BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penelitian Terdahulu Pada penelitian ini penulis mencoba untuk mendapatkan beberepa referensi yang relevan dari penelitian-penelitian terdahulu yang juga membahas mengenai simbolisasi Illuminati pada video klip, ataupun yang lainnya yang membahas suatu “tanda” tertentu dalam sebuah video musik. Adapun beberepa referensi yang penulis dapatkan tersebut di antaranya sebagai berikut: Pertama: Jurnal ilmiah ilmu komunikasi volume 1 nomor 3 tahun 2013 : 273288, berupa penelitian kualitatif dengan pendekatan subjektif yang berasal dari Maya Amelia, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. Dalam jurnalnya, dia meneliti tentang simbol-simbol Illuminati pada video klip Lady Gaga yang berjudul Alejandro. Pisau analisis yang digunakannya adalah metode semiotika Charles Sander Peirce untuk menggali lebih dalam tanda pada video klip Alejandro, di mana konsep yang digunakan Peirce adalah ikon, indeks, simbol untuk melihat keterkaitan tiga konsep tersebut dalam mencari makna. Penelitian dari Maya Amelia ini mengangkat permasalahan tentang bagaimana pesan dan bentuk-bentuk simbolisasi Illuminati yang terkandung pada video klip Lady Gaga versi Alejandro. Sedangkan untuk unsur-unsur yang 10 http://digilib.mercubuana.ac.id/
ditelitinya adalah bentuk, warna, serta teknik pengambilan gambar dalam scene yang mengarah pada simbol Illuminati tersebut. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis Filling System, di mana data hasil observasi akan dianalisis dengan membuat kategori tertentu atau domain-domain tertentu. Setelah itu data diinterpretasikan dengan memadukan konsep-konsep atau teori-teori tertentu dengan objek penelitian. Berdasarkan hasil penelitiannya, dia menyimpulkan bahwa dalam lima tampilan pada video klip Lady Gaga versi Alejandro, telah mempresentasikan simbolisasi Illuminati yang terlihat dari tanda ikon yang meliputi; benda berbentuk tanduk, benda berbentuk lensa teleskop, jubah yang bermotif salib terbalik, senjata, pakaian dalam yang dikenakan seorang pemeran. Kemudian benda berbentuk heksagram, lingkaran, segitiga, serta bangunan segitiga dan formasi segitiga yang dibentuk oleh beberapa pemeran dalam adegan tersebut. Selain itu tanda indeks yang ditemukan dalam lima tampilan meliputi; perilaku beberapa pria yang membawa benda berbentuk lingkaran, heksagram, dan segitiga, kemudian perilaku seorang wanita yang mengenakan tanduk, lensa teleskop, jubah bermotif salib terbalik, pakain dalam bersenjata, serta sekumpulan orang yang membentuk formasi, dan diarahkan
keatas
kepala
membentuk
sebuah
gerakan tangan yang segitiga,
juga
gerakan
membentuk siku-siku tangannya. Sedangkan tanda simbol yang terdapat dalam lima tampilan tersebut meliputi; warna hitam yang mendominan, warna putih pada cahaya dan warna merah pada motif salif terbalik.
11 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut penulis, hasil penelitian dari Maya Amelia ini hanya menyatakan bahwa benar adanya pesan Illuminati pada video klip Lady Gaga versi Alejandro melalui simbolisasi-simbolisasi Illuminati yang telah diklasifikasikan. Namun kesimpulan tersebut tidak untuk mencari ideologi tentang kebenaran akan Lady Gaga sebagai penganut atau pengikut Illuminati, apalagi mencari kebenaran akan eksistensi/keberadaan organisasi rahasia tersebut dalam dunia nyata khususnya pada industri musik. Kedua: Penelitian yang dilakukan tahun 2007 di Semarang oleh saudara Panji Suryo Nugroho, mahasiswa pasca sarjana Institut Agama Islam Negeri WaliSongo
Semarang.
Dalam
tesisnya
dia
mengambil
judul
tentang
“Membongkar Mitos Musik Pop Religi Dalam Mitologi Budaya Massa Islam di Indonesia: Semiotika Sampul Album Pop Religi Ungu” Ungu”. Tesis ini mengkaji tentang label “religi” yang dibangun dalam komunikasi pemasaran seperti iklan dan desain kemasan produk, di mana dalam hal ini mengambil permasalahan dua sampul album pop religi dari band Ungu yang popularitasnya sudah diakui di kancah musik Indonesia. Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat interpretif, di mana metode yang digunakan sebagai pisau analisis adalah semiotika Roland Barthes dan teori dekonstruksi Derrida. Penelitian ini bertujuan menangkap makna dan mitos yang terdapat dalam tanda-tanda, kode-kode kultural, serta konteks kebudayaan di mana lahir produk seperti musik pop religi Ungu. Dari hal tersebut diharapkan dapat ditangkap mitos
12 http://digilib.mercubuana.ac.id/
tentang musik pop religi sebagai satu bentuk seni “Islam” dan bagaimana upaya membongkar mitos tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa musik pop religi melabeli dirinya dengan mitos seni Islam dengan pemanfaatan simbol-simbol yang sebelumnya telah diterima di masyarakat, suatu kode kultural, sebagai simbol-simbol Islam. Simbol-simbol yang nampak di antaranya adalah penggunaan metafora surga sebagai tempat yang tinggi dan terang, metafora siratalmustaqim, dan penggunaan baju koko yang telah dikonotasikan oleh umat sebagai baju “Muslim”. Hasil kajian juga telah menunjukkan bahwa musik pop religi sebagai satu bentuk produk dalam budaya massa melabeli dirinya dengan membangun mitos tentang seni Islam. Mitos tersebut dibangun dengan pemanfaatan simbolsimbol yang sebelumnya telah diterima di masyarakat, suatu kode kultural, sebagai simbol-simbol Islam. Simbol-simbol itu digunakan dalam komunikasi pemasaran seperti melalui pengemasan produk sebagaimana tampil dalam sampul album pop religi Ungu yang menjadi bahan kajian. Musik pop religi tidak sendirian dalam pemanfaatan, namun terkait erat dengan sistem budaya massa Islam yang lebih besar. Sistem tersebut memuat berbagai produk yang berbagi bersama dalam penggunaan simbol-simbol Islam. Simbol-simbol tersebut dapat menjadi satu bentuk komunikasi yang mengundang bagi umat untuk mengonsumsinya. Sebuah janji tentang makna yang ternyata tidak dipenuhi namun hanya berupa penanda-penanda kosong.
13 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Masyarakat konsumen di masa modern adalah masyarakat yang haus religiusitas
karena
pelepasan
penanda-penanda
religius
dari
petanda-
petandanya. Penanda-penanda tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai komoditas dalam sistem kapitalisme. Kebutuhan yang tak terpenuhi dan dahaga tersebut adalah pasar yang menggiurkan bagi produk-produk berlabel religius. Penciptaan kebutuhan melalui berbagai komunikasi pemasaran menjerat masyarakat dalam satu lingkaran konsumsi produk religius. Bagi penulis, penelitian ini merupakan penelitian yang bagus, karena berhasil
menjelaskan
peranan
kapitalisme
industri
musik
di
dalam
memamfaatkan mitos yang bersifat religi untuk tujuan komoditas dalam meraih akumulasi keuntungan semaksimal mungkin oleh pihak-pihak tertentu, di mana mereka membaca situasi masyarakat dan memamfaatkan dahaga religiusitas umat Islam disaat penanda-penanda religius tersebut sudah banyak yang terlepaskan dari petanda-petandanya dalam realitas sehari-hari. Akan tetapi si peneliti tidak berani menyatakan kalau band Ungu telah melakukan dramaturgi dalam meningkatkan popularitasnya dan mengeruk keuntungan yang sebesarbesarnya dalam penjualan albumnya. Ketiga: Penelitian yang dilakukan Tahun 2013 oleh Dahlia Ardhana Reswari mahasiswa pasca sarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta. Dalam penelitiannya, dia mengambil judul “Representasi Pluralisme Dalam Film Tanda Tanya”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui representasi pluralisme dalam film Tanda Tanya tersebut.
14 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan subjektif interpretif. Paradigma yang digunakan adalah paradigma kritis dengan level realitas, level representatif, dan level ideologi yang memperhatikan tandatanda dalam film tersebut. Objek penelitian ini adalah Film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo yang mengangkat konflik sosial masyarakat yang menyinggung masalah keberagaman agama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hanung membuat film Tanda Tanya ini sebenarnya untuk mengangkat masalah toleransi beragama yang ada di Indonesia, akan tetapi dalam isi film tersebut sangat menonjolkan konflik-konflik sosial yang berhubungan langsung dengan perbedaan prinsip dan agama atau dengan kata lain lebih menggambarkan pluralisme dibanding toleransi beragama, dan hal tersebut tercermin pada tema film itu sendiri yakni “masih pentingkah kita berbeda”?. Sedangkan sikap toleransi beragama itu sendiri adalah menjaga keragaman agama tersebut dengan saling menjaga dan menghormati perbedaan tersebut. Seharusnya
untuk
membaca
makna
film
tersebut
lebih
tepat
menggunakan teori Semiotika Barthes, sehingga konflik yang dominan dalam film tersebut pada hakekatnya terbaca sebagai pesan yang ingin mengajarkan pada masyarakat bahwa itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi dalam toleransi beragama. Sehingga tidak salah dalam memahami maksud dari film tersebut. Keempat: Penelitian yang dilakukan tahun 2013 di Bandung oleh saudara Fajar Rhenzhy Elaza mahasiswa komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas 15 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Padjajaran Bandung. Dalam penelitiannya dia mengambil judul “Representasi Aksi Vandalisme Dalam Video Klip “Up All Night” Dari Band Blink 182”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui representasi vandalisme dalam video klip Up All Night tersebut. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan subjektif interpretif. Metode yang digunakan sebagai pisau analisis untuk menggali makna pada video klip tersebut adalah metode semiotika dari Roland Barthes. Yang menjadi fokus yang diteliti adalah adegan-adegan yang menampilkan tanda dominan terhadap tindakan vandalisme tersebut. Hasil penelitian ini menemukan tanda denotasi dari Vandalisme yang paling dominan, yaitu anak kecil yang mencoret-coret Piano yang berada ditengah jalan, tulisan “NO MORE PARENTS” pada pagar rumah, dan dua kelompok remaja yang berseteru. Sedangkan dari konotasi, aksi vandalisme yang dilakukan para remaja dilakukan tidak dalam pengawasan orang tua dan selalu mencari pengakuan dari orang lain. Selanjutnya, penelitian ini menemukan mitos berdasarkan analisis tanda denotasi dan konotasi pada Video Klip Up All Night yaitu aksi vandalisme oleh bomber yaitu Graffity adalah pencari tembok bersih, para vandal mencari eksistensi dan kurang perhatian dari orang tua. Menurut penulis, penelitian ini cukup bagus di mana berhasil memberikan pemahaman pada kita tentang anak-anak yang mencari jati dirinya tanpa kehadiran orang tua yang seharusnya ada di sisi mereka, di mana mereka meluapkan ekspresinya dalam tindakan aksi vandalisme. Akan tetapi, 16 http://digilib.mercubuana.ac.id/
si peneliti tidak mengaitkan dan mencari ideologi penyebab anak-anak tersebut sampai terbengkalai oleh orang tuanya dalam mencari eksistensi jati dirinya, setidaknya ideologi tersebut mungkin dikaitkan dengan tatanan sistem sosial yang dijalankan para keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Berikut ini ringkasan dari penelitian terdahulu yang disampaikan secara tabulatif sebagai berikut:
Tabel 2.1. Matriks Penelitian Terdahulu
No
Nama Peneliti, Tahun dan Judul
1
Maya Amelia, 2013 Fisipol Universitas Mulawarman, Simbol-Simbol Illuminati Pada video Klip Lady Gaga: Versi Alejandro
2
Panji Suryo Nugroho, 2007 Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Membongkar Mitos Musik Pop Religi Dalam Mitologi
Tujuan Penelitian
Teori, Metode dan Paradigma
Hasil Penelitian dan Kritik Terhadap Penelitian
Hasil: Tampilan pada video klip Lady Gaga versi Alejandro, telah mempresentasikan simbolisasi Illuminati yang terlihat dari tanda ikon, indeks dan simbol Kritik: penelitian ini tidak mencari ideologi dari Lady Gaga apalagi membahas tentang mitologi Illuminati, akan tetapi penelitian ini hanya membahas tentang unsurunsur pembentuk video seperti bentuk,warna, serta teknik pengambilan gambar dalam scene yang mengarah pada simbol Illuminati tersebut. Hasil: Musik pop religi Semiotika Menangkap makna dan Roland melabeli dirinya dengan mitos yang Barthes dan membangun mitos tentang terdapat dalam teori seni Islam. Mitos tersebut dekonstruksi dibangun tanda-tanda, dengan Derrida, kode-kode pemanfaatan simbol-simbol kultural, serta Kualitatif, yang sebelumnya telah Kritis konteks diterima di masyarakat, suatu kebudayaan kode kultural, sebagai simbol-
untuk mengetahui bagaimana pesan dan bentuk-bentuk simbolisasi Illuminati yang terkandung pada video klip Lady Gaga versi Alejandro
Semiotika Peirce, Metode kualitatif, Konstruktivis
17 http://digilib.mercubuana.ac.id/
simbol Islam. Simbol-simbol itu digunakan dalam komunikasi pemasaran seperti melalui pengemasan produk dalam sampul album. Dengan kata lain hal tersebut hanya di manfaatkan sebagai komoditas dalam sistem kapitalisme Kritik: penelitian yang bagus karena berhasil menjelaskan peranan kapitalisme industri musik didalam memanfaatkan mitos yang bersifat religi untuk tujuan komoditas dalam meraih akumulasi keuntungan. Akan tetapi si peneliti tidak berani menyimpulkan kalau Band Ungu telah melakukan dramaturgi dalam meningkatkan popularitasnya. Untuk Dahlia Representasi, Hasil: film Tanda Tanya ini mengetahui Ardhana Kualitatif, sebenarnya untuk mengangkat Reswari, 2013 representasi Kritis masalah toleransi beragama pluralisme dalam FIKOM yang ada di Indonesia, akan film Tanda Universitas tetapi dalam isi film tersebut Mercu Buana, Tanya sangat menonjolkan konflik“Representasi konflik sosial yang Pluralisme berhubungan langsung Dalam Film dengan perbedaan prinsip dan Tanda Tanya” agama atau dengan kata lain lebih menggambarkan pluralisme di banding toleransi beragama, dan hal tersebut tercermin pada tema film itu sendiri yakni “masih pentingkah kita berbeda”? Kritik: Seharusnya untuk membaca makna film tersebut lebih tepat menggunakan teori Semiotika Barthes, sehingga konflik yang dominan dalam film tersebut pada hakekatnya terbaca sebagai pesan yang ingin mengajarkan pada masyarakat bahwa itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi dalam toleransi beragama. Sehingga Budaya Massa Islam di Indonesia : Semiotika Sampul Album Pop Religi Ungu
3
dimana lahir produk seperti musik pop religi Ungu
18 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
Fajar Rhenzhy Elaza, 2013 FIKOM Universitas Padjajaran, “Representasi Aksi Vandalisme Dalam Video Klip “Up All Night” Dari Band Blink 182”.
untuk mengetahui representasi vandalisme dalam video klip Up All Night tersebut
Semiotika Barthes, Kualitatif, Kritis
tidak salah dalam memahami maksud dari film tersebut. Hasil: menemukan tanda denotasi dari Vandalisme yang paling dominan, yaitu anak kecil yang mencoret-coret Piano yang berada ditengah jalan, tulisan “NO MORE PARENTS” pada pagar rumah, dan dua kelompok remaja yang berseteru. Sedangkan dari konotasi, aksi vandalisme yang dilakukan para remaja dilakukan tidak dalam pengawasan orang tua, dan selalu mencari pengakuan dari orang lain. Kemudian lagi juga menemukan mitos berdasarkan analisis tanda denotasi dan konotasi pada Video Klip Up All Night yaitu aksi vandalisme oleh bomber yaitu Graffity adalah pencari tembok bersih, para vandal mencari eksistensi, dan kurang perhatian dari orang tua. Kritik: penelitian tidak menjelaskan ideologi yang menyebabkan terjadinya aksi vandalisme, setidaknya ideologi tersebut dikaitkan dengan tatanan sistem sosial yang dijalani para keluargakeluarga dalam suatu masyarakat.
2.2. Tinjauan Teoritis dan Definisi 2.2.1. Illuminati dan Paganisme Illuminati merupakan mitos. Layaknya mitos, kisah ini memiliki keberulangan tema dan simbol yang memiliki muatan nilai tertentu. Mencuatnya 19 http://digilib.mercubuana.ac.id/
cerita ini tidak dapat terlepas dari sinkronisitas dan diakronisitas dengan mitosmitos terdahulu. Dengan mempertimbangkan sinkronisitas dan diakronisitas, akan dicoba untuk memperoleh konfigurasi penjelasan yang ada di balik fenomena Illuminati dalam industri musik dunia. Untuk itu penulis akan berusaha menjelajahi serta mencermati secara lebih teliti fenomena Illuminati beserta nilai-nilai yang ditawarkannya. Berbicara tentang Illuminati, pada hakekatnya tidak akan lepas juga dari pembicaraan mengenai Freemasonry. Kenapa demikaian?, karena keduanya ini ibarat dua sisi mata uang yang selalu seiring jalan dan tidak mungkin untuk dipisahkan. Menurut Harun Yahya, Freemason adalah kelompok yang menjalankan perintah rahasia dari Ordo Bait Allah. Ordo ini adalah pasukan katolik zaman Perang Salib yang berusaha membebaskan Kuil Salomo dari tangan orang Islam. Freemason juga merupakan organisasi Yahudi dan mendapat mandat dari zion untuk mengembalikan Yerusalem ke dalam genggaman Bangsa Yahudi. Meskipun kelompok ini adalah ordo pasukan Katolik, akan tetapi dalam praktiknya Freemason melakukan ritual-ritual mistisme Kaballah dan menganut agama pagan. Jadi Freemason melakukan praktik pemujaan agama pagan yaitu menyembah setan (Raid, 2012: 117). Bahkan setiap Freemason merupakan anggota Illuminati. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Jerry D Gray sebagai berikut:
20 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Free masons merusak pikiran kita dengan data-data palsu, kebingungan dan bahkan kebencian terhadap satu lainnya. Merekalah yang bertanggungjawab terbentuknya sistem bagi kedatangan Dajjal (AntiKristus). Mereka semua adalah anggota Illuminati dan kelompok sosial rahasia lainnya (Gray, 2012: 196).
Jadi, di antara keduanya ada kisah dan cerita sejarah yang membuat mereka selalu satu paket untuk dibahas dan dipahami. Intinya adalah, walaupun keduanya berbeda nama, tetapi pada hakekatnya dalam filosofi hidup dan tujuan mereka memiliki kesamaan visi dan misi. Dan dengan kesamaan itu pula mereka selalu berdampingan dalam segala bentuk operasinya. Sebagai catatan, di sini penulis tidak akan membahas keduanya, melainkan hanya pada Illuminati saja karena sudah dianggap mewakili Freemasonry juga, sebab kedua organisasi rahasia ini dalam prakteknya menggunakan simbol-simbol yang sama dalam menyebarkan ideologinya. Illuminati mempunyai arti “tercerahkan“. Yang mana kata ini berasal dari bahasa latin. Kata ini merujuk kepada berbagai kelompok, baik yang secara nyata ada ataupun yang tidak nyata. Kelompok Illuminati yang nyata biasanya merujuk kepada Illuminati Bavaria. Kelompok ini adalah gerakan rahasia yang didirikan 1 Mei 1776 (Raid, 2012: 101). Namun tercerahkan di sini bukanlah dalam pengertian yang menuju pada suatu kebaikan atau hal yang positif, melainkan menuju ke arah yang jauh dari pada kebaikan. Jika ada yang “tercerahkan”, secara logikanya berarti ada “pencerahan”. Menurut Henry Makow (2013: 43), yang disebut “pencerahan – Enlightment” nama untuk Lucifer, “Pembawa Cahaya”) adalah benar-benar 21 http://digilib.mercubuana.ac.id/
penolakan terhadap rencana Tuhan untuk manusia dan kegilaan dari arogansi manusia. Hasil dari falsafah menyimpang ini adalah semakin berkembangnya solipsisme Judeo-Masonik yang di dasarkan pada penyimpangan dari Tuhan, alam dan kebenaran. Nama Illuminati banyak digunakan untuk menyebut gerakan dan organisasi persekongkolan jahat yang mendalangi dan mengendalikan berbagai peristiwa penting dunia. Jadi setiap peristiwa penting dan biasanya menghebohkan disebut-sebut didalangi oleh kaum Illuminati. Dan banyak juga tokoh penting dunia yang dianggap sebagai jaringan kelompok Illuminati tersebut, yang biasanya sering disebut adalah presiden Amerika Serikat. Sastrawan Johann Wolfgang von Goethe disebut juga anggota Illuminati dan masih banyak yang lainnya. Illuminati
merupakan
sebuah
organisasi
sosial
rahasia
yang
berlandaskan pada paham Kabala (Kaballah). Menurut Harun Yahya , kaballah adalah sebuah sistem yang berakar kepada pemujaan dan penyembahan berhala; bahwa ia ada sebelum Taurat, dan menjadi tersebar luas bersama agama Yahudi setelah Taurat diturunkan. Murat Ozgen, anggota Freemason Turki menyatakan “ kami tidak mengetahui dengan jelas dari mana Kaballah datang atau bagaimana ia berkembang. Ia adalah nama umum untuk sebuah filsafat yang unik, berbentuk metafisik esoterik dan mistik yang terutama berhubungan dengan agama Yahudi. Ia diterima sebagai ilmu kebatinan Yahudi, tetapi sebagian elemen yang dikandungnya menunjukkan bahwa ia terbentuk jauh lebih dulu dari Taurat“(Yahya, 2005: 19). 22 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kabala menggambarkan pencapaian keharmonisan alam semesta adalah dengan memfasilitasi penyatuan seksual ketuhanan pria dan wanita. Ia mengajarkan bahwa “gairah di bawah akan menimbulkan gairah di atas”. Ia memberikan dasar untuk ritual seks Illuminati yang direfleksikan dalam simbol Illuminati, titik di dalam lingkaran, yang menyimbolkan penis dan vagina. Ia juga terlihat dari kecendrungan homoseksual dan fedofilia yang terdapat diantara para anggotanya (Makow, 2013: 27). Mary Anne, seorang mantan anggota Illuminati yang terkemuka, mengatakan bahwa dirinya diberi tahu kalau gerakan tersebut berakar dari masa Babilonia kuno dan Menara Babel (yang bukan merupakan kebetulan mewakili kehadiran parlemen Uni Eropa). Ketika rencana Kabalis untuk membuat menara yang mencapai langit digagalkan oleh Tuhan, mereka mewujudkan dendam mereka yang berabat-abat untuk menentang Dia dan memilih untuk membajak ciptaan-Nya (Makow, 2013: 18). Para Kabalis memiliki anggota yang cendrung sedikit, sehingga mereka memilih untuk mencapai kemenangan dengan menggunakan emas, yaitu dominasi ekonomi. Pada 1773, Amschel Mayer Rothschild, seorang Yahudi ortodoks yang tidak pernah mengganti celana dalamnya dan membiarkan pakaiannya sobek-sobek, mengadakan sebuah pertemuan dengan dua belas orang bankir terkemuka. Mereka memperbaharui program mereka dengan melakukan serangan melalui janji palsu kebebasan, persaudaraan, dan persamaan-liberty,
fraternity,
equality.
Manifesto
Komunis
1848
yang
menganjurkan pencurian kepemilikan pribadi dan penghancuran kemerdekaan 23 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan keluarga atas nama “persamaan”. Ini mencerminkan agenda Satanis mereka.
Pada
1776,
mereka
menugaskan
Adam
Weishaupt
untuk
mengorganisasi kembali Illuminati yang bergabung dengan Freemasonry pada 1782 (Makow, 2013: 18). Pada 1 Mei 1776 di Ingolstadt didirikan ordo Illuminati dengan anggota awal sebanyak 5 orang. Pendirinya adalah Adam Weishaupt (nama samaran Spartacus). Weishaupt adalah seorang profesor dari Cannon Law di Universitas Ingolstadt di Bavaria, bagian dari Jerman. Anggota Illuminati melakukan sumpah rahasia dan berjanji mengabdi pada pimpinan mereka. Awalnya weihaupt ingin menamai kelompok ini “ Perfectibilist “. Gerakan ini mempunyai banyak cabang di Eropa. Tahun 1777, Karl Theodor yang merupakan penguasa Bavaria melarang segala bentuk gerakan rahasia termasuk Illuminati dan
kelompok
tersebut
dibubarkan
berdasarkan
dekrit
Sekuler
(Raid, 2012: 102). Weishaupt membangun keanggotaan Illuminati dalam bentuk struktur sebuah piramida. Tiga kelas utamanya adalah Novis, Minerval, dan Junior. Kelas kedua adalah Ksatria, sedangkan kelas ketiga terdiri dari dua tingkat, yaitu Regent serta Magus dan Illuminati Rex. Setiap tingkatan tidak dapat mengetahui anggota di tingkat yang lain. Selain itu banyak cabang Illuminati yang menarik anggota dari loji-loji Freemason. Semua anggota Illuminati berkualifikasi sampai ke tingkat atas yang di dasarkan pada keunggulan fisik dan intelektual. Itulah sebabnya mereka juga memiliki anggota yang terdiri dari
24 http://digilib.mercubuana.ac.id/
orang-orang penting di pemerintahan, ahli keuangan, maupun pakar ekonomi (Junus, 2013: 81). Juli 1782 tatanan Illuminati bersekutu dengan kekuatan Freemasonry pada konggres Wilhelmsbad. Conte de Virieu, seseorang yang hadir dalam konferensi tersebut, pergi dengan tubuh gemetar. Ketika dia ditanya tentang rahasia yang tragis“ tersebut dia menjawab, “saya tidak akan menceritakannya “rahasia kepada Anda. Saya hanya dapat mengatakan bahwa semua ini lebih serius dari apa yang Anda pikirkan “. Sejak saat itu, menurut penulis biografinya, Comte de Virieu tidak dapat membicarakan perihal Freemasonry tanpa perasaan takut (Gray, 2012: 199). Pada tahun 1797, Augustin Barruel membuat karya berjudul memoirs Illustrating the History of Jacobinisme. Sementara pada 1798 John Robinson mengeluarkan karya berjudul Proofs of a Conspiracy. Dalam dua karya tersebut dikemukakan teori bahwa gerakan Illuminati terus bertahan dan melaksanakan persekongkolan internasional. Beberapa peristiwa penting yang ditunggangi oleh kaum illuminati salah satunya yang terkenal adalah Revolusi Perancis. (Raid, 2012: 102). Sedangkan untuk era milenium ini contohnya adalah peristiwa serangan WTC sebelas september 2011 di Amerika yang cukup menghebohkan dunia (Zaid, 2013: 20). Bukti kalau Illuminati berada di balik peristiwa dan kejadian penting dunia adalah ketika seorang kurir Illuminati yang bertugas membawa naskah rancangan Revolusi Perancis tewas di tengah perjalanan akibat disambar petir. Ketika polisi Bavaria memeriksa mayatnya, mereka menemukan pesan 25 http://digilib.mercubuana.ac.id/
bersandi dari Weishaupt yang dijahit di antara lipatan bajunya. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Protokol Zion (The Protocols of the Elders of Zion), sebuah dokumen yang memuat agenda besar Illuminati untuk menguasai dunia (Junus, 2013: 26). Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1785 di Ratisbon, Bavaria. Nama kurirnya adalah Lanze, pada saat itu ia bermaksud menuju markas Illuminati di Perancis. Faktanya, revolusi Perancis terjadi pada 1789. Hingga sekarang dokumen tersebut tersimpan dengan baik di museum Munich, Jerman (Junus, 2013: 129) Dengan menerapkan strategi bunglon, organisasi satanik ini masuk ke dalam sebagian besar agama dan pemerintahan, dan membentuk tirani tak kentara tanpa menarik banyak perhatian. Dalam kalimat seorang peneliti Yahudi yang brilian, Clifford Shack:
“Melalui penyusupan, tindakan rahasia, dan kelicikan, jaringan tak kentara ini telah dapat mengendalikan kita semua. Empat puluh tahun setelah kematian Sabbatai Zevi, pada 1717, mereka menyusupi serikat Masonry di Inggris dan mendirikan Freemssonry...Jacob Frank (pengganti Zevi) memiliki pengaruh yang amat besar terhadap lingkaran inti Freemasonry yang dikenal sebagai Illuminati yang didirikan pada 1776. Freemasonry menjadi kekuatan tersembunyi di balik peristiwaperistiwa seperti revolusi (Amerika, Perancis, dan Rusia), pembentukan PBB dan Israel, kedua perang dunia (termasuk Holokaus), pembunuhan saudara-saudara Kennedy yang bersama dengan ayah mereka, mencoba untuk merintangi upaya jaringan tersebut di tanah Amerika” (Makow, 2013: 180).
Adapaun strategi-strategi yang diusulkan (dalam bentuk inti sari) dalam protokol Zion adalah (Zaid, 2013: 79): 26 http://digilib.mercubuana.ac.id/
1) Penyebaran ide-ide mengenai semua corak yang mungkin dengan tugas untuk menggerogoti bentuk-bentuk keteraturan yang sudah mapan, antara lain penyebaran Darwinisme, Marxisme, Nietzshe-isme, Liberalisme,
Sosialisme,
Komunisme,
Anarkisme,
Materialisme,
Feminisme, dan Utopianisme. 2) Mengadakan mengaku
malapetaka
bermoral
tinggi
terhadap demi
kaum
seseorang,
mencapai
pengaruh
kemudian sebagai
penyelamat. 3) Pembatassan kebebasan sipil dengan alasan untuk mengalahkan musuh yang berusaha menciptakan perdamaian, yakni dengan memunculkan kesan adanya kebebasan pers, kebebasan berbicara, demokrasi dan hak-hak asasi manusia, yang semuanya kemudian digerogoti dan hanya menjadi ilusi atau kedok tipuan di balik penindasan yang sesungguhnya. 4) Penghancuran agama Kristen, agama-agama dan budaya-budaya yang lain, yang diikuti oleh sebuah tahap transisi berupa ateisme, dan akhirnya diikuti oleh hegemoni Yudaisme berhaluan Lucifer. 5) Penggerogotan sistem keuangan melalui pinjaman asing, menyebabkan kebangkrutan nasional, menghancurkan pasar uang dan menggantinya dengan lembaga-lembaga kredit pemerintah. 6) Penyebaran karya sastra pornografis, praktik pencucian pikiran, pancingan terhadap terjadinya depresi ekonomi, pemberlakuan hak pilih
27 http://digilib.mercubuana.ac.id/
secara universal (demokrasi), hasutan agar terjadi Perang Dunia, Pembentukan Pemerintahan Dunia.
Para orang tua yang menjadi anggota Illuminati selalu mengajari anakanak mereka tentang siapa pemimpin mereka. Keluarga Illuminati ini bersumpah setia kepada pimpinan mereka dan Tatanan Dunia Baru. Pemimpin Illuminati sendiri menyatakan bahwa mereka mewarisi garis keturunan keluarga kerajaan dan okultisme yang tak terputus. Bagi mereka, kerajaan itu terdiri dari “kerajaan terbuka” yang diperlihatkan sekarang dan kerajaan tersembunyi (kekuasaan dunia hitam) (Junus, 2013: 72). Agama masyarakat barat modern, humanisme sekular, adalah garda depan dari Illuminati (penyembahan Lucifer). Tujuan Illuminasisme adalah untuk memisahkan manusia dari Tuhan dan untuk mengabadikan Lucifer (yaitu Illuminati) di tempat Tuhan. Di balik topeng utopia humanis, mereka menciptakan neraka Orwellian – Tananan Dunia Baru atau yang dikenal juga dengan globalisme. Tujuan dari globalisme adalah sama dengan komunisme. Para Elit dunia menyembunyikan Luciferianisme mereka dalam paganisme abat baru dan penyembahan Gaia. Perwakilan Lucifer bersemayam di PBB dan satu-satunya patung di dalam gedung PBB adalah tuhan pagan Zeus (Makow, 2013: 137). Terkait paganisme, dari literatur-literatur yang penulis baca, pada intinya secara umum menjelaskan definisi dari paganisme itu adalah sebuat bentuk atau ajaran atau penghambaan ataupun penyembahan yang dilakukan oleh 28 http://digilib.mercubuana.ac.id/
manusia terhadap benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan supra atau bahkan dianggap sebagai kekuatan Tuhan. Paganisme juga bisa dikatakan identik dengan istilah okultisme serta mistisme, karena pada hakekatnya bermuara dan berbicara tentang suatu paham-paham gaib yang bisa dikuasai manusia dan dianggap sebagai kekuatan Tuhan. Dari uraian di atas bisa dikatakan kalau Illuminati merupakan pusat dari segala bentuk paganisme yang sesungguhnya.
2.2.2. Video Klip Sebagai Media Komunikasi Secara umum video klip bisa diartikan sebuah film tentang lagu, di mana di dalamnya terdapat narasi dan berbagai kombinasi yang dirancang sedemikian rupa dengan berbagai unsur artefak yang melibatkan seorang images Semua penyanyi atau group, dengan tampilan gambar visual/visual images. unsur-unsur atau artefak-artefak yang terdapat dalam sebuah video klip dapat merepresentasikan suatu tema atau kondisi suatu keadaan dari album musik tersebut, dan memvisualisasikan isi syair lagu serta alur cerita dengan beberapa macam gaya. Dalam pengertian lain, video klip bisa berarti sekumpulan potonganpotongan visual yang sengaja dirangkai dengan efek-efek tertentu dan diselaraskan menurut ritme-ritme pada irama lagu, lirik, nada, instrumennya dan penampilan band/kelompok musik untuk mempromosikan lagunya supaya masyarakat dapat mengenalnya, baik melalui medium seperti Televisi, DVD, kaset, ataupun CD. Jadi, dapat dikatakan kalau video klip merupakan jalan 29 http://digilib.mercubuana.ac.id/
pembuka awal pengenalan ke masyarakat untuk menuju tahap selanjutnya yaitu berupa tur atau konser dari seorang musisi karena memang pada umumnya setiap lagu atau album yang diciptakan pastilah yang dirilis pertama kali adalah versi video klipnya. Jadi, antara video klip dan konser sesungguhnya ada keterikatan yang tidak bisa dipisahkan. Video klip dibuat memang untuk melahirkan ketertarikan visual terhadap lagu dan artis yang diusung. Hal itu tidak lepas dari tujuan yang lebih besar lagi yaitu berupa konser yang diharapkan menghasilkan keuntungan yang fantastis. Dengan demikian bisa dikatakan kalau video klip sangat berperan dalam menggaungkan gema rangkaian konser dengan mantap keseluruh pelosok dunia. Video klip mulai berkembang pertama kali pada tahun 1960an, di mana band musik yang pertama kali yang membuat video klip yaitu grup band legendaris asal Inggris “The Beatles“. Dalam perjalanannya, video klip berkembang pesat pada tahun 1980an, di mana hal tersebut ditandai dengan lahirnya music television (MTV). Sejak itu, banyak musisi dunia dalam industri musik yang membuat video klip sebagai sarana untuk mempromosikan lagunya. Bisa dikatakan kalau video klip merupakan sebuah karya seni dengan kreativitas yang lebih hidup karena ditopang oleh kemajuan teknologi. Dengan kata lain adanya sebuah video klip, maka hal tersebut dapat mendongkrak penjualan dari sebuah produk musik yang ditawarkan. Di era teknologi informasi yang sangat canggih sekarang ini, video klip memiliki implikasi yang 30 http://digilib.mercubuana.ac.id/
sangat signifikan dalam promosi, karena dia lebih memiliki nilai lebih dibandingkan dengan radio. Kemudian lagi video klip ternyata juga memberikan percikan rejeki bagi stasiun televisi untuk mendapatkan pemasukan dari iklan baik dalam bentuk membeli program musik maupun sebagai iklan itu sendiri, bahkan juga memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin bergerak di dalam usaha pembuatan jasa video klip. Di dalam sebuah video klip biasanya mengandung unsur-unsur seperti bahasa ritme (irama), bahasa musikalisasi (instrument musik), bahasa nada, bahasa lirik, dekorasi, dan bahasa performance (penampilan). Video klip adalah salah satu bagian dari kreasi pertunjukan musik. Sebagai bagian dari musik itu sendiri, video klip juga dapat merepresentasikan perjalanan sejarah kebudayaan serta dapat melihat kontestasi kekuasaan maupun isu-isu kemasyarakatan yang digambarkan sebagai suatu realitas sosial. Jacques Attali (1985) dalam bukunya Noise: The Political Economy of Music mengatakan “Listening to music is listening to all noise, realizing that its appropriation and control is a reflection of power, that it is essentially political. Dari kutipan tersebut, memberi gambaran mengenai implikasi politik ((political implication) terhadap produksi kulturasi (cultural production) yang ada. Dari penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan kalau musik dalam bentuk video klip sangat efektif untuk menyebarkan sebuah paham ataupun ideologi tertentu. Itu dikarenakan sifatnya yang memadukan unsur suara dengan unsur visual, dikemas dalam bentuk sebuah film mini yang di kombinasikan dengan dekorasi dan artifak-artifak berupa simbol-simbol 31 http://digilib.mercubuana.ac.id/
tertentu. Dengan demikian akan menimbulkan efek provokatif yang begitu hidup dan menjiwai dalam penyajian pesan berupa alur cerita yang ingin ditampilkan untuk dinikmati oleh masyarakat. Dewasa ini, industri media massa cendrung bergerak sebagai industri produktif ketimbang penyebaran edukasi. Nilai-nilai kemewahan seperti materialisme, hedonisme, seks, konsumerisme, kekerasan, sekularisme, serta mistisme yang menjadi pemicu persoalan sosial di masyarakat saat ini (Bungin, 2006: 327). Kata “mistik” menurut asal katanya berasal dari bahasa Yunani yaitu mystikos, yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), (geheimzinnig tersembunyi (verbongen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in ( het duister gehuld). Maka, apabila ditemui kata-kata berupa mistisme, artinya ada paham mistik yang memberikan ajaran serba mistik dalam bentuk rahasia atau ajarannya yang serba rahasia, tersembunyi, gelap, atau terselubung dalam kekelaman sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orangorang tertentu saja, terutama penganutnya (Bungin, 2006: 330). Dari penjelasan singkat Bungin tersebut, maka dapat disaksikan kalau fenomena seperti ini sangat marak terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali di bidang seni dan budaya, khususnya dalam sebuah video klip yang akan penulis bahas dalam penelitian ini. Sama seperti tanda yang biasa ditemui dalam praktek kehidupan seharihari, praktek media massa juga tidak terlepas dari tanda yang memiliki ragam ideologi di belakangnya. Media tidak bisa dianggap “netral” dalam memberikan 32 http://digilib.mercubuana.ac.id/
informasi dan hiburan kepada khalayak penerima. Lembaga ini tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan dan penerima, melainkan adanya produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya ada pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan (Sobur, 2009: 93). 2.2.3. Representasi Dalam teori semiotika, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik disebut sebagai representasi (Danesi, 2010: 3). Istilah representasi secara lebih luas mengacu pada penggambaran kelompokkelompok dan institusi sosial. Representasi berhubungan dengan stereotip, tapi tidak sekedar menyangkut hal ini. Lebih penting lagi, penggambaran itu tidak hanya berkenaan dengan tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (nilai) di balik tampilan fisik. Tampilan fisik representasi adalah sebuah jubah yang menyembunyikan bentuk makna sesungguhnya yang ada di baliknya (Burton, 2007: 41). Reperesentasi merupakan bentuk kongkrit (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa dari pada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan percakapan sehari-hari (Hartley, 2009: 265). 33 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dalam kajian semiotika modern, istilah representasi menjadi suatu hal yang sangat penting, karena semiotik bekerja dengan menggunakan tanda (gambar,
bunyi,
dan
lainya)
untuk
menggabungkan,
menggambarkan,
memotret, atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu (Danesi, 2010: 24). Menurut stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua,, “bahasa”, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita
tentang
sesuatu
dengan
tanda
dari
simbol-simbol
tertentu
(Wibowo, 2011: 148). Dengan
mempelajari
representasi,
kita
mempelajari
pembuatan,
kontruksi makna. Karenanya, representasi juga berkaitan dengan penghadiran kembali (re-presenting) : bukan gagasan asli atau objek fisikal asli, melainkan sebuah re-presentasi atau sebuah versi yang dibangun darinya. Representasi dalam teks media boleh dikatakan berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu memproduksi hubungan sosial yang berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi (Burton, 2007: 42). Jadi, terkait dengan semiotika komunikasi, maka apa yang dijabarkan oleh Graeme Burton tentang representasi, merupakan suatu isyarat atau petunjuk bagi manusia di dalam melihat dan memaknai sesuatu yang 34 http://digilib.mercubuana.ac.id/
ditampilkan ke permukaan. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan budaya populer di era modernitas seperti sekarang ini, tentulah sebuah representasi membutuhkan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengungkap makna yang tersembunyi di balik jubah yang menyelimutinya. 2.2.4. Komunikasi, Tanda dan Makna Bisa dipastikan kalau hampir seluruh aktivitas manusia sehari-hari tidak lepas dari komunikasi, dan manusia merupakan mahluk yang paling cerdas dalam berkomunikasi sekaligus juga yang paling unik. Cerdas dalam arti manusia mempunyai kemampuan dalam merangkai kata dan berbahasa dalam memproduksi makna serta menterjemahkannya. Unik dalam arti manusia di dalam menyampaikan pesan-pesannya cendrung menggunakan beragam tanda atau simbol-simbol tertentu yang terkadang membutuhkan pemahaman yang dalam untuk dapat mengetahui dan mengerti makna sesungguhnya yang tersembunyi di balik fenomena yang ditemuinya. Komunikasi sebagai proses transaksi, menganggap komunikator secara aktif mengirim dan menafsirkan pesan. Komunikasi berlangsung jika seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, pihak-pihak yang berkomunikasi berada pada keadaan interdependensi dan timbal balik (Mulyana, 2001: 68). Dengan demikian, bisa dikatakan kalau model makna akan lahir dari transaksi tandatanda dalam wadah komunikasi itu sendiri. Semua model makna memiliki bentuk yang secara luas mirip. Masingmasing memperhatikan tiga unsur yang mesti ada dalam setiap studi tentang makna. Ketiga unsur tersebut adalah (1) tanda, (2) acuan tanda, (3) pengguna 35 http://digilib.mercubuana.ac.id/
tanda (John Fiske, 2008: 61). Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita; tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda. Peirce (dan, Ogden dan richards) melihat tanda, acuannya, dan penggunaanya sebagai tiga titik dalam segi tiga. Masing-masing terkait erat pada dua yang lainnya, dan dapat dipahami hanya dalam artian pihak lain. Sedangkan Saussure mengambil cara yang sedikit berbeda. Saussure menyatakan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental yang terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atas realitas eksternal. Tanda terkait pada realitas hanya melalui konsep orang yang menggunakannya (Fiske, 2008: 62). Dunia yang kita tempati ini merupakan suatu sistem hubungan yang memiliki unit dasar dengan “tanda”, dan setiap keberadaan tanda-tanda tersebut tentulah memiliki atau memproduksi makna-makna. Ahli semiotika, Umberto Eco menyebut tanda sebagai suatu “kebohongan” dan dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri (Wibowo, 2013: 9). Ada tiga hal yang berhubungan dengan makna yaitu : (a) menjelaskan makna secara alamiah, (b) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan (c) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Sobur, 2006: 23). Begitu pentingnya pemaknaan dalam sebuah proses komunikasi, sehingga Agus Sachari dalam bukunya “Budaya Visual Indonesia” (2007: 39) mengatakan 36 http://digilib.mercubuana.ac.id/
pemikiran-pemikiran tentang makna dan penafsiran fenomena didudukkan sebagai unsur yang memiliki peran ataupun tanda utama pada proses transformasi budaya. Bagi Derrida, untuk menemukan makna yang tersembunyi, seorang pengamat harus dapat membuka “selubungnya”, melihat isi secara terpisah, membuang hubungan yang sudah ada serta berusaha untuk menghapus prasangka yang menjadi sumber utama timbulnya kesalahan. Tanda bagi Derrida bisa menggantikan bendanya, yaitu benda yang ada; tanda menyatakan sesuatu yang belum hadir. “Tanda” menunjukkan kehadiran yang tertunda segera sesudah pengamat memahami dan melihat objeknya secara nyata, maka tanda segera pula “menghapus jejaknya” (Sachari, 2007: 40). Makna merupakan hasil produksi sosial. Dunia adalah suatu yang diberi makna. Bahasa dan simbolisasi adalah sasaran melalui mana makna diproduksi. Pesan media dalam hal ini adalah suatu cara praktis untuk memproduksi simbol-simbol (Sobur, 2006: 62). 2.2.5. Simbol dan Simbolisasi Manusia dan sejarah kehidupannya selalu dihiasi oleh simbol-simbol dalam membentuk kebudayaannya. Sepertinya simbol-simbol tersebut telah menjadi perwujudan lain dari cara manusia berkomuniasi dan berbahasa. Hidup agaknya memang digerakkan oleh simbol-simbol, dibentuk oleh simbol-simbol, dan dirayakan dengan simbol-simbol (Sobur, 2009: 153). Dengan adanya simbol, manusia bisa membuat penandaan terhadap sesuatu dalam komunikasinya. Seperti halnya tempat ibadah, sekolah, pasar, 37 http://digilib.mercubuana.ac.id/
berbagai macam bentuk rumah, model pakaian, gedung-gedung bertingkat, monumen-monumen dan lain-lain. Mengutip Herusatono, (2000: 10), ia menyebutkan kalau simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri (Sobur, 2009: 155-156). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (2001: 166), disebutkan bahwa simbol adalah kata lain dari lambang, yaitu sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna merah merupakan lambang keberanian, jilbab merupakan tanda pengenal bagi seorang Muslimah, dan lainlain. Bagi Saussure, simbol adalah bentuk tanda yang semi-natural, yang tidak sepenuhnya arbitracy (terbentuk begitu saja) atau termotivasi. Sedangkan bagi Pierce, bentuk tanda di dasarkan pada konvensi simbol yang seharusnya ditunjukkan. Suatu tanda dapat termasuk dalam kategori yang ikonik, indeksial, atau simbolis, dan semuanya dapat terjadi pada saat yang bersamaan. Dengan kata lain, adanya suatu aspek dari sebuah tanda tidak menghindari adanya aspek-aspek lain (Berger, 2010: 247). Mengacu pada konsepnya Pierce, bahwa dia mengartikan simbol sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) 38 http://digilib.mercubuana.ac.id/
sifatnya konvensional. Dan berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya (Sobur, 2009: 156). Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan pada negara. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut. ( Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign). Dalam (index dan simbol wawasan Peirce, tanda (sign) terdiri atas ikon (icon), indeks (index), ). Menurur Alex Sobur, dalam bukunya Semiotika Komunikasi (2009: (symbol). 158) hubungan butir-butir tersebut oleh Peirce digambarkan sebagai berikut:
Icons Signs:
Index Symbol
Sumber: Charles Sanders Peirce, 1982. “Logic as Semiotic: The Theory as Signs” dalam Semiotics, An Introductory Anthology. Robert E. Innis (ed.). Bloomington: Indiana University Press
Gambar 2.1: Pembagian Tanda Oleh Peirce 39 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan (Tinarbuko, 2008: 17). Misal, foto Sukarno sebagai mantan Presiden RI adalah ikon dari Bung Karno. Peta DKI Jakartta adalah ikon dari wilayah DKI yang digambarkan dalam sebuah peta. Cap jempol Bung Karno adalah ikon dari ibu jari Bung Karno. Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya asap dan api, adanya asap menunjukkan adanya api, jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu, tanda tangan signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda (signature) tangan tersebut. Simbol
merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau
perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya, Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar belakang budaya berbeda, misalnya orang eskimo, Garuda Pancasial hanyalah dipandang sebagai burung elang biasa (Tinarbuko, 2008: 17). Penjelasan mengenai kaitan antara symbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent (acuan) dalam wawasan Peirce tersebut dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle sebagai berikut: 40 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pikiran atau referensi
Simbol
Acuan
Sumber: Aminudin, 1997. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa Dalam Karya Sastra. Semarang: CV IKIP Semarang Press, hlm.206
Gambar 2.2: Semiotik Triangle
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi: hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu (Sobur, 2009: 159). Sementara itu, dalam hal penggunaan lambang atau simbol itu sendiri dalam penyampaian suatu pesan disebut dengan simbolisasi. Simbolisasi tersebut akan terus digunakan oleh manusia secara berkelanjutan karena bisa dikatakan kalau hal tersebut merupakan proses mendasar bagi manusia untuk mengeluarkan pemikirannya. Jadi, dengan demikian dapat dikatakan kalau simbolisasi tersebut merupakan salah satu menu utama bagi manusia dalam berkomunikasi dan menyampaikan
pesan-pesannya.
Dengan
adanya
simbolisasi
dalam 41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berkomunikasi berarti secara tidak langsung manusia telah merangkum serangkaian kata-kata ataupun pesan yang ingin diungkapkannya. Seperti halnya ungkapan yang dikatakan Alex Sobur, bahwasanya simbolisasi adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. 2.2.6. Makna Denotasi dan Konotasi Dalam realitas kehidupan, banyak orang yang menggunakan makna, akan tetapi banyak pula orang yang tidak pernah memikirkan makna itu sendiri. Ketika seseorang masuk dalam sebuah ruangan yang penuh dengan banyak lukisan, maka di sana akan muncul sebuah makna. Seseorang yang akan berangkat naik bus dan melambaikan tangannya kepada seorang lainnya, hal itu berarti dia menyapa orang tersebut. Makna dalam sebuah bentuk atau bentuk lainnya merupakan jejak rekam sebagian besar manusia di semua aspek kehidupan. Dalam semiologi, makna denotasi dan konotasi memegang peranan yang sangat penting jika dibandingkan dengan peranannya dalam ilmu linguistik. Makna denotasi bersifat langsung, dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda (Berger, 2010: 65). Fenomena-fenomena konotasi masih belum dikaji secara sistematis (orang bisa menemukan beberapa indikasi tentang fenomena-fenomena ini dalam buku Prolegomena yang ditulis Hjelmslev). Meski demikian, masa depan fenomena-fenomena itu tentu saja ada di tangan suatu linguistik konotasi, sebab dengan menggunakan sistem pertama yang disediakan oleh langage manusia, masyarakat terus-menerus mengembangkan sistem-sistem makna 42 http://digilib.mercubuana.ac.id/
kedua dan elaborasi ini, yang kadang diberitakan luas, kadang disamarkan, kadang dirasionalisasikan, menyentuh suatu antropologi historis secara sangat dekat (Barthes, 2007: 83). Dengan demikian, jika seseorang melihat suatu objek misalnya piramida, maka makna denotasinya adalah sebuah bangunan kuno peradapan manusia berbentuk segitiga yang cukup besar dimana memiliki empat sisi dengan tinggi kira-kira 50-100 meter. Sedangkan makna konotasinya akan sedikit berbeda dan
akan
dihubungkan
dengan
kebudayaan
yang
tersirat
di
dalam
pembungkusnya serta tentang makna yang terkandung di dalamnya. Tentunya makna tersebut akan dihubungkan dengan kebudayaan mesir kuno, tentang gambaran yang dipancarkannya dan akibat yang ditimbulkannya, dan lain-lain sebagainya. Karena dirinya adalah suatu sistem, maka konotasi juga mengandung signifiant-signifiant, signifie-signifie dan proses yang menyatukan signifiantsignifiant dan signifie-signifie (signifikasi), dan pencatatan inventaris dari ketiga elemen itulah yang harus dilakukan pertama-tama untuk mendeskripsikan setiap sistem (Barthes, 2007: 83). Penanda-penanda konotasi, yang kami istilahkan dengan konotator, dibentuk oleh tanda-tanda (kesatuan antara penanda dan petanda) dari sistem denotasi. Sejumlah tanda denotasi bisa berkelompok untuk membentuk satu konotator asalkan yang disebut terakhir ini memiliki satu petanda konotasi; dengan kata lain, satuan-satuan dalam sistem konotasi itu tidak mesti sama luasnnya dengan satuan sistem denotasi: satu satuan dalam sistem konotasi 43 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dapat terbentuk dari sejumlah satuan dalam wacana denotatif (contohnya ialah teks, yang tersimpul dari banyak kata, tetapi hanya merujuk pada satu petanda). Meski ‘dikangkangi’ oleh konotasi, denotasi tak akan pernah habis; selalu saja ada ‘sesuatu yang berdenotasi’ (jika tidak, mustahil ada wacana) dan konotator pada akhirnya senantiasa merupakan tanda diskontinu dan tersebar di sana-sini, dan hanya bisa dilugaskan, dibumikan, dengan bahasa denotatif yang mengusungnya (Barthes, 2012: 93). Pemikiran-pemikiran tentang makna dan penafsiran fenomena di dudukkan sebagai unsur yang memiliki peran ataupun tanda utama pada proses transformasi budaya. Dalam pemikiran hermeneutik, Paul Ricoeur yang dikenal sebagai seorang filsuf yang memiliki perspektif kefilsafatan, menonjol berkat pemikirannya tentang pemaknaan (semantik). Ricoeur menjelaskan bahwa pada hakekatnya semua filsafat itu merupakan interpretasi, dan hidup itu sendiri sebenarnya merupakan interpretasi. Jika terdapat pluralis dalam pemaknaannya, maka dibutuhkan interpretasi, terutama jika simbol-simbol yang dilibatkan begitu banyak sehingga mengandung pemaknaan yang berlapis-lapis (Sachari, 2007: 40). Konotasi, yakni proses penyelusupan atau pelapisan makna kedua ke atas pesan fotografis, terjadi pada beberapa tahap berbeda yang merupakan bagian dari proses panjang produksi foto (pemilahan, tindakan teknis, framing, lay-out) dan memperlihatkan, pada akhirnya, suatu proses pengkodean (coding) analog fotografis (Barthes, 2010: 6).
44 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pada akhirnya makna konotatif dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau petunjuk mitos (yang menekankan makna-makna tersebut) sehingga dalam banyak hal (makna) konotasi menjadi perwujudan mitos yang sangat berpengaruh (Berger, 2010: 65). Sebagian proses semiologi menjadi kegiatan untuk menguraikan mitos tersebut dari makna denotatif yang terkandung di dalamnya, dimana yang sebagian darinya oleh Barthes disebut sebagai “mitologi” (Berger, 2010: 66). Tentang signifie konotasi, signifie ini memiliki karakter yaitu sekaligus bersifat general, global dan menyebar: bisa dikatakan bahwa signifie konotasi adalah satu fragmen ideologi (Barthes, 2007: 84). Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pada pendapat Spradley (1997:121) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur yaitu: (1) simbol itu sendiri, (2) satu rujukan atau lebih, (3) hubungan antara simbol dengan rujukan. Semua itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu simbol itu sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami (Tinarbuko, 2008: 20). Mengutip pendapatnya Spradley (1997:123), ia menyebut makna konotatif meliputi semua signifikasi sugestif dari simbol yang lebih dari pada arti referensialnya. Sedangkan Piliang (1998:17) menyebut kalau makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilainilai dari kebudayaan dan ideologi (Tinarbuko, 2008: 23).
45 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dari uraian di atas, bagi penulis sebenarnya dapat disimpulkan kalau munculnya pamaknaan konotasi ke permukaan pada hakekatnya hal tersebut akan bermuara pada berbagai mitos-mitos dan sesunggunya mitos-mitos merupakan sebaik-baik tempat untuk tumbuh dan bersemayamnya ideologi. Seperti pernyataan Barthes (2012: 94), bahwa ideologi adalah bentuk (dalam pengertian Hjelmslev) daripada petanda konotasi, sedang retorika adalah bentuk dari konotatornya. 2.2.7. Semiotika Dalam berbagai literatur yang dapat dibaca tentang ilmu yang mempelajari tanda-tanda (the science of signs), para akademisi dihadapkan dengan dua istilah yaitu semiotika dan semiologi. Pada hakekatnya, kedua istilah ini memiliki arti yang sama walaupun berbeda dalam hal pengucapannya. Hal tersebut tidak lepas dari dua kutub yang dianggap sebagai bapaknya ilmu tentang tanda yaitu Charles Sander Peirce (Amerika) dengan istilah semiotika dan Ferdinand de Saussure (Eropa) dengan istilah semiologi. Jika ditelusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857-1913). De Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Disamping itu, tokoh lain yang tak kalah penting dalam perkembangan ilmu semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914). Dia merupakan seorang filsuf Amerika. Kemudian lagi Charles Williams Morris (1901-1979) 46 http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang
mengembangkan
behaviourist
semiotics.
Setelah
itu
yang
mengembangkan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (19151980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (193-1993), Umberto Eco (1932), dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude
Levi
Strauss
(1980)
dan
Jacues
Lacan
(1901-1981)
dalam
psikoanalisis. Kalau mengikuti Charles S. Peirce (1986: 4), maka semiotika tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tandathe formal doctrine of signs); sementara bagi Ferdinand de Saussure tanda” (the (1966: 16), semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (a science that studies the life if signs within society). Dengan demikian, bagi Peirce semiotika adalah suatu cabang dari filsafat; sedangkan bagi Saussure semiologi adalah bagian dari disiplin ilmu psikologi sosial (Budiman, 2011: 3). Secara etimologi istilah “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsiran tanda.” Semiotika itu sendiri berakar dari studi klasik atas seni logika, retorika, dan poetika (P. Sudjiman dan Van Zoest Aart, 1996: vii). Tanda itu sendiri atas dasar konvensi sosial merupakan segala sesuatu yang sudah terbangun sebelumnya, dan bisa dianggap mewakili sesuatu yang lain. Pada mulanya tanda dimaknai pada
47 http://digilib.mercubuana.ac.id/
sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal yang lain. Contohnya, asap menandai adanya api (Sobur, 2006: 16). Sebagai metode kajian, semiotika mencerminkan keunggulannya pada berbagai bidang seperti: politik, sosiologi, antropologi, telaah keagamaan, studi tentang media, serta studi tentang budaya. Sebagai metode penciptaan, pengaruh semiotika bisa dilihat pada bidang seni tari, seni rupa, seni film, seni musik, desain produk arsiterktur, iklan, desain komunikasi visual juga seperti video klip musik, dan masih banyak lagi yang lainnya. Secara terminologi, semiotika dapat dikatakan sebagai suatu cabang ilmu yang berusaha memahami serangkaian objek-ojek secara luas, berbagai macam kejadian-kejadian, dan manusia dengan kebudayaanya sebagai suatu tanda. Untuk lebih jelasnya, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, mungkin seseorang sering menjumpai dan mengenal tanda-tanda. Misalnya saja jika melewati suatu kampung dan ada rumah yang memasang janur kuning, maka itu pertanda adanya suatu hajatan perkawinan. Menurut
Marcel
Danesi
Semiotika Media”, (2010: ix),
dalam
bukunya
“Pengantar
Memahami
metode semiotika dicirikan oleh adanya dua
prosedur penelitian utama. (1) Penelitian sejarah; pertama-tama sistim makna harus ditinjau secara historis. Alasan untuk melakukan ini cukup jelas – untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap makna sesuatu, maka perlu diketahui bagaimana itu muncul. (2) Interpretasi; tujuan penelitian semiotika 48 http://digilib.mercubuana.ac.id/
adalah untuk menjelaskan makna hubungan X = Y.X adalah sesuatu yang ada secara material. Itu bisa berupa kata, novel, acara televisi, atau artefak manusia lainnya. Y adalah makna artefak ini dalam semua dimensinya (pribadi, sosial, historis).Termasuk di dalam upaya penggambaran semua makna yang terdapat dalam Y adalah seluruh dan substansi dari metode-metode semiotika. Langkah ini pada umumnya disebut sebagai “interpretasi”. Walaupun dalam perkembangannya manusia melakukan komunikasi dengan
bentuk
pengetahuannya,
lisan akan
dan
tulisan
tetapi
pada
untuk saat
menyebarkan yang
ide-ide
bersamaan
serta
mereka
sesungguhnya telah menemukan peralatan untuk merekam dan menyimpan gagasan dalam bentuk fisik yang awet. Bentuk ini biasanya berbentuk gambar (piktograf). Piktograf merupakan gambar yang mewakili suatu gagasan. Begitu intuitif dan fungsionalnya piktograf itu sehingga tidak terlalu mengejutkan bahwa mereka tidak pernah hilang dari dunia kita, walaupun sebagia besar komunikasi tertulis kita menggunakan alfabet. Piktografi merupakan contoh sempurna dari yang disebut sebagai medium (dari bahasa latin medius “ditengah-tengah/diantara”) – satu cara untuk merekam gagasan pada satu permukaan tertentu (dinding gua, sepotong kayu, papirus) menggunakan teknologi yang sesuai (alat ukir, pigmen, stilus). Secara lebih umum, medium bisa didefinisikan sebagai cara fisik bagaimana sistem “tanda” (piktograf, karakter alfabet) perekam gagasan bisa diaktualisasikan (Danesi, 2010: 2).
49 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa Istilah lain dari semiotika itu sendiri adalah semiologi. Jadi sebenarnya kedua istilah ini mekiliki pengertian yang persis sama, walaupun diketahui bahwa penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya merujuk pada pemikiran pemakainya. Bagi mereka yang condong dengan Peirce, mereka menggunakan istilah semiotika, dan mereka yang condong dengan Saussure menggunakan istilah semiologi. Akan tetapi dalam perkembangannya, istilah semiotika-lah yang lazim digunakan. Tommy Christomy, (2001: 7) dalam (Sobur, 2004: 12) menyebutkan adanya kecenderungan, istilah semiotika lebih populer dari pada istilah
semiologi
sehingga
para
penganut
Saussure
pun
sering
menggunakannya. Kajian dan perhatian ilmu semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri merupakan sesuatu yang mempunyai ciri khusus yang penting. Pertama Pertama, tanda harus bisa diamati, di sini mengandung pemahaman kalau arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Ini berarti hal tersebut bisa menggantikan, mewakili serta menyajikan. Semiotika memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana ia beroperasi. Semiotika memiliki keuntungan dalam menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (1973) sebagai “deskripsideskripsi tebal (thick descriptions)” yang bertekstur serta analisis –analisis yang kompleks. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam mempelajari 50 http://digilib.mercubuana.ac.id/
teks yang sama di mana dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda. Namun, hal ini tidak mengurai nilai semiotika karena semiotika adalah tentang memperkaya pemahaman terhadap teks. Sebagai sebuah metode, semiotika
bersifat
interpretif
dan
konsekwensinya
sangat
subjektif
(Stoke, 2003: 78). Menurut Charles Morris (1938: 6) dalam Kris Budiman (2011: 4), semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan branches of inquiry), yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. Penjelasan (branches ketiga cabang tersebut adalah sebagai berikut: a) Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax): Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal di antara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi,
pengertian
sintaktik
kurang-lebih
adalah
semacam
“gramatika”. b) Semantik (semantics): Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. Bagi Morris, yang dimaksudkan dengan designata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu. c) Pragmatik (pragmatics): Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreterinterpreter atau para pemakainya”– pemakaian tanda-tanda. Pragmatik 51 http://digilib.mercubuana.ac.id/
secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
Roland Barthes merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda tersebut mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak (humanity) dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Teori semiotika Barthes hampir secara harafiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure. De Saussure mengemukakan 4 konsep teoritis, yakni konsep langue-parole, signifiant-signifie, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni-diakroni (Hoed, 2011: 9). Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas dari sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. 52 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2009: 68). Dalam melihat kebudayaan sebagai signifying order, maka dapat dibedakan empat faktor yang berkaitan satu sama lain dan perlu diperhatikan, yaitu: 1) Jenis tanda (ikon, indeks, dan lambang) 2) Jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerakan, tubuh, dan lukisan) 3) Jenis teks (percakapan, grafik, lagu/lirik, komik, dan lukisan) 4) Jenis konteks/situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologi, sosial, historis, dan kultural) (Hoed, 2011: 24).
Barthes mengkritik masyarakat dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, akan menjadi ideologi. Tekanan teori tanda Barthes adalah konotasi dan mitos. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyelewengan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakat (Hoed, 2011: 18)
2.2.8. Mitologi Roland Barthes Yang membedakan semiotika Barthes dengan semiotika lainnya adalah tentang keberadaan mitos. Menurut Susilo (2000: 24), suatu teknik yang 53 http://digilib.mercubuana.ac.id/
menarik dan memberikan hasil yang baik untuk masuk ke dalam titik tolak berfikir ideologis adalah mempelajari mitos. Mitologi atau kesatuan mitos-mitos yang koheren menyajikan inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi. Ideologi harus dapat diceritakan dan cerita itulah yang disebut dengan mitos. Hal ini merupakan suatu wahana di mana ideologi berwujud. Mitos dapat terangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Dengan mudah, akan dapat menemukan ideologi dan teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat di dalamnya (Van Zoest, 1991: 70). Mite (myth) bukan sekedar konsep atau ide, ia adalah sebuah pesan yang disampaikan pada manusia melalui cerita-cerita yang hadir secara berulang, mengejewantah dan menjadi bagian dari bangunan kehidupan manusia. Dalam mite, ada konstelasi berbagai tanda atau pesan yang berbeda, namun hadir dalam kehidupan sebagai ucapan (parole) yang menyampaikan makna ketimbang sekedar sebagai bahasa (langue)(Audifax, 2005: 206). Sebagaimana halnya ungkapan Barthes, bahwa mitos adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech). Itu merupakan pengertian yang paling sederhana dan yang benar-benar konsisten menurut Barthes jika di tinjau dari aspek etimologi saja. Tentu
saja,
mitos
bukanlah
pembicaraan
atau
wicara
yang
sembarangan; bahasa membutuhkan kondisi-kondisi khusus untuk menjadi mitos: kita akan segera melihatnya. Tetapi yang harus ditetapkan secara tegas pada awalnya adalah bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, bahwa 54 http://digilib.mercubuana.ac.id/
mitos adalah suatu pesan. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami bahwa mitos tidak mungkin merupakan suatu objek, konsep, atau gagasan; mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form). Kemudian, kita mesti menerapkan kepada bentuk ini batas-batas historis, kondisi-kondisi
penggunaan,
dan
memperkenalkan
kembali
masyarakat
kedalamnya: namun pertama-tama kita harus mendeskripsikannya sebagai suatu bentuk (Barthes, 2007: 293). Untuk lebih mudah menangkap dan memahami tentang penjelasan mitos secara keseluruhan berikut ini beberapa penjelasan dan definisi tentang mitos sebagai berikut:
Myth is a basic phenomenon of human culture. Its fundamental relevance to the sciences of man has made it an object of study of interdisciplinary research. Modern interpretations of myth begin in 1725 with Vico’s New science (cf Hawkes 1977: 11-15). With Levi-Strauss, myth become a privileged object of texs semiotics. Bigining with Barthes, myth has been interpreted as a semiotic phenomenon of everyday culture (North, 1995: 374).
Sedangkan General Definition of Myth adalah: Myth (from Gr.vudoo, ‘word’, ‘speech’, ‘tale of god’) may be defined as a story or a complex of story elements taken as expressing, and therefore and transhuman existence (Wheel wright, 1974: 538) (North, 1995: 374).
Bagi Barthes, mitologi merupakan bagian dari semiologi karena ia merupakan ilmu formal, merupakan bagian dari ideologi karena ia merupakan
55 http://digilib.mercubuana.ac.id/
ilmu
sejarah;
dimana
ia
mempelajari
gagasan
dalam
bentuk-bentuk
(Barthes, 2007: 300). Myth atau mite adalah cerita yang eksis pada banyak tempat di dunia ini. Mite juga berulang dalam setiap periode kehidupan. Orang awam kerap memahami mite sebagai cerita yang tidak jelas kebenarannya. Mereka juga kerap mencampuradukkan antara mite,, cerita rakyat (folktale) ( ) dan legenda. Sebelum melangkah lebih jauh, inilah pemetaan dari ketiganya.
Tabel 2.2 Perbandingan antara Mite, Cerita Rakyat, dan Legenda
Mite
Cerita Rakyat
Legenda Lege
Mite adalah cerita dari masa
Cerita rakyat adalah suatu
Legenda adalah cerita dari
lalu. Mite menjelaskan esensi
alur/plot yang murni fiksi dan
masa lalu mengenai
kehidupan dan dunia; atau
tidak memiliki lokasi tertentu
seseorang yang dianggap
mengekspresikan adanya nilai
dalam ruang dan waktu.
menyejarah. Legenda
moral budaya dalam
Meski cerita rakyat memiliki
memiliki perhatian pada
kehidupan manusia. Mite
elemen fantasi, namun
masyarakat, tempat, dan
memberi perhatian pada
merupakan suatu cara
kejadian. Biasanya, subjek
kekuatan yang mengontrol
simbolis menghadirkan
adalah orang suci, raja,
kehidupan manusia dan relasi
perbedaan makna yang
pahlawan, orang terkenal,
antara kekuatan tersebut
hadir dalam keberadaan
atau peperangan. Legenda
dengan keberadaan manusia.
manusia di berbagai tempat.
biasanya berasosiasi
Meski mite kerap memiliki nilai
Cerita rakyat memiliki
dengantempat tertentu dan
religi dalam bentuk dan
perhatian pada penghargaan
waktu tertentu dalam
fungsinya, namun mite di
atau cerita keseharian atau
rentang sejarah.
tengarai merupakan bentuk
binatang yang berprilaku
awal dari sejarah, sains, atau
seperti manusia.
filsafat.
56 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Setelah dapat membedakan antara mite, cerita rakyat, dan legenda, maka selanjutnya akan ditelaah lebih jauh mengenai mite. Dalam dunia sains, ada banyak sekali orang yang mendefinisikan mite. Seperti tertera dalam gabungan frasa berikut ini:
Mite adalah kumpulan cerita, mengenai dewa dan keberadaan supernatural lain (Frye). Mereka kerap merupakan cerita asal-usul sesuatu, bagaimana dunia dan segala yang ada di dalamnya menjadi seiring berjalannya waktu (Eliade). Mite seringkali secara kuat terstruktur dan pemaknaanya hanya bisa dilakukan melalui analisis linguistik (LeviStrauss). Suatu ketika mite-mite ini menjadi publik, layaknya mimpi, mite datang dari nirsadar pikiran (Freud). Mite, memang sering menampakkan arketipe alam ketaksadaran (jung). Mite adalah sesuatu yang bersifat simbolik dan metaforik (Cassirer). Mereka mengenalkan manusia pada dimensi metafisik, menjelaskan asal-usul dan sifat alami dari kosmos, memvalidasi isu sosial dan, dalam pemahaman psikologi, menghantarkan diri manusia pada ranah terdalam dari psike (Campbell). Beberapa dari mite bersifat eksplanatif, menjadi upaya prasaintifik untuk menginterpretasi dunia (Frazer). Mite seringkali manifes dalam hal-hal fungsional dan merupakan sains bagi masyarakat primitif (Malinowski). Seringkali, mite terpelihara dalam suatu bentuk ritual (Hooke). Mite religius adalah cerita-cerita suci (Eliade), dan dibedakan dari sesuatu yang bersifat duniawi (Durkheim). Tetapi, mite menjadi sebuah ekspresi semiotika (Saussure), mite adalah bahasa yang menjalar di mana-mana. Mite, sekaligus mencakup individu dan sosial, menjadi cerita yang terutama dan terdepan (Kirk) (Audifax, 2005: 8).
Mitos Roland Barthes muncul disebabkan suatu persepsi khas dari Roland Barthes sendiri, bahwa dibalik tanda-tanda tersebut terselip makna di balik makna yang akhirnya dapat melahirkan sebuah mitos. Bisa dikatakan bahwa mitos yang dimaksud oleh Barthes tersebut mengemuka dari balik
57 http://digilib.mercubuana.ac.id/
tanda-tanda proses komunikasi manusia sehari-hari, bisa itu secara verbal maupun non verbal dari bermacam media. Kuno atau tidak, mitologi hanya dapat memiliki suatu fondasi historis, karena mitos merupakan semacam wicara yang dipilih oleh sejarah; mitos tidak mungkin berkembang dari hakekat pelbagai hal (Barthes, 2007: 296). Dengan dapat dikatakan kalau sistem tanda bagi Barthes mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu. Menurut Barthes (2007: 303), dalam mitos kita akan kembali menemukan pola tiga dimensi yaitu penanda, petanda, dan tanda. Tetapi mitos adalah suatu sistem yang janggal, karena ia dibentuk dari rantai semiologis yang telah eksis sebelumnya; mitos merupakan sistem semiologis tatanansecond-order semiological system). kedua (second-order Untuk itu mari dibahas dengan seksama konsep semiotik Roland Barthes guna memahami secara mendalam penjelasannya tersebut. Roland Barthes mengatakan bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif merupakan penanda konotatif juga. Ini berarti, dalam konsep Barthes, tanda konotatif bukan saja memiliki fungsi tambahan tetapi juga mengandung kedua bagian tanda denotatif sebagai dasar pijakannya. Jadi, di benak Barthes, ia memiliki versi pemahaman tersendiri terhadap konsep denotasi dan konotasi dalam implementasinya
dibandingkan
dengan
pemahaman
kebanyakan
orang
terhadap hal yang sama. Inilah gambaran Bathes tentang bahasa mitos sebagai berikut: 58 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Denotation
Connotation and Myth
1. Signifier
2. Signified
3. Sign I. Signifier
II. Signified III. Sign
Sumber : Roland Barthes, Mythologies Gambar 2.3: Peta Pemaknaan Mitos barthes
Dalam perspektif semiotika Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini, pemahaman Barthes akan denotasi justru lebih diasosiasikan dengan kecendrungan membutakan makna. Dalam wujud oposisi yang frontal, bagi Barthes, konsep denotasi dibenamkan, dan ia lebih memunculkan konsep konotasi ke permukaan untuk dipahami dan diselami. Apa yang merupakan tanda (yaitu totalitas asosiatif antara konsep dan citra) dalam sistem pertama, menjadi sekedar penanda dalam sistem yang kedua. Di sini kita harus ingat bahwa materi-materi dalam wicara mitos (bahasa itu sendiri, fotografi, lukisan, poster, ritus, objek dan seterusnya), meskipun berbeda pada awalnya, direduksi menjadi suatu penanda yang murni begitu materi-materi itu tertangkap oleh mitos. Mitos melihat materi-materi itu hanya bahan mentah yang sama, kesatuan mereka adalah bahwa mereka turun pada status sekedar suatu bahasa. Apakah hal itu berhadapan dengan tulisan abjad atau piktorial (gambar), mitos hanya ingin melihat materi-materi itu sekumpulan
59 http://digilib.mercubuana.ac.id/
tanda, suatu tanda global, terma final dari rantai semiologis pertama (Barthes, 2007: 303). Dari penjelasan di atas, bagi penulis, mengapungnya pemaknaan konotasi kepermukaan pada hakekatnya menggiring hal-hal bermuara pada mitos-mitos, dan sesungguhnya mitos-mitos merupakan sebaik-baik tempat untuk tumbuh dan bersemayamnya ideologi. Menurut Budiman (2001: 28), dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan sarana beroperasinya ideologi, yang kemudian diistilahkan sebagai ‘mitos’, dimana hal itu berperan untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2009: 71). Pada model dikotomis penanda-petanda yang dikembangkan Roland Barthes, ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Perancis contenu (C). Jadi , sesuai teori de Saussure, tanda adalah “relasi” (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C (Halim, 2012: 123). Kembali kepada prinsip Barthes, ia mengatakan denotasi sebagai sistem “pertama” atau “primer”. Pada praktiknya, pemakai tanda mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, di mana dalam perkembangannya disebut Barthes dengan sistem “kedua” atau “sekunder”. Jika dalam perkembangannya menuju arah E, maka ia akan terwujud dalam bentuk metabahasa. Artinya, pemakai tanda memberikan bentuk berbeda untuk makna yang sama. 60 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Misalnya, “tempat untuk narapidana dikurung”, selain kata penjara, pemakai tanda juga menggunakan istilah lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau kurungan (Halim, 2012: 124). Sedangkan ketika pengembangan itu berproses ke arah C, maka yang terjadi adalah pengembangan makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginannya, latar belakang pengetahuaanya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat (Halim, 2012: 124). Bila konotasi menjadi tetap, ia akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi (Hoed,2011: 18). Jadi banyak sekali fenomena budaya dimaknai dengan konotasi, dan jika menjadi mantap makna fenomena itu menjadi mitos, dan kemudian menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi. Jadi tekanan tanda teori Barthes terletak pada konotasi dan mitos. Berikut ini akan digambarkan model pengembangan teori konotasi Roland Barthes pada gambar berikut:
Denotasi
Konotasi
Mitos
Ideologi Ideo
Sumber: Syaiful Halim, 2012. Post Komodifikasi Media & Cultural Studies, halaman 125
Gambar 2.4: Model Pengembangan Teori Konotasi Roland Barthes
61 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Jadi, dalam kesimpulannya, konsep metabahasa dan konotasi itu selalu berkembang di tangan pemakai tanda. Menyangkut pemahamannya dalam membaca makna teks, Roland Barthes mengelompokkan kode-kode tertentu menjadi lima kisi-kisi kode dalam kerangka cara pemikirannya. Lima kode tersebut adalah: kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semantik (makna konotatif), kode simbolik, kode narasi/proaretik (logika tindakan), dan kode kebudayaan/gnomik (kode kultural). Berikut penjelasan dari kode-kode tersebut dalam Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual Visual” (2008: 19) antara lain: “Semiotika 1) Kode hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, tekateki, respon, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apa yang muncul? Jawaban yang satu menunda jawaban yang lain.
2) Kode semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminis, maskulinitas. Atau dengan kata lain kode semantik adalah tanda-tanda yang di tata sehingga memberikan
suatu
konotasi
maskulin,
feminim,
kebangsaan,
kesukuan, loyalitas. 3) Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertengahan dua unsur, skizofrenia. 4) Kode narasi atau proaretik, yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.
62 http://digilib.mercubuana.ac.id/
5) Kode kebudayaan/gnomik (cultural code), yaitu sistem suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.
Tujuan dari analisis Barthes ini, menurut Lechte (2001: 196), bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata (Sobur, 2009: 66). Karena penelitian ini merujuk pada pembacaan makna dalam sebuah video klip secara menyeluruh, maka diperlukan tahap-tahap untuk melakukan pembacaan tersebut. Untuk itu, Barthes dalam pola pikirnya, memaparkan tentang tahap-tahap pembacaan konotasi sebuah foto berita. Meskipun menurut Syaiful Halim foto berita berbeda dengan gambar berita ditelevisi, tetapi hal itu tidaklah menghalangi proses pembacaan. Karena pada dasarnya aspek-aspek yang dikemukakan Barthes bisa menjawab fakta di balik realitas dalam gambar disebuah berita televisi. Karena itu Syaiful Halim, dalam bukunya yang berjudul :“Post Komodifikasi Media & Cultural Studies” (2012: 129) mengatakan tahap-tahap pembacaan konotasi tersebut bisa saja dijadikan kerangka operasionalisasi untuk membaca gambar-gambar dalam berita televisi. Berikut ini adalah tahap-tahap pembacaan konotasi Roland Barthes:
63 http://digilib.mercubuana.ac.id/
a) Efek tiruan: pembacaan atas rekayasa yang menggabungkan dua foto terpisah sebagai upaya menginvertensi denotasi tanpa tedeng aling-aling. b) Pose atau sikap: pembacaan atas sikap badan atau pose subjek sebagai petanda. c) Objek: pembacaan atas objek-objek dalam gambar yang merujuk pada jejaring ide tertentu atau simbol-simbol berkesan dalam masyarakat. d) Fotogenia: pembacaan atas aspek-aspek teknis dalam produksi foto, seperti pencahayaan dan hasil. e) Estetisisme: pembacaan atas perubahan pengemasan gambar untuk tujuan estetis tertentu hingga nilai spritualnya bersifat ekstasi. f) Sintaksis: pembacaan atas rangkaian foto-foto sebagai sebuah kesatuan.
Sedangkan terkait unsur musik, Barthes dalam bukunya yang berjudul: “Imaji Imaji Musik Teks”, (2010:153) memaparkannya dalam esei Musica Practica sebagai berikut: Menurut kami, ada dua musik: musik yang didengar dan musik yang dimainkan seseorang. Kedua musik ini adalah dua seni yang sangat berbeda satu sama lain, yang memiliki sejarah, pengaruh sosiologis, estetika, dan erotikanya masing-masing.
Musik yang dimainkan jelas merupakan upaya seseorang dalam hal berkominikasi
lewat
wacana
yang
berbentuk
musik,
bahkan
dengan
menggunakan musik yang diciptakan orang lain. Pada saat itu ia memposisikan sebagai komunikator dengan musik sebagai pesan (katakanlah meminjam 64 http://digilib.mercubuana.ac.id/
pesan yang dikonstruksi orang lain) sebagai hasil encoding komunikator. Sedangkan musik yang didengar adalah konteks musik sebagai pesan massal yang diwacanakan komunikator tanpa wacana khusus didalamnya. Sekedar memperdengarkan atas nama mempertontonkan atau menghibur. Dalam konteks berbeda bisa saja seseorang memperdengarkan musik yang diperdengarkan sebagai wacana yang ingin disampaikan kepada orang lain (Halim, 2012: 131). Situasi kedua inilah bagi Barthes yang benar-benar terjadi dalam proses encoding dan penyampaian wacana yang telah “dimaknai” dalam bentuk teks televisi. Dan dalam konteks itulah, Barthes menekankan kata-kata kunci: sejarah, pengaruh sosiologis, estetika, dan erotika (Halim, 2012: 131) Perpaduan dari dua penjelasan Barhtes tersebut, menurut penulis jika disatukan akan dapat diterapkan sekaligus di dalam pembahasan video klip karena semua aspek yang dijelaskan itu semuanya dimiliki oleh yang namanya video klip. Terkait dengan penelitian penulis tentang fenomena pertunjukan musik, dalam hal ini adalah tentang video klip, maka semua batasan dan uraian pembacaan atas unsur gambar dan tanda dalam teks video klip secara denotatif dan konotatif tersebut penulis gambarkan sebagai berikut:
65 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Video klip
Gambar & alur cerita
Denotasi
-
Efek tiruan Pose/ sikap Objek Fotogenia Estetisisme
Konotasi
Mitos
Ideologi
- Sintaksis - Sejarah - Pengaruh Sosiologis - Estetika - Erotika
Gambar 2.5 : Model Pemaknaan Konotatif Unsur-Unsur Video Klip
Bagi penulis, semua unsur atau aspek yang dikatakan Barthes tersebut bisa digunakan untuk menggali pemaknaan yang terkandung dalam sebuah video klip, karena setiap unsur bisa mengurai pemaknaan tersebut. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya, tidak semua unsur harus digunakan dalam menggali makna sebuah teks. Cukup dipilih saja unsur ataupun aspek yang memang sesuai kebutuhan dalam penelitian. Jika nantinya konotasi itu menjadi tetap, maka ia akan menjadi mitos, sedangkan jika mitos menjadi mantap, maka ia akan menjadi sebuah ideologi. Dari beberapa aspek yang disebutkan dalam model di atas, yang akan penulis ambil untuk menganalisis video klip Bad Romance ini adalah efek tiruan, aspek pose, objek, fotogenia, sintaksis, sejarah dan juga linguistik secara tersendiri yang tidak disebutkan dalam model di atas. 66 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.2.9. Pemaknaan Tentang Warna Dalam sejarah kehidupan manusia, setiap warna diyakini mempunyai sifat ataupun karakter yang berbeda-beda. Bahkan sejak dahulu kala mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia. Akan tetapi, baru belakangan ini praktek dan penggunaanya dimanfatkan secara masif dalam berbagai bidang, seperti arsitektur, desain interior, fashion, percetakan, video musik, dan lain-lain sebagainya. Itu semua terjadi karena tidak lepas dari kemajuan teknologi dan informasi di era yang serba modern seperti sekarang ini. Kemampuan untuk mempersepsikan warna dalam berbagai wujud merupakan dasar dari banyak aktivitas pembuatan dan penggunaan tanda di seluruh dunia. Pada level denotatif, warna ditafsirkan tanda sebagai gradasi rona pada spektrum cahaya. Catatan arkeologis mengungkapakan makna inderawi dan emosional yang dilekatkan pada warna, mungkin atau bahkan adalah istilah warna itu sendiri. Dalam bahasa ibrani, nama manusia pertama adalah Adam yang berarti Merah dan Hidup, terbukti sampai saat ini penggunaan kata “merah” masih berasosiasi dengan arti hidup atau indah (Danesi, 2004: 103). Anne Pameria dalam bukunya “Colour Basic: Panduan Dasar Warna Untuk Desain dan Industri Grafika”, mendefinisikan karakter dari warna-warna sebagai berikut: a) Biru, melalambangkan perasaan tenang, menyejukkan, kebenaran, kontemplatif, damai, intelejensi tinggi, mediatif, emosional, egosentris, 67 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan racuh. Biru tua juga melambangkan kepercayaan, kebijaksanaan, dan kematangan berfikir dalam mengambil keputusan. Biru muda yang keabu-abuan kerap dipakai untuk hal yang melibatkan teknologi tinggi seperti benda digital dan barang-barang elektronik. b) Hijau, artinya melambangkan alami, sehat, stabil, formal dan toleran, harmonis, keberuntungan, merefleksikan kesegaran dan relaksasi serta pahit. Hijau muda yang cerah mengandung banyak kuning akan berkesan
segar,
ringan,
dan
menyenangkan.
Hijau
tua
yang
mengandung banyak biru berkesan sejuk, cendrung dingin dan juga identik dengan keberuntungan dan kesejahteraan. c) Kuning, artinya melambangkan terang, kehangatan, kemegahan, segar, cepat, jujur, adil, tajam, cerdas, sinis, kritis, murah, atau tidak eksklusif. Sebagai salah satu warna primer, kuning adalah warna dengan efek yang kuat, sehingga psikologi warna ini sangat efektif diterapkan pada hal-hal yang membutuhkan motifasi dan menaikkan mood. Dalam psikologi warna, kuning dikaitkan dengan kecerdasan, ide baru, serta kepercayaan terhadap potensi diri. Warna ini adalah warna yang sangat positif, sehingga dapat dipakai untuk menghilangkan keragu-raguan, mengeliminasi pemikiran negatif dan memberi semangat. d) Hitam, melambangkan keabadian, keanggunan, kekuatan, kecanggihan, kreativitas, magis, idealis, fokus, terkesan terlalu kuat, superior, merusak dan menekan. Hitam menggambarkan keheningan, kematangan berfikir, dan kedalaman akal yang menghasilkan karya. Warna ini merupakan 68 http://digilib.mercubuana.ac.id/
warna yang abadi, selalu terlihat modern dan gaya serta menampilkan kesan elegan dan mewah. e) Merah, melambangkan hidup, cerah, pemimpin, gairah, kuat, emosi, semangat membara, panas, bahagia, emosi yang meledak, agresif, keberanian, sensualitas dan brutal. f) Ungu, melambangkan keindahan, mewah dan kompleks, artistik, personal,
spiritual,
sombong,
dan
diktator.
Ungu
tua
lebih
melambangkan sifat misterius, mistis, dalam dan angkuh. Ungu muda pastel melambangkan karakter yang lembut,ringan dan menyenangkan. Warna ungu lebih banyak merah melambangkan kemuliaan, keagungan, dan kemewahan. Warna ungu yang lebih banyak biru melambangkan sesuatu yang hikmat seperti dukacita, agama, dan sakral.
Warna dalam pendeskripsian gambar sangat berpengaruh pada penampilan wujud gambar untuk menarik perhatian dan sugesti khalayak. Warna sebagai salah satun unsur yang menghasilkan daya tarik visual dan kenyataanya yang lebih berdaya tarik, secara emosional dari pada akal, warna juga mempercepat komunikasi antara media dan pembaca. Berikut ini adalah warna-warna yang mempunyai asosiasi dengan pribadi seseorang diambil dari buku Design in Dress oleh Marian L. David sebagai berikut: Merah, ialah cinta, nafsu, kekuatan, berani, primitif, menarik, bahaya, dosa, pengorbanan, vitalitas. 69 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Jingga, ialah hangat, semangat, ekstrimis, menarik. Kuning Jingga, ialah kebahagiaan, penghormatan, kegembiraan, optimisme, terbuka. Kuning, ialah cerah, terang, bahagia, hangat, bijaksana, pengecut, penghianatan. Kuning Hijau, ialah persahabatan, kehangatan, muda, baru, gelisah, berseri. Hijau Muda, ialah kurang berpengalaman, tumbuh, cemburu, iri hati, kaya, segar, istirahat, tenang. Hijau Biru, ialah damai, sehat, konservatif, pasif, terhormat, depresi, lembut, menahan diri, ikhlas. Biru Ungu, ialah spiritual, kelelahan, hebat, kesuraman, sederhana, rendah hati, keterasingan, tersisih, tenang, sentosa. Ungu, ialah misteri, kuat, supremasi, formal, melankolis, pendiam, agung atau mulia. Merah Ungu, ialah tekanan, intrik, drama, terpencil, penggerak, tekateki. Coklat, ialah hangat, tenang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, sentosa, rendah hati. Hitam, ialah kuat, resmi, keahlian, dukacita, kematian, tidak menentu. Abu-abu, ialah tenang. Putih, ialah senang, harapan, murni, bersih, lugu, suci, spiritual, pemaaf, cinta (Darmaprawira, 2007: 30-50). 70 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.2.10. Elemen Gambar Pada Tayangan Video Klip Dibangun atas susunan tanda yang penuh ideologi, kiranya video klip juga memiliki tujuan terselubung dalam menyampaikan pesan pada penyajian gambarnya. Setelah membahas tampilan non verbal yang di dapat dalam tayangan video klip, tayangan bagian lain video klip yang tidak dapat di pisahkan adalah elemen dalam gambar video klip. Hal ini terkait teknik penggunaan kamera, lensa yang digunakan, ataupun penentuan sudut pandang, fokus dan warna. Keterangan lebih lanjut dalam beberapa tabel di bawah ini (Selby & Cowdery, 1995: 57).
Tabel 2.3 Elemen-Elemen dalam Gambar Penanda (Signifier) Signifier) Signifier
Petanda ((Signified) Signified
Teknik Pengambilan Gambar
Makna
•
Big close Up
• •
Close Up (Hanya Wajah) Medium Shot (Hampir Seluruh Tubuh) Long Shot (Setting & Karakter)
•
Emosi, dramatis momen penting Intimidasi, Kedekatan Hubungan Personal Intens dengan subjek. Konteksi Perbedaan Publik
71 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tabel 2.4 Elemen-Elemen dalam Gambar (Sudut Pengambilan Kamera) Penanda (Signifier) Sudut Pengambilan
Petanda (Signifeid) Makna
Gambar •
Hight Level
Dominasi, Kekuasaan, Otoritas
•
Eye Level
Kesejajaran,Kesamaan Sederajat
•
Low Level
Objek
Dominasi,
dikuasai,
Kurang
Otoritas.
Tabel 2.5 Elemen-Elemen Pada Gambar (Tipe Lensa Yang Digunakan) Signifier) Signifier Penanda (Signifier)
(Signified) Petanda (Signified)
Tipe Lensa
Makna
• • •
Wi Angle Wide Normal Telephoto
Dramatis Normalitas & Keseharian (Vyeuristic) Tidak personal (Vyeuristic Tabel 2.6
Elemen-Elemen Dalam Gambar (Titik Fokus) Penanda (signifier)
Petanda (Signified)
Titik Fokus
Makna
•
Selective Focus
•
Deep Focus
Meminta dan Mengarahkan Perhatian Pada Satu Bidang tertentu semua Unsur Adalah Penting (Mari Kita Lihat Semua)
72 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tabel 2.7 Elemen-Elemen dalam Gambar (Pemilihan Warna) Penanda (Signifier) Petanda (Signified) Warna •
Makna
•
Warm (Kuning, Orange, Merah abuabu) Cool (Biru, Hijau)
•
Black and White
Optimisme, Harapan, Hasrat, Agitasi Pesimisme, Tidak Ada Harapan Realistik, Aktualisasi, Faktual
Untuk menunjukkan sifatnya yang tak terbatas pada level denotatif, maka psikologi warna akan dijabarkan sebagai berikut (Danesi, 2010: 49) :
Tabel 2.8 Psikologi Warna Dalam Komunikasi
warna • Putih
Konotasi Kemurnian, kesucian,
ketidakberdosaan, kebaikan,
kebajikan,
kesopanan,
dan
sebagainya. •
Hitam
Jahat,
ketidakmurnian,
keadaan
bersalah,
kejahatan, dosa, ketidaklulusan, keadaan tak bermoral, dan sebagainya. •
Merah
Darah,
hasrat,
berbuah,
seksualitas,
kesuburan,
kemarahan,
sensualitas,
rasa
aman,
dan
sebagainya. •
Hijau
Harapan,
tidak
kenaifan, 73
http://digilib.mercubuana.ac.id/
keterusterangan,
kepercayaan,
kehidupan,
eksistensi dan sebagainya. •
Daya hidup, cahaya matahari, kebahagiaan,
Kuning
keterangan, kedamaian, dan sebagainya. •
Harapan, langit, surga, ketenangan, mistisme,
Biru
misteri, dan sebagainya. •
Membumi,
Cokelat
alami,
suasana
asli,
keadaan
konstan, dan sebagainya. •
Abu-Abu
Hambar,
berkabut,
kabur,
misteri,
dan
sebagainya.
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ini berusaha untuk menggali makna mitologi Illuminati pada artis Lady Gaga dan memecahkan teka-teki pesan inisiasi tentang keberadaan organisasi rahasia Illuminati dalam industri musik dunia. Teka-teki tentang kemesraan organisasi rahasia ini dengan musisi terkenal dalam industri musik dunia terkodekan lewat sebuah video klip Lady Gaga yang berjudul Bad Romance. Visualisasinya tertuang dengan sederet tanda-tanda simbolik baik verbal maupun non verbal yang terangkum dalam alur cerita dari video klip tersebut. Semua tanda-tanda baik verbal maupun non verbal dianalisis dengan semiotika Roland Barthes, di mana semiotika dalam kosep Barthes terdiri dari dua tingkatan, yaitu denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama dan konotatif atau sistem tanda tingkat kedua.
74 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Seperti yang dimaksudkan Barthes, bahwa antara foto dan teks, keduanya merupakan bangunan struktural yang saling mendukung, namun dikarenakan keduanya berbeda sifat, maka pada teks substansi pesan yang diciptakan terjadi lewat kata-kata, sementara di sisi lain pada foto atau gambar, substansi pesan diciptakan dengan warna, garis, dan tekstur. Teknik analisis data di dalam penelitian ini adalah analisis leksikal yang dituntun oleh kode-kode pembacaan dari Rolan Barthes. Menyangkut pemahamannya
dalam
membaca
makna
teks,
Roland
Barthes
mengelompokkan kode-kode tertentu dalam kerangka cara pemikirannya. Setidaknya ada lima kode yang dikemukakan Barthes yaitu: kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik (kode kultural) (Sobur, 2009: 65). Tujuan dari analisis Barthes ini, menurut Lechte (2001: 196), bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata (Sobur, 2009: 66). Di dalam sebuah foto atau gambar, aspek-aspek yang mampu untuk menjawab fakta dibalik sebuah realitas adalah: Efek tiruan, Pose atau sikap, Objek, Estetisisme, Sintaksis (Barthes, 2010: 7-11). Sedangkan untuk musik adalah berupa empat aspek pembacaan konotasi yaitu: sejarah, pengaruh sosiologis, estetika, dan erotika (Barthes, 2010: 153). Karena itu menurut 75 http://digilib.mercubuana.ac.id/
penulis tahap-tahap pembacaan konotasi tersebut bisa saja dijadikan kerangka operasionalisasi untuk membaca gambar-gambar dan alur cerita dalam video klip. Perpaduan dari dua penjelasan Barhtes tersebut, menurut penulis jika disatukan akan dapat diterapkan sekaligus di dalam pembahasan video klip musik karena berbagai aspek yang dijelaskan itu semuanya dimiliki oleh yang namanya video klip. Jadi, dengan demikian semua batasan dan uraian pembacaan atas unsur gambar dan tanda dalam teks secara denotatif dan konotatif tersebut penulis gambarkan dalam model sebagai berikut:
Video klip
Gambar & alur ccerita
Denotasi
-
Konotasi
Efek tiruan Objek Estetisisme Sejarah Pengaruh sosiologis
Mitos
Ideologi
- Pose/sikap - Fotogenia - Sintaksis - Erotika - Estetika
Gambar 2.6 : Model Pemaknaan Konotatif Unsur-Unsur Video Klip
76 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Jadi, semua unsur atau aspek yang dikatakan Barthes tersebut bisa digunakan untuk menggali pemaknaan yang terkandung dalam sebuah video klip, karena setiap unsur bisa mengurai pemaknaan tersebut. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, cukup dipilih saja unsur ataupun aspek yang memang sesuai kebutuhan saja dalam penelitian. Seperti halnya pendapat Hoed (2011: 18), jika nantinya konotasi itu menjadi tetap, maka ia akan menjadi mitos, sedangkan jika mitos menjadi mantap, maka ia akan menjadi sebuah ideologi. Dengan demikian kerangka alur pemikiran penelitian ini adalah berikut:
77 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kerangka Pemikiran
Industri Musik Dunia
Artis Lady Gaga
Video Klip Bad Romance
Representasi
Media
Tanda Verbal & Non Verbal
Saluran Implemen tasi Pesan
Aspek Pembacaan Makna
Reduksi Proses Semiosis
Semiotika Roland Barthes
Denotasi
Konotasi
Mitos
Ideologi (Illuminati)
Gambar 2.7: Kerangka Pemikiran
78 http://digilib.mercubuana.ac.id/