MATAGARUDA INSTITUTE Edisi 4 I Juli 2015
Living with Disaster
melahirkan buah pikiran, menumbuhkan gagasan, membawa perubahan
www.thinktank.matagaruda.co.id;
[email protected] ISSN: 2443-0072 Pengantar Redaksi Assalamualaikum,Salam Sejahtera, Om Swastiastu Buletin Mata Garuda Institute edisi keempat ini mengangkat tema “Living with Disaster”. Sebuah statement untuk mengajak kita semua untuk lebih memiliki kesiap-siagaan dalam menghadapi tantangan bencana baik yang merupakan bagian dari proses alam maupun bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan kerusakan alam yang diakibatkan oleh kegiatan manusia secara sadar maupun belum disadari. Pengkajian terhadap potensi bencana, tindakan preventif, kesiap-siagaan, dan beradaptasi terhadap bencana adalah strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerusahan akibat bencana. Dan lebih dari itu, Buletin edisi ke-4 ini mencoba memaparkan beberapa bentuk kesiap-siagaan untuk mengantisipasi serta kesiap-siagaan terhadap penanggulangan kerusakan dan korban yang diakibatkan oleh bencana dari beberapa kejadian yang terdahulu dan yang diperkirakan dimasa yang akan datang. Dengan adanya kesiap-siagaan terhadap bencana yang kini lebih sering terjadi dapat melahirkan sebuah budaya hidup “living with disaster” sehingga kerusakan dan korban dapat diminimalkan atau nol korban dan kerusakan akibat bencana. Salam, Vidya Spay Produser Editorial Content: 1. Dari Bencana Menjadi Kencana 2. Teknologi “Device to Device Communication” Untuk Indonesia Nol Korban Bencana 3. Seaquakes, Dampaknya pada Ekosistem Pesisir dan Mamalia Laut 4. Konsep “Building Back Better” dan penerapannya dalam konteks pengurangan risiko bencana pesisir di Indonesia 5. Penempatan Aset dan Persiapan Infrastruktur sebagai Suatu Strategi Kesiapsiagaan 6. Pemanfaatan Virtual Environment untuk Simulasi Evakuasi Bencana Alam 7. Manajemen Resiko Dan Mitigasi Bencana Geologi Yang Efektif 8. Upaya Mitigasi Guna Mengurangi Korban Bencana Gerakan Tanah 9. Membangun Komunitas yang Resilien Terhadap Bencana 10. Implementasi Pelaksanaan Undang-Undang Penanggulangan Bencana 11. Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam pengurangan Risiko Bencana serta Kesiap-siagaan Bencana 12. Bagaimana menangani Dampak Psikologis pada Penyintas Bencana? 13. Penanganan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat 14. ASEAN dan Penanggulangan Bencana: Seberapa Jauh Kita Telah Melangkah? 15. Menyegarkan Kembali: Jurnalisme Empati Peliputan Bencana 16. Smong, Tradisi Lisan yang Menyelamatkan 17. MEGATHRUST, Di Pantai Barat Sumatra: Ancaman dan Kesiap-siagaan 18. Dari Transitional Shelter, ke Perbaikan Papan dan Permukiman
Banjir pantai yang disebabkan oleh hempasan gelombang saat badai (sumber: dailymail.co.uk)
Contoh seawall pantai untuk penahan gelombang (sumber: bournemouthecho.co.uk)
1.
Dilihat secara topografi, sebagian besar tanah Lymington berada pada elevasi sekitar 2m di atas mean sea level (MSL). Elevasi yang lebih rendah dari 2m (MSL) dikategorikan sebagai wilayah risiko banjir terutama di sekitar sungai dan bibir pantai; dimana pada kondisi ekstrim, ketinggian air dapat merendam penuh rumah penduduk. Apabila hujan terjadi pada saat air laut pasang, maka air muara akan meluap dan merendam seluruh kota. Seperti halnya yang terjadi pada tahun 1909, 1954, 1989, dan 1999, banjir hebat telah menenggelamkan rumah-rumah penduduk, menghancurkan tanggul-tanggul penahan banjir; hal ini telah menghambat kegiatan perekonomian penduduk. Tak luput juga, ladang-ladang garam serta timbunan limbah (landfill) yang juga ikut terendam air banjir membuat kerugian semakin terasa. Adanya fenomena peningkatan permukaan air laut (sea level rise) akan membuat frekuensi gelombang besar dan hujan lebat akan lebih sering terjadi.
Dari Bencana Menjadi Kencana Oleh: Muhammad Gibran, Ing., S.T., M.Sc. Msc in Engineering in the Coastal Environment, University of Southampton, Inggris Co-founder and Reseacher Mata Garuda Institute Kota tua nan cantik Lymington yang terletak di pesisir Hampshire ini dilalui oleh Sungai Lymington yang mengalir dari daratan menuju British Channel. Daerah ini sangat terkenal akan industri pariwisata, industri garam tradisional, desa wisata, kuliner, peninggalan arsitektur masa Victoria dan Georgia, dan juga biota pesisirnya. Posisinya yang strategis telah menjadikan kota pesisir ini ramai dilalui yacht, boat, dan kapalkapal besar; tak heran bahwa bisnis marina dan perkapalan (yachting centre) di muara Lymington sangat berkembang pesat hingga akhirnya kota ini menjadi spot favorit para wisatawan eropa yang hobi berlayar. Sebuah kawasan unik nan kaya khasanah membuat kota ini bak kencana (emas) di Inggris bagian selatan. Lokasi strategis Lymington: Namun pada masa lalunya, Lymington adalah kota yang sering dilanda bencana; pasalnya, posisi yang dilalui sungai besar ini membuat kota ini rawan akan bencana banjir.
Merespon tantangan alam ini, pemerintah Kota Lymington telah bekerja sama dengan berbagai instansi seperti akademisi-akademisi yang ahli dibidangnya, para investor atau perbankan sebagai sumber pendanaan, environmental agency, serta komunitas masyarakat setempat untuk mencari solusi terbaik. Adapun tahap pencarian solusi dapat dilihat pada skema berikut. Foto udara salah satu sudut kota Lymington.
1
2
Pemodelan geometri Sungai Lymington lengkap dengn pintu air (tidal gate).
Sungai Lymington dan pemetaan genangan banjir pesisir menggunakan ArcGIS. (© penulis)
Kejadian – pengumpulan data – pemetaan banjir – kalkulasi volume banjir – klasifikasi penyebab banjir – solusi tepat sasaran Kejadian banjir pesisir ini merupakan fenomena alam yang disebabkan oleh hujan lebat, air pasang, hempasan gelombang, ataupun kombinasi dari ketiganya. Pendokumentasian fakta sejarahkejadian sangatlah penting karena merupakan kunci untuk penentuan langkah penanggulangan. Pengumpulan data melingkupi data hujan, topografi, foto udara, lokasi kejadian, data penggunaan lahan, data sosial-kependudukan, dan lain-lain. Rekonstruksi banjir Lymington tahun 1999 serta kalkulasi volume banjir menggunakan perangkat lunak HEC-RAS.
Contoh pencatatan data hujan, elevasi muka air sungai dan pasang-surut muka air laut. (© penulis)
Pemetaan banjir diperlukan untuk mengetahui luas dan kedalaman genangan banjir; serta, memprediksi lokasi lain yang berpotensi terjadi banjir pada kondisi ekstrim. Selain itu pemetaan banjir dapat berguna untuk klasifikasi wilayah, seperti: kawasan hunian, area industri, daerah lindung biota, dan lain-lain. Pementaan banjir dapat dilakukan dengan berbagai teknologi terkini seperti penggunaan perangkat lunak ArcGIS, pengkajian foto udara (aerial image), interpretasi data satelit, dan lain sebagainya. Kalkulasi dan prediksi volume banjir dapat dilakukan dengan program komputer HEC-RAS dan MIKE oleh DHI. Klasifikasi penyebab banjir dapat beraneka ragam, dari faktor topografi, ketinggian air tanah, curah hujan, ketinggian gelombang pasang, ataupun sistem drainasi yang tidak bekerja dengan baik. Dengan memahami semua hal tersebut, maka solusi yang diambil merupakan solusi yang sustainable, efisien dan tepat sasaran.
Contoh rumah pompa dan stasiun air di Sungai Jordan, USA. (Source: Salt Lake County Council, 2008)
Pemerintah Kota Lymington telah mengusahakan beberapa rekayasa engineering dan peraturan tata kota agar kondisi ekstrim elevasi air muara tidak menjadi bencana bagi penduduk. Diantaranya adalah: 1.Penambahan tinggi elevasi tanggul-tanggul lama. Tinggi tanggul atau seawall disesuaikan dengan prediksi kondisi ekstrim yang merespon fenomena sea level rise. Dengan prediksi yang tepat, tanggul ini dapat berfungsi dalam rentang waktu yang lama. Pembuatan tanggul-tanggul penahan banjir yang baru juga diperlukan untuk melindungi daerah yang bernilai tinggi, seperti: kawasan real-estate atau kawasan tourist attraction baru.
2. Pembuatan bangunan penahan tebing. Penahan tebing dimaksudkan untuk mengurangi erosi tebing akibat hempasan gelombang pantai atau derasnya arus tepi sungai saat kondisi ekstrim. Apabila tidak ada bangunan penahan tebing, maka tanah kota ini terkikis hilang setiap terjadi banjir pesisir. Bangunan penahan tebing dapat berupa revetment wall, seawall, maupun bronjong. 3. Pembuatan tanggul dan dike. Tanggul atau dike dibuat agar air laut dan sungai tidak meluap hingga ke daratan. Pada kasus dimana tinggi air laut atau air sungai melebihi tinggi elevasi tanah maka mutlak diperlukan tanggul agar air tersebut tidak meluap hingga ke darat. Tanggul biasa dibuat untuk melindungi kawasan yang relatif luas, seperti: kawasan pertanian, ladang-ladang garam, daerah konservasi biota pantai, kawasan pemukiman, kawasan penimbunan sampah (landfill), dan lain sebagainya. 4. Menjaga elevasi muka air tanah. Eksplorasi air tanah yang berlebihan, untuk keperluan rumah tangga maupun industri, akan membuat elevasi permukaan tanah turun; terkadang, hal ini menyebabkan permukaan air sungai atau air laut menjadi lebih tinggi dari permukaan tanah. Akibatnya, pada kondisi tertentu air sungai atau air laut dapat meluap menggenangi area tersebut. Di Inggris dan Belanda, kanal-kanal sengaja dibuat melintasi kota untuk menjaga ketinggian muka air tanah dan tinggi muka tanah di sekitar wilayah tersebut. Ketinggian muka airnya diatur sedemikian rupa dengan menggunakan pintu air dan pompa air kota. 5. Perbaikan drainasi kota. Drainase yang baik adalah drainasi yang daat mengalirkan air hujan di daerah resapan/ tangkapan air atau catchment area (run-off) dengan cepat. Apabila kapasitas drainasi tidak sebaik yang diharapkan maka yang terjadi adalah genangan atau banjir. Karena itu, menambah kapasitas saluran drainasi beserta pintu air dan pompa air kota adalah persyaratan mutlak agar genangan tidak terjadi. 6. Pembuatan Pintu Air untuk mengatur air ketika Pasang Surut (tidal-gate). Tidal-gate adalah pintu air yang biasa dipasang pada kanal, sungai, atau saluran air menuju muara yang merespon secara otomatis pasang-surut air laut. Pada saat tinggi air laut melebihi tinggi air sungai, maka pintu air akan menutup dengan sendirinya; dan sebaliknya apabila tinggi air sungai melebihi tinggi air laut maka pintu air ini akan terbuka kembali. Penggunaan tidal-gate di Inggris cukup populer untuk mencegah banjir sungai; namun, instrument ini memiliki batasan kapasitas. Pada kondisi sangat ekstrim dimana kedua permukaan air laut maupun sungai sama tinggi, penggunaan tidal-gate perlu dibantu dengan pompa air untuk mengalirkan air dari sungai ke laut. 7. Pembebasan lahan. Kondisi banjir mengakibatkan area-area tertentu menjadi sasaran bencana dan dikategorikan sebagai area berbahaya. Misalnya, karena adanya banjir maka kawasan tersebut tidak dapat dihuni karena hempasan air dapat merenggut korban jiwa, selain itu banjir juga dapat menyebarluaskan limbah kimia, bakteri e-coli, dan lain-lain yang bersifat toxic bagi manusia. Karena itu pembebasan lahan diperlukan perlu adanya untuk melindungi keselamatan penduduk. 8. Pengklasifikasian Area. Selain pembebasan lahan, pengklasifikasian area sangat diperlukan untuk kenyamanan tinggal, kelancaran kegiatan perekonomian penduduk, serta upaya perlindungan ekosistem. Misalnya, dilihat dari jenis penggunaan lahan kota Lymington dikategorikan kedalam beberapa macam kawasan, seperti: kawasan berbahaya (terlarang) untuk pemukiman atau industri, kawasan lindung saltmarsh dan biota pantai lain, kawasan khusus pemukiman, kawasan ruang hijau, kawasan khusus bisnis, dan lain sebagainya. Disini dituntut peran pemerintah serta kerjasama masyarakat demi tercapainya kenyamanan bersama.
The Road Bridge and the tidal gates of the Lymington River (Solomon, D.J., 2010).
Tidal gates on the estuary of the Lymington River in an open position. (Solomon, D.J., 2010).
Banjir Lymington 1954 menggenangi rumah-rumah penduduk.
Sea defence wall (tanggul) di dekat Yacht Club, Lymington. Pada foto tersebut tinggi permukaan air telah mencapai ketinggian tanah permukaan. Apabila tidak dilindungi tanggul, maka air pelabuhan dapat menggenangi jalur pejalan kaki (source: Ian West, 2008).
3
4
Interpretasi foto udara habitat pantai disepanjang pantai Lymington tahun 2005. (© penulis)
2.
Teknologi “Device to Device Communication” Untuk Indonesia Nol Korban Bencana Oleh: Satria Hardinata, S.ST. Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-34 Master of Communication System Engineering Pierre and Marie Curie University, Perancis
Pembagian area-area yang dilindungi (designated areas) berdasarkan fungsinya disekitar Lymington. (© penulis)
Solusi-solusi teknis dan non-teknis tersebut secara spesifik dipilih untuk mengubah Lymington dari kota yang penuh bencana menjadi kota kencana yang sustainable di Inggris bagian selatan. Regulasi dan kerja sama masyarakat memainkan peranan penting untuk bisa mempertahankan kota ini sebagai spot paling favorit untuk wisatawan domestik maupun mancanegara. Metode yang sama dapat diterapkan di Indonesia untuk mengubah kondisi kota-kota di pesisir. yang kurang tertata serta rawan bencana agar menjadi kota yang sustainable dan efisien, dan tetap mempertahankan ciri khas kedaerahan serta lingkungan hidup pesisir.
Negara Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia dan di antara Lautan Hindia dan Pasifik ini memiliki 17.508 pulau. Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulaupulau yang luar biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki 129 gunung api aktif, sehingga menjadi bagian dari ring of fire. Hal ini diperkuat dengan letak Indonesia pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia yakni Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Indonesia kini mengemban status salah satu daerah rawan bencana di Dunia. Mulai dari banjir, tanah longsor, hingga gempa dan tsunami. Masing-masing bencana sudah dipastikan menelan korban jiwa. Berdasarkan data statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia tahun 2013, bencana yang paling sering terjadi di Indonesia adalah Banjir dengan angka 4000 kejadian, disusul dengan bencana puting beliung dan tanah longsor dengan masing-masing 2000 tragedi. Namun, justru bencana dengan angka kejadian rendahlah yang memakan korban jiwa paling tinggi, seperti gempa bumi dan tsunami dengan korban mencapai 170.000 jiwa. Bagaimanapun, komunikasi menjadi salah satu komponen penting dalam pra hingga mitigasi bencana. Banyak korban jiwa bejatuhan akibat ketidakmampuan mereka menjalin komunikasi untuk menyelamatkan diri sendiri maupun orang lain. Sebagai daerah rawan bencana, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam memberikan Layanan Telekomunikasi Darurat (LTD). Layanan komunikasi bencana alam pun tidak hanya ada di tingkat birokrasi atau pemerintah, namun juga masyarakat. Masyarakat duduk sebagai prioritas pertama yang harus diselamatkan pada saat bencana. Data pada salah satu perusahaan operator telekomunikasi di Indonesia menunjukkan bahwa lalu lintas komunikasi selular yang dilakukan dengan handphone (HP) meningkat pesat.
Peta Indonesia Terletak di Ring of Fire
4G+ memiliki desain jaringan komunikasi yang baik dalam implementasi Layanan Telekomunikasi Darurat, mengingat kapasitas trafik yang tinggi mampu mengatasi lonjakan trafik pada saat bencana terjadi. Dimitris Tsolkas, dalam karya tulis nya yang berjudul LTEA Access, Core and Protocol Architecture for D2D Communication (2014) menyebutkan bahwa teknologi 4G+ mematahkan fakta tentang ketergantungan yang kuat antara HP dengan BTS, dengan adanya teknologi Device-to-Device (D2D). D2D memungkinkan koneksi komunikasi antar HP untuk berkomunikasi secara langsung tanpa menggunakan pulsa. Ini bukan juga seperti instant messenger seperti Line, WhatsApp yang memuat delay dalam komunikasi suaranya. Berbeda juga dengan layanan komunikasi antar device yang telah ada seperti Bluetooth atau WiFi, yang tergantung pada jarak. Teknologi D2D benar-benar memungkinkan pengguna untuk melakukan panggilan telepon dengan kualitas setara panggilan umum, namun juga tidak memakan biaya; seperti HandyTalky, tapi justru memungkinkan komunikasi pada jarak yang lebih jauh; seperti komunikasi instant messenger, tapi tidak memberikan keterlambatan sedikitpun. Ini dapat meminimalisir terputusnya koneksi. 4G+ memberikan coverage dan kapasitas akses yang jauh lebih besar dari 4G biasa, mampu menampung hingga ribuan pengguna. Semuanya dilakukan hanya dalam genggaman. Dalam Release-12 nya, 3GPP juga telah memberikan pertimbangan untuk menggunakan sistem komunikasi D2D sebagai infrastruktur baru untuk Layanan Telekomunikasi Darurat. Hal ini sangat membantu pengguna, mengingat bahwa risiko kerusakan hubungan komunikasi antara semua komponen telekomunikasi tidak bisa dihindarkan pada saat bencana alam. Konsep teknologi ini baru di implementasikan di negara Korea Selatan dan juga Jepang. Bisakah anda bayangkan bila teknologi ini masuk ke Indonesia? Pemerintah perlu mengkaji, menyesuaikan dan melengkapi dengan regulasi demi meningkatkan pelayanan keselamatan publik di sektor Telekomunikasi guna menuju Indonesia Nol Korban Bencana.
3.
Seaquakes Data PT. Telkomsel terkait Lonjakan Trafik saat meletusnya Gunung Kelud 2014
Mulai dari layanan SMS, panggilan telepon, hingga akses internet, semuanya naik hingga mencapai 280% (salah satu contoh kasus bencana erupsi Gunung Kelud 2014). Lonjakan trafik yang tidak didukung dengan kapasitas yang baik ini memicu lambatnya persebaran data komunikasi yang mengakibatkan terjadinya putusnya telepon, akses internet yang lambat, atau bahkan SMS yang pending. Dalam kondisi darurat, semua layanan yang seharusnya bisa menjadi akses pertolongan pertama korban justru tidak dapat diandalkan. Di Indonesia, telah muncul layanan seluler generasi keempat atau kita sebut dengan 4G-LTE (Long Term Evolution). 4G-LTE hadir menjawab kebutuhan manusia akan akses data dengan kecepatan tinggi. Menurut data Kementrian Komunikasi dan Informatika RI dalam peraturan distribusi frekuensi 2015, layanan ini pun hadir di Indonesia pada tahun 2015 ini dan akan beroperasi pada frekuensi 900/1800/2100 MHz. Agar memiliki kecocokan dengan frekuensi ini, maka provider HP akan berlomba-lomba mengeluarkan produk handphone baru yang support layanan 4G-LTE. Setelah 4G-LTE muncul, maka teknologi selanjutnya sudah mulai dikembangkan. Adalah teknologi 4G LTE Advanced, yang merupakan pengembangan lanjutan dari teknologi LTE yang memungkinkan jaringan memiliki pencapaian coverage area yang lebih besar, lebih stabil dan lebih cepat. Teknologi ini kerap kali disebut dengan 4G+. Layanan 4G+ ini menawarkan kecepatan akses 100-300 Mbps.
Dampaknya pada Ekosistem Pesisir dan Mamalia Laut Oleh: Muhammad Ichsan (LPDP, PK-21)1 LPDP Awardee, Master Program Conservation Biology, University of Queensland Jaya Kelvin BSc in Marine Science, Universitas Padjadjaran Pada tahun 2004, tepatnya pada hari minggu tanggal 26 Desember, Indonesia harus kembali menorehkan tinta hitam setelah pesisir barat Sumatera Utara diporak-porandakan oleh tsunami. Gempa bumi dengan kekuatan mencapai 9,3 Skala Richter (SR) membangkitkan tsunami dengan ketinggian maksimum 20 meter dan menghantam daratan sejauh 3 km. Jumlah korban yang meninggal dunia pun menjadi catatan yang sangat buruk bagi Indonesia dan dunia, yaitu mencapai 126.000 korban jiwa dan lebih dari 600.000 orang kehilangan tempat tinggal serta mata pencahariannya. Peristiwa yang mengenaskan ini tentu memerlukan perhatian yang lebih mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan. Selain itu, posisi Indonesia yang berada di daerah pertemuan (zona konvergen) tiga lempeng yang dapat meningkatkan risiko terjadinya gempa bumi. Menurut BMKG Indonesia, gempabumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat adanya pelepasan energi di dalam bumi secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi.
5
6
Akumulasi energi penyebab terjadinya gempabumi dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi yang dihasilkan dipancarkan kesegala arah berupa gelombang gempabumi dan dapat terjadi di daratan maupun di dalam laut. Gempabumi dalam laut merupakan salah satu penyebab terkuat yang dapat membangkitkan tsunami. Namun, gempabumi yang dimaksud adalah yang memiliki titik pusat (episenter) di tengah laut yang biasa disebut dengan seaquake. Menurut catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi oleh Putranto (2009), pada rentang waktu 1629-2006, di Indonesia telah terjadi tsunami sebanyak 110 kali dari 186 jumlah kejadian gempabumi (Magnitude >6 SR). Oleh karena itu, jelas bahwa seaquakes merupakan salah satu ancaman terbesar bagi pesisir Indonesia. Satu hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita, bagaimana dampak tsunami pada ekosistem dan biota dalam laut itu sendiri? Dampak yang kita lihat di daratan hanyalah sebagian kecil. Hancurnya berbagai infrastruktur buatan manusia ternyata hanya sebagian kecil dampak yang terlihat. Sebagai contoh: bagaimana tsunami mempengaruhi biota laut; dan apa pengaruhnya pada keseluruhan ekosistem; serta, tahukah kita bahwa tingkah laku biota laut tertentu, misalnya mamalia laut ternyata dapat memprediksi akan terjadinya gempa bawah laut, sehingga dapat digunakan untuk mitigasi dini? Dampak pada kestabilan wilayah pesisir: Kestabilan pada wilayah pesisir didukung oleh ekosistem yang sehat. Oleh karenanya, ekosistem pesisir memegang peranan penting baik dalam mitigasi awal maupun pada saat bencana. Sebelum terjadinya bencana, ekosistem pesisir yang sehat dapat memberikan kehidupan bagi masyarakat pesisir. Ekosistem pesisir terdiri dari vegetasi pantai, tumbuhan laut (lamun), terumbu karang, serta ikan-ikan yang saling berhubungan satu sama lain. Masing-masing memiliki fungsi yang besar seperti melindungi pesisir dari angin laut, meredam gelombang laut, dan yang terpenting adalah sebagai sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Namun, apa yang terjadi pasca terjadinya tsunami pada ekosistem pesisir? Tsunami dapat merusak seluruh ekosistem pesisir dan mengakibatkan kematian pada setiap biota yang berada di jalur propagasinya. Populasi vegetasi pantai, lamun, karang laut, serta ikan dapat menurun secara drastis pasca tsunami; lebih dari itu, perubahan iklim mikro di wilayah pesisir, penurunan tingkat produktivitas, serta terganggunya rantai makanan juga pasti terjadi. Wilayah pesisir menjadi labil sebagaimana daerah yang tidak memiliki ekosistem pesisir. Di sisi lain, tsunami dapat menjadi titik balik bagi daerah tertentu; diibaratkan seperti mesin komputer yang di-instal ulang, kembali seperti kondisi awal. Vegetasi pantai dan biota laut yang tidak bertahan hidup biasanya yang berada pada kondisi lemah, yaitu sudah tua atau terlalu muda. Oleh karena itu, yang tersisa adalah individuindividu terbaik dari masing-masing ekosistem pesisir. Selain itu, tsunami ternyata dapat membawa kesuburan pada lingkungan pesisir sehingga membuat daerah tersebut menjadi lebih baik untuk ditumbuhi vegetasi pantai dan biota laut. Apakah mamalia laut ikut terancam oleh seaquake? Setelah melakukan tindakan preventif, lalu bagaimana dengan peringatan dini terhadap bencana? Meskipun gempa laut dan tsunami seringkali tidak terdeteksi, beberapa hewan menunjukkan pola-pola tertentu terkait kebencanaan, yang kedepannya diharapkan dapat menjadi peringatan dini secara alami; hal ini tentunya menuntut penjelasan ilmiah yang didukung bukti konkret. Salah satu pola pada biota laut terjadi adalah pada mamalia laut. Mamalia laut, khususnya paus, adalah predtor puncak di lautan dimana fungsinya sebagai pengendali rantai makanan dan penjaga kestabilan ekosistem. Dalam hal ini, mamalia laut bertindak sebagai indikator bencana di laut – seaquake maupun tsunami. Hal ini didukung oleh kemampuan mamalia laut dalam merasakan dinamika lingkungan disekitarnya. Spesies mamalia laut yang paling sensitif adalah paus sperma (Physeter macrocephalus); seaquake merupakan salah satu faktor alam yang tidak biasa terjadi namun memiliki kaitan yang erat dengan peristiwa terdampar paus sperma di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan persentase sebesar hampir 90% dari peristiwa terdamparnya paus tersebut ternyata diawali oleh kejadian
gempabumi bawah laut (magnitude 4-6 SR) dalam jarak waktu kurang dari 2 bulan. Seorang Kapten Laut bernama Capt. David W. Williams dari Deafwhale Society menuliskan beberapa artikel mengenai kejadian terdamparnya mamalia laut terkait seaquakes. Dalam websitenya (www.deafwhale.com), dikatakan bahwa beberapa kejadian terdamparnya mamalia laut disebabkan oleh hilangnya kemampuan navigasi yang rusak akibat adanya peningkatan tekanan secara tiba-tiba pada bagian tubuh hewan, khususnya bagian kepala. Hal tersebut dapat terjadi pada saat hewan tersebut melakukan deep-diving untuk mencari mangsa hingga kedalaman ratusan meter. Apakah mamalia laut tidak dapat mendeteksi suara yang dihasilkan oleh seaquakes? Jawaban dari pertanyaan itu adalah ya, bisa. Namun, hanya terbatas pada gempa dengan kekuatan yang besar serta kedalaman gempa (focal depth) yang dekat dengan permukaan dasar laut saja. Sebaliknya, gempa dengan kekuatan relatif kecil, yaitu 4-6 SR, dan getaran dari gesekan lempeng-lempeng lebih dalam dari 20 km di bawah dasar laut ternyata hampir tidak terdeteksi oleh mamalia; terlebih lagi pada saat mamalia berada di sekitar permukaan laut. Oleh karena itu, justru jarang ditemukan kejadian terdamparnya mamalia laut apabila terjadi gempa yang kuat atau gempa yang dapat membangkitkan tsunami. Terdapat 4 peristiwa dari total 21 kejadian terdamparnya paus sperma di Indonesia yang tidak diikuti oleh kejadian gempa bawah laut sebelumnya, yaitu di Bekasi, Maratua Berau (Kalimantan), Raja Ampat and Sorong (Papua Barat) (Ichsan dkk, 2014; Whale Stranding Indonesia 2013). Dengan adanya bukti-bukti tersebut, peranan mamalia laut ini tentunya layak dipelajari untuk antisipasi bencana gempabumi dalam laut dan tsunami. Mitigasi di Indonesia: Mitigasi adalah sebuah upaya meminimalisir dampak bencana. Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar risiko dan dampak yang terjadi dapat ditekan. Untuk itu diperlukan berbagai bentuk pendekatan dalam menetapkan strategi mitigasi. Khusus di Indonesia, terdapat satu program mitigasi tsunami yang dapat memberikan peringatan dini, yaitu INA-TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System). Program tersebut dibuat pada tahun 2005 atas kerjasama dari beberapa instansi pemerintah maupun swasta, serta dukungan dari luar negeri (Jerman dan Amerika Serikat). Pada pelaksanaannya, INA-TEWS membutuhkan bagian terpenting dalam memberikan informasi, yaitu data. Oleh karena itu, terus dilakukan pengembangan dari segi kualitas maupun kuantitas dalam hal observasi. Pada konteks seaquakes dan tsunami, maka alat ukur yang berperan penting adalah seismograf (pengukur getaran gempabumi), tide gauge dan buoy (pengukur tinggi muka laut), serta satelit untuk menerima dan menyebarkan informasi. Saat ini sudah tersebar sebanyak 160 seismograf dan 130 tide gauge (pengukur pasang-surut) di berbagai daerah di Indonesia, yang dipasang oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Bakosurtanal. Hal tersebut juga didukung dengan sebuah satelit bernama Garuda-1 yang dikembangkan oleh Asia Cellular Satellite (ACeS) bersama Telkom Indonesia. Selama pelaksanaannya, INA-TEWS semakin berkembang dalam hal kecepatan pemberian informasi peringatan dini. Dengan sistem yang ada saat ini, peringatan dini tsunami dapat kita ketahui dalam waktu kurang dari 5 menit pasca terjadinya seaquake. Hal tersebut juga didukung oleh peningkatan kualitas hasil model agar informasi yang diberikan lebih akurat. Kemudian dibutuhkan waktu sekitar 5 menit lagi untuk proses penyebaran informasi ke daerahdaerah yang diperkirakan terpengaruhi oleh gempa tersebut. Maka, dengan kecepatan gelombang tsunami yang bervariasi antara 10-45 menit dari episenter, INA-TEWS diharapkan dapat lebih siap dalam memberikan peringatan dini untuk meminimalisir dampak Tsunami. Pada akhirnya, seaquakes merupakan ancaman nyata yang dapat mengakibatkan kematian, tidak hanya pada manusia namun juga makhluk hidup lainnya, seperti vegetasi pantai, terumbu karang, ikan-ikan, dan juga mamalia laut. Segala usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalisir bencana tersebut akan dikembalikan lagi kepada seberapa besar niat kita, seberapa unggul kita dalam merancang sistem dan alat, namun pada akhirnya kita hanya dapat berharap yang terbaik pada Tuhan Yang Maha Esa.
4.
Konsep “Building Back Better” dan Penerapannya dalam Konteks Pengurangan Resiko Bencana Pesisir di Indonesia Oleh: Annisa Triyanti, S.Si., M.Sc Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-09 PhD candidate Programme Group Governance and Inclusive Development, Department of Human Geography, Planning, and International Development, Universiteit van Amsterdam Dosen Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, UGM
Bencana alam pesisir yang pernah terjadi di Indonesia dan memakan ratusan ribu korban jiwa adalah tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 26 Desember 2004. Tsunami Aceh terjadi karena dipicu oleh gempabumi berkekuatan 9,1 SR yang berpusat di 240 km sebelah utara dari pantai Aceh (Gambar 1). Empat belas negara mengalami efek dari gempabumi tersebut, menyebabkan lebih dari 230.000 orang meninggal, jutaan orang menghilang, serta kerugian material yang sangat besar. Adapun contoh bencana alam secara menjalar yang dialami di pesisir Indonesia, terjadi di pesisir utara Jawa, yakni di Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Di Ibukota Jakarta, bencana pesisir yang terjadi merupakan banjir rob dan penurunan muka tanah, yang dipercayai oleh para ahli disebabkan oleh penurunan muka tanah (land subsidence). Penurunan muka tanah ini menyebabkan daerah Jakarta semakin rendah sehingga rawan terhadap genangan/ inundasi yang disebabkan baik oleh banjir sungai ataupun banjir pesisir (Gambar 2).
Widiyana Riasasi, S.Si., M.Sc MSc on Planning and Management of Coastal Area and Watershed, Faculty of Geography, Universitas Gadjah Mada Research Assistant, Fakultas Geografi, UGM Menurut UNISDR (2009), bencana diartikan sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan manusia, yang disebabkan oleh faktor alam ataupun non-alam dan berakibat pada timbulnya korban jiwa, kehilangan harta benda, kerusakan lingkungan, maupun dampak psikologis. Bencana dapat terjadi dimanapun dan kapanpun. Bencana alam di Indonesia sangat beragam, antara lain erupsi gunungapi, gempabumi, banjir, kekeringan, dan tsunami. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dan rawan terhadap bencana. Bencana di pesisir memiliki tipe tersendiri, mengingat letaknya yang berada pada perbatasan daratan dengan perairan. Jenis bencana pesisir di Indonesia antara lain banjir pasang surut, penurunan muka tanah, abrasi pantai, dan tsunami. Berdasarkan durasi terjadinya, bencana alam dibedakan menjadi bencana menjalar/ creeping disaster dan bencana tiba-tiba/ sudden disaster. Yang termasuk ke bencana alam tiba-tiba adalah gempabumi, tsunami, dan erupsi gunungapi. Sedangkan bencana alam menjalar termasuk di dalamnya banjir rob, kenaikan muka air laut, dan kekeringan.
Gambar 2. Banjir di Kota Jakarta (Sumber : Dokumentasi Pemprov DKI Jakarta)
Di pesisir Demak, kenaikan muka air laut disertai dengan abrasi pantai, menyebabkan rusaknya ratusan rumah dan bahkan hilangnya dua dusun di Kecamatan Sayung (Lihat Gambar3).
Gambar 1. Pusat Gempa yang Memicu Tsunami di Aceh (Sumber: modifikasi dari citra google map, 2015)
7
8
Gambar 3. Dusun Tenggelam di Demak ( Satriagasa , 2014)
Pengelolaan Bencana untuk Pengurangan Risiko Bencana: Bencana selalu membawa dampak buruk, baik untuk makhluk hidup maupun lingkungan. Akan tetapi, untuk masyarakat Indonesia khususnya, “hidup dengan bencana” sudah menjadi hal yang umum. Hal tersebut tidak dapat dihindari karena mengingat letak geografis Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan bencana yang baik untuk mengurangi risiko bencana. Peran pemerintah Indonesia yang serius dalam pengelolaan bencana salah satunya dengan dikeluarkannya UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana dilakukan melalui 3 tahap, yaitu pra bencana, tanggap darurat (bencana), dan pasca bencana. Jika diilustrasikan, tahapan penanggulangan bencana dapat digambarkan sebagai suatu siklus karena sifatnya yang terus berulang, sebagaimana terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Siklus Manajemen Bencana
Sejalan dengan undang-undang pengelolaan bencana, konsep Build(ing) Back Better muncul seiring dengan giatnya PBB melalui UNISDR dan pengambil kebijakan terkait menggalakkan pentingnya pengelolaan bencana. Konsep Build(ing) Back Better (BBB) atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu Pembangunan yang lebih baik diperkenalkan pertama kali oleh para ilmuwan dan praktisi dalam pengelolaan bencana pasca tsunami Samudera Hindia. Konsep tersebut muncul untuk menekankan pentingnya pemulihan pasca bencana dalam peningkatan kapasitas daerah rawan bencana agar dapat bangkit kembali ke kondisi normal dan aman. Saat itu, mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, sebagai utusan khusus PBB untuk pemulihan tsunami tahun 2004, mengemukakan tekadnya bahwa proses pemulihan pasca tsunami harus lebih dari sekedar mengembalikan apa yang telah ada sebelumnya. Konsep BBB menjadi salah satu wacana yang sangat potensial dalam kerangka Pengurangan Risiko Bencana pasca 2015 (Sendai Framework) karena BBB bukan hanya konsep risiko pasca bencana akan tetapi juga merupakan langkah/aksi pengurangan risiko bencana di masa mendatang.
Dalam prinsip pengurangan risiko bencana, konsep BBB digunakan utamanya dalam tahap pasca bencana, yaitu pemulihan dan rekonstruksi. Pembangunan yang lebih baik infrastruktur, seperti tempat tinggal dan penampungan, untuk meningkatkan tingkat ketahanan dan mengurangi kerentanan masyarakat dalam masa pemulihan pasca bencana, diungkapkan oleh Lyonns dalam artikelnya yang dimuat di jurnal World Development tahun 2009. Sementara banyak ilmuwan dan praktisi yang berpendapat bahwa penekanan BBB tidak hanya mengenai bagaimana infrastruktur fisik dibangun dengan lebih baik dan lebih aman, akan tetapi juga pembangunan aspek non-fisik, seperti kapasitas masyarakat dan lembaga untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana selanjutnya yang mungkin muncul. Penerapan BBB dalam konteks pengurangan risiko bencana pesisir di Indonesia: Penerapan konsep BBB untuk pengurangan risiko bencana pesisir di Aceh sangat jelas terlihat melalui program pembangunan infrastruktur yang mendongkrak kembali kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. BBB didukung oleh berbagai aktor, baik pemerintah maupun swasta di level nasional dan internasional (Penjelasan lebih detil dapat ditemukan dalam tulisan Manu, Gupta et al dalam publikasi “ Building back better for next time” yang dipublikasi oleh UNISDR tahun 2010). Sudah lebih dari 10 tahun sejak bencana tsunami Aceh, PBB melalui UNICEF memuji masyarakat Aceh atas kebangkitannya dari keterpurukan pasca bencana. Banyak pembelajaran yang diperoleh dari usaha pembangunan lebih baik (BBB), yang juga kemudian digunakan untuk tanggap bencana lainnya. Atas hal tersebut, Indonesia dianggap sebagai leader bagi negara lain dalam hal mempromosikan pengurangan risiko bencana. Di pesisir Demak dan Jakarta, konsep BBB belum dapat diterapkan secara konkrit. Hal ini karena determinan tipologi bencana pesisirnya, yaitu bencana menjalar/ creeping disaster yang sulit untuk diukur parameter keberhasilannya dalam hal pengurangan risiko bencana. Hingga artikel ini dibuat, belum terdapat konsensus dari pihak-pihak terkait mengenai konsensus parameter pengurangan risiko bencana yang sifatnya menjalar/creeping disaster di wilayah pesisir. Berdasarkan argumentasi di atas, merupakan pekerjaan rumah bagi Indonesia dalam pengurangan risiko bencana pesisir adalah dalam hal penerapan konsep BBB, khususnya untuk jenis bencana creeping disaster yang sifatnya perlahan namun tetap berdampak pada kerugian dan gangguan terhadap kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang perlu untuk kita jawab bersama ke depan adalah : “Bagaimanakah formulasi yang tepat dalam manajemen bencana yang menjunjung konsep pembangunan yang lebih baik di saat bencana yang terjadi di pesisir bersifat berkesinambungan?”
5.
Penempatan Aset dan Persiapan Infrastruktur sebagai Suatu Strategi Kesiap-siagaan Oleh: Reza Achwadi Defense Systems Management Naval Postgraduate School, Canada Mayor Laut (TNI Angkatan Laut) Apte (2009) dalam artikelnya Humanitarian logistics: A new field of research and action menyatakan bahwa peristiwa gempa dan tsunami Aceh 2004 telah menimbulkan selain korban jiwa yang cukup banyak juga pembiayaan yang sangat tinggi untuk melaksanakan proses bantuannya dengan kisaran 14 milyar dolar. Tomasini dan Wassenhove (2009) dalam bukunya yang berjudul Humanitarian Logistics mengatakan bahwa topik tentang logistik kemanusiaan setelah kejadian tsunami Aceh 2004, telah menjadi salah satu hal yang paling menarik bagi para akademisi dan praktisi untuk dipelajari lebih jauh dan mendalam. Thomas (2003) dalam artikelnya Humanitarian logistics: Enabling disaster response berargumen bahwa suatu respon bantuan kemanusiaan atau penanggulangan bencana akan menjadi efektif dan efisien sangat tergantung kepada para pelaku distribusi logistik untuk mampu memperoleh, memindahkan, dan menerima peralatan atau bahan bantuan tersebut tepat dimana suatu kegiatan penanggulangan bencana sedang dilaksanakan. Analisa dari beberapa pakar yang menggeluti bidang penanggulangan bencana alam tersebut di atas menyimpulkan bahwa suatu operasi bantuan kemanusiaan yang berhubungan dengan bencana alam adalah selalu berkaitan dengan aliran logistik dalam bentuk manajemen rantai pasokan (Supply Chain Management).
Gambar 1. Rantai pasokan dalam kegiatan bantuan kemanusiaan (Apte, 2009)
Kesiapsiagaan (preparedness) adalah suatu upaya yang dilakukan sebelum timbulnya suatu bencana alam. Pada periode ini diharapkan kegiatan yang dilakukan adalah antisipasi terhadap penempatan aset dan persiapan infrastruktur. Penempatan aset yang dimaksud dapat berupa perluasan atau pengembangan pergudangan, fasilitas medis, kemungkinan lokasi tempat penampungan sementara, dan penyediaan alat transportasi di daerah rawan bencana yang ditempatkan pada jarak aman. Sedangkan persiapan infrastruktur dapat berupa penyediaan atau penambahan landasan pacu pesawat, ruang penyimpanan di lapangan terbang atau pangkalan udara dan perencanaan mode transportasi. Kegiatan bantuan logistik kemanusiaan bersifat sangat kompleks terutama pada saat proses distribusi dan kita dapat mengikuti pola rantai pasokan seperti gambar di atas dengan mempertimbangkan faktor-faktor dan karakteristik yang mempengaruhinya.
Kejadian bencana alam di Indonesia maupun di negara lain telah mendorong penggunaan model matematika sebagai suatu alat analisis untuk diterapkan dalam persiapan distribusi logistik kemanusiaan. Saat ini para perencana kegiatan kemanusiaan fokus pada tingkat taktis dan operasional dalam proses distribusi logistik. Kecepatan dan adaptasi adalah hal vital dalam proses distribusi tersebut dan tidak dapat berjalan dengan baik bila sumber daya dan kapasitas yang ada tidak mencukupi. Seperti keberadaan fasilitas gudang sebagai tempat penampungan bahan bantuan (humanitarian aid/relief supports) yang ada memiliki peran penting pada tahap pembentukan awal ini. Hal yang menjadi pertimbangan antara lain seperti aset apa yang harus ditempatkan di gudang tersebut, dimana gudang tersebut harusnya berlokasi, bagaimana mengelola inventaris dari sumber daya yang ada, dan bagaimana proses transportasi bahan bantuan maupun evakuasi kepada daerah terdampak, dan siapa saja orang yang memerlukannya. Dua model optimalisasi matematika yang umum digunakan adalah Set Covering Problem (SCP) dan Facility Location Problem (FLP) (Balakrishnan et. al., 2007). Model pertama ditujukan pada suatu area dan merupakan sebuah problem binary yang menunjukan dapat dibangun atau tidaknya sebuah fasilitas di daerah tersebut. Model kedua diperuntukan bagi problem berdasarkan jaringan dimana bila suatu fasilitas harus ditentukan untuk dibuka atau ditutup dari beberapa kemungkinan fasilitas lainnya yang ada, kemudian pada tahap berikutnya untuk mengembangkan fasilitas terpilih itu. Persiapan infrastruktur dapat dihubungkan dengan suatu kegiatan transportasi. Operasi bantuan selalu melibatkan kegiatan transportasi dimana proses distribusi logistik dan evakuasi diberikan kepada para korban di daerah terdampak. Dua kegiatan tersebut sangat berhubugan erat dengan adanya infrastruktur dan peralatan yang memadai dan pada saat terjadinya bencana alam dapat dipastikan akan mengalami gangguan. Para perencana kegiatan ini mengubah suatu bentuk jaring transportasi yang ada secara nyata di lapangan ke bentuk jaring transportasi berdasarkan ruang dan waktu yang ada di atas kertas disesuaikan dengan proses pengambilan keputusan yang bersifat dinamis. Tiga bentuk jaring transportasi yang lazim digunakan yaitu: lalu lintas logistik dengan rute dari satu titik ke titik lainnya dengan menggunakan satu mode transportasi, lalulintas logistik dengan transit atau perpindahan dengan menggunakan lebih dari satu mode transportasi, dan lalu lintas permintaan (demand) dan dukungan (supply) logistik dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan. Logistik dalam hal ini bisa berupa bahan makanan, air minum, peralatan sanitasi atau higienis, obat-obatan, para korban, personil medis dan bentuk bantuan lainnya. Oleh karena itu, model matematika yang dikembangkan dalam hal ini harus menunjang dalam proses pengambilan keputusan. Fungsi obyektif yang ada dalam model matematika untuk transportasi tersebut biasanya meminimalkan jumlah keseluruhan dari biaya (cost) penggunaan mode transportasi, biaya komoditas yang akan di distribusikan, dan biaya permintaan dan dukungan berbanding dengan waktu yang dibutuhkan dalam proses kegiatannya. Dua pendekatan dalam model matematika untuk transportasi ini biasanya menggunakan pertimbangan jarak tempuh dan jumlah komoditas atau logistik yang dapat dimuat atau diangkut. Contohnya adalah pada saat bencana terjadi seperti gempa bumi dan banjir, biasanya infrastruktur jalan raya tidak dapat dilalui atau mengalami kerusakan sehingga penggunaan transportasi udara seperti helikopter maupun pesawat terbang dalam misi bantuan adalah hal yang lazim meskipun memiliki keterbatasan dalam jumlah logistik yang dapat di angkut dan membutuhkan biaya yang cukup banyak. Memperbanyak jumlah alat angkut udara seperti helikopter juga sangat bermanfaat dalam menjangkau daerah-daerah terisolir.
9
Gambar 1. Contoh aset alat angkut udara dengan kemampuan daya angkut logistik cukup besar
Dengan melakukan persiapan yang matang diharapkan pada saat terjadinya bencana alam kita dapat mengurangi risiko jatuhnya korban yang lebih banyak. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana tersebut dapat berupa penempatan aset maupun persiapan infrastruktur. Penempatan aset dan persiapan infrastruktur yang dimaksud adalah dengan memperhitungkan secara analisis dengan menggunakan beberapa model matematika untuk mendukung proses pengambilan keputusan. Karakteristik lainnya yang harus dipertimbangkan dalam penempatan aset maupun persiapan infrastruktur ini adalah dari segi pengaruh lingkungan atau alam itu sendiri. Pembangunan fasilitas seperti pergudangan maupun landas pacu sementara berada di wilayah yang aman dari rawan terhadap bahaya bencana alam susulan seperti tanah longsor. Beberapa catatan dan ilustrasi di bawah ini diambil dari negara Yunani. Beberapa referensi yang berhubungan dengan penempatan aset dan transportasi turut menjadi lampiran dari penulisan ini.
Gambar 2. Grafis dari solusi optimal dengan menggunakan continuous variables
10
Gambar 3. Kegiatan kesiapsiagaan transportasi di Pulau Kefalonia, Yunani dengan transportasi truk, pesawat terbang, helikopter, dan kapal feri Ro-Ro (Mitsotakis & Kassaras, 2010)
Daftar Pusaka: Apte, A. (2009). Humanitarian logistics: A new field of research and action. Foundations and trends in technology, information, and operations management. 3(1), 1-100. DOI: 10.1561/0200000014. Balakrishnan, N., Render, B., & Stair, R.J. (2007). Managerial decision modeling with spreadsheet. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Mitsotakis, A., & Kassaras, G. (2010, June). Managing disaster in the Ionian Sea: Planning and optimizing logistics for disaster relief operations for the Island of Kefalonia. Monterey, CA: (MBA Professional Report) Naval Postgraduate School. A. Thomas, “Humanitarian logistics: Enabling disaster response,” Fritz Institute, pp. 15, 2003. Tomasini, R. M., & Wassenhove, L.V. (2009). Humanitarian logistics. Houndmills, Basingstoke; New York, NY: Palgrave Macmillan.
6.
Pemanfaatan Virtual Environment untuk Simulasi Evakuasi Bencana Alam Oleh: Ridwan A. B. Prasetyo, S.Psi. Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05 Master of Human Factors and Ergonomics The University of Nottingham, Inggris
Gambar 4. Rangkuman artikel jurnal mengenai penempatan aset (Apte, 2009)
Gambar 5. Rangkuman artikel jurnal mengenai transportasi (Apte, 2009)
Mempelajari perilaku manusia saat bencana alam merupakan salah satu langkah paling penting dalam penanganan bencana alam yang memang menjadi “rutinitas” bagi bangsa Indonesia. Dengan mengetahui apa yang akan orang-orang lakukan ketika bencana alam terjadi, otoritas terkait dapat sangat terbantu dalam menyusun strategi maupun kebijakan penanganan bencana alam yang tepat sasaran. Salah satu metode yang nampaknya belum banyak diaplikasikan di Indonesia adalah dengan memanfaatkan metode virtual environment (VE) untuk memodelkan perilaku manusia saat terjadi bencana alam. Metode VE dalam konteks ini pada dasarnya adalah membuat sebuah model simulasi proses evakuasi saat terjadi suatu situasi bencana alam. Pemodelan simulasi tersebut dilakukan dengan bantuan perangkat komputer, beserta software atau aplikasi terkait yang mampu untuk menghasilkan gambaran mengenai proses evakuasi tersebut. Metode VE ini sebenarnya sudah banyak dikaji dan diterapkan untuk konteks mikro, misalnya evakuasi orang-orang dari dalam gedung ketika terjadi gempa bumi atau kebakaran. Namun demikian, pengkajian dan penerapan dalam konteks yang lebih besar, misalnya evakuasi penduduk satu wilayah di sekitar Gunung Merapi ke wilayah lain yang lebih aman, masih sangat perlu untuk dilakukan. Metode VE memiliki beberapa keuntungan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan metode lain. Salah satunya adalah masalah biaya. Metode konvensional yang cukup populer untuk mempelajari perilaku manusia dalam bencana alam adalah dengan melakukan evacuation drill (latihan evakuasi). Sayangnya, metode ini akan sangat mahal karena melibatkan banyak sumber daya, seperti manusia dan harta benda (properties), mulai dari persiapan hingga saat pelaksanaan latihan (Kanno, Shimizu, & Furuta, 2006). Sementara itu, penggunaan VE tidak akan melibatkan terlalu banyak sumber daya sebagaimana latihan evakuasi (Lawson & Burnett, in press). Bisa dibayangkan ketika suatu otoritas melakukan latihan evakuasi bagi para penduduk di suatu wilayah di Jakarta yang sering terkena banjir tahunan (mungkin setingkat kelurahan atau kecamatan), tentu saja biaya sumber daya yang diperlukan akan sangat tinggi. Bandingkan jika menggunakan metode VE seperti yang diterapkan oleh Uno dan Kashiyama (2008) ketika memodelkan proses evakuasi warga di sekitar Takadanobaba (wilayah Shinjuku, Tokyo) saat terjadi
11
banjir, atau Dawson, Peppe, dan Wang (2011) untuk wilayah Towyn di Wales bagian utara, biaya sumber dayanya akan tidak terlalu tinggi dan parameter-parameter yang dipelajari (waktu evakuasi, potensi jumlah korban, dsb) akan lebih terukur dengan baik. Keuntungan lainnya dari metode VE adalah terkait masalah etika. Pelatihan evakuasi, sebagaimana disinggung sebelumnya, biasanya akan bersifat: dilakukan di lingkungan nyata (real environment), melibatkan orang-orang yang nyata (real people), dan melibatkan tugas-tugas evakuasi yang nyata pula (real tasks). Misalnya, orang-orang (people) akan diskenariokan sedang berada dalam kondisi emergency di dalam gedung (environment) dan diminta untuk keluar dari gedung tersebut secepat mungkin (tasks). Menurut Muir, Bottomley, dan Marrison (1996), metode demikian akan sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera dan ketidaknyamanan bagi partisipan. Sementara itu, metode VE ini akan terbebas dari masalah etika tersebut karena memang tidak melibatkan manusia secara langsung. Metode VE juga akan mampu meminimalisasi bias perilaku yang akan menurunkan validitas dari studi yang sedang dilakukan. Latihan evakuasi akan sangat berpotensi menimbulkan bias perilaku karena sejak awal partisipan sudah diinformasikan bahwa yang akan mereka lakukan (simulasi) tidaklah nyata, sehingga mereka tidak akan bereaksi sebagaimana ketika menghadapi situasi bencana alam yang sebenarnya (Moroney & Lilienthal, 2009). Namun demikian, merupakan suatu hal yang mustahil juga, jika untuk mendapatkan gambaran yang valid mengenai perilaku manusia saat bencana suatu otoritas melakukan latihan evakuasi tanpa memberi tahu partisipan/warga masyarakat terlebih dahulu, misalkan dengan tiba-tiba memberikan pengumuman darurat dan meminta masyarakat untuk mengungsi padahal tidak terjadi apa-apa. Praktik seperti itu sangat tidak dianjurkan karena terkait dengan etika (Kanno, et al., 2006). Dalam penerapan metode VE untuk studi evakuasi saat bencana alam, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat model perilaku manusia yang akan disimulasikan, khususnya perilaku manusia dalam konteks darurat (emergency). Oleh karena itu, memperoleh data mengenai perilaku manusia ketika berada dalam situasi bencana alam akan sangat menentukan validitas dari metode VE ini. Lawson (2014) menyarankan beberapa metode pengumpulan data perilaku manusia saat bencana yang cukup andal. Pertama, studi literatur, dengan mempelajari artikel atau laporan akademis yang melaporkan mengenai perilaku manusia saat bencana. Kedua, mempelajari laporan dari otoritas terkait, seperti kepolisian atau dinas pemadam kebakaran. Ketiga, menanyakan respon masyarakat mengenai bagaimana mereka akan merespon sebuah skenario darurat. Terkait dengan metode ketiga, studi yang dilakukan oleh Lawson, Sharples, Clarke, dan Cobb (2013) mengkonfirmasi bahwa memberikan gambaran mengenai sebuah situasi darurat (hypotetical emergency scenario) kepada masyarakat untuk kemudian menanyai mereka tentang bagaimana mereka akan merespon situasi darurat tersebut merupakan suatu metode baru yang cukup bisa diandalkan untuk mendapatkan data yang valid mengenai perilaku manusia saat bencana. Setelah data-data perilaku yang diperlukan berhasil didapatkan, proses selanjutnya adalah memodelkan perilaku manusia ke dalam simulasi komputer. Pemodelan perilaku manusia saat bencana alam banyak didasari pada teori-teori pengambilan keputusan pada manusia. Terdapat banyak teori-teori pengambilan keputusan yang bisa digunakan sebagai dasar, namun demikian dalam konteks ini, yang terpenting adalah sejauh mana teori yang digunakan sebagai dasar dapat diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman (Jou, Yenn, Lin, Yang, & Chiang, 2009). Proses ini selain dapat dilakukan dengan mengembangkan VE sendiri, bisa juga dengan menggunakan software-software evakuasi yang sudah dikembangkan dengan baik dan beredar secara komersil di pasaran. Langkah terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah melakukan validasi terhadap model simulasi yang sedang dikembangkan. Validasi ini dapat dilakukan dengan metode expert judgement, yaitu dengan membandingkan konsep model simulasi yang sedang dikembangkan dan luaran yang dihasilkan di dunia nyata. Selain itu, membandingkan model simulasi yang sedang dikembangkan dengan
12
model simulasi lain dapat menjadi alternatif lain (Aboueljinane, Sa hin, & Jemai, 2013). Validasi dari sebuah model simulasi ini penting untuk membangun kepercayaan diri bahwa model simulasi yang sedang dikembangkan akan mampu memberikan gambaran yang cukup mendekati keadaan sebenarnya mengenai proses evakuasi bencana alam. Berdasarkan uraian di atas, pengembangan metode VE akan sangat potensial untuk konteks kebencanaan di Indonesia. Pengembangan metode VE di Indonesia terutama sekali harus menyasar penerapan pada konteks makro, yaitu untuk evakuasi masyarakat secara masif dari wilayah bencana ke wilayah aman. Hal tersebut selanjutnya akan sangat bermanfaat untuk membantu otoritas terkait dalam merencanakan proses evakuasi masyarakat ketika terjadi bencana-bencana alam “rutin” di Indonesia seperti gempa bumi, erupsi gunung merapi, tanah longsor, banjir, atau tsunami. Tujuan pokoknya jelas, yaitu untuk meminimalisasi munculnya korban jiwa sebagai akibat dari terjadinya suatu bencana alam.
Gambar 1. Model simulasi evakuasi saat terjadi banjir di wilayah Towyn, Wales bagian utara (Dawson, Peppe, dan Wang, 2011). Sumber gambar: Tangkapan video di laman Youtube (https://www.youtube.com/ watch?v=o0EOlc5n9O8)
Daftar Pusaka: Aboueljinane, L., Sahin, E., & Jemai, Z. (2013). A review on simulation models applied to emergency medical service operations. Computer & Industrial Engineering, 66(4), 734-750. Dawson, R. J., Peppe, R., & Wang, M. (2011). An agent-based model for risk-based flood incident. Natural Hazards, 59(1), 167-189. Jou, Y.-T., Yenn, T.-C., Lin, C. J., Yang, C.-W., & Chiang, C.-C. (2009). Evaluation of operators’ mental workload of human-system interface automation in the advanced nuclear power plants. Nuclear Engineering and Design, 239, 2537-2542. Kanno, T., Shimizu, T., & Furuta, K. (2006). Modelling and simulation of resident’s response in nuclear disaster. Cognition, Technology, & Work, 8(2), 124-136. Lawson, G. (2014). Emergency Evacuation Simulation (Including DiFac Case Study) [Powerpoint handout]. Nottingham: The University of Nottingham. Lawson, G., & Burnett, G. (in press). Simulation and digital human modelling. In J. R. Wilson, & S. Sharples, Evaluation of Human Work, 4th edition. London: Taylor & Francis. Lawson, G., Sharples, S., Clarke, D., & Cobb, S. (2013). Validating a low cost approach for predicting human responses to emergency situations. Applied Ergonomics, 44(1), 27-34. Moroney, W. F., & Lilienthal, M. G. (2009). Human Factors in Simulation and Training: An Overview. In D. A. Vincenzi, J. A. Wise, M. Mustapha, & P. A. Hancock, Human Factors in Simulation and Training (pp. 3-38). Boca Raton: CRC Press. Muir, H. C., Bottomley, D. M., & Marrison, C. (1996). Effects of motivation and cabin configuration on emergency aircraft evacuation behavior and rates of egress. International Journal of Aviation Psychology, 6(1), 57-77. Uno, K., & Kashiyama, K. (2008). Development of simulation system for the disaster evacuation based on multi-agent model using GIS. Tsinghua Science and Technology, 13(S1), 348-353.
7.
MANAJEMEN RISIKO DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI YANG EFEKTIF Oleh: Septriono Hari Nugroho, ST Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05 Program Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian, Institut Teknologi Bandung Staf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian Laut Dalam - LIPI Secara geografis, Indonesia terletak diantara 2 benua (Asia dan Australia) serta 2 samudra (Hindia dan Pasifik). Gambar berikut ini menunjukkan lokasi Indonesia berada pada jalur penunjaman lempeng bumi, seperti penunjaman Lempeng Samudra Indo-Australia dengan Lempeng Benua Eurasia yang memanjang dari pantai barat Sumatera hingga pantai selatan Jawa terus ke timur sampai Nusa Tenggara.
Komponen 1, kegiatannya difokuskan pada pemahaman, pengorganisasian, penyampaian informasi terkait manajemen risiko bencana, termasuk di dalamnya pelatihan untuk pengetahuan dasar, praktek dan implementasinya yang diinformasikan ke pihak lain. Komponen 2, memastikan adanya pemahaman akan bencana, pengembangan kapasitas atau insfrastruktur, penguatan institusi untuk mendukung implementasi Rencana Awal Manajemen Risiko Bencana. Komponen 3, menggabungkan kajian risiko bencana dan pilihan yang efektif untuk mengkomunikasikan tentang risiko bencana kepada pengambil keputusan, perencana, pendidik, tokoh masyarakat, dan pejabat terkait. Komponen 4, difokuskan pada penyediaan dukungan teknis dan logistik untuk pengembangan dan implementasi kesepakatan manajemen Resiko Bencana dalam suatu kota.
Gambar 2. Program Manajemen Risiko Bencana (Haifani, 2008)
Gambar 1. Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng tektonik (Hamilton, 1979)
Menurut A. M. Nur dalam tulisannya di Jurnal Geografi (2010) yang berjudul “Gempa Bumi, Tsunami Dan Mitigasinya”, proses penunjaman ini menyebabkan Kepulauan Indonesia terdiri dari deretan gunung api terutama di Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara. A.M. Nur juga menyebutkan bahwa jalur penunjaman lempeng di wilayah Kepulauan Indonesia merupakan jalur penyebab gempa tektonik yang bersifat regional dan umumnya kerusakan yang ditimbulkan sangat parah. Sejumlah peristiwa bencana gempa bumi dengan magnitude besar akhir–akhir ini sering terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti gempabumi dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, di Pulau Nias pada tanggal 28 Maret 2005 , di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, di Pangandaran 17 Juli 2006, di Tasikmalaya 2 September 2009 dan gempabumi Padang 30 September 2009. Pengalaman Indonesia menghadapi sejumlah gempa besar dan mematikan seharusnya menjadi bahan pelajaran. Namun sayangnya upaya untuk mengurangi dampak bencana yaitu dengan melakukan kegiatan mitigasi bencana masih belum optimal. Seperti halnya yang disampaikan oleh Kepala Badan Geologi yang kala itu dijabat oleh Surono, dalam seminar nasional Jaya Giri Jaya Bahari yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Senin (22/9/2014), diungkapkan bahwa mitigasi bencana masih belum menjadi fokus dan belum dianggap sebagai modal. Sebagai contoh nyata yaitu pembangunan yang memperhatikan risiko bencana belum diperhatikan, selain itu masyarakat juga masih enggan membangun rumah tahan gempa. Manajemen Risiko Bencana: Kerangka kerja manajemen risiko bencana berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Haifani tahun 2008, seperti yang dijelaskan dalam gambar 2, bagan kerja dibedakan menjadi 4 (empat) komponen kerangka kerja dengan aktivitas dan outputnya akan mengimplementasikan rencana awal manajemen risiko bencana di setiap kota.
Manajemen bencana difokuskan pada pengurangan bencana (relief), penanggulangan bencana, rehabilitasi dan perbaikan. Pada saat ini telah ada pergeseran cara pandang akan manajemen bencana yang menekankan pada pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, bukan pada penguatan sistem kedaruratan terhadap bencana (penanggulangan bencana, relief, rehabilitasi dan perbaikan). Secara umum kegiatan manajemen bencana yang efektif dapat dibagi dalam ke dalam tiga kegiatan utama, yaitu: 1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini; 2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian; 3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Gambar 3. Siklus manajemen bencana (Rais & Arsy, 2010 dengan modifikasi)
Dalam Siklus Manajemen Bencana (Gambar 3), kelemahan terjadi pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
13
Mitigasi Bencana yang Efektif: Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama (Gambar 4), yaitu: 1. Penilaian bahaya (hazard assesment); Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana. 2.Peringatan (warning); memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dan lain sebagainya). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3.Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan). Dibutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Selain itu, perencanaan tata ruang untuk menentukan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur). Manajemen risiko dan mitigasi bencana geologi yang efektif diperlukan untuk mengurangi risiko-risiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan pengurangan resiko bencana jangka panjang.
Gambar 4. Siklus mitigasi bencana yang efektif
8.
UPAYA MITIGASI GUNA MENGURANGI KORBAN BENCANA GERAKAN TANAH Oleh: Septriono Hari Nugroho, ST Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05 Program Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian Institut Teknologi Bandung Staf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian Laut Dalam - LIPI Ageng Nurmalasari, ST Mahasiswa Program Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian Institut Teknologi Bandung
Bencana longsor atau gerakan tanah (landslide) merupakan fenomena alam yang lazim terjadi di Indonesia. Longsor yang barubaru ini terjadi adalah pada tanggal 17 Juni 2015 di Pantai Gunung Kidul, Yogyakarta, kejadian ini mengakibatkan beberapa orang luka dan tewas karena tertimpa tebing. Peristiwa bencana alam tersebut terjadi sangat tiba – tiba dan merupakan daerah yang tidak diwaspadai adanya bahaya gerakan tanah.
14
Gambar 1. Tebing yang longsor di Pantai Gunung Kidul (www.beritasatu.com) Fenomena gerakan tanah sudah sejak lama dikenal, yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa fenomena ini bertambah sering frekuensinya dan dimensinya pun bertambah besar. Pertambahan baik kualitas maupun kuantitas dari proses gerakantanah ini justru bersamaan dengan meningkatnya pembangunan di Indonesia. Untuk itu perlu kita tahu definisi secara harfiah tentang bencana gerakan tanah.
Menurut SNI 13-6982.1-2004, disebutkan bahwa bencana gerakan tanah adalah rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh proses geologis atau ulah manusia, mengakibatkan kerugian harta benda, kerusakan lingkungan hidup, sarana dan prasarana, fasilitas umum serta mengganggu tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pada umumnya longsor terjadi di daerah pemukiman padat penduduk dan tempat – tempat wisata. Bencana ini sangat erat hubungannya dengan keberadaan manusia, sehingga tidak heran jika hal yang paling merugikan adalah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar. Hal ini menjadi dorongan sebagai seorang ahli geologi perlu mengadakan kegiatan mitigasi. Adapun tahapan mitigasi bencana gerakan tanah yaitu pemetaan, penyelidikan, pemeriksaan, pemantauan, sosialissi.Tahapan tersebut dapat dirangkum menjadi upaya mitigasi yang dilakukan pada sebelum terjadi bencana, tindakan mitigasi pada saat longsor terjadi dan upaya mitigasi setelah bencana longsor terjadi. Upaya Mitigasi Bencana Gerakan tanah: 1. Sebelum terjadi bencana Upaya mitigasi bencana longsor dilakukan sebelum longsor terjadi, hal ini dimaksudkan agar adanya peringatan dini pada daerah – daerah yang sudah teridentifikasi adanya bahaya longsor, sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan seperti pemasangan Extensometer, alat ini memiliki prinsip adanya sensor yang digunakan sebagai peringatan ketika adanya pergerakan tanah pada tebing atau kelerengan tertentu, kemudian sensor ini kan membunyikan tanda sebagai peringatan kepada para masyarakat. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Edi Prasetyo Utomo, peneliti pada Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang menyebarluaskan penggunaan Extensometer untuk peringatan dini jika terjadi gerakan tanah. Beliau juga menjelaskan terkait skema dan cara kerja alat tersebut seperti pada gambar berikut (Gambar 2)
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah survei GPS. Survei tersebut merupakan pemetaan gerakantanah dan pengukuran posisi patok geser. Pemetaan tersebut menggunakan instrumen bernama inklinometer yang merupakan alat untuk pengukuran pergerakan tanah. Instrumen tersebut dapat mengidentifikasi kedalaman serta kecepatan pergerakan tanah (Gambar 3).
Gambar 3. Alat Inklinometer yang digunakan dalam metode survey GPS
Gambar 2. Skema Pemasangan dan Cara Kerja Alat Ekstensometer
15
Metode lain yang digunakan dalam upaya mitigasi sebelum bencana adalah dengan pengenalan jenis gerakan tanah, gejala dan penyebab bencana tersebut. Adapun jenis gerakan tanah dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 4)
Gambar 5. Alur penentuan zonasi kerentanan gerakan tanah (Yunarto, 2012) 2. Saat terjadi bencana Upaya mitigasi pada saat terjadinya longsor terjadi dilakukan dengan melakukan survei kejadian longsor sehingga mendapatkan gambaran longsoran dan dapat diidentifikasi penyebab serta dapat dijadikan acuan untuk longsor yang dapat terjadi di daerah lain dengan karakteristik yang sama atau dapat dijadikan acuan longsoran susulan pada daerah tersebut. 3. Setelah terjadi bencana Upaya mitigasi setelah longsor terjadi dilakukan dengan penataan tataguna lahan daerah kembali agar tidak terjadi gerakan tanah lagi, merelokasi pemukiman pada radius aman jika longsor terjadi, menanamkan kearifan lokal kepada masyarakat agar dapat bersahabat dengan alam.
Gambar 4. Jenis Gerakantanah Gejala gerakan tanah dapat dipelajari dengan memperhatikan kondisi sekitar, seperti munculnya retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, adanya jatuhan kerikil dan munculnya mata air baru secara tiba-tiba. Pemahaman penyebab gerakan tanah seperti adanya curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan kondisi tanah jenuh air, lereng terjal, tanah yang kurang padat dan tebal, adanya batuan yang kurang kuat seperti campuran material hasil letusan gunung api berupa kerikil, pasir dan lempung yang memiliki sifat kurang kuat dan jika mengalami pelapukan bersifat rentan terhadap air hujan. Faktor penyebab lain yaitu adanya jenis tata guna lahan yang kurang sesuai pada daerah terjal dan adanya pemicu dari terjadinya gempabumi, selain itu ada juga penyebab longsor yang terjadi akibat susutnya muka air yang cepat pada suatu bendungan sehingga gaya penahan lereng hilang, kemudian di dukung dengan kemiringan bendungan sebesar 220 akan sangat mudah mengalami longsoran dan penurunan tanah akibat adanya retakan. Pembuataan peta zona kerentanan gerakan tanah merupakan salah satu upaya mitigasi yang bertujuan mengurangi korban bencana. Baskara Aji, dalam tulisannya yang dimuat dalam website FGMI (fgmi.iagi.or.id) menjelaskan bahwa pembuatan Peta Zona Kerentanan Tanah setidaknya menginformasikan 4 kondisi kerentanan tanah di setiap wilayah. Penentuan zona kerentanan dibuat berdasarkan pemetaan dengan alur seperti yang dijelaskan oleh Yunarto dalam tulisannya yang dimuat dalam Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol. 22 No. 2 Tahun 2012 (Gambar 5). Dari peta tersebut Pemerintah Daerah dapat merekomendasikan berbagai hal diantaranya mana daerah yang bisa dikembangkan untuk wilayah pemukiman, perkebunan dan budi daya lainnya serta mana daerah yang harus direlokasi.
16
9.
Membangun Komunitas yang Resilien Terhadap Bencana Oleh: Harizza Pertiwi, S.Kep., Ners. Beasiswa Pendidikan Indonesia, LPDP PK-09 Master of Disaster and Emergency Nursing Management Monash University, Australia Bencana terjadi secara tiba-tiba, cenderung sulit diprediksi, dan dapat disebabkan oleh alam atau ulah manusia. Bila bencana terjadi di suatu wilayah, kerugian materi dan non-materi yang diakibatkannya dapat membuat kehidupan suatu masyarakat berhenti berfungsi. Kehilangan anggota keluarga, tempat berlindung, pekerjaan atau sumber penghasilan, dan rasa aman adalah dampak negatif yang mungkin akan dialami oleh korban bencana. Fase pemulihan secara fisik setelah hantaman terjadi bisa saja terhitung singkat, namun tidak sedikit korban yang perlu waktu bertahun-tahun untuk memulihkan diri dari trauma psikis yang dialami. Untuk menekan kerugian yang dapat diakibatkan oleh bencana, suatu solusi aternatif yang dapat mengurangi risiko terjadinya bencana perlu diupayakan. Sebelum berbicara tentang solusi, kita perlu memahami definisi bencana terlebih dahulu. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) mendefinisikan bencana sebagai kejadian gawat-darurat yang datang dengan tiba-tiba yang dapat mengganggu fungsi sebuah komunitas dan menyebabkan kerugian materi dan non-materi. Dampak negatif ini melebihi kemampuan komunitas untuk mengatasinya dengan sumber daya yang mereka miliki sendiri. Senada dengan IFRC, Verhick dalam bukunya Facing catastrophe: Environmental action for a post-Katrina world (2010)
menyatakan bahwa bencana adalah gangguan yang serius terhadap fungsi komunitas yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan manusia. sor atau gerakan tanah (landslide) merupakan fenomena alam yang lazim terjadi di Indonesia. Longsor yang baru-baru ini terjadi adalah pada tanggal 17 Juni 2015 di Pantai Gunung Kidul, Yogyakarta, kejadian ini mengakibatkan beberapa orang luka dan tewas karena tertimpa tebing. Peristiwa bencana alam tersebut terjadi sangat tiba – tiba dan merupakan daerah yang tidak diwaspadai adanya bahaya gerakan tanah. Kedua definisi yang dikemukakan tersebut mempunyai penekanan yang sama, bahwa dampak yang paling merusak bila bencana terjadi adalah terganggunya fungsi kehidupan di dalam masyarakat. Gangguan dalam fungsi kehidupan ini dapat berupa lumpuhnya perekonomian, rusaknya sarana dan prasarana kesehatan, hilangnya tempat berlindung, hingga terbatasnya akses terhadap makanan dan air bersih. Seperti yang pernah dikemukakan oleh mantan sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kofi Annan, bahwa suatu kejadian gawat-darurat dapat disebut bencana jika hidup dan kehidupan suatu masyarakat musnah (2003). Besarnya dampak bencana terhadap fungsi komunitas dapat berbeda antara komunitas yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada bencana gempa bumi yang terjadi pada tahun 2010 di Haiti dan New Zealand. Kekuatan gempa yang hampir sama menyebabkan dampak yang jauh berbeda di dua lokasi tersebut. Terdapat sekitar 250.000 korban jiwa di Haiti, sedangkan di New Zealand tidak ada satupun. Padahal kedua pusat gempa tersebut sama-sama terletak di wilayah padat penduduk. Faktor utama yang menyebabkan perbedaan ini adalah kesiapan masyarakatnya dalam menghadapi bencana. Komunitas di New Zealand lebih disasterresilient daripada komunitas di Haiti. Mengacu pada definisi yang dikemukakan oleh The United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR), disasterresilient community atau komunitas yang resilien terhadap bencana adalah suatu kelompok masyarakat yang mampu mencegah, menghadapi, dan pulih dari ancaman bencana dalam waktu yang efisien. Komunitas yang mampu bounce back better ketika dihadapkan pada bencana. Ibarat bola karet, ia akan melompat lebih tinggi ketika dihantamkan pada benda keras. Inilah yang diharapkan terjadi pada komunitas yang resilient terhadap bencana. Mampu mengenali dan mengurangi risiko bencana sekaligus bangkit kembali ke kondisi semula atau bahkan ke kondisi lebih baik ketika dihadapkan pada bencana.
Tsunami Aceh Sumber: flickr.com
Membangun resilient community adalah upaya preventif yang dapat menjadi solusi untuk mengurangi risiko dan menekan angka kerugian akibat bencana. Beberapa hal berikut adalah karakteristik yang dapat menjadi indikator resilient community: 1. Kemandirian. Sebuah resilient community mempunyai ikatan sosial yang kuat. Solidaritas antar anggota masyarakat dalam satu lingkungan mendorong adanya kerja sama untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana dengan sumber daya yang dimilikinya sendiri. Dengan demikian, komunitas itu sendiri yang berinisiatif untuk mengambil peran dalam mengurangi risiko bencana yang ada di lingkungannya. 2. Konektivitas. Semua orang dalam komunitas terkoneksi satu sama lain. Strategi yang digunakan untuk mengurangi risiko bencana dapat menjangkau semua kelompok masyarakat, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. 3. Kemitraan. Selain terkoneksinya antar anggota komunitas, sebuah resilient community dapat membangun kemitraan yang kuat dengan institusi dan organisasi yang mempunyai peran penting bila bencana terjadi, seperti rumah sakit, kepolisian, dan rumah ibadah. 4. Pendidikan. Sebuah resilient community mau dan mampu mengembangkan pengetahuan dan pemahaman akan siklus bencana melalui pendidikan kebencanaan yang berkelanjutan. Dari karakteristik yang telah dipaparkan, dapat dipahami bahwa ciri utama sebuah resilient community adalah konektivitas yang kuat antar anggotanya. Dengan demikian, dalam membangun sebuah komunitas yang resilien, diperlukan adanya upaya yang dapat mengurangi sikap individualis dan mendorong tumbuhnya rasa kebersamaan. Upaya ini dapat dilakukan dengan kegiatan yang sederhana namun bermanfaat.
Connectedness Sumber: 9010group.com
Gerakan Pembangun Semangat Kebersamaan dan Kegotong Royongan: Sebagai contoh, sebuah non-government organization (NGO) di Bali giat meningkatkan sumber daya dan konektivitas dalam komunitas dengan melakukan pelatihan permaculture atau berkebun bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana. Di Bandung, program walikota yang berupa Gerakan Pungut Sampah dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan gotong royong di antara warganya. Bersamaan dengan berjalannya program peningkatan koneksi antar anggota komunitas, program lainnya yang bertujuan meningkatkan resilience dapat dijalankan. Misalnya, menjalin kerja sama dengan NGO sebagai narasumber dalam pendidikan pengurangan risiko bencana, dengan puskesmas atau rumah sakit sebagai penyedia pelatihan pertolongan pertama bagi anak-anak dan dewasa, dan dengan pemerintah dan perusahaan setempat sebagai penyedia sumber daya tambahan untuk program yang akan dijalankan.
Bencana banjir Sumber: lensaindonesia.com
17
Solidaritas dan kegotong-royongan yang kuat dalam komunitas juga dapat mendorong terwujudnya program yang mengutamakan kepentingan bersama. Misalnya, pembangunan shelter tahan gempa sebagai tempat berlindung korban bencana, atau penyediaan sumber energi dan air bersih alternatif bila jaringan listrik dan air terputus. Banyak hal lain yang juga dapat dilakukan oleh sebuah komunitas untuk meningkatkan resilience terhadap bencana. Perlu diketahui bahwa resilience antara komunitas yang satu dengan yang lainnya tidak dapat disamaratakan karena masingmasing komunitas tersebut mempunyai karakter dan risiko bencana yang berbeda. Untuk itu, konsep resilient community yang diterapkan boleh saja serupa, namun strategi program kemasyarakatannya dapat dimodifikasi dan diadaptasikan berdasarkan kebutuhan masing-masing komunitas. Sebagai penutup, resilient community tidak hanya akan siap dalam menghadapi ancaman bencana, namun ia juga akan menjadi komunitas yang solid, mandiri, dan tangguh dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Inilah saatnya bagi masyarakat Indonesia untuk bergerak dan bertindak secara mandiri tanpa perlu menunggu uluran tangan dari pihak luar.
18
10.
IMPLEMENTASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PENANGGULANGAN BENCANA Oleh: Septriono Hari Nugroho, ST Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05 Program Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian, Institut Teknologi Bandung Staf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian LautDalam LIPI Posisi Indonesia secara geografis sangat rawan akan bencana. Dalam gambar di bawah, Indonesia berada dalam zona “ring of fire”, terletak di antara dua patahan yang masih aktif yang saling bertumbukan yang menyebabkan rawan bencana gempa bumi, dimana gempa bumi ini memungkinkan terjadinya bencana tsunami.
Permaculture Sumber: idepfoundation.org
Gambar 1. Indonesia berada dalam cincin api pasifik (ring of fire)
Gerakan Pungut Sampah Sumber: merdeka.com
Tsunami Aceh telah menjadi bukti yang tak terbantahkan, begitu juga dengan bencana gunung meletus, longsor dan sebagainya. Seiring dengan kemajuan dan kebutuhan manusia akan barang-barang mentah, berderet pula daftar bencana yang diakibatkan oleh faktor non-alam seperti kebakaran hutan, banjir, kebocoran limbah, kesalahan penerapan teknologi dan lainnya. Akan tetapi, perhatian terhadap posisi Indonesia yang rawan akan bencana itu belum begitu menjadi perhatian pembuat kebijakan negara. Ini bisa terlihat bahwa perhatian terhadap bencana baru akhir-akhir ini saja diperhatikan. Salah satunya dengan dengan diundangkannya Undang - Undang Nomer 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang baru disahkan kurang lebih 3 (tiga) tahun setelah bencana tsunami Aceh terjadi.
Gambar 2. Materi pokok Undang-Undang Penanggulangan Bencana
IMPLEMENTASI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG PENANGGULANGAN BENCANA: Undang – Undang Penanggulangan Bencana terdiri dari 13 Bab dan 85 Pasal, dengan materi pokok yang dicantumkan seperti pada gambar diatas: Undang – undang tersebut secara komprehensif mengidentifikasi bencana sebagai peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh 3 faktor: [1] Alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami,dan lainnya; [2] Non alam, seperti gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah; [3] Manusia, yang kemudian disebut sebagai bencana sosial, yang meliputi konflik sosial atau kerusuhan sosial. Dalam materi pokok yang dijelaskan dalam Undang – Undang Penanggulangan Bencana, yang memegang tanggung jawab dan wewenang dalam penanggulangan bencana adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang keduanya sekaligus menyediakan dana dalam bentuk APBN dan APBD. Secara kelembagaan pemerintah pusat membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden, sedangkan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang didirikan dengan peraturan daerah. Pemerintah desa tidak disebut secara eksplisit dalam peraturan ini, tetapi diwadahi dalam kerangka peranan masyarakat dalam penanggulangan bencana. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah juga mengatur tentang keterlibatan pihak asing dan swasta dalam penanggulangan bencana nasional. Kriteria tentang status bencana dan tingkatannya ditetapkan oleh pemerintah pusat yang didasarkan pada jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas yang terkena bencana dan dampak sosial-ekonomi yang timbul. Kriteria inilah yang akan menentukan apakah sebuah peristiwa disebut bencana atau bukan. Konsekuensinya adalah siapa yang harus bertanggung jawab dan membayar ganti rugi atas bencana yang terjadi. Selain itu, Undang – Undang Penanggulangan Bencana mengatur tentang pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan yakni dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah. Dengan demikian, dalam setiap rencana pembangunan dan atau kegiatan usaha, baik dilakukan oleh pemerintah atau swasta, diharuskan memasukkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana. Persyaratan itu harus dimasukkan untuk melengkapi bahkan menyempurnakan persyaratan lain yang lebih dulu ada di masingmasing dinas sektoral. Hal tersebut yang menyebabkan adanya pengaturan tentang Analisis Risiko Bencana (ARB) dalam Undang – Undang Penanggulangan Bencana. Analisis Risiko Bencana adalah kegiatan penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan terjadinya bencana. Analisis Risiko Bencana ini dilengkapkan ke dalam setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana. Yang dimaksud kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang dan pembabatan hutan. Kriteria tentang rencana usaha/kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting adalah besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, luas wilayah penyebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak. Persyaratan ARB disusun dan ditetapkan oleh BNPB, namun tidak dijelaskan apakah sifat ARB tersebut bersifat wajib atau komplementer dari dokumen perijinan atau statusnya hanya administratif. Selain itu persetujuan ARB bukan pada BNPB melainkan oleh dinas sektoral.
Begitu pula dalam hal penegakan hukumnya, UUPB tidak secara jelas memberikan kewenangan kepada BNPB. BNPB hanya berwenang memberikan laporan kepada dinas sektoral terkait jika terdapat penyelewengan atas syarat-syarat dalam ARB. Efektivitas pelaksanaan undang-undang ini dalam penanganan bencana dapat terwujud apabila dilaksanakan secara sistematis, terpadu dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan karena diperlukan adanya koordinasi dan komunikasi antara pemerintah daerah dengan pusat, apabila komunikasi tidak terbentuk, maka harapan dari Undang-undang ini akan sirna. Undang-undang ini dibuat sebagai salah satu cara untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar sektor serta menyediakan landasan hukum yang kuat dalam penanganan masalah bencana.
11.
PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA SERTA KESIAP-SIAGAAN BENCANA Oleh: Santri Pertiwi, SKM Magister Public Health ( MPH ) bidang Kesehatan Lingkungan Universitas Gadjah Mada Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana telah mulai muncul pada dekade 1990-1999 yang dicanangkan sebagai Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Upaya untuk mengurangi risiko bencana secara sistematik membutuhkan pemahaman dan komitmen bersama dari semua pihak terkait terutama para pembuat keputusan (decision makers). Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Resolusi Nomor 63 tahun 1999 menyerukan kepada Pemerintah disetiap negara untuk menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi Pengurangan risiko Bencana Nasional untuk mendukung dan menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan berkelanjutan. Sebagai negara yang memiliki banyak wilayah yang rawan bencana, Indonesia sangat berkepentingan untuk menyusun Dokumen Rencana Aksi seperti diserukan oleh Resolusi PBB tersebut. Dua Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action) 2005-2015 juga menganjurkan seluruh negara di dunia agar menyusun mekanisme terpadu pengurangan risiko bencana yang didukung kelembagaan dan kapasitas sumber daya yang memadai. Ketiga hal ini belum menjadi prioritas di Indonesia. Kelembagaan penanganan bencana yang ada belum memiliki kewenangan yang memadai dan mekanisme yang ada saat ini hanya terbatas pada mekanisme penanganan tanggap darurat. Indonesia, dewasa ini tak pernah luput dari bencana alam dan tak pernah jauh dari belenggu kerusakan lingkungan yang di sebabkan karena berbagai faktor di antaranya penggunaan kendaraan yang berlebihan dan tak terkendali dari tahun ke tahun yang tentunya akan menambah kapasitas jumlah polutan yang kian hari kian menggerus lapisan ozon yang seharusnya melindungi dan menstabilkan keadaan bumi, belum lagi di tambah dengan pembangunan pabrik yang beroperasi menggunakan bahan bakar bumi dan batu bara tanpa memperhatikan aspek aspek kesehatan lingkungan. Pembuangan limbah asap ke udara membuat iklim cuaca kadang berubah begitu cepat sehingga efek dari itu terjadinya kekeringan dan banjir dimana- mana. Selain itu, sikap buruk masyarakat yang membuang sampah sembarangan ke sumber-sumber air hingga menumpuk sedemikian banyak sangat disayangkan karena perilaku negatif seperti itu akan berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Kita sebagai manusia perlu menjaga keseimbangan alam agar alam tak bergejolak karena ketidak-pedulian kita menjaganya.
19
Tentunya sedikit demi sedikit kita bisa mengurangi faktor penyebab terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana yang kian hari tak berhenti menyapa kita semua. Langkah langkah yang dapat kita ambil di antaranya Peran pemerintah dan masyarakat Secara umum : 1. Beralih menggunakan kendaraan pribadi secara berlebihan ke angkutan umum untuk mengurangi pasokan polusi udara kotor di udara yang berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dan bumi 2. Regulasi pemerintah yang tegas dalam pembatasan pemakaian kendaraan tiap keluarga dan batas usia kendaraan yang dipakai serta aturan tentang standar Nasional penggunaan cerobong asap pada pabrik-pabrik. 3. Sesuaikan dan seimbangkan penanaman pohon pohon yang memang bisa mengcover dan menyerap udara kotor dan radikal bebas yang bisa merusak lapisan ozon yang menjadi penyebab perubahan cuaca dan iklim yang begitu cepat sehingga bencana seperti banjir, bisa dihindari dan dikurangi terutama di daerah-daerah dengan tingkat polusi akibat asap tinggi, seperti kota kota besar di Indonesia 4. Reboisasi juga tak bisa menolong banyak untuk kestabilan tanah di penggunungan jika praktek ilegal logging masih meraja lela dan merusak hutan-hutan yang seharusnya menjadi paru paru dunia. Di sini regulasi dan sanksi tegas dari pemerintah sangat berperan penting agar masyarakat atau pihak pihak tertentu tidak seenaknya menjarah dan merusak lingkungan dengan menebang pohon- pohon. 5. Penataan perilaku negatif masyarakat dengan pengelolaan sampah yang baik tentu akan membantu mengurangi penyebab terjadinya banjir di berbagai daerah. 6. Pembekalan materi tentang kebencanaan kepada penduduk yang intensif dilakukan terutama kepada masyarakat banyak yang tinggal di daerah-daerah rawan bencana seperti di lereng gunung, pinggiran pantai atau di dekat sungai-sungai yang memiliki kerentanan risiko bencana lebih sering. 7. Pemulihan trauma akibat bencana pada masyarakat yang terkena bencana.
20
Peran gender dalam penanganan penyakit, pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan bencana: 1. Tindakan sebelum bencana : Menyiapkan tas siaga bencana ( berisi obat obatan, lampu/senter, kain, makanan dan perlengkapan lainnya yang di butuhkan saat bencana), disini peran wanita dan pria sama pentingnya 2. Tindakan saat bencana : Membawa tas siaga bencana, membawa dokumen penting mengutamakan anak anak dan wanita serta lanjut usia untuk di evakuasi ketempat yang aman, dalam hal ini lakilaki yang lebih berperan penting 3. Tindakan sesudah bencana : Mencari dan berkumpul dengan keluarga, mencari bantuan dengan segera, disini peran laki-laki sangat penting karena biasanya wanita lebih banyak mengalami trauma pasca bencana. Dari segi fasilitas yang memungkinkan di buat untuk membantu pengurangan risiko dan timbulnya korban akibat bencana: 1. Sarana jalan penanda jalur evakuasi, jaringan internet, radio/ TV jelas sangat di butuhkan agar masyarakat sekitar daerah rawan bencana bisa sigap terhadap informasi tentang kemungkinan kemungkinan bencana yang akan terjadi setelah adanya tanda tanda, seperti gempa bumi yang bisa berakibat naiknya air laut bagi yang berada di pinggiran pantai dan juga gempa akibat letusan gunung api sehingga sikap tanggap darurat bencana bisa segera di laksanakan guna mengurangi akibat dan risiko bencana yang sewaktu waktu mereka alami. 2. Fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai sehingga ketika sewaktu-waktu terjadi bencana dan jika ada korban luka dan lain sebagainya cepat mendapatkan pertolongan pertama 3. Pelatihan pengurangan risiko bencana kepada berbagai lapisan masyarakat yang intensif agar masyarakat semakin paham akan pentingnya memahami dan mempraktekan dalam kehidupan sehari hari jika sewaktu waktu bencana kembali menyapa tempat tinggal mereka. Kontrol dari pemerintah sebagai pemegang puncak kekuasaan di negeri ini, masyarakat yang makin bijak dalam memahami dan menjaga lingkungan dari efek-efek buruk yang timbul akibat ulah manusia itu sendiri serta sikap tanggap darurat bencana masyarakat di daerah rawan bencana akan membantu mengurangi efek-efek terburuk yang mungkin akan timbul saat bencana itu datang.
12.
BAGAIMANA MENANGANI DAMPAK PSIKOLOGIS PADA PENYINTAS BENCANA? Oleh: Andrian Liem, M.Psi., Psikolog Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-25 School of Public Health University of Queensland, Australia Bencana pada dasarnya adalah sesuatu yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Pengertian lain dari bencana adalah peristiwa atau peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Bencana seringkali hanya dikaitkan dengan kejadian alam seperti gempa bumi, angin besar, atau banjir. Hal tersebut tidak salah karena peristiwa tersebut memang termasuk dalam bencana alam. Akan tetapi hal yang terlewat adalah adanya jenis bencana lain seperti bencana nonalam dan bencana sosial seperti yang tertulis di UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana nonalam dapat berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial timbul dalam bentuk konflik sosial antarkelompok atau komunitas, kerusuhan, dan teror. Apapun jenis bencana yang dialami akan menyebabkan dampak negatif bagi mereka yang terkena musibah tersebut. Dalam artikel ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah dampak psikologis yang umumnya dialami dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk menanganinya. Kata “penyintas” sengaja digunakan karena merupakan padanan dari kata “survivor” (a person who is able to continue living their life successfully despite experiencing difficulties. Sumber: Cambridge Dictionaries Online). Sedangkan kata “korban” kurang tepat digunakan karena terkesan pasif dan tidak berdaya (victim: someone or something that has been hurt, damaged, or killed or has suffered, either because of the actions of someone or something else, or because of illness or chance. Sumber: Cambridge Dictionaries Online).
Menurut Spokane dkk. (2011) dalam artikelnya yang berjudul “Ecologically Based, Culturally Concordant Responding Following Disasters: The Counselling Psychologist’s Role” hal utama dalam penanganan dampak psikologis penyintas bencana adalah komunikasi dengan rekan sejawat dan memerhatikan norma serta budaya yang dimiliki para penyintas. Dalam panduan yang dikeluarkan oleh WHO “Psychological First Aid: Guide for Field Workers” (2011) dijelaskan kelompok yang mungkin membutuhkan perhatian khusus. Kelompok tersebut adalah anak dan remaja, orang dengan masalah kesehatan (fisik dan mental), serta orang yang berisiko mengalami diskriminasi atau kekerasan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk menangangi permasalahan psikologis yang timbul dapat dilihat pada gambar berikut:
Tabel 1 menunjukkan jenis-jenis risiko gangguan psikologis yang umumnya dialami penyintas bencana.
21
Sementara itu ada beberapa hal yang perlu dihindari ketika bersama para penyintas, yaitu:
Dalam pidato pengukuhan guru besar Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S. menyebutkan bahwa jumlah psikolog klinis di Indonesia baru sekitar 365 orang pada tahun 2011. Jumlah tersebut tentu tidak dapat melayani para penyintas bencana secara maksimal. Oleh karena itu perlu jejaring dan kerjasama dengan profesi kesehatan mental lainnya. Upaya lain yang perlu ditingkatkan adalah tersedia ya poli psikologi dan psikolog di Puskesmas sehingga layanan kesehatan jiwa menjadi bagian dari pelayanan primer di Indonesia dan penanganan psikologis pada penyintas bencana dapat dilakukan dengan lebih terkoordinasi dengan hasil yang maksimal.
13.
Penanganan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat Oleh: Albert Hasudungan BPI - LDPD PK 10 M. Sc. Agriculture & Natural Resource Management School of Geoscience University of Sydney Masalah kebakaran hutan menjadi perhatian nasional dan dunia internasional. Pada tahun 2002, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan kebakaran hutan merusak ekosistem dan mengganggu pencapaian pembangunan berkelanjutan. Perkumpulan negara - negara asia tenggara (ASEAN) membuat kerjasama dalam penanganan kebakaran hutan lintas negara pada 2002. BP - REDD (Badan Pengelola Reduksi Emisi dari Deforestasi & Degradasi Hutan) dan 12 pemerintah daerah di Riau menandatangani memorandum REDD + untuk memerangi kebakaran hutan di sana. Kebakaran hutan diklasifikasikan sebagai bencana dalam literatur bencana. Misalnya, Bridge (2010) dalam “Mitigating wildfire disaster: early detection and commitment” mendefinisikan bahwa kebakaran hutan masuk ke dalam wildfire disaster, karena efek katastropiknya menghancurkan harta benda, menghentikan aktivitas ekonomi, merusak ekosistem hingga berpotensi menghilangkan nyawa manusia. Kebakaran hutan cukup sering terjadi di Indonesia. FWI/ GFW (2001) dalam “Keadaan hutan Indonesia” mencatat rentetan kebakaran hutan besar di Indonesia terjadi pada 1982, 1984, 1994, 1997/98 di Indonesia, utamanya di pulau Sumatra dan Kalimantan. Kebakaran hutan di Riau yang terjadi pada 2013 lalu sempat memicu ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia, Singapura dan
22
Malaysia, karena dampak asapnya yang mengganggu kesehatan pernafasan negara tetangga tersebut. Beberapa kajian kebakaran hutan memberikan informasi pada aspek penyebab, kerugian ekonomi, hingga rekomendasi pihak birokrat mengantisipasinya. Namun, rekomendasi yang diberikan kurang menyentuh kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam menangani kebakaran hutan. Tulisan ini bertujuan untuk menekankan peran penting masyarakat bukan hanya sebagai korban tapi sebagai partner pemerintah dalam penanganan kebakaran hutan. Efektifitas penanganan saat ini: Penanganan kebakaran hutan terdiri atas dua aspek, yakni pencegahan kebakaran hutan dan penanggulangannya sesudah kebakaran hutan terjadi. Tahap awal penanganan kebakaran hutan mencari penyebab dan menentukan daerah geografis yang paling rentanh terjadi kebakaran hutan. Kebakaran hutan bisa disebabkan oleh fenomena alam, ulah manusia dalam membakar hutan, atau kombinasi diantara keduanya. Lahan gambut merupakan lahan yang paling rentan terhadap kebakaran hutan di Indonesia. Tacconi (2003) dalam “Fires in Indonesia: causes, costs and policy implication” menemukan kebakaran hutan di Indonesia dan mendeteksi bahwa kebakaran paling intens terjadi di lahan gambut dibanding jenis lahan geografis lainnya. Penelitiannya menyatakan kerugian ekonomi dari kebakaran hutan pada 1997/1998 di Indonesia mencapai rentang 1.62 sampai 2.7 miliar dolar AS. Lahan gambut paling efektif menyerap air, namun juga cepat kering ketika dikonversi untuk perkebunan dan tujuan komersial lainnya. Kekeringan ini memantik asap serta menyebabkan kebakaran di gambut. Tanpa adanya penanggulangan darurat, kebakaran ini akan menyebar ke jenis hutan lain. Berbagai kebijakan telah diformulasikan untuk menangani kebakaran hutan di Indonesia. Kementrian kehutanan melarang konversi hutan untuk tujuan komersial dengan api, namun dengan alat pemotong kayu sejak tahun 1994. Pemerintah Norwegia dan Indonesia juga sepakat menghentikan konversi tanah gambut dan hutan lindung untuk tujuan komersil, seperti perkebunan, dalam perjanjian moratorium hutan senilai 1 milyar dolar AS pada 2011. Perjanjian itu dilanjutkan kembali pada tahun 2015 ini. Moraturium juga dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan perubahan iklim dunia. Sayangnya, kebijakan – kebijakan tersebut terlalu menekankan larangan atau sanksi kepada masyarakat. Namun, kebijakan tersebut belum memformulasikan aksi partisipasi dan insentif kepada masyarakat mencegah kebakaran hutan di daerahnya. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mengidentifikasi adanya 138 titik api di 15 propinsi seluruh Indonesia pada 2014 lalu. Partisipasi multi-pihak diperlukan dalam melengkapi keterbatasan sumberdaya pemerintah dalam menangani kebakaran hutan di Indonesia. Aksi penanggulangan paska kebakaran hutan dilakukan dengan menurunkan personel kementrian atau lembaga terkait untuk menolong masyarakat dan evakuasi daerah yang terbakar. Contohnya, BNPB menyiapkan tenaga siaga darurat tahun 2015 setelah terjadi kebakaran hutan di Riau 2013 lalu. Namun, tata kelola komunikasi dengan masyarakat yang terkena dampak belum dirancang secara sistematis di Indonesia. Padahal, tata kelola komunikasi ini penting untuk menyampaikan informasi secara cepat dan mengidentifikasi kebutuhan para korban yang terkena kebakaran. Sistem komunikasi juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memahami kewajiban dan tugasnya dalam mengatasi kebakaran hutan. Kolaborasi bersama: Reformasi aksi penanganan kebakaran hutan berbasis masyarakat perlu dilakukan mengingat kurang efektifnya aksi penanganan kebakaran hutan di Indonesia. Reformasi ini penting dilakukan karena kebakaran hutan berpotensi menghilangkan nyawa korban kebakaran hutan. Partisipasi dengan masyarakat telah dilakukan oleh negara maju seperti di Australia. Langkah konkrit kebijakannya memposisikan warga sebagai penerima bantuan sekaligus partner dalam menangani kebakaran di negaranya.
Contohnya, ketika negara bagian Victoria, tepatnya di Melbourne, terbakar hutan keringnya, pemerintah negara bagian itu membuka berbagai alternatif komunikasi untuk berinteraksi dengan masyarakatnya. Mereka membuka media sosial dan telepon selular untuk berinteraksi dengan warganya. Selain itu, pemerintah negara bagian itu membangun kesadaran masyarakat untuk mencegah kebakaran hutan dengan memformulasikan pembagian tugas yang jelas antara pemerintah dan masyarakat terkait penanganan kebakaran hutan. Kebijakan hutan berbasis masyarakat sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Negara kita mempunyai budaya gotong royong dan saling membantu sejak lama. Berbagai macam alat komunikasi dari media massa, sosial media sampai telepon seluler telah dikembangkan di Indonesia. Metode berbasis fasilitasi masyarakat perlu dilakukan untuk meningkatkan efektifitas aksi penanganan kebakaran. Salah satunya dengan menumbuhkan forum komunikasi multi-pihak melalui milis, whatsapp, media sosial, telpon selular, urun rembug di kantor Rukun Tetangga terdekat, hingga pembentukan organisasi masyarakat untuk kebakaran hutan. Komunikasi dan kolaborasi yang solid dengan berbagai pihak menjadi kunci penting dalam penanganan kebakaran hutan di Indonesia Daftar Pustaka: Bridge, JRB 2010, ‘mitigating wildfire disaster: early detection and commitment’, Disaster Recovery Journal, Augustus 2010,
(Forest Watch Indonesia) FWI/(Global Forest Watch) GFW. 2001. ‘keadaan hutan Indonesia’ Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch. Tacconi, L 2003, ‘Fires in Indonesia: causes, costs and policy implication’, CIFOR occasional paper, No.38, Center for International Forestry Research. yang notabene tidak murah untuk ditanggung sendiri.
14.
ASEAN dan Penanggulangan Bencana: Seberapa Jauh Kita Telah Melangkah? Oleh: Ridha Aditya Nugraha Mahasiswa Pascasarjana Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-12 Master in Air and Space Law (Adv.) International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden
Masih teringat dengan jelas di benak kita akan bencana tsunami di bumi serambi Mekkah yang telah menelan ratusan ribu jiwa pada awal milenium ini. Juga bagaimana bencana banjir dan tanah longsor telah berulang kali memporak-porakandakan berbagai wilayah di tanah air yang serta-merta melumpuhkan perekonomian lokal. Kuasa alam memang tidak dapat dilawan, tetapi kita dapat memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan meminimalisir kerugian material akibat bencana. Teknologi yang dikenal umat manusia saat ini telah mampu mendeteksi dan memberikan peringatan dini akan potensi terjadinya bencana alam di suatu wilayah pada jangka waktu yang spesifik. Sebagai negara yang rawan terkena bencana alam karena kondisi geografisnya, jelas sekali bahwa Indonesia membutuhkan teknologi terkini
Situasi serupa sebagaimana dialami oleh Indonesia juga dialami oleh sebagian negara anggota ASEAN seperti Thailand, Filipina, dan Myanmar yang kerap berurusan dengan bencana alam, entah angin topan, banjir atau bahkan tsunami. Umumnya mereka bekerja masing-masing ketika menanggulangi bencana alam yang terjadi, salah satu alasannya adalah prestise bahwa mereka dapat mengurus persoalan rumah tangganya sendiri dengan baik. Bencana alam skala lokal mungkin bukan suatu kendala besar untuk ditangani sendirian, bahkan bagi negara termiskin di ASEAN-pun. Namun, akan menjadi lain soal jika bencana alam yang terjadi berskala setingkat Tsunami Aceh 2004 silam. Melihat bencana alam sebagai salah satu permasalahan nyata negara-negara ASEAN, sudah saatnya integrasi regional ini melangkah lebih maju dalam menanggulangi bencana. Kini saatnya semangat sama rasa, tepatnya ‘bencana ASEAN adalah bencana bersama’ perlu ditumbuhkan. Inisiatif ASEAN dengan mendirikan suatu badan yang berperan sebagai garda terdepan dalam penanggulangan bencana alam di regional ini, ASEAN Humanitaria n Assistance Centre on Disaster Management (AHA Centre), pada tahun 2011 patut diapresiasi sebagai suatu langkah penting berbicara mengenai realisasi semangat kebersamaan. Idealnya dengan berdirinya AHA Centre berarti akan tercipta suatu koordinasi diantara negara anggota ASEAN dalam penanggulangan bencana alam. Pertanyaannya adalah seberapa jauh harmonisasi yang dapat tercipta dalam mewujudkan koordinasi di negara-negara tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya ini hidup berdampingan dengan suatu kuasa yang dikenal dengan nama ‘kedaulatan’. Ibarat bermain kartu, kedaulatan adalah kartu as yang dimiliki oleh setiap negara untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak bantuan negara lain ketika terjadi bencana alam di wilayahnya. Terlebih pula hingga saat ini di ASEAN belum ada kerangka hukum yang dapat mendorong seluruh negara anggotanya untuk bekerjasama, sehingga menjadi kendala yang pelik dalam mewujudkan cita-cita AHA Centre. Saat ini telah dikenal teknologi remote sensing yang dipasang pada satelit dan dipergunakan untuk memprediksi cuaca dan badai dengan lebih akurat. Pasca-tsunami Aceh lalu juga banyak dipasang dan dikembangkan sensor-sensor pendeteksi gempa dan tsunami yang diletakkan di beberapa titik perairan Indonesia. Bayangkan seandainya kerjasama diantara negara-negara ASEAN dapat terwujud, bertapa dahsyatnya riset yang dapat dikembangkan dan juga biaya operasional yang dapat dihemat dengan adanya suatu anggaran terpadu. Sudah saatnya negara anggota ASEAN bekerjsama untuk kemanfaatan yang lebih besar untuk kemanusiaan. Agar tidak dicap sebagai macan ompong, ASEAN dan AHA Centre harus lebih proaktif membuka pintu negara anggotanya selebar mungkin yang sudah jelas tidak dapat menanggulangi (potensi) bencana di wilayahnya. Seandainya hal ini sudah dilakukan sejak awal, setidaknya pasca-tsunami Aceh silam, tentunya kita tidak akan mendengar kisah rakyat Myanmar yang dilanda bencana Topan Nagris beberapa tahun lalu sepilu ini. Lebih banyak nyawa yang dapat diselamatkan jika saja junta militer tidak memperburuk keadaan dengan memainkan kartu as-nya untuk menolak bantuan asing. Memang pada akhirnya junta melempar handuk putih dengan membuka diri dan menerima bantuan asing, tetapi semua itu sudah terlambat. Setiap detik sangat berarti dalam penanggulangan bencana. Tambahan korban jiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi berjatuhan akibat minimnya distribusi makanan dan obat-obatan sementara bantuan tersebut menumpuk segunung di perbatasan Myanmar. Kisah sedih dan kegagalan ASEAN ini haruslah menjadi pelajaran berharga bersama. Menarik ketika mengaitkan perkembangan teknologi dengan ranah hukum. Pemanfaatan teknologi untuk mendeteksi bencana juga harus berarti jangan sampai terbuka celah akan munculnya gugatan hukum terhadap badan ini akibat tidak terjadinya bencana sebagaimana dianalisis oleh sistem peringatan dini. Harusnya senang dan bersyukur dong dengan tidak terjadinya bencana. Akhir kata ASEAN harus memastikan AHA Centre memiliki imunitas, baik terhadap gugatan dari pribadi, perusahaan, maupun negara anggotanya sendiri, jika ingin tujuan mulia ini tercapai.
23
15.
Menyegarkan Kembali: Jurnalisme Empati Peliputan Bencana Oleh: Rio F. Rachman, Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi Universitas Airlangga (PK-9) ISTILAH jurnalisme empati bukanlah barang baru di negeri berpotensi bencana seperti Indonesia. Meski demikian, persoalan ini tetap hangat untuk didiskusikan. Terlebih, walau terus didengungkan, isu ini masih menjadi sorotan. Khususnya, saat bencana terjadi dan awak media dinilai kurang menerapkan asas “hati nurani” dalam melakukan tugas. Secara umum, makna jurnalisme empati di sini adalah kerja jurnalistik yang bertumpu pada rasa empati kemanusiaan. Empati saat peliputan bencana dimulai dari kesediaan wartawan atau jurnalis memposisikan diri untuk memahami derita korban. Tak jarang itu dilatari dengan membayangkan bagaimana jika yang ada di posisi korban adalah dirinya sendiri. Dengan demikian, sudut pandang (angle) yang diambil pun akan lebih etis dan tidak mengekspoitasi kesedihan. Mengapa? Sebab, jika wartawan tersebut sudah membayangkan diri sebagai korban, dia akan dapat pula membayangkan bagaimana perasaan korban kalau diliput dengan angle yang tidak etis dengan eksploitasi kesedihan tersebut. Perasaan korban tentu tidak nyaman. Gambar atau deksripsi tentang kesedihan berlebihan seperti menangis meraung-raung, dan kondisi tubuh yang sudah tidak utuh atau berdarah-darah akibat bencana, merupakan contoh angle yang kurang etis dan terlampau mengeksploitasi kesedihan. Adapula, misalnya, mengambil gambar orang-orang di pegungsian yang pakaiannya tidak lengkap sehingga bagian-bagian badan yang biasa ditutupi terpaksa terbuka. Tentu jika objek gambar tahu tentang ini, dia akan merasa tidak nyaman. Ignatius Haryanto dalam esainya yang dimuat di harian Kompas (28 Januari 2014) dengan judul Media Meliput Bencana memberi contoh salah satu fenomena media di Jepang. Televisi NHK di Jepang meliput peristiwa gempa di tahun 2011 tanpa gambar jenazah bergelimpangan atau air mata yang diperas sampai habis. Tak ada detail (atau teknik kamera close up) atas kesedihan. Peristiwa gempa dan tsunami setelahnya digambarkan dengan teknik kamera long shoot. Bahkan, salah satu media melansir foto mengharukan tentang bagaimana warga di sana apik tertib mengantri untuk mendapatkan atau membeli makanan/minuman dan kebutuhan seharihari pasca bencana tersebut. Lihatlah, betapa media massa mampu menyentuh bagian humanis lain saat peliputan bencana. Sehingga saat melihatnya, publik turut terinspirasi. Bukan mengangkat nestapa yang hasilnya sekadar rasa terenyuh sesaat, tak lama membekas. Tidak mudah memang membuat berita menarik dengan angle yang inovatif. Ini seperti membuat kebiasaan baru dengan cara mendobrak cara lama. Kecerdasan wartawan benar-benar dipertaruhkan. Redaktur, editor, produser, atau bagi mereka yang secara struktural berada langsung di atas wartawan, pasti menuntut untuk mencari angle berita dan gambar yang bagus. Kala angle dan gambar yang bagus itu berupa eksploitasi nestapa dan jurnalisme tanpa sarat empati, dan deadline yang cukup singkat, sering melahirkan berita yang kurang empati dalam peliputan bencana yang ditampilkan di ruang publik. Sementara jika wartawan berhasil mengasah kecerdasannya dan sukses mencari angle atau gambar lain yang lebih segar dan penuh empati, sangat mungkin atasannya akan mengapresiasi berita itu untuk kemudian ditampilkan. Meski demikian, logikanya juga dapat dibalik.
24
(Sumber: )
Misalnya, sejak awal redaksi memiliki kebijakan untuk tidak menampilkan berita bencana yang hanya berisi angle dan gambar kesedihan. Imbasnya, wartawan pun diwajibkan mencari bahan yang lebih segar dan tetap inovatif. Sebagai ilustrasi, kala terjadi musibah kecelakaan kapal laut yang memakan cukup banyak korban jiwa. Sebagian besar dari penumpang dan awak kapal hilang dan meninggal dunia. Sebagian dari yang meninggal itu tubuhnya tidak lagi utuh. Pentingnya jurnalisme empati sejak awal dalam mengolah angle dan gambar utama adalah untuk mengurangi pengambilan angle dan gambar terkait korban-korban yang kondisinya kurang baik oleh wartawan dan keputudan redaksi. Angle dan gambar lain yang bisa dipakai adalah bagaimana kesigapan tim SAR atau bagaimana cara agar para keluarga korban dapat mendapat informasi komprehensif tentang musibah itu. Intinya, berita yang disuguhkan tidak berisi kesedihan. Melainkan, berkonten informatif dan inspiratif tentang kesigapan tim penanggulangan bencana.
(Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/11068/panen-pujian-gajipas-pasan-, Foto ini hanya ilustrasi tulisan. Di artikel, contoh kasus adalah kapal laut. Di foto, yang tercantum adalah kiprah Basarnas pada musibah kecelakaan pesawat terbang )
Adapun informasi lain tentang jumlah dan kondisi korban, dapat disisipkan di badan berita untuk melengkapi kaidah jurnalistik yang menyeluruh. Sebab, bagaimana pun juga, informasi yang disampaikan pada publik mesti total atau lengkap. Namun, poin-poin itu tidak perlu dijadikan angle atau gambar utama. Hal-hal terkait jurnalisme empati membutuhkan banyak poin penunjang.
Selain kecerdasan wartawan dan kebijakan redaksional, dibutuhkan pula mentalitas dan keberanian berbeda dari perusahaan media. Berbeda tidak hanya dalam semboyan. Namun juga dalam fakta dan teknis penyajian berita. Keberanian berbeda dan menciptakan standar baru yang lebih beretika dan berempati merupakan beberapa elemen pembentuk kunci sukses kemajuan bidang jurnalistik. Daftar Pustaka: Haryanto, Ignatius, 28 Januari 2014, Media Meliput Bencana, rubrik Opini di Harian Kompas Harian Jawa Pos (Jawa Pos Online), 4 Januari 2015, Panen Pujian, Gaji Pas-Pasan, tersedia di diakses pada 20 Juni 2015 Mailonline, 14 Maret 2011, And the afterschocks go on: 275 new tremors hit quaketorn Japan as Fears grow for missing 10.000 in flattened port town, tersedia di diakses pada 20 Juni 2015
16.
Smong, Tradisi Lisan yang Menyelamatkan Oleh: Zulfadhli Nasution, SKM Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-14 Master of Arts, major Agrarian, Food and Environmental Studies International Institute of Social Studies, Den Haag “Dengarlah sebuah cerita | Pada zaman dahulu | Tenggelam satu desa | Begitulah mereka ceritakan | Diawali oleh gempa | Disusul ombak yang besar sekali | Tenggelam seluruh negeri | Tiba-tiba saja | Jika gempanya kuat | Disusul air yang surut | Segeralah cari | Tempat kalian yang lebih tinggi | Itulah smong namanya | Sejarah nenek moyang kita | Ingatlah ini betul-betul | Pesan dan nasihatnya.” Memupuk Kearifan Lokal: Begitulah terjemahan syair yang menjadi salah satu kearifan lokal masyarakat Pulau Simeulue, Aceh untuk mengantisipasi perubahan alam. Syair tersebut merupakan bagian dari tradisi lisan untuk memperingatkan akan kejadian tsunami yang dalam bahasa lokal disebut smong. Kearifan lokal, seperti yang didefinisikan Kementerian Sosial (dikutip oleh Raden Cecep Eka Permana, dkk. dalam tulisan “Kearifan Lokal tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy”), merupakan pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam kaitannya dengan mitigasi terhadap perubahan alam yang menjadi bencana seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan lain sebagainya, Johan Iskandar (dalam sumber yang sama sebelumnya) menyatakan bahwa masyarakat tradisional umumnya juga memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Tidak terkecuali yang dilakukan oleh penduduk Simeulue, Aceh dengan tradisi lisan turun-temurun untuk memperingatkan akan terjadinya tsunami. Kesigapan masyarakat menjadi contoh dalam keberhasilan mengurangi korban jiwa dalam kondisi bencana alam. Merawat Ingatan akan Sejarah Smong: Ahmad Arif (2013) dalam Ekspedisi Kompas: Hidup Mati di Negeri Cincin Api menuturkan ulang pengakuan Rukiah, yang menjadi saksi atas peristiwa smong tahun 1907. Menurut Rukiah, dulu neneknya yang sering memberi nasihat persis yang diutarakan dalam syair, “Mak Jadah (nenek Rukiah) sering memberi nasihat, kalau terjadi linon (gempa bumi) besar, lalu laut surut, segeralah lari ke bukit.
Tinggalkan segala harta benda karena setelah itu akan datang smong.” Ingatan Rukiah yang masih kuat di usianya yang menginjak seratusan kembali ke masa kecilnya kala ia berusia enam tahun. Dia berkisah bahwa saat itu ia sedang bermain di halaman rumah dengan kakak lelakinya yang bernama Nyak Ukum, ketika gempa tiba-tiba datang mengguncang. Orang-orang kebingungan dan banyak yang berteriak bahwa air laut telah surut. Di saat banyak orang berlarian ke tepi laut untuk mengambil ikan yang menggelepar, tiba-tiba air laut naik tinggi. Beruntung Rukiah kecil, ayah dan kakaknya terselamatkan karena berlari ke Gunung Delok Kotoh, walaupun ibunya tidak terselamatkan. Brian G McAdoo, dkk. dalam tulisannya “Smong: How an Oral History Saved Thousands on Indonesia’s Simeulue Island” menyatakan berdasarkan penuturan Bupati Simeulue, bahwa pada tahun 1907 belum ada jalanan beraspal – gempa melanda saat musim hujan, dan jalur yang menghubungkan desa menjadi rawa berlumpur yang tidak dapat dilalui. Tidak ada seorang pun yang tahu berapa korban jiwa dalam peristiwa itu, tetapi ada kisah yang menyatakan bahwa hampir 70% penduduk meninggal, ditemukan di atas pohon-pohon kelapa yang tingginya di atas 10 meter, atau di bukit beberapa kilometer di pedalaman. Beragam cerita ini didapatkan dari setiap korban selamat yang ditanyai. Mitigasi Efektif dengan Kearifan Lokal: Belajar dari pengalaman itulah istilah smong menjadi sebuah early warning system bagi masyarakat Simeulue. Kearifan lokal inilah yang dianggap teruji ketika tsunami besar melanda Aceh, 26 Desember 2004 lalu. “Smong, smong, smong!” adalah teriakan orang-orang sesaat setelah terjadi gempa besar sebagai peringatan bagi penduduk untuk segera berlari menuju bukit. Dalam tulisan Ahmad Arif, tsunami yang melanda pantai-pantai di sepanjang Samudera Hindia dan dipandang sebagai yang terbesar dalam sejarah itu telah menewaskan sedikitnya 320.000 jiwa. Namun di Pulau Simeulue, jumlah korban tercatat hanya 7 orang, kurang dari satu per-sebelas ribu dari penduduknya yang berjumlah 78.128 saat itu. Padahal, Pulau Simeulue adalah pulau yang terpisah dari daratan utama Aceh dan dikelilingi lautan. Brian G McAdoo, dkk. menjelaskan bahwa pantai paling utara hanya berjarak 40 kilometer dari pusat gempa, sementara ibukota Kabupaten Sinabang, berjarak sekitar 100 kilometer dari pusat gempa. Kita bisa bayangkan efektivitas kesigapan masyarakat Simeulue saat itu. Berdasarkan salah satu catatan yang dimuat di Wikipedia, gempa dan tsunami menyapu lebih dari 1.700 rumah. Apabila diperkirakan di Pulau Simeulue rata-rata penghuni satu rumah adalah 5 jiwa, maka jumlah total manusia yang rumahnya diterjang tsunami lebih dari 8.500 jiwa, atau sekitar 10 % dari total jumlah penduduk Kabupaten Simeulue. Hal ini menunjukkan bahwa pada pada saat itu terjadi proses evakuasi besar-besaran dalam kurun waktu kurang dari 10 menit secara serempak di seluruh wilayah pantai Pulau Simeulue yang panjang garis pantainya mencapai 400 km. Penelitian McAdoo dkk. juga mengungkapkan bahwa dalam hitungan menit dari gempa, penduduk di area pantai menyelamatkan diri ke titik-titik tertinggi dekat mereka, dan dalam beberapa kasus telah menentukan sebelumnya lokasi berkumpul di dataran tinggi yang menjauhkan mereka dari teluk. Ketinggian tsunami yang tertinggi ada di bagian paling utara dari pulau yang dekat dengan pusat gempa, dan melemah ke bagian selatan. Mempertimbangkan jarak Simeulue dari pusat gempa, penduduk rata-rata memiliki waktu 20 menit untuk mengevakuasi diri – waktu yang cukup untuk menuju bukit sejauh 2 kilometer. Contoh menakjubkan juga justru terjadi di Langi, bagian paling utara yang terdekat dengan pusat gempa, berjarak sekitar 60 kilometer saja dari pusat gempa. Jika dihitung, mereka hanya memiliki waktu 8 menit saja setelah guncangan untuk menuju tempat tinggi sekitar 30 meter di atas permukaan laut untuk menghindari 10 – 15 meter ketinggian ombak. Tsunami itu menerjang semua isi desa, tidak meninggalkan apapun kecuali fondasi-fondasi bangunan. Namun dengan kesigapan dari 800 penduduk desa itu, tidak ada satupun yang meninggal.
25
Eko Yulianto dalam “Surviving a Tsunami: Lesson from Aceh and Southern Java, Indonesia” menuliskan bahwa di Simeulue, berlari menuju bukit nampaknya sudah menjadi prosedur standar kapanpun gempa besar dirasakan terjadi, tanpa menunggu banyak waktu. Para penduduk juga terutama mengambil kehati-hatian ini di kala malam, ketika mereka tidak dapat dengan mudah melihat tanda lain akan terjadinya smong yaitu air laut yang surut. Gempa yang besar, sudah cukup menjadi dasar akan terjadinya tsunami. Berbeda dengan yang terjadi di pulau utama Aceh, yang kebanyakan tidak menyadari bahwa gempa besar adalah tanda akan datangnya tsunami. Ketika gempa telah selesai dengan merusak bangunan, warga keluar hanya untuk menghindari tertimpa bangunan, atau melihat bangunan-bangunan yang telah rusak, padahal mereka punya jarak waktu yang sangat cukup untuk menghindari tsunami, yaitu sekitar 20 menit untuk daerah di sekitar pantai dan 45 menit untuk di daerah kota. McAdoo, dkk. mengambil contoh Jantang yang terletak di pesisir Aceh di pulau utama Sumatera yang berjarak 225 kilometer dari pusat gempa, namun sayangnya beberapa laporan menyatakan lebih dari 50% penduduknya yang berjumlah sekitar 10.000 hilang pada tsunami 26 Desember 2004. Berdasarkan penuturan saksi mata, gelombang pertama dari tiga gelombang menerjang daratan 20 menit setelah gempa berhenti. Terjangan gelombang berhenti sepenuhnya 30 menit kemudian. Keberhasilan Pulau Simeulue dalam meminimalisasi korban jiwa akibat tsunami, walaupun kebanyakan infrastruktur tetap rusak, semakin patut diapresiasi dan dicontoh mengingat sarana telekomunikasi di sana masih terbatas, terlebih belum ada sistem peringatan dini tsunami di sepanjang pantai barat Sumatera saat itu. Para ilmuwan Amerika dan Indonesia yang pernah mengunjungi pulau ini menyatakan bahwa sekalipun dengan sebuah sistem deteksi tsunami yang canggih, seperti yang telah terpasang di Pasifik, belum tentu akan mampu menyelematkan Simeuleu dari tsunami karena letaknya yang dekat dengan pusat gempa (BBC. http://news.bbc. co.uk/2/hi/programmes/from_our_own_correspondent/6435979. stm). Pantas jika masyarakat dunia melalui ISDR (International Strategy for Disaster Reduction, Strategi Internasional untuk Penanggulangan Bencana) memberikan penghargaan SasakawaAward kepada masyarakat Kabupaten Simeulue. Lembaga di bawah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkonsentrasi pada minimalisasi kerusakan dan kerugian akibat bencana itu menyerahkan penghargaan tersebut di Thailand pada tanggal 12 Oktober 2005 kepada Bupati Simuelue Drs. H. Darmili sebagai perwakilan seluruh masyarakat Simeulue. Ini adalah salah satu bukti bahwa kearifan lokal yang didapat dari pengalaman para pendahulu suatu penduduk menjadi satu nilai yang berharga dalam hubungan manusia dan lingkungan. Pengalaman yang diceritakan secara turun-temurun itu tentu memiliki basis empiris dan tidak sekedar menjadi cerita-cerita dongeng untuk anak-anak sebelum tidur. Walaupun tidak ada yang berharap akan datang lagi musibah, tetapi kesiapsiagaan merupakan sesuatu yang penting. Penduduk Simeulue telah mengakumulasikan dan mengonsolidasikan tradisi lisan smong diawali dari individu-individu, keluarga, dan telah menjadi sebuah nilai dan sistem sosial di sebuah masyarakat dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Hasilnya, walaupun terpaut hampir satu abad antara smong tujuh dengan smong Desember 2004, masyarakat tidak gagap untuk menghindari kerugian jiwa akibat bencana, termasuk mereka yang telah berusia senja dan merasakan smong pertama dahulu seperti Rukiah yang diceritakan di atas. Semoga saja masyarakat lain bisa mencontoh pemodelan masyarakat Simeulue dalam sistem tanggap bencana, tentu dengan kearifan dan konteks lokal masing-masing.
26
Gambar 1. Ilustrasi 3 sumber pemicu gempa di Pulau Sumatera. Gempa zona subduksi terjadi karena pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang memicu terjadinya gempa dan tsunami.
17.
MEGATHRUST DI PANTAI BARAT SUMATERA: ANCAMAN DAN KESIAP-SIAGAAN Oleh: Zuldadan naspendra, SP Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-10 Magister Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor Gambaran umum: Bencana alam yang terjadi di Indonesia sejak satu dekade terakhir telah tidak asing lagi terdengar dan terlihat oleh dimata. Setidaknya, terdapat tiga jenis bencana “favorit” menjadi langganan ancaman yang menelan banyak korban jiwa dan kerugian materi. Berdasarkan hasil kalkulasi data yang dihimpun dari BNPB 2015, tsunami dan gempa bumi menempati urutan pertama dengan persentase ancaman mencapai 31.4%. Kedua, puting beliung dengan persentase sekitar 19%, dan yang ketiga dan keempat berturut-turut yaitu bencana tanah longsor sekitar 16% dan kebakaran sekitar 13,4%. Daerah pesisir barat Sumatera dan selatan Pulau Jawa merupakan kawasan yang paling rentan terkena dampak gempa dan tsunami. Gempa dan tsunami 26 desember 2004 di Aceh dan Nias dengan panjang patahan ± 1.300 km dan durasi retakan lebih dari 450s telah menelan banyak korban dan menghancurkan infrastruktur. Tercatat lebih dari 150 ribu jiwa meninggal, 6.220 hilang dan lebih dari 400 ribu orang mengungsi. Demikian juga di Sumatera Barat (Padang dan Pariaman), pada tahun 2009 tercatat gempa tektonik dengan pusat gempa 57 km arah barat daya pariaman telah menewaskan lebih dari 1.000 orang. Pada tahun 2010 di Kepulauan Pagai-Mentawai, Tsunami juga merenggut banyak korban jiwa, sebanyak 447 orang meninggal dunia, 56 hilang, dan lebih dari 15 ribu penduduk harus mengungsi (Data diperoleh dari www.bnpb.go.id, diakses 25 juni 2015). Prediksi Megathrust: Pulau Sumatera sebagai salah satu dari enam pulau terbesar di dunia dengan luas area mencapai 443.000 km2 yang berada pada busur sirkum sunda sangat rentan terhadap risiko bencana baik tsunami maupun gempa. Verstappen, H.Th (1973) dalam bukunya berjudul A geomorphological reconnaissance of Sumatera and adjacent island (Indonesia) menjelaskan karakteristik Pulau Sumatera secara detail melalui studi lapangnya selama 9 tahun sejak 1949-1957) di Padang, Kerinci, Palembang, Sumatera Utara dan berakhir di Aceh, di mana Sumatera pada dasarnya berada pada zona aktif tektonik. Pulau Sumatera (estimasi panjang 1,650 km vs lebar 350 km) yang memiliki gugus pegunungan (Bukit barisan) membentang sepanjang pulau merupakan akibat dari Median Graben atau Patahan Semangko berumur holosen. Walaupun tidak berisiko tsunami, pergeseran patahan semangko ini telah menyebabkan terjadinya gempa tektonik dan memicu aktivitas vulkanik, salah satunya gempa vulkanik Gunung Talang tahun 2007 yang menyebabkan belasan jiwa meninggal dan ribuan penduduk mengungsi. Di bagian pantai barat Sumatera, pertemuan lempeng Indo-australia dan Eurasia dapat memicu gempa dan tsunami jika terjadi pegerakan atau tumbukan (Gambar 1) dengan gempa lebih dari 8.5 dan atau kedalaman kurang dari 15 km.
Prediksi Megathrust telah dilakukan oleh beberapa ahli dan, BNPB. Beberapa ahli memprediksi gempabumi 8.5 SR dapat mempengaruhi sistem keseimbangan subduksi di Mentawai sehingga dapat menyebabkan gempa Megathrust 8.9 atau 9 SR. Pertimbangan ini di dasarkan oleh 1) peringatan kejadian gempa Aceh 2012, 2) siklus kejadian, di mana pusat gempa padang merupakan yang paling potensial akan terjadi dalam waktu dekat karena gempa dahsyat terakhir terjadi pada tahun 1861, artinya hampir mendekati 150 tahun setelah kejadian tersebut. Kondisi ini diperkuat oleh telah melepasnya beberapa energi patahan pada tahun 2009 (Padang dan Pariaman) dan 2010 (Pagai-Mentawai) yang akan memicu pelepasan energi yang lebih cepat. Sementara, tanggal 23 juni 2015 di Padang, penelitian bertajuk Mentawai Gap Tsunami Earthquake Risk Assessment (MEGA-TERA) oleh 10 peneliti geofisika kelautan asal Institut de Physique du Globe de Paris (IPGP), Earth Observatory Singapore Nanyang Technological University (EOS-NTU), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipimpin oleh Prof. Satish Sing, menemukan banyak patahan aktif di dua lokasi penelitian. Masingmasing di cekungan Wharton dan kawasan sebelah barat Pulau Siberut, ditemukan banyak patahan aktif di dekat palung dengan arah berbeda-beda, baik di lempeng yang tersubduksi maupun lempeng di atasnya. Kekuatan gempa tersebut diperkirakan mencapai 9 SR yang memungkinkan terjadinya tsunami. Akan tetapi energi tersebut belum dapat diprediksi kapan dilepaskan. Ancaman Megathrust Menurut Singh et al. (2010) dalam artikelnya Evidence of active backthrusting at the NE Margin of Mentawai Islands, SW Sumatra, bahwa jika prediksi potensi gempa bumi akan terjadi 9 SR, tsunami akan terjadi sekitar 20-35 menit setelah gempabumi di Kota Padang dengan tinggi 6-10 meter dan mampu menjangkau jarak 2-5 km dari garis pantai selama 2.5 jam, tergantung topografi daratannya. Berdasarkan analisi skenario terburuk yang terjadi, maka dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dan jarak jangkauan tsunami menuju daratan dan kondisi eksisting infrastruktur saat ini dengan radius 2-5 km, maka diperkirakan 39.321 jiwa meninggal dunia, 52.637 jiwa hilang, dan 103.225 jiwa luka-luka. Jumlah total korban 571.392 jiwa penduduk di pantai barat Sumatera Barat (Tabel 1). Tabel 1. Risiko terburuk ancaman gempa dan tsunami megathrust.
Kesiapsiagaan Megathrust: Antisipasi untuk mencegah banyaknya korban jiwa akibat skenario pada Tabel 1 perlu dilakukan. Berdasarkan Gambar 2, masyarakat yang tinggal di daerah pantai akan memerlukan waktu berpindah ke tempat yang aman dari tsunami lebih dari 40 menit (merah) dan 20-40 menit (kuning-oranye), sedangkan ancaman tsunami datang dalam waktu sekitar 20-35 menit. Skenario antisipasi ini merupakan jalur evakuasi horizontal. Oleh karena kondisi masyarakat berkemungkinan akan panik dan menimbulkan kemacetan jalan pada saat masyarakat menyelamatkan diri, maka jika hanya mengandalkan metode evakuasi ini tentu akan beresiko terjadi peningkatan korban jiwa.
Gambar 2. Perkiraan waktu evakuasi dengan kondisi infrastruktur saat ini.
Menumbuhkembangkan kearifan lokal di masyarakat, melakukan sosialisasi dan pelatihan peringatan bencana merupakan upaya pembangunan non struktural dan telah terbukti mampu mengurangi korban jiwa, seperti kasus di Simeulue. Namun untuk masyarakat yang tinggal di kawasan padat penduduk, maka cara tersebut tidak menjamin keselamatan warga. Oleh sebab itu, mengingat ancaman tsunami yang sangat singkat, beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk mengurangi korban adalah melalui pembangunan membangun selter vertikal. Evakuasi shelter vertikal merupakan tindakan untuk penyelamatan ke tempat yang lebih tinggi. Jika wilayah, maka pembangunan selter vertikal diperlukan. Pemerintahan kota Padang dengan bantuan internasional telah membangun beberapa bangunan shelter dengan memanfaatkan lantai 3 bangunan sekolah atau gedung pemerintahan yang telah ada. Data dari BPBD kota Padang tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat 13 bangunan evakuasi tsunami dengan total kapasitas 30,550 orang dan tiap-tiap bangunan memiliki daya tampung 1,000-3,000 orang. Akan tetapi, jumlah ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan potensial kehilangan jiwa sebanyak 400,000 jiwa atau sekitar 7.64% dari total jumlah penduduk kota Padang dan belum termasuk kota lainnya yang juga membutuhkan shelter vertikal tersebut. Yang tidak kalah penting menjadi perhatian adalah distribusi bangunan dan ketahanan strukurnya terhadap gempa dan terjangan tsunami. Usulan pembuatan bukit buatan untuk shelter vertikal hingga saat ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dengan anggaran yang lebih hemat dan daya tampung besar jika dibandingkan dengan membuat bangunan tunggal. Pembuatan bukit buatan ini dapat dilakukan khususnya di wilayah yang cenderung bertopografi datar dan tidak adanya perbukitan atau dataran tinggi. Telah diidentifikasi terdapat 11 lokasi yang potensial untuk dibangun bukit buatan untuk shelter vertikal di pantai barat Sumatera Barat untuk meredam ancaman korban jiwa namun perlu dikalkulasi lagi kebutuhan untuk kota dan kabupaten lainnya.
Gambar 3. Pemilihan lokasi dan model untuk pembangunan bukit buatan untuk shelter vertikal. Daya tampung 300,000 jiwa
27
18.
Dari Transitional Shelter, ke Perbaikan Papan dan Permukiman Oleh: Vidya Spay P.A., S.T., M.Sc., (LPDP PK-2) Master of Human Settlement, KU Leuven, Belgium Arsitek dan Urban Designer Co-Founder and Researcher Mata Garuda Institute Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Papan memiliki 2 arti yaitu (1) kayu (besi, batu, dsb) yang lebar dan tipis; (2) kebutuhan primer berupa tempat tinggal, rumah. Dan sering juga kita mendengar kata memapan yang berarti memasang papan (untuk lantai, dinding, dsb). Papan pada buku ini mengacu pada arti yang kedua yaitu tempat tinggal sebagai salah satu dari kebutuhan manusia. Papan merupakan kebutuhan primer manusia sama halnya dengan sandang dan pangan. Namun seiring berjalannya waktu, pertambahnya jumlah penduduk, perkembangnya pemahaman manusia tentang aspek kehidupan, legalitas dan kepemilikan, formal dan informal, perkembangan urbanisasi dan tata cara orang bermukim, pemenuhan kebutuhan papan menjadi tantangan bagi manusia dan negara. Tidak seperti dua kebutuhan dasar yang lain, sandang dan pangan, yang pengadaannya yang relatif terjangkau dan dapat mengandalkan bantuan secara individu dan kelompok, pengadaan papan yang layak untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap manusia terbilang relatif mahal dan tidak mudah dalam pengadaannya. Pengadaan papan yang layak untuk seluruh warga negara di negeri ini tidak bisa begitu saja diselesaikan oleh kelompok atau individu, dibutuhkan sebuah strategi dari level pemerintahan, daerah, kelompok masyarakat dan individu untuk dapat menuntaskan kebutuhan pengadaan papan yang layak di negeri ini. Pada tahun 2006, sebuah pengalaman membuka pengetahuan baru bahwa seseorang dan ribuan keluarga dapat kehilangan papan atau tempat tinggal yang layak bukan hanya dikarenakan oleh kondisi ekonomi atau kesalahan manusia dalam mengkonsep sistem ekonomi kota dan negara atau pengaruh sistem ekonomi dunia, namun bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, banjir, kebakaran dan tsunami dapat menghilangkan rumah tinggal yang layak dan meluluhlantahkan permukiman penduduk dalam waktu singkat. Belajar dari pengalaman menjadi volunter saat mahasiswi di NGO asing, CHF, saat Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 dan menjadi supervisor tim untuk mendirikan ratusan transisional-shelter dari bahan bambu untuk korban gempa di beberapa distrik Klaten dan Yogyakarta melalui 4 pendekatan yang sangat terstruktur yaitu (1). pengecekan area dan kerusakan; (2). bertemu dan diskusi singkat bersama komunitas; (3). mendistribusikan material bangunan; (4). pembangunan transitional-shelter bersama penduduk. Kebanyakan bantuan shelter baik yang bersifat sementara, semi permanen maupun perbaikan rumah inti dengan strategi yang rapi dan cepat dikerjakan dan diberikan oleh NGO/ LSM Asing. Shelter atau papan sementara menjadi sesuatu yang tidak kalah pentingnya dengan bantuan sandang dan pangan. Tenda biru yang dibuat secara dadakan dengan konstruksi seadanya atas batuan perorangan dan komunitas tidak mampu melindungi korban gempa selama berminggu-minggu dari angin dimalam hari, hujan, genangan air setelah hujan dan penyakit. Minimnya bantuan terhadap pengadaan shelter/ papan sementara mendatangkan permasalahan baru bagi para korban becana gempa Yogyakarta. Pembangunan beberapa shelter pun sedikit mengalami kendala untuk permukiman yang sangat padat dimana beberapa yang tidak memiliki pekarangan harus meminjam lapangan terbuka untuk membangun shelter sementara. Menghadapi tantangan ijin lapangan kosong ini mengingatkan pada tantang yang lebih berat dihadapi oleh bencana tsunami di Aceh dimana semua surat, bangunan dan patok tanah kemungkinan hilang dihapus oleh air. Bencana alam bukan lagi suatu kejutan namun merupakan sesuatu yang cukup sering terjadi di negeri yang memiliki gunung dan lempeng kepulauan yang aktif ini, diperlukan studi lebih lanjut,
28
tindakan preventif, perencanaan dan ketanggapan/ kesiap-siagaan tim profesional dan masyarakat untuk dapat mengatasi, terutama dalam pengadaan papan yang layak dan merespon bencana serta tempat bermukim sementara bagi korban bencana yang masih sangat minim baik strategi maupun aksi di lapangan. Dari pembangunan tenda darurat sementara untuk para survivor bencana gempabumi hingga pembangunan semi-permanen papan atau transitional shelter hingga perbaikan dan pembangunan rumah inti memiliki tantangan dan strategi yang berbeda-beda. Pemilihan material dan konstruksi papan/ shelter mempengaruhi jangka waktu yang berbeda-beda. Bambu merupakan material utama yang dimanfaatkan dalam pembangunan trasitional shelter saat gempabumi di Yogyakarta dan Klaten pada 2006 lalu. Bambu merupakan anugerah yang diberikan kepada alam di negeri ini. Keragaman diameter dan jenis bambu dan tumbuh dibanyak tempat dalam kurun waktu yang relatif cepat kurang lebih 3 tahun menjadikan material bambu dapat digunakan sebagai struktur utama dan pengisi bangunan. Dengan teknik pengeringan dan pengolahakan khusus, bambu dapat digunakan sebagai material yang sangat kuat dan dapat bertahan dalam kurun waktu tahunan. Dalam kondisi darurat pun, bambu segar tanpa pengeringan banyak digunakan untuk menyangga tenda biru darurat. Banyak penelitian dan pengembangan papan, transitional shelter dengan beragam material dan teknik konstruksi yang mudah dalam pembuatan dalam kondisi darurat dan pendistribusian yang dikembangkan oleh beberapa arsitek dan institusi internasional. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Sand-bag shelter atau papan yang dibuat dari kantung pasir yang dikembangkan Nader Khalili. Ide kantung pasir pada Sand-bag shelter merupakan pengembangan material yang sering digunakan untuk kebutuhan militer ketika membangun dinding pengaman dari tumpukan karung yang diisi oleh pasir. Arsitek Nader Khalili berusaha mengoptimalkan penggunaan bahan abadi (tanah, air, udara dan api) dan prinsip-prinsip abadi (lengkungan, kubah, kubah), menggunakan teknik membangun sederhana yang memungkinkan setiap orang untuk membangun dan sistem konstruksi yang kuat untuk menahan gempa bumi, kebakaran, banjir dan badai dan lulus dalam tes yang ketat dan kode bangunan. Desain tempat penampungan darurat yang fleksibel dapat diubah menjadi rumah permanen dengan dicampur dengan semen atau kapur, atau aspal emulsi sebagai stabilizer, atau menambahkan plester eksternal atau ruang tambahan yang diperlukan. Pembangunan shelter ini pun memberdayakan ekonomi dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan perkembangan yang berkelanjutan di tempat penampungan. Sand-bag shelter ini pernah diaplikasikan dibeberapa negara salah satunya dibangun untuk para survivor perang di Baninanjar Refugee.
Sand-bag Shelter sumber: www.catalysthouse.net
Inovasi Material `Paper Tube` dikembangkan oleh arsitek Jepang, Shigeru Ban, untuk proyek sosial kemanusiaan yaitu shelter bagi para pengungsi. Material yang dibuat dari bahan kertas kardus berbentuk tube atau tabung telah mengikuti standar uji yang dinyatakan aman dari bahaya kebakaran dan gempabumi dan lolos standar sebagai material untuk transitional shelter. Ide pemanfaatan material kardus sebagai material untuk transitional shelter diperoleh dari material kardus yang sering digunakan oleh para tuna wisma untuk membangun rumah kardus. Kekakuan sederhana, keringanan dalam pengangkutan, keterjangkauan harga, dan kemudahan untuk mendapatkannya dan kemampuan kardus untuk memberikan perlindungan sederhana membuat material ini sangat digemari oleh para tuna wisma untuk membangun papan ilegal mereka.
Paper Tubes Shelter sumber: www.archdaily.com
IKUTI SURVEI NASIONAL!
Persembahan Divisi Talent Hub dan Strategic Partnership Mata Garuda, Selasar.com dan Kitabisa.com
IKUTI KEGIATAN KAMI!
Persembahan Divisi Sosial Affairs Mata Garuda.
29 29