DARI UPAHAN MENJADI MEMPELAI
Love
Banyak orang berpikir bahwa jika sudah menjadi hamba Tuhan maka otomatis menjadi mempelai Sang Raja, padahal tidak seperti itu. Ada proses yang harus dilalui untuk dapat menjadi mempelai Tuhan sebab kriteria dan persyaratannya cukup tinggi. Buku ini berisi tentang proses tersebut mulai dari upahan sampai menjadi mempelai, dari rohani yang masih anak kecil sampai mencapai kedewasaan penuh. Buku ini wajib dibaca bagi siapa saja yang ingin bertumbuh dan menjadi mempelai Sang Raja.
0
Persiapkan mempelai mempelai-KU, sebab AKU datang segera dan Pesta Kawin Anak Domba akan segera digelar ( Agustus 2011 )
1
DAFTAR ISI
Hal. PENGANTAR
3
KESAKSIAN PENULIS
4
1. PANGGILAN • Menjadi Anak Allah • Tidak Bertumbuh • Dewasa Rohani
5
2. UPAHAN • Memahami Tuan • Memahami pekerjaan • Mental Upahan
16
3. MURID • Mental Murid • Menyangkal Diri • Memikul Salib dan Mengikuti Yesus • Jangan menilai
27
4. MEMPELAI • Mental mempelai • Karakter Mempelai • Sehati Sejiwa Serupa dengan Sang Raja
39
PENUTUP
47
2
PENGANTAR
Panggilan kita yang semula adalah sebagai anak Allah. Saat kita menerima panggilan entah kita masih kecil atau sudah dewasa, dalam rohani kita masih sebagai anak kecil, namun seiring waktu kita diharapkan bertumbuh menjadi dewasa dan bekerja di ladang Tuhan. Sayangnya banyak anak Tuhan yang tidak bertumbuh dewasa karena berbagai faktor, padahal untuk dapat menjadi mempelai kita harus memiliki kedewasaan penuh. Anak Tuhan yang bertumbuh bekerja di ladang Tuhan. Setiap pekerja berhak mendapat upahnya, dan begitu jugalah kita. Melayani Tuhan sebagai hamba dan menerima upah. Inilah level upahan, tingkat kedewasaan yang paling dasar dalam perjalanan menjadi mempelai. Banyak hamba Tuhan yang berhenti di level ini Sebagian tidak berpikir untuk menjadi mempelai, sebagian tidak tahu caranya dan sebagian lagi berpikir sudah otomatis menjadi mempelai, padahal tidak demikian. Ada proses yang harus dijalani untuk dapat menjadi mempelai. Proses itu adalah menjadi murid. Ketika menjadi murid, kita tetap bekerja di ladang Tuhan, tapi level kita tidak lagi sebagai upahan melainkan sebagai murid. Mempelai adalah murid yang telah dinyatakan lulus. Pada kenyataannya tidak semua orang berhasil mencapai level mempelai karena banyak yang gagal saat menjadi murid. Namun ada juga yang gagal saat sudah mencapai level mempelai karena kehidupan dan tantangan kita tidak berhenti saat di level mempelai. Meskipun demikian, saya berharap Anda yang membaca buku ini punya keinginan kuat untuk menjadi mempelai-Nya. Masa sekarang adalah masa pencurahan Roh Kudus dan masa pencurahan Kasih karunia Allah yang luar biasa. jika Anda sungguh mau menjadi mempelai Sang Raja dan mau menjalani prosesnya, Tuhan akan memampukan Anda dan membawa Anda tiba disamping-Nya sebagai mempelai-Nya di Pesta Perkawinan Anak Domba. “karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:13)
Jakarta, September 2011, Love
3
KESAKSIAN PENULIS Ketika saya pertama kali menulis buku ini, yang bisa saya tulis hanyalah juduljudul bab, lalu mulai berkembang dengan sub bab, tapi saya tidak ada ide atau pengertian yang jelas tentang isinya. Ada suatu gambaran memang, tapi masih samar-samar. Saya mengandalkan sepenuhnya bimbingan Roh Kudus dalam menulis buku ini. Setiap sub bab dan pengertiannya dibukakan satu persatu oleh Tuhan. Seringkali saat saya duduk diam di depan tulisan saya tapi juga saat senggang dimana saya merenungkannya. Semuanya mengalir begitu saja melalui pikiran saya tanpa saya pernah membaca sebelumnya bahkan banyak sekali hal baru yang baru saya pahami saat saya menuliskan apa yang diberikan oleh Roh Kudus. Luar biasa sekali. Saya tahu persis kemampuan saya, karena itu saya berani bersaksi bahwa buku ini bukan karangan saya sendiri. Saya hanya juru tulis. Ini sepenuhnya karya Roh Kudus, namun harap dimaklumi jika nilai teologinya kurang memadai, sebab meskipun ini buah karya Roh Kudus, namun disampaikan melalui pikiran saya yang hanya mampu menampung sedikit sekali dari curahan Roh Kudus yang begitu luar biasa. Ya, bagaimanapun juga, ada kelemahan saya sebagai manusia yang turut terlebur dalam buku ini. Meskipun demikian, saya yakin Tuhan sudah memperhitungkan segala kekurangan saya ini dan bahwa Tuhan tetap memilih saya untuk menjadi juru tulisnya adalah memang kehendak-Nya. Mengapa saya yang hanya orang biasa dengan begitu banyak kelemahan yang justru dipilih untuk menulis buku ini? Saya tidak tahu persis jawabannya tapi mungkin justru karena saya bodoh, saya lebih menurut untuk menuliskan apa saja yang diberikan Roh Kudus tanpa membantah, dan segala pertanyaan serta kegelisahan saya yang terjawab dalam buku ini mungkin merupakan pertanyaan dan kegelisahan yang sama bagi kebanyakan orang. Bagi saya pribadi, buku ini luar biasa karena berisi hal-hal yang sungguh baru buat saya. Perjalanan menjadi mempelai kini menjadi jelas buat saya, dan betapa saya menginginkannya. Jika ada orang bertanya, dimanakan posisi saya, apakah saya sudah menjadi mempelai? Saya jawab dengan jujur, belum. Saya hanyalah seorang remaja dalam tingkat kedewasaan rohani dan seorang pekerja yang baru belajar bekerja tapi memberanikan diri mendaftar sebagai murid. Sejujurnya saya sering berdebar setiap membaca tahap demi tahap perjalanan menjadi mempelai dan bagaimana menjadi dewasa rohani. Sepertinya itu semua terlalu sempurna bagi saya, terlalu sulit untuk dilaksanakan, bahkan rasanya mustahil untuk bisa berhasil, tapi saya selalu berkata pada diri saya bahwa yang saya perlukan hanyalah kesungguhan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Saya percaya, setiap anak-Nya yang mau diproses akan dibawa terus sampai menjadi mempelai-Nya tidak peduli betapa banyak kekurangan dan betapa banyak kelemahannya.
4
PANGGILAN Menjadi Anak Allah Semesta yang begitu luas, yang tak terjangkau oleh pikiran kita siapakah yang menciptakannya? Bumi yang begitu semarak siapakah yang menciptakannya? Bukankah Allah? Dan siapakah manusia? Sesungguhnya manusia tidak lebih dari setitik debu dihadapan-Nya, Namun Sang Pencipta yang Mahakuasa berkenan menjadikan kita sebagai anak-anak-Nya. Bukankah ini luar biasa? "Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah " (Roma 8:14-15) Bahwa kita menjadi anak Allah itu anugerah luar biasa karena kita bukan apa-apa dan tidak berjasa apa-apa. Coba saja Anda tanya presiden atau raja dari negara mana saja, apa mau menjadikan Anda anaknya? Tapi Allah yang memiliki segalanya justru memilih Anda. Sadarilah anugerah yang besar ini karena semua adalah kasih karunia yang harus kita syukuri terus menerus. Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia. (1 Yohanes 3:1) Karena Bapa kita ada di Surga dan Kerajaan-Nya juga di Surga, maka saat kita menjadi anak-anak-Nya, kita menjadi warga Surgawi dan dengan sendirinya kita tidak lagi menjadi warga dunia. Misalnya ada orang Indonesia yang diangkat anak secara resmi oleh ratu Inggris, dengan sendirinya ia pindah kewarganegaraan menjadi warganegara Inggris meskipun ia tetap tinggal di Indonesia. Nah, begitu juga kita, meskipun kita tinggal di dunia ini, tapi kita warga surgawi. Jadi, kita terikat dengan hukum surgawi dan bukan hukum dunia, dan sebagai anak Kerajaan Surga, kita juga dituntut untuk berpikir, berkata dan bertingkah laku sebagai anak Allah. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. (Lukas 6:35) Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:7-8)
5
Kerajaan Allah adalah kerajaan kasih, maka jika kita anak Allah kita juga harus memiliki kasih. Ini syarat mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Jika kita tidak memiliki kasih maka jangan protes kalau status warga surgawi Anda dicabut karena barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak lahir dari Allah dan dengan sendirinya bukan bagian dari Kerajaan Surga.
Tidak Bertumbuh Tingkat rohani tiap orang berbeda. Ada yang masih rendah atau masih anak kecil, ada yang sudah bertumbuh tapi belum dewasa, dan ada yang sudah dewasa bahkan menjadi dewasa penuh. Setiap anak Allah diharapkan terus bertumbuh dan menjadi dewasa penuh. sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombangambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. (Efesus 4:13-15) Namun sayangnya, tidak semua anak Allah bertumbuh menjadi dewasa. Ada yang masih jadi anak kecil terus dan ada yang bertumbuh tapi berhenti atau melambat sebelum mencapai dewasa. Mengapa tidak bertumbuh? Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak Allah tidak bertumbuh atau bertumbuh tapi lambat sekali.
Persepsi yang Salah "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. (Matius 18:3-4) Banyak orang punya persepsi yang salah dengan berpikir bahwa orang harus jadi seperti anak kecil supaya bisa masuk surga termasuk rohaninya. Padahal ayat di atas tidak bicara tentang tingkat rohani, melainkan sikap hati seorang anak kecil yang tulus, tidak berprasangka, tidak berbuat dosa, tidak merasa memiliki apaapa, namun penuh kepercayaan dan sukacita terhadap kehadiran Bapa. Saudara-saudara, janganlah sama seperti anak-anak dalam pemikiranmu. Jadilah anak-anak dalam kejahatan, tetapi orang dewasa dalam pemikiranmu! (1 Korintus 14:20) Paulus jelas menegaskan bahwa kita harus bertumbuh dewasa. jika kita masih menjadi anak kecil terus secara rohani, kita sama saja dengan hamba, dan tidak
6
bisa terima warisan. Sungguh sayang bukan, anugerah yang begitu besar menjadi hilang karena kita tidak mau bertumbuh dewasa. Yang dimaksud ialah: selama seorang ahli waris belum akil balig, sedikitpun ia tidak berbeda dengan seorang hamba, sungguhpun ia adalah tuan dari segala sesuatu; (Galatia 4:1) Jadi pemikiran bahwa sudah cukup menjadi anak Allah, tidak perlu bertumbuh menjadi dewasa adalah tidak benar. Itu persepsi yang salah. Demikian juga dengan pendapat yang beranggapan bahwa jika seseorang sudah menjadi anak Allah, otomatis masuk surga, jadi bertumbuh atau tidak bertumbuh sama saja.
Mental Anak Kecil Kalau pada faktor persepsi yang salah orang tidak mau bertumbuh, dalam faktor yang kedua ini orang mau bertumbuh tapi pertumbuhannya lambat atau bahkan terhambat karena mereka terjebak dalam mental anak kecil. Seperti anak kecil yang belum bisa makan sendiri, orang dengan mental anak kecil maunya disuapi terus. Ia lebih suka mendengarkan penjelasan dari hamba Tuhan daripada membaca dan merenungkan firman Tuhan secara pribadi. Orang semacam ini seringkali pergi berkeliling untuk mendengarkan kotbah dari berbagai hamba Tuhan, membaca buku dari berbagai hamba Tuhan tapi jarang sekali membaca kitab suci dan mendengarkan Roh Kudus. Padahal untuk dapat bertumbuh dalam roh dan kebenaran, orang harus menangkap keseluruhan firman secara utuh dan mencernanya bertahap dalam bimbingan Roh Kudus. Tidak bisa hanya mengandalkan pengertian dari hamba Tuhan saja. Orang semacam ini tidak pernah menerima porsi utuh kebenaran Firman Allah, apalagi orang yang hanya mendengarkan firman seminggu sekali saat ke gereja. Sulit baginya untuk bisa bertumbuh rohaninya, karena ia seperti orang kekurangan gizi. Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4) Mental anak kecil maunya main terus dan tidak berpikir tentang tanggung jawab. Orang semacam ini biasanya tidak pernah terpikir untuk bekerja di ladang Tuhan. Yang terpikir adalah bekerja untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Secara lahiriah menjalankan ibadah dengan baik, pergi ke gereja, memberikan persembahan atau persepuluhan, tidak melakukan tindak kejahatan secara ukuran dunia (tidak melawan hukum), dan semacamnya, tetapi ia tidak pernah peduli tentang perasaan Tuhan. Berkat diterima dengan senang hati, tapi enggan untuk menderita bagi kepentingan Kerajaan Allah. Ia mungkin sadar bahwa rohaninya perlu bertumbuh, tapi ia bersikap santai dan tidak mengusahakan pertumbuhan itu dengan giat. Orang semacam ini tidak panas tidak dingin, tidak ingin berbuat dosa tapi juga tidak ingin cepat dewasa dan menyenangkan Tuhan. Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan
7
tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku (Wahyu 3:15-16) Anak balita belum bisa berpikir tentang kebutuhan dan perasaan orang lain tapi dia sudah tahu kebutuhan dan perasaannya sendiri seperti lapar, takut, sedih, senang, dan seterusnya. Orang dengan mental anak kecil juga seperti itu. Ia terjebak dalam sikap mengasihani diri sendiri. Hari-harinya diisi dengan perasaan dan kebutuhannya sendiri. Siapa yang tidak pernah bergumul dalam hidupnya? Siapa yang tidak pernah bersedih? Tapi orang yang dewasa rohani tidak menjadikannya sebagai alasan untuk tidak memperhatikan kebutuhan orang lain. Hanya mereka yang belum dewasa rohani yang sibuk mengeluh setiap hari. "Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya hendak menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik karena semua perbuatan fasik, yang mereka lakukan dan karena semua kata-kata nista, yang diucapkan orang-orang berdosa yang fasik itu terhadap Tuhan." Mereka itu orang-orang yang menggerutu dan mengeluh tentang nasibnya, hidup menuruti hawa nafsunya, tetapi mulut mereka mengeluarkan perkataan-perkataan yang bukan-bukan dan mereka menjilat orang untuk mendapat keuntungan. (Yudas 1:14-16)
Ukuran yang Salah Sebenarnya ada ukuran tingkat rohani yang dengan mudah dilihat: manusia duniawi adalah orang yang tingkat rohaninya masih rendah, sedangkan manusia surgawi atau manusia rohani adalah orang yang tingkat rohaninya sudah tinggi atau dewasa. Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi? (1 Korintus 3:1,3) Manusia duniawi mengasihi dunia dan tidak pernah jauh dari urusan duniawi seperti: cinta harta, perselisihan, iri hati, mau menang sendiri, percabulan, dendam, ketamakan, dan seterusnya. Manusia duniawi tidak punya pemahaman yang baik tentang kebenaran, tidak bisa membedakan yang baik dari yang jahat dan Firman Allah tidak tetap di dalam dirinya. Cukup sederhana sebenarnya, namun banyak orang memakai ukuran yang salah dalam menilai tingkat rohani. Lancar dalam mengutip firman dalam kitab suci, bisa berbahasa roh, aktif dalam berbagai kegiatan gereja atau pelayanan seringkali dijadikan ukuran tingkat rohani padahal itu ukuran yang salah. Hafal dan lancar mengutip firman bukan ukuran seseorang dewasa rohani. Iblis bahkan jauh lebih hafal isi kitab suci ketimbang kita, tapi rohaninya jelas tidak dewasa bukan? Karena hafal saja percuma, yang penting adalah melakukan firman dengan benar.
8
Lancar berbahasa roh, kalau doa berjam-jam bahkan sampai bergetar dan menangis, rajin doa puasa, itu juga bukan patokan bahwa seseorang sudah dewasa rohani. Bukankah orang-orang farisi juga berpuasa dan doanya juga panjang dan meyakinkan? Kalau ia berbuah roh, barulah bisa dikatakan dewasa rohani. buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. (Galatia5:22-23) Aktif dalam berbagai kegiatan gereja dan pelayanan juga tidak bisa dijadikan ukuran karena ini kegiatan lahiriah. Banyak orang munafik yang aktif di berbagai kegiatan gereja dan pelayanan, tapi manusia duniawinya masih sangat kuat. Pada orang yang memiliki ukuran salah dalam menilai, pertumbuhan rohaninya menjadi lambat atau bahkan berhenti, bukan karena terhambat seperti dalam mental anak kecil, tapi karena mereka sendiri yang menghentikan pertumbuhan itu. Mereka berhenti karena mereka merasa sudah dewasa padahal kenyataannya belum tentu benar. Sungguh menyedihkan melihat orang yang rohaninya masih anak kecil tapi sudah merasa dewasa bahkan dengan penuh percaya diri menjadi pengajar dan pemimpin.
Dewasa Rohani Tidak Duniawi Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia (1 Yohanes 2:15-16) Keinginan daging antara lain: ingin tidur, ingin makan, ingin santai, ingin bersenang-senang, ingin nonton film, dan semacamnya. Wah, apa ingin makan dan tidur itu dosa? Ini bukan masalah dosa, ini tentang kedewasaan. Selama kita masih di dalam kedagingan wajar jika kita ingin makan, tidur dan semacamnya. Memang itu semua adalah tuntutan daging, tapi orang yang dewasa rohani menempatkannya tidak lebih tinggi dari kebutuhan roh, bahkan orang dengan kedewasaan penuh tidak menginginkannya lagi. Keinginan mata adalah keinginan yang berasal dari pandangan kita atau keinginan terhadap sesuatu yang dapat kita lihat yang sebenarnya bukan kebutuhan yang mendesak. Bahasa gaulnya adalah “lapar mata”, Banyak yang diinginkan sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer tetapi lebih karena “ingin memiliki”. Lapar mata ini tidak terbatas pada benda mati tetapi juga benda hidup seperti istri orang, suami orang, penampilan fisik dan seterusnya.
9
Banyak orang pada masa kini menutupi keinginan matanya dengan dalih kebutuhan primer padahal sebenarnya tanpa itupun dia tetap dapat beraktivitas dengan baik. Semakin dewasa rohani seseorang, ambang batas kebutuhan primernya semakin turun, artinya makin sedikit yang dia anggap sebagai kebutuhan primer. Keangkuhan hidup antara lain; kekuasaan, kehormatan, kepopuleran, harga diri, kebanggaan, kesombongan, kekayaan, dan seterusnya. Banyak orang bertentangan dan berselisih bahkan saling menghujat sampai membunuh demi mempertahankan keangkuhan hidup. Orang yang dewasa rohani tidak menginginkannya dan tidak memilikinya. semakin dewasa rohani, semakin tidak terikat dengan segala hal yang bersifat duniawi. Coba Anda merenung sejenak. Seandainya Anda diminta untuk melepaskan semua hal duniawi yang Anda miliki saat ini, apa sajakah yang sulit atau berat untuk Anda lepaskan? Apakah keluarga?, apakah pekerjaan? Apakah kehormatan? Apakah harta? Apakah kesehatan? Apakah handphone? Apakah tubuh fisik Anda? Atau apa saja? Anda dapat mengukur sendiri, berapa banyak ikatan Anda terhadap dunia ini. Orang tidak dapat menjadi dewasa rohani dalam satu hari, ada proses yang harus dijalani. Jika anda mau, Tuhan akan ubahkan Anda terus dan terus sampai mencapai kedewasaan yang penuh. Anda juga dapat melatihnya mulai dari hal yang sederhana. Beberapa contoh: Anda sudah lama sekali tidak makan kue favorit Anda, dan sekarang kue itu ada di tangan Anda, tetapi pada saat yang sama ada orang yang juga ingin kue itu. Jika Anda mau tumbuh dewasa, berikanlah kue itu padanya. Anda sedang seru-serunya menonton film di TV, tiba-tiba ada orang yang ingin melihat saluran lain. Berikanlah padanya. Anda baru saja terlelap, tiba-tiba ada orang minta konseling, Wajar jika Anda ingin berkata, “besok aja ya, sekarang saya sudah tidur.” Tapi jika ingin bertumbuh, kalahkan rasa ingin tidur itu dan layanilah dia. Jadi intinya belajar untuk mengalahkan keinginan daging kita sendiri dengan lebih mementingkan kebutuhan orang lain, sebab kasih itu adalah memberi. bahkan Yesus minta agar kita berikan lebih dari yang diminta. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. (Matius 5:39-42) Memberi bukan hanya benda yang dapat dilihat tapi juga termasuk hak kita, kehormatan, kesenangan, waktu, tenaga, dan sebagainya. Jadi, kalau diserobot orang saat Anda sedang mengantre, jangan marah, berikan saja dengan tulus. Demikian juga dengan perkara lainnya.
10
"Adanya saja perkara di antara kamu yang seorang terhadap yang lain telah merupakan kekalahan bagi kamu. Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan?" (1 Korintus 6:7) Berikanlah tanpa menunda. Ada orang minta didoakan, minta nasehat, minta ini, minta itu. Jika Anda dapat memberikannya saat itu janganlah tunda apalagi jika alasannya adalah kedagingan Anda seperti malas, capek, lapar, bosan dan seterusnya, kecuali jika Roh Kudus yang melarang Anda, itu sudah lain urusannya. Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: "Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi," sedangkan yang diminta ada padamu. (Amsal 3:27-28)
Kuat Dalam Firman Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal. (1 Petrus 1:23) Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4) Kita dilahirkan dari firman, maka kita harus bertumbuh dari firman juga. Seperti anak kecil yang perlu makan supaya bisa tumbuh dewasa, maka kita harus menyerap firman setiap hari supaya rohani kita bisa bertumbuh. Baca kitab suci secara menyeluruh terus menerus, jangan hanya memilih ayat-ayat yang disukai saja. Orang yang tiap hari membaca kitab suci saja belum terjamin menjadi dewasa rohani, apalagi yang tidak tiap hari membaca, dan tidak mau membaca kitab suci secara keseluruhan. Semakin kita bertumbuh dewasa, semakin banyak firman yang dapat kita serap, dan semakin banyak yang kita serap kita semakin bertumbuh dewasa. Ini seperti pertumbuhan manusia saja. Waktu kecil hanya minum susu, lalu makanan lembut lalu makanan keras. Ketika sudah bisa makan makanan keras, variasi makanannya lebih banyak, variasi kandungannya lebih banyak sehingga bisa tumbuh lebih besar dan makan lebih banyak. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat. (Ibrani 5: 14) Maka tidak perlu heran jika melihat para hamba Tuhan berselisih dengan menggunakan ayat-ayat dalam kitab suci. Mereka ini belum bisa makan makanan keras sehingga pengenalan akan firmannya masih terbatas. Mereka ini seperti orang farisi yang mempelajari dan melaksanakan hukum taurat dengan sangat baik, tapi tidak bertumbuh. Untuk dapat bertumbuh dan mengenal firman dengan baik Anda harus masuk ke inti firman dan Anda tidak bisa ke sana sendiri. Anda perlu bantuan Roh Kudus,
11
karena Dia-lah yang mengenal jalan ke inti firman. Jadi, bertumbuh dalam firman harus dibarengi dengan keakraban bersama Roh Kudus. Ini satu paket karena firman itu berasal dari Roh Kudus Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah (2 Petrus 1:20-21) Yesus adalah manusia yang paling mengenal firman sebab Ia sendiri adalah firman. Yesus sanggup melihat jauh ke dalam inti firman yang tidak dapat dilihat orang pada masa itu. Yesus melanggar hukum sabat yang pada masa itu adalah sebuah hukum wajib yang berasal dari Allah dan orang yang melanggarnya dihukum mati. Yesus tidak mengikuti hukum sabat yang tertulis karena Yesus tahu kebenaran sabat yang sesungguhnya. Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu--yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam--dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya?" Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat." (Markus 2:25-28) Paulus meniadakan hukum sunat lahiriah yang bahkan merupakan perjanjian kekal Allah dengan Abraham, karena Paulus mengerti bahwa sunat yang dikehendaki Allah adalah sunat hati. Jadi Paulus sebenarnya tidak meniadakan hukum sunat tapi ia mengupas sampai ke intinya dan ia tahu bahwa sunat hati adalah perjanjian sunat yang sesungguhnya dikehendaki Allah. Masih banyak orang yang menolak untuk melakukan berbagai kegiatan lahiriah dengan alasan tidak diperbolehkan oleh Tuhan sesuai dengan yang tertulis dalam kitab suci. Mereka tidak peduli meskipun penolakannya menimbulkan ketegangan atau kepedihan atau bahkan perselisihan bagi orang lain karena mereka merasa melakukannya bagi Tuhan. Mereka ini orang yang belum dewasa rohani, sebab hukum utama adalah kasih, dan menyakiti hati orang lain adalah perbuatan melawan kasih. Bagaimana bisa ia katakan penolakannya itu bagi Tuhan? “Lho, kalau aku melakukannya aku nanti menyembah berhala” padahal menyembah itu urusan hati, jiwa, roh, dan bukan tindakan lahiriah sesaat. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Butuh kedewasaan rohani untuk dapat menilai apakah suatu tindakan berkenan kepada Tuhan atau tidak, maka kita harus bertumbuh supaya tidak dikalahkan oleh kejahatan yang bisa menipu kita dengan menggunakan ayat-ayat dalam kitab suci.
12
Aku menulis kepada kamu, hai orang-orang muda, karena kamu kuat dan firman Allah diam di dalam kamu dan kamu telah mengalahkan yang jahat. (1 Yohanes 2:14) Orang yang mengenal firman dengan baik tidak terpaku pada deretan kalimat firman yang tertera pada kitab suci, tapi ia masuk terus ke dalam firman itu sendiri dan memegang intinya. Itulah orang yang kuat dalam firman, itulah orang yang dewasa rohani. Firman adalah Allah dan orang masuk sampai ke kedalaman firman masuk ke dalam Allah sendiri, sehingga orang yang dewasa penuh dapat berkata, “aku di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam aku.” Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. (Ibrani 4:12) Jika Anda berulang kali membaca buku karangan manusia, Anda hanya mendapatkan pengetahuan yang menempel di pikiran Anda dan mungkin mempengaruhi hati Anda, tetapi kalimat itu tidak akan berfungsi di dalam diri Anda. Berbeda dengan Firman Tuhan. Saat kita berulang kali membaca dan merenungkannya, seluruh sel tubuh kita menyerapnya, dan Ia hidup di dalam diri kita. Ia berkembang dan tumbuh bersama rohani kita, dan hidup kita tidak akan pernah sama lagi. Kita menyatu dengan firman dan bertumbuh di dalam Tuhan.
Bekerja di Ladang Tuhan Sebagai anak yang bertumbuh dewasa kita wajib bekerja bagi Bapa kita. Orang dewasa tahu tanggung jawab, tidak hanya menuntut fasilitas. Kalau kita perhatikan di kisah-kisah perjanjian lama, semua anak yang dewasa atau bahkan remaja, sudah membantu pekerjaan ayahnya, baik di ladang maupun di peternakan. Tidak ada anak yang bermalas-malas dan tidak bekerja kecuali jika ia masih sangat kecil atau belum akil baliq. Maka jika kita mengaku sudah dewasa, kita harus bekerja di ladang Tuhan, melaksanakan tugas dari Bapa kita. Apakah setiap anak Allah harus bekerja di ladang Tuhan? Iya harus. Apakah harus penuh waktu? sebaiknya. Lho, lalu bagaimana kewajiban kita sebagai anak yang harus menuntut ilmu? Sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus keluarga? Sebagai ayah yang harus bekerja menghidupi keluarga? Apa semua orang harus jadi pendeta atau pastor atau penginjil atau suster, atau semacam itu? Tentu tidak seperti itu. Seperti pekerjaan di kebun anggur, ada yang bekerja langsung di kebun anggur seperti penabur dan penuai tapi ada yang bekerja tidak langsung di dalam ladang seperti pelayan yang menyediakan makanan untuk para pekerja. Ia bekerja di dapur yang jauh dari ladang tetapi hasil pekerjaannya dipergunakan bagi kepentingan pekerjaan ladang. Ada orang yang dipanggil untuk bekerja penuh di dalam ladang Tuhan dan mendapatkan penghidupan dari pekerjaan itu, ada yang bekerja di ladang Tuhan tetapi mendapatkan penghasilan dari pekerjaan dunia yang lain seperti Paulus
13
yang bekerja sebagai tukang kemah dan juga penginjil, dan ada yang bekerja di luar ladang Tuhan tetapi penghasilannya dipergunakan untuk kepentingan ladang Tuhan. Selama tujuan dari segala pekerjaan itu entah di dalam ladang entah di luar, adalah demi kepentingan kerajaan Allah, maka dapat dikatakan sebagai bekerja penuh waktu di ladang Tuhan. Jadi, bukan dari jenis pekerjaannya melainkan dari tujuannya kita dapat mengatakan apakah ini pekerjaan untuk ladang Tuhan atau bukan. Contoh: seorang ibu bekerja sepanjang hari sebagai pembuat kue. Hasil dari penjualannya dipakai secukupnya untuk kelangsungan hidupnya dan selebihnya diserahkan penuh bagi kepentingan penginjilan. Meskipun ibu ini bukan penginjil dan hanya pembuat kue, ia bekerja di ladang Tuhan penuh waktu karena tujuan dari segala usahanya adalah demi kepentingan kerajaan Surga. Lain halnya dengan seorang ibu yang juga sepanjang hari membuat kue tapi hasil penjualannya ia pergunakan untuk kebutuhan hidupnya saja. Mungkin ia memberi persepuluhan, tapi hanya sebagai kewajiban. Tujuannya membuat kue adalah untuk kepentingannya sendiri, maka ibu yang terakhir ini tidak bekerja penuh waktu bagi Tuhan. Jadi, jika pekerjaan itu kita tujukan dan persembahkan bagi Tuhan, meskipun itu adalah pekerjaan yang sederhana dan tidak rohani kita tetap melakukannya bagi Tuhan. Bekerja penuh waktu berarti segala yang kita lakukan tidak untuk memuaskan nafsu duniawi seperti kemapanan, kepopuleran, keserakahan, pujian manusia, dan seterusnya. Seorang pebisinis bekerja giat siang malam jika tujuannya supaya ia dapat memberikan lebih banyak bagi kepentingan kerajaan Surga, ia bekerja bagi ladang Tuhan, tapi jika tujuannya supaya ia dapat hidup lebih mewah, lebih dihormati dan mendapat pujian banyak orang, maka ia bekerja untuk dirinya sendiri. Begitupun dengan seorang gembala jemaat yang giat mengembangkan gerejanya. Jika tujuannya supaya ia lebih populer, lebih hebat dari hamba Tuhan yang lain, maka sesungguhnya ia sudah tidak bekerja penuh waktu di ladang Tuhan. Ia sudah mulai bekerja di ladang miliknya sendiri meskipun kelihatannya ia bekerja penuh waktu bagi Tuhan. Bagaimana dengan pekerjaan yang merupakan kewajiban duniawi seperti ibu yang harus mengurus keluarga, anak yang harus sekolah? Begini; bekerja sepenuh waktu bagi Tuhan tidak berarti kita tidak punya waktu untuk melakukan kewajiban kita. Seorang budak jaman dulu adalah milik tuannya dan dia bekerja penuh waktu, artinya setiap saat tuannya membutuhkannya dia akan selalu siap tidak peduli tengah malam sekalipun. Meskipun demikian, budak ini tetap punya waktu untuk mengurus keluarga maupun diri sendiri. Allah Bapa kita bukan Tuan yang kejam, sebaliknya Ia adalah Tuan yang amat mengerti kebutuhan kita di dunia ini. Jika budak manusia saja diberi waktu untuk kehidupan pribadinya apalagi kita sebagai anak yang bekerja pada Bapanya. Yang penting kita menyerahkan segala keputusan kepada Tuan kita. Artinya yang mengatur waktu dan pekerjaan kita adalah Tuhan. Caranya? Ya dengan
14
menyerahkan secara terus menerus segala kehidupan dan pekerjaan kita kepada Tuhan. Seorang pekerja yang peka akan menunda pekerjaan wajibnya bila ia merasa Tuhan memintanya untuk melakukan suatu pekerjaan yang lain. Contoh; seorang ibu hendak membersihkan rumah seperti kewajibanya setiap hari tapi tiba-tiba Tuhan memintanya untuk melakukan doa peperangan sepanjang pagi itu, maka seorang pekerja penuh waktu tidak akan ragu untuk segera berdoa dan tidak membersihkan rumah sepanjang pagi itu. Jadi jangan berpikir kalau bekerja penuh waktu lantas Anda tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan dari pagi sampai malam kerjanya hanya berdoa, baca kitab suci, menginjil, dan semacamnya. Tidak seperti itu. bekerja penuh waktu bagi Tuhan itu berarti segala sesuatu bagi Tuhan dan selalu mendahulukan perintah Tuhan, seperti seorang budak yang akan segera berlari meninggalkan segala urusan pribadinya jika tuannya memanggil. Jangan ragu untuk bekerja penuh waktu bagi Tuhan, Dia Allah yang mengerti dan selalu memperhatikan kebutuhan kita. Dia Bapa yang tahu kapasitas dan kemampuan kita. Ia selalu memberi yang terbaik bahkan seringkali tanpa kita minta atau tanpa kita sadari. “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (1 Korintus 15:58)
15
UPAHAN Memang kita anak Allah dan bekerja di ladang Bapa kita, tapi saat bekerja, jangan berlagak seperti tuan muda, maksudnya, bekerjalah sungguh-sungguh seperti seorang budak. Hubungan kita dengan Tuhan tetap akrab sebagai Bapa dan anak, tapi layanilah Tuhan seperti seorang budak melayani tuannya. Jadilah upahan yang baik, yang memahami kehendak dan perasaan Tuannya, yang memahami posisi dan pekerjaannya. Jangan hanya asal bekerja karena jika pekerjaan kita tidak sesuai dengan kehendak Bapa sia-sialah semua jerih lelah kita. Orang dengan tingkat rohani yang masih anak-anak dapat ikut bekerja di ladang Tuhan, bahkan baik untuk mempercepat pertumbuhan rohaninya, tetapi mereka sebaiknya magang di bawah bimbingan orang dewasa, sambil terus bertumbuh dewasa dan dapat bekerja sendiri. Hendaklah masing-masing orang menyadari tingkat rohaninya. Mereka yang belum dewasa janganlah buru-buru tampil sebagai pengajar atau pemimpin karena jadinya seperti orang buta menuntun orang buta dan dapat terjadi penyesatan. Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: "Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang? (Lukas 6:39)
Memahami Tuan Mengenal Tuhan Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan. (Efesus 5:17) Banyak orang dengan bangga mengatakan “saya bekerja di ladang Tuhan” tapi ternyata tidak tahu banyak tentang Tuhannya. Ini repot, karena kita ini kan bekerja melayani Tuhan, lha kalau tidak dapat memahami pribadi dan kehendak Tuhan, bagaimana kita dapat melayani dengan baik? Coba bayangkan kalau Anda seorang budak dan tugas Anda adalah menyediakan makanan bagi tuan Anda. Kalau yang Anda sajikan adalah makanan kesukaannya tentu Anda akan mendapat upah atau pujian, tapi jika yang Anda sajikan tidak disukai sehingga tidak dimakan, bukankah pekerjaan Anda menjadi sia-sia? Dan kalau terus menerus yang Anda sajikan tidak pernah dimakan, apa ya Anda tidak dikeluarkan? Maka jangan bodoh. Kenalilah Tuhan sehingga Anda tahu apa yang menjadi kesukaan-Nya
16
Bagaimana caranya supaya bisa mengenal Tuhan? Bergaul akrab terus menerus setiap hari dan menyelidiki kehendak serta kesukaan Tuhan melalui kitab suci dan Roh Kudus. Kitab suci adalah sumber pengetahuan yang paling lengkap tentang kehendak, sifat serta kesukaan Tuhan. Kita harus rajin menyelidikinya artinya setiap hari dibaca, direnungkan dan dipahami. Kita juga harus bergaul akrab setiap hari melalui doa dan pujian penyembahan. Sesibuk apapun Anda, luangkan waktu untuk berdoa, untuk ngobrol dengan Tuhan. Jadikan Ia sebagai sahabat terdekat yang selalu siap mendengarkan segala cerita Anda baik sedih maupun senang dan sembahlah Dia dengan tulus hati. Berusahalah menghadirkan Tuhan di setiap saat hidup Anda, seolah-olah Tuhan selalu ada di samping Anda secara nyata sehingga apapun yang hendak Anda kerjakan anda dapat menoleh padaNya dan mengajak-Nya turut serta dalam berbagai kegiatan Anda. Ini akan menumbuhkan keakraban, dan lambat laun kita akan semakin mengenal Dia. Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudarasaudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita. (2 Petrus 1:5-8) Iman – kebajikan – pengetahuan – penguasaan diri – ketekunan – kesalehan – kasih perlu kita miliki agar berhasil dalam mengenal Tuhan Yesus namun yang tak kalah penting adalah melaksanakan segala perintah-Nya. Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. (1 Yohanes 2:3)
Mengerti posisi Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38) Berapa banyak di antara kita yang mampu dengan tulus hati bicara seperti Maria? Kalau hendak diberi kelimpahan dan rahmat tentu dengan mudah bicara seperti itu, tapi kalau hendak diberi penderitaan dan kepedihan? Kebanyakan dari kita akan menawar, “kalau bisa jangan Tuhan” , “penderitaannya dikurangi sedikit ya Tuhan” , dan seterusnya. Sesungguhnya banyak anak Tuhan tidak sadar posisinya sebagai hamba, dan bersikap mengatur Tuhan. “Tuhan, buatlah rencanaku berhasil agar aku dapat lebih memuliakan nama-Mu”, “Tuhan, kalau Engkau jadikan aku kaya raya, aku akan menolong semua orang miskin itu”. Tuhan jadikan aku ini, jadikan aku itu, jadikan begini dan jadikan begitu. Apa ini bukan mengatur Tuhan? Apa Tuhan harus membuat Anda kaya raya dulu untuk menolong orang miskin? Bukankah Tuhan bisa menolong mereka melalui orang lain ataupun langsung membuat mereka semua menjadi kaya? Apakah Anda orang yang begitu dibutuhkan Tuhan
17
untuk memuliakan nama-Nya sehingga Ia harus membuat rencana Anda berhasil agar Anda dapat lebih memuliakan nama-Nya? Dan belum tentu jika rencana Anda berhasil akan lebih memuliakan Tuhan bukan? "Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya 55:8-9) Kita ini bodoh dan bukan apa-apa dibandingkan Tuhan. Sudahlah, jangan mengatur Tuhan. Biarkan Tuhan yang mengatur hidup kita. Kita ini hamba, orang upahan, tugas kita hanya manut, ikuti kehendak Tuhan dengan tulus tanpa membantah, tanpa bersungut-sungut. Jangan merasa diri pintar, jangan merasa diri mampu menilai segala sesuatu sebab Tuhan memiliki kehendak bebas yang seringkali tidak dapat kita pahami sebab memang pengetahuan kita tidak ada apa-apanya. "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." (Roma 9:15) Jika Anda ingin melakukan sesuatu, bicarakanlah lebih dulu dengan Tuhan, karena belum tentu hal itu sesuai dengan rencana-Nya. Kita seringkali hanya melihat apa yang tampak dari luar dan lalu membuat keputusan, namun Tuhan yang menyelidiki hati manusia tahu apa yang tersembunyi, dan keputusan-Nya selalu tepat. Sungguh, jika kita selalu menuruti kehendak-Nya dan tidak sok pintar, kita justru akan melihat banyak keajaiban Tuhan dalam hidup kita. Ingatlah selalu bahwa kita ini hamba yang hanya menjalankan perintah Tuhan. Seorang budak yang telah menyerahkan kebebasannya kepada Tuhan.
Memahami Pekerjaan Sebenarnya apa sih pekerjaan di ladang Tuhan itu? Jawabannya sederhana saja yakni; membawa sebanyak mungkin jiwa-jiwa ke dalam surga. Caranya bagaimana? Nah, caranya itu yang harus kita pahami. Pertama-tama kita harus paham segala kriteria atau syarat untuk dapat masuk ke dalam surga, lalu bagaimana membuat manusia dapat memenuhi kriteria atau syarat tersebut, apa halangannya, apa yang bisa mempercepat prosesnya, siapa dan bagaimana musuh kita dalam melakukan pekerjaan itu, dan seterusnya. Maka. Mau tidak mau kita harus paham segala sesuatunya yang berkaitan dengan pekerjaan di ladang Tuhan ini jika kita memang mau sungguh bekerja bagi Tuhan. Syukurlah Tuhan menyediakan berbagai fasilitas agar kita dapat memahami pekerjaan ini dengan baik.
18
Buku Pengetahuan dan Pedoman kerja Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah. Kebodohan menyesatkan jalan orang, lalu gusarlah hatinya terhadap TUHAN. (Amsal 19:2-3) Banyak orang bekerja di ladang Tuhan tanpa bekal pengetahuan yang memadai, padahal untuk dapat bekerja dengan baik seorang pekerja harus menguasai seluk beluk dan berbagai pengetahuan tentang pekerjaannya. Pengetahuan itu bisa didapat dari pengalaman kerja, dari didikan lisan pembimbing, dan dari buku pedoman pengetahuan. Sumber pengetahuan yang paling lengkap mengenai pekerjaan di ladang Tuhan adalah kitab suci. Ini buku pedoman yang wajib dibaca, dipelajari dan dipraktekkan agar kita tidak menjadi bodoh dan sesat. "segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik." (2Tim 3:16-17) segala hikmat dan pengetahuan yang kita perlukan ada di dalam kitab suci, dan kita harus terus mencarinya untuk memperolehnya dan menyimpannya dalam diri kita. Seperti yang telah dikemukakan di depan, firman Allah itu hidup dan bekerja di dalam diri kita, membangun kita menjadi pekerja yang tangguh dan sesuai dengan kehendak Allah. Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian. (Amsal 2:-6) Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan. Padaku ada nasihat dan pertimbangan, akulah pengertian, padakulah kekuatan. Karena aku para raja memerintah, dan para pembesar menetapkan keadilan. Karena aku para pembesar berkuasa juga para bangsawan dan semua hakim di bumi. Aku mengasihi orang yang mengasihi aku, dan orang yang tekun mencari aku akan mendapatkan daku. (Amsal 8:12-17) Betapa luar biasa jika kita memiliki hikmat sebagai bagian dari diri kita, dan itu dapat kita peroleh dari ketekunan kita mempelajari dan menghayati firman Tuhan. Semakin jauh kita masuk ke kedalaman firman, semakin banyak hikmat yang dapat kita serap, menjadi bagian dari diri kita. Tidak ada kitab yang begitu luar biasa di dunia ini seperti kitab suci. Ia menyimpan kekuatan dan daya energi yang luar biasa. Ia bukan hanya memberi pengetahuan dan mendewasakan rohani kita tapi juga menyediakan perlengkapan senjata yakni; perisai, ketopong keselamatan dan pedang roh. Semua firman Allah adalah murni. Ia adalah perisai bagi orang-orang yang berlindung pada-Nya. (Amsal 30:5) terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, (Efesus 6: 17)
19
senjata baru dapat berfungsi dengan baik bila kita tahu cara menggunakannya. Kita harus terus meningkatkan kemampuan kita menguasai perlengkapan senjata itu untuk melawan musuh kita, sebab si iblis juga menguasai senjata yang sama untuk melawan dan menipu kita. Ingat percobaan Yesus di padang gurun ketika setan meminta-Nya untuk mengubah batu jadi roti? Orang yang tidak menguasai firman dengan baik mungkin malah menjadi takjub dan gembira, “oh, aku bisa ubah batu jadi roti ya?” lalu ia ubah semua batu di sana jadi roti, kemudian buka toko roti, dan pulanglah setan dengan kemenangan. Iblis itu menguasai firman Tuhan dengan baik, jadi kalau kita tidak terus menerus membaca firman secara keseluruhan, tidak terus menghayati dan melakukannya, bagaimana kita bisa melawan si jahat? Baca terus dan terus seluruh isi kitab suci, renungkan bersama Roh Kudus, Ia akan membimbing Anda untuk semakin menguasai seluruh perlengkapan senjata Allah dan menang melawan musuh.
Pembagian Kerja Setelah kita paham dengan seluk beluk pekerjaan di ladang Tuhan, kita juga harus tahu dimana bagian kita dan pekerjaan kita sebagai apa. Karena pekerjaan di ladang Tuhan itu bermacam-macam dan setiap orang punya bagiannya sendirisendiri. Tidak bisa kita main masuk ladang Tuhan lalu kerja begitu saja tanpa peduli pada bagian mana kita ditempatkan. Setiap orang punya tugas masingmasing sesuai dengan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan, dan percayalah, Tuhan itu pemilik ladang yang tahu persis pekerjaan yang paling sesuai dengan kemampuan kita. Jangan mengambil bagian orang lain, karena itu akan membuat Anda tidak menghasilkan pekerjaan yang baik. Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. (1 Korintus 12:28) Kita perlu memahami bahwa tugas setiap orang ada yang mirip dan ada yang jauh berbeda. Tiap-tiap orang punya tugasnya sendiri. Seperti pekerjaan di ladang; ada yang mencangkul, ada yang menabur benih, ada yang menyirami, ada yang membasmi hama, dan ada yang menuai. Repotnya, tidak semua orang paham apa yang menjadi bagiannya. Banyak orang yang langsung main tancap gas, pokoknya bekerja di ladang Tuhan tapi tidak tahu apa yang menjadi bagiannya. Setiap orang harus bertanya pada Tuhan apa yang menjadi bagiannya. Mintalah kepekaan pada Tuhan agar Anda dapat memahami apa yang menjadi tugas Anda. Jangan main serobot pekerjaan orang lain sedangkan pekerjaan Anda sendiri malah terbengkalai. Jika Anda sudah tahu tugas Anda, maka apa yang menjadi bagian Anda, terimalah dan kerjakanlah dengan sebaik-baiknya dan dengan tulus hati.
20
Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar. jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita. (Roma 12:3-8) Jangan memikirkan yang lebih tinggi dari kemampuan yang kita miliki. Ada yang menerima talenta yang besar dan ada yang menerima talenta yang kecil. Tidak masalah seberapa besar talenta yang kita miliki, yang penting adalah kita bekerja dengan giat agar talenta itu berlipat ganda dan tidak sia-sia. Meskipun pekerjaan kita kelihatannya sederhana, namun jika itu memang bagian yang diberikan Tuhan bagi kita, maka pekerjaan itu tidak akan sia-sia. Sebaliknya meskipun kelihatannya pekerjaan itu hebat, namun jika itu bukan bagian kita dan Tuhan sebenarnya tidak menghendaki kita untuk melakukannya maka sia-sia sajalah pada akhirnya. “sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.” (1 Korintus 3:13-14)
Dengarkan Roh Kudus Orang yang bekerja di perusahaan yang bukan miliknya tentu memiliki atasan yang akan membimbing dan mengarahkannya. Kalau orang bekerja di ladang sebagai buruh, ada pengawas yang akan mengarahkan, membimbing dan mengawasi pekerjaannya. Kita yang bekerja di ladang Tuhan juga punya pembimbing yang akan menjelaskan, membimbing, mengarahkan dan mengawasi pekerjaan kita. Jika kita salah, kita akan ditegur dan diarahkan supaya bekerja dengan benar, jika kita bekerja dengan baik dan benar, kita akan diberi kepercayaan yang lebih besar lagi. Siapakah pembimbing kita itu? Roh Kudus. Dialah pembimbing yang harus selalu kita dengarkan nasihatnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Yohanes 16:13)
21
Anda harus ikuti jadwalnya Tuhan, karena ada waktu yang berbeda untuk setiap jenis pekerjaan. Anda harus ikuti itu supaya tidak tumpang tindih dengan yang lain. Ingat, pekerja di ladang Tuhan itu banyak, jenis pekerjaannya banyak, jadi harus ikut aturan, prosedur dan jadwal yang sudah ditentukan Tuhan, dan siapa lagi yang akan memberitahukan semua itu pada Anda kalau bukan Roh Kudus. Maka selalu dengarkan Suara-Nya. Bekerjalah dalam ketepatan dan jangan pernah ragu atau takut dalam bekerja. Anda tidak pernah sendiri, karena Roh Kudus bukan hanya membimbing dan mengarahkan, tapi juga memberikan kekuatan dan kuasa yang kita butuhkan. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8) Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan katakata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian yang kokoh. (1 Tesalonika 1:5) Ada banyak orang yang sudah menerima Roh Kudus tetapi terlihat tidak memiliki kuasa dan kekuatan Roh Kudus. Mengapa? Karena mereka hanya menyimpan Roh Kudus sebagai benda berharga dan tidak memperlakukan-Nya sebagai Roh yang hidup. Bahkan seringkali, ketika Roh Kudus berkata, mereka tetap tidak menyadari bahwa itu suara Roh Kudus. Bagaimana bisa seperti itu? Karena tidak terbiasa bergaul dengan Roh Kudus. Ada banyak orang yang terlalu sibuk dengan berbagai urusan gereja dan persekutuan doa serta pelayanan kesana kemari sehingga lupa untuk menyapa Roh Kudus di dalam dirinya. Suara Roh Kudus itu tidak berteriak. Anda hanya bisa mendengarnya jika hati Anda tidak gaduh sendiri dengan suara-suara pribadi maupun orang lain. Ada banyak hamba Tuhan yang keliru mendengar suara hatinya sendiri atau bahkan suara si penipu dan mengiranya sebagai suara Roh Kudus. Butuh kepekaan untuk bisa mengenali suara Roh Kudus dan untuk bisa peka butuh keakraban dengan Roh Kudus. Seringlah berbicara dengan Roh Kudus dibadingkan dengan orang lain, karena kepekaan untuk mendengar Suara-Nya harus terus diasah. Jika Anda berada dalam kebimbangan atau kesulitan, janganlah buru-buru mencari hamba Tuhan untuk konseling, tapi carilah Roh Kudus di hati Anda, dan bicarakan segala persoalan Anda itu dengan-Nya. Semakin Anda bergaul erat dengan Roh Kudus, Ia akan semakin hidup di dalam diri Anda, dan dekaplah Roh Kudus itu selalu, sebab Dialah jaminan dari semua yang telah Tuhan sediakan bagi kita. Kalau jaminan itu pergi dari diri kita, tidakkah segalanya yang dijamin bagi kita turut hilang? Maka jangan sampai Roh Kudus itu pergi dari kehidupan Anda. Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita. (2 Korintus 1:21-22) Mereka yang bekerja sebagai pengajar atau pemimpin dan pekerjaan lain yang menuntut tanggung jawab besar serta menjadi panutan dari banyak jiwa harus
22
bersekutu senantiasa dengan Roh Kudus. Ini penting sekali, sebab, jika mereka yang menjadi panutan ini mengajarkan yang salah maka akan terjadi penyesatan. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini. (Lukas 17:1-2)
Saling Mendukung Setalah kita paham bahwa setiap orang punya tugasnya masing-masing, jangan membanding-bandingkan pekerjaan Anda dengan orang lain, merasa pekerjaan kita lebih baik dari orang lain atau merasa pekerjaan kita lebih jelek dari orang lain, sehingga timbul perasaan sombong atau perasaan iri. Ingatlah bahwa Tuhan yang membagikan pekerjaan itu sesuai kapasitas yang kita miliki dan Tuhan selalu adil dalam setiap keputusan-Nya Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. (1 Korintus 12:4-6) Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri. (1 Korintus 3:8) Ingatlah juga bahwa kita tidak bisa bekerja sendiri, kita saling membutuhkan satu dan yang lain. Oleh karena itu kita harus saling dukung bukan saling jegal dan saling menghakimi. Semua yang bekerja di ladang Tuhan harus dapat bekerja dengan tertib dan bekerjasama dengan baik agar diperoleh hasil yang maksimal. Coba bayangkan kalau Anda punya sebuah ladang tapi para pekerjanya saling bertengkar dan tidak mau kerjasama. Setelah yang satu menabur, yang bertugas menyiram malah menabur lagi di sebelahnya karena tidak percaya pada si penabur, sedangkan si penabur juga menyiram sendiri benihnya. Padahal si penabur tidak menguasai teknik menyiram yang baik dan si penyiram tidak menguasai teknik menabur yang baik. Hasilnya jelas tidak maksimal, apalagi jika benih yang sudah ditabur diambil dan diganti dengan benih yang lain yang sebenarnya sama. Bukankah ini hanya membuang waktu? Marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun. (Roma14:9) Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. (Ibrani 10:24) Janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. (Yakobus 5:9) Hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. (Yakobus 5:16) Yang satu diberi benih jagung, yang lain diberi benih apel. Cara menanamnya beda, cara pemeliharaannya beda, cara panennya beda, dan buah yang dihasilkan
23
juga beda. Lucunya pekerja di kebun jagung maupun di kebun apel merasa mereka lebih benar dari kebun yang lain, sehingga mereka saling menyarankan satu sama lain bagaimana seharusnya menanam, memelihara dan memanen yang benar dan jika tidak ada kesepakatan, perselisihanpun akhirnya timbul. Bukankah ini sia-sia? supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. (1 Korintus 12:25-26)
Mental Upahan Berhitung dengan Tuhan "Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerjapekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga. Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?" (Matius 20:8-16) Secara duniawi kita mungkin berpikir, tidak adil ya yang bekerja sepanjang hari kog upahnya sama dengan yang bekerja satu jam. Jika kita memandangnya dari sudut pandang “bekerja” memang terkesan tidak adil, tapi akan berbeda jika kita memandangnya dari sudut pandang “kegiatan yang menyenangkan”. Coba kita ubah sedikit ceritanya, gantilah pekerjaan di kebun anggur dengan; belanja seharian di toko favorit atau wisata seharian di tempat terindah atau seharian bersama bintang idola atau apa saja yang paling Anda sukai. tentu Anda akan lebih merasa beruntung bila bisa melakukan pekerjaan yang menyenangkan itu seharian daripada hanya satu jam saja bukan? bahkan orang rela membayar untuk melakukan pekerjaan menyenangkan itu. Nah, disinilah letak perbedaannya. Apakah kita memandang pekerjaan di ladang itu sebagai hal yang menyenangkan atau tidak. Orang rela membayar untuk melakukan hal yang disukainya tapi untuk melakukan hal yang kurang atau tidak disukainya, orang akan meminta bayaran sebagai imbalannya.
24
Selama kita berpikir bahwa pekerjaan itu adalah "cara untuk mendapatkan upah" atau dengan kata lain, tujuan kita yang sesungguhnya adalah "besarnya upah" maka prinsip yang kita gunakan adalah prinsip ekonomi dunia: bekerja sesedikit mungkin dengan upah sebesar mungkin. Inilah yang namanya berhitung dengan Tuhan. “Tuhan, aku sudah bekerja giat sekali bagi-Mu, upahku mestinya besar ya Tuhan, sedangkan dia kan baru mulai, upahnya lebih kecil dong dari aku, kalau Tuhan buat sama, ya aku juga akan bersantai-santai saja seperti dia. Orang semacam ini selalu berpikir untung rugi. Selalu berhitung dengan Tuhan. Kalau makan minum upahnya sama dengan yang doa puasa, ya aku makan minum saja. Kalau hidup prihatin dan hidup bersenangsenang upahnya sama ya aku bersenang senang saja. Jadi, tujuan kesalehan hidupnya adalah demi keuntungan pribadi yang ia harapkan akan di dapatnya di surga, bukan dengan tulus hati untuk menyenangkan Tuhan. ini salah satu mental upahan yang membuat hamba Tuhan tidak bisa naik level menjadi murid apalagi mempelai.
Bekerja dengan pertimbangan Orang yang akan bekerja di suatu perusahaan akan mempertimbangkan jenis pekerjaan, upah dan fasilitas yang akan diperolehnya. Ini pertimbangan yang wajar bagi para pekerja, begitupun bagi orang yang bermental upahan di ladang Tuhan. Orang bermental upahan seperti ini akan memilih jenis pekerjaan yang disukainya dan bukan yang disukai Tuhan. Kalaupun ia melakukan pekerjaan yang ditentukan oleh Tuhan baginya, ia melakukannya demi upah. “Biarlah saya melakukan hal yang tidak menyenangkan ini, nanti kan upah saya besar di surga.” Mengharapkan upah memang tidak salah, tapi kategorinya tetap mental upahan karena seorang anak yang bekerja bagi Bapanya tidak memikirkan upah. Orang yang mengikut Tuhan tidak akan mendapat malu, orang yang mengikut Tuhan akan diberkati, orang yang mengikut Tuhan akan selalu dilindungi dan tidak akan terkena malapetaka, dan seterusnya. Ini fasilitas bagi para pekerja Tuhan, memang benar, dan orang yang bermental upahan tahu persis berbagai fasilitas sebagai pekerja di ladang Tuhan. Lho, apa salah kita mendapatkan fasilitas yang menjadi hak kita? Tidak salah, sekali lagi ini bukan soal salah atau benar, ini soal mental. Selama kita terikat dengan berbagai fasilitas itu kita tidak bisa naik level. Mengapa? Karena level berikutnya adalah level murid dimana kita dituntut untuk berani melepaskan berbagai fasilitas itu dan memberikan kebebasan kepada Tuhan untuk memberikan atau tidak memberikannya kepada kita. "Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil. Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, pemberitaan itu adalah tugas
25
penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku. Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil." (1 Korintus 9:16-18)
Tidak ikut memiliki Namanya juga upahan, tentu tidak merasa ikut memiliki. Lain halnya kalau kita merasa sebagai anak yang bekerja di ladang Bapanya, tentu rasa memiliki itu ada. Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. (Yohanes 10:11-13) Orang yang tidak ikut memiliki tidak berani mengambil resiko menderita, apalagi sampai mempertaruhkan nyawa seperti Daud saat menjaga domba-domba ayahnya. Orang yang tidak ikut memiliki tidak punya hasrat yang membara dalam bekerja, tidak punya kecintaan yang besar, tidak bisa menyatu lebur dalam pekerjaannya. Ada jarak antara dia dan pekerjaannya. Maka hasil pekerjaannya akan biasa saja, tapi seorang pekerja yang punya mental ikut memiliki hasil pekerjaannya akan luar biasa. Mental tidak ikut memiliki masih mungkin menjadi murid, tapi tidak bisa lulus dan naik ke level mempelai. Banyak hamba Tuhan yang bekerja tanpa merasa ikut memiliki, namun banyak juga yang merasa ikut memiliki tapi dalam pengertian yang salah, karena bukan cuma merasa ikut memiliki tapi sudah dijadikan milik pribadi. Seolah Tuhan sudah memberikan itu sebagai milik pribadinya, maka ia bebas berbuat sekehendak hatinya. Nah kalau begini repot juga. Ini namanya kebablasan.
26
MURID Menjadi murid bukan berarti kita lantas meninggalkan pekerjaan kita saat kita di level upahan. Yang kita tinggalkan adalah karakter dan mental upahan. Pekerjaan kita bisa jadi tetap sama, misalkan sewaktu menjadi upahan bekerja sebagai worship leader, setelah jadi murid masih jadi worship leader, bahkan setelah menjadi mempelai juga tetap jadi worship leader. Ini mungkin saja. Berubah pekerjaan saat tengah menjadi upahan atau tengah menjadi murid juga mungkin, karena semua adalah rencana Tuhan, kita tinggal ikuti saja. Yang penting untuk dipahami di sini adalah perubahan dari upahan menjadi murid adalah perubahan karakter dan mental kita. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. (Yohanes 15:15) Kita sebenarnya dipanggil bukan lagi untuk menjadi hamba, tapi sebagai sahabat, sebagai murid, dan memang itu panggilan kita sesungguhnya, menjadi murid dan bukan upahan. "Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan." (Yohanes 13:13)
Mental Murid Tidak Memikirkan Upah Seorang pekerja berhak mendapatkan upahnya. Memang benar, dan selama kita menjadi orang upahan,, kita boleh menantikan upah kita baik di dunia maupun di surga, namun jika kita menjadi murid, persepsi ini harus berubah total. Tidak ada guru yang membayar murid. Yang lazim terjadi adalah murid membayar jasa guru yang telah mengajarnya., tapi tidak semua guru dapat dibayar dengan uang. Pernah nonoton film silat? Seorang murid yang berguru pada seorang pesilat tangguh tidak membayar gurunya dengan uang tapi dengan bekerja melayani sang guru, dan mereka akan bekerja dengan sebaik-baiknya karena sadar bahwa segala pekerjaan yang dilakukannya tetap tidak dapat “membayar” jasa gurunya. Mereka akan sangat menaruh hormat pada sang guru karena merasa beruntung telah diangkat menjadi murid. Nah, bagaimana jika kita menjadi murid Tuhan Yesus? Bukankah Yesus lebih segalanya dibandingkan sang guru silat di atas? Bukankah seharusnya kita bersyukur jika boleh jadi murid-Nya? Jangankan memikirkan upah, kita harus selalu sadar bahwa segala pekerjaan yang kita lakukan tidak akan pernah memadai untuk membalas segala pelajaran yang kita terima sebagai murid,
27
apalagi, Guru kita adalah guru yang luar biasa. Ia menyediakan segala fasilitas yang kita perlukan selama menjadi murid-Nya, dan jika kita tidak mampu, Ia akan memampukan kita. Wow, luar biasa sekali. Maka Inilah mental murid yang pertama : tidak memikirkan upah. Sebaliknya, kita bekerja sekuat tenaga dan dengan giat sebagai bentuk ungkapan syukur dan terima kasih kita karena sudah diangkat jadi murid dan menerima berbagai pelajaran berharga yang kita butuhkan. Apapun yang kita lakukan untuk Tuhan adalah kewajiban seorang murid terhadap Gurunya.
Siap Diuji dan Naik Tingkat Orang berguru pada ahli silat untuk menjadi pesilat yang tangguh seperti gurunya. Orang berguru pada ahli masak untuk menjadi koki hebat seperti gurunya. Kalau kita berguru pada Yesus untuk menjadi apa? Ya untuk menjadi sempurna seperti Yesus Kristus. Menjadi murid harus paham dulu, kita belajar untuk menjadi apa. Kalau kita sudah paham bahwa kita belajar untuk menjadi sama seperti Yesus, maka segala pelajaran yang kita terima harus dipahami dan dipergunakan untuk membangun diri supaya kelak bisa sama seperti Yesus. Tentu saja ada proses belajar, ada ujian dan kenaikan tingkat. Pelajaran di tingkat sebelumnya sudah harus dikuasai sepenuhnya sebelum bisa naik tingkat berikutnya. Contohnya seorang yang belajar karate. Setiap kenaikan tingkat, ia sudah harus menguasai pelajaran di tingkat sebelumnya dan begitu seterusnya sampai tingkat tertinggi. Tidak bisa dia berada di tingkat sabuk hitam tapi tidak menguasai teknik karate di sabuk kuning. Saat ia dinyatakan lulus ujian dan boleh naik tingkat, ia sudah menguasai sepenuhnya teknik di tingkat itu dan sudah mendarah daging dengan dirinya, karena apa yang dia pelajari dan kuasai itu akan menjadi dasar untuk pengembangan di tingkat berikutnya. Sayangnya, banyak anak Tuhan yang tidak mau ikut ujian, Kalau sedang diuji dan merasa berat, lantas teriak, “Tuhan, tolong lepaskan aku dari kesulitan ini.” Dan kalau Tuhan diam, ia akan terus menerus teriak sampai Tuhan menolong dan dilepaskan dari kesulitan itu, lalu dia akan memberi kesaksian dimana-mana, “puji Tuhan, Ia telah membebaskan aku.” Padahal Tuhan melihat sambil bersedih karena anak-Nya ini sudah gagal dan tidak lulus ujian. Orang seperti ini belum siap untuk menjadi murid. Menjadi murid harus selalu siap belajar untuk dapat menguasai bahan pelajarannya dengan baik, dan siap diuji. Ujian harus dipandang sebagai ujian kenaikan tingkat, dimana jika lulus ujian, bahan pelajaran itu sudah dikuasai dengan baik, sudah mendarah daging. Jika tidak bisa menguasai ya tidak naik tingkat, atau jika setelah lulus terus lupa, ya bisa turun tingkat lagi. Coba bayangkan jika seorang anak SD kelas lima lupa pelajaran matematika sederhana yang dipelajarinya saat kelas satu SD, repot kan?
28
Begitu juga dengan kita sebagai murid Yesus. Tuhan akan mengajarkan berbagai hal yang kita perlukan untuk membentuk diri kita agar serupa dengan Kristus. Dalam prosesnya tentu ada masa belajar, ada masa ujian, ada masa kegagalan, ada masa keberhasilan. Ada tawa, ada air mata, dan pasti ada pengorbanan dan penderitaan, tapi kita harus terus bertekun dan menjadikan didikan Tuhan itu mendarah daging, menyatu dengan kita, agar diri kita diubahkan terus menerus menjadi semakin serupa dengan Yesus. Inilah mental murid yang kedua: siap diajar, siap diuji, siap berkorban, siap berlelah, dan siap diubahkan secara terus menerus sampai lulus dan menjadi seperti Sang Guru.
Menyangkal Diri "Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." (Lukas 9:23) "Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku." (Lukas 14:27) Ada tiga hal yang menjadi persyaratan untuk menjadi murid Kristus yakni; menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Yesus. apa yang dimaksud dengan menyangkal diri? Menyangkal diri berarti tidak mengakui diri sendiri atau "aku seolah-olah bukan aku". dalam penyangkalan diri ada dua tindakan yang dilakukan secara paralel yakni: mengosongkan diri dan melepaskan ke-aku-an.
Mengosongkan Diri Mengosongkan diri adalah ketika kita menjadi bukan siapa-siapa, menjadi tidak punya apa-apa. orang yang berhikmat merasa tidak memiliki hikmat, orang yang memegang jabatan tinggi merasa tidak menjadi apa-apa. mengosongkan diri adalah menghilangkan segala milik, segala kebanggaan maupun kekurangan yang kita miliki. Mengosongkan diri adalah tingkat kerendahan hati yang paling tinggi dimana kita menganggap semua orang lebih penting dan lebih tinggi dari kita. "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:5-8) Saat kita mengosongkan diri, kita seperti bejana kosong yang siap diisi dengan anggur baru Tuhan yakni segala hikmat, didikan, berkat dan segala yang baik dari Tuhan. Jika kita mau diisi terus oleh segala yang Tuhan mau limpahkan pada kita,
29
maka bejana diri kita harus selalu kosong karena bejana penuh tidak dapat diisi lagi. "Lalu berkatalah Elisa: "Pergilah, mintalah bejana-bejana dari luar, dari pada segala tetanggamu, bejana-bejana kosong, tetapi jangan terlalu sedikit. Kemudian masuklah, tutuplah pintu sesudah engkau dan anak-anakmu masuk, lalu tuanglah minyak itu ke dalam segala bejana. Mana yang penuh, angkatlah!" Pergilah perempuan itu dari padanya; ditutupnyalah pintu sesudah ia dan anak-anaknya masuk; dan anak-anaknya mendekatkan bejana-bejana kepadanya, sedang ia terus menuang. Ketika bejana-bejana itu sudah penuh, berkatalah perempuan itu kepada anaknya: "Dekatkanlah kepadaku sebuah bejana lagi," tetapi jawabnya kepada ibunya: "Tidak ada lagi bejana." Lalu berhentilah minyak itu mengalir. " (2 Raja 4:3-6) Minyak berhenti mengalir saat semua bejana telah penuh dan tidak ada lagi yang kosong. Orang yang tinggi hati adalah bejana yang penuh. sebuah contoh sederhana, seorang gembala yang sudah puluhan tahun memimpin jemaat, enggan menerima hikmat dari seorang awam yang masih muda karena ia merasa lebih berhikmat dan lebih berpengetahuan dari orang muda ini, padahal saat itu Tuhan sedang memakai orang muda itu untuk memberikan hikmat baru kepadanya. seandainya gembala ini mengosongkan diri ia akan menerima hikmat yang dari Tuhan itu tapi karena ia tinggi hati dan menjadi bejana yang penuh, maka hikmat Tuhan itu lewat begitu saja dari hidupnya. sayang bukan? "Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati." (Mazmur 25:9) "Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati." (Amsal 11:2) "hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri" (Filipi 2:3) Mengosongkan diri adalah juga penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, baik hidup, tubuh, roh, jiwa, pikiran, akal budi, kehendak bebas, keinginan, kelemahan, kelebihan dan segala sesuatu yang ada pada kita. Dengan kata lain, kita adalah milik Kristus dalam arti yang sebenar-benarnya. "Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah." (1 Korintus 3:23) "Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya." (Galatia 5:24) Segala keinginan dan kehendak kita yang muncul, kita letakkan di kaki Tuhan tanpa meminta untuk dikabulkan. jadi cukup kita letakkan dan biarkan Tuhan bebas memutuskannya. apapun hasilnya kita terima dengan senang hati. Begitu juga dengan permasalahan, pergumulan, kerinduan dan yang lainnya, letakkan di kaki Tuhan dan biarkan kehendak bebas Tuhan yang menentukan bagi kita. penyerahan diri total sebenarnya dilandasi kepercayaan penuh kepada Tuhan bahwa Tuhan lebih bijaksana dan lebih mengetahui segalanya dibanding kita dan bahwa Tuhan sungguh mengasihi kita sehingga Ia pasti akan berikan keputusan yang terbaik bagi kita. penyerahan diri seperti seorang kanak-kanak yang percaya
30
penuh kepada Bapa-nya apapun keputusan dan apapun yang diberikan kepadanya oleh Bapa-nya. "Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang." (Mazmur 37:5-6) Jadi, dalam pengosongan diri ada kerendahan hati dan penyerahan diri secara total. sejalan dengan pengosongan diri ini, ada pelepasan ke-aku-an dalam penyangkalan diri.
Melepaskan Ke-aku-an melepaskan ke-aku-an berarti menghilangkan segala perasaan yang berhubungan dengan "aku" seperti perasaan aku tersinggung, aku malu, aku tidak mau, aku sakit, aku takut, dan sebagainya. Kita berlaku seolah-olah bukan diri kita lagi. Kita hanya berpikir, bertindak dan berkata-kata sesuai yang Tuhan kehendaki. dalam pelepasan ke-aku-an ini kehendak dan kepribadian kita seolah sudah tidak ada lagi. Kalau Tuhan meminta kita untuk menari di tengah-tangah jemaat misalnya tidak ada keraguan dan tidak akan berkata, aku malu. jika orang memperlakukan kita seenaknya dan menyakiti kita, tidak ada perasaan aku tersinggung, aku sakit hati, aku marah, dan seterusnya. seolah-olah kita seperti mati rasa, tidak punya perasaan atau emosi pribadi lagi. "kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini. Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (1 Korintus 4:12-13, 16) Melepaskan ke-aku-an berarti menjadi orang yang merdeka, orang yang bebas seutuhnya. orang lain tidak akan bisa membuat kita marah, sedih, takut atau malu karena sikap hati kita tidak lagi tergantung pada orang lain. melepaskan ke-akuan adalah benteng pertahanan yang ampuh dalam menahan serangan "sampah" dari orang lain karena sikap kita tidak lagi merupakan respon duniawi terhadap orang lain. Anda memberi respon yang sama saat orang mencaci dan saat orang memuji. Melepaskan ke-aku-an itu seperti seorang yang sedang bermain drama. Di atas panggung, segala ke-aku-annya ditanggalkan. Ia menjadi orang lain yang ia perankan. begitu juga kita dalam kehidupan nyata. Dunia ini adalah panggung drama dan kita memerankan orang lain, dan orang itu adalah Kristus Yesus, Tuhan kita. segala ke-aku-an kita tanggalkan dan kita menjadi pribadi Yesus sendiri. "namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging,
31
adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku" (Galatia 2:20) "Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah." (Kolose 3:3) Jadi, melepaskan ke-aku-an berarti kita tidak lagi menjadi diri kita sendiri tetapi kita memerankan Yesus Kristus, dan itu berarti kita harus paham betul sikap, sifat, pandangan, perasaan dan tindakan Yesus. Kita harus benar-benar mengenali Yesus yang kita perankan, dan ini butuh kebersamaan, kedekatan secara terus menerus dengan Yesus. Untuk dapat melepaskan ke-aku-an, orang harus lebih dahulu melepaskan ikatan duniawinya dan ini butuh kedewasaan rohani. Saat orang melepaskan semua yang dimilikinya, yang tertinggal hanyalah pribadinya, tapi jika aku-nya ini juga dilepas, ia tidak memiliki apa-apa lagi, tapi sebagai gantinya ia memiliki Kristus.
Memikul Salib dan Mengikuti Yesus Memikul Salib "Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku." (Lukas 14:27) memikul salib dan mengikuti Yesus sebenarnya satu paket, tapi seringkali orang hanya berkata, "saya mau mengikuti Yesus", tapi jarang berkata, "saya mau memikul salib". wajar saja karena memikul salib identik dengan penderitaan dan orang biasanya takut atau enggan berhubungan dengan penderitaan, tapi ini syarat untuk jadi murid Yesus, jadi mau tidak mau kita harus memikulnya bila mau jadi murid-Nya Apa sebenarnya salib dan mengapa kita harus memikulnya? Salib, meskipun identik dengan penderitaan berbeda dengan penderitaan yang berasal dari keduniawian dan dosa kita, karena salib adalah penderitaan istimewa yang dianugerahkan Allah bagi kita dengan tujuan yang baik. "Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh". (Ibrani 12:10-13) Orang yang belajar beladiri harus menguasai kuda-kuda dengan baik lebih dulu sebelum menguasai jurusnya. Untuk menguasai kuda-kuda dengan baik otot kaki harus kuat, dan seringkali melatihnya dengan lari sambil membawa beban yang
32
diikat di kaki. Latihan dengan beban melatih otot tubuh. memikul salib melatih otot rohani kita, sebab untuk menjadi murid Yesus tidak saja butuh kedewasaan rohani, tapi juga harus kuat dan tangguh. Mengapa? Karena kita mau jadi seperti Yesus kan? Lha Yesus itu kuat dan tangguh, jadi muridnya juga harus sama. "Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita". (Roma 5:3-5) Penderitaan itu kita butuhkan untuk menghasilkan kebaikan bagi kita. Tapi kenapa salib, bukankah Yesus sudah disalib bagi kita, mengapa kita masih harus memikul salib juga? Karena masih ada yang kurang pada penderitaan Kristus, dan kita harus melengkapinya. "Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat." (Kolose 1:24) Membangun jemaat adalah tugas murid Yesus. Yesus meletakkan dasar jemaat dengan salib, kita membangun jemaat dengan salib juga. Ini sebenarnya menakjubkan. Mengapa? Karena Tuhan itu luar biasa baik. Kita jadi murid bukan hanya untuk serupa dengan Kristus dalam karakter dan kemampuan Ilahi tapi juga untuk menjadi sama dalam kemuliaan-Nya. Itu sebabnya kita diberi salib sebab untuk memperoleh kemuliaan Yesus kita harus mengalami penderitaan bersama-Nya. "Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orangorang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersamasama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia." (Roma 8:17) Sebenarnya salib adalah anugerah dan kehormatan bagi kita, karena dengan ikut ambil bagian dalam penderitaan Yesus kita dianggap sama dengan Yesus dan dianggap layak untuk turut serta dalam karya keselamatan Allah bagi jemaat dan dunia. Bayangkan, kita yang bukan siapa-siapa ini boleh menjadi seperti Kristus, menjadi satu dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Apa ini bukan sebuah kehormatan? "Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya." (Roma 6:5) "suatu bukti tentang adilnya penghakiman Allah, yang menyatakan bahwa kamu layak menjadi warga Kerajaan Allah, kamu yang sekarang menderita karena Kerajaan itu". (2 Tesalonika 1:5) kita adalah murid yang belajar untuk menjadi seperti Yesus, belajar untuk hidup dan menderita seperti Yesus. Dia Raja yang mulia, tapi Dia juga Raja yang disalib.
33
Menjadi seperti Yesus adalah menjadi Yesus Kristus yang seutuhnya baik dalam penderitaan maupun dalam kemuliaan. Ini tujuan kita berguru pada-Nya. "Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya." (1 Petrus 2:19-21) Jangan takut untuk memikul salib. Meskipun kita harus menderita seperti Yesus jangan membayangkan penderitaan sehebat yang dialami Yesus. Tuhan memberikan salib sesuai dengan kekuatan kita untuk memikulnya. Tiap orang punya ukuran dan berat salib yang berbeda. Tuhan tidak akan memberikan salib yang tidak dapat kita pikul, sebaliknya Tuhan memberikan beban yang ringan. "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Matius 11:29-30) Jika Anda merasa berat, itu karena Anda membawa beban pribadi yang sebenarnya tidak perlu seperti ketakutan, keinginan, hawa nafsu, kepedihan, kemarahan, ke-aku-an dan lain sebagainya. Tanggalkan beban pribadi itu dan pikullah salib dengan suka cita karena ini adalah kehormatan yang dianugerahkan Allah bagi setiap murid Yesus. "Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, --karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa--, supaya waktu yang sisa jangan kamu pergunakan menurut keinginan manusia, tetapi menurut kehendak Allah. Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya. Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu". (1 Petrus 4:1-2, 13-14)
Mengikuti Yesus Sambil memikul salib kita juga diminta mengikuti Yesus sebagai syarat menjadi murid-Nya. Apa arti mengikuti? Mengikuti bukan sekedar berjalan bersama Yesus, tapi ada makna yang lebih dalam yang harus kita pahami. "Lalu Elisa meninggalkan lembu itu dan berlari mengikuti Elia, katanya: "Biarkanlah aku mencium ayahku dan ibuku dahulu, lalu aku akan mengikuti engkau." Jawabnya kepadanya: "Baiklah, pulang dahulu, dan ingatlah apa yang telah kuperbuat kepadamu." Lalu berbaliklah ia dari pada Elia, ia mengambil pasangan lembu itu, menyembelihnya dan memasak dagingnya dengan bajak
34
lembu itu sebagai kayu api; ia memberikan daging itu kepada orang-orangnya, kemudian makanlah mereka. Sesudah itu bersiaplah ia, lalu mengikuti Elia dan menjadi pelayannya." (1 Raja 19:20-21) Mengikuti ternyata menyertai sebagai pelayan, sebagai hamba, tapi ini hamba yang berbeda dengan upahan yang bekerja di ladang. Ini pelayan pribadi yang bekerja melayani dan menyediakan segala keperluan tuannya. Ini bukan pelayan biasa, ini pelayan isitimewa yang dipersiapkan untuk menggantikan posisi tuannya. Yosua menggantikan Musa, Elisa menggantikan Elia. Pelayan pribadi adalah orang kepercayaan yang memiliki hubungan yang dekat dengan tuannya, yang tahu kesukaan, kebiasaan, sikap serta sifat tuannya. Menjadi murid berarti juga menjadi pelayan pribadi Tuhan, sebab kita dipersiapkan untuk menggantikan posisi Yesus untuk melayani jemaat. Waktu Elisa dipanggil oleh Elia, Elisa meninggalkan semua kehidupannya (rumahkeluarga-pekerjaan) dan memberikan hidupnya dijamin sepenuhnya oleh Elia. Begitupun kita yang mengikuti Tuhan harus meninggalkan segala sesuatu dalam arti tidak ada keterikatan lagi dengan segala keduniawian dan memberikan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan. Maka sebagai pelayan, apapun yang Tuhan sediakan sepatutnya selalu kita terima penuh syukur tanpa menuntut yang lain. Mengikuti sebagai pelayan juga harus punya pengabdian, dan dalam pengabdian ada ke-ikhlas-an, kerelaan dan kesetiaan. Selalu siap melayani Tuhan tanpa memikirkan diri sendiri. Segala yang Tuhan minta dalam hidup kita: waktu, kenyamanan, hak milik, atau apapun yang kita miliki akan selalu kita berikan dengan rela. Selalu setia pada Tuhan tanpa pernah bercabang hati atau mengabdi kepada tuan yang lain seperti harta, kekuasaan, kehormatan dan lain sebagainya. "Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Lukas 16:13) Mengabdi sebagai pelayan berarti selalu mentaati perintah Tuhan, tidak pernah menolak. Disuruh kemanapun, disuruh bertindak apapun kita harus selalu menjawab ya dan melakukannya. Ketaatan memiliki nilai tinggi bila dilakukan bukan karena terpaksa tetapi karena rela, persis seperti yang sudah dicontohkan oleh Sang Guru kita sendiri. "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya," (Ibrani 5:8-9) Mengikuti untuk dapat menjadi seperti Guru menuntut keseluruhan diri pribadi untuk juga mengikuti diri pribadi Sang Guru dan bukan hanya fisik semata. "Tetapi kata Rut: "Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku;" (Rut 1:16)
35
Mengikuti diri pribadi berarti hati, jiwa, pikiran dan akal budi turut seia sekata, dan seirama. Kita bukan hanya selalu berada di tempat dimana Yesus berada, tetapi harus sejalan dengan kepercayaan dan pandangan Yesus. Contoh: Yesus tidak menganggap najis apa yang masuk kedalam mulut, maka kita menjadi tidak sejalan jika mempersoalkan tentang makanan yang boleh dimakan dan yang yang tidak. Yesus berkata bahwa siapa yang ingin menjadi yang terbesar harus melayani dan Ia memberi teladan dengan membasuh kaki murid-murid-Nya. Maka jika kita menjadi pemimpin dan minta dilayani kita sudah tidak sepaham lagi dengan Yesus. "Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:1-4) Mengikuti berarti menaruh kepercayaan penuh, seperti domba yang percaya penuh pada gembalanya. Kemanapun Tuhan menuntun kita meski melewati jurang dan lembah kekelaman kita tetap mengikuti-Nya. Orang yang percaya penuh kepada Tuhan tidak akan pernah mempertanyakan tindakan Tuhan terhadap hidupnya. sekalipun mengalami hal yang memedihkan, ia percaya Tuhan beri yang terbaik, sekalipun terjatuh, ia percaya Tuhan selalu menjaganya. Tidak ada murid yang tidak percaya pada gurunya, sebab jika ia tidak menaruh kepercayaan untuk apa menjadi murid? Berhati-hatilah dengan rasa takut, sebab itu adalah hal yang paling sering membuat kepercayaan menjadi goyah. Ingatlah, bahwa Yesus selalu berkata, “jangan takut”.
Jangan Menilai Menilai itu haknya guru, tapi banyak murid yang senang membuat penilaian lebih dulu sebelum diberi nilai oleh gurunya. Ini memang karena sejak kecil sampai mahasiswa, kita seringkali diberi nilai berdasarkan hasil akhir yang dapat kita berikan. Kalau ada ujian sepuluh nomor, salah dua,nilainya delapan. Kalau salahnya empat nilainya enam. Sebelum hasil ujian keluar, biasanya murid sudah tahu nilainya karena sudah saling mencocokkan hasil jawaban dengan sesama temannya. Begitupun dengan hasil pekerjaan tangan. Seringkali penilaian dari sesama murid terbukti sama dengan gurunya. Nah, kebiasaan inilah yang sering terbawa dalam posisi kita sebagai murid dan Tuhan sebagai guru. Seringkali, kita menilai hasil kerja kita dan sesama murid yang lain. Tujuannya macam-macam. Ada yang tujuannya hanya untuk mencari rasa aman, “hasilku sudah segini, sama kog dengan yang lain, jadi aman nih, bakal lulus aku.”, ada yang tujuannya untuk mengukur seberapa besar ia dikasihi Tuhan, “Wah, hasilku sudah lebih banyak dari yang yang lain, berarti aku lebih
36
dikasihi karena Tuhan memberi karunia padaku lebih dari yang lain.”, ada juga yang tujuannya menyombongkan diri, “hasilku sudah dua kali lipat dibanding yang lain, jadi levelku sudah dua tingkat di atas mereka.” Hati-hati, ini bisa berbahaya karena bisa membuat murid menjadi lengah dan merasa sudah hebat padahal belum tentu seperti itu. Murid tidak bisa menilai sesama murid, kalau dia bisa menilai berarti kepintarannya sudah sama dengan gurunya, lha apa iya? Kalau sudah sama kan berarti sudah lulus, lha kog masih jadi murid? Kisah 1: Guru memberi sebidang tanah yang sama ukurannya dan benih yang sama banyaknya kepada dua orang muridnya. Lalu setelah satu tahun, Ia memanggil kedua muridnya dan meminta hasilnya untuk dinilai. Murid A membawa hasil 90 kilo, sedangkan murid B membawa hasil 70 kilo. Di luar dugaan, Guru menyatakan si A tidak lulus sedangkan si B lulus. Tentu saja si A protes, “Guru, aku membawa hasil lebih banyak dari B, mengapa justru aku tidak lulus?” Guru menjawab, “Nak, aku memang memberi tanah sama luas dan benih sama banyak, tapi tanah yang aku berikan padamu adalah tanah yang subur dan normalnya menghasilkan 100 kilo. Kamu hanya membawa 90 kilo, jadi kamu tidak lulus. Sedangkan tanah yang kuberikan pada B adalah tanah yang gersang dimana normalnya menghasilkan 50 kilo. Dia berhasil membawa 70 kilo, bukankah itu sebuah prestasi yang bagus? Temanmu ini pantas lulus karena ia memberi lebih banyak dari yang seharusnya.” Kisah 2: Guru mengadakan ujian lari pada ketiga muridnya. Si C berhasil mencapai garis finish setelah 1 jam, si D 1,5 jam dan si E 2 jam. Guru mengumumkan hasilnya, “C, kamu lulus. D kamu tidak lulus, E kamu lulus dan menjadi juara pertama. Aku akan memberimu hadiah.” Tentu saja C dan D protes, namun Guru menjawab, “C, kamu punya kemampuan dan kapasitas untuk menempuh jarak itu dengan waktu 1 jam. Jadi keberhasilanmu adalah wajar. D, kamu punya kemampuan yang sama dengan C, jadi seharusnya waktumu juga 1 jam, tapi kamu terlambat 30 menit, jadi kamu tidak lulus, sedangkan E kemampuan fisiknya hanya separo dari jarak yang harus ia tempuh, namun ia tidak menyerah. Dengan merangkak ia terus berusaha mencapai garis finish. Aku menghargai jerih payahnya, sebab ia memberikan lebih dari kemampuannya, maka ia berhak mendapat hadiah selain dari kelulusannya.” Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (Mrkus 12:41-44) Manusia menilai dari apa yang tampak, tetapi Tuhan menilai dari apa yang tidak nampak. Janganlah membanding-bandingkan dan menilai satu sama lain, Anda akan sering kecewa, karena hasil penilaian Anda bisa jadi bertolak belakang dengan penilaian Sang Guru, lagipula, seorang murid tidak layak untuk memberi penilaian.
37
Seberapa persen dari kapasitas yang Anda miliki yang Anda hasilkan itulah yang akan dinilai. Seorang dengan kapasitas 5 talenta yang mengasilkan 4 talenta jelas kurang, sedangkan seorang dengan 2 talenta yang menghasilkan 2 talenta adalah seratus persen. Kita tidak tahu berapa talenta yang Tuhan berikan, berapa besar kapasitas kita atau orang lain kecuali Tuhan memberitahukan pada kita. Maka kita tidak tahu ukuran keberhasilan masing-masing murid. Jadi, jangan sibuk menilai, tapi taatlah pada apa yang Guru perintahkan. Taatlah pada apa yang Guru ajarkan, dan lakukanlah dengan tulus dan dengan sekuat tenaga. Itulah tugas murid.
38
MEMPELAI Mempelai sebenarnya adalah murid yang telah lulus, yang telah mencapai kedewasaan rohani yang penuh, namun menjadi mempelai bukan berarti tantangan sudah selesai. Justru kita harus semakin waspada karena si jahat selalu mengincar dan selalu mencoba untuk mencuri mempelai dari Sang Raja. Mempelai harus teguh dan bersatu sepenuhnya dengan Sang Raja. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. (Kolose 2:7)
Mental Mempelai Tidak ada lagi Ujian Bagi mempelai tidak ada lagi yang disebut ujian. Segala yang dulu dirasakan sebagai ujian, sekarang telah menjadi bagian hidupnya, kemampuan dan gerak refleks yang dibutuhkan untuk bekerja bagi kepentingan Sang Raja. Seperti pilot pesawat tempur. Saat seorang pilot sudah dinyatakan pantas untuk maju perang, maka semua pelajaran yang dulu diujikan, sekarang sudah dikuasai sepenuhnya, menjadi bagian dari gerak refleksnya dan dipergunakan untuk membantunya berperang. Mental mempelai juga harus seperti itu. Setiap keadaan yang sulit bukan lagi ujian, tapi medan perang atau tantangan pekerjaan yang harus dihadapi dengan semua kemampuan yang telah ia miliki. Bahkan yang dulu merupakan ujian dan tantangan kini telah menjadi bagian dan gaya hidupnya. Sebuah contoh sederhana : Si A dipanggil menjadi bendahara Tuhan. Sewaktu awal menjadi murid dia menghabiskan 20 juta sebulan untuk kehidupannya. Setelah menjadi murid, ia mengurangi pengeluarannya menjadi 10 juta, tapi Tuhan mengujinya dengan 5 juta sebulan. Si A pun mulai mengubah gaya hidupnya dan ia berhasil lulus ujian, ia sanggup hidup dengan 5 juta sebulan. Tuhan mengujinya lagi, kali ini 2 juta sebulan. Ujian yang berat, hidupnya sungguh berubah total, tapi ia berhasil dan lulus. Kemudian Tuhan memberinya penghasilan 200 juta sebulan. Apakah ia akan kembali ke 20 juta sebulan? Tidak jika ia memiliki mental mempelai. Kemampuannya untuk hidup dengan 2 juta sebulan sudah menjadi bagian dari hidupnya, dan ia tetap mencukupkan diri dengan 2 juta sebulan dan 198 juta sisanya dipergunakan sesuai dengan kehendak Tuhan. A mengalami proses penurunan batas ambang primer, dimana saat ia mencapai kedewasaan penuh batas ambang kebutuhan primer duniawinya adalah 2 juta sebulan dan dia tidak menginginkan sisanya. Ini sudah bukan ujian, ini bagian dan gaya hidupnya.
39
Hanya Memberi Jika mental upahan mengharap upah dan mental murid tidak mengharap upah, maka mental mempelai adalah memberi. Mempelai hanya punya keinginan untuk memberi. Memberi cinta, memberi pelayanan, memberi pengabdian, memberi kehormatan, memberi hidup dan segala yang dimilikinya bagi Tuhan. Hasratnya hanya untuk menyenangkan Sang Mempelai yang begitu dicintainya. Ia rela memberi tanpa batas, tanpa mengharap balasan, tanpa memikirkan dirinya sendiri. Ia selalu ingin memberikan yang terbaik bagi Tuhan berapapun harga yang harus dibayar, sebesar apapun penderitaan yang harus ditanggung, ia tidak peduli asalkan ia dapat sedikit saja menyenangkan Sang Raja. Seperti lirik sebuah lagu anak-anak : “hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.” (lagu kasih ibu kepada beta) Inilah cinta yang tanpa pamrih, cinta yang tanpa batas, inilah cinta seorang mempelai.
Karakter Mempelai Kudus, Suci, Murni Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku. (Imamat 20:26) tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, (1 Petrus 1:15) Kudus dalam bahasa aslinya adalah Kodesh yang artinya dikhususkan bagi Tuhan. Kudus adalah segala sesuatu yang dipisahkan atau diasingkan dari dunia untuk menjadi milik Tuhan. Maka mempelai harus memisahkan diri, mengasingkan dirinya dari hal-hal duniawi dan mengkhususkan diri seutuhnya bagi Tuhan. Ini bukan berarti lantas seorang mempelai harus hidup terasing dan menjauh dari segala kegiatan dunia. Tidak seperti itu. Menjadi kudus berarti tidak punya keterikatan dengan hal-hal duniawi. Kita tetap hidup dan beraktivitas di dunia, namun seorang mempelai harus senantiasa menyadari bahwa dirinya bukan bagian dari dunia dan semua yang ada di dunia hanyalah properti sementara yang cukup digunakan untuk menunjang segala kepentingan kerajaan surga. Tidak ada keinginan untuk memiliki apapun, tidak ada ketertarikan lagi. Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan! (Kisah 22:16)
40
Suci dalam bahasa aslinya adalah Nikayon yang artinya tidak bercela, tidak bersalah. Suci berarti tidak berdosa. Tidak ada manusia yang dapat menjadikan dirinya suci karena setiap manusia pasti berdosa, tapi syukur kepada Tuhan yang telah memberikan Kristus bagi kita untuk menebus dosa-dosa kita dan menjadikan kita suci. Mempelai haruslah tetap menjaga kesuciannya, artinya tidak berbuat dosa lagi. Lha kan sulit? Memang sulit dengan kemampuan sendiri, tapi tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Lagipula ini level mempelai, kalau masih kerap berbuat dosa pastilah belum di level mempelai. Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia. Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah. (1 Yohanes 3:6,9) Murni artinya tidak bercampur dengan unsur lain sekecil apapun. Kalau dibilang emas murni maka seluruh bagiannya seratus persen emas tanpa tercampur dengan bahan lain. Jika dibilang air murni, maka seratus persen H2O dan tidak tercampur dengan zat lainnya. Maka kalau mempelai dikatakan memiliki karakter yang murni berarti seratus persen karakter ilahi tanpa tercampur dengan karakter duniawi. Pikirannya murni, hatinya murni, jiwanya murni, segala sesuatunya murni dan merupakan cerminan keilahian. Janji TUHAN adalah janji yang murni, bagaikan perak yang teruji, tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah (Mazmur 12:6) Banyak orang tidak kuat dengan proses pemurnian karena proses ini memang tidak cepat melainkan panjang dan lama, namun percayalah, kita tidak akan terbakar dalam tungku peleburan itu tetapi segala kotoran itulah yang akan rontok dan kita akan muncul seperti fajar cemerlang seusai proses pemurnian. supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, (Filipi 2:15) Kudus, suci, murni boleh dikatakan sebagai sempurna, dan memang itulah panggilan kita. Menjadi sempurna, dewasa sepenuhnya. Tapi mungkinkah manusia menjadi sempurna? Jika Allah yang menghendaki, mengapa tidak? bukankah di dalam Yesus Kristus kita sudah dipilih sebelum dunia dijadikan untuk menjadi sempurna. "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Matius 5:48) Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. (Efesus 1:4) Karena sesungguhnya, menjadi kudus, suci dan murni bukanlah usaha kita sendiri, melainkan Kristus yang menguduskan, menyucikan, dan memurnikan kita. Sekarang tergantung pada kita, apakah kita mau di proses untuk menjadi kudus, suci dan murni atau tidak?
41
Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. (Efesus 5:25-27)
Dapat dipercaya Dapat dipercaya bukan sekedar jujur tapi lebih dari itu. Dapat dipercaya berarti mampu mengelola dengan baik hal yang diberikan kepadanya. Sebuah maskapai penerbangan akan memilih pilot yang dapat dipercaya (dalam arti mampu mengendalikan pesawat dengan baik) untuk menerbangkan pesawat mereka yang baru. Kalau Anda punya truk gandeng yang besar dengan muatan yang berharga, Anda tentu akan memilih sopir yang dapat dipercaya untuk membawanya, dalam arti jujur dan mampu mengendalikan truk besar itu sampai ke tujuan. Di samping itu kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang. (Keluaran 18:21) Seorang mempelai juga harus dapat dipercaya karena Sang Raja akan mempercayakan banyak hal kepadanya. Setiap mempelai harus sadar bahwa ia adalah mempelai dari Raja segala Raja yang memiliki segalanya, dan apa yang akan dipercayakan oleh Sang Raja bukan lagi hal-hal kecil melainkan perkaraperkara besar yang memang merupakan kapasitas seorang raja. Tanpa karakter dapat dipercaya, hanya kekacauan yang akan terjadi, sebab ini menuntut tanggung jawab yang besar. Bila yang dipercayakan adalah kekayaan maka tidak lagi tentang uang puluhan atau ratusan milyar rupiah, tapi tentang kekayaan dunia. Bila yang dipercayakan adalah Hati-Nya maka tidak lagi tentang mengasihi sesama seperti diri sendiri, tapi lebih dari itu karena Yesus mencintai kita lebih dari diri-Nya sendiri. Demikian juga bila yang dipercayakan adalah kuasa maka ini adalah kuasa yang luar biasa yang akan berdampak pada surga dan dunia. Tanpa karakter dapat dipercaya, seorang mempelai dapat menjadi silau dan jatuh, dan Tuhan tidak menghendaki hal ini terjadi. Orang yang dapat dipercaya mendapat banyak berkat (Amsal 28:20) Untuk menjadi dapat dipercaya, ada beberapa sikap dasar yang harus dimiliki yakni: pertama; Menyadari bahwa yang diberikan untuk dikelola itu bukan miliknya maka harus dijaga dan dipelihara atau diperlakukan dengan baik. Jika hendak melakukan tindakan, bertanya dulu kepada pemilik-Nya. Kedua; Mengerahkan segenap kemampuan yang sudah diberikan Tuhan untuk mengelola hal yang dipercayakan itu. Bekerja sepenuh hati, tidak setengahsetengah.
42
Ketiga: Mengelola sesuai kehendak Tuhan dan bukan semaunya sendiri. Makin tinggi level, makin banyak dituntut untuk tidak berbuat salah. Ingat Musa, salah sedikit saja tidak bisa masuk tanah terjanji. Keempat: Segalanya bagi kemuliaan Tuhan. Segala hasil pengelolaan adalah bagi Tuhan. Seperti hamba yang menerima sepuluh talenta, ia serahkan seluruhnya yakni duapuluh talenta saat Tuannya pulang. Ia tidak ambil sedikitpun untuk dirinya.
Setia Kesetiaan baru dapat dibuktikan pada kondisi yang buruk. Jika orang bertahan dalam kondisi yang menyenangkan itu wajar, tapi jika ia bertahan dalam kondisi yang paling buruk, itulah kesetiaan. Seorang wanita yang suaminya baik, dan tidak ada lelaki lain yang menggoda, belum bisa dikatakan setia bila ia selalu mendampingi suaminya. Tetapi, seorang wanita yang suaminya jahat, suka menyakiti, selingkuh, tidak memberi nafkah, tapi tetap bertahan sebagai istri yang baik dan tetap mencintai meskipun ada lelaki lain yang menawarkan diri untuk jadi suaminya, ini baru benar-benar setia. "Demi Allah yang hidup, yang tidak memberi keadilan kepadaku, dan demi Yang Mahakuasa, yang memedihkan hatiku, selama nafasku masih ada padaku, dan roh Allah masih di dalam lubang hidungku, maka bibirku sungguh-sungguh tidak akan mengucapkan kecurangan, dan lidahku tidak akan melahirkan tipu daya. (Ayub 27:2-4) Ayub adalah salah satu contoh orang yang setia meskipun ia menderita luar biasa. Ia sempat mengutuki hari kelahirannya tapi ia tetap setia untuk hidup dalam kebenaran Allah. Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan. (Wahyu 2:10) Kesetiaan itu sebuah keharusan bagi mempelai Raja segala Raja, tapi kesetiaan yang bagaimana? Ada seorang tokoh di abad keduapuluh ini yang kesetiaannya menarik untuk kita pelajari bersama, yakni Mother Theresa. Sewaktu dia hidup dunia mengenal dia sebagai biarawati untuk mereka yang paling hina dari kaum miskin dan tersisihkan, namun setelah ia meninggal dan buku hariannya dibuka untuk umum, dunia terkejut oleh penderitaan yang harus ia alami. Mother Teresa memiliki hubungan yang akrab dan mesra dengan Tuhan sejak ia masik kecil. Ia sungguh mencintai Tuhan sehingga ia merasa tidak cukup dengan kaul kekal dan menambahkan sebuah kaul pribadi yang cukup berat yakni “Untuk memberi Tuhan apapun yang mungkin Ia minta – untuk tidak menolak-Nya sedikitpun”. Empat tahun kemudian yakni tahun 1946, Tuhan memintanya untuk
43
suatu panggilan khusus yang tak mungkin ditolaknya. “Antarkan Aku ke loronglorong tempat orang-orang yang malang - Datang dan jadilah terang-Ku”. Namun ketika ia mulai melaksanakan panggilan khususnya itu, ketika jalan sudah terbuka untuk memulai misinya itu, sebuah pintu yang paling dibutuhkannya tertutup. Tuhan menghilang dari kehidupannya. “Rasa kehilangan yang menakutkan ini – kegelapan tak terperikan ini – kesepian ini – kerinduan yang terus menerus kepada Tuhan ini – yang memberi saya rasa nyeri yang dalam di hati saya – kegelapan yang sedemikian rupa sehingga saya tidak dapat melihat entah dengan hati saya atau dengan akal budi saya – tempat Tuhan dalam jiwa saya terasa kosong – Tak ada Tuhan dalam diri saya – ketika nyeri karena kerinduan itu begitu dahsyat – saya hanya merindukan Tuhan – dan kemudian inilah yang saya rasakan. Tuhan tidak menginginkan saya. Ia tidak ada… Tuhan tidak menginginkan saya – terkadang – saya cuma mendengar hati saya sendiri menjerit – “Tuhanku” dan tak ada yang lain yang datang – siksaan dan nyeri yang tak dapat saya ceritakan” (cuplikan salah satu surat Mother Teresa – buku Come be My Light)
Ia adalah seorang wanita yang tergila-gila mencintai Tuhan maka ketika kegelapan itu datang, ketika ia merasa ditinggalkan, tidak dicintai dan tidak diinginkan Tuhan, ia sungguh menderita. Pada awalnya ia sempat terguncang, panik dan takut karena sebelumnya ia mengalami persekutuan yang akrab sekali dengan Tuhan, meskipun demikian ia tetap setia. Tidak sedikitpun ia menjauh dari panggilannya. Ia tetap mencintai Tuhan dan berusaha melakukan apapun untuk menyenangkan Hati-Nya. “Dengan sadar dan dengan kemauan sendiri saya menawarkan kepada Hati Kudus – untuk menjalani penderitaan mengerikan ini (keadaan tanpa Tuhan) bahkan sampai akhir zaman, andai ini akan memberi-Nya kesenangan yang sedikit lebih besar – atau kasih sebuah jiwa saja. Saya tidak menemukan kata-kata untuk mengungkapkan kedalaman kegelapan ini. Kendatipun demikian – saya mempelai kecil-Nya – dan saya mencintai-Nya – bukan karena yang Ia berikan – melainkan karena yang Ia ambil…” (cuplikan salah satu surat Mother Teresa – buku Come be My Light)
Pada akhirnya ia menyadari bahwa pengalaman batin yang menyakitkan itu justru menyatukan ia dengan Mempelainya yang disalibkan. Ia turut dalam penderitaan Yesus saat merasa ditinggalkan Bapa-Nya, dan ini membuatnya bahagia. “Untuk pertama kali dalam sebelas tahun ini – saya akhirnya mencintai kegelapan ini – karena sekarang saya percaya bahwa ini hanya sebagian sangat kecil dari kegelapan dan penderitaan Yesus sewaktu di bumi. Hari ini saya sungguh merasakan kegembiraan yang mendalam – karena Yesus tidak harus mengalami sendiri penderitaan itu – tetapi bahwa Ia ingin mengalaminya melalui saya. – kini saya menyerahkan diri lebih daripada sebelumnya kepada-Nya. – ya – lebih daripada sebelumnya saya akan melayani-Nya” “Makin besar rasa nyeri, makin pekat kegelapan, makin manis senyum saya untuk Tuhan.” (cuplikan salah satu surat Mother Teresa – buku Come be My Light)
44
Banyak orang akan bilang setia pada Yesus sang Mempelai yang hadir sebagai Raja segala Raja dengan segala kemuliaan-Nya, namun mempelai sejati dituntut untuk juga setia pada Yesus sang Mempelai yang hadir pada kayu salib. Mother Teresa adalah contoh masa kini seorang mempelai yang setia pada Yesus yang disalibkan. Ia dengan senang hati menyatukan diri pada penderitaan MempelaiNya dan dengan setia ia melayani rasa dahaga Yesus di kayu salib. “Aku haus” adalah perkataan Yesus dikayu salib yang ditangkap Mother Teresa sebagai dahaga Yesus akan jiwa-jiwa. Ia mendirikan Misionaris Cinta Kasih yang memiliki misi : “memuaskan dahaga Yesus Kristus yang disalibkan demi cinta dan jiwajiwa”. Selama hampir 50 tahun, Mother Teresa hidup dalam penderitaannya dan tetap setia hingga akhir hayatnya. Mother Teresa adalah contoh kesetiaan yang karya dan pergumulan batinnya masih dapat kita saksikan sendiri. Ia adalah tokoh nyata yang kita kenal sehingga kita tidak bisa bilang, “wajar saja setia, dia kan tokoh dalam kitab suci, bukan orang biasa yang hidup di jaman sekarang”. Mempelai dituntut untuk setia, tapi jangan takut, tidak semua mempelai harus mengalami hal semacam itu. Tuhan tahu kapasitas masing-masing mempelai-Nya. Jadi, jangan takut. apapun yang terjadi, tetaplah setia. Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia."(Wahyu 17:14)
Sehati Sejiwa Serupa dengan Raja Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya. (Lukas 6:40) Inilah level dimana seorang murid telah lulus dan menjadi serupa dengan Yesus, Gurunya. Proses mendalami sikap dan sifat Yesus dan proses yang mengubah pribadi serta karakter kita hingga menjadi serupa dengan Yesus ada pada level murid. “Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia. Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1 Yohanes 2:5-6) Apa yang paling menonjol dari sifat dan kehidupan Yesus? Belas kasihan yang timbul dari hati yang lembut dan mengasihi. Perintah Tuhan adalah mengasihi sesama seperti diri sendiri, tetapi Yesus mencintai manusia lebih dari diri-Nya, dan ini juga yang dirasakan Paulus ketika ia menginginkan keselamatan bagi kaum israel.
45
Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani. (Roma 9:3) Yesus mau menderita dan mati disalib bagi jiwa-jiwa, Ia sungguh peduli pada keselamatan mereka. Mempelai juga harus memiliki hasrat yang sama. Hasrat untuk menyelamatkan jiwa-jiwa meskipun harus menanggung derita seperti yang dirasakan Paulus. Inilah level dimana seseorang sudah menjadi belahan jiwa Yesus Kristus. Seperti satu jiwa lalu dibagi dua. Ada pengertian dan pengenalan yang begitu mendalam antara Yesus dan mempelai-Nya. Ini adalah level dimana kita dapat menyelami perasaan Yesus, mengerti isi hati-Nya tanpa perlu Ia menyatakannya Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya: "Mereka kehabisan anggur." Kata Yesus kepadanya: "Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba." Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yohanes 2:3-5) Maria adalah tokoh dalam kitab suci yang sungguh mengenal Yesus. Meskipun Yesus seolah menolak, tapi Maria tahu persis bahwa Yesus tidak akan membiarkan keluarga pengantin itu dipermalukan karena kehabisan anggur, itulah sebabnya Maria tetap memerintahkan para pelayan untuk mengikuti perintah Yesus. Maria yakin bahwa Yesus akan bertindak untuk menyelamatkan keluarga itu karena perasaan hati mereka sama. Maria memiliki belas kasihan yang sama dengan Yesus. Pada waktu Yesus disalib, injil Yohanes mencatat hanya ada 4 orang di dekat salib Yesus: Maria Ibu-Nya, Maria istri Klopas, Maria Magdalena dan Yohanes. Tempat di dekat salib sama sekali bukan tempat yang cocok bagi tiga wanita dan seorang pria muda, namun mereka tidak peduli. Mereka merasakan apa yang Yesus rasakan. Ketika Yesus merasa ditinggalkan baik oleh Bapa maupun pengikutpengikutnya, mereka seolah mau berkata, “kami tidak akan meninggalkan Engkau, kami akan tetap di dekat-Mu biarpun tempatnya menyeramkan.” Mempelai yang sejati memiliki perasaan yang sama dengan Yesus, sehingga dalam kondisi dimana Yesus mungkin diam seperti yang dialami Mother Teresa, seorang mempelai tetap tahu apa yang harus dilakukannya. Ini adalah level dimana kita dipercaya untuk dapat mengambil keputusan sendiri. Tanpa sehati sejiwa serupa dengan Kristus, hal itu tentu menjadi sangat menakutkan karena sebuah keputusan yang salah, dampaknya bisa fatal baik bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. “Aku di dalam Dia dan Dia di dalam aku. Aku merasakan apa yang dirasakan-Nya, aku memikirkan apa yang dipikirkan-Nya. Aku dapat merasakan kepedihan-Nya, aku dapat merasakan kegembiraan-Nya. Roh-Nya memenuhi diriku. Aku tidak dapat melihat diriku lagi, aku hanya dapat melihat Rajaku.” Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. (2 Korintus 3:18)
46
PENUTUP Proses menjadi mempelai bukanlah proses sehari dua hari. Ini adalah sebuah proses yang panjang yang melibatkan seluruh hidup Anda. Tubuh, jiwa, roh semuanya ikut terlibat. Ini juga bukan proses yang mudah. Bahkan lebih mudah dan cepat menghidupkan orang mati daripada menjadikannya mempelai. Yesus membangkitkan orang mati cukup hanya dengan berfirman sekali dan mereka hidup kembali, tapi mengubah seseorang butuh proses yang panjang dan lama. Petrus yang selalu disamping Yesus dan mengaku siap mati bagi Gurunya ternyata menyangkal sampai tiga kali, bahkan setelah Roh Kudus turun atasnya, ia masih memiliki rasa takut dengan orang-orang yahudi sehingga sempat bersifat munafik. Namun di akhir hayatnya ia tampil begitu berani. Petrus mengalami proses perubahan yang tidak dijalaninya sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tapi bertahun-tahun. Proses menjadi mempelai juga bukan proses sepihak dari Tuhan. Memang Tuhan yang memampukan kita, tapi Tuhan selalu meminta kesediaan kita. Apakah kita mau atau tidak. Tuhan tidak akan memaksa Anda kecuali Anda dengan rela minta dipaksa, atau dengan kata lain, Anda bersedia untuk diproses. Anda bersedia jadi murid-Nya dan menjalani berbagai latihan dan pembentukan rohani yang mungkin meletihkan dan menyakitkan. Namun, jangan takut, karena Guru kita adalah Guru yang terbaik. Saat kita letih, Ia akan memberi kita kekuatan. Saat kita bersedih, Ia akan menghibur kita, dan saat kita gagal dan terjatuh, Ia akan membantu kita berdiri dan melatih kita dengan penuh kasih sampai kita berhasil. Ia adalah seorang Guru yang penuh kelembutan dan sangat mengerti keadaan kita, dan satu hal yang pasti; Tuhan tidak akan pernah meninggalkan Anda sendiri. Ia akan selalu berada di samping Anda. Saat Anda berada di lembah kekelaman, Ia ada persis di samping Anda. Saat Anda berada dalam tungku api pemurnian, Ia juga berada di sana, memeluk Anda dengan kasih. Jadi, jangan takut. Yang Ia minta hanyalah kesediaan Anda dan sesungguhnya segala sesuatunya Tuhan yang mengerjakannya di dalam kita. Mudah-mudahan ada banyak orang yang punya kerinduan untuk menjadi mempelai apapun prosesnya, karena saat kita berjalan bersama Tuhan, saat kita menjadi murid-Nya, kita memiliki keintiman pribadi dengan Tuhan, dan itu adalah hal yang amat indah dan menyenangkan. Segala letih dan pedih yang ada pada proses itu menjadi tidak terasa lagi karena kebahagiaan saat bersama Tuhan mengalahkan segalanya. Seperti orang yang sedang kasmaran dan bertemu kekasihnya. Ia tidak ingat lagi akan segala susah dan letihnya. Cinta itu kuat seperti maut. Cinta kepada Tuhan itulah kekuatan kita, dan tiba-tiba semuanya menjadi mudah, semuanya menjadi indah dan tanpa terasa kita sudah menjadi mempelai-Nya. Enak bukan? Mari, yang Ia minta hanya kerelaan dan kesediaan Anda. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. (Wahyu 19:7)
47
TENTANG PENULIS Love adalah orang awam biasa yang memenuhi panggilan Tuhan untuk menuliskan pengertian yang tersimpan dalam ayat-ayat kitab suci sesuai yang disingkapkan Roh Kudus kepadanya. Ia hanyalah juru tulis yang berusaha menuliskan kerinduan Hati Tuhan. Nama Love sendiri diberikan oleh Tuhan kepada penulis awal 2005, namun baru di tahun 2011 hal ini disadarinya. Panggilan hidup rohaninya sebenarnya telah dimulai sejak Love masih kecil. Ia tanpa menyadari membaca keseluruhan injil di usia delapan tahun. Love sangat suka membaca, dan injil yang diberikan oleh kakaknya saat itu dianggapnya sebagai buku cerita biasa, namun tidak ada yang kebetulan. Tuhan memang memanggilnya untuk bertekun dalam membaca kitab suci dan menyebarluaskan pengertian-pengertiannya kepada banyak orang. Sejak tahun 2009 Love membuat sendiri sebuah website yang berisi tulisan-tulisan rohani ringan, dan sesuai dorongan Roh Kudus, mulai tahun 2011 Love menulis buku yang juga dimuat dalam website yang sama. Tanpa seorangpun pembimbing rohani, tanpa seorangpun teman persekutuan, tanpa pengetahuan teologi, adalah karya Tuhan bila seorang awam seperti Love mampu menuliskan pengertian-pengertian yang tersirat dalam kitab suci. Love sadar sepenuhnya dirinya hanya juru tulis dan bukan pengarang, namun kelemahan dan kekurangannya dalam menangkap suara Roh Kudus sedikit banyak berpengaruh pada tulisan-tulisannya. Itulah sebabnya Love tidak ragu untuk terus memperbaharui tulisan-tulisan pada websitenya bila ada hal baru yang dipahaminya sesuai perkembangan kemampuannya menangkap pengertian yang disingkapkan oleh Roh Kudus.
Website Email
: :
www.pelangi-jiwa.com
[email protected]
48