MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-V/2007
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN DPR, AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (IV)
JAKARTA RABU, 7 NOVEMBER 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-V/2007
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar 1945
PEMOHON Zaenal Arifin dkk.
ACARA Mendengar Keterangan DPR-RI, Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (IV) Rabu, 7 November 2007 Pukul 10.00 – 13.20 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Prof. Dr.JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dr. HARJONO, S.H., M.C.L SOEDARSONO, S.H.
Cholidin Nasir, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Kuasa Hukum Pemohon: • • • •
Januardi S. Haribowo, S.H. Ahmad Waluya, S.H. Irwin Idrus Bayu Prasetio
Pemohon: • • • • •
Zainal Arifin Sonny Keraf Ismayatun Dradjad H. Wibowo Tjatur Sapto Eddy
Pemerintah: • • • • • • •
Luluk Sumiarso (Dirjen Migas Dep. ESDM) Edy Pratomo (Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Deplu) Novian Muzahar Thayib (Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Migas) Sudhono Iswahyudi (Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Hukum) Rachmat Sudibyo (Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Migas) Mualimin Abdi (Kabag. Litigasi Dep. Hukum dan HAM) Kardaya Warnika (Kepala BP Migas)
DPR-RI : • •
Lukman Hakim Saifuddin Prof. Dr. Mahfud M.D.
Ahli dari Pemohon : • •
Muhamad Said Nisar (Ahli Hukum Internasional) Ryad Areshman Chairil (Ahli Migas dan Kontrak-kontrak Migas)
Ahli dari Pemerintah : • •
Prof. Dr. Zen Umar Purba Prof. Hikmawanto Juwana
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-Saudara sidang Mahkamah Konstitusi dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Hari ini kita mengadakan sidang untuk memeriksa perkara Nomor 20/PUU-V/2007, sebelum kita mulai saya persilakan Saudara yang hadir untuk memperkenalkan diri terlebih dulu dimulai dari Pemohon, saya dipersilakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIWIBOWO, S.H. Terima kasih yang Mulia.
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Kami dari Pemohon yang hadir saya sendiri Januardi Suryo Haribowo, bersama Bayu Prasetio dan dibantu oleh Irwin Idrus, hadir pula bersama kami Pemohon Prinsipal dengan Bapak Zainal Arifin kemudian Ibu Ismayatun dan Bapak Sonny Keraf, demikian terima kasih yang mulia. 3.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, saya ucapkan selamat datang saya ucapkan dan kita teruskan ke Pemerintah, silakan siapa saja yang hadir.
4.
PEMERINTAH : SUDHONO ISWAHYUDI (STAF HUKUM MENTERI ESDM BID.HUKUM) Terima kasih.
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Bapak Ketua yang kami hormati pada pagi hari ini dari Pemerintah, diwakili oleh enam orang yaitu pertama Bapak Edi Pratomo, Bapak Rachmat Sudibjo, Bapak Luluk Sumiarso, Bapak Kardaya Warnika dan Bapak Novian serta saya sendiri Sudhono Iswahyudi, terima kasih.
3
5.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. . Baik, dilanjutkan ke DPR, silakan Pak.
6.
DPR-RI : LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN Kami dari Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam kesempatan ini diwakili oleh anggota Tim Kuasa DPR yang pertama adalah Prof. Dr. Mahfud, M.D Sebelah kiri kami dan saya Lukman Hakim Saifuddin, terima kasih.
7.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sekarang dilanjutkan Pemohon mengajukan dua ahli Pemerintah juga mengajukan dua ahli silakan perkenalkan dulu.
8.
dan
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIWIBOWO, S.H. Ya, jadi kami dengan dua ahli yang pertama adalah Bapak Ryad sebagai Ahli Migas dan kontrak-kontrak Migas yang kedua adalah Bapak Said Nisar sebagai Ahli Hukum Internasional, terima kasih yang Mulia.
9.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Dari Pemerintah silakan.
10.
PEMERINTAH : SUDHONO ISWAHYUDI (STAF HUKUM MENTERI ESDM BID.HUKUM) Kami dari pihak Pemerintah sebelumnya kami melaporkan rencananya kami akan menghadirkan empat orang ahli, tapi karena masih berhalangan maka yang hadir 2 orang yaitu pertama Bapak Prof. Hikmawanto Juwana dan yang kedua adalah Bapak Prof. Dr. Zen Umar Purba, terima kasih.
11.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik untuk kepentingan pemeriksaan saya ingin tanya apakah keempat ahli ini bersedia disumpah? Menurut agama bagaimana? Apakah ada yang Hindu oh sama Islam semua. Baik saya persilakan petugas, dan silakan berdiri calon ahli. Saya persilakan Pak Laica.
12.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.
4
Para calon ahli diminta mengikuti lafal sumpah yang bakal saya bacakan. Demi Allah. 13.
AHLI : MUHAMMAD SAIR NISAR, RYAD ARESHMANCHAIRIL, ZEN UMAR PURBA, HIKMAWANTO JUWANA Demi Allah.
14.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H. Saya bersumpah.
15.
AHLI : MUHAMMAD SAIR NISAR, RYAD ARESHMANCHAIRIL, ZEN UMAR PURBA, HIKMAWANTO JUWANA Saya bersumpah.
16.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.. Sebagai ahli.
17.
AHLI : MUHAMMAD SAIR NISAR, RYAD ARESHMANCHAIRIL, ZEN UMAR PURBA, HIKMAWANTO JUWANA Sebagai ahli.
18.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.. Akan memberikan keterangan yang sebenarnya
19.
AHLI : MUHAMMAD SAIR NISAR, RYAD ARESHMANCHAIRIL, ZEN UMAR PURBA, HIKMAWANTO JUWANA Akan memberikan keterangan yang sebenarnya.
20.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.. Sesuai dengan keahlian saya.
21.
AHLI : MUHAMMAD SAIR NISAR, RYAD ARESHMANCHAIRIL, ZEN UMAR PURBA, HIKMAWANTO JUWANA Sesuai dengan keahlian saya.
5
22.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-Sauadara sekalian saya ucapkan selamat datang sekali lagi di sidang Mahkamah Konstitusi. Sidang ini adalah pemeriksaan lanjutan dan fokusnya adalah mendengarkan keterangan ahli yang diajukan baik oleh Pemohon dan dari pemerintah. Tapi sebelum itu dalam sidang terdahulu Pemerintah sudah memberikan keterangan secara resmi dan tertulis juga sudah namun DPR kalau tidak salah belum. Maka sebelum mendengarkan keterangan ahli kita persilakan terlebih dahulu DPR menyampaikan keterangan resmi mengenai perkara ini, apalagi yang mengajukan permohonan juga ada beberapa anggota DPR-RI. Jadi kita perdengarkan dan saya persilakan siapa yang akan menyampaikan, silakan.
23.
DPR-RI : LUKMAN HAKIM SAIFFUDIN.
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
a. b.
c. d.
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Yang kami muliakan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, pertama kami ingin selaku Kuasa Hukum dari DPR-RI pada dasarnya kami ingin menyampaikan dua pokok yang mendasar sehubungan dengan surat Nomor 293-20/PAN.MK/IX/2007 tertanggal 4 September 2007 perihal panggilan sidang yang disampaikan oleh Panitera Mahkamah Konstitusi kepada Ketua DPR-RI untuk menghadiri dan untuk menyampaikan keterangan di persidangan MK pada pagi hari ini dengan permohonan Uji Materil UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Yang pertama, kami ingin menyampaikan menyangkut kedudukan hukum atau legal standing dari para Pemohon. Sebagaimana kita fahami merujuk pada Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003, UndangUndang tentang Mahkamah Konstitusi. Di sana dinyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak atau kewenangannya konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang yaitu : Warga Negara Indonesia Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Negara RI yang diatur dalam undang-undang. Badan hukum publik atau privat atau Lembaga Negara Oleh karenanya berdasarkan undang-undang tersebut agar seseorang atau sesuatu pihak dapat di terima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum dalam permohonan pengujian undangundang terhadap UUD maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan setidak-tidaknya ada 3 hal pertama, kualifikasinya sebagai 6
Pemohon sebagai permohonan sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang MK tersebut, lalu yang kedua adalah hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) yang dianggap dirugikan atas berlakunya undang-undang yang diuji itu dan yang ketiga adalah, kejelasan menyangkut kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Karenanya batasan-batasan kerugian konstitusional, kami berpandangan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya telah memberikan pengertian batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya satu UU, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Pasal 1 ayat (1) dan juga Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005 yang menyatakan bahwa adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Yang kedua, bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. Yang ketiga, bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Yang keempat, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Dan yang kelima, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak lagi terjadi. Maka terhadap permohonan Pemohon perlu dipertanyakan terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum para Pemohon yaitu: 1. apakah Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak? Dalam hal ini kualifikasi Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi serta memenuhi lima syarat sebagaimana putusan perkara Mahkamah Konstitusi terdahulu, yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2. apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan apakah ada hubungan sebab akibat antara kerugian atas berlakunya undangundang yang dimohonkan untuk diuji itu? Selanjutnya kami berpandangan bahwa apabila Pemohon menganggap sudah memenuhi syarat yang ditentukan sebagai pihak yaitu adanya hak konstitusional yang dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka hal ini perlu dipertanyakan, siapa yang sebenarnya dirugikan? Apakah anggota DPR-RI atau DPR-RI sebagai lembaga negara? Karenanya perlu dicermati kembali siapakah yang secara eksplisit diatur 7
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diberikan hak atau kewenangan konstitusional untuk memberikan persetujuan atas perjanjian internasional, apakah DPR secara institusional kelembagaan atau anggota DPR? Untuk menjawab hal tersebut terlebih dahulu dipandang perlu untuk merinci hak DPR dan hak anggota DPR yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita. Hak dan atau kewenangan konstitusional DPR secara kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 setidak-tidaknya menyangkut 15 hal; 1. memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, Pasal 11 ayat (1). 2. memberikan persetujuan atas perjanjian International lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan pembentukan undang-undang, Pasal 11 ayat (2). 3. memberikan pertimbangan dalam pengangkatan duta, Pasal 13 ayat (2). 4. memberikan pertimbangan dalam menerima penempatan duta dan negara lain. 5. memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi, Pasal 14 ayat (2). 6. memegang kekuasaan membentuk undang-undang, Pasal 20 ayat (1). 7. memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, Pasal 20 ayat (1). 8. mempunyai hak interpelasi, Pasal 20A ayat (2). 9. mempunyai hak angket, Pasal 20A ayat (2). 10. mempunyai hak menyatakan pendapat, Pasal 20A ayat (2). 11. memberikan persetujuan atas Perpu, Pasal 22 ayat (2). 12. memilih anggota BPK, Pasal 23F ayat (1). 13. memberikan persetujuan atas calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi Yudisial, Pasal 24A ayat (3). 14. memberikan persetujuan atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial, Pasal 24B ayat (3) dan 15. pengajuan tiga orang calon Hakim Konstitusi, Pasal 24C ayat (3).
1. 2. 3. 4. 5.
Sementara hak dan atau kewenangan konstitusional anggota DPR yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah menyangkut lima hal; hak memilih dan dipilih, Pasal 19 ayat (1) hak mengajukan rancangan undang-undang, Pasal 21 hak mengajukan pertanyaan, Pasal 20A ayat (3) hak menyampaikan usul dan pendapat, Pasal 20A ayat (3) dan hak imunitas, Pasal 20A ayat (3). Selanjutnya pertanyaan berikutnya adalah apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon? Apabila para Pemohon selaku anggota DPR tidak memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memiliki 8
kedudukan hukum atau legal standing sebagai pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan batasan menurut putusan perkara terdahulu, maka logika hukumnya jelas, tidak ada kerugian konstitusional Pemohon. Memang bahwa sepanjang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia yaitu sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, baru kali ini anggota DPR-RI yang merupakan bagian dari DPR sebagai lembaga negara yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang mengajukan permohonan pengujian atas undang-undang yang dibuatnya, oleh karena undang-undang a quo sudah disetujui bersama DPR dan Pemerintah untuk disahkan menjadi undang-undang dalam forum Rapat Paripurna DPR. Kami selaku tim Kuasa DPR berpandangan dan berpendapat bahwa jika para Pemohon menganggap ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak sesuai dengan perkembangan politik hukum ekonomi saat ini, maka sebaiknya menurut pandangan kami para Pemohon selaku anggota DPR yang memiliki hak dan atau kewenangan konstitusional mengajukan rancangan undang-undang hendaknya mengajukan legislative review atas Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi di DPR. DPR berpendapat bahwa tidak terdapat dan atau telah timbul kerugian terhadap hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Oleh karena itu, kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan batasan menurut putusan perkara terdahulu. Selanjutnya Majelis yang mulia, bahwa terdapat hal-hal yang dikemukakan Pemohon mengenai substansi pengujian materil, maka menyangkut hal ini kami selaku Kuasa Hukum DPR berpendapat perlu dipahami terlebih dahulu makna dari perjanjian internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dengan makna kontrak kerja sama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 kita menyebutkan bahwa, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar kita menyatakan, “ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.” Berdasarkan amanat tersebut telah dibentuk Undang9
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sehingga dengan demikian untuk memahami makna dari perjanjian internasional yang dimaksud Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar tersebut, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Bahwa pengertian perjanjian internasional menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban bidang hukum publik. Ketentuan ini mengandung makna bahwa perjanjian internasional berdasarkan pada hukum internasional dan mengatur kepentingan publik. Artinya, mengikat antara negara sebagai hukum publik yang menandatangani perjanjian internasional oleh karena subjek hukum internasional dalam perjanjian internasional ini adalah negara, bukan mengikat badan hukum perdata seperti badan usaha yang menandatangani kontrak kerja sama dengan Pemerintah. Bahwa perjanjian internasional termasuk lingkup hukum publik. Hal ini di tegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan, “perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik diatur oleh hukum internasional dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain”. Mengenai bentuk dan nama perjanjian internasional juga dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yaitu dalam praktiknya antara lain; treaty, convention,
agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minute, summary record, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Sedangkan kontrak kerja sama adalah bentuk kontrak bagi hasil sehingga jelas tidak termasuk dalam bentuk perjanjian internasional tersebut. Bahwa oleh karena itu dalam memahami terminologi perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam context dan content Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar jo. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional perlu dibedakan dengan istilah kontrak kerja sama dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Bahwa berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969, perjanjiann internasional dilakukan oleh para pihak di dalam hukum internasional, yakni negara dan organisasi internasional. Hal ini juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1) jo. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang pada intinya menekankan bahwa perjanjian internasional diatur dengan hukum internasional sehingga yang menjadi para pihak dalam perjanjian internasional adalah subjek hukum internasional, yaitu Pemerintah dengan negara organisasi 10
internasional. Oleh karena perjanjian internasional itu termasuk dalam ranah hukum publik berdasarkan context dan content perjanjian internasional itu sendiri maka perjanjian internasional ini menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Bahwa dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan; a. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara RI; c. kedaulatan atau hak berdaulat bernegara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan atau hibah luar negeri. Ketentuan Pasal 10 ini mengidentifikasikan bahwa perjanjian internasional yang terkait dengan hal-hal tersebutlah yang perlu mendapat persetujuan DPR karena pengesahannya dilakukan dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 10 ini berbeda dengan materi muatan kontrak kerja sama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga dari ketentuan tersebut maka kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi tidak termasuk materi yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002. Selanjutnya Majelis yang mulia, pengertian kontrak kerja sama dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi berbunyi, “kontrak kerja sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Lebih lanjut pengertian dari kontrak bagi hasil menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi adalah suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. Ketentuan ini mengandung unsur komersial yaitu terletak pada frase, “berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi antara Pemerintah dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap atau perusahaan asing”. Hal ini jelas bukan merupakan domain dari rezim perjanjian internasional yang bercirikan unsur kedaulatan dan hak berdaulat suatu negara menurut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang juga sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Bahwa kontrak kerja sama adalah kontrak yang bersifat keperdataan sehingga tunduk pada hukum perdata, hal ini tercermin dalam nama dan bentuk kontrak kerja sama, yaitu kontrak bagi hasil dan 11
yang menjadi para pihak dalam kontrak kerja sama ini adalah subjek hukum perdata, yaitu Pemerintah melalui badan pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap. Bahwa kontrak kerja sama tidak diatur dengan rezim hukum internasional, ditegaskan dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang mengatakan terhadap kontrak kerja sama tunduk dan berlaku hukum Indonesia, sehingga dengan demikian kontrak kerja sama tunduk pada hukum perdata Indonesia dan tidak tunduk pada hukum internasional. Maka para pihak yang membuat kontrak kerja sama ini yaitu badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap bukanlah merupakan subjek hukum internasional, melainkan subjek hukum perdata. Berbeda dengan materi muatan perjanjian internasional sebagaimana diuraikan dalan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang terdiri dari enam aspek. Materi muatan kontrak kerja sama menurut ketentuan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi paling sedikit memuat 17 hal; 1. pemerimaan negara; 2. wilayah kerja dan pengembaliannya; 3. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi; 4. jangka waktu dan perpanjangan kontrak; 5. kewajiban pasca operasi pertambangan; 6. penyelesaian perselisihan; 7. kewajiban pemasokan minyak bumi atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri; 8. berakhirnya kontrak; 9. kewajiban pasca operasi pertambangan; 10. keselamatan dan kesehatan kerja; 11. pengelolaan lingkungan hidup; 12. pengalihan hak dan kewajiban; 13. pelaporan yang diperlukan dan rencana pengembangan lapangan; 14. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; 15. pengembangan masyarakat sekitarnya; 16. jaminan hak-hak masyarakat adat, dan yang terakhir 17. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia. Materi muatan tersebut mencerminkan bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara yang penguasaannya diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan yang diberikan undang-undang a quo agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas bersifat teknis, sehingga kontrak kerja sama dalam bidang tersebut merupakan bentuk perjanjian perdata yang tunduk pada hukum keperdataan, tidak tunduk pada hukum internasional publik, maka tidak diperlukan persetujuan DPR. 12
Perlu dinyatakan di sini bahwa dalam Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional juga diatur bentuk perjanjian internasional yang tidak harus memerlukan persetujuan DPR, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang berbunyi, “Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada DPR untuk dievaluasi”. Dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) tersebut dinyatakan bahwa DPR dapat melakukan pengawasan terhadap Pemerintah, walaupun tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan perjanjian internasional tersebut.” Karena pada umumnya pengesahan dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi perjanjian internasional di bidang teknis. Di dalam melaksanakan fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan Pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR. Namun demikian sidang Majelis yang terhormat, dalam hal kontrak kerja sama yang ditandatangani oleh para pihak, yakni badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang tidak termasuk dalam pengertian Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Perjanjian Internasional tersebut, karena tidak disahkan dengan keputusan presiden, maka sesuai fungsi dan kewenangan DPR tetap dapat melakukan pengawasan terhadap Pemerintah dengan meminta pertanggungjawaban Pemerintah atau keterangan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama yang telah dibuat Pemerintah. Apabila DPR memandang bahwa kontrak kerja sama tersebut telah merugikan kepentingan nasional, maka dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kontrak kerja sama tersebut dapat ditinjau kembali atau dievaluasi atas permintaan DPR. Selain itu dalam melaksanakan fungsi legislasi DPR dapat melakukan legislative review dengan mengajukan rancangan undangundang usul inisiatif untuk mengubah atau meningkatkan efektifitas undang-undang yang telah ada. Bahwa berdasarkan seluruh uraian dan keterangan tersebut di atas, maka kami berpandangan bahwa dapatlah disimpulkan bahwa kontrak kerja sama yang tunduk dan berlaku hukum Indonesia tidak dapat diidentikkan dengan perjanjian internasional yang tunduk dan berlaku hukum internasional. Oleh karena kontrak kerja sama bukan merupakan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar kita dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka tidak diperlukan persetujuan DPR. Namun DPR tetap dapat menjalankan fungsi konstitusionalnya untuk melakukan pengawasan terhadap kontrak kerja sama yang dibuat oleh Pemerintah. Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut, maka ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas tidak 13
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Demikian sidang Majelis yang mulia keterangan yang dapat kami berikan. Terima kasih.
Assalamu’alaikum Wr. Wb. 24.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Wa’alaikumsalam. Baik, Saudara-Saudara, sekarang sudah kita dengarkan keterangan—sidang yang lalu Pemerintah—sekarang DPR. Selanjutnya kita akan mendengarkan keterangan dari Ahli yang tadi sudah diambil sumpah. Sebelum itu kami tanya apakah keterangan DPR sudah ada tertulis dua belas rangkap? Sudah ada? 25.
DPR-RI : LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN Sudah ada tapi jumlahnya belum sampai dua belas, mungkin nanti akan kami susulkan.
26.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, nanti disusulkan di Kepaniteraan saja. Nanti pada saatnya Pemohon juga akan dapat satu copy, Pemerintah juga. Jadi SaudaraSaudara sekalian sekarang kita dengarkan keterangan ahli, karena ini ada dua, jadi dua ahli dari Pemohon, dua ahli dari Pemerintah, kita mulai dari dua ahli dari Pemohon dulu. Saya persilakan Saudara Pemohon nomor satu barangkali ada hal yang ingin disampaikan statement termasuk juga menanggapi, kalaupun secara langsung dalam rangka pengantar saja dan yang kedua nanti ajukan pertanyaan kepada ahli supaya keterangan apa yang diperlukan dalam rangka meyakinkan Majelis ini untuk diberikan oleh para ahli ini sehubungan dengan materi permohonan yang Saudara ajukan. Saya persilakan dulu. Silakan, Saudara Pemohon.
27.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Baik, terima kasih Yang Mulia. Kebetulan hadir pula sudah hadir di sini bersama kami juga kedua Prinsipal kami lagi, yaitu Bapak Drajat H. Wibowo dan Bapak Tjatur Sapto Eddy ada di belakang. Kemudian pada prinsipnya ada beberapa yang ingin ditanggapi, tetapi setelah kami berdiskusi mungkin ada
14
pernyataan juga akan kami sampaikan juga setelah pemeriksaan keterangan ahli supaya waktunya bisa lebih efisien, begitu Yang Mulia. 28.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kalau begitu langsung ke Ahli. Silakan!
29.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Terima kasih. Baik, kepada Ahli (...)
30.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sebelum dimulai ya,
31.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Baik Pak.
32.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Saya ingin sampaikan juga Ahli kalau perlu boleh menggunakan podium di sana, bawa laptop-nya kalau mau lebih meyakinkan begitu, mau berdiri juga boleh. Dan yang kedua, Pemerintah dan DPR boleh mengajukan pertanyaan kepada Ahli yang diajukan oleh Pemohon, sebaliknya juga Pemohon boleh nanti mengajukan pertanyaan pada ahli yang diajukan oleh Pemerintah, dipersiapkan kalau mau memang mengajukan pertanyaan. Saya persilakan dulu Pemohon dulu.
33.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Baik, terima kasih Yang Mulia. Untuk pertanyaan pertama kami ajukan pertanyaan kepada Ahli, Bapak Ryad Arieshman Chairil, pertanyaan pertama kami adalah sepengetahuan ahli menurut keahlian Saudara mohon dijelaskan kepada kami di sini bagaimana proses lahirnya suatu kontrak kerja sama di bidang Migas, itu nomor satu. Kemudian menurut keahlian Saudara juga, apakah format dari kontrak kerja sama di bidang Migas tersebut bentuknya standar dari tahun ke tahun sehingga menjadi standar kontrak atau law model. Sementara dua pertanyaan nanti akan kami lanjutkan. Silakan Pak.
15
34.
AHLI DARI PEMOHON : RYAD ARESHMAN CHAIRIL
Bismillahirrahmaanirrahim. Bapak Majelis Hakim yang kami muliakan, Jikalau sekiranya sebelum kami menjawab pertanyaan dari Pemohon untuk bisa memakai slide dan menggunakan podium? 35.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan.
36.
AHLI DARI PEMOHON : RYAD ARESHMAN CHAIRIL Terima kasih.
37.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Petugas dibantu.
38.
AHLI DARI PEMOHON : RYAD ARESHMAN CHAIRIL Baiklah, Bismillaahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Bapak Majelis Hakim yang kami muliakan berkaitan pertanyaan yang ditanyakan oleh Pemohon kepada kami bagaimana kontrak kerjasama itu dibuat? Pada dasarnya bahwa kontrak kerja sama itu disiapkan atau dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Migas Tahun 2002, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004, serta Keputusan Menteri tentang tata cara penyiapan kontrak maka dilakukan sebuah pembentukan tim di Pemerintah yang melibatkan banyak institusi. Biasanya penyiapan kontrak itu dilakukan bersamaan waktunya dengan penawaran wilayah kerja sama. Pada kasus-kasus tertentu dilakukan secara khusus dilakukan negosiasi langsung dengan kontraktor, pertanyaannya adalah apakah kontrak kerja sama itu merupakan standar kontrak? Undang-Undang Migas maupun peraturan pelaksanaannya ada persyaratan minimal yang dimiliki oleh sebuah kontrak kerjasama, ada persyaratan dan ketentuan-ketentuan pokok yang diatur dan itu wajib, mutlak hukumnya harus masuk dalam materi pengaturan kontrak kerja sama dan biasanya standar kontrak ini adalah sesuatu yang tidak fleksibel, sebagian berpendapat bahwa standar kontrak atau kontrak kerjasama ini karena sifatnya karena sifatnya ketika ketentuan pokok dan materi pengaturan sudah ada dipaksakan untuk diterima oleh pihak yang lain. Pengertiannya begini, jikalau standar kontrak sudah ada maka kontraktor yang ingin mendapatkan wilayah kerja kemudian melakukan 16
kegiatan hulu migas maka diberikan kontrak, this is the contract, ini materinya, Anda setuju Anda ambil, dan tidak setuju just leave it. Jadi tidak ada kebebasan bagi para pihak untuk melakukan negosiasi kecuali hal-hal yang berkaitan dengan numbers, kecuali yang berkaitan dengan angka, misalnya di dalam kontrak yang mengatur masalah penandatanganan yang harus disepakati berapa yang harus diberikan pada Pemerintah? Di dalam kontrak itu ada yang mengatur masalah pajak itu diatur, ada yang namanya investment credit dan itu diatur tapi itu dasarnya adalah peraturan perundang-undangan. Jadi pada hakikatnya ketika kita berbicara standar kontrak, ada satu standar kontrak yang dipaksakan oleh para kontraktor, persyaratanpersyaratan itu tadi sudah disampaikan oleh Kuasa Hukum dari DPR terdiri dari tiga hal, yang pertama, kepemilikan Migas tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan. Hal ini tentu sesuai dengan filosofi the transfer of ownership of the resources, di dalam semua kajian dan di dalam semua pendapat bahwa memang kepemilikan itu tetap berada di Pemerintah ketika terjadi pembayaran royalti misalnya, terjadi pembayaran yang menyebabkan terjadi pengalihan maka di situ terjadi pengalihan. Yang kedua, kendali manajemen tetap berada di kontraktor dan itu dilakukan pengawasan oleh BP Migas dan ini juga menjadi standar hampir di semua resources contract, baik itu di kontrak pertambangan, kontrak geo thermal, kontrak batubara bahwa modal dan resiko seluruhnya ditanggung oleh kontraktor. 39.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Atau karena tentu sudah koordinasi antara Pemohon dengan Ahli, Saudara sudah mempersiapkan diri mempelajari permohonan ini silakan menyampaikan saja apa yang perlu disampaikan, biar tidak usah tanya satu-satu atau masih ada yang belum ditanyakan? You ajukan saja pertanyaan borongan begitu.
40.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Baik pertanyaan saya selanjutnya adalah terhadap KKS yang tadi disampaikan, sejauh mana menurut keahlian Saudara, mohon dijelaskan kepada kami, dampak yang ditimbulkan dari suatu KKS yang mempunyai akibat luas dengan rakyat atau beban keuangan dan perekonomian negara dan kemudian mohon dijelaskan apakah KKS ini di dalamnya juga mengandung unsur-unsur publik misalnya mengenai environment, kepentingan rakyat, ekonomi, dan bahkan kedaulatan negara di dalam KKS. Kemudian juga mohon dijelaskan sistematika struktur KKS apakah bisa dibandingkan dengan kontrak karya dan menurut keahlian Saudara Ahli pula dalam mengamati KKS ini, sejauh mana pula KKS ini mengabsorsi dan mengadopsi ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional, apabila iya, apakah bisa diberikan contoh17
contohnya mengenai pengadopsian hukum internasional dan juga mohon dijelaskan pula mengenai cost recovery yang ada di KKS dan sejauh mana pula pengaruhnya terhadap perekonomian negara? Sementara dari kami demikian, terima kasih.
41.
AHLI DARI PEMOHON : RYAD ARESHMAN CHAIRIL Terima kasih Bapak Majelis Hakim yang kami hormati.
42.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi begini ya, itu pertanyaannya borongan karena Saudara prinsipnya sudah pelajari permohonan ini Saudara sampaikan pendapat Saudara mengenai substansi permohonan ini dengan berusaha mengaitkannya dengan keahlian Saudara dan kaitannya dengan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi tugasnya menguji konstitusionalitas undang-undang, sehingga jikalau ada hal-hal lain yang tidak berkaitan tidak usah disampaikan, yang ada kaitan soal konstitusionalitas undang-undang ini saja supaya fokus, silakan.
43.
AHLI DARI PEMOHON : RYAD ARESHMAN CHAIRIL Terima kasih Bapak Majelis yang kami hormati, Fokus dari pemberian kesaksian kami adalah betapa pentingnya fungsi pengawasan harus dilakukan sebelum kontrak itu ditandatangani. Saya ingin masuk ke dalam pertanyaan ini sebentar dan kemudian saya masuk ke dalam fokus ini adalah jikalau pertanyaannya adalah apakah KKS menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat? Jawabannya adalah iya. Undang-Undang Migas mengakui hal tersebut di bagian menimbang. Pertama, Migas dikatakan di dalam bagian menimbang Undang-Undang Migas sebagai sumber daya alam strategis, tidak terbaharukan dan itu wajib dikuasai oleh negara. Kedua, Migas merupakan komoditi vital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Jelas sekali itu dikatakan di bagian menimbang Undang-Undang Migas. Oleh karenanya industri Migas memegang peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian ekonomi nasional. Sebagai dampak dari itu semua, industri Migas diharapkan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat. Bagaimana kaitan KKS dengan beban negara? Di dalam format KKS dan hampir semua production sharing contract, ada sebagian negara yang mungkin punya pengaturan. Sedikit saja, Bapak Majelis yang kami hormati, ada satu pengaturan yang dinamakan cost recovery, it is a recoverable cost, biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan yang nantinya akan diganti oleh Pemerintah. Dengan catatan, bahwa kontraktor tersebut harus sudah bisa memasuki dan 18
berhasil memproduksikan Migasnya secara komersil. Sebelum fase komersial maka seluruh resiko harus menjadi tanggung jawab kontraktor. Cost recovery jelas menjadi beban tanggungan negara karena di dalam ketentuan KKS Indonesia dikatakan bahwa semua biaya operasi setelah dia masuk ke dalam operasi produksi, operasi komersial maka dia harus masuk cost recovery. Apa saja yang termasuk ke dalam biaya operasi? Kontrak bagi hasil mengatakan ada tiga elemen. Pertama adalah yang dinamakan sebagai biaya bukan modal. Kedua, biaya depresiasi modal dan ketiga biaya operasi yang pada tahun sebelumnya belum di-recoverable. Apa saja biaya bukan modal? Ini adalah elemennya, sangat banyak sekali Bapak Majelis, kami tuliskan hanya sebagian saja untuk mempersingkat paparan, tapi hal tersebut bisa dilihat di bagian annex dikontrak kerja sama, di antaranya adalah: 1. semua biaya operasi dimulai dari biaya buruh, biaya material, jasa-jasa yang digunakan, sampai dengan fasilitas pemrosesan gas dan biaya operasi lainnya. Sayangnya kontrak tidak men-defined apa yang dimaksud dengan biaya operasi lainnya? 2. semua biaya kantor, jasa, administrasi umum, hingga biaya personel humas, dan biaya yang dikeluarkan di luar expenses. 3. biaya pengeboran untuk produksi, eksplorasi, biaya survey, melakukan penyelidikan dan biaya kegiatan eksplorasi yang lainnya, serta mungkin yang akan di-cost recovery adalah biaya-biaya yang berkaitan dengan pelatihan-pelatihan. Biaya modal di antaranya adalah construction, utilities, construction housing, production facilities (fasilitas produksi) dan barang-barang yang bergerak. Ke semua itu adalah biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah ketika kontraktor, ketika perusahaan sudah dapat berhasil masuk ke dalam tahap produksi komersial. Pertanyaan dari pihak Pemohon yang berkaitan dengan adakah kiranya keterkaitan antara pengaturan di dalam kontrak kerjasama dengan hukum internasional? Ada beberapa section, ada beberapa pasal di dalam kontrak kerja sama. Sepanjang sepengetahuan kami yang punya keterkaitan baik itu secara langsung maupun tidak langsung dengan pengaturan di hukum internasional. Dan ini berlaku di semua hampir di semua kontrak pertambangan, kontrak batubara, kontrak listrik, PPA, GOC, kontrak geo thermal yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah aspek penyelesaian sengketa, dispute settlement, dispute settlement di dalam kontrak itu memakai metode ICC, rules-nya adalah ICC, tempatnya bisa dimana saja. Kontrak menjelaskan berapa banyak arbitral yang harus ditetapkan, bagaimana metodenya, bagaimana mekanismenya. Jikalau kita perhatikan ada satu ketentuan di dalam kontrak bagi hasil terutama kontrak bagi hasil yang ditandatangani setelah diterbitkannya Undang-Undang Migas, ada satu ketentuan yang namanya pengalihan hak dan kewajiban assignment dan ini berkaitan dengan adanya kewajiban bagi kontraktor untuk menyerahkan sepuluh persen kepemilikannya kepada pihak dalam negeri. Dalam proses 19
transaksi assignment tersebut, tentunya ada satu keterkaitan dengan hukum internasional, dimana para pemegang saham BUT (bentuk usaha tetap) diminta untuk mengalihkan sahamnya kepada pihak dalam negeri, ada berapa hal-hal yang harus dipenuhi, misalnya sistem perpajakan din egaranya, hal-hal yang berkaitan dengan sistem hukum di negara yang bersangkutan dan ini harus disetel sedemikian rupa sehingga pengaturannya itu bisa membuat win-win bagi semua pihak. Jadi tidak bisa kemudian hukum Indonesia an sich mengatur masalah pengalihan hak dan kewajiban. Hal yang lebih penting lagi adalah derivative contract yang secara tidak langsung mungkin terkait. Kontrak berbicara masalah marketing di oil and gas product, tentunya akan ada timbul apa yang namanya satu bentuk agreement yang namanya sales purchase agreement. Di situ ada isu-isu komersial yang harus diamankan dan tentunya bagi pihak yang punya kepentingan untuk membeli produk Migas dia harus mengkaitkan ini dengan hukum internasional dan yang lain-lainnya. Misalnya salah satu contoh di project Tangguh misalnya yang kami ketahui. Ada ketentuan dalam kontraknya yang mengatur masalah hardship. Mereka minta indemnity misalnya, dia ingin minta kepada kontraktor, kontraktor meminta kepada pemerintahan Indonesia jikalau terjadi perubahan-perubahan peraturan, maka yang akan kami pegang Anda, kalau terjadi hal-hal yang berkaitan dengan project ini yang akan kami pegang adalah Anda, kenapa? Karena kami terikat dengan prosedur pinjaman dana, misalnya financial institution, kami punya keharusan bagi kami untuk menjamin project ini. Karenanya kalau dari sisi pengaturan kontrak kerja sama, kami memandang ada pengaturan hukum internasional yang berjalan di dalam materi muatan kontrak kerja sama dan ini diakui oleh Undang-Undang Migas. Di dalam ketentuan pokok yang tadi telah disampaikan bahwa salah satu materi yang harus diatur berdasarkan Undang-Undang Migas di dalam kontrak kerja sama adalah penyelesaian sengketa. Jadi dengan demikian kami memandang ada hubungan yang erat antara pengaturan hukum internasional dengan pengaturan di kontrak. Berkaitan dengan fungsi pengawasan, kami memandang bahwa penting sekali untuk dilakukan pengawasan sebelum kontrak ini ditandatangani, kenapa itu menjadi penting? Preseden yang ada di Republik ini adalah berkaitan dengan penandatanganan di sektor mineral dan batu bara. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan Umum itu mengharuskan setiap kontrak karya, setiap kontrak batubara sebelum ditandatangani oleh Pemerintah dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR. Kami ingin tunjukkan salah satu bentuk, ini adalah salah satu bentuk kontrak karya antara Pemerintah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kontrak karya ini adalah kontrak generasi keempat, yang ditandatangani oleh Pemerintah pada sekitar tahun 1985. Pengaturan tiap generasi antara kontrak pertama sampai kontrak ketujuh pada
20
prinsipnya sama, kecuali berbeda secara number, karena berkaitan dengan perubahan peraturan perpajakan di dalam negeri. Kontrak ini sama dengan kontrak kerja sama, pengertiannya adalah Pemerintah punya standar kontrak, kami punya ini Anda mau silakan ambil, Anda tidak mau, tinggalkan negara kami. Jadi ada unsur pemaksaan di dalam pembelian kontrak ini, jadi tidak bebas lagi para pihak untuk melakukan negosiasi secara keperdataan. Sebagai salah satu contoh, terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 yang berkaitan bahwa kontrak tersebut sebelum ditandatangani harus mendapat rekomendasi DPR adalah kontrak karya. Surat ini adalah surat dari Presiden yang disertai di dalam kontrak karya. Jadi setiap ada kontrak karya itu selalu ada persetujuan Presiden dan di dalamnya persetujuan Presiden tersebut diatur bahwa meminta kepada Menteri Pertambangan dan Energi sekarang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menandatangani kontrak itu karena kontrak tersebut sudah mendapat rekomendasi dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi bisa dilihat dari suratnya sehubungan dengan surat Saudara nomor sekian-sekian serta menunjuk surat-surat rekomendasi dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Ada sebuah preseden di dalam pengaturan undangundang di Republik ini bahwa kontrak kerja di bidang energi dan sumber daya mineral mendapat persetujuan terlebih dahulu sebelum ditandatangani oleh Pemerintah. Hal ini tentunya berbeda dengan pengaturan di Undang-Undang Migas dimana DPR itu hanya diberikan secara tertulis. Bapak Majelis Hakim yang kami hormati, Apa perbedaan kontrak kerja sama yang ditandatangani tanpa melewati proses pembahasan di DPR dengan demikian mendapat rekomendasi atau persetujuan DPR dengan kontrak karya di bidang pertambangan dan batu bara yang melalui proses pembahasan di DPR kemudian mendapat persetujuan DPR untuk kemudian ditandatangani oleh Pemerintah? Secara umum kami bisa gambarkan format dan stuktur kontraknya. Terlihat sekali bahwa kontrak kerja sama memuat pasal yang lebih sedikit daripada kontrak karya. Kalau kita bisa lihat pasal dari kontrak kerja sama sekitar 22 pasal dan mengikuti exhibit dan lampiranlampirannya, sementara kontrak karya mempunyai 35 Pasal. Kita lihat dari materi-materi pengaturannya, lebih jelas, lebih rigid, lebih rinci. Ketika bicara masalah kegiatan usaha pertambangan kontrak karya menjelaskan bagaimana seharusnya eksplorasinya itu dilakukan, bagaimana seharusnya bor itu ditaruh, bagaimana Anda menebang pohon, begitu juga ketika general survey. Ketika bicara masalah praoperasi ada sebuah pasal khusus yang berkaitan dengan contraction, ada pasal khusus yang mengatur masalah feasibility studies, studi kelayakan dan itu dijabarkan secara rinci dalam kontrak karya. Hal yang ini kami dapatkan dengan mempelajari dan mengkaji bukti yang disampaikan oleh Pemohon kepada kami, berbeda sekali pengaturanya dengan kontrak kerja sama di bidang migas. Kontrak kerja 21
sama di bidang migas diatur secara umum. Ketika kita bicara masalah kegiatan usaha maka dia diatur di satu pasal dengan mengatakan bahwa ada kegiatan eksplorasi, tapi tidak dijelaskan bagaimana harus mengaturnya? Ketika berbicara masalah operasi produksi, tidak jelas, bukan tidak jelas, tidak serinci pengaturannya dengan kontrak karya dan yang lebih penting lagi berkaitan dengan ini Bapak Majelis Hakim yang kami muliakan, keadaan kahar misalnya, salah satu contoh force majeur menjadi sebuah materi muatan yang sangat penting sedemikian rupa sehingga dia harus diatur, kontrak karya mengatur itu. Kontrak karya mengatur ketika terjadi force majeur bagaimana prosesnya dan bagaimana mekanismenya untuk menetapkan satu keadaan bisa dikatakan sebagai keadaan kahar. Berbeda dengan kontrak kerja sama, force majeur hanya diatur dalam definisi, hanya di-defined tidak diatur. Pertanyaannya adalah ketika kita mengaitkan kasus ini dengan kasus Lapindo, misalnya bagaimana secara yuridis kasus Lapindo itu bisa dinyatakan kasus force majeur. Kalau itu dikatakan force majeur siapa yang harus menetapkan? Kontrak kerja sama tidak mengatur masalah itu, tetapi kontrak karya mengatur dengan lebih detail. Bapak Majelis Hakim yang kami muliakan, kontrak karya adalah kontrak yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR terlebih dahulu. Bapak Majelis yang kami muliakan, dari hasil kajian kami terhadap bukti kontrak yang disampaikan kepada kami, maka kami menemukan ada beberapa kesalahan mendasar yang bisa berakibat terhadap keseimbangan pengaturan industri Migas yang nanti berakibat tidak tercapainya tujuan diadakannya kegiatan hulu Migas. Kami mendapatkan ada beberapa kelemahan dalam ketentuan kontrak kerja sama. Pertama kelemahan yang sangat mendasar adalah kontrak kerja sama salah dalam menetapkan status BP Migas itu sebenarnya. Di dalam kontrak kerja sama dikatakan bahwa—di bagian awalnya—this contract made and enter into, tanggal between Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas yang kemudian disebut sebagai BP Migas sebagai state owned body, sebagian bisa menterjemahkan ini sebagai institusi negara sebagian mengatakan sebagai BUMN—Badan Usaha Milik Negara, tapi ada yang mengatakan BUMN itu ditafsirkan sebagai state owned
enterprises. Bapak Majelis Hakim, BP Migas bukan stated owned body, dia adalah state owned legal entity, Badan Hukum Milik Negara. Salah dalam menetapkan status BP Migas di dalam kontrak ini akan mempengaruhi struktur kontrak kerja sama. Jikalau terjadi dalam the worst scenario, bagaimana peletakan institusi BP Migas tentunya dia tidak bisa masuk dalam pengaturan Undang-Undang BUMN tapi kontraknya mengatakan dia sebagai stated owned body. Bapak Majelis, jikalau di dalam perumusan naskah kontrak kerja sama ini ada sebuah fungsi
22
pengawasan yang dilakukan oleh DPR, kami yakin hal-hal yang sifatnya mendasar seperti ini tidak akan terjadi. Bapak Majelis, kami juga mendapati ada beberapa kelemahan di dalam kontrak kerja yang belum memenuhi ketentuan Pasal 26 UndangUndang Migas yang berkaitan dengan wajibnya sebuah kontrak untuk memenuhi sebuah ketentuan pokok. Ada beberapa ketentuan pokok yang dikatakan di dalam Undang-Undang Migas itu wajib, harus ada. Kami menafsirkan bahwa ketentuan pokok itu adalah pasal di dalam kontrak. Kalau kita lihat ketentuan pokok yang terdapat di dalam Undang-Undang Migas itu adalah dari 1 sampai 17 sebagaimana yang telah disampaikan oleh Kuasa Hukum DPR, tapi kalau kita lihat ada berapa hal yang belum termuat, diatur secara detail di dalam kontrak kerja sama. Misalnya berkaitan dengan pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, community development hasn’t been defined, hasn’t been regulated in detail, padahal undang-undang itu meminta untuk mengatur itu secara detail. Sekali lagi Bapak Majelis Hakim, jikalau di dalam perumusan naskah kontrak kerja sama ini ada sebuah fungsi mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh DPR kami mempunyai sebuah keyakinan bahwa hal-hal seperti ini bisa kita antisipasi karena ini berkait sekali dengan kepentingan rakyat banyak. Yang berikutnya Bapak Majelis Hakim, to the best of my knowledge, bahwa kami melihat sejak diterbitkannya Undang-Undang Migas belum pernah dilakukan perubahan pihak secara kontraktual di dalam kontrak kerja sama. Undang-undang mengatakan bahwa hak dan kewajiban Pertamina beralih kepada BP Migas, itu diatur di dalam Pasal 63 Undang-Undang Migas. Tapi secara formal kontraktual undang-undang itu belum dilaksanakan, belum dijabarkan dalam perubahan amandemen kontrak yang sedemikian rupa, sehingga pihak yang tadinya Pertamina secara kontraktual diubah menjadi BP Migas. Preseden ini sudah ada Bapak Majelis Hakim, di dalam industri pertambangan. Pada saat itu Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 yang mengalihkan hak dan kewajiban perusahaan umum batubara karena saat itu yang berkontrak adalah perusahaan batubara negara dengan kontraktor dengan adanya Keppres Nomor 75 Tahun 1996, hak dan kewajiban yang kemudian beralih dari perusahaan batubara menjadi Pemerintah dan itu dilaksanakan oleh Pemerintah dengan melakukan perubahan pihak di dalam kontrak. Jadi kalau Bapak Majelis Hakim melihat kontrak-kontrak batubara seperti kontrak di generasi satu antara Kaltim Prima Promacol, Arutmin itu sudah dilakukan perubahan pihak di dalam kontrak, hal yang ini belum dilakukan di dalam kontrak kerja sama. Berkaitan dengan kontrakkontrak yang sudah ada sebelum terbitnya undang-undang, apa implikasinya Bapak Majelis? Kami mengambil contoh misalnya kasus Lapindo, andaikan kasus Lapindo ini berujung pada permasalahan hukum, pertanyaan mendasarnya adalah siapa pihak di dalam kontrak 23
itu? Undang-Undang Migas mengatakan bahwa hak dan kewajiban Pertamina sudah beralih pada BP Migas, tapi fakta hukumnya memperlihatkan pihak di dalam kontrak itu masih Pertamina, belum terjadi perubahan. Oleh karena siapa yang akan berpihak yang nantinya yang akan bertanggung jawab? Apakah dia Pertamina atau BP Migas akan ada kerancuan dalam menentukan siapa pihak kalau ini tidak diubah. Sekali lagi Bapak Majelis jika ada fungsi pengawasan yang dilakukan sebelum kontrak kerja sama ini ditandatangani, kami yakin persoalan-persoalan mendasar ini akan bisa diminimisasi. Yang berikutnya berkaitan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi, dimana pada Keputusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review tentang Undang-Undang Migas yang lalu, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa berkaitan dengan DMO (Domestic Market Obligation) maka perusahaan wajib menyerahkan 25%. Kontrak kerja sama, belum melakukan perubahan terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi, bunyinya masih sama, salah satu pasal mengatakan bahwa after commercial production commences – dilaksanakannya commercial production, maka kontraktor itu akan melaksanakan kewajibannya untuk memasarkan atau memenuhi kebutuhan supply dalam negeri. Pertanyaan mendasarnya berapa yang harus disetor oleh kontraktor kepada nasional, kepada dalam negeri? Apakah 25%? Undang-Undang Migas belum dilakukan perubahan. Berapa banyak? Pengaturan ini menyebabkan, kevakuman ini akan menyebabkan persoalan terhadap yang berkaitan dengan supply Migas dalam negeri. Yang kami khawatir ini akan berdampak pula terhadap kemaslahatan masyarakat banyak. Yang lainnya ada sifatnya sederhana saja, tetapi ini mungkin bisa sedikit bisa mengakibatkan hal yang punya potensi mendasar di masalah hukum. Salah satu kelemahannya adalah kalau kita perhatikan definisi minyak mentah di dalam kontrak kerja sama ternyata berbeda dengan definisi minyak mentah atau minyak bumi yang diatur di dalam Undang-Undang Migas. Ada norma, ada pelaksana. Ada norma undang-undang yang mengatakan bahwa BP Migas itu sebagai BHMN pelaksanaannya ini sebagai state owned body, ada norma yang mangatakan bahwa minyak bumi definisinya A, kenyataannya dalam kontrak kerja sama definisinya bunyinya lain. Bapak Majelis hakim yang kami hormati, Jikalau ada fungsi pengawasan yang dilakukan sebelum kontrak ini ditandatangani, kami mempunyai keyakinan bahwa kesalahankesalahan mendasar ini yang nantinya bisa berdampak secara luas terhadap perekonomian, terhadap sosial kemasyarakatan bisa dihindarkan. Terima kasih Pak. 44.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, poinnya sudah jelas ya, soal pengawasan oleh DPR. 24
Cukup? Saya kira cukup ya? 45.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Sementara untuk Ahli yang pertama cukup Yang Mulia.
46.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan yang kedua!
47.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Baik, untuk Ahli yang kedua kepada (...)
48.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kasih pertanyaan borongan juga.
49.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Baik Yang Mulia, untuk efisiensi waktu. Kepada Bapak Muhammad Said Nisar, mohon diuraikan dan dijelaskan kepada kami mengenai bagaimana perkembangan hukum di internasional dewasa ini dihubungkan tentunya dengan adanya konvensikonvensi, misalnya Konvensi Wina, Resolusi PBB mengenai Permanent Sovereignty Over Natural Resources, kemudian sejauh mana pula hukum internasional itu bisa mempengaruhi hukum nasional kita? Kemudian bagaimana Indonesia memandang dan memperlakukan hukum internasional? Dan sejauh mana pula hukum internasional masuk dan mempengaruhi kedaulatan suatu negara? Kemudian pertanyaan selanjutnya mengenai setelah penjelasan hukum internasional yang tentunya dihubungkan dengan menurut pendapat dan sepengetahuan Ahli apa yang sebenarnya yang dimaksud perjanjian internasional itu sendiri? Unsur-unsur pokok dari suatu perjanjian internasional, dalam kata lain apa ukuran sehingga sebuah perjanjian itu dikatakan suatu perjanjian internasional? Apakah hanya terbatas kepada subjeknya saja seperti apa yang dikatakan rekan DPR atau governing law-nya saja atau juga sekarang sudah berkembang menjadi international law absorption over the international customarily law dan lain sebagainya? Untuk itu mohon dijelaskan juga satu persatu mengenai subjek dari perjanjian internasional, sejauh mana perkembangannya? Apakah masih terbatas kepada negara atau state atau entitas lain mengatasnamakan negara atau ada perkembangan lain, bagaimana hukum internasional dewasa ini melihat hal tersebut? Kemudian mengenai governing law dari suatu perjanjian internasional, apakah harus govern by international law atau kata lain 25
tidak boleh ditundukkan kepada suatu hukum nasional tertentu, sehingga jika suatu kontrak atau perjanjian governing law-nya adalah suatu hukum nasional tertentu, berarti bukan perjanjian internasional, tetapi bagaimana pula dalam perjanjian tersebut ternyata dispute settlement-nya secara jelas penyelesaian sengketanya menggunakan ketentuan-ketentuan internasional, misalnya ICC (International Chamber of Commerce) Sementara dari kami demikian, mohon diuraikan lagi lebih jelas dan terinci. Terima kasih. 50.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan.
51.
AHLI DARI PEMOHON :MUHAMMAD SAID NISAR Bapak Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan dan para Anggota Majelis. Izinkanlah saya memberikan penjelasan sesuai dengan kemampuan saya dari segi akademik. Dan saya teringat dan saya tangkap pesan dari Bapak Ketua Majelis bahwa mencoba mengaitkan persoalan ini dengan persoalan hukum, lalu bagaimana sebenarnya untuk mencari supaya lebih fokus dalam memberikan penjelasan sesuai dengan kemampuan akademik yang saya miliki. Bismillaahirrahmaanirrahim. Kalau saya melihat ini sidang pada hari ini, hati saya bergetar, karena kenapa? Gunung-gunung yang ada di seluruh pelosok Indonesia, pohon-pohon yang ada di seluruh Indonesia itu semua bergoyang karena diskusi pada hari ini di muka Majelis yang saya muliakan, itu berarti punya dampak yang sangat luas. Saya ditanya oleh Pemohon pertama kali, apa yang dimaksud dengan hukum internasional? Pertanyaan ini saya mau tanyakan lagi di gedung ini? apa itu hukum internasional sebenarnya? Tadi dari perwakilan Kuasa Hukum dari DPR, saya mencatat kurang lebih 20 kali menyebut hukum internasional, sekarang saya mau tanya apa itu hukum internasional? Dan saya akan berbicara sendiri . Hukum internasional banyak definisinya, tapi kalau kita pelajari secara mendalam hukum internasional itu sulit diketahui yang mana itu hukum internasional? Tidak bisa ditangkap, karena berkembang terus suatu kelompok aturan-aturan hukum, a body of principle, sekelompok prinsipprinsip hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan negara, yang mengatur antara negara dengan organissi internasional, yang mengatur kedudukan individu dalam karakter tertentu. Kalau kita mau cari dimana itu aturan-aturan hukum internasional orang suka menyebut itu. Lalu bagaimana cara memandang hukum internasional itu? Ini persoalan besar, karena ada orang mengatakan international law is just 26
victorious law, hukum internasional itu adalah hukumnya orang-orang yang memenangkan peperangan, yang dibuat oleh mereka sekarang kita melihat bahwa kalau body of rules, kita lihat pada perjanjian-perjanjian internasional, kita lihat kepada international customary law, kita melihat kepada domestic law yang tertanam di setiap negara yang sedang berkembang, itu body of rules dimana itu semua ditemukan, lihat di setiap perjanjian yang bersifat multilateral dan lihatlah perjanjian yang bersifat bilateral, hampir semua muatannya itu saling terkait satu sama lain. Apa intinya kalau kita ingin melihat perjanjian internasional itu? Perjanjian internasional itu kita harus memiliki mata elang. Elang yang terbang tinggi di atas gunung, dia bisa melihat tikus yang bersembunyi di semak-semak belukar, mampukah kita melakukan hal itu untuk melihat suatu perjanjian? Mampukah kita memiliki mata elang untuk melihat tikus yang bersembunyi di situ? Ini persoalan besar, belum lagi kita bicara body of principles dimana prinsip yang ditemukan itu prinsipprinsip hukum internasional seperti facta sunct servanda, perjanjian itu mengikat siapa yang bilang begitu? Itu negara-negara industri maju Amerika dan European Economic community mempelopori prinsip itu, tapi negara-negara sedang berkembang dia tantang itu dan dia mengatakan prinsip itu tidak berlaku, yang berlaku adalah rebus sic tansibus, perjanjian berubah kalau situasi berubah, wah ini berbahaya sangat berbahaya. Dan tidak boleh kita telan begitu saja, itulah saya katakan tadi mengapa persoalan itu dibawa ke Mahkamah Konstitusi, itu persoalannya. Adakah kita punya nuansa pemikiran? saya coba fokus kepada KKS, yang disebut oleh Bapak sebagai standard of contract, apa itu artinya KKS? Apakah dia independen? Berdiri sendiri secara an sich? Ditaruh di atas meja tidak ada kaitannya dengan yang lain? Kalau begitu Anda buta dan kita semua menjadi buta, tidak melihat international state trading system, bagaimana sistem perdagangan internasional berlaku? Apakah Anda bisa mendeteksi, commercial policy daripada negaranegara maju Amerika, Uni Eropa, bagaimana hal itu dilakukan? Jadi KKS tidak berdiri sendiri bukan satu barang yang ditaruh di atas meja, domestik sifatnya, dan an sich, tidak! Dia terkait banyak cantolancantolannya, jadi ini semua untuk menyadarkan kita. Saya ambil contoh, setiap modal yang keluar dari negara industri maju itu dikawal oleh sejumlah prinsip-prinsip hukum internasional, dikawal oleh sejumlah aturan-aturan hukum internasional, apakah kita sudah mempersiapkan bagaiman modal asing masuk ke Indonesia? Bukan berarti kita anti modal asing. Tapi siapkah kita menerima modal itu? Bagaimana cara kita mengkritisi, di ekonomi Eropa itu sendiri itu ada enam lembaga yang mengawal investasi asing mereka, yaitu dia punya European Chamber of Commerce, ada juga mengenai Council of Euro, ada juga European Community, ada sejumlah enam kurang lebih itu, saya lupa menyebutkan satu persatu tapi saya catat itu, nanti saya tulis itu, jadi untuk mempersingkat acara. Jadi European Economic Community ini dia telah melakukan—ini salah satu contoh saja—dia melakukan master 27
treaty itu di tahun 1996, yaitu bagaimana untuk membentuk one city government. Jadi Uni Eropa mau dibentuk menjadi one city government, satu suara keluar, tapi apa yang terjadi? Di Eropa sendiri tidak mentaati perjanjian tersebut yang telah diratifikasi sejumlah negara di sana karena dia ingin mempersatukan bahwa yang disebut dengan warga negara itu hanya satu, warga negara Uni Eropa, tapi itu tidak berlaku. Warga negara Belanda tetap warga negara Belanda, warga negara Perancis tetap Perancis dan dia melanggar perjanjian master yang sudah mereka ratifikasi antar mereka sendiri. Kenapa kita sudah dibilang facta sunct servanda, hukum internasional ya monggo silakan, duduk kita terima dengan baik, begitu murahnya kita sebagai suatu bangsa, ini yang harus kita contoh mengenai perjanjian yang sudah diratifikasi kita bilang ini konvensi internasional, sudah hukum internasional, ya taat saja. Jadi itu suatu pemikiran, jadi saya katakan sekali lagi bahwa KKS itu terikat dengan international trading system, terikat dengan pemahaman bahwa kita ini sulit mendeksi commercial policy dari negaranegara maju dan mereka mengawal dia punya investasi dan kerjasama itu dengan sejumlah perjanjian-perjanjian internasional dimana Indonesia telah terikat sebelumnya, seperti perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian dagang yang lainnya yang sudah seperti MIGA, MIGA itu dalam bidang asuransi, MIGA—Multilateral Insurance Guarantee Agency, itu dibuat di Amerika dan Amerika sendiri membuat sejumlah act, tapi apa yang terjadi di negara Amerika yang begitu hebat? Dia punya pemikir-pemikir yang hebat di sana, mereka tetap mempersilakan Presidennya, “silakan Bapak Presiden melakukan pembicaraan di tingkat internasional mengenai investasi”. Dia katakan begini, “Mr. President,
please you can go to negotiate all you want, Mr. President, you can go to any country, you can negotiate everything you want but please bring back for congressional approval any agreement you make it already”. Jadi dia bilang sama presidennya, silakan, whatever you want, tapi bring back in order to get approval from congress all agreement you make it. Ini menandakan bahwa presiden tidak bebas melakukan itu, berarti eksekutif tidak bebas melakukan itu, ini salah satu contoh kecil di dalam bagaimana menyiasati itu (...) 52.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. . Tolong, masih ada dua lagi yang harus kita dengar!
53.
AHLI DARI PEMOHON :MUHAMMAD SAID NISAR Maaf Pak saya akan coba kembali ke fokus lagi, saya sangat terpengaruh dengan situasi ini. Jadi saya ingin menjelaskan bahwa standard of contract ini, ini adalah gurita, octopus, banyak dia punya jaringan yang kita tidak pahami dan kita tidak sadari karena kita tidak 28
memiliki mata elang, jadi sangat berbahaya. Perbedaan antara hukum publik dengan hukum perdata, apakah ini hukum publik atau perdata itu sudah tidak berlaku lagi, kenapa dikatakan tidak berlaku? Karena public law, hukum publik, dan hukum privat telah mengalami proses private sharing, jadi public law mengalami private sharing sedangkan private law mengalami public sharing, jadi dia menyatu. Bagaimana kita harus membedakan itu? Ini yang menjadi problem, lalu yang ingin saya katakan lagi barangkali apakah nanti sebentar baru kita kembangkan lagi karena saya telah diperingati, jadi memang satu poin lagi untuk menjelaskan suasana ini bahwa memang beberapa tahun yang lalu di tahun 1970 barangkali, negara-negara sedang berkembang yang jumlahnya 117 negara, mereka telah mendominasi Majelis Umum PBB dan dia ingin mengoreksi secara total, seluruh commercial policy dari negara industri maju dan negara berkembang dia yang koreksi, itulah yang dia sebut the new international economy order, tatanan hukum ekonomi internasional, tapi tidak berhasil, tetapi tidak berhasil dalam bentuk bahwa mereka telah melahirkan sejumlah instrumen hukum, seperti permanent sovereignty over natural resources. Yang menjadi pertanyaan di hadapan Majelis yang mulia, apakah kita masih punya permanent sovereignty over our natural resources Indonesia yang telah dijelaskan tadi secara mekanisme dan teknisnya, kalau tidak ada permanent sovereignty over natural resources ke mana kita harus bertanya kalau bukan di gedung ini? Terima kasih, assalamu’alaikum wr. wb. 54.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Yang Mulia, sebetulnya masih ada yang kurang boleh dijelaskan mohon maaf, Saudara Ahli, masih ada yang kurang yang Mulia, tadi ada yang kelewat.
55.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa itu?
56.
KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI. S. HARIBOWO, S.H. Butuh konfirmasi, ada pertanyaan tapi belum terkonfirmasikan, hanya mohon ketegasan apakah suatu perjanjian itu disebut suatu perjanjian internasional hanya karena subjeknya harus state to state, harus governing law-nya hukum internasional, bagaimana perkembangannya sekarang ini? Kalau lebih dibumikan lagi kita tadi bicara KKS, apakah KKS ini boleh kita sebut sebagai sebuah perjanjian internasional. Tentunya ini kami mengacu kepada ketentuan Pasal 11 di Konstitusi.
29
57.
AHLI DARI PEMOHON :MUHAMMAD SAID NISAR Terima kasih, Bapak Majelis Mahkamah untuk menjawab pertanyaan ini singkat saja, bahwa memang di dalam kedudukan pemahaman mengenai perjanjian internasional ini sudah bergeser. Orang kalau pakai judul dia hanya sebut international transaction, baru di bawahnya dibagi treaty and executive agreement. Jadi ada istilah executive agreement— persetujuan eksekutif. Persetujuan eksekutif ini kandungannya yaitu bahwa di situ ada peran Pemerintah. Jadi kalau dikatakan ini untuk memilah-milah, apakah ini masuk perjanjian internasional, apakah KKS, apakah domestik? Tadi saya sudah jelaskan bahwa sejumlah konvensi internasional yang terkait dengan semua perjanjian dalam negeri bahkan kita katakan domestik, bahkan kalau itu disebut berlaku hukum nasional itu tidak boleh kita percaya begitu saja, karena nanti dilarikan pada badan arbitrase internasional. Walaupun dikatakan bahwa yang berlaku ini adalah hukum nasional Indonesia, tetapi itu akan dilarikan pada badan arbitrase internasional. Ada cerita lucu sedikit (...)
58.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Mic-nya agak dekat! 59.
AHLI DARI PEMOHON :MUHAMMAD SAID NISAR Lucu sedikit ini yaitu suatu negara di Timur Tengah kalau tidak salah itu negara kecil, Sudan yang ada pantainya, saya lupa namanya tapi ini cerita lama. Ada perjanjian di situ dikatakan bahwa kalau terjadi sengketa antar mereka itu akan diselesaikan menurut Al-Quran. Jadi kalau ada sengketa perminyakan karena kebetulan ada pipa minyak yang menjurus ke negara lain sehingga digugat begitu, tapi perjanjian dalam negeri yang dibuat oleh mereka kalau terjadi sengketa diselesaikan menurut Al-Quran. Setelah dibaca Al-Quran di dalam Al-Quran tidak mengandung pengertian yang bersifat teknis, tidak ada solusinya yang bersifat teknis, oleh sebab itu dilarikan ke forum internasional, begitulah cara mereka membuat perjanjian-perjanjian bahwa ini perjanjian hukum internasional yang berlaku, tapi masalah moneternya, masalah asuransinya, masalah hukum yang berlaku semua sudah ada di luar, mereka sudah tahu itu, dilarikan itu ke badan arbitrase. Ada critical point-nya, ada juntrungannya, sehingga kita sulit untuk membedakan sekarang. Sekarang pertanyaannya, yang mana lebih menguntungkan untuk Indonesia? Kalau kita terikat pada normatif saja, jadi norma itu untuk apa? Kalau normanya saja, norma untuk norma, sign for sign, maka bunyinya yaitu yang tertulis domestik baca domestik karena norma for 30
norma. Tetapi kalau kita bertanya untuk apa dibedakan, untuk kepentingan siapa? 80 juta rakyat Indonesia miskin sekarang, bagaimana tetap bertahan begini, inilah saya katakan tadi gunung-gunung yang ada ini berdebar, bergetar mendengarkan pembicaraan kita di sini, kesadaran apalagi yang harus kita bangun? Terima kasih. 60.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baiklah, supaya gunung-gunung tidak semakin berdebar nanti meletus semua lagi, bahaya. Sudah banyak gunung yang meletus ini, gunung Kelud lagi. Jadi Saudara-Saudara sekalian, kita sudah dengar keterangan. Nanti bisa ditambah tanya jawab, saya persilakan Pemerintah kalau mau mengajukan pertanyaan atau kepada ahlinya dulu, tanya kepada Ahli, sekarang sudah pukul 11.35, kita bisa selesaikan 12.30, satu jam begitu, masing-masing setengah jam. Nanti kita buka sore hari sidang lagi untuk tanya jawab bila diperlukan, kita lihat perkembangan satu jam ini saya persilakan, sambil juga sedikitsedikit menanggapi yang tadi boleh supaya itu dicatat sebagai pertanyaan juga oleh Ahli yang diajukan Pemerintah, silakan.
61.
PEMERINTAH : SUDHONO MENTERI ESDM BID.HUKUM)
ISWAHYUDI
(STAFF
KHUSUS
Yang Mulia kami ucapkan terima kasih, Memang sebetulnya ada beberapa poin yang ingin kami sampaikan atau merupakan tanggapan terhadap yang terhormat para Ahli, tapi saya kira untuk mempersingkat langsung saja kepada Ahli yang ingin kami sampaikan. Pertama, kami persilakan kepada Profesor Hikmawanto, ada beberapa butir yang ingin kami sampaikan yang nanti kami persilakan untuk meng-explore untuk menjelaskan lebih luas lagi, yaitu 1. mengenai pengertian daripada perjanjian internasional baik secara yuridis yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, kemudian bagaimana praktik, dalam praktik pengertian perjanjian international yang selama ini berjalan? 2. apakah KKS (Kontrak Kerja Sama) yang diatur dalam Undang-Undang Migas itu masuk pengertian perjanjian internasional atau perjanjian internasional lainnya yang tadi ada mempengaruhi kehidupan masyarakat yang menanggung beban dan sebagainya dimana disampaikan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 ayat (2)? 3. berkaitan dengan hak fungsi pengawasan dari Pemohon. Apa saja sebenarnya yang sebetulnya sudah disampaikan yang terhormat dari Bapak dari DPR, hak-hak konstitusional dari Pemohon sebagai anggota DPR, sebagaimana diatur di dalam Pasal 20A dan juga Undang-Undang 31
Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD yang juga mengatur hak-hak konstitusional dari anggota DPR-RI? Ini dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan terhadap diundangkannya Undang-Undang tentang Migas. 4. Lalu kemudian apakah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas ada hak-hak konstitusional Pemohon sebagai anggota DPR yang telah dirugikan secara konstitusional? Sementara itu, nanti akan bisa ditambah sejalan apa yang berkembang di dalam penjelasan Ahli, demikian. Terima kasih. 62.
AHLI DARI PEMERINTAH : HIKMAWANTO JUWANA Baik, terima kasih. Dengan berkenan para Majelis saya akan menyampaikan dalam bentuk powerpoint. Bapak-Ibu para Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati dan Bapak Ibu para hadirin sekalian, saya ingin memulai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Dasar, karena kalau kita berbicara tentang Pasal 11 ayat (2) tentu harus kita berbicara Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Dasar. Di situ terdapat negara lain jadi kira-kira bunyinya seperti ini, “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Memang kata negara lain di sini seolaholah dalam hukum internasional, subjek hukum internasional, hanya negara tidak masuk organisasi internasional, Vatikan Suci, Dikolisi, Palang Merah Internasional, dan seterusnya. Oleh karena itu, saya menduga pada waktu diamandemen ada ketentuan Pasal 11 ayat (2)— ini amandemen ketiga—yang hendak mengakomodasi subjek hukum internasional bukan hanya negara, seperti organisasi internasional, Tahta Suci, Belligerent, dan lain sebagainya. Di sini Presiden disebutkan dalam membuat perjanjian internasional lainnya, ada kata lainnya di situ. Memang kemudian Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam undangundang dan ini rujukan kita yang berikutnya adalah Undang-Undang Perjanjian Internasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Di situ di dalam Pasal 4 ayat (1) dan ini sudah dikemukakan di dalam statement sebelumnya oleh Pemerintah dan DPR. Bahwa Pemerintah Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih lalu kemudian organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan subjek hukum internasional lainnya? Apakah private entity, subjek hukum perdata juga termasuk itu? Kalau kita perhatikan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Pasal 4 ayat (1) disebutkan di situ bahwa yang dimaksud dengan subjek hukum internasional lain dalam pasal ini adalah suatu entitas hukum yang diakui oleh hukum internasional. Jadi entitas hukum ini yang harus diakui oleh hukum internasional dan 32
kemudian yang kedua syaratnya mempunyai kapasitas membuat perjanjian internasional dengan negara, karena yang membuat perjanjian internasional itu adalah negara. Dua hal ini sangat penting untuk kita cermati bersama tetapi sebelum sampai kedua hal itu, nanti pembahasan, saya ingin menyampaikan kepada Bapak Ibu sekali lagi, bahwa subjek hukum internasional yang kita bisa dapati di dalam berbagai textbook dan juga dijalankan katakanlah di dalam hubungan internasional adalah negara organisasi internasional, Palang Merah Intenasional, Vatikan Suci, belligerent, mohon belligerent ini dibedakan dengan insurgent— pemberontak yang katakanlah tidak diakui oleh masyarakat internasional, sementara kalau belligerent harus diakui oleh masyarakat internasional dan berikutnya adalah juga individu, individu yang melakukan kejahatan internasional. Jadi bukan kita perorangan menjadi subjek hukum internasional tetapi kalau mereka melakukan kejahatan internasional. Bapak, Ibu sekalian, dari di sini menurut saya kita dapat simpulkan bahwa kata perjanjian internasional lainnya ini merujuk pada mitra negara, negara RI sebagai subjek hukum internasional untuk membuat perjanjian dengan subjek hukum internasional selain negara. Dalam konteks demikian dan diakui oleh hukum internasional yang dapat menjadi mitra negara dalam membuat perjanjian internasional adalah organisasi internasional, Vatikan Suci, Palang Merah Internasional, dan kemudian belligerent. Kalau individu tidak bisa karena mereka yang melakukan kejahatan internasional, itu yang saya sebutkan di bawah situ. Bapak Ibu sekalian, perlu kita pahami bersama bahwa kalau kita bicara subjek hukum itu seringkali orang membuat kesalahan termasuk kita-kita sebagai staf pengajar. Subjek hukum internasional menurut saya ini harusnya dibedakan dengan subjek hukum perdata bahkan juga berbeda dengan subjek hukum pidana, subjek hukum tata negara, dan subjek hukum administrasi negara. Karena ini yang saya sebut kesalahan permanen dalam pemberian kuliah pengantar ilmu hukum kepada mahasiswa, bahwa katanya subjek hukum itu adalah orang dan badan hukum. Padahal yang dibicarakan sebenarnya adalah subjek hukum perdata. Karena kalau misalnya kita perhatikan cabang ilmu hukum itu seperti ini, ada pembagian hukum perdata dan hukum publik. Hukum publik katanya kira-kira berbau negara sehingga ada pecahannya lagi hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum internasional. Dalam konteks hukum perdata memang ada hukum perdata nasional tetapi ada juga hukum perdata internasional. Sebenarnya merupakan hukum perdata nasional tetapi karena ada elemen atau unsur asing sehingga disebut sebagai hukum perdata internasional. Di dalam konteks hukum perdata internasional ada masalah keluarga, perkawinan, warisan dan seterusnya, tetapi sekarang ini marak masalah 33
bisnis yang kemudian diistilahkan dalam berbagai textbook sebagai transaksi bisnis internasional, dimana salah satunya dibicarakan tentang kontrak bisnis internasional bukan perjanjian internasional dalam konteks hukum publik yang masuk di dalam hukum internasional. Berikutnya Bapak Ibu sekalian, perlu diketahui bagi kita semua bahwa kalau kita bicara negara maka negara itu dapat berperan, baik sebagai hukum internasional, sebagai subjek hukum perdata, misalnya saja Pemerintah harus membeli kendaraan bagi para pejabatnya, tentu Pemerintah harus membuat kontrak yang bersifat perdata. Mahkamah Konstitusi membuat gedung yang megah ini kepada kontraktor, maka Mahkamah Konstitusi tidak berperan sebagai Mahkamah Konstitusi tentunya, tetapi berperan sebagai subjek hukum perdata. Kemudian juga sebagai subjek hukum tata negara karena negara biasanya atau dalam hal ini penguasa berhadapan dengan rakyatnya. Dan kemudian subjek hukum administrasi negara bagaimana para pejabat membuat aturanaturan bagi rakyatnya dan itu bisa di-challenge tentunya dan kemudian juga subjek hukum pidana negara, karena negaralah yang membuat apa yang disebut sebagai jahat yang kemudian tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang pidana lainnya seperti tindak pidana korupsi, ekonomi, dan seterusnya. Untuk mengetahui kapan negara berperan sebagai subjek hukum yang mana dalam cabang ilmu hukum maka kita harus melihat konteksnya, tidak bisa kemudian kita bicara bahwa negara dalam waktu yang bersamaan mereka akan berperan dalam berbagai cabang ilmu hukum, meskipun tadi sudah disampaikan bahwa di dalam dunia sekarang ini seolah-olah tidak ada pemisahan yang tegas. Memang betul tidak ada pemisahan yang tegas tetapi perlu di dalam proses kita ketahui sendi-sendi, asas-azas, bahkan subjek, objek dari setiap cabang ilmu hukum bukan berarti kemudian semuanya dijadikan satu. Bapak Ibu sekalian dalam konteks negara, dalam kapasitas dia sebagai subjek hukum internasional maka dia disebut sebagai jure imperi yang kemudian negara sebagai konstitusi publik yang bisa mengklaim kekebalan immunity. Sementara negara sebagai subjek hukum perdata yang disebut jure gestiones dimana negara tidak dapat sebenarnya mengklaim kekebalan, karena negara di situ dia berperan sebagai subjek hukum perdata atau dalam istilah populernya negara sebagai pedagang bukan negara sebagai suatu institusi publik yang bisa membuat aturanaturan ‘sepihak’ dimana kita warga negara harus kemudian tunduk pada aturan-aturan tersebut. Jadi tidak ada kesetaraan, sementara jure gestiones mengindikasikan harus ada kesetaraan antara negara dengan mitranya. Bapak Ibu sekalian, subjek hukum perdata menurut hukum Indonesia, ini ada beberapa, ini saya sebutkan di sini misalnya P.T., dapat kita melihat di dalam Undang-Undang P.T., koperasi—UndangUndang Koperasi, yayasan—Undang-Undang Yayasan, Perum dalam Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara, partai politik dalam Undang34
Undang Politik, lalu ada juga badan hukum milik negara. Saya berasal dari universitas yang dinyatakan sebagai badan hukum milik negara. Nanti di sini kita bisa juga bicara tentang BP Migas yang pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Migas, didasarkan pada badan hukum milik negara dan tentu kemudian sebagai subjek hukum lainnya adalah negara. Kalau misalnya dalam konteks nasional, Departemen membeli kendaraan, tetapi dalam konteks perdata internasional bisa juga dalam hal Departemen Pertahanan membeli persenjataan dari perusahaan yang ada di Amerika, perusahaan yang ada di Rusia, dan seterusnya sehingga akhirnya mereka tunduk hukum sebenarnya perdata, bukan hukum internasional. Dalam kontrak karya kalau misalnya kita lihat Undang-Undang Pertambangan, peran pemerintah di situ bukan merupakan subjek hukum internasional melainkan subjek hukum perdata, karena hubungan Pemerintah dengan investor bersifat perdata. Ini Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun 1967 mengatakan bahwa, “menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan”. Dan kemudian di dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) dikatakan “pasal ini menjadi dasar untuk kontrak karya, baik dengan pihak modal dalam negeri maupun dengan modal asing”. Jadi di sini tidak membedakan siapa mitranya bisa dalam negeri maupun luar negeri. Perjanjian dengan pihak investor harus diperlakukan sebagai istilah dalam bahasa Inggris government contract, government contract ini tunduk pada hukum perdata termasuk perdata internasional dan tidak tunduk pada hukum internasional publik. Bapak Ibu sekalian, karena government contract ini ada mitra dimana salah satunya adalah Pemerintah, maka dalam bahasa Indonesia sering saya sebut sebagai kontrak bisnis atau kontrak saja yang berdimensi publik, dimensi publiknya karena Pemerintah, tentu dia harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagi Pemerintah. Misalnya saja dalam hal pengadaan barang dan jasa, maka Pemerintah harus memperhatikan Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Dimensi publik ini karena salah satu pihak adalah sekali lagi Pemerintah. Sementara untuk kegiatan di bidang Migas kontrak tidak dilakukan oleh Pemerintah, melainkan oleh subjek hukum perdata yang memang ditunjuk oleh undang-undang. Saya ingin mengutip Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa peran Pemerintah sebagai pihak yang berkontrak dengan investor dilakukan oleh BP Migas—Badan Pelaksana Minyak dan Gas. Pasal 4 ayat (3) mengatakan, “Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk badan pelaksana”, dan apabila saya lihat di dalam penjelasannya kita sama-sama bisa melihat Pasal 45 ayat (1) disebutkan bahwa badan pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) mengatakan, “Badan Hukum Milik Negara dan kemudian penjelasannya adalah BHMN dalam ketentuan ini mempunyai status sebagai subjek hukum perdata”.
35
Dari apa yang kami kemukakan hal-hal tersebut di atas dapat saya sampaikan sebagai berikut, perjanjian antara pemerintah dalam bentuk kontrak karya atau perjanjian antara pihak yang mendapat delegasi dari negara, BP Migas dalam bentuk kontrak kerja sama tidak merupakan perjanjian yang berada dalam kategori perjanjian internasional dalam konteks hukum internasional publik. Kontrak karya dimana Pemerintah sebagai subjek hukum perdata ataupun kontrak kerjasama tunduk kepada ketentuan hukum perdata internasional. Dimana salah satu yang paling berarti adalah para pihak harus mempunyai kedudukan yang sama secara hukum, kesetaraan. Meskipun secara sosiologis biasanya tidak seperti itu, tetapi persyaratan bahwa harus ada kesepakatan menunjukkan bahwa harus ada kesetaraan. Kontrak karya ataupun kontrak kerja sama tidak bisa—menurut kami—masuk dalam kategori perjanjian lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar. Sehingga tidak perlu ada persetujuan dari DPR apabila akan dibuat kontrak karya ataupun kontrak kerja sama. Sekali lagi karena rujukan subjek hukum bukan subjek hukum internasional, tetapi kalau kita bicara soal BP Migas atau Pemerintah dalam subjek hukum perdata, maka rujukannya adalah negara sebagai subjek hukum perdata. Lalu ada pertanyaan mengenai fungsi pengawasan oleh DPR. Menurut kami fungsi pengawasan oleh DPR dalam kaitan dengan kontrak kerja sama tidak bisa dikaitkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar. Fungsi pengawasan oleh DPR bila hendak dikuatkan dari apa yang sudah ada sekarang dalam proses kontrak kerja sama bisa dilakukan dengan mengamandemen legislative review dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Migas dimana mungkin kata “diberitahukan secara tertulis” itu diganti dengan kata atau kalimat yang lebih memberi peran, lebih kuat, dan luas kepada DPR. Jadi kesimpulan kami bahwa pengawasan tidak kemudian bisa dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar dan oleh karenanya persetujuan yang diminta kepada DPR, tidak bisa dilakukan. Saya rasa itu, terima kasih.
Assalamua’alaikum Wr. Wb. 63.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Lanjutkan!
64.
PEMERINTAH SUDHONO ISWAHYUDI (STAFF KHUSUS MENTERI ESDM BID.HUKUM) Terima kasih Profesor Hikmanto. Jadi entry point terakhir, apakah dengan demikian dengan penjelasan-penjelasan tadi, apakah ada hak konstitusional dari para Pemohon yang dirugikan dengan adanya Undang-Undang Migas Nomor 36
22 Tahun 2001, itu yang pertama. Kemudian yang kedua, apakah dengan demikian ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945? Dua poin itu saja. Terima kasih Yang Mulia. 65.
AHLI DARI PEMERINTAH : HIKMAWANTO JUWANA Terkait dengan Pemohon, memang kalau ditanya pada saya apakah Pemohon memiliki legal standing, maka saya harus menjawab, saya tidak memiliki kompetensi pengetahuan untuk hal tersebut. Tetapi kalau ditanya apakah yang disampaikan oleh pemohon terkait dengan uji materil terhadap Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka saya akan sampaikan bahwa sekali lagi saya tegaskan tadi sudah saya sampaikan bahwa Pemohon tidak memiliki dasar untuk mengatakan bahwa Pasal 11 ayat (2) di dalam Undang-Undang Migas bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar. Demikian.
66.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, oke. Jadi pasalnyapun kebetulan sama, sama-sama Pasal 11. Sekarang silakan Ahli kedua, mau duduk boleh, berdiri boleh.
67.
PEMERINTAH SUDHONO ISWAHYUDI (STAFF KHUSUS MENTERI ESDM BID.HUKUM) Yang mulia, kami ajukan Bapak Zen untuk didengar keterangannya. Silakan Prof, apakah di atas atau di bawah?
68.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZEN UMAR PURBA Majelis yang saya hormati, Saya tidak punya powerpoint, jadi saya sebenarnya hanya sekedar mengimbangi saja berdiri di sini. Dan kepada pertanyaan khusus dari para pihak Pemerintah atau saya kasih catatan saja. Baik, Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, sebenarnya poin yang dibicarakan tadi adalah apakah Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Migas itu bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar, kemudian Pasal 20A dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang diubah? Perkenankan saya memberikan beberapa catatan saja atas beberapa hal yang tadi sudah disampaikan bahwa tentu saja kesimpulannya jelas. Ini bukanlah hukum internasional yang sebagaimana yang dimaksud Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana 37
yang diubah. Saya ingin menambahkan saja bahwa Pasal 11 ayat (2) yang mengatakan “perjanjian-perjanjian lainnya”, itu hendaklah dibaca satu nafas dalam rangka Undang-Undang Dasar 1945 dalam pengertian dikaitkan dengan ayat (1)-nya dan yang kedua, bahwa ini dalam skema sistematika Undang-Undang Dasar 1945 itu, yakni bahwa yang dimaksud dengan perjanjian internasional di sana adalah di samping tadi sudah dibicarakan subjeknya, kemudian kedua hukum yang berlaku, tetapi juga penting harus diperhatikan adalah sifatnya, ini yang tadi juga belum disinggung sifatnya adalah sifat publik. Jadi sangat berbeda dengan transaksi-transaksi yang seperti kontrak kerja sama termasuk di dalamnya production sharing contract yang sifatnya sendiri memang sudah privat. Negara sebagai contoh dapat bertindak sebagai pihak dalam transaksi yang privat kalau sifat dari transaksi itu adalah memang privat. Tadi sudah diberikan contoh kalau seumpamanya negara mengimpor mobil, itu sama saja juga dengan kalau seumpamanya dalam soal sekarang ini bahwa BP Migas melakukan kontrak dengan pihak lain, pihak lain ini juga tidak semata-mata pihak asing tetapi berdasarkan Undang-Undang Migas dibenarkan juga adalah badan usaha nasional yang lain. Di sini BP Migas bertindak selaku sebagai pihak yang subjek hukum perdata. Saya teringat Bapak Hakim yang saya muliakan, bahwa ada pendapat hakim Inggris pada waktu itu yang mengatakan bahwa kalau sekali negara sebagai trader maka seterusnya dia adalah trader. Jadi kalau dia sudah memulai sebagai trader maka ia harus mengakhiri sebagai trader atau pedagang, ini untuk menunjukkan bahwa sifat perjanjian itu penting. Jadi di samping tadi kita bicara subjek hukum internasional, negara dan juga lembaga internasional, tapi juga hukum yang berlaku, hukum internasional dan sifatnya. Kemudian satu hal juga yang penting dalam rangka ini adalah ketika kita membahas mengenai masalah yang berhubungan dengan kontrak kerja sama dalam pengertian di sini adanya partisipasi asing yang dalam hal ini badan usaha tetap, tetapi tadi sudah dikatakan bahwa bukan saja asing yang dibenarkan dalam kontrak kerja sama ini tetapi juga pihak swasta nasional pun termasuk dalam hal ini, P.T. Persero Pertamina sendiripun bisa menjadi pihak di dalam kontrak kerja sama ini. Jadi nampak sekali bahwa ini sama sekali jauh dengan pengertian internasional dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diatur dalam undang-undangnya sendiri yang memang harus mendapatkan persetujuan dari DPR. 69.
PEMERINTAH : SUDHONO MENTERI ESDM BID.HUKUM)
ISWAHYUDI
(STAFF
KHUSUS
Kita tahu bahwa Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 itu disebutkan memang perjanjian internasional lainnya yang menyangkut hajat hidup rakyat yang penting, misalnya kita tahu bahwa Indonesia 38
kadang-kadang impor beras tapi juga sering ekspor kelapa sawit, CPO (crude palm oil), ekspor yang lain-lain yang dilakukan badan-badan usaha milik negara mengekspor ke negara lain yang diterima perusahaan lain, apakah itu juga termasuk perjanjian internasional lainnya seperti dimaksud Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945? 70.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZEN UMAR PURBA Bapak Hakim yang saya muliakan jelas itu tidak, apalagi kalau dikaitkan tadi dengan Badan Usaha Milik Negara. BUMN ini jelas kita lihat yang mana, tapi umumnya kalau kita kaitkan dengan kontrak-kontrak yang sifatnya privat itu adalah apa yang dinamakan sebagai perusahaan perseroan atau P.T. Persero sebagai lawan dari perusahaan umum. Dalam kapasitas demikian, maka itu jelas transaksi-transaksi yang sifatnya perdata, di sinipun bahwa P.T. Persero itu modalnya dari negara itu hanya sekedar sebagai pemegang saham tetapi perilaku dari P.T. Persero itu adalah perilaku privat, perilaku perdata. Jadi dalam konteks seperti yang ditanyakan adalah jelas itu juga bukan konteks perjanjian internasional seperti sebagaimana yang dimaksud didalam pembahasan permasalahan yang dibawakan di Mahkamah Konstitusi ini.
71.
PEMERINTAH : SUDHONO MENTERI ESDM BID.HUKUM)
ISWAHYUDI
(STAFF
KHUSUS
Kami teruskan Yang Mulia. Kemudian dalam kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, apakah yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara? Sebagaimana disebut dalam Pasal 33 ayat (3) dan kemudian di dalam ayat (4), “perekonomian disusun atas dasar usaha bersama termasuk di sana kemandirian”, apakah kalau ada kegiatan usaha bagi hasil minyak di Indonesia yang menggandeng dengan perusahaan asing itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) maupun (4) Undang-Undang Dasar 1945? Terima kasih. 72.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZEN UMAR PURBA Majelis Hakim yang saya muliakan, pada hemat saya sebelum saya mulai masalah ini masalah yang sudah lama, Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 33 ayat (4) itu isu yang sudah lama dan saya sepaham dengan satu pendapat bahwa itu sama sekali tidak menghalangi Pemerintah yang mewakili negara untuk melakukan berbagai macam transaksi yang dianggapnya perlu dengan tujuan untuk menyumbangkan kepada sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Negara adalah penguasa, penguasa memiliki diskresi untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang
39
dianggapnya penting dalam rangka mengelola sumber daya alam tersebut. Perkenankan saya Majelis yang mulia tadi disebut ada kata-kata permanent sovereignty over natural resources dari pihak Pemohon. Sebenarnya refleksi ini adalah demikian kita tahu bahwa setelah perang dunia kedua negara-negara baru merdeka mulai berkembang, mereka baru merdeka secara politis tapi mereka juga ingin kemerdekaan secara ekonomis. Langkah pertama yang pertama adalah yang dilakukan adalah nasionalisasi. Langkah kedua adalah jaminan secara multilateral bahwa sumber daya alam mereka benar-benar dapat dimiliki oleh mereka sendiri dan dikelola. Oleh mereka itulah sebabnya muncul resolusi umum PBB mengenai permanent sovereignty over natural resources yang disampaikan tadi oleh pihak Pemohon, apa implikasi dari ini? Yang penting adalah bahwa pengelolaan sumber daya alam itu dilaksanakan oleh negara itu sendiri dengan mengundang investasi dari pihak lain, dapat dilakukan itu, tapi dapat tunduk kepada hukum nasional dari yang memiliki sumber daya alam tersebut. Kalau dilihat ini merupakan pergeseran dari perkembangan hubungan negara maju dengan negara berkembang sehingga pada akhirnya di bidang investasi ini berlaku hukum nasional dari negara yang memiliki sumber daya alam itu. Kalau tidak, maka implikasinya akan jelek sekali kalau hukum internasional yang diberlakukan maka berbagai prinsip-prinsip hukum internasional publik akan berlaku, umpamanya tanggung jawab negara. Kalau umpamanya suatu negara melakukan tindakan yang dianggapnya salah dalam rangka masuknya investasi asing, maka kemungkinan ada masuk prinsip state responsibility yang sebenarnya hanya dikenakan pada halhal yang sifatnya bukan dunia usaha. Jadi dalam kaitannya dengan hal ini saya ingin menjawab atas pertanyaan dari Pemerintah bahwa hal tersebut sama sekali tidak bertentangan. 73.
PEMERINTAH : SUDHONO MENTERI ESDM BID.HUKUM)
ISWAHYUDI
(STAFF
KHUSUS
Terima kasih, kami teruskan sedikit sebagai entry point atau vocal point. Ada dua kesimpulan, dengan demikian apakah dengan adanya kontrak-kontrak kerja sama antara BP Migas dengan perusahaanperusahaan asing dalam kaitannya dengan isi Pasal 33 ayat (3) maupun ayat (4), apakah dengan demikian dikaitkan dengan hak Pemohon sebagai anggota DPR-RI itu secara konstitusional spesifik dan secara langsung causal verband mereka dirugikan dengan adanya kontrakkontrak itu? Kemudian dengan demikian apakah isi pelaksanaan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas itu bertentangan dengan isi Pasal 33 ayat (3) maupun ayat (4) UndangUndang Dasar 1945? Terima kasih.
40
74.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZEN UMAR PURBA Majelis yang saya muliakan, jelas positif pandangan kami bahwa tidak ada yang dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Migas tersebut, karena sifat dari transaksi itu yang sedemikian rupa yang sifatnya adalah perdata. Apalagi bila dikaitkan menganggap bahwa itu perjanjian internasional, itu jelas sama sekali itu tidak ada hak-hak konstitusional dari anggota DPR yang terhormat yang akan dirugikan. Tadi sudah panjang lebar dijelaskan oleh pihak dari DPR sendiri bahwa mekanisme untuk itu sendiri sudah ada sebenarnya, tidak dalam konteks kaitan dengan keberadaan kita di Mahkamah Konstitusi pada saat kita berada pada pagi hari ini. Jadi secara positif pada pandangan saya tidak ada yang merasa dirugikan karena mekanisme untuk itu sendiri memang sudah ada.
75.
PEMERINTAH SUDHONO ISWAHYUDI (STAFF KHUSUS MENTERI ESDM BID.HUKUM) Sekali lagi, tentang pertanyaan kedua apakah bunyi Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang tentang Migas bertentangan dengan Pasal 33?
76.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZEN UMAR PURBA Tidak, sejalan dengan apa yang sudah saya katakan tidak. Satu lagi Majelis? Boleh kita tambahkan satu hal lagi? Tadi menanggapi Ahli dari Pemohon, izinkan saya menanggapi bahwa memang betul pada saat sekarang ini praktis terjadi mixing antara hukum internasional publik dengan hukum internasional privat. Saya sendiri sebagai pengajar Transaksi Bisnis Internasional merasakan hal itu, jadi semua dalam kenyataan selalu bercampur. Tetapi itu sama sekali tidak membedakan, tetap dibedakan mana yang publik mana yang privat. Jadi ini untuk menyampaikan sedikit kepada Majelis yang mulia mengenai perkembangan hukum internasional khususnya dalam rangka transaksi bisnis internasional pada masa sekarang ini, terima kasih.
77.
PEMERINTAH : SUDHONO MENTERI ESDM BID.HUKUM)
ISWAHYUDI
(STAFF
KHUSUS
Demikianlah Yang Mulia sudah disampaikan Ahli yang diajukan Pemerintah. Sebetulnya masih ada dua lagi, mohon izin kalau diperkenankan kami masih ingin menghadapkan dua lagi yang berkaitan dengan hak konstitusional para Pemohon, yaitu berkaitan dengan Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Prof. Erman dan Prof. Satya
41
Arinanto apabila diperkenankan pada lain kesempatan kami akan mengajukan, sekian terima kasih.
Assalamu’alaikum Wr. Wb. 78.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Wa’alaikumsalam, Saya rasa ini sudah cukup meyakinkan ini dua-dua, ini sama-sama meyakinkan tinggal didalami saja supaya ini cukup dua kapasitasnya masing-masing mewakili empat-empat ini. Jadi kalau nanti misalnya kita anggap sidang ini sudah cukup dari kami menganggap sudah cukup kecuali pihak Pemohon merasa masih belum cukup meyakinkan dan Pemerintah masih ingin meyakinkan lagi, ya boleh kita buka lagi. Hanya tentu harus dipertimbangkan kadang-kadang maksud mau meyakinkan nanti hasilnya makin tidak yakin, itu susah juga itu. Jadi kita selesaikan dulu ini barangkali masih ada yang mau tanya satu dua barangkali? Anggota Majelis, wah banyak ini. Bapak Harjono, Hakim Harjono. Silakan pada siapa? 79.
HAKIM KONSTITUSI : Dr. HARJONO, S.H., M.CL Terima kasih Bapak Ketua, Saya sudah mendengarkan apa yang disampaikan oleh para Ahli, tentu ini pertanyaan saya adalah kepada para Ahli semua. Mungkin saya tidak menunjuk, tapi pasti ada jawaban nanti dari apa yang saya sampaikan permasalahan. Permohonan Pemohon ini tidak hanya mengenai Pasal 11 karena juga dikatakan bahwa itu kemungkinan bertentangan dengan Pasal 33 dan Pasal 20A, jadi apakah ini kemudian bisa disebut sebagai satu kumulatif ataukah alternatif? Karena kalau Pasal 11 tadi sudah banyak yang bicara yang belum baru yang belakangan tadi adalah persoalan Pasal 20 dan Pasal 33. Kalau kita baca Pasal 33 itu ayat (3)-nya berbunyi. “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Persoalan yang timbul adalah oleh negara ini, oleh negara. Kalau kita pada Undang-Undang Dasar sebelum diubah itu MPR negara itu, karena kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Tapi begitu ada negara maka ini menunjuk kepada sistem Konstitusi kita. Konstitusi kita tidak meletakkan itu pada satu lembaga yang namanya MPR sekarang, tapi check and balances. Di situ ada Presiden, di situ ada DPR, di situ ada MPR. Kemudian persoalan negara ini siapa? Di dalam di situ DPR dalam urusan negara ini punya hak konstitusional untuk membuat UndangUndang Dasar dan untuk melakukan pengawasan. Kalau sekarang persoalannya adalah kalau itu kemudian oleh negara ada contoh lain, pada saat kontrak karya itu dilibatkan DPR, pada saat ini, pada saat 42
contoh tadi, ini tidak dilibatkan DPR. Padahal itu sama-sama beranjak dari Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 20A. Kalau persoalan perjanjian internasional, ya itu seperti itu, tapi itu katakan saja sudah tidak kumulatif karena puncaknya Pasal 11, tapi kemudian di sini bisa alternatif Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 20A, rujukannya di situ. Ini pencerminan penafsiran dari siapa negara itu. Yang kedua persoalannya adalah kalau kita tafsirkan dari Pasal 33 ayat (3), Migas itu pasti di situ karena itu ada di bumi kita dan itu pasti ada unsur negaranya, ini persoalan-persoalan konstitusional yang menurut saya adalah memberi makna tentang siapa negara itu. Kalau keluar ini sebetulnya sudah tunduk pada apa yang disebut sebagai at act of sovereign state, tinggal sekarang bagaimana mengekspresikan bahwa ini sovereign, bagaimana mengekspresikan ini act-nya daripada sebuah sovereignty. Saya kira pertemuan antara hukum internasional dan apakah itu publik atau privat, itu tergambar pada kasus dimana Pertamina digugat oleh satu persatuan buruh di New York karena kita dulu dengan OPEC melakukan satu patok harga ekspor OPEC dulu, pada saat dulu. Lalu Pertamina digugat oleh buruh di New York dikatakan bahwa telah melakukan suatu perbuatan kartel telah melakukan suatu monopoli tapi apa katanya Supreme Court di sana dikatakan satu proses peradilan dikatakan bahwa Pertamina meskipun perbuatan perdata adalah tapi berbuat sebagai state sovereignty doctrine. Oleh karena itu tidak bisa dituntut karena kartel. Jadi ketemu ini, perbuatan perdata dan act of sovereign state. Kita tidak permasalahkan itu sebetulnya, yang jadi masalah adalah negara di sini. Saya ingin pandangan Bapak-Bapak Ahli ini dengan dikatakan oleh negara, struktur Undang Undang Dasar kita negara itu siapa? Tidak lagi kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan oleh MPR, tapi check and balances. Dalam proses check and balances itu ada kontrol. Sekarang persoalannya adalah tidak pada Pasal 11 tapi Pasal 33 dan Pasal 20, ingin saya mendapatkan penjelasannya? 80.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik dicatat dulu ya, saya silakan ke kiri, tidak jadi? Oh, tetap golongan kanan, silakan.
81.
HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Terima kasih Bapak Ketua Saya ingin bertanya ke Bapak Purba, Bapak Hikmawanto juga Ahli dari Pemohon. Ini saya terkesan betul ini dengan pengalaman yang diungkapkan Stiglitz ketika dia menangani kasus perusahaan minyak di Alaska ini, dimana dia selalu menekankan betul ini dalam perjanjian seperti ini, “the prospect of cheating are very real and greed. Ini buku terbaru baru saya peroleh ini, jadi dikatakan juga, “whatever the
contract that has been sign, corporations are attempted to cheat to pay 43
less then they are supposed to. Because the amount of money that they can be earn sometimes is so large”. Jadi perusahaan Alaska dimana Stiglitz ditugasi ini menyangkut akal-akalan dari oil company yang harusnya dia membayar 12,5% dari penerimaan itu tapi dikuranginya dengan ongkos transport minyak itu kepada daerah yang jauh itu, dan dengan membesar-besarkan ongkos angkut itu just add few pennies per galon mereka mendapat upah yang sangat besar, sehingga contoh dalam negeri juga dikatakan itu negara bagian Alabama melawan Exxon Mobile Corporation itu dimana perusahaan Exxon itu melakukan suatu constant benefit and analysis untuk melakukan beberapa cheating tetapi kemudian Pengadilan Alabama menghukum Exxon itu denda sebesar 11,8 miliar dan 63,6 juta dolar yang tidak dibayar royalti. Pertanyaan saya adalah, di dalam menafsirkan pengawasan yang tepat terhadap kontrak-kontrak ini sesuai dengan fungsi pengawasan DPR, apakah menurut para Ahli sesungguhnya lebih tepat sebelum kontrak itu ditandatangani disampaikan kepada DPR (ex sante) atau sesudah? Ini menjadi soal untuk dalam hal ini tentu tafsirannya adalah untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, dalam spirit Pasal 33. Karena memang Stiglitz yang selalu menuding kita kutukan negara berkembang mana bisa bertarung dengan multinational corporation. Apakah kita lebih pintar dari negara bagian Alabama? Saya kurang tahu, tapi jelas cheating is very real, sehingga diakal-akalin kita. Kalau Stiglitz mengatakan sebenarnya Indonesia itu jangan terlalu low profile-lah. Hugo Chavez itu sekali gertak saja, saya kurang tahu itu apa benar itu yang saya baca kecuali kalau perunding dari BP Migas itu adalah high caliber, Bapak Purba barangkali tahu itu tapi the prospect of cheating is very real dan negara bagian Alabama sudah di-cheating tapi dia bisa memperolehnya kembali dan juga di Alaska itu, kebetulan Stiglitz yang ditugasi itu, dia melihat dimana cheating itu dilakukan. Jadi pertanyaan saya itu kembali spirit Pasal 33, apakah pengawasan DPR itu sebelumnya ditandatangani yang paling efektif ataukah sesudahnya? Terima kasih. 82.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, mulai!
83.
AHLI DARI PEMOHON : MUHAMMAD SAID NISAR Terima Kasih Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Pertanyaan pertama menyangkut check and balances kesimpulannya kalau saya lihat di dalam konstruksi Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang memang sudah tertanam di situ proses check and balances hanya saya lihat di dalam konteks permohonan yang 44
diajukan oleh Pemohon ini tidak ada check and balances, yang ada adalah blank check, jadi kayak blank spot tidak ada apa-apa di otak itu tidak ada blank check. Kenapa ini bisa terjadi? Ini akibat daripada kita terlalu mengagumkan apa yang dimaksud dengan hukum internasional, ini mungkin akibat penjajahan yang terlalu lama di Indonesia terjadi, itu yang perlu saya sampaikan itu. Jadi tidak ada check and balances tapi blank cek, itu yang terjadi dan ini juga kritikan dilontarkan di Eropa dan Amerika istilah itu. Jadi mereka para perunding internasional yang turut campur di dalam investasi asing itu mereka itu mengatakan two bites in one apple, how to get two bites in one apple? Jadi satu kali dia gigit itu apel dia dapat gigitan dua kali itu dibilang cheating tadi Pak, jadi how to get two bites in one apple, luar biasa itu dan itu cheating. Cheating ini juga diterjemahkan di dalam prinsip hukum namanya unjust enrichment, memperkaya diri secara tidak adil, inilah cheating sebenarnya. Jadi secara normatif itu sudah diperjuangkan oleh negara sedang berkembang, tetapi prinsip ini nampaknya tidak kedengaran dan tidak diperlakukan di sini. Jadi saya pikir inilah saatnya Pemohon datang pada waktu yang tepat di Mahkamah Konstitusi, mudah-mudahan. Terima kasih. 84.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan!
85.
AHLI DARI PEMOHON : RYAD ARESHMAN CHAIRIL Kami ingin fokus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan keahlian kami. Kami dalam posisi yang sependapat apa yang dikatakan oleh Joseph Stiglitz ketika dia mengatakan bahwa the contracts tend to cheat dan itu dapat dipahami ketika ada satu posisi di dalam kontrak khususnya kontrak sumber daya alam dimana para pihak tidak berada dalam posisi seimbang, equal. Kalau kita masuk ke dalam ranah sistem kontrak resources contract di Indonesia maka kita akan dapatkan adanya satu mixing antara the public roles dengan the private roles. Contohnya misalnya, ketika bicara masalah contractual skim salah satu pihaknya adalah kontraktor tentunya dia punya kepentingan komersial, tentunya dia punya kepentingan bagaimana caranya dia bisa memaksimalkan profit, tentunya dia punya kepentingan segala macam sehingga tujuan dia untuk melaksanakan kontraknya dalam rangka mengusahakan sumber daya alam baik itu Migas, baik itu pertambangan, listrik bisa tercapai dengan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara di sisi yang lain ada kepentingan publik dimana Pemerintah bertindak sebagai pihak, Pemerintah punya kepentingan sendiri di samping dia ingin mengamankan posisi-posisi ekonominya, tapi dia punya kepentingan untuk mengamankan kepentingan rakyatnya, 45
sosialnya. Bagaimana caranya pencegahan terhadap lingkungan? Jadi ada satu mixing antara pengaturan itu yang perlu dilakukan adalah dalam rangka melaksanakan check and balances, memperkuat posisi pihak di Pemerintah. Pengertiannya adalah supaya satu filosofi bahwa the contract tends to cheat itu bisa diminimisasi dan ini masuk dalam konsep pengawasan kenapa itu menjadi penting? Karena ketika pengawasan terhadap kontrak sudah dilakukan, maka damage itu sudah terjadi. Banyak sekali ketentuan-ketentuan kontrak ketika damage itu terjadi maka susah sekali untuk di-recovered. Pemberitahuan secara tertulis pun tidak akan cukup, terlebih lagi Pemerintah sudah terikat by the contract dan ketika dia harus melakukan amandemen kontrak dia harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pihak kontraktor. Fungsi pengawasan ini jikalau dikaitkan dengan pengertian Pasal 20A maka seyogianya itu dilakukan sebelum kontrak itu ditandatangani supaya terjadi proses check and balances terhadap materi-materi kontrak yang dipersiapkan oleh Pemerintah dan diberikan tanggapantanggapan oleh pihak-pihak yang bisa melihat dari pandangan yang lebih luas, yang lebih independen. Saya pikir sesuai dengan keahlian kami, maka kami setuju bahwa pengawasan itu dilakukan sebelum kontrak itu ditandatangani, terima kasih.
86.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bapak Zen?
87.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZEN UMAR PURBA Terima kasih Bapak Hakim yang saya hormati. Pertanyaan Bapak Hakim Konstitusi Bapak Harjono kalau saya tidak salah tangkap ini dikaitkan kepada lalu negara itu siapa sebenarnya? Kalau saya mungkin bisa menjawab bahwa dengan mekanisme penyelesaian undang-undang seperti ini tampak bahwa inikan tidak dibuat oleh semata-mata oleh satu pihak saja oleh eksekutif, inikan merupakan hasil bahasan bersama-sama dengan legislatif, dengan DPR. Jadi ini merupakan refleksi daripada siapa itu negara yang seperti tadi Bapak Hakim tanyakan, saya kira sebenarnya bukan hal baru juga saya kira jawaban terhadap itu. Kedua Bapak Maruarar, begini ya, ini kita bicara pengawasan ini seolah-olah hanya pengawasan DPR. Kita tahu bahwa pengawasan itu banyak mekanisme. Pada titik yang kita bicarakan sekarang adalah pengawasan DPR. Tetapi walaupun sudah sampai dilaksanakan oleh Pemerintah pengawasan tetap ada, BPK setiap waktu dapat melaksanakan fungsi pengawasannya, bahkan saya kira yang terhormat anggota DPR dapat tetap dapat melakukan pengawasan-pengawasan setelah itu. Jadi tidak harus sebelum atau setelahnya, mengapa 46
demikian? Karena ini tergantung juga pada sifat sumber daya alam itu, kita tadi sebut-sebut hak mineral tetapi inikan lain lagi, Migas. Saya tidak kompeten Bapak Hakim terhadap masalah teknis Migas, tapi ada hal-hal tertentu dimana sifat-sifat sumber daya alam dan kemudian dalam kaitan prospek, opportunity di pasar itu saya kira juga menjadi salah satu faktor mengapa pada saat dulu Undang-Undang Migas ini yang sudah disetujui dengan DPR juga hanya mengatakan cukup memberitahukan kepada DPR. Jadi itu saya kira tadi menjawab apakah itu sebelum atau setelahnya. Kalau setelahnya menurut saya tetap tidak akan mengurangi kesempatan pengawasan oleh pihak dalam hal ini DPR karena lembagalembaga pengawasan lain juga tetap ada. Terima kasih Bapak Ketua. 88.
AHLI DARI PEMERINTAH : HIKMAWANTO JUWANA Terima kasih Bapak Ketua. Terkait dengan pertanyaan dari Hakim Harjono yang pertama dikuasai oleh negara, saya tadi sependapat dengan apa yang disampaikan Prof. Zen. Bahwa ini sangat bergantung pada interpretasi dari DPR dan Pemerintah, karena kalau kita perhatikan di dalam Konstitusi Pasal 33 dikatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang, mengingat undangundang dibuat oleh Pemerintah dengan Presiden, maka tafsiran tentang negara diserahkan kepada dua negara ini. Di dalam penelitian saya terhadap undang-undang ini yang menggunakan kata yang dikuasai oleh negara. Ada undang-undang tentang penerbangan, perkeretaapian, tenaga nuklir, jalan tol dan seterusnya di situ memang kesimpulan saya adalah tidak ada interpretasi tunggal dari DPR dan Pemerintah terhadap istilah dikuasai oleh negara, karena terkait dengan konteks pada saat itu. Saya tidak bicara dalam konteks setelah reformasi, tapi saya ke belakang juga dan lain sebagainya dan dalam penelitian saya itu ada yang dikuasai oleh negara seperti misalnya Migas dahulu, kalau saya tidak salah Undang-Undang Nomor 44 Prp, itu negara tapi kemudian diserahkan kepada Pertamina. Di sini Pertamina berperan sebagai regulator dan player, tetapi ada juga dimana negara menyerahkan kepada Pemerintah, melakukan pembinaan kepada Pemerintah nanti Pemerintah menunjuk Badan Usaha Milik Negara. Jadi dalam penelitian saya itu terlihat bahwa memang tidak ada interpretasi tunggal bagaimana negara itu menjalankan fungsinya karena semuanya akan dikatakan dikuasai oleh negara. Kalau ditanya apakah di dalam Undang-Undang Pertambangan, DPR dilibatkan dalam proses, sementara di dalam KKS tidak diberitahukan secara tertulis? Kembali lagi Bapak ibu sekalian, kita harus pahami bahwa undang-undang dibuat dalam konteks. Undang-undang tahun 1967 dibuat pada tahun 1967. Di situ dikatakan bahwa DPR dilibatkan, sebelum kontrak itu katakanlah 47
ditandatangani oleh Pemerintah, tetapi yang sekarang kesepakatannya adalah diberitahukan secara tertulis, saya ingin mengatakan bahwa ini kembali lagi kita harus lihat konteksnya. Tetapi yang penting adalah Bapak Ibu sekalian, kalau saya boleh meloncat pertanyaan dari Pak Maruarar Siahaan. Rasa-rasanya kalau setiap kali dalam implementasi, misalnya kontrak kerja sama atau nantipun kontrak karya, DPR harus dilibatkan terus menerus, itu akan sangat lama berprosesnya. Menurut saya, seharusnya undang-undang memberikan rambu-rambu apa yang dimaksud dengan kepentingan rakyat? Atau kalau misalnya itu akan diserahkan kepada Pemerintah tentu Pemerintah akan membuat peraturan pemerintah apa yang dimaksud dengan kepentingan rakyat? Dari situlah kemudian negosiator siapapun dia akan merujuk apa yang dimaksud dengan kepentingan rakyat. Kalau misalnya ada pengawasan, instansi atau institusi Pemerintah mereka didelegasikan Pemerintah, tidak sesuai dengan koridor itu maka DPR bisa melakukan pengawasan, bahkan sebenarnya pengawasan tidak dilakukan hanya oleh DPR tetapi juga oleh Kejaksaan. Siapa tahu dalam proses tersebut ada uang yang bermain sehingga kontrak dibuat tidak memenuhi, mengikuti aturan-aturan dan ramburambu yang ada. Dalam kaitan inilah kemudian untuk menjawab pertanyaan Bapak Hakim Siahaan, maka saya tidak mengatakan kapan DPR memberikan persetujuan atau tidak, tapi bagaimana konsensus Pemerintah dengan DPR membuat aturan-aturan. Memang kalau misalnya tadi ada masalah cheating dan sebagainya, perlu diketahui bahwa di dalam praktik menegosiasikan kontrak itu harus ada kehandalan dari pihak negosiator dan mereka yang pandai merumuskan kalimat-kalimat hukum ke dalam kontrak. Kalau kita lihat generasi-generasi awal dari kontrak kerjasama, kontrak karya, kebanyakan adalah kontrak-kontrak yang sebenarnya akan diberlakukan oleh multinational corporation di berbagai negara. Lalu kemudian disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut. Di sini memang kelihatan bahwa ada bargaining position yang berbeda, tetapi pada saat itu memang karena kita baru mulai, ahli belum ada dan lain sebagainya kita harus terima. Sekarang tentu kita sudah perbaiki dan saya melihat BP Migas punya peranan, karena apa? Kalau ini diserahkan kepada Pemerintah katakanlah begitu, maka sulit orang yang bergaji tiga juta, katakanlah begitu, sebagai pegawai negeri harus berhadapan dengan lawyer ulung yang rate-nya satu jam 500 dolar, saya rasa tidak bisa. BP Migas menurut saya bisa memainkan peran karena mereka pegawainya tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yg berlaku di pegawai negeri sipil. Oleh karena itu ini bisa lebih baik. Hal yang lainnya yang ingin saya sampaikan di sini adalah terkait dengan pernyataan Hakim Harjono, pada waktu Pertamina digugat oleh buruh dan di New York. Sebenarnya Pertamina mungkin digugat tetapi dugaan saya, saya belum lihat kasusnya, yang menjadi permasalahan 48
bukan apa yang dilakukan oleh Pertamina, tetapi kebijakan Pemerintah Indonesia yang meminta Pertamina untuk menghasilkan sekian barel minyak. Kalau itu merupakan perintah dari Pemerintah, maka itu masuk dalam act of state doctrine, karena memang Pemerintah masuk dalam OPEC, bukan Pertamina yang masuk dalam OPEC, tetapi Pemerintah dan Pemerintah ini terikat dengan perjanjian dengan negara-negara yang tergabung dalam OPEC tentang jumlah barel yang bisa dikeluarkan. Pertamina hanya menjalankan instruksi yang disepakati oleh Pemerintah. Karena di dalam kasus Karaha Bodas, Pemerintah memang bisa digugat, tidak bisa Pertamina sebagai sebuah P.T. mengaku diri bahwa saya punya kekebalan dan saya ini merupakan act of state doctrine, itu tidak bisa. Jadi act of state doctrine itu adalah terkait kebijakan yang dibuat oleh suatu negara berdaulat yang di-challenge oleh mungkin warga negara dari negara lain, maka biasanya pengadilan akan mengatakan bahwa kita tidak mempunyai kompetensi karena itu merupakan act of state doctrine. Untuk referensi juga, saya bisa sampaikan di sini Pemerintah Cina yang membuat aturan melarang dipraktikkannya Fulan Gong di Cina itu di-challenge oleh Warga Negara Indonesia, asal Cina di Indonesia ke pengadilan negeri dan oleh pengadilan negeri dikatakan bahwa karena ini merupakan kebijakan Pemerintah Cina, maka pengadilan negeri tidak mempunyai kompetensi untuk memeriksa hal tersebut. Demikian, Terima kasih. 89.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-Saudara dari kami rasanya sudah cukup ini. Tinggal nanti para ahli saya persilakan menambah keterangan tertulis, tadi yang disampaikan tadi ada yang tertulis, silakan disampaikan. Ada yang mau ditambahkan? Silakan!
90.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZEN UMAR PURBA Bapak Ketua, Sedikit tadi karena tadi juga disebut-sebut oleh yang terhormat Ahli dari Pemohon ada keterkaitan KKS dengan internasional dengan ICC rules. Ini supaya meluruskan saja, kalaupun ada disebut ICC rules, satu peraturan untuk arbitrase, ini suatu hal yang penting bahwa suatu transaksi komersial internasional yang sifatnya privat itu bukan hukum internasional publik, yang jelas bahwa hukumnya itu adalah hukum nasional. Apakah hukum nasional negara sebagai contoh ataukah hukum negara di tempat lain. Ini yang penting saya rasa untuk sekedar meluruskan, jangan sampai itu keliru bahwa itu seolah-olah sebagai aspek hukum internasional publik. Satu lagi tambahan Bapak Ketua hubungannya tadi dengan Pak Maruarar memang betul, ini adalah masalah cheating. Hanya begini, kita 49
harus membedakan antara konsep dan praktik. Dalam rangka KKS intinya adalah production sharing contract atau biaya itu adalah dari investor dari perusahaan minyak. Tadi juga disebut masalah cost recovery. Masalah cheating itukan masalah praktik, itukan masalah bagaimana supaya mengintensifkan supaya cost recovery supaya betul benar dan sebagainya, tapi itu tidak lalu itu berhubungan dengan suatu konsep yang lalu memerlukan KKS itu lalu memerlukan pengawasan DPR dengan bentuk disetujui itu yang kemudian ingin saya mencoba menambahkan dan meluruskan, terima kasih. 91.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, barangkali ada juga yang mau diluruskan oleh Ahli dari pihak Pemohon?
92.
AHLI DARI PEMOHON : RYAD ARESHMAN CHAIRIL Terima kasih Majelis, Ini hanya sedikit saja berkaitan dengan kekhawatiran akan adanya fungsi pengawasan, jikalau itu dilakukan maka akan memperlama proses penandatanganan kontrak. Sebetulnya tidak perlu dilakukan pembahasan kontrak per kontrak. Yang terjadi selama ini di sektor pertambangan umum adalah dibahas satu generasi satu packet kontrak-kontrak kontraktor ingin bertanda tangan di generasi tersebut kontrak itulah yang kemudian dibahas oleh DPR dan ini sudah terjadi. Di sektor pertambangan itu ada tujuh generasi kontrak, satu generasi ada sekian perusahaan, dua generasi ada sekian perusahaan, tiga generasi lebih banyak lagi perusahaan, generasi keempat lebih banyak. Jadi tidak perlu case by case, tapi cukup ini kita pakai buat negosiasi satu paket kontraktor yang kontraknya akan ditandatangani, saya pikir saya tidak melihat adanya satu korelasi akan pengawasan DPR dalam rangka untuk mengawasi materi kontrak terhadap dengan lamanya proses kontrak.
93.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oke, Pak Said terakhir? 94.
AHLI DARI PEMOHON : MUHAMMAD SAID NISAR Ini tadi ada pendapat yang mengatakan bahwa soal pengawasan ini bukan hanya di DPR, tapi ada di sejumlah departemen atau lembaga yang seperti KPK atau segala macam itu, sebenarnya itu tidak cukup. Karena kita lihat perbandingan di negara-negara yang sudah maju, tadi saya sudah kemukakan. Ini saya baru dapat, bahwa seperti di Uni Eropa ada the comission, the council, the European Council, the Court, the European Court of Justice. Jadi court of justice termasuk Mahkamah 50
Konstitusi itu mengawasi sebenarnya. European parliament juga mengawasi. Jadi mereka dikawal oleh sejumlah instrumen yang dia miliki, sekarang kita biarkan saja ini tidak dikawal atau bagaimana. Jadi pengawasan ini tidak cukup, harus dikawal oleh banyak pemikiran dan instrumen yang lain termasuk Mahkamah Konstitusi. Terima kasih. 95.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Kalau begitu sudah saling meluruskan sehingga sudah lurus semua ini. Saudara-Saudara, sekali lagi para Ahli, saya persilakan untuk melengkapi keterangan tertulisnya itu tadi dengan keterangan lisan, demikian juga DPR belum menyampaikan keterangan tertulis. Saya rasa pukul satu kita bisa selesai. Saya ingin mempersilakan sekarang Saudara Pemohon barangkali mau menyampaikan mungkin saya ingin memberikan kesempatan, karena ini saya harapkan sidang terakhir. Pemohon Prinsipal barangkali ada “the underlying issues” apa ini? Kenapa ada perkara ini? Mungkin bukan soal kata-kata itu saja tapi bagaimana apa masalahnya, kenapa tidak bisa diselesaikan di Senayan saja ini? Tapi tidak usah panjang-panjang nanti setelah itu saya persilakan DPR dan terakhir Pemerintah, silakan pendek saja! Siapa Bapak Drajat? Bila perlu Anda berdiri di sana biar gagah sedikit, silakan.
96.
PEMOHON : DRADJAD WIBOWO Di sini saja Pimpinan, Terima kasih yang terhormat Bapak Ketua dan Majelis Hakim, Yang pertama itu belum masuk ke materi, kami hanya ingin menanyakan apakah tadi sudah sempat ditanyakan mengenai Kuasa Hukum DPR, itu surat kuasanya ditandatangani oleh siapa? Mohon sebelum kami masuk untuk bisa diklarifikasi?
97.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, nanti saya tanya tapi Saudara bicara saja langsung, nanti saya tanya.
98.
PEMOHON : DRADJAD WIBOWO Kenapa kami menyampaikan demikian Pimpinan, karena posisi DPR secara kelembagaan itu ada di rapat paripurna dan dalam hal ini apa yang disampaikan oleh pihak yang mengaku sebagai Kuasa Hukum DPR tadi itu belum pernah dibahas di dalam rapat paripurna. Jadi kami mohon apa yang disampaikan oleh pihak yang mengaku Kuasa Hukum 51
DPR itu tadi dianggap sebagai wacana karena belum diputus di rapat paripurna DPR. Kemudian yang kedua, kami ingin membacakan tata tertib DPR Pasal 27. Tugas Pimpinan DPR adalah A, B, C, D, E, F itu mewakili DPR dan atau alat kelengkapan DPR di pengadilan. Jadi yang mewakili DPR dan atau alat kelengkapan DPR di pengadilan itu adalah Pimpinan DPR, terkait proseduralnya tentunya. Kalau substansi masalahnya itu adalah keputusan di dalam rapat paripurna. Jadi itu yang ingin kami sampaikan Pimpinan, yang pertama. Kemudian yang kedua, untuk menyangkut hak konstitusional yang terlanggar. Itu perkenankan juga kami membaca tata tertib DPR di dalam Pasal 13 Tata Tertib DPR. Pasal 13 Tata Tertib DPR itu mengatur mengenai hak dan kewajiban anggota DPR. Pasal 13 ayat (2) butir E itu anggota DPR mempunyai kewajiban memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Di dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, ini tentunya masuk di dalam fungsi budgeting, fungsi penganggaran yang melekat di DPR. Kami tidak mungkin bisa memaksimalkan fungsi penganggaran kalau segala sumber-sumber daya yang bisa memaksimalkan anggaran itu tidak optimal pengawasannya. Dengan ketiadaan pengawasan sebelum kontrak ditandatangani, itu banyak sekali kerugian yang ditanggung oleh negara melalui APBN yang akhirnya membuat APBN tidak bisa maksimal, yang akhirnya membuat kami sebagai anggota DPR tidak bisa melaksanakan kewajiban memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat itu secara maksimal. Nanti akan diberikan contoh oleh rekan kami, Saudara kami, Saudara Tjatur karena beliau di Panitia Anggaran bagaimana DPR melalui fungsi pengawasan itu bisa menemukan kerugian negara di dalam cost recovery dan hal ini terjadi karena anggota DPR tidak mempunyai kewenangan di dalam pengawasan untuk sebelum kontrak ditandatangani. Dan sepanjang yang kami tahu tidak ada satu pasal pun di dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun di dalam Undang-Undang Susduk yang mengatur bahwa pengawasan itu hanya boleh setelah kontrak ditandatangani atau setelah perjanjian ditandatangani. Pengawasan itu mulai dari sebelum sesuatu itu diputuskan atau ditandatangani, pada saat ditandatangani, pada saat dilaksanakan, dan pada saat dilakukan evaluasi. Kemudian yang berikutnya Pimpinan, kami sebagai anggota DPR juga mempunyai kewajiban kepada konstituen, kepada masyarakat. Ketika masyarakat mengeluh harga BBM naik, ketika masyarakat mengeluh bahwa mereka mengalami kesulitan karena adanya konversi minyak tanah ke gas, itu masyarakat tidak lari ke manamana Pimpinan, mereka lari kepada anggota yang dipilihnya. Bahkan kalau saya di bidang perbankan, ketika Pemerintah melakukan kesalahan, Bank Indonesia melakukan kesalahan menutup bank masyarakat tidak lari ke sana, mereka berdemo ke komisi kami. Itu karena apa? Karena status anggota DPR sebagai wakil rakyat itu membuat masyarakat melarikan segala permasalahan, mulai dari nenek mau kawin lagi sampai kucing mati itu lari ke anggota DPR Pimpinan. 52
Bagaimana anggota DPR bisa melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya kalau hak di dalam pengawasan itu tidak bisa maksimal? Jadi ini yang membuat kami merasa bahwa hak konstitusional kami di bidang pengawasan itu terviolasi dengan adanya Pasal 11 ayat (2) tersebut dan seperti yang disampaikan tadi yang kita challenge bukan hanya terkait Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi juga pasal-pasal yang lainnya. Kemudian ada Ahli yang menyampaikan bahwa pengawasan bisa dilakukan oleh pihak-pihak lain. Dengan mohon maaf, para Ahli yang kebetulan ahli hukum, kalau tadi disebutkan BPK, BPK itu bukan pengawasan, BPK itu adalah pemeriksaan. Ada perbedaan antara pengawasan dengan pemeriksaan. Pemeriksaan itu dilakukan setelah laporan itu ada, kemudian diperiksa laporannya itu betul atau tidak. Makanya namanyapun bukan Badan Pengawas Keuangan, akan tetapi Badan Pemeriksaan Keuangan, BPK itu supreme auditor. Jadi bukan melakukan fungsi pengawasan. Demikian juga disampaikan oleh Ahli bahwa pengawasan bisa dilakukan oleh Kejaksaan. Kejaksaan juga tidak melakukan pengawasan, karena Kejaksaan itu setelah disidik kasusnya kemudian dia melakukan penyidikan dan melakukan penuntutan. Sementara pengawasan itu tugasnya lebih melekat kepada DPR. Jadi ini yang ingin kami sampaikan dari sisi masalah konstitusionalnya. Kalau dari sisi anggarannya mungkin nanti teman-teman yang terlibat di panitia anggaran akan bisa menyampaikan supaya tidak berpanjang-panjang. Kalau saya ngomong ekonomi jadi terlalu panjang. Terima kasih Bapak Hakim yang terhormat. 99.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDDIQIE, S.H. Ya, ini maksud saya tadi satu orang saja tapi tidak apa-apa. Boleh, silakan tapi pendek saja, siapa? Pak Sony atau Pak Tjatur atau Ibu?
100. PEMOHON : Apa boleh seluruhnya? 101. KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDDIQIE, S.H.
Oh begitu, asal pendek ya! Boleh-boleh, mumpung, silakansilakan. 102. PEMOHON : TJATUR SAPTO EDY Terima kasih Bapak Hakim Ketua yang saya hormati.
Assalamu’alaikum wr. wb.
53
Jadi ada beberapa hal yang, tidak banyak-banyak di sini. Tadi yang disampaikan oleh Saksi Ahli dari Pihak Pemerintah beliau mengatakan apakah anggota DPR dirugikan? Tapi beliau menjawab tidak. Kita Bapak Hakim Ketua, kebetulan saya di Komisi VII selain itu juga di Panitia Anggaran. Kita membahas, kalau membahas belanja negara, kita itu nangis, hampir nangis nurani kita. Bagaimana 17 juta gedung SD rusak berat, tidak ada dananya. Kemudian ada dari empat ratus enam puluh kabupaten itu rumah sakitnya hanya seratus delapan puluh delapan yang mempunyai transfusi darahnya, kita ini menangis melihat kondisi bangsa ini. Di lain pihak kalau kita melihat penerimaan, penerimaan negara kita itu sumbernya dua yang terbesar, yaitu pajak dan non pajak. Non pajak itu dari sumber daya alam. Sumber daya alam itu 90 persennya dari Migas. Dan tahun 2006, itu 30 persennya dari Migas, sekarang ini kalau harga minyak tidak naik itu turun menjadi hanya 145 triliun. Padahal total revenue 34,5 triliun. Artinya apa? Dengan kondisi permigasan yang sekarang ini hanya 46 persen yang masuk ke negara, setelah dikurangi cost recovery dan lain-lain. Cost recovery-nya dari 34,5 itu rencananya kalau based-nya itu 60 dolar per barel yang sekarang ini, 10,5 miliar dollar. Dan kita sebagai negara yang sudah lama berkecimpung dengan minyak tidak punya aturan cost recovery ini, itu dari aturan yang ada. Kemudian mengapa perlu DPR mengawasi sebelumnya, karena apa? karena split itu dananya ditentukan oleh Pemerintah c.q. Saudara Menteri SDM, mau 60-40, 70-30, itu betul-betul hanya satu, dua orang saja di pemerintahan itu. Misalnya Saudara, kita semua dan Bapak Hakim yang mulia perbedaan antara Bapak Menteri ESDM dengan Wapres soal Natuna. Bapak Menteri ESDM mengatakan itu 35-65, padahal 35-65 itu setelah pajak, artinya apa? Seratus banding nol, karena yang seratus itu pajaknya 35. Sementara pendapat Bapak Wapres 60-40. 40-60 dengan yang belum pajak dan 65-35 yang sudah pajak itukan untuk negara itu triliunan itu. Inilah mengapa ini menjadi penting, karena apa? Kalau di migas itu sekali kesalahan itu puluhan triliun. Tapi sekali kebenaran juga akan menjadi kemaslahatan bagi bangsa ini. Kenapa bangsa kita ini tidak bisa mengalokasikan 20 persen yang melanggar Undang-Undang Dasar 1945 untuk dana pendidikan? Karena permigasan itu tidak dikelola, tidak mendapat pengawasan yang efektif dari DPR sebelumnya. Itu intinya di situ, kalau yang lain-lain, coba kalau kita mengandalkan kelautan hanya 200 miliar dari kelautan itu untuk masuk ke APBN iu, kalau kehutanan, kalau kehutanan itu hanya 2 triliun, kalau kelautan hanya 200 miliar, tidak ada yang lain kecuali Migas ini dan pertambangan. Umum katakanlah, tapi pertambangan umum pun hanya setengahnya dari devisa TKI kita. TKI kita itu 33 triliun, pertambangan umum 18 trilium. Tapi kalau Migas ini, bayangkan kemarin Saudara Menteri ESDM menyatakan dengan kenaikan harga ini mungkin kita bisa naik dari 150 menjadi 182. Artinya kalau 182 triliun itu kalau belanja dari kita semua 54
pegawai, belanja dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu 497, itu ada 36 persen itu dari situ. Kalau ini diperbaiki, pengawasannya betul, cost recovery range-nya seperti di Malaysia, saya yakin dua tahun ke depan amanat Undang-Undang Dasar 1945, 20 persen pendidikan itu bisa dilaksanakan. 50 triliun untuk Migas tidak terlalu besar dan amat masuk akal dapat dicapai, asalkan ada pengawasan dan ketentuanketentuan yang rigid. Saya banyak menemukan, kalau saya kasih contoh-contoh empat hari juga tidak selesai. Terima kasih Ketua, Bapak Hakim,
Wassalamu’alaikum wr. wb. 103. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDDIQIE, S.H. Tolong nanti ditambahkan saja ya, tertulis ya! Silakan siapa lagi? Kalau bisa lima menit, lima menit saja. Silakan Pak Sony! 104. PEMOHON : SONNY KERAF Singkat saja Pak Ketua Hakim dan para Hakim yang kami hormati, Bapak-bapak, Ibu-ibu para hadirin yang kami hormati. Singkat saja, ada tiga point, point yang pertama hanya penyimpulkan apa yang sudah disampaikan oleh Saudaraku Dradjad Wibowo. Kalau tadi dikatakan bahwa kami secara konstitusional tidak dirugikan apapun, saya justru merasa heran. Saya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pak, jadi saya bukan Sonny Keraf pribadi yang ada sebagai anggota DPR, tapi saya mewakili rakyat. Kerugian saya bukan kerugian pribadi saya Sonny Keraf, tetapi kerugian saya sebagai anggota yang mewakili rakyat. Jadi kerugian itu harus dilihat secara lebih komprehensif, luas dalam status saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat jadi yang dirugikan adalah rakyat yang saya wakili Pak, rakyat yang saya wakili, bukan Sonny Keraf-nya Pak. Hak konstitusional saya sebagai anggota Dewan yang mewakili rakyat yang dirugikan sebagaimana diceritakan oleh Saudaraku Tjatur tadi Pak. Jadi tolong, ini harus mendapatkan pemahaman yang sangat mendasar, sangat filosofis karena saya tidak mendapatkan dalam Konstitusi penjelasan apa itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan apa itu hak konstitusional? Jadi itu pemahaman saya, karena itu saya juga menangis ketika membahas mempersoalkan mengenai blok Cepu dan lepas. Sekarang kita akan segera lepas lagi blok Natuna yang sedemikian kaya raya. Apakah kita akan biarkan begitu Pak? Rakyat dirugikan Pak. Kedua, tadi juga Saudara Profesor Hikmawanto mengatakan proses legislasi adalah sebuah kesepakatan antara DPR dan Pemerintah. Betul, dalam sebuah konteks tertentu. Dengan sidang ini, dengan gugatan kami, kami ingin memulai juga sebuah sejarah kalau-kalau itu dibukakan pintu bahwa sebuah proses legislasi adalah juga sebuah 55
proses politik di DPR yang kemudian sebagaimana sebuah kesepakatan tentu mayoritas yang menang. Tetapi mayoritas yang menang belum tentu berarti sesuai dengan Konstitusi. Sangat mungkin minoritas yang kalah DIM-nya ditolak. DIM-nya kalah di dalam perdebatan sangat mungkin justru mereka sesuai dengan Konstitusi, tetapi karena sebuah kesepakatan mayoritaslah yang harus diterima pendapatnya. Maka kami datanglah kepada sebuah lembaga Konstitusi janganjangan yang kalah ataupun yang tidak dapat tempat di dalam proses kesepakatan itu disinilah dicek kebenarannya secara konstitusional itu, maka kami datang di sini. Ketiga, saya bukan ahli hukum, tolong Undang-Undang Dasarnya. Bapak-Bapak para hakim adalah ahli undang-undang. Pasal 11 ayat (2) mengatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya”. Saudaraku, temanku Profesor Hikmawanto tadi mengatakan itu dikaitkan dengan ayat (1), betul. Di dalam ayat (1) dengan negara lainnya. Saya bisa menafsirkan lain kata “lainnya” itu berarti kalau tadi hukum internasional dalam konteks perjanjian dalam konteks hukum internasional di ayat (1) sangat mungkin di ayat (2)-nya adalah perjanjian internasional lainnya dalam ranah perdata internasional, itu sebabnya dia terkait lagi menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Sangat mungkin yang dimaksudkan di sini juga adalah dan itu juga pertanyaan saya kepada para ahli sangat mungkin di sini adalah perjanjian internasional di ranah perdata lainnya yang mempunyai dampak tadi. Harus persetujuan DPR sangat mungkin bukan hanya yang bersifat hukum internasional tetapi yang bersifat perdata, sangat mungkin bukan? Harus disetujui DPR karena mempunyai dampak yang sedemikian luas yang menurut kami akan menimbulkan kerugian bagi rakyat yang kami wakili maka kami datang ke sini kepada Bapak-Bapak Hakim terhormat di sini untuk memutuskan perkara ini, sekian dan terima kasih. 105. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Ibu. Ini dari Pemerintah tidak ada Ibu sama sekali ini? Waduh, ini DPR ini wakil rakyat silakan. 106. PEMOHON : ISMAYATUN Terima kasih Bapak, bismillahirrahmaanirrahim. Yang saya hormati Bapak-Bapak Hakim, Maaf karena karena tidak ada ibunya. Yang saya hormati BapakBapak semua, saya hanya ingin menambahkan sedikit penjelasan dari beberapa teman sebelumnya. Hingga saat ini Pak, sebagai informasi saja, posisi sepuluh besar produsen minyak dan gas bumi itu dikuasai oleh asing. Yang pertama adalah—ini berdasarkan Petro Energy Juli 56
2007—perusahaan Migas dari asal Amerika, yaitu Chevron Pasific Indonesia (CPI), itu dengan total produksi mencapai 420 juta barel per hari. Peringkat kedua adalah Conocco Philips itu juga dari Amerika. Yang ketiga dari Perancis Total Endonesie, yang keempat adalah Chinooc— China National Offshore Oil Cooperation. Yang kelima Tiongkok lagi, Petro China, yang keenam adalah Kodeco dari Korea Development Company. Jadi enam penghasil minyak dan gas bumi terbesar di Indonesia adalah perusahaan multinasional yang sebagian besar sahamnya adalah dari negara-negara yang berasas yang saya sebutkan tadi itu yang pertama. Yang kedua tahun 2006 Pemerintah itu mengajukan anggaran untuk cost recovery itu sebesar 68,27 triliun lebih besar dari APBN yang untuk 20% untuk anggaran pendidikan nasional Pak. Di tahun 2007 cost recovery yang diajukan Pemerintah itu adalah sekitar 93,9 triliun, betapa besarnya Pak, bayangkan! Dan kami tidak bisa mengoreksi atau mengawasi dari pertama hal-hal apa saja yang menyebabkan betapa besarnya cost recovery itu, itu sebagai bahan informasi saja Pak. Yang ingin saya katakan adalah selain kami tidak bisa mendapatkan apa saja bentuk dari cost recovery itu sulit juga memisahkan menentukan yang mana yang operasional dari perusahaan multinasional itu yang benarbenar mendukung untuk biaya operasinya di Indonesia kami tidak tahu, itu apa bisa masuk ke Pemerintah dengan perusahaannya di head officenya di Amerika atau head office-nya di Cina atau head office-nya Perancis kami tidak tahu berapa besaran itu. Itu yang kami mohonkan di sini karena kami sebagai anggota DPR itu punya tiga hak, legislasi, budgeting, dan pengawasan. Hak budget ini itu juga melekat ke setiap anggota DPR yang ada walaupun even dia tidak duduk di panitia anggaran, itu yang ingin kami ketahui. Jadi Pak hakim karena tidak ada ibunya, esensi dari permohonan kami ini adalah bertujuan untuk menjaga kekayaan alam Indonesia supaya dimanfaatkan dengan baik dan benar dan bermanfaat seluasluasnya untuk rakyat. Kalaupun dalam mencapai tujuan itu kami harus mengatasi legal, maka kami datang ke sini, ke Mahkamah Konstitusi dan kami hormati itu. Oleh karena itu kami duduk di sini memohon kepada para Hakim untuk melihat esensi dari kedatangan kami di sini. Terima kasih. 107. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Walaikumsalam, satu lagi? Pak Zainal? 108. PEMOHON : ZAINAL ARIFIN Terima kasih, Sidang Majelis yang kami hormati, jadi satu kata penutup saja mengenai soal ini, yang tadi sudah banyak disampaikan oleh rekan57
rekan. Kami juga mau tujukan kepada Ahli dari pihak Pemerintah tadi yang mengatakan bahwa Pasal 11A itu adalah semata-mata bertumpu pada istilah perjanjian internasional, tapi sebenarnya kami mau mengatakan di sana adalah istilah lainnya, artinya itu terbuka semua kemungkinan khususnya mengenai perjanjian internasional dan terlebih penting lagi adalah akibat dari perjanjian tersebut adalah menyangkut kepentingan orang banyak. Jadi tidak semata-mata bentuk perjanjian, tetapi pada akibat sebenarnya pasal itu ingin kami sampaikan. Kedua mengenai soal pengawasan saya kira sudah banyak tadi diulas dimana kami sendiri juga memahami Konstitusi yang baru dimana check and balances itu tidak dilakukan dalam bentuk pertanggungjawaban dari eksekutif tetapi justru dalam prosesnya sendiri. Oleh karena itu transparansi menjadi satu hal yang penting bahwa pihak Pemerintah dengan DPR secara transparan di dalam melihat semua masalahnya yang sampai hari ini transparansi hampirhampir tidak ada, sehingga semua keluhan bahkan dari pemerintah daerah jika mereka ingin tahu berapa hasil minyak di daerahnya sampai hari ini tidak ada satu orangpun yang tahu. Terima kasih Pimpinan.
Assalamualaikum wr. wb. 109. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, sekarang saya persilakan DPR dan sesudah itu nanti Pemerintah. Pemerintah juga banyak ini, ada BP Migas juga bukan? Bila perlu mau bicara silakan juga. Sebelum DPR menyampaikan catatan terakhir saya ingin menambahkan bahwa kalau panggilan atau undangan sidang, tadi ditandatangani oleh Panitera, tadi disampaikan. Di masa yang akan datang akan diubah sesuai dengan hasil rapat konsultasi Pimpinan DPR dengan kami, supaya dimasa yang akan datang yang suratnya itu ditandatangani oleh Ketua, ditujukan oleh Ketua. Jadi selama ini kadang-kadang kita tergantung konteks, kadang-kadang kita kirim ke komisi yang ada kaitan. Maksudnya ialah supaya yang hadir dalam sidang Mahkamah Konstitusi selain formal, kuasa hukum yang formal, ada juga komisi yang menangani berhubung undang-undang selalu ditangani secara terpisah-pisah bergantung komisinya dan seterusnya. Kadang-kadang kita panggil langsung ke komisi. Tapi berdasarkan kesepakatan yang akan datang kita tidak akan kirim itu masalah internal DPR, jadi kita kirim ke ketua karena yang dikirim itu ketua jadi yang teken juga ketua. Jadi kalau tadi disampaikan surat panggilan yang ditandatangani oleh Panitera mudah-mudahan di masa yang akan datang tidak terjadi lagi. Silakan DPR sekaligus juga menjawab pertanyaan. 110. DPR-RI : LUKMAN HAKIM SAEFUDDUN
58
Baik, terima kasih Ketua Majelis. Pertama kami ingin menjawab pertanyaan berkaitan dengan status legalitas keberadaan kami di sini. Sebelumnya, perlu kami sampaikan bahwa keberadaan tim Kuasa Hukum DPR dalam sidangsidang Mahkamah Konstitusi ini sudah berlangsung cukup lama. Saya pikir sejak adanya Mahkamah Konstitusi ketika sebuah undang-undang di-review karena dinilai atau diduga bertentangan dengan UndangUndang Dasar maka sejak saat itulah kemudian DPR menunjuk tim kuasanya untuk memberikan keterangan-keterangan terhadap undangundang yang diuji itu. Yang kedua yang ingin kami sampaikan adalah juga sudah menjadi tradisi di DPR setiap tahun di awal masa sidang pertama, setiap tahun, dalam Rapat Paripurna Dewan selalu dibacakan oleh pimpinan dewan langsung nama-nama anggota tim Kuasa Hukum DPR dan kemudian didapatkan persetujuan dalam Rapat Paripurna Dewan tersebut. Jadi setiap tahun selalu diperbaharui siapa saja anggotaanggota Kuasa Hukum DPR yang sebagaimana kelazimannya biasanya terdiri dari anggota Komisi III DPR, komisi yang membidangi hukum di DPR. Khusus menyangkut pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi ini Pimpinan Dewan dalam hal ini Ketua DPR, Bapak Agung Laksono telah membuat surat khusus itu Nomor HK.00/8467/DPR-RI/2007. Jadi saya pikir saya tidak usah bacakan ini semua karena ini ditandatangani oleh Pak Agung Laksono sebagai Ketua DPR dan betul tadi yang disampaikan salah satu tugas Pimpinan DPR antara lain adalah mewakili DPR dan atau alat kelengkapan Dewan di pengadilan. Oleh karenanya kemudian ditunjuklah sejumlah anggota yang diberi kuasa untuk memberi kuasa sejumlah nama dalam kaitannya dengan pengujian Undang-Undang 22 Nomor 2001 ini. Terakhir, saya ingin menanggapi sedikit, karena ini juga menjadi kesepakatan anggota tim Kuasa Hukum DPR bahwa sepenuhnya kami sependapat sejalan dengan apa yang disampaikan oleh para anggota Dewan yang terhormat sebagai Pemohon pengujian undang-undang ini, kecuali dalam hal legal standing. Jadi memang diterima atau tidak, tapi faktanya memang kita terikat dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur siapa sesungguhnya yang berhak menjadi Pemohon itu. Jadi hanya ada empat kemungkinan saja dalam undang-undang yang bisa dijadikan Pemohon. Pertama adalah perorangan Warga Negara Indonesia atau kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Lalu yang ketiga badan hukum publik/privat atau lembaga negara, jadi hanya empat klasifikasi ini sajalah sesuai undang-undang yang bisa menjadi Pemohon. Itupun kalau hak konstitusional salah satu dari keempat pihak ini nyata-nyata dirugikan oleh sebuah undangundang yang dimohonkan diuji. Jadi karenanya sebagaimana di awal 59
keterangan kami, ada baiknya semua ini bisa diperbaiki dengan pendekatan legislative review tidak melakukan hak uji undang-undang dengan Undang-Undang Dasar. Demikian Pak Ketua. 111. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi substansi cocok baiknya di Senayan jangan di sini kira-kira begitu. Nanti kita lihatlah, jadi terakhir saya persilakan dari Pemerintah. 112. PEMERINTAH : SUDHONO ISWAHYUDI (STAFF AHLI MENTERI ESDM BIDANG HUKUM) Terima kasih Yang Mulia. Jadi kami dari Pemerintah sesuai dengan nama kabinetnya kita hanya satu saja, jadi Kabinet Indonesia Bersatu. Kami hanya satu orang yang akan menyampaikan. Pertama-tama kesimpulan dari apa yang sudah kita dengar bersama yaitu yang berkaitan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 kami berkesimpulan bahwa pengertian perjanjian internasional lainnya yang mempengaruhi kehidupan rakyat secara luas dan mempunyai beban kepada negara itu tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dari hasil apa yang disampaikan oleh para Ahli. Kemudian yang kedua fungsi pengawasan dari para Pemohon sebagai anggota DPR-RI sebagaimana diatur di dalam Pasal 20A ayat (3) maupun di dalam Undang-Undang Nomor 3 tentang Susduk DPR sudah terakomodasi melalui mekanisme yang selama ini sudah berjalan, yaitu ada rapat kerja, kemudian ada kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah, kemudian menyampaikan aspirasinya baik di dalam forum DPR maupun dengan Pemerintah, semuanya sudah terakomodasi sesuai peraturan yang berlaku sehingga tidak ada hak-hak Pemohon sebagai anggota DPR yang dirugikan di dalam mekanisme yang berjalan selama ini. Yang ketiga, pengertian Pasal 33 ayat (3) maupun ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pengertian tentang dikuasai oleh negara, kemudian pengertian tentang kemandirian di dalam menyelenggarakan perekonomian bagi bangsa kita ini tidak berarti menafikan keikutsertaan modal asing di dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945. Kami menghargai dan bisa memahami sikap concern dari Bapak-Bapak dan Ibu para Pemohon sebagai anggota DPR dan wakil rakyat tentang permasalahan kehidupan bangsa kita ini khususnya masalah pembangunan ekonomi. Silakan Bapak-Bapak dan Ibu untuk memperjuangkan aspirasinya melalui koridor hukum Konstitusi yang sudah ada, yang tersedia. Dalam 60
sistem bernegara kita, silakan memperjuangkan lewat Raker dengan Pemerintah bahkan sampai ke interpelasi kepada Pemerintah sudah ada koridornya. Silakan berjuang mudah-mudahan Bapak-Bapak dan Ibu-ibu semuanya mendapat kekuatan dari Allah SWT, amin. Sekian terima kasih.
wassalamu’alaikum wr.wb. 113. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baguslah ini, ya mudah-mudahan nanti bisa terselesaikan dengan baik. Jadi perjuangannya bisa dibuka front-nya, di sini ada, di sana juga ada, sudah diberi kesempatan. Jadi saya rasa Saudara-Saudara sudah cukup sekian tapi karena Pemerintah sudah membuat kesimpulan lisan, nanti silakan juga dilengkapi kesimpulan tertulis dan tadinya kepada Pemohon tadinya saya minta kesimpulan tertulis saja, tapi seandainya Saudara Kuasa Pemohon mau menyampaikan terakhir kesimpulan lisan sedikit saja, tapi nanti dilengkapi yang tertulis saya persilakan. 114. KUASA HUKUM PEMOHON : JANUARDI S. HARIBOWO, S.H. Baik, Yang Mulia terima kasih. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang ini pada intinya kami tetap akan menyampaikan sebuah kesimpulan tertulis sehingga akan lebih komprehenshif sehingga dipahami oleh semua pihak terutama Majelis yang mulia. Tapi kemudian dari beberapa pembicaraanpembicaraan, beberapa perdebatan tadi kita melihat kesimpulan bahwa substansi atau inti dari semua dari apa yang kami ajukan adalah kita tidak sebatas berbicara bentuk perjanjian ini apakah menjadi perjanjian internasional, perdata internasional, dan lain sebagainya tapi kepada pentingnya perjuangan dan kepentingan hajat rakyat banyak sebagaimana Pasal 33 Konstitusi dan bagaimana menterjemahkan atau apakah arti dari perjanjian internasional lainnya? Saya rasa kita-kita di sini hanya bisa menerka-nerka, karena kita tahu semua bahwa sole interpreter of the constitution ada di sini Mahkamah Konstitusi, kami serahkan kepada Yang Mulia. Tetapi kami melihat tadi ada beberapa kesatuan pendapat mengenai perjanjian internasional adalah selama di dalamnya terkandung unsur-unsur publik, terkandung unsur-unsur kedaulatan, terkandung kepentingan rakyat banyak, sebetulnya sudah masuk kepada ranah perjanjian internasional whatever, apapun subjeknya, itu yang menjadi lebih penting, hak dan kewajibannya itu yang menjadi menentukan. Kesimpulan sementara demikian tapi lebih komprehenship akan kami sampaikan dalam kesimpulan tertulis, terima kasih Yang Mulia. 115. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. .
61
Baiklah Saudara-Saudara, Mahkamah Konstitusi tidak mengadili orang, tidak mengadili lembaga. Kita di sini mengadili undang-undang, kalau boleh ditaruh di tengah, di meja undang-undang itulah kita adili terdakwanya, kalau undang-undang itu salah kita hukum.Cara menghukumnya dinyatakan tidak berlaku mengikat bagian yang diujikan oleh Pemohon karena itu status pemerintah duduk dalam sidang ini hanya sebagai pemberi keterangan, begitu juga DPR sebagai institusi duduk di sini sebagai pemberi keterangan dan Saudara adalah para Pemohonnya. Biar kami nanti sembilan orang memeriksa perkara ini lebih lanjut kami belum punya pendapat sekarang tapi keterangan yang sudah Saudara berikan para ahli semuanya sangat penting bagi kami untuk itu atas nama Mahkamah saya ucapkan terima kasih. Dan dengan ini sidang Mahkamah Konstitusi saya tutup sampai sidang berikutnya yaitu untuk pembacaan putusan pada saatnya nanti. Terima kasih dengan ini saya nyatakan ditutup.
Assalamualaikum wr. Wb
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 13.20 WIB
62