ETNOGRAFI KESEHATAN
1
oleh: Nurcahyo Tri Arianto 2 Pengertian Etnografi Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar; sehingga etnografi berarti melukiskan atau menggambarkan kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Etnografi merupakan pekerjaan antropolog dalam mendiskripsikan dan menganalisis kebudayaan, yang tujuan utamanya adalah memahami padangan (pengetahuan) dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (kelakuan) guna mendapatkan pandangan menganai “dunia” masyarakat yang diteliti (Spradley 1997:3). Etnografi merupakan komponen penelitian yang fundamental dalam disiplin akademis antropologi (budaya), sehingga etnografi merupakan ciri khas dalam antropologi (Durrenberger 1996:421). Antropolog aliran kognitif berpendirian bahwa setiap masyarakat mempunyai sistem yang unik dalam mempersepsi dan mengorganisasi fenomena material, seperti benda-benda, kejadian-kejadian, kelakuan, dan emosi. Oleh karena itu kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, melainkan cara fenomena material tersebut diorganisasikan dalan pikiran (kognisi) manusia. Dengan demikian kebudayaan itu ada dalam pikiran manusia, yang bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material tersebut. Tugas etnografer (peneliti etnografi) adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut (Marzali 1997:xv). Etnografi merupakan bentuk penelitian sosial-budaya yang bercirikan (Atkinson dan Hammersley 1994:248-249): 1. studi yang mendalam (kualitatif) mengenai keragaman fenomena sosial-budaya suatu masyarakat; 2. pengumpulan data primer dengan pedoman wawancara; 3. penelitian pada satu atau beberapa kasus secara mendalam dan komparatif; 4. analisis data melalui interpretasi fungsi dan makna dari pemikiran dan tindakan, yang menghasilkan deskripsi dan analisis secara verbal. Konsep Kebudayaan Dalam kepustakaan antropologi, pemahaman mengenai konsep kebudayaan nampak beraneka ragam. Keanekaragaman konsep kebudayaan di kalangan ahli antropologi itu seolah-olah menunjukkan tidak adanya kesamaan pemahaman atau pemikiran dasar yang menjadi pegangan bersama. Anggapan itu nampaknya tidak 1
Bahan Diskusi untuk “Lokakarya Antropologi Kesehatan”, Kelompok Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri, Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, pada tanggal 3 dan 10 Februari 2001.
2
Staf Pengajar Program Studi Antropologi FISIP-UNAIR.
1
sepenuhnya benar, mengingat permasalahan kebudayaan memang sangat kompleks, dan usaha menetapkan kesamaan pemahaman atau pemikiran hanyalah merupakan salah satu permasalahan itu. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa kebudayaan memang bersifat fenomenal, karena kebudayaan tampak sebagai suatu mosaik yang beraneka warna, sesuai dengan keanekaragaman masyarakat manusia sebagai pendukung kebudayaan. Apabila kebudayaan dipelajari secara ilmiah, maka akan nampak sifat kebudayaan yang fenomenal berkaitan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial. Hasil-hasil penelitian lapangan ahli-ahli antropologi mengenai kebudayaan telah melahirkan berbagai pandangan dan kesimpulan yang memperkaya perkembangan teori kebudayaan. Oleh karena itu adanya perbedaan pandangan mengenai makna kebudayaan dalam kehidupan masyarakat yang dinamis, yang telah menimbulkan pertentangan ilmiah di kalangan ahli-ahli antropologi, tidak akan pernah hilang. Salah satu golongan atau aliran teori kebudayaan yang sangat besar pengaruhnya dalam teori antropologi adalah idealisme, dengan beberapa cabang alirannya, antara lain kognitif dan simbolik. Ward Goodenough, sebagai tokoh antropologi pengemuka aliran kognitif, melihat kebudayaan sebagai suatu sistem yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai, yang ada dalam pikiran individu-individu dalam suatu masyarakat. Konsep kebudayaan semacam ini dapat dijabarkan dalam beberapa pengertian. Pertama, kebudayaan berada dalam tatanan kenyataan atau realitas yang ideasional. Kedua, kebudayaan dipergunakan masyarakat sebagai pendukungnya dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran kelakuan sosial yang nyata dalam masyarakat. Ketiga, kebudayaan merupakan pedoman dan pengarah bagi individu-individu anggota masyarakat dalam berkelakuan sosial yang pantas maupun sebagai penafsir bagi kelakuan individu lain. Oleh karena itu, kebudayaan di sini merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasi pengalaman dan lingkungannya (alam, sosial, dan budaya), serta menjadi pedoman bagi terwujudnya kelakuan. kebudayaan merupakan mekanisme kontrol bagi kelakuan manusia. Bagi Clifford Geertz, kebudayaan merupakan suatu sistem makna simbolik. Seperti halnya bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem semiotik yang memuat simbolsimbol, dan yang berfungsi mengkomunikasikan dan mengisyaratkan makna-makna dari pikiran antar individu. Oleh karena itu, bagi Geertz, kebudayaan merupakan obyek, tindakan, atau peristiwa dalam masyarakat yang fenomenal dan yang dapat diamati, dirasakan, serta dipahami. Dalam pandangan Keesing, perbedaan utama antara Geertz dan Goodenough mengenai kebudayaan, adalah: bagi Geertz, simbol dan makna kebudayaan berada di antara pikiran individu-individu, yang secara bersama-sama dimiliki oleh aktor-aktor sosial sebagai kenyataan publik; sedangkan bagi Goodenough, simbol dan makna kebudayaan berada dalam pikiran individu-individu, sebagai kenyataan pribadi. 2
Penerapan konsep kebudayaan menurut aliran idealisme itu tidak hanya mengacu pada tipe masyarakat suku bangsa (misalnya, kebudayaan Jawa atau Madura) dan komunitas alamiah (pedesaan maupun perkotaan), melainkan juga pada sistem organisasi formal, seperti institusi-institusi pelayanan kesehatan Rumah Sakit, Puskesmas, Posyandu, maupun organisasi bisnis swasta dengan kebudayaan korporatnya. Penggunaan konsep kebudayaan terhadap pranata sosial dan organisasi formal itu terutama adalah untuk membicarakan pengaruh kebudayaan birokratisme dan profesionalisme dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program kesehatan, perawatan kesehatan, maupun peningkatan pelayanan kesehatan. Konsep kebudayaan yang diuraikan di atas tidak beranggapan bahwa keseluruhan kelompok masyarakat memiliki kesatuan kebudayaan yang terintegrasi serta dipahami dan menjadi pegangan dalam berkelakuan. Sebaliknya, dalam setiap kelompok masyarakat sering dijumpai permasalahan desintegrasi, kontroversi, maupun ketidakcocokan budaya, yang kesemuanya itu merupakan kenyataan yang umum terjadi. Keadaan tersebut menunjukkan adanya permasalahan mengenai kesamaan ataupun perbedaan antar-budaya (hubungan dengan kebudayaan lain) dan intra-budaya (hubungan dalam kebudayaan sendiri). Kebudayaan dan Kelakuan. Hubungan antara kebudayaan dan kelakuan merupakan permasalahan dalam analisis teori-teori kebudayaan yang perlu mendapat perhatian. Teori-teori kebudayaan yang mendasarkan pada aliran idealisme menekankan bahwa konsep utama adalah kebudayaan, dan bukan kelakuan. Kelakuan hanyalah merupakan konsekuensi logis, yang manunggal dan tak terpisahkan dari kebudayaan, yang disebut sebagai sistem sosiobudaya. Namun demikian, ketunggalan ini dapat dan perlu dipisah, sehingga dapat dipakai untuk menganalisis sistem budaya tertentu bersama kelakuan aktor-aktor dalam sistem sosial (masyarakat) yang menjalankan kegiatan tertentu pada lokasi atau lingkungan yang tertentu pula. Oleh karena bersifat ketunggalan, maka penggunaan konsep kelakuan erat berhubungan dengan konsep kebudayaan. Kelakuan kesehatan seseorang akan banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan etiologi, terapi, maupun pencegahan penyakit (fisik, psikis, maupun sosial). Berkaitan dengan penyakit, misalnya, seseorang dapat saja memperlihatkan kelakuan psikologis maupun kelakuan budaya. Perwujudan dari kelakuan kesehatan ini adalah kegiatan perawatan kesehatan, yang dilakukan dalam banyak sistem sosial atau sistem medis (tradisional, rumah tangga, ataupun formal) dalam pelayanan kesehatan. Salah satu ciri kebudayaan adalah bahwa setiap kebudayaan akan selalu
3
mengalami perubahan atau berada dalam proses perubahan secara lambat ataupun cepat. Makin intensif terjadi kontak kebudayaan (misalnya komunikasi gagasan baru dari kebudayaan lain mengenai kesehatan), makin cepatlah berlangsungnya proses perubahan kebudayaan. Negara-negara industri maju, yang merupakan pusat perkembangan yang pesat dari pranata-pranata ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan berbagai penemuan baru secara terus-menerus. Penemuan-penemuan yang terjadi secara bersamaan dengan pranata-pranata non-ilmu pengetahuan dan non-teknologi itu menghasilkan pengaruh-pengaruh akibat proses umpan balik bersamaan dengan konsekuensi perubahan gagasan-gagasan budaya dan pola-pola kelakuan di negaranegara berkembang melalui teknologi komunikasi. Sehat, sakit, penyakit, kesehatan, maupun perawatan kesehatan merupakan kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi masyarakat manusia. Namun demikian, tipetipe penyakit beserta persepsi dan perawatannya dalam kenyataannya berbeda-beda di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Di negara-negara industri dan kelompok menegah-atas di negara-negara berkembang, penyakit kardiovaskuler, misalnya, merupakan salah satu penyakit pembunuh utama. Sebaliknya, di daerah pedesaan di negara-negara berkembang, penyakit utama adalah diare, tuberkulosis, dan penyakit infeksi lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa terdapat keragaman praktek medis tradisional dan rumah tangga dalam perawatan kesehatan terhadap penyakit tersebut, baik antar-budaya maupun intra-budaya. Keragaman perawatan kesehatan tersebut antara lain terlihat dalam praktek penggunaan mantera, jamu, pijat/urut, doa, maupun mandi. Dalam perawatan kesehatan, suatu kelompok masyarakat dapat saja menekankan pada etiologi dan terapi personalistik (adikodrati), sedangkan kelompok masyarakat lain menekankan pada etiologi dan terapi naturalistik berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan panas-dingin. Perbedaan penekanan dalam perawatan kesehatan ini menunjukkan bahwa penjelasan sehat dan sakit secara personalistik maupun naturalistik ini berkembang pada masyarakat pedesaan yang telah banyak mengalami kontak kebudayaan; sedangkan pada masyarakat terasing lebih banyak menekankan cara personalistik, karena cara naturalistik kurang atau belum dikenal atau tidak berarti. Sementara itu kelompok masyarakat lapisan menengah-atas cenderung lebih mengutamakan perawatan kesehatan melalui cara medis moderen (formal), walaupun cara personalistik dan naturalistik juga masih dilakukan. Keanekaragaman persepsi mengenai sehat dan sakit, yang berimplikasi pada pemilihan cara perawatan kesehatan, umumnya ditentukan oleh kebudayaan, yang berisi: pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam kehidupan masyarakat. Lebih jelasnya, kebudayaan menentukan apa yang menyebabkan seseorang menderita sakit (etiologi penyakit) akibat dari kelakuannya, serta mengapa perawatan kesehatan-nya
4
mengikuti cara-cara tertentu. Oleh karena itu, gagasan-gagasan budaya dapat menjelaskan makna hubungan timbal balik antara gejala-gejala sosial dari penyakit dan perawatan kesehatan dengan gejala-gejala biologis dan biomedis. Hubungan-hubungan antara gejala sosial-budaya dengan gejala biologis dan biomedis dapat disebut sebagai gejala-gejala bio-budaya. Perhatian yang makin besar dan berkembang mengenai peranan kebudayaan terhadap penyakit, kesehatan, dan perawatan kesehatan merupakan penyebab berkembangnya ilmu antropologi kesehatan. Metode Etnografi Penelitian etnografi merupakan jenis penelitian kualitatif. Oleh karena itu metode yang lazim dipergunakan adalah: observasi partisipasi, wawancara mendalam, komparatif, dan holistik. Dalam penelitian etnografi kesehatan, metode yang relatif baru dipergunakan di Indonesia adalah Metode Penelitian Cepat atau RAP (Rapid Assessment Procedure), yang merupakan salah satu pendekatan antropologi dalam meningkatkan efektivitas program, khususnya program kesehatan. Metode ini meliputi: observasi, observasi partisipasi, wawancara informal, wawancara formal, analisis data, kelompok fokus, pelaporan hasil, dan diskusi dengan video RAP. Rujukan Atkinson, Paul dan Martyn Hammersley 1994 “Ethnography and Participant Observation”. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, eds. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications, hal. 248-261. Durrenberger, E. Paul 1996 “Ethnography”. Dalam Encyclopedia of Cultural Anthropology (Volume 2). New York: Henry Holt, hal. 416-422. Marzali, Amri 1997 “Kata Pengantar”. Dalam James P. Spradley, Metode Etnografi (Terjemahan). Yogyakarta:Tiara Wacana, hal. xv-xxiii. Spradley, James P. 1997 Metode Etnografi (Terjemahan). Yogyakarta:Tiara Wacana.
----- @ -----
5