi sistem pembebanan biaya VMS adalah yang paling menguntungkan kedua belah pihak. Pihak pemerintah mendapatkan hasil yang maksimal (Rp. 845 M) dan pihak pengusaha masih memiliki potensi manfaat sebesar (Rp9,2 M), sehingga direkomendasikan pada tahap sekarang model yang paling sesuai adalah model sistem pembebanan biaya VMS yang meringankan pengusaha. Model Game Theory yang digambarkan pada Tabel 73 dalam konsep teori permainan dapat digolongkan bersifat Non Zero Sum Games. Dalam game yang bersifat Non Zero Sum Game maka tidak selalu benar bahwa perolehan (hasil) dari pemain satu harus sama dengan kehilangan (kerugian) dari pemain lainnya, bisa terjadi kedua pemain sama-sama untung atau sama-sama kehilangan
206 (Mclaughlin : 1979). Dari hasil atau payoff masing-masing kotak permainan A, B, C dan D dapat diketahui bahwa hasil kotak permainan D dengan pilihan strategi sistem pembebanan biaya (strategi B) memberikan hasil yang paling menguntungkan secara maksimal bagi kedua belah pihak. Apabila kemampuan teknologi VMS semakin memberikan manfaat bagi pengusaha dan insentif disediakan oleh pemerintah, model strategi penerapan VMS dapat diubah menjadi model pembiayaan yang seimbang antara pemerintah dan pengusaha. Bagi pengusaha atau pemilik kapal strategi sistem pembebanan biaya VMS dengan model atau pola pembebanan biaya VMS yang meringankan dan bertahap
dapat
memberikan
motivasi
dan
mendorong
para
pengusaha
penangkapan ikan menerima dan bersedia ikut berpartisipasi dalam program VMS. Walaupun bagi pemerintah model strategi pembebanan biaya VMS yang meringankan
pengusaha
akan
berakibat
pada
bertambahnya
biaya
penyelenggaraan VMS yang harus ditanggung Pemerintah, namun dipihak lain pemerintah mampu mendorong seluruh pengusaha penangkapan ikan yang berukuran 100 GT ke atas untuk ikut program VMS, apalagi dalam UU 31 tentang Perikanan telah diamanatkan bahwa Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana pengawasan kapal penangkap ikan. Keuntungan lain bagi pemerintah adalah, dengan banyaknya pengusaha atau pemilik kapal ikut program VMS, maka pemerintah dapat melakukan fungsi pengawasan sumberdaya ikan dengan lebih optimal, sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia dapat lebih efektif. Sesuai dengan adanya peningkatan kesadaran para pengusaha dan makin terasa manfaat penerapan VMS bagi mereka, maka pemerintah dapat merubah strategi sistem pembebanan biaya VMS dengan pola atau model pembebanan biaya yang lebih meringankan pemerintah. Penerapan model strategi pembebanan biaya VMS yang meringankan pengusaha tidak dilakukan selamanya, tapi dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan teknologi VMS dan manfaat yang dirasakan. Adapun tahapan yang diusulkan adalah sebagai berikut :
207 (1) Tahap I Pada tahap ini diterapkan sistem pembebanan biaya VMS yang paling meringankan buat Pengusaha, dimana dari empat komponen biaya VMS yang harus ditanggung (biaya transmitter, biaya airtime, biaya pasang transmitter dan biaya pengelolaan), maka pengusaha (kapal lokal) hanya menanggung biaya airtime, sedangkan transmitter diperoleh dengan cara sewa. Untuk kapal asing diwajibkan membayar seluruh beban biaya yang ditetapkan pemerintah. Tabel 74 menggambarkan Pembebanan Biaya VMS tahap I Tabel 74 Pembebanan Biaya VMS tahap I
Jenis Biaya Transmitter
Kapal Asing
Kapal Lokal 200 GT
100-200 GT
50-100 GT
Beli
Sewa subsidi
Sewa
Sewa
Airtime
Bayar
Bayar
Bayar
Gratis
Biaya Pasang Transmitter
Bayar
Gratis
Gratis
Gratis
Biaya Pengelolaan
Bayar
Gratis
Gratis
Gratis
Sumber : Hasil Analisis
(2) Tahap II Berbeda dengan Sistem Pembebanan Biaya VMS pada tahap I, maka pada tahap kedua ini, seiring dengan meningkatnya kesadaran para pengusaha dan semakin meningkatnya manfaat penerapan VMS bagi pengusaha, maka pemerintah dapat menerapkan sistem pembebanan Biaya VMS dengan model seimbang, artinya semua biaya penyelenggaraan VMS yang langsung dilakukan oleh pengusaha harus menjadi beban pengusaha seperti biaya alat transmitter dan biaya airtime. Sedangkan biaya biaya yang menjadi tanggungan pemerintah menjadi beban APBN seperti biaya pemasangan alat Transmitter dan biaya pengelolaan VMS. Tabel 75 berikut menggambarkan Pembebanan Biaya VMS tahap II.
208 Tabel 75 Pembebanan Biaya VMS Tahap II
Jenis Biaya
Kapal Asing
Kapal Lokal 200 GT
100-200 GT
50-100 GT
Transmitter Airtime Biaya Pasang Transmitter
Beli Bayar Bayar
Beli Bayar Gratis
Beli Bayar Gratis
Beli Bayar Gratis
Biaya Pengelolaan
Bayar
Gratis
Gratis
Gratis
Sumber : Hasil Analisis
(3) Tahap III Tahap III ini bersifat jangka panjang dan merupakan model strategi penerapan VMS yang mengkombinasikan strategi penegakan hukum dan strategi sistem pembebanan biaya, artinya kebijakan VMS diterapkan secara tegas dan bagi yang melanggar dikenakan sanksi yang tegas pula. Pihak pengusaha dikenakan beban biaya VMS terhadap biaya biaya yang langsung mereka gunakan seperti biaya airtime dan biaya transmitter. Sedangkan pemerintah menanggung beban biaya pemasangan transmitter dan biaya pengelolaan VMS.
Penerapan-penerapan tahap III melalui strategi kombinasi bagi penerapan kebijakan VMS ini dapat berjalan dengan efektif apabila memenuhi beberapa persyaratan berikut: (1) Kemampuan teknologi VMS sudah efektif dan infrastruktur pendukung juga sudah memadai termasuk sistem radar dan armada patroli yang mampu menjangkau seluruh wilayah perairan laut Indonesia. (2) Penetapan kewajiban pemasangan trasmitter bagi kapal ukuran tertentu dengan alat tangkap tertentu. Pengusaha di bebaskan memilih atau membeli sendiri alat transmitter-nya asalkan secara teknologi dapat diintegrasikan dengan sistem VMS DKP. (3) Pungutan biaya VMS diintegrasikan ke dalam biaya perizinan. (4) Pengurusan izin, perpanjangan atau pembaharuan izin harus diintegrasikan dengan pendaftaran VMS sebagai syarat.
209 (5) Pemberian insentif yang menarik bagi pengusaha yang disiplin dan taat menerapkan kebijakan VMS. Kebijakan penerapan VMS bertujuan agar pelanggaran penangkapan ikan dapat dicegah dan kelestarisn sumberdaya ikan dapat terjaga. Apabila diasumsikan penerapan kebijakan VMS di Indonesia sudah berjalan efektif dan kemampuan teknologi VMS sudah berfungsi secara optimal, maka manfaat VMS dalam menyelamatkan kerugian negara menjadi sangat penting. Dukungan yang menjadi syarat utama keberhasilan VMS dalam menyelamatkan kerugian negara antara lain adalah : (1) Kemampuan kapal patroli yang memenuhi kebutuhan pengawasan sampai ke ZEE, (2) Kebutuhan tenaga pengawas telah terpenuhi, (3) Kelembagaan pengawasan telah tersedia di setiap pelabuhan pangkalan lengkap dengan sistem pengawasan (software) dan perangkat kerasnya yang dapat diintegrasikan ke Pusdal DKP, (4) Kelengkapan peralatan yang dibutuhkan aparat pengawasan telah tersedia dan (5) Didukung sistem radar yang mampu mendeteksi kapal ilegal yang melakukan penangkapan ikan di wilayah penangkapan tertentu.yang maksimal. Kebijakan penerapan VMS dengan asumsi seperti di atas dapat menghasilkan penyelamatan uang negara akibat praktik pelanggaran yang dilakukan oleh kapal penangkap ikan selama ini. Estimasi jumlah kerugian Negara yang dapat diselamatkan dihitung melalui beberapa sumber adalah Rp. 36.101.911.180.000 (tiga
puluh enam trilyun, seratus satu milyar, sembilan ratus
sebelas juta seratus delapan puluh ribu rupiah). Adapun rincian potensi kerugian negara yang dapat diselamatkan setiap tahun disajikan pada Tabel 76 berikut ini:
210 Tabel 76 Estimasi Perhitungan Kerugian Negara Yang Dapat Diselamatkan Dengan Teknologi VMS.
NO I
II
KOMPONEN PELANGGARAN YANG DISELAMATKAN
ESTIMASI NILAI *) (Rp.)
SUMBER DATA **)
Kapal Penangkap Ikan Resmi : 1. Kapal Lokal : a. Pelanggaran Transhipment b. Masa berlaku izin habis
7.369.200.000.000 18.423.000.000
2. Kapal Asing : a. Kerugian dari Transhipment b. Masa berlaku Izin habis c. Pelanggaran wilayah tangkap
1.633.140.000.000 31.029.660.000 5.202.846.000.000
1. Laporan Tahunan Ditjen P2SDKP (2004) 2. Laporan Kegiatan Tahun 2005 Ditjen P2SDKP 3. Siaran Pers Ditjen P2SDKP tanggal 21 Pebruari 2006 4. Laporan Gelar Operasi Pengawasan
Kapal Penangkap Ikan Illegal 1. Kapal Lokal ilegal a. Nilai hasil tangkapan b. PPP dan PHP c. Kebutuhan air tawar dan es d. Nilai kapal sitaan
14.400.000.000.000 275.400.000.000 54.600.000.000 3.600.000.000.000
2. Kapal asing ilegal a. Nilai hasil tangkapan b. Tarif Pungutan c. Kebutuhan air tawar dan es d. Nilai iuran ABK e. Harga kapal sitaan
2.613.024.000.000 62.059.320.000 25.000.000.000 43.189.200.000 774.000.000.000
Total Nilai
Sumber : Hasil Analisis
1. Laporan Kompas 5 Agustus 2004 2. Laporan Suara Pembaruan April 2005 3. Laporan Gelar Operasi Pengawasan 4. Laporan Kegiatan Tahun 2005 Ditjen P2SDKP 5. Hasil operasi pengawasan di laut Sulawesi dan Maluku (18 Agustus – 6 September 2004) 6. Hasil operasi pengawasan penangkapan ikan dan udang di Arafura (24 September-11 Oktober 2004) 7. Hasil operasi pengawasan di samudera pasifik(23 Sept-12 Okt 2004
36.101.911.180.000
*) Perhitungan masing-masing komponen dapat dilihat pada lampiran 7 **) Sumber data dalam melakukan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 6 dan 7