5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Kuwe Blue fin trevally yang di Indonesia dikenal dengan nama ikan kuwe merupakan salah satu jenis ikan permukaan (pelagis) dan termasuk ikan karnivora. Ikan ini sangat digemari oleh masyarakat karena rasanya yang enak serta memiliki kandungan protein yang tinggi (Nelson, 1984). Ikan kuwe pada masa juvenil dapat digunakan sebagai ikan hias laut karena warnanya yang menarik. Pada saat dewasa tubuh ikan kuwe berbentuk oval dan pipih. Warna tubuhnya bervariasi, yaitu biru bagian atas dan perak hingga keputih-putihan di bagian bawah. Tubuh ditutupi sisik halus berbentuk cycloid. Klasifikasi ikan kue C. melampygus menurut Nelson (1984) adalah : Klas
: Osteichthyes
Ordo
: Perciformes
Sub ordo
: Percoide
Family
: Carangidae
Genus
: Caranx
Spesies
: Caranx melampygus
Nama lokal
: Kuwe (Jakarta), Tongkolok (Madura), Balaret (Bacan), Bobara ( Sulut, Maluku, Papua), Baura (Muna, Buton)
Gambar 1. Ikan Kuwe
6
2.1.1. Habitat dan Penyebaran Randall et al. (1990) menyatakan bahwa ikan kuwe bersifat pelagis dan aktif pada malam hari (nokturnal). Umumnya membentuk gerombolan yang besar walaupun ada juga jenis yang ditemukan hidup soliter. Ikan kelompok ini seringkali ditemukan pada perairan payau, terumbu karang dan perairan lepas pantai sampai kedalaman 350 m, namun kadang ada yang memasuki sungaisungai (Myers, 1991; John dan Lythgoe, 1992). Penyebaran ikan genus Caranx meliputi seluruh perairan tropis dan subtropis (Matsuda et al. 1984). 2.1.2. Makanan dan kebiasaan makan Cara makan dan kebiaaan makan ikan sangat berkaitan dengan morfologi eksternal dan internal dari ikan tersebut (John dan Lythgoe, 1992). Pada ikan genus Caranx, bentuk gigi canine pada rahang atas dan bawah menjadi ciri khas kelompok ikan carnivora (Myers, 1991). Adapun pakan utamanya adalah ikan dan crustasea berukuran kecil. Ikan ini juga efisien memanfaatkan pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup padat serta memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan laut lainnya (Suwirya et al. 2007). 2.2. Kebutuhan Nutrisi Ikan Kuwe 2.2.1. Kebutuhan Protein Protein adalah senyawa dengan berat molekul yang tinggi, terdiri dari sekitar 50 % carbon, 22 % oksigen, 7 % hidrogen dan 16 % nitrogen serta sejumlah kecil sulfur dan phospor (Steffens, 1989). Jumlah protein dalam tubuh ikan sekitar 65 - 85 % dari berat kering ikan tersebut (Jauncey 1982). Protein adalah penyusun pakan yang sangat penting baik secara kualitatif dan kuantitatif, karena, protein digunakan untuk pertumbuhan dan juga penting untuk produksi enzim (Steffens, 1989). Protein merupakan unsur yang sangat dibutuhkan oleh tubuh ikan, terutama untuk menghasilkan energi maupun untuk pertumbuhan (Watanabe 1988). Menurut Fujaya (1999), kebutuhan protein untuk ikan berbeda-beda menurut spesiesnya dan pada umumnya berkisar antara 20 - 60%. Ditambahkan oleh Suprayudi et al. (1994) variasi dan kebutuhan akan protein dipengaruhi oleh jenis ikan, umur ikan, daya cerna ikan, kondisi lingkungan, kualitas protein, temperatur air, dan sumber protein tersebut.
7
Ikan, terutama karnivora membutuhkan kandungan protein dalam pakannya mencapai sekitar 300% lebih tinggi dari pada kebutuhan protein pakan untuk hewan darat dan burung (Tacon & Cowey 1985; Zonneveld et al. 1991). Tingginya kebutuhan protein pakan bagi ikan disebabkan karena ikan cenderung menggunakan protein sebagai sumber energi dibandingkan karbohidrat dan lemak (Tacon & Cowey 1985; Halver 1989). Kebutuhan ikan akan protein sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ketersediaan energi non protein (lemak dan karbohidrat), spesies, ukuran dan umur ikan, kualitas protein, suhu air, serta tingkat pemberian pakan (Furuichi 1988; Watanabe 1988). Kekurangan protein akan menyebabkan ikan kehilangan bobot tubuhnya karena protein dari beberapa jaringan vital akan diambil kembali untuk memelihara fungsi jaringan yang lebih vital lagi dan untuk mengganti sel yang mati. Sebaliknya kelebihan protein pada makanan akan menyebabkan proporsi protein yang disimpan dalam jaringan hanya sedikit, sedang selebihnya akan diubah dan digunakan sebagai sumber energi. Kelebihan protein juga akan menyebabkan pembuangan nitrogen yang banyak ke lingkungan budidaya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan perbandingan antara energi dan protein yang optimum di dalam pakan (Boonyaratpalin 1991). Mutu protein dalam pakan tergantung pada macam dan jumlah asam amino serta urutan dari susunan asam amino dalam molekul protein. Sejumlah asam amino yang mutlak diperlukan dan tidak dapat disintesa dalam tubuh ikan harus disediakan dalam pakan. Asam amino tersebut disebut asam amino essensial (Steffens, 1989). Kesepuluh asam amino essensial adalah metionin, arginin, tryphtophan, threonin, histidin, leucin, lysin, fenilalanin dan valin (NRC 1993). Kebutuhan protein dalam pakan secara langsung dipengaruhi oleh pola asam amino esensial. New (1987) menyatakan bahwa asam amino yang terdapat dalam pakan dalam jumlah paling rendah akan bersifat sebagai limiting amino acid, sehingga untuk mengurangi limiting amino acid tersebut, disarankan agar meningkatkan kadar protein pakan dan manambah asam amino esensial sintetik. Keseimbangan protein dalam formulasi pakan sangat penting karena berperan besar dalam kesintasan, pertumbuhan,
serta ketahanan tubuh ikan,
terutama pada stadia larva (Anonim 2007). Kebutuhan protein pada stadia awal
8
lebih tinggi dibanding selama fase lanjutan dari pertumbuhan. Lovell (1989) menyatakan bahwa protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi jika kebutuhan energi dari lemak dan karbohidrat tidak mencukupi dan juga sebagai penyusun utama enzim, hormon dan antibodi. Atom-atom N dari gugus purin dan pirimidin nukleotida yang merupakan basa penting dari DNA dan RNA juga berasal dari asam-asam amino. Setiap spesies ikan membutuhkan kadar protein yang berbeda untuk pertumbuhannya dan dipengaruhi oleh umur /ukuran ikan, namun pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 30.0 - 50.0 % dalam pakannya (Hepher 1990). Beberapa peneliti melaporkan kebutuhan protein beberapa jenis ikan karnivora laut berkisar antara 40 - 55 % dan bervariasi menurut spesiesnya. Suwirya et al. (2007) menyatakan bahwa pakan dengan kandungan protein 42 % - 46 % memberikan respon pertumbuhan terbaik untuk ikan kuwe, sementara ikan kakap merah membutuhkan pakan dengan kadar protein 42.5 % (SEAFDEC 1998). Kebutuhan protein pada stadia juvenil untuk beberapa jenis ikan kerapu relatif tinggi yaitu diatas 47%. Benih kerapu bebek membutuhkan pakan dengan kandungan protein 54.2 % (Giri et al. 1999), benih kerapu macan membutuhkan protein pakan 45 – 50 % (Laining et al. 2003; Kabangnga et al. 2004). 2.2.2. Kebutuhan Energi Energi sangat diperlukan untuk proses metabolisme, perawatan tubuh (maintenance), aktivitas fisik, pertumbuhan, dan reproduksi (NRC 1993). Pertumbuhan ikan sangat bergantung kepada energi yang tersedia dalam pakan. Kebutuhan energi untuk maintenance harus dipenuhi terlebih dahulu, selebihnya akan digunakan untuk pertumbuhan (Lovell 1988). Pertumbuhan atau pembentukan jaringan tubuh paling besar dipengaruhi oleh keseimbangan protein dan energi dalam pakan. Pakan yang mempunyai kadar protein tinggi belum tentu dapat mempercepat pertumbuhan apabila total energi pakan rendah. Karena energi pakan terlebih dahulu dipakai untuk kegiatan metabolisme
standar
(maintenance)
seperti
untuk
respirasi,
transportasi
ion/metabolit dan pengaturan suhu tubuh serta untuk aktivitas fisik lainnya. Energi untuk seluruh aktivitas tersebut diharapkan sebagian besar berasal dari nutrien non-protein (lemak dan karbohidrat). Apabila sumbangan energi dari
9
bahan non-protein tersebut rendah, maka protein akan didegradasi untuk menghasilkan energi, sehingga fungsi protein sebagai nutrien pembangun jaringan tubuh akan berkurang. Dengan kata lain, penambahan nutrien non-protein sebagai penghasil energi dapat menurunkan penggunaan protein sebagai sumber energi (protein sparing effect) sehingga dapat meningkatkan fungsi protein dalam menunjang pertumbuhan ikan (Furuichi 1988). Untuk mengetahui kebutuhan energi pada ikan, harus terlebih dahulu mengetahui tingkat kebutuhan protein optimal dalam pakan bagi pertumbuhan. Nilai DE/P (Perbandingan antara Digestible Energi dan Protein) bagi pertumbuhan optimal ikan berkisar antara 8-9 kkal/g. Jika tingkat energi protein dalam pakan lebih rendah dari nilai DE/P optimal, menunjukkan bahwa sumber energi dalam pakan (terutama yang berasal dari lemak dan karbohidrat) tidak mencukupi kebutuhan tubuh ikan. Dengan demikian ikan akan mendapat energi dari asam amino melalui proses glukoneogenesis atau perombakan asam amino menjadi energi sehingga asam amino yang peruntukkannya untuk sintesa protein tubuh jadi berkurang. Sebaliknya jika DE/P melebihi batas optimal, ikan cepat merasa kenyang, sehingga konsumsi pakan menurun. Pengaturan konsumsi pakan oleh ikan merupakan pengaturan energi yang masuk, sehingga jumlah pakan yang dikonsumsi disesuaikan dengan laju metabolismenya. Pada dasarnya ikan akan mengkonsumsi pakan pada saat merasa lapar (nafsu makan tinggi) dan jumlah pakan yang dikonsumsi akan semakin menurun bila ikan mendekati kenyang (Hepher 1988) 2.2.3. Rasio Protein dan Energi Kandungan protein pakan yang tinggi akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan ikan jika tidak diimbangi kandungan energi yang cukup. Jika energi dalam pakan berlebihan, akan menyebabkan terjadinya penimbunan lemak pada jaringan, serta berkurangnya konsumsi protein, vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan vitalitas dan pertumbuhan. Sebaliknya jika kandungan energi dalam pakan rendah, menyebabkan sebagian protein sebagai sumber energi digunakan untuk proses metabolisme. Oleh karena itu untuk mendapatkan laju pertumbuhan yang optimal maka ikan harus diberikan pakan
10
yang mengandung protein dan energi yang seimbang secara cukup dan terus menerus. Beberapa hasil penelitian pada ikan karnivora laut lainnya seperti yuwana ikan kerapu Epinephelus malabaricus (ukuran 9,2 - 40 g) membutuhkan protein pakan 44% dengan kandungan energi sekitar 340 - 375 kkal DE/100 g (Shiau dan Lan 1996). Ikan Sciaenops ocellatus ukuran 92,3 - 737 g membutuhkan protein dan energi pakan berturut-turut 45% dan 378,3 kkal DE/100 g pakan (McGoogan dan Gatlin III 1999). Ikan ekor kuning, Seriola dumerilii, ukuran 146-1249 g membutuhkan protein pakan 48,7% dan energi sekitar 411 kkal DE/100 g pakan (Jovert et al. 1999). Yuwana ikan kerapu bebek ukuran 4 - 50 g membutuhkan pakan dengan kandungan protein 45,3% (Rachmansyah et al. 2001), rasio protein energi 124,9 mg/kkal pada kadar protein 56,2% (Giri et al. 2001), serta rasio protein lemak 48/12 (Rachmansyah et al. 2001), ikan kakap merah membutuhkan protein pakan 42,5 % dengan rasio protein energi 130 mg/kkal (SEAFDEC,1998). 2.2.4. Lemak Ikan membutuhkan lemak di dalam pakannya sebagai sumber energi, penyediaan lemak essensialnya, mempertinggi penyerapan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak, menyediakan prekursor untuk hormon steroid serta memberi aroma pada ikan. Lemak bagi ikan penting untuk daya apung tubuh dalam air (Tucker dan Robinson 1999). Seperti hewan vertebrata, pada umumnya ikan tidak mampu mensintesa asam-asam linoleat 18:2 (n - 6) dan asam linolenat 18:3 (n - 3), oleh karena itu satu atau keduanya harus disuplai dari pakan. Kebutuhan asam lemak essensial ini tergantung pada kemampuan ikan untuk memodifikasi asam lemak ini secara metabolis. Kebutuhan ikan akan asam-asam lemak esensial berbeda untuk setiap spesies ikan (Furuichi 1988). Perbedaan kebutuhan ini terutama dihubungkan dengan habitatnya. Ikan yang hidup di laut lebih memerlukan asam lemak n-3, sedangkan ikan yang hidup di air tawar ada yang hanya membutuhkan asam lemak n-3 atau kombinasi asam lemak n-3 dan n-6 (Hepher 1990). Perbedaan yang utama antara ikan air tawar dan air laut adalah bahwa ikan air tawar membutuhkan asam linoleat, atau linolenat atau keduanya. Ikan air laut
11
membutuhkan asam eikosapentonat (EPA, 20:5 n - 3) dan atau asam dekasohexaenat (DHA 22:6 n – 3) ( NRC 1993). Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat maupun protein, satu gram lemak dapat menghasilkan 8 - 9 kkal energi sedangkan protein dan karbohidrat kurang lebih 4 kkal/gram (NRC 1983). Giri (1999) melaporkan bahwa kebutuhan lemak dalam suatu pakan berbeda tergantung pada stadia ikan, jenis ikan dan lingkungan, hal ini dtunjukan pada ikan Labto rahita ukuran 7.5 gram, pertumbuhan yang terbaik adalah yang diberi pakan dengan kandungan lemak 6%. Disamping itu jenis lemak yang digunakan dalam pakan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan efisiensi pakan. Hal tersebut ditunjukan oleh Tucker et al. (1997) bahwa ikan red drum (Sciaenops ocellalus) hanya dapat memanfaatkan minyak kedelai dan minyak menhaden dalam pakan masing-masing sebesar 1.5% dan 12.7%. Hal ini ada kaitannya dengan kualitas lemak yang ditentukan oleh komposisi asam lemaknya dan kebutuhan asam lemak essensial dari ikan. Ikan kerapu E. aerolatus yang diberi pakan dengan kandungan lemak 10 % pada pakan yang mengandung 60% protein menghasilkan pertumbuhan yang baik (Chu et al. 1996).
Menurut Cho dan Watanabe (1985) lemak yang
dibutuhkan ikan berkisar antara 4 - 18 %. Ikan yang terlalu banyak mengkonsumsi lemak akan mengalami penimbunan asam lemak pada dinding rongga abdominal dan usus sehingga terjadi gejala lever lipid degeneration (LLD), kerusakan pada ginjal, edema dan anemia yang dapat menimbulkan kematian (Syamsul 2000). Selanjutnya Hung et al. (1997) menyatakan bahwa ikan Sturgeon Acipenser transmontanus yang diberi pakan dengan kandungan lemak tinggi dengan rasio energi pakan yang rendah akan menyebabkan laju pertumbuhan spesifik yang rendah. 2.2.5. Karbohidrat 2.2.5.1. Kebutuhan Karbohidrat dalam Pakan Pada ikan dan udang tidak terdapat kebutuhan yang absolut atau mutlak akan karbohidarat dalam pakan. Hal ini sangatlah berlawanan dengan protein dan lemak pakan, dimana kebutuhannya secara spesifik telah diketahui dengan jelas hingga asam amino dan asam lemak tertentu. Ikan memang tidak mempunyai
12
kebutuhan yang spesifik akan karbohidrat pakan. Namun, kelebihan karbohidrat dalam pakan dapat menyebabkan hati membengkak dan glikogen terakumulasi dalam hati. Menurut Tacon (1990), karbohidrat didalam pakan terutama berfungsi sebagai sumber energi. Glukosa sebagai produk akhir pencernaan karbohidrat menyediakan energi untuk jaringan syaraf dan otak, sebagai metabolik perantara pada sintesis senyawa-senyawa biologi penting seperti asam ribonukleat (ARN) dan asam deoksiribonukleat (ADN) serta eskresi mikropolisakarida mucus. Walaupun belum ada ketentuan yang mutlak tentang jumlah karbohidrat yang dibutuhkan dalam pakan ikan, tetapi bila karbohidrat tidak dipenuhi dalam pakan, senyawa yang lain seperti protein dan lemak akan dikatalis untuk energi, selain itu untuk sintesa bermacam-macam senyawa biologi selalu berasal dari karbohidrat (NRC 1993). Karbohidrat yang paling penting pada ikan adalah glikogen, glukosa, laktat dan pirufat (Steffens 1989). Karbohidrat diperlukan untuk keseimbangan dengan protein dan sebagai zat pengikat dalam pembuatan pakan (Dupree et al. 1984). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa karbohidrat berfungsi sebagai prekusor untuk bermacam-macam metabolit asam amino non esenssial dan asam-asam lemak. Manfaat lain dengan adanya karbohidrat dalam pakan adalah pakan yang mengandung karbohidrat dan lemak yang tepat dapat mengurangi penggunaan protein sebagai sumber energi yang dikenal sebagai protein sparing effect. Terjadinya protein sparing effect oleh karbohidrat dan lemak dapat menurunkan biaya produksi (pakan) dan mengurangi pengeluaran limbah nitrogen ke lingkungan (Peres dan Teles 1999). Watanabe (1988) menyatakan bahwa karbohidrat yang dapat dimanfaatkan serta baik untuk pertumbuhan ikan karnivora kira-kira sebesar 10 - 20%, tapi ada pengecualian untuk beberapa species. Kemampuan ikan untuk memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi tergantung pada kapasitas enzimatiknya untuk mensekresi alfa amilase. Aktifitas enzim yang terbesar terdapat pada ikan-ikan herbivora, kemudian omnivora dan terakhir karnivora. Dengan demikian ikan-ikan herbivora dan omnivora dapat memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi lebih baik bila dibandingkan dengan ikan karnivora (Brett dan Groves 1979). Walaupun ikan karnivora kurang dapat mencerna karbohidrat dengan baik namun kenyataannya ikan-ikan tersebut
13
dapat mensintesa karbohidrat dari lemak dan protein. Metabolisme karbohidrat dalam tubuh juga dapat dibentuk dari asam amino dan gliserol, proses ini disebut glukoneogenesis. Kira-kira 60 % asam amino dalam tubuh dapat diubah menjadi karbohidrat, sedangkan sisanya 40 % tidak dapat diubah. Karbohidrat yang telah diubah menjadi glukosa, dapat segera ditransport menjadi energi atau disimpan dalam bentuk glikogen dalam hati dan otot (daging). Kecepatan transpor glukosa kedalam sel tergantung dari aktifitas hormon insulin (Fujaya 2004). 2.2.5.2. Pebentukan dan Pemanfaatan Glikogen Glikogenesis adalah suatu proses pembentukan glikogen sebagai energi cadangan yang berasal dari kelebihan glukosa sebagai sumber energi metabolis baik di organ hati maupun di otot (daging) yang dipacu oleh hormon insulin. Glukosa yang berasal dari hasil hidrolisa karbohidrat disaluran pencernaan dan masuk ke dalam darah sebagian dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam sel dan sebagain lagi disimpan sebagai energi cadangan dalam bentuk glikogen baik di hati maupun di daging. Indikasi terjadinya proses glikogenesis baik pada hati maupun pada daging adalah dengan mengukur kadar glikogen hati dan daging. Meskipun glikogen merupakan sumber bahan bakar utama selama metabolisme anaerobik (yaitu pada proses glikogenolisis) di dalam white muscle ikan selama aktivitas berenang, namun kemampuan liver dan jaringan untuk menyimpan glikogen adalah terbatas. Total karbohidrat yang tersimpan sebagai glikogen tidak lebih dari 1% bobot basah jaringan. Karbohidrat yang tersimpan dalam bentuk glikogen akan segera digunakan dan dirombak kembali menjadi energi saat hewan mamalia kelaparan (fasting state condition). Fenomena ini disebut dengan glikogenolisis, dan yang terjadi saat kadar glukosa darah turun kembali. Berbeda dengan mamalia yang dengan segera menggunakan glikogen cadangan saat lapar, ikan tidak dengan cepat memobilisasi cadangan glikogen yang tersimpan dalam hatinya bilamana ikan tersebut kelaparan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang mengindikasikan bahwa oksidasi zat-zat nonkarbohidrat (yaitu protein dan lemak) pada ikan yang dilaparkan mendahului mobilisasi dan hidrolisis glikogen. Dengan demikian, lemak dan protein cenderung dirombak menjadi energi terlebih dahulu (yaitu pada proses yang disebut dengan glukoneogenesis) sebelum perombakan glikogen (proses
14
glikogenolisis) terjadi. Lambatnya pemanfaatan glikogen cadangan pada ikan juga mengindikasikan bahwa kapasitas ikan untuk mengoksidasi glukosa secara aerobik agak terbatas. 2.3. Eskresi Amonia Konsumsi pakan dapat meningkatkan produksi panas dalam tubuh, juga meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan dalam laju metabolik ini dikenal sebagai spesific dynamic action (SDA) dari pakan yang dikonsumsi. Pada ikan SDA meningkat cepat setelah makan mencapai maksimum, dan setelah itu menurun secara teratur sampai level sebelum makan. Biokimia SDA belum sempurna dipahami, tetapi energi yang dilepaskan pada umumnya terjadi karena deaminasi asam amino. Apabila laju pencernaan asam amino lebih besar dari laju penggunaannya dalam sintesa protein, asam amino yang berlebihan akan dideaminasi,
sehingga
memungkinkan
terjadinya
oksidasi
biologis
atau
penimbunan sisa karbon. Jika karbohidrat dan lemak yang digunakan sebagai sumber energi, maka lemak dan karbohidrat ini akan menghasilkan oksidasi lengkap menjadi karbondioksida dan air, tetapi jika protein dipakai sebagai sumber energi, hanya ikatan karbonnya yang dipakai sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen (Amino) tidak dipakai sebagai sumber energi, maka tidak dapat dimetabolisme dan harus dikeluarkan. Proses kimia dimana gugus amino dikeluarkan dari asam amino dikenal sebagai proses transaminasi dan deaminasi. Reaksinya dikatalisis oleh enzim amino transferase di dalam sitosol hepatocyt dan enzim glutamate dehidrogenase dalam mitokondria. Amonia yang telah terbentuk kemudian dilepaskan ke pembuluh darah hepatik untuk selanjutnya diangkut ke organ pengeluaran yang dalam hal ini insang melalui sistem sirkulasi darah (Hepher 1990; Dosdat et al. 1996). Nitrogen yang dieskresikan oleh ikan khususnya ikanikan teleostie sebagian besar berupa amonia (75 – 90 %). Karena ikan mengeluarkan kelebihan nitrogen dalam bentuk amonia, maka ikan dikenal dengan hewan ammonotelik. Esksresi amonia menunjukkan jumlah relatif protein pakan yang dicerna untuk sintesis protein atau sumber energi (Ming, 1985). Amonia dalam perairan terdapat dalam dua bentuk yaitu un-ionized (NH 3 ) dan ionized (NH 4 +). Amonia
15
dalam bentuk NH 3 bersifat lipofilik yang mudah berdifusi melalui membran respirasi sehingga bersifat toksik bagi kehidupan akuatik dibandingkan NH 4 + yang kemampuan penetrasinya ke dalam membran respirasi lebih kecil (Jobling 1994). Meningkatnya eskresi amonia dengan cepat lebih banyak disebabkan oleh laju eskresi nitrogen eksogenous yang lebih tinggi dibandingkan eskresi nitrogen endogenous (Ming 1985). Laju eskresi amonia eksogenous lebih banyak dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi (kadar protein pakan, kualitas protein bahan pakan, keberadaan energi non-protein) dan laju pemberian pakan, sedangkan eskresi amonia endogenous diperoleh dari deaminasi asam amino hasil katabolisme protein jaringan tubuh (Jobling 1994). Ming (1985) mengemukakan bahwa eskresi amonia meningkat dengan cepat sebagai respon terhadap penambahan protein pakan. Degani et al. (1985) menyatakan bahwa produksi amonia berkolerasi secara linier dengan kadar protein pakan. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitiannya dimana produksi ikan Anguilla-anguilla yang diberi pakan dengan protein 25 – 35% lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi pakan 45 – 55% protein. Jobling (1994) mengemukakan bahwa eskresi amonia ikan yang diberi pakan lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang puasa, peningkatan tersebut bahkan bisa sampai 2 kali lebih tinggi (Koshio et al. 1993). Eskresi amonia akan meningkat begitu selesai mengkonsumsi pakan dan beberapa jam kemudian terjadi puncak eskresi. Selanjutnya Dosdat et al. (1996) dalam penelitiannya melihat bahwa eskresi amonia tertinggi pada ikan berukuran 10 g ditemukan 3 – 5 jam sehabis mengkonsumsi pakan dan pada ikan berukuran 100 g terlihat 5 – 8 jam setelah makan. Tinggi rendahnya amonia yang dikeluarkan ikan bergantung pada kadar protein pakan, keberadaan energi non-protein (rasio energi protein), kualitas protein bahan pakan dan kondisi lingkungan hidupnya (pH dan temperatur). Tingkat toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan perairan, dimana konsentrasi amonia meningkat dengan meningkatnya pH dan temperatur. Lingkungan yang mempunyai konsentrasi amonia tinggi dapat
16
menyebabkan ikan stres, menghambat pertumbuhan dan dapat menyebabkan kematian ikan (Jobling 1994). Tingkat toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda dan bergantung pada spesies, kondisi fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya (Ming 1985). Secara umum konsentrasi amonia dalam air tidak boleh lebih dari 1 mg/1. Konsentrasi amonia sebesar 0.4–2 mg/1 dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan kematian pada ikan.