DARI TERISOLIR MENJADI PIONIR Dipertengah bulan Januari 2009, seluruh warga PNPM-PISEW dikejutkan dengan keputusan Bupati Sumbawa Barat yang menetapkan wilayah KSK (Kawasan Strategis Kabupaten) diplotkan ke dalam satu kecamatan, yaitu Pototano. Kejutan itu tidak hanya berhenti disitu, dana untuk KSK yang sebesar 2 milyard-pun digelontorkan ke dalam satu desa, yaitu Mantar. Sebenernya apa yang menarik dari desa tersebut sehingga Bupati harus “berhadapan” dan “bersinggungan” dengan kebijakan Pusat? Sangat menggelitik memang untuk ditelusuri lebih jauh. Informasi awal yang didapat bahwa, Desa Mantar berada di dalam wilayah administratif Kecamatan Pototano. Terletak di atas bukit Mantar dengan ketinggian 586 dpl dengan luas wilayah 3.085 km2. Jumlah penduduk 1.455 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki 711 jiwa dan jumlah penduduk perempuannya 744 jiwa. Mata pencaharian penduduk mayoritas adalah petani dengan jenis pertahian lahan kering. Hasil pertaniannya adalah padi bulu (sebagai primadona) dan palawija (kacang hijau dan jagung). Sedangkan untuk peternakannya berupa sapi, kuda dan kambing yang merupakan mata pencaharian sampingan. Ada 2 akses yang bisa dilalui agar bisa mencapai lokasi, yaitu melalui Desa Tapir, Kecamatan Seteluk yang kedua melalui Desa Senayan. Memerlukan stamina yang prima untuk dapat mencapai desa tersebut, karena jalan yang dilalui adalah jalan setapak yang terjal dan berbatu. Selain dengan berjalan kaki bisa juga ditempuh dengan menggunakan kuda. Sudah terbayang di dalam benak seperti apa medan yang bakal dilalui, pasti memerlukan perjuangan tersendiri. Sempat timbul keraguan untuk mengunjungi Desa Mantar, namun rasa penasaran serta tanggung jawab akan pekerjaan yang akhirnya memupuskan keraguan itu dan diputuskan tetap melakukan kunjungan tersebut. Berbekal informasi awal tadi, maka disusunlah rencana untuk melakukan perjalanan “expedisi” ke Desa Mantar. Koordinasi dengan pihak kecamatan, pihak desa segera dilakukan. Angin segar tiba-tiba datang, ketika didapatkan informasi bahwa sekarang Desa Mantar bisa dicapai dengan menggunakan mobil. Ah lega rasanya mendengar kabar itu, namun kemudian muncul pertanyaan, mobil macam apa yang akan digunakan? Ya semacam mobil offroad yang mampu menerabas tikungan tajam dan tanjakan yang terjal dan berbatu. Akhirnya disepakati hari Kamis tanggal 30 Juli pagi tim akan bergerak menuju Desa Mantar. Tepat pukul 07.30 WITA, tim pun mulai meninggalkan “base camp” untuk memulai
perjalanan. Sepanjang jalan berpuluh mata memandang ke arah kami, seakan bertanya ada wisatawan mana yang akan berkunjung ke atas bukit? Tidak hanya pandangan “aneh” ke arah tim, tetapi juga banyak orang yang menumpang ke mobil yang dinaiki tim. Bukan saja orang, tetapi juga barang belanjaan, seperti: sembako, alat rumah tangga, sampe ke barang elektronik. Satu bukti telah didapat, bahwa ada geliat roda perekonomian diatas bukit. Gambaran akan desa terpencil lambat laun mulai sirna, menurut Pak Abidin, sopir “mobil offroad” yang membawa kami, diceritakan bahwa sekarang warga Desa Mantar mulai melakukan aktivitas perdagangan di desa dan mulai konsumtif. Selain sembako dan barang-barang kebutuhan rumah tangga baik elektronik maupun mebeler, juga mulai nampak lalu lalang sepeda motor merayap menuruni maupun menaiki lereng-lereng bukit Mantar. “Sejak dibukanya jalan ini, masyarakat Mantar mulai seperti ini pak, tiap hari ada saja yang di beli oleh warga”, jelas Pak Abidin. Dipinggiran Desa Tapir tim bertemu dengan mobil “offroad” lainya yang sedang mengangkut material ke desa. Material ini akan digunakan untuk pembangunan program PNPM – PISEW di Desa Mantar. Pertanyaannya, punya siapa mobil – mobil ini? siapa yang menyediakan? Ternyata mobil itu kepunyaan kepala desa, beliau yang membelinya untuk memenuhi kebutuhan akan alat transportasi mengangkut material dari “bawah”. Ada dua unit mobil yang dimiliki oleh Desa Mantar yang bisa digunakan untuk keperluan angkutan barang maupun orang yang mau dan keluar dari desa. Apakah ini termasuk ke dalam kategori activity sharing? Harus dikonfirmasi lebih lanjut mengenai dana operasionalnya. Setelah mengecek air radiator dan oli rem, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 30 menit waktu yang dibutuhkan untuk menjelajahi tanjakan dan tikungan curam di sepanjang perjalanan. Hal ini sempat membuat seluruh anggota tim terdiam, entah karena sedang menghayati panorama alam yang memukau atau karena dicekam rasa ngeri melihat kondisi medan yang sangat ekstrim. Lambaian tangan dan sapaan sopan menyambut kedatangan tim di desa, di tambah dengan suara speaker dari masjid yang menginformasikan akan kedatangan tim.
“Kepada Bapak-bapak pengurus dan anggota LKD di desa Mantar dan Ibu-ibu yang sedang tidak bekerja, diminta untuk segera berkumpul ke balai desa. Karena tamu dari Jakarta telah tiba di desa kita”. “Sekali lagi diberitahukan kepada seluruh ketua dan anggota LKD untuk segera kumpul ke balai desa, karena tamu dari Jakarta telah tiba…” kira-kira begitulah bentuk penyambutan warga desa Mantar menyambut kedatangan tim. Setelah dikejutkan dengan bentuk penyambutan oleh warga desa, tim kembali dikejutkan dengan kondisi lingkungan desa yang tertata rapi dan bersih. Tidak ada kesan sedikitpun kalau saat ini sedang berada di desa yang “kontroversial” dengan 2 milyard-nya. Bayangan akan desa yang kumuh, desa masuk dalam kategori tertinggal atau desa yang tidak pernah dirambah akan pembanggunan tidak terbukti, yang ada di depan mata hanya lingkungan yang tertata dengan sangat rapi, bersih dan mulai tersentuh dengan modernisasi. Desa Mantar ini terbagi menjadi 4 dusun, yaitu: Mantar, Omal Sapa, Ai Taruma dan Mantar Bawah, yang mana letak antar dusunnya saling berjauhan yang dipisahkan oleh lembah dan ngarai. Hanya Dusun Mantar Bawah saja yang ada akses jalan dari Dusun Mantar, itupun juga jalan sepatak menuju
ke Desa Senayan. Sedangkan dua dusun lainnya harus melalui akses jalan lain yaitu dari kecamatan Taliwang dan kecamatan Seteluk. Dibutuhkan kerja keras bagi FD, FK dan TtL yang tertugas di desa ini. Yang membuat salut, dari 20 paket yang ada di desa ini hampir seluruhnya sudah mencapai diatas 90%, padahal pencairan dananya baru pada termin ke II atau 60%. Ternyata masing – masing LKD yang ada di desa ini saling bersaing dan berlomba untuk dapat menyelesaikan paket pekerjaannya. Sampai-sampai ada yang harus menjual hewan ternaknya untuk “prefinance” guna mencapai target yang mereka buat sendiri. Hasil dari perjuangan dan kerja keras mereka adalah Desa Mantar menjadi yang terbaik dibandingkan dengan seluruh
desa penerima PNPM-PISEW di Kabupaten Sumbawa Barat. Tidak hanya dari segi progres capaian yang menjadi terbaik, tetapi juga dari segi kualitas. Sebenarnya potensi apa yang dimiliki oleh desa ini sehingga dijadikan lokasi Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) khususnya untuk sektor pariwisata? Dari hasil penelusuran dan dialog dengan kepala desa serta tokoh masyarakat setempat, bahwa desa ini memiliki kekhasan serta potensi yang bisa dikembangkan untuk dijadikan tempat tujuan pariwisata terutaman wisata budaya. Keberadaan Desa Mantar ini tidak lepas dengan adanya legenda atau mitos yang berkembang di masyarakat. Yaitu keberadaan orang albino, yang mendiami desa tersebut. Orang albino ini selalu berjumlah tujuh orang, tidak pernah lebih dari itu. Jika ada warga desa yang melahirkan bayi albino selalu saja ada yang meninggal dari orang albino pendahulunya. Saat ini keturunan albino ini tersebar di 3 dusun, 2 di Mantar, 3 Omal Sapa dan 2 di Ai Teruma. Ketika ditanya kenapa selalu tujuh orang kenapa tidak bisa lebih dari itu? Tidak ada seorangpun yang mampu menjawab secara logis. Penduduk desa ini juga berkeyakinan bahwa nenek moyang mereka berasal dari bangsa Jepang, Philipina, Jerman dan dari suku Jawa, Bugis dan Bali. Selain keberadaan orang – orang keturunan albino ini, masih banyak potensi yang perlu digali, khususnya dalam hal kebudayaan. Misalnya, peninggalan sejarah berupa Guci Kuno, Gong dan Fosil Pecahan Perahu yang sudah membatu. Ada cerita di balik keberadaan benda – benda peninggalan bersejarah ini, misalnya Guci Kuno. Guci ini terletak di depan masjid desa, yang sehari – hari berfungsi sebagai pancuran untuk wudhu. Menurut tokoh masyarakat setempat, konon guci ini pernah mau dicuri oleh orang. Tetapi guci ini tidak bisa diangkat walaupun yang mengangkat sampai puluhan orang. Selain tidak mampu diangkat, tiba – tiba muncul sesosok Kuda Putih yang mengejar – ngejar orang yang akan berbuat jahat. Tidak masuk diakal memang jika melihat guci yang dimaksud. Puluhan orang tidak mampu mengangkatnya, padahal ukurannya tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan karena orang yang mengangkat guci itu punya niat jahat, sebaliknya jika yang mengangkat ada warga keturunan asli penduduk desa tersebut dan tanpa ada niat untuk memilikinya, jangankan orang dewasa, anak – anakpun akan dengan mudah mengangkatnya.
Gong, adalah salah satu alat musik tradisional ini juga menyimpan cerita unik yang dipercaya oleh masyarakat desa setempat. Konon ketika nenek moyang desa ini melarikan diri dari kejaran tentara Belanda, sampailah mereka di atas bukit ini. Mereka sangat kelaparan dan kehausan karena ternyata di atas bukit ini tidak terdapat mata air. Karena di dorong akan kebutuhan maka salah satu dari pengungsi tersebut melakukan ritual untuk mendapatkan air. Akhirnya ritual tersebut membuahkan hasil, diatas bukit yang tandus itu muncullah mata air yang airnya sangat melimpah, mata air tersebut dinamakan Ai Mante. Semakin hari sumber mata air ini semakin besar, sehingga ada kekhawatiran akan menenggelamkan Desa Senayan yang ada dibawahnya. Maka digunakanlah gong tadi untuk menyumbat mata air sehingga airnya tidak sampai melimpah dan menenggelamkan desa dibawahnya. Masyarakat Desa Mantar juga kaya akan seni budaya yang sering diselenggarakan pada acara - acara khusus, misalnya Barapan Kebo (Buffalo Race) dan Barapan Ayam serta Maen Jaran, kesenian Dempa atau Adu Kaki serta kesenian Takecoh atau berbalas pantun. Potensi – potensi inilah yang mendorong Bupati Sumbawa Barat untuk menetapkan Desa Mantar sebagai Desa Cagar Budaya. Harapannya semua potensi ini akan dikemas ke dalam paket wisata budaya seperti yang ada di Desa Sade di Lombok Tengah yang merupakan desa adat suku Sasak.
Selain potensi budaya, desa ini juga menyimpan potensi pariwisata yang cukup potensial. Di salah satu titik di pinggir desa kita bisa melihat panorama pantai yang sangat indah. Menurut kepala desa dan tokoh masyarakat dititik inilah nantinya akan dibangun bangunan “griya terawang” untuk menyaksikan panorama pantai dan pulau Lombok dengan pemandangan Gunung Rinjaninya. Perlu kerja keras memang untuk dapat mewujudkan impian tersebut. Tetapi jika hal ini dapat terlaksana tidak mustahil keunikan Desa Mantar akan menarik wisatawan baik lokal maupun domesktik untuk datang berkunjung ke desa tersebut. Dengan demikian akan menjadikan sumber pendapatan bagi masyarakat desa serta dapat meningkatkan PAD bagi Kabupaten Sumbawa Barat.
Kekhawatiran serta sikap apatis yang selama ini ditunjukkan oleh teman-teman di Jakarta dirasa sudah tidak relevan lagi, jika melihat hasil dari telah dibuktikan oleh masyarakat Desa Mantar. Semoga sikap dan etos kerja yang ada sekarang akan terjaga dan tetap dibuktikan pada pelaksanaan PNPMPISEW di tahun mendatang. Selamat Berkarya !!! Sukses dan tetap semangat membangun desa demi mewujudkan cita – cita serta mengaplikasikan semangat, nafas dan ruh dari PNPM – PISEW.
Jakarta, awal Agustus 2009 - BP –