MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NO. 2/PUU-V/2007 DAN PERKARA 3/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN PEMERINTAH DAN PIHAK TERKAIT (BNN) (II)
JAKARTA
KAMIS, 15 MARET 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NO. 2/PUU-V/2007 DAN PERKARA NO. 3/PUU-V/2007 PERIHAL Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap UUD 1945
PEMOHON Edith Yunita Sianturi dkk Scott Anthony Rush
ACARA Mendengar Keterangan Pemerintah dan Pihak Terkait (BNN) (II) Kamis, 15 Maret 2007 WIB, Pukul 10.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dr. HARJONO, S.H., M.C.L SOEDARSONO, S.H.
Cholidin Nasir, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
HADIR: Kuasa Hukum Pemohon Perkara 2/PUU-V/2007 • • • •
Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M Ir. Alexander Lay, S.H., LL.M Arief Susijanto, S.H., M.H. Haryanto (Asisten)
Kuasa Hukum Pemohon Perkara 3/PUU-V/2007 o o o o o o
Deny Kailimang, S.H., M.H. Harry Pontoh, S.H., LL.M. J. Robert Khuana, S.H. Viktor Yaved Nano, S.H., M.H., M.A. Drs. I Ketut Ngastawa, S.H. Benny Pontoh, S.H.
Pemerintah : • • •
Dr. Hamid Waludin, S.H. (Menteri Hukum dan HAM) Abdul Rahman Saleh, S.H., M.H (Jaksa Agung) Mualimin Abdi, S.H., M.H. (Ka.Bag Litigasi Dept Hukum dan HAM)
Pihak Terkait (BNN) : • • •
Komjen I Made Mangku Pastika (Kalakhar BNN) Jeane Mandagi (Konsultan Ahli BNN) Arnowo, S.H. (Kabid Binkum BNN)
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.55 WIB
1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baiklah Saudara-saudara sidang Mahkamah Konstitusi untuk pemeriksaan perkara ini yaitu dua perkara, Perkara Nomor 2 dan 3/PUUV/2007 dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.
KETUK PALU 3X
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Saudara-saudara, sebelum kita mulai saya perlu jelaskan bahwa ada dua perkara yang berkaitan dengan persoalan yang sama dalam rangka pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Narkotika yang diajukan oleh dua kelompok Pemohon untuk hal yang sama dan oleh karena proses pemeriksaan dalam sidang-sidang pendahuluan telah diselenggarakan sehingga kedua-duanya ini sudah berada dalam tahap pemeriksaan yang sama dan mengingat persamaan kesamaan dari keduanya, maka kami tetapkan dua perkara ini digabungkan proses pemeriksaannya dan juga nanti putusannya walaupun nomor perkaranya tetap dua. Jadi dua perkara masing-masing tetap terpisah dengan hak dan kewajibannya tetap terpisah, tapi dalam pemeriksaan diproses melalui persidangan yang sama dan nanti putusannya digabungkan menjadi satu putusan. Sementara itu ada juga Pemohon lain lagi yang mengajukan permohonan yang serupa tapi kami belum menentukan sikap mengenai permohonan yang ketiga untuk ikut serta di dalam proses pemeriksaan perkara ini yang diajukan oleh pihak lain sama sekali, yaitu warga negara Nigeria kalau tidak salah dan itu belum kami tetapkan bagaimana kelanjutannya. Untuk seterusnya perkara ini akan kita periksa dalam waktu yang bersamaan. Dan sidang kali ini kita akan mendengarkan keterangan resmi dari pembentuk undang-undang dalam hal ini adalah Pemerintah dan DPR. Namun untuk kali ini DPR tidak dapat hadir, maka kesempatan berikutnya kita akan mendengar keterangan dari pihak DPR. Karena itu fokus pemeriksaan hari ini mendengarkan keterangan dari Pemerintah dalam hal ini eksekutif baik yang diwakili oleh Menteri Hukum sebagaimana biasa maupun juga Jaksa Agung dan disamping itu juga ada pihak terkait langsung dalam perkara ini, yaitu BNN yang nanti kami
3
persilakan lebih dulu memperkenalkan diri keterlibatannya dengan perkara ini. Sebelum kita mulai Saudara-saudara, kita mulai dulu dengan perkenalan. Saya persilakan mulai dari Pemohon, Pemohon satu dan Pemohon dua memperkenalkan diri siapa saja yang hadir dan kemudian dilanjutkan Pemerintah dan seterusnya, silakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Terima kasih Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Kami adalah Kuasa dari empat Pemohon, Edith Junita Sianturi, Rani Andriani, kemudian Mirand Sukomarand dan Andrew Chan, dua warga negara Indonesia yang pertama dan dua yang terakhir adalah warga negara Australia. Kami mewakili keempat Pemohon judicial review ini, saya sendiri Todung Mulya Lubis, kemudian di sebelah kiri saya Saudara Ir. Alexander Lay, kemudian di sebelah Saudara Alexander Lay adalah Saudara Arief Susijanto, mungkin tidak kelihatan karena ada tembok di sini. Kami juga membawa seorang staf Saudara Haryanto Yang, yang duduk di belakang kami. Terima kasih.
3.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, selamat datang, silakan selanjutnya yang kedua, Pemohon kedua.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH, S.H., L.LM. Terima kasih Yang Mulia, kami adalah kuasa hukum dari Scott Anthony Rush, warga negara Australia. Di sebelah kiri saya Bapak Denny Kailimang dan sebelah kanan saya adalah J. Robert Khuana. Di belakang saya sebelah kanan adalah I Ketut Ngastawa dan di belakang saya persis yang di tengah adalah Benny Pontoh, sebelah kirinya lagi adalah Victor Yaved Neno dan saya sendiri Harry Pontoh. Terima kasih.
5.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, selamat datang, silakan sekarang sebelah kanan, sebelah kiri?
4
6.
PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG R.I) Terima kasih Yang Mulia, kami adalah Jaksa Agung Republik Indonesia, mewakili Presiden Republik Indonesia sebagai kuasa untuk menjawab terhadap permohonan dari Scott Anthony Rush yang melalui kuasa hukumnya Denny Kailimang, S.H., M.H. Bersama kami adalah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara dan juga beberapa staf, terima kasih.
7.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terima kasih.
8.
PEMERINTAH : Dr. HAMID AWALUDIN, S.H (MENTERI HUKUM DAN HAM) Terima kasih Yang Mulia, saya Hamid Awaluddin, Menteri Hukum dan HAM RI mewakili Presiden dalam pengujian undang-undang yang diajukan oleh para Pemohon.
9.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Saya hanya mau mengecek saja, tadi Bapak Jaksa Agung mengatakan hanya untuk Pemohon kedua? Pemohon kesatu tidak? Atau bagaimana?
10.
PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG R.I) Surat kuasa yang kami dapat memang yang diajukan oleh Saudara Denny Kailimang, register Perkara Nomor 3/PUU-V/2007.
11.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik kalau begitu. Kalau Pemerintah untuk dua-duanya Pak ya, Pak Hamid ya! Barangkali itu masalah internal dari Pemerintah, kami serahkan sepenuhnya kepada Pemerintah untuk menyelesaikannya dan aspek administrasinya. Saya persilakan selanjutnya yang belum memperkenalkan diri dari pihak mana lagi? Sudah termasuk ya, Pihak Terkait silakan.
5
12.
PIHAK TERKAIT (KALAKHAR BNN)
:KOMJEN
I
MADE
MANGKU
PASTIKA
Terima kasih Yang Mulia, kami mewakili Badan Narkotika Nasional, kami perkenalkan, nama saya Made Mangku Pastika, Kepala Badan Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional. Di sebelah kiri saya Ibu Jane Mandagi, S.H., penasihat ahli BNN, dan sebelah kanan kami Arnowo, S.H., sebagai pejabat dari Pusat Penegakan Hukum Badan Narkotika Nasional, terima kasih. 13.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Selesai? Termasuk ya! Baik, mengenai status dari Pihak Terkait perlu kami terangkan ada dua jenis pengertian Pihak Terkait dalam persidangan-persidangan di Mahkamah Konstitusi dan ini telah berlangsung selama hampir empat tahun terakhir dan di dalam hukum acara atau Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang pedoman beracara juga sudah diatur, ada dua kelompok yang disebut Pihak Terkait. Pihak Terkait pertama adalah pihak terkait langsung dan pihak terkait kedua adalah pihak terkait yang tidak langsung. Yang tidak langsung adalah pada dasarnya semua warga negara, semua pihak yang punya kaitan dengan persoalan yang diperkarakan. Sekiranya persoalan yang diperkarakan itu adalah pengujian undang-undang, maka kita tahu undang-undang milik publik, bukan milik yang membuatnya dan norma hukum yang terkandung dalam undangundang itu mengikat semua orang, semua warga negara. Karena itu ada saja di dalam perjalanan waktu kalau undang-undang diuji, pihak-pihak yang mengklaim kepentingannya terkait itu kalau bisa dibuktikan maka kita anggap dia sebagai pihak terkait tapi tidak langsung, umum sekali sifatnya. Dan oleh sebab itu sifat keterangan yang kami perlukan, yang kami terima hanya bersifat ad informandum, tidak mengikat, itu kalau pihak terkait tidak langsung. Tapi kalau pihak terkait yang langsung ialah pihak yang memang ada kaitan langsung dengan norma atau dengan undang-undang yang diperkarakan. Misalnya Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tentu KPK merupakan pihak terkait langsung dengan undang-undang yang dipersoalkan walaupun pihak yang kita panggil memberi keterangan di samping Pemohon adalah pembentuk undang-undang, bukan KPK-nya, dalam hal ini DPR dan Pemerintah. Namun karena dalam hal ini KPK punya kaitan langsung nasibnya itu ditentukan oleh undang-undang yang dipersoalkan, maka kepada pihak yang terkait ini kami beri hak dan kewajiban sama dengan pihak Pemohon dapat mengajukan juga ahli, dapat mengajukan juga saksi, dan lain-lain sebagainya untuk meng-counter ahli, saksi yang diajukan oleh pihak Pemohon. Dalam hal ini BNN sudah kami tetapkan sebagai
6
pihak terkait langsung, karena memang yang mengeksekusi, melaksanakan ketentuan-ketentuan undang-undang di bidang penegakan hukum narkotika ini salah satunya adalah BNN ini, demikian ya! Nanti pada saatnya setelah kita mendengar keterangan pihak Pemerintah resmi, pihak terkait langsung juga akan diberi kesempatan untuk memberi keterangan sesuai dengan tugasnya. Dan pihak Pemohon kami akan beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada BNN dan seterusnya nanti untuk pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya, tergantung nanti bagaimana kelanjutan dari pemeriksaan ini. Sebelum kita teruskan saya lebih dahulu mempersilakan kepada Saudara Pemohon untuk memudahkan pemeriksaan, meskipun permohonan tertulis pasti sudah dibaca oleh semua pihak. Tapi supaya mempermudah proses pemeriksaan persidangan maka Saudara Pemohon saya minta menguraikan pokok-pokok permohonan dengan argumen-argumen, dalil-dalilnya dan apa yang secara pasti diminta dan diharapkan dari perkara ini. Saya persilakan, pendek saja usahakan! 14.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Terima kasih yang mulia Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi. Para Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, Wakil Pemerintah, Pihak Terkait BNN, izinkan kami dalam kesempatan yang sangat bersejarah ini untuk memulai paparan kami mengenai mengapa kami mengajukan permohonan judicial review terhadap pasal-pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika. Walaupun kami sudah menyampaikan secara lengkap permohonan judicial review kami, lengkap dengan alat-alat bukti yang kami lampirkan kepada Mahkamah Konstitusi. Tapi untuk membuat semacam summary (pengantar), kami akan mencoba melihat beberapa hal lebih dahulu seperti tadi kami kemukakan, kami menyampaikan permohonan judicial review ini atas nama empat Pemohon Edith Junita Sianturi dan Ranny Andriani, dua warga negara Indonesia yang terlibat dalam kejahatan narkotika dan sudah dijatuhi hukuman mati. Kemudian dua warga negara Australia, Mirand Suchamarand dan Andrew Chan yang juga terlibat dalam perdagangan narkotika yang masuk dalam kelompok apa yang disebut Bali Nine yang juga sudah dijatuhkan pidana mati. Majelis Hakim yang kami muliakan, yang kami uji adalah pasalpasal hukuman mati dalam Undang-Undang Nakotika. Satu hal yang kami sangat paham dan semua kita sangat paham—kami tahu—bahwa kejahatan narkotika berdampak sangat buruk terhadap perkembangan bangsa. Kita mengalami ini dan kita tahu bahwa kejahatan narkotika bisa menghilangkan satu generasi, bisa menimbulkan keputusasaan, bisa menimbukan penderitaan yang luar biasa dan banyak di antara kita yang mungkin menjadi korban dari kejahatan narkotika.
7
Saya punya keluarga yang terkena narkotika dan kita tahu betapa susahnya dan berapa menderitanya yang bersangkutan, keluarga, maupun masyarakat yang dihadapkan pada kejahatan narkotika seperti ini. Kami tentu bersimpati tersangka dalam pada korban narkotika dan keluarganya. Kita tidak mengatakan bahwa kita mengabaikan itu, kita sangat bersimpati dan sangat memahami betapa penderitaan itu luar biasa, tapi persidangan ini bukan mempersoalkan kejahatan narkotika. Persidangan ini adalah menguji konstitusionalitas dari pasal-pasal hukuman mati. Jadi dua hal yang tidak sepenuhnya berkaitan—walaupun berkaitan. Majelis Hakim yang kami muliakan, dengan pengantar ini kami ingin mengatakan sebetulnya, walaupun kami menguji pasal-pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika kami sama sekali tidak memohonkan pembebasan hukuman bagi pengedar narkotika. Kami tetap menganggap bahwa mereka tetap harus dihukum, kalaupun dihukum seberat-beratnya they deserve to be punished, ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan itu sendiri. Jadi para pengedar narkotika pantas dan layak untuk dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, mungkin hukuman seumur hidup tanpa remisi—life sentence without any parole—atau hukuman yang lain, tapi bukan hukuman mati karena persoalan narkotika dan banyak persoalan kejahatan yang lain itu persoalan yang sangat kompleks, yang sangat complicated. Seringkali mereka merupakan anak kandung dari kemiskinan, anak kandung dari ketidakadilan sosial, dan ketidakadilan ekonomi. Mereka adalah produk dari keputusasaan. Dalam konteks ini kita tahu bahwa narkotika adalah satu indikasi mafia global yang melibatkan mata rantai kejahatan terorganisasi. Banyak yang ditangkap, banyak yang diadili, banyak yang dihukum, dan banyak yang dijatuhi vonis mati adalah pengedar-pengedar kecil yang kalau kita telisik lebih jauh adalah bagian atau scope kecil dari satu mesin mafia yang besar yang tidak mungkin bisa eksis, beroperasi tanpa kerjasama dengan tentara, tanpa kerjasama dengan polisi, tanpa kerjasama dengan jaksa, tanpa kerjasama dengan hakim-hakim, ini kalau kita baca novel-novel mafia (...) 15.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kalau boleh disingkat begitu?
16.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Saya ingin memberikan gambaran (...)
8
17.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Nanti begini, nanti ada apa namanya dalam pembuktian bisa kita
explore lagi. 18.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Boleh, tapi kita saya melihat inikan satu proses sejarah Ketua Majelis. Kita ingin dapat gambaran selengkap-lengkapnya supaya kita bisa memahami secara lebih jernih. Saya akan coba menyingkatkan, Ketua Majelis, bagi kami hukuman mati bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945, yang menjamin hak untuk hidup setiap manusia— the right to life. Sebetulnya dalam konteks ini kami ingin mengajukan judicial review untuk seluruh ketentuan hukuman mati, tapi sekali lagi kami dibatasi oleh kuasa yang hanya bicara mengenai Undang-Undang Narkotika. Dua hal di sini, satu kita bicara mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedua mengenai legal standing dari para Pemohon. Kewenangan Mahkamah Konstitusi itu jelas ada pada Undang-Undang Dasar Pasal 24C ayat (1) dan ini diulangi kembali dalam Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi membatasi undang-undang yang dapat diuji hanya undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada tahun 1999. Undang-Undang Narkotika yang diundangkan pada tahun 1997, namun Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Nomor 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005. Jadi dari segi ini kita melihat bahwa kewenangan itu tidak merupakan isu bagi Mahkamah Konstitusi. Legal standing, ini saya kira penting, karena para Pemohon jelas terpidana mati yang berdasarkan Undang-Undang Narkotika yang dengan sendirinya mempunyai kepentingan hukum—legitimate legal interest, karena hak untuk hidup mereka akan dicabut, selama pasalpasal pidana mati ini masih eksis. Dua Pemohon pertama tidak ada masalah karena mereka adalah warga negara Indonesia. Pemohon tiga dan empat adalah warga negara Australia yang memang mempunyai masalah, Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi membatasi bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, Pemohon ketiga dan keempat dalam kesempatan ini sekaligus memohon pengujian Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Jadi dalam pokok perkara, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kami mengajukan dua pengujian sekaligus; pengajuan terhadap legal standing warga negara asing yang dibatasi,
9
kemudian terhadap pasal-pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika. Mengenai legal standing, Pasal 51 ayat (1) huruf a UndangUndang Mahkamah Konstitusi secara tegas mengatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu—kami hanya mengutip bagian A—perorangan warga negara Indonesia. Di sini kita bicara mengenai apa yang disebut citizen rights. Pasal ini berasumsi bahwa hanya bahwa hak konstitusional hanya dimiliki oleh warga negara—citizen, bukan human being. Dalam kaitan ini kalau kita membaca Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 Majelis Hakim yang kami muliakan, di situ dikatakan, “bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Jadi setiap orang, every individual, every person harus dapat treatment yang sama, equality before the law. Jadi pasal ini sebetulnya tidak hanya menjamin hak warga negara atau citizen tetapi juga menjamin hak asasi setiap individual dalam konteks human rights, termasuk warga negara asing. Jadi tidak dibatasi hanya WNI. Di sini memang perlu ada pembatasan karena kami menyadari bahwa tidak semua warga negara asing bisa mempunyai hak dalam sebuah negara asing, karena mereka tidak punya hak untuk ikut dalam pemilihan presiden, tidak punya hak untuk menjadi gubernur—ikut Pilkada, tidak berhak untuk menjadi anggota DPR, tapi mereka berhak untuk mempertahankan hidupnya, the right to life ini. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) yang menyangkut hak konstitusional, yang tadi ada kaitannya, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bab XA Undang-Undang Dasar 1945 ini adalah bab tentang hak asasi manusia yang kalau kita baca secara teliti, dia mengatur citizen rights, hak warga negara, dia juga mengatur hak asasi manusia—human rights. Jadi dua hak ini diatur dalam bab ini secara cukup komprehensif, karena dia juga mengadopsi banyak pasal-pasal dari Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB dan
International Covenant on Civil and Political Rights.
Undang-Undang Dasar 1945 membedakan hak warga negara dengan hak asasi manusia. Kalau kita teliti kita tidak akan masuk pada semua secara detail, tapi contohnya Pasal 28D ayat (3) misalnya, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan”, ini tentu tidak akan dimiliki oleh warga negara asing, tapi kalau kita melihat Pasal 28A—Ketua Majelis dan Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan—di sini dikatakan bahwa setiap orang, every person, berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kalau Pasal 28A ini dikaitkan dengan Pasal 28I ayat (1), di sini dikatakan bahwa hak untuk hidup, the right to life adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun—the 10
right to life is human rights that cannot be derogated in any under circumstances. Ini yang dikenal dalam literatur hak asasi manusia
dimanapun di dunia ini yang kita adopsi dari Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB dan International Covenant on Civil and Political Rights, turunan lebih jauh kita akan bisa lihat bahwa karena itu setiap orang berhak atas due process of law, setiap orang berhak atas legal recost dan pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan legal recost itu. Dalam konteks ini—Majelis Hakim yang kami muliakan— Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang kalau kita baca pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, di situ dengan jelas dikatakan, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, sedangkan Pasal 24 ayat (2) menyatakan, “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Jadi ini bagian dari forum untuk mendapatkan keadilan itu, kalau kita bisa lanjutkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia”, kalau dikaitkan dengan penjelasan yang kami sudah kemukakan tadi maka bisa dilihat itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atau atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ini alasanalasan kenapa kami men-challenge konstitusionalitas dari Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang membatasi Pemohon judicial review hanya terbatas pada perorangan warga negara Indonesia. Dalam beberapa kasus, tidak semua kasus. Ketua Mahkamah Konstitusi dan para hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, izinkan kami berbicara mengenai hak pokok kedua dari permohonan judicial review kami, mengenai hukuman mati itu sendiri. Sidang ini akan mengadili dan menguji apakah hukum mati yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A dan 28I ayat (1). Kami mendasarkan argumen ini pada Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang kami anggap sangat prinsipil dan fundamental yang kami sudah kutip tadi dan kami ulangi kembali bahwa hak untuk hidup itu adalah hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun hak asasi yang non derogable. Ketentuan ini berakibat pada—kalau itu dibaca lebih jauh—berakibat pada inkonstitusionalitas hukuman mati itu sendiri—kalau kita taat asas, pada tafsiran pasal tersebut. Kita mungkin bangga dan harus bangga sebagai bangsa Indonesia, karena Undang-Undang Dasar 1945 menerapkan standar yang lebih tinggi ketimbang International Covenant on Civil and Political Rights yang kita sudah ratifikasi.
11
Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah menempatkan Indonesia ke jajaran negara yang menerapkan standar yang lebih tinggi dalam melindungi hak untuk hidup. Dengan rumusan Pasal 28I ayat (1) yang tadi sudah kita kutip. Bandingkan Pasal 28 ayat (1) dengan Pasal 6 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Kalau Pasal 28I ayat (1) mengatakan, “hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights mengatakan, “tidak seorangpun dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”, beda formulasinya, beda rumusannya. Jadi standar pada Pasal 28I ayat (1) lebih tinggi ketimbang standar yang ada pada Pasal 6 ayat (1) International
Covenant on Civil and Political Rights.
Majelis hakim yang kami muliakan, kalau kita baca Pasal 6 ayat (6) International Covenant on Civil and Political Rights, dalam pasal ini dikatakan tidak ada satu pasalpun, tidak ada satupun pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights, kalau kita baca lebih lanjut, di situ dikatakan bahwa tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan hakhak asasi manusia dengan alasan bahwa Covenant ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya sebagai hak yang lebih rendah sifatnya. Jadi dua kutipan ini sebetulnya sudah menganulir ketentuan yang ada pada Pasal 6 ayat (2) yang tadi sudah kami kutip, karena kalau pada Pasal 6 ayat (2) dikatakan bahwa di negara yang belum menghapuskan putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius—the most serious crime, pasal ini dianulir oleh Pasal 6 ayat (6) dan Pasal 5 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights, karena itu kita bisa melihat argumentasinya lebih jelas dalam literatur hak asasi manusia, kalau kita punya waktu yang lebih banyak. Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 Majelis Hakim yang kami Muliakan, kita bisa melihat bahwa standar hak untuk hidup yang ditetapkan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, non derogable human right itu lebih tinggi dan saya kira sebagai bangsa kita tidak boleh menurunkan itu dengan mengacu kepada Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights, ini trend, kecenderungan yang kuat di dunia mengenai penghapusan hukuman mati. Kalau kita lihat lebih dari seratus lima puluh dokumen hak asasi manusia di dunia, kami sebutkan beberapa di sini bahwa instrumeninstrumen internasional dan regional mengenai hak asasi manusia menghapuskan hukuman mati bisa kita lihat pada Second Optional
Protocol to International Covenant on Civil and Political Rights.
12
19.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Begini Pak Pemohon, karena sidang sekarang kita fokuskan nanti mau mendengarkan keterangan resmi dulu, ini sudah tertulis lengkap, nanti di dalam pembuktian tentu ada argumen, nanti ada ahli, ada apa, di situ nanti kita explore lagi karena persoalan hukuman mati ini soal serius, sehingga kita harus banyak mendengar dan semua dokumendokumen ini nanti pada saatnya tentu harus diungkapkan dalam persidangan selanjutnya. Hanya untuk yang sekarang kita batasi dulu saja, yang jelas pokoknya tadi dua hal yang diminta, argumennya sudah jelas, kemudian petitum-nya apa dan kemudian setelah itu saya akan persilakan Pemohon kedua, syukur-syukur karena sama begitu tidak mau menambah lagi ya bagus, tetapi kalau masih mau menambah juga saya harus beri kesempatan juga. Jadi kalau bisa diringkas saja ini, bagian ini, langsung saja ke kesimpulannya—petitum-nya, lalu setelah itu kita akan dengarkan keterangan Pemerintah, pembentuk undang-undang, tokh semua ini sudah dibaca, saya kira begitu.
20.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Terima kasih Ketua Majelis. Saya tidak akan membacakan bagian-bagian ini, karena walaupun saya anggap ini penting untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai pemahaman kita, tetapi beberapa bagian yang akan saya tinggalkan tapi juga saya perlu saya anggap penting untuk menjelaskan bahwa kalau kita melihat statistik di dunia, dari semua negara di dunia, jumlah negara yang menghapuskan hukuman mati itu jauh lebih besar ketimbang negara yang masih mempertahankan hukuman mati. Ada 129 negara yang sudah menghapuskan hukuman mati dengan perincian, enam puluh delapan yang disebut abolisionist for all crimes, kemudian sebelas untuk yang abolisionist for ordinary crime only, kemudian ada yang melakukan moratorium, dan yang mempertahankan hukuman mati hanya enam puluh delapan negara. Grafik yang kedua ini, diagram yang kedua ini, menunjukkan peningkatan jumlah negara yang menghapuskan hukuman mati. Tetapi buat kami Ketua Majelis yang kami muliakan, persoalan kita sebetulnya adalah bukan pada statistik, statistik itu tentu satu tool yang bisa digunakan, kami juga (…)
21.
PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG R.I) Yang Mulia, apa boleh kami juga mengemukakan sesuatu?
13
22.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya habis ini, makanya tolong dipercepat!
23.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M. Kami akan percepat, kami juga ingin mengatakan bahwa masalah kita juga ada pada sistem pengadilan pidana yang juga sering membuat kesalahan yang tidak imune dan banyak kita dihadapkan pada kasus semacam ini, banyak contoh di Amerika di Indonesia dan kemudian ada satu soal lagi yang selalu menjadi isu adalah, apakah hukuman mati itu menimbulkan efek jera atau tidak? Deterrent atau tidak? Kami melihat dari data-data yang kami kumpulkan bahwa perkembangan jumlah kasus narkotika dan psikotropika di Indonesia, misalnya, itu cenderung meningkat walaupun hukuman mati itu dijatuhkan. Di Amerika, negaranegara yang sudah menghapuskan hukuman mati, dengan negara yang belum menghapuskan hukuman mati, seperti Amerika Serikat, jumlah pembunuhan misalnya itu jauh lebih kecil di negara yang sudah menghapuskan hukuman mati ketimbang yang sudah menghapuskan hukuman mati. Untuk statistik di Amerika sendiri, kita melihat bahwa di beberapa negara bagian sudah menghapuskan hukuman mati, jumlah pembunuhan itu lebih sedikit ketimbang di negara bagian yang masih mempertahankan hukuman mati. Jadi kesimpulannya Majelis Hakim yang kami muliakan, Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi bertentangan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, hukuman mati bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga, mengenai hak untuk hidup Undang-Undang Dasar 1945 menerapkan standar yang lebih tinggi dari International Covenant on Civil and Political Rights. Keempat, tren dunia internasional adalah menghapus hukuman mati. Kelima, sistem peradilan pidana tidak imune terhadap kesalahan sehingga sifat hukuman mati yang irrevocable dapat berakibat fatal. Dan, keenam, signifikansi keefektifan dari hukuman mati diragukan kesahihannya, walaupun kami lebih menekankan juga pada aspek tidak sempurnanya sistem peradilan pidana itu sendiri. Dalam petitum kami memohon Bapak Mejelis untuk menyatakan Pasal 51 ayat (1) huruf A Undang-Undang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1). Kedua, menyatakan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. Kemudian ketiga, menyatakan pasal-pasal UndangUndang Narkotika, sepanjang menyangkut pidana mati, bertentangan dengan Pasal 28A, 28I ayat (1), 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dan keempat, menyatakan pasal-pasal Undang-Undang Narkotika
14
sepanjang menyangkut pidana mati tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. Saya kira inilah pengantar yang merupakan summary, walaupun tidak lengkap dari permohonan judicial review yang kami sudah ajukan, kami ucapkan terima kasih kepada Majelis yang memberikan kesempatan kepada kami dan mudahmudahan ini bisa menjadi bahan untuk persidangan berikutnya. Terima kasih. 24.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih sekarang saya persilakan Pemohon kedua, mudah-mudahan karena sudah panjang tadi ya, mungkin idem saja juga boleh, tapi ya silakan!
25.
KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH, S.H., LL.M. Baik, terima kasih kami menyadari bahwa agenda hari ini adalah mendengarkan keterangan dari Pemerintah, DPR, dan dalam hal ini pihak terkait BNN, jadi kami hanya mau menambahkan sedikit hal dan mudah-mudahan tidak sampai lima menit. Kami mau menyampaikan bahwa seperti sudah disampaikan tadi Pasal 6 ayat (2) dari ICCPR itu memang menyatakan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang tergolong sebagai most serious crime, akan tetapi kemudian Komisi HAM PBB telah mengkonfirmasikan juga bahwa kejahatan yang berhubungan dengan obat-obat terlarang tidak termasuk dalam most serious crime, itu yang pertama. Yang kedua juga menjadi tambahan kami adalah bahwa perkembangan di dunia internasional belakangan ini bahkan terhadap pelanggaran HAM berat, masyarakat internasional menyadari kesalahan mereka dalam menerapkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan perang terhadap kemanusiaan di Nürenburg pasca perang dunia kedua, karena itu ketika terjadi kekejaman di yang sama di bekas Yugoslavia dan Rwanda, dua Mahkamah yang dibentuk dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB, yaitu International Tribunal for the former Yugoslavia dan juga Rwanda, tidak memasukkan hukuman mati sebagai pidana maksimum dalam statutanya. Catatan yang ketiga adalah semangat untuk menghapus hukuman mati juga terlihat saat pembentukan dari International Criminal Court dengan diadopsinya The Rome Statue of International Criminal Court pada 17 Juli 1968 di Roma. ICC ini yang berlaku 1 Juli 2002 itu mengatur kewenangan mengadili kejahatan paling serius yang dilakukan oleh individu yang terdiri empat jenis kejahatan, yaitu pemusnahan etnis atau suku bangsa, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Pada empat kategori kejahatan ini, ancaman hukuman mati sama sekali tidak
15
dimasukkan lagi dalam statuta ICC dan sebagai penutup kami hanya mengutip pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 066/PUU-II/2004, disebutkan bahwa kedudukan undang-undang sebagai pelaksanaan Undang-Undang Dasar adalah undang-undang yang berfungsi untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar dan tidak membuat aturan baru, apalagi yang bersifat membatasi pelaksanaan Undang-Undang Dasar. Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan bahwa pembuat undang-undang mempunyai kewenangan untuk menentukan hal yang terbaik dan dianggap tepat. Namun tidak boleh mengubah hal-hal yang secara tegas telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar, karena itu kami masuk pada petitum, yaitu Pemohon meminta untuk mengabulkan seluruh permohonan Pemohon. Yang kedua, menyatakan Pasal 80 ayat (1) huruf A menyangkut kata-kata pidana mati atau dan juga di ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 81 ayat (3), Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3) dari UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan kemudian menyatakan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejak diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, terima kasih. 26.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baiklah, Saudara-saudara sekalian sudah kita dengarkan dan juga sudah kita baca dengan cermat pokok permohonan yang diajukan oleh dua kelompok Pemohon ini dan tentu Pemerintah sebagai pihak yang bersama-sama dengan DPR mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-undang, meskipun boleh jadi para pejabatnya tidak terlibat waktu undang-undang ini disusun, tapi sebagai institusi. Pemerintah dan DPR adalah pihak yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membentuk undang-undang itu, sehingga oleh karena itu Mahkamah Konstitusi harus mendengarkan dari pembentuk undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan DPR mengenai undang-undang yang diperkarakan ini, apakah dalil-dalil yang tadi diajukan oleh para Pemohon itu dapat di-counter dan direspon dengan keterangan-keterangan yang mungkin sama dengan yang diajukan oleh Pemohon atau berbeda sama sekali? Ini kami serahkan kepada Pemerintah untuk menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan undang-undang ini, saya persilakan.
27.
PEMERINTAH : Dr. HAMID AWALUDIN, S.H, (MENTERI HUKUM DAN HAM) Yang Mulia Majelis Hakim, Bapak-Bapak para Pemohon, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu para Pihak Terkait, Saudara-Saudari yang saya hormati.
16
Tugas saya adalah memberikan gambaran motif dan latar belakang mengapa Undang-Undang Narkoba itu dibuat antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Telah diulas panjang lebar oleh Pemohon pertama betapa dahsyat bahaya narkoba di masyarakat. Sekedar angka statistik terakhir, ingin kami ajukan bahwa sekarang ini sekitar 3,2 juta pengguna narkoba. Artinya, satu poin lima persen jumlah populasi penduduk, dimana tujuh puluh persen, 79 persen kategori pecandu, 21 persen kategori pemakai teratur. Mayoritas 75 persen adalah penyalahgunaan narkoba jenis ganja. Yang Mulia, dengan angka ini negara harus mengeluarkan, lewat pajak masyarakat, 23,6 triliun. Itu biaya untuk ini semua, termasuk biaya pencegahan dan sebagainya. Lebih lanjut, jumlah injecting drug user diestimasikan sekarang sebesar 572 ribu orang, seluruh Indonesia. Sementara angka kematian penyalahgunaan narkoba sebanyak 15 ribu orang/tahun, ini angka statistik. Kalau angka-angka ini kita pakai dan memang inilah antara lain menjadi keprihatinan Pemerintah dan DPR, maka Undang-Undang Narkoba itu dibuat dengan pemberian sanksi yang seberat-beratnya, itupun hanya bagi yang membuat, yang mengolah, dan seterusnya. Artinya tidak semua yang terlibat dengan narkoba diancam dengan hukuman mati. Lebih lanjut Yang Mulia, saya ingin kemukakan di sini bahwa di dalam penjara dan tahanan kita sekarang ini yang berjumlah seratus sebelas ribu orang, nationwide itu tiga puluh persen adalah narkoba. Jadi seratus sepuluh ribu, tahanan dan narapidana kita secara nasional itu tiga puluh persen adalah narkoba. Untuk ibu kota provinsi tertentu ada yang enam puluh persen penghuninya adalah narkoba, bahkan angka terakhir—Samarinda misalnya dan Balikpapan—itu sudah 85 persen penghuninya adalah narkoba, masih angka statistik lagi, kejahatan narkoba ini adalah kejahatan yang sangat-sangat lain dari yang lain. Kalau kejahatan lain hanya melibatkan laki-laki, tapi narkoba goes beyond gender, laki dan perempuan, ada semua. Kedua, kejahatan narkoba tertentu hanya lapisan kelas tertentu, misalnya yang merampok itu adalah orang miskin, tapi narkoba goes beyond economic class, lower class, middle class, upper class, semua ada di dalam. Ketiga, kejahatan narkoba melampaui batas-batas usia. Di penjara kita, kita menemukan usia antara delapan sampai 78 tahun, artinya apa Yang Mulia? Memang kejahatan narkoba ini adalah sesuatu yang sangat serius. Hadirin yang saya hormati, bahwa kecenderungan dunia sekarang menghapuskan hukuman mati—saya setuju dengan para Pemohon, namun masih banyak juga yang menggunakan atau memberlakukan hukuman mati termasuk Amerika Serikat. Tentu saja negara-negara atau bangsa-bangsa yang masih memberlakukan hukuman mati ini memiliki pemahaman tentang dinamika yang ada dalam negara-negara atau bangsa-bangsa tersebut, termasuk Indonesia.
17
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu para peserta sidang yang saya hormati, terlepas dari angka-angka statistik di atas yang menjadi salah satu motif pembuatan Undang-Undang Narkoba ini, perkenankan saya mengutip juga Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak-hak dan kebebasan orang lain dan seterusnya”. Artinya bahwa kalaulah hak untuk hidup itu adalah hak, maka perlu juga barangkali kita baca Pasal 28J ayat (2), bahwa hak setiap orang itu tetap dibatasi dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Undang-Undang Narkoba adalah instrumen untuk ini, karena itu juga dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terakhir Yang Mulia, saya juga ingin membacakan dan mengutipkan aturan peralihan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, segala peraturan perundangundangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 ini. Terima kasih Yang Mulia. 28.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ada tambahan Pak Jaksa Agung? Silakan.
29.
PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG R.I) Terima kasih Yang Mulia, Ada beberapa tambahan berkenaan mengenai legal standing bahwa Pemerintah menganggap karena Pemohon menyebutkan kewarganegaraan Pemohon adalah warga negara Australia, dengan demikian telah jelas bahwa Pemohon bukan perorangan warga negara Indonesia. Kami berbicara khusus terhadap Scott Anthony Rush yang kami mendapat kuasa dari Presiden, sehingga tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai Pemohon untuk mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pemohon Scott Anthony Rush tidak memenuhi kualifikasi sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia. Kemudian bagian berikutnya adalah bantahan terhadap alasan yang dikemukakan oleh Pemohon dalam bagian lainnya. Bahwa ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf A, ayat (2) huruf A, ayat (3) huruf A, Pasal 81 ayat (3) huruf A, Pasal 82 ayat (1) huruf A, ayat (2), dan ayat (3) huruf A dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, sepanjang mengenai
18
ancaman hukuman pidana mati dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon. Maka jawaban kami adalah sebagai berikut; terhadap dalil tersebut Pemerintah menolak secara tegas dengan alasan; Satu, bahwa alasan pemidanaan mati melanggar HAM dan karena itu harus dihapuskan adalah tidak tepat, pada hemat Pemerintah bukan hanya hukuman mati seluruh jenis pemidanaan pada hakikatnya adalah pelanggaran HAM, menahan orang satu jam pun melanggar HAM, tapi kemudian menjadi sah karena diperkenankan oleh hukum yang berlaku. Dalam hal penahanan tidak didasarkan pada satu ketentuan hukum yang berlaku—seperti telah kami sebutkan—dapat pula disebut sebagai pelanggaran HAM, karena hal ini tidak hanya menyangkut hukuman mati, tapi semua jenis hukuman pidana pada hakikatnya merampas atau melanggar HAM dari sisi si terpidana, namun kemudian sah karena sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahwa penerapan sanksi pidana mati tepat untuk diterapkan pada tindak pidana narkotika dengan alasan-alasan seperti yang sudah dikemukakan oleh Menteri Hukum dan HAM. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen sama sekali tidak melarang hukuman mati, Pasal 28I ayat (1) menyebutkan, “hak untuk hidup, hak untuk disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atau secara hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pemaknaan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, harus dilengkapi dengan memahami bahwa apa terkandung dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang. Pelaksanaan hak dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 harus dibatasi; (a) sesuai dengan undang-undang, (b) sesuai dengan pertimbangan moral, (c) sesuai dengan nilai-nilai agama kehendak adat istiadat, (d) sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian pengecualian akan jaminan hak yang ada pada pasal tersebut dimungkinkan jika berdasarkan undang-undang. Pertimbangan moral, nilai agama, dan demi keamanan dan ketertiban umum. Hukuman mati tetap diperlukan karena tindakan dari pelaku yang tidak memperhatikan aspek kehidupan yang berperikemanusiaan, sila kedua Pancasila dan kehidupan yang berkeadilan sosial, sila kelima Pancasila. Artikel 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights, General Assembly Resolution 217A ayat (3), tanggal 10 Desember 1948 mengatakan, “in the exercise of his rights and freedoms, everyone shall
be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, 19
public order, and the general welfare in a democratic society”. Hak atas
penghidupan tidak dijamin sebagai hak mutlak misalnya menurut Konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak bertentangan dengan hak atas penghidupan, apabila diakibatkan oleh tindakan tertentu yang sudah ditetapkan. Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan, sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena keputusannya ditetapkan oleh undang-undang. Bahkan ICCPR juga tidak secara mutlak mengeluarkan hukuman mati, di mana hanya memberikan batasan hukuman mati diperbolehkan pada kejahatan yang berat dan hanya boleh dikenakan dengan satu keputusan final, suatu pengadilan yang berwenang sesuai undangundang, lebih lanjut ICCPR melarang penggunaan hukuman mati pada orang di bawah berusia 18 tahun pada saat melakukan kejahatan dan melarang eksekusi pada saat hamil. Sebagaimana dikemukakan dalam butir di atas, ICCPR juga tidak melarang keberadaan hukuman mati atau death penalty di suatu negara sebagai disebut dalam artikel 6, ”every
human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life”, (ayat 1). “In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgment rendered by a competent court”, (ayat 2)—dengan masalah
tindak pidana narkotika hal itu sudah dilakukan oleh pengadilan Indonesia.
“When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide”, (ayat 3). “Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all cases”, (ayat 4). “Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women”, (ayat 5). “Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant”, (ayat 6). Hal-hal tersebut di atas sudah dilakukan oleh pengadilan Indonesia, bahwa article 6, ayat dua ICCPR, “in countries which have not abolished
the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes….United Nation Rights Committee menetapkan dalam menafsirkan ketentuan ICCPR tersebut, “the expression most serious 20
crime must read or treat deeply to mean that the death penalty should be adequate as exceptional measure dan itu juga sudah dilakukan oleh pengadilan-pengadilan Indonesia. Kejahatan narkotika merupakan most serious crime di Indonesia, seperti sudah digambarkan secara rinci oleh
Menteri Hukum dan HAM. Berdasarkan alasan tersebut di atas dengan hormat kami mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia berkenan menyatakan menolak permohonan pengujian Pemohon dalam Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1987 tentang Narkotika sepanjang mengenai hukuman mati tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Tiga, Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1987 tentang Narkotika sepanjang mengenai ancaman mati adalah sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat serta berlaku umum. Demikianlah tanggapan kami Majelis Hakim yang mulia, terima kasih.
30.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, saya harapkan mudah-mudahan sudah ada yang tertulis juga dengan dua belas rangkap, petugas diambil! Untuk Pemohon masing-masing satu dan tadi yang disampaikan---(bagi) kepada Pemohon satu! Yang disampaikan oleh masing-masing Pemohon tadi itu semua tertulis ya? Ada yang tertulisnya, jadi tidak perlu lagi tambahannya. Baik Saudara-saudara sekalian, kita telah mendengarkan baik keterangan dari Pemohon maupun juga dari Pemerintah tinggal Dewan Perwakilan Rakyat, tapi mungkin yang memang sangat diperlukan justru keterangan dari pihak Pemerintah yang memiliki data informasi lebih banyak daripada DPR, tapi walaupun demikian pada sidang berikutnya tentu DPR harus juga kita dengarkan keterangannya, termasuk risalahrisalah persidangan yang berkaitan dengan proses terbentuknya UndangUndang Narkotika ini tempo hari, meskipun ini sudah lama undangundangnya tetapi kita harapkan mudah-mudahan segala dokumen yang diperlukan itu masih ada, kita bisa pelajari bagaimana latar belakang cara berpikir para pembentuk undang-undang. Nah, biasanya dalam persidangan pengujian undang-undang sebelum nanti saya persilakan BNN ya? Biasanya dalam perkara-perkara seperti ini memang para hakim juga akan mengajukan pertanyaan, karena memang pada hakikatnya keterangan-keterangan yang diberikan oleh Pemerintah maupun DPR ini,
21
inikan persidangannya tidak adversarial, karena semuanya ditujukan untuk menambah memberi keterangan kepada para hakim, maka hakim pun punya keperluan untuk mengajukan pertanyaan, tapi bisa juga karena sifat pengujian undang-undang ini memang menyangkut soal— kadang-kadang itu perdebatan ilmiah, mengenai objek kesengketaan, misalnya seperti ketentuan mengenai pidana mati ini, maka mengingat persoalannya ini sangat serius dan membutuhkan banyak sekali keterangan dari berbagai sudut pandang, maka mungkin saja manajemen persidangan di Mahkamah ini untuk perkara-perkara seperti ini, bukan hanya untuk hukuman mati, itu bisa kita kelola secara evolving. Bahwa ini nanti sifat semi adversarial juga akan menonjol, sehingga para pihak, pihak Pemerintah dalam hal ini dan pihak Pemohon, masing-masing nanti bisa mengajukan saksi ahli dan di situ boleh jadi akan ada perdebatan dan tidak apa-apa itu? Jadi masingmasing ahli hukum pun kadang-kadang dua orang tiga pendapatnya. Kita harus dengar dari semua sudut pandang itu bagaimananya di samping tadi kita sudah mendengar dari pihak Pemohon dengan argumen-argumennya Pemerintah, eksekutif dalam hal ini kejaksaan dan menteri hukum sudah juga menyampaikan dengan segala argumenargumennya. Nah, ini dengan demikian saya ingin mengatakan persidangan pemeriksaan perkara ini butuh waktu, tidak cukup selesai hanya hari ini saja. Jadi tidak usah dihabiskan semua ini pertanyaan dan semua yang perlu disampaikan. Kita secara sistematis saja supaya semua persoalan, semua aspek kita dengar menyangkut soal ini karena ini sangat serius. Sebelum ada yang mau mengajukan pertanyaan, saya persilakan dulu BNN untuk menambahkan keterangan yang berkaitan dengan kepentingan langsung BNN sendiri, yang terkait dengan pokok permohonan yang diajukan kedua kelompok Pemohon ini, nanti setelahnya ada tanya jawab termasuk juga Pemohon saya akan persilakan kalau mau mengajukan pertanyaan atau pihak Pemerintah mau mengajukan pertanyaan kepada pihak terkait juga boleh. Saya persilakan dulu, mudah-mudahan tidak terlalu lama. Kira-kira berapa lama Pak? Oh, sepuluh menit terlalu pendek, kalau sepuluh jam terlalu lama, baik silakan. 31.
PIHAK TERKAIT : (KOLAKHAR BNN)
KOMJEN
I
MADE
MANGKU
WASTIKA
Terima kasih Yang Mulia, Ketua dan para anggota Mahkamah Konstitusi yang kami hormati, yang mewakili Pemerintah serta para Pemohon, para hadirin yang berbahagia. Pertama-tama kami menyampaikan terima kasih karena BNN ditetapkan sebagai pihak terkait langsung sehingga di satu pihak kami dapat menyampaikan kepada Mahkamah yang sangat mulia ini berbagai hal yang kita sedang hadapi saat ini khususnya kami yang mengemban
22
tugas sebagai aparat Pemerintah dalam pencegahan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba di Republik ini. Kita semua menyadari tadi sepintas selalu telah disampaikan oleh Bapak Menteri Hukum dan HAM tentang bahaya narkoba itu. Oleh karena itu kami akan memulai paparan ini dari situasi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia, maka para pengguna dan pecandu narkoba di Indonesia telah mencapai angka 1,5% dari penduduk Indonesia. Kalau kita hitung kira-kira 3,2 juta orang, tetapi karena kejahatan narkoba ini semacam penelitian terhadap penyalahgunaan narkoba itu banyak hidden population-nya, maka kemungkinan besar angka itu jauh lebih besar dari angka yang bisa dijangkau oleh para peneliti, sehingga diperkirakan antara 3,2 juta sampai empat juta orang pengguna dan pecandu dari narkoba itu. Kita melihat dalam lima tahun terakhir yang sudah pasti, yang bisa dideteksi adalah kasus perkara, karena perkara ini yang ditangkap polisi kemudian di sidang dan kemudian masuk penjara, sehingga dengan demikian angkanya menjadi lebih jelas. Dalam lima tahun terakhir ini, dari tahun 2001 sampai 2006, telah terjadi peningkatan ratarata 34,4 persen per tahun perkara narkoba, misalnya tahun 2001 perkara berjumlah 3.617, maka tahun 2006 menjadi 17.355 kasus. Begitu juga orang yang ditangkap kalau tahun 2001, 4.924 orang maka pada tahun 2005, menjadi 31.635 orang, itulah yang dikatakan oleh Bapak Menteri Hukum dan HAM, rata-rata angka nasional tiga puluh persen di seluruh Indonesia, rata-rata nasional. Itu yang dituduhkan, didakwakan dengan Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika, tapi yang related kepada drugs offences mungkin lebih banyak lagi, misalnya orang mencuri karena ketagihan narkoba, yang dihukum karena pencurian, orang membunuh karena sakaw itu juga dituduh pembunuhan, bukan karena sakaw-nya. Sehingga angkanya lebih besar lagi sebenarnya, kalau kita lihat dari apa yang terjadi seperti itu, dari aspek barang bukti misalnya atau narkoba, kami singkat narkoba itu berarti termasuk psikotropika yang disita 2001 sampai 2006, ganja saja sebanyak 155,935 ton ganja. Dengan jumlah batangnya satu juta lebih dan areanya 610 hektar di Aceh, dan di Jambi, dan di Sumatera Utara, dan di Bengkulu 610 hektar. Heroin sebanyak 102,439 gram, jadi 102 kilogram, dan kokain 69 kilogram, sedangkan jenis narkoba psikotropika seperti ekstasi dan shabu yang terakhir saja adalah yang paling mengejutkan—di akhir 2006—satu ton shabu yang disita di Teluk Naga. Kemudian, kami juga melakukan riset tentang biaya ekonomi dan sosial dari penyalahgunaan narkoba sebesar satu setengah persen—tadi sudah dikatakan—berarti masih ada 98,5% orang Indonesia yang bebas narkoba, termasuk kita yang berada di ruangan ini, 98,5%.
23
Kita harus menjaga jangan sampai 98,5% ini berkurang, itulah kira-kira misinya kita, ini yang satu setengah persen bagaimana kita mengurangi? Perlahan-lahan sambil yang mati lima belas ribu pertahun atau 41 orang sehari, hari ini akan mati empat puluh satu orang karena overdosis. Jadi, pada saat Alda Risma meninggal, ada empat puluh orang lainnya yang menemani yang bersangkutan, sebenarnya pada hari itu. Hanya memang luput dari pemberitaan. Jadi kalau lima belas ribu yang meninggal, maka hari ini ada 41 orang yang meninggal karena overdosis dan terjangkit HIV/AIDS. Selama setahun ini hampir tidak ada saya kira yang dieksekusi mati, selama ini dari 62 orang yang sudah dijatuhi hukuman mati, baru tiga orang yang dieksekusi, itulah sebabnya seakanakan hukuman mati itu menjadi tidak efektif, karena dijatuhi hukuman mati tapi tidak dieksekusi-eksekusi, itu juga satu hal yang sekaligus kami jelaskan tadi bagaimana relevansinya antara hukuman mati dengan kejahatan narkoba? Tokh tidak menurun, memang karena tidak sempat dieksekusi-eksekusi sampai sekarang, itu yang selalu ditanyakan oleh masyarakat kepada saya, kepada para penegak hukum jika bertemu dengan masyarakat, apalagi kalau bertemu dengan korban narkoba atau keluarga dari korban narkoba. Kita hitung misalnya—tadi dikatakan IDU (Injecting Drugs User)— itu kalau BNN menghitung jumlahnya 572.000 orang, artinya mengunakan putaw atau heroin, kita tidak usah menghitung ini, KPA mengatakan, Komisi Penanggulangan AIDS, ada 36.000 orang saat ini yang menggunakan jarum suntik dan ini yang berpotensi sangat berpotensi menyebarkan HIV/AIDS. Oleh karena itu diperlukan 360 ribu jarum steril setiap hari, berarti ada 36 ribu gram heroin yang diperlukan, karena tidak mungkin yang disuntikkan itu vitamin c atau yang lainnya, harus heroin. Satu gram heroin harganya satu juta rupiah, kalau 36 ribu gram berarti 36 ribu juta atau Rp. 36 miliar yang diperlukan hanya untuk pecandu heroin sehari. Jika kita bandingkan dengan anggaran BNN 250 miliar setahun, maka itu tidak akan sampai sepuluh hari bisnis narkoba itu, hanya untuk heroin. Belum ekstasi, belum sabu, belum ganja, belum kokain, belum hasis. Jadi kita bisa menghitung berapa sebenarnya uang yang harus dibelanjakan oleh bangsa ini untuk memenuhi kebutuhan narkobanya? Belum karena akibatnya. Tadi dikatakan tiga puluh persen dari yang di penjara itu adalah narkoba, kita harus kasih makan, satu orang yang di penjara itu delapan ribu lima ratus rupiah per hari kalau tidak salah, uang makannya mereka. Kita bisa kalikan berapa banyak yang diakibatkan oleh itu, belum lagi hal-hal yang lainnya. Oleh karena itu, kami juga melaporkan kasus narkoba yang menonjol tahun 2006-2007, kita lihat bagaimana Polri telah mengungkap dengan Satgas BNN berbagai kasus besar mengenai psikotropika dan ganja, khususnya yang sangat mencengangkan penyelendupan sabu satu ton melalui Teluk Naga dan itu kita percaya telah dilakukan berkalikali, tetapi karena mereka dengan cerdiknya berlabuh di lautan bebas kemudian menggunakan kapal nelayan, berlabuh di tempat yang tidak
24
semestinya sehingga seringkali lolos. Ini kaitannya dengan luasnya wilayah geografis kita yang harus kita awasi dan tidak mungkin bisa dicegah oleh angkatan laut atau Polri kita. Karena dengan lihainya mereka berlabuh di lautan bebas, sehingga tidak terjangkau oleh angkatan laut kita, oleh hukum kita, dan kemudian mereka menggunakan kapal-kapal nelayan berlabuh di tempat-tempat bukan pelabuhan yang semestinya. Begitu juga terungkapnya kasus “Cikande”. Cikande merupakan pabrik ekstasi dan sabu terbesar di dunia setelah Fiji dan Cina. Sebelumnya, tahun 2005 diungkap juga kasus di Tangerang yang melibatkan Saudara Ang Kiem Swie, itu merupakan juga pabrik ekstasi terbesar di dunia. Bapak-Bapak Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Di Jakarta ada kira-kira dua ratus tempat hiburan malam. Seandainya satu tempat hiburan malam memerlukan seribu butir ekstasi sehari, sudah ada dua ratus ribu butir ekstasi diperlukan untuk di Jakarta ini. Sehingga tidak ada jadinya bisnis yang lebih menguntungkan dari bisnis narkoba ini. Biaya membuat satu butir ekstasi tidak lebih dari lima ribu rupiah, sedangkan dijual di tempat-tempat disko seharga seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu rupiah, sehingga dengan demikian kejahatan ini masih akan terus mengganggu dan mengancam bangsa kita. Kemudian pandangan BNN terhadap hukuman mati. Kami melihat dari aspek filosofis, yakni sudut pandangan agama. Dimana mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam oleh karena itu kami mengutip yang pertama; Dari sudut agama Islam Dalam syariat Islam konsep hukuman dikenal dengan qishas dan diyat. Qishas menurut bahasa, artinya pembalasan yang sepadan. Membalas atau mengambil balasan. Qishas menurut pengertian syar’i adalah pembalasan untuk pelaku kejahatan setimpal dengan kejahatannya. Kalau kita lihat, satu hari orang Indonesia mati empat puluh orang, belum yang menderita, yang tidak mati, setengah mati, dan sebagainya. Berapa banyak orang-orang yang harus bertanggung jawab sebenarnya untuk orang-orang ini? Apabila seseorang melakukan pembunuhan, maka pelakunya akan dihukum mati. Apabila seseorang melukai anggota tubuh korbannya, maka pelaku akan mendapat balasan dengan dilukai anggota tubuhnya, seperti luka yang diterima korbannya. Sebab jika pembunuh diganjar hanya dengan penjara enam atau tujuh tahun saja, selain terasa tidak setimpal juga dapat menimbulkan kejahatan baru, dimana keluarga terbunuh tidak merasa puas atas hukuman itu. Akibatnya pelampiasan rasa dendam tidak dapat dihindari untuk membunuh si pelaku pembunuhan. Namun apabila kejahatan itu terasa ringan, maka yang membuat orang-orang yang lemah imannya tidak takut melakukan pembunuhan. Padahal dalam pandangan Islam menghilangkan nyawa orang lain hanya boleh karena dua faktor,
25
pertama karena kehendak Allah, yang kedua konsekuensi penegakan hukumnya, eksekusi atas putusan hakim. Dari sudut ideologi dan politis Sebagaimana uraian di atas, betapa terancamnya masa depan bangsa ini karena begitu banyaknya generasi muda kita yang telah menjadi korban dan akan menjadi korban dalam kesia-siaan akibat perbuatan yang terjadi. Secara dramatis kita mendengar pernyataan akan terjadi lost generation—untuk menggambarkan betapa mengkhawatirkan keadaan yang kita hadapi ini. Oleh karena itu sepantasnya kita menyebut bahwa para pengedar dan produsen narkoba sebagai pembunuh massal, karena perbuatan mereka telah menyebabkan kematian demi kematian yang mencapai jumlah kematian dalam jumlah besar. Maka untuk menyelamatkan bangsa Indonesia cara yang paling tepat adalah dengan menjatuhkan hukuman seberatberatnya, termasuk hukuman mati kepada para perusak atau pembunuh masal tersebut. Tujuan hukuman pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional. Atau mewujudkan masyarakat adil dan makmur, yang merata, materil, dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini penggunaan hukuman pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi memenuhi rasa keadilan dari kejahatan yang tidak beradab serta pengayoman kepada masyarakat. Kemudian hukuman harus sesuai dengan rasa keadilan. Rasa keadilan di sini yang dijadikan parameter adalah rasa keadilan berdasarkan ideologi Pancasila. Aspek keadilan, penjatuhan hukuman akan dirasa adil atau seimbang dengan kejahatan yang dilakukan; misalnya terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, pelanggaran HAM berat, dan lain-lain. Salah satu tujuan hukuman setimpal adalah untuk menanamkan rasa takut kepada setiap orang yang ingin melakukan perbuatan yang tidak beradab. Secara filosofis hukuman mati bertujuan untuk kepentingan prevensi umum, agar orang lain tidak ikut melakukan kejahatan tersebut. Di samping itu, seorang dihukum mati berdasarkan hukum yang berlaku supaya orang lain tidak ikut melakukan kejahatan yang sama dan meresahkan. Hal ini apabila dikaitkan dengan sumber hukum positif yang berasal dari nilai-nilai hukum adat, dimana keseimbangan harus tetap dijaga jangan sampai rusak hanya oleh kejahatan yang dilakukan oleh segelintir orang. Aspek yuridis konstitusional Saya kira saya tidak ulas lagi karena tadi sudah dijelaskan isinya sama, yakni Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945, “bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
26
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. Di samping itu penerapan pidana mati telah mempunyai legitimasi secara konstitusional, bahkan dalam penjatuhan hukuman mati masih dalam tahapan-tahapan proses peradilan yang panjang. Inilah satu hal juga yang menyebabkan mengapa pidana mati menjadi tidak efektif. Karena terlalu panjang prosesnya, menunggu terlalu lama, ini satu hal yang selalu dipersoalkan dan tidak jarang putusan hukuman mati yang sudah pengadilan negeri, tahu-tahu di Mahkamah Agung menjadi lima belas tahun, ini juga satu hal. Sehingga menimbulkan kekecewaan yang sangat meluas di tengah-tengah masyarakat dan mulai adanya sangkaan-sangkaan miring terhadap para penegak hukum kita. Aspek sosiologis Masyarakat Indonesia menerima adanya hukuman mati, bahkan dalam berbagai acara seminar dan pertemuan termasuk dalam acara rapat dengar pendapat dengan DPR-RI, selalu ditanyakan tentang eksekusi, kapan dieksekusi terhadap terpidana kejahatan narkoba? Bahkan ketika mereka mendengar bahwa Samin Iwan alias A Kwang, yakni yang menyelundupkan narkoba sebanyak satu ton itu, rencananya akan dituntut lima belas tahun oleh jaksa, maka Pansus RUU Narkotika menjadi emosional, kebetulan kami berada di sana, saat yang mendengar hanya akan dituntut pidana lima belas tahun. Mereka mengatakan, satu ton itu akan berapa orang yang akan mati? Kenapa hanya dituntut lima belas tahun? Seperti itu, sehingga kami tidak bisa menjawab karena memang dalam Undang-Undang Psikotropika maksimum hukuman ancaman pidana bagi psikotropika golongan dua memang lima belas tahun. Sehingga mereka minta, kenapa tidak disamakan dengan narkotika saja? Atau naikkan golongannya sabu itu menjadi golongan satu supaya bisa dihukum mati. Pemberlakuan hukuman mati di Indonesia masih sangat diperlukan, apabila hukuman mati ditiadakan, dikhawatirkan situasi Indonesia makin memburuk, khusus untuk perkara narkotika dan psikotropika. Jika hukuman mati ditiadakan, Indonesia telah mengirim pesan yang salah kepada para pengedar—ini ucapannya Bapak Jaksa Agung pada tanggal 14 Sepetember 2006 yang kami kutip. Pesan salah kepada para pengedar, juga kepada calon pengguna, dan calon pengedar. Kami dapat ilustrasikan, Singapura pada tahun 2001 terdapat hampir lima ribu pengguna narkoba, tetapi tahun 2004 tinggal seratus lima puluh orang. Ini karena memang hukumnya yang sangat tegas. Mereka menganut asas kuantitas. Lebih dari lima belas gram heroin, hukuman mati. Malaysia dan Singapura sama. Sehingga dengan demikian kalau kita bebaskan dari hukuman mati, maka berbondong-bondonglah sindikatsindikat dari Singapura dan Malaysia itu akan hijrah ke Indonesia. Kemudian merosotnya nilai moral dan agama, pecahnya keluarga, hilangnya masa depan anak bangsa dan seterusnya, dan seterusnya.
27
Selain itu penyalahgunaan narkoba sering terkait dengan perilaku anti sosial seperti kenakalan remaja, kejahatan, dan kekerasan yang memiliki dampak negatif bagi individu yang bersangkutan, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Aspek ekonomis Seperti sedikit telah kami singgung tadi, bahwa bisnis narkoba adalah bisnis yang paling menjanjikan saat ini, apalagi pada saat perekonomian terpuruk. Di Bali—saya mantan Kapolda Bali—akibat bom Bali kemudian banyak travel, hotel yang collapse, para pegawai itu kemudian menjadi pengedar narkoba. Mereka bisa berhasil menjual ekstasi dua butir saja sudah cukup untuk hidup mereka, karena sudah dapat seratus ribu rupiah untungnya. Dan lama kelamaan mereka bukan hanya menjadi pengedar, tetapi juga menjadi pengguna, ini yang terjadi. Sehingga luar biasa dari aspek ekonomi sangat menjanjikan. Seperti kami katakan tadi, misalnya ganja di Aceh harganya dua ratus ribu satu kilo sudah di-pack, sudah rapi. Tiba di Jakarta harganya dua setengah juta, sehingga kalau berhasil menyelundupkan ganja satu ton dari Aceh ke Jakarta dan itu tidak jarang terjadi, maka kita sudah mengantongi uang dua miliar dalam dua minggu saja. Jadi begitu menjanjikannya bisnis narkoba ini, sehingga untuk mendapatkan keuntungan besar tanpa kerja keras, dengan sedikit nyali dan moral bejat, maka akan menghasilkan keuntungan yang luar biasa besarnya. Para sindikat melakukan penetrasi pasar dan giat memperluas jangkauan bisnisnya dengan menghalalkan segala cara termasuk memperalat anak-anak, kaum gelandangan, dan kaum perempuan terutama. Kami di sini ada daftar nama-nama perempuan kita yang ditangkap di luar negeri termasuk di Rio de Janeiro, di Pakistan, di Cina karena menjadi kurir yang diperalat oleh para sindikat ini. Dan dengan sedikit penyelidikan kita, kemudian kita bisa juga membongkar jaringan yang ada di Indonesia. Kami katakan tadi termasuk gelandangan, jadi gelandangan diberikan dulu secara cuma-cuma mereka, setelah menjadi ketagihan kemudian menjadi pengedar. Dan kalau mereka tidak mau menjadi pengedar dibunuh. Jadi mereka menghalalkan segala cara untuk masuk ke segala lapisan masyarakat Indonesia, dengan dana yang tidak terbatas. Saya katakan tadi, “satu hari jual heroin, itu bisa mengantongi 36 miliar rupiah, satu hari”. Seperti itulah keuntungannya, sehingga kalau ada suatu pepatah, mohon maaf para hakim yang kami muliakan, ada satu pepatah Cina yang mengatakan begini “qui pen sengi wuren cuo, sato sengi yuren cuo” [sic!], sengi artinya bisnis, kuipen itu artinya rugi. Jadi kalau bisnis yang merugi, tidak ada orang kerja, tetapi kalau bisnis yang menguntungkan, menghasilkan uang dipotong kepala pun mereka mau. Jadi begitu menariknya bisnis narkoba ini kalau kita lihat.
28
Dampak ekonomis akibat penyalahgunaan narkoba Jumlah uang yang dibelanjakan, biaya perawatan bagi pecandu, termasuk yang terkena virus HIV/AIDS ini luar biasa. Tadi dikatakan, 30% dari yang napi, itu Rp. 8.800/hari uang makannya saja, kalau misalnya kami cek di Lapas Pak, itu hanya segitu, tapi itu kalau dikalikan dan bertahun-tahun, bayangkan berapa besar yang harus kita keluarkan untuk itu. Belum lagi kalau kita hitung kerugian akibat menurunnya kinerja pengguna dan pecandu narkoba di dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Hal yang terakhir kami sampaikan, Aspek kemampuan aparat Pemerintah Kita harus mengakui BNN berdiri tahun 2002, padahal persoalan narkoba sudah mulai tahun 70-an, kalau tidak salah. Jadi kita memang agak telat, sehingga sudah besar seperti ini baru ada upaya-upaya untuk menanggulanginya, kita jika kita lihat penanggulangan terhadap peredaran narkoba oleh aparat memang masih belum memadai. Pertama karena luasnya wilayah geografis seperti kami katakan tadi, delapan puluh ribu kilometer panjangnya pantai kita itu, bagaimana kita harus mengawasinya semua? Dengan modus operandi seperti kami katakan tadi. Sabu itu datang dari Guangchou, berlabuh di lepas pantai kita, dengan kapal besar dan bahkan katanya sekarang pabrik itu di kapal Pak. Jadi dia berproduksi di tengah laut internasional, bagaimana kita mau tangkap? Kemudian dengan kapal-kapal kecil, nelayan-nelayan masuk ke wilayah kita. Istilah mereka mother ships operation, ini sudah terjadi sekarang ini. Siapa tidak tergiur dengan pasar yang 3,2 juta orang itu Pak? Itu pasar yang luar biasa, 3,2 juta. Kalau orang ini kita tidak matiin Pak, ya saya tidak tahu bagaimana kita harus mengatasinya? Kemudian banyaknya penduduk yang relatif pendidikannya masih rendah dan disparitasnya yang begitu luar biasa. Gap antara satu dengan yang lain, pendidikan masih rendah, keterjangkauan kita dalam menyampaikan program-program pencegahan masih sangat terbatas. Dukungan anggaran yang kecil dihadapkan dengan sindikat yang dananya unlimited. Saya katakan tadi, anggarannya BNN 250 miliar setahun, dihadapkan dengan sindikat yang seperti itu, bagaimana kita melakukan upaya-upaya? Memang hampir tidak memadai upaya-upaya ini jika dibandingkan dengan luasnya penetrasi pasar mereka. Beroperasinya sindikat narkoba yang merupakan transnational organized crime, dengan memanfaatkan teknologi canggih dan jaringan yang sulit dilacak, yang bahkan sering beroperasi dengan cara-cara teror dan menggunakan kekerasan bersenjata, di samping melakukan kejahatan seperti pencucian uang, human trafficking, penyelundupan senjata api, dan lain-lain. Tadi kami mendengar dari Pemohon sedikit tentang beberapa rapporteur yang menjelaskan bahwa drugs, kejahatan-kejahatan narkoba tidak lagi dijatuhi hukuman mati dan sebagainya, tapi yang dimaksudkan di sana, istilah yang dipakai di sana adalah drugs related 29
offences seperti money laundering, pemalsuan paspor, dan sebagainya memang itu tidak dihukum mati, tetapi drugs offences yang berkaitan dengan produksi, peredaran gelap, yang secara terorganisir tidak direkomendasikan untuk dicabut.
Kesimpulan Dengan adanya perbedaan atau kontroversi bahkan timbulnya berbagai interpretasi terhadap hukuman mati, maka Badan Narkotika Nasional sebagaimana uraian di atas, bersikap atau berpandangan sebagai berikut; apabila berbicara tentang hukuman mati maka tentulah hukuman tersebut diperuntukkan bagi para pengedar, produsen narkotika dan psikotropika golongan satu sebagaimana diatur di dalam undang-undang tersebut yang terorganisir, b. kejahatan tersebut merupakan tindak pidana yang digolongkan sebagai extra ordinary crime, maka dalam penanganannya harus dilakukan secara ekstra keras sebagai bentuk prevensi negara terhadap dampak ancaman destruktif dari kejahatan itu sendiri untuk deterrent effect bagi yang lainnya. Pelaku kejahatan narkoba tidak hanya menghilangkan hak untuk hidup orang lain, kematian pecandu seperti kami katakan tadi lima belas ribu per tahun dan sulitnya para pecandu ini kalau mau cari rumah sakit, tidak ada rumah sakit yang mau terima karena mereka juga mengidap HIV/AIDS. Kalau mereka menjelaskan, “saya mau masuk rumah sakit karena saya pecandu narkoba”, tidak ada yang mau terima. Rujukan terakhir adalah RSCM, masuklah mereka ke RSCM ngantri karena kapasitas bed-nya hanya lima puluh dan mereka harus ngantri mati, itu terminal. Itu rumah sakit terminal—masuk tidak pulang lagi dan seterusnya. Satu minggu, lima belas orang mati di RSCM khusus untuk narkoba. Kalau sudah ada yang mati lima belas, baru yang lain bisa masuk, begitulah keadaan kita saat ini. Pergi berobat gigi, tidak ada dokter gigi yang mau terima, karena takut menular, jadi terpaksa dia bohong. Jadi Bapak-bapak, kalau ke dokter gigi juga hati-hati persoalan sterilisasi itu, karena mereka bilang bahwa dia adalah penderita HIV atau pecandu narkoba, dokternya tidak mau terima, pasti tidak mau terima. Ini satu masalah dalam kehidupan kita sekarang di sini. Polisi kalau tangkap mereka, masuk dia ke sel kita bergabung dengan yang lain, ini juga jadi masalah, penjara kita juga demikian. Jadi begitu persoalan kita saat ini soal narkoba ini, namun juga meresahkan masyarakat, merusak generasi muda anak bangsa, narkoba dapat menghilangkan hak kemerdekaan berpikir dan hati nurani, agama, dan hak untuk tidak diperbudak. Sebagai catatan penting untuk diketahui dan direnungkan bersama, bahwa peredaran gelap narkoba sebagian besar berasal dari luar negeri. Kokain, heroin, ekstasi, sabu berasal dari luar negeri yang lokal hanya ganja. Dengan demikian berapa rupiah uang yang akan melayang tanpa kejelasan kemana perginya atau hilang sia-sia?
30
Sehingga akhirnya negara kita yang kita cintai akan bangkrut dan menyisakan penderitaan dan hutang luar negeri yang tidak berujung. Untuk itu pelaksanaan hukuman mati dan eksekusinya masih sangat diperlukan dan dipertahankan, yang terpenting dapat ditegakkan secara proporsional dengan memperhatikan kepentingan secara nasional, khususnya pihak korban yang terbunuh secara sadis, biadab, dan tidak berperikemanusiaan itu. Demikianlah tanggapan Badan Narkotika Nasional selaku Pihak Terkait langsung dalam Perkara Nomor 2 dan Nomor 3/PUU-V/2007 perihal Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada hari ini. Semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua dari bahaya narkoba, terima kasih. 32.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih dari BNN dan selanjutnya saya akan persilakan dulu Pemohon untuk memberi respons, baik Pemohon satu maupun dua, setelah itu nanti saya persilakan barangkali dua hakim, satu kanan, satu kiri untuk mengajukan pertanyaan, kepada siapa terserah, bisa kepada Pemerintah juga. Silakan Pemohon dulu.
33.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Terima kasih Majelis Hakim yang kami muliakan, Kami sudah mendengarkan tanggapan dari pihak Pemerintah maupun Pihak Terkait, Badan Narkotika Nasional. Kalau tadi dikemukakan cukup banyak statistik, memang statistik yang disampaikan tentu memberikan indikasi bahwa dampak dari kejahatan narkotika itu begitu luar biasa, kami tidak membantah itu dan tidak mau juga masuk terlalu jauh, karena persidangan ini yang kami ingin appeal adalah dalam konteks bagaimana melihat konstitusionalitas hukuman mati itu sendiri. Kalau mengkaitkan hanya dengan data, memang akan sangat debatable karena masing-masing akan bisa datang dengan data-data dan justifikasi bertolak belakang. Mengambil contoh Singapura, Malaysia tentu akan bisa menyimpulkan ada deterrent di sana, ada penjeraan. Tapi kalau melihat angka-angka yang ada dan melihat eksekusi yang sudah dilakukan termasuk di Indonesia, memang jumlah kejahatan narkotika, jumlah mereka yang ditahan di LP-LP kita itu cukup besar meskipun eksekusi sudah dilakukan misalnya. Di Kolombia, kegara tempat kokain itu merajalela, hukuman mati sudah dihapuskan. Semua negara Eropa yang tergabung dalam negara Uni Eropa itu sudah menghapuskan hukuman mati. Amerika Latin menghapuskan hukuman mati, separuh dari negara Afrika sudah
31
menghapus hukuman mati karena memang mereka tidak melihat dampak hukuman mati itu bisa menjadi deterrent menjadi bagian dari penjeraan. Dalam literatur hak asasi manusia, kebanyakan memang— tadi sudah dikutip oleh kolega kami, termasuk dari International Criminal Court (ICC), kemudian court ketika kita bicara mengenai bekas Yugoslavia. International Court untuk Rwanda dan Sierra Leon, itu kejahatan-kejahatan yang sangat serius, hukuman mati juga sudah ditiadakan, tapi bicara mengenai data sekali lagi, Majelis Hakim yang kami muliakan, memang kita bisa akan berbeda pendapat tapi kami tidak akan mengklaim yang ini yang paling benar, yang ini yang paling benar, tapi satu hal yang tadi kami kemukakan sistem peradilan pidana itu tidak imune terhadap kesalahan. Sejak tahun 1973 di Amerika lebih dari 120 orang yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati dibebaskan karena ditemukan bukti bahwa mereka tidak bersalah. Jadi kita bicara mengenai ketidaksempurnaan (infallibility) dari sistem peradilan itu. Dalam hukum pidana kita mengenal, lebih baik membebaskan orang yang bersalah ketimbang menghukum orang yang tidak bersalah, ini adagium yang diajarkan sejak kita kuliah di fakultas hukum. Kita mengalami ini ketika ada kasus Sengkon dan Karta. Kita belum lama ini juga melihat pada kasus Budi Haryono, ini juga contoh kecil dari sekian banyak contoh kegagalan sistem peradilan pidana. Saya setuju apa yang dikatakan pihak BNN, bahwa jumlah itu mungkin kecil. Kalau dikatakan jumlah kejahatan narkoba itu hidden numbers, dark numbers, jumlah mereka yang dihukum secara salah karena sistem peradilan yang juga tidak sempurna juga cukup besar. Pengalaman Amerika yang begitu canggih, ini kita melihat buktibukti itu di Indonesia juga bisa seperti itu. Kesulitannya adalah kalau pidana mati itu dijatuhkan dan dia bersifat irrevocable, dia bersifat tidak bisa dibatalkan. Seorang yang mati karena dieksekusi akan mati, tidak bisa dihidupkan kembali. Jadi ini memang satu persoalan yang saya kira sangat serius dan kita sekali lagi dalam judicial review ini tidak mengappeal supaya meringankan hukuman atau membebaskan hukuman, sama sekali tidak. Kita tetap menuntut dan setuju hukuman berat dijatuhkan, tapi persoalan konstitusionalitas berdasarkan Pasal 28A, 28I ayat (1) yang memang standarnya sudah lebih tinggi dari International Covenant on Civil and Political Rights itu adalah pasal yang memperlakukan hak untuk hidup sebagai non derogable human rights. Kami hanya ingin mengajukan ini karena kami percaya bahwa kita semua bersama-sama ingin mencoba menjaga Konstitusi menjadi the guardian of the constitution, sole interpreter of the constitution dan oleh sebab itu persoalannya tidak bisa di-oversimplifikasi seperti itu, karena akhirnya dengan semua simpati pada apa yang dikatakan BNN tadi, banyak hal yang kalau kita punya waktu banyak untuk berdebat, bisa kita perdebatkan metode, cara, modus operandi dalam mengurangi
32
jumlah angka kejahatan karena ini bukan one singel variable, bukan satu-satunya faktor, banyak faktor yang lain. Saya tadi secara sepintas—karena tidak ada waktu—mengkaitkan ini dengan kemiskinan—poverty, dengan ketidakadilan sosial, ketidakadilan ekonomi, tapi apakah kita punya waktu? Kami nanti akan mengajukan saksi-saksi Majelis Hakim yang kami muliakan, untuk mencoba ikut sharing menjelaskan kepada kita komplikasi dari kejahatan narkoba, dampak dari hukuman mati, dan pengalaman-pengalaman di negara lain, tapi sekali lagi kami hanya ingin menggarisbawahi bahwa kami di sini lebih bicara pada konstitusionalitas hukuman mati itu sendiri, yang kami tadi sudah kami kemukakan secara panjang lebar dan mungkin nanti pada kesempatan lain, di kesimpulan kami akan coba perjelas lebih jauh dengan tambahan-tambahan uraian, bukti, dan pengalaman-pengalaman di negara lain, terima kasih. 34.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Pemohon dua?
35.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENNY KAILIMANG, S.H.,M.H. Terima kasih Majelis, Kami cuma mau menanyakan di sini kepada Pemerintah dan juga BNN, bahwa Undang-Undang Narkotika Tahun 1997, data disajikan di sini adalah data 2001-2006, jadi hapal tidak perbandingan sebelum Undang-Undang Narkotika dikeluarkan? Ini ada hukuman mati di dalam, ternyata masih meningkat ini? Ini bagaimana pemikiran data ini, kenapa bisa demikian? Apa undang-undangnya yang salah atau datanya tidak ada pada waktu tahun 1997? Pada saat undang-undang tersebut dibahas sampai timbulnya hukuman mati, kenapa? Bagaimana data pada waktu itu? Kalau dibandingkan dengan data yang dikemukakan tadi dari 20012006? Itu yang ingin kami minta penjelasan, terima kasih.
36.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, saya, oh masih ada satu lagi?
37.
KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH, S.H.,LLM. Saya juga ingin menambahkan sedikit bahwa kembali dasarnya adalah diajukan karena itu dijamin dalam Konstitusi kita, dimana sebelumnya tidak ada. Penjaminan terhadap hak untuk hidup ini itu dilakukan pada perubahan kedua dari Undang-Undang Dasar. Jadi sekali lagi penekanannya di sini adalah sehubungan dengan hak konstitusional, itu yang pertama. Yang kedua, tadi disebutkan bahwa Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 itu dibatasi atau harus dikaitkan dengan
33
Pasal 28J dari Undang-Undang Dasar 1945. Pertanyaan kami adalah bagaimana menjelaskan bahwa di dalam Pasal 28I ayat (1) disebutkan bahwa merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun? Apakah (Pasal) 28J kemudian bisa mengurangi itu? Ini mungkin bisa dijelaskan lebih jauh oleh Pemerintah dalam hal ini Jaksa Agung. Yang kedua adalah tadi juga disinggung mengenai Pasal 6 ayat (1) di ICCPR mengenai most serious crime, pertanyaan saya adalah referensi atau dasar yang digunakan sehingga memasukkan kejahatan narkotika sebagai most serious crime? Yang ketiga, saya juga mau menyampaikan bahwa seperti yang disampaikan oleh rekan Todung Mulya Lubis, bahwa kalau perdebatan data mungkin masing-masing punya standing sendiri, tetapi saya hanya mau menggarisbawahi bahwa apakah betul filsafat pemidanaan kita adalah balas dendam? Itu yang mungkin menjadi catatan dan kemudian juga apakah BNN misalnya, telah melakukan suatu penelitian kenapa kejahatan narkoba terus berkembang? Faktor-faktor apa saja? Apakah bukan termasuk kemiskinan misalnya? Karena sudah disampaikan juga sebagai mantan Kapolda di Bali, terlihat setelah bom Bali terjadi kehidupan yang cukup susah, kemudian orang masuk kepada bisnis narkoba, jadi tentunya belum, tapi karena sudah diungkapkan maka itu kembali saya jadikan referensi dan kembali juga pepatah Cina yang diquote tadi bahwa kalau bisnis itu menguntungkan dengan potong kepala pun sebagai taruhannya, orang akan masuk ke situ. Jadi kalau bisnisnya memang ada sekalipun hukuman mati itu ada, tokh itu tetap juga akan masuk, terima kasih. 38.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, dicatat saja dulu, ini jarang-jarang pepatah Cina masuk dalam ruang sidang ini. Baik saya persilakan hakim sebelah kanan dulu satu yang mau mengajukan pertanyaan boleh kepada Pemerintah—Menteri atau Jaksa Agung, atau kepada BNN, atau juga kepada Pemohon, silakan.
39.
HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Tadi sudah disinggung oleh BNN bagaimana angka-angka hukuman mati yang sudah berkekuatan belum dieksekusi. Oleh karena itu, mungkin tidak bisa disajikan hari ini pada Pak Jaksa Agung, bisakah kami memperoleh berapa dari terpidana narkoba tersebut yang dihukum mati dan sudah mempunyai kekuatan dan kemudian sampai saat ini belum dieksekusi? Dapatkah misalnya diberikan beberapa alasan kenapa sampai saat ini belum dilaksanakan? Dan kira-kira jarak antara berkekuatan dengan sampai saat ini belum dilaksanakan, bisakah dibuatkan datanya berapa lama jangka waktu tersebut? Kita menganggap penting ini, oleh karena beberapa hari yang lalu kita
34
membaca satu—apakah berita atau artikel—dimana seorang sudah dihukum mati, tetapi setelah begitu lama belum juga dieksekusi, sehingga dia menganggap bahwa dua hukuman terhadap terpidana itu, satu hukuman penjara setelah sekian lama kalau tidak keliru—apakah benar saya kurang tahu, agak fantastis dua puluh enam tahun menunggu, tapi nanti juga akan dihukum mati. Jadi ada dua hukuman yang dijatuhkan kepada yang bersangkutan. Yang kedua, kalau boleh Bapak Jaksa Agung pertanyaan kita juga bagaimanakah tata cara pelaksanaan hukuman mati itu yang kita anut menurut undang-undang yang menjadi pedoman dan hukum positif bagi pelaksana atau eksekutor? Pertanyaan ini tentunya berkaitan juga dengan tadi sudah disinggung bagaimana dasar negara kita tentu mengenal apa yang disebut perikemanusiaan atau kemanusiaan yang adil dan beradab. Dapatkah, misalnya kalau Pemerintah mempertahankan hukuman mati itu akan terus menjadi satu bagian dari hukum positif? Dapatkah dijelaskan bagaimana menselaraskan pidana mati itu dengan falsafah kemanusiaan yang adil dan beradab itu? Tentu dengan satu asumsi bahwa kalaupun misalnya terpidana-terpidana itu orang-orang yang tidak mengenal perikemanusiaan dan seperti dikatakan tadi Pemohon, tentu falsafah yang kita anut—mungkin saya kurang tahu—dalam realitasnya apakah memang pembalasan? Tetapi kualitas dari pemerintahan yang berpedoman kepada Pancasila mungkin akan berbeda dengan kualitas terpidana yang tidak mau mempedomaninya? Tetapi kalau kita mempertahankan hukuman mati bagaimana menselaraskannya? Yang kedua juga kalau ini dipertahankan, apakah ada satu wacana atau pemikiran untuk melaksanakan hukuman mati itu dengan mencoba menserasikannya juga dengan apa yang disebutkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab? Saya teringat beberapa pelaksanaan hukuman mati sebelum atau mungkin di Amerika dengan satu little injection yang mungkin tidak menimbulkan sesuatu hal yang sangat dramatis di dalam pelaksanaannya, mungkin saya kurang tahu apakah metode itu bisa menjadi suatu dasar untuk memperkuat pendirian Pemerintah bahwa hukuman mati itu akan dipertahankan? Kepada BNN, saya juga kurang tahu apakah di dalam apakah tadi saya kurang bisa baca terlalu kecil tadi di dalam sajian data itu apakah bisa diverifikasi atau bagaimana cara memverifikasi angka bahwa ada kematian 41 orang setiap hari disebabkan oleh narkoba? Mungkin untuk gambaran menyeluruh saya pribadi menganggap ini merupakan sesuatu yang penting untuk mengukur. Tadi dikatakan oleh Pemohon dua bahwa ukuran the most serious crime yang mengacu kepada ICC Statue of Rome mungkin kita memiliki satu kriteria yang lain untuk menyatakan bahwa the most serious crime itu? Kira-kira tolok ukur apa yang kita pakai? Bagi saya pribadi ini merupakan sesuatu data yang kita perlukan juga.
35
Kepada Pemohon yang telah mengutip tadi sistem pengapusan pidana mati di Amerika, Amerika Latin, dan di Eropa. Bolehkah dilengkapi dengan data bagaimanakah sistem pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati? Pertanyaan saya berkaitan dengan adanya suatu kesenjangan seandainya, misalnya kita mempertahankan sistem pidana kita pidana pokok di dalam KUHP, dihapuskan hukuman mati antara seumur hidup dengan hukuman penjara maksimum dengan kewenangan-kewenangan remisi, tadi dikatakan di sana kemungkinan sentence without parole itu, tetapi di kita dengan sistem itu dia menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dipikirkan secara komprehenshif dengan sistem pemidanaan. Pertanyaan saya bagaimanakah di dalam suatu perbandingan, dalam sistem negara hukum yang menghapuskan hukuman mati sistem pemidanaan itu dianut? Jadi misalnya, apakah dia tidak lagi menganut sistem absorsi atau dia hanya akumulatif saja, sehingga seperti yang kita dengar kita sering juga mendengar hukuman penjara delapan puluh tahun, ini sangat erat kaitannya karena ini merupakan suatu sistem yang tidak bisa dipisahkan secara menyeluruh. Saya pikir ini pertanyaan saya, mungkin tidak bisa disajikan sekarang barangkali bisa disusulkan, terima kasih. 40.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik dicatat dulu, bagian yang sebelah kiri silakan.
41.
HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H.,M.H. Terima kasih Bapak Ketua. Pertanyaan saya yang pertama saya akan tujukan kepada Pemerintah, tapi karena sudah ditanya, yaitu menyangkut data tentang eksekusi jadi saya tidak akan bertanya lagi mengenai soal itu. Yang kedua mohon klarifikasi kepada Pemohon, khususnya kepada Pemohon satu berkenaan dengan cara berpikir dari Pemohon satu khususnya mengenai standing, yang mengakibatkan Pasal 51 dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi ini, maka saya ingin klarifikasi satu hal, apakah dengan penjelasan Saudara—karena kalau saya ulang akan menjadi panjang lagi ceritanya yang tadi itu—apakah dengan penjelasan Saudara, Saudara hendak mengatakan bahwa khusus mengenai hak hidup dan khusus mengenai hukuman mati, khususnya dalam kasus in casu, itu prinsip bahwa seorang warga negara asing boleh mempersoalkan hukum asing di negara asing itu sendiri, berlaku? Apakah di situ telah hilang, artinya asas yang selama ini kita kenal yang membedakan hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu bahwa par in parem non habet imperium, di situ kehilangan maknanya. Yang kedua, artinya juga apakah dengan penjelasan Saudara Pemohon tadi,
36
itu berarti prinsip personnel hebeid [sic!] dan richten hebeid [sic!] juga sudah dilewati? Khusus dalam konteks hukuman mati dan khususnya dalam mempersoalkan Pasal 51, artinya orang asing boleh mempersoalkan hukum negara lain di wilayah negara lainnya sendiri untuk soal itu. Apakah itu pendirian dari Saudara Pemohon? Terima kasih Pak Ketua. 42.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, yang terakhir yang berhormat Hakim Natabaya.
43.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H.,LLM. Ini kepada Pemohon yang mempersoalkan Pasal 51 mengenai warga negara asing. Adalah menarik bagi saya apakah memang benar bahwa seseorang asing itu dapat mempersoalkan mengenai kebijakan di dalam sesuatu negara? Sebab ini bukan permasalahan mengenai sistem hukumannya, tetapi di dalam persidangan Mahkamah Konstitusi ini adalah mempersoalkan apakah norma daripada undang-undang itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar? Apakah orang asing dapat mempersoalkan norma di suatu negara itu bertentangan dengan undang-undang? Ini adalah sesuatu hal yang menarik, karena apa? Karena Pemohon telah mendalilkan Pasal 28D, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, dan ini seolah-olah berlaku untuk seluruh orang, berlaku untuk semua persoalan. Berkaitan dengan persoalan yang Pemohon ajukan mengenai masalah hukuman mati, di dalam ICCPR jelas, Pasal 6 ayat (4), saya akan bacakan, “anyone sentenced to death shall have the right to seek
pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all cases”,
artinya apa? Artinya persoalan ini mereka bisa persoalkan di dalam proses peradilan di dalam pengadilan negeri, tidak di dalam masalah persoalan antara norma terhadap Undang-Undang Dasar. Jadi pasal mengenai ini harus dibaca di dalam article 6 ayat yang keempat itu, di dalam ICCPR itu, jadi jelas. Kedua, Pemohon saya kenal betul sebagai seorang ahli daripada human rights, bahwasanya Pemohon mempersoalkan Pasal 28E ayat (1). Permasalahan ayat (1) ini pada kaitannya dengan Pasal 3 daripada Universal Declaration of Human Rights yang ada kaitannya dengan everyone has the right to life dan ini dikembangkan di dalam ICCPR Pasal 6, tetapi juga Pemohon tidak mengutip Pasal 29 yang sudah dikemukakan oleh Pak Jaksa Agung, bahwa terhadap, “in the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations…..”, artinya ada determinasi. Kedua, juga Pemohon di dalam permohonannya itu hanya melihat Pasal 28I ayat (1), tidak juga mempersoalkan Pasal 28J ayat (2), apakah
37
pembatasan dalam (Pasal) 28J ayat (2) itu berlaku? Sedangkan Pemohon hanya mempersoalkan right to life, itu tidak serta merta ada kaitannya dengan hukuman mati. Karena di dalam beberapa Undang-Undang Dasar—dari beberapa negara—bahwa dinyatakan bahwa selalu kalimat akhirnya itu dimasukkan mengenai kalimat larangan hukuman mati, tidak otomatis. Jadi barangkali nanti dalam pemeriksaan itu nanti kita akan bisa lihat mengenai itu Pak. 44.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oke, tolong nanti dicatat, masing-masing dijelaskan, ini cara
bertanya ini, selalu saya sebut ini. Jadi biasa dan kami sembilan cukup tiga saja, supaya jangan kelihatan pula nanti pendapatnya. Jadi tolong masing-masing sesuai dengan arah pertanyaan tadi, maksudnya untuk meminta keterangan lebih mendalam, lebih luas, mengenai pokok persoalan ini dari masing-masing pihak. Dari Pemerintah juga begitu, dari BNN juga demikian, dan juga dari Pemohon juga demikian. Saya persilakan dulu kepada Pemerintah. 45.
PEMERINTAH : Dr. HAMID AWALUDIN, S.H.(MENTERI HUKUM DAN HAM ) Yang mulia Majelis Hakim, para Pemohon, para Pihak Terkait, memang benar bahwa data yang kami sajikan adalah data yang terakhir untuk menunjukkan penegasan kami bahwa kecenderungan kejahatan narkoba ini semakin meningkat. Pada tahun 1997—ketika undangundang ini dibuat—data tentang ini belum sedahsyat seperti sekarang. Dengan data yang ada saja pada tahun itu, Pemerintah dan DPR sudah shocking, bahwa betapa urgen kita membuat undang-undang seperti ini. Pada saat itu kecanggihan teknologi komunikasi dalam berinteraksi masih biasa-biasa saja, tokh orang sudah sangat concern, apalagi kalau sekarang? Point-nya Yang Mulia adalah bahwa data yang ada saja pada tahun 1997 itu sudah mengagetkan, sudah menjadi concern Pemerintah dan wakil rakyat, apalagi data yang ada sekarang ini kita punyai dan kita buat undang-undang baru mungkin saya tidak tahu bagaimana lagi hasilnya? Itu jawaban saya kepada Pemohon, terima kasih Yang Mulia.
46.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bapak Jaksa Agung?
38
47.
PEMERINTAH : ABDURRAHMAN SALEH, S.H., M.H AGUNG)
(JAKSA
Terima kasih Yang Mulia. Ada beberapa yang bisa kami jawab sekarang, sisanya nanti menyusul. Pertanyaan pertama mengenai apa Pasal 28I itu tunduk pada Pasal 28J? Jadi dalam uraian kami tadi sudah kami sebutkan memang begitu. Jadi dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian dari yang mulia Pak Maruarar Siahaan, data mengenai hukuman mati yang sudah dijatuhkan itu nanti akan kami berikan menyusul, tapi secara umum dapat kami jawab bahwa eksekusi ini memang sering tertunda-tunda karena nampaknya ada sikap dari para penegak hukum yang meskipun undang-undang tidak mengatur itu diberi kelonggaran-kelonggaran. Ini hal yang menurut hemat Jaksa Agung pada di masa depan harus ditertibkan. Misalnya begini, grasi itu hanya sekali, Undang-Undang Grasi yang baru mengatakan bisa dua kali, kalau melewati waktu dua tahun. Tapi dalam data kami terbukti ada orang yang dihukum mati—seperti yang tadi disebut—yang namanya Baharmatar, itu perbuatannya dia merampok, menculik istri dan anak korban, diperkosa berkali-kali, terakhir dibunuh. Jadi merampok, menculik, memperkosa, membunuh. Dia dijatuhi hukuman mati, dia mohon sampai tingkat peradilan terakhir, kemudian dia minta grasi. Grasi ditolak, belum dilaksanakan, dia mohon grasi lagi, ini ditolerir oleh pejabat di tingkat bawah waktu itu, ini belum turun dari Presiden dia mengajukan lagi. Sehingga ada satu terpidana mati mengajukan grasi mungkin lima sampai enam kali, berturut-turut begitu, akibatnya ya itu tadi, tertunda-tunda terus. Mudah-mudah itu di masa depan tidak akan terulang lagi. Kalau pelaksanaan hukuman mati yang sekarang berlangsung di hadapan regu tembak, ada sejumlah regu tembak, satu regu tembak tapi yang diisi hanya satu orang pelurunya itu, nanti kalau sudah ditembak, dokter memeriksa, kalau menurut dokter masih hidup, maka diberikan tembakan terakhir di belakang kepala. Jaksa Agung sebetulnya ingin merubah ini dan sudah berapa kali mengadakan pertemuan dengan Ikatan Dokter Indonesia akan memakai cara baru untuk mengajukan perubahan perundang-undangan dengan injeksi. Jadi di Amerika sekarang berjalan, jadi dengan injeksi itu orang dibuat pingsan dulu, injeksi yang ke dua adalah yang berisi racun yang mematikan itu. Jadi pada racun masuk orangnya sudah pingsan, itu mungkin yang dianggap lebih berperikemanusiaan juga. Saya pikir begitu.
39
48.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, jadi nanti tambahannya bisa tertulis dan bahkan bisa juga dilanjutkan persidangan ini dengan misalnya—maksud saya— persidangan yang akan datang Pemerintah, dalam hal ini tim kuasa Presiden—termasuk Jaksa Agung di dalamnya tentu saja— mempersiapkan juga ahli, saksi yang bisa diajukan dalam persidangan berikutnya, sehingga soal-soal substantif menyangkut soal substansi perkara ini bisa kita lanjutkan pemeriksaannya. Saya persilakan dulu BNN, mau menanggapi pertanyaan tadi?
49.
PIHAK TERKAIT : (KALAKHAR BNN)
KOMJEN
I
MADE
MANGKU
PASTIKE
Terima kasih Yang Mulia. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para Pemohon yang telah menyampaikan beberapa hal. Ada pertanyaan, ini sudah ada hukuman mati kenapa kejahatan naik terus? Kita bisa bayangkan kalau tidak ada, mungkin kita semua tidak hadir di sini pada hari ini, kita pun sudah teler semua saya kira itu. saya kira begitu. Jadi memang, itulah kita ini, jadi sudah diancam hukuman mati pun masih banyak, apa lagi kalau tidak? Saya katakan tadi maka berbondong-bondonglah orang akan bisnis itu. Kemudian, apa kalau sudah dieksekusi nanti ternyata tidak bersalah dan sebagainya? Untuk khusus kasus narkoba, ini pembuktiannya sangat kuat, karena physical evidence-nya pasti ada. Hampir tidak ada kasus narkoba yang dijatuhi pidana mati, tapi alat buktinya tidak lengkap, atau meragukan, atau dan sebagainya. Bahkan pasti sangat kuat, pembuktiannya pasti sangat kuat. Oleh karena itu hampir tidak ada kasus narkoba yang di SP3, tidak ada, tidak ada itu kasus narkoba yang di-SP3, itu tidak ada, artinya yang dihentikan dalam penyidikan itu tidak ada. Semua pasti maju, karena jelas. Barang buktinya ada, kesaksian lengkap, dan sebagainya. Sehingga untuk salah itu kecil sekali kemungkinannya. Kemudian mengapa datanya 20012006? Memang dulu terus terang saja kita tidak terlalu serius menangani persoalan narkoba, kita terlambat. BNN saja baru dibentuk tahun 2002. Selama ini hanya ditangani oleh Bakolak Inpres dulu namanya, bersambilan dengan uang palsu dan lain-lain, dan dulu kita menganggap Indonesia itu daerah transit, kalaulah yang kena morfin, istilah dulu morfinis tahun 70-an, 80-an, itu hanya orang-orang kaya yang bisa beli morfin. Sekarang tidak, jadi memang, mengapa angkanya sangat naik? Karena memang operasinya ini sangat giat sejak tahun 2005. Jadi Polres-polres, Polda-polda, itu digenjot oleh Bapak Kapolri (Bapak Sutanto) harus, karena kita sudah telat ini, kalau aspek penegakan hukumnya tidak gencar, maka makin berat bahaya yang akan kita hadapi
40
ini. Sehingga kebijaksanaan nasional, aspek penegakan hukum betulbetul digenjot. Itupun jelas masih banyak hidden population-nya yang tidak tertangkap, saya yakin masih banyak sekali. Itulah saya katakan tadi ada satu aspek yang kami sampaikan, aspek kesiapan atau kemampuan aparat Pemerintah dalam menanggulangi ini, memang kita masih belum mampu seratus persen dihadapkan dengan berbagai hal-hal tadi. Apalagi kalau piranti hukumnya tidak keras, seperti itu kira-kira. Jadi kenapa data terakhir meningkat? Kasusnya yang saya katakan meningkat, karena operasinya makin banyak dilakukan. Sama dengan pelanggaran lalu lintas, makin rajin polisinya operasi, banyak angka pelanggaran, begitu juga di sini, makin rajin polisinya menangkapi, makin banyak kasusnya. Untuk rajin menangkap itu harus ada piranti hukum yang mendukung, harus ada dukungan anggaran yang cukup, harus ada keterpaduan criminal justice system, dan seterusnya. Terus mengapa juga angkanya terus naik? Karena kita masih belum bisa menjangkau misalnya aset atau hasilnya mereka, ini yang akan kita masukkan, kita usulkan untuk dimasukkan dalam rancangan undang-undang yang baru tentang narkotika. Jadi walaupun itu dibuat tahun 1997, ternyata undang-undang itu banyak yang harus kita tingkatkan. Seperti misalnya persoalan penangkapan, di sana hanya satu hari karena sesuai dengan KUHAP. Padahal untuk kasus narkotika kita memerlukan pemeriksaan laboratorium yang kadang lebih satu hari, dua hari, bahkan beberapa hari. Apalagi kalau terjadi di kabupaten, dimana tidak ada laboratorium khusus narkoba. Ini juga memerlukan persoalan. Oleh karena itu kita mengusulkan waktu penangkapannya menjadi bertambah. Tidak lagi satu hari sesuai KUHAP, tetapi lima hari. Begitu juga perluasan atau pengertian dari pemufakatan jahat yang selama ini kita mengacu kepada KUHAP. Padahal dalam sindikat narkoba ini, hal-hal yang diatur atau konspirasi seperti itu sudah ke luar dari kriteria yang diatur dalam KUHP kita. Itulah sebabnya gembong-gembongnya tidak pernah bisa tertangkap. Karena begitu rupa pengaturannya, misalnya sindikat heroin itu tidak diatur di Indonesia, tapi entah di mana yang namanya invisible hand itu? Tapi membanjirlah orang-orang Nigeria atau orang Afrika hitam ke Indonesia dengan kedok berjualan tekstil di Tanah Abang, akhirnya mereka juga merupakan orang-orang yang akhirnya menjadi pengedar-pengedar narkotika di Indonesia dan memperalat kaum perempuan kita. Selalu dikawini dan sebagainya kemudian mereka mejadi kurir di manca negara. Sedemikian rupa mereka berorasi, sehingga dari aspek operasionalnya memang kita harus punya hukum yang keras untuk mereka itu. Banyak hal yang kita ajukan untuk direvisi, seperti misalnya perampasan aset bagi para sindikat ini. Sekarang ini mereka ditangkap, ya dikorbankan saja. Selama sindikat itu bisa beroperasi, karena duitnya masih banyak. Dan mereka mengatur semua, mengatur polisi tadi, mengatur jaksa, mengatur hakim, mengatur advokat. Kita tidak tahu
41
karena mereka punya unlimited budget, karena kita tidak bisa buat dia bangkrut. Oleh karena itu di Amerika berlakulah yang namanya Asset Prefecture Act, sehingga asetnya para sindikat itu dirampas oleh negara, digunakan untuk memerangi kejahatan narkoba, sehingga Drugs Enforcement Administration (DEA—BNN-nya Amerika Serikat) punya unlimited budget dia tidak perlu ganggu APBN, ini yang sedang kita perjuangkan juga di Pansus sekarang ini. Sekarang ini dalam rancangan Undang-Undang Narkotika yang baru, seperti itu. Kita kekurangan uang—kami katakan tadi—anggaran kami ini hanya 250 miliar termasuk gaji, memerangi sindikat yang satu hari menghasilkan ratusan miliar di Indonesia. Bagaimana kita harus perang melawan seperti itu? Ini mengapa makin tinggi terus? Memang kami akui kemiskinan juga mempengaruhi, kalau dulu yang mengkomsumsi narkoba orang kaya, sekarang orang miskin pun, tapi dengan syarat harus jual sepuluh dapat satu untuk dia nikmati. Seperti itulah mereka memasuki, bahkan kami curiga mereka memasuki area kebijakan nasional, seperti misalnya pembagian jarum suntik steril dengan dalih membatasi beredarnya HIV/AIDS. Saya katakan tadi kalau 36 ribu jarum suntik steril yang dibagikan sehari, berarti ada 36 gram heroin yang harus ada pada hari itu. Berarti ada 36 miliar yang harus dibelanjakan, itu juga menjadi persoalan. Sekarang polisi mau bertindak tidak bisa karena legal membagikan jarum suntiknya, tapi siapa tahu di kanan jarum suntik di kiri heroin? Jadi sindikat untuk masuk mulai dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling canggih, termasuk menyusupi peraturanperaturan yang ada di suatu negara, seperti itulah mereka bekerja, sehingga bagaimana tidak makin besar ini? DPR menghendaki BNN itu ditingkatkan menjadi setingkat kementerian, karena tidak mungkin dengan kewenangan yang berdasarkan Keppres Nomor 7, hanya Keppres kita memerangi sindikat ini, seperti itu keadaannya sehingga kenapa naik terus? Saya bilang, ya kalau tetap polanya seperti ini undang-undang itu tidak segera diselesaikan, kita juga sulit. Istilah sekarang dalam pemberantasan penyalahgunaan narkoba dan trafficking ini adalah follow the money, misalnya supaya proceed of crime itu tidak bisa dinikmati oleh mereka. Undang-Undang Anti Money Laudering kita belum bisa menjangkau itu, karena terus terang saja misalnya BapakBapak pernah mendengar kasus Wawan yang M-3 di Bali, yang punya M3 itu sindikat luar biasa untuk sabu dan ekstasi. Sampai sekarang kita tidak bisa menangkap Wawan, tapi kita juga tidak bisa menyita gedungnya itu yang di Bali itu, padahal kita tahu persis berdasarkan aliran dana uangnya masuk ke sana karena para hakim berpendapat bahwa itu harus ada kejahatan pokoknya, tidak bisa kita menyita itu, seperti itu misalnya. Jadi dia tetap punya uang banyak, bengkel tetap berjalan, uang tetap berjalan, dia bisa berkeliling dunia dan mengendalikan perdagangan di Indonesia sampai sekarang, ini persoalan
42
hukum, sehingga, ya terus terang saja ada beberapa hal tadi yang kami sampaikan. Jadi memang itulah situasi peredaran narkoba. Mengenai kematian yang empat puluh orang, ini berdasarkan riset BNN dan UI tahun 2005 dan kita melihat faktanya dari laporan-laporan kematian, dari RSCM, dan lembaga pemasyarakatan, memang hanya tidak pernah disebutkan orang ini mati karena AIDS, misalnya. Karena keluarganya menganggap itu sebagai aib, jadi akibatnya mati karena hepatitis, mati karena yang lain, padahal jelas itu karena overdosis atau karena apalagi dia misalnya anak seorang yang mempunyai posisi tertentu dan sebagainya, sehingga ya tidak mungkinlah dikatakan anaknya mati karena narkoba karena pasti marah. Jadi ini ada faktorfaktor sosiologis, fisiologis yang juga harus disampaikan. Kita tidak mungkin mengungkapkan data persisnya, tetapi itulah yang terjadi yang meninggal di RSCM, kami katakan tadi lima belas orang per minggu, sekurang-kurangnya dari sal itu mati dan tidak pernah diumumkan bahwa itu mati karena overdosis atau karena HIV/AIDS. Begitu juga dari penjara, hampir tiap hari dari Cipinang itu ada dua mati per hari dari Lapsustik di Cipinang, dua orang mati per hari karena narkotika. Demikian saya kira yang menjadi porsi kami, terima kasih. Kemudian satu hal tadi mengenai peribahasa Cina mohon maaf, jadi memang begitu nekadnya mereka ini jadi harus kita artikan begitu, tidak takut apa-apa, mati pun dia tidak takut, saking nekadnya karena iming-imingnya ekonominya yang begitu besar. Untuk menghadapi orang seperti ini saya kira tidak ada jalan lain memang harus dimatiin, terima kasih. Mohon maaf, kami punya sebenarnya data Bapak Hakim tentang orang yang sudah dijatuhkan hukuman mati, persisnya kapan dijatuhi dan sebagainya, ini kalau perlu disampaikan sebelum menunggu dari Bapak Jaksa Agung kami sangat concern dengan ini karena Pihak Terkait langsung dan ini selalu ditanyakan dimana pun kami pergi. Jadi kami siap dengan datanya ini, berapa yang sudah dijatuhi? Di mana saja? Namanya siapa? Kasus apa? Kapan dijatuhkan? Dan sedang dalam proses apa sekarang mereka ini? Terima kasih. 50.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, nanti melalui Panitera tolong disampaikan saja dan supaya nanti Pemohon pun akan kami beri, maka itu tolong dua belas rangkap. Mudah-mudahan anggaran ini cukup untuk dua belas rangkap itu, karena biaya perkara di Mahkamah Konstitusi ini gratis jadi oleh karena itu biaya foto kopi ditanggung masing-masing. Baik terakhir saya persilakan kepada Pemohon, tadi juga ada yang pertanyaan yang diarahkan kepada Pemohon, silakan Pemohon satu dulu.
43
51.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M. Terima kasih, Majelis Hakim yang kami muliakan, tadi ada beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kami, tapi mungkin sebagian akan kami jawab nanti ketika kami menyampaikan kesimpulan. Tapi saya ingin mulai lebih dulu dengan pertanyaan mengenai legal standing yang diajukan tadi oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Palguna, sejauh yang menyangkut mengenai warga negara asing. Tadi dalam paparan kami, kami memang menjelaskan bahwa Pasal 51 yang membatasi Pemohon judicial review hanya kepada perorangan warga negara Indonesia dan mempertanyakan apakah itu ketentuan yang absolut atau tidak? Dalam kaitannya dengan dua kategori hak yang tadi kami coba jelaskan, kategori hak pertama adalah hak warga negara—citizen right. Kategori kedua adalah human right atau hak asasi manusia. Tidak semua hak itu tentu bisa diakses atau dimiliki oleh warga negara asing. Seperti kami sudah kemukakan tadi hak untuk ikut dalam Pilkada, dalam pemilihan presiden, dan sebagainya. Tapi dalam konteks hak asasi manusia karena kita menganut universality of human right, asas universal dalam hak asasi manusia dan kami mengkaitkan ini dengan beberapa hak-hak yang pada diri Pemohon ada kepentingan hukumnya, karena itu adalah layak dan adil bagi siapapun tanpa membeda-bedakan suku bangsa, agama, jenis kelamin, latar belakang politik, sosial, dan budaya untuk juga bisa memperjuangkan kepentingan hukumnya legal recost, legal remedy yang ada pada dia. Apakah ini bisa dilakukan di negara lain? Di negara lain dilakukan, tidak semua negara mempunyai Mahkamah Konstitusi tapi warga negara asing yang dirugikan hak-hak asasinya bisa memperjuangkan haknya, di pengadilanpengadilan di Australia kita melihat banyak sekali kasus-kasus semacam ini dan di Amerika dalam konteks pemberantasan terorisme, kita melihat ada Patriot X, kemudian banyak sekali yang ditahan. Warga negara asing di penjara yang disebut Guantanamo. Di penjara Guantanamo itu praktis hak-hak hukum dan warga negara asingnya yang diduga atau dituduh melakukan tindak pidana terorisme itu, itu dihilangkan sama sekali. Apa yang terjadi? Ini di-challenge di pengadilan sampai kepada Mahkamah Konstitusi. Satu kasus yang menjadi landmark, adalah kasus Hamdan seorang warga negara Yaman yang dihilangkan haknya dalam proses pemeriksaan di Guantanamo, kemudian diberikan haknya oleh Mahkamah Agung. Jadi kemungkinan-kemungkinan ini diberikan dalam sistem peradilan di negara yang lain, sekali lagi kami ingin kemukakan bahwa tidak semua negara mempunyai Mahkamah Konstitusi. Persoalanpersoalan constitutional right seperti ini di Amerika sampai kepada Mahkamah Agung, yang juga majelisnya juga sembilan orang. Jadi kalau dari sisi ini kami melihat bahwa legal standing dalam batas-batas 44
tertentu yang menyangkut hak-hak asasi manusia itu adalah hak-hak yang juga seharusnya universal dimiliki tanpa membeda-bedakan suku bangsa, etnis, agama, dan jenis kelamin. Yang kedua, ini kaitannya dengan hak-hak yang sifatnya non derogable yang tidak bisa dicabut kembali. Sejauh yang kami pahami, pengertian non derogable itu seperti yang dirumuskan pada Pasal 28I ayat (1), itu adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan pun, termasuk dalam keadaan perang, tidak bisa hak ini dikurangi. Ini pengertian yang baku di dalam literatur hak asasi manusia. Kita punya tujuh kategori hak asasi dalam Pasal 28I ini. Tujuh pasal ini juga ada pada International Covenant on Civil and Political Rights, tadi dikutip beberapa pasal dari International Covenant on Civil and Political Rights. Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) oleh beberapa penanggap tadi, tapi kalau kita membaca ayat (6) dari Pasal 6 ini di sini dikatakan bahwa,
”nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant”. Saya kira juga kita harus melihat dalam konteks keseluruhan
pasal-pasal ini dan kalau ini dikaitkan dengan penjelasan kami tadi bahwa Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 menerapkan standar yang lebih tinggi ketimbang ICCPR, seharusnya ini bisa dijadikan sebagai rujukan dan kami akan dengan senang hati melengkapi argumentasi kami nantinya pada kesempatan berikutnya. Terakhir Majelis Hakim yang saya muliakan, kalau kita melihat Pasal 28I ayat (1), ini dan tadi berkali-kali ditekankan, kenapa tidak membaca Pasal 28J ayat (2)? Satu pertanyaan yang bagus, tapi Pasal 28J ini keberlakuannya tidak terhadap tujuh kategori hak asasi yang sifatnya non derogable. Untuk hak-hak asasi yang lain, itu Pasal 28J ini relevan untuk kita persoalkan, tetapi untuk Pasal 28I ayat (1) dimana ada tujuh hak yang non derogable, Pasal 28J ini dengan sangat menyesal harus mengatakan tidak bisa dilakukan dan tidak relevan. Ini beberapa yang ingin kami kemukakan Majelis Hakim yang kami muliakan, satu hal yang kami ingin tambah kepada—kalau boleh Majelis Hakim—kepada BNN, karena tadi ada satu argumen yang dikemukakan dengan hukuman mati saja jumlah kejahatan termasuk kejahatan narkotika itu bertambah, apalagi kalau tidak ada hukuman mati, ini kalau saya tidak salah tadi Pak, saya kira statement semacam ini tentu memang harus dilihat secara kontekstual karena sekali lagi soal data, soal debate semacam ini akan bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda tergantung pada situasi dan konteksnya. Kami tadi mengatakan dan mengutip dalam presentasi kami, data misalnya mengenai laju pembunuhan di Eropa dan Amerika. Di Jerman, Inggris, Italia, Prancis, Selandia, dan Swedia yang sudah menghapuskan hukuman mati, angka pembunuhan itu tidak sampai dua untuk seratus ribu orang, tapi di Amerika yang masih menganut hukuman mati untuk sebagian di negara bagian, untuk seratus ribu orang itu 6,26 angka pembunuhan yang terjadi setiap tahun.
45
Jadi ini menunjukkan bahwa kalau kita bicara mengenai data memang ada masalah, tadi disebutkan Singapura dan Malaysia, tapi banyak contoh lain juga yang bisa dikemukakan dan tanpa ingin masuk lebih jauh kepada data-data ini, karena kami bisa menampilkan datadata tambahan nantinya. Kami hanya ingin appeal, sebetulnya data ini bisa di lihat dalam konteks yang lain, dalam kaitannya dengan hal yang lain termasuk yang kami dikemukakan tadi infallibility, ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana yang bisa salah. Seorang jaksa di Texas itu sangat getol memperjuangkan hukuman mati dan akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada beberapa terpidana, tapi jaksa yang saya tidak ingat namanya persis—nanti bisa saya berikan— ketika dia menyadari bahwa dua orang yang dijatuhi pidana mati itu bukan pelaku sesungguhnya dari tindak pidana yang terjadi, akhirnya dia jadi proponent untuk penghapusan hukuman mati yang sangat getol di Amerika. Jadi saya hanya ingin mengatakan bahwa sangat mungkin kesalahan, sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam proses pidana. Apakah kita tidak ingin melihat aspek ini sebagai satu isu? Karena ini irrevocable sifatnya, hukuman mati semacam ini dan itu tidak bisa dihidupkan kembali. Saya kira itu saja jawaban sementara, nanti untuk jawaban untuk Pak Hakim Siahaan ini mengenai apakah sistem pemidanaan di negara yang sudah menghapuskan hukuman mati? Itu bisa dijelaskan lebih jauh karena ada sistem-sistem yang misalnya kumulatif, bisa menghasilkan hukuman sampai 120 tahun, 130 tahun, kami akan susulkan nantinya kepada Majelis pada kesempatan berikutnya, terima kasih. 52.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSIDDIQIE, S.H. Baik, terakhir saya persilakan Pemohon dua, ya nanti jawaban yang belum dilengkapi dengan yang tertulis, tokh masih ada sidang berikutnya nanti. Silakan.
53.
KUASA HUKUM PEMOHON : J. ROBERT KHUANA, S.H. Terima kasih Bapak Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, terima kasih juga kepada Pemerintah dan Pihak Terkait. Saya hanya ingin menambahkan dan tidak bersifat menjawab terhadap pertanyaan yang disampaikan, dengan harapan tanggapan ini bisa diberikan selanjutnya oleh pihak Pemerintah ataupun Pihak Terkait, yaitu Pemerintah dalam hal ini tadi sudah dijelaskan melalui Bapak Menteri dan Bapak Jaksa Agung perihal angka-angka pelaku kejahatan narkotika, tetapi mungkin kita perlu juga memperoleh penjelasan dari Pemerintah. Sebab kita tahu bahwa angka-angka yang dipaparkan tadi juga dari Kalakhar Badan Narkotika itu berangkat dari sifat kausalitas, antara lain juga seberapa
46
jauh Pemerintah dalam hal ini sistem pemidanaan yang sudah kita miliki (...) 54.
PEMERINTAH : Dr. HAMID AWALUDIN, S.H.(MENTERI HUKUM DAN HAM ) Interupsi Majelis yang mulia, Saya kira sesi ini adalah sesi jawaban Pemohon terhadap pertanyaan hakim bukan lagi ada kaitannya dengan appeal kepada Pemerintah atau permohonan seperti itu, ini adalah sesi jawaban Pemohon dua terhadap pertanyaan hakim kalau masih ada yang tersisa, terima kasih Yang Mulia.
55.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSIDDIQIE, S.H. Ya, begitu saja untuk dijawab, kalau tidak bisa dijawab secara lisan nanti tertulis saja. Nanti selanjutnya, jadi tidak usah tanya lagi, begitu maksudnya. Kalau tidak ada yang bisa disampaikan, cukup nanti ditambahkan saja secara tertulis atau nanti Saudara bisa tambah keterangannya melalui pembuktian, yaitu misalnya dengan menghadirkan ahli dan lain-lain sebagainya. Walaupun demikian, nanti pun ada kesempatan lagi untuk mengajukan pertanyaan yang semacam itu, misalnya mengajukan pertanyaan kepada ahli yang diajukan oleh Pemerintah, bisa saja tokh sidangnya masih ada beberapa kali lagi. Jadi tidak usah sekarang, begitu ya? Jadi jawab saja dulu apa yang tadi ditanyakan kalau ada yang ingin dijawab.
56.
KUASA HUKUM PEMOHON : J. ROBERT KHUANA, S.H. Kalau masalah pertanyaan tadi, rekan kami sudah menjawab, sehingga khususnya bagi Pemohon dua tidak ada pertanyaan yang disampaikan, terima kasih.
57.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSIDDIQIE, S.H. Baik, kalau begitu saya anggap sudah cukup ini. Artinya untuk sidang hari ini kita anggap selesai kecuali dari pihak Pemerintah masih ada yang perlu disampaikan? Pak Jaksa Agung, cukup ya? Dan untuk selanjutnya sidang ini akan kita teruskan karena masih harus masuk ke tahap pembuktian dan di situ nampaknya hak Saudara Pemohon mau mengajukan saksi atau ahli, tetapi melihat sifat dari perkara ini yang kiranya lebih diperlukan adalah ahli. Mungkin saksi tidak terlalu perlu, karena sudah jelas masalahnya, tapi ahli silakan diajukan dan ahlinya pun bisa beragam, misalnya ahli tentang hidup dan mati. Hidup itu apa? Mati itu apa? Batasannya, sebab bisa saja hak untuk hidup, ada yang
47
menafsirkan hak untuk hidup layak bukan begitu? Itu perlu ahli mengenai hidup dan mati, terus yang kedua ahli mengenai pidana mati. Kalau bisa dikumpulkan dulu semua ahli pidana, khususnya ahli pidana mati kita dengar berapa mazhab yang hidup, mazhab berpikir yang hidup di bumi Pancasila ini, kita dengar. Tentu tidak semua, kalau ada seratus orang guru besar pidana, ya tidak perlu semua tapi setidaknya kalau ada dua atau tiga mazhab pucuk-pucuk dari mazhab berpikir, itu boleh untuk dihadirkan di sini. Untuk itu saya persilakan Pemohon mengkonsolidasikan ini, kami harap baik pihak Pemohon maupun pihak Pemerintah ini mempersiapkannya dengan tepat. Jadi jangan sembarangan, misalnya mencari siapa saja yang mau, tapi ini betul-betul mengkonsolidasikan jalan pikiran supaya perkara ini betulbetul bisa kita selesaikan. Sebab akibat dari putusan mengenai konstitusionalitas atau inkonstitusional mengenai hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotik ini, itu berpengaruh juga kepada pendapat Mahkamah Konstitusi yang sifatnya final dan mengikat terhadap keseluruhan konsep pidana mati, itu masalahnya. Oleh sebab itu, tidak bisa kita menghadirkan ahli-ahli yang sembarangan. Jadi kami minta, baik Pemerintah maupun Pemohon, tolong dikonsolidasikan ini. Kalau sekiranya ada lima mazhab, lima-lima mazhab itu silakan dihadirkan dan nanti pun kalaupun misalnya nanti kami belum puas oleh ahli-ahli yang diajukan para pihak, kami juga punya tanggung jawab untuk mencari sendiri ahli yang sama sekali berbeda dari yang diajukan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh Pemerintah, ini satu hal. Hal yang kedua mengingat mungkin sekali kepentingan atau jalan pikiran yang diusung oleh BNN sebagai pihak terkait, boleh jadi agak mirip dengan Pemerintah dalam hal ini, sekiranya memang mirip atau sama itu boleh juga dikonsolidasikan supaya mudah. Nanti ahlinya jadi satu saja tidak usah sendiri-sendiri, kecuali kalau misalnya BNN menganggap memang agak beda beda dan ingin mengajukan ahli yang sama sekali berbeda dengan yang diajukan oleh Pemerintah, karena memang sifat kepentingan BNN sebetulnya memang beda dengan Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini statusnya seperti DPR, sebagai pembentuk undang-undang yang membuat undang-undang, sedangkan BNN yang melaksanakan undang-undang. Jadi mungkin ada perbedaan, tapi sekali lagi itu terserah, dipertimbangkan saja dulu. Sekiranya nanti Saudara anggap perlu mengajukan sendiri tolong segera diajukan ke Kepaniteraan, tokh Anda sudah ditetapkan oleh Mahkamah ini sebagai Pihak Terkait langsung, jadi punya hak. Hal-hal yang tadi belum dijawab ada beberapa pertanyaan, saya rasa tadi belum terjawab—baik dari Hakim Pak Palguna maupun dari Pak Natabaya—tolong itu nanti ditambahkan, dipersiapkan jawabannya oleh pihak Pemohon ataupun oleh pihak yang tadi ditanya, termasuk juga Pak Jaksa Agung tadi akan menambahkan keterangan secara tertulis di sidang berikutnya yang tadi diajukan oleh Pak Hakim Maruarar Siahaan.
48
Saya kira demikian manajemen bagaimana ada yang mau disampaikan? 58.
persidangan
selanjutnya,
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Saya ada yang ingin kami kemukakan Ketua Majelis. Kami akan menghadirkan empat ahli yang kami sudah mulai kontak, mulai hubungi karena ini masalah manajemen waktu. Manajemen waktu tidak gampang karena tiga dari empat ahli yang akan kami ajukan berada di luar Indonesia. Profesor William Sabbas, dia profesor dari National University of Ireland-Gallway, profesor hak asasi manusia. Ini sudah menyatakan kesediaan untuk bisa memberikan keahliannya, keterangan ahlinya pada tanggal 9 atau 10 April atau pada tanggal 20 April. Jadi kami ingin memohon kepada Majelis bagaimana mengakomodasi? Karena kita ini mendatangkan orang yang datang dari Ireland (Irlandia), itu yang pertama. Hal yang kedua, kami akan mengajukan special rapporteur dari PBB, Profesor Philip Allson yang sekarang menjadi profesor di New York University School of Law, ini juga dalam proses pengaturan waktu karena sebagai special rapporteur dari PBB dia sangat sibuk, tapi kami mohon diberikan tenggang waktu yang cukup untuk bisa menghadirkan beliau karena jadwal beliau juga akan sangat padat. Satu lagi ahli kriminologi yang akan kami minta Profesor Fagan dari Columbia Law School dari Amerika Serikat, ini juga akan kita datangkan tapi waktunya belum pasti, yang pasti hanya Profesor William Sabbas tanggal 9-10 April atau tanggal 20 April, dia bisa datang ke Indonesia. Dari Indonesia kami akan minta kehadiran Profesor Sahetapy dan saya kira ini akan lebih fleksibel waktunya, tapi khusus untuk ahli-ahli yang datang dari luar Indonesia, kami mohon kebijaksanaan Majelis untuk bisa lebih fleksibel dalam mengalokasikan waktu ini supaya kita bisa mendapatkan semua penjelasan yang lebih lengkap untuk sidang ini, terima kasih.
59.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE,S.H. Ya, begini saja, jadi kalau ahli dari luar itu sudah biasa di Mahkamah ini, sudah sering. Jadi tidak ada masalah hanya menentukan jadwalnya biasanya kita yang menentukan, dia yang harus mengikuti, kita tidak bisa mengikuti jadwal mereka. Jadi ini tolong diperhatikan juga, penting juga sebagai kita sebagai bangsa, sebagai negara ya mereka yang harus ikut dengan jadwal yang kita tentukan, tentu ini harus fleksibel juga jangan misalnya seminggu, jangan begitu. Jadi ada kompromi, misalnya nanti bulan apa, bulan apa tapi hal-hal teknis ini nanti saya persilakan dibicarakan dengan Panitera mungkin kami izinkan
49
nanti misalnya ada rapat koordinasi persiapan sidang, diprakarsai oleh Panitera dengan mengundang semua pihak supaya fair. Jadi nanti pihak Pemerintah, sebetulnya kalau gedung sebelah sudah jadi nanti memang akan ada tempat dimana Pemerintah bisa gunakan sebagai tempat berkoordinasi, sehingga semua pihak bisa mengatur jadwalnya. Jadi tolong diajukan saja dulu, siapa dan pilihan waktunya kapan? Dan yang kedua prosedurnya begini, ini bisa kita selenggarakan secara teleconference, video conference. Jadi ada yang langsung bisa ke mari, tapi bisa juga melalui teleconference dan tolong ini juga nanti dibicarakan oleh Kepaniteraan saja, dibicarakan. Saya kira tidak usah kita tentukan sekarang, jadi ajukan saja tertulis. Begitu juga Pemerintah, misalnya untuk sidang selanjutnya ini kita akan tentukan, tidak usah kita tentukan dalam sidang ini, nanti ditentukan sendiri ada surat resmi dengan persiapan katakanlah tiga minggu atau dua minggu, cukup itu? Bagaimana begitu? Pemerintah? Ya, jadi kira-kira antara dua hingga tiga minggu ke depan dengan catatan misalnya segera besok atau lusa diadakan rapat koordinasi dengan Kepaniteraan. Jadi sidang-sidang di Mahkamah Konstitusi itu seperti juga sidang-sidang di parlemen, ada yang menyiapkannya, tidak rutin begitu seperti di pengadilan biasa yang karena memang perkaranya banyak sekali, sedangkan kita tidak. Jadi ini dalam rangka peradilan policy making ini, dalam rangka mengadili undang-undang kita cukup memerlukan banyak waktu untuk perdebatan, sekali lagi kita tidak mengadili Pemerintah, tidak mengadili DPR dalam perkara pengujian undang-undang ini. Kita mengadili undang-undang, jadi posisi Anda sebagai Pemohon tidak berhadaphadapan dengan Pemerintah, apalagi yang membuat undang-undang itu bukan Pemerintah yang sekarang ini. Jadi tidak relevan untuk saling menganggap saling bermusuhan, apa lagi dengan BNN. Hal yang kita sedang adili adalah undang-undang, norma yang mengikat kita semua. Nanti Pak BNN kalau sudah tidak menjabat lagi dia juga terkena oleh undang-undang itu, terkena semua kita. Jadi ini betul-betul menyangkut kepentingan kita semua yang kita mau tegakkan ialah semua undang-undang harus konstitusional, itu mau dijamin dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi ini. Saya kira demikian Saudara-saudara, saya nyatakan sidang ini ditutup dan sampai sidang selanjutnya, waktunya akan ditentukan tersendiri. Dengan ini sidang Mahkamah Konstitusi saya nyatakan ditutup.
Asalamu’alaikum wr. wb.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.55 WIB
50