RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 “Frasa ‘Pemufakatan Jahat’ dalam Tindak Pidana Korupsi”
I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid, SH., dkk, advokat pada Syamsu Hamid & Partners, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 28 Januari 2016. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian
Materiil
Pasal
15
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 1
4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa jika terdapat dugaan suatu UU bertentangan dengan UUD 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang pada saat ini berstatus sebagai Terperiksa dalam penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia.
2
4. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 UU Tipikor karena ketidakjelasan pengaturan pemufakatan jahat dalam pasalpasal a quo sehingga menimbulkan multi tafsir bagi penegak hukum. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU Tipikor: Pasal 15: “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 2. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 3. Pasal 28I ayat (4): “Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa Pasal 88 KUHP yang pengertiannya tentang pemufakatan jahat digunakan dalam beberapa undang-undang, antara lain Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi syarat lex certa, tidak jelas dan membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi disebabkan penegakan hukum yang keliru. Kekurangcermatan pengaturan Pasal 88 UU KUHP menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dari pakar hukum pidana; 2. Bahwa menurut Pemohon, pengertian pemufakatan jahat sebagai “dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan kejahatan” hanya sesuai untuk diterapkan terhadap tindak pidana umum. Namun sebaliknya pemberlakuan 3
pengertian pemufakatan jahat tersebut terhadap tindak pidana khusus, seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu akan berpotensi melanggar hak asasi dan represif; 3. Bahwa tidak terpenuhinya asas lex certa dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 200 adalah persoalan kaidah undang-undang yang dapat melahirkan implikasi praktis dalam penegakan hukum sebagaimana dialami oleh Pemohon; 4. Bahwa kesewenang-wenangan yang secara nyata dialami Pemohon adalah pelaksanaan proses hukum terhadap Pemohon dengan menggunakan Pasal 88 UU KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor yang sumir, tidak jelas dan tidak memenuhi syarat lex certa. Implikasi proses hukum tersebut sangat luar biasa
bagi
Pemohon
karena
mempengaruhi
kesehatan
Pemohon,
mengganggu aktifitas politik dan yang terlebih penting adalah mengganggu aktifitas Pemohon dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kenegaraan yang diemban Pemohon sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI); 5. Bahwa apa yang dialami Pemohon sangat bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negaralah terutama pemerintah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Namun kenyataannya negara belum dapat melaksanaan kewajiban konstitusional dengan baik; 6. Bahwa menurut Pemohon, kaidah-kaidah UU a quo juga bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
VII. PETITUM 1. Menerima
dan
mengabulkan
permohonan
Pemohon
untuk
menguji
ketentuan Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) terhadap 4
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) sebatas berkaitan dengan frasa “pemufakatan jahat” bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak ditafsirkan dengan “.... yang mempunyai kualitas dalam hal undangundang menentukan demikian ....”. 3. Menyatakan bahwa Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) sebatas berkaitan dengan frasa “pemufakatan jahat” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang tidak ditafsirkan “.... yang mempunyai kualitas dalam hal undang-undang menentukan demikian ....”. 4. Atau jika Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) sebatas berkaitan dengan frasa “pemufakatan jahat” tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon kiranya Majelis Hakim Konstitusi agar dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) sebatas berkaitan dengan frasa “pemufakatan jahat”, dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) diartikan bahwa “dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas, dalam hal undang-undang menentukan demikian, saling bersepakat melakukan tindak pidana”;
5
5. Menyatakan bahwa Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) sebatas frasa “tindak pidana korupsi” bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai
“… tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14…” 6. Menyatakan bahwa Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) sebatas frasa “tindak pidana korupsi” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang tidak dimaknai “… tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14…” 7. Atau jika Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) sebatas frasa “tindak pidana korupsi” tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon kiranya
Majelis
Hakim
Konstitusi
agar
dapat
memberikan
tafsir
konstitusional terhadap Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150),
dengan
menyatakan
konstitusional
bersyarat
(conditionally
constitutional) diartikan bahwa “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, diancam dengan pidana yang sama dengan pasal-pasal tersebut”;
6
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
7