2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Peperek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan peperek (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Percoidea
Divisi
: Perciformes
Famili
: Leiognathidae
Genus
: Leiognathus
Spesies
: Leiognathus spp.
Nama Indonesia : Pepetek, petek, peperek, kopeh, maco, pettah, dodok, dan gampar
Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : www.pipp dkp.co.id
Ikan peperek memiliki morfologi tubuh yaitu sirip punggung memiliki delapan jari-jari keras diikuti oleh 15-16 jari-jari lemah (D.VIII.15-16), sirip ekor memiliki
6
tiga jari-jari keras diikuti oleh 14-15 jari-jari lemah (A.III. 14-15). Panjang kepala 1/3 panjang total, panjang tubuh kurang dari tiga kali tinggi, tinggi badan 1/1,7 tinggi kepala, diameter mata 1/2,5 panjang kepala. Badan agak lebar, pipih, mulut lurus, bila ditarik ke depan membentuk corong serong ke bawah. Mempunyai gigi kecil pada rahang, sisik-sisik pada garis linea literalis adalah 55 - 60. Bentuk linea literalis lebih cekung bila dibandingkan dengan punggung dan berakhir di pangkal ekor, jari-jari keras sirip punggung kuat, jari yang kedua kurang dari setengah tinggi badan (de Beaufort 1931 in Badrudin 1988). Warna badan putih keperakan, sisik pada garis rusuk kuning cerah. Pada ikan-ikan yang masih muda terdapat garis-garis menggelombang melintang pada bagian atas badan. Ukuran ikan ini dapat mencapai panjang total 140 mm, umumnya adalah 60 - 120 mm (Djajadiredja 1979). Menurut Pauly (1977) bahwa umumnya ukuran ikan peperek untuk penangkapan komersial adalah 50-100 mm. Di pantai utara Jawa, panjang maksimal mencapai 150 mm dan di Selat Malaka pada bulan Oktober 1985 ditemukan kisaran panjang mencapai 5,5 14 cm (Rusmadji dan Badrudin 1987 in Saadah 2000). Pada kawasan Indo-Pasifik dapat dijumpai sekitar 30 jenis spesies peperek, dan 20 diantaranya terdapat di perairan Indonesia. Ikan peperek ini umumnya digolongkan ke dalam tiga genus yakni Leiognathus, Gazza, dan Secutor. Ketiga genus ini dapat dibedakan dari bentuk mulut dan giginya. Gazza memiliki gigi taring, sedangkan yang lainnya hanya gigi kecil dan mulut yang dapat dijulurkan ke depan dengan mengarah ke atas (Secutor) ataupun ke bawah (Leiognathus). Bentuk mulut dan gigi disesuaikan dengan kebiasaan mencari makan. Leiognathus dengan mulut yang dapat dijulurkan menghadap ke bawah cocok untuk kebiasaannya mencari makanan di dasar laut berupa detritus atau berbagai hewan dan tumbuhan kecil (Nontji 2002). Menurut Pauly (1977), ikan peperek memiliki ciri utama yaitu dapat memancarkan cahaya berwarna putih keperakan yang disebut dengan bioluminescence. Cahaya dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difuse yang cenderung memecah bayangan dirinya menjadi tak utuh. Akibatnya pemangsa potensial tidak dapat melihat nyata ikan ini sehingga dapat terhindar dari perhatian pemangsa tersebut.
7
2.1.2. Jenis-jenis ikan peperek 2.1.2.1. Leiognathus elongatus (Günther, 1874) Leiognathus elongatus (Gambar 2) memiliki badan yang ramping dan sedikit pipih, kepala panjang ke depan tetapi bagian pipi dan dada tertutup oleh sisik-sisik kecil, terdapat nuchal spine. Mulut dapat disembulkan ke bawah. Warna badan keperak-perakan, bagian belakang dengan warna hitam tidak tetap dan gelap. Sirip punggung bagian depan memiliki warna kuning berbentuk pita mendatar dan ujung bagian belakang berwarna orange. Sirip dubur antara tulang keras kedua dan ketiga berwarna kuning seperti juga pada ujung bagian depan sirip dorsal. Ikan jantan memiliki garis-garis biru membujur pada perut (FAO 1974).
Gambar 2. Leiognathus elongatus (Günther, 1874) Sumber : www.fishbase.com
2.1.2.2. Leiognathus equulus (Forsskål, 1775) Ikan ini berukuran lebar, badan tinggi pipih dengan bagian belakang membentuk sudut (Gambar 3). Kepala runcing ke depan dan terdapat nuchal spine pada punggung. Mulut dapat disembulkan ke bawah dan sirip dada memanjang sampai atau mendekati sirip dubur. Badan berwarna keperak-perakan, agak redup, tipis, dan memiliki garis-garis vertikal pada bagian belakang. Terdapat warna coklat kecil berbentuk sadel/pelana pada ekor bagian atas. Sirip punggung tidak berwarna (transparan), sirip dada agak gelap dan sirip dubur kekuning-kuningan (FAO 1974).
8
Gambar 3. Leiognathus equulus (Forsskål, 1775) Sumber : www.fishbase.com
2.1.2.3. Leiognathus splendens (Cuvier, 1829) Jenis ikan ini memiliki badan yang pipih dan agak tinggi, kepala runcing ke depan dan terdapat nuchal spine pada bagian punggung (Gambar 4). Mulut pendek, lebih pendek dari diameter lingkaran mata dan mulutnya dapat disembulkan ke bawah. Panjang sirip perut tidak sampai ke sirip dubur. Warna dari badan keperakperakan, terdapat linea lateralis berawal dari sirip dada hingga ujung sirip ekor. Sirip dubur berwarna kuning cerah terkadang terdapat titik-titik hitam pada bagian jari keras ke tiga dari sirip punggung (FAO 1974).
Gambar 4. Leiognathus splendens (Cuvier, 1829) Sumber : www.fishbase.com
2.1.3 Distribusi dan migrasi Penyebaran ikan peperek di dunia meliputi kawasan Indo Pasifik Barat, Timur London, Laut Merah, Afrika Selatan, Teluk Benggala, sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, Philipina, Taiwan, Pantai Utara Australia, ke Barat sampai Pantai Afrika
9
Timur (Comors, Seychelles, Madagaskar, dan Mauritus), Teluk Persia, Fiji, Utara ke Pulau Ryukyu, dan Selatan Australia (Gambar 5). Selain itu, ikan peperek banyak terdapat di perairan Utara Jawa. Ikan ini juga tersebar di bagian timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, Sulawesi Selatan, Selat Tiworo, Arafuru, Teluk Benggala, sepanjang pantai India, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, Philipina sampai utara Australia (Ditjen Perikanan 1993 in Saadah 2000). Menurut Pauly (1977), ikan peperek yang hidup di perairan Indonesia, Kalimantan, dan perairan India berada pada kedalaman kurang lebih antara 20 - 40 m dan hidup berkelompok pada kedalaman 40 - 60 m.
Gambar 5. Peta distribusi ikan peperek di dunia Sumber : www.fishbase.com Laevastu & Hayes (1981) mengatakan bahwa banyak ikan melakukan ruaya menuju ke arah kutub selama musim panas dan menuju daerah ekuator di musim dingin. Hal ini terjadi dikarenakan adanya pengaruh secara langsung dari suhu atau pengaruh suhu secara tidak langsung terhadap keberadaan makanan. Ikan peperek biasanya hidup di dasar perairan yang dangkal dan membentuk gerombolan yang besar. Operasi penangkapan ikan dengan trawl, trammel net ataupun bagan dapat memperoleh ikan peperek dalam jumlah yang sangat besar. Karena ukurannya yang relatif kecil di beberapa negara Asia seperti Thailand ikan ini hanya dimanfaatkan untuk tepung ikan, ikan asin, dan makanan bebek. Jenis ikan peperek yang banyak dikonsumsi yakni spesies Leiognathus equulus karena ukurannya yang lebih besar dari 15 cm bahkan mencapai 26 cm (Beck & Sudradjat 1978).
10
Menurut Beck & Sudradjat (1978), ikan peperek hidup bergerombol di dasar perairan dangkal berada pada kedalaman antara 5 - 60 m. Nilai tangkapan tertinggi diperoleh pada kedalaman 10 - 20 m, dengan rata-rata maksimum pada kedalaman 15 m di pantai Utara Jawa. Nilai tangkapan tertinggi ikan peperek terdapat di dasar lumpur dan lumpur pasiran, akan tetapi ikan ini dapat hidup di substrat pasir, coral, dan gravel (Widodo 1980 in Saadah 2000). Jenis ikan demersal memiliki daya tahan yang rendah terhadap penangkapan terutama disebabkan ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktifitas gerak yang relatif rendah sehingga apabila intensitas penangkapan meningkat maka mortalitas akibat penangkapan akan meningkat juga (Badrudin 1988).
2.1.4. Makanan dan kebiasaan makan Makanan ikan peperek umumnya adalah organisme bentik yang terdiri atas hewan invertebrata dan tumbuhan. Organisme tersebut meliputi foraminifera, polychaeta, ostacoda, decapoda, diatom, zooplankton seperti copepoda dan telurtelur ikan (Pauly 1977). Dalam rantai makanan, fitoplankton sebagai (primary producer) akan dimakan oleh zooplankton sebagai primary consumer selanjutnya ikan peperek akan memakan zooplankton. Ikan peperek sebagai pemakan kedua (second consumer) akan dimangsa oleh pemakan selanjutnya seperti ikan layur. Panjang pendeknya rantai makanan bergantung kepada macam, ukuran, umur ikan (Effendie 1997). Menurut Lagler (1970), jenis makanan yang dimakan oleh suatu jenis ikan biasanya tergantung pada umur ikan, tempat, dan musim. Adapun organ tubuh yang berperan dalam pengambilan makanan adalah mulut, gigi, tapis insang, lambung, dan usus. Ikan peperek memiliki bentuk mulut dan gigi yang disesuaikan dengan kebiasaan mencari makan. Pada ikan peperek mulut dapat dijulurkan menghadap ke bawah, cocok dengan kebiasaan mencari makan di dasar laut berupa detritus atau berbagai hewan dan tumbuhan kecil (Nontji 2002). Lisnawati (2004) mengatakan bahwa ikan peperek merupakan ikan omnivora yang memiliki variasi makanan yang besar (Euryphagic). Dalam memanfaatkan makanan, ikan peperek jantan lebih bersifat selektif apabila dibandingkan dengan ikan peperek betina. Ikan peperek jantan dan betina memiliki peluang kompetisi yang cukup besar dalam
11
memanfaatkan sumberdaya makanan. Menurut Pauly (1977), ikan peperek memiliki rasio panjang usus dengan panjang baku berkisar antara 2,64 - 3,12.
2.1.5. Waktu dan musim pemijahan Menurut Chaerrudin (1977) in Saadah (2000), ikan peperek pada bulan Maret, ovarinya masih dalam tahap perkembangan. Ovari dengan telur yang sudah masak terdapat pada bulan April dan Mei serta pada bulan Juli, Agustus, dan September sedangkan bulan Mei dan November ovari sudah mulai kosong. Dari keadaan tersebut diduga masa pemijahan terjadi pada bulan Maret dan Juli. Pemijahan pertama berlangsung sekitar 3 bulan sedangkan pemijahan kedua berlangsung 3 bulan juga. Ikan peperek termasuk ikan yang partial spawner. Pengaruh lingkungan yang terjadi sangat memiliki pengaruh pada ikan ataupun stok terutama mempengaruhi musim pemijahan yang sedang berlangsung dan perkembangan larva atau telur dimana rekruitmen dapat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang anomali. Perubahan suhu yang anomali sepanjang musim pemijahan dapat menunda terjadinya pemijahan dan menyebabkan perubahan tempat untuk memijah (Laevastu & Hayes 1981). Ikan pelagis dan demersal melakukan migrasi musiman secara horizontal biasanya ke perairan yang dangkal atau mendekat ke arah permukaan selama musim panas dan menuju ke permukaan yang dalam selama terjadinya musim dingin. Menurut Saadah (2000), diduga ikan peperek memijah pada bulan Mei. Ikan peperek mencapai ukuran pertama kali matang gonad pada panjang 9 cm (Pauly 1977).
2.2. Pertumbuhan Menurut Effendie (1997), pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu sedangkan pertumbuhan bagi populasi adalah sebagai pertambahan jumlah. Sesudah masa larva berakhir bentuk ikan akan hampir serupa dengan bentuk induknya. Pada umumnya, perubahan tersebut hanya perubahan kecil seperti panjang sirip dan kemontokan tubuh. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor ini dapat digolongkan menjadi dua macam yakni faktor dalam dan faktor luar. Faktorfaktor tersebut ada yang dapat dikontrol dan bahkan ada yang tidak dapat dikontrol.
12
Faktor dalam merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol diantaranya adalah keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan. Di daerah tropis, makanan merupakan faktor yang lebih penting daripada suhu perairan. Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk bobot ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai satu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dengan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 1997). Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya apabila ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b≠3) menunjukkan pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pola pertumbuhan allometrik positif bila b>3, yang menunjukkan bahwa pertambahan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang sedangkan pola pertumbuhan allometrik negatif apabila nilai b<3, hal ini menandakan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (Effendie 1997). Menurut King (1995) dalam sudut pandang perikanan pertumbuhan sebagaimana rekrutmen mempengaruhi bobot tangkapan berkelanjutan yang dapat diambil dari suatu stok ikan. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi. Menurut Beverton & Holt (1957) mengatakan bahwa persamaan pertumbuhan von Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan populasi ikan yang memuaskan. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre dan Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan panjang ratarata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan dengan
13
menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999). Parameter-parameter yang digunakan dalam menduga pertumbuhan populasi yaitu panjang infinitif (L∞) yang merupakan panjang maksimum secara teoritis, koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yang merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Sparre & Venema 1999).
2.3. Alat Tangkap Ikan Peperek Umumnya ikan peperek di Palabuhanratu tertangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan (raft lift net) dan payang. Ikan peperek di Palabuhanratu dominan tertangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan (Gambar 6). Jaring angkat adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring persegi panjang atau bujur sangkar yang direntangkan atau dibentangkan dengan menggunakan kerangka dari batang kayu atau bambu (bingkai kantong jaring) sehingga jaring angkat membentuk kantong. Alat tangkap ini memiliki cara pengoperasian yang dilakukan dengan menurunkan dan mengangkatnya secara vertikal. Alat ini memiliki jaring yang terbuat dari nilon yang menyerupai kelambu, ukuran mata jaringnya relatif kecil yaitu 0,5 cm. Bentuk alat ini menyerupai kotak, dalam pengoperasiannya dapat menggunakan lampu atau umpan sebagai daya tarik ikan. Jaring ini dioperasikan dari perahu, rakit, bangunan tetap atau dengan tangan manusia. Alat tangkap ini memiliki ukuran mesh size yang sangat kecil dan efektif untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil. Kecenderungan jaring angkat bersifat destruktif dan tidak selektif.
Gambar 6. Alat tangkap bagan apung Sumber. Dokumentasi pribadi
14
2.4. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Beberapa penyebab kematian terhadap suatu populasi ikan adalah melalui penangkapan, pemangsaan, penyakit, dan sebagainya. Beberapa penyebab kematian tersebut digolongkan menjadi dua macam yakni mortalitas penangkapan dan mortalitas alami (Effendie 1997). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Penyebab terbesar yang menyebabkan banyak kematian pada ikan adalah adanya predasi. Mortalitas dapat disebabkan oleh adanya perubahan suhu yang abnormal dan cepat walaupun dimana suhu cenderung berada jauh di atas titik beku dan aklimatisasi suhu pada spesies ikan relatif tinggi. Dinamika lapisan minimum oksigen di wilayah tropis dan upwelling dapat menyebabkan mortalitas massa. Banyak faktor yang menyebabkan kematian pada ikan seperti misalnya penyakit, stress saat pemijahan, dan sebagainya (Laevastu & Hayes 1981). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Oleh karena itu, laju eksploitasi juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap lalu dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995). Pauly (1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5.
2.5. Pengkajian Stok Ikan Stok merupakan kelompok spesies yang terpisah yang menunjukkan sedikit percampuran dengan kelompok sekelilingnya. Sifat utamanya yakni bahwa
15
parameter pertumbuhan dan mortalitas tetap konstan untuk seluruh wilayah sebaran stok tersebut sehingga kita dapat menggunakannya untuk kajian stok. Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan dimana dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas menggambarkan suatu laju kematian yakni jumlah kematian per unit waktu (Sparre & Venema 1999). Menurut Gulland (1983), sifat utama suatu stok yakni parameter pertumbuhan dan mortalitas tetap konstan di seluruh wilayah penyebarannya. Perikanan didasarkan pada stok spesies liar yang hidup di lingkungan yang alami. Stok ini tidak dapat dikontrol secara langsung dengan cara yang tepat oleh manusia untuk mengontrol stok domestiknya. Namun demikian stok suatu spesies ikan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan untuk meningkatkan suatu taraf dan kesuksesan perikanan bergantung pada keadaan stok dari ikan itu sendiri. Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam hal lingkungan, proses rekrutmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, populasi organisme mangsa (prey), pemangsa (predator) atau pesaing (kompetitor). Menurut Widodo & Suadi (2006), proses penipisan stok sering diikuti oleh lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratakan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam struktur populasi ikan (ukuran, umur), dan perubahan komposisi spesies ikan (ekologi perikanan). Dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaan (Widodo et al. 1998).
2.6. Maximum Economic Yield (MEY) Gordon memasukkan kajian ekonomi terhadap model Schaefer untuk menjelaskan hubungan antara sumberdaya ikan dengan usaha penangkapan ikan. Interaksi biologi-ekonomi ini dikenal sebagai model Gordon-Schaefer. Konsep MEY (maximum economic yield) yang mendeskripsikan tingkat effort yang menghasilkan rente sumberdaya maksimum (yaitu selisih terbesar antara penerimaan
16
dengan biaya). Konsep MEY ini kemudian ditetapkan sebagai salah satu target reference point pengelolaan sumberdaya seperti disajikan pada Gambar 7 (www.perizinan.dkp.go.id).
Gambar 7. Grafik konsep MEY dalam model Gordon Schaefer Sumber : www.perizinan.dkp.go.id
Jumlah orang yang memiliki minat (interest) untuk memaksimumkan keuntungan sangat jarang bila dibandingkan dengan mereka yang ingin meningkatkan hasil tangkapan. Kenyataannya orang akan lebih mudah diajak untuk menangkap lebih banyak ikan dibandingkan mengejar nilai-nilai ekonomi yang abstrak. Beberapa keuntungan penggunaan model MEY yakni model ini sangat fleksibel dan dapat diadaptasikan untuk analisis costs and benefits bagi nelayan komersial, rekreasional, para pengolah (processors), konsumen, dan lainnya yang kegiatan usahanya berkaitan dengan perikanan. Selain itu, konsep ini dapat diaplikasikan terhadap setiap model biologi dan berbeda dengan konsep MSY, dimana MEY tidak berdasarkan konsep ekuilibrium. Kelemahan yang paling menonjol dari penggunaan net economic yield sebagai tujuan pengelolaan yaitu model ini bergantung pada harga ikan yang tertangkap serta satuan biaya penangkapan yang bervariasi dari tahun ke tahun, dari negara ke negara (Widodo & Suadi 2006).
17
2.7. Pengelolaan Perikanan Pengelolaan sumberdaya hayati perikanan perlu diarahkan pada pengaturan yang lebih teratur. Hal tersebut didasarkan oleh adanya fakta tekanan terhadap penangkapan
yang
berlebihan.
Pengelolaan
perikanan
bertujuan
untuk
mempertahankan atau memperbaiki sumberdaya perikanan (Effendie 1997). Menurut King & Mc Ilgorn (1989) in Effendie (1997), tujuan utama pengelolaan sumberdaya hayati perikanan ditinjau dari segi biologi adalah konservasi stok ikan untuk menghidarkan kelebihan tangkap. Konsep MSY (Maximum Sustainable Yield) yakni hasil tangkap maksimum yang lestari dianjurkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan. MSY dapat digunakan sebagai acuan besarnya stok pada tingkat usaha yang didapat dari sumbernya yang sedang dieksploitasi. Menurut King (1995), mempertahankan ukuran stok yang stabil atau minimum memiliki tujuan dalam meningkatkan kestabilan hasil tangkapan dari tahun ke tahun. Regulasi perikanan harus dapat diterapkan dalam dunia perikanan untuk mendukung strategi yang dibuat untuk mencapai standar secara objektif. Pengaturan yang dibuat berisikan tentang bagaimana untuk mengurangi upaya penangkapan efektif (input controls) dan membatasi hasil tangkapan (output controls) dalam standar batasan yang ditetapkan.