MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 43/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM, UNDANG-UNDANG NOMOR 50 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PIHAK TERKAIT (GMHJ) DAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT (MAHKAMAH AGUNG) (VIII)
JAKARTA SELASA, 11 AGUSTUS 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 43/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum [Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3)], Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama [Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3), dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara [Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Imam Soebechi Suhadi Abdul Manan Yulius Burhan Dahlan Soeroso Ono, dkk.
ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Pihak Terkait (GMHJ) dan Keterangan Pihak Terkait (Mahkamah Agung) (VIII) Selasa, 28 Agustus 2015 Pukul 11.10 – 12.50 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Anwar Usman Maria Farida Indrati Patrialis Akbar Suhartoyo Wahiduddin Adams I Dewa Gede Palguna Manahan MP Sitompul
Ida Ria Tambunan
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Imam Soebechi B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Teguh Satya Bhakti 2. M. Fauzan S. Bhakti C. Ahli dari Pemohon: 1. Yusril Ihza Mahendra D. Pemerintah: 1. Heni Susila Wardoyo 2. Rita Adriani E. DPR: 1. Agus Trimorowulan F. Pihak Terkait (FKHK): 1. Victor Santoso Tandiasa 2. Saefudin Firdaus G. Pihak Terkait (GMHJ): 1. Lintar Fauzi 2. Wahyu Ningsih 3. Aditya Rahman H. Pihak Terkait (KY): 1. Taufiqurrohman Syahuri 2. M. Selamat Jupri 3. Rohmah I.
Pihak Terkait (MA): 1. M. Syarifuddin
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.10 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalammualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Untuk Sidang Perkara Nomor 43, ya mudah-mudahan ini sidang yang terakhir. Dipersilakan pada Pemohon untuk memperkenalkan siapa saja yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. FAUZAN S. BHAKTI Terima kasih, Yang Mulia. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang saya muliakan, perkenankan kami memperkenalkan yang hadir pada sidang hari ini Pemohon Prinsipal Dr. ... Yang Mulia Dr. H. Imam Soebechi, S.H., M.H., Ketua Umum Pusat ... Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia. Kuasa Pemohon Dr. H. Muhammad Fauzan. Dua, Teguh Satya Bhakti. Pihak Terkait langsung dari Mahkamah Agung, pertama, Yang Mulia Bapak Dr. H. Syarifuddin, S.H., M.H., Hakim Agung Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Saksi Ahli dan Pelaku Sejarah dari Pihak Terkait Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yang Mulia Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.S. Terima kasih.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Kuasa Presiden, silakan.
4.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Terima kasih, Yang Mulia. Assalammualaikum wr. wb. Kami hadir, di sebalah kiri, Saudari Rita. Dan kami sendiri Heni Susila Wardoyo. Terima kasih.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Pihak Terkait Komisi Yudisial?
1
6.
PIHAK TERKAIT: M. SELAMAT JUPRI (KY) Assalammualaikum wr. wb. Izin, Yang Mulia, yang hadir pada saat hari ini Dr. Taufiqurrohman Syahuri selaku bidang ... Ketua Bidang Rekrutmen Hakim. Dan saya sendiri, M. Selamat Jupri, dan sebalah kanan saya (rekaman sidang terputus).
7.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, dari Pihak Terkait GMHJ?
8.
PIHAK TERKAIT: LINTAR FAUZI (GMHJ) Assalammualaikum wr. wb. Dari GMHJ Jakarta, saya sendiri hadir sebagai Koordinator Umum GMHJ Jakarta, Lintar Fauzi dan rekan saya, Wahyu Ningsih, sebagai Ketua Kajian Gerak Mahasiswa Hukum Jakarta, dan Aditya Rahman sebagai Anggota Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta. Terima kasih, Yang Mulia.
9.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, dari Pihak Terkait Mahkamah Agung walaupun tadi sudah disampaikan oleh Pemohon. Silakan.
10.
PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD SYARIFUDDIN (MA) Terima kasih, Yang Mulia. Kami Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H., Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung. Mewakili pihak yang terkait pada hari ini juga kami membawa Ahli sekaligus fakta sejarah, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, yang nanti pada saatnya mohon kesediannya untuk didengar keterangannya. Terima kasih.
11.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Agenda persidangan hari ini ya sebenarnya di samping mendengarkan keterangan Pihak Terkait Mahkamah Agung, juga mendengar ahli dari GMHJ. GMHJ enggak ada ahlinya?
12.
PIHAK TERKAIT: LINTAR FAUZI (GMHJ) Tidak ada, Yang Mulia.
2
13.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Untuk Pihak Terkait Mahkamah Agung, dipersilakan untuk menyampaikan keterangan terlebih dahulu sebelum kita dengar keterangan ahli. Silakan.
14.
PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD SYARIFUDDIN (MA) Assalammualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita sekalian. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, Para Pemohon dan Kuasa Hukumnya yang saya cintai, Pemerintah, dan DPR Republik Indonesia yang saya hormati, Pihak Terkait yang saya hormati, Hadirin sekalian yang saya muliakan. Perkenankan saya Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H., Hakim Agung Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia selaku Kuasa Hukum yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mewakili untuk dan atas nama Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pihak Terkait langsung dalam perkara a quo, menyampaikan ucapan terima kasih kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah menyidangkan perkara ini dengan cara seksama dan sangat mengesankan. Saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia karena mulai sidang yang lalu saya telah diperkenankan hadir mengikuti jalannya persidangan sebagai Pihak Terkait langsung dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam forum persidangan yang mulia ini, perkenankan saya menyampaikan keterangan sebagai Pihak Terkait mewakili Mahkamah Agung Republik Indonesia atas permohonan pengujian ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Ketentuan Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP Ikahi) selaku Pemohon sebagai berikut. Pihak Terkait Mahkamah Agung Republik Indonesia mendukung penuh dan mengambil alih dalil-dalil dan petitum permohonan Pemohon dalam Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015 perihal pengujian materiil norma Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 3
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, norma Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan norma Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim yang kami muliakan, Mahkamah Agung Republik Indonesia memaknai norma pasal tersebut dalam konteks pengalaman rekrutmen hakim pengadilan tingkat pertama yang telah dilaksanakan Mahkamah Agung beberapa kali sejak penyatuatapan sistem peradilan di bawah Mahkamah Agung tahun 2004 berdasaran Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang teknis operasionalnya dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Maka sejak saat itu, norma dalam objek perkara a quo Mahkamah Agung memaknai proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, bukan seleksi pengangkatan calon pengangkatan hakim. Sebab seleksi pengangkatan calon hakim selama ini dilakukan Mahkamah Agung selalu dimulai dengan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus seleksi CPNS, kemudian mengikuti pendidikan calon hakim atau diklat cakim selama 2 tahun 6 bulan. Apabila dinyatakan lulus oleh rapat pleno, maka yang bersangkutan diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Negara untuk diangkat menjadi hakim. Bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus pendidikan calon hakim, mereka menjadi PNS sebagai staf di lingkungan peradilan. Demikianlah Mahkamah Agung memaknai dan melaksanakan mekanisme proses seleksi calon hakim yang berlaku sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Mekanisme seleksi calon hakim tersebut didasarkan pula kepada fakta bahwa sistem pembinaan jenjang kepegawaian dan kepangkatan hakim masih dilakukan secara regular mengikuti jenjang kenaikan pangkat PNS yaitu 4 tahun sekali kenaikan pangkat. Penggajian selama calon hakim masih mengikuti standar penggajian calon PNS. Pada tahun 2010 Mahkamah Agung RI telah melakukan seleksi calon PNS calon hakim dan telah menjaring sebanyak 216 peserta yang dinyatakan lulus. Selanjutnya dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan teori dan magang, praktik di kampus 4
Pusat Pendidikan, Dan Pelatihan, Dan Penelitian, Dan Pengembangan Hukum, Dan Peradilan (Pusdiklatumdil) Mahkamah Agung Republik Indonesia selama 2 tahun 6 bulan, termasuk waktu pendidikan magang di pengadilan yang ditunjuk. Proses seleksi calon PNS calon hakim tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena Komisi Yudisial, baik secara anggaran biaya dan nomenklatur kewenangan pengangkatan calon PNS calon hakim tidak tersedia untuk itu. Mahkamah Agung melibatkan Komisi Yudisial untuk mengajar materi diklat, kode etik, dan pedoman perilaku hakim (KE dan PPH). Melakukan pengawasan pelaksanaan diklat calon hakim, serta memantau jalannya proses magang para calon hakim di pengadilan yang ditunjuk sebagai tempat magang. Kemudian di akhir pelaksanaan diklat calon hakim, Kepala Badan Puslitbangkumdil Mahkamah Agung menyelenggarakan rapat pleno yang anggotanya terdiri dari Mahkamah Agung, Pusdiklat Mahkamah Agung, direktur jenderal terkait, dan Komisi Yudisial untuk menentukan kelulusan para peserta diklat calon hakim. Perlu disampaikan bahwa dalam rapat pleno penentuan kelulusan peserta diklat calon hakim untuk menjadi hakim, Komisi Yudisial setelah diundang dengan surat undangan resmi sebanyak 5 kali untuk menghadiri rapat pleno, tetapi Komisi Yudisial tidak hadir dengan alasan tetap minta agar diikutsertakan dalam seleksi calon hakim sejak penerimaan calon PNS calon hakim. Peserta diklat calon hakim yang dinyatakan lulus oleh rapat pleno, selanjutnya oleh Ketua Mahkamah Agung RI mengusulkan mereka kepada Presiden RI untuk diangkat menjadi hakim. Bagi peserta diklat calon hakim yang dinyatakan tidak lulus, tidak diusulkan menjadi hakim, tetap berstatus sebagai PNS di pengadilan dalam lingkungan Mahkamah Agung RI. Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa proses seleksi CPNS calon hakim tersebut sudah benar dan mereka yang telah diusulkan oleh Mahkamah Agung RI kepada Presiden telah pula disetujui dan diterbitkan SK hakimnya. Maka selanjutnya oleh direktur jenderal masing-masing peradilan menerbitkan surat keputusan penempatan sebagai hakim di pengadilan di seluruh Indonesia, mengingat kebutuhan hakim yang sangat mendesak. Komisi Yudisial Republik Indonesia tetap mengusik Mahkamah Agung dengan menyatakan bahwa proses seleksi PNS calon hakim tersebut tidak sah. Maka Mahkamah Agung mengambil jalan keluar dengan mengadakan pertemuan dengan Komisi Yudisial dan menghasilkan peraturan bersama MA dan KY, maka terbitlah Peraturan Bersama Nomor 01/PB/MA/9/2012 tanggal 27 September 2012, untuk mengesahkan proses seleksi calon hakim yang dilakukan Mahkamah Agung tahun 2010, dan KY tidak lagi mempersoalkan keabsahan proses seleksi calon hakim yang berlangsung pada tahun 2010 tersebut. 5
Sejak saat itu, Mahkamah Agung tidak pernah lagi melakukan proses seleksi calon hakim karena Komisi Yudisial tetap menuntut agar proses seleksi calon hakim dilakukan Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial, yaitu sejak penerimaan calon pegawai negeri sipil calon hakim, pahadal KY tidak memiliki anggaran biaya untuk seleksi CPNS calon hakim karena tidak ada nomenklatur untuk itu, maka norma objek perkara a quo tidak bisa diimplementasikan di lapangan. Dampak riil sejak tahun 2010 sampai sekarang yang telah berlangsung 5 tahun, Mahkamah Agung kekurangan hakim untuk 3 lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara sebanyak 1.500 orang hakim, dan berdampak langsung kepada pelayanan penegakkan hukum dan keadilan kepada masyarakat. Kondisi ini sangat membahayakan hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, “menerima, memeriksa, dan menyelesaikan perkara yang diajukan ke pengadilan.” Karena tidak seimbangnya antara beban tugas pelayanan yagn harus dilaksanakan dengan jumlah hakim yang ada. Seiring dengan itu, jumlah hakim yang harus memasuki usia pensiun tidak dapat dibendung lagi. Majelis Hakim yang saya muliakan. Tentang hubungan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Komisi Yudisial. Sebagaimana diharapkan oleh Yang Mulia Bapak Patrialis Akbar sebagai informasi, maka dapat disampaikan beberapa tanggapan Bapak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia terkini saat diwawancarai wartawan dan telah dimuat di beberapa media tanggal 5 Agustus 2015 di Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI setelah selesai melantik beberapa Hakim Agung yang lalu. Beliau menyatakan sebagai berikut, “Mahkamah Agung Republik Indonesia menganggap adanya aturan keterlibatan lembaga lain (Komisi Yudisial) dalam seleksi pengangkatan hakim mengganggu proses regenerasi hakim lantaran selama 5 tahun terakhir tidak bisa melaksanakan rekrutmen calon hakim. Penundaan selama 5 tahun ini disebabkan MA dan KY seringkali berbeda pandangan dalam persoalan ini. Hingga akhirnya Ikahi membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi sejak Maret lalu. Tenaga hakim di daerah terutama di pengadilan kelas II sangat kekurangan karena selama 5 tahun terakhir Mahakamah Agung dan KY sering beda pandangan. Padahal dulu-dulu tidak pernah seperti ini, makanya proses pemindahan (promosi dan mutasi) hakim sementara kita tunda. Mengatasi persoalan ini, Mahkamah Agung akan berupaya melakukan proses pengadaan calon hakim pada tahun ini dengan memberikan berbagai undang-undang yang menjadi landasan dan pertimbangan agar rekrutmen hakim wewenang seperti dulu menjadi wewenang Mahkamah Agung.” Menurut Beliau, “Keterlibatan lembaga lain dalam seleksi penerimaan calon hakim sebagai bentuk intervensi terhadap badan peradilan yang berujung mengganggu independency hakim yang dijamin 6
konstitusi. Soalnya, bukan tidak mungkin keterlibatan lembaga lain dalam proses seleksi hakim akan memunculkan sikap utang budi dari kalangan para hakim. Coba bayangkan kalau ada lembaga lain yang mengurusi masalah rekrutmen hakim, apakah itu bukan bentuk intervensi? Saya khawatir, hakim terpilih akan merasa berutang budi pada lembaga lain. Utang ini nantinya akan memengaruhi independency hakim dalam menyelesaikan perkara. Selain itu, bukan tidak mungkin pula lembaga yang terlibat dalam seleksi penerimaan hakim justru memiliki konflik perkara atau sengketa di pengadilan yang akan mengganggu independency hakim.” Secara historis, Beliau menyatakan bahwa awalnya kewenangan rekrutmen hakim memang menjadi kewenangan lain, dalam hal ini Departemen Kehakiman. Namun, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai amanat TAP MPR Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan, “Segala administrasi, organisasi, dan finansial pengadilan dialihkan sepenuhnya menjadi wewenang Mahkamah Agung.” Lima tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 atau sejak berlakunya UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman wewenang itu termasuk rekrutmen hakim diserahkan sepenuhnya ke Mahkamah Agung atau penyatuan satu atap. Penyaturan satu atap ini didasari agar independency atau pelaksanaan tugas Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya benarbenar terlepas dari campur tangan kekuasaan pemerintah atau eksekutif. Ini tuntutan reformasi. Jadi, saya tidak habis pikir kalau ada lembaga lain atau Komisi Yudisial yang menginginkan man, money, material ditarik lagi. Itu sangat berbahaya. Berarti ini akan kembali lagi kepada sebelum ada zaman reformasi. Pernyataan Bapak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut, merefleksikan betapa memperhatinkannya hubungan antara Mahkamah Agung dan KY. Faktanya, memang dalam perkara a quo sudah 5 tahun norma a quo tidak bisa dijalankan. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Komisi Yudisial pada sidang yang lalu yang menyatakan bahwa hubungan KY dengan Mahkamah Agung sangat harmonis dan produktif. Majelis Hakim Yang Mulia. Hubungan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam konteks implementasi objek norma perkara a quo semakin tidak jelas setelah rapat terpadu dengan Komisi Yudisial, Menpan RB, Kementerian Keuangan, dan Badan Kepegawaian Negara selama 3 kali rapat pertemuan, dalam rapat tersebut telah mengasilkan rumusan peraturan bersama proses seleksi calon hakim, tetapi belum bisa ditandatangani oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial karena masih tersisa persoalan krusial, yakni jika seleksi calon hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama-sama dengan KY, maka sejak awal harus 7
dimaknai bahwa seleksi akan menghasilkan calon hakim sebagai calon pejabat negara, bukan sebagai PNS. Persoalannya adalah tidak adanya nomenklatur regulasi sebagai dasar penggajian calon hakim sebagai calon pejabat negara dan siapa yang akan memberikan gaji kepada calon hakim sebagai calon pejabat negara selama mengikuti pendidikan selama 2 tahun 6 bulan? Pihak Menpan RB, dan Kementerian Keuangan, serta BKN yang hadir pada waktu itu tidak bisa memberikan solusi jalan keluar. Harus ada payung hukum teknis kepegawaian dan penggajian calon hakim sebagai calon pejabat negara. Karena regulasi yang ada tidak bisa digunakan sebagai dasar penggunaan anggaran penggajian calon hakim sebagai calon pejabat negara karena mata anggaran yang berbeda. Majelis Hakim yang saya muliakan. Langkah Pengurus Pusat Ikahi … PP Ikahi untuk melakukan uji materiil terhadap norma dalam perkara a quo, setelah berkonsultasi dan mempresentasikan alasan-alasannya, Mahkamah Agung sangat memahami dan merestui. Sebab Mahkamah Agung yang langsung merasakan betapa sulitnya untuk melakukan mutasi dan promosi hakim dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Keterangan para ahli yang telah dihadirkan Pemohon dan yang akan dihadirkan oleh Pihak Terkait Mahkamah Agung telah tepat dan benar. Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pihak Terkait mengambilalih sepenuhnya alasan-alasan dan pendapat para ahli tersebut. Dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kekuasaan kehakiman melakukan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tanpa kekuasaan kehakiman yang merdeka, badan-badan peradilan tidak bakal mungkin menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan constitutional given bagi badan-badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Guna dapat memproduk suatu undang-undang yang aspiratif, realistis, berdaya guna, dan sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak. Legislator dibekali open legal policy atau kebijakan hukum. Hal dimaksud dinamakan pula legislator discretion. Namun penggunaan open legal policy oleh legislator tidak boleh melintasi ambang batas constitutional state given bagi suatu badan kelembagaan. Institusi dan subjek hukum bagi larangan … bagai larangan mendorong bandul lonceng berayun terlalu jauh. Komisi Yudisial adalah salah satu lembaga konstitusi disertai given yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menetapkan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 8
Legislator tidak boleh melintasi ambang batas constitutional given menurut Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dimaksud. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak boleh dikurangi, ditambah, apalagi dinegasi atas dasar penggunaan open legal policy legislator. Konstitusi sama sekali tidak memberikan kewenangan konstitusional bagi Komisi Yudisial untuk turut serta dalam proses seleksi hakim. Menurut Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Komisi Yudisial hanya dalam 2 hal, yaitu: 1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Dan, 2. Kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Tugas KY mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan pengawasan eksternal terhadap hakim menurut Ahli Prof. Philipus yang dihadirkan oleh Komisi Yudisial menyatakan sebagai genus atas premis mayor, maka frasa kewenangan lain harus dimaknai sebagai tugas-tugas turunan dari genus tersebut. Antara lain menyusun pola manajemen, pengusulan Hakim Agung, pola manajemen pengawasan hakim yang efektif, metode interogasi kepada hakim yang melanggar kode etik, menyusun blue print tentang arah pembinaan pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial ke depan, dan lain-lain. Bukan menciptakan genus-genus lain yang melampaui tugas-tugas konstitusi yang telah diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Hakim sebagai pejabat negara tidak bisa disamakan dengan pejabat negara seperti anggota DPR, sebagaimana pendapat ahli dalam sidang yang lalu. Sebab menjadi anggota DPR tidak ada proses seleksi dan keharusan mengikuti pendidikan selama 2 tahun 6 bulan sebelum diangkat sebagai hakim. Pihak Terkait dari Komisi Yudisial yang selalu mempertanyakan apakah Mahkamah Agung yang melaksanakan seleksi PNS calon hakim yang tidak diatur dalam konstitusi itu melanggar Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak? Apakah KY bersama dengan Mahkamah Agung juga tidak diatur dalam konstitusi, melanggar Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak? Dalam hal ini KY lupa bahwa sejatinya sejak berlakunya sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2004 berdasarkan Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang teknis operasionalnya dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2004, maka sejak saat itu proses 9
seleksi penerimaan calon hakim di lingkungan peradilan umum, agama, dan TUN telah dilakukan sebagai salah satu tugas pokok Mahkamah Agung yang didukung dengan nomenklatur dan anggaran dana yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan adalah bagian dari tugas pokok Mahkamah Agung. Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia juga mempunyai komisi kejaksaan dan komisi kepolisian, tetapi hanya menjalankan tugas pengawasan dan praktik seleksi rekrutmen SDM di lingkungan kejaksaan dan kepolisian juga dilakukan sendiri oleh kejaksaan dan kepolisian, berdasarkan nomenklatur dan anggaran biaya yang telah disiapkan oleh negara. Kementerian, kelembagaan, dan di lingkungan Komisi Yudisial sendiri juga melakukan rekrutmen sendiri sepanjang ada nomenklatur dan anggaran biaya untuk itu. Sesungguhnya Mahkamah Agung Republik Indonesia menerima dengan baik kehadiran KY sebagai lembaga pengawasan eksternal terhadap hakim sepanjang dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan sesuai dengan amanat konstitusi. Majelis Hakim yang kami muliakan. Dalam konteks menjalankan tugas pengawasan perilaku hakim, secara empirik hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berjalan dengan baik sepanjang itu mengenai pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim atau KE dan PPH. Mahkamah Agung pasti menerima rekomendasi hasil pemeriksaan KY untuk ditindaklanjuti dengan surat keputusan penjatuhan sanksi. Sebagai bukti kesungguhan Mahkamah Agung menerima dengan baik kehadiran Komisi Yudisial sepanjang sesuai dengan tugas yang diberikan konstitusi adalah telah ditandata … ditandai dengan lahirnya beberapa peraturan tentang pelaksanaan pengawasan KE dan PPH dan berulang kali dilakukan sidang majelis kehormatan hakim untuk melakukan pemeriksaan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam hal terjadi pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hakim yang direkomendasikan diberhentikan melalui majelis kehormatan hakim, maka rekomendasi tersebut oleh Mahkamah Agung langsung ditindaklanjuti meskipun yang diperiksa itu Hakim Agung sekalipun. Karena memang tugas pengawasan yang dijalankan KY sesuai dengan konstitusi. Tidak ada satu pun rekomendasi hasil pemeriksaan KY yang diajukan ke Mahkamah Agung yang ditolak oleh Mahkamah Agung sepanjang itu mengenai pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Namun, dalam hal KY menjalankan tugas, melampaui wewenang yang diberikan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, misalnya KY melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran teknis yudisial dalam pelaksanaannya telah diatur dalam peraturan bersama bahwa KY tidak berwenang melakukan pemeriksaan terhadap teknis yudisial. Jika ada pengaduan yang diduga melanggar teknis yustisial agar diserahkan ke Mahkamah Agung karena menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Jika 10
ada pengaduan yang di dalamnya di samping masalah pelanggaran teknis yustisial, juga ada dugaan pelanggaran kode etik lainnya, ditentukan bahwa KY mengusulkan kepada Mahkamah Agung untuk dilakukan pemeriksaan bersama antara KY dan Mahkamah Agung, atau menyerahkan pengaduan tersebut kepada Mahkamah Agung. Akan tetapi, kenyataannya KY melakukan pemeriksaan sendiri terhadap pelanggaran teknis yustisial, bahkan mengajukan rekomendasi agar hakim yang mengadili perkara tersebut untuk dijatuhi hukuman disiplin tentu tidak dapat dilaksanakan oleh Mahkamah Agung karena melanggar independency hakim yang dijamin kemerdekaannya dalam konstitusi dan bertentangan pula dengan peraturan bersama yang telah disepakati. Hal tersebut menjadi persoalan sendiri antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial karena Komisi Yudisial memeriksa kembali putusan yang telah dijatuhkan, bahkan memanggil para ahli untuk diperiksa dan didengar keterangannya untuk menguji pendapat hakim dalam putusan. Hal ini sama sekali tidak diperkenankan karena kemerdekaan hakim dalam menjalankan tugas mengadili dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Jika diduga ada sesuatu di balik putusan hakim, maka sesuatu itu yang dibuktikan, bukan malah putusannya yang diuji dan hakimnya yang disalahkan. Majelis Hakim Yang Mulia, pendapat ahli terkait … kami ulangi, pendapat Ahli Pihak Terkait dari Komisi Yudisial yang disampaikan dalam sidang yang lalu bahwa banyak anak okmun pejabat peradilan yang menjadi hakim. Pernyataan ini tendensius. Apakah kalau anak pejabat peradilan itu pintar dan lulus seleksi calon hakim, itu salah? Tentu tidak. Sama dengan anak pejabat pada instansi yang lain. Apakah kalau anak mereka pintar dan ternyata lulus seleksi CPNS yang diselenggarakan instansi tempat orang tuanya bekerja, apakah itu juga salah? Tentu juga tidak. Karena pelarangan justru melanggar asas dasar hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen Kedua. Mahkamah Agung RI sejak 2 tahun lalu telah menggunakan Computer Assisted Test (CAT) system yang dikoordinir oleh Menpan, maka kecil kemungkinan adanya penyimpangan. Karena peserta pada saat itu sesaat selesai mengerjakan soal, hasil lulus tidaknya langsung dapat diketahui secara otomatis. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, keterangan ahli dan buktibukti yang telah diajukan Pemohon dan Pihak Terkait (Mahkamah Agung), maka Pihak Terkait langsung atas nama Mahkamah Agung RI memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
11
Demikian, keterangan dan permohonan Pihak Terkait (Mahkamah Agung Republik Indonesia). Terima kasih atas perkenaan dan perhatiannya. Demikian, Yang Mulia, keterangan dari Pihak Terkait (Mahkamah Agung). Selanjutnya, kami mohon perkenaan Yang Mulia, kami telah membawa Ahli sekaligus saksi fakta sejarah. Kami mohon perkenaanya untuk didengar keterangannya. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 15.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih. Selanjutnya, kepada Ahli Prof. Yusril untuk bisa ke depan, diambil sumpahnya dulu. Mohon kesediaan, Yang Mulia Pak Wahiduddin, untuk mengambil sumpah.
16.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Kepada Ahli untuk mengikuti lafal yang saya ucapkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya”.
17.
AHLI DARI PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
18.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. mohon kembali ke tempat. Dan atau langsung ke podium untuk memberikan keterangan.
19.
AHLI DARI PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Hadirin Hadirat Peserta sidang yang saya muliakan pula. Maksud dari Pemohon dalam perkara ini adalah memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas Pasal 14A ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 juncto Pasal 13A ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 juncto Pasal 14A Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berkenaan dengan frasa kata bersama serta frasa dan Komisi Yudisial, dalam ketiga pasal undang-undang tersebut terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon telah menerangkan bahwa Pemohon memiliki legal standing dalam 12
mengajukan permohonan dan telah pula mengemukakan argumenargumen konstitusional yang pada pokoknya berpendapat bahwa norma pasal undang-undang yang dimohonkan untuk diuji adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa bersama dan frasa dan Komisi Yudisial dalam ketiga pasal undang-undang a quo adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan sekaligus menyatakannya pula sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dari pokok permohonan yang saya ringkaskan tadi. Nyatalah bahwa Pemohon berpendapat bahwa kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama-sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara termasuk hakim tingginya adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan demikian, yang konstitusional menurut Pemohon adalah seluruh proses seleksi pengangkatan hakim di 3 lingkungan Peradilan itu, sepenuhnya ada di tangan Mahkamah Agung tanpa bersama-sama dengan Komisi Yudisial. Kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana kita maklum telah diatur dengan jelas di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan penegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana dirumuskan dalam pasal ini adalah limitatif, tidak lebih dan tidak kurang. Dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk memperluas kewenangan Komisi Yudisial, kecuali apa yang secara tegas telah dinyatakan di dalam norma Pasal 24B ayat (1) tersebut. Perintah konstitusi untuk merumuskan secara lebih detail terkait dengan Komisi Yudisial bukanlah mengenai kewenangannya, melainkan berkaitan dengan susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang, sebagaimana dirumuskan oleh norma Pasal 24B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rumusan norma Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sejauh menyangkut wewenang Komisi Yudisial dalam mengusulkan pengangkatan hakim, hanyalah terbatas dalam mengusulkan calon-calon Hakim Agung. Oleh karena itu, ketika kami selaku Menteri Kehakiman dan HAM mendraft rancangan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2002, sama sekali tidak terlintas dalam pikiran kami untuk memperluas Komisi Yudisial dalam proses seleksi CalonCalon Hakim Mahkamah Konstitusi. 13
Gagasan kami pada waktu itu adalah dari Sembilan Hakim Konstitusi, maka 3 calon diusulkan oleh Presiden, 3 oleh Mahkamah Agung, dan 3 lagi oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana tetap berlangsung sampai sekarang. Demikian pula dalam hal seleksi para hakim tingkat pertama dan tingkat banding pada semua lingkungan badan peradilan tidak terpikirkan untuk memperluas kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama-sama dengan Mahkamah Agung melakukan seleksi pengangkatan para hakim tersebut. Perubahan-perubahan yang melibatkan Komisi Yudisial itu baru terjadi pada tahun 2009, ketika dilakukan amandemen terhadap ketiga undang-undang yang mengatur badan peradilan umum, agama, dan tata usaha negara. Bahwa memang benar adanya selama proses Pembahasan Amandemen Tahap Kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terdapat beberapa Anggota MPR, antara lain Harjono, Yakub Tobing, dan Hamdan Zoelva yang membahas kemungkinan Komisi Yudisial untuk menyeleksi calon hakim tingkat pertama dan tingkat banding. Namun, usulan-usulan mereka tidak disepakati oleh panitia ad hoc maupun oleh Sidang Paripurna Majelis Permusrawaratan Rakyat. Apa yang disepakati adalah kewenangan Komisi Yudisial hanyalah dalam proses seleksi Hakim Agung saja, tidak hakim-hakim yang lain. Semangat yang menggelora di tahun-tahun pertama reformasi sejauh menyangkut badan peradilan dan ini telah dilakukan sejak tahun 1999 dengan adanya Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, amandemen pada waktu itu, dan TAP MPR Nomor 10, yaitu sejauh menyangkut badan peradilan adalah keharusan, kemandirian, dan kemerdekaan badan-badan peradilan, baik dalam hal organisasi, personil, dan keuangan, maupun kemerdekaan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu lah, pada tahun 2003 Departemen Kehakiman dan HAM mulai merancang undang-undang untuk menyatuatapkan badanbadan peradilan kepada Mahkamah Agung dengan konsekuensi, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, dan Markas Besar TNI tidak lagi menangani urusan organisasi, administrasi, personil, dan keuangan badan-badan peradilan yang kita warisi sejak Zaman Hindia Belanda, tapi menyerahkan seluruh kewenangan itu kepada Mahkamah Agung. Dengan penyerahan itu, pemerintah pada waktu itu berkeinginan agar badan-badan peradilan kita benar-benar mandiri dalam hal menentukan personil, mengurus organisasi, administrasi, dan anggaran, serta merdeka dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tanpa ada campur tangan dari pemerintah lagi. Dengan demikian, tidak akan terdengar lagi kalimat olok-olok yang sering dialamatkan kepada para hakim, yakni otaknya ada di bawah Mahkamah Agung tapi perutnya ada di bawah kontrol Departemen Kehakiman. 14
Saya selaku Menteri Kehakiman dan HAM pada waktu itu benarbenar ingin mengakhiri semua olok-olok yang kurang menyenangkan itu dan dalam kenyataannya memang membuahkan hasil. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan, mengapakah kemandirian badan-badan peradilan yang sudah tercipta di awal reformasi itu, tibatiba harus dicampurtangani lagi oleh Komisi Yudisial? Padahal kewenangannya telah jelas yakni mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, sementara kewenangan lainnya adalah dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Kalau sudah seperti ini, menambah-nambahi kewenangan menjadi lebih daripada apa yang secara limitatif diatur di dalam norma konstitusi dan mengaturnya dalam undang-undang adalah langkah yang inkonstitusional bertentangan dengan konstitusi, sehingga amatlah pantas bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakannya sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Tidaklah benar untuk mengatakan karena Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak melarang Komisi Yudisial untuk mengikuti … untuk ikut menjadi menyeleksi calon-calon hakim selain Hakim Agung, maka pengaturan demikian di tingkat undang-undang menjadi boleh adanya. Kalau konstitusi telah membatasi kewenangan, maka janganlah kiranya pembentuk undang-undang menambah-nambahi kewenangan yang sudah ada itu. Demikian pendapat saya, Yang Mulia. Atas perhatian Majelis Hakim Konstitusi saya ucapkan terima kasih. 20.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Terima kasih, Prof. Pada Pihak Terkait Mahkamah Agung, dari keterangan Ahli tadi, apakah ada hal-hal yang ditanyakan atau yang ingin didalami lebih lanjut? Silakan.
21.
PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD SYARIFUDDIN (MA) Kami merasa apa yang sudah disampaikan oleh Ahli tadi sudah cukup terang-benderang. Tidak ada yang perlu didalami lagi. Terima kasih.
22.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, jadi sudah cukup. Dari Pemohon, khusus pada Ahli ya, bukan dari Pihak Terkait Mahkamah Agung.
15
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. FAUZAN S. BHAKTI Terima kasih, Yang Mulia. Apa yang disampaikan oleh Ahli dan Pihak Terkait menambah terang dalil-dalil permohonan kami. Terima kasih.
24.
KETUA: ANWAR USMAN Jadi tidak ada yang perlu didalami lebih lanjut. Dari Kuasa Presiden?
25.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDAYA Baik, Yang Mulia. Terhadap penjelasan Ahli, Pemerintah pada dasarnya telah mencermati dan menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia untuk menilai. Terima kasih.
26.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Terima kasih. Dari Pihak Terkait Komisi Yudisial? Khusus keterangan dari Ahli ya, bukan dari Pihak Terkait.
27.
PIHAK TERKAIT: M. SELAMAT JUPRI (KY) Ada, Yang Mulia.
28.
KETUA: ANWAR USMAN Silakan.
29.
PIHAK TERKAIT: M. SELAMAT JUPRI (KY) Akan disampaikan oleh Pak (suara tidak terdengar jelas).
30.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Yang kami muliakan Pimpinan dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang saya hormati, guru saya Prof. Yusril Ihza Mahendra. Jadi mohon maaf Prof., kalau mungkin ada perbedaan pandangan di sini, ya. Ya, kata Imam Safe’i, “Kalau murid enggak beda dengan gurunya tidak terketal itu.” Jadi ini yang saya sampaikan. Yang pertama, perlu diingat kembali bahwa pengujian kali ini adalah pengujian undang-undang, jadi bukan sengketa kewenangan. Ini yang perlu kita ingatkan kembali. Jadi 16
persoalan-persoalan yang tidak konstitusional itu adalah kaitannya undang-undang dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jadi bukan masalah praktik, bukan masalah kesulitan praktik, dan sebagainya itu. Yang pertama ingin saya sampaikan bahwa seleksi pejabat negara itu beragam, ada yang dipilih langsung melalui pemilihan umum, ada yang dipilih tidak langsung melalui DPR, ada yang dibentuk pansel ad hoc, ada yang pansel tetap seperti seleksi pengangkatan hakim, ini termasuk pansel tetap karena panselnya adalah Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Jadi, Komisi Yudisial tidak ingin dalam hal ini tidak melaksanakan undang-undang, ya. Jadi, Komisi Yudisial hanya ingin melaksanakan undang-undang, yang di mana dalam undang-undang itu disebutkan bahwa KY bersama Mahkamah Agung melakukan seleksi pengangkatan hakim. Kenapa itu bisa muncul? Pertanyaan yang sama, kenapa bisa muncul juga kewenangan seleksi pengangkatan hakim di Mahkamah Agung? Kalau pertanyaan pada KY itu adalah kenapa bisa muncul, tapi pertanyaan yang sama juga … dan kalau kita melihat di Undang-Undang Dasar Pasal 24 sampai Pasal 24B, ya, sama sekali tidak disebut, pertama kewenangan seleksi pengangkatan hakim, yang kedua keuangan, yang ketiga organisasi, dan yang keempat tentang pengawasan etik. Itu sama sekali tidak disebut di dalam konstitusi di Pasal 24 sampai 24B untuk Mahkamah Agung. Lalu kenapa kewenangan-kewenangan itu muncul? Karena undang-undang, ya. Jadi karena Undang-Undang Kehakiman itu muncul. Sama, kenapa kewenangan seleksi pengangkatan hakim muncul? Karena kewenangan undang-undang. Bukan di Undang-Undang Dasar Tahun 1945, enggak ada di Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sama seperti Mahkamah Agung. Jadi, logika limitatif ini sangat tidak benar, bahkan di dalam pemilihan kepala daerah wakil gubernur, wakil bupati, wakil walikota sama sekali tidak disebut. Kenapa ada? Karena undang-undang mengatur seperti itu. Jadi, sekali lagi karena undang-undang. Mahkamah Agung punya kewenangan keuangan, punya kewenangan organisasi, punya kewenangan seleksi pengangkatan hakim, bukan karena UndangUndang Dasar Tahun 1945, tidak ada sama sekali, tapi karena undangundang. Ini yang pertama. Kemudian mengenai regenerasi, ya. Justru KY menyalahkan Mahkamah Agung, ya. Dengan adanya undang-undang, tiga undangundang itu, KY sudah berusaha, ya, untuk melakukan tahapan-tahapan seleksi (suara tidak terdengar jelas). KY sudah membentuk klinik etik di perguruan tinggi. Ada 6 perguruan tinggi yang dibentuk oleh KY, klinik etik. Apa klinik etik itu? Mencari bibit-bibit hakim yang unggul. Kami sudah kerja sama dengan 6 perguruan tinggi dan sudah ada calon-calon hakim ya yang IP-nya itu 3,5. Nah, dengan IP yang tinggi itu, kenapa KY sampai ke sana? Ya karena di situ ada wewenang lain dalam rangka menjaga. Menjaga ini bisa dimulai dari bibit-bibit hakim, bukan setelah 17
hanya menjadi hakim. Pada waktu menjadi bibit-bibit itulah KY menjaga bibit itu. KY menjaga bayi-bayi yang akan lahir itu supaya bayi itu sehat sehingga bayi itu apa tahan terhadap virus yang jahat. 31.
KETUA: ANWAR USMAN Jadi, Pihak Terkait (…)
32.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Itu yang ingin saya sampaikan. Saya membantah tadi pernyataan (…)
33.
KETUA: ANWAR USMAN Pernyataan dari?
34.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Dari Mahkamah Agung.
35.
KETUA: ANWAR USMAN Enggak.
36.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Mahkamah Agung.
37.
KETUA: ANWAR USMAN Jadi, tadi jadi saya garis bawahi jadi yang didalami itu keterangan Ahli.
38.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Oke, baik.
39.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan. Apa yang ditanyakan? Langsung saja.
40.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Jadi, biarlah nanti Majelis yang menilai. 18
41.
KETUA: ANWAR USMAN Nanti bisa dituangkan di dalam kesimpulan nanti, ya.
42.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Kesimpulan, baik.
43.
KETUA: ANWAR USMAN Silakan ke keterangan Ahli.
44.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Ya. Kemudian tadi mengenai masalah limitatif sudah saya jelaskan. Keterangan Ahli hanya itu saja saya lihat ya yang terkait dengan limitatif dan mengenai histories ini mungkin pada Ahli, kemarin sudah banyak diceritakan, apakah dalam pembentukan Pasal 24C itu muncul pemikiran-pemikiran yang terkait juga dengan masalah seleksi pengangkatan hakim yang juga diberikan kepada Komisi Yudisial, tapi sebetulnya keterangan histories itu enggak begitu penting, ya. Yang penting adalah apakah bertentangan, gitu, seleksi pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan oleh Komisi Yudisial? Jadi, saya mohon supaya objektif pertanyaan saya, apakah seleksi pengangkatan hakim itu yang diatur di dalam undang-undang, tiga undang-undang ini, bertentangan dilakukan oleh Komisi Yudisial maupun oleh Mahkamah Agung karena sama sekali tidak disebut di dalam konstitusi? Itu saja. Terima kasih.
45.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Terima kasih. Selanjutnya yang terakhir dari GMHJ. Silakan. Khusus untuk keterangan Ahli ya, kepada Ahli bukan kepada Pihak Terkait kalau mau di dalami. Silakan.
46.
PIHAK TERKAIT: LINTAR FAUZI (GMHJ) Mungkin ada yang saya mau tanggapi sedikit, tapi keluar dari sedikit substansi. Saya ingin (…)
47.
KETUA: ANWAR USMAN Enggak, langsung saja apa yang (…)
19
48.
PIHAK TERKAIT: LINTAR FAUZI (GMHJ) Saya ingin menanyakan (…)
49.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar. Apa yang disampaikan oleh Ahli tadi. Keterangan. Sepanjang itu saja jangan melebar ke mana-mana.
50.
PIHAK TERKAIT: LINTAR FAUZI (GMHJ) Oh ya, cukup, Yang Mulia, untuk mengenai itu.
51.
KETUA: ANWAR USMAN Ha?
52.
PIHAK TERKAIT: LINTAR FAUZI (GMHJ) Mengenai itu kalau dari saya sih cukup, Yang Mulia.
53.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, cukup.
54.
PIHAK TERKAIT: LINTAR FAUZI (GMHJ) Cuma ada dari Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta ada yang ingin disampaikan masalah terkait conflict interest yang kemarin kita tahu bahwa Pemohon ini adalah dari Ikahi dan ada (…)
55.
KETUA: ANWAR USMAN Lho, kemarin kan sudah ditanggapi oleh (…)
56.
PIHAK TERKAIT: LINTAR FAUZI (GMHJ) Saya ingin tanya pendapat dari Ahli … dari Prof.
57.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, yang itu, itu.
20
58.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Izin, Yang Mulia.
59.
KETUA: ANWAR USMAN Jadi, gini dari Mahkamah Agung kan permintaan dari Mahkamah itu dari MK, ya. Ya sudah cukup enggak usah ditanggapi. Baik, kalau memang tidak ada yang ingin ditanyakan (...)
60.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Izin, Yang Mulia.
61.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Ikahi?
62.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Mohon izin, Yang Mulia. Kami tadi sudah diberikan kesempatan sama Yang Mulia, namun kami tidak menggunakannya, namun setelah Komisi Yudisial memberikan keterangan ahli, kami mohon izin untuk diberikan kesempatan untuk menanggapi tentang keterangan ahli.
63.
KETUA: ANWAR USMAN Keterangan ahli dari?
64.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Pihak Terkait.
65.
KETUA: ANWAR USMAN Enggak (...)
66.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Oh, ya. Untuk menanggapi (...)
67.
KETUA: ANWAR USMAN Khusus untuk keterangan ahli, ya.
21
68.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Baik, Yang Mulia.
69.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
70.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Terima kasih, Yang Mulia. Pada kesempatan ini kami ingin mengundang perhatian Ahli mengenai asbabun nuzul, sebagaimana kita ketahui asbabun nuzul itu adalah ilmu yang mempelajari dan membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab terjadinya sesuatu hal yang tujuannya untuk menemukan tafsir mengungkap makna guna memahami sesuatu hal tersebut secara komprehensif. Atas dasar itu, Yang Mulia, Para Pemohon memaknai atau berpendapat bahwa asbabun nuzul pembentukan Komisi Yudisial dalam konstitusi ini adalah untuk mengawasi kekuasaan kehakiman. Mengawasi bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman (...)
71.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Maaf, Pak.
72.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Namun demikian (...)
73.
PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Maaf, Pak. Kalau boleh saya interupsi, itu sepertinya menanggapi Pihak Terkait. Saya tadi menanggapi Pihak Terkait (...)
74.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar, sebentar.
75.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Yang Mulia, namun pengawasan di sini haruslah dipahami.
22
76.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar. Enggak. Begini langsung saja apa yang ingin di ... jadi untuk … sama dari Pihak Terkait tidak boleh langsung potong, nanti Majelis akan menilai. Langsung saja apa yang ingin ditanyakan.
77.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Baik, Yang Mulia.
78.
KETUA: ANWAR USMAN Silakan.
79.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Ini mengenai pemahaman Para Pemohon, mengenai asbabun nuzul pembentukan Komisi Yudisial dalam konstitusi.
80.
KETUA: ANWAR USMAN Enggak usah ke belakang lagi. Langsung saja pendapat Ahli bagaimana?
81.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Ya.
82.
KETUA: ANWAR USMAN Kalau mau didalami dari keterangan Ahli.
83.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Baik, Yang Mulia.
84.
KETUA: ANWAR USMAN Silakan.
85.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Untuk sementara itu saja, Yang Mulia. Karena ada perkembangan pendapat mengenai … karena setelah Komisi Yudisial memberikan (...)
23
86.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, enggak usah, enggak usah.
87.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Baik, Yang Mulia.
88.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik.
89.
KUASA HUKUM PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI Terima kasih, Yang Mulia.
90.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, cukuplah, cukup.
91.
PIHAK TERKAIT: VIKTOR SANTOSO TANDIASA (FKHK) Dari FKHK, Yang Mulia, Pihak Terkait, izin. FKHK Pihak Terkait belum diberikan kesempatan, Yang Mulia.
92.
KETUA: ANWAR USMAN Lho, tadi katanya?
93.
PIHAK TERKAIT: VIKTOR SANTOSO TANDIASA (FKHK) Tadi GMHJ, Yang Mulia.
94.
KETUA: ANWAR USMAN Ha?
95.
PIHAK TERKAIT: VIKTOR SANTOSO TANDIASA (FKHK) Pihak Terkait ada (...)
96.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya, ya, baik.
24
97.
PIHAK TERKAIT: VIKTOR SANTOSO TANDIASA (FKHK) Enggak, ini terkait dengan keterangan Ahli, tanggapan terkait dengan keterangan Ahli, Yang Mulia, dari FKHK. Sedikit, Yang Mulia
98.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar, sebentar. Baik, ya.
99.
PIHAK TERKAIT: VIKTOR SANTOSO TANDIASA (FKHK) Terima kasih.
100. KETUA: ANWAR USMAN Baik, silakan. 101. PIHAK TERKAIT: VIKTOR SANTOSO TANDIASA (FKHK) Viktor Santoso Tandiasa dari Ketua Umum Forum Kajian dan Hukum Konstitusi. Hanya satu persoalan yang ingin kami tanyakan ke Ahli, Prof. Yusril Ihza Mahendra, terkait dengan pemahaman frasa limitatif yang disampaikan dan juga terkait dengan open legal policy, dimana kalau kita mengacu pada Putusan Nomor 97, di situ Mahkamah sebenarnya sudah jelas menjelaskan terkait dengan limitatif dan open legal policy, artinya sehingga dalam Putusan Nomor 97, Mahkamah sudah menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah diatur secara limitatif oleh konstitusi, sehingga DPR tidak bisa atau pemerintah tidak bisa melakukan open legal policy karena nanti akan dianggap mengambil alih kewenangan MPR. Nah persoalanya kalau pemahaman itu diletakkan dalam kedudukan Komisi Yudisial, di sini jelas ada frasa wewenang lain, dimana ketika masuk dalam persoalan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan, di situ akan terjadi debatable yang begitu besar karena itu tidak bisa dikatakan sebagai frasa limitatif. Karena kalau misalkan kita mengacu kepada argumentasi yang disampaikan oleh Ahli, yang tadi disampaikan nanti akan berimplikasi kepada kewenangan KPU juga yang dipertanyakan bahwa KPU hanya limitatif mengangani pemilu tidak bisa menanggani pilkada. Nah, sehingga kemudian DPR tidak berhak memasukkan kewenangan pilkada menjadi kewenangan KPU, ini akan menjadi kisruh, Yang Mulia. Nah, sehingga kemudian itu harus ditanggapi secara bijak, bagaimana pemahaman terkait dengan frasa limitatif. Sehingga pendapat saya, apakah kemudian Ahli memandang bahwa wewenang lain ini begitu sempit di ... di apa ... dipahami, hanya dalam rangka untuk seleksi Hakim Agung. 25
Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 102. KETUA: ANWAR USMAN Baik, selanjutnya dari meja Hakim tentu untuk keterangan Pihak Terkait (MA) dan keterangan Ahli. Silakan. Ya, Yang Mulia Pak Patrialis. Silakan. 103. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Jadi saya harap dalam persidangan ini masing-masing kita mengeluarkan pendapat kita masing-masing dan tidak usah memberikan penilaian terhadap pendapat lain, sehingga forum ini bukanlah forum untuk menguji keterangan pihak-pihak yang memang diminta oleh Mahkamah. Jadi kita concern pada duduk persoalan yang kita sedang tangani. Saya mau memperdalam kepada Ahli Prof. Yusril. Di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.” Nah, salah satu yang dijelaskan oleh Ahli tadi dalam rangka kekuasaan kehakiman yang merdeka itu mulai dari saat ... pada saat Ahli menjadi menteri, pada saat itu mencoba untuk menyatuatapkan istilahnya tadi, meskipun perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kita setelah itu, tapi bibitnya kan memang sudah muncul ... muncul, ya, adanya keinginan untuk menyatuatapkan kekuasaan kehakiman. Bahkan tadi dikatakan agar Pemerintah tidak lagi ikut campur di dalam persoalan kekuasaan kehakiman. Pertanyaan saya adalah apakah dengan ikut sertanya Komisi Yudisial di dalam 3 undang-undang yang sudah disebutkan tadi dan undang-undang itu memang berlaku meskipun dalam persoalan implementasi ada persoalan besar yang disampaikan oleh Mahkamah Agung. Pertanyaan kami adalah apakah dengan ikut sertanya KY dalam seleksi calon hakim selain daripada mengusulkan pengangkatan Hakim Agung itu akan mengganggu independency kekuasaan kehakiman itu, ya, apakah itu akan mengganggu independency kekuasaan kehakiman? Itu satu. Yang kedua, kami ingin mendalami penafsiran konstitusional karena ini Ahli, khususnya Pasal 24B ayat (1). Di situ di ... ada dua hal pokok sebetulnya di dalam Pasal 24B ayat (1) itu, pertama adalah eksistensi Komisi Yudisial yang juga bersifat mandiri berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Jadi di sini pointers-nya adalah pada Hakim Agung. Tetapi dilanjutkan lagi dalam susbtansi kedua, yaitu ... dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 26
Jadi yang pertama fokus pada Hakim Agung, ya. Yang kedua, sudah general itu kepada hakim secara keseluruhan tanpa kecuali. Begitu juga dengan Pasal 25, konstitusi kita itu juga telah memberikan satu pemahaman bahwa di dalam Pasal 25 itu syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang, ini juga hakim secara keseluruhan. Nah, kami ingin pendalaman mengenai penafsiran konstitusional Pasal 24B itu, kenapa di satu sisi hanya menekankan pada mengusulkan pengangkatan hakim, tetapi pada sisi lain menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku ... hanya berhenti kepada hakim. Ada yang menafsirkan justru dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim itulah KY diberikan kesempatan untuk bersama-sama melakukan rekrutmen para hakim, apakah benar atau tidak seperti itu? Jadi kami mohon pemahaman ini atau memang karena sudah tegas rekrutmen hakim, pengangkatan Hakim Agung, ya sudah tidak boleh yang lain. Terima kasih. 104. KETUA: ANWAR USMAN Ya, berikut, Yang Mulia Pak Palguna. 105. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih. Saya mungkin satu pertanyaan untuk Ahli Prof. Yusril. Ini saya ingin pandangan Beliau tentang ... tentang begini. Kalau kita ikuti perdebatan ini, persidangan ini, terlepas tadi nanti bagaimana semua pihak menyikapinya, tampaknya ada dua pandangan ini, Prof. Satu pandangan yang menekankan kepada historical background, ya, dapat historis dari ketentuan ini atau original intens dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ini. Dan yang kedua yang mencoba mengkontekstualkan itu dengan ... dalam tanda petik ... dalam tanda petik “kebutuhan” seperti pandangan yang dianut oleh Komisi Yudisial dan Pihak Terkait. Nah, secara keilmuan dalam hal terjadi seperti itu, kita ada mengenal beberapa macam penafsiran kan, Prof., ya. Nah, dalam konteks seperti itu menurut Prof. Yusril, menurut Ahli Prof. Yusril, bagaimana seharusnya kita berpegang? Katakanlah secara akademik perlu diininya. Ke mana kita harus berpegang? Apakah kita akan berpengang pada original intents ataukah pada “kebutuhan” tadi itu? Nah, tentu ujung akhirnya kemudian adalah mana di antara penafsiran itu yang lebih dekat untuk bersesuaian dengan maunya konstitusi atau dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Itu saya untuk Prof. Yusril. Kalau hakim kan boleh ... anu ... ber ... menanya klarifikasi kepada Mahkamah Agung ya, Yang Mulia? 27
Ya, ya kepada Pihak Terkait Mahkamah Agung terima kasih atas keterangannya. Dari keterangan ini mudah-mudahan saya tidak keliru menyimpulkan, apa yang sesungguhnya menjadi masalah? Itu sebenarnya menurut saya setelah tadi mendengar keterangan Pihak Terkait itu adalah problem cara berkomuniskasi antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tampaknya yang tidak beres dalam kaitan ini. Bagaimana itu bisa terjadi? Nah, memang itu terkait dengan macammacam soal, salah satu mungkin problem ... karena dikatakan sebelumnya tidak pernah ada kejadian yang seperti ini, gitu ya. Nah ini, yang menjadi soal kemudian adalah penafsiran dari kedua lembaga ini yang berbeda. Ada penafsiran dari Mahkamah Agung, “Lho Komisi Yudisial kok mau ikut sejak seleksi CPNS? Padahal ini kan kaitannya dengan hakim.” Tapi Komisi Yudisial kemudian berharap ini dari bayi pun, dari calon bayi pun sudah harus kita ini, katanya, kita rawat karena itu kaitannya ke ... mungkin ini juga bisa disampaikan oleh Prof. Yusril juga nanti, bisa ditanggapi kaitannya ke sana. Apakah memang seluas itu cara penafsiran kita terhadap makna dari suatu ketentuan konstitusional yang kemudian diturunkan dalam undang-undang, gitu ya. Nah, dari Mahkamah Agung saya ingin menyampaikan mungkin pertanyaan saja, tegasnya gitu ya, walaupun sebenarnya secara implisit sudah terjawab. Saya ingin menanyakan ketegasan saja, andai kata masalah bahwa Komisi Yudisial itu klir tidak akan mencampuri urusan perekrutan CPNS-nya, apakah Mahkamah Agung akan bersedia Komisi Yudisial tetap terlibat dalam proses setelah CPNS itu ... misalnya diluluskan sebagai ... apa namanya ... untuk menjadi calon hakimnya? Hanya itu saja pertanyaan saya untuk mohon penegasan, itu saja. Terima kasih, Yang Mulia. 106. KETUA: ANWAR USMAN Dari sebelah kiri? Enggak ada. Baik, dari saya sedikit. Ahli. Hampir semua pasal melalui amandemen yang empat kali itu melalui perdebatan yang sangat panjang. Ada tentunya hal-hal yang memang dari sejak awal itu sudah mengemuka, seperti yang disampaikan oleh Ahli tadi ketika membahas Pasal 24B itu, beberapa usulan tadi antara lain dari Pak Harjono, Pak Hamdan Zoelva, dan Pak Yakub Tobing, atau mungkin ada dari beberapa pihak lain lagi. Tetapi yang pasti pasal yang menjadi teks dalam Pasal 24 itu adalah kenyataannya seperti ini, itu satu. Kemudian yang kedua, ada juga beberapa pasal yang memang dari sejak awal mungkin belum pernah terbayangkan akan terjadi sesuatu di tengah perjalanan sejarah bangsa ini, sehingga ya sering kita dengar juga bahwa konstitusi adalah sesuatu yang hidup (living constitution) sering kita dengar. Pertanyaan saya, kalau memang itu sudah dibahas secara mendalam, secara panjang lebar, secara luas, akhirnya menjadi sebuah fakta, muncullah sebuah teks dalam pasal. 28
Apakah hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu ketika membahas itu bisa dijadikan untuk mengembangkan sebuah pasal dalam konstitusi? Itu satu. Kedua, apakah hal-hal yang tidak pernah dibahas, tidak pernah muncul, lalu tiba-tiba muncul di tengah perjalanan sejarah bangsa ini, kemudian tentu saja ingin ditindaklanjuti melalui beberapa perundangan sebagai jalan keluarnya. Apakah dari segi hukum tata negara atau dari segi ilmu perundang-undangan bisa dibenarkan kedua hal itu? Artinya ada dua, satu sudah pernah dibahas dan satu tidak pernah dibahas. Terima kasih. Mungkin untuk lebih teraturnya karena tadi dimulai dari keterangan Mahkamah Agung, mungkin Mahkamah Agung dulu, ada beberapa pertanyaan dari Yang Mulia tadi. Silakan. Dari Pihak Terkait Mahkamah Agung, ini kan Pemohon. Kalau Pemohon enggak, enggak. Jadi tadi kan ada pertanyaan dari beberapa Anggota, Pak Palguna tadi terutama. Silakan. 107. PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD SYARIFUDDIN (MA) Baik, terima kasih. Kami akan menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Yang Mulia tadi. Sesungguhnya Mahkamah Agung itu ingin melaksanakan undang-undang karena Mahkamah Agung itu adalah lembaga yudikatif. Oleh karena itu, apa … kita laksanakan lah undangundang seleksi apa … seleksi calon hakim itu seperti yang dulu-dulu, yang kita maksud dulu-dulu itu yang tidak ada masalah itu tadi, sebelum ikut sertanya KY. Dari dulu kita itu seleksi memang calon hakim itu selaku calon CPNS, tidak … tidak ada dengan calon pejabat negara itu, ndak, hanya berdasarkan sebagai calon CPNS. Nah, kita laksanakan lah seperti itu. Kita laksanakan seperti itu, kemudian setelah selesai melaksanakan seleksi calon CPNS itu, KY kita undang untuk ikut seleksi itu. Tapi kita berbeda pendapat, KY menginginkan dari awal, sementara menurut kita tidak seperti itu, kita maknai seperti itu. Karena berjalannya waktu terjadi perbedaan pendapat ini, sampai 5 tahun tidak ada jalan keluarnya, maka muncul inisiatif dari Pemohon ini, dari Ikahi Pusat, lho ini ternyata salahnya bukan cuma di undang-undang di bawahnya, salahnya kenapa tidak bisa dilaksanakan undang-undang di bawah ini karena salah dari dulunya, yaitu di konstitusinya sendiri karena di konstitusinya itu seperti yang tadi sudah kita sampaikan bahwa KY itu hanya punya dua kewenangan saja, yaitu seleksi pengangkatan dan pengusulan Calon Hakim Agung dan dalam rangka … kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, itu saja, ndak ada lagi (…)
29
108. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Yang maksud saya pertanyaannya itu begini, kalau misalnya KY, katakanlah siapa tau keluar dari ruang sidang … “Oh ya, ada benarnya juga itu pendapat Mahkamah Agung itu,” misalnya setelah mendengar perdebatan ini, “kita enggak usah lah ikut di proses rekrutmen CPNS-nya itu.” Tapi, setelah diterima jadi hakim di pendidikannya itu, kemudian yang mana yang lulus jadi hakim, mana yang enggak, yang tadi di keterangan Mahkamah Agung kan begitu. Kalau yang tidak lulus jadi hakim dia jadi PNS biasa di lingkungan Mahkamah Agung, gitu ya, Pak, ya? Nah, yang ini menjabat jadi hakim. Nah, kalau di situ saja mereka ikut, apakah Mahkamah Agung ada keberatan? Itu pertanyaan saya. 109. PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD SYARIFUDDIN (MA) Tentu Mahkamah Agung karena sudah berpandangan seperti itu, yang kita laksanakan ini tentu yang konstitusional yang … Yang Mulia, yang konstitusional itu yang kita laksanakan. Kalau yang tidak konstitusional tentu tidak boleh kita laksanakan. Itu … itu … itu mungkin jawaban saya. 110. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik, terima kasih. 111. KETUA: ANWAR USMAN Baik. Selanjutnya, Ahli Prof. Yusril. Silakan. Ada beberapa pertanyaan tadi. 112. AHLI DARI PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Baik, terima kasih, Yang Mulia. Menjawab pertanyaan dari Wakil Komisi Yudisial dalam sidang ini, memang kewenangan untuk melakukan seleksi terhadap calon hakim itu dinyatakan di dalam undang-undang. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memang tidak secara tegas menyatakan bahwa ini kewenangan Mahkamah Agung, ini atau kewenangan dari Komisi Yudisial, atau bersama-sama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Saya merasa penting untuk mengungkapkan aspek historis mengapa terjadi perubahan-perubahan terhadap proses seleksi dari calon hakim itu sendiri. Sebenarnya, proses seleksi kita dari dahulu, organisasi, finansial, adminitrasi, itu masih mengikuti tradisi yang kita warisi dari sejak Zaman Hindia Belanda dahulu. Jadi, hakim-hakim itu secara finansial, administrasi, organisasi, personel, itu berada di bawah 30
Departemen van Justitie. Sedangkan (suara tidak terdengar jelas) di sini dulu memang hanya menangani perkara-perkara, tapi tidak menangani personel, administrasi, keuangan, organisasi, dan sebagainya. Dan dalam sejarah perkembangan kita memang ini menjadi sumber masalah, sehingga kuat sekali aspirasi yang berkembang supaya badan peradilan itu tidak saja merdeka dalam menjalankan kekuasaannya, tapi juga mandiri dalam melaksanakan segala hal yang terkait dengan keberadaan dirinya. Dan ini sebenarnya sudah dimulai awal sekali Zaman Reformasi pada waktu Presiden B. J. Habibie menjadi Presiden. Dan pada waktu itu sidang-sidang MPR pertama kali melahirkan TAP 10 Tahun 1998 itu tentang Kemandirian dan Kemerdekaan dari Badan-Badan Peradilan itu. Dahulunya memang dalam semua Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang ada sejak kita merdeka, masih tetap mengikuti tradisi Belanda itu, yaitu rekrutmen hakim, seleksi hakim, ada pada Departemen Kehakiman. Mutasi itu dibahas bersama. Jadi, saya ingat dahulu saya mengajukan nama-nama, begitu juga Pak Sarwata pada waktu itu Ketua Mahkamah Agung mengajukan namanama, dan kemudian kita rapat hanya berdua saja. Kadang-kadang didampingi oleh Dirjen Badi Luntung dan didampingi oleh salah satu itu ada di Mahkamah Agung, dan kemudian disepakati ini terjadi promosi, terjadi apa … pemindahan hakim. Tapi pada tahap seleksi itu sepenuhnya ada pada Departemen Kehakiman. Itulah yang kemudian dikritik yang dianggap bahwa tidak … proses seleksi seperti itu menyebabkan tidak adanya kemandirian, adanya balas budi, adanya utang budi, adanya segala macam. Sehingga dianggap, hakim kita itu tidak merdeka di dalam menjalankan tugas dan kekuasannya. Jadi, kewenangan kementerian atau Departemen Kehakiman pada waktu itu melakukan seleksi hakim itu pun tidak diberikan oleh UndangUndang Dasar Tahun 1945, tapi diberikan oleh undang-undang, dan itu dikritik. Ketika dikritik, muncul TAP MPR Tahun 1998. Pada waktu itu TAP MPR kedudukannya masih lebih tinggi daripada undang-undang, beda dengan keadaannya sekarang. Nah, kalau sekarang ini kemudian sudah diperbaiki segala yang dikritik yang menjadi aspirasi yang berkembang sejak sebelum dan awal reformasi itu supaya disatuatapkan jadi personil, keuangan, administrasi, organisasi itu kepada satu Mahkamah Agung, dan pada waktu itu penyelesaian terhadap persoalan itu sangat-sangat susah payah. Kalau saya ingin bercerita pengalaman pada waktu itu karena ini tidak hanya menyangkut teknis penyatuan, tapi juga menyangkut personel-personel. Ya, sehingga kita pun sampai bicara misalnya ada dirjen di Departemen Kehakiman, Dirjen di Departemen Agama, “Pokoknya dijamin deh kalau pindah ke sana, tetapi Eselon I,” sampai begitu. Nah, “Pokoknya jangan khawatir.” Belum lagi yang menyangkut ideologi, ada kekhawatiran sangat-sangat di kalangan politisi Islam bahwa kalau departemen … dirjen peradilan agama itu dilepaskan dari Departemen Agama, suatu 31
saat itu akan hilang sama sekali peradilan agama. Begitu rumit keadaan pada waktu itu, menyelesaikan persoalan ini dan syukur alhamdulillah, ya saya pada waktu itu masih muda sekali harus menangani soal-soal yang berat seperti ini. Alhamdulillah, selesai. Maka saya heran pada tahun 2009, tiba-tiba yang sudah kita selesaikan itu, kok diambil alih lagi, dipindahkan kepada Komisi Yudisial. Nah, di situ letak persoalannya. Kan, ini kan barang yang dulu kita anggap menjadi masalah ketika di bawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Mabes TNI sudah selesai, kok tiba-tiba dibawa lagi ke hal yang baru kepada Komisi Yudisial, walaupun Komisi Yudisial bukan eksekutif. Tapi dia muncul sebagai suatu lembaga negara baru dengan hasil dari amandemen konstitusi. Nah, kalau saya boleh sedikit menyarankan dari pengalamanpengalaman, ya bukan ahli … tapi dari pengalaman. Saya ingat suatu hari, ada seseorang, ya ketika dia menjadi sekretaris wakil presiden, itu organisasi sekretariat wakil presiden itu hampir sama dengan Setneg besarnya. Sampai saya bilang, “Kok, besar sekali, ya?” Tapi ketika yang bersangkutan menjadi Mensesneg, dikecilkan lagi, kewenangan sespres karena itu kemudian diambil alih oleh Setneg. Jadi, ada semacam penyakit pada bangsa kita ini. Dikasih kewenangan sedikit, itu dia akan lemparkan kewenangannya itu. Nah, kalau saya jadi orang, saya pikir karena gaji juga enggak nambah, untuk apa tambah-tambahin beban pekerjaan yang bukan tugas-tugas saya? Kalau saya pikir, saya lepasin semua. Sehingga saya tanya, kenapa Setneg harus mengurusi Glora Senayan, mengurusi Kemayoran? Kenapa Setneg harus mengurusi … apa namanya … LKBN Antara? Ya, enggak ada urusannya sama Setneg. Saya lepasin semua. Tapi yang lain justru malah dikasih kewenangan sedikit, malah dilemparkan kewenangannya itu. Itu yang sebenarnya tidak sehat dalam membangun birokrasi pemerintahan di negara kita ini. Jadi, menurut pikiran saya sebenarnya kalau Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu, dia secara limitatif membatasi kewenangan dan tidak mengatakan bahwa kewenangan-kewenangan lain itu akan diberikan oleh undang-undang atau diatur oleh undang-undang, maka sebaiknya yang limitatif itulah yang kita jalankan. Memang Mahkamah Agung disebutkan kewenangannya di dalam konstitusi, tapi dikatakan, “Dan kewenangan-kewenangan lain yang diberikan oleh undangundang,” tapi tidak pada Komisi Yudisial. Komisi Yudisial hanya dikatakan, dia melakukan apa … pengusulan dalam proses seleksi dari calon-calon Hakim Agung saja, tidak pada hakim-hakim yang lain, dan tidak juga dikatakan tugas-tugasnya itu akan diberikan oleh undangundang. Yang diberikan oleh undang-undang adalah seperti saya katakan tadi, sejauh menyangkut organisasi dari Komisi Yudisial itu yang harus diatur oleh undang-undang. Begitu juga kewenangan lain yang disebutkan terkait dengan memelihara keluruhan martabat, dan perilaku 32
hakim yang memang harus diatur dengan undang-undang lebih rinci apa maksudnya. Tapi tidak dalam maksud memperluas kewenangan untuk mengang … proses seleksi para hakim lebih daripada hakim … lebih daripada hakim Mahkamah Agung saja. Jadi, tidak diluaskan kepada hakim yang lain. Nah, kalau seperti itu persoalannya adalah apakah ini persoalan konstitusionalitas yang secara harfiah harus kita lihat, diadu antara norma undang-undang dengan norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam konteks bagaimana kita memahaminya. Apakah penafsiran historis kemudian menjadi pedoman dan acuan? Nah, itu kita serahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim untuk menyikapi permohonan ini. Apakah memang dilihat hampa begitu saja ataukah dilihat dalam konteks historis bagaimana lahirnya Pasal 24 amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan kemudian polemik sepanjang sejarah republik ini tentang adanya dua atap badan penyelenggaraan … badan kekuasaan kehakiman ini yang berakhir pada tahun 2004 yang lalu. Tetapi kemudian muncul lagi tahun 2009 dengan pengadaan dari kewenangan Komisi Yudisial. Kemudian mengenai pemahaman open legal policy yang tadi dikemukakan oleh salah satu Wakil dari Pihak Terkait. Pada hemat saya walaupun itu adalah open legal policy, jadi satu kewenangan yang memang diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menilai, untuk membuat satu norma pada tingkat undang-undang, dan memperlakukannya. Lalu apakah kemudian karena itu merupakan satu open legal policy, Mahkamah Konstitusi kemudian tidak bisa menilai konstitusionalitas itu? Saya agak berbeda pendapat dengan hal ini. Bagi saya walaupun itu open legal policy, tapi Mahkamah Konstitusi tetap saja berwenang untuk menilai apakah norma yang dirumuskan itu tidak hanya secara harfiah tapi juga secara spirit. Apakah dia sejalan atau bertentangan dengan norma konstitusi yang ada di atasnya dan karena itu dapat saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi itu pendapat saya, mungkin ahli yang lain berbeda pendapat, tapi ya demikianlah pendapat saya terkait dengan open legal policy ini. Kedua, pertanyaan yang disampaikan oleh Yang Mulia Pak Patrialis Akbar. Apakah dengan keterlibatan dari Komisi Yudisial lantas kemudian itu akan mengganggu kekuasaan kehakiman yang merdeka seperti yang diatur oleh Undang-Undang Dasar kita. Tadi Wakil dari Mahkamah Agung sudah menyampaikan juga alasan-alasan untuk itu. Mengapa sebaiknya memang ini sendiri Mahkamah Agung dalam melakukan seleksi tanpa seperti dulu terlibat Departemen Kehakiman, atau Departemen Agama, atau Mabes TNI. Tapi sekarang ada Komisi Yudisial juga terlibat dalam proses seleksi dari Hakim Agung ini … para hakim ini. Kalau keterlibatan itu ada, saya berpendapat ada. Walaupun tidak sebesar ketika itu kewenangan itu ada pada Departemen Kehakiman, 33
Departemen Agama, atau Mabes TNI. Karena kalau kita membaca undang-undang sekarang ini, keterlibatan dari Komisi Yudisial itu hanya dalam proses seleksi dan kemudian dalam rangka menjaga martabat, keluhuran, dan perilaku hakim tadi. Beda halnya dengan Departemen Kehakiman, dia yang menyeleksi, dia yang merekrut, dia yang mengangkat, dia pegawai Departemen Kehakiman, dan sebagainya, dan sebagainya. Pengaruhnya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh Komisi Yudisial yang dalam undang-undang yang sekarang yang diuji ini terbatas dalam seleksi dan kemudian semacam mengawasilah. Menjaga kehormatan martabat dan perilaku hakim tadi. Tapi yang kita inginkan sejak awal dari reformasi kita itu adalah bahwa kekuasaan kehakiman itu tidak saja merdeka. Yang saya artikan merdeka itu dalam menjalankan wewenang dan tugas dari kekuasaan kehakiman tapi juga dia mandiri. Mandiri dalam arti menentukan personil, menentukan keuangan, organisasi. Itu sepenuhnya juga mandiri, itu sebenarnya makna dari konsep satu atap itu. Nah, jadi karena dia memang mandiri, maka sepenuhnya dia tidak bisa dipengaruhi oleh yang lain, oleh lembaga-lembaga yang lain. Jadi memang sepenuhnya rekrutmen itu dan kemudian juga promosi terhadap hakim-hakim itu dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri tanpa dicampurtangani oleh pihak-pihak yang lain. Itu saya berpendapat keadaan itu akan jauh lebih baik daripada ada keterlibatan pihak lain di luar daripada Mahkamah Agung. Kalau dulu adalah pemerintah dan sekarang pemerintah itu dalam artian yang lebih sedikit kewenangannya itu kemudian diambilalih oleh Komisi Yudisial. Penafsiran saya agak dekat dengan penafsiran dari Pemohon, penafsiran dari Mahkamah Agung. Bahwa yang bertugas untuk memelihara martabat, keluhuran, dan perilaku hakim memang sebaiknya tidak ikut menyeleksi. Karena kalau dia menyeleksi, dia ikut tanggung jawab juga. Terus diawasi orang ini kamu harus begini, kamu enggak benar, kamu yang menyeleksi kok. Ya sebaiknya memang tidak terlibat dalam menyeleksi dan kalau dipahami secara harfiah norma Pasal 24 yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi itu jelas dia melakukan seleksi terhadap Hakim Agung … apa namanya … proses pengusulan Hakim Agung dan melakukan … kemudian menjaga martabat, keluhuran, dan perilaku para hakim. Nah, di sini timbul persoalan. Nah, kalau dia menjaga martabat, keluhuran para hakim, apakah hakim di situ? Pengertiannya ada hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding, atau meliputi juga hakim … Hakim Agung sendiri. Dan ini pernah juga menyangkut kewenangan dari Komisi Yudisial dalam rangka menjaga martabat, keluhuran, dan perilaku hakim dikaitkan juga dengan … terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi yang kalau saya tidak salah juga sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi, persoalan ini coba kita perdalami yang menurut pendapat saya sebenarnya tugas KY dalam melakukan … apa … memelihara 34
martabat itu adalah pada hakim-hakim pada tingkat pertama dan hakim pengadilan tinggi, tapi tidak pada tingkat Hakim Mahkamah Agung dan pada tingkat Hakim Mahkamah Konstitusi. Itu pemahaman saya terhadap makna dari Pasal 24 yang terkait dengan pengaturan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi itu. Kemudian, mengenai apa yang disampaikan oleh Pak … Yang Mulia Pak Palguna. Terkait ada dua kecenderungan pendapat ahli dalam memahami norma konstitusi kita. Yang pertama itu lebih historis, dia melihat kepada original intents. Dan yang kedua, lebih melihat norma ansih dengan lebih mempertimbangkan suasana kekinian dalam memberikan makna kepada norma konstitusi ataupun juga dalam menafsirkan makna dari norma yang terdapat di dalam konstitusi. Saya cenderung berpendapat bahwa fungsi konstitusi itu bukan sekadar alat untuk memberikan legitimasi terhadap keinginan-keinginan dari para penyelanggara negara atau para politisi. Tapi bagi saya, kedudukan konstitusi itu, dia adalah satu framework. Bagaimana kita menjalankan negara itu? Bagaimana kita membangun dan mengembangkan negara itu? Jadi, kira-kira kalau diperbandingkan, kedudukan konstitusi bagi sebuah negara, ya hampir-hampir sama dengan kedudukan sebuah kitab suci bagi orang yang beriman kepada agama itu. Jadi, dia bukan … bukan dia mau sesuatu, lalu kemudian di … dicarikan dasar legitimasinya. Jadi, kalau dulu itu pernah ditanya, apakah hukumnya mengekspor kodok? Terus ditanya kepada salah satu kiai, terus kiai itu menjawab, “Lah, situ maunya apa? Mau halal, apa mau haram?” Begitu. “Kalau mau halal, dicarikan dalil-dalil yang menghalalkannya. Kalau mau haram, dicarikan dalil-dalil yang mengharamkannya.” Nah, itu kan menempatkan … apa … hukum agama itu jadi macam suatu permainan. Padahal, kedudukan dia adalah satu framework. Begitulah kedudukan dari konstitusi itu. Nah karena itu, kalau dilihat dari konteks dua kecenderungan, yang satu adalah lebih melihat kepada original intents dan lebih memahami makna historis daripada konstitusi itu. Saya berpendapat, ini lebih dekat kepada kemauan dari konstitusi itu sendiri. Sudah barang tentu perdebatan-perdebatan itu tidak seluruhnya dapat dirujuk kepada … apa namanya … asbabun nuzul atau perdebatan-perdebatan yang melahirkan satu pasal, misalnya. Tetapi, seperti yang dalam konteks sekarang ini ada usulan. Pak Hamdan Zoelva, Pak Harjono, Pak Yakub Tobing, supaya Komisi Yudisial juga berwenang melakukan proses seleksi para hakim, bukan hanya Hakim Konstitusi. Itu diusulkan, tetapi tidak disepakati oleh panitia ad hoc juga tidak disepakati oleh Sidang Paripurna MPR. Karena itu, pendapat-pendapat mereka itu hanya menjadi bagian historis. Tapi tidak bisa kemudian pendapat Yakub Tobing, Hamdan Zoelva itu dijadikan acuan dalam menafsirkan makna dari Pasal 24 dari Undang-Undang Komisi Yudisial itu.
35
Nah, saya kira ini … saya pun juga karena itu agak beda pendapat kalau mengatakan misalnya Pancasila 1 Juni itu adalah lahirnya Pancasila. Ya, kalau kita lihat sebenarnya bukan itu usulan Soekarno, ada usulan baik yang lain-lain juga, Soepomo, Agus Salim, dan lain-lain. Tapi, yang menjadi kompromi mungkin tanggal 22 Juni dan menjadi final kesepakatan itu adalah tanggal 18 Agustus tahun 1945. Jadi, mungkin kita menjadi sangat … maunya kita menjadi historis, malah terbalik kita menjadi unhistoris kalau kita kemudian secara sepihak mengatakan, “Wah, tafsiran ini … inilah original intents.” Padahal, kesepakatan akhirnya tidak seperti yang dituangkan di dalam original intents itu. Nah, jadi bagi saya akan mengalami satu distorsi andaikata kita semena-mena menafsirkan konstitusi, menuangkannya ke dalam pasal undang-undang dengan melepaskan faktor-faktor historis dan perdebatan-perdebatan yang melatarbelakangi lahirnya pasal di dalam konstitusi itu, baik itu perdebatan-perdebatan para pembuatnya, MPR misalnya, maupun juga berdebatan-perdebatan di tengah-tengah masyarakat yang kemudian harus kita pahami dalam konteks memahami bagaimana asal-muasal lahirnya pasal itu. Kemudian yang terakhir, yang disampaikan Yang Mulia Pak Anwar Usman. Saya kira sudah terjawab, ya. Sudah terjawab dengan tadi sekaligus menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Pak Palguna. Saya kira demikianlah, lebih kurang dan lebihnya saya mohon maaf kalau sekiranya tidak cukup apa yang saya tekankan. Terima kasih. 113. KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih, Prof. Jadi ini … saya pikir, ya, Majelis merasa sudah cukup, tadi sudah mendengarkan beberapa keterangan. Bukan hanya dari Para Pihak, Pihak Terkait tentunya, juga dari sekian banyak ahli. Jadi tinggal menyerahkan kesimpulan, kesimpulan diserahkan paling lambat tanggal … hari Kamis, tanggal 20 Agustus 2015, pukul 14.00 WIB. Jadi ini untuk Pemohon Kuasa Presiden, Pihak Terkait KY, Pihak Terkait GMHJ, Pihak Terkait FKHK, dan Pihak Terkait Mahkamah Agung. Sekali lagi penyerahan kesimpulan paling lambat hari Kamis, tanggal 20 Agustus 2015, pukul 14.00 WIB. Sebelum sidang ditutup apakah ada hal-hal yang ingin disampaikan? 114. PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Maaf, Pimpinan. Karena (…) 115. KETUA: ANWAR USMAN Silakan.
36
116. PIHAK TERKAIT: TAUFIQURROHMAN SYAHURI (KY) Karena waktu 17-an Agustus ini KY juga lagi ulang tahun. Bisa ditambah 1 minggu lagi untuk menyusun kesimpulan. Karena nanti Pak Presiden juga akan hadir, sehingga KY harus menyiapkan itu. Kalau boleh. Terima kasih. 117. KETUA: ANWAR USMAN Sebentar, ya. Majelis harus musyawarah dulu. Ya sih, memang, ya. KY ulang tahun, MK juga ulang tahun ini ada beberapa hari ke depan ini. Dan kebutulan MK juga mengadakan acara Symposium Internasional. Jadi … ya, berlaku untuk semua tentunya, bukan hanya KY saja. Jadi tambah 1 minggu, jadi tanggal berapa itu? Jadi permohonan KY dikabulkan oleh Mahkamah. Jadi paling lambat penyerahan kesimpulan itu hari Kamis, tanggal 27 Agustus 2015, pukul 14.00 WIB. Jadi untuk semua ini, untuk Pemohon, Kuasa Presiden, Pihak Terkait GMHJ, FKHK, dan Pihak Terkait Mahkamah Agung. Baik, kalau memang tidak ada lagi (…) 118. PIHAK TERKAIT: M. SELAMAT JUPRI (KY) Izin, Yang Mulia. Sebelum ditutup Yang Mulia (...) 119. KETUA: ANWAR USMAN Silakan. 120. PIHAK TERKAIT: M. SELAMAT JUPRI (KY) Saya menyampaikan kalau pada saat yang sama hari ini juga kami … sebagaimana yang kami inginkan dan dikabulkan oleh Majelis Hakim yang kemarin, sebelumnya, persidangan sebelumnya. Bahwa kami akan mengajukan bukti tambahan dan hari ini kita sudah bawa. 121. KETUA: ANWAR USMAN Bukti tertulis, tambahan? Silakan. 122. PIHAK TERKAIT: M. SELAMAT JUPRI (KY) Ya.
37
123. KETUA: ANWAR USMAN Dibawa hari ini? Serahkan saja sekarang. Petugas coba diambil. Ya, PT-7 sampai PT-11, ya? Ya, sudah diverifikasi ya, dinyatakan sah. KETUK PALU 1X Nanti akan diserahkan ke pihak-pihak yang … Pihak Terkait. Masih ada fotokopi? Ada. Nanti diserahkan melalui Petugas, ya. Baik, kalau … sekali kalau tidak ada hal-hal yang ingin disampaikan, maka sebelum sidang ini ditutup, Majelis menyampaikan ucapan terima kasih ke Ahli Prof. Yusril. Terima kasih atas keterangannya dalam memberikan keterangan panjang lebar dan dengan demikian, sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.50 WIB Jakarta, 11 Agustus 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
38