IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG DALAM UNDANG– UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : BAYU PRAKOSO NIM. E0005117
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
ii
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
ii
iii
iv
PERNYATAAN
Nama : BAYU PRAKOSO NIM : E0005117 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: “IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG DALAM UNDANG– UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 30 Juli 2012 Yang membuat pernyataan,
BAYU PRAKOSO NIM. E0005117
v
MOTTO “Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka Apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Q.S. Al Insyirah: 5-7)
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadilah ayat 11)
“… Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia amat baik bagi kalian dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagi kalian, Allah maha mengetahui sedang kalian tidak mengetahui” (Q.S. Al Baqarah : 216)
“Sesungguhnya tak seorangpun dilahirkan berilmu. Ilmu diperoleh dengan belajar” (H.R. Ibnu Mas’ud, r.a)
vi
PERSEMBAHAN Karya ini akan senantiasa penulis persembahkan Kepada Rabb alam semesta, Allah SWT penguasa langit dan bumi yang mengatur seluruh makhluk-Nya Aku memuji-Nya atas segala karunia yang diberikan-Nya Aku memohon tambahan karunia dan kemudahan dari-Nya Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa illa ha illallah wallahu akbar Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah
Baginda Rosulullah, Muhammad SAW, Beliau adalah sebaik-baik makhluk yang menjadi suri tauladan Semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada beliau, keluarga beliau, sahabat beliau serta pengikut beliau yang istiqomah
Kepada bapak dan ibu atas semua doa-doa yang tiada henti terucap yang dengan ketulusan hati mendidik dan menyayangi penulis yang dengan segala pengorbanannya sampai kapan pun takkan mampumembalasnya yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya dengan caranya Ya Allah sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku kecil Berikanlah mereka kebahagiaan dunia mapun akherat Kepada kakak-kakak dan adik penulis yang senantiasa menjadi motivator bagi penulis Yang dengan canda dan tawa mereka mampu menghilangkan kelelahan ini Semoga Allah senantiasa meridhai cita-cita kita baik dunia maupun akherat Kepada keluarga besar dan sahabat penulis yang selalu memberikan doa dan semangat untuk penulis Kepada almamater... Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
vii
ABSTRAK Bayu Prakoso, E0005117, 2012 IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG DALAM UNDANG– UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD. Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan mengkaji permasalahan mengenai bagaimana pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya, dan bagaimana implikasi pelaksanaan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal daerah konstituen apabila terpilih nantinya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis interaktif (reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada Bab III yang mengacu pada rumusan masalah, maka dapat dikemukakan sebagai berikut: Dalam mekanisme pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang mencalonkan diri di daerah yang bukan dari tempat asalnya atau konstituennya, diatur juga didalam Pasal 51 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun apabila terpilih anggota DPRD Kabupaten tersebut dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dimana masyarakat yang terus berkembang, menenutut anggota DPRD Kabupaten yang kompeten dan akuntabel, untuk mewujudkan check and balances antara wakil rakyat dengan wakil rakyat.
viii
ABSTRACT Bayu Prakoso, E0005117, 2012 IMPLICATIONS NOMINATION PARLIAMENT DISTRICT MEMBER DID NOT COME FROM THE REGION OF THE REVISED CONSTITUENT’S, BE REVIEWED FROM POWERS AND DUTIES IN LAW NUMBER 27 OF 2009 CONCERNING MPR, DPR, DPD, and PARLIAMENT. Faculty of Law Sebelas Maret Surakarta. This study aims to examine the problem of how the nomination of members of local parliament who did not come from the constituents, and how the implications of the implementation of the duties and authority of the district parliament member who is elected from the constituency. This study is a kind of normative research is descriptive. The type of data used are secondary data, including primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. Data collection techniques used is the study of engineering documents with interactive analysis (data reduction, presentation of data, and drawing conclusions). Based on the results of research and discussion that has been the writer explained in Chapter III, which refers to the formulation of the problem, then it can be stated as follows: In the nomination mechanism legislators who ran for the District in an area that is not from the place of origin or its constituents, are also regulated in Article 51 paragraph (1) letter c of Law No. 8 Year 2012 on Elections for the DPR, DPD, and the Parliament. However, if the elected members of local parliament can perform tasks and responsibilities in accordance with Law Number 27 Year 2009 on the MPR, DPR, DPD, and the Parliament. Where the community is growing, demands local parliament members who are competent and accountable, to create checks and balances between the representatives of the people with the representatives of the people.
ix
KATA PENGANTAR Alhamdullilahirrabil’alamin. Segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Engkau. Dengan mengharap penuh keridhaan-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN YANG TIDAK BERASAL DARI DAERAH KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS DAN
WEWENANGDALAM
UNDANG–UNDANG
NOMOR
27
TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD” dengan baik, Sholawat
serta
salam
semoga
selalu
tercurah
kepada
Rasulullah
SAW,keluarga, para sahabat, dan seluruh pengikutnya terkasih hingga suatu hari yangtelah Allah SWT janjikan. Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syaratsyarat guna memperoleh derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak permasalahan dan hambatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang penulis alami dalam menyusun penulisan hukum ini, akhirnya selesai juga berkat bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak baik materiil maupun non-materiil. Oleh karena itu dengan ketulusan hati dan ketulusan yang mendalam, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2. Ibu M. Madalina, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Bapak Sunarno Danusastro, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I dalam penulisan hukum (skripsi) penulis, yang penuh kesabaran memberikan arahan, bantuan serta meluangkan waktu beliau demi keberhasilan penyusunan skripsi ini;
x
4. Ibu Aminah, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II dalam penulisan hukum (skripsi) penulis yang yang penuh kesabaranmemberikan arahan, bantuan serta meluangkan waktu beliau demikeberhasilan penyusunan skripsi ini; 5. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik (PA) selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; 6. Bapak dan Ibu Dosen serta staff karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu; 7. Bapak, Ibu, dan Adik (Alm) penulis, atas segala doa yang tiada henti terucap, kasihsayang serta dukungan yang tak ternilai; 8. Buat Istri dan Anaku tercinta terima kasih atassemangat, kesabaran dan kasih sayang.. 9. Sahabat: Agung, Baim, Ghandi , Arip, Danang, Lilik, Rieant, Simon, Rio, Hayek, Topik, Giman, Kambing, Nano, terima kasih atas dukungan, bantuan dan kebersamaannya selama ini; 10. Seluruh rekan-rekan di Dclan, Sonic, Dragon 11. Seluruh teman-teman angkatan 2005,2006,2007,2008 yang tidak dapat disebutkan satupersatu; 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun penulisan hukum (skripsi) ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, oleh karenanya penulis menyadari ketidaksempurnaan dalam karya ini. Namun penulis berharap dari karya yang tidak sempurna ini tetap dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi setiap orang yang membacanya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.Terimakasih. Surakarta, Juli 2012
Penulis
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................
v
HALAMAN MOTTO ..........................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ..........................................................................
vii
ABSTRAK ............................................................................................................
viii
KATA PENGANTAR..........................................................................................
x
DAFTAR ISI.........................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
3
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ..................................................................
5
E. Metode Penelitian .................................................................
6
F. Sistematika Penulisan Hukum..... ..........................................
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori .............................................................................
11
1. Tinjauan Umum Mengenai Negara Hukum....................
11
2. Tinjauan
Umum
Mengenai
Kedudukan
DPRD
Kabupaten dalam Sistem Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia (NKRI) .............................................
17
3. Tinjauan tentang Demokrasi ............................................
22
4. Tinjauan umum tentang Partai Politik (Parpol) ..............
34
5. Tinjauan Umum tentang Pemilu Legislatif .....................
39
B. Kerangka Pemikiran................................................................
50
xii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Mekanisme Pencalonan Anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah Konstiuen ......................................
53
1. Persyaratan Bakal Calon.. ................................................
53
2. Pendaftaran Bakal Calon ..................................................
57
3. Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon
DPRD Kabupaten/Kota ....................................................
58
4. Penyusunan Daftar Calon Sementar ................................
60
5. Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap ..........
60
B. Pelaksananan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ...................................
62
1. Kewenangan DPRD Kabupaten dalam menjalankan Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan .......................................................................
62
2. Implikasi pelaksanaan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tiak berasal dari daerah Konstituen .........................................................................
65
A. Kesimpulan ..............................................................................
70
B. Saran ........................................................................................
71
BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar IAlur Pemikiran .........................................................................
9
2. Gambar II Kerangka Berpikir....................................................... ........
50
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hampir semua negara di dunia menyatakan pemerintahannya berdasarkan
demokrasi.
Dimana
demokrasi
diyakini
mampu
mengantarkan rakyatnya pada kehidupan yang lebih baik. Selain itu, demokrasi juga dapat dipahami sebagai suatu sistem pemerintahan dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dimana sistem ini juga dapat dikenal dengan pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seperti halnya pendapat dari Moh. Yamin, bahwa negara demokrasi menempatkan rakyat pada posisi sangat penting, karena didalam suatu negara, rakyatlah yang memegang kedaulatan. (Moh.Yamin,1954:56), Untuk mencapai kedaulatan rakyat tersebut, dapat dilaksanakan dengan melalui sistem perwakilan. Dimana sistem perwakilan tersebut, diwujudkan dengan menempatkan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Di Indonesia sendiri lembaga perwakilan rakyat terdiri atas MPR, DPR, dan DPD yang berada di tingkat pusat, DPRD yang berada di tingkat provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dimana nantinya wakil-wakil rakyat tersebut harus bertindak atas nama rakyat. Salah satu bentuk perwujudan demokrasi adalah dengan diadakannya Pemilihan Umum (pemilu) yang dilakukan secara berkala dalam waktu-waktu tertentu. Hal ini diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Salah satunya adalah pemilihan wakil-wakil rakyat yang akan menduduki kursi di parlemen. Menurut Jimly Asshiddiqie (2009:415), pentingnya pemilu untuk diselenggarakan secara berkala dikarenakan oleh beberapa sebab;
1
1
1. Pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam jangka waktu tertentu, dapat saja terjadi bahwa sebagian besar rakyat berubah pendapatnya mengenai suatu kebijakan negara. 2. Disamping pendapat rakyat dapat berubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat berubah, baik karena dinamika internasional ataupun karena faktor dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun faktor eksternal manusia. 3. Perubahan-perubahan aspirasi pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka terutama para pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula, belum tentu mempunyai sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Lagi pula, 4. Pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara baik di cabang eksekutif maupun legislatif. (Jimly Asshiddiqie, 2009: 415) Pada hakikatnya sistem pemilu dibuat dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, sehingga konsepsi dalam sistem pemilu yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan dan segala
proses
teknis pelaksanaanya pun harus berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi tersebut. Dalam
demokrasi
perwakilan,
kualitas
demokrasi
sangat
ditentukan oleh sejauh mana ditaatinya prinsip-prinsip demokrasi dalam mekanisme penentuan wakil rakyat. Yang nantinya wakil-wakil rakyat yang telah dipilih tersebut, dapat menunjukkan akuntabilitasnya sebagai wakil rakyat yang duduk di parlemen. Akuntabilitas wakil rakyat, dapat dilihat dalam setiap keputusan atau kebijakan, apakah keputusan atau kebijakan tersebut dapat mencerminkan aspirasi rakyat atau tidak. Wakil rakyat bisa dikatakan akuntabel apabila memiliki hubungan kesalingan dengan masyarakat yang diwakilinya, artinya 1. Dia mampu bertindak demi sekelompok warga negara yang diwakilinya, dan
2
2. Yang diwakilinya mempunyai kemampuan untuk memberi sanksi atau imbalan atas kinerjanya. (Haryatmoko 2009:169) Namun pada kenyataannya, akuntabilitas wakil-wakil rakyat yang telah dipilih oleh konstituen dalam menjalankan tugasnya masih dipertanyakan. Hal ini disebabkan, oleh masyarakat yang bersifat dinamis, sehingga
mengakibatkan timbulnya permasalahan atau
dinamika antara rakyat dengan pemerintah. Apabila hal ini tidak diikuti dengan kecakapan wakil-wakil rakyat dalam menyikapi permasalahanpermasalahan yang timbul tersebut, padahal diketahui bahwa wakil rakyat adalah penyalur aspirasi rakyat. Banyak faktor yang menyebabkan permasalahan tersebut, salah satunya adalah faktor domisili dari wakil rakyat. Wakil rakyat yang tidak berdomisili atau berasal dari daerah konstituennya, tentu saja tidak dapat secara cepat dan tepat dalam menanggapi suatu permasalahan antara rakyat dengan pemerintah. Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menyusun menjadi sebuah skripsi dengan judul ”IMPLIKASI PENCALONAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN
YANG
TIDAK
BERASAL
DARI
DAERAH
KONSTITUEN DITINJAU DARI TUGAS DAN WEWENANG DALAM
UNDANG–UNDANG
NOMOR
27
TAHUN
2009
TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD”
B.
Perumusan Masalah Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, sehingga memberikan kemudahan dalam mencapai sasaran yang akan dicapai. Mengacu pada latar belakang yang telah di uraikan diaatas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya?
3
2. Bagaimana pelaksananan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan target yang ingin dicapai sebagai solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Berangkat dari permasalahan diatas maka penulis menetapkan tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui bagaimana pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya b. Untuk mengetahui bagaimana pelaksananan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD 2. Tujuan Subyektif a. Sebagai
sarana
untuk
pengetahuan, wawasan
meningkatkan dan
kualitas
pemahaman penulis
mengenai pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituenya dan didalam menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. b. Untuk memperoleh data-data yang relevan, lengkap dan jelas sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum, guna memenuhi syarat untuk menperoleh gelar
4
kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan mengenai pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituenya dan didalam menjalankan tugas dan wewenangnya. c. Hasil penelitian ini dapat dipake sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis. 2. Manfaat Praktis a. Hasil
penelitian
sumbangan
diharapkan
pemikiran
dan
dapat masukan
memberikan bagi
para
pengambil kebijakan terkait penataan, pengembangan, dan pemantapan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. b. Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran bagi para pengambil kebijakan akan tugas dan tanggung jawabnya dalam melindungi hak-hak politik dan memberikan edukasi politik kepada rakyat. c. Hasil
penelitian
diharapkan
dapatmeningkatkan
kesadaran kritis masyarakat akan hak-hak politiknya.
5
E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah jalan yang dilakukan adalah berupa serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten untuk memperoleh data secara lengkap dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Penelitian hukum merupakan suatu proses intuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. (Peter Mahmud, 2006:35)
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian doktrinal atau juga disebut penelitian hukum normatif. Penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat perspektif bukan deskriptif. (Peter Mahmud, 2006:33) Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang disusun secara sistematis, kemudian ditarik suatu kesimpulan (Soerjono Soekanto, 2006:15)
2. Sifat Penelitian Menurut Soerjono Soekanto penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berupaya memberikan gambaran secara lengkap dan jelas mengenai obyek penelitian, dapat berupa manusia atau gejala dan fenomena sosial tertentu (Soerjono Soekanto 2006: 10). Berdasarkan pengertian tersebut maka penelitian ini termasuk penelitian deskritif kerena penelitian ini dimaksudkan
6
untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh.
3. Pendekatan Penelitian Jenis pendekatan penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah
yang
merupakan deskriptif
diteliti.
Selanjutnya
pendekatan
analitis
menguraikan
secara
suatu
pendekatan
yang
dengan
menelaah,
menjelaskan,
memaparkan,
menggambarkan, serta menganalisis permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
4. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu informasi dari hasil penelaahan dokumen, bahan kepustakaan seperti buku-buku, koran, majalah, jurnaljurnal, kamus hukum, komentar-komentar, arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan seperti UUD 1945, peraturan perundangan lainnya yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah
7
yang diteliti seperti putusan dan tulisan-tulisan ilmiah, sumbersumber tertulis lainnya
5. Sumber Data Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (normatif), sehingga bahan dari penelitian ini adalah data-data hukum sekunder. Data sekunder dibidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dibedakan menjadi tiga, yaitu : a. Bahan hukum primer: 1) Undang-Undang Dasar 1945 2) Ketetapan MPR 3) Peraturan Perundang-undangan. b. Bahan hukum sekunder terdiridari buku-buku referensi, jurnal-jurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas tentang pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstiuennya dalam menjalankan tugas dan kewenangan. c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari internet, ensiklopedia, kamus hukum (Soerjono Soekanto, 2001:13) Dalam hal ini penulis mengunakan sumber data berupa bahan hukum Primer, Sekunder maupun Tersier.
6. Teknik analisis data Untuk menganalisa data yang telah dikumpulkan dari telaah pustaka, maka teknik analisisnya dilakukan dengen menggunakan model analisis interaktif (Miller dan Huberman dalam HB Sutopo, 2000 : 186)
8
Dalam Model analisis ini, tiga komponen analisisnya yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan. Dalam melaksanakan proses analisis data ini, peneliti aktif diantara komponen analisis dengan pengumpulan datanya selama proses pengumpulan data masih berlangsung. Peneliti hanya aktif diantra tiga komponen analisis tersebut, sesudah pengumpulan data selesai pada setiap unitnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa dalam penelitian ini. Pengumpulan Data
Sajian Data
Reduksi Data Penarikan Simpulan
Gambar I : Alur pemikiran
F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam bagian ini, Penulis mensistematiskan bagian-bagian yang akan dibahas menjadi beberapa bab yang diusahakan dapat berkaitan dan lebih tersistematis, terarah dan mudah dimengerti, sehingga saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh Sistematika penulisan yang dimaksud sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah yang akan ditulis, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan mencakup kajian pustaka berkaitan dengan
judul 9
dan
masalah
yang
diteliti
yang
memberikan landasan teori serta diuraikan mengenai kerangka pemikiran yaitu berupa Tinjauan Umum Pertama Mengenai Negara Hukum yang meliputi; Pengertian Negara Hukum, Ciri-ciri negara Hukum, dan Macam-macam Tipe Negara Hukum, Tinjauan umum
Kedua
mengenai
kedudukan
DPRD
Kabupaten dalam sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia (NKRI) yang meliputi : pendapat para ahli tentang kedudukan DPRD Kabupaten di Indonesia,
Tinjauan
Umum
Ketiga
tentang
Demokrasi yang meliputi: Sejarah dan pengertian Demokrasi, Teori Kedaulatan Rakyat, Tinjauan umum Kempat tentang Partai Politik (Parpol) yang meliputi; Pengertian Parpol, Fungsi Parpol, Kelemahan Parpol, Parpol dan Pelembagaan Demokrasi, Tinjauan Umum Kelima tentang Pemilu Legislatif yang meliputi; Pengertian pemiliu, Sistem Pemilu Legislatif, Komponen Pemiliu Legislatif BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini berisi hasil dari penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan 1. Pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya 2. Implikasi tugas dan wewenang anggota DPRD yang tidak berasal dari daerah konstituen sesuai Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
BAB IV
: PENUTUP Berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Tinjauan Umum Mengenai Negara Hukum a. Pengertian Negara Hukum Sudargo Gautama sebagaimana dikutip oleh Budiyanto berpendapat bahwa dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan (Sudargo Gautama dalam Budiyanto, 1999: 50). Sehingga sebuah negara tidak maha kuasa dan tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakantindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.
R.
Djokosutono
sebagaimana
dikutip
Budiyanto
berpendapat bahwa negara hukum menurut UUD 1945 adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum (R Djokosutono dalam Budiyanto, 1999: 50-51). Hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut. Negara merupakan subjek hukum dalam arti Rechtstaat (badan hukum publik). Menurut Budiyanto, teori negara hukum secara umum dibagi ke dalam dua jenis, yaitu teori negara hukum formal dan teori negara hukum material. Pertama, teori negara hukum formal, dipelopori oleh Immanuel Kant. Teori mengakibatkan negara bersifat pasif, artinya tugas negara hanya mempertahankan ketertiban dan keamanan negara saja, atau negara hanya sebagai ”penjaga malam”, sedangkan dalam urusan sosial maupun ekonomi, negara tidak boleh mencampurinya. Kedua, teori negara hukum material (welfare state), yang dipelopori oleh Kranenburg. 11 11
Teori ini menyatakan bahwa negara selain bertugas membina ketertiban umum, ia juga ikut bertanggungjawab dalam membina dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Teori ini banyak dipraktekkan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia (Budiyanto, 1999: 51). b. Ciri-ciri Negara Hukum Negara sebagai pencipta dan penegak hukum, maka di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku (due process of law). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pengertian negara hukum adalah negara yang segala kegiatannya dalam rangka penyelenggaraan negara didasarkan pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Menurut Immanuel Kant sebagaimana dikutip Budiyanto, ada empat prinsip yang menjadi ciri negara hukum, yaitu: 1) pengakuan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia; 2) pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia; 3) pemerintahan berdasarkan hukum, dan 4) pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia. (Immanuel Kant dalam Budiyanto, 1999: 51) M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, berpendapat bahwa unsu-runsur negara hukum dapat dilihat pada negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti sempit, pada negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu (M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 156) :
12
1) perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2) pemisahan kekuasaan. Negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain: 1) perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2) pemisahan kekuasaan; 3) setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturaran perundang-undangan; dan 4) adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada dua belas prinsip pokok negara hukum (Rechtstaat), yaitu (Jimly Asshiddiqie, 2006: 154): 1) Supremasi hukum (Supremacy of Law); 2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law); 3) Asas Legalitas (Due Process of Law); 4) Pembatasan Kekuasaan; 5) Organ-Organ Eksekutif Independen; 6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Mahkamah Konstitusi; 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat);
13
11) Berfungsi
sebagai
sarana
Mewujudkan
Tujuan
Bernegara (Welfare Rechtstaat); 12) Transparansi dan Kontrol Sosial. Di Indonesia simposium mengenai negara hukum, yang pernah diadakan pada tahun 1966 di Jakarta yang diselenggarakan oleh PERSAHI sebagimana dikutip oleh M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Menurut simposium ini, alat perlengkapan negara hukum hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturan itu (prinsip the rule of law) (PERSAHI dalam M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 162) Dari berberapa pendapat tersebut, kemudian Ismail Suny sebagaimana dikutip oleh Budiyanto menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip negara hukum adalah sebagai berikut (Ismail Suny dalam Budiyanto, 2003: 53) : 1) Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial dan kebudayaan. Hal ini berdasarkan ketentuan hukum. 2) Peradilan yang bebas, tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan apapun. Artinya, ada
kekuasaan
yang
terlepas
dari
kekuasaan
pemerintah untuk menjamin hak-hak asasi sehingga hakim betul-betul memperoleh putusan yang objektif dalam memutuskan perkara.
14
3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Dengan ini suatu tindakan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam peraturan hukum. Jika ciri-ciri tersebut dikaitkan dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa secara umum Indonesia sudah memenuhi persyaratan sebagai negara hukum dapat terlihat dari Konstitusi Indonesia. Maka dapat dijabarkan sebagai berikut yaitu adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, bisa ditemukan jaminannya di dalam pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, yaitu di dalam Pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar yaitu ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, sedangkan di dalam Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat ditemui dalam Pasal 27 (persamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat), Pasal 29 (kebebasan memeluk agama), Pasal 30 (kewajiban melakukan usaha pertahanan dan keamanan negara), dan Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan pengajaran). Ciri kedua yaitu peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan, dapat dilihat dalam Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ciri selanjutnya mengenai legalitas dalam arti hukum segala bentuknya dan kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law) saling
15
keterkaitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c. Macam-macam Tipe Negara Hukum Antara negara satu dengan lainya memiliki perbedaan negara hukum. Menurut Budiyanto, di dunia ini terdapat dua tipe negara hukum yang berbeda pula, yaitu Tipe Anglo Saxon dan Tipe Eropa Kontinental (Budiyanto, 2003: 52) 1) Tipe Anglo Saxon, tipe ini bertumpu pada the rule of law. Menurut A.V. Dicey, menyatakan the rule of law terbagi ke dalam 3 (tiga) unsur pokok berikut (A.V. Dicey dalam Budiyanto, 1999: 52). a) Supremacy of the law, yaitu hukum memiliki kedudukan yang paling tinggi (kedaulatan hukum), baik penguasa maupun rakyat harus tunduk pada hukum. Ciri khas supremacy of the law adalah (1) hukum berkuasa penuh terhadap negara dan rakyat; (2) negara tidak dapat disalahkan, yang salah adalah pejabat negara; (3) hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh Supreme ofCourt atau Mahkamah Agung b) Equality before the law, yaitu semua warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. c) Constitution based on Human Rights, yaitu adanya jaminan hak-hak asasi warga negara di dalam konstitusi.
16
2) Tipe Eropa Kontinental, pada tipe ini yang berdaulat adalah hukum sehingga hukum memandang negara sebagai subjek hukum yang dapat dituntut apabila melanggar hukum. 2. Tinjauan Umum Mengenai Kedudukan DPRD Kabupaten dalam Sistem Ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Di dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang”. Pemerintah
daerah
provinsi
mempunyai Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, daerah kabupaten memiliki Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (DPRD Kabupaten), dan daerah kota memiliki Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota. Secara lebih khusus, dijelaskan didalam Pasal 18 ayat (3) “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Artinya bahwa di setiap pemerintah daerah kabupaten terdapat DPRD Kabupaten yang bersama-sama dengan Bupati merupakan satu pengertian pemerintah daerah kabupaten. Seperti halnya pengaturan mengenai hubungan antara Gubernur dengan DPRD Provinsi sesuai dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hubungan antara Bupati dengan DPRD Kabupaten juga diatur dengan pola yang sama. (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 309).
17
Berdasarkan pasal 41 Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, DPRD Kabupaten memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Secara umum yang dimaksudkan dengan fungsi legislasi adalah fungsi untuk membuat peraturan daerah. Hal ini ditegaskan dalam pasal 42, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa : a. DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. b. DPRD membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang APBD bersama dengan Kepala daerah. (Haryatmoko, 2009 : 58) Fungsi pembentukan
anggaran racangan
(budgeting) peraturan
dilaksanakan
daerah
tentang
dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diajukan oleh Kepala daerah yang di bahas dan ditetapkan bersama. Sedangkan fungsi pengawasan (control) adalah kewenangan untuk melakukan kontrol dalam tiga hal, yaitu (i) kontrol atas pemerintahan (control of executive), (ii) control atas pengeluaran (control of expenditure), (iii) kontrol
atas
pemungutan
pajak
(control
of
taxation).
(JimlyAsshiddiqie, 2009 : 302) Adapun tugas dan wewenang DPRD Kabupaten sesuai dengan pasal 42 ayat (1) Undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu ; a. Membentuk Perda yang dibahas dengan kepaladaerah untuk mendapatkan persetujuan bersama.
18
b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah. c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan programpembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah. d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/Kota; e. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah; f. Memberikan pemerintah
pendapat dan pertimbangan kepada daerah
terhadap
rencana
perjanjian
internasional di daerah; g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; h. Meminta
laporan
keterangan
pertanggungjawaban
kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan; i.
Dihapus
j. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota dalam k. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. l.
Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. Adapun hak-hak DPRD Kabupaten adalah
a. Hak interpelasi
19
b. Hak angket c. Menyatakan pendapat Sedangkan hak anggota DPRD adalaah a. Mengajukan rancangan PERD b. Mengajukan Pertanyaan c. Menyampaikan usul dan pendapat d. Memilih dah dipilih e. Membela diri f. Imunitas g. Protokoler h. Keuangan dan administratif Secara umum, apa yang berlaku bagi DPRD provinsi berlaku pula bagi DPRD Kabupaten. Misalnya, alat kelengkapan DPRD, diatur didalam pasal 46 ayat (1), yaitu terdiri atas: a. Pimpinan b. Komisi c. Panitia musyawarah d. Panitia anggaran e. Badan kehormatan f. Alat kelengkapan lain yang diperlukan Menurut ketentuan pasal 47, Badan Kehormatan DPRD Kabupaten tersebut dipilih dari dan oleh anggota DPRD Kabupaten dengan
ketentuan,
“untuk
DPRD
Kabupaten
Kota
yang
beranggotakan sampai dengan 34 berjumlah tiga orang dan untuk DPRD yang beranggotakan 35 sampai dengan 45 berjumlah lima
20
orang”. Adapun tugas Badan Kehormatan itu, seperti ditentukan dalam pasal 48 : a. Mengamati, mengawasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPRD dalam rangka menjagamartabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRD b. Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRD serta sumpah/janji. c. Melakukan peyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD, masyarakat dan/atau pemilih. d. Menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verfikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditinjak lanjuti oleh DPRD. (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 310-311) Terkait masalah fraksi, sedikit negara yang mengenal fraksi dalam parlemennya. Di seluruh dunia hanya ada empat negara yang mengenal fraksi di parlemennya yaitu Jerman, Netherland, Leichteinstein, dan Indonesia. Untuk negara-negara yang tidak mengenal sistem fraksi, dikenal adanya whip yang bertugas mengarahkan anggota parpol agar satu suara dengan kebijakan parpolnya dan Caucus. Sistem fraksi sebenarnya berfungsi untuk memudahkan
kerja-kerja
parlemen
dalam
berkoordinasi
menghasilkan keputusan bersama, akan tetapi dalam praktek keparlemenan selama ini, keberadaan fraksi seringkali dipaki sebagi instrument kontrol yang efektif terhadap anggota DPR agar tidak keluar atau bertentangan dengan kebijakan parpol tersebut. Hal ini dikarenakan fraksi masih dianggap sebagai kepanjangan struktur parpol di parlemen yang dijadikan sarana memperjuangkan
21
kepentingan, visi dan misi parpol dari pada kepanjangan tangan rakyat sebagai konstituen. (http://www.djpp.depkumham.go.id) 3. Tinjauan umum tentang Demokrasi a. Sejarah dan Pengertian Demokrasi Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu paduan “demos” dan “cratein”. Demos berarti rakyat atau penduduk dan cratein berarti kekuasaan/berkuasa. Sehingga dari segi bahasa, demokrasi berarti rakyat berkuasa atau government of role by the people. Sementara itu, demokratisasi secara bahasa dapat diartikan sebagai proses untuk mencapai demokrasi. Konsep demokrasi di tumbuhkan pertama kali
dalam
praktek Negara kota Athena di Yunani (450 SM-350 SM). Dalam tahun 431 SM, Pericles, seorang negarawan terkenal dari Athena, mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa ciri yaitu: 1) Pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung; 2) Kesamaan didepan hukum; 3) Pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan, dan pandangan; serta 4) Penghargaan terhadap pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kehidupan individual. Dizaman yang sama, sejumlah tokok pemikir yang turut menjadi peletak dasar bagi pengertian demokrasi. Diantara tokoh tersebut adalah Plato, Aristoteles Polybius dan Cicero. Dalam perkembanganya, istilah demokrsi mengalami pertumbuhan dinamis
22
dan pergeseran kearah pemodernan pada masa kebangunan kembali renaissance. Masa ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran besar tentang hubungan antara penguasa/negara dengan rakyat. diantaranya
adalah
Niccolo
Machiavelli
(1469-1527),
serta
pemikiran tentang kontrak sosial dan pembagian kekuasan dari Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesqieu (1689-1755), dan J.J Rousseau (1712-1778). Pemikiran-pemikiran besar ini telah memberikan andil didalam konsepsi demokrasi yang masih bertahan sampai saat ini. Pemikiran – pemikiran ini mempunyai kerangka teoritik yang kuat dengan melihat secara tepat realitas dilapangan, sehingga aktual dan bertahan lama sebagi konsep demokrasi yang ideal. (Hartoyo : 15-16 ) Salah
satu
kesimpulan
dari
studipenelusuran
istilah
demokrasi adalah bahwa ia akan senantiasa tumbuh sejalan dengan pertumbuhan ddan perkembangan masyarakat. Dimana semakin tinggi kompleksitas kehidupan masyarakat maka semakin rumit dan tidak sederhana pula demokrasi di definisikan. Salah satu hasil akomodasi pendefinisian demokrasi terhadap tingkat perkembangan masyarakat adalah semakin tergesernya kriteria partisipasi langsung rakyat dalam formulasi kebijakan model perwakilan. Secara fungsional, posisi dan peran penguasa atau negara juga mengalami pergeseran kearah posisi dan peran yang lebih besar dan menentukan. Dalam studinya Robert A.Dahl mengajukan lima criteria demokrasi sebagi sebuah ide politik, yaitu: 1) Persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat;
23
2) Partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam pembuatan keputusan kolektif; 3) Pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalanya proses politik pemerintahan secara logis; 4) Control terakhir
terhadap
agenda, yaitu
adanya
kekuatan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang laimn atu lembaga yang mewakili masyarakat; 5) Pencakupan yaitu
terliputinya semua masyarakat
termasuk orang dewasa dalam kaitanya dengan hukum. Dalam definisi ini tampak bahwa Dahl lebih mementingkan keterlibatan masyarakat dalam proses formulasi kebijakan, adanya pengawasan
terhadap
kekuasaan
dan
dijaminya
persamaan
perlakuan negara terhadap semua warga negara sebagi unsur-unsur pokok demokrasi (Robert A. Dahl, 1985:10-11) Sejumlah tokoh yang mempunyai pemikiran sejalan dengan Dahl adalah April Carter, William Ebenstein,
dan
Edwin
Fogelman. Carter mendefiniskan demokrasi secara ringkas, padat, dan tepat dalam kalimat pendek yaitu “membatasi kekuasaan”. Pemadatan pendefinisian itu merupakan kesimpulan dari uraian panjang demokrasi dalam konsepsi yang di bangun Carter. Sementara Ebenstein dan Fogelman lebih melihat demokrasi sebagi penghargaan atas sejumlah kebebasan tertentu yang dilakukan oleh setiap orang dalam mengekspresikan diri dan lingkungannya. (William Ebenstein dan Edwin Fogelman, 1987: 185-198)
24
Sedangkan definisi demokrasi menurut Lyman Tower Sargent dimana demokrasi berada pada nuansa yang sama.Menurut Sargent, demokrasi mensyaratkan adanya keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan, adanya persamaan hak diantara warga negara, adanya kebebasan kemerdekaan yang diberikan pada atau dipertahnkan dan dimiliki oleh warga negara, adanya sistem perwakilan efektif, dan akhirnya adanya sistem pemilihan yang menjamin dihormatinya prinsip ketentuan mayoritas. (Lyman Tower Sargent, 1987; 29-50) Mengambil pandangan Sri Soemantrie, demokrasi modern adalah demokrasi perwakilan rakyat dimana dalam pelaksanaanya terlihat nyata unsur formal dan unsur material dari demokrasi itu sendiri. Unsur formal dari demokrasi mengacu pada demokrasi sebagi ideologi, sebagai way of life atau sebagi teori, sdangkan unsur material dari demokrasi dala prakteknya meminjam istilah Robert KCarr dkk. Adalah demokrasi actual govermental mechanism atau demcrcy in action. (Sri Soemantri, 1971:26) Pikiran Sri Soemantri ini dielaborasikan lebih lanjut oleh I Made Pasek Diantha yang menyatakan bahwa unsur foral dari demokrasi dapat diartikan “dassein”. Jadi, perwakilan dan peranan dari badan perwakilan ini adalah untuk mewujudkan deokrasi dalam arti formal dan material. Lebih lanjut Pasek menyatakan bahwa sebagai suatu negara demokrasi moderndengan pemerintahanya yang disebut “repersentative goverment” dapat diatakan mengakui demkokrasi sebagai suatu asas apabila repersentative goverment” tersebut terlihat ciri-ciri: 1) Adanya proteksi konstitusional; 2) Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak melihat;
25
3) Adanya pemilihan umum yang bebas; 4) Adanya kebebasan menyampaikan
pendapat
dan
berserikat; 5) Adanya pendidikan civics. (I Made Pasek Diantha, 1990 ; 1-2) Kriteria demokrasi yang lebuh menyeluruh diajukan oleh Gwendolen M. Carter, John H. Herz, dan Henry B. Mayo. M.Carter dan Herz mengkonsep-tualisasikan demokrasi sebagi pemerintahn yang di cirikan oleh berjalannya prinsip-prnsip berikut : 1) Pembatasan
terhadap
tindakan
pemerintah
untuk
memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan
menyusun
berkala,tertib
dan
pergantian damai,
pimpinan
dan
melalui
secara alat-alat
perwakilan yang efektif; 2) Adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawan; 3) Persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk terhadap rule of law tanpa membedakan kedudukan politik; 4) Adanya pemillihan yang bebbasdengan disertaiadanya model perwaakilan. 5) Diberinya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai polotik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat, dan perseorangan serta pendapat umum semacam pers dan media massa. 6) Adanya
penghormatan
terhadap
rakyat
untuk
menyatakan pandanganya betapapun tampak sah dan tidak populernya pandangan itu;
26
7) Dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perseorangan dengan lebih menggunakan cara-cara persuasi dan diskusi daripada koersi dan represi. (Miriam Budiardo, 1992 : 86-87) Sementara itu, Henry B. Mayo dalam mendefinisikan demokrasi mencoba menyebutkan nilai-nilai yang harus dipenuhi sebagai berikut: 1) Menyelesaikan pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela; 2) Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah; 3) Pergantian penguasa secara teratur; 4) Penggunaan paksaan sesedikit mungkin; 5) Pengakuan
dan
penghormatan
terhadap
nilai
keanekaragaman; 6) menegakkan keadilan; 7) memajukan ilmu pengetahuan; dan 8) pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan. (Henry B. Mayo dalam Miriam Budiardjo, 1992: 165-191) Begitu juga seorang sarjana ilmu pemerintahan yaitu Austin Ranney menyebut adanya empat prinsip dari demokrasi yaitu : 1) Popular Sovereignty (kedaulatan rakyat); 2) Political Equality ( persamaan di bidang politik) 3) Popular
Consultation
(kehendak
penentu); 4) Majority Rule (aturan suara terbanyak).
27
rakyat
sebagai
Kempat
prinsip
demokrasi
dari
Ranney
tersebut
dikemukakannya dalam sebuah definisi tentang demokrasi sebagai berikut “As we shall use the term in this book, democracy is a form of government organized in accordance with the principles of popular sovereignty, political equality, popular colsultation and majority rule”.(Austin Ranney, 1960: 176) Melalui penelusuran berbagai definisi dan kriteria mengenai demokrasi, Eep Saefullah Fatah merumuskan tiga permasalahan demokrasi yang cukup krusial, yaitu bagaimana menjawab paradoks yang inhern dalam demokrasi, yaitu antara kebebasan dan konfik di satu sisi dengan keteraturan, stabilitas,dan consensus disisi lain, kemudian sejauh mana demokrasi sebagai ide politik dengan demokrasi sebagai praktek politik telah berpisah satu sama lain, dan selanjutnya apakah sebenarnya hakikat demokrasi jika diterjemah kan dari ide normatig kedalam praktek politik. Ketga pokok permasalahan tersebut adalah merupakan entitas yang tidak terpisahkan. Entitas permasalahan pertama, adalah demokrasi sebuah paradoks. Disatu sisi ia mensyaratkan adanya jaminan kebebasan serta peluang berkompetisi dan berkonflik namun di sisi lain ia mensyaratkan adanya keteraturan, kestabilan dan consensus. Bagaiman paradoks ini dijwab dan di rasionalkan ? Ini merupakan satu tema krusial tentang demokrasi sebagai ide politik kunci untuk mendamaikan semacam ini, menurut Eep Saefullah adalah terletak pada kira memperluangkan demokrasi. Sewajarnya ia diperlakukan semata sebagai sebuah cara atau proses, dan bukan sama sekali sebagai tujuan, apalagi di sakralkan. Ketika demokrasi kita perlukan sekedar cara, maka keteraturan, kita diperlikan , stabilitan dam consensus tidak kita tempatkan pula sebagai sebuah tujuan yang akral. Dengan begitu, keteraturan, stabilitas, dan consensus yang
28
dicita-citakan dan dibentukpun, diposisikan sebagai hasil bentukan dari proses yang penuh kebebasan, persuasi, dan dialog yang bersifat konsensual. Berbedahalnya keteraturan, stabilitas, dan konsensus diposisikan sebagai sebuah tujuan yang sakral, maka boleh dibentuk secara ironis dan paradoksal oleh pemaksaan, koersi, represi, dan intimidasi. Kenyataan akhir inilah yang seringkali muncul dalam praktek politik demokrasi, sehingga demokrasi sebagai idea politik menjadi satu kotak yang terpisah dari kotak lain, yaitu kotak demokrasi sebagai praktek politik. Hampir tak ada satupun negara didunia saat ini yang tidak mengklaim dirinya menjalankan demokrasi. Sejak tahun 1917 misalnya, kita mengeenal istilah “demokrasi proletar” atau “demokrasi Soviet” di Uni Soviet, sekalipun praktek politik yang dijalankan negara jauh di idea demokrasi. “Demokrasi rakyat” di Eropa Timur seusai Perang Dunia II, “Demokrasi Nasional” di negara-negara Asia Afrika sejak tahun 1950-an, dan lain-lain. Peristilahan praktek politik demokrasi ini akan bertambah panjang jika kita sertakan istilah yang pernah dipakai di Dunia I, Dunia II, Dunia III (untuk menyebut pemisahan dunia produk era perang dingin) (Eep Saefullah Fatah, 2000 : 10-20) Dilihat dari sudut sejarah, praktek politik demokrasi kita dapat
mengidentifikasi
telah
terjadinya
beberapa
tahapan
transformasi. Robert A.Dahl, dalam hal ini membaginya menjadi tiga tahapan transformasi. Transformasi demokrasi pertama adalah demokrasi yang kecil ruang lingkupnya, berbentuk demokrasi langsung. Tahap ini terjadi dalam praktek politik Yunani dan Athena. Transformasi demokrasi yang kedua diwujudkan dengan diperkenalkanya praktek republikanisme perwakilan dan logika persamaan. Transformasi ketiga dicirikanoleh belum adanya kepastian apakah kita akan kembali kemasyarakat kecil semacam
29
Yunani kuno dan Athena ataukah kebentuk lain. Yang pasti, kembali secara persis kemasa Yunani kuno dan Arhena sangatlah tiak mungkin. Tahapan-tahapan ini bagaimana membawa Dahl pada penegasan bahwa yang akan dicapai dimasa epan adalah sebuah bentuk demokrasi yang lebih maju. Yaitu demokrasi yang memusatkan diri pencarian sumber-sumber ketidaksamaan aripada berusaha melaksanakan persamaan dalam masyarakat. Untuk ini jalan yang ditempuh demokrasi maju adalah penyebar luasan sumberdaya ekonomi, posisi, dan kesempatan melalui penyebar luasan pengetahuan, informasi, dan keterampilan. (Robert A. Dahl, 1992: 165-167) Sedangkan menurut Samuel P. Huntington, sejarah praktek demokrasi dunia dibagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama berakar padda revolusi Amerika dan Prancis dan ditandai oleh tumbuhnya institusi–institusi nasional demokratis, sebagi sebuah fenomena abad ke-19. Gelombang kedua dimulai pada perang dunia II yang ditandai dengan perimbangan baru dalam kostelasi antarbangsa akibat perang serata bermunculannya negara-negara koonial. Sementara gelombang ketiga dimulai pada tahun 1974. Dengan ditandai oleh berakhirnya kediktatoran Portugal dan terus berlanjut dengan gelombang besar demokratisasi di seluruh bagian dunia secara spektakuler hingga tahun 1990. Diantara satu gelombang dengan gelombang lain, menurut Hungtington terjadinya fase “pembalikan” pertama terjadi pada tahun 1920-an dan 1930-an dengan kembainya bentuk-bentuk totaliterisme. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1950-an ketika terjadi pertumbuhan otoriterisme terutama dalam kasus Amerika Latin (Samuel P. Huntington, 1997: 13-26)
30
Praktek demokrasi dalam tahap transformasi (menurut Dahl) atau gelombang (menurut Hutington) dimana demokrasi itu berada. Terdapat empat kriteria praktek politik demokrasi Eep Saefulah; 1) Partisipasi politik yang luas dan otonom. Praktek politik demokrasi pertama mensyaratkan adanya partisipasi politik yang otonom dari seluruh elemen masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok. Demana sebuah pembatasan partisipasi merupakan praktek anti – demokrasi. Praktek politik demokrasi juga mensyaratkan adanya partisipasi politik yang luas, dalam arti tidak ada pembatasan dan eksklusifitas dalam penentuan sumbersumber rekruitmen politik dan tidak ada pula eksklusivitas dalam formulasi kebijakan-kebijakan politik. 2) Sirkulasi kepemimpinan poltik secara efektif dan kompetitif. Praktek demokrasi mensyaratkan jaminan adanya sirkulasi kepemimpinan politik secara berkala, selektif, dan kompetitif,dan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam prosesnya. Baik keberkalan, selektivitas, maupun sifat kompetitif dari sirkulasi kepemimpinan politik merupakan kriteria operasional yang amat penting. Namun, kriteria tersebut hanya akan memenuhi persyaratan demokrasi apabila melibatkan semua warga negara dalam keseluruhan prosesnya. 3) Kontrol terhadap kekuasaan yang efektif. Persyaratan praktek demokrasi yang lain tidak kalah pentingnya adalah adanya control efektif terhadap kekuasaan. Control terhadap kekuasaan ini dinilai efektif ketika ia dijalankanbaik oleh kelembagaan politik ditingkat infrastruktur (media massa, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain-lain). Disamping itu. Masyarakat secara perseorangan dan kelompok tak terorganisasi juga di berikan keluasan untuk mengoontrol kekuasaan. Dalam kerangka ini, oposisi adalah prasyarat demokrasi yang penting. 4) Kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan. Kriteria terakhir dari demokrasi adalah adanya kompetisi antar elemen Negara, antar elemenelemen didalam Negara secara leluasadan sehat. Dalam kerangka ini, pembentukan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan terjadi sejauh tidak menghancurkan sistem
31
politik itu sendiri. Suasana yang melingkupi kompetisi ini adalah suasana yang penuh kebebasan dan salaing penghargaan, sehingga kompetisi di posisikan sebagai “konflik yang fungsional positif”. (Eep Saefullah Fatah, 2000 : 14-15) Sementara itu Teuku May Rudi memberikan pandangannya bahwa sistem pemerntahan demokrasi berkaitan eratdengan faktorfaktor seperti: adanya sistem perwakilan, adanya pemilihan umum secara berkala, adanya keterbukaan dan adanya pengawasan sosial (social control) dari rakyat atau masyarakat dimana hal ini merupakan bagian dari ciri karakteristik demokrasi. Namun hakikat serta prasyarat dari semua itu adalah terdapatnya kondisi keseimbangan diantara suprasturktur politik dengan infrastruktur politik. Pada umumnya suprastruktur adalah mencakup: 1) Pemerintah ; 2) Lembaga Tinggi Negara, 3) Lembaga-lembaga Negara (di pusat dan di daerah); dan 4) Aparatur Pelaksana Administrasi Pemerintahan. Infrastruktur
adalah
mencakup
saluran-saluran
organisasi untuk penyaluran aspirasi rakyat, yaitu: 1) Orsospol/Parpol; 2) Kelompok Kepentingan (Interest Groups); 3) Kelompok Penekan/Pendesak (Pressure Groups); dan 4) Pendapat Umum (Public Opinion) bersama-sama media massa. Kesimpulannya adalah bahwa prasyarat berlangsungnya demokrasi adalah kuatnya dan berperannya infrastruktur dalam mengimbangi suprastruktur. Pelaksanaan demokrasi sama sekali
32
bukan soal sipil atau militer, bukan soal besar kecilnya dominasi kelompok atau golongan tertentu. Sungguh kurang tepat jika kita meninjau dari segi itu, karena yang penting dalam hal demokrasi dan demokratisasi adalah interaksi positif yang seimbang antara suprastruktur dengan infrastruktur. (http://www.republika.co.id)
b. Teori Kedaulatan Rakyat Seperti dikemukakan oleh Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam paham kedaulaktan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 413) Dimana di dalam suatu negara hukum, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedauatan rakyat (Ni’matul Huda, 2006 : 76). Meskipun rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat tetap harus mematuhi hukum yang telah dibuat oleh pemerintah. Salah
satu
cabang
kekuasaan
yang
pertama-tama
mencerminkan kedaulatan rakyat adalah cabang kekuasaan legislatif. Dimana kewenangan untuk menetapkan peraturan harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh peara wakil rakyat melalui parlemen, yaitu : (i) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara; (ii) pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara; dan (iii) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari warga negara itu sendiri, yaitu melalui perantara
33
wakil-wakil mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 298-299) 4. Tinjauan Umum tentang Partai Politik (Parpol) a.
Pengertian Parpol Partai poitik merupakan salah satu sarana bagi warga negara
untuk turut serta dalam proses pengelolaan negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adaah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Banyak definisi mengenai partai politik menurut Carl J. Friedrich, “partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir
secara
stabil
dengan
tujuan
merebut
atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota
partainya
kemanfaata
yang
bersifat
idiil
serta
materiil”,sedangakan menurut Sigmund Neuman, “partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekkuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingann dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda” (Miriam Budiardjo, 2008 : 404) Menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik didefinisikan sebagai : organisasi yang bersifat nasional yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
34
kepentingan politik anggota masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara
keutuhan
Negara Kesatuan
Republik
Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Fungsi Partai Politik Para ilmuwan politik pada umumnya biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik menurut Miriam Budiardjo meliputi sarana : 1) Komunikasi politik (political communication); 2) Sosialisasi politik (political socialization); 3) Rekruitmen politik (political recruitment); dan 4) Pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik mencakup fungsi : 1) Mobilisasi dan integrasi; 2) Sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); 3) Sarana rekrutmen politik; dan 4) Sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan. Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait antara satu dan yang lainya. Sebagai sarana komunikasi poltik partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interest articulation) atau political interest yang terdapat atu kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan
35
sehingga diharapkan dapat mempengaruhi atu bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 406-407) Dalam menjalankan fungsi komunikasi inilah partai politik disebut sebgai perantara (broker) dalam satu bursa ide-ide (clearing house ideas) kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”. (Miriam Budiardjo, 2008 : 406) Terkait dengan komunikasi politik, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai
politik
dimasyarakatkan
kepada
konstituen
untuk
mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini partai juga berperan penting dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi struktur antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara. Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik partai dibentuk memang dimaksudkan untuk dijadikan kendaraan yang sah untuh menyeeksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang dan posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih langsung oleh rakyat dan ada pula yang tidak dipilih secara tidak langsung, seperti oleh dewan perwakilan rakyat ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainya. Fungsi keempat sebagai pengatur dan pengelola konflik, partai
berperan
sebagai
sarana
agregasi
kepentingan
yang
menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui 36
saluran kelembagaan politik partai. Oleh karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knap, fungsi pengelola konflik dapat dikaitkan
dengan
fungsi
integrasi
partai-politik.
Partai
mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan
cara
menyalurkan
dengan
sebaik-baiknya
untuk
mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 406-407) Sedangkan menurut pasal 11 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 20011 tentang Partai Politik, partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana : 1) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan
bangsa
Indonesia
untuk
kesejahteraan
masyarakat. 3) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat
dalam
merumuskan
dan
menetapkan
kebijakan negara. 4) Partisipasi politik warga negara. 5) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik
melalui
mekanisme
demokrasi
dengan
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
c.
Kelemahan Partai Poltik Adanya organisasi itu, tentu dikatakan juga mengandung
beberapa
kelemahan.
Diantaranya
adalah
bahwa
organisasi
cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga
37
organisasi partai poitik, kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataanya dilapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri. Terkait oligarki ini Robert Michael mengemukakan : “organisasilah yang melahirkan dominasi si terpilih atas para pemilihnya, antara si mandatarisdengan si pemberi mandat, dan antara si penerima kekuasaaan dengan si pemberi. Siapa saja yang berbicara dengan organisasi , maka sebenarnya ia berbicara tentang oligarkh”. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 410)
d. Partai Politik dan Pelembagaan Demokrasi Di Indonesia partai politik telah merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih seratus tahun. Di Eropa Barat, terutama Inggris partai politik telah muncul jauh sebelumnya sebagai sarana partisipasi bagi beberapa kelompok masyarakat, yang kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa. Saat ini partai politik ditemukan di hampir semua negara di dunia. (Miriam Budiardjo, 2008: 422) Banyak pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Pandangan yang paling serius diantaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa atau berniat memuaskan kekuasaanya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan
suara
rakyat
yang
mudah
dikelabui,
untuk
memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the general willatau kepentingan umum.
38
Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, menurut Yves Meny dan Andrew Knapp, “A democratic system without political parties or with single party is imposible or at any rate hard to imagine”. (Jimly Asshidiqie, 2009 : 404)
5. Tinjauan Umum tentang Pemilu Legislatif a.
Pengertian Pemilu Pemilihan umum (general election) merupakan salah satu
sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena, itu dalam rangka pelaksanaan hak asasi warga negaa adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan
pemilihan
umum
sesuai
dengan
jadwal
ketatanegaraan yang telah ditentukan. (JimlyAsshidiqie, 2009: 416) Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu didefinisikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemilu Legislatif itu sendiri adalah pemilu untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di jelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
39
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahwa Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemilu legislatif yang berkualitas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan sisi hasilnya. Dari sisi proses, Pemilu dapat dikatakan
berkualitas
apabila
Pemilu
tersebut
berlangsung
demokratis, jujur dan adil, serta aman, tertib dan lancar. Apabila dilihat dari sisi hasilnya, Pemilu dapat dikatakan berkualitas, apabila Pemilu dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara, yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan negara di mata masyarakat internasional. b. Sistem Pemilu Legislatif Dalam
ilmu
politk dikenal bermacam-macam
sistem
pemilihan umum dengan berbagai variasinya bergantung pada kondisi dan situasi negara, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu ; Pertama, sistem distrik, pada prinsipnya sistem ini menggariskan bahwa dalam satu daerah pemilihan hanya diperbolehkan memilih satu wakil saja. Kedua, sistem perwakilan berimbang atau sistem Proporsional Dalam sistem ini dalam satu daerah memilih banyak wakil. Sistem pemilu ini akan dijabarkan lebih lanjut dibawah ini.
40
1) Sistem Distrik, biasa dinamakan juga sistem single member constiuences atau sistem winner,s take-all. Dinamakan demikian karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang diperlukan untuk dipilih. (JimlyAsshidiqie, 2009: 424) Hasil perhitungan suara dalam sistem ini ditentukan dengan suara terbanyak sebagai pemenang, sementara calon lain dengan suara yang lebih kecil dari pemenang, berapapun jumlah calonya dan sekecil apaun selisih suaranya akan tereliminasi. Akan tetapi sistem ini memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan, Menurut Prof. Miriam Budiardjo keuntungan sistem ini adalah : a) Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan. Maurice Duveger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika, sistem ini telah menunjang bertahanya sistem dwipartai. b) Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya. Lagi pula kedudukanya terhadap pimpinan partainya akan lebih independen, karena faktor kepribadian seseorang merupakan faktor penting dalam kemenangannya dan kemenangan partai. Sekalipun demikian, ia tidak lepas sama sekali dari disiplin partai, sebab dukungan serta fasilitas partai diperlukannya baik untuk nominasi maupun kampanye. c) Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilihan lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak mengendalikan parlemen.
41
d) Sistem ini sederhana dan mudah diselenggarakan. Disamping kelebihan sistem ini juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya yaitu : a) Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam berbagai distrik. b) Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara idieologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini. (Miriam Budiardjo, 2008: 466-467) 2) Sistem Proporsional
atau sistem perwakilan berimbang,
suatu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu. Dimana persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Misalnya adalah jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum tercatat 1000.000 orang, dan misalnya jumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu urang wakil rakyat di butuhkan suara 10.000. pembagian kursi di badan perwakilan rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat
setiap
partai
politik
yang
ikut
pemilu.
http://www.kompas.com/kompascetak/0210/08/opini/sist04.htm Menurut pandangan Prof. Miriam Budiardjo, sistem proporsional ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya, sistem proporsional dianggap representatif, karena jumlah kursi dlam paremen sesuai dengan jumlah suara masyarakat
42
dalam pemilihan umum. Selain itu, sistem proporsional dianggap
lebih
demokratis,
dimana
semua
golongan
masyarakat termasuk yang kecilpun, memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya di parlemen. Akan tetapi, disamping kelebihan sistem proporsional ini, tentunya memiliki kelemahan, diantaranya : a) Lemahnya intregritas antar partai untuk bekerjasama, akan
tetapi
sebaliknya,
justru
mempertajam
perbedaan-perbedaan antar partai. b) Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan merupakan pemicu timbulnya partai-partai baru. c) Hubungan antara wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatanyadengan konstituen, karena wilayah pemilihan yang lebih luas, wakil yang terpilih kurang dikenal oleh orang banyak. d) Peran partai yang lebih besar dibanding kepribadian seseorang wakil, menyebabkan si wakil akan lebih terdorong untuk memperhatikan kepentingan partai serta masalah-masalah umum ketimbang kepentingan distrik serta warganya. Selain dua sistem diatas, sekarang cukup banyak negara yang menggunakan penggabungan prinsip dari dua sistem tersebut. Di satu sisi terdapat wakil rakyat yang merupakan perwakilan ruang (sistem proporsional). Disisi lain terdapat wakil yang merupakan perwakilan orang (sistem distrik). Dalam pemilu tahun 2004, Indonesia menganut sistem perwakilan demikian atau biasa disebut sistem campuran yang dipisahkan. Dimana ada wakil DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Namun, sistem ini tidak seutuhnya sistem campuran, sebab sistemcampuran murni berkaitan dengan pengambilan secara seimbang prinsip distrik
43
dan sebagian prinsip proporsional untuk kemudian digabungkan. Salah satu sistem campuran itu adalah prinsip asal domisili, yang merupakan salah satu ciri sistem distrik, yang dilekatkan dalam sistem proporsional. Sehingga dengan begitu terjadi proses penggabungan dua sistem, antara sistem distrik dan sistem proporsional. (Miriam Budiarjo dalam Hartoyo, 2004:39)
c. Komponen Pemilu Legislatif Dilihat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dapat kita ketahui siapa saja pihak-pihak yang terkait secara langsung didalam pelaksanaan pemilu.
Pihak-pihak yang terkait secara langsung tersebut
merupakan komponen-komponen yang terlibat didalam pemilu. Komponen tersebut terdiri dari Peserta Pemilu (Perseorangan maupun Parpol), Pemilih, Penyelenggara (Komisi Pemilihan Umum), Pengawas (Badan Pengawas Pemilu). Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara yang bersifat tetap, nasional, dan mandiri diatur didalam pasal 1 ayat 6. Agar dapat menjalankan tugasnya secara efektif
KPU
membentuk Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang merupakan
kepanjangan
tangan
dari
KPU.
Dan
didalam
penyelenggaraan pemilu dilapangan dijalankan oleh Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) ditingkat desa/kelurahan. Sedangkan untuk pemilihan umum yang dilakukan diluar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri. 1) Tinjauan Umum tentang Komisi Pengawas Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
44
Komisi Pengawas Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam hal ini yang dimaksud adalah KPU Kabupaten/Kota dimana didalam pasal 10 No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum KPU
Kabupaten/Kota
mempunyai
tugas
dalam
penyelenggaraan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah meliputi: a) Menjabarkan anggaran
program
serta
dan
melaksanakan
menetapkan
jadwal
di
kabupaten/kota; b) Melaksanakan
semua
penyelenggaraan
di
tahapan kabupaten/kota
berdasarkan peraturan perundang-undangan; c)
Membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
d) Mengoordinasikan
dan
mengendalikan
tahapan penyelenggaraan oleh PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya; e) Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkan data pemilih sebagai daftar pemilih; f) Menyampaikan daftar pemilih kepada KPU Provinsi; g) Menetapkan rekapitulasi
dan
mengumumkan
penghitungan
suara
hasil Pemilu
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di PPK dengan membuat berita acara rekapitulasi suara dan sertifikat rekapitulasi suara;
45
h) Melakukan dan mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat
kabupaten/kota
Daerah yang
Provinsi
di
bersangkutan
berdasarkan berita acara hasil rekapitulasi penghitungan suara di PPK; i) Membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi; j) Menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota dan mengumumkannya; k) Mengumumkan
calon
anggota
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota terpilih sesuai dengan alokasi jumlah kursi setiap daerah pemilihan di kabupaten/kota yang
bersangkutan
dan
membuat
berita
acaranya; l)
Memeriksa
pengaduan
dan/atau
laporan
adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PPK, PPS, dan KPP m) Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota; n) Menonaktifkan mengenakan
46
sementara sanksi
administratif
dan/atau kepada
anggota
PPK,
PPS,
sekretaris
KPU
Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung Panwaslu
berdasarkan
rekomendasi
Kabupaten/Kota
dan
ketentuan
peraturan perundang-undangan; o) Menyelenggarakan penyelenggaraan
sosialisasi Pemilu
dan/atau
yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat; p) Melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan q) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan/atau undang-undang. Sedangkan dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Bawaslu, yang terdiri dari Panwaslu
Provinsi,
Panwaslu
Kabupaten/Kota,
Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
2) Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota Panitia
pengawas
pemilu
Kabupaten/Kota
meliliki tugas dan wewenang yang telah diatur didalam pasal 78 undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yaitu mengawasi jalanya penyelenggaraan Pemilu meliputi :
47
a) pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap; b) pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pencalonan kepala dan wakil kepala daerah kabupaten/kota; c) proses
penetapan
calon
anggota
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota; d) penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota; e) pelaksanaan kampanye; f)
perlengkapan Pemilu dan pendistribusiannya;
g) pelaksanaan pemungutan suara dan h) penghitungan suara hasil Pemilu; i)
mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara;
j) pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK; k) proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota dari seluruhkecamatan; l) pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan; dan m) proses penetapan hasil Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota
48
B. Kerangka Pemikiran
Pemerintah Kabupaten
DPRD
(UU No 32 Tahun 2004)
Kabupaten
(UU No 12 Tahun 2008)
(UU No 27 Tahun 2009)
Pemilu Caleg DPRD Kabupaten (UU No. 8 Tahun 2012) (PerKPU No. 18 2008)
Caleg dari daerah Konstituen (UU No. 8 Tahun 2012)
Caleg yang tidak berasal dari daerah Konstituen ((UU No. 8 Tahun 2012)
Masyarakat/ Konstituen
Gambar II : Kerangka Berpikir
Sebagaimana kita ketahui pengertian dasar demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Karena pemerintahan dari, untuk, dan oleh rakyat maka tegaslah bahwa rakyatlah yang berkuasa dan memegang kedaulatan tertinggi. Dalam era demokrasi modern yang juga disebut demokrasi perwakilan, perwujudan dari pelaksanaan
49
kedaulatan rakyat adalah melalui proses pemilu. Dimana pemilu merupakan ciri dari negara demokrasi dan melalui pemilu pula rakyat memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga eksekutif maupun dilembaga legislatif. Didalam praktiknya, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk dilembaga perwakilan. Para wakil rakyat itu bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat itulah yang menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Agar wakil-wakil rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, wakilwakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dimana wakil rakyat yang telah terpilih nantinya akan bekerja sama dengan pemerintah didalam menjalankan pemerintahan. Permasalahan
yang
sering
timbul
berkaitan
dengan
akuntabilitas wakil rakyat diantaranya adalah masalah antara masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat yang bersifat dinamis diperlukan wakil rakyat yang tanggap terhadap situasi kondisi konstituennya, didalam menyelesaikan permasalahan antara masyarakat dengan pemerintah. Akan
tetapi,
akuntabilitas
wakil-wakil
rakyat
tersebut
juga
dipertanyakan. selain kecakapan wakil rakyat di dalam menyelesaikan masalah, wakil rakyat seharusnya mengenal baik kondisi masyrakat atau konstituennya. Salah satu faktor terkait dengan wakil rakyat adalah domisili. Wakil rakyat yang tidak berasal ataupun tidak mengenal kondisi konstituennya tentunya tidak dapat mencerminkan sistem demokrasi perwakilan tersebut. Dimana wakil rakyat yang dipilih tersebut merupakan salah satu bentuk perwujudan rakyat didalam pemerintahan maupun di parlemen. Pertanyaan dari perspektif demokrasi adalah pencalonan wakil rakyat yang tidak berasal dari daerah konstituennya, apakah pada saat terpilih nantinya dapat menjalankan tugas dan wewenang yang dapat mencerminkan aspirasi konstituennya? Pertanyaan ini bisa dijawab
50
dengan jalan menganalisa tugas dan wewenang serta kewajiban wakil rakyat dan sistem demokrasi perwakilan. Apakah hal ini selaras dengan prinsip, kaidah dari perspektif demokrasi. Dan apabila sudah terjawab, dapat ditentukan pula apa implikasinya terhadap kualitas demokrasi perwakilan di Indonesia.
51
BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Mekanisme Pencalonan Anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah Konstiuen. 1. Persyaratan Bakal Calon Konstitusi kita, UUD 1945 pasca amandemen mengatur perihal pemilihan umum (Pemilu) secara variatif. Termasuk adalah pengaturan pemilu anggota DPRD Kabupaten, yaitu terdapat didalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 dimana disebutkan, “pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggotanya dipilih melalui pemilu”. Lebih lanjut, bakal calon anggota DPRD yang mencalonkan sebagai anggota DPRD Kabupaten harus memenuhi persyatan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD. (Jurnal Konstitusi Volume 4 nomor 1 : 72). Salah satu perwujudan dari tindakan demokratis adalah berupa partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apapun tingkat partisipasi warga, suasana demokrasi yang sesungguhnya tergantung pada partisipasi aktif dan penuh kesadaran oleh warganya. Hak-hak dasar yang tidak bisa ditolak, seperti kebebasan berbicara, berserikat dan beragama adalah inti untuk melakukan partisipasi bagi warga negara. (Malik Haramain dan MF. Nurhuda. Y 2000:3) Salah satu bentuk partisipasi bagi warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjadi anggota DPRD Kabupaten. Akan tetapi, terdapat syarat-syarat ataupun ketentuan yang harus dipenuhi, misalnya adalah syarat-syarat mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota DPRD Kabupaten adalah harus
5253
memenuhi persyaratan didalam pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD disebutkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Bertempat
tinggal di wilayah
Negara Kesatuan
Republik Indonesia; d. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas
(SMA),
Menengah
Madrasah
Kejuruan
Aliyah
(SMK),
(MA),
Madrasah
Sekolah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. Tidak pernah
dijatuhi hukuman pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; h. Sehat jasmani dan rohani; i.
Terdaftar sebagai pemilih;
j. Bersedia bekerja penuh waktu;
53
k. Mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota
Tentara
Nasional
Indonesia,
anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali; l.
Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;
m. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; o. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan p. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan Selain harus memenuhi syarat-syarat tersebut bakal calon tersebut juga harus memenuhi kelengkapan administratif dalam pasal 51 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang di buktikan dengan : a. Kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia. 54
b. Bukti kelulusan
berupa fotokopi ijazah, STTB,
syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah. c. Surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat; d. Surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. Surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih; f. Surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; g. Surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; h. Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; i.
Kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu; 55
j. Surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan
yang
ditandatangani
di
atas
kertas
bermeterai cukup; k. Surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup
2. Pendaftaran Bakal Calon Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini KPU Kabupaten, memberikan sosialisasi pencalonan sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 18 tahun 2008 tentang pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yaitu pasal 17 yaitu KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan sosialisasi kepada pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Apabila telah memenuhi persyaratan bakal calon yang telah diseleksi atau dipilih oleh Parpolnya, sesuai dengan pasal 51 Undangundang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, partai politik peserta Pemilu juga melakukan seleksi bakal
calon
anggota
DPR,
DPRD
provinsi,
dan
DPRD
kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Bakal calon yang telah memenuhi persyaratan dapat mengajukan pendaftaran dengan mengisi formulir yang diserahkan kepada KPU Kabupaten.
56
3. Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon DPRD
Kabupaten/Kota Bakal calon calon yang telah memenuhi persyaratan di verifikasi kelengkapan administrasinya oleh KPUD Kabupaten/Kota. Sesuai Pasal 58 ayat (3) Undang-undang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD dimana disebutkan “KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD Kabupaten dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (8) Peraturan KPU Nomor 18 tahun 2008 tentang pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang dimaksud verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR,
DPRD
Provinsi,
dan
DPRD
Kabupaten/Kota
adalah
verifikasi/penelitian terhadap keabsahan pemenuhan syarat pengajuan bakal calon dan keabsahan pemenuhan syarat bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Verifikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten adalah verifikasi sesuai dengan ketentuan pasal 26 Peraturan KPU Nomor 18 tahun 2008 tentang pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yaitu a. Meneliti jangka waktu pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; b. Meneliti
kebenaran
surat
pencalonan
yang
ditandatangani oleh Ketua Umum/Ketua dan Sekretaris Jenderal/Sekretaris partai politik;
57
c. Meneliti kebenaran jumlah calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan untuk setiap daerah pemilihan , sebanyakbanyaknya 120% (seratus dua puluh per seratus) dari jumlah kursi yang ditetapkansetiap daerah pemilihan; d. Meneliti kebenaran jumlah bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan untuk setiap daerah pemilihan berkenaan dengan prosentase keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah bakal calon yang diajukan e.
Meneliti kebenaran nama-nama bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada huruf c dan d, berkenaan dengan daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, bahwa setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan.
Didalam proses verifikasi KPU Kabupaten diawasi oleh Panwaslu Kabupaten sesuai dengan pasal 61 ayat (1) Undang-undang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu “Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
58
4. Penyusunan Daftar Calon Sementara Bakal calon yang telah lulus verifikasi disusun oleh KPU sesuai dengan ketentuan pasal 62 ayat (1) Undang-undang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu; Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 disusun dalam daftar calon sementara oleh: a. KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR. b. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi. c. KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD kabupaten/kota. Kemudian daftar calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tersebut diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sekurang-kurangnya pada satu media massa cetak harian, media massa elektronik baik nasional maupun daerah selama 5 (lima) hari.
Dimana masukan dan
tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon sementara diumumkan.
5. Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Selanjutnya untuk menentukan daftar calon tetap diumumkan oleeh KPU sesuai dengan ketentuan pasal 66 Undang-undang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu ; a. KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR. b. KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi.
59
c. KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD kabupaten/kota. d. Daftar calon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru. Sedangkan pengumuman daftar calon tetap diatur sesuai dengan ketentuan pasal 67 Undang-undang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu ; a. Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. b. KPU,
KPU provinsi,
dan
KPU kabupaten/kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional. c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU. Menilik pengaturan tentang tata cara pencalonan anggota DPRD berdasarkan Undang-undang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut, jelaslah bahwa calon yang tidak berasal dari daerah konstituen dapat mencalonkan diri di wilayah yang bukan daerah asalnya. Hal ini ditur didalam pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-undang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, disebutkan bahwa salah satu syarat pendaftaran bakal calon adalah bertempat tinggal di
60
wilayah Indonesia. Jadi, meskipun bakal calon tersebut tidak berasal dari
daerah
konstituen
(daerah
pemilihannya),
juga
dapat
mencalonkan sebagai anggota DPRD Kabupaten tertentu atau daerah lain. Meskipun dapat mencalonkan diri, dan akhirnya terpilih, apakah nantinya anggota DPRD yang tidak berasal dari daerah konstituennya selama 5 tahun masa jabatan dapat menjalankan tugas dan wewenang nya secara baik, sedangkan kondisi masyarakat yang bersifat dinamis dan selalu berubah, dibutuhkan lebih banyak kesigapan anggota DPRD didalam menghadapi suatu permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Rousseau, JJ. Rousseau maintained that the shared evaluative standpoint of the general will is completely dependent on cultural, geographic and historic factors." In his essay On the Social Contract, for example, Rousseau says "the same laws cannot be suitable to so many diverse provinces which have different customs, live in contrasting climates, and which are incapableof enduring the same form of government (Appalachian Journal of Law, Vol. 3 :48) Berdasarkan pendapat Rousseau tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu aturan atau kebijakan disuatu daerah belum tentu dapat diterapkan di daerah lain. Oleh karena itu, wakil rakyat sebagai pembuat kebijakan ataupun aturan seharusnya mengenal betul kondisi masyarakat atau konstituennya.
B. Pelaksananan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya sesuai dengan Undangundang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebelum masuk kedalam substansi pokok, yaitu pelaksanaan pelaksananan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituennya, penulis akan sedikit menguraikan kembali tentang tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPRD Kabupaten sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
61
1. Kewenangan DPRD Kabupaten dalam menjalankan Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan DPRD Kabupaten memiliki kewenangan dalam menjalankan fungsi
legislasi.
Melalui
fungsi
legislasi
ini
sesungguhnya
menempatkan DPRD pada posisi yang sangat strategis dan terhormat, karena DPRD ikut menentukan keberlangsungan dan masa depan daerah Kabupaten. Hal ini juga dimaknai sebagai amanah untuk memperjuangkan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara umum yang dimaksudkan dengan fungsi legislasi adalah fungsi untuk membuat peraturan daerah. Hal ini ditegaskan pada Pasal 344 ayat 1A, dan 1B, Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa : a. DPRD
kabupaten/kota
wewenang
mempunyai
membentuk
tugas
peraturan
dan daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota. b. DPRD kabupaten/kota membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran
pendapatan
dan
belanja
daerah
kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota. Mengingat
arti
penting
dari
fungsi
legislasi
bagi
penyelenggaran pemerintahan daerah yang produknya berbentuk peraturan daerah. Peranan peraturan daerah tersebut meliputi : a. Peraturan daerah menentukan arah pembangunan dan pemerintahan daerah. b. Peraturan daerah sebagai dasar perumusan kebijakan publik daerah. c. Peraturan daerah sebagai kontrak sosial daerah. d. Peraturan daerah sebagai pendukung pembentukan perangkat daerah dan susunan perangkat daerah ( Sadu Wasistiono, Yonantan Wiyoso, 2009: 59)
62
DPRD Kabupaten memiliki kewenangan dalam menjalankan fungsi Anggaran. Penyusunan anggaran secara transparan, partisipatif dan akuntabel, merupakan suatu tuntutan rakyat, dimana setiap input tertentu harus menghasilkan output. Bahkan diharapkan mampu menentukan outcome, benefit dan impact. Demi kesejahteraan rakyat khususnya. Proses pengelolaan keuangan daerah mempunyai peranan sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Adapun prinsip yang mendasari proses pengelolaan keuangan daerah yaitu;
a. Transparansi Masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran, karena menyangkut aspirasi
dan
kepentingan
masyarakat
terutama
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. b. Akuntabilitas Prinsip pertanggung jawaban publik yang berarti proses
penganggaran
mulai
dari
perencanaan,
penyusunan dan pelaksanaan harus dapat dilaporkan dan di pertanggung jawabkan kepada masyarakat. c. Value of Money, prinsip ini sesungguhnya merupakan penerapan tiga aspek yaitu ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Ekonomi, berkaitan dengan pemilikan dan penggunaan sumberdaya dalam jumlah dan kualitas tertentu. Effisiensi, penggunaan dana masyarakat harus dapat menghasilkan output yang maksimal. Efektif, penggunaan anggaran harus mencapai targettarget atau tujuan kepentingan publik. (Mardiasmo, 2002:105)
63
DPRD Kabupaten memiliki kewenangan dalam menjalankan fungsi Pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan secara khusus tercantum dalam Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 344 ayat 1C yang berbunyi : “DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota” Pengawasan ini bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi,
menjamin
keterwakilan
rakyat
daerah
dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara umum ruang lingkup pengawasan DPRD oleh DPRD meliputi tiga hal yaitu : a. Pengawasan terhadap Pelaksanaan Peraturan daerah dan Peraturan perundang-undangan lainya (Peraturan kepala daerah, Keputusn kepala daerah dan lain sebagainya), pengawasan ini meliputi pengawasan terhadap pencapaian tujuan awal saan ditetapkan peraturan daerah. b. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD, pengawasan ini merupakan pengawasan terhadap pencapaian tujuan awal saat ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah c. Pengawasan terhadap Perjanjian Kerjasama dengan Pihak Ketiga, pengawasan ini meliputi pengwasan terhdap kerjasama daerah oleh pemerintah daerah dengan pihak ketiga baik lokal maupn internasional, materi meliputi : bidang yang dikerjasamakan, jangka waktu kerjasama, manfaat bagi daerah, dan sumbar
64
pembiayaan. ( Sadu Wasistiono, Yonantan Wiyoso, 2009: 146)
2. Implikasi pelaksanaan tugas dan wewenang anggota DPRD Kabupaten yang tiak berasal dari daerah Konstituen Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dimana salah satu syarat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD adalah “Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal ini menegaskan bahwa seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif didaerah yang bukan merupakan daerah asalnya. Sebagaimana dibahas didalam Bab II Pemilu legislatif yang berkualitas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan sisi hasilnya. Dari sisi proses, pemilu dapat dikatakan berkualitas apabila Pemilu tersebut berlangsung demokratis, jujur dan adil, serta aman, tertib dan lancar. Apabila dilihat dari sisi hasilnya, Pemilu dapat dikatakan berkualitas, apabila Pemilu dapat menghasilkan wakilwakil rakyat dan pemimpin negara, yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan negara di mata masyarakat internasional. Peran KPU dalam mewujudkan Pemilu yang berkualitas, sangat menentukan. Penyelenggaraan Pemilu secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat diwujudkan apabila dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU, yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabel. Namun, banyaknya calon anggota legislatif yang kurang berkualitas, bukan karena kesalahan KPU sebagai penyelenggara Pemilu, karena KPU hanya menyeleksi caleg berdasarkan persyaratan formal sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sedangkan masalah yang bersifat substansial, yang
65
menyangkut sikap dan perilaku caleg, tentunya partai politik di mana mereka bernaung adalah pihak yang lebih tahu. Seperti diketahui bahwa caleg yang berkualitas itu sekurangkurangnya harus memenuhi 3 (tiga) kriteria, yaitu: a. Memiliki kualitas moral b. Memiliki kualitas intelektual c. Memiliki keterampilan profesional. Sedangkan masuknya caleg-caleg yang kurang berkualitas ke DPR/ DPRD antara lain disebabkan oleh: a. Proses pengkaderan di sebagian partai politik tidak berjalan dengan baik, malah mungkin tidak jalan sama sekali. Kebanyakan partai politik sesudah Pemilu boleh dikatakan tidak ada kegiatan sama sekali, malahan kantornya tidak diketahui lagi entah dimana, apalagi partai politik yang baru dibentuk dekat Pemilu. Dalam kondisi semacam ini, sulit diharapkan proses kaderisasi akan berjalan dengan baik. b. Proses rekruitmen caleg di internal partai politik tidak berjalan secara demokratis. Penetapan caleg lebih banyak ditentukan oleh seberapa banyak kontribusi yang dapat diberikan oleh caleg kepada partai politik, baik berupa dana ataupun popularitas yang dimiliki oleh caleg, yang diharapkan akan dapat mendongkrak perolehan suara partai politik yang bersangkutan. Dalam hal ini kualitas caleg sering diabaikan. (Jurnal Konstitusi Volume 2 nomor 1 : 13-15) Selain masalah tentang pengkaderan calon legislatif, bukankah permasalahan tentang domisili akan berpengaruh terhadap kinerja
66
anggota legislatif (anggota DPRD Kabupaten khususnya) dimana DPRD Kabupaten mempunyai ruang lingkup yang lebih kecil. Dapat kita pahami masyarakat akan lebih mengenal sikap dan perilaku calon legislatif apabila berasal dari daerah pemilihannya itu sendiri dibanding calon yang berasal dari luar daerah pemilihan. Sehingga nantinya masyarakat akan lebih selektif didalam memilih anggota legislatif. Didalam undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yaitu didalam pasal 351 huruf (k) dimana anggota DPRD kabupaten memiliki kewajiban, “Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis konstituen di daerah pemilihannya”. Bentuk pertanggung jawaban moral dan politis tersebut akan berbeda apabila anggota legislatif tersebut berasal dari daerah konstituennya. Dimana masyrakat mengenal betul siapa wakil rakyatnya, dan wakil rakyatnya mengenal betul kondisi masyarakat (konstituen) secara penuh. Hal ini merupakan perwujudan check and balances antara anggota legislatif dengan konstituennya. Dalam menjaankan tugas dan wewenangnya anggota legislatif hendaknya mengenal betul kondisi masyarakat sepenuhnya. Dimana masyarakat yang trus berkembang secara dinamis, permasalahanpermasalahan yang timbul di masyarakat. Dibutuhkan anggota legislatif
yang sigap
dan
tanggap
dalam
mennyelesaikan
permasalahan di masyarakat. Yang mengenal betul kondisi masyrakat dan lebih cepat di dalam menyelesaikan permasalahan. Pada kenyataannya kinerja anggota legislatif pada saat ini tidak memberikan hasil yang maksimal. Belum lagi masalah-masalah yang menerpa beberapa orang anggota legislatif, antara lain terlibat korupsi/suap, skandal seks, perjudian, narkoba dan lain-lain, telah menimbulkan kekecewaan masyarakat. Hal inilah yang menimbulkan banyak pertanyaan tentang akuntabilitas wakil rakyat.
67
Cara terbaik untuk menjamin akuntabilitas harus mulai jauh sebelum pelaksanaan suatu mandat, artinya harus mulai dari saat rekrutmen
partai.
Haryatmoko
berpendapat
bahwa,
untuk
mengangantisipasi akuntabilitas caleg adalah sebelum mandat dan dalam masa jabatan yaitu berupa : a. Desain Kontrak, sarana ini merupakan persetujuan antara wakil rakyat dan konstituen tentang tugas dalam jangka waktu tertentu yang harus dipenuhi, misalnya, setelah masa bakti dua tahun tidak berhasil memperjuangkan upaya perbaikan fasilitas pendidikan atau penciptaan lapangan kerja didaerah mereka, mandat akan dilihat kembali. Memang, persetujuan semacam itu belum memiiki kekuatan hukum, tetapi bisa menjadi mekanisme kontrol untuk mengukur akuntabilitas wakil rakyat. b. Mekanisme penyaringan dan seleksi. Mekaisme penyaringan berjalan asal ada kompetisi dari beberapa kandidat. Ada tiga kemungkinan dalam proses penyaringan ini ; pertama, konstituen mengorganisir diri untuk memberi informasi ke partai politik tentang catatan calon wakil rakyat. Kedua, kompetisi tidak berhasil karena informasi yang tidak cukup tentang kandidat yang sudah tersaring, bahkan meski sudah mencari informasi dari pihak ketiga. Ketiga, seleksi kurang informasi atau ada unsur manipulasi sehingga mereka yang memenuhi tuntutan kompetensi justru tidak terpilih. Apabila dalam seleksi atau penyaringan syarat terpenuhi, calon wakil rakyat bisa diandalkan, maka salah satu unsur utama akuntabilitas sudah dipenuhi, yaitu integritas wakil rakyat. c. Monitor dan pelaporan. Partai politik akan meningkatkan kepercayaan rakyat bila memiliki komisi etika yang akan meberikan pelatihan etika yang akan memberi pelatihan etika publik, membantu menjamin akuntabilitas dan mengawasi anggota partai yang menjadi wakil rakyat atau pejabat publik. Selain itu, pengawasan dari pehak independen diluar organisasi, civil society, parliament watch dan pelaporan secara terbuka atau konfidensial akan membantu memberi informasi tentang apakah yang dialakukan wakil rakyat berhasil atau gagal. d. Pengecekan secara institusional. Komisi etik, Komisi Kerja DPP partainya merupakan lembaga-lembaga yang berperan juga untuk menuntut akuntabilitas wakil 68
rakyat. Agar akuntabilitas instusional ini efektif, perlu membangun mekanisme untuk menampung masukan, keluhan atau laporan dari organisasi independen, atau civil society. (Haryatmoko, 2011 : 176-177) Dapat kita pahami bersama berdasarkan pendapat Haryatmoko tersebut bahwa domisli anggota DPRD Kabupaten tersebut berperan penting untuk terciptanya akuntabilitas kerja. Dimana model antisipasi akuntabilitas sebelum mandat dan dalam masa jabatan sangat sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini dapat berjalan apabila hubungan anggota DPRD Kabupaten dan Konstituen tercipta secara baik. Hal ini dapat dipermudah apabila anggota DPRD tersebut berasal dari daerah Konstituen.
69
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa didalam pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituen diatur didalam sebelumnya disebutkan bahwa 51 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dimana salah satu syarat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD adalah “Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal ini menegaskan bahwa seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif didaerah yang bukan merupakan daerah asalnya.
2. Bahwa didalam menjalankan tugas dan wewenangnya anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituen, akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Hal ini dapat kita lihat kenyataannya kinerja anggota legislatif pada saat ini tidak memberikan hasil yang maksimal. Belum lagi masalah-masalah yang menerpa beberapa orang anggota legislatif, antara lain terlibat korupsi/suap, skandal seks, perjudian, narkoba dan lainlain, telah menimbulkan kekecewaan masyarakat. Didalam undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yaitu didalam pasal 351 huruf (k) dimana anggota DPRD
kabupaten
memiliki
kewajiban,
“Memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan politis konstituen di 70 71
daerah pemilihannya”. Bentuk pertanggung jawaban moral dan politis tersebut akan berbeda apabila anggota legislatif tersebut berasal dari daerah konstituennya. Dimana masyrakat mengenal betul siapa wakil rakyatnya, dan wakil rakyatnya mengenal betul kondisi masyarakat
(konstituen) secara penuh. Hal ini
merupakan perwujudan check and balances antara anggota legislatif dengan konstituennya. Hal-hal tersebut dapat kita kurangi apabila wakil rakyat berasal dari daerah konstituen. Dimana masyarakat merupakan kontrol alami, baik sebelum mandat dan dalam masa jabatan
B. Saran 1. Walaupun mengalami
pelaksanaan kemajuan
pemilu
legislatif
telah
banyak
yang berarti. Namun, harus
ada
pembenahan dan penyempurnaan aturan hukum mengenai pencalonan anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituen. Dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dimana salah satu syarat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD adalah “Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Untuk mewujudkan check and balances antara wakil rakyat dan konstiuen, wakil rakyat seharusnya berasal dari daerah konstituenya, sehingga masyrakat tentunya akan lebih selektif lagi di dalam memilih anggota DPRD Kabupaten yang berasalah dari daerahnya.
2. Didalam menjalankan tugas dan wewenangnya anggota DPRD Kabupaten yang tidak berasal dari daerah konstituen dibutuhkan suatu sistem antisipasi yaitu antisipasi akuntabilitas sebelum
71
mandat dan dalam masa jabatan, hal ini dapat diwujudkan secara maksimal apabila wakil rakyat tersebut berasal dari daerah konstituen. Dimana wakil rakyat merupakan salah satu bentuk penjelmaan rakyat di parlemen akan tetapi masyarakat juga merupakan sistem kontrol akan kinerja DPRD Kabupaten tersebut.
72
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Setjen MKRI. ______ . 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press. ______, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta _______. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press. Budiardjo, Miriam. 1992. Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Budiyanto. 2003. Dasar-dasar Ilmu Tata Negara untuk SMU Kelas 3. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama _______. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. _______.
1992.
Lembaga
Negara
dalam
Masa
Transisi
Demokrasi.
Yogyakarta: UII Press. _______. 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Diantha, I Made Pasek. 1990. Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Modern. Bandung: Putra Abardin Fatah, Eep Saefullah. 2000. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru; Masalah dan Masa
Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
73
_______. 2000. Zaman Kesempatan; Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan. Haryatmoko. 2009. Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Haramain, Malik dan MF. Nurhuda. Y. 1999. Mengawal Transisi Refleksi Atas Pemantauan Pemilu, Jakarta : JAMPI PB. Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Grafiti Press. Mahmud, Peter. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Persada Media Grup. M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Maleong, Lexy J. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. _________. 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi. Soekanto, Soerjono. 2006. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Grafitti Press. Soetopo, HB. 2000. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press _________. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Pandoyo, Toto S. 1981. Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Proklamasi dan Kekuasaan MPR. Yogyakarta: Liberty. Wasistiono, Sadu dan Yonatan Wiyoso.2009. Meningkatkan Kinerja DPRD. Bandung : Fokus Media.
74
Ramlan
Surbakti,
Sistem
Proporsional
http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0210/08/opini/sist04.htm Rudy,
Teuku
May.
Demokrasi
dan
Demokrasi
http://www.republika.co.id/9703/31/31DEMO.063.html
Politik.
diakses
17
desember 2011. Wacipto Setiadi, Peran Partai Politik dalam Penyelenggaraan Pemilu yang Aspiratif dan Demokratis. http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-danpuu/507-peran-partai-politik-dalam-penyelenggaraan-pemilu-yangaspiratif-dan-demokratis.html Jurnal Mirza Nasution, Mempertegas Sistem Presidensial. Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 1. Juni 2009. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Widada, Sutapa Mulja, Problematika Implementasi Demokrasi Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) Langsung. Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 1. Juni 2011. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Ritchie, David. T, Critiquing Modern Constitutionalis. Appalachian Journal of Law, Volume 3. 2004 Mercer University - Walter F. George School of Law Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)
75
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik jo.UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Dan DPRD Kabupaten Dalam Pemilu tahun 2009
76