ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS PADA NN. C DI RUANG INAYAH RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan Pendidikan Ahli Madya Keperawatan
Disusun Oleh : Jehan Pristya A01301775
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN 2016
Program Studi DIII Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong Karya Tulis Ilmiah, Agustus 2016 Jehan Pristya¹, Arnika Dwi Asti² ABSTRAK ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS PADA NN.C DI RUANG INAYAH RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG Latar Belakang : Penyakit gagal ginjal kronik menyebabkan beberapa gambaran
klinis yaitu anemia yang terjadi hampir 80-90%. Anemia menimbulkan gejala seperti kelemahan fisik dan mudah pusing saat beraktivitas sehingga pasien akan mengalami intoleransi aktivitas. Tujuan Penulisan Karya Ilmiah : Tujuan dari penulisan karya ilmiah adalah untuk mengetahui gambaran mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas. Resume Keperawatan : Hasil pengkajian pada tanggal 9 Juni 2016 didapatkan data subjektif klien mengatakan merasa lemas dan pusing. Data objektif keadaan umum klien lemah, konjungtiva anemis, klien hanya berbaring di tempat tidur, kadar hemoglobin 5,6 g/dl. Diagnosa keperawatan yang muncul intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan. Intervensi dan implementasi yang dilakukan menentukan penyebab intoleransi aktivitas, memonitor tanda-tanda vital, memonitor kadar hemoglobin, memberikan transfusi darah sesuai advise dokter. Rekomendasi : untuk institusi agar mahasiswa mendapatkan tambahan materi mengenai transfusi darah lebih mendalam, untuk rumah sakit jika menemui pasien dengan intoleransi aktivitas dilakukan tindakan yang dapat membantu meningkatkan hemoglobin selain dari transfusi darah sehingga bisa membantu dalam proses peningkatan hemoglobin sehingga mencapai batas normal. Kata Kunci : Asuhan Keperawatan, Intoleransi aktivitas, Transfusi darah
iv
DIPLOMA III OF NURSING PROGRAM MUHAMMADIYAH HEALTH SCIENCE INSTITUTE OF GOMBONG
Nursing Care Report, August 2016 Jehan Pristya¹, Arnika Dwi Asti²
ABSTRACT NURSING CARE OF FULFILLING ACTIVITIES NEED TO Nn. C IN INAYAH WARD, PKU MUHAMMADIYAH HOSPITAL OF GOMBONG Background : The disease is chronic renal failure caused some clinical features are anemia is almost 80-90%. Anemia causes symptoms such as physical weakness and dizziness easily while on the move so that the patient will experience activity intolerance. The purpose of Scientific Writing : The purpose of scientific writing is to describe the nursing care in patients with impaired fulfillment activity. Nursing Care : From the assessment results on June 9, 2016 obtained subjective data the client says to feel weak and dizzy. Objective data of the general state of weak clients, conjunctival pallor, the client just lying in bed, a hemoglobin level of 5.6 g / dl. Nursing diagnoses emerging activity intolerance related to imbalance between the supply of oxygen to the needs. Intervention and implementation conducted to determine the cause of activity intolerance, monitor vital signs, monitor hemoglobin levels, provide appropriate blood transfusion doctors advise. Recommendation : for an institution that students get the extra material on blood transfusions deeper, to the hospital when seeing patients with intolerance activity performed actions that can help increase hemoglobin other than blood transfusion that may help in the process of increasing hemoglobin so as to achieve the normal range. Keywords : Activity Intolerance, Blood Transfusion, Nursing Care
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Pada Nn.C di Ruang Inayah RS PKU Muhammadiyah Gombong”. Karya tulis ilmiah ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar ahli madya keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya karya tulis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku ketua STIKes Muhammadiyah Gombong. 2. Sawiji, S.Kep.Ns,M.Sc selaku ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong. 3. Arnika Dwi Asti, S.Kep.Ns,M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi dalam penyusunan karya tulis ini. 5. Dosen-dosen STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 6. Segenap perawat di ruang Inayah RS PKU Muhammadiyah Gombong yang telah memberikan arahan serta masukan dalam mengelola klien. 7. Ibunda tercinta Suprapti, adikku Jesika Yuliana, dan nenek serta kakek yang telah mengajariku bagaimana bertanggung jawab dan menjadi kebanggaan mereka. 8. Mas Agus Fatoni yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan bantuan selama penyusunan karya tulis ilmiah ini.
v
9. Teman – teman DIII Keperawatan angkatan 2013 khususnya Nofidon Laela, Nesi Nur Istiqomah, Nurul Istiqlaliyah, Nur Za’adah, Herlina Yulianti Kulsum, Imas Susanti, Ike Puji Astati, Leny Oktaviani Puji Rahayu, dan Nina Wanda, Kartika yang bersama-sama menjadi sebuah keluarga yang selama ini saling mendukung, mengisi dan berbagi. 10. Pihak-pihak lain yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Kebumen, Agustus 2016
Penulis,
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...............................................................iii ABSTRAK ..........................................................................................................iv ABSTRACT ........................................................................................................v KATA PENGANTAR ........................................................................................vi DAFTAR ISI .......................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................1 B. Tujuan Penulisan .............................................................................4 C. Manfaat Penulisan ...........................................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Kebutuhan Aktivitas ...............................................7 1. Kebutuhan Aktivitas ....................................................................7 2. Definisi Intoleransi Aktivitas ......................................................8 3. Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik..............................................9 B. Manajemen Intoleransi Aktivitas ...................................................13 1. Definisi Transfusi Darah ............................................................13 2. Tujuan Transfusi Darah ..............................................................13 3. Indikasi Transfusi Darah ............................................................14 4. Kontraindikasi Transfusi Darah .................................................14 5. Macam-macam Transfusi Darah ................................................15 6. Komplikasi Transfusi Darah ......................................................16 7. Prosedur Transfusi Darah ...........................................................16 C. Konsep Dasar Inovasi Tindakan Keperawatan .................................17 BAB III RESUME KEPERAWATAN A. Pengkajian ......................................................................................21 B. Analisa Data ...................................................................................25 C. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi..........................................27 BAB IV PEMBAHASAN A. Asuhan Keperawatan......................................................................36 1. Intoleransi Aktivitas ...................................................................36 2. Mual ...........................................................................................40 3. Defisiensi Pengetahuan ..............................................................45 B. Analisa Inovasi Tindakan Keperawatan .........................................48 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.....................................................................................54 B. Saran ..............................................................................................56 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Insidens typhoid menurun di USA dan Eropa akan tetapi di sebagian besar negara berkembang typhoid di perkirakan 21,6 kasus dengan 216.500 kematian tahun 2000. Tertinggi >100 kasus per 100.000 populasi per tahun di Asia Tengah, Selatan serta Tenggara, dan kemungkinan di Afrika Selatan. Yang tergolong insidens sedang 10100 kasus 100.000 populasi per tahun di Asia dan negara lainnya. Insidens rendah <10 kasus per 100.000 populasi per tahun di belahan dunia lainnya. Di Indonesia insidens typhoid banyak dijumpai karena berkaitan dengan rumah tangga dimana adanya anggota keluarga yang pernah mengalami tifoid (WHO, 2008). Typhoid di Indonesia disebabkan oleh faktor kebersihan meliputi makanan, kebersihan pribadi, dan lingkungan, maupun masalah klinis seperti koinfeksi dengan penyakit lain serta belum adanya vaksin yang efektif (Depkes, 2006). Laporan profil kesehatan Indonesia 2007, menyebutkan bahwa 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2006 diantaranya adalah typhoid dengan presentase 3,26% yaitu 72.804 orang (Depkes, 2007). Angka kejadian tinggi biasanya pada daerah tropis dibandingkan daerah berhawa dingin. Beberapa literature menyebutkan penyakit typhoid dapat mengenai siapa saja, tetapi lebih sering dialami oleh anakanak. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 menyebutkan typhoid masuk dalam peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak rawat inap di rumah sakit. Menurut Riset Kesehatan Nasional pada tahun 2007, kejadian tifoid sebanyak 1,6%. Kejadian typhoid di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebanyak 0,08%. Kejadian typhoid di kabupaten Kebumen pada tahun 2010 sebanyak 0,30% (Dinkes Jateng, 2011). Typhoid merupakan penyakit infeksi pada usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Typhi (Mansjoer Arif, 2009). Terdapat dua penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carter. Carter adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih mengekresi Salmonella typhi dalam faces dan urine lebih dari 1 tahun (Mansjoer Arif, 2009). 1
2
Penularan typhoid melalui banyak cara yang lebih dikenal dengan 5F (Food, Fingers, Fly, Feces, Fomitus). Gejala yang muncul biasanya berupa demam yang akan terjadi mulai dari sore hari hingga malam, lidah kotor, sakit kepala, terkadang juga disertai dengan diare. Di pulau Jawa dimana sentra pemerintahan berada tidak menutup kemungkinan penyakit typhoid tidak bisa menyebabkan penularan yang karena di pulau Jawa tingkat kepadatan penduduknya tinggi, lalu tingkat ekonominya rendah sehingga standart hidup dan kebersihan rendah. Pathogenesis typhoid melalui beberapa tahapan. Setelah kuman masuk, kuman dapat bertahan pada asam lambung dan masuk melalui mukosa usus pada ileum, kemudian menyebar ke pembuluh dalah melalui sistem limfatik. Periode ini terjadi selama 7-14 hari. Diagnosis pasti demam typhoid berdasarkan 3 prinsip, yaitu isolasi bakteri, deteksi antigen mikroba, titrasi antibodi pada organisme penyebab. Peran pemeriksaan widal masih kontroversial, biasanya antibodi gen-O dijumpai pada hari ke 6-8 dan anti gen-H pada hari ke 10-12 setelah sakit diagnosis didasarkan atas kenaikan titer (Sudoyo, 2009). Dikarenakan pasien yang dikelola penulis memiliki riwayat penyakit gagal ginjal kronik maka penulis pun menuliskan latar belakang yang berkaitan dengan penyakit gagal ginjal kronik. Di Indonesia penyakit gagal ginjal kronik termasuk penyakit yang memiliki penderita terbanyak dengan prevalensi 10% tiap tahunnya (Sudoyo, 2009). Di Amerika Serikat, penderita gagal ginjal kronik di perkirakan 20 juta orang ada dua penyebab terbesar dari gagal ginjal kronik yaitu hipertensi dan diabetes mellitus diperparah oleh obesitas, merokok, dan faktor lainnya (Bailie, 2006). Prevalensi gagal ginjal kronik pada tahun 2007 yang paling tertinggi di tempati oleh Taiwan dengan jumlah 2.400 per juta penduduk, di Jepang 2.000 per juta penduduk, di Amerika 1.800 per juta penduduk, di Eropa 800 per juta penduduk dan meningkat menjadi 4485% dari tahun 2000-2015. Dari data yang diperoleh dari data rumah sakit pemerintah daerah dan Departemen Kesehatan sepanjang tahun 2005 sebanyak 125.441 pasien mengalami gagal ginjal kronik dan menjalani hemodialisis (Pernefri, 2009). Menurut data dari Indonesia Renal Registry tahun 2008 penderita gagal ginjal kronik sekitar 200-250
3
per satu juta penduduk dan yang menjalani hemodialisa mencapai 2.260 orang dan meningkat menjadi 2.148 orang dari tahun sebelumnya di tahun 2007 Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang mengganggu fungsi renal secara progresif dan ireversibel sehingga tubuh gagal mempertahankan metabolism dan keseimbangn cairan serta elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Brunner & Suddarth, 2010). Menurut Susalit (2012) penderita gagal ginjal kronik di Indonesia mencapai 300.000 orang tetapi yang belum tertangani semua oleh medis, yang sudah tertangani baru mencapai 25.000 pasien. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi gagal ginjal kronik yang tertinggi adalah di Sulawesi Tengah sekitar 0,5%, sementara di pulau Jawa khususnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur masing – masing 0,3%. Hemodialisa merupakan terapi yang bertujuan agar fungsi ginjal bisa tetap dilakukan walaupun digantikan dengan mesin dan pasien yang mengalami hemodialisa akan berketergantungan seumur hidup. Penyakit gagal ginjal kronik juga biasanya menyebabkan beberapa gambaran klinis diantaranya yaitu anemia yang terjadi hampir 80-90% pasien gagal ginjal kronik mengalaminya. Anemia yang terjadi akibat dari defisiensi sintesis hormon eritropoietin yang merupakan hormon endogen yang dihasilkan fibroblas peritubular yang terdapat di korteks ginjal secara normal eritropoietin disintesis jika terjadi kehilangan darah akibat perdarahan maupun hipoksia jaringan yang menyebabkan produksinya meningkat 1000 kali faktor lain terjadinya anemia yaitu pemendekan usia eritrosit akibat peningkatan hemolisis eritrosit serta kehilangan darah seperti perdarahan saluran cerna dan defisiensi vitamin (asam folat dan vitamin B 12). Anemia secara fungsional adalah sebagai penurunan jumlah masa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan (Bakta, 2007). Anemia adalah menunjukkan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar hematokrit dibawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan pencerminan keadaan suatu penyakit (gangguan) fungsi tubuh, pada usia produktif dan pada perempuan sangat resiko tinggi menderita anemia
4
karena mereka kehilangan banyak darah saat melalui menstruasi, terlebih saat menstruasi hari pertama. Penurunan produksi sel darah merah menyebabkan penurunan kadar hemoglobin sehingga transportasi oksigen ke darah berkurang dan terjadi hipoksia karena suplai oksigen tidak seimbang, dari hal tersebut menimbulkan kelemahan fisik sehingga menyebabkan kebutuhan sehari-hari tidak terpenuhi., karena mengalami kelemahan tidak mampu melakukan aktivitasnya dikarenakan energi besar diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas, dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa intoleransi aktivitas merupakan masalah keperawatan yang harus teratasi pada karena di dalam kehidupan sehari-hari seseorang memerlukan energi yang besar dalam beraktivitas. (Smeltzer & Bare, 2002) Intoleransi aktivitas adalah jenis dan jumlah latihan atau kerja yang dapat dilakukan oleh seseorang (Perry dan Potter, 2006) sedangkan menurut Herdman (2012) intoleran aktifitas adalah ketidakcukupan energi secara fisiologis atau psikologis dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari yang dibutuhkan atau diperlukan. Penderita anemia akan beresiko mengalami masalah intoleransi aktivitas sehingga menghambat pasien dalam menjalani aktivitasnya. Oleh karena itu pada karya tulis ilmiah (KTI) yang penulis buat akan menjabarkan lebih lanjut bagaimana pengelolaan intoleransi aktivitas pada pasien kelolaan yang mengalami penyakit typhoid yang disertai dengan gagal ginjal kronik sehingga menyebabkan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah dan mengakibatkan produktivitas seseorang mengalami gangguan.
B. Tujuan Penulisan 1.
Tujuan umum Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada Nn. C di ruang Inayah RS PKU Muhammadiyah Gombong dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas dan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang utuh serta komprehensif.
5
2.
Tujuan khusus a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien typhoid disertai dengan gagal ginjal kronik b. Mampu menganalisa masalah yang muncul dan menegakkan diagnose keperawatan pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien typhoid disertai dengan gagal ginjal kronik c. Mampu
menyusun
intervensi
keperawatan
sesuai
dengan
masalah
keperawatan yang muncul pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik d. Mampu melakukan implementasi pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik e. Mampu melakukan evaluasi dari hasil implementasi yang telah dilakukan pada klien pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik f. Mampu mendokumentasikan hasil tindakan keperawatan pada klien dengan masalah keperawatan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada klien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik
C. Manfaat Penulisan 1. Manfaat keilmuan a. Manfaat untuk penulis Melatih kemampuan penulis untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang sudah diajarkan oleh institusi serta dapat melatih pola fikir penulis dalam menganalisis asuhan keperawatan yang komprehensif. b. Manfaat untuk institusi pendidikan Sebagai referensi untuk mahasiswa dengan melakukan Asuhan Keperawatan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik.
6
2. Manfaat aplikatif a. Manfaat untuk pasien dan keluarga Dapat menambah pengetahuan serta wawasan pasien dan keluarga tentang cara perawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas akibat penyakit thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik. b. Manfaat untuk instansi kesehatan Dapat mengoptimalkan transfusi darah yang efektif
dalam membantu
proses pemulihan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien thypoid disertai dengan gagal ginjal kronik.
DAFTAR PUSTAKA
Acomb, C., (2003).Anemia, dalam Walker, R., Edwards, C., 3rd , Clinical Pharmacy and Therapeutics, 725-730, Churchill Livingstone., Philadelphia. Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta:Salemba Medika. Ayu Nyoman, Suega Ketut, Widiana Gede.(2010). Hubungan Antara Beberapa Parameter Anemia Dan Laju Filtrasi Glomerulus Pada Penyakit Ginjal Kronik Pradialisis Bailie, George R PharmD, PHD ; Curtis A.Johnson, PharmD ; Nancy A.Mason, PharmD ; and Wendy Lst. Peter, PharmD. (2006) A Guide to Select NKF. KDOQI Guidelines and Recommendations was edited by Nephrology Pharmacy Associates. Journal NKF-KDOQI National Kidney Foundation Chronic Kidney Diseases. Baki Aber, Musa Nevine, Kamel Cherry. (2012). Iron Deficiency Among Anemic Pre-Dialysis Chronic Kidney Patients: Life Science Journal. Bakta, I Made. (2007). Hematologi Klinik Ringkasan Jakarta: EGC Bastiansyah, Eko. (2008). Panduan Lengkap : Membaca Hasil Tes Kesehatan. Jakarta : Penebar Plus. Brunner and Suddarth. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo Agung, Yasmin Asih, Juli, Kuncara, I Made Karyasa, Jakarta, EGC. edisi 8, volume 3. Jakarta: EGC Child, J.A, Lyndon, S. Ed. (2010). Buku Saku Hematologi Klinik. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher. DiJen PP dan PL Depkes RI. Profil Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan (2006). Jakarta: Depkes RI; (2007). 164 halaman Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2011. Demam Typhoid di Jawa Tengah. Diunduh dari http://www. Profil Kesehatan Jawa Tengah.go.id/dokumen/profil 2011/htn. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., (2009) Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Seventh Edition, TheMcGraw-Hill Companies, Inc., USA.
Doengoes, Maryllin E. (2014). Manual Diagnosis Keperawatan : rencana, intervensi, & dokumentasi asuhan keperawatan. Edisi 3. Alih bahasa : Bhesty Angelina. Jakarta : EGC. Dokman Gilang.( 2010). Profil Status Besi Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis Stadium 5 Yang Menjalani Hemodialisis Berkelanjutan di Instalasi Hemodialis RSUD Dr.Soetomo Evelyn, Pearce. (2009). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Gombotz, H., (2012). Patient Blood Management: A Patient-Orientated Approach to Blood Replacement with the Goal of Reducing Anemia, Blood Loss and the Need for Blood Transfusion in Elective Surgery, Transfusion Medicine and Hemotherapy., 39, 67–72. Herdman, T. Heather. (2012). Nursing Diagnoses : Deffinition & Classification 2012- 2014. Jakarta : EGC Hoffbdand A.V. dan Pettit J.E. (2011) : Alih Bahasa Iyan Darmawan, Kapita Selekta Hematologi, Edisi II.EGC. Jakarta. Ineck, B., Mason, B.J., Lyons,W., (2008). Anemia, dalam Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 7th, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach , 1639-1660, McGrawHill., United Stated. Kidney International Supplements, (2012).Clinical practice for Anemia in chronic Kidney disease, KDIGO., 2, 283–287. KTW, 2009. Annual Meeting 2009 Perhimpunan Nefrologi Indonesia. http://www.kalbe.co.id. Lankhorst, C.E., Wish, J.B., (2010). Anemia in Renal Disease: Diagnosis and Management, Blood Reviews., 24, 39–47. Lerma, Edgar.( 2011). Anemia of Chronic Disease and Renal Failure. Manjsoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: EGC. Masood, I., Teehan, G., (2012). Pharmacological Adjuvants to Limit Erythropoietin Stimulating Agents Exposure, Open Journal of Nephrology., 2, 86-96. Nency, Yetty Movieta, Sumantri, Dana. (2011), Latar Belakang Penyakit Pada Penggunaan Transfusi Komponen Darah Pada Anak. RSUP.Dr.Kariadi
Semarang, Universitas Diponegoro Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Sari Pediatri, Vol.13, No.3, Oktober 2011. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro, Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini M, et al. A Study of Thypoid Fever In Five Asian Countries : Disease burden and implications for controls, Bull World Health Organization (WHO). (2008). ; 86 : 260 – 8. Pali, Moeis, Rotty. (2012). Gambaran Anemia Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Di BLU. RSUD. Prof. Dr. R.D.Kandou. Universitas Sam Ratulangi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Purba Regina Tatiana, Kampono Nugroho, Handaya, Moegni Endi.M. (2007). Perbandingan Efektivitas Terapi Besi Intra Vena dan Oral pada Anemia Defisiensi Besi Dalam Kehamilan, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol : 57, No. 4, April 2007. Potter & Perry. (2006) Buku Ajar Fundamental Konsep, Proses, dan Praktik (Vol.2). Jakarta: EGC Pratidina, Eki., Pustika, Pupu. (2001). Transfusi Darah. Bhakti Kencana Medika, Vol.1, No.3, Juli 2001, hal : 89-95 PPM dan PL. Profil Kesehatan Indonesia . (2005).Jakarta: DepKes RI; (2006). Rejeki, Pradani, Nurhayati, Supriyanto. (2014). Model Prediksi Kebutuhan Darah, Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.8, No.7, Februari 2014 Sudoyo, A W. (2009). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publising. Sumiati, Ningsih, Nurkhikmah. (2015) Administration Periode Of PRC Transfusion Toward To Hemoglobin Values, Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015. Susalit. (2012). Teknik Baru Pengobatan Gagal Ginjal, Edisi Minggu 22 Januari 2012. Koran Jakarta. Di Buka pada Website: http://koranjakarta.com/index .php/detail/view01/81403. Sharma, S., Sharma, P, Tyler, L., (2011). Transfusion of Blood and Blood Products: Indications and Complications, American Family Physician, Volume 83, Number 6. Shavelle, R.M., Kenzie, R.M., (2012). Anemia and mortality in older persons: does the type of anemia affect survival, Int J Hematol., 95, 248–256.
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta : EGC Smeltzer, S. C. & Bare, B. G Brunner and Suddarth’s 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Edisi 8. Jakarta: FKUI.
Strippoli, G.F.M., Craig, J.C., Manno, C., Schena, F.P., (2004). Hemoglobin Targets for the Anemia of Chronic KidneyDisease: A Meta-analysis of Randomized, Controlled Trials, J Am Soc Nephrol., 15, 3154–3165. Tarwoto, Watonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Edisi : 3, Jakarta : Salemba. Teddy. (2011). Hubungan Hepcidin Dengan Feritin Serum Pasien Anemia Defisiensi Besi Pada Penyakit Ginjal Kronik. Tesis. Universitas Andalas. Hal 38-39 Weiner, D.E., Miskulin, D.C., (2010). Anemia Management in Chronic Kidney Disease: Bursting the Hemoglobin Bubble, Annals of Internal Medicine., Vol 153, Number 1. WHO, 2011. Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2010. http://www.who.int/nmh/publications/ncd_report_chapter1.pdf Ermaya, Hilmanto, Reniarti. (2007). Hubungan Kadar Hemoglobin Sebelum Transfusi dan Zat Pengikat Besi Dengan Kecepatan Pertumbuhan Penderita Thallasemia Major, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol.57, No.11, November 2007. Zulkoni, Akhsin. (2011). Parasitologi. Yogyakarta : Nuha Medika
LAPORAN PENDAHULUAN TYPHOID DI RUANG INAYAH RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
Disusun oleh : Jehan Pristya (A01301779)
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG 2016
LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID
A. Pendahuluan Thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C. H, 2009. Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.) Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus tifoid, Diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya. Tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari pada dewasa. Hampir disemua daerah endemik, insiden demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Nugroho, 2011) Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Departemen Kesehatan RI, 2009)
B. Anatomi Fisiologi Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu. A. Usus Halus (usus kecil) Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus meliputi, lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum). Villi usus halus terdiri dari pipa berotot (> 6 cm), pencernaan secara kimiawi, penyerapan makanan. Terbagi atas usus 12 jari (duodenum), usus tengah (jejenum), usus penyerapan (ileum). 1. Usus dua belas jari (Duodenum) Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejenum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pylorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
2. Usus Kosong (jejenum) Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian dari usus halus, diantara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yaitu sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis. 3. Usus Penyerapan (ileum) Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garamgaram empedu. C. Usus Besar (Kolon) Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rectum). Banyaknya bakteri yang terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri didalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare. D. Usus Buntu (sekum) Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil.
Sebagian besar herbivore memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing. E. Umbai Cacing (Appendix) Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum. Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendiktomi. F. Rektum dan Anus Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpang ditempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material didalam rectum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limba keluar dari tubuh. Sebagian besar anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot
spinter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.
C. Pengertian Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare. 2002). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, Arif. 2009).
D. Etiologi Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu : a. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman). b. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman). c. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid (Aru W, 2009).
E. Patofisiologi Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat
pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, 2012.). Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, 2012).
F. Pathway
Penularan 5F :
Defisit perawatan diri
: Makanan
↑
Finger : Jari tangan,kuku
Mudah letih, lesuh
Food
Fomitis : Muntahan Fly
: Lalat
Feces : Kotoran manusia
↑ Energi yang dihasilkan berkurang
↑ Bakteri salmonella Thypi
Metabolisme menurun
(perantara 5F) ↓ Masuk lewat makanan
↑ Intake makanan (nutrisi) untuk tubuh menurun
↓
↑
Saluran
Nutrisi kurang dari
pencernaan
kebutuhan tubuh
↓
↑
Lambung (sebagian mati oleh asam lambung)
Napsu makan menurun, nausea & vomit
↓ Usus halus (jar. Limfoid usus halus)
Peristaltik usus menurun
↓
↓
perasaan tidak
Infeksi usus
Tidak terdengar bising
enak, nyeri
halus
usus/bising usus turun
↑
↓
↓
Hipertermi
inflamasi
konstipasi
↑
↓
Malaise,
abdomen
Gangguan pada termoregulator
Pembuluh limfe
Komplikasi intestinal: Peradarahan
(pusat
usus
pengaturan
Perforasi usus
suhu tubuh)
(bag.distal ileum) periotonitis
↑
↓ Bakterime
Pirogen beredar
primer (bakteri
dalam darah
masuk ke aliran darah)
↑
↓
Endotoksin meransang sintesa & pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jar. radang
↑ Peradanan lokalisasi meningkat
Bakteri yang tidak difagositosis akan masuk &berkembang di hati & limfa
↓ Inflamasi hati & limfa ↓ Hepatomegali
Masa inkubasi 5-9
& splenomegali
hari
↓
↓
Nyeri tekan Bakteri mengeluarkan
↓
Masuk kedalam darah (bakteremi sekunder)
endotoksin Nyeri akut G. Tanda Dan Gejala Tanda dan gejala klinik thypoid : Keluhan: Nyeri kepala (frontal)
100%
Kurang enak di perut
50%
Nyeri tulang, persendian, dan otot
50%
Berak-berak
50%
Muntah
50% Gejala:
a.
Demam
100%
Nyeri tekan perut
75%
Bronkitis
75%
Toksik
60%
Letargik
60%
Lidah tifus (“kotor”)
40%
Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu tubuh berangsur meningkat
b.
Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah (ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan tepinya kemerahan, biasanya disertai konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang kembung.
c.
Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam, apatis sampai somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah
d.
Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih singkat
H. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan leukosit Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid. 2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid. 3. Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor : a. Teknik pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung. b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali. c. Vaksinasi di masa lampau Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif. e. Uji Widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas: 1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan
saluran
cerna,
gangguan
pola
buang air
besar
dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar. 2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan). 3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, 2007)
I. Penatalaksanaan Medis a. Perawatan. Penderita thypoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan, penderita harus tirah baring sampai minimal 7 hari, batas panas atau kurang lebih 14 hari. Mobilisasi dilakukan secara sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien, penderita yang kesadarannya menurun posisi tubuh harus diubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi dekubitus, defekasi, dan miksi perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi dan retensi urine. b. Diet/ Terapi Diet. Yaitu penatalaksanaan diet penyakit Thypus Abdominalis dengan tujuan : 1) Memberi makanan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan yang
bertambah guna
mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh. 2) Pemberian makanan yang cukup dan seimbang tidak merangsang dan tidak memperberat kerja saluran pernafasan. 3) Jika adanya peradangan pada usus halus, maka harus diberikan secara hati-hati untuk menghindari rangasangan terutama dari serat kasar. Penderita diberi bubur saring kemudian bubu kasar, dan akhirnya diberi nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemberian makanan pada dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada penderita Thypoid. c. Obat – Obatan. 1. Klorampenikol 4.500 mg selama 14 hari. 2. Limfenikol 3.300 mg. 3. Kotrimoxazol 12.480 mg selama 4 hari. 4. Ampicillin dan Amoxillin 341 gr selama 14 hari. Obat-obatan anti piretik tidak perlu diberikan secara rutin pada penderita Thypoid. Pada penderita toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap selama 5 hari, hasil biasanya memuaskan. Kesadaran penderita menjadi baik dan suhu tubuh cepat turun sampai normal, akan tetapi
kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi karena dapat menyebabkan pendarahan intestinal. (Smeltzer & Bare, 2002).
J. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam kasus demam thypoid adalah sebagai berikut : 1. Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma 2. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi 3. Ketidak seimbangangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang tidak adekuat 4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, istirahat total dan pembatasan karena pengobatan
K. Perencanaan Keperawatan No 1
Diagnosa
Tujuan/hasil yang
keperawatan
diharapkan
Hypertermi b/d
Termoregulasi
proses infeksi
Tanda-tanda Vital
Rencana Tindakan 1. Pantau suhu tubuh pasien setiap 4 jam
tindakan keperawatan
1. Meyakinkan perbandingan data yang akurat.
2. Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai Setelah dilakukan
Rasional
2. Menurunkan demam.
anjuran 3. Turunkan panas dengan melepaskan selimut
3. Meningkatkan kenyaman,
selama….x 24 jam
atau menanggalkan pakian yang terlalu tebal,
menurunkan temperatur suhu
pasien menujukan
beri kompres dingin pada aksila dan liatan
tubuh
temperatur dalan batas
paha.
normal dengan kriteria: Bebas dari kedinginan Suhu tubuh stabil 36-37 C Tanda-tanda
4. Pantau dan catat denyut dan irama nadi,
4. Peningkatan denyut nadi,
vekanan vena sentral, tekanan darah, frekuensi
penurunan tekan vena sentral,
napas, tingkat responsitas, dan suhu kulit
dan penurunan tekanan darah
minimal 4 jam
dapat mengindikasikan hipovolemia yang mengarah
vital dalam rentang
pada perfusi jaringan. Kulit yang
normal
dingin, pucat dan burik dapat juga mengindikasikan peunurunan perfsi jaringan.
Peningkatan frekuensi pernapasan berkompensasi pada hipoksia jaringan. 5. Observasi adanya konfusi disorientasi
5. Perubahan tingkat kesadaran dapat merupakan akibat dari hipoksia jaringan
6. Berikan cairan IV sesuai yang dianjurkan.
6. Menghindari kehilangan air natrium klorida dan kalium yang berlebihan.
2
Nyeri akut
Tingkat kenyamanan
Manajemen nyeri :
Control nyeri
1. Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk
Setelah dilakukan askep
lokasi,
karakteristik,
1. Respon nyeri sangat individual
durasi,
sehingga
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
tingkat kenyamanan meningkat, dan dibuktikan dengan: level nyeri pada scala 2-3 Pasien dapat
pun
berbeda untuk masing-masing
selama ..... x 24 jam pasien menunjukan
penangananya
individu. 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan. 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
2.
Menngetahui
tingkat
kenyamanan 3. Komunikasi yang terapetik
mengetahui pengalaman nyeri klien
mampu meningkatkan rasa
sebelumnya.
percaya klien terhadap perawat sehingga dapat lebih kooperatif dalam program manajemen
melaporkan nyeri pada petugas,
nyeri. 4. Kontrol faktor lingkungan yang
4. Lingkungan yang nyaman dapat
Frekuensi nyeri
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
membantu klien untuk
Ekspresi wajah
pencahayaan, kebisingan.
mereduksi nyeri.
Menyatakan kenyamanan fisik dan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
5. Meningkatkan kenyamanan
psikologis,
6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
6. Pengalihan nyeri dengan
TD 120/80 mmHg,
(farmakologis/non farmakologis).
relaksasi dan distraksi dapat
N: 60-100 x/mnt, RR:
mengurangi nyeri yang sedang
16-20x/mnt
timbul. 7. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,
Control nyeri pada
7. Meningkatkan kenyamanan
distraksi dll) untuk mengetasi nyeri.
level 3 dibuktikan dengan:
8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
Pasien melaporkan
8. Pemberian analgetik yang tepat dapat membantu klien untuk
gejala nyeri dan
beradaptasi dan mengatasi nyeri.
control nyeri.
9. Tindakan evaluatif terhadap 9. Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
penanganan nyeri dapat dijadikan rujukan untuk penanganan nyeri yang mungkin muncul berikutnya atau yang sedang berlangsung.
10. 10.
Kolaborasi dengan dokter bila ada
komplain tentang pemberian analgetik tidak berhasil. 11.
Monitor penerimaan klien tentang
Kolaborasi yang tepat
membantu pasien mempercepat tindakan keperawatan 11.
Sebagai rujukan
penanganan nyeri
manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :. 1.
Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
2.
Cek riwayat alergi..
3.
Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
4.
Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
5.
Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
6.
Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.
3
Ketidakseimbang
Status gizi : asupan gizi
an nutrisi kurang dari kebutuhan
Setelah dilakukan askep
Manajemen Nutrisi
Manajemen nutrisi dan monitor
1.
kaji pola makan klien
nutrisi
2.
Kaji adanya alergi makanan.
membantu
yang klien
adekuat
dapat
mendapatkan
tubuh
selama ....x24 jam pasien
3.
Kaji makanan yang disukai oleh klien.
nutrisi
menunjukan:
4.
Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan
tubuhnya.
status
nutrisi
dibuktikan
dengan
BB
stabil tidak terjadi mal nutrisi,
tingkat
nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan
adekuat
klien. 5.
energi
adekuat, masukan nutrisi
Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.
6.
adekuat
Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah konstipasi.
7.
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi 1.
Monitor BB setiap hari jika memungkinkan.
2.
Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.
3.
Monitor lingkungan selama makan.
4.
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan.
5.
Monitor adanya mual muntah.
6.
Monitor adanya gangguan dalam proses mastikasi/input makanan misalnya
sesuai
dengan
kebutuha
perdarahan, bengkak dsb. 7. 4
Defisit perawatan
Perawatan diri :
diri
aktivitas kehidupan
Bantuan perawatan diri 1.
2. Setelah dilakukan asuhan 3.
: Activity Daly Living (ADL) dengan skala 1-2
5.
6.
7.
Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
8.
toileting, ambulasi)
Berikan reinforcement atas usaha yang dilakukan dalam melakukan perawatan diri
Kebersihan diri pasien terpenuhi
Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
berpakaian, kebersihan,
Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
melakukan aktivitas sehari-hari (makan,
Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.
dengan indicator : Pasien dapat
Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
4.
sehari hari. Self-care assistant. 1.
Bantuan perawatan diri dapat membantu klien dalam beraktivitas
Monitor kebutuhan akan personal hygiene, dan melatih pasien untuk berpakaian, toileting dan makan
klien mampu melakukan Perawatan diri/Self care
Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri
sehari-hari
keperawatan ....x24 jam
Monitor intake nutrisi dan kalori.
Kaji kemampuan klien self-care mandiri
beraktivitas kembali.
2.
Kaji kebutuhan klien untuk personal hygiene, berpakaian, mandi, cuci rambut, toilething, makan.
3.
sediakan kebutuhan yang diperlukan untuk ADL
4.
Bantu ADL sampai mampu mandiri.
5.
Anjurkan keluarga untuk membantu
6.
Ukur tanda vital setiap tindakan
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W. Sudoyo.(2009) Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed V.Jilid III. Jakarta: Interna Publishing 2. Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI, Jakarta 3. Nugroho, Susilo, (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika 4. Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius. 5. Simanjuntak, C. H, (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.) 6. Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 7. Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC 8. Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI) 9. Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) NUTRISI PADA PASIEN TYPHOID DI RUANG INAYAH RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
Disusun Oleh : Jehan Pristya A01301775
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG 2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) Diagnosa Keperawatan :Kurang pengetahuan keluarga dan pasien mengenai nutrisi pada pasien typhoid (pengertian nutrisi pada pasien typhoid dan tujuannya, syaratsyarat diet sisa rendah, makanan yang di perbolehkan ,makanan yang tidak di perbolehkan, jadwal diit) Pokok Bahasan
: Nutrisi pada pasien typhoid
Sub Pokok Bahasan
: Mengenal masalah nutrisi pada pasien typhoid
Sasaran
: Keluarga Nn. C
Waktu
: Jam 08.00 – 08.25 WIB (1 x 25 menit)
Pertemuan ke-
:1
Hari/Tanggal
: Jumat 10 Juni 2016
Tempat
: Ruang Inayah RSM PKU Gombong
Pelaksana
: Jehan Pristya
A. Tujuan Instruksional Umum (TIU) Setelah dilakukan pendidikan kesehatan selama 1 x 25 menit diharapkan Nn.C dan Ny.R dapat mengenal tentang nutrisi pada pasien typhoid.
B. Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Setelah dilakukan pendidikan kesehatan selama 1 x 25 menit diharapkan Nn.C mampu : 1. Menyebutkan kembali tentang pengertian nutrisi pada pasien typhoid dan tujuannya 2. Menyebutkan kembali tentang syarat-syarat diet sisa rendah 3. Menyebutkan kembali tentang makanan yang di perbolehkan 4. Menyebutkan kembali tentang makanan yang tidak di perbolehkan 5. Menyebutkan kembali tentang jadwal diit
C. Pokok Materi 1. Pengertian nutrisi pada pasien typhoid dan tujuannya
2. Syarat-syarat diet sisa rendah 3. Makanan yang di perbolehkan 4. Makanan yang tidak di perbolehkan 5. Jadwal diit
D. Kegiatan 1. Metode : diskusi dan tanya jawab 2. Media : lembar balik 3. Strategi pelaksanaan : Waktu 5 menit
15 menit
5 menit
Tahap Orientasi : a. Mengucapkan salam b. Memperkenalkan diri c. Mengingatkan kontrak d. Menjelaskan maksud dan tujuan e. Menanyakan kesediaan f. Apersepsi Kerja : a. Memulai penkes dengan membaca tasmiyah b. Menjelaskan pengertian nutrisi pada pasien typhoid dan tujuannya c. Menjelaskan tentang syarat-syarat diet sisa rendah d. Menjelaskan tentang makanan yang di perbolehkan e. Menjelaskan tentang makanan yang tidak di perbolehkan f. Menjelaskan tentang jadwal diit g. Memberi kesempatan bertanya h. Menjawab pertanyaan Terminasi : a. Melakukan evaluasi b. Memberikan kesimpulan c. Menutup penkes dengan membaca tahmid d. Memberi salam penutup
E. Evaluasi 1. Evaluasi Persiapan
Respon a. b. c. d.
Menjawab salam Mendengarkan Pasien ingat dengan kontrak Pasien mengerti maksud dan tujuan e. Pasien bersedia a. Memperhatikan b. Mendengarkan
a. Mendengarkan b. Menjawab salam
a. Materi sudah siap dan dipelajari 1 hari sebelum penkes b. Media sudah siap 1 hari sebelum penkes c. Kontrak waktu dan tempat dengan pasien sudah disampaikan 1 hari sebelum penkes d. SAP sudah siap 1 hari sebelum penkes 3. Evaluasi Proses a. Pasien siap diberi penkes b. Pasien memperhatikan saat diberi penkes c. Media dapat digunakan secara aktif 2. Evaluasi Hasil a. Pasien mampu menyebutkan kembali tentang pengertian nutrisi pada pasien typhoid
dan tujuannya b. Pasien mampu menyebutkan kembali tentang syarat-syarat diet sisa rendah c. Pasien mampu menyebutkan kembali tentang makanan yang di perbolehkan d. Pasien mampu menyebutkan kembali tentang makanan yang tidak di perbolehkan e. Pasien mampu menyebutkan kembali tentang jadwal diit
F. Materi Terlampir G. Lembar Balik Leaflet Terlampir
Materi Nutrisi pada pasien typhoid
1. Pengertian nutrisi pada pasien typhoid dan tujuannya Nutrisi pada pasien typhoid adalah diet yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan makan penderita typhoid dalam bentuk makanan lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam thypoid adalah memenuhi kebutuhan nutrisi penderita typhoid dan mencegah kekambuhan. Penderita penyakit dtyphoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain: a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein. b. Tidak mengandung banyak serat. c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
2. Syarat-syarat diet sisa rendah Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah: 1.
Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
2.
Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
3.
Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
4.
Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
5.
Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan
6.
Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi perorangan.
7.
Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu tajam.
8.
Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin
9.
Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
10. Bila
diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai
suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.
3. Makanan yang di perbolehkan a. Sumber karbohidrat : beras dibubur/tim, roti bakar, kentang rebus, krakers, tepung tepungan dibubur atau dibuat puding b. Sumber protein hewani: daging empuk, hati, ayam, ikan direbus, ditumis, dikukus,diungkep, dipanggang; telur direbus, ditim, diceplok air, didadar, dicampur dalam makanan dan minuman; susu maksimal 2 gelas per hari c. Sumber protein nabati : tahu, tempe ditim, direbus, ditumis; pindakas; susu kedelai d. Sayuran : sayuran berserat rendah dan sedang seperti kacang panjang, buncis muda, bayam, labu siam, tomat masak, wortel direbus, dikukus, ditumis e. Buah-buahan : semua sari buah; buah segar yang matang (tanpa kulit dan biji) dan tidak banyak menimbulkan gas seperti pepaya , pisang, jeruk, alpukat f. Lemak nabati : margarin, mentega, dan minyak dalam jumlah terbatas untuk menumis, mengoles dan setup g. Minuman : teh encer, sirup h. Bumbu : garam, vetsin, gula, cuka, salam, laos, kunyit, kunci dalam jumlah terbatas 4. Makanan yang tidak di perbolehkan a. Sumber karbohidrat : beras ketan, beras tumbuk/merah, roti whole wheat, jagung, ubi, singkong, talas, tarcis, dodol dan kue-kue lain yang manis dan gurih b. Sumber protein hewani : daging berserat kasar (liat), serta daging, ayam, ikan diawetkan, telur mata sapi, didadar c. Sumber protein nabati : Kacang merah serta kacang-kacangan kering seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, dan kacang tolo
d. Sayuran : sayuran yang berserat tinggi seperti : daun singkong, daun katuk, daun pepaya, daun dan buah melinjo, oyong,timun serta semua sayuran yang dimakan mentah e. Buah-buahan : buah-buahan yang dimakan dengan kulit seperti apel, jambu biji, jeruk yang dimakan dengan kulit ari; buah yang menimbulkan gas seperti durian dan nangka f. Lemak : minyak untuk menggoreng, lemak hewani, kelapa dan santan g. Minuman : kopi dan teh kental; minuman yang mengandung soda dan alcohol h. Bumbu : cabe dan merica 5. Jadwal diit a. Makan Pagi : - Bubur ayam tanpa bumbu kuning saring - Telur Rebus Matang - Susu b. Makan Siang : - Tim saring - Abon ayam tabur - Sup/Sayur bening labu siam - Semangka potong c. Makan Malam : - Tim
saring
(Blender,dengan
kupas,wortel,brokoli,sedikit bawang putih) - Sup tahu rebus - Pudding buah susu - Jus melon
campuran
dada
ayam,udang
Catatan: - Pastikan banyak minum air putih. - Tirah baring (istirahat total). - Minum obat yang dianjurkan dokter secara teratur. - Multivitamin. - Selalu jaga kebersihan. - Jauhkan pasien dari hewan peliharaan.
Pencegahan : -
Makanlah makanan dan minuman yang sudah pasti matang.
-
Lindungi makanan dari lalat, kecoa dan tikus ataupun hewan peliharaan
-
Cucilah tangan dengan sabun setelah beraktivitas
-
Hindari jajan ditempat yang kurang bersih
Daftar Pustaka Moore.M, courtnry. (2008). Buku Pedoman Terapi Diet Dan Nutrisi. Edisi.2 Jakatra : Hipokrates Bagian Gizi RS Dr Cipto Mangunkusumo. (2006). Penuntun Diet. Edisi.2 Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
disesuaikan
NUTRISI PADA PASIEN TYPHOID ??
PENDIDIKAN KESEHATAN NUTRISI PADA PASIEN TYPHOID
yang
berfungsi
6. Menghindari susu, produk susu, daging
untuk
kasar
(liat)
sesuai dengan toleransi perorangan. 7. Menghindari
makanan
yang
terlalu
berlemak, terlalu manis, terlalu asam
typhoid dalam bentuk makanan lunak
dan berbumbu tajam.
rendah
serat.
demam
Tujuan
thypoid
utama
diet
–
SYARAT
DIET
SISA
Energi cukup sesuai dengan umur,
Protein cukup, yaitu 10-15% dari Lemak sedang, yaitu 10-25% dari
kebutuhan energi total 4.
Karbohidrat
9. Makanan sering diberikan dalam porsi 10.
Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus,
cukup,
dan
mineral,
makanan
formula,
atau makanan parenteral.
yaitu
sisa
a. Sumber karbohidrat : beras dibubur/tim, roti bakar, kentang rebus, krakers, tepung tepungan dibubur atau dibuat puding b. Sumber protein hewani: daging empuk, hati,
5. Menghindari makanan berserat tinggi
dikukus,diungkep,
sedang sehingga asupan serat
maksimal 8
tidak
terlalu panas dan dingin
kebutuhan energi total dan
suhu
MAKANAN YANG DI PERBOLEHKAN
kebutuhan energi total 3.
pada
diet perlu disertai suplemen vitamin
jenis kelamin dan aktivitas 2.
dihidangkan
kecil
RENDAH ?? 1.
8. Makanan dimasak hingga lunak dan
adalah memenuhi
kebutuhan nutrisi penderita typhoid
SYARAT
DIII KEPERAWATAN STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG 2016
berserat
memenuhi kebutuhan makan penderita
dan mencegah kekambuhan.
Oleh : JEHAN PRISTYA (A01301775)
toleransi
perorangan
Nutrisi pada pasien typhoid adalah diet
dengan
gr/hari. Pembatasan ini
ayam,
ikan
direbus,
ditumis,
dipanggang;
telur
direbus, ditim, diceplok air, didadar, dicampur dalam makanan dan minuman; susu maksimal 2 gelas per hari
c. Sumber protein nabati : tahu, tempe ditim, direbus, ditumis; pindakas; susu kedelai d. Sayuran : sayuran berserat rendah dan sedang seperti kacang panjang, buncis muda, bayam, labu siam, tomat masak, wortel direbus, dikukus, ditumis e. Buah-buahan : semua sari buah; buah segar yang matang (tanpa kulit dan biji) dan tidak banyak menimbulkan gas seperti pepaya , pisang, jeruk, alpukat f. Lemak nabati : margarin, mentega, dan minyak dalam jumlah terbatas untuk menumis, mengoles dan setup g. Minuman : teh encer, sirup h. Bumbu : garam, vetsin, gula, cuka, salam, laos, kunyit, kunci dalam jumlah terbatas
MAKANAN
YANG
TIDAK
g. Minuman : kopi dan teh kental; minuman yang mengandung soda dan alcohol
DIPERBOLEHKAN !!! a. Sumber karbohidrat : beras ketan, beras tumbuk/merah, roti whole wheat, jagung, ubi, singkong, talas, tarcis, dodol dan kue-kue lain yang manis dan gurih
h. Bumbu : cabe dan merica
JADWAL DIIT a. Makan Pagi :
b. Sumber protein hewani : daging berserat kasar (liat), serta daging, ayam, ikan
- Bubur ayam tanpa bumbu kuning saring
diawetkan, telur mata sapi, didadar c. Sumber protein nabati : Kacang merah serta kacang-kacangan kering seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, dan kacang tolo
- Telur Rebus Matang - Susu b. Makan Siang : - Tim saring
d. Sayuran : sayuran yang berserat tinggi seperti : daun singkong, daun katuk, daun pepaya,
daun
dan
buah
melinjo,
oyong,timun serta semua sayuran yang dimakan mentah e. Buah-buahan
- Sup/Sayur bening labu siam - Semangka potong c. Makan Malam :
:
buah-buahan
yang
dimakan dengan kulit seperti apel, jambu biji,
- Abon ayam tabur
jeruk yang dimakan dengan kulit
ari; buah yang menimbulkan gas seperti durian dan nangka f. Lemak : minyak untuk menggoreng, lemak hewani, kelapa dan santan
- Tim saring (Blender,dengan campuran dada ayam ,udang kupas ,wortel ,brokoli,sedikit bawang putih) - Sup tahu rebus - Pudding buah susu
PENGERTIAN & TUJUAN
Nutrisi pada pasien typhoid adalah diet yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan makan penderita typhoid dalam bentuk makanan lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam
thypoid
adalah memenuhi
kebutuhan
penderita typhoid dan mencegah kekambuhan.
nutrisi
SYARAT-SYARAT DIET SISA RENDAH 1.
Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
2.
Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
3.
Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
4.
Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
5.
Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan
serat
maksimal
8
gr/hari.
Pembatasan
ini
disesuaikan dengan toleransi perorangan 6.
Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi perorangan.
7. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu tajam. 8.
Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin
9. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil 10. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan
formula,
atau makanan
parenteral.
MAKANAN YANG DI PERBOLEHKAN 1. Sumber karbohidrat
Kentang rebus Nasi tim
2.Sumber protein hewani
ikan rebus telur rebus
3.Sumber protein nabati
Tahu rebus tempe rebus
2. Sayuran
3. Buah – buahan
MAKANAN YANG TIDAK DI PERBOLEHKAN 1. Sumber karbohidrat
Beras ketan ubi
2. Sumber protein hewani
3. Sumber protein nabati
Kacang merah
kacang tanah
4. Sayuran
Daun pepaya
daun singkong
daun katuk
5. Buah – buahan
6. Lemak
santan
7. Minuman
8. Bumbu
JADWAL DIIT a.
Makan Pagi : - Bubur ayam tanpa bumbu kuning saring - Telur Rebus Matang - Susu
b. Makan Siang : - Tim saring - Abon ayam tabur - Sup/Sayur bening labu siam - Semangka potong
c. Makan Malam : -Tim
saring
(Blender,dengan
campuran
kupas,wortel,brokoli,sedikit bawang putih) - Sup tahu rebus - Pudding buah susu - Jus melon
dada
ayam,udang
LEMBAR BALIK NUTRISI PADA PASIEN TYPHOID
Di buat oleh : JEHAN PRISTYA A01301775 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAH GOMBONG 2016
SEKIAN DAN TERIMAKASIH ATUR NUHUN
Semoga bermanfaat dan terima kasih… 1. Pengertian nutrisi pada pasien typhoid dan tujuannya
Nutrisi pada pasien typhoid adalah diet yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan makan penderita typhoid dalam bentuk makanan lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam
thypoid
adalah memenuhi
kebutuhan
nutrisi
penderita typhoid dan mencegah kekambuhan. Penderita perawatan
penyakit haruslah
dtyphoid
mengikuti
selama
petunjuk
menjalani diet
yang
dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain: a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein. b. Tidak mengandung banyak serat. c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat 2. Syarat-syarat diet sisa rendah Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah: 1.
Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
2.
Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
3.
Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
4.
Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
5.
Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan
serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan 6. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi perorangan. 7. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu tajam. 8. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin 9.
Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
10. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral
3. Makanan yang di perbolehkan a.
Sumber karbohidrat : beras dibubur/tim, roti bakar, kentang
rebus, krakers, tepung tepungan dibubur atau dibuat puding b. Sumber protein hewani: daging empuk, hati, ayam, ikan direbus, ditumis, dikukus,diungkep, dipanggang; telur direbus, ditim, diceplok air, didadar, dicampur dalam makanan dan minuman; susu maksimal 2 gelas per hari c.
Sumber protein nabati : tahu, tempe ditim, direbus, ditumis;
pindakas; susu kedelai
d. Sayuran : sayuran berserat rendah dan sedang seperti kacang panjang, buncis muda, bayam, labu siam, tomat masak, wortel direbus, dikukus, ditumis e.
Buah-buahan : semua sari buah; buah segar yang matang (tanpa
kulit dan biji) dan tidak banyak menimbulkan gas seperti pepaya , pisang, jeruk, alpukat f.
Lemak nabati : margarin, mentega, dan minyak dalam jumlah
terbatas untuk menumis, mengoles dan setup g.
Minuman : teh encer, sirup
h.
Bumbu : garam, vetsin, gula, cuka, salam, laos, kunyit, kunci dalam
jumlah terbatas
4. Makanan yang tidak di perbolehkan a.
Sumber karbohidrat : beras ketan, beras tumbuk/merah, roti
whole wheat, jagung, ubi, singkong, talas, tarcis, dodol dan kue-kue lain yang manis dan gurih b. Sumber protein hewani : daging berserat kasar (liat), serta daging, ayam, ikan diawetkan, telur mata sapi, didadar c.
Sumber protein nabati : Kacang merah serta kacang-kacangan
kering seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, dan kacang tolo
d. Sayuran : sayuran yang berserat tinggi seperti : daun singkong, daun katuk, daun pepaya, daun dan buah melinjo, oyong,timun serta semua sayuran yang dimakan mentah e.
Buah-buahan : buah-buahan yang dimakan dengan kulit seperti apel,
jambu biji,
jeruk yang dimakan dengan kulit ari; buah yang
menimbulkan gas seperti durian dan nangka f.
Lemak : minyak untuk menggoreng, lemak hewani, kelapa dan santan
g.
Minuman : kopi dan teh kental; minuman yang mengandung soda dan
alcohol h.
Bumbu : cabe dan merica
5. Jadwal diit b. Makan Pagi : - Bubur ayam tanpa bumbu kuning saring - Telur Rebus Matang - Susu b. Makan Siang : - Tim saring - Abon ayam tabur - Sup/Sayur bening labu siam - Semangka potong
c. Makan Malam : -Tim
saring
(Blender,dengan
campuran
kupas,wortel,brokoli,sedikit bawang putih) - Sup tahu rebus - Pudding buah susu - Jus melon Catatan: - Pastikan banyak minum air putih. - Tirah baring (istirahat total). - Minum obat yang dianjurkan dokter secara teratur. - Multivitamin.
dada
ayam,udang
- Selalu jaga kebersihan. - Jauhkan pasien dari hewan peliharaan. Pencegahan : -
Makanlah makanan dan minuman yang sudah pasti matang.
-
Lindungi makanan dari lalat, kecoa dan tikus ataupun hewan peliharaan
-
Cucilah tangan dengan sabun setelah beraktivitas
-
Hindari jajan ditempat yang kurang bersih