Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
Nurcahyo Tri Arianto Departemen Antropologi, FISIP Unair 2012 Tujuan Instruksional Khusus Pada akhir Bab 1 mengenai Pendahuluan: Orientasi Studi ini, mahasiswa Antropologi semester 3 diharapkan dapat menjelaskan sejarah, konsep, kategori, dan lingkup studi etnografi Indonesia.
Pokok Bahasan Dalam Bab 1 ini mahasiswa Antropologi diajak untuk mempelajari studi etnografi Indonesia, yang berkaitan dengan kebudayaan dan etnografi, konsep, kategori, dan lingkup studinya.
1A. Kebudayaan
dan
Etnografi
Konsep Kebudayaan Dalam kepustakaan antropologi, pemahaman mengenai konsep kebudayaan nampak beraneka ragam. Keanekaragaman konsep kebudayaan di kalangan ahli antropologi itu seolah-olah menunjukkan tidak adanya kesamaan pemahaman atau pemikiran dasar yang menjadi pegangan bersama. Anggapan itu nampaknya tidak sepenuhnya benar, mengingat permasalahan kebudayaan memang sangat kompleks, dan usaha menetapkan kesamaan pemahaman atau pemikiran hanyalah merupakan salah satu permasalahan itu. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa kebudayaan memang bersifat fenomenal, karena kebudayaan tampak sebagai suatu mosaik yang beraneka warna, sesuai dengan keanekaragaman masyarakat manusia sebagai pendukung kebudayaan. Apabila kebudayaan dipelajari secara ilmiah, maka akan nampak sifat kebudayaan yang fenomenal berkaitan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial. Hasil-hasil penelitian lapangan ahli-ahli antropologi mengenai kebudayaan telah melahirkan berbagai pandangan dan kesimpulan yang memperkaya perkembangan teori kebudayaan. Oleh karena itu adanya perbedaan pandangan mengenai makna kebudayaan dalam kehidupan masyarakat yang dinamis, yang telah menimbulkan pertentangan ilmiah di kalangan ahli-ahli antropologi, tidak akan pernah hilang.
1
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
Salah satu golongan atau aliran teori kebudayaan yang sangat besar pengaruhnya dalam teori antropologi adalah idealisme, dengan beberapa cabang alirannya, antara lain kognitif dan simbolik. Ward Goodenough, sebagai tokoh antropologi pengemuka aliran kognitif, melihat kebudayaan sebagai suatu sistem yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai, yang ada dalam pikiran individu-individu dalam suatu masyarakat. Konsep kebudayaan semacam ini dapat dijabarkan dalam beberapa pengertian. Pertama, kebudayaan berada dalam tatanan kenyataan atau realitas yang ideasional. Kedua, kebudayaan dipergunakan masyarakat sebagai pendukungnya dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial yang nyata dalam masyarakat. Ketiga, kebudayaan merupakan pedoman dan pengarah bagi individuindividu anggota masyarakat dalam berperilaku sosial yang pantas maupun sebagai penafsir bagi perilaku individu lain. Oleh karena itu, kebudayaan di sini merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasi pengalaman dan lingkungannya (alam, sosial, dan budaya), serta menjadi pedoman bagi terwujudnya perilaku. kebudayaan merupakan mekanisme kontrol bagi perilaku manusia. Bagi Clifford Geertz, kebudayaan merupakan suatu sistem makna simbolik. Seperti halnya bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem semiotik yang memuat simbol-simbol, dan yang berfungsi mengkomunikasikan dan mengisyaratkan maknamakna dari pikiran antar individu. Oleh karena itu, bagi Geertz, kebudayaan merupakan obyek, tindakan, atau peristiwa dalam masyarakat yang fenomenal dan yang dapat diamati, dirasakan, serta dipahami. Dalam pandangan Keesing, perbedaan utama antara Geertz dan Goodenough mengenai kebudayaan, adalah: bagi Geertz, simbol dan makna kebudayaan berada di antara pikiran individu-individu, yang secara bersama-sama dimiliki oleh aktor-aktor sosial sebagai kenyataan publik; sedangkan bagi Goodenough, simbol dan makna kebudayaan berada dalam pikiran individuindividu, sebagai kenyataan pribadi. Penerapan konsep kebudayaan menurut aliran idealisme itu tidak hanya mengacu pada tipe masyarakat suku bangsa (misalnya, kebudayaan Jawa atau Madura) dan komunitas alamiah (pedesaan maupun perkotaan), melainkan juga pada sistem organisasi formal, seperti institusi-institusi pelayanan kesehatan Rumah Sakit, Puskesmas, Posyandu, maupun organisasi bisnis swasta dengan kebudayaan korporatnya. Penggunaan konsep kebudayaan terhadap pranata sosial dan organisasi formal itu terutama adalah untuk membicarakan pengaruh kebudayaan birokratisme dan profesionalisme dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi programprogram kesehatan, perawatan kesehatan, maupun peningkatan pelayanan kesehatan. Konsep kebudayaan yang diuraikan di atas tidak beranggapan bahwa keseluruhan kelompok masyarakat memiliki kesatuan kebudayaan yang terintegrasi 2
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
serta dipahami dan menjadi pegangan dalam berperilaku. Sebaliknya, dalam setiap kelompok masyarakat sering dijumpai permasalahan desintegrasi, kontroversi, maupun ketidakcocokan budaya, yang kesemuanya itu merupakan kenyataan yang umum terjadi. Keadaan tersebut menunjukkan adanya permasalahan mengenai kesamaan ataupun perbedaan antar-budaya (hubungan dengan kebudayaan lain) dan intra-budaya (hubungan dalam kebudayaan sendiri).
Kebudayaan dan Kelakuan Hubungan antara kebudayaan dan kelakuan merupakan permasalahan dalam analisis teori-teori kebudayaan yang perlu mendapat perhatian. Teori-teori kebudayaan yang mendasarkan pada aliran idealisme menekankan bahwa konsep utama adalah kebudayaan, dan bukan kelakuan. Kelakuan hanyalah merupakan konsekuensi logis, yang manunggal dan tak terpisahkan dari kebudayaan, yang disebut sebagai sistem sosio-budaya. Namun demikian, ketunggalan ini dapat dan perlu dipisah, sehingga dapat dipakai untuk menganalisis sistem budaya tertentu bersama kelakuan aktor-aktor dalam sistem sosial (masyarakat) yang menjalankan kegiatan tertentu pada lokasi atau lingkungan yang tertentu pula. Oleh karena bersifat ketunggalan, maka penggunaan konsep kelakuan erat berhubungan dengan konsep kebudayaan. Kelakuan kesehatan, misalnya, seseorang akan banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan etiologi, terapi, maupun pencegahan penyakit (fisik, psikis, maupun sosial). Berkaitan dengan penyakit, misalnya, seseorang dapat saja memperlihatkan kelakuan psikologis maupun kelakuan budaya. Perwujudan dari kelakuan kesehatan ini adalah kegiatan perawatan kesehatan, yang dilakukan dalam banyak sistem sosial atau sistem medis (tradisional, rumah tangga, ataupun formal) dalam pelayanan kesehatan. Salah satu ciri kebudayaan adalah bahwa setiap kebudayaan akan selalu mengalami perubahan atau berada dalam proses perubahan secara lambat ataupun cepat. Makin intensif terjadi kontak kebudayaan (misalnya komunikasi gagasan baru dari kebudayaan lain mengenai kesehatan), makin cepatlah berlangsungnya proses perubahan kebudayaan. Negara-negara industri maju, yang merupakan pusat perkembangan yang pesat dari pranata-pranata ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan berbagai penemuan baru secara terus-menerus. Penemuanpenemuan yang terjadi secara bersamaan dengan pranata-pranata non-ilmu pengetahuan dan non-teknologi itu menghasilkan pengaruh-pengaruh akibat proses umpan balik bersamaan dengan konsekuensi perubahan gagasan-gagasan budaya dan pola-pola kelakuan di negara-negara berkembang melalui teknologi komunikasi.
3
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
Metode Etnografi Penelitian etnografi merupakan jenis penelitian kualitatif. Oleh karena itu metode yang lazim dipergunakan adalah: observasi partisipasi, wawancara mendalam, komparatif, dan holistik. Dalam penelitian etnografi kesehatan, misalnya, metode yang relatif baru dipergunakan di Indonesia adalah Metode Penelitian Cepat atau RAP (Rapid Assessment Procedure), yang merupakan salah satu pendekatan antropologi dalam meningkatkan efektivitas program, khususnya program kesehatan. Metode ini meliputi: observasi, observasi partisipasi, wawancara informal, wawancara formal, analisis data, kelompok fokus, pelaporan hasil, dan diskusi dengan video RAP.
1B. Konsep Dasar Etnografi
Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar; sehingga etnografi berarti melukiskan atau menggambarkan kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Etnografi merupakan: 1. pekerjaan antropolog dalam mendiskripsikan dan menganalisis kebudayaan, yang tujuan utamanya adalah memahami padangan (pengetahuan) dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (kelakuan) guna mendapatkan pandangan “dunia” masyarakat yang diteliti (Spradley 1997:3). 2. komponen penelitian yang fundamental dalam disiplin akademis antropologi (budaya), sehingga etnografi merupakan ciri khas dalam antropologi (Durrenberger 1996:421). Antropolog aliran kognitif berpendirian bahwa setiap masyarakat mempunyai sistem yang unik dalam mempersepsi dan mengorganisasi fenomena material, seperti benda-benda, kejadian-kejadian, kelakuan, dan emosi. Oleh karena itu kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, melainkan cara fenomena material tersebut diorganisasikan dalam pikiran (kognisi) manusia. Dengan demikian kebudayaan itu ada dalam pikiran manusia, yang bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material tersebut. Tugas etnografer (peneliti etnografi) adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut (Marzali 1997:xv). 3. bentuk penelitian sosial-budaya yang bercirikan (Atkinson dan Hammersley 1994:248-249): a. studi mendalam (kualitatif) ttg. keragaman fenomena sosial-budaya suatu masyarakat; b. pengumpulan data primer dengan pedoman wawancara; c. penelitian pada satu atau beberapa kasus secara mendalam dan komparatif;
4
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
d. analisis data melalui interpretasi fungsi dan makna dari pemikiran dan tindakan, yang menghasilkan deskripsi dan analisis secara verbal.
1C. Kategori Etnografi Suku Bangsa S. Budhisantoso, “Corak Kebudayaan Indonesia”, dalam Studi Indonesia, 1991, 01:11-62.
B
” angsa Indonesia dapat berbangga bahwa masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat kaya dengan kebudayaan. Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu merupakan modal utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan penghasilan devisa. Namun demikian tidaklah banyak orang yang mampu menjelaskan dengan jelas dan baik dimana kebhinekaan serta ketunggalan kebudayaan Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sesungguhnya apa yang dibanggakan oleh kebanyakan orang bahwa masyarakat bangsa Indonesia mempunyai aneka ragam kebudayaan yang berkembang di kepulauan Nusantara, memang tidak jauh dari kebenaran. Masyarakat bangsa Indonesia yang terdiri dari suku-suku bangsa yang besar maupun yang kecil itu masing-masing mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan berbangsa aktif mereka terhadap lingkungan pendukungnya masing-masing. Demikian aneka ragam kebudayaan yang berkembang di kepulauan Nusantara itu dihayati sebagai kerangka acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan, serta sebagai ciri pengenal yang membedakan diri dari kelompok suku bangsa yang lain sebagaimana tercermin dalam hasil sensus yang pertama dan yang terakhir yang memuat tentang suku bangsa penduduk di Indonesia, yaitu sensus yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1930. Di dalam mengategorikan penduduk di Indonesia, pihak pemerintah Belanda antara lain menggunakan ukuran bahasa yang dipergunakan sehari-hari, adat kebiasaan, di samping ukuran wilayah persebaran serta golongan ras. Lepas dari kebenaran ataupun tingkat konsistensinya penggunaan ukuran dalam mengkategorikan penduduk di Indonesia ke dalam suku bangsa-suku bangsa sebagaimana terermin dalam sensus 1930, kesadaran akan adanya perbedaan kebudayaan diantara penduduk di kepulauan Nusantara ternyata cukup tebal. Setidak-tidaknya mereka menyadari akan adanya perbedaan bahasa suku bangsa maupun beberapa adat istiadat yang menjadi kerangka acuan dalam kegiatan sosial mereka sehari-hari. Adanya aneka ragam kebudayaan yang didukung oleh suku bangsa-suku bangsa, menyerderhanakan beratus-ratus kelompok pendukung kebudayaan yang berbeda itu, ia membaginya kedalam enam wilayah persebaran, tidak termasuk Irian Jaya. Sementara itu Clifford Geertz (1963), mencoba menyederhanakan aneka ragam kebudayaan yang berkembang di Indonesia ke dalam dua tipe yang berbeda berdasarkan ekosistemnya, yaitu kebudayaan yang berkembang di “Indonesia dalam” (Jawa,Bali) dan kebudayaan yang berkembang di “Indonesia luar”, yaitu di luar pulau Jawa dan Bali. Kebudayaan yang berkembang di “Indonesia dalam” itu ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur dan telah menggunakan sistem 5
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
pengairan dan menghasilkan pangan padi yang ditanam di sawah. Dengan demikian kebudayaan di Jawa yang menggunakan tenaga kerja manusia dalam jumlah besar disertai peralatan yang relatif lebih kompleks itu merupakan perwujudan upaya manusia yang secara lebih berani merubah ekosistemnya untuk kepentingan masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu kebudayaan di luar Jawa, kecuali di sekitar Danau Toba, dataran tinggi Sumatera Barat dan Sulawesi Barat Daya, berkembang atas dasar pertanian perladangan, yang ditandai dengan jarangnya penduduk, yang pada umumnya baru beranjak dari kebiasaan hidup berburu kearah hidup bertani. Oleh karena itu mereka cenderung untuk menyesuaikan diri mereka dengan ekosistem yang ada, demi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Di lain pihak Hildred Geertz (1963) mengklasifikasikan kebudayaan suku bangsa ke dalam tiga kategori, yaitu kebudayaan masyarakat petani berimigrasi, kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan alam, dan kebudayaan masyarakat peladang serta pemburu yang masih sering pindah tempat. Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan masyarakat petani berpengairan adalah seperti yang berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Clifford Geertz, kebudayaan tersebut berkembang atas dasar pertanian yang sifatnya padat karya di daerah yang paling padat penduduknya. Hildred Geertz menambahkan bahwa kebudayaan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hinduisme, di mana masyarakatnya sangat kuat orientasinya pada status di samping mengembangkan kesenian yang sangat tinggi, terutama di pusat-pusat kekuasaan (keraton) yang sekaligus merupakan pusat peradaban pada masa itu. Selanjutnya di pulau Jawa mulai mengalami pergeseran, terutama sejak masuknya kebudayaan Islam dan penjajah Belanda. Kategori kebudayaan di pantai ditandai dengan pengaruh Islam yang kuat serta kegiatan dagang yang menonjol. Kebudayaan tersebut tersebar sepanjang pantai Sumatera dan Kalimantan yang didukung oleh orang-orang Melayu, dan orang-orang Makasar dari Sulawesi Selatan. Oleh karena kegiatan mereka berdagang, mereka menduduki pusat-pusat perdagangan sepanjang pantai dan bersama-sama dengan pedagang yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Mereka mengembangkan kebudayaan yang berorientasi pada perdagangan dan sangat mengutamakan pendidikan agama dan hukum, serta mengembangkan bentuk tari, musik dan kesusastraan sebagai unsur pemersatu utamanya. Beberapa pusat perdagangan di luar pulau Jawa berkembang menjadi pusat-pusat kekuasaan dengan sistem pemerintahan yang relatif modern dan ditunjang oleh meningkatnya kemajemukan penduduk yang berasal dari berbagai suku bangsa maupun mereka yang mempunyai lapangan keahlian yang mengkhusus. Bentuk kebudayaan kategori yang ketiga mencakup aneka ragam kebudayaan yang tidak termasuk kedalam dua kategori terdahulu. Kategori ketiga itu meliputi kebudayaan orang Toraja di Sulawesi Selatan,orang Dayak di pedalaman Kalimantan, Orang Halmahera, suku-suku di pedalaman Seram, di kepulauan Nusa Tenggara, Orang Gayo di Aceh, Orang Rejang di Bengkulu dan Lampung di Sumatera Selatan. Pada umumnya kebudayaan mereka itu berkembang di atas sistem pencaharian perladangan ataupun penanam padi lading, sagu, jagung maupun akar-akaran. Dengan demikian kategori tersebut, sesuai dengan apa yang oleh C. Geertz dapat golongkan sebagai kebudayaan tipe “Indonesia luar” yang merupakan perwujudan 6
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
kecerdikan masyarakat menyesuaikan diri dengan ekosistemnya. Penduduk di daerah tersebut menduduki tempat yang kurang menguntungan dalam kontak-kontak kebudayaan dan sejarah perkembangan kebudayaan apabila dibandingkan dengan penduduk di “Indonesia dalam”. Sementara itu ikatan kekerabatan masih kuat apabila dibandingkan dengan ikatan wilayah ataupun ikatan politik yang feodal. Namun demikian, dikatakan oleh H. Geertz, bahwa intensifikasi sistem administratif mulai mengendorkan kesatuan sosial yang berlandaskan ikatan kekerabatan. Keluarga luas yang biasanya memiliki tanah pusaka, benda-benda upacara yang disucikan maupun gelar-gelar kedudukan sosial sebagai kesatuan sosial yang terpenting mulai hancur”. Apabila para ahli yang disebutkan terdahulu lebih banyak menyoroti keanekaragaman kebudayaan di Indonesia, maka tidaklah demikian halnya dengan J.B.P de Josselin de Jong yang besar minatnya terhadap ketunggalan kebudayaan Indonesia. Lepas dari setuju atau tidak dengan cara dan kesimpulan yang ditarik, Josselin de Jong (1935) sampai pada perumusan sociale struktuur yang menjadi prinsip kebudayaan kuno yang tersebar di kepulauan Nusantara. Pada hakekatnya, menurut Josselin de Jong, kebudayaan yang tersebar di Indonesia itu mempunyai landasan antara lain : 1. Bahwa pada masa lampau masyarakat Indonesia itu terdiri dari beberapa persekutuan yang berlandaskan ikatan kekerabatan yang menganut garis keturunan secara unilineal, baik melalui keibuan maupun kebapakan. 2. Di antara persekutuan kekerabatan itu terjalin hubungan kawin secara tetap, sehingga terjelma tata hubungan yang mendudukkan kelompok kerabat pemberi pengantin wanita lebih tinggi daripada kedudukan kelompok kerabat yang menerima pengantin wanita. 3. Seluruh kelompok kekerabatan yang ada biasanya terbagi dalam dua puluh masyarakat yang dikenal dengan istilah antropologis “moiety”, yang satu sama lain ada dalam hubungan saling bermusuhan maupun dalam berkawan, sehingga nampak persaingan yang diatur oleh adat. 4. Keanggotaan setiap individu, karena bersifat ganda, dalam arti bahwa setiap orang bukan hanya menjadi anggota kelompok kerabat yang unilineal, melainkan juga anggota kesatuan paruh masyarakat atau moiety. 5. Pembagian masyarakat dalam dua paruh masyarakat itu mempengaruhi pengertian masyarakat terhadap isi semesta kedalam dua kelompok yang seolaholah saling mengisi dalam arti serba dua yang dipertentangkan dan sebaliknya juga saling diperlukan adanya . 6. Akibatnya juga tercermin dalam sistem penilaian dalam masyarakat yang bersangkutan. Ada pihak yang baik dan sebaliknya ada pula pihak yang jahat atau busuk. 7. Seluruh susunan kemasyarakatan itu erat dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat yang bersangkutan, terutama yang berkaitan dengan kompleks totemisme yang didominasi dengan upacara-upacara keagamaan dalam bentuk rangkaian upacara inisiasi dan diperkuat dengan dongeng-dongeng suci baik yang berupa kesusastraan ataupun tradisi lisan. 8. Sifat serba dua juga tercermin dalam tata susunan dewa-dewa yang menjadi pujaan masyarakat yang bersangkutan. Walaupun dikenal lebih dari dua dewa, mereka menggolongkan kedalam dua golongan dewa, yaitu dewa yang baik dan dewa yang buruk. Dewa yang tergolong buruk atau busuk biasanya mempunyai 7
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
sifat ganda, sebab disatu pihak ia digambarkan sebagai anggota masyarakat Dewa yang mewakili golongan atas yang dipuja. 9. Tata susunan masyarakat Dewa itu ternyata mempengaruhi tata susunan kepemimpinan masyarakat dalam kehidupan politik yang seringkali merupakan pencerminan tentang kepercayaan yang berpangkal pada kehidupan dewata. Mengingat kenyataan kebudayaan yang berkembang di Indonesia kini beraneka ragam, walaupun pada dasarnya mempunyai asal usul yang berstruktur sosial sama, maka Josselin de Jong sampai pada pendapat bahwa kepulauan Melayu (baca Nusantara) ini merupakan “Enthonologisch-Studieveldt” yang ideal untuk melakukan studi perbandingan kebudayaan. Sesungguhnya di samping struktur sosial yang dianggap seragam itu, ternyata bahwa kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di Indonesia itu mempunyai keseragaman dalam bahasa. Walaupun pada lahirnya di Indonesia ini berkembang lebih dari dua ratus lima puluh bahasa yang berbeda, namun mereka itu masih serumpun, yaitu rumpun bahasa Malayo Polinesia, di samping rumpun bahasa Halmahera Utara dan Rumpun bahasa Papua Melanesian yang terbesar di Irian Jaya maupun pulau-pulau di sekitarnya. Sementara itu rumpun bahasa Malayo-Polinesia yang berkembang di kepulauan Nusantara, dapat diperinci ke dalam sekurangkurangnya 16 kelompok bahasa, sesuai dengan daerah persebarannya (lihat peta bahasa Malayo-Polinesia). Sementara itu B.Z.N. Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel Van Het Adatrecht (1946) menyederhanakan lingkungan kebudayaan di Indonesia ke dalam 19 rechtsringen, yang sesungguhnya dapat diperinci lebih lanjut. Sesungguhnya apa yang disebut sebagai lingkungan kebudayaan yang pernah dikembangkan di Amerika Serikat, yaitu kesatuan lingkungan kebudayaan yang lebih luas ke dalam blok-blok buatan atas dasar persamaan organisasi kemasyarakatan dan khususnya dalam sistem hukum adat yang juga sejajar dengan daerah persebaran bahasa. Sudah barang tentu sebagaimana halnya pembagian wilayah kebudayaan ke dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan secara dibuat-buat itu mengandung banyak kelemahan dan dalam hal ini justru lingkungan hukum adatlah yang seolah-olah hanya mengutamakan apa yang serusnya (ideal) dan mengabaikan kenyataan sosial yang berlaku sehari-hari”.
1D. Lingkup Studi Etnografi Indonesia
Lingkup
studi Etnografi Indonesia dapat dilihat pada Kontrak Pembelajaran Etnografi Indonesia.
1E. Rangkuman Apabila kebudayaan dipelajari secara ilmiah, maka akan nampak sifat kebudayaan yang fenomenal berkaitan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial. Hasil-hasil penelitian lapangan ahli-ahli antropologi mengenai kebudayaan telah melahirkan 8
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
berbagai pandangan dan kesimpulan yang memperkaya perkembangan teori kebudayaan. Masyarakat bangsa Indonesia yang terdiri dari suku-suku bangsa yang besar maupun yang kecil itu masing-masing mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan berbangsa aktif mereka terhadap lingkungan pendukungnya masing-masing. Demikian aneka ragam kebudayaan yang berkembang di kepulauan Nusantara itu dihayati sebagai kerangka acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan, serta sebagai ciri pengenal yang membedakan diri dari kelompok suku bangsa yang lain. Aneka ragam kebudayaan yang berkembang di Indonesia ke dalam dua tipe yang berbeda berdasarkan ekosistemnya, yaitu kebudayaan yang berkembang di “Indonesia dalam” (Jawa,Bali) dan kebudayaan yang berkembang di “Indonesia luar”, yaitu di luar pulau Jawa dan Bali. Kebudayaan yang berkembang di “Indonesia dalam” itu ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur dan telah menggunakan sistem pengairan dan menghasilkan pangan padi yang ditanam di sawah.Antropologi Kesehatan dapat dipandang sebagai ilmu yang holistik (utuh) dan fungsionalistik, antara ilmu biologi, sosial, dan budaya. Di samping struktur sosial yang dianggap seragam itu, ternyata bahwa kebudayaankebudayaan suku bangsa di Indonesia itu mempunyai keseragaman dalam bahasa. Walaupun pada lahirnya di Indonesia ini berkembang lebih dari dua ratus lima puluh bahasa yang berbeda, namun mereka itu masih serumpun, yaitu rumpun bahasa Malayo Polinesia, di samping rumpun bahasa Halmahera Utara dan Rumpun bahasa Papua Melanesian yang terbesar di Irian Jaya maupun pulau-pulau di sekitarnya. Kebudayaan suku bangsa juga dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu kebudayaan masyarakat petani berimigrasi, kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan alam, dan kebudayaan masyarakat peladang serta pemburu yang masih sering pindah tempat.
1F. Pertanyaan/Latihan 1.
Ceritakan kembali secara singkat hubungan kebudayaan dan etnografi.
2.
Simpulkanlah mengenai konsep etnografi.
3.
Simpulkanlah mengenai etnografi kebudayaan suku bangsa.
Kerjakan soal essay ringkas berikut ini ! 1. a. Apa itu kebudayaan? b. Bagaimana hubungan antara kebudayaan dan kelakuan? c. Berikan contoh mengenai hubungan kebudayaan dan etnografi? 2. Bagaimana kategori kebudayaan suku bangsa menurut Budhisantoso? Berikan contoh!
9
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
Untuk soal MC berikut ini, pilihlah A jika penyataan benar dan B jika penyataan salah : 01. Kebudayaan pada umumnya menjadi pedoman dalam berkelakuan. 02. Penelitian dan karya dari beberapa antropolog sebelum PD II membuktikan bahwa penelitian etnografi yang menghasilkan karya etnografi tidak lebih rendah dibandingkan dengan etnolog yang bekerja di belakang meja. 03. Deskripsi dalam etnografi singkat biasanya berdasarkan studi kepustakaan dari sumber-sumber lama, yang tentunya tidak memadai karena kebudayaan itu sendiri selalu mengalami perubahan. 04. Baru tiga kebudayaan suku bangsa yang telah diterbitkan dalam penulisan dan penerbitan buku Seri Etnografi, yaitu karya Melalatoa (1982), Koentjaraningrat (1984b), dan Ekadjati (1984). 05. Etnografi berfokus biasanya ditunjang oleh kerangka teori tertentu, antara lain karya Kana (1975) Abdullah (1985), Boelaars (1986), dan Florus (1994).
Jawab Soal MC: 01. A, 02. A, 03. A, 04. B, 05. A.
1G. Senarai (1) Etnografi adalah pekerjaan antropolog dalam mendiskripsikan dan menganalisis kebudayaan, yang tujuan utamanya adalah memahami padangan (pengetahuan) dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (kelakuan) guna mendapatkan pandangan mengenai “dunia” masyarakat yang diteliti (Spradley 1997:3). (2) Etnografi merupakan bentuk penelitian sosial-budaya yang bercirikan: studi yang mendalam (kualitatif) mengenai keragaman fenomena sosial-budaya suatu masyarakat; pengumpulan data primer dengan pedoman wawancara; penelitian pada satu atau beberapa kasus secara mendalam dan komparatif; analisis data melalui interpretasi fungsi dan makna dari pemikiran dan tindakan, yang menghasilkan deskripsi dan analisis secara verbal (Atkinson dan Hammersley 1994:248-249). (3) Kebudayaan Suku Bangsa adalah kerangka acuan yang dikembangkan oleh masingmasing suku bangsa, yang dapat dipergunakan sebagai ciri pengenal, yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya. Kerangka acuan tersebut adalah: sistem bahasa atau perlambang, sistem organisasi, sistem mata penharian hidup, sistem religi, sistem teknologi, dan sistem kesenian (Budhisantoso 1991:11-62).
1H. Bacaan Atkinson, Paul dan Martyn Hammersley 1994 “Ethnography and Participant Observation”. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, eds. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications, hal. 248-261. Budhisantoso, S. 10
Bahan Ajar ”Etnografi Indonesia (SOA252)”
1991 “Corak Kebudayaan Indonesia”. Studi Indonesia, 01:11-62. Durrenberger, E. Paul 1996 “Ethnography”. Dalam Encyclopedia of Cultural Anthropology (Volume 2). New York: Henry Holt, hal. 416-422. Marzali, Amri 1997 “Kata Pengantar”. Dalam James P. Spradley, Metode Etnografi (Terjemahan). Yogyakarta:Tiara Wacana, hal. xv-xxiii. Melalatoa, M. Junus 1997 “Kajian Etnografi Pembangunan di Indonesia”. Dalam E.K.M. Masinambow, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Asosiasi Antropologi Indonesia, hal. 93-104. Spradley, James P. 1997 Metode Etnografi (Terjemahan). Yogyakarta:Tiara Wacana.
--- @ ---
11