Untuk mendapatkan gambaran awal sejauh mana masyarakat Indonesia sadar akan isuisu lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam jangka panjang, pada penghujung tahun 2013, WWF-Indonesia bekerjasama dengan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) melakukan sebuah survey persepsi masyarakat terhadap isu lingkungan dan partai politik. Survey yang dilaksanakan di tujuh kota di Indonesia (Pekanbaru, Jakarta, Surabaya, Makassar, Samarinda, Kupang dan Sorong) ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesadaran publik terhadap isu lingkungan di Indonesia, serta mengidentifikasi sebuah base-line persepsi publik tentang peran partai politik dalam isu pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
1
Berikut ini adalah tanggapan responden di tujuh lokasi survey mengenai jenis bencana alam selama 5 tahun terakhir yang terjadi di wilayah mereka. Menurut responden banjir merupakan jenis bencana alam yang paling sering mereka alami (61%), disusul oleh kekeringan di peringkat kedua (13.6%). Kupang merupakan wilayah dengan potensi kekeringan yang cukup tinggi dibandingkan dengan enam kota yang lain di tujuh lokasi yang menjadi lokasi survey (lihat Grafik 1). Grafik 1. Area Bencana
2
Menurut responden, perubahan fungsi lahan hutan, pembalakan/penebangan hutan dan penggunaan air tanah yang berlebihan merupakan tiga faktor yang memicu terjadinya banjir dan kekeringan di tujuh kota lokasi survey
Tanggapan responden pada grafik diatas sejalan dengan data Intensitas Bencana Tahun 2008-2012 yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Nasional (lihat Tabel 1). Tabel 1. Intensitas Bencana Alam (2002-2012)
(lihat Grafik 2). Grafik 2. Faktor Bencana Alam Tidak tahu/tidak Perubahan jawab; 5,3% fungsi lahan/hutan; 25,7%
Lainnya; 11,0% Penggalian tambang; 5,1% Buruknya drainase; 10,3%
Sampah; 11,0%
Penebangan/pe mbalakan hutan; 17,1%
Sumber: Badan Penanggulangan Bencana Nasional
Penggunaan air tanah yang tidak terkendali; 14,4%
3
Bencana alam sebagai fenomena alam luar biasa pada tingkat tertentu bukanlah kejadian tunggal yang tidak memiliki keterkaitan dengan aspek lain. Bencana alam pada satu sisi merupakan dampak dari proses atau sistem pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak terkendali, yang di dalamnya terdapat praktik korupsi. Melihat pada dokumen perencanaan pembangunan di Indonesia, baik pada masa orde baru atau sesudahnya, pertumbuhan ekonomi selalu menjadi target untuk mengindikasikan adanya peningkatan kemakmuran bangsa Indonesia. Untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi, pemerintah akan menggenjot pembangunan dengan salah satunya mendorong perkembangan investasi. Investasi besar-besaran masuk ke Indonesia dimulai pada akhir tahun 60-an dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Masuknya investasi besarbesaran yang berakibat pada perubahan ruang, tidak diimbangi dengan proses perencanaan tata ruang yang tersistem dengan baik. Pada era tahun 60 hingga 70-an, tata ruang masih sektoral dan bersifat parsial, pergeseran pendekatan sektoral ke pendekatan keterpaduan wilayah baru mulai pada era 80-an. Akhirnya, lahirlah UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Ketertinggalan ini ternyata tidak juga membuat 4
pemerintah meletakkan tata ruang sebagai prioritas. Hingga 31 Desember 2012, tercatat baru 14 provinsi yang telah merampungkan Perda RTRW, dan baru 258 Kabupaten/Kota dari 524 Kabupaten/Kota yang sudah mengesahkan menjadi PERDA. Tidak adanya aturan mengenai tata ruang, ternyata juga ikut menyuburkan praktekpraktek korupsi SDA dalam berbagai bentuk.
Grafik 3. Hubungan Bencana dengan Manajemen Pengelolaan SDA dan Korupsi
Berdasarkan hasil survey, mayoritas responden setuju bahwa terdapat hubungan antara bencana alam, baik secara nasional maupun yang mereka rasakan secara langsung di wilayah, dengan praktik pengelolaan SDA yang berlebihan (91%) dan korupsi dalam pengelolaan SDA (80.1%) (lihat Grafik 3). 5
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (hasil amandemen) Pasal 33 Ayat 3 menjelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam Ayat 4 selanjutnya dijelaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan atas demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Terdapat tiga kata kunci dalam pengelolaan SDA dalam konteks perekonomian nasional, yaitu (1) kemakmuran rakyat, (2) berkelanjutan dan (3) berwawasan lingkungan. Merujuk kepada tiga kata kunci tersebut, terdapat pertanyaan mendasar dalam survey terhadap manfaat dan kerusakan yang dirasakan secara umum dalam praktik pengelolaan SDA saat ini, maupun pada tingkat lokal yang dirasakan oleh responden. Hasil memperlihatkan bahwa secara umum pengelolaan SDA saat ini lebih memberikan dampak kerusakan yang merugikan masyarakat daripada manfaat yang dirasakan (74.3%) (lihat Grafik 4).
6
Otonomi Daerah dan Desentralisasi telah mengatur redistribusi pengelolaan SDA sehingga dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di daerah dalam peningkatan PAD (yang indikatornya dapat dilihat dari kualitas pembangunan infrastruktur dan terbukanya lapangan pekerjaan). Hasil survey mengindikasikan bahwa realitas pengelolaan SDA di daerah tidak lebih baik dari yang dirasakan secara umum pada tingkat nasional, dan dampak pengelolaan SDA di daerah terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat lebih kecil daripada keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha (lihat Grafik 5).
Grafik 4. Dampak Pengelolaan SDA Antara Manfaat dan Kerusakan di tingkat Nasional
7
Ketidakadilan distribusi pengelolaan SDA terhadap kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya sesuai dengan perintah UU disebabkan oleh beberapa faktor. Masyarakat menilai bahwa bahwa kerugian yang mereka alami akibat terjadinya kerusakan lingkungan terkait dengan dua hal, yaitu korupsi antara pengelola SDA dan pemangku kebijakan (32.7%) dan pengawasan yang lemah dari pemerintah (25.7%), dinilai sebagai faktor yang menghambat keuntungan bagi masyarakat dalam pengelolaan SDA dan lebih dinikmati oleh pelaku usaha (lihat
Grafik.5 Dampak Pengelolaan SDA Antara Manfaat dan Kerusakan di Daerah
Grafik 6).
8
Grafik 6. Faktor Ketidakadilan Distributif Dalam Pengelolaan SDA
40,0 35,0
36,4 32,7 28,1
30,0
25,7
25,0 20,0 15,0
16,4
16,0
18,1
12,6
10,0
5,7 6,6
5,0
1,0 0,6
0,0 Adanya praktik Pengelola berlaku korupsi antara tidak sesuai ijin pengelola dengan yang diberikan oknum pengambil Kebijakan
Pemerintah tidak melakukan fungsi pengawasan dengan benar
Kebijakan yang tidak berpihak ke daerah
Lainnya
Faktor Kerusakan Lebih Besar dalam Pengelolaan SDA Faktor kecilnya manfaat pengelolaan SDA terhadap masyarakat
9
Tidak tahu/tidak jawab
Praktik korupsi dalam pengelolaan public good dilakukan bukanlah oleh aktor tunggal. Praktik korupsi berjalan melalui ‘jejaring’ yang dipelihara pada tingkat tertentu bernuansa ‘komoditi politik’ (Irwan, Alexander, 2002) dan melibatkan multiaktor, mulai dari pelaku usaha, penyedia public good atau pemerintah, dan politisi sebagai pihak yang merumuskan kebijakan. Dalam konteks praktik korupsi dalam pengelolaan SDA – bagian dari public good – masyarakat meyakini bahwa terdapat relasi yang kuat antara pemerintah, pelaku usaha dan politik dalam jejaring korupsi (29.7%). Sementara itu, oknum dari pemerintah merupakan aktor utama dalam jejaring korupsi pengelolaan SDA (25.3%) (lihat Grafik 7).
Identifikasi keterlibatan aktor politisi melalui penilaian masyarakat dalam jejaring korupsi pengelolaan SDA memperlihatkan bahwa keteribatan aktor politisi tidak hanya pada tingkat perumusan kebijakan, tapi juga turut terlibat dalam pengelolaan SDA melalui mekanisme kartel, baik melalui perusahaan-perusahaan rekanan atau perusahaan yang dibentuk sendiri. (31.4%) (lihat Grafik 8).
10
Grafik 7. Aktor dan Relasi Praktik Korupsi dalam Pengelolaan SDA 35,0
Aktor Pemerintah, Pelaku Usaha, dan Politisi; 29,7
30,0
Aktor dari pemerintah; 25,3
25,0
20,0
15,0 Aktor Pemerintah dan Pelaku Usaha; 12,0
10,0 Aktor Pelaku Usaha; 7,1 Aktor Pemerintah dan Politisi; 3,4
5,0
Aktor Penegak Hukum; 2,0
Aktor Pelaku Usaha dan Aktor Politisi; 3,1 Politisi; 3,9
0,0 0
1
2
3
4
5
11
6
7
Aktor Pelaku usaha dan penegak hukum; 1,1
8
9
10
Sejauh mana partai politik berada dalam jejaring korupsi pengelolaan SDA, menjadi penting untuk dipertanyakan, karena berdasarkan Grafik 8 terdapat relasi yang kuat keterlibatan politisi dalam jejaring korupsi pengelolaan SDA.
Grafik 8. Keterlibatan Aktor Politisi dalam Jejaring Korupsi SDA
Survey ini berusaha mengidentifikasi penilaian masyarakat terhadap partai politik yang paling menentang dan paling diduga kuat terlibat dalam jejaring korupsi SDA. Hasil survey menunjukkan bahwa masyarakat cenderung skeptis untuk memberikan penilaian atas partai politik yang dapat dikategorikan bersih dari praktik korupsi dalam pengelolaan SDA. 12
Hal tersebut ditunjukkan dengan hampir 50% responden yang menjawab tidak ada satupun partai politik yang menentang praktik korupsi dalam pengelolaan SDA. Di lain sisi, masyarakat terbuka untuk mengategorikan partai politik yang dinilai melakukan korupsi dalam pengelolaan SDA. Dan 28% responden menyebutkan Partai Demokrat merupakan partai yang paling kuat diduga melakukan praktik korupsi pengelolaan SDA (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Partai Politik dan Korupsi Pengelolaan SDA
13
Hasil survey menunjukkan bahwa 52.7% responden tidak akan memilih apabila terdapat bukti praktik korupsi oleh partai politik, baik secara perorangan maupun kelembagaan, 37.1% responden yang tidak akan memilih partai politik yang diduga melakukan praktik korupsi pengelolaan meski baru sebatas isu, dan hanya 10.1% yang tetap akan memilih partai politik yang diduga melakukan korupsi pengelolaan SDA karena hal tersebut sulit untuk dibuktikan (lihat Grafik 9). Grafik 9. Sikap Politik Masyarakat Terhadap Partai Politik yang Diduga Melakukan Korupsi SDA
Tidak akan memilih apabila terbukti; 52,7
Tidak akan memilih meski baru isu; 37,1
14
Menjelang berlangsungnya agenda politik tahun 2014 dan fakta berlanjutnya kerusakan lingkungan di Indonesia, responden menyatakan bahwa pemimpin nasional yang akan datang perlu secara serius menangani isu kerusakan lingkungan (95.7%) (lihat Grafik 10).
Grafik 10. Perlunya Keseriusan Pemimpin Nasional dalam Menangani Isu Kerusakan Lingkungan Tidak; 4,3
Ya; 95,7
Lebih lanjut, hasil survey menunjukkan adanya perhatian masyarakat yang kuat terhadap perlunya keseriusan dalam penanganan isu kerusakan lingkungan. Responden dalam survey ini bahkan menganggap penanganan isu kerusakan lingkungan sama pentingnya dengan menjaga pertumbuhan ekonomi (92.7%)
Grafik 11. Penanganan Isu Kerusakan Lingkungan Sama Pentingnya dengan Menjaga Pertumbuhan Ekonomi Tidak; 7,3
Ya; 92,7
(lihak Grafik 11).
15
Ketika diajak melihat lebih jauh terkait agenda kerja pemerintahan yang terbentuk pasca Pemilu 2014 nanti, responden juga memberikan indikasi keinginan yang kuat agar pemberantasan korupsi sektor SDA menjadi salah satu prioritas. Tabel 3. Isu yang perlu menjadi Prioritas Agenda Kerja Pemerintah Pasca Pemilu 2014
Aspek Isu Yang Perlu menjadi Prioritas
Ya (%)
Tidak (%)
Pemberantasan korupsi sektor sumberdaya alam
98.0
2.0
Ketersediaan BBM dan LPG
96.0
4.0
Penanganan kelangkaan air
88.3
11.7
Penyediaan bahan pangan pokok dengan harga terjangkau
96.1
3.9
Peningkatan sumber pangan dari laut
83.1
16.9
16
17