BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif bekerja dengan menggambarkan distribusi data. Distribusi data yang dimaksud adalah pengukuran tendensi pusat dan pengukuran bentuk. Teknik yang digunakan dalam statistik deskriptif pada penelitian ini adalah prosentase, rata-rata, dan standar deviasi. 5.1.1. Karakteristik Demografi Responden Karakterisik responden akan dianalisis dari 5 hal, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran yang mereka gunakan untuk konsumsi dalam 1 bulan. Untuk jenis kelamin responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa jumlah responden laki-laki adalah 61 orang atau 50.83% dari total responden, dan jumlah responden perempuan adalah 59 orang atau 49.17% dari total responden. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden terdistribusi hampir sama rata antara laki-laki dan perempuan.
Jenis Kelamin
Laki-Laki Perem puan
Gambar 5.1 Komposisi Jenis Kelamin Responden Sumber: Diolah dari hasil penelitian
48
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
49 Sedangkan untuk usia responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa jumlah responden yang berusia 15 sampai dengan 25 tahun adalah sebanyak 53 orang atau 44.17% dari total responden, yang berusia 26 tahun sampai dengan 35 tahun adalah sebanyak 61 orang atau 50.83% dari total responden, yang berusia 36 tahun sampai dengan 45 tahun adalah sebanyak 4 orang atau 3.33% dari total responden, dan yang berusia 45 tahun sampai dengan 55 tahun adalah sebanyak 2 orang atau 1.67% dari total responden. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berusia 15 sampai dengan 35 tahun.
Usia
15 – 25 Tahun 26 – 35 Tahun 36 – 45 Tahun 46 – 55 Tahun
Gambar 5.2 Komposisi Usia Responden Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Untuk tingkat pendidikan responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa jumlah responden yang tingkat pendidikannya setingkat SMA adalah sebanyak 1 orang atau 0.83% dari total responden, yang tingkat pendidikannya setingkat D3 adalah sebanyak 3 orang atau 2.5% dari total responden, yang tingkat pendidikannya setingkat S1 adalah sebanyak 89 orang atau 74.17% dari total responden, yang tingkat pendidikannya setingkat S2 adalah sebanyak 27 orang atau 22.5% dari total responden, dan tidak ada responden yang tingkat pendidikannya setingkat S3. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden tingkat pendidikan terakhirnya adalah S1.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
50
Tingkat Pendidikan
SMA/Sederajat Akademi/Sederajat S1/Sederajat S2 S3
Gambar 5.3 Komposisi Tingkat Pendidikan Responden Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Untuk pekerjaan responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa jumlah responden yang pekerjaannya pelajar adalah sebanyak 17 orang atau 14.17% dari total responden, yang pekerjaannya ibu rumah tangga adalah sebanyak 5 orang atau 4.17% dari total responden, yang pekerjaannya pegawai negeri adalah sebanyak 10 orang atau 8.33% dari total responden, yang pekerjaannya pegawai swasta adalah sebanyak 75 orang atau 62.5% dari total responden,
yang
pekerjaannya profesi (seperti dokter, pengacara, dan lain sebagainya) adalah sebanyak 4 orang atau 3.33% dari total responden, dan yang pekerjaannya pengusaha adalah sebanyak 9 orang atau 7.5% dari total responden. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta. Pekerjaan
Pelajar/Mahasiswa Ibu Rumah Tangga Pegawai Negeri Pegawai Swasta Prof esi (Dokter, Pengacara, dll) Pengusaha
Gambar 5.4 Komposisi Pekerjaan Responden Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
51 Dan untuk pengeluaran konsumsi dari konsumen setiap bulannya dari hasil kuesioner didapat bahwa jumlah responden yang pengeluaran konsumsinya kurang dari Rp. 1.000.000 adalah sebanyak 23 orang atau 19.17% dari total responden, yang pengeluaran konsumsinya diatas Rp. 1.000.000 sampai dengan Rp. 1.500.000 adalah sebanyak 37 orang atau 30.83% dari total responden, yang pengeluaran konsumsinya diatas Rp. 1.500.000 sampai dengan Rp. 2.000.000 adalah sebanyak 22 orang atau 18.33% dari total responden, yang pengeluaran konsumsinya diatas Rp. 2.000.000 sampai dengan Rp. 2.500.000 adalah sebanyak 11 orang atau 9.17% dari total responden, yang pengeluaran konsumsinya diatas Rp. 2.500.000 sampai dengan Rp. 3.000.000 adalah sebanyak 7 orang atau 5.83% dari total responden, dan yang pengeluaran konsumsinya diatas Rp. 3.000.000 adalah sebanyak 20 orang atau 16.67% dari total responden. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mengeluarkan Rp. 1.000.000 sampai dengan Rp. 1.500.000 untuk biaya konsumsi selama 1 bulan. Pengeluaran Untuk Konsumsi Kurang dari Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 sd Rp. 1.500.000 Diatas Rp. 1.500.000 sd Rp. 2.000.000 Diatas Rp. 2.000.000 sd Rp. 2.500.000 Diatas Rp. 2.500.000 sd Rp. 3.000.000 Diatas Rp. 3.000.000
Gambar 5.5 Komposisi Pengeluaran Konsumen Untuk Konsumsi Sumber: Diolah dari hasil penelitian
5.1.2. Perilaku Responden Perilaku responden akan dianalisa melalui statistik deskriptif untuk setiap konstruk yang telah diukur. Statistik deskriptif untuk konstruk pertama, yaitu information exposure, hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
52 Tabel 5.1 Statistik Deskriptif (Konstruk Information Exposure) Mean
Std. Deviation
Analysis N
exposure1
3.6417
.95966
120
exposure2
3.1833
1.03699
120
exposure3
3.4167
1.01736
120
exposure4
3.5167
1.17383
120
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Dari data di tabel 5.1, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua variabel pembangun adalah sebesar 3.44, artinya sebagian besar responden menyatakan bahwa tingkat information exposure dari televisi terhadap diri mereka adalah cukup atau cenderung tidak terlalu banyak. Standar deviasi yang rendah menunjukkan bahwa sebaran data sempit yang artinya kebanyakaan jawaban responden adalah seragam. Sedangkan statistik deskriptif untuk konstruk kedua, yaitu product knowledge, hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.2 Statistik Deskriptif (Konstruk Product Knowledge) Mean
Std. Deviation
Analysis N
Knowledge1
3.4750
.82973
120
Knowledge2
3.6167
.76897
120
Knowledge3
3.8000
.83616
120
Knowledge4
3.8083
.85303
120
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Dari data di tabel 5.2, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua variabel pembangun adalah sebesar 3.68, artinya sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka tidak cukup faham (tetapi mengarah ke faham) akan karakteristik produk (misal atribut fisik, manfaat, komposisi, efek samping, dan lainnya) dari minuman ready to drink (RTD) yang mereka beli. Standar deviasi Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
53 yang rendah juga menunjukkan bahwa sebaran data sempit yang artinya kebanyakaan jawaban responden adalah seragam. Sedangkan statistik deskriptif untuk konstruk ketiga, yaitu price consciousness, hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.3 Statistik Deskriptif (Konstruk Price Consciousness) Mean
Std. Deviation
Analysis N
price1
2.9667
.98675
120
price2
3.1750
.94079
120
price3
3.5667
.99354
120
price4
3.3750
.92639
120
price5
3.5833
.88482
120
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Dari data di tabel 5.3, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua variabel pembangun adalah sebesar 3.33, artinya sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka tidak price sensitive ketika membeli minuman ready to drink (RTD). Standar deviasi yang rendah juga menunjukkan bahwa sebaran data sempit yang artinya kebanyakaan jawaban responden adalah seragam. Statistik deskriptif untuk konstruk keempat, yaitu deal proneness, hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.4 Statistik Deskriptif (Konstruk Deal Proneness) Mean
Std. Deviation
Analysis N
deal1
2.9667
.92521
120
deal2
3.4583
.86865
120
deal3
3.2750
.97844
120
deal4
2.9917
.82499
120
Sumber: Diolah dari hasil penelitian Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
54 Dari data di tabel 5.4, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua variabel pembangun adalah sebesar 3.17, artinya sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka tidak terlalu terpengaruh oleh adanya stimulus pemasaran berupa undian, hadiah, dan lainnya ketika membeli minuman ready to drink (RTD). Standar deviasi yang rendah menunjukkan bahwa sebaran data sempit yang artinya kebanyakaan jawaban responden adalah seragam. Statistik deskriptif untuk konstruk kelima, yaitu impulse purchasing behavior, hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.5 Statistik Deskriptif (Konstruk Impulse Purchasing Behavior) Mean
Std. Deviation
Analysis N
Impulse1
3.7500
.98944
120
Impulse2
3.5833
.94008
120
Impulse3
3.8250
.92275
120
Impulse4
3.1500
.88546
120
Impulse5
3.7833
.86173
120
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Dari data di tabel 5.5, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua variabel pembangun adalah sebesar 3.62, artinya sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka tidak terlalu sering (tetapi mengarah ke sering) melakukan pembelian minuman ready to drink (RTD) secara tidak terencana. Standar deviasi yang rendah menunjukkan bahwa sebaran data sempit yang artinya kebanyakaan jawaban responden adalah seragam.
5.2. Analisis Inferensial Analisis inferensial digunakan untuk penelitian sampel, dimana peneliti ingin membuat generalisasi dari penelitian yang digunakan. Statistik inferensial ini mempunyai teknik yang lebih lengkap dibandingkan analisis deskriptif,
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
55 misalnya di penelitian ini akan digunakan teknik korelasi dan regresi yang berguna untuk mencari pengaruh antara satu konstruk terhadap konstruk lainnya. Namun sebelum data dapat diolah untuk keperluan analisis inferensial, data harus lolos dari uji validitas dan reliabilitas. 5.2.1.Uji Validitas Untuk uji validitas masing-masing konstruk, seperti juga yang telah diterangkan dalam bab 4 (Metodologi), akan digunakan analisis faktor. Beberapa hal yang akan diukur dalam analisis faktor diantaranya adalah: ●
Nilai signifikansi korelasi variabel pembangun konstruk ≤ 0.05
●
Nilai KMO ≥ 0.5 dengan nilai signifikansi dari Barlett's Test ≤ 0.05
●
Nilai MSA pada Anti Image Matrices ≥ 0.5
●
Nilai komunalitas ≥ 0.5
●
Nilai Total Variance Explain ≥ 60%
●
Dan hanya membentuk 1 komponen
Dari pengolahan data, didapatkan hasil faktor analisis untuk setiap konstruk adalah sebagai berikut (lihat lampiran 3 untuk hasil yang lebih detail): Tabel 5.6 Ringkasan Hasil Uji Validitas Sig
KMO
MSA Komunalitas Variance Komponen
Korelasi Exposure
0.00
0.749 sig di 0.00 ≥ 0.710
≥ 0.553
64.42%
1
Knowledge
0.00
0.681 sig di 0.00 ≥ 0.653
≥ 0.601
65.42%
1
Price
0.04
0.712 sig di 0.00 ≥ 0.599
≥ 0.274
51.39%
1
Deal
0.01
0.747 sig di 0.00 ≥ 0.732
≥ 0.444
57.42%
1
Impulse
0.00
0.774 sig di 0.00 ≥ 0.728
≥ 0.541
61.61%
1
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
56 Dari data pada tabel 5.6 dapat dilihat bahwa konstruk yang tidak lolos uji validitas adalah konstruk price consciousness dan deal proneness karena ada variabel pembangun konstruk yang nilai komunalitasnya kurang dari 0.5 dan keseluruhan total variance explain nya kurang dari 60%. Untuk itu perlu diperiksa variabel mana yang harus dieliminasi agar konstruk tersebut nantinya dapat lolos uji validitas. Untuk konstruk price consciousness, nilai komunalitias dari masingmasing variabel pembangun konstruk adalah sebagai berikut:
Tabel 5.7 Nilai Komunalitas (konstruk Price Consciousness) Initial
Extraction
price1
1.000
.462
price2
1.000
.655
price3
1.000
.274
price4
1.000
.630
price5
1.000
549
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Dari tabel 5.7 dapat dilihat bahwa variabel yang nilai komunalitasnya kurang dari 0.5 adalah variabel price1 dan price3. Kedua variabel tersebut harus dieliminasi agar konstruk price consciousness dapat memenuhi persyaratan uji validitas. Jika kedua variabel tersebut telah dieliminasi maka diharapkan nilai total variable explain untuk konstruk price consciousness juga akan berubah menjadi lebih baik. Sedangkan untuk konstruk deal proneness,
nilai komunalitias dari
masing-masing variabel pembangun konstruk adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
57 Tabel 5.8 Nilai Komunalitas (konstruk Deal Proneness) Initial
Extraction
deal1
1.000
.657
deal2
1.000
.444
deal3
1.000
.636
deal4
1.000
.560
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Dari tabel 5.8 dapat dilihat bahwa hanya 1 variabel yang nilai komunalitasnya kurang dari 0.5 yaitu variabel deal2. Berarti, hanya variabel tersebutlah harus dieliminasi agar konstruk deal proneness dapat memenuhi persyaratan uji validitas. Jika variabel tersebut telah dieliminasi maka diharapkan nilai total variable explain untuk konstruk deal proneness juga akan berubah menjadi lebih baik. Setelah itu kemudian dilakukan uji validitas ulang terhadap masingmasing konstruk (dengan variabel konstruk yang telah dieliminasi), yang hasilnya adalah sebagai berikut (lihat lampiran 4 untuk hasil yang lebih detail):
Tabel 5.9 Ringkasan Hasil Uji Validitas (Ulangan) Sig
KMO
MSA
Komunalitas Variance Komponen
Korelasi Exposure
0.00
0.749 sig di 0.00 ≥ 0.710
≥ 0.553
64.42%
1
Knowledge
0.00
0.681 sig di 0.00 ≥ 0.653
≥ 0.601
65.42%
1
Price
0.00
0.690 sig di 0.00 ≥ 0.678
≥ 0.640
66.80%
1
Deal
0.00
0.687 sig di 0.00 ≥ 0.667
≥ 0.641
66.24%
1
Impulse
0.00
0.774 sig di 0.00 ≥ 0.728
≥ 0.541
61.61%
1
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
58 Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk Information Exposure saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai KMO sebesar 0.749 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama dengan 0.710). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal menyumbang 55% variasi dalam kontsruk Information Exposure. Dari hasil itu kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah 64.42% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Information Exposure. Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk Product Knowledge saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai KMO sebesar 0.681 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama dengan 0.653). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal menyumbang 60% variasi dalam kontsruk Product Knowledge. Dari hasil itu kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah 65.42% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Product Knowledge. Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk Price Consciousness saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai KMO sebesar 0.690 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama dengan 0.678). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal menyumbang 64% variasi dalam kontsruk Price Consciousness. Dari hasil itu kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah 66.75% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Price Consciousness.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
59 Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk Deal Proneness saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai KMO sebesar 0.687 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama dengan 0.667). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal menyumbang 64% variasi dalam kontsruk Deal Proneness. Dari hasil itu kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah 66.24% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Deal Proneness. Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk Impulse Purchasing Behavior saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai KMO sebesar 0.774 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama dengan 0.728). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal menyumbang 54% variasi dalam kontsruk Impulse Purchasing Behavior. Dari hasil itu kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah 61.61% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Impulse Purchasing Behavior. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua konstruk yang diteliti adalah valid, dan dapat digunakan untuk pengolahan data lanjutan. 5.2.2.Uji Reliabilitas Seperti yang telah dijelaskan dalam bab 4 (Metodologi), untuk mengukur reliabilitas pada penelitian ini akan digunakan cronbach's alpha, menurut Nunally jika cronbach's alpha masing-masing konstruk lebih besar dari 0.6 maka dapat dikatakan bahwa semua variabel pembangun konstruk tersebut adalah reliable (Ghozali, 2006). Dari hasil pengolahan data, didapatkan cronbach's alpha untuk masingmasing konstruk adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
60 Tabel 5.10 Hasil Uji Reliabilitas Konstruk
Cronbach's Alpha
Information Exposure
0.810
Product Knowledge
0.822
Price Consciousness
0.751
Deal Proneness
0.742
Impulse Purchasing Behavior
0.842
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Dapat dilihat dari tabel 5.10 bahwa hasil uji reliabilitas semua konstruk menunjukkan cronbach's alpha di atas 0.6. Nilai cronbach's alpha yang tinggi artinya semua variabel pembangun dari tiap-tiap konstruk mengukur satu dimensi konstruk (tidak terjadi struktur multidimensional), sehingga variabel pembangun tersebut reliable untuk digunakan sebagai alat pengukur konstruk tersebut. Karena semua konstruk yang diteliti adalah reliable maka dapat digunakan untuk pengolahan data lanjutan. 5.2.3.Uji Korelasi Uji korelasi dilakukan untuk melihat pengaruh antar konstruk sehingga hipotesis awal dapat dibuktikan. Adapun hipotesis awal nya adalah sebagai berikut: H1: Consumer information exposure berpengaruh terhada product knowledge H2: Consumer information exposure berpengaruh terhadap impulse purchasing behavior Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan uji korelasi, maka di dapat hasil sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
61 Tabel 5.11 Hasil Uji Korelasi (Exposure & Knowledge terhadap Impulse) Exposure Exposure
Pearson Correlation
Knowledge 1
-.007
.085
.936
.359
120
120
120
-.007
1
-.020
Sig. (2-tailed) N Knowledge
Impulse
Pearson Correlation
Impulse
Sig. (2-tailed)
.936
.832
N
120
120
120
Pearson Correlation
.085
-.020
1
Sig. (2-tailed)
.359
.832
N
120
120
120
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Dari tabel 5.11 dapat dilihat bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara information exposure, baik terhadap product knowledge maupun impulse purchasing behavior. Artinya hipotesis 1 dan hipotesis 2 ditolak. Banyaknya information exposure yang diberikan oleh perusahaan ternyata tidak berpengaruh terhadap meningkatnya product knowledge responden atau kecenderungan terjadinya impulse buying. Dan banyaknya product knowledge pun ternyata tidak berpengaruh pada kecenderungan responden dalam melakukan impulse buying. Selain pengujian hipotesis, dalam metodologi juga dinyatakan bahwa ada variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap impulse buying. Variabelvariabel tersebut adalah price consciouness, deal proneness, gender, dan age, variabel-variabel ini disebut juga sebagai variabel kontrol. Oleh karena itu penting juga kiranya untuk diteliti sejauh mana pengaruh antara variabel kontrol tersebut terhadap impulse buying. Hasil pengolahan data dengan menggunakan uji korelasi antara price consciouness, deal proneness, gender, dan qge terhadap impulse buying adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
62 Tabel 5.12 Hasil Uji Korelasi Price & Deal terhadap Impulse (Korelasi Pearson)
Price
Pearson Correlation
Price
Deal
Impulse
1
.544(**)
-.198(*)
.000
.030
120
120
120
.544(**)
1
.067
Sig. (2-tailed) N Deal
Pearson Correlation
Impulse
Sig. (2-tailed)
.000
N
120
120
120
-.198(*)
.067
1
Sig. (2-tailed)
.030
.464
N
120
120
Pearson Correlation
.464
120
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Tabel 5.13 Hasil Uji Korelasi Gender&Age terhadap Impulse (Korelasi Kendall's)
Kendall's tau_b Gender
Gender
Age
1.000
.014
.
.875
N
120
120
Correlation Coefficient
.014
1.000
Sig. (2-tailed)
.875
.
N
120
120
Correlation Coefficient
.119
-.104
Sig. (2-tailed)
.118
.163
N
120
120
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Age
Impulse
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Uji korelasi variabel kontrol dilakukan dua kali karena
price
consciousness dan deal proneness mempunyai tipe data yang berbeda dengan gender dan age sehingga uji korelasi terhadap price consciousness dan deal Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
63 proneness dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Pearson sedangkan uji korelasi terhadap gender dan age dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Kendall's tau-b. Dari tabel 5.12 dan tabel 5.13 dapat dilihat bahwa ternyata pada penelitian ini, tidak semua variabel kontrol tersebut memberikan korelasi yang signifikan terhadap impulse buying. Satu-satunya yang memberikan korelasi signifikan hanyalah price consciousness yang besarnya yaitu -0.198, tanda negatif pada hasil menunjukkan bahwa ada hubungan bertolak belakang diantara keduanya. Artinya semakin tinggi tingkat price consciousness responden maka akan semakin rendah kemungkinan terjadinya impulse buying pada responden tersebut, dan sebaliknya semakin rendah tingkat price consciousness responden maka akan semakin rendah juga kemungkinan terjadinya impulse buying pada responden tersebut. Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa hasil uji korelasi penelitian ini berbeda dengan hasil uji korelasi penelitian pada jurnal yang di replika, dimana pada penelitian ini dinyatakan bahwa: 1. Tidak ada korelasi antara information exposure baik terhadap product knowledge maupun impluse purchasing behavior sehingga menyebabkan adanya penolakan terhadap kedua hipotesis awal 2. Tidak ada korelasi antara kontrol variabel (deal proneness, gender dan age) terhadap impulse purchasing behavior Oleh karena itu kemudian dilakukan analisis lebih lanjut mengapa perbedaan hasil ini dapat terjadi. Hasil analisis dapat dilihat pada sub bab Pembahasan. 5.2.4.Uji Hierarchical Multiple Regression Walaupun dari hasil uji korelasi telah dinyatakan bahwa hipotesis ditolak, yang artinya tidak ada pengaruh antara variabel-variabel independen dengan variabel dependennya, namun uji hierarchical multiple regression tetap perlu dilakukan untuk lebih meyakinkan lagi bahwa hasil yang diperoleh telah diperiksa secara lebih akurat.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
64 Perbedaan mendasar antara uji hierarchical multiple regression dengan uji korelasi adalah bahwa hasil yang diperoleh adalah hasil pengaruh yang “murni” antara variabel independennya terhadap variabel dependennya, dengan sudah mengeliminasi terlebih dahulu pengaruh antara variabel kontrol terhadap variabel dependennya. Dalam penelitian ini artinya hanya meneliti pengaruh antara tingkat consumer information exposure atau product knowledge terhadap impulse purchasing behavior tanpa dipengaruhi oleh kemungkinan adanya pengaruh dari price consciousness, deal proneness, gender, dan age. Uji hierarchical multiple regression akan dilakukan dua kali, yang pertama untuk menguji pengaruh antara consumer information exposure terhadap impulse purchasing behavior dan yang kedua untuk menguji pengaruh antara product knowledge terhadap impulse purchasing behavior. Berikut adalah tabel hasil uji hierarchical multiple regression antara consumer information exposure terhadap impulse purchasing behavior. Tabel 5.14 Hasil Hierarchical Multiple Regression(exposure terhadap impulse) Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Model Summary(c) Mo
R
del
R
Adjusted Std. Error of
Change Statistics
Durbin-
Square R Square the Estimate
Watson R Square
F
Change
Change
df1 df2
Sig. F Change
1
.317(a)
0.1
.069
.96463369
.101
3.221
4 115
.015
2
.318(b)
.101
.062
.96856685
.001
.068
1 114
.795
1.939
a Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price b Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price, Exposure c Dependent Variable: Impulse
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
65 ANOVA(c) Model
Sum of Squares
1
Regression
2
df
Mean Square
11.990
4
2.998
Residual
107.010
115
.931
Total
119.000
119
12.054
5
2.411
Residual
106.946
114
.938
Total
119.000
119
Regression
a Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price b Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price, Exposure c Dependent Variable: Impulse
Coefficients(a) Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B 1
(Constant)
.028
.377
Price
-.300
.112
Deal
.229
Gender
Sig.
Collinearity Statistics
Beta
Tolerance
VIF
.075
.940
-.300
-2.683
.008
.625
1.600
.106
.229
2.154
.033
.692
1.445
.166
.188
.083
.882
.380
.880
1.137
-.169
.140
-.108
-1.214
.227
.992
1.008
.024
.379
.064
.949
Price
-.298
.113
-.298
-2.650
.009
.622
1.607
Deal
.220
.112
.220
1.963
.052
.628
1.593
Gender
.163
.189
.082
.863
.390
.877
1.140
-.164
.141
-.105
-1.162
.248
.974
1.027
.025
.095
.025
.261
.795
.870
1.150
Age 2
Std. Error
t
(Constant)
Age Exposure
a Dependent Variable: Impulse
Dari tabel 5.14 model summary dapat dilihat bahwa nilai perubahan koefisien determinasi (R Square Change) pada prediktor b adalah sebesar 0.001 dan dari tabel 5.14 Anova dapat dilihat bahwa keduanya signifikan di 0.05. Nilai tersebut memiliki arti bahwa consumer information exposure hanya menjelaskan sekitar 0.1% dari total varian pada impulse purchasing behavior setelah variabel Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
66 price consciousness, deal proneness, gender, age, dan consumer information exposure dikontrol. Sedangkan dari tabel 5.14 coefficients seharusnya dapat dilihat nilai B untuk consumer information exposure namun karena tidak signifikan sehingga nilai tersebut tidak dapat digunakan untuk prediksi pengaruh (memperkuat hasil dari uji korelasi). Sedangkan uji hierarchical multiple regression kedua yang menguji pengaruh antara product knowledge terhadap impulse purchasing behavior hasilnya adalah sebagai berikut: Tabel 5.15 Hasil Hierarchical Multiple Regression (knowledge terhadap impulse) Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Model Summary(c) Mo
R
del
R
Adjusted Std. Error of
Change Statistics
Durbin-
Square R Square the Estimate
Watson R Square
F
df1 df2
Change
Change
Sig. F Change
1
.317(a)
.101
.069
.96463369
.101
3.221
4 115
.015
2
.320(b)
.102
.063
.96811581
.001
.174
1 114
.677
1.929
a Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price b Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price, Knowledge c Dependent Variable: Impulse
ANOVA(c) Model 1
2
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
11.990
4
2.998
Residual
107.010
115
.931
Total
119.000
119
12.154
5
2.431
Residual
106.846
114
.937
Total
119.000
119
Regression
a Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price b Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price, Knowledge c Dependent Variable: Impulse
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
67 Coefficients(a) Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B 1
(Constant)
.028
.377
Price
-.300
.112
Deal
.229
Gender
Sig.
Collinearity Statistics
Beta
Tolerance
VIF
.075
.940
-.300
-2.683
.008
.625
1.600
.106
.229
2.154
.033
.692
1.445
.166
.188
.083
.882
.380
.880
1.137
-.169
.140
-.108
-1.214
.227
.992
1.008
.041
.379
.109
.914
Price
-.307
.113
-.307
-2.706
.008
.613
1.631
Deal
.231
.107
.231
2.162
.033
.691
1.447
Gender
.166
.188
.084
.883
.379
.880
1.137
-.178
.142
-.113
-1.258
.211
.970
1.031
.038
.091
.038
.417
.677
.956
1.047
Age
2
Std. Error
t
(Constant)
Age Knowledge
a Dependent Variable: Impulse
Dari tabel 5.15 model summary dapat dilihat bahwa nilai perubahan koefisien determinasi (R Square Change) pada prediktor b adalah sebesar 0.001 dan dari tabel 5.15 Anova dapat dilihat bahwa keduanya signifikan di 0.05. Nilai tersebut memiliki arti bahwa product knowledge hanya menjelaskan sekitar 0.1% dari total varian pada impulse purchasing behavior setelah variabel price consciousness, deal proneness, gender, age, dan consumer information exposure dikontrol. Sedangkan dari tabel 5.15 coefficients seharusnya dapat dilihat nilai B untuk product knowledge namun karena tidak signifikan sehingga nilai tersebut tidak dapat digunakan untuk prediksi pengaruh (memperkuat hasil dari uji korelasi). Hasil
dari
kedua
uji
hierarchical
multiple
regression
ternyata
menunjukkan hasil yang sama dengan uji korelasinya sehingga menguatkan penolakkan terhadap hipotesis awal.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
68 5.3. Pembahasan Pada sub bab ini akan dianalisis secara lebih lanjut mengapa dapat terjadi perbedaan antara hasil penelitian ini dengan hasil penelitian pada jurnal yang direplika. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab misalnya adalah karakteristik demografi responden yang berbeda, tipe produk penelitian yang berbeda, dan faktor lainnya. Perbedaan demografi responden yang dapat dicermati antara penelitian yang dilakukan di jurnal dengan penelitian ini adalah bahwa responden pada penelitian yang dilakukan di jurnal dibatasi hanya untuk mahasiswa (dengan tingkat pendidikan S1) yang artinya dapat diperkirakan bahwa seluruh responden berusia antara 17 sampai dengan 24 tahun. Dan total sampel yang digunakan sangat banyak, yaitu berjumlah 419 responden. Sedangkan responden yang terlibat pada penelitian ini lebih beragam, misalnya rentang usia antara 15 sampai dengan 55 tahun, tingkat pendidikan dari jenjang SMA sampai dengan S3, dan jenis pekerjaan dari mahasiswa, pegawai negeri, pegawai swasta, ibu rumah tangga, sampai wirausaha. Namun total sampel yang digunakan pada penelitian ini jauh lebih sedikit, yaitu berjumlah 120 responden. Perbedaan demografis ini sedikit banyak akan menyebabkan terjadinya perbedaan tingkah laku konsumen; misalnya umur yang lebih muda cenderung akan lebih impulsif dibandingkan yang lebih tua, atau misalnya jenis pekerjaan akan menentukan tingkat exposure seseorang, atau tingkat pendapatan akan berpengaruh pada tingkat kesensitifan seseorang terhadap harga, dan lainnya. Sementara itu perbedaan tipe produk antara penelitian yang dilakukan di jurnal dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian di jurnal menggunakan produk teh yang tergolong sebagai produk high-involvement di Korea (negara tempat penelitian jurnal yang direplika dilakukan), sedangkan penelitian ini menggunakan produk minuman ready to drink (RTD) yang tergolong sebagai produk low-involvement di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan pada bab 2 (Landasan Teori), perbedaan tipe produk semacam ini adalah salah satu penyebab penting terjadinya perbedaan tingkah laku konsumen; misalnya pada produk yang high-involvement maka konsumen akan cenderung menjadi pencari informasi Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
69 aktif sedangkan pada produk yang low-involvement konsumen akan cenderung menjadi pencari informasi pasif, penggunaan media yang sama (televisi) dalam mengiklankan dua tipe produk yang berbeda ini tentunya akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Sedangkan faktor lainnya dapat berupa faktor perbedaan budaya antara masyarakat Korea (negara tempat penelitian jurnal yang direplika dilakukan) dan masyarakat Indonesia yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkah laku konsumennya. Dan juga faktor-faktor lainnya diluar dari faktor yang diteliti tetapi dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga menjadi tidak signifikan. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hal ini maka selain dari hasil riset deskriptif yaitu survei kuesioner, peneliti juga melakukan riset ekploratori dalam bentuk in depth interview kepada 5 orang responden yang dipilih melalui metode non probability - convenient sampling. Hasil dari wawancara itu antara lain adalah sebagai berikut: ●
Rata-rata responden menjawab mereka tidak memiliki kedekatan dengan media exposure (televisi) dikarenakan responden memiliki pekerjaan yang cukup menyita waktu sehingga tidak memiliki banyak waktu luang untuk menonton televisi. Dan sebagai tambahan, menurut responden kalaupun ada waktu luang maka responden lebih cenderung untuk menghabiskannya dengan cara lain misalnya menonton DVD, pergi ke bioskop, dan lainnya.
●
Rata-rata responden menjawab bahwa walaupun mereka tidak menonton televisi, tetapi tingkat product knowledge dan tingkat impulse buying mereka terhadap minuman ready to drink (RTD) yang mereka beli cukup tinggi. Ini mengindikasikan bahwa ada hal-hal lain yang lebih berperan dalam menyampaikan informasi kepada mereka dibandingkan televisi.
●
Rata-rata responden menjawab bahwa mereka tidak terpengaruh secara signifikan terhadap perbedaan harga (tidak sensitif) ataupun program promosi lainnya dari minuman ready to drink (RTD) karena menurut responden harga produk relatif murah jika dibandingkan kemampuan daya beli mereka.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
70 Berdasarkan hasil tersebut, wawancara kemudian dilanjutkan dengan mencari tahu hal-hal lain, selain televisi, yang dapat lebih mempengaruhi responden dalam pembentukan product knowledge dan melakukan tindahak impulse buying. Berikut adalah beberapa diantaranya: ●
Merek. Responden lebih menekankan pada merek-merek yang sudah familiar (atau menjadi top of mind) sehingga walaupun responden saat ini jarang menonton televisi namun responden sudah mengetahui tentang keberadaan produk tersebut sejak dulu. Pola kedekatan dengan suatu merek tertentu menyebabkan responden sering melakukan pembelian impulsif karena tidak memerlukan banyak usaha lagi untuk mencari informasi seperti layaknya jika responden ingin membeli suatu produk dengan merek yang masing asing. Demikian juga ketika merek tersebut akhirnya mengeluarkan suatu varian baru maka responden biasanya tanpa ragu akan terdorong untuk mencobanya, seperti ketika Coca Cola mengeluarkan Frestea dan Pulpy Orange atau seperti ketika Aqua Golden Missisipe mengeluarkan Mizone, dan lain sebagainya. Responden percaya bahwa varian baru tersebut tentulah memiliki kualitas yang seharusnya tidak jauh beda dengan produk yang selama ini telah ada. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pasar minuman ready to drink (RTD) di Indonesia lebih dikuasai oleh pemain-pemain besar yang telah lama membangun merek nya di Indonesia.
●
Reference Group. Responden menyatakan bahwa reference group lebih berpengaruh dibandingkan dengan iklan yang ada di televisi. Contoh yang paling jelas misalnya terjadi pada minuman Gatorade, beberapa tahun yang lalu Gatorade sangat marak dikonsumsi oleh anak muda yang gemar berolahraga, oleh karena itu kemudian tercipta gambaran bahwa jika ingin terlihat keren maka minumlah Gatorade. Gatorade sendiri sebenarnya adalah minuman isotonik yang pada waktu itu belum booming, namun ketika orang membeli Gatorade orang tersebut tidak perlu tau apa itu minuman isotonik yang mereka tau adalah bahwa di lingkungan mereka Gatorade dianggap sebagai minuman yang diminum oleh orang-orang keren. Itu juga yang menyebabkan beberapa responden enggan untuk membeli suatu merek
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
71 minuman ready to drink (RTD) tertentu karena menganggap bahwa segmen minuman tersebut tidak cocok dengan mereka. ●
Opinion Leader. Dalam hal opinion leader, kesuksesan telah dibuktikan oleh Pocari Sweat. Sebagai pioneer minuman isotonik yang gencar melakukan edukasi kepada konsumennya, Pocari tidak hanya berpromosi melalui jalur above-the-line, tetapi juga melalui jalur below-the-line. Salah satu cara promosi below-the-line yang dilakukan Pocari adalah dengan membentuk armada detailer - semacam medical representative pada produk obat-obatan. Mereka ditugaskan untuk mendekati para opinion leader semisal para dokter agar mau merekomendasi Pocari kepada pasiennya. Hasilnya adalah ketika terjadi wabah demam berdarah pada tahun 2004, penjualan Pocari meningkat drastis dan sejak itu sedikit demi sedikit mulai terbangun gambaran bahwa Pocari adalah minuman kesehatan. Walaupun jika sebenarnya masyarakat ditanya mengenai bagaimana minuman isotonik dapat menyehatkan, mereka belum tentu mengetahui jawabannya.
●
Kemasan yang menarik. Responden menyatakan bahwa proses keputusan pembelian minuman ready to drink (RTD) sebagian besar terjadi secara spontan ketika responden melihat penampilan fisik dari minuman tersebut. Penampilan fisik ini bisa dilihat dari bentuk kemasannya yang menarik (misalnya air minuman dalam kemasan yang bermerek Ades Royal atau Cleo) ataupun nama yang kuat asosiasinya (misalnya Coca Cola Zero, orang langsung tertarik dan kemudian terasosiasi bahwa minuman tersebut tidak menggemukkan, walaupun sebagian besar orang jarang yang kemudian memeriksa label komposisinya ataupun memeriksa kebenaran dari penamaan tersebut). Hal ini sesuai dengan teori yang telah dijelaskan pada bab 2 (landasan
teori) bahwa sebagai produk low-involvement, minuman ready to drink (RTD) harus berjuang keras agar tetap bisa mempertahankan konsumennya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan minuman ready to drink (RTD) antara lain adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
72
●
Perbesar accidental Exposure. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, diketahui bahwa dengan tingkat kesibukan yang tinggi sebagian besar responden kurang memiliki waktu untuk menonton televisi. Untuk situasi seperti ini, maka yang perlu dilakukan adalah memperbesar peluang terjadinya accidental exposure. Accidental exposure dapat berupa outdoor advertising seperti pemasangan iklan di billboard yang akan dibaca oleh responden ketika macet di jalan ataupun pemasangan iklan di kendaraan umum yang setiap hari responden gunakan akan lebih tinggi tingkat kedekatannya dibandingkan jika responden harus menyediakan waktu untuk menonton televisi. Kelebihan dan kelemahan masing-masing media (media advertising vs outdoor advertising) dapat dilihat secara lebih detail pada sub bab 2.2.3 (pemilihan alat komunikasi pemasaran), sub bab 2.2.4 (pemilihan media komunikasi pemasaran), dan juga pada lampiran 1 (media characteristic).
●
Beralih dari product knowledge ke arah self knowledge. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 2.2.3 (pemilihan alat komunikasi pemasaran), dalam diagram FCB grid dapat dipetakan bahwa minuman ready to drink (RTD) dimasukkan kedalam kuadran 4 yaitu low-involvement dan feeling. Produkproduk di kuadran ini kuat sekali kaitannya dengan kepuasan terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, maka perkuatkan beralih dari hanya sekedar
product knowledge yang lebih menekankan pada atribut
fungsional produk (thinking) ke arah self knowledge yang lebih menekankan pada kegunaan psikologisnya dan nilai-nilai tak berwujud dari produk tersebut (lihat sub bab 2.3.3 “Means-End Involvement”). Sentuhlah sisi emosional responden sehingga iklan tersebut lebih mengena. Misalnya iklan Coca Cola yang selalu menekankan kebersamaan, maka kemudian akan tercipta gambaran bahwa kalau sedang berkumpul enaknya minum Coca Cola. Selain itu cara yang bisa digunakan juga antara lain dengan media public relation yaitu melalui reference group dan opinion leader. Kedua cara tersebut telah terbukti sukses digunakan oleh beberapa minuman ready to drink (RTD) misalnya Gatorade dan Pocari Sweat untuk masuk atau bertahan di industri minuman ready to drink (RTD). Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
73
●
Perkuat point of purchase. Menurut teori dalam sub bab 2.4.2 (pengambilan keputusan pembelian impulse buying) keputusan pembelian dalam impulse buying bisa berjalan tidak sesuai tahapan, artinya bahwa Jika dalam keadaan normal keputusan pembelian konsumen akan melalui berbagai tahapan proses (gambar 2.4) maka dalam impulse buying tahapan proses tersebut tidak selalu berjalan sekuen, ada kalanya konsumen menghindari beberapa proses dan langsung melakukan pembelian. Seringkali keputusan pembelian dilakukan langsung di tempat pembelian, tanpa melakukan usaha pencarian informasi terlebih dahulu, atau melakukan pencarian informasi di tempat pembelian (menjadikan supermarket tersebut sebagai katalog belanjanya). Dan yang perlu diperhatikan juga bahwa sifatnya yang rawan terjadi brand switching jika merek yang dicarinya tidak ada. Oleh karena itu maka strategi point of purchase harus dikuatkan. Misalnya dengan penggunaan kemasan yang menarik atau penempatan produk di tempat yang mudah dijangkau dan dilihat terbukti mampu merangsang konsumen untuk melakukan impulse buying. Selain itu saluran distribusi juga perlu diperkuat untuk menghindari terjadinya impulse buying terhadap produk kompetitor jika produk yang dicari sedang tidak ada. Kalau perlu bisa juga dilakukan trade promotions berupa pemberian insentif kepada dealer agar mau menjual secara lebih aktif atau menyarankan kepada konsumen untuk menggunakan produk kita. Namun begitu, bukan berarti televisi tidak memberikan kontribusi apapun
dalam menyampaikan information exposure kepada responden. Walaupun jarang menonton televisi, sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka hidup tidak jauh dari televisi, artinya secara tidak sadar mereka memiliki kedekatan tidak langsung dengan televisi. Hal ini dimungkinkan karena dimanapun responden berada hampir bisa dipastikan ada televisi di lingkungan sekitarnya, misalnya ketika sedang makan siang maka televisi pasti ada di cafetaria atau misalnya sedang menunggu sesuatu biasanya juga disediakan televisi, bahkan kadang di rumah pun walaupun tidak di tonton tetapi televisi tetap menyala hanya supaya tidak merasa sepi. Situasi seperti inilah yang kemudian memungkinkan terjadinya pertukaran informasi secara tidak sadar kepada responden. Jadi sangat dimungkinkan ketika akhirnya responden merasa familiar terhadap suatu merek, Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
74 walupun tanpa responden tersebut perlu untuk sering menonton televisi. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan besar yang menyadari hal ini menekankan untuk pentingnya terus beriklan, hanya supaya konsumennya tetap selalu merasa dekat dengan merek mereka.
5.4. Keterbatasan Penelitian Walaupun telah dijelaskan dalam sub bab 1. 5 (ruang lingkup penelitian) bahwa penelitian ini terbatasi oleh beberapa hal sehingga hasilnya tidak bisa digeneralisir, misal, terhadap semua produk atau semua jenis media exposure. Namun ternyata dikarenakan keterbatasan waktu maka pada penelitian ini ada halhal lain yang harus lebih dibatasi lagi, misalnya: ●
Akibat penggunaan metode non probability-convenient sampling, maka sampel yang diambil tidak dapat merepresentasikan keseluruhan populasi yang diinginkan. Contohnya walaupun batasan usia responden berada dalam range 15 sampai dengan 55 tahun, tetapi ternyata sebagian besar responden berada di range usia 26 sampai dengan 35 tahun. Oleh karena itu kemudian hasil penelitian hanya valid untuk mendeskripsikan karakteristik populasi yang sesuai dengan mayoritas responden. Sehingga populasinya dipersempit menjadi warga negara Indonesia yang berdomisili di Jakarta, berusia 26 sampai dengan 35 tahun, memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta, dengan tingkat sosial ekonomi nya menengah ke atas.
●
Ada variabel-variabel lain yang seharusnya bisa mempengaruhi hasil penelitian tetapi tidak diukur dalam survei. Misalnya ketika responden menyatakan
dirinya
senang
menonton
televisi
tetapi
tidak
pernah
memperhatikan iklan karena sering berganti saluran (channel) atau meninggalkan televisi pada saat sedang iklan. Kebiasaan seperti ini menyebabkan konsumen seakan-akan telah ter expose walaupun pada kenyataannya tidak. Akibatnya hubungan antara information exposure terhadap impulse buying menjadi rancu.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.
75
●
Keterkaitan antara information exposure terhadap purchase intention (impulse buying) adalah sebuah proses panjang yang melibatkan banyak tahapan. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.3 (model dari respon kognitif) dimana sebelum terjadi purchase intention harus terjadi dulu attitude toward the brand dan attitude toward the advertisement yang positif di mata konsumen. Kegagalan di salah satu tahapan tersebut akan mengakibatkan kegagalan di tahapan lainnya, sehingga purchase intention tidak akan tercapai. Oleh karena itu sebaiknya penelitian semacam ini untuk kedepannya juga mengukur tahapan-tahapan tersebut sehingga hasil penelitiannya lebih komprehensif. Misalnya banyak iklan saat ini dianggap tidak menarik sehingga jangankan bisa menambah product knowledge responden, mendapatkan awareness dari responden pun tidak. Jika keadaannya seperti ini maka kesalahan bukan terletak pada banyak atau tidaknya information exposure dilakukan tetapi pada kualitas dari information exposure itu sendiri yang tidak mampu bersaing. Hal ini dapat dilihat dari banyak juga produk yang gagal walaupun telah banyak mengeluarkan biaya dalam beriklan.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.