BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
4.1 Pencemaran Asap Lintas Batas dan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 4.1.1.
Sejarah Pencemaran Asap Lintas Batas di Asia Tenggara Kebakaran hutan di Indonesia telah banyak tercatat sejak abad kesembilan belas51. Kebakaran hutan yang kemudian menyebabkan pencemaran asap (haze pollution) merupakan salah satu isu yang selalu hangat untuk dibicarakan, baik dalam lingkup nasional, regional, maupun internasional. Hal ini dikarenakan kebakaran hutan telah terjadi sejak lama dan frekuensi kebakaran hutan terus meningkat di Indonesia setiap tahunnya. Hal ini diperparah apabila sudah memasuki musim kemarau. Kebakaran hutan mulai marak terjadi di Indonesia pada tahun 1980an dimana pada saat itu khusus bagi Indonesia izin-izin pembukaan hutan untuk perkebunan di
51
Helena Varkkey, “Patronage Politics, Plantation Fires and Transboundary Haze”, Environmental Hazards (January; 2013), hlm. 201
47
48
Indonesia
mulai
dilegalkan
oleh
pemerintah
demi
pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Namun, seiring dengan maraknya izin-izin perkebunan yang dilegalkan membuat pendayagunaan hutan semakin tidak terkontrol.
Sehingga
keseimbangan
ekosistem
hutan
menjadi kurang di perhatikan oleh pemerintah. Secara kronologis kebakaran hutan di Indonesia terjadi dalam beberapa periode, yaitu dari tahun 1982-1983, 1997-1998, 2005 hingga tahun 2010 serta periode 20112012 dan yang terbaru adalah Kebakaran hutan pada tahun 2013 dan 2015 yang memberikan dampak yang besar terhadap isu lingkungan terutama pencemaran asap lintas batas. Namun, salah satu kebakaran hutan yang cukup parah terjadi pada tahun 1997 yang menyebabkan pencemaran asap ke beberapa Negara tetangga di sekitar Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Singapura (Gambar 1).
49
Gambar 1. Selimut Asap di Asia Tenggara, 26 September 199752
Pada
dasarrnya,
Kerusakan
lingkungan
hidup
disebabkan oleh banayk faktor, yang garis besarnya disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia53. Dalam konteks Indonesia, orientasi ekonomi yang mendorong terjadinya penebangan dan pengalihfungsian hutan secara besarbesaran, tanpa memperhatikan etika lingkungan, serta teknik
babat
dan
bakar,
yang
digunakan
dalam
pengalihfungsian hutan, baik alih fungsi untuk lahan pemukiman, pertanian, perkebunan kelapa sawit, pabrik 52
Judith Mayer, “Transboundary Perspectives on Managing Indonesia’s Fires”, Journal of Environmental and Development (June, 2006), hlm. 203 53 H. Joni, 2015, Hukum Lingkungan Kehutanan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 27
50
pengolahan bubur kertas, perusahaan kayu dan pembersihan lahan, telah menyebabkan terjadinya kebakaran hutan yang terus berlanjut sampai sekarang (Tabel 1). Tabel 1. Taksiran Kebakaran Hutan 1997-2013
Merujuk pada data diatas, isu Kebakaran hutan sudah menjadi masalah klasik bagi Indonesia, dikarenakan setiap tahun terjadi Kebakaran hutan dengan intensitas yang berbeda, namun kebakaran hutan yang paling luas terjadi pada tahun 1997 dan terendah pada tahun 2011. Hal ini diakibatkan beberapa faktor seperti faktor manusia melalui pembakaran lahan dan faktor alam yaitu terkait dengan fenomena El-nino.
51
Meskipun Kementerian
sudah
ada
peringatan
Lingkungan Republik
dini
dari
Indonesia terkait
dengan El Nino, kebakaran lahan terus meluas di wilayah Sumatra dan Kalimantan, terutama untuk perluasan lahan yang digunakan sebagai wilayah perkebunan. Ditambah lagi, fakta bahwa penggunaan api sebagai media perluasan lahan tidak dilarang di Kalimantan dan Sumatra sehingga dilaporkan terjadi Kebakaran hutan di 23 dari 27 Provinsi pada tahun 1997-199854. Terus berlangsungnya Kebakaran hutan akhirnya mengakibatkan pencemaran polusi asap lintas batas, sebagai contoh, Kebakaran hutan di Provinsi Riau pada tahun 2013 saja sudah sangat memprihatinkan karena merusak vegetasi hutan (Gambar 2) dan mencemari lingkungan tidak hanya Indonesia tetapi juga negeri tetangga, terutama Malaysia dan Singapura dalam hal ini.
54
Emily Matthews, 2002, The State of the Forest: Indonesia, Bogor, Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch, hlm. 54
52
Gambar 2. Perubahan Vegetasi Sebelum (a) dan Sesudah (b) Kebakaran Juni 2013 di Provinsi Riau55
Lebih jauh lagi, kabut asap yang terjadi selama Juni 2013 di Asia Tenggara telah dianalisis menggunakan satelit penginderaan jarak jauh. Secara umum, sebagian besar angin selama bulan Juni di wilayah ini bertiup ke barat, namun, selama Juni 2013 angin bertiup timur, akibatnya kabut asap dari kebakaran hutan di Provinsi Riau, Indonesia bertiup ke Malaysia selatan dan Singapura menyebabkan polusi yang sangat pekat (Gambar 3). Apabila melihat dari fakta tersebut, faktor alam juga sangat mempengaruhi polusi asap, karena pola badai dan angin mampu membawa 55
Krishna Prasad Vadrevu et all, “Analysis of Southeast Asian ollution Episode uring June 2013 sing Satellite Remote Sensing Datasets”, Environmental Pollution (July, 2014), hlm. 249
53
polusi asap dari satu lokasi ke daerah yang lebih luas, bahkan melewati batas-batas Negara56. Gambar 3. Lintasan Massa Udara dari Lokasi Kebakaran di Provinsi Riau, Indonesia
Massa udara berpindah menuju timur berdampak terhadap tingkat polusi kabut asap di Singapura, Malaysia dan Thailand selatan. Garis Warna menunjukkan paket udara dirilis pada ketinggian yang berbeda (m) di atas permukaan tanah (Hijau-1100 m; biru-1000 m; merah-900 m). Disisi lain, berdasarkan pemantauan sejumlah titik api (hot spot) mulai sepanjang tahun 2014 khusus bagi wilayah Asia Tenggara terdapat total hotspot sebanyak
56
Jerger, David B. Jr. "Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement on Transboundary Haze Pollution", Sustainable Development Law & Policy (2014), hlm.35
54
130.331 titik. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa total hotspot di Indonesia tercatat 24.898 titik. Sementara itu, untuk periode yang sama, jumlah hotspot yang terjadi di negara ASEAN yang lain menunjukkan jumlah yang jauh lebih tinggi, yaitu: Myanmar 37.926 titik, Thailand 19.120 titik, Kamboja 17.349 titik, Vietnam 13.225 titik, Laos 11.540 titik, Malaysia 4327 titik, dan Filipina 1.946 titik. Untuk Indonesia sendiri hotspot yang berhasil dipantau, yaitu di pulau Kalimantan 15.170 titik dan Sumatra dengan 9.728 titik57 Bahkan, pada tanggal 1 Januari s/d 30 Juli 2015 jumlah titip api di Indonesia tercatat 5.248 titik58. Data tersebut didapat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang melakukan pencatatan secara berkala jumlah titik api di daerah menggunakan dua satelit utama, yaitu Satelit NOAA-18 dan Satelit Terra & Aqua yang secara publik dapat diakses menggunakan aplikasi
57
Lihat, http://www.weather.gov.sg/wip/c/portal/layout?p_l_id=PUB.1003.613 diakses tanggal 5 April 2016 58 Anonym, 2015, “Asap dan Residu Hak Asasi: Jauhnya Pertanggungjawaban Negara untuk Menghukum Perusahaan Pembakar Hutan dan Melindungi Hak-hak Dasar Warga Indonesia”, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, hlm. 3
55
SiPongi pada laman daring Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan, Kebakaran hutan selanjutnya tidak hanya terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatera saja, pada bulan Oktober
kondisi
Kebakaran
hutan
semakin
mengkhawatirkan yang ditunjukkan pada satelit Terra Aqua, wilayah Pulau Sulawesi dan Papua juga ikut terbakar dengan jumlah 1.545 titik api di seluruh Indonesia. Total 801 titik api di Pulau Sulawesi berasal dari lahan pertanian dan perkebunan. Jumlah sebenarnya sesungguhnya lebih banyak karena satelit tidak mampu menembus pekatnya asap di Sumatera dan Kalimantan59. Titik api yang semakin meluas dan tidak bisa ditanggulangi oleh
pemerintah
kemudian
menyebabkan
meningkat
pesatnya luas kebakaran hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan angka 10.531 hektare sebagai luasan lahan dan hutan yang terbakar hingga 20 Oktober 2015. Jika diperhatikan pada Agustus 2015 hingga Oktober 2015 terjadi peningkatan luas Kebakaran hutan mencapai lebih dari 3 kali lipat. 59
ibid
56
Panjangnya masa El-Nino pada tahun 2015 juga ikut memperparah kondisi dan sebaran titik api. Fenomena ini memberikan efek pada tingkat intensitas dan frekuensi curah hujan yang semakin berkurang dan mundurnya periode musim penghujan 2015/2016 di beberapa wilayah. Sayangnya ElNino tidak menjadi fenomena yang dianggap cukup serius dimana Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah memprediksi bahwa dalam bulan Juli - November 2015 akan terjadi El Nino moderat sampai kuat menghampiri Indonesia. Ditambah lagi, pemerintah sebenarnya telah mempunyai pengalaman kebakaran hutan yang diperparah oleh El-Nino pada kasus kebakaran tahun 1997.
4.1.2.
Penyebab dan Dampak Polusi Asap Lintas batas di Asia Tenggara Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari pemanfaatan sumber daya alam, khususnya hutan yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, sosial, dan ekonomi tanpa memperhatikan pengelolaan secara berkelanjutan dan memperhatikan hak maupun kearifan
57
adat lokal penduduk setempat. Lebih lanjut lagi, deforestasi tersebut secara langsung berimbas kepada kebakaran hutan yang menjadikan Indonesia secara luas dianggap sebagai penyumbang polusi kabut asap terbesar di Asia Tenggara. Kebakaran di Indonesia sebagian besar merupakan hasil dari industri perkebunan, hal ini dikarenakan, Indonesia memiliki kondisi yang ideal untuk dijadikan sebagai lahan kelapa sawit dan berbagai tumbuhan tropis yang berharga. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak lahan gambut yang sengaja dibiarkan kering untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan lahan lainnya. Lahan gambut yang kering tersebut sangat rentan dan sangat mudah untuk terbakar, dan api yang membakar tersebut tidak hanya berhenti dipermukaan tetapi juga sampai keakar-akarnya 60 Meskipun beberapa kebakaran terjadi sebagai akibat dari sambaran petir di lahan gambut kering, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar kebakaran di Indonesia adalah hasil dari pembabatan dan pembakaran lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa 60
Jerger, David B, op cit, hlm.36
58
sawit dan industri lainnya. Metode babat-bakar adalah praktik tradisional yang digunakan untuk membersihkan lahan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Pemilik perkebunan dan petani memilih metode pembakaran ini karena murah, mudah61, dan efektif dengan hanya bermodal korek api mereka mampu membersihkan lahan tersebut. Meskipun banyak petani skala kecil menggunakan metode ini, namun dampak yang mereka hasilkan tidak seberapa apabila dibandingkan dengan dampak yang dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit dan perusahaan lainnya yang menggunakan metode yang sama untuk membersihkan lahan yang akan dijadikan sebagai lahan perkebunan62. Faktanya, melakukan
pemerintah
pelarangan
Indonesia
penggunaan
sendiri api
telah untuk
membersihkan lahan pada tahun 1995, tetapi larangan ini belum efektif diberlakukan karena banyak faktor, salah satunya adalah fakta bahwa pembukaan lahan dengan metode slash-and-burn diyakini membuat tanah lebih subur. 61
James Cotton, “The "Haze" over Southeast Asia: Challenging the ASEAN Mode of Regional Engagement”, Pacific Affairs (Autumn, 1999), hlm. 334 62 ibid
59
Secara garis besar, Kebakaran hutan di Indonesia terjadi oleh faktor manusia dan alam. Dalam konteks Kebakaran hutan yang terjadi oleh faktor manusia, sumbersumber dari kebakaran hutan di Indonesia sebenarnya dapat segera ditentukan, tetapi ada perdebatan serius tentang seberapa jauh masing-masing kelompok bertanggung jawab atas kebakaran hutan tersebut. setidaknya faktor-faktor ataupun sumber kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Masyarakat yang berkebun secara tradisional (Traditional Cultivator), investor skala kecil, dan investor skala besar63 Salah satu sumber dari pembakaran hutan yang terjadi di Indonesia adalah masyarakat yang melalukan perkebunan secara tradisional. Beberapa pekebun menetap dan membakar lahan kecil mereka setelah masa panen untuk meremajakan tanah dan membunuh hama dan gulma. disisi lain ada pekebun yang berpindah-pindah, yang mempraktikkan kebiasaan metode tebang dan bakar untuk
63
David Seth Jones, “ASEAN Initiatives to combat Haze pollution: An assessment of regional cooperation in public policy‐ making”, Asian Journal of Political Science (January, 2008), hlm. 62
60
membersihkan hamparan hutan sebagai lahan mereka yang dilakukan dengan sistem rotasi. Dalam beberapa tahun terakhir, model perkebunan ini meningkat dikarenakan para pekebun tradisional menjual lahan mereka kepada investor kecil dan investor skala besar, dan kemudian membuka lahan baru dengan metode yang sama. lebih lanjut lagi, pekebun tradisional dan masyarakat adat di kawasan hutan Kalimantan juga bertanggung jawab atas pembakaran hutan yang dilakukan sebagai bentuk protes akibat pengambilalihan lahan dari mereka yang biasa digunakan sebagai lahan berkebun, berburu dan berkumpul.64 Sumber
lain
dari
kebakaran
hutan
adalah
pengembang lahan di Kalimantan, yang bergerak sejalan dengan skema transmigrasi yang diperkenalkan pada tahun 1995 oleh Pemerintahan Soeharto, program transmgrasi tersebut sejalan dengan pembukaan lahan baru melalui pembersihan lahan (deforestasi)65, paling tidak pada masa itu sekitar satu juta hektar lahan gambut di Kalimantan 64
Ibid, hlm. 63 Christine Padoch and Nancy L. Peluso, eds., 1996, Borneo in Transition: People, Forests, Conservation and Developmnent , Kuala Lumpur, Oxford University Press, hlm. 13-40 65
61
Selatan dan Kalimanatan Tengah diubah menjadi lahan persawahan produktif dan kebanyakan dari petani migran ini berasal dari wilayah yang padat penduduk dan kekurangan lahan66 Pembakaran hutan yang menghasilkan polusi asap telah mengakibatkan dampak yang berbahaya, dampakdampak tersebut telah banyak di dokumentasikan baik oleh organisasi lingkungan dan kesehatan internasional. Bahaya yang diakibatkan pembakaran hutan tidak hanya berdampak pada daerah yang terkena kebakaran saja, tetapi juga ke daerah-daerah lain yang terjangkau kabut asap tersebut. Dampak yang dihasilkan oleh kebakaran hutan tidak hanya sebatas kerusakan lingkungan, tetapi juga dampakdampak lanjutan yang secara tidak langsung berimbas kepada ekonomi, pariwisata dan sebagainya. Secara garis besar, dampak polusi asap ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
66
ibid
62
4.1.2.1.
Kerusakan Lingkungan Dampak yang paling jelas dihasilkan oleh Kebakaran
hutan
dan
polusi
asap
adalah
berkurangnya jumlah hutan. Deforestasi juga akan menimbulkan dampak buruk lingkungan lainnya, termasuk erosi, polusi air, penggurunan, pemanasan
global
dan
perubahan
iklim,
kerentanan terhadap bencana alam seperti banjir, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Dalam kontek keanakeragaman hayati, sekitar setengah spesies yang dikenal di dunia terdapat di hutan tropis, Bahkan, hutan hujan Indonesia telah diakui sebagai tempat hidup beraneka ragam flora dan fauna. Perusakan vegetasi dan habitat
melalui
pembakaran
hutan
dapat
mengancam kelangsungan hidup mereka, dan mendorong flora dan fauna tersebut menuju kepunahan. Secara spesifik, Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar pada tahun 2015 – 4,5 kali lebih luas dari Pulau
63
Bali. Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta sebagai habitat satwa. Meski belum dianalisa secara penuh, kerugian lingkungan terkait
keanekaragaman
hayati
diperkirakan
bernilai sekitar 295 juta Dollar Amerika pada tahun 2015. Dampak jangka panjang terhadap kehidupan alam bebas dan biodiversitas belum sepenuhnya
dikaji.
Ribuan
hektar
habitat
orangutan dan hewan yang hampir punah lainnya pun ikut hancur. Pada tingkat global, kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada bulan Oktober 2015, emisi per hari kebakaran hutan di Indonesia melebihi emisi perekonomian Amerika Serikat, atau lebih dari 15,95 juta ton emisi CO2 (karbondioksida) per hari.
Jika
Indonesia
bisa
menghentikan
kebakaran, Indonesia dapat mencapai target
64
penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030.67 4.1.2.2.
Ketegangan Politik dan Hubungan Luar Negeri Masalah kabut asap telah menyebabkan ketegangan politik antara Indonesia dan negaranegara
tetangganya
seperti
Malaysia
dan
Singapura. Sebagai contoh, sementara Malaysia dan Singapura berusaha membantu Indonesia menangani masalah kebakaran hutan, Indonesia dalam waktu bersamaan juga dikecam karena sikap yang ditunjukkan oleh Agung Laksono selaku
Menteri
Koordinator
Kesejahteraan
Rakyat yang memberikan kritikan pedas kepada pemerintah
Singapura
yang
dianggapnya
bersikap kekanak-kanakan68 dalam menghadapi masalah kabut asap pada tahun 2013. Lain hal dengan menterinya, Presiden Susilo Bambang
67
Anonim, Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia, 4 Februari, diakses dari: http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis, jam 15.39 WIB 68 Egidius Panistik, 4 Februari 2016, Agung Laksono: Singapura Berlaku Anak Kecil terkait Asap, http://internasional.kompas.com/read/2013/06/20/1427567/Agung.Laksono.Singapura.Be rlaku.seperti.Anak.Kecil.Terkait.Asap, jam 16.02 WIB
65
Yudhoyono ketika itu mengucapkan permintaan maafnya kepada Malasysia dan Singapura terkait dengan
polusi
Indonesia69,
asap
yang
dihasilkan
dengan
janji
untuk
menyelesaikan
masalah
oleh segera
Kebakaran
hutan
tersebut, diharapkan hubungan antara Negara anggota ASEAN tetap terjaga. 4.1.2.3.
Masalah Kesehatan Dampak
yang
paling
serius
dari
Kebakaran hutan dan polusi asap adalah terkait dengan kesehatan, Dampak terhadap kesehatan manusia timbul karena zat-zat kimia tertentu masuk ke dalam tubuh manusia, baik yang berasal dari air yang diminum telah tercemar, makanan
yang
sudah
terkontaminasi
zat
pencemar, maupun udara yang dihirup sudah tidak layak lagi. di tahun 1997 dan 1998 saja ada sekitar 7,5 juta orang di enam negara Asia Tenggara yang melibatkan Indonesia, Singapura, 69
Anonim, 4 Februari 2016, SBY Minta Maaf kepada Singapura dan Malaysia soal Kabut Asap, diakses dari: http://news.detik.com/berita/2282960/sby-minta-maaf-kepadasingapura-dan-malaysia-soal-kabut-asap, jam 16.35 WIB
66
Thailand, Brunei, Filipina dan Malaysia yang terkena dampak polusi asap70, dan secara langsung maupun tidak langsung mereka akan menghirup asap yang mengandung tembaga dan krom yang apabila dihirup dapat meningkatkan resiko terkena kanker71. Kualitas udara di desa-desa di sekitar kebakaran lahan seringkali melampaui angka 1.000 pada Indeks Standar Polutan (PSI). Angka ini lebih dari tiga kali lipat tingkat berbahaya. Racun yang dibawa oleh asap menyebabkan gangguan pernafasan, mata dan kulit, serta terutama sangat berbahaya bagi balita dan kaum lanjut
usia;
mengandung
udara
yang
beracun
karbondioksida,
tersebut
sianida
dan
amonium. Dampak jangka panjangnya untuk kesehatan belum sepenuhnya diketahui namaun diperkirakan akan sangat signifikan. Ketika asap
70
Wan Fairus Wan Yacob et all, “The Impact of Haze on the Adolescent's Acute Respiratory Disease: A Single Snstitution Study”, Journal of Acute Disease (Januari, 2016), hlm.27 71 Betha, R et all, “Chemical speciation of trace metals emitted from Indonesian peat fires for health risk assessment”. Atmos. Res. (2013), hlm. 577
67
menyebar, kegiatan perdagangan dan sekolah di wilayah
terpaksa
dihentikan.
melumpuhkan
bagi
berpenghasilan
rendah
banyak dan
Hal
ini
keluarga
membahayakan
mereka untuk jatuh miskin. Sekitar 5 juta siswa kehilangan waktu belajar akibat penutupan sekolah pada tahun 201572. Lebih lanjut lagi, orang yang tinggal atau bekerja di daerah yang terkena kabut asap sangat rentan terhadap risiko kesehatan, bahkan di luar Indonesia, dampak kesehatan dari kabut asap sangat dirasakan. Misalnya, di Singapura saja, pada
tahun
1997,
polusi
asap
telah
mengakibatkan peningkatan penderita penyakit pernapasan sejumlah 12% dan asma sebanyak 19%. Selama periode yang sama di Malaysia, jumlah pasien gangguan pernapasan meningkat dari 250 per hari menjadi 800 per hari, dan jumlah ini berpotensi meningkat setiap tahunnya, 72
Anonim, Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia, 4 Februari, http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis, 15.39
68
dikarenakan
kebakaran
hutan
terus
terjadi
meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda.73 Lebih lanjut lagi, masalah polusi asap ini sudah mengakibatkan adanya korban jiwa, seperti data yang dihimpun oleh Kontras (Gambar 3). Tabel 2: Korban Jiwa Bencana Asap 201574 No
Nama
1 Dimas Aditya Putra
Usia 2 tahun
Provinsi Tanggal Wafat Jambi
2 Wahyuni 15 tahun Jambi 3 Ramadha 9 tahun ni Luthfi Aerli
Riau
4 Muhanu 12 tahun m Aggriawa ti
Riau
Sebab
9 September Asap 2015 menggumpal di punggung 11 September 2015 21 Oktober 2015
Lendir pada paru-paru Gumpalan asap pada paru-paru
10 Oktober Gagal 2015 pernapasan akibat paruparu disesaki lender 5 Nabila 15 bulan Jambi 29 September Banyak Julia 2015 terdapat Rahmada dahak di ni dalam tubuh 6 Ardian 6 tahun Riau 19 oktober Ada cairan 2015 hitam dari paru-paru 7 M Husen 28 hari Sumatera 6 Oktober Divonis Saputra Selatan 2015 dokter menderita ISPA
73
Keterangan Tidak mendapatkan perawatan rumah sakit Siswa SMPN 5 Kota Jambi Siswa kelas 3 MIN Pekanbaru Siswi kelas 6 SDN 171 Kulim Kec. Tanayan Raya Tidak mendapat perawatan medis yang mencukupi Keterangan dokter akibat paparan asap Masih ada saudara korban yang menderita ISPA
Md Saidul Islam et all, “Trans-Boundary Haze Pollution in Southeast Asia: Sustainability through Plural Environmental Governance”, Sustainability (2016), hlm. 7 74 Anonym, 2015, op cit, hlm. 9-11
69
8 Salsabila 3 bulan Sumatera Nadifa barat
9 Rizal 9 tahun Kalimant Ahmadan an i Selatan
10 Intan
9 tahun Kalimant an Tengah
11 Agustinus 1 bulan Kalimant 3 hari an Barat 12 Fahmi Ammar
1 tahun Kalimant an Utara
13 Ratu 45 hari Kalimant Anggraini an Tengah 14 Darent 18 bulan Sumatera Saputra Selatan
15 Arika 15 bulan Sumatera Patina Selatan Ramadha ni Kategori Dewasa
21 Oktober Diduga akibat Mendapat 2015 terpapar asap sanggahan dari pihak RSUD Lubuk sikaping 16 Oktober Luka di 2015 bagian kepala atas alis kiri akibat terganggu jarak pandang 14 September Mengalami 2015 sesak napas hebat hingga sulit berbicara 14 Oktober Kesulitan 2015 bernafas karena banyak lender 21 Oktober Kesulitan 2015 bernapas dan paru-paru dipenuhi dahak akibat asap 3 Oktober Dehidrasi 2015 hingga syok akibat diare 13 Oktober Menderita 2015 sesak napas selama hampir 2 jam
Siswi SDN 3 Baamang Tengah
Diduga menderita ISPA Korban juga menderita asma
Diduga akibat terlalu banyak menghirup asap Diduga akibat menghirup kabut asap
12 Oktober Akibat terlalu Diduga menderita 2015 banyak ISPA menghirup asap
70
16 Nortop edi
Lemas setelah banyak menghirup asap Kebakaran 35 Kalimanta 9 September Kesulitan tahun n barat 2015 bernapas akibat terlalu banyak menghirup asap 45 Riau 21 Juni 2015 Kesulitan tahun bernapas akibat terlalu banyak menghirup asap
Korban juga menderita luka bakar
19 Yunarl is
65 tahun
Riau
Korban tewas terpanggang
20 Muha mmad Iqbal Hali
31 tahun
Riau
21 Sardi Ramad oni
19 tahun
Riau
17 Kamas hi
18 Laine m
77 Kalimanta tahun n Tengah
4 oktober 2015
23 Juli 2015 Tidak sadarkan diri akibat kesulitan bernapas 5 Oktober 2015
Kesulitan bernapas akibat terlalu banyak menghirup asap
18 September Korban 2015 tewas di lokasi akibat jarak pandang yang terbatas
Penderita Asma
Ditemukan di ladang milik korban
Korban merupakan anggota pns dan menderita asma
Korban merupakan mahasiswa
71
Data yang ditemukan oleh Kontras diatas, hanya sedikit dari jumlah korban jiwa akibat polusi asap, dikarenakan data tersbut hanya sebagian kecil dari banyak jumlah korban jiwa yang belum diketahui lainnya. 4.1.2.4.
Kerugian Ekonomi Kebakaran hutan dan polusi asap yang menimbulkan
resiko
kesehatan
dapat
mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya adalah menghambat produktivitas ekonomi di negara-negara Asia Tenggara yang terkena dampak. Perkiraan awal dari kerugian ekonomi untuk Indonesia akibat kebakaran hutan tahun ini melampaui $16 milyar. Jumlah ini dua kali lebih besar dari kerugian dan kerusakan akibat tsunami tahun 2004 di Aceh, setara dengan 1.8% Produk Domestik Brutto (PDB). Estimasi
ini
mencakup
kerugian
pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata dan sektor-sektor lainnya. Sebagian dari kerugian itu akibat kerusakan dan
72
kerugian
langsung
terhadap
hasil
panen,
kehutanan, perumahan dan infrastruktur, dan biaya yang ditimbulkan untuk menangani api. Banyak kerugian ekonomi disebabkan dampak tidak langsung, seperti terganggunya perjalanan udara, laut dan darat akibat asap. Dampak pada pertumbuhan PDB lokal diperkirakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan di wilayah-wilayah yang paling parah, seperti Kalimantan Tengah75. Sedangkan, Singapura sebagai Negara yang tercemar asap menderita kerugian ekonomi yang sangat signifikan. Pasalnya banyaknya jumlah warga yang sakit akibat polusi asap berbanding lurus dengan jumlah biaya yang mereka
harus
keluarkan,
menurunnya
produktivitas
diakibatkan
ketidakhadiran
ditambah ekonomi ketika
lagi yang
bekerja.
Dampak yang lebih serius adalah penuruan 75
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis
73
pendapatan pariwisata di negara-negara tercemar, hal ini diakibatkan matinya roda kehidupan selama polusi asap berlangusng, sekolah, bisnis dan bahkan penerbanganpun dihentikan. Sebagai contoh (Gambar 6). Tabel 3: Kerugian Ekonomi Singapura Akibat Polusi Asap 199776
Pada tahun 1977, kerugian singapura akibat kabut asap berkisar antara 163,5- 286.2 Juta Dollar Amerika. kerugian terbesar terjadi di sektor pariwisata, sebesar 136,6- 210.5 Juta Dollar Amerika. Sektor hiburan mengalami kerugian sebesar 23,2-71.2 Juta Dollar Amerika dikarenakan buruknya jarak pandang ketika terjadi polusi asap. kerugian kesehatan sebesar 3,8-4,5 juta Dollar Amerika. Ditambah lagi dari
76
Md Saidul Islam et all, op cit, hlm. 8
74
sektor
bisnis,
perdagangan
terutama
makanan
bisnis
dan
ritel
minuman
dan yang
kemudian menyebabkan pneduduk sekitar tidak keluar dari rumah mereka dan memilih menetap selama polusi asap berlangsung. Jumlah ini dihitung ketika polusi asap terjadi pada Tahun 1997, dan potensi kerugian semakin meningkat tiap tahunnya.
4.1.3.
Penjelasan
Umum
ASEAN
Agreement
on
Transboundary Haze Pollution dan Peratifikasian oleh Indonesia ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara memiliki peran dan tanggung jawab dalam menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi, sosial, politik dan
hubungan
ditandatanganinya
diantara
sesama
deklarasi
anggotanya.
Bangkok
atau
Sejak
deklarasi
ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand.
75
ASEAN lahir sebagai sebuah organisasi regional yang mengusung tema kepercayaan dan meningkatkan kerjasama
dalam
pembangunan
bersama
masyarakat
ASEAN dalam berbagai aspek kerjasama yang meliputi aspek ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi. Seiring
dengan
perkembangan
konstelasi
internasional, ASEAN mengalami perkembangan pesat. Pada awal berdirinya, ASEAN menaruh perhatian yang besar untuk membangun rasa saling percaya (confidence building measures), itikad baik dan mengembangkan asas untuk
bekerjasama
anggotanya.
Kini
secara
terbuka
diantara
sesama
dengan
segala
kematangan
dan
pencapaian yang telah diraih, kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh ASEAN mulai menyentuh kerjasama di bidang-bidang yang sebelumnya dianggap sensitif. Setelah peristiwa terbakarnya lahan dan hutan pada 1997, para Menteri Lingkugan Hidup negara-negara ASEAN menyusun rencana regional untuk mengatasi masalah kebakaran hutan tersebut. Rencana Aksi Regional (Regional Action Plan) ini dibagi menjadi tiga bagian.
76
Bagian pertama yang mengharuskan negara-negara anggota untuk menyusun rencana nasional mereka, dan untuk menunjukkan langkah-langkah khusus mereka yang "harus ada" untuk memantau, mencegah, menghalangi, dan mengurangi pembakaran hutan77, yang kemudian menjadi cikal bakal dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. ASEAN
Agreement
on
Transboundary
Haze
Pollution adalah bentuk insiatif dan upaya dari ASEAN untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional dan subregional secara terkoordinir yang berupa kesepakatan negara anggota ASEAN untuk penyelesaian masalah polusi asap lintas batas. Perjanjian polusi asap lintas batas ini ditandatangani sejak tahun 2002 dan berlaku sejak tahun 2003 setelah enam negara meratifikasi yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar dan Singapura.
77
Ayyappan Palanissamy, “Haze Free Air in Singapore and Malaysia-The Spirit of the Law in Southeast Asia”, International Journal of Education and Research (Agustus, 2013)
77
Pencemaran
lingkungan
lintas
batas
yang
disebabkan oleh kabut asap memberikan dampak yang serius terhadap keselamatan dan keamanan warga negara dan kepentingan setiap negara yang tercemar. Oleh karena itu, Negara anggota ASEAN menyadari untuk memperkuat kebijakan nasional dan strategi sebagai bentuk upaya serta kebutuhan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tentunya akan memberikan dampak terciptanya kabut dan asap. Permasalahan pencemaran lingkungan lintas batas yang disebabkan oleh kabut dan asap ke beberapa negara anggota, menjadi fokus dari beberapa instrumen lingkungan ASEAN.
Maka,
ASEAN
Cooperation
Plan
on
Transboundary Pollution (ACPTP) pada tahun 1995, menganggap serta menjadikan Polusi atau pencemaran yang disebabkan oleh Asap Lintas Batas sebagai salah satu perhatian umum ASEAN yang harus ditangani secara bersama. Pada
tanggal
10
Juni
2002,
masing-masing
perwakilan Menteri Lingkungan Hidup dari tiap negara anggota ASEAN menandatangani ASEAN Agreement on
78
Transboundary Haze Pollution di Kuala Lupur, Malaysia. ASEAN Agreement Tranboundary Haze Pollution mulai berlaku
pada
meratifikasi,
hari
ke-60
menerima
setelah
serta
negara
menyetujiu
anggota perjanjian
tersebut.78 Namun Indonesia baru meratifikasi Agreement Tranboundary Haze Pollution pada tahun 2015. Adapun pengertian perjanjian Internasional terdapat dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dengan demikian, perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi ketentuan – ketentuan yang mempunyai akibat hukum. Seperti halnya Perjanjian internasional, AATHP merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara – Negara dalam bentuk tertulis yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajiban – kewajiban yang mengikat bagi negara- negara peserta(para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium 78
Pasal.4 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002
79
Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara –negara untuk melaksanakan dengan itikad baik kewajiban – kewajibannya.79 Pada dasarnya, AATHP terdiri dari 32 pasal, dan berikut
akan
dibahas
bagian-bagian
terpenting dari
kesepakatan tersebut yang memiliki pengaruh terhadap Indonesia. 4.1.3.1.
Pasal 2: Tujuan Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk mencegah dan memonitor transboundary haze pollution yang diakibatkan oleh kebakaran hutan yang sebaiknya dilakukan dengan upaya-upaya nasional dan dengan kerjasama regional dan internasional.
4.1.3.2.
Pasal 3 : Prinsip 4.1.3.2.1. Prinsip tanggung jawab Negara 4.1.3.2.2. Prinsip pencegahan 4.1.3.2.3. Prinsip precautionary. 4.1.3.2.4. Prinsip pembangunan yang aman
79
F. Isjwara, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: 1972, Alumni, hlm 201
80
4.1.3.2.5. Prinsip kerjasama dengan semua pihak termasuk masyarakat lokal, NGO, petani dan perusahaan swasta 4.1.3.3.
Pasal 4 : Kewajiban Umum 4.1.3.3.1. Bekerjasama
dalam
upaya
pencegahan polusi udara lintas batas akibat kebakaran hutan termasuk didalamnya
pengembangan
upaya
monitor, adanya sistem peringatan dini,
pertukaran
teknologi
dan
informasi saling
dan
memberi
bantuan, 4.1.3.3.2. Ketika terjadi transboundary haze pollution dari suatu negara, segera merespon negara
dan
atau
menginformasikan
negara-negara
yang
terkena atau akan terkena polusi udara tersebut untuk meminimalisir akibatnya.
81
4.1.3.3.3. Melakukan
upaya
administratif
legislatif
untuk
dan
melaksanakan
kewajiban dalam kesepakan ini.80 4.1.3.4.
Pasal 5: adanya ASEAN center yang dibuat untuk memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar pihak dalam mengelola dampak polusiasap. Ketika suatu negara menyatakan keadaan darurat, dapat meminta bantuan kepada ASEAN center.
4.1.3.5.
Pasal 16: Kerjasama secara teknis dan penelitian termasuk
pertukaran
informasi,
teknologi
dan
Memberikan pelatihan,
pendidikan
dan
alat.
kampanye
para
ahli,
pengembangan
kesadaran tentang dampak polusi udara terhadap kesehatan dan lingkungan. 4.1.3.6.
Pasal 27 : Penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi
80
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, op cit Pasal 7-9
82
Seperti halnya Perjanjian internasional, AATHP merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara – Negara dalam bentuk tertulis. Hasil studi menyimpulkan bahwa terdapat 7 (tujuh) bentuk implikasi kelembagaan atas AATHP sebagai berikut 81: 4.1.3.1.
AATHP
berimplikasi
terhadap
peningkatan
kapasitas sumberdaya manusia dan peralatan dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia melalui mekanisme perbantuan dan kerjasama teknis; 4.1.3.2.
AATHP
berimplikasi
terhadap
perbaikan
pengelolaaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan yang lebih efektif di Indonesia melalui mekanisme
pemantauan,
pelaporan
dan
komunikasi dengan ASEAN Centre; 4.1.3.3.
AATHP berimplikasi terhadap kejelasan tugas dan fungsi institusi dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia melalui penunjukan dan pembentukan NFP
81
Akbar Kurnia Putra, “Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional”, Jurnal Ilmu Hukum (2015), hlm. 201
83
(National
Focal
Monitoring
Point),
Centre)
and
NMC CA
(National (Competent
Authorities); 4.1.3.4.
AATHP berimplikasi dalam memacu pembuatan SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia;
4.1.3.5.
AATHP berimplikasi terhadap pembangunan ASEAN
Centre
yang
dapat
memfasilitasi
kerjasama dan koordinasi antar para Pihak dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia; 4.1.3.6.
AATHP
berimplikasi
terhadap
peningkatan
pengembangan penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) di Indonesia melalui adanya penjaminan bahwa langkah legislatif, administratif dan langkah relevan lainnya akan diambil untuk mencegah pembukaan lahan dengan membakar serta adanya kerjasama teknis antar para Pihak untuk lebih mempromosikan PLTB; dan
84
4.1.3.7.
AATHP berimplikasi dalam memacu alokasi dana yang lebih memadai dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Dilain sisi, Indonesia sebagai salah satu negara yang “mengekspor” asap ke Negara-negara ASEAN justru merupakan negara yang paling akhir meratifikasi AATHP tersebut (Gambar 7) Tabel 4: Negara-negara Peratifikasi AATHP82
82
http://haze.asean.org/asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution-2/
85
Menurut beberapa pihak, isu politik di Indonesia menjadi salah satu hambatan untuk proses ratifikasi, hal ini didasarkan
bahwa,
ketika
ratifikasi
dilakukan
akan
mengakibatkan banyak kewajiban yang ditekankan oleh Negara-negara anggote kepada Indonesia.83 Selain itu, melalui upaya penanggulangan dengan merupakan perwujudan solidaritas ASEAN, Indonesia akan didesak secara perlahan untuk bersikap lebih tegas dalam penegakan hukumnya, bila meratifikasi AATHP tersebut. Memang dalam perjanjian itu tidak secara tegas dijelaskan hukuman apa yang bakal dijatuhkan kepada Indonesia jika hutannya terus terbakar dan melakukan ekspor asap. Tetapi dengan perjanjian tersebut, selain Indonesia mendapat bantuan teknis, negara ini juga bakal mendapatkan tekanan politis dari negara negara tetangga untuk lebih serius terhadap masalah kebakaran hutan tersebut. Lambatnya respon yang diambil oleh pemerintah Indonesia terkait dengan ratifikasi AATHP ini maka pada tanggal 5 Agustus 2014 lalu, parlemen Singapura mengesahkan Singapore Transboundary Haze Pollution Act 83
Jerger, David B, op cit, hlm.42
86
2014 (No. 24 of 2014) yang kemudian disingkat STHP. Melalui aturan ini, pemerintah Singapura mampu untuk menuntut individu ataupun perusahaan di Negara tetangga yang menyebabkan polusi asap yang berdampak kepada Singapura84. Menanggapi hal tersebut, Prof. Sigit Riyanto85 beranggapan bahwa, dengan diterapkannya aturan tersebut, singapura berupaya untuk menerapkan extraterritorial jurisdiction
atau keadaan dimana suatu Negara dapat
menerapkan yurisdiknya di wilayah negera lain. Lebih lanjut lagi, Prof. Sigit menambahkan bahwa secara teoritis aturan tersebut sangat mungkin untuk tetap ada, namun secara praktis banyak kajian dan pengalaman yang menunjukkan bahwa penerapan extraterritorial jurisdiction akan menemui beberapa kendala, apalagi hubungannya dengan pencemaran asap di wilayah Asia Tenggara. Dilain sisi, pengesahan THPA oleh Singapura adalah bagian dari
84
Anonim, Singapore Passes Trans-Boundary Haze Act, 8 Februari, http://www.thejakartapost.com/news/2014/08/07/singapore-passes-trans-boundary-hazeact.html, 14.45 85 Professor Sigit Riyanto adalah Guru Besar dan Pakar Hukum Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
87
upayanya untuk “menggertak” Indonesia yang ketika itu belum meratifikasi AATHP.86 Namun, disisi lain salah satu kasus yang terkenal mengenai penerapan yurisdiksi ekstrateritorial ini adalah Lotus Case, pada 2 Agustus 1926 terjadi tabrakan antara SS Lotus (kebangsaan Prancis) dengan SS Boz Kourt (kebangsaan Turki) di daerah utara Perairan Yunani. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, delapan warga Turki didalam SS Bozkourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus. M. Demons (kapten SS Bozkourt) ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki. Dalam putusannya, Permanent Court of International Justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan yurisdiksi negaranya. Tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional
bagi
suatu
negara
untuk
menjalankan
yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar
86
Wawancara dilakukan di Gedung IV, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tanggal 4 Pebruari 2016, pukul 10.00 WIB-selesai.
88
negeri dan merugikan negara tersebut87. Merujuk pada kasus diatas, jelas kiranya bahwa hukum nasional tetap bisa diterapkan sepanjang tidak ada hukum kebiasaan yang melarangnya.
4.2
Kebijakan
ASEAN
dan
Pemerintah
Indonesia
terhadap
Pencemaran Asap Lintas Batas di Asia Tenggara 4.2.1
Tantangan Pengaturan Pencemaran Asap Lintas Batas Malaysia
dan
Singapura
telah
berhasil
menghilangkan polusi asap yang diakibatkan pembakaran terbuka dan mengendalikan sumber polusi udara lainnya hal tersebut bisa dicapai dikarenakan pemerintah Malaysia dan Singapura meberikan perhatian penuh dalam upaya penanggulan
masalah
lingkungan
yang
mengancam
kesehatan dan keamanan88. Sedangkan, Indonesia masih menghadapi banyak masalah dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan polusi asap, yang dikarenakan beberapa faktor:
87 88
https://en.wikipedia.org/wiki/Lotus_case Judith Mayer, op cit, hlm. 217
89
4.2.1.1.
Kapasitas Institusi Seperti yang kita tahu bahwa, terus berlangsungnya bencana asap salah satunya disebabkan
oleh
terbatasnya
kewenangan
ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara,
terbatasnya
dibarengi
juga
Indonesia
kewenangan
tersebut
kurangnya
inisiatif
dengan
dalam
upaya
penanggulangan
kebakaran hutan tersebut. Kendala utama yang dihadapi adalah kurang tanggapnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyikapi potensi kebakaran lahan, bahkan ketika kebakaran terjadi pemerintah terkesan lamban dalam menangani meluasnya kebakaran hutan. Faktanya, sejak tahun 1985 sudah ada puluhan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hutan, sayangnya peraturan tersebut belum terlaksana dengan baik dengan melihat fakta bahwa kebakaran hutan dan polusi asap masih terjadi sampai sekarang ini. Hal ini terjadi salah satu sebabnya dikarenakan
90
tidak
adanya
kapasitas
kelembagaan
yang
menangani masalah kebakaran hutan secara khusus. Kapasitas kelembagaan dalam konteks ini mengacu pada berbagai hal, yaitu tujuan yang jelas, peran dan tanggung jawab, perencanaan yang efektif, struktur manajemen yang tepat, tenaga
kerja
dan
dana
yang
memadai,
pengetahuan tentang pengelolaan hutan dan perlindungan, peraturan dan prosedur operasional yang relevan, sumber daya fisik yang diperlukan seperti peralatan pemadam kebakaran. Padahal hal tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya penanggulangan masalah kebakaran hutan di Indonesia89. Hal tersebut menggambarkan adanya kelemahan dari model command and control di Indonesia
dalam
upaya
pencegahan
dan
penanganan kebakaran hutan di Indonesia. Hal tersebut
berkaitan
dengan
tidak
adanya
konsistensi dari substansi yang terdapat dalam
89
David Seth Jones, “ASEAN and transboundary haze pollution in Southeast Asia”, Springer-Verlag (2006), hlm. 441-442
91
suatu
hukum90,
sistem
sebagaimana
yang
disampaikan Lawrence M. Friedman suatu sistem hukum dapat berjalan optimal apabila ditunjang oleh Struktur, Substansi dan Budaya Hukum di dalamnya. Substansi diartikan sebagai aturan, norma dan pola perilaku nyata dalam sebuah sistem hukum.91 4.2.1.2.
Kurangnya Koordinasi dan Desentralisasi Faktor lain yang menghambat penanganan masalah kebakaran hutan adalah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintahan. Adanya kebijakan megenai otonomi daerah yang terus menyebabkan terjadinya benturan kebijakan antar pemeritah pusat dan daerah telah mengakibatkan masalah
serius
dikarenakan
terkait
koordinasi,
kecenderungan
setiap
hal
ini
lembaga
memiliki agenda yang berbeda dan bahkan kebijakannya terkadang saling berbenturan92. Hal
90
Deni Bram, “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Transnasional”, Jurnal Hukum (April, 2011), hlm. 207 91 Lawrence M Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm. 7 92 David Seth Jones, op cit, hlm. 442-443
92
tersebut menyebabkan masalah dalam upaya penanganan pengendalian polusi asap di Asia Tenggara. 4.2.1.3.
Kendala Tenaga Kerja dan Luasnya Wilayah Indonesia Kendala
lain
yang
dihadapi
dalam
pengendalian kebakaran hutan adalah kurangnya jumlah personil yang dipekerjakan dalam sektor kehutanan apalagi terkait perlindungan dan pengendalian
kebakaran
hutan93.
Hal
ini
berbanding terbalik dengan ukuran dan geografi Indonesia yang menyulitkan pemerintah untuk secara memadai mencegah kebakaran hutan. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau, 6.000 di antaranya adalah pulau berpenghuni. Geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas ditambah
93
Ibid
dengan
kurangnya
infrastruktur
93
menyebabkan keterlambatan respon pemerintah dalam menangani kebakaran hutan.94 4.2.1.4.
Lemahnya Penegakan Hukum Lemahnya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab atas Kebakaran hutan polusi asap, disinyalir menjadi salah satu faktor tetap berlangsungnya deforestasi hutan saat ini95. Seperti yang kita tahu, tujuan dari pemberian sanksi itu sendiri adalah sebagai upaya
pencegahan
perbuatan
buruk
dan
menghukum pelakunya96. Pemberian sanksi ini selanjutnya diharapkan mampu memberikan efek jera, bentuk sanksinya pun dapat berbeda-beda diantaranya adalah sanksi administratif seperti pencabutan izin dan sanksi pidana97
94
Jerger, David B. Jr., op cit, hlm.37 Anonim, Kabut Asap Timbul Karena Lemahnya Penegakan Hukum, 9 Februari, http://sp.beritasatu.com/home/kabut-asap-timbul-karena-lemahnya-penegakanhukum/61524, 21.56 96 Samaha, Joel, 1999, Criminal Law: 6th Edition, United States, Wadsworth Publishing Company, hlm.3 97 M. Sidik Permana, Kebakaran Hutan Menteri Siti Akui Lemahnya Penegakan Hukum, 9 Februari, https://m.tempo.co/read/news/2015/09/14/063700536/kebakaran-hutanmenteri-siti-akui-lemahnya-penegakan-hukum, 21.34 95
94
4.2.2
Kebijakan Indonesia terhadap Pencemaran Asap Lintas Batas Dalam upaya pengendalaian kebakaran hutan, pemerintah
Indonesia
telah
melakukan
pelarangan
penggunaan api untuk membersihkan lahan pada tahun 1995, bahkan aru-baru ini, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan
Indonesian
Sustainable
Palm
Oil98
Schme, yang mempertegas pelarangan penggunaan api dalam pembangunan perkebunan, dan wajib bagi semua perusahaan kelapa sawit di Indonesia pada akhir tahun 2014. Dilain pihak, Pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah melakukan beberapa upaya pengendalian kebakaran hutan, diantaranya: menyebarkan peta kebakaran hutan di tingkat provinsi yang rawan; mendesak Gubernur di
Kalimantan,
Sumatera
dan
Sulawesi
agar
siap
menghadapi kebakaran lahan dan hutan pada tahun 2014 dan upaya untuk mengantisipasi El Nino; dan melakukan
98
Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.
95
simulasi, bimbingan teknis dan patroli pemadam kebakaran hutan di provinsi rawan kebakaran99. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, beberapa langkah telah diambil oleh pemerintah Indonesia diantaranya adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang memberlakukan denda maksimal Rp 10 miliar dan sampai sepuluh tahun penjara bagi individu atau perusahaan terlibat dalam kegiatan pembakaran lahan. Dalam kasus penegakan hukum telah terjadi peningkatan upaya hukum yang diambil untuk mengurangi jumlah pelanggaran kebakaran hutan. Dalam laporan KLH, pada 2012 ada dua kasus yang telah ditangani, yaitu PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur. Sementara pada tahun 2013, ada 7 file kasus pidana yang telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan satu file kasus perdata yang masih dalam proses penyusunan
99
Teddy Prasetiawan, Implikasi Ratifikasi AATHP Terhadap Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, Info Singkat, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, Vol. VI, 2014
96
gugatan.100 Sejak 2013 sampai sekarang, polisi telah melakukan 41 penuntutan terhadap pelaku, terutama untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dari 41 penuntutan, 25 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan bahkan sudah dihukum mulai dari 8 bulan sampai 8 tahun. Dari sisi pelaksanaan teknis yang diamanatkan oleh ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP),
pemerintah
Indonesia
telah
melakukan
serangkaian kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan antara lain101: 4.2.2.1.
Melakukan kegiatan sosialisasi AATHP dan peningkatan berkelanjutan
kapasitas
secara
kepada
masif
dan
kementerian/lembaga
terkait, kalangan dunia usaha, masyarakat, LSM, dan
pemerintah
daerah
di
daerah
rawan
baik
antar-
pemerintah
daerah
kebakaran lahan dan/atau hutan. 4.2.2.2.
Melakukan
koordinasi
kementerian/lembaga, 100
Anonim, KLH Selidiki 29 Kasus Kebakaran Hutan,, 1 Maret, http://news.okezone.com/read/2014/08/07/337/1021369/klh-selidiki-29-kasus-kebakaranhutan-di-riau, 12.44 101 http://www.menlh.go.id/indonesia-meratifikasi-undang-undang-tentang-pengesahanasean-agreement-on-transboundary-haze-pollution-persetujuan-asean-tentangpencemaran-asap-lintas-batas/
97
maupun dengan masyarakat yang didasarkan pada Indonesia Comprehensive Plan of Action on Transboundary Haze Pollution seperti: 4.2.2.2.1.
pemetaan daerah rawan kebakaran lahan dan/atau hutan;
4.2.2.2.2.
penguatan data dan informasi terkait dengan hot-spot, persebaran asap, pemetaan danger
daerah
terbakar,
fire
rating
system
(FDRS),
pengembangan
SOP
dalam
pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan, dan pengelolaan lahan gambut. Bahkan LAPAN
telah
memberikan
pelatihan kepada Malaysia dalam pengembangan
FDRS
melalui
sistem remote sensing; 4.2.2.2.3.
penguatan
dan
peningkatan
kapasitas masyarakat peduli api yang dilakukan melalui sosialisasi,
98
kegiatan pencegahan dini maupun pelatihan; 4.2.2.2.4.
penanggulangan bencana asap yang terkoordinir dalam rangka tanggap darurat bencana, antara lain melalui gelar
pasukan
pemadaman
api,
operasi modifikasi cuaca, dll; 4.2.2.2.5.
Melakukan (pidana
penegakan
hukum
perdata)
terhadap
dan
pelaku (individu dan korporasi) pembakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap lintas batas yang
mengakibatkan
lingkungan.
kerusakan
Penegakan
hukum
pidana dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi
oleh
bersama-sama
PPNS
Penyidik
KLH POLRI
maupun melalui mekanisme multidoors
(kerja
Kehutanan, POLRI,
dan
sama
UKP4,
Kejaksaan, KLH).
KPK,
Penegakan
99
hukum perdata dilakukan melalui gugatan
ganti
pemulihan
kerugian
kualitas
untuk
lingkungan
terhadap pelaku pembakaran lahan dan/atau hutan. 4.2.2.2.6.
Memperkuat peraturan yang
kelembagaan
dan
perundang-undangan mendukung
kebijakan
pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning policy) dan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap lintas batas. Upaya penguatan Kebijakan Indonesia tidak hanya berjalan di level nasional saja, Jambi sebagai salah satu daerah rawan Kebakaran hutan telah melakukan kerjasama dengan Singapura sebagai upaya pencegahan Kebakaran hutan dan polusi asap. Selama rentang waktu dua tahun, para petugas provinsi Jambi bekerja erat dengan tim proyek Singapura untuk memastikan keberhasilan implementasi Program Kerja sesuai dengan Master Plan. Selain itu,
100
Singapura
menyediakan
sejumlah
S$1
juta
untuk mengimplementasikan Program Kerja yang dipilih sesuai dukungan teknisnya kepada Indonesia. Tujuh Program Kerja yang dipilih tersebut adalah sebagai berikut102: 4.2.2.1.
Lokakarya untuk mengembangkan kapasitas para petugas
Jambi
menganalisa
dan
membaca
gambar satelit untuk informasi dan titik panas; 4.2.2.2.
Lokakarya
sosialisasi
mengenai
pertanian
berkelanjutan dan praktek tanpa bakar; 4.2.2.3.
Pembinaan
peta
pemanfaatan
lahan
bagi
Kabupaten Muaro Jambi; 4.2.2.4.
Pemasangan
Sistem
Informasi
Geografi
(Geographical Information System atau GIS) untuk membantu pemantauan dan penilaian kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap.; 4.2.2.5.
Membangun stasiun-stasiun pemantauan kualitas udara dan cuaca termasuk pengembangan Sistem
102
Anonym, 2009, Kerjasama Indonesia-Singapura di Provinsi Jambi Untuk Menangani Kebakaran Lahan dan Hutan, Singapore, National Environment Agency, hlm.9
101
Pengukuran indeks Kebakaran (Fire Danger Rating System, atau FDRS); 4.2.2.6.
Pengulasan
kepasitas
dan
kemampuan
menghalang dan menanggulangi kebakaran di kalangan industri pertanian dan pihak-pihak terkait di Kabupaten Muaro Jambi; 4.2.2.7.
Lokakarya pelatihan kesanggupan pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Jambi
dan
Singapura
telah
berhasil
mengimplementasikan ketujuh progam tersebut ke dalam ruang lingkup kerjasama Indonesia-Singapura. Sementara itu, Singapura juga telah mengembangkan du program kerja baru tambahan “program penanganan lahan gambut berasaskan pengetahuan dan pelatihan” bersama Singapore Delft Water Alliance (SDWA) dan “Peningkatan keahlian budidaya air tawar di Jambi” bersama Singapore Food Industries (SFI).
102
4.3
Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Pencemaran Asap Lintas Batas 4.3.1
Tanggung Jawab Negara Indonesia atas Pencemeran Asap
Lintas
Batas
dalam
Perspektif
Hukum
Internasional Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang selalu dikaitkan dengan isu lingkungan. Terkait dengan
isu
keanekaragaman
lingkungan, hayati,
selain
pencemaran
berkurangnya udara
akibat
kebakaran hutan tersebut tidak hanya memberikan dampak bagi masyarakat sekitar, bahkan juga ke provinsi lain maupun lintas batas Negara. Dampak langsung dari kebakaran hutan tersebut antara lain : Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan. Ketiga, terganggunya transportasi di darat, laut maupun udara. Keempat, timbulnya persoalan internasional asap dari kebakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian materiil dan imateriil pada masyarakat setempat dan sering
103
kali
menyebabkan
pencemaran
asap
lintas
batas
(transboundary haze pollution) ke wilayah negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Asap dari kebakaran hutan dan lahan itu ternyata telah menurunkan kualitas udara dan jarak pandang di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Thailand. Karena polusi asap yang terus terjadi di Asia Tenggara dan belum dapat tertangani secara maksimal, konsep tanggung jawab negara menjadi isu penting yang dibahas di tingkat global, khususnya di Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan negara merupakan subyek hukum utama dalam hukum internasional. Atas alasan itulah mengapa komisi
hukum
internasional
(International
Law
Commission/ILC) mencoba melakukan studi dan kodifikasi perihal tanggung jawab negara. Upaya tersebut pada akhirnya berbuah sebuah draft konvensi yaitu draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, yang diadopsi pada tahun 2001.
104
Dalam hukum internasional, tanggung jawab negara diartikan sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan perintah hukum internasional.103 Sederhananya, apabila suatu negara tidak memenuhi
kewajiban
yang
dibebabkan
kepadanya
berdasarkan hukum internasional maka Negara tersebut dapat dimintakan tanggung jawab. Akan tetapi faktanya tidak semudah itu sebab sulit untuk menilai apakah negara telah lalai atau tidak melaksanakan kewajibanya. Untuk dapat menilai, maka yang perlu diperhatikan adalah soal tindakan sebuah negara. Dalam hukum internasional, tindakan negara dapat dibedakan antara tindakan negara dalam kapasitas publik (iure imperium) dan privat (iure gestiones). Konsep tanggung jawab negara pun sebenarnya lahir sebagai upaya untuk membedakan tindakan negara yang bersifat publik atau perdata.104 Hal inilah yang kemudian diadopsi dalam draf konvensi tanggung jawab negara, berdasarkan Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, 103
Rebecca M.M. Wallace, International Law, Fourth Edition, Sweet&Maxwell, London, 2002, hlm. 175 104 Chia Lehnardt, Private Military Companies and State Responsibility, International Law and Justice Working Papers, NYU Law School, New York, 2007, hlm.5.
105
dijelaskan bahwa “every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State”105 "setiap tindakan salah secara internasional suatu Negara memerlukan
tanggung
jawab
internasional
Negara
tersebut". Kategorisasi tindakan negara yang salah sehingga dapat menimbulkan tanggung jawab adalah ketika suatu tindakan atau pembiaran (action or omission) itu melekat pada
negara
melanggar
berdasarkan
kewajiban
hukum
internasional
internasional
dan
106
Unsur
negara.
atribusi menjadi bagian penting untuk menilai apakah tindakan negara yang salah itu dilakukan dalam kapasitas publik atau perdata. Sebab salah satu tujuan dibuatnya rancangan konvensi tanggung jawab negara adalah untuk menyoroti tindakan negara dalam ruang publik. Unsur atribusi sulit untuk dibuktikan karena tindakan atau pembiaran negara dilakukan oleh agen atau aparatusnya. Hal ini dikarenakan negara adalah entitas abstrak. Jika demikian apakah tanggung jawab atas 105
Pasal 1 Draft articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts Alan Khee-Jin TAN, 2015, The „Haze‟ Crisis in Southeast Asia: Assessing Singapore‟s Transboundary Haze Pollution Act 2014, Singapore, NUS Law Working Paper 2015/002, hlm. 6 106
106
kesalahan secara internasional tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada sesuatu yang abstrak? Perihal inilah yang kemudian diatur dalam Pasal 4 -11 Draft Konvensi Tanggung Jawab Negara. Pada pokoknya, tindakan atau pembiaran yang dilakukan aparatus negara dalam kapasitasnya menjalankan kebijakan negara yang menyalahi
hukum
internasional
maka negara dapat
dimintakan tanggung jawab. Munculnya konsep tanggung jawab negara ini bisa dilacak dari adanya prinsip persamaan derajat, kedaulatan negara dan hubungan damai dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, suatu negara yang hak-nya dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggungjawaban atau reparasi107.
Menurut Shaw,
karakteristik penting timbulnya tanggung jawab negara ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu108: 4.3.1.1.
Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu;
107
Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997. hlm. 54 108 ibid
107
4.3.1.2.
Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara;
4.3.1.3.
Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian;
Draft artikel tanggung jawab negara yang berhasil dirampungkan oleh ILC tidak memberikan definisi tentang tanggung jawab negara. Pasal 1 draft artikel tersebut hanya memberikan penjelasan kapan tanggung jawab negara timbul, yaitu saat suatu negara melakukan tindakan yang salah secara internasional (internationally wrongful act). Tindakan
salah
secara
internasional
dapat
berupa
melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang memenuhi dua elemen yang ditentukan dalam Pasal 2 yaitu : 4.3.1.1.
Distribusikan kepada negara melalui hukum internasional;
4.3.1.2.
Melakukan internasional;
pelanggaran
(breach) kewajiban
108
Pelanggaran kewajiban internasional terjadi apabila tindakan negara tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh kewajiban itu sendiri (Pasal 12). Dengan demikian, menurut Bodansky dan Crook, tindakan yang tidak sesuai kewajiban internasional dan diatribusikan kepada negara merupakan tindakan salah secara internasional yang menghasilkan tanggung jawab negara.109 Suatu
negara
juga
dapat
dianggap
memikul
tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16-19 yang meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan (coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah secara internasional. Lebih lanjut lagi, Pasal 2 (a) Draf Artikel tanggung jawab negara di atas telah menyebutkan bahwa tindakan salah secara internasional dapat menimbulkan tanggung jawab negara apabila tindakan atau pembiaran tersebut dapat diatribusikan kepada negara berdasarkan hukum internasional. Unsur atribusi ini menjadi penting sebab
109
Daniel Bodansky dan John R. Crook, Symposium: “The ILC‟s State Responsibility Article”, The American Journal of International Law (2002), hlm. 782
109
negara merupakan entitas yang abstrak sehingga tindakan negara otomatis dilakukan oleh aparatus Negara. Untuk itu perlu ditentukan secara rinci tindakan apa dan oleh siapa yang dapat diatribusi menjadi tindakan negara yang dapat melahirkan tanggung jawab negara. Penjelasan soal atribusi ini dijelaskan melalui Pasal 4-11. Pasal 4 menjelaskan bahwa tindakan organisasi negara baik pada level ekekutif, legislatif dan yudikatif merupakan tindakan negara menurut hukum internasional. Tidak masalah jika organisasi tersebut berkedudukan di pusat maupun daerah, termasuk di dalamnya individu ataupun entitas lain yang ditentukan melalui hukum nasional. Individu ataupun entitas lain yang tidak termasuk organisasi
negara
namun
diberikan
kewenangan
berdasarkan hukum nasional untuk melaksakan beberapa elemen kewenangan negara, dapat diatribusi sebagai tindakan negara (Pasal 5). Tindakan organisasi negara maupun individu dan entitas yang diberikan kewenangan melaksanakan elemen kewenangan negara masih dianggap melakukan tindakan negara menurut hukum internasional
110
apabila melakukan tindakan dalam kapasitas yang diberikan meskipun melampaui kewenanganya (Pasal 7). Soal atribusi tindakan negara ini juga mengatur bahwa apabila ada individu dan kelompok di luar ketentuan Pasal 4 dan 5 melakukan suatu tindakan yang merupakan perintah, kontrol dan arahan dari negara, maka tindakan individu dan kelompok tersebut diatribusikan sebagai tindakan negara.(Pasal 8). Kekurangan pasal ini adalah tidak menjelaskan batasan perintah dan kontrol negara terhadap individu atau kelompok yang dapat diatribusikan sebagai tindakan negara. Pasal 9 dan 10 mengatur tentang tindakan individu, kelompok atau pemberontak yang dapat diatribusikan sebagai tindakan negara menurut hukum internasional. Apabila individu dan kelompok melakukan tindakantindakan kenegaraan karena otoritas resmi tidak dapat melaksakannya, maka tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan negara. Begitu pun bagi tindakan pemberontak yang berhasil membentuk pemerintahan baru dianggap sebagai tindakan negara.
111
Dalam konteks pencemaran asap lintas batas, Ketika negara
menyebabkan
kerugian
kepada
negara
lain
dikarenakan polusi asap, negara indonesia secara hukum internasional berkewajiban untuk melakukan reparasi penuh terhadap negara yang terkena dampak berupa restitusi, kompensasi dan pemuasaan110: 4.3.1.1.
Restitusi (Restitution) yaitu suatu tindakan pemulihan, mengembalikan keadaan dengan segala cara yang dapat dilakukan, sehingga tercapai keadaan seperti semula seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pemulihan ini dapat digunakan dengan penggantian materiil dan tidak menjadi beban serta harus bermanfaat 111
4.3.1.2.
Kompensasi (Compensation), yaitu pembayaran uang sebesar jumlah kerugian yang diderita.112 Kompensasi meliputi semua kerugian yang ditimbulkan, termasuk kerugian tidak langsung dan tidak spekulatif.
110
Ademola Abass, 2012, International Law: Text, Cases, and Materials, New York, United States, Oxford University Press, hlm.295 111 Pasal 35 Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act 112 Pasal 36 Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act
112
4.3.1.3.
Pemuasan
(Satisfaction),
yaitu
merupakan
pelunasan kerugian yang tidak dibayar dalam bentuk
uang,
individu/prestige
seperti negara.
kehormatan
Pemuasan
dapat
dilakukan dengan meminta maaf secara resmi, pengakuan bersalah secara resmi, janji tidak mengulangi, serta menghukum pejabat yang melanggar.113 Berdasarkan teori tanggung jawab diatas pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas pencemaran asap lintas batas. Tanggung jawab pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan konsep tanggung jawab negara adalah restitusi. Indonesia harus melakukan pemulihan situasi kepada negara-negara yang terkena dampak dari asap lintas batas kepada kondisi semual sebelum terkena dampak polusi asap, baik itu dari kerugian material dan immateril sebagai bentuk tanggung jawab negara pada tingkat tertinggi.
113
Pasal 37 Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act
113
Indonesia juga harus membayar kompensasi kepada negara-negara yang terkena dampak dengan mengganti kerugian yang disebabkan oleh polusi asap dan meyakinkan negara-negara tetangga bahwa polusi yang disebabkan oleh kabut asap tersebut tidak akan terulang lagi. Kemudian, dalam kondisi di mana penggantian ekonomi, baik restitusi atau kompensasi tidak memungkinkan untuk dilakukan, pengakuan kesalahan dan permintaan maaf secara resmi menjadi bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan oleh negara yang menyebabkan polusi asap lintas batas. Dalam praktiknya, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu, telah menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf secara formal kepada Negara-negara tetangga di Asia Tenggara, sekaligus berjanji untuk menghentikan dan mengendalikan Kebakaran hutan, sehingga polusi asap tidak akan terjadi lagi114.
114
Menanggapi
hal
tersebut,
Perdana
Menteri
Anonim, Soal Asap SBY Minta Maaf ke Negara Tetangga, 4 April, https://m.tempo.co/read/news/2013/06/24/078490894/soal-asap-sby-minta-maaf-kenegara-tetangga, 16.34
114
Singapura115 dan Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia116 menyambut baik permintaan maaf Indonesia dan menawarkan bantuan untuk mengendalikan polusi asap yang berasal dari Indonesia. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya kedua Negara untuk menjaga hubungan baik dengan Indonesia, dan disisi lain, kedua negera tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena Kebakaran hutan dan masalah polusi asap tidak berada dalam yurisdiksi kedua Negara tersebut. Lebih lanjut lagi, Banyak pemerhati lingkungan berpendapat bahwa prinsip polusi lintas batas, sebagaimana dinyatakan dalam Prinsip ke 21 di Deklarasi Stockholm adalah sebuah hukum kebiasaan internasional117, Suatu keadaan yang menyebabkan kerusakan kepada negara lain dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Negara seharusnya menghindari dampak negatif kepada negara lain dan memberikan kompensasi untuk kerusakan yang 115
Anonim, Singapura Terima Pemintaan Maaf SBY dengan Sepenuh Hati, 4 April, http://international.sindonews.com/read/754166/40/singapura-terima-permintaan-maafsby-dengan-sepenuh-hati-1372221358, 16.45 116 Anonim, Malaysia Puas dengan Permintaan Maaf SBY, 4 April, http://www.tribunnews.com/internasional/2013/06/26/malaysia-puas-dengan-permintaanmaaf-sby, 17.01 117 Simon S.C. Tay, 1998, South East Asian Forest Fires: Haze Over ASEAN and International Environmental Law, Hoboken, United Kingdom, Blackwell Publishers Ltd, hlm. 202
115
dibuatnya. Negara seharusnya menghentikan aktivitas yang menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut118 sebagai bentuk pertanggungjawaban. Prinsip ke 21 dari Konferensi Stockholm telah menjadi salah satu prinsip yang paling penting yang digunakan dalam hukum lingkungan internasional119. Ini menyatakan bahwa: “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”120
Selain itu, dalam hukum internasional, negara tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan atau mengizinkan suatu kegiatan diteritori mereka, atau di ruang umum, tanpa memperhatikan hak-hak negara-negara lain atau dalam upaya perlindungan lingkungan121.. hal ini disebut sebagai
118
Henriette Litta, 2012, Regimes in Southeast Asia: An Analysis of Environmental Cooperation, Germany, Springer Science Business Media, 119 Ademola Abass, 2012, International Law: Text, Cases, and Materials, New York, United States, Oxford University Press 120 Principle 21 of Stockholm Declaration 1972, Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment 121 Mirjam van Harmelen, Matthijs S. van Leeuwen and Tanja de Vette, 2005, International Law of Sustainable Development: Legal Aspects of Environmental Security
116
prinsip "good neighborliness"122
atau "sic utere tuo, ut
alienum non laedes" dalam Pasal 74 Piagam PBB. Pada awalnya, prinsip ini mengacu hanya pada isu sosial, ekonomi dan bisnin, namun telah diakui juga sebagai prinsip yang digunakan dalam isu lingkungan dengan adanya pengaturan kerjasama Internasional. Ini berlaku terutama untuk kegiatan yang dilakukan di salah satu negara yang mungkin memiliki efek buruk pada lingkungan negara lain atau di daerah-daerah di luar yurisdiksi negara tersebut. 123 Komitmen kerjasama lingkungan tercermin dalam banyak perjanjian internasional dan didukung oleh praktik beberapa negara. Menurut pengacara internasional Allen Tan, secara hukum Internasional Indonesia sebenarnya dapat dimintakan pertanggungjawaban terkait kebakaran hutan dan polusi asap 1997-1998 hal ini didasari bahwa Indonesia telah gagal untuk mencegah dan menghukum
on the Indonesian Island of Kalimantan, The Hague, Netherlands, Institute for Environmental Security, hlm.35 122 Pasal 74 the United Nations (UN) Charter, http://www.un.org/en/documents/charter/chapter11.shtml 123 Regina S. Axelrod and Stacy D. Van Deveer’s, 2014, The Global Environment: Institutions, Law, and Policy, Fourth Edition, California, CQ Press an Imprint of SAGE Publications, hlm.66
117
individu ataupun perusahaan yang menyebabkan kebakaran hutan tersebut.124
4.3.2
Tanggung Jawab Indonesia atas Pencemaran Asap Lintas Batas Pasca Ratifikasi AATHP Sekarang ini, sudah diakui secara luas bahwa planet bumi sedang menghadapi beragam tantangan lingkungan yang hanya dapat diatasi melalui kerjasama internasional. Hujan asam, penipisan ozon, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, polusi sungai, berkurangnya sumber daya air dan polusi asap adalah beberapa masalah terkait dengan hukum lingkungan internasional.125 Disisi lain, Perkembangan hubungan internasional dan hukum internasional selama beberapa dekade terakhir telah berubah jauh dari hukum yang saling berdampingan antara
negara
bekerjasama
menjadi
dan
hukum
melengkapi.
positif Hal
ini
yang dilihat
saling dari
keberadaan negara yang sekarang bergantung satu sama lain dalam konteks isu globalisasi ekologi, sosial serta 124
Henriette Litta, op.cit, p.97 Philip Sands QC, 2003, Principle of International Environmental Law: Second Edition, Cambridge University Press, hlm. 1 125
118
ekonomi, peningkatan jumlah masalah dari setiap isu tersebut membutuhkan aturan inernasional dan kerjasama internasional yang baik.126 Fakta bahwa masalah lingkungan yang salah satunya polusi udara tidak berhenti pada batas nasional mungkin tampak
jelas,
tetapi
pada
awalnya
polusi
udara
dikategorikan sebagai masalah lokal yang akan diatasi dengan hukum nasional. Namun seiring waktu, setelah masalah pencemaran lingkungan lintas batas mendapat perhatian dunia, banyak kalangan yang menganggap masalah lingkungan lintas batas (polusi asap) sebagai masalah internasional127. “Transboundary air pollution is defined as anthropogenic introduction of substances or energy into the atmosphere from a physical origin situated wholly or in part within the national jurisdiction of one state that has adverse effects in the area under the jurisdiction of another state. Transboundary air pollution is an insidious problem because airborne contaminants are both difficult to measure and to trace”
126
Jurgen Friederich, 2013, International Environmental Law “Soft Law”, Springer, hlm.1 127 Ved Nanda and George (Rock) Pring, 2013, International environmental law and policy for the 21st century, Boston, Martinus Nijhof Publisher, hlm.332
119
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, kawasan Asia menghadapi masalah polusi udara yang sangat menghkhawatirkan. Kombinasi pertumbuhan industri yang cepat, krisis ekonomi, ketergantungan pada bahan bakar fosil, kebakaran hutan, dan lemahnya penegakan hukum menjadi alasan mengapa polusi asap lintas batas di Asia sangat memprihatinkan dan tetap berlanjut.128 Terlebih lagi, Kebakaran hutan sudah menjadi masalah klasik yang menyebabkan polusi udara di Asia, padahal dalam banyak kesempatan, fungsi hutan sudah diakui sebagai penyerap karbon, bahkan, hutan juga berfungsi sebagai penyedia ekosistem lokal, regional dan global yang berharga mulai dari kualitas air, pengendalian banjir, stabilitas tanah dan keanekaragaman hayati129. Namun sebaliknya, hutan dikawasan Asia pada umumnya dan kawasan Indonesia pada khususnya telah diekploitasi secara besar-besaran sehingga menghilangkan fungsi hutan tersebut dan menyebabkan berbagai macam masalah yang berakar pada isu Kebakaran hutan tersebut. 128
Ibid, hlm.348 Simon Butt et all, 2015, Climate Change and Forest Governance: Lessons from Indonesia, New York, Routledge, hlm.1 129
120
Lebih lanjut lagi, prinsip pertanggungjawaban negara sebagai salah satu prinsip utama dalam hukum internasional pada intinya memuat kewajiban negara yang memberikan dampak kepada negara lain untuk melakukan suatu
reparasi
kepada
negara
yang
dirugikan
dan
mengembalikan kondisi negara yang bersangkutan seperti semula. Keberadaan hukum lingkungan internasional sebagai salah satu cabang dari hukum internasional turut pula membawa pemberlakuan dari prinsip tanggung jawab negara
dalam
beberapa
kasus
hukum
lingkungan
internasional seperti yang dapat ditemui. Secara detail, tanggung jawab negara menurut A Dictionary of Law adalah “The obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law”130 Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa tanggung jawab negara untuk melakukan perbaikan (reparation) timbul ketika suatu negara melakukan kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional.
130
Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, 2002, hlm 477
121
Seiring dalam perkembangan perspektif masyarakat internasional yang menganggap bahwa lingkungan hidup adalah suatu kesatuan internasional (wholeness) tanpa adanya
batas
administratif,
keberadaan
prinsip
pertanggungjawaban negara mulai tergeser dengan prinsip Common
But
Differentiated
Responsibility
yang
menekankan pada tanggung jawab secara bersama-sama yang didasari oleh suatu pertanggungjawaban hukum oleh negara tertentu. Hal ini merupakan suatu antithesis dari prinsip pertanggungjawaban negara yang berada pada ranah hukum internasional pada umumnya sehingga menafikan adanya suatu tanggung jawab hukum dari negara tertentu. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan Negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Bila dilihat, sebenarnya Indonesia telah melakukan segala upaya yang mampu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi polusi asap akibat kebakaran hutan. Hal ini jelas bukan merupakan tindakan aktif negara dan juga tidak dapat dikategorikan
122
sebagai tindakan pembiaran, mengingat upaya-upaya telah dilakukan. Upaya
pemerintah
Indonesia
sekarang
menanggulangi kebakaran hutan sudah membaik namun keterbatasan dana dan personil serta luasnya skala kebakaran, menyebabkan Indonesia sekali lagi tidak berdaya. Indonesia memerlukan bantuan, tidak hanya menanggulangi
kebakaran
hutan
dengan
pengerahan
personil dari ASEAN, tetapi juga pencegahan, yakni dengan membuat aturan hukum yang efektif menghukum pembakar
hutan.
Sebagian
dari
masalah
ini
bisa
ditanggulangi ketika Indonesia menjadi bagian dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ini. Bila dilihat, sebenarnya ratifikasi kesepakatan tersebut lebih banyak keuntungannya daripada kerugiannya terhadap kepentingan dan kebijakan nasional Indonesia131 Salah satunya adalah negara pencemar dapat memanfaatkan bantuan kerja sama dalam menerapkan langkah untuk mencegah memonitor, termasuk dalam identifikasi, mengontrol intensitas minimalisasi kebakaran, 131
Akbar Kurnia Putra, loc it. hlm. 207
123
pertukaran informasi teknologi, serta penyediaan bantuan timbal balik. Seperti yang dicantumkan dalam Pasal 4 (1) yang meganggap bahwa, transboundary haze pollution dianggap sebagai masalah bersama oleh para anggota ASEAN. Segala potensi yang ada di negara anggota ASEAN, termasuk dana yang dialokasi dapat dimanfaatkan untuk menangani masalah asap. Dengan membentuk semacam badan pusat ASEAN Centre. Yang merupakan badan koordinasi bagi ASEAN yang difungsikan khusus sebagai fasilitas dalam penanganan masalah kabut asap. Hal ini pun senada dengan apa yang disampaikan oleh
Prof.
Hikmahanto
Juwana132,
bahwa
dengan
meratifikasi AATHP Indonesia dapat terhindar dari tuntutan hukum Internasional dalam masalah polusi asap lintas
batas
negara
ini.
Berdasarkan
prinsip
pertanggungjawaban negara (state responsibility) Indonesia dapat dituntut negara lain untuk mengganti rugi yang terkena dampak asap akibat pembakaran hutan di
132
Professor Hikmahanto Juwana adalah Guru Besar dan Pakar Hukum Internasional Publik dari Universitas Indonesia, Jakarta.
124
Indonesia.133 Untuk itu, pasca ratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia tidak lagi dapat dituntut karena telah menjadi tanggungjawab bersama (Shared Responsibility), Tanggung jawab bersama berarti Indonesia harus bertanggung jawab bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam mengatasi polusi asap lintas batas. Meskipun munculnya polusi asap berasal dari Indonesia. Selain itu, dalam AATHP penanganan polusi asap tidak menjadikan hukum nasional di Indonesia berubah sebagai akibat dari ratifikasi perjanjian134. Namun, Sigit Riyanto menyatakan bahwa pasca ratifikasi AATHP, Indonesia justru lebih memiliki beban berat dan berkewajiban menerapkan dan memenuhi isi-isi dari perjanjian tersebut. Termasuk mengambil langkahlangkah nasional dan lokal135 untuk memberikan dampak positif terhadap rmasyarakat, langkah-langkah tersebut
133
Interview dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2016, pukul 15.30 WITA di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan. 134
Antara News, “Ratifikasi Perjanjian Soal Asap Indonesia Diuntungkan” http://www.antaranews.com/print/1164938450 135 Paul R. Williams, 2000, International Law and the Resolution of Central and East European Transboundary Environmental Dispute, Newyork, Macmillan Press Ltd, hlm.220
125
bersifat Kebijakan domestik dan kerjasama antar Negara, diantaranya pertama, penguatan manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu isu penting dalam upaya pencegahan kebakaran hutan, seperti yang kita tahu, hutan yang tdak dimiliki
negara,
idealnya
dikelola oleh
masyarakat lokal, berdasar pada fakta tersebut, masyarakat lokal dapat melihat dan mengawasi secara langsung pengelolaan hutan. Sehingga apabila ada diantara mereka tertangkap
tangan
ataupun
terindikasi
melakukan
pembukaan lahan ataupun pembakaran hutan, pelakunya dapat dengan mudah ditangkap dan dihukum. Bahkan, di komunitas lokal yang masyarakatnya punya kedekatan emosional, masyarakt dapat menerapkan sanksi sosial bagi siapa saja
yang merusak hutan. Dalam penguatan
manajemen masyarakat lokal, yang menjadi masalah adalah penumbuhan kesadaran masyarakat akan bahayanya metode babat-bakar misalnya. Untuk meningkatkan kesadaran mereka, salah satu upaya yang tepat adalah melalui pendidikan dan pemberian informasi.
126
Pemberian informasi atau pendidikan bisa dijadikan sebagai salah satu langkah untuk menghasilkan pemahaman jangka panjang, pemberian informasi tersebut tidak hanya diberikan kepada masyarkat saja, tetapi juga kepada perusahaan dan siapa saja yang memungkinkan untuk menyebabkan Kebakaran hutan. Informasi tersebut dapat berupa bahaya metode babat-bakar atupun metode alternatif dalam pembukaan lahan perkebunan. Lebih lanjut lagi, informasi ini dapat disebarkan melalui media massa ataupun dari mulut ke mulut masyarkat lokal. Untuk menjadikannya efektif, yang terpenting adalah membuat informasi terbeut mudah dimengerti, kredibel, memotivasi dan menarik perhatian masyarakat. Kedua,
pemberlakuan
insentif
dan
reward,
Kebijakan ini didasarkan fakta bahwa, kebanyakan perusahan yang melakukan pembakaran hutan adalah upaya untuk menghemat biaya. Insentif dalam bentuk peraturan, pajak, penghargaan, dan sebagainya berfungsi untuk memperbaiki persepsi sesat ini. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran dan juga mengubah persepsi bahwa membakar adalah metode yang murah dan efektif.
127
Imbalan dan bantuan dapat diberikan kepada pihak yang mengikuti aturan yang berlaku,atau mereka yang bersedia untuk melakukan metode pembukaan lahan selain dari metode babat-bakar. Misalnya, masyarakat pedesaan dapat menerima dana atau imbalan lain jika kebakaran hutan sudah tidak terjadi lagi didaerah mereka dalam beberapa tahun tertentu dan memberikan imbalan bagi siapa saja yang melakukan pelaporan adanya pelanggaran dalam pengelolaan hutan. Dilain sisi, Perusahaan kecil contohnya, bisa menerima dana pemerintah dan subsidi di bidang penerapan teknologi, pelatihan dan konsultasi dalam pengelolaan kehutanan. Ketiga, penguatan aturan dan penegakan hukum merupakan salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia, faktanya, banyak aturan yang sudah dibuat Indonesia namun lemah dalam tahap implementasinya, sehingga satu langkah yang tepat adalah penguatan sistem hukum dan melakukan penegakan hukum kepada siapa saja yang telah melanggar dan melakukan pembakaran hutan. Di sisi lain, Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan ketat terhadap pelaku Kebakaran hutan,
128
salah satunya sanksi pidana yang diatur dalam UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, namun praktik mafia peradilan ditenggarai masih menjadi salah satu kendala mengapa para pembakar hutan tidak dihukum berat, sehingga penguatan aturan dan penegakan hukum sudah selayaknya menjadi fokus pencegahan Kebakaran hutan kedepannya. Lebih lanjut lagi, negera berkewajiban untuk bekerjasama dengan anggota-anggota ASEAN lainnya, dalam upaya pemenuhan perjanjian, salah satunya seperti yang diamanatkan pasal 4 (1) AATHP: “Co-operate in developing and implementing measures to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, and to control sources of fires, including by the identification of fires, development of monitoring, assessment and early warning systems, exchange of information and technology, and the provision of mutual assistance.”136
Jelas kiranya bahwa, dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan dan polusi asap, setiap anggota ASEAN yang juga merupakan pihak dari AATHP berkewajiban untuk bekerja sama dalam pengembangan dan penerapan 136
Pasal 4, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
129
langkah-langkah pasti untuk mencegah dan memonitor polusi asap sebagai akibat dari kebakaran hutan. Terlebih lagi untuk mengidentifikasi sumber kebakaran hutan, menerapkan sistem tanggap bencana dan pertukaran informasi dan teknologi. Kewajiban tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab Indonesia semata, tetapi juga bagi negara-negara lainnya. Namun yang harus digarisbawahi, Indonesia sebagai sumber utama kebakaran hutan dan polusi asap, seharusnya bertanggung jawab penuh untuk menerapkan dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang ada dalam pasal AATHP, sebagai bagian upaya dan komitmen Indonesia menyudahi polusi asap di Asia Tenggara. Lebih
lanjut
lagi,
dalam
konteks
kerjasama
mengatasi kebakaran hutan dan polusi asap di Asia Tenggara, Indonesia dan negera-negara lainnya sudah seharusnya merujuk kepada ketentuan yang diatur dalam AATHP, namun ada alternatif lain yang dapat digunakan oleh Indonesia dan ASEAN untuk menangani masalah lingkungan yang berkepanjangan ini. Salah satu solusinya adalah mengubah pola pikir negara-negara ASEAN terhadap isu polusi asap dengan membingkai isu ini sebagai
130
sebuah “bencana” yang harus diselesaikan secara bersamasama melalui kerjasama penanggulan bencana dan tanggap darurat. Seperti yang disampaikan Prof. Koh Kheng Lian dari National University of Singapore137, perubahan paradigma dan pola pikir negara-negara ASEAN akan berpengaruh besar dalam upaya penyelesaian masalah kabut asap ini, hal ini didasarkan kepada fakta bahwa semua negara-negara di ASEAN telah meratifikasi ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) tahun 2005 yang telah berlaku sejak 24 Desember 2009 setelah diratifikasi oleh semua anggota ASEAN. Hal ini menjadi menarik, ketika Indonesia sudah meratifikasi AADMER, tetapi di lain sisi Indonesia membutuhkan waktu 12 tahun untuk meratifikasi AATHP, salah satu alasan yang mendasar mengapa Indonesia membutuhkan waktu
yang lama untuk
meratifikasi
perjanjian ini adalah adanya persepsi bahwa AATHP akan
137
Koh Kheng Liong, 15 Juni, Clear Agreement for ASEAN Tackle Haze, http://www.straitstimes.com/opinion/clear-agreement-for-asean-to-tackle-haze, 19.45
131
digunakan sebagai alat untuk menyalahkan Indonesia akibat polusi asap tersebut. Sehingga, lambatnya ratifikasi oleh Indonesia dianggap sebagai upaya “defensif’ Indonesia untuk mempertahankan “kedaulatannya”, dan persepsi ini pada tataran yang selanjutnya, mengubah paradigma Indonesia, bahwa setiap bantuan yang diberikan oleh anggota ASEAN sebagai sebuah penghinaan terhadap kewibaan Indonesia. Padahal, seharusnya Indonesia bisa mengambil kesempatan dari setiap bantuan anggota-anggota ASEAN sebagai wujud komitmen Indonesia bahwa ASEAN sebagai sebuah komunitas mampu bergerak bersama-sama untuk menyelesaikan
masalah
polusi
asap
yang
sudah
berkepanjangan tersebut. Munculnya AADMER didasari oleh terjadinya bencana tsunami pada tahun 2004 yang memberikan dampak luar biasa bagi Indonesia dan negara-negara lainnya. Ketika bencana tsunami terjadi, Indonesia tidak sekalipun mengedepankan isu kedaulatannya, dikarenakan banyak negara yang memberikan bantuannya kepada Indonesia, termasuk Singapura. Apabila kita merujuk pada
132
AADMER, polusi asap sangat cocok disandingkan dengan definisi “bencana”, yang berbunyi “a serious disruption of the functioning of a community or a society causing widespread human, material, economic or environmental losses”. Seperti yang kita tahu bahwa polusi asap telah memberikan dampak yang luar biasa bagi Indonesia dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Filipana, Brunei Darusalam bahkan Thailand. Kerugian yang dihasilkan oleh polusi asap ini sudah tidak terbantahkan lagi, dari kerugian ekonomi, kesehatan, bahkan kerusakan lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut, AADMER bertujuan untuk mengurangi dampak bencana bagi ekonomi, sosial dan lingkungan negara-negara anggota AADMER. Selanjutnya, didalam
pasal
4 (a)
AADMER
disebutkan bahwa, setiap pihak dalam perjanjian harus bekerja sama dalam mengembangkan langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengurangi dampak bencana. Pasal 4 juga menyatakan bahwa ketika bencana cenderung menimbulkan dampak bagi negara-negara anggota lainnya,
133
para pihak harus segera menanggapi permintaan informasi yang diminta oleh negar-negara yang sedang atau mungkin akan terpengaruh oleh bencana tersebut, hal ini dilakukan sebagai upaya meminimalisasi dampak bencana tersebut. Pada saat yang sama, AADMER juga mewajibkan para pihak untuk segera menanggapi permintaan bantuan oleh pihak lain yang terkena bencana. Dalam hal ini Malaysia, Singapura dan Indonesia adalah pihak yang terkena dampak polusi asap dan melalui perjanjian ini setiap pihak wajib untuk menangapi permintaan bantuan ketika dibutuhkan. Apabila kita cermati, AADMER berjalan lebih jauh dari AATHP, di satu sisi, AATHP terbatas hanya dalam lingkup pencegahan dan monitoring kabut, dan hal tersebut sangat bergantung kepada masingmasing negara untuk mengoperasionalkannya atau tidak. Di sisi lain, AADMER mengambil pendekatan holistik dalam pengurangan risiko bencana dan memiliki mekanisme yang efektif, yang meliputi manajemen bencana sebelum, selama dan setelah bencana itu terjadi.
134
Dalam upaya menyudahi polusi asap di Asia Tenggara, negara-negara ASEAN harus bekerjasama dalam semangat komunitas yang terintegrasi. Seperti yang kita tahu, ASEAN sesungguhnya sudah memiliki cetak biru dalam ASEAN Political-Security Community 2025, salah satu isinya adalah menyetujui ketika ASEAN sudah terintegrasi.
Cetak
biru
politik-keamanan
sudah
memberikan jalan bagi angotanya untuk meningkatkan pendekatan kerjasama, termasuk dalam upaya menangani polusi asap yang dikategorikan sebagai bencana. Sehingga tugas Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya adalah mewujudkan cetak biru APSC, tujuan AATHP dan AADMER kedalam aksi nyata mengatasi bencana asap di Asia Tenggara.
4.3.3
Komitmen Indonesia terhadap Zero Burning Policy Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang pelik. Pada tahun 2015 adalah merupakan bencana asap terparah sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh gangguan terhadap sumber daya hutan yang terus berlangsung bahkan intensitasnya makin
135
meningkat. Hampir setiap musim kemarau di Indonesia pada beberapa tahun trakhir ini sering mengalami kebakaran, khusunya di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan di Indonesia disebabkan karena adanya kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan secara nasional. Dalam praktek konservasi lahan, penyiapan atau pembersihan atau pembukaan lahan oleh perusahaan dilakukan dengan cara membakar. Metode land clearing dengan cara membakar tersebut lebih dipilih daripada metode lain karena dinilai paling murah dan efisien. Faktor ekonomi dan ketidak tersediaan teknologi yang memadai menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan, meskipun dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya. Saat ini kasus kebakaran hutan telah menjadi perhatian
internasional
sebagai
isu
lingkungan
dan
ekonomi. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Untuk mengurangi berbagai
136
dampak daripada Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas, Negara
anggota
ASEAN
menyadari
bahwa
adanya
kebutuhan untuk memperkuat kebijakan nasional dan strategi untuk mencegah dan mengurangi kebakaran hutan dan lahan yang berdampak terciptanya kabut dan asap. ASEAN kemudian mengambil inisiatif dan langkah untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional, sub-regional serta nasional secara terkoordinir dalam upaya pengambilan kebijakan terhadap permasalahan lingkungan lintas batas. Ketika kabut asap mulai menyebar ke beberapa negara anggota, itu menjadi fokus dari beberapa instrumen lingkungan ASEAN. Pada tahun 2015 Indonesia secara efektif telah mengikatkan dirinya dengan Agreement on ASEAN Transboundary Haze Pollution (AATHP) sebagai bentuk komitmen dalam mengatasi asap lintas batas terkhususnya dalam menangani pembakaran hutan atau pembukaan lahan dengan cara dibakar. Hal tersebut seharusnya diikuti dengan
komitmen
dan
itikad
baik
dalam
mengimplementasikan isi perjanjian tersebut. Bekerjasama antar negara ASEAN dalam mencegah terjadinya asap
137
lintas batas, negara yang bertanggungjawab atas kebakaran harus merespon dengan cepat apabila terjadi kebakaran hutan atau lahan hingga mentransformasikan isi perjanjian tersebut ke dalam hukum nasional, sehingga penyebab terjadinya kebakaran lahan yang menyebabkan asap lintas batas dapat ditekan dan diminimalisir. Inkonsistensi Indonesia dalam mentransformasikan AATHP kedalam hukum nasional saat ini cukup nampak dibuktikan bahwa hingga saat ini Indonesia belum menyelaraskan hukum nasional dengan kewajiban yang seharusnya mengikat seiring telah diratifikasinya AATHP khususnya yang berkaitan dengan larangan pembakaran lahan atau hutan sebagai upaya pembukaan lahan. Hal tersebut dapat kita lihat dengan masih berlakunya Undangundang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), dimana Undang-undang tersebut masih memberikan izin terhadap pemilik lahan atau pelaku usaha perkebunan untuk dapat membuka lahan/ land clearing dengan cara membakar.
138
Pada
dasarnya
membuka
lahan
dengan
cara
membakar hutan merupakan hal yang secara tegas dilarang dalam undang-undang, yakni diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Namun
yang
sangat
disayangkan
adalah
di
ketentuan pasal lainnya ada ketentuan yang mengizinkan pembukaan lahan dengan cara membakar dengan catatan diperbolehkannya membakar lahan dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Disisi lain terdapat beberapa peraturan teknis sebagai turunan atas Undang-undang Perkebunan dan UUPLH yang menunjukan bahwa inkonsistensi Indonesia semakin
nyata
terhadap
komitmen
untuk
menekan
terjadinya kebakaran hutan atau lahan sehingga dapat
139
meminimalisir terjadinya bencana asap. Tidak hanya Undang-undang
Perkebunan
dan
Undang-undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup saja yang memiliki
pertentangan
dengan
komitmen
Indonesia
terhadap asap lintas batas yang telah di perjanjikan di AATHP melainkan masih ada peraturan dibawahnya seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan peraturan di tingkat daerah. Negara
melalui
instrumen
hukumnya
seakan
mendukung dengan adanya mekanisme pembakaran dalam pembukaan
lahan
perkebunan,
dimana
UUPPLH
memberikan izin untuk pembukaan lahan dengan cara dibakar seluas dua hektar dan diperparah lagi di beberapa pemerintahan daerah menerbitkan Pergub yang semakin membuat
ketidak
jelasaan
komitmen
negara
dalam
mengurangi asap lintas batas semakin nyata, seperti aturan lain soal membuka lahan dengan cara membakar dapat kita lihat dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
140
(“Permen LH 10/2010”).
Pasal 4 ayat (1) Permen LH
No.10 Tahun 2010: “Masyarakat
hukum
adat
yang
melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.” Meskipun pembakaran lahan ini tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau
iklim
kering
namun
tetap
saja
negara
membenarkan cara pembakaran lahan sebagai metode land clearing. Sejalan dengan UU Perkebunan, UU PPLH, dan Permen LH 10/2010. Pertaturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 15 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang menjadi turunan peraturan diatasnya masih memperkokoh dan mendukung adanya
pembukaan
lahan
dengan
cara
membakar.
Kewenangan pemberian izin dengan luas lahan di bawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:
141
4.3.3.1.
Camat, untuk luas lahan di atas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;
4.3.3.2.
Lurah/Kepala Desa, untuk luas lahan di atas 1 Ha sampai dengan 2 Ha; dan
4.3.3.3.
Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 Ha
Pergub tersebut mengalami kemunduran dalam memberikan komitmen atas pencegahan akan terjadinya bencana asap akibat pembakaran lahan. Sebelumnya, ada Pergub Kalteng No. 52 tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang dulunya pemerintah daerah memiliki kewenangan memberikan izin pembukaan lahan dengan cara membakar dengan cakupan luas diatas 2,5 Hektar
dan
yang dibawah
luas
tersebut
diberikan
kewenangan kepada Camat hingga ketua RT sesuai ketentuan, namun seiring telah dirubahnya Pergub tersebut pada tahun 2010 seolah lebih mempermudah perizinan pembukaan lahan dengan cara membakar yang dibuktikan dengan semakin tidak ketatnya pemberian perizinan.
142
Dapat kita lihat bahwa peraturan yang ada saat ini tidak berpihak kepada pencegahan bencana asap, dengan hadirnya
negara
yang telah
membenarkan
kegiatan
pembukaan lahan dengan cara membakar dengan masih berlakunya peraturan-peraturan tersebut. Hingga saat ini Peraturan Perundang-undangan tersebut belum di sesuaikan dengan isi AATHP, dari hal itu juga kita dapat melihat bahwa Indonesia masih berat hati untuk memberikan komitmen yang penuh terhadap zero burning policy dalam pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan perladangan. Tanggung jawab Pemerintah Indonesia terkait pengendalian kabut asap tidak hanya kepada publik dalam negeri saja tetapi juga kepada negara lain terutama Negara Peserta AATHP sebagai bukti pelaksanaan asas itikad baik atau good faith.
Salah satu konsekuensi yang harus
Indonesia terima setelah meratifikasi AATHP dalam perspektif hukum internasional adalah negara memiliki kewajiban
untuk
membentuk
produk
hukum
yang
seharusnya melarang pembakaran lahan sebagai metode land
clearing
karena
Indonesia
telah
terikat
dan
143
mengikatkan dirinya kepada AATHP dan memiliki tanggung jawab dalam mengimplementasikan isi dari perjanjian. Namun hal tersebut seolah-olah hanya harapan kosong yang diberikan oleh Indonesia kepada each party dalam
perjanjian
tersebut.
Maka
sudah
seharusnya
Indonesia mentransformasikan perjanjian tersebut kedalam hukum positif yang lebih mampu mendukung terciptanya zero burning policy. Peraturan Perundang-undangan yang telah ada terbukti tidak mampu mengurangi penyebab terjadinya bencana asap yang merugikan banyak pihak termasuk negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia dibuktikan dengan terjadinya kebakaran lahan gambut pada tahun 2015 yang disebut-sebut kebakaran lahan terparah yang pernah dialami oleh Indonesia. sebab oleh itu Indonesia sudah harus mencari jalan keluar dalam menentukan metode land clearing yang lebih aman, efektif dan efisien selain dengan cara land fires atau membakar. Seluruh produk hukum yang berkaitan dengan pembakaran lahan harus dikaji dan dipertimbangkan kembali untuk dilakukan amandemen terhadap Undang-
144
undang tersebut dan secara otomatis peraturan dibawahnya akan ikut menyesuaikan dengan Peraturan Perundangundangan diatasnya, karena bukan tidak mungkin peluang tersebut disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan secara nyata bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar telah menimbulkan dampak negatif yang luar biasa bagi banyak pihak terdampak.
4.4
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pencemaran Asap Lintas Batas dalam Perspektif Hukum Internasional dan ASEAN 4.4.1.
Penyelesaian Sengketa Pencemaran Asap Lintas Batas dalam Hukum Internasional Dalam Konvensi Montevideo 1933 dinyatakan bahwa syarat dari terbentuknya negara salah satu poin yang paling
penting
adalah
mampu
menjalin
hubungan
internasional dengan negara lain, tujuannya adalah adanya saling membutuhkan satu negara dengan negara lainnya, karena tidak ada satu negara yang dapat memenuhi kebutuhan negaranya sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Oleh karena itu, dalam dunia internasional menjalin
145
hubungan internasional adalah suatu hal mutlak yang tidak bisa dihindari oleh setiap Negara. Dengan
seringnya
negara
menjalin
hubungan
internasional dengan negara lain banyak dampak positif yang dihasilkan dan tidak dipungkiri lagi selain dampak positif yang didapatkan sisi negatifnya pun ada, misalkan suatu negara terlibat suatu pertikaian atau sengketa internasional di antara kedua negara, banyak kasus yang sering menyebabkan ketegangan di antara negara yang bertikai dan banyak kasus yang terjadi yang menyebabkan masalah di atas, misalkan kasus Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, serta suatu Sengketa Kuil Preah vihear antara Thailand dan Kamboja yang sampai saat ini masih
bersitegang
untuk
mempertahankan
argumen
masing-masing negara.138 Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu 138
Dewa Gede Sudika Mangku, Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional Termasuk Di Dalam Tubuh ASEAN, Perspektif, Surabaya,Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Volume XVII. No. 3, Tahun 2012, Edisi September, hlm. 150.
146
keadaan atau obyek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lain. Karena itu, sengketa internasional
adalah
perselisihan
yang
tidak
secara
eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional.139 Menurut
Mahkamah
Internasional,
sengketa
internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai
pandangan
yang bertentangan
mengenai
dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.140 Sehingga sengketa antar negara dapat merupakan sengketa yang tidak dapat mempengaruhi kehidupan internasional dan dapat pula merupakan sengketa yang dapat mengancam ketertiban dan perdamaian internasional. Konflik
atau
sengketa
adalah
sesuatu
yang
menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam pengadilan. Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan yang 139
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, PT Refika Aditama, hlm. 224. 140 Huala Adolf, op cit, hlm. 2.
147
dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan
fisik
maupun
sosial.141
Sebuah
konflik
berkembang menjadi sengketa bila pihak yang merasa dirugikan
telah
menyatakan
rasa
tidak
puas
atau
keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Merrilss mendefinisikan makna sengketa sebagai perselisihan mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lain.142 Sehingga sengketa internasional dapat dikatakan ada, bila perselisihan seperti ini yang melibatkan pemerintah, lembaga, badan hukum atau individu dalam bagian dunia yang berlainan. Dari definisi diatas nampak adanya perbedaan pendapat serta kepentingan yang merupakan masalah utama untuk menyebabkan timbulnya perselisihan. Dalam Behring Sea Fur Case, Inggris berpendapat bahwa tindakan Amerika Serikat memperluas jurisdiksinya 141
Koentjaraningrat, 1982, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, hlm. 103. 142 J.G. Merrills. 1986. International Disuputte Settllement, disadur oleh Achmad Faudzan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung. H lm 1.
148
adalah merupakan pelanggaran hukum internasional. Tetapi Amerika Serikat menyatakan bahwa jurisdiksi itu diperluas untuk melindungi anjing laut dari perburuan kapal-kapal Inggris dan untuk melindungi industri kulit anjing laut. Selain itu sengketa dapat timbul karena pernyataan suatu pihak ditolak oleh pihak lainnya. Dalam Danish Bottle Case pernyataan
pemerintah
Denmark
mengenai
masalah
penggunaan botol-botol bir daur ulang yang dapat dikembalikan
menjadi
masalah
yang
kemudian
disengketakan oleh Inggris dan Masyarakat Eropa. Keterlibatan
berbagai
pihak
dalam
sengketa
internasional kadang-kadang juga mempengaruhi lembaga yang menjadi perantara jika sengketa itu terjadi. Pasal 34 Mahkamah Internasional menyatakan “only States may be parties in cases before the court”, yang berarti bahwa negara saja yang boleh bersengketa dihadapan Mahkamah Internasional.143 Sehingga individu, NGO, badan hukum lainnya seperti perusahaan tidak memiliki locus standi yang berarti tidak diperbolehkan mengajukan perkara ke Mahkamah kecuali negara yang bersangkutan bersedia 143
Pasal 34 (1) Stauta Mahkamah Internasional.
149
mewakili. Sebagai contoh hal ini pernah dilakukan dalam beberapa kasus seperti Anglo-Iranian Oil Company (1951) dimana pemerintah Inggris mewakili perusahaan minyak the
Anglo-Iranian
Oil
Company
untuk
menggugat
pemerintah Iran. Pemerintah Liechteinstein mewakili Mr. Nottebohm untuk menggugat pemerintah Guatemala dalam Nottebohm Case (1953).144 Jenis sengketa internasional menurut Huala Adolf ada dua jenis, yaitu sengketa hukum (legal or judical disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable disputes).145 Sengketa hukum merupakan sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas dasar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional, sedangkan sengketa politik adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridis, misalnya atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya, penyelesaian sengketanya adalah secara politik. 144
Abdul Rasjid, 1985, Upaya Penyelesaian Sengketa Antarnegara melalui Mahkamah Internasional, PT Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 41. 145 Ibid, hlm. 44
150
Menurut membedakan
Friedmann, kedua
meskipun
pengertian
sulit
untuk
tersebut,
namun
perbedaannya dapat terlihat pada konsep sengketanya yang memuat hal-hal berikut:146 4.4.1.1.
Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan hukum yang telah ada dan pasti;
4.4.1.2.
Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas
wilayah,
dan
kehormatan
atau
kepentingan lainnya dari suatu negara; 4.4.1.3.
Sengketa
hukum
adalah
sengketa
dimana
penerapan hukum internasional yang ada cukup untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan keadilan
antar
negara
dan
perkembangan
progresif hubungan internasional;
146
Wolfgang Friedmann, et.al., 1969, International Law: Cases and Materials, St.Paul Minn, West Publishing, hlm. 243
151
4.4.1.4.
Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada.
Menurut Sir Humprey Waldock, suatu sengketa dapat ditentukan sebagai suatu sengketa hukum atau politik sepenuhnya
bergantung
kepada
para
pihak
yang
bersangkutan. Ketika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak memerlukan standar tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.147 Sedangkan Menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari perbedaan antara sengketa politik dan hukum. Menurut mereka, setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa tersebut biasanya
147
David Davies Memorial Institute of International Studies, Report of a Study Group on the Peaceful Settlement of International Disputes, 1966, hlm. 5.
152
terkait antar negara yang berdaulat. Oppenheim dan Hans Kelsen
menguraikan
pendapatnya
tersebut
sebagai
berikut:148 “All disputes have their political aspect by the very fact that they concern relations betweensovereign states. Disputes which, according to the distinction, are said to be of a legal nature might involve highly important political interests of the states concerned; conversely, disputes reputed according to that distinction to be a political character more often than not concern the application of a principle or a norm of international law.
Kerusakan lingkungan (dalam konteks hukum) disebabkan oleh perbuatan manusia oleh karena itu, tindakan manusia yang merusak ini harus dikendalikan. Salah satu alat pengendaliannya adalah “hukum” dalam hal ini hukum lingkungan. Hukum lingkungan internasional adalah prinsip-prinsip yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas batas negara. Sedangakan hukum lingkungan itu sendiri adalah sekumpulan ketentuan dan prinsip-prinsip hukum yang diberlakukan untuk melindungi kepentingan pengelolaan hukum. Dilihat dari dimensi perkembangan umat manusia,
148
Sefriani, 2011, Hukun Internasional, Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 324.
153
gagasan hukum lingkungan sebenarnya bersifat korektif terhadap berbagai kesalahan yang telah dilakukan akibat tidak ketatnya pengendalian dampak modernisasi yang antara lain, diwarnai oleh proses industrialisasi dan perdagangan.149 Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau dugaan adanya pencemaran dan atau perisakan lingkungan.
Sengketa
lingkungan
(“environmental
disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan
“Dispute a conflict or
conroversy; a conflict of claims or rights; an assertion of a right, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa inggrisnya pun beragam : “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”150
149
Adji Samekto, 2009, “Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional”, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 72. 150 TM. Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmental Dispute Resolution), Airlangga University Press-Yayasan Adikarya IKAPI-Ford Foundation, Surabaya, hlm. 9.
154
Penyelesaian sengketa dalam lingkungan hidup internasional
(international
environmental
dispute
resolution) adalah permasalahan yang menarik untuk dikaji. Dalam hukum lingkungan internasional, masalah sengketa lingkungan
hidup
akan
terus
berkembang
setelah
Mahkamah International (International Court of Justice) menerima dua kasus yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup yaitu Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v Australia) dan GabcikovoNagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Mengingat kedua kasus ini memiliki karakteristik tersendiri maka dengan
pertimbangan
Internasional
telah
Pasal
26
dibentuk
Piagam The
Mahkamah
Chamber
of
Environmental Disputte pada tanggal 19 Juli 1993.151 Selama lima belas tahun terakhir isu lingkungan telah ditangani oleh meningkatnya jumlah pengadilan internasional dan tribunal dan menambah yurisprudensi arbitrase secara signifikan. Pengadilan internasional dan tribunal juga telah bertindak untuk memperjelas makna dan
151
Phillippe Sands. 1993. Greening International Law, Earthscan Publication Ltd, London. hlm xix.
155
pengaruh norma perjanjian, untuk mengidentifikasi adanya norma-norma adat yang berlaku umum, dan untuk membangun peran yang lebih sentral untuk pertimbangan lingkungan dalam tatanan hukum internasional.152 Upaya
untuk
menyelesaikan
sengketa-sengketa
internasional sedini mungkin, dengan cara seadil-adilnya bagi para pihak yang terlibat, merupakan tujuan hukum internasional sejak lama, dan kaidah-kaidah serta prosedur yang terkait sebagian merupakan kebiasaan dan praktek dan sebagian lagi berupa sejumlah konvensi yang membuat hukum yang sangat penting seperti konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk penyelesaian secara damai sengketasengketa internasional dan Piagam Perserikatan BangsaBangsa yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945. Salah satu dari tujuan pokok Charter tersebut adalah membentuk Organisasi Perseriaktan Bangsa-Bangsa untuk mempermudah penyelesaian secara damai perselisihanperselisihan antara negara-negara.153
152
Phillippe Sands, Ibid. JG Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional 2, Sinar Grafika, Bandung, hlm. 640 153
156
Dalam hukum internasional terdapat banyak model penyelesaian sengketa internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek dan selalu menganggap tujuan fundamentalnya
adalah
pemeliharaan
perdamaian.
Keharusan setiap pihak untuk menyelesaikan sengketa secara damai tercantum dalam pasal 2 (3) Piagam PBB, yaitu: “Semua Anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, dan keadilan, tidak terancam”.154 Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal dan dimuat dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antara Negara tanggal 24 Oktober 1970 serta Deklarasi Manila tanggal 15 Nopember 1982 mengenai penyelesaian sengketa internasional secara damai, yaitu:155
154
Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global. PT Almuni : Bandung. hlm. 194 155
157
4.4.1.1.
Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat;
4.4.1.2.
Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB;
4.4.1.3.
Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara;
4.4.1.4.
Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa;
4.4.1.5.
Prinsip persamaan kedaulatan negara;
4.4.1.6.
Prinsip
hukum
internasional
mengenai
kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara; 4.4.1.7.
Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional;
4.4.1.8.
Prinsip keadilan dan hukum internasional.
158
Berbagai dikemukakan
aturan
hukum
prinsip-prinsip
internasional
mengenai
dapat
penyelesaian
sengketa internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip larangan
penggunaan
sengketa,
prinsip
kekerasan kebebasan
dalam
penyelesaian
memilih
cara-cara
penyelesaian sengketa, prinsip kesepakatan para pihak, dan prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan kemerdekaan dan integritas wilayah Negara-negara.156 Pada sengketa
umumnya,
dalam
hukum
metode-metode internasional
penyelesaian secara
umum
digolongkan dalam dua kategori:157 4.4.1.1.
Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat;
4.4.1.2.
Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.
156 157
Huala Adolf, op cit, hlm.15 JG Starke Op.Cit, hlm. 646.
159
4.4.2.
Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai (Diplomatik) 4.4.2.1.
Negosiasi Negosiasi adalah cara paling sederhana untuk
menyelesaikan
antara
negara
yang
perselisihan/sengketa dimana
negara
yang
bersengketa memanfaatkan aturan ini sebelum menggunakan cara penyelesaian sengketa yang lain. Pengaruh negosiasi yang memungkinkan salah satu pihak mengakui klaim dari pihak lain.158 Dalam negosiasi, teknik penyelesaian sengketa tidak melibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang telah dimiliki oleh keduabelah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi
158
lebih
mudah
untuk
dipecahkan.
Abdul Ghafur Hamid, 2011, Public International Law: A Practical Approach, Third Edition, Malaysia, Sweet and Maxwell Asia, hlm. 376.
160
Bilamana jalan keluar ditemukan oleh pihakpihak, maka akan berlanjut pada pemberian konsesi dari tiap pihak kepada pihak lawan.159 Cara
penyelesaian
melalui
negosiasi
biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh manakala para pihak bersengketa. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama: bilateral dan multilateral. Cara ini dapat pula digunakan untuk menyelesaikan setiap bentuk sengketa: apakah itu sengketa ekonomi, politis, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dll.
Bahkan,
apabila
para
pihak
telah
menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih dimungkinkan untuk dilaksanakan.160 Karena itu, dalam hal salah satu pihak bersikap
menolak
kemungkinan
negosiasi
sebagai salah satu cara penyelesaian ini akan 159
Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Aditama, hlm. 266. 160 John Collier and Vaughan Lowe, 1999, The Settlement of Disputes in International Law, Oxford: Oxford U.P, hlm. 20.
161
mengalami jalan buntu. Di dalam melakukan negosiasi para pihak harus bisa bersifat universal, harus memenuhi aturan-aturan tentang niat baik, dan tidak sekedar dilaksanakan secara formalitas. Negosiasi dapat berlangsung dalam kerangka bilateral ataupun multilateral. Tujuan negosiasi tidak
harus
selalu
dan
secara
khusus
menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi. Suatu perundingan yang berhasil dapat menghasilkan suatu pengaturan baru akan dapat mencegah atau meredakan situasi sengketa yang potensial. Sebagai contoh kasus yang menggunakan bentuk penyelesaian secara negosiasi adalah adalah kasus Cosmos-954.161 Kasus Cosmos-954 merupakan kasus jatuhnya satelit bertenaga nuklir, Cosmos-954 milik Uni Soviet, di Kanada. Cosmos-954 bertenaga
merupakan
nuklir
milik
salah Uni
satu
satelit
Soviet,
yang
diluncurkan pada tanggal 18 September 1957.
161
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, Bandung, Refika Aditama, 2002, hlm.50
162
Satelit ini dilengkapi reaktor nuklir seberat 55 Kg dan menggunakan bahan uranium 235 dengan komposisi 90% Uranium 235. Beberapa minggu setelah peluncurannya, satelit yang direncanakan di tempatkan pada ketinggian 270 Km di atas permukaan bumi itu dinyatakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. 4.4.2.2.
Mediasi Mediasi adalah merupakan bentuk lain dari negosiasi sedangkan yang membedakannya adalah terdapat keterlibatan pihak ketiga. Dalam hal pihak ketiga yang hanya bertindak sebagai pelaku mediasi atau mediator komunikasi bagi pihak
ketiga
untuk
mencarikan
negosiasi-
negosiasi, maka peran dari pihak ketiga disebut sebagai good office.162 Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran yang aktif untuk mencari solusi yang tepat untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai dan 162
Dewa Gede Sudika Mangku, op.cit, hlm. 153
163
untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di
antara para pihak.
Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, dan organisasi internasional.163 Dalam menerapkan hukum, mediator tidak dibatasi pada hukum yang ada. Asas ex aequo et bono atau kepatutan dan kelayakan dapat digunakan mediator dalam menyelesaikan sengketa, karena sifatnya ini, cara penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat lebih cocok digunakan untuk sengketa-sengketa yang sensitif. Sengketa tersebut termasuk di dalamnya adalah sengketa yang memiliki unsur politis, di samping itu sudah barang tentu sengketa hukum. 4.4.2.3.
Konsiliasi Konsiliasi (Conciliation) menurut the Institute of International Law melalui the Regulations on the Procedure of International
163
Ibid.,
164
Conciliation yang diadopsi pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihakpihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan
dengan
proses
penyelesaian
pertikaian.164 Istilah
konsiliasi
(conciliation)
mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badanbadan penyelidik dan komite-komite penasehat yang
tidak
berpihak.
Pengertian
sempit,
konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.165
164
Pasal 1, the Regulations on the Procedure of International Conciliation, http://www.justitiaetpace.org/idiE/resolutionsE/1961_salz_02_en.pdf 165 J.G.Starke, An Introduction To International Law, saduran: F. Isjwara, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Keempat, Alumni, Bandung, hlm 253.
165
The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute of 1899 dan 1907
memuat
mekanisme
dan
aturan
pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini dibentuk dengan persetujuan bersama kedua belah pihak. Di samping fungsi, terdapat kriteria lain yang membedakan badan ini dengan mediasi. Konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal dibandingkan dengan mediasi. Hukum acara tersebut dapat diterapkan terlebih dahulu dalam perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi.
4.4.3.
Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Hukum Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum
166
adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masingmasing pihak yang bersengketa. 4.4.3.1.
Arbitrase Hukum arbitrase
internasional
sebagai
telah
alternatif
mengenal
penyelesaian
sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan terlembaga, Peradilan
badan atau
arbitrase
badan
arbitrase
yang
arbitrase
jauh
berbeda
telah
ad
hoc.
dengan
pengadilan intern suatu Negara karena bentuknya yang sebagai
non-institusional. penyelesaian
Meskipun sengketa
dianggap
internaisonal
melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak,
167
meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.166 Dalam Pasal 38 Konvensi Den Haag 1907 menyatakan tujuan arbitrase internasional adalah menyelesaikan sengketa antara negara oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan
hukum.
Penyelesaian
melalui arbitrase ini berarti bahwa Negara-negara harus melaksanakan keputusan dengan itikad baik.167 4.4.3.2.
Mahkamah Internasional Pengadilan internasional dan pengadilan internasional menyelesaikan
regional berbagai
yang
hadir
macam
untuk sengketa
internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court (ICC), International Tribunal on the Law of the Sea (ITLOS), European Court for Human Rights, dan lainnya. Pengadilan internasional telah
166 167
Boer Mauna, op.cit, hlm. 228. Ibid, hlm. 229.
168
dikenal sejak Liga Bangsa-Bangsa (LBB), yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Setelah bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB.
Penyelesaian
sengketa
internasional
melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan
terhadap
pihak-pihak
yang
bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak untuk memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan.
Tetapi
dengan
bersengketa
di
pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masingmasing pihak yang bersengketa.168
168
Ibid, hlm. 247
169
4.4.4.
Pilihan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hukum Pencemaran Asap Lintas Batas dalam Kerangka ASEAN ASEAN adalah sebuah organisasi regional yang beranggotakan negara-negara yang terletak di kawasan Asia tenggara dengan cakupan wilayah sekitar 4.46 juta kilometer persegi, dan dengan jumlah penduduk kurang lebih sekitar 600 juta.169 ASEAN didirikan berdasarkan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh 5 (lima) negara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand. Selanjutnya keanggotaannya diperluas menjadi 10 negara dengan masuknya Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos, Myanmar (1997) dan Kamboja (1999). Tahun 2008 merupakan saat yang menentukan bagi ASEAN karena negara-negara anggota telah bersepakat untuk membentuk suatu Piagam yang akan merupakan ’Konstitusi’ bagi ASEAN. Piagam ASEAN (ASEAN Charter) telah ditandatangani dan kemudian diratifikasi
169
ASEAN: http://www.asean.org/resources/publications/item/association-of-southeastasian-nations-aseanintegration-monitoring-report-a-joint-report-by-the-asean-secretariatand-the-world-bank-english?category_id=382
170
oleh seluruh negara-negara anggota ASEAN pada 2008 dan berlaku (enter into force) pada 15 Desember 2008. Oleh karena itu, Piagam ASEAN merupakan dasar hukum yang penting untuk melihat kepatuhan negara-negara anggota ASEAN terhadap perjanjian kerjasama yang telah mereka sepakati. ASEAN bukan lagi sebagai sebuah organisasi kerjasama antar pemerintah atau intergovernmental yang longgar seperti
ketika
pertamakali
dibentuk
namun
merupakan sebuah ‟rule-based‟ organisasi, organisasi yang didasarkan pada aturan hukum yang mengikat.170 Di dalam Piagam ASEAN diatur secara jelas personalitas hukum (legal personality) ASEAN dan kedudukan hokum (legal positioning) dari lembaga ASEAN untuk mengimbangi kerjasama ASEAN yang semakin berkembang, bervariasi, dan intens. Piagam mengatur secara rinci tujuan dan prinsip-prinsip dari ASEAN. Piagam juga menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas untuk
170
Pada bagian Preamble dari Piagam ASEAN disebutkan keputusan untuk „establish through this Charter the legal and institutional framework for ASEAN dan pada ditegaskan lagi dalam pasal 2 (h) Piagam tentang prinsip ASEAN yaitu adherence to the rule of law, good governance, the principles of democracy and constitutional government, lihat Piagam ASEAN
171
antisipasi jika terjadi perbedaan penafsiran atas isi Piagam dan perjanjian ASEAN lainnya. Menurut Piagam, negara-negara anggota ASEAN wajib menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai dengan cara yang tepat waktu melalui dialog, konsultasi, dan negosiasi.171 Negara anggota yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa mereka dengan menggunakan good offices, konsiliasi, atau mediasi dalam batas waktu yang disepakati. Sekretaris Jenderal ASEAN dalam kapasitas secara ex-officio dapat memberikan good offices, konsiliasi, atau mediasi atas permintaan negara-negara anggota yang bersengketa. Pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat sangat mungkin diberikan oleh Piagam ASEAN, termasuk arbitrase, yang dibentuk untuk sengketa yang berkenaan dengan penafsiran atau penerapan Piagam ASEAN dan instrumen-instrumen ASEAN yang lain.172 Sedangkan untuk sengketa yang tidak terselesaikan maka sengketa tersebut wajib dirujuk kepada KTT ASEAN untuk 171
Pasal 25 Piagam ASEAN Dicantumkannya arbitrasi di dalam Piagam ASEAN ini menunjukkan bahwa di lingkup ASEAN dimungkinkan bentuk penyelesaian sengketa internasional secara hukum atau quasi judicial selain penyelesaian sengketa secara diplomatic. 172
172
diambil
keputusannya.173
prosedur,
cara-cara,
dan
Selain
mengatur
pembentukan
mengenai mekanisme
penyelesaian sengketa yang berkenaan dengan penafsiran dan penerapannya, Piagam juga mengatur mengenai kepatuhan
negara-negara
rekomendasi,
atau
anggota
keputusan
yang
terhadap
temuan,
dihasilkan
dari
mekanisme penyelesaian sengketa.174 Hal ini diserahkan kepada Sekretaris Jenderal ASEAN yang dibantu oleh Sekretariat ASEAN atau lembaga ASEAN lainnya yang ditunjuk. Mereka harus memberikan laporan kepada KTT mengenai hal ini. Selain itu, Dalam ASEAN pun terdapat pengaturan penyelesaian sengketa yang termuat dalam the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) yang ditandatangani di Bali, 24 Februari 1976. Bab IV TAC (Pasal 13-17) memuat pengaturan mengenai pnyelesaian sengketa secara damai. Dalam hal penyelesaian hukum pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara, terdapat beberapa mekanisme atau prosedur penyelesaian sengketa 173
Pasal 26 Piagam ASEAN: when a dispute remains unresolved after the application of the preceding provisions of this Charter, this dispute shall be referred to the ASEAN Summit for its decision. 174 Pasal 27 (1) Piagam ASEAN
173
yang bisa digunakan apabila terjadi masalah hukum kedepannya, dan telah dikenal negara-negara anggota ASEAN, meliputi: 4.4.4.1.
Penyelesaian Sengketa Secara Diplomatis Pasal 13 TAC mensyaratkan negaranegara anggota untuk sebisa mungkin dengan iktikad baik mencegah timbulnya sengketa di antara mereka. Namun apabila sengketa tetap lahir dan tidak mungkin dicegah maka para pihak wajib menahan diri untuk tidak menggunakan (ancaman) kekerasan. Pasal ini selanjutnya mewajibkan para pihak untuk menyelesaikannya sengketa secara diplomatis seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi. Pasal 13 TAC berbunyi: The High Contracting Parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. In case disputes on matters directly affecting them should arise, especially disputes likely to disturb regional peace and harmony, they shall refrain from the threat or use of force and shall
174
at
all
times
settle
such
disputes
among
themselves through friendly negotiations. Penyelesaian sengketa secara diplomatis pun merupakan salah satu langkah awal yang harus dijalankan oleh Indonesia sebagai Negara Penyebab kabut asap dan Negara-negara tetangga yang tekena dampak kabut asap tersebut, sesuai dengan pasal 27 AATHP tentang penyelesaian sengketa yang berbunyi “Any dispute between Parties as to the interpretation or application of, or compliance with, this Agreement or any protocol thereto, shall be settled amicably by consultation or negotiation”. Melalui
ketentuan
pasal
tersebut,
memungkinkan para pihak bersengketa untuk menyelesaikan
sengketa
mereka
melalui
konsultasi ataupun negosiasi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan 2010 Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanism yang mensyaratkan
penyelesaian
sengketa
secara
damai terlebih dahulu dalam berbagai masalah di
175
lingkup ASEAN, termasuk penyelesaian hukum pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara. Dalam
penyelesaian
sengketa
secara
diplomatis yang dalam hal ini mediasi, konsiliasi dan good offices, sebuah Negara ataupun organisasi internasioan dapat menawarkan diri untuk memediasikan ataupun menawarkan good offices, dalam konteks Asia Tenggara, Negaranegara anggota ASEAN dan ASEAN sendiri memiliki peran penting dan dapat ikut serta dalam penyelesaian sengketa secara diplomatis. 4.4.4.2.
Penyelesaian Sengketa Melalui the High Council Manakala negosiasi secara langsung oleh para pihak gagal, penyelesaian sengketa masih dimungkinkan dilakukan oleh the High Council (Pasal 14 TAC). Pasal 14 TAC berbunyi : To settle disputes through regional process, the High Contracting Parties shall constitute, as a continuing body, a High council comprising a Representative at ministerial level from each of the High contracting parties to take cognizance
176
of the existence of disputes or situations likely to disturb regional peace and harmony. The Council terdiri dari setiap negara anggota ASEAN. Apabila sengketa timbul maka The
Council
akan
memberi
rekomendasi
mengenai cara-cara penyelesaian sengketanya. The High Council juga diberi wewenang untuk memberikan jasa baik, mediasi, penyelidikan atau konsiliasi, apabila para pihak menyetujuinya (Pasal 15 dan 16 TAC). Pasal 15 TAC berbunyi: In the event no solution is reached through direct negotiations, the High Council shall take cognizance of the dispute or the situation and shall recommend to the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation, inquiry or conciliation. The High council may however offer its good offices, or upon agreement of the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation, inquiry or conciliation. The high Council may
177
however offer its good offices, or upon agreement of the parties in dispute, constitute itself into a committee of mediation, inquiry or conciliation. When deemed necesarry, the High Council shall recommend
appropriate
measures
for
the
prevention of a deterioration of the dispute or the situation. Pasal 16 TAC berbunyi : The foregoing provision of this Chapter shall not apply to a dispute unless all the parties to the dispute agree to their application to that dispute. However this shall not preclude the other High Contracting Parties not party to the dispute from offering all possible assistance to settle the said dispute. Parties to the dispute should be well disposed of towards such offers of assistance 4.4.4.3.
Penyelesaian
Sengketa
Melalui
Mahkamah
Internasional (International Court of Justice) Meskipun terdapat mekanisme di atas, TAC tidak menghalangi para pihak untuk menempuh
cara
atau
metode
penyelesaian
178
sengketa lainnya yang para pihak sepakati sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB (Pasal 17 TAC). Dalam praktik, para pihak yang bersengketa lebih cenderung untuk menyelesaikan sengketanya secara hukum. Misalnya penyelesaian sengketa sesuai dengan Pasal 17 TAC, yaitu penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional (ICJ). Contoh langkah seperti ini misalnya adalah sengketa IndonesiaMalaysia mengenai status kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, atau antara Malaysia-Singapura mengenai status kepemilikan Pulau Batu Puteh. Pasal 17 TAC berbunyi: Nothing in this Treaty shall preclude recourse to the modes to peaceful settlement contained in Article 33 (1) of the Charter of the United Nations. The High Contracting parties which are parties to a dispute should be encouraged to take initiatives to solve it by friendly negotiations before resorting to the other procedures provided for in the Charter of the United Nations.
179
Namun,
Negara
menggunakan
umumnya
Mahkamah
(International
Court
of
enggan
Internasional Justice)
untuk
penyelesaian sengketa mereka. Alasan di balik keengganan
ini
dikarenakan
proses
yang
memakan waktu dan karakter litigasi yang tidak pasti. Disisi lain, Pemerintah juga enggan kehilangan kontrol atas kasus yang tidak dapat diselesaikan dan terikat pada putusan yang tidak sesuai dengan kemauan dan kepentingan negaranegara bersengketa.175 Penyelesaian hukum kabut asap melalui Mahkamah Internasional bukanlah hal yang tidak mungkin, namun menimbang pengalaman buruk Indonesia dan beberapa kelemahan penyelesaian sengketa
melalui
Mahkamah
Internasioanl,
pilihan penyelesaian ini mungkin akan menjadi pilihan yang terakhir sepanjang prosedur yang lain tidak dapat memberikan kepastian dan
175
Elli Louka, 2006, International Environmental Law: Fairness, Effectiveness, and World Order, Cambridge University Press, hlm. 57
180
menyelesaikan sengketa apabila terdapat masalah kabut asap kedepannya. 4.4.4.4.
Penyelesaian melalui Arbitrase Perkembangan ASEAN di tahun 1990-an membawa
tuntutan
dan
tantangan
baru,
khususnya bagi Negara-negara yang kurang berkembang dari ASEAN yang menghadapi isuisu perkembangan berkelanjutan dan manajemen lingkungan. Lebih lanjut lagi, dengan adanya ASEAN memberikan kesempatan bagi setiap negera untuk terikat dalam sebuah kawasan yang bergerak kearah kerangka kerja institusional yang lebih
kuat
dan
komitmen
dalam
upaya
perlindungan lingkungan, mitigasi dan adaptasi. Meskipun ASEAN telah sampai pada proses regionalism, namun saat ini ASEAN tetap menghadapi beberapa tantangan dalam masalah lingkungan apalagi terkait dengan masalah pencemaran asap lintas batas, diantara tantangan tersebut adalah kurangnya kepatuhan, minimnya sanksi, perbedaan politik atas sumber daya alam
181
versus prioritas ekonomi, dan keterbatasan finansial dan kapasitas sumber daya manusia. Tantangan-tantangan penanggulangan
pencemaran
dalam asap
tersebut
apabila tidak dapat ditangani dengan segera, akan berimbas kepada hubungan baik Negara-negara di ASEAN pada umumnya, dan Indonesia dan beberapa Negara tetangga pada khususnya. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa Indonesia sebagai negara dengan sumber kebakaran hutan utama di Asia Tenggara belum mampu mencegah serta memberikan Kebijakan yang optimal dalam upaya penanggulangan asap lintas batas tersebut. Ditambah lagi dengan bukti bahwa, pencemaran asap lintas batas ini sudah cukup lama tidak tertangani, dengan dimulainya pada tahun 1997, pencemaran asap sudah cukup mampu menjadi alasan-alasan beberapa negara tetangga untuk melakukan tuntutan kepada Indonesia untuk segera mengatasi kebakaran hutan diwilayahnya.
182
Meskipun
dengan
asumsi
bahwa,
tanggung jawab penanggulan asap bukan lagi hanya menjadi kewajiban indonesia, namun telah menjadi tannggung jawab bersama negara-negara di ASEAN, hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik ataupun sengketa yang lahir dari masalah lingkungan lintas batas tersebut. Pengalaman-pengalaman
beberapa
negara
setidaknya bisa kita jadikan contoh bagaimana kemudian
mekanisme
yang
tepat
untuk
digunakan dalam upaya menyelesaikan sengketa tersebut. seperti yang dijelaskan sebelumnya, setidaknya ada berbagai macam mekanisme yang dapat dipakai dalam menyelesaikan sengketa internasional, seperti mediasi, konsiliasi dan melalui mahkamah Internasional. Selain daripada mekanisme tersebut, ada satu mekanisme lagi yang dapat Indonesia dan negara ASEAN lain gunakan apabila terjadi sengketa terkait pencemaran asap lintas batas, yaitu arbitrase. Berbeda dengan konsiliasi dan
183
mediasi,
dimana
penyelesaian
sengketa
menggunakan arbitrase mengarah ke keputusan mengikat dan sifatnya lebih fleksibel daripada penyelesaian melalui mahkamah internasional. Badan arbitrase terdiri dari para arbriter yang biasanya ditunjuk oleh para pihak tetapi yang tidak tunduk pada kepentingan mereka.
4.5
Penyelesaian Sengketa Asap Batas Lintas Negara di Masa Datang 4.5.1.
Penyelesaian
Melalui
Mahkamah
Arbitrase
Internasional (Permanent Court of Arbitration) Badan arbitrase biasanya berbentuk ad hoc atau mungkin badan tetap yang menangani kategori sengekta tertentu. Arbitrase berbeda dari penyelesaian hukum melalui Mahkamah Internasional, dimana para pihak memiliki kompetensi untuk menunjuk arbiter, untuk menentukan
prosedur
yang
diterapkan
dan
untuk
menunjukkan hukum yang berlaku, sampai batas tertentu.
184
Dalam konteks ini, ada banyak lembaga arbitrase yang mempunyai kapasitas untuk menyelesaikan sengketa internasional, seperti Kuala Lumpur Regional Centre for Arbitration (KLRCA), Singapore International Court of Arbitration (SIAC), International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID)
dan Permanent Court of
Arbitration (PCA), namun dalam konteks sengketa internasional yang terkait dengan lingkungan, PCA lebih memiliki ruang untuk dijadikan pilihan dalam penyelesaian sengketa pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara. Permanent Court of Arbitration adalah lembaga permanen yang memiliki kewenangan menangani suatu sengketa melalui arbitrase, dan PCA telah secara rutin ikut serta dalam penyelesaian sengketa di bawah perjanjian bilateral dan multilateral, kontrak, dan instrumen lainnya mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan menawarkan aturan khusus untuk arbitrase sengketa ini. Arbitrase di Mahkamah
Arbitrase
Internasional
tidak
hanya
menyelesaikan sengketa antara negara atau inter-state environmental disputes tetapi juga mixed environmental disputes dimana sengketa ini terjadi antara negara dan aktor
185
non-negara yang timbul dalam berbagai perjanjian bilateral dan
multilateral
investasi,
kontrak,
dan
instrumen
lainnya.176 Merujuk pada penjelasan diatas, apabila terjadi masalah hukum yang ditimbulkan akibat polusi asap di Asia Tenggara, penyelesaian sengketa melalui PCA sangat mungkin dilakukan oleh Indonesia dan Negara lainya di Asia Tenggara, melihat eksistensi lembaga ini di dunia internasional dan keuntungan-keuntungan yang ditawarkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Dalam Mahkamah Arbitrase
Internasional
atau
Permanent
Court
of
Arbitration (selanjutnya disebut dengan PCA) terdiri dari 3 (tiga) badan, yaitu :177 4.5.1.1.
The Permanent Administrative Council of the Court (Pasal 49 Konvensi) Badan ini anggotanya terdiri dari perwakilan (diplomatic envoys) negara peserta PCA yang ditempatkan di Belanda dan sekretaris Kementrian Luar Negeri Belanda yang bertindak sebagai presiden dari Council.
176
Environmental Dispute Resolution, https://pca-cpa.org/en/services/arbitrationservices/environmental-dispute-resolution/, diakses 5 Juni 2016, pukul 15.30 WIB 177 Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 2006, hlm. 52
186
Tugas dari Council adalah mengawasi tugasnya International
Bureau
of
the
Court
yakni
memutuskan hal yang berkaitan dengan masalah administrasi Mahkamah; 4.5.1.2.
The International Bureau of the Court (Pasal 43 Konvensi) Badan ini mempunyai wewenang untuk melayani dan bertindak sebagai panitera Mahkamah.
Juga
mempunyai
mengkomunikasikan
sidang
tugas
untuk
Mahkamah,
menyimpan arsip dan dokumen administrasi Mahkamah; 4.5.1.3.
The Court of Arbitration (Pasal 44 Konvensi) Anggota
Mahkamah
individu-individu
arbitrase
terdiri
dari
yang diakui kepakarannya
dalam hukum internasional, mempunyai moral yang tinggi, dipilih dan ditunjuk oleh negara anggota;
187
4.5.2.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Asap Batas Lintas Negara Melalui Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration) Mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase melalui Mahkamah Arbitrase Internasional diatur pertama kali pada 1899 Convention for the Pacific Settlement of International Disputes. Namun dalam pengaturan lebih jauh, Mahkamah Arbitrase Internasional mengeluarkan Optional Rules for Arbitration of Disputes Relating to Natural Resources and/or the Environment yang menjadi pedoman bagi penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan sumber daya alam yang dibawa ke Mahkamah Arbitrase. Sehingga, penyelesaian sengketa asap batas lintas negara yang melibatkan Indonesia ini bisa menggunakan prosedur arbitrase khususnya, mengenai sengketa lingkungan hidup, yang pada dasarnya mengikuti UNCITRAL Arbitration Rules dengan perubahan dalam beberapa hal untuk dapat disesuaikan dengan karakteristik sengketa yang terkait dengan sumber daya alam, konservasi dan komponen perlindungan lingkungan. Dalam proses pelaksanaan Arbitrase
ini
setidaknya
ada
tiga
tahapan
dalam
188
penyelesaian sengketa lingkungan internasional yang dapat digunakan oleh Indonesia apabila dikemudian terjadi kembali masalah sengketa pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara: 4.5.2.1.
Pembentukan Majelis Arbitrase Setiap adanya
proses
arbitrase
mensyaratkan
perjanjian/kompromis
penggunaan
arbitrase terlebih dahulu yang disetujui oleh para pihak sebelum penyelesaian melalui Mahkamah Arbitrase Internasional. Dalam pasal 2 Optional Rules for Arbitration of Disputes Relating to Natural Resources and/or the Environment dijelaskan bahwa, setiap kompromis
harus
mencantumkan jenis sengketa dan cakupan kewenangan para arbitrator. Sehingga para pihak bersengketa dapat menentukan sejauh mana kewenangan para arbitrator. Komposisi dari arbitrator juga merupakan kewenangan para pihak itu sendiri, dimana para pihak mempunyai kekuasaan menentukan jumlah arbitrator yang menangani kasus para pihak baik
189
satu, tiga ataupun lima arbitrator. Akan tetapi, dalam suatu kondisi para pihak tidak menyetujui komposisi arbitrator yang ada, sesuai dengan pasal 6-8, para pihak dapat menunjuk orang atau lembaga yang mereka percaya untuk menentukan arbitratornya. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan pihak yang ditunjuk tidak dapat dan menolak
untuk
menunjuk
arbitrator,
maka
Sekretaris Jenderal Mahkamah Arbitrase akan menjadi pihak yang ditunjuk untuk memilih arbitrator sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pembentukan majelas arbitrase ini para pihak dapat melakukan keberatan terhadap arbitrator yang ditunjuk oleh pihak lain, dan apabila dibutuhkan arbitrator tersebut dapat diganti dengan prosedur yang ada. 4.5.2.2.
Prosedur Arbitrase Proses penyelesaian sengketa lingkungan akan dilaksanakan di Mahkamah Arbitrase Internasional, dalam hal ini adalah Mahkamah Arbitrase Internasional, namun para pihak juga
190
mempunyai kebebasan untuk menentukan tempat dilaksanakannya arbitrase diluar lokasi yang telah ditentukan. Proses pertama dalam proses ini adalah Statement of Claim, dimana pihak penggugat wajib mencantumkan sengketa, fakta dan pertanggungjawaban yang diminta. Setelah pembacaan statement of claim, pihak tergugat akan membacakan statement of defence, dimana dalam dokumen tersebut, harus menjawab poinpoin yang dimintakan oleh pihak penggugat. Dalam praktiknya, selama proses arbitrase para
pihak
dapat
mengajukan
amandemen
ataupun penambahan dalam statement of claim dan statement of defence mereka, namun majelis arbitrase
dapat
mempertimbangkan
bahwa
penambahan atau perubahan tersebut tidak tepat dilakukan
dengan
berbagai
pertimbangan
arbitrator. Setelah proses tersebut, para pihak akan diminta untuk dapat menghadirkan bukti dan juga saksi. Didalam proses arbitrase tersebut, majelis arbitrase dapat memberikan putusan sela
191
apabila dianggap perlu untuk melindungi hak-hak para pihak atau untuk mencegah kerusakan serius pada lingkungan yang termasuk dalam objek yang disengketakan. Dalam proses selanjutnya, majelis arbitrase dapat meminta para pihak pihak untuk mengajukan bukti dan saksi tambahan apabila
diperlukan,
dan
jika
tidak
ada
penambahan bukti maka majelis arbitrase akan menyudahi proses pemeriksaan. 4.5.2.3.
Putusan Arbitrase Setelah berakhirnya tahap pemeriksaan, majelis akan melakukan musyawarah secara tertutup
dan
memutuskan
hasil
tersebut
berdasarkan suara mayoritas majelis arbitrase dan dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan tertulis dan ditandatangani oleh setiap pihak dalam majelis. Putusan arbitrase bersifat final dan
mengikat,
sehingga
para
pihak
wajb
melaksanakan ketentuan yang sudah diputuskan dalam majelis tersebut dan apabila diperlukan,
192
pembacaan putusan dapat diumumkan terbuka dengan persetujuan para pihak bersengketa. Dalam arbitrase
akan
membuat
keputusan,
menggunakan
majelis
hukum
yang
disepakati para pihak sesuai dengan substansi sengketanya, dan apabila para pihak gagal tidak menyepakati hukum yang digunakan, majelis arbitrase akan menerapkan hukum nasional atau internasional yang dianggap sesuai dengan sengketa
tersebut.
kebebasan
menentukan
Meskipun hukum
demikian, mana
yang
dipakai tidak membatasi majelis arbitrase untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya atau ex aequo et bono. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa keputusan majelis arbitrase bersifat final dan mengikat, akan tetapi keputusan tersebut dikemudian hari dapat dikoreksi ataupun majelis
berwenang
memberikan
putusan
tambahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
193
Pencemaran asap lintas batas akibat kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia untuk saat ini memang belum menimbulkan sengketa antara negara-negara ASEAN, terutama antara negara yang di dalam wilayahnya terjadi kebakaran hutan dengan negara yang menderita akibat dampak dari kebakaran hutan dan belum ada dasar hukum internasional yang kuat dan khusus mengatur tentang pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan. Walaupun demikian Indonesia tetap bertanggung jawab terhadap kebakaran
hutan
yang
terjadi
di
dalam
wilayah
yurisdiksinya. Karena tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antar negara, disamping juga bertujuan memberikan perlindungan hukum. Selain itu, prinsip tanggung jawab Negara merupakan salah satu prinsip yang penting dalam hukum internasional.178 ASEAN Pollution
Agreement
(AATHP)
juga
on
Transboundary
menyediakan
Haze
mekanisme
penyelesaian masalah kabut asap yang akan berjalan dalam 178
Sri Azora Kumala Sari, 2008, Pencemaran Lintas Batas Akibat Kebakaran Hutan: Suatu Perspektif dari Ekologi dan Hukum Lingkungan Internasional, Skripsi, Faklutas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm. 79.
194
lingkup kerjasama internasional. Berdasarkan pasal 27 AATHP,
bahwa
pihak
yang
bersengketa
dapat
menyelesaikan masalah melalui konsultasi dan negosiasi. Hukum
internasional
selalu
menganggap
tujuan
fundamentalnya adalah pemeliharaan perdamaian. Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara upaya penyelesaian secara damai melalui dialog berupa konsultasi dan negosiasi harus tetap diutamakan. Meskipun AATHP yang secara teknis mengikat Negara-negara ASEAN, namun sesungguhnya AATHP tidak mempunyai peran sentral yang dapat memaksakan
negara-negara
anggota
ASEAN
patuh
terhadap perjanjian-perjanjian tertentu. ASEAN tidak mempunyai lembaga yang dapat memanggil negara anggotanya yang tidak patuh pada perjanjian tertentu. Bisa dikatakan bahwa ASEAN tetap menjunjung tinggi prinsip non-interference, sehingga berimbas pada tidak ada mekanisme yang kredibel untuk menyelesaikan sengketa secara objektif dan sifatnya mengikat secara hukum. Berbagai mekanisme penyelesaian sengketa hukum lingkungan internasional pada awal-awal perkembangan hukum lingkungan internasional menunjukkan belum
195
adanya suatu aturan yang mengikat dan memberikan kepastian dalam hal proses yang dilalui dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan internasional. Namun, sejalan dengan berkembanya hukum lingkungan internasional, dalam beberapa kasus besar, Majelis Arbitrase telah dijadikan salah satu alternatif utama dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan internasional. Meskipun dalam berbagai kesempatan penyelesaian melalui jalur diplomatis tetap dijalankan, namun terkadang hasil dari mekanisme tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan. Disamping itu, pemanfaatan Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB, khususnya penyelesaian melalui jalur hukum, dalam hal ini dengan melalui Mahkamah Internasional dapat digunakan, namun hal ini harus di menjadi catatan bahwasannya pilihan menyelesaikan sengketa melalui mahkamah internasional, harusnya dapat dijadikan pilihan terkahir sepanjang mekanisme-mekanisme yang lain tidak mampu memberikan kepastian dalam upaya penyelesaian sengketa pencemaran asapa lintas batas dikemudian hari. Dari penjelasan diatas, jelas bahwa penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Arbitrase menawarkan banyak
196
keuntungan dibandingkan penyelesaian sengketa lainnya. Dimana Terdapat dua perbedaan utama antara penyelesaian sengketa
melalui
Mahkamah
Arbitrase
Internasional
(Permanent Court of Arbitration) dengan Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Pertama, arbitrase memberikan para pihak kebebasan dalam memilih atau menentukan badan arbitrasenya. Sebaliknya dalam hal pengadilan,
komposisi
pengadilan
berada
di
luar
pengawasan atau kontrol para pihak. Kedua, Arbitrase memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum yang
akan diterapkan oleh badan arbitrase.
Kebebasan seperti ini tidak ada dalam pengadilan internasional pada umumnya. Misalnya pada Mahkamah Internasional. Mahkamah terikat untuk menerapkan prinsipprinsip hukum internasional yang ada, meskipun dalam mengeluarkan putusannya diperbolehkan menggunakan prinsip ex aequo et bono. Ditambah lagi, penyelesaian menggunakan
Mahkamah
Arbitrase
Internasional
menawarkan putusan yang final dan mengikat, sehingga berbeda dengan hasil
penyelesaian sengketa secara
diplomatis, dimana keputusan yang dihasilkan baik itu
197
negosiasi, mediasi dan konsultasi tidak mengikat para pihak.
Sehingga
tepatlah,
apabila
dikemudian
hari
Indonesia dan Negara tetangga memilih Mahkamah Arbitrase Internasional untuk menyelesaikan sengketa pencemaran asap lintas batas. Karena lembaga ini sudah membuktikan pengalamannya dalam memutuskan berbagai sengketa seperti Rhine Chlorides Arbitration (1999), OSPAR Arbitration (2001), Mox Plant (2003), Ijzeren Rijn (2003), dan Land Reclamation by Singapore in and around the Straits of Johor (2003).