1. Abangan Kejawen adalah Seperti halnya masyarakat daerah lainnya di Indonesia, masyarakat Jawa juga menganut beragam agama. Untuk agama Islam terdapat dua golongan yaitu penganut murni dan Kejawen atau Abangan. Perbedaannya adalah jika penganut murni maka mereka akan menjalankan kehidupannya berdasarkan tuntunan dalam agama secara murni, sedangkan golongan Kejawen atau Abangan tidak begitu mengutamakan tuntunan dalam agama tersebut, tapi dalam kehidupannya masih menerpakan berbagai ritual Jawa seperti selamatan, ngirim, sesajen, dan sebagainya. Soeharto merupalan penganut Abangan Kejawen. Dalam kehidupannya, Soeharto tak lepas dari nilai-nilai filosofi Jawa. Ia memang terlahir dari lingkup tradisi Jawa yang sangat kental. Laku prihatin berupa puasa dan semedi biasa ia lakoni. Berkaitan itu masyarakat, khususnya di Jawa, selalu mengaitkan mantan penguasa Orde Baru tersebut dengan dunia mistik. Adalah sang ibu, Sukirah yang berperan besar menorehkan ajaran kejawen. Konon, setelah melahirkan Soeharto, Sukirah sempat menghilang selama 40 hari lamanya. Tak adayang tahu ke mana dia pergi. Setelah pulang ia mengaku bertapa untuk masa depan anaknya yang baru dilahirkannya itu. Saat menjadi presiden, filosofi itu tidak ia tanggalkan. Ia menjalankan kepemimpinannya berdasar tradisi Jawa. Salah satu ciri utama filosofi Jawa yang benar-benar dihayati Soeharto adalah penghormatan terhadap harmoni dan keselarasan hubungan antara manusia dan alam semesta. Dalam menjaga harmonisasi dengan alam, banyak sekali upacara yang dipertahankan oleh Soeharto. Bukan hanya dalam kehidupan pribadi dan keluarga Soeharto melaksanakan upacara-upacara kejawen seperti selamatan, upacara tradisional, baik pada upacara kelahiran, ulang tahun, pernikahan,
maupun
acara
kematian.
Dalam
menjalankan roda pemerintahan
yang
dipimpinnya selama tiga dekade, ia juga menerapkannya. Untuk kepentingan dan momen apapun upacara itu dilaksanakan, terdapat satu prinsip utama yang diyakini Soeharto, yaitu harmonisasi. Dalam konteks kekuasaan, istilah harmonisasi yang dipahami Soeharto sebenarnya tidak berkonotasi pada keselarasan dan kebijaksanaan, melainkan lebih bernuansa pada tindakantindakan mempertahankan kekuasaan meskipun harus menempuh jalan kekerasan.
Harmonisasi dalam kosa kata pemerintahan Orde Baru juga bermakna penertiban, pendisiplinan, pencekalan dan pembredelan, penculikan, bahkan pembunuhan. Itulah mengapa,
upacara-upacara
kejawen
yang
dilakukan
Soeharto
bagi
kelangsungan
kekuasaannya jauh dari nuansa keluhuran dan keadiluhungan budaya, tapi lebih bersifat magis-metafisis-pragmatis. Ritual mistis yang dijalani Soeharto adalah bersemedi atau bertapa di tempat-tempat keramat atau wingit. Tak hanya bertapa di tempat keramat, Soeharto sering melakukan ritual berendam diri dalam air atau dalam kepercayaan Jawa disebut tapa kungkum. Tapa kungkum itu dilakukan Soeharto sejak muda bahkan ketika sudah menjabat presiden. Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0801/12/nas06.htm
2. Sejarah Soeharto menjadi Presiden RI Soekarno atau Bung Karno dan Bung Hatta merupakan proklamator dan pendiri bangsa yang sangat dicintai oleh rakyat Indonesia. Tetapi kepemimpinan Bung Karno ternyata tidak selamanya mulus. Duet antara duo proklamator RI harus berakhir karena Bung Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi wakil presiden. Pengunduran diri tersebut disinyalir akibat ketidakcocokan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Selain itu kepercayaan Bung Karno terhadap ideologi Nasakomnya yang membuat beliau dekat dengan orang-orang PKI menjadikannya sebagai seorang yang mulai dibenci oleh masyarakat. Lebih jauh hal, itu juga menjadi senjata ampuh bagi lawan-lawan politiknya, yaitu Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Darat, untuk melengserkan kekuasaan Soekarno dari kursi kepresidenan. Meskipun berdasar TAP No III/ MPRS/63 beliau telah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Peristiwa G 30 S Sebagai Titik Balik Kepemimpinan Bung Karno. Untuk kasus Presiden Soekarno sendiri, ia lengser karena peristiwa Gerakan 30 September 1965, dimana pada saat itu terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa jendral. Secara de facto peristiwa G 30 S adalah titik balik kepemimpinan Soekarno. Terlepas dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa tersebut, yang jelas G 30 S telah membuat Presiden Soekarno kehilangan harkat dan martabatnya di depan rakyat. Rakyat pada saat itu telah kehilangan kepercayaan. Sikapnya yang cenderung otoriter dan memberi angin segar kepada kaum kiri membuat rakyat semakin meninggalkannya. Ia
bahkan mengatakan bahwa peristiwa 1 Oktober 1945 merupakan riak kecil dalam gelombang yang besar. Ia menolak tuduhan bahwa PKI terlibat dalam peristiwa itu dan terus mempropagandakan Nasakom. Kesalahan terbesar lain yang dilakukan Presiden Soekarno menurut Mudjanto (1989) adalah keputusannya mereshuffle Kabinet Dwikora pada tanggal 21 Februari 1966, dimana reshuffle tersebut tidak sesuai dengan Tritura yang disuarakan mahasiswa. Hal itu dikeranakan dalam reshuffle tersebut Presiden Soekarno menyingkirkan Jendral Nasution yang oleh rakyat begitu dihormati dan dianggap sebagai simbol anti komunis. Di sisi lain beliau justru memasukkan orang-orang yang di indikasi PKI atau pro PKI justru dimasukkan ke dalam kabinet. Sehingga kabinet ini semakin memperbesar kekecewaan rakyat terhadap presiden. Sesungguhnya Presiden Soekarno dan Nasution sudah lama berbeda haluan. Nasution mengharapkan bahwa ABRI juga memiliki kekuasaan dalam bidang politik hingga bisnis. Namun Presiden Soekarno tidak menginginkan adanya dwifungsi ABRI. Akibat keinginannya yang ditentang Soekarno maka pada tahun 1952 Jendral Nasution bersama anak buahnya melakukan kudeta dengan mengarahkan meriam ke arah istana. Namun kudeta tersebut gagal. Supersemar yang akhirnya mengalihkan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto juga disinyalir sebagai rancangan matang dari Nasution-Soeharto Conection. Karena pada dasarnya mereka dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu bagaimana menjatuhkan musuh mereka, Soekarno. Terlepas dari kondisi sosial politik yang carut marut apada saat itu diakui atau tidak, fakta sejarah tahun 1965-1967 yang semakin hari semakin terungkap sedikit demi sedikit sesungguhnya menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah grand strategy atau bahkan dapat dikatakan sebuah konspirasi yang telah direncanakan secara matang dan terstruktur untuk melengserkan kepemimpinan presiden, dalam hal ini adalah presiden Soekarno. Setelah segala upaya yang dilakukan akhirnya Presiden Soeharto menduduki kursi kepresidenan untuk menggantikan Presiden Soekarno karena pidato pertanggungjawabannya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara (9 Pokok UraianI) di tolak MPRS. Beliau kembali melengkapi pertanggungjawaban tersebut pada tanggal 10 Januari 1967, namun surat tersebut tidak memuakan karena dinilai hanya sebuah pengelakan tanggung jawab daripada pertanggungjawaban. Karena alasan-alasan di atas maka pada tanggal 22 Februari 1967 MPRS mengeluarkan TAP XXXIII/MPRS/1967 yang isinya: 1. Mencabut kekuasaan negara dari Presiden Soekarno
2. Melarang Ir. Soekarno melakukan kegiatan politik sampai pemilu yang akan datang. 3. Mentapkan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden Sejak saat itu kepemimpinan orde baru benar-benar berakhir dan secara resmi digantikan oleh orde baru. http://etisetyarini.blog.fisip.uns.ac.id/tag/lengsernya-bung-karno/ 3.
Kesalahan Soeharto untuk Indonesia a. Selama 30 tahun masa kepemimpinan, Soeharto tidak pernah memberi kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Soeharto meminjam uang yang sangat besar dari luar negeri sehingga belum dapat dilunasi hingga saat ini. b. Soeharto yang disebut-sebut sebagai bapak pembangunan, telah menguras sumber daya alam Indonesia. Buktinya, selama 30 tahun ini sumber daya alam yang vital banyak dikuasai pihak asing. Soeharto menguasai kekayaan mencapai Rp 1.600 triliun dan sumbangannya hanya membangun jembatan Semanggi dan Tol Jagorawi. Menurut catatan majalah luar negri kekayaan Soeharto yang tersimpan di bank Swis adalah senilai 25.5 frack Swiss(kurang lebih 250 Triliun rupiah) selain juga ada yang di simpan di london. dalam daftar Schweizter Illlustrierte Soeharto menduduki Peringkat nomer 1 orang terkaya diantaram para diktator ASIA AFRIKA.
http://www.tempo.co/read/news/2012/02/09/078382967/Alasan-Soeharto-Tak-Layak-JadiPahlawan c. SOEHARTO MENIKAM BUNG KARNO DARI BELAKANG Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam kesatuan aksi sempat memenuhi jalan ibukota Jakarta. Dan hal itu dilakukan karena diperintah oleh Soeharto. Bahkan dia juga menyediakan Markas Kostrad di Jl. Maerdeka Timur sebagai posko para mahasiswa. Soeharto memakai para mahasiswa untuk menikam Soekarno dari belakang, dengan dalih menuduh Soekarno termasuk salah satu anggota komunis. d. PEMBUNUHAN MASSAL TAHUN 1965 Penyebabnya karena Soharto telah menyalah gunakan wewenang Supersemar. Pembubaran PKI itu sudah menyangkut wewenang Bung Karno sebagai Presiden, dan bukan sebagai panglima pemulih keamanan. Bung Karno tidak
tega membubarkan waktu itu, oleh karena bung karno tidak rela adanya pertumpahan darah di kalangan bangsa Indonesia.apa lacur? Soeharto mengambil
kebijakan
sendiri,
membubarkan
PKI
Untuk
kemudian
melancarkan pembunuhan massal secara beruntun dimana-mana terutama di pulau jawa dan bali. ratusan ribu orang sipil tewas terbantai oleh senjata rezim Soeharto. e. SOEHARTO BERKUASA MELEBIHI RAJA. Praktek-Praktek Orde lama, yang dulu di kutuk
oleh Soeharto, Justru
dilakukan oleh soeharto sendiri dengan rezimnya lebih parah lagi.lebih kejam dan lebih sadis, lebih leluasa tanpa kontrol dengan tindakan represif bertangan besi. Negara hukum telah lenyap menjadi negara kekuasaan mutlak.
4. Cara yang dilakukan untuk menjatuhkan Soeharto Jika saya adalah karyawan Telkom pada tahun 1994 dan ingin menjatuhkan rezim Soeharto, maka hal pertama yang saya lakukan adalah memanfaatkan kedudukan saya sebagai karyawan telkom dengan mengumpulkan informasi. Pada tahun 1994, telepon rumah merupakan alat komunikasi utama, semua informasi percakapan dan komunikasi Soeharto dapat diperoleh dengan cara menyadap atau memata-matai. Hal ini merupakan suatu keuntungan besar karena dapat mengetahui segala rencana Soeharto. Selain itu juga dapat ditelusuri siapa saja sekutu dan sosok dobalik kekuasaan Sorharto. Kemudian saya akan bergabung dengan komunitas yang sepahan dengan saya yang juga ingin menjatuhkan Soeharto dari kursi kepemimpinan, terutama mahasiswa, karena saat ini mahasiswa merupakan golongan muda yang dapat menyuarakan aspirasinya secara lantang dan berani. Disamping itu, saya akan mengumpulkan bukti bukti atau data kesalahan Soeharto sehingga hal ini dapat menambah semnagat para mahasiswa untuk menggulingkan rezim Soeharto.
ATTACHMENT
The question that should have been addressed to the director of BAKIN/BIN 1. When someone printed lots of fake IDR between 1996-1998? 2. When Soros began ruining baht in June 1997? 3. When someone started shooting students at Semanggi amid crowds of angry Jakartans? 4. When angry mobs ran amok and rioted in Jakarta and Bekasi? Why did it fail to mobilize gangs of Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, Satpol PP to confront the rioters? 5. Last but not least, why did Haji Muhammad quit so easily after Clinton had hung up his phone at the Oval Office? Answer for all question above is: In a book written by David Jenkis , a veteran Australian journalist stationed in Indonesia in 1969-1970 ( Melbourne Herald ) and 1976-1980 ( Far Eastern Economic Review ) and the last in 1985 as foreign editor of the Sydney Morning Herald illustrates the political elite Indonesia in those days was almost entirely composed of the generals . But to become a member of the elite , it is not enough just to be a general course . The generals also need to have a close personal relationship with Suharto and his family . Of course all come from Force '45 which is a freedom fighter . Many members of the Force '45 is pretty important positions and enjoy the wealth that was distributed to all the supporters of the Suharto regime . But of course not all the freedom fighters of the Forces of '45 could be especially members of the political elite in the " core group " . The longer many military officers and civilian politicians be disappointed with the Suharto regime , because all the important political offices monopolized by people close to the President personally . The generals were less satisfied often nicknamed " Front Hurt " . Among them may be jealous because they feel more meritorious than in part members of the " core group " is , or has not received the expected material rewards Also described a fight between the " core group " that is very loyal to President Soeharto and retired among critics increasingly disappointed by the Soeharto government . Competition the generals in 1973 is clear and visible on the political tensions peaked in January 1974 in Jakarta riots known as the " Event Malari " (
Catastrophe Fifteen January ) . The event is associated with the competition between the maid Soeharto himself in " the group " . Competition between Kopkamtib Commander , General Soemitro , joint head of BAKIN , Lt. Sutopo inteljen Sudarsono with an officer , Lt. Gen. Ali Murtopo , who have for years became a close friend of Suharto . As a result, " the group ; split , Soemitro and Soetopo Sudarsono expelled from the core group .
These events led to the early 1980s BAKIN experienced setbacks following a significant change in the organizational structure , especially in the leadership echelons . The existence and growing influence faded after 1983 Leonardus Benny Murdani then served as Commander of the Armed Forces ( Indonesian Armed Forces ) to form the Strategic Intelligence Agency ( Bais ) which is a military intelligence agency to absorb the power of the intelligence network of Kopkamtib and oversees all elements of military intelligence ( ABRI ) and all defense attaches ( Athan ) abroad. Nevertheless , Bais glory is above the wind against BAKIN not without end . Eleven years after his birth, precisely in 1994 , President Soeharto has mengkerdilkan Bais become BIA ( Military Intelligence Agency) following a decision to dismiss Defense Minister Benny Murdani of positions with a view to reducing the influence of the former minister of intelligence , especially in the environment . Then President Suharto also appointed Lt. Moetojib as BAKIN helm holder , which is above the Bais institution that has been summarized into BIA . The appointment of Lt. Moetojib become head BAKIN intended to weaken the threats to the continuity of power of President Suharto . However , the fall of the Suharto regime was inevitable . Dalam buku yang ditulis David Jenkis, seorang wartawan kawakan Australia yang ditempatkan di Indonesia pada tahun 1969-1970 (Melbourne Herald) dan tahun 19761980 (far Eastern Economic Review) dan terakhir pada tahun 1985 sebagai editor luar negeri Sydney Morning Herald menggambarkan elit politik Indonesia pada zaman tersebut hampir seluruhnya terdiri dari para jenderal. Tetapi untuk menjadi anggota elit itu, tidak cukup hanya dengan menjadi jenderal saja. Jenderal-jenderal itu juga perlu mempunyai hubungan pribadi yang dekat sekali dengan Soeharto dan keluarganya. Sudah tentu semua berasal dari Angkatan ’45 yang merupakan pejuang kemerdekaan. Banyak anggota Angkatan ’45 menduduki jabatan yang cukup penting
dan menikmati kekayaan yang dibagi-bagikan kepada semua pendukung rezim Soeharto.
Namun sudah tentu tidak semua pejuang kemerdekaan dari Angkatan ’45 bisa menjadi anggota elit politik apalagi masuk dalam ”kelompok inti”. Semakin lama banyak perwira ABRI maupun politikus sipil menjadi kecewa dengan rezim Soeharto, karena semua jabatan politik penting dimonopoli oleh orang dekat secara pribadi dengan Presiden. Para jenderal yang kurang puas sering dijuluki ”Barisan Sakit hati”. Diantara mereka mungkin iri hati karena merasa lebih berjasa daripada sebagaian anggota ”kelompok inti”itu, atau belum mendapat imbalan materi yang diharapkan Juga digambarkan pertarungan antara ”kelompok inti” yang sangat setia kepada Presiden Soeharto dan para pengkritik dikalangan purnawirawan yang semakin kecewa dengan pemerintahan Soeharto. Persaingan para jenderal itu pada tahun 1973 terlihat jelas nampak pada ketegangan politik dan mencapai puncaknya pada Januari 1974 dalam kerusuhan di Jakarta yang dikenal sebagai ”Peristiwa Malari” (Malapetaka Limabelas Januari). Peristiwa itu dikaitkan dengan persaingan antara pembantu Soeharto sendiri di ”kelompok dalam”. Persaingan antara Panglima Kopkamtib, Jenderal Soemitro, bersama ketua BAKIN, Letjen Sutopo Juwono dengan seorang perwira inteljen, Letjen Ali Murtopo, yang sudah bertahun-tahun menjadi kawan akrab Soeharto. Akibatnya ”kelompok dalam; terpecah, Soemitro dan Soetopo Juwono diusir dari kelompok inti.
Peristiwa ini menyebabkan pada awal 1980-an BAKIN justru mengalami kemunduran menyusul terjadinya perubahan yang signifikan dalam struktur organisasinya khususnya pada eselon pimpinan. Keberadaan dan pengaruhnya semakin pudar setelah pada tahun 1983 Leonardus Benny Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) membentuk Badan Intelijen Strategis (Bais) yang merupakan badan intelijen militer yang menyerap kekuatan jaringan intelijen dari Kopkamtib dan membawahi semua unsur intelijen militer (ABRI) beserta semua atase pertahanan (Athan) di luar negeri. Namun demikian, kejayaan Bais yang berada diatas angin terhadap Bakin bukanlah tanpa
akhir. Sebelas tahun setelah kelahirannya, yaitu tepatnya pada 1994, Presiden Soeharto telah mengkerdilkan Bais menjadi BIA (Badan Intelijen ABRI) menyusul keputusannya memberhentikan Benny Moerdani dari jabatan Menhankam dengan maksud untuk mengurangi pengaruh mantan menterinya itu khususnya dilingkungan intelijen. Kemudian Presiden Soeharto juga menunjuk Letjen Moetojib sebagai pemegang pucuk pimpinan Bakin, yang secara institusi berada diatas Bais yang telah diringkaskan menjadi BIA. Penunjukan Letjen Moetojib menjadi kepala BAKIN dimaksudkan
untuk
melemahkan
ancaman-ancaman
terhadap
kelanggengan
kekuasaan Presiden Soeharto. Walau demikian, kejatuhan rezim Soeharto tak dapat dielakkan.