i
ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI BERLAKUNYA UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEABSAHAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 )
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Oleh : PUTRI WIDIYASARI E1106040
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi ) ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI BERLAKUNYA UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEABSAHAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 )
Disusun oleh : PUTRI WIDIYASARI E1106040
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
BAMBANG SANTOSO, S.H., M. Hum NIP. 131 863 797
ii
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi ) ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI BERLAKUNYA UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEABSAHAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 ) Disusun oleh : PUTRI WIDIYASARI E1106040 Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari
: Jum’at
Tanggal
: 16 Juli 2010 TIM PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H
: (
)
2. Kristiyadi, S.H., M.Hum
: (
)
3. Bambang Santoso, S.H., M. Hum : (
)
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP. 19610930 198601 1 001
iii
iv
MOTTO dalam sgala perkara, Tuhan punya rencana, yang lebih besar dari semua yang terpikirkan.. apapun yang Kau perbuat tak ada maksud jahat, semua Kau lakukan untukku Tuhan.. ku tak akan menyerah pada apapun juga, sebelum ku coba smua yang aku bisa, tetapi ku berserah kepada kehendakMu, hatiku percaya Tuhan punya rencana..
Janganlah kamu kuatir tentang apapun juga tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. (Filipi 4:6)
Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan bahkan akan menolong engkau, Aku akan memegang engkau dengan tangan kananku yang membawa kemenangan. (Yesaya 41:10)
iv
v
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini Penulis persembahkan kepada : Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamatku yang hidup Papa Nuri, Mama Wheny dan Mbak Lytha tercinta Nusa dan Bangsa Almamaterku
v
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul: “Analisis Yuridis Penggunaan Penafsiran A Contrario Argumentum Oleh Hakim Untuk Menilai Berlakunya UU KPK dan Implikasinya Terhadap Keabsahan Penyidikan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter ( Studi Putusan MA Nomor Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688/2000 )” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir dari syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penulisan skripsi ini pun penulis menyadari bahwa bukan sematamata hasil usaha penulis, namun juga atas dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ijin kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Edi Herdyanto, S.H.,M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara. 4. Bapak Wasis Sugandha, S.H., M.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan nasehatnya selama Penulis menuntut ilmu di Fakultas hukum UNS. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu kepada Penulis. 6. Bapak dan Ibu karyawan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu dan mengarahkan Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Papa dan Mama, terima kasih untuk pengertian, kesabaran, dana, doa dan kasih sayangnya. Tuhan Yesus memberkati kalian semua. I love u!
vi
vii
8. My sista Arlita, Terima kasih untuk Support, dukungan dana dan doa dalam penulis menyelesaikan tugas akhir ini, adek sayang kakak, muachh! 9. Ibu`, Mbah Putri, Alm. Eyang-eyang Kakung, dan seluruh keluarga besar sastro genk dan keluarga cemara Soetihono Sugeng Terima kasih untuk perhatian dan dukungan doa dalam penulis menyelesaikan skripsi ini. GBU all. 10. Fajar Arista yang sabar menemani Penulis di saat berbagi suka dan duka, selalu berkorban banyak waktu untuk menemani Penulis sampai Penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Makasih sayang..!!! 11. Sahabat-sahabat kampus tersayang Eka, Tyas, Dita, Ikha, Indri, Itut, Adit, Ucup, Nasrul, Puput, Dewi, Reynaldi, Putri Ajeng, Yoga Stom dan yang lainnya yang selalu memberikan warna yang ceria selama Penulis duduk di bangku kuliah. 12. Semua anak-anak angkatan 06 FH UNS yang tidak dapat disebutkan satu persatu makasih telah mengisi hari-hari kuliahku selama 4 tahun ini. 13. Si hitam yang menjadi sponsorship selama penulis kuliah sampai penulis menyelesaikan skripsi ini dan lesy si gugug bauk yang udah menemani penulis dirumah dan menjadi hiburan diwaktu jenuh, tnks yyaahh! 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Mengingat keterbatasan diri penulis, penulis sadar bahwa penulisan hukum (skripsi) ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis berharap semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk perkembangan hukum acara pidana, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum
Surakarta, Maret 2010 Penulis
vii
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................
iii
HALAMAN MOTTO....................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................
v
KATA PENGANTAR.................................................................................
vi
DAFTAR ISI...................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR...............................................................
x
ABSTRAK...................................................................................................
xi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Rumusan Masalah.......................................................................
5
C. Tujuan Penelitian.........................................................................
5
D. Manfaat Penelitian........................................................................
6
E. Metode Penelitian.........................................................................
6
F. Sistematika Skripsi........................................................................
9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori....................................................................... 1. Tinjauan Umum Mengenai A Contrario Argumentum...........
11 11
a) Pengertian A Contrario Argumentum…..........................
11
2. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Korupsi..........................
11
a) Pengertian Korupsi........................................................
11
b) Tipe-tipe Korupsi..........................................................
13
c) Bentuk-bentuk korupsi..................................................
16
d) Ciri-ciri Korupsi...........................................................
17
e) Sebab-sebab Korupsi.....................................................
18
3. Tinjauan Mengenai KPK....................................................
19
a) Visi Komisi Pemberantasan Korupsi..............................
20
b) Misi Komisi Pemberantasan Korupsi..............................
20
viii
ix
c) Peraturan Perundang-undangan terkait dengan KPK........ B. Kerangka Pemikiran................................................................
20 22
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penggunaan Penafsiran A Contrario Argumentum oleh Hakim
Untuk
Menilai
Berlakunya
UU
KPK………………………………………………………..
24
B. Implikasi Penggunaan Penafsiran Hukum A Contrario Argumentum Oleh Hakim Mahkamah Agung Terhadap Keabsahan Tindakan Penyidikan Oleh KPK Dalam Perkara
Korupsi
Pengadaan
Helikopter………………………………………………….
54
BAB IV. PENUTUP A. Simpulan......................................................................
58
B. Saran............................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
x
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel
1 Dana perlakuan khusus untuk Penerimaan Provinsi dan Kabupaten/Kota…………………………………………..
Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran ..............................................
x
34 22
xi
ABSTRAK
PUTRI WIDIYASARI. E 1106040. ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI BERLAKUNYA UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEABSAHAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 ). FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Proses penyidikan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh dengan penggunaan penafsiran a contrario argumentum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum oleh hakim dalam menilai berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dan mengetahui secara jelas mengenai implikasi penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum oleh hakim Mahkamah Agung terhadap keabsahan tindakan penyidikan oleh KPK dalam perkara korupsi pengadaan Helikopter. Penelitian yang digunakan oleh penulis menggunakan jenis penelitian normatif, tekhnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum oleh hakim dalam menilai berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Pengadilan Tipikor berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh KPK yang tempus delicti-nya terjadi sebelum berlakunya UU KPK, dan oleh karenanya hal tersebut berarti juga bahwa KPK dapat mengusut perkara korupsi yang demikian.
xi
xii
ABSTRACT Putri Widiyasari. E. 1106040. A JURIDICAL ANALYSIS USING A CONTRARIO ARGUMENTUM INTERPRETATION BY THE JUDGE TO ASSES THE ENACTMENT OF KPK ACT AND THE IMPLICATION TO THE CASE INVESTIGATION LEGALITY OF HELICOPTER PROCUREMENT CORRUPTION (A STUDY ON THE SUPREME COURT’S DECISION NUMBER 1688K/2000). LAW FACULTY OF SEBELAS MARET UNIVERSITY. This research studies and answers the problem concerning the Investigation Process of Helicopter Procurement Corruption Case with the accused Ir. H. Abdullah Puteh by using a contrario argumentum interpretation. This research aims to find out clearly the use of a contrario argumentum law interpretation by the judge in assessing the enactment of Act No. 30 of 2002 about KPK and to find out clearly the implication of the use of a contrario argumentum law interpretation by the Supreme Court’s judge to the legality of investigation by KPK in the helicopter procurement corruption case. This study belongs to normative research; technique of collecting data used in this research was library study, the secondary data collection. The writer collects the secondary data relating to the problem studied that categorized consistent with the catalog. Through the result of research, it can be concluded that the use of a contrario argumentum law interpretation by the judge in assessing the Act No. 30 of 2002 about KPK is consistent with the Constitution Court’s decision that the Tipikor (Corruption Criminal Action) Court has an authority to trial the case filed by KPC the tempus delicti of which occurs before the enactment of KPK act , and for that reason it means that KPC can investigate such corruption case.
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–hak asasi manusia, misalnya hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau norma/kaidah untuk menjamin hak–hak dan kewajiban masyarakat itu sendiri. Hukum bisa juga dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma ( Satjipto Raharjo, 1982:14 ). Hukum juga berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideology oleh suatu Negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik terhadap Negara yang menerimanya sebagai ideology,
dengan
cara
memperhatikan
kebutuhan
dan
kepentingan-
kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui bersama, pendiri Republik ini mengamanatkan melalui pembukaan Undang-undang Dasar 1945, bahwa tujuan bernegara adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Setelah 64 tahun bangsa
1
2
Indonesia telah merdeka, pembangunan demi pembangunan dilaksanakan namun cita-cita menjadikan masyarakat yang adil dan makmur tersebut hingga kini “belum” terwujud. Dan salah satu yang menjadi permasalahan besar yang tidak kunjung tuntas di Indonesia adalah korupsi. Korupsi merupakan extra ordinary crimes yang merupakan kejahatan luar biasa. Sebagai suatu kejahatan yang luar biasa, maka seharusnya korupsi ditangani secara luar biasa juga. Namun yang sering terjadi justru korupsi tidak ditangani dengan cara yang sangat luar biasa. Hal ini terlihat dari masih buruknya kualitas penguasaan aparat penegak hukum terhadap masalah yang berkenaan dengan korupsi. TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyatakan bahwa rekomendasi arah kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, kolusi dan Nepotisme serta berbagai peraturan perundang-undangan. Sebagai salah satu contoh kasus korupsi di Indonesia yang cukup menyita perhatian publik adalah kasus Ir. H. Abdullah Puteh, M. Si, Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang melakukan pembelian helikopter Model MI-2 Rostov Manufacturing Number 5111238082 untuk digunakan oleh Gubernur dalam melaksanakan tugas-tugas Gubernur maupun BupatiBupati dan berkunjung ke daerah-daerah di wilayah konflik di NAD. Pembelian menggunakan Dana Alokasi Umum untuk setiap kabupaten / kotamadya yang telah disetujui oleh DPRD kabupaten. Ditinjau dari sudut keperdataannya, maka yang bertindak sebagai Pembeli adalah H. Abdullah Puteh, Para Bupati / Walikota dan DPRD yang telah memberikan persetujuannya. Puteh telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 ayat 1 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor
3
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan putusan tersebut, Pengadilan Ad Hoc TPK berhasil membuktikan bahwa Puteh terbukti melawan hukum dengan tidak melakukan tender dalam pengadaan helikopter Mi-2. Tindakan itu bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Di samping itu, Puteh melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menempatkan dana pembelian helikopter di rekening pribadinya dan menguntungkan pihak lain. Akibat perbuatan itu, negara dirugikan miliaran rupiah. Sebenarnya, kasus Puteh belum berkekuatan tetap (in kracht van gewijsde). Artinya, kalau Puteh melakukan upaya hukum, masih terbuka kemungkinan munculnya perbedaan pandangan antara mayoritas hakim di tingkat pertama dan hasil di tingkat banding serta kasasi. Kemungkinan itu dapat terjadi karena putusan Puteh bersalah atau tidak merupakan pendirian seluruh majelis hakim. Dalam penyelesaian kasus Puteh, dua orang hakim berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan putusan mayoritas hakim. Sebagai kasus perdana yang ditangani oleh Pengadilan Ad Hoc TPK, kasus Puteh termasuk kasus yang menyita perhatian banyak kalangan, terutama yang peduli terhadap agenda pemberantasan korupsi. Sebagai sebuah pengadilan ad hoc, penyelesaian kasus Puteh akan memberikan penilaian tersendiri apakah institusi ini dapat memenuhi harapan sebagai salah satu lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi. Perhatian ekstra dari masyarakat menjadi masuk akal karena pengadilan umum (yang selama ini menangani kasus korupsi) dinilai mengecewakan dalam menangani kasus-kasus korupsi. Dari pengalaman selama ini, dengan argumentasi hukum yang sulit dimengerti, pengadilan umum sering membebaskan pelaku korupsi. Meski putusan Pengadilan Ad Hoc TPK menyatakan bahwa Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, banyak kalangan masih merasa waswas
4
dengan putusan itu. Dengan berpijak pada putusan MK, kedua hakim yang mengajukan dissenting opinion (yaitu ketua majelis hakim Kresna Menon dan hakim anggota Gusrizal) berpendirian bahwa KPK tidak berwenang menyelidiki kasus korupsi itu karena tempus delicti-nya terjadi sebelum Undang-Undang KPK disahkan. MK menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak UU KPK diundangkan pada 27 Desember 2002. Dengan argumentasi itu, pertimbangan hukum MK menegaskan bahwa UU KPK hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, UU KPK tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan. Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan di atas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut dalam prespektif yuridis mengenai penggunaan penafsiran a contrario argumentum dalam manilai berlakunya UU KPK beserta akibat hukum yang ditimbulkan, dalam sebuah penulisan hukum yang berjudul : ” ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI BERLAKUNYA UU
KPK
DAN
IMPLIKASINYA
TERHADAP
KEABSAHAN
PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 ) “
5
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang diuraikan di muka, maka penulis menentukan permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum oleh hakim dalam menilai berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK? b. Apakah
implikasi
penggunaan
penafsiran
hukum
a
contrario
argumentum oleh hakim Mahkamah Agung terhadap keabsahan tindakan penyidikan oleh KPK dalam perkara korupsi pengadaan Helikopter?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui secara jelas mengenai penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum oleh hakim dalam menilai berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. b. Mengetahui secara jelas mengenai implikasi penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum oleh hakim Mahkamah Agung terhadap keabsahan tindakan penyidikan oleh KPK dalam perkara korupsi pengadaan Helikopter. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk
menambah,
memperluas,
mengembangkan,
wawasan
pengetahuan peneliti di bidang hukum acara pidana, khususnya yang berhubungan dengan penggunaan penafsiran a contrario argumentum oleh hakim dan implikasinya terhadap keabsahan penyidikan perkara korupsi pengadaan helikopter. b. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama dalam penyusunan skripsi sebagai persyaratan wajib guna mencapai derajad sarjana (S1) di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum acara pidana mengenai penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Bagi perguruan tinggi, diharapkan dapat digunakan untuk menambah khazanah kekayaan literature di bidang pidana korupsi. Sedangkan bagi peneliti, dapat digunakan untuk memperluas wawasan dan pengalamannya di bidang ilmu hukum. 2. Manfaat Praktis Hasil penalitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi (termasuk penegak hukum) maupun para pengambil kebijakan sebagai bahan masukan guna memperbaharui peraturan perundang-undangan sehingga implementasi dan penerapannya dapat berjalan lebih baik. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah dalam penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.
E. Metode Penelitian Metode yang diperlukan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif yang lebih mementingkan pemahaman data yang ada daripada kuantitas / banyaknya data. Jadi dalam penelitian hukum normatif, peneliti tidak perlu mencari data langsung ke lapangan, sehingga cukup dengan mengumpulkan data-data sekunder dan mengkonstruksikan dalam suatu rangkaian hasil penelitian. Sifat penelitian yang akan dilakukan yaitu deskriptif analitis. Disebut deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang
7
diteliti. Melalui pemaparan data hasil pengamatan / wawancara tanpa diadakan pengujian hipotesis. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan menggunakan pendekatan penelitian yang menggunakan metode penelitian kualitatif sesuai dengan sifat data yang ada. 3. Jenis Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahanbahan kepustakaan, terdiri dari literature, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti. 4. Sumber Data Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian hukum normatif sumber data sekunder. Yang dimaksud sumber data sekunder adalah bahan bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, bukubuku, laporan, arsip dan literature yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Bahan Hukum Primer 1) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi 3) UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4) UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 5) Putusan No 01/Pid.B/TPK/2004/PN.Jkt.Pst
8
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data sekunder dari bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, Koran, makalah dan majalah. c. Bahan Hukum Tersier Merupakan bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan bahan dari internet. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Data sekunder ini penulis dapat dari peraturan peundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet. 6. Teknik Analisis Data Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui apakah implikasi penggunaan penafsiran a contrario
9
argumentum oleh hakim untuk menilai berlakunya UU KPK dalam penyidikan perkara korupsi pengadaan Helikopter Abdullah Puteh. Menurut Philips M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud, metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor ( pernyataan bersifat umum ). Kemudian diajukan premis minor ( bersifat khusus ), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion ( Peter Mahmud Marzuki, 2006:47 ). Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip pendapat Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual ( Johnny Ibrahim, 2008:249 ).
F.
Sistematika Skripsi Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatu uraian mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci disusun dalam pembabagan, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan. Dalam kerangka ini, penulis akan memberikan uraian tentang halhal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu : BAB I
: PENDAHULUAN Merupakan pendahulauan yang berisikan tentang latar belakang masalah diangkatnya topic dan permasalahan di dalam penulisan hukum, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat
penelitian,
sistematika penulisan hukum.
metode
penelitian,
dan
10
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang di angkat dalam penulisan hukum ini yaitu tinjauan umum mengenai a contrario argumentum, tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan, yaitu mengenai analisis peenggunaan penafsiran a contrario argumentum terhadap Putusan MA No 1688k/2000 dalam kasus korupsi Pengadaan Helikopter.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang telah di uraikan.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Mengenai A Contrario Argumentum a) Pengertian A Contratio Argumentum A contrario argumentum ( a contrario ), merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim mengatakan “ peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya”. Jadi, pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidak-samaan peristiwanya. Scolten sebagaimana dikutip oleh Liza Erwina S.H.,M.Hum dalam Penemuan Hukum Oleh Hakim di Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan Undang-undang secara analogi dan menerapkan Undang-undang secara argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undang-undang tersebut berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip sedangkan menjalankan
Undang-undang
secara
Argumentum
a
contrario
membawa hasil yang negatif.
2. Tinjauan mengenai Tindak Pidana Korupsi a) Pengertian Korupsi Pengertian korupsi sangat bervariasi. Namun demikian, secara umum korupsi itu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
11
12
Menurut Andi Hamzah kata korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Meskipun kata corruptio itu luas sekali artinya, namun sering corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan. Menurut UN’s Global Programme against Corruption korupsi didefinisikan sebagai: abuse of power for private gain and include thereby both the public and private sector. Although perceived differently from from country to country, corruption tends to include the following behaviors: conflict of interest embezzlement, fraud, bribery, political corruption, nepotism,
secretarisme and extortion (
United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, data elektronik, bisa dilihat di http://www. Undcp.org.) Dalam Lebanon Anti –Corruption Initiate Report 1999, korupsi diartikan sebagai sebagai the behaviour of private individuals or public officials who deviate from set responsibilities and use their position of power inorder to serve private ends and secure private gains (UNDCP). Menurut World Bank dan Transparency International, korupsi adalah the use of one’s public position for illegitimate private gains, abuse of power and personal gain, however, can occur in both the public and private domains and often in collusion with individuals from both sector.
Sedangkan menurut Lilik Mulyadi (2000), UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya tidak mencantumkan definisi korupsi secara langsung Korupsi berasal dari bahasa latin”Corruptio” atau Corruptus” yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa seperti Inggris “Corruption”, bahasa Belanda “korruptie” yang berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan tak beres dalam jawatan, pemalsuan dan sebagainya kemudian muncul dalam bahasa Indonesia ”Korupsi”.
13
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta, kata korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. (Djoko Prakoso. dkk. 1987: 389-390).
b) Tipe-tipe Korupsi Pengertian tindak pidana korupsi pada Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ada 4 (empat ) tipe yaitu : (1).
Pengertian Korupsi Tipe Pertama Tindak pidana korupsi pertama terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Secara lengkap redaksional Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : a) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) b) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan
(2).
Pengertian Korupsi Tipe Kedua Pada asasnya, pengertian korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang redaksional selengkapnya berbunyi sebagai berikut . Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
14
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (3).
Pengertian Korupsi Tipe Ketiga Pada asasnya, pengertian korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 yang merupakan Pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP kemudian ditarik menjadi Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan maka korupsi tipe tiga dibagi menjadi 4 pengelompokan yaitu : Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. Ketentuan Pasal 209, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP ditarik menjadi Pasal 5, 6, 7, 11, 12, dan 13 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999. Pada dasarnya menurut Pandangan doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana maka ketentuan Pasal 209 dan Pasal 210 dikategorikan ke dalam penyuapan aktif (aktieve omkoping) dan ketentuan Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP dan Pasal 420 KUHP ke dalam penyuapan pasif (passive omkoping). Ketentuan Pasal 209 KUHP (pemberi suap) berpasangan dengan ketentuan Pasal 209 KUHP (pemberi suap) berpasangan dengan ketentuan Pasal 418 KUHP dan Pasal 419 KUHP (Pegawai negeri yang menerima suap). Sedangkan ketentuan Pasal 210 KUHP (Pemberi suap kepada hakim) berpasangan dengan ketentuan Pasal 420 KUHP (Hakim
yang
ditanganinya.
menerima
suap)
terhadap
perkara
yang
15
Apabila kita perhatikan lebih tajam, mendalam dan terperinci
walaupun
penarikan
perbuatan
yang
bersifat
penyuapan pada KUHP adalah serumpun, tetapi dalam Tindak Pidana Korupsi ancaman pidana penjara atau dendanya mempergunakan pidana minima/maksima yang bervariasi (4).
Pengertian Korupsi Tipe Keempat Pada asasnya, pengertian korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh orang luar wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999). Konkretnya, perbuatan percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai Tindak Pidana Korupsi oleh karena perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi maka percobaan melakukan tindak pidana korupsi dijadikan mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana sendiri. Selanjutnya, identik pula dalam hal pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di luar wilayah Indonesia dimana pemberian bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan dalam ketentuan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sesuai dengan
peraturan
perkembangan
perundang-undangan
ilmu
pengetahuan
dan
yang
berlaku
teknologi
dan tujuan
pencantuman konteks ini adalah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan
16
hasil tindak pidana korupsi dapat dicegah secara maksimal dan efektif. (Lilik Muliady, 2000 : 17)
c) Bentuk-bentuk korupsi United national office on drugs and crime (2004)
mencatat
beberapa bentuk korupsi serta cara operasinya yaitu : (1).
Korupsi besar dan korupsi kecil dilihat dari beser kecilnya jumlah uang yang dikorupsikan dan tingkatan yang melakukan;
(2).
Korupsi aktif
yang berkaitan dengan penawaran atau
pembayaran suap dan korupsi tidak aktif yang berkaitan dengan penerimaan suap; (3).
Suap dalam berbagai bentuk dan tujuan seperti influencepeddling (menjual pengaruh) pejabat public atau politik atau orang dalam pemerintah menjual privileges (keistimewaan) yang dimiliki atas status mereka, yang tidak dimiliki oleh orang luar seperti akses kepada atau pengruh terhadap pengambilan keputusan pemerintah; suap dalam bentuk menawarkan atau menerima
hadiah,pemberian
atau
komisi;suap
untuk
menghindari uang atas pajak atau biaya lain;suap dalam mendukung kecurangan; suap untuk menghindari tuntutan kriminal; suap dalam mendukung persaingan yang tidak sehat; suap sektor swasta misalnya pada kasus kridit macet di bank;suap untu mendapatkan informasi rahasia. (4).
Penggelapan, pencurian, dan kecurangan yang dilakukan ditempat kerja;
(5).
Pemerasan pada calon pegawai (pejabat) untuk memuluskan jalan atau karier;
(6).
Penyalah
gunaan
kekuasaan
untuk
tujuan-tujuan
yang
menyimpang dari kepentingan umum dan merugika masyarakt luas;
17
(7).
Favoritisme perusahaan
(mengunggulkan untuk
(memenangkan
seseorang
kepentingan
seseorang
atau
terselubung),
atau
institusi
sebagai nepotisme
yang
pernah
menyumbang atau berutang budi tertentu dengan mengabaian aturan-aturan yang benar atau sah); (8).
Membuat dan mengeksploitasi kepentingan yang saling bertentangan;
(9).
Konstribusi
(dukungan
atau
sumbangan)
politik
tang
berlebihan atau tidak tepat. (majelis tarjih dan tajdid pp muhamadiyah ,2006:19-20)
d) Ciri-Ciri Korupsi Menurut Syed Hussein Alatas di dalam bukunya “Sosiologi Korupsi“ menjelaskan mengenai ciri-ciri korupsi adalah: (1).
Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang;
(2).
Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan;
(3).
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;
(4).
Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik kebenaran hukum;
(5).
Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan;
(6).
Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat umum;
(7).
Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkianatan kepercayaan;
(8).
Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontra diktif dari mereka yang melakukan itu;
(9).
Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
18
e) Sebab-Sebab Korupsi Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut ( Syed Hussein Alatas, 1980 : 47-48 ) : (1).
Kelemahan para pengajar agama dan etika;
(2).
Kolonialisme, dimana suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi;
(3).
Kurangnya pendidikan, namun melihat pada realitas yang ada pada saat ini ternyata kasus-kasus korupsi di Indonesia, mayoritas koruptor adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, sehingga alas an ini dapat dikatakan kurang tepat;
(4).
Kemiskinan, pada kasus-kasus yang merebak di Indonesia dapat disimpulkan bahwa para pelaku korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan mereka adalah konglomerat;
(5).
Tiada sanksi yang keras;
(6).
Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi;
(7).
Stuktur pemerintahan;
(8).
Perubahan radikal, di saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional;
(9).
Keadaan masyarakat, korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan masyarakat keseluruhan.
19
Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Di bawah ini beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak dapat menjinakkannya : (1).
Suatu keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual dan tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi;
(2).
Administrasi yang efisien dan penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi;
(3).
Kondisi-kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;
(4).
Berfungsinya suatu sistem yang anti korupsi;
(5).
Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar normal dan intelektual yang tinggi.
3. Tinjauan mengenai KPK Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK adalah sebuah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan kepada Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi. Sesuai dengan Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas : a) Koordinasi
dengan
instansi
yang
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; b) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
20
(1).
Visi Komisi Pemberantasan Korupsi “Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi” Visi tersebut merupakan visi yang cukup sederhana namun mengandung pengertian yang mendalam. Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK untuk segera dapat menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut KKN. Pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan, namun diperlukan suatu penangganan yang komprehensif dan sistematis.
(2).
Misi Komisi Pemberantasan Korupsi “ Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi” Dengan
misi
tersebut
diharapkan
bahwa
Komisi
Pemberantasan Korupsi ini nantinya merupakan suatu lembaga yang dapat “membudayakan” anti korupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi sadar bahwa tanpa adanya keikutsertaan komponen masyarakat, pemerintah dan swasta secara menyeluruh maka upaya untuk memberantas korupsi akan sulit diwujudkan.
(3).
Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan KPK a) Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. b) Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. c) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
21
d) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam penegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. e) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. f) Undang-undang
No
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. g) Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. h) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.
22
B. Kerangka Pemikiran
Kasus Pengadaan helikopter
Tindak Pidana korupsi
Penyidikan Oleh KPK
Diputus oleh PN Jakpus implikasinya Banding
Argumentum A contrario
Kasasi
penerapan
Keterangan kerangka pemikiran : Salah satu kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus pengadaan helicopter yang melibatkan Ir. H Abdullah Puteh. Kasus tersebut terjadi pada bulan Februari 2001 sampai dengan Juli 2004. Kasus tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Putusan 01/Pid.B/TPK/2004/PN.Jkt.Pst.
KPK
melakukan
tindakan
No
penyidikan
terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si dengan dasar Surat Perintah Penyidikan No. SprintDIK/02/VI/2004/P.KPK tanggal 29 Juni 2004. Berdasarkan Pasal 72 UndangUndang KPK yang berada di bawah judul Bab Ketentuaan Penutup,
23
selengkapnya
berbunyi:
Undang-Undang
ini
berlaku
pada
tanggal
diundangkan, tanggal pengundangan Undang-Undangan dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut jelas bahwa UndangUndang KPK berlaku kedepan (prospective) yaitu sejak tanggak 27 Desember 2002, artinya keseluruhan Undang-Undang a quo hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum UndangUndang a quo diundangkan. Secara argumentum a contrario Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang a quo diundangkan. Dengan adanya kewenangan KPK yang berlaku kedepan atau Prospective maka berarti KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan). Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengetahui penerapan penafsiran a contrario argumentum dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helicopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh M.Si oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu Penulis juga ingin mengetahui pengaruh penerapan a contrario argumentum terhadap Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Korupsi pengadaan helicopter dengan terdakwa Ir. H Abdullah Puteh.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penggunaan Penafsiran A Contrario Argumentum oleh Hakim Untuk Menilai Berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK 1. Deskripsi Kasus Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, Msi, Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dan bersekutu dengan saksi Bram HD MaNopo, MBA, Presiden Direktur PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) telah melakukan serangkaian perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang sebagai suatu perbuatan yang dilanjutkan pada bulan Februari 2001 sampai dengan Juli 2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darusalam atau setidak-tidaknya di tempat yang berdasarkan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002, masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu kooperasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekoNomian negara. Ditinjau dari sudut perdataan, maka yang bertindak sebagai Pembeli adalah H.Abdullah Puteh., para Bupati/Walikota dan DPRD yang telah memberikan persetujuannya. Dalam perkara ini tidak terungkap dengan jelas mengenai apakah pembelian helikopter tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum ataukah prosedur pembelian helikopter tersebut dipandang merupakan tindakan melawan hukum. Tidak disitanya helikopter sebagai barang bukti hasil kejahatan membuktikan bahwa Dakwaan lebih diarahkan kepada penyimpangan prosedur pembelian helikopter merupakan tindakan yang memenuhi unsur melawan hukum.
24
25
2. Kasus Posisi Inti perbuatan tindak pidana korupsi tersebut adalah Pembelian Helikopter Model M1-2 Rostov Manufacturing Number 5111238082 untuk digunakan oleh Gubernur dalam melaksanakan tugas-tugas Gubernur maupun Bupati-Bupati dan berkunjung ke daerah-daerah di wilayah konflik di NAD. Pembelian menggunakan Dana Alokasi Umum untuk setiap kabupaten atau kotamadya yang telah disetujui oleh DPRD kabupaten.
3. Identitas Terdakwa Nama Lengkap
: Ir. H. ABDULLAH PUTEH, M.Si.
Tempat Lahir
: Idi, Aceh Timur.
Umur/Tanggal Lahir
: 56 Tahun/04 Juli 1948
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan/Kewarganegaraan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: 1. Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah No. 1
Banda Aceh.
2. Jalan Warung Sila No. 1 Ciganjur Jakarta Selatan Agama
: Islam
Pekerjaan
: Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (yang dahulu disebut Porpinsi Daerah Istimewa Aceh)
Pendidikan
: Pasca Sarjana (52) Universitas Indonesia
4. Dakwaan Primer : Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dan bersekutu dengan saksi Bram HD Manoppo, MBA, Presiden Direktur P.T
26
Putra Pobiagan Mandiri (PPM) telah melakukan serangkaian perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang sebagai suatu perbuatan yang dilanjutkan pada Bulan Februari 2001 sampai dengan Juli 2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, rangkaian perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut: -
Sekitar bulan Februari-Maret 2001, Terdakwa menghadiri Rapat Kerja Gubernur se Sumatera di Palembang, dan salah satu acara Rapat Kerja adalah presentasi pesawat terbang buatan Rusia yang disampaikan oleh saksi Bram HD Manoppo, MBA, Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM);
-
Pada tanggal 28 Juni 2001, Terdakwa menandatangani Letter of Intent (LOI) Nomor: 553.3/23580, yang dikirimkan kepada Bram HD Manoppo, yang isinya antara lain menyatakan Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam bermaksud untuk membeli 1 (satu) unit pesawat terbang helikopter type MI-2, VIP Cabin, versi sipil buatan tahun 2000-2001 dari pihak pabrik Mil Moscow Helikopter Plant Rusia;
-
Selanjutnya saran Terdakwa, maka pada tanggal 15 Juli 2001 Bram HD Manopo membuat surat dengan Nomor: 0135/PPM/BM/VII/2001 kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang isinya meminta pembayaran uang muka sebesar Rp. 4.000.000,- (empat milyar rupiah);
-
Pada tanggal 2 Agustus 2001, Terdakwa menerbitkan surat No. KU.570/3578 ditujukan kepada para Bupati/Walikota se-provinsi
27
Nanggroe Aceh Darussalam yang berisi mengenai pemberitahuan tentang diterimanya tambahan alokasi Dana Bantuan Perlakuan Khusus
sesuai
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor:
451/KMK.07/2001 tanggal 23 Juli 2001; -
Pada tanggal 7 Agustus 2001, Terdakwa mengadakan pertemuan dengan para Bupati/Walikota beserta Ketua DPRD, dan meminta agar mereka menandatangani surat pernyataan yang isinya para Bupati/ Walikota dapat menyetujui dana Spesial Treatment yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 451/KMK.07/2001 tanggal 23 Juli 2001;
-
Pada tanggal 28 Agustus 2001, Terdakwa menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 45 Tahun 2001 tentang Penetapan Rincian Jumlah Bantuan Perlakuan Khusus untuk Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Atas dasar surat tersebut, saksi Thanthawi Ishak, selaku Sekretaris Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atas nama Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menerbitkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Nomor 255/R/2001 tanggal 24 September 2001 tentang Otorisasi Anggaran Belanja Rutin, yang dalam lampirannya memuat pemotongan dari Dana Bantuan Perlakuan Khusus sebesar Rp. 700.000,- guna biaya pembelian helikopter tersebut;
-
Dari dana bantuan perlakuan khusus bagian Kabupaten/Kota terkumpul sebesar Rp. 9.100.000.000,- dan oleh Terdakwa dana tersebut tidak dimasukkan ke dalam Perubahan APBD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun Anggaran 2001 maupun tahun 2002, sehingga bertentangan dengan mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;
-
Kemudian terdakwa memerintahkan Zainuddin , SE, Kepala Kas Daerah melalui Drs. Teuku Meurah Lizam, Karo Keuangan untuk
28
menempatkan dana APBD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2001 sebesar Rp. 4.000.000.000,- ke rekening pribadi Terdakwa Nomor: 01.01.038492 di Bank Bukopin Jakarta; -
Pada tanggal 24 Agustus 2001, Terdakwa membayar uang muka pembelian helikopter MI-2 kepada Bram HD Manopo dengan memberikan cek senilai Rp. 750.000.000,-. Tindakan tersebut bertentangandengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanakan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, padahal waktu itu belum ada perjanjian pembelian helicopter antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Bram HD Manoppo;
-
Pada tanggal 20 Oktober 2001, Terdakwa meminta persetujuan prinsip pengadaan helikopter sebesar Rp. 12.500.000.000,- kepada Pimpinan DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui surat Nomor: Ku. 024/5190;
-
Pada tanggal 26 Desember 2001, Terdakwa kembali mengirim surat ke DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: Ku-024/6269 meminta persetujuan prinsip pengadaan helikopter, akan tetapi Terdakwa tidak memberitahukan bahwa sebelumnya Terdakwa telah membayar uang muka pembelian helicopter tersebut sebesar Rp. 750.000.000,-
-
Pada tanggal 26 Juni 2002, Terdakwa dan Bram HD Manoppo menandatangani
Perjanjian
Jual-Beli
helikopter
MI-2
Nomor:
04/SPJB/2002, yang berisi Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan membeli helikopter MI-2 dengan cabin versi VIP dan anti peluru, helikopter 100% baru dibuat tahun 2000-2001 dengan harga sebesar US$ 1,250,000 dari P.T. Putra Pobiagan Mandiri; -
Pada tanggal 29 Juni 2002, Terdakwa menerbitkan surat Nomor: 602/22395 perihal Rekomendasi Penunjukkan Langsung
yang
ditujukan kepada Ketua Panitia Pengadaan Pekerjaan Daerah (P3D);
29
-
Pada tanggal 8 Juli 2002, Terdakwa menerbitkan Keputusan Nomor: 602.1/262/2002 tentang Penunjukkan P.T. Putra pobiagan Mandiri sebagai pelaksana pengadaan pesawat Helikopter Mi-2. Penunjukkan langsung tersebut bertentangan dengan Ketentuan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah;
-
Pada tanggal 10 Juli 2002, Terdakwa turut menandatangani surat perjanjian Pembelian Helikopter MI-2 Nomor: 05/KOP/PRJ/VII/2002 antara P.T. Putra Pobiagan Mandiri yang diwakili oleh Bram HD Manoppo
dengan
Drs.
Khalid,
MSi.
Sehubungan
dengan
penandatanganan tersebut, pada tanggal 15 Juli 2002 dan 30 Juli 2002, Munawar anggota Panitia Pengadaan Pekerjaan Daerah (P3D) Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atas perintah Drs. Khalid, MSi., Pemimpin Proyek Pengadaan Kendaraan Operasional Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk pengadaan helikopter telah melakukan pembayaran helikopter kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri yaitu masing-masing sebesar: a. Rp. 2.000.000.000,- ditransfer tanggal 15 Juli 2002 ke rekening P.T. putra Pobiagan Mandiri Nomor a/c 101.4941-01-7 di Bank Bukopin; b. Rp. 1.500.000.000,- ditransfer tanggal 30 Juli 2002 ke rekening P.T. Putra Pobiagan Mandiri Nomor a/c 101.4941-01-7 di Bank Bukopin Jakarta; -
Pada tanggal 31 Oktober 2002, Zainuddin mentransfer uang Rp. 3.750.000.000,- ke rekening Terdakwa No. 01.01.038492;
-
Pada tanggal 5 November 2002, Terdakwa melakukan pembayaran kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri sebesar Rp. 3.400.000.000,-;
-
Pada tanggal 25 Februari 2003 dilakukan serah terima pesawat helikopter dari P.T. Putra Pobiagan Mandiri yang diwakili oleh Bram HD Manoppo kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diwakili oleh Drs. Khalid, MSi. Sebagai Pimpinan Proyek
30
Pengadaan Kendaraan Operasional Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dituangkan dalam Berita Acara Nomor: 01/BA/KOP/II/2003 tanggal 25 Februari 2003 tanpa dilakukan pengecekan fisik; -
Pada bulan Juli 2003, Terdakwa mengembalikan uang ke kas Daerah melalui pemindahbukuan dari rekening Kas daerah sebesar Rp. 1.300.000.000,-. Pengembalian tersebut adalah atas dasar permintaan Kepala Kas daerah, Zainuddin, SE., sebagai penggantian dana yang telah dibayarkan kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri tanggal 25 Juli 2003 sebesar Rp. 1.275.000.000,-
-
Terdakwa memerintahkan Zainuddin, SE., melalui Ir. H. Syahruddin Gadeng, Msc., Kepala Biro Perlengkapan, untuk mengirimkan uang sebesar Rp. 964.350.000,- kepada Teuku Djohan Basyar untuk melakukan pembayaran pembelian helikopter langsung ke pabrik Rostov Mil Rusia tanpa melalui P.T. Putra Pobiagan Mandiri;
-
Selanjutnya terdakwa memerintahkan Zainuddin melalui Ir. H. Syahruddin Gadeng, Msc. untuk mentransfer uang sebesar Rp. 198.150.000,- kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiriuntuk pembayaran helikopter;
-
Terdakwa pada tanggal 6 Juli 2004, setelah dilakukan penyidikan, sesuai
dengan
Surat
Perintah
Penyidikan
No.
SPRINDIK-
02/VI/2004/P.KPK tanggal 29 Juli 2004 mengembalikan uang yang ada padanya melalui Bank Bukopin ke Kas Daerah rekening khusus PPh/PPN Nomor 01.02.121.007.1 di Bank Pembangunan Daerah Cabang Aceh sebesar Rp. 2.300.000.000,-; -
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik oleh Ahli Ir. Tutisno Hartono dari P.T. Dirgantara Indonesia pada tanggal 21-22 Juli 2004 terhadap helikopter MI-2, maka diperoleh kesimpulan bahwa engine GTD 350 W serial IV engine number 481664021 W (LH) dan engine number 471683016 W (RH) yang terpasang di Pesawat MI-2 Rostov dapat dinyatakan bahwa kondisi engine bukan engine baru, karena telah
31
memiliki jam terbang terhitung sejak baru, dengan istilah lain yaitu telah memiliki flying time since new (TSN), sebagaimana tertuang dalam Hasil Pemeriksaan/Inventory Check Helikopter Model Rostov MI-2
Manufacturing
Number
5111238082
yang
dibuat
dan
ditandatangani Ahli tertanggal 22 Juli 2004; Dari rangkaian perbuatan terdakwa, telah memperkaya terdakwa sendiri atau saksi Bram HD Manoppo, MBA atau orang lain atau P.T. Putra Pobiagan Mandiri yang telah atau setidak-tidaknya dapat merugikan keuangan negara sejumlah Rp. 13.687.500.000,- atau setidak-tidaknya sejumlah Rp. 10.087.500.000,- yang dihitung dari jumlah pengeluaran uang dari kas oleh Bendaharawan Umum Daerah Rp. 13.687.500.000,dikurangi jumlah pengembalian ke rekening Kas Daerah yang disetor kembali oleh terdakwa Rp. 3.600.000.000,- sebagaimana hasil perhitungan kerugian Keuangan Negara yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawas Keuangan
dan
Pembangunan
sesuai
dengan
surat
nomor
SR-
548/D6/1/2004 tanggal, atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut. Perbuatan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, MSi., diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Subsider : Bahwa ia Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, MSi., selaku Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disahkan pengangkatannya dengan Keputusan Presiden Nomor: 298/M tahun 2000 tanggal 15 November 2000 yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah
mempunyai
kewajiban
antara lain
meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat dan mengajukan rancangan peraturan daerah dan
32
menetapkannya sebagai peraturan daerah sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan Saksi Bram HD Manoppo, MBA., Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan mandiri (PPM) (yang perkaranya diajukan secara tersendiri) telah melakukan beberapa perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang sebagai suatu perbuatan yang dilanjutkan, pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi didalam bulan Februari 2001 sampai dengan tahun 2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam atau setidaktidaknya di tempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut: -
Sekitar bulan Februari-Maret 2001, Terdakwa menghadiri Rapat Kerja Gubernur se Sumatera di Palembang, dan salah satu acara Rapat Kerja adalah presentasi pesawat terbang buatan Rusia yang disampaikan oleh saksi Bram HD Manoppo, MBA, Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM);
-
Pada tanggal 28 Juni 2001, Terdakwa menandatangani Letter of Intent (LOI) Nomor: 553.3/23580, yang dikirimkan kepada Bram HD Manoppo,MBA., Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang copynya dikirim pula ke Mil Moscow Helikopter Plant Russia, isinya antara lain menyatakan Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam bermaksud untuk membeli 1 (satu) unit pesawat terbang helikopter type MI-2, VIP Cabin, versi sipil buatan tahun 2000-2001 dari pihak pabrik Mil Moscow Helikopter Plant Russia, penandatanganan Letter of Intent (LOI) tersebut adalah sebagai tindak
33
lanjut
dari
pertemuan
Terdakwa
dengan
saksi
Bram
HD
Manoppo,MBA di Jakarta, sedangkan terdakwa mengetahui bahwa dana/uang untuk pembelian Helikopter tersebut belum tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan juga belum dibicarakan/diminta persetujuan kepada DPRD Provinsi Nangroe Aceh Darussalam; -
Terdakwa setelah menandatangani dan mengirimkan Letter of Intent (LOI) kepada Bram HD Manoppo,MBA., pada sekitar bulan Juli 2001 menyarankan kepada Saksi Bram HD Manoppo,MBA., untuk membuat surat permintaan pembayaran uang muka pembelian helikopter kepada Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan atas saran tersebut maka Saksi Bram HD Manoppo,MBA., mengajukan
permintaan
dengan
surat
Nomor:
0135/PPM/BM/VII/2001 tertanggal 15 juli 2001 yang isinya meminta pembayaran uang muka sebesar Rp. 4.000.000.000,- (Empat milyar rupiah) untuk ditransfer (dikirimkan) ke pabrik Mil Moscow Helikopter Plant Russia; -
Pada tanggal 2 Agustus 2001, Terdakwa menerbitkan surat No. KU.570/3578 ditujukan kepada para Bupati/Walikota se-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berisi mengenai pemberitahuan tentang diterimanya tambahan alokasi Dana Bantuan Perlakuan Khusus
sesuai
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor:
451/KMK.07/2001 tanggal 23 Juli 2001, dalam surat tersebut diberitahukan kepada para Bupati/Walikota antara lain bahwa dana sumbangan biaya pengadaan helikopter akan diambilkan/bersumber dari
penerimaan
Dana
Bantuan
Perlakuan
Khusus
bagian
Kabupaten/Kota, padahal dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 451/KMK.07/2001 tanggal 23 Juli 2001 Dana Bantuan Perlakuan Khusus hanya dapat dipergunakan untuk membiayai belanja pegawai dan non pegawai;
34
-
Pada tanggal 28 Agustus 2001, Terdakwa menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 45 Tahun 2001 tentang Penetapan Rincian Jumlah Bantuan Perlakuan Khusus untuk Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Atas dasar surat tersebut, saksi Thanthawi Ishak, selaku Sekretaris Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atas nama Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menerbitkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Nomor 255/R/2001 tanggal 24 September 2001 tentang Otorisasi Anggaran Belanja Rutin, yang dalam lampirannya memuat pemotongan dari Dana Bantuan Perlakuan Khusus sebesar Rp. 700.000,- guna biaya pembelian helikopter yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
-
Adapun perincian jumlah dana perlakuan khusus untuk Penerimaan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 255/R/2001 tanggal 24 September 2001 tersebut adalah sebagai berikut:
Kabupaten Jumlah Dana Biaya No Kota
Bantuan
Pengadaan
Biaya
Rutin
Kab/Kota
Helikopter 1.
Banda
2.712.500.000
700.000.000
2.012.500.000
Aceh 2.
Sabang
2.607.500.000
700.000.000
1.907.500.000
3.
Aceh Besar
2.712.500.000
700.000.000
2.012.500.000
4.
Pidie
2.695.000.000
700.000.000
1.995.000.000
5.
Beureum
2.719.500.000
700.000.000
2.019.500.000
6.
Aceh Utara
2.688.000.000
700.000.000
1.988.000.000
7.
Aceh
2.688.000.000
700.000.000
1.988.000.000
2.870.000.000
700.000.000
2.170.000.000
Timur 8.
Aceh
35
Tengah 9.
Aceh Barat
10. Aceh
2.695.000.000
700.000.000
1.995.000.000
2.667.000.000
700.000.000
1.967.000.000
2.695.000.000
700.000.000
1.995.000.000
2.677.500.000
700.000.000
1.977.500.000
2.572.500.000
700.000.000
1.872.500.000
35.000.000.000
9.100.000.000
25.900.000.000
Selatan 11. Aceh Tenggara 12. Aceh Singkil 13. Aceh Simeuleu Jumlah
dari dana bantuan perlakuan khusus bagian Kabupaten/Kota yang dipotong
secara
langsung
tersebut
terkumpul
sebesar
Rp.
9.100.000.000,- (Sembilan milyar seratus juta rupiah) dan oleh terdakwa dana tersebut tidak dimasukkan kedalam Perubahan APBD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun Anggaran 2002, sehingga bertentangan dengan mekanisme pengelolaan dan pertanggungan jawaban keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; -
Terdakwa juga telah memerintahkan saksi Zainuddin, S.E., Kepala Kas Daerah melalui saksi Drs. Teuku Meurah Lizam, M.M., Karo Keuangan untuk menempatkan dana APBD Provinsi nanggroe Aceh Darussalam tahun 2001 sebesar Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) ke rekening pribadi terdakwa No. 01.01.038492 di Bank Bukopin Jakarta, atas pemerintah terdakwa tersebut pada tanggal 15 Agustus 2001 saksi Zainuddin, S.E., dana APBD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2001 yang tersimpan pada Bank Pemerintah Daerah Aceh dengan cek No: AA 026334 dan mentransfer ke rekening
36
pribadi Terdakwa No. 01.01.038492 di Bank Bukopin Jakarta sebesar Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah); -
Terdakwa secara bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah, pada tanggal 24 Agustus 2001 membayar uang muka pembelian helikopter MI-2 kepada saksi Bram HD Manoppo, MBA., dengan memberikan cek Bank Bukopin Jakarta senilai Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) sedangkan pada waktu itu antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Saksi Bram HD Manoppo, MBA., belum ada perjanjian pembelian helikopter;
-
Terdakwa selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 2001 mengirimkan surat kepada pimpinan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam Surat Nomor: KU.024/5190 untuk meminta persetujuan prinsip pengadaan helikopter sebesar Rp. 12.500.000.000,- (dua belas milyar lima ratus juta rupiah) dan disebutkan pula bahwa pembayaran akan dilaksanakan sebesar 30% dari total harga, yang dibayar pada saat penandatanganan kontrak;
-
Terdakwa pada tanggal 26 Desember 2001 sekali lagi mengirim surat ke DPRD Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: KU024/6269 meminta persetujuan prinsip pengadaan helikopter, dan dalam syrat tersebut Terdakwa tidak memberitahukan bahwa Terdakwa sebelumnya telah membayarkan uang muka pembelian helikopter sebesar Rp. 12.500.000.000,- (dua belas milyar lima ratus juta rupiah), atas dasar surat tersebut DPRD Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam memberitahukan persetujuan prinsip pengadaan helikopter dengan surat tanggal 12 Juni 2002 Nomor: 065/962;
-
Terdakwa pada tanggal 26 Juni 2002 menandatangani surat perjanjian jual beli helikopter MI-2 Nomor: 04/SPJB/2002 dengan saksi Bram HD Manoppo, MBA., Presiden direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang berisikan antara lain bahwa Pemerintah daerah Nanggroe
37
Aceh Darussalam akan membeli helikopter MI-2 dengan cabin versi VIP dan anti peluru, helikopter 100% baru dibuat tahun 2000-2001 dengan harga sebesar US$ 1.250.000 (satu juta dua ratus lima puluh ribu US dollar) dari P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sedangkan Terdakwa
telah
menerbitkan
Surat
Keputusan
Nomor:
KU.945/155.B/2002 tertanggal 18 Juni 2002 yang menunjuk Saksi Drs. Khalid, MSi., sebagai Pemimpin Proyek Pengadaan Kendaran Operasional Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam; -
Terdakwa secara bertentangan dengan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanakan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, pada tanggal 29 Juni 2002 menerbitkan
surat
Nomor:
602/22395
perihal
Rekomendasi
Penunjukan Langsung yang ditujukan kepada pelaksanakan penawaran harga dengan cara menunjukkan langsung kepada Ketua Panitia Pengadaan Pekerjaan Daerah (P3D) yang menyetujui pelaksanakan penawaran harga dengan cara penunjukkan langsung kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM), karena perusahaan tersebut merupakan satusatunya agen tunggal untuk pemasaran helikopter dari Rostov Mil Rusia, padahal dalam kenyataannya P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) bukan satu-satunya agen tunggal dari Rostov Mil Rusia dan pada waktu diterbitkanya rekomendasi tersebut surat perjanjian jual beli helikopter antara Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dengan P.T. Putra Pobiagan Mandiri telah ditandatangani, bahkan Terdakwa telah membayar uang muka pembelian helikopter tersebut kepada Saksi Bram HD Manoppo, MBA., selaku Presiden Direktur P.T.Putra Pobiagan mandiri (PPM) sebesar Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh milyar rupiah); -
Terdakwa pada tanggal Keputusan 8 Juli 2002 menerbitkan Keputusan Nomor: 602.1/262/2002 tentang Penunjukan Perusahaan P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sebagai Pelaksana Pengadaan Pesawat Helikopter MI-2 untuk keperluan Pemda Provinsi Daerah Nanggroe
38
Aceh Darussalam sedangkan dalam kenyataanya terdakwa sebelumnya pada tanggal 26 Juni 2002 telah 2002 telah menandatangani surat perjanjian jual beli helikopter MI-2 tersebut; -
Terdakwa selanjutnya pada tanggal 10 Juli 2002 turut menandatangani Surat
Perjanjian
pembelian
Helikopter
MI-2
Nomor:
05/KOP/PRJ/VII/2002 dengan saksi Bram HD Manoppo, MBA., Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang berisikan yang diwakili oleh Saksi Bram HD Manoppo, MBA., dengan Saksi Drs. Khalid, MSi. Selaku Pemimpin Proyek Pengadaan Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah
Provinsi Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam padahal sebelumnya Terdakwa juga telah menandatangani surat perjanjian jual beli Nomor: 04/SPJB/2002 tanggal 26 Juni 2002 bahkan Terdakwa telah membayar uang muka pembelian helikopter tersebut kepada saksi Bram HD Manoppo, MBA., selaku Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM); -
Sehubungan dengan telah ditandatangani Surat Perjanjian Pembelian Helikopter MI-2 Nomor: 05/KOP/VII/2002 tanggal 10 Juli 2002 yang turut ditandatangani oleh Terdakwa maka pada tanggal 15 Juli 2002 dan 30 Juli 2002 Saksi Munawar anggota Panitia Pengadaan Pekerjaan daerah (P3D) Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam atas perintah Saksi Drs. Khalid, MSi Pemimpin Proyek Pengadaan Kendaraan Operasional Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
termasuk
pengadaan
helikopter
telah
melakukan
pembayaran pembelian helikopter, kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yaitu masing-masing sebesar: a. Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) di transfer tanggal 15 Juli 2002 ke rekening P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) Nomor a/c 101.4941-01-7 di Bank Bukopin Jakarta; b. Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) di transfer tanggal 30 Juli 2002 ke rekening P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) Nomor a/c 101.4941-01-7 di Bank Bukopin Jakarta;
39
-
Terdakwa melalui Saksi Drs. Teuku Meureh Lizam, MM Karo Keuangan memerintahkan Bendaharawan Umum Daerah/Kepala Kas Daerah Saksi Zainuddin, S.E untuk mengirimkan/mentransfer uang sebesar Rp. 3.750.000.000,- (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) ke rekening pribadi terdakwa Nomor: 01.01.038492 di Bank Bukopin Jakarta untuk pembayaran pembelian helikopter kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) dan pada tanggal 31 Oktober 2002 Saksi Zainuddin, SE mentransfer uang tersebut sesuai dengan perintah Terdakwa;
-
Terdakwa secara bertentangan dengan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah yaitu menyimpang dari syarat pembayaran dalam Surat Perjanjian Pembelian, pada tanggal 5 November 2002 telah melakukan pembayaran kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sebesar Rp. 3.400.000.000,- (tiga milyar empat ratus juta rupiah) dengan cara memindah bukuan dari rekening pribadi Terdakwa Nomor: 01.01.038492 di Bank Bukopin Jakarta;
-
Pada tanggal 25 Februari 2003 telah dilakukan serah terima pesawat helikopter dari P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang diwakili oleh Saksi Bram HD Manoppo, MBA. Kepada Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang diwakili oleh Drs. Khalid, MSi sebagai
Pemimpin
Proyek
Pengadaan
Kendaraan
Operasional
Pemerintah Provinsi Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang dituangkan dalam Berita Acara Nomor: 01/BA/KOP/II/2003 tanggal 25 Februari 2003 tanpa dilakukan pengecekan fisik; -
Terdakwa pada bulan Juli 2003 mengembalikan uang kas daerah melalui pemindah bukuan dari rekeningnya di Bank Bukopin Jakarta ke rekening Kas Daerah pada Bank Bukopin Banda Aceh sebesar Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta rupiah), pengembalian tersebut adalah atas permintaan Kepala Kas Daerah Saksi Zainuddin, SE sebagai penggantian dana yang telah dibayarkan kepada P.T. Putra
40
Pobiagan mandiri (PPM) pada tanggal 25 Juli 2003 sebesar Rp. 1.275.000.000,- (satu milyar dua ratus tujuh puluh lima juta rupiah); -
Terdakwa
secara
bertentangan
dengan
tata
cara
pembayaran
sebagaimana yang diatur dalam perjanjian, melalui Saksi Ir. H. Syahruddin Gadeng, M.Sc., Kepala Biro Perlengkapan memerintahkan Saksi
Zainuddin,
SE.,
Kepala
Kas
Daerah
untuk
mengirimkan/mentransfer uang sebesar Rp. 964.350.000,- (Sembilan ratus enam puluh empat juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) kepada Saksi Teuku Djohan Basyar untuk melakukan pembayaran pembelian helikopter langsung ke Pabrik Rostov Mil Russia tanpa melalui P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang oleh Saksi Zainuddin, Se Kepala Kas daerah uang tersebut ditransfer pada tanggal 8 Maret 2004 ke rekening Teuku Djohan Basyar Nomor: 133-00-0223282-5 pada Bank Mandiri Cabang Bogor; -
Terdakwa selanjutnya melalui Saksi Ir. H. Syahruddin Gadeng, M.Sc. Kepala Biro Perlengkapan memerintahkan Saksi Zainuddin,SE Kepala Kas Daerah untuk mengirimkan/mentransfer uang sebesar Rp. 198.150.000,- (seratus sembilan puluh delapan juta seratus lima puluh ribu rupiah) kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) untuk melakukan pembayaran pembelian helikopter, yang oleh Saksi Zainuddin, SE Kepala Kas Daerah uang tersebut ditransfer ke rekening P.T. Putra Pobiagan mandiri (PPM) pada Bank Bukopin Jakarta pada tanggal 1 Juli 2004 yang ditarik dengan Cek Nomor AF 011864 tanggal 31 Mei 2004;
-
Terdakwa pada tanggal 6 Juli 2004 setelah dilakukan penyidikan, sesuai
dengan
Surat
Perintah
Penyidikan
No.
SPRINDIK-
02/2004/P.KPK tanggal 29 Juni 2004 mengembalikan uang yang ada padanya melalui Bank Bukopin Jakarta ke Kas Daerah rekening khusus PPh/PPN Nomor: 01.02.121.007.1 di Bank Pembangunan Daerah Cabang Aceh sebesar Rp. 2.300.000.000,- (dua milyar tiga ratus juta rupiah);
41
-
Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan fisik oleh Ahli Ir. Tutisno Hartono dari P.T. Dirgantara Indonesia pada tanggal 21-22 Juli 2004 terhadap helikopter MI-2 yang telah diserahkan oleh Saksi Bram HD Manoppo, MBA mewakili P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) kepada Saksi Khalid, MSi mewakili Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam diperoleh kesimpulan engine GTD 350 W serial IV engine number 481664021 W (LH) dan engine number 471683016 W (RH) terpasang di pesawat MI-2 Rostov dapat dinyatakan bahwa kondisi engine bukan engine baru karena telah memiliki jam terbang terhitung sejak baru dengan istilah lain yaitu telah memiliki flying time since new (TSN) sebagaimana yang tertuang dalam Hasil Pemeriksaan Inventory Check Helikopter Model MI-2 Rostov Manufacturing Number 5111238082 yang dibuat dan ditandatangani Ahli tertanggal 22 Juli 2004;
Dari
rangkaian
perbuatan
terdakwa
tersebut,
dengan
tujuan
menguntungkan Terdakwa sendiri atau Saksi Bram HD Manoppo, MBA atau orang lain atau P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang telah atau setidak-tidaknya dapat merugikan Keuangan Negara sejumlah Rp. 13.687.500.000,- (tiga belas milyar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima
ratus
ribu
rupiah)
atau
setidak-tidaknya
sejumlah
Rp.
10.087.500.000,- (sepuluh milyar delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah), yang terhitung dari jumlah pengeluaran Kas oleh Bendaharawan Umum Daerah Rp. 13.687.500.000,- (tiga belas milyar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dikurangi jumlah pengembalian ke rekening Kas Daerah yang disetor kembali oleh Terdakwa Rp. 3.600.000.000,- (tiga milyar enam ratus juta rupiah) sebagaimana hasil perhitungan kerugian Keuangan Negara yang dilakukan oleh Ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sesuai dengan Surat Nomor SR-548/D6/1/2004 tanggal 9 November 2004, atau setidaktidaknya sekitar jumlah tersebut.
42
Perbuatan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, MSi., diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
5. Pembelaan terdakwa dan Penasehat Hukum Nota pembelaan dari terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut ; a. Bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyidikan penyidikan dan penuntutan, terhadap perkara yang terjadi sebelum tanggal 27 Desember 2002 (saat Undang-Undang KPK) ditetapkan ; b. Bahwa dakwaan penuntut umum tidak terbukti;
Nota pembelaan dari penasehat hukum terdakwa,yang pada pokoknya sebagai berikut; a. Menerima
pembelaan
dari
tim
penasehat
hukum
terdakwa
Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi,; b. Menyatakan dakwaan demikian juga akibat
hukumnya dengan
tuntutan pidana penuntut umum pada KPK tidak dapat diterima; c. Menyatakan terdakwa Ir.H. ABDULLAH PUTEH, Msi, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2),(3) Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo. Pasal 3 jo.Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2),(3), Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 jo. Pasal55 ayat (1) ke-i jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP;
43
d. Membebaskan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi, dari setiap dan semua dakwaan; e. Mengembalikan dan merehabilitasi nama baik terdakwa pada harkat dan martabatnya semula; f. Membebankan biaya perkara terhadap negara.
6. Penggunaan Penafsiran A Contrario Argumentum oleh Hakim Dalam Menilai Berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK Menimbang,
bahwa
pada
Putusan
Sela
No.01/Pid.B/TPK/2004/PN.JKT.PST. tanggal 10 januari 2005 pada pertimbangan hukum pada poin 1, tentang penangguhan dengan alasan Preaiudideell Ceschill, di mana pada pertimbangan hukumnya antara lain sebagai berikut: "Bahwa di satu pihak, perkara yang kita hadapi sekarang ini adalah perkara pidana yaitu perkara Tindak Pidana Korupsi, dan di lain pihak perselisihan hukum (Pre-ludicieell Geschill) yang dijadikan alasan keberatan Terakwa dan Penasihat Hukumnya adalah bahwa objektum litis sebagai titik preajudicieell mengenai kewenangan KPK yang berlaku surut, masih dalam proses pemeriksaan (hak uji materil ) di Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Nomor register 069/PUU-ll/ 2004 tanggal 11 Nopember 2004, sedangkan pemeriksaan prosesual kewenangan KPK memiliki objectum litis yang sama pada proses persidangan perkara pidana terhadap Terdakwa sekarang ini." "Bahwa dengan hal-hal yang mempertimbangkan di atas pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan sepanjang belum ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan lain." Menimbang, bahwa perkara No.069/PUU-ll/2004 telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 15 Februari 2005, di dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi, mempertimbangkan secara sistimatis kaitan Pasal 68, 72 dan Pasal 70 sebagai berikut:
44
a. Pasal 72 Undang-Undang KPK yang berada di bawah judul Bab Ketentuaan Penutup, selengkapnya berbunyi: Undang-Undang ini berlaku pada tanggal diundangkan, tanggal pengundangan UndangUndangan dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut jelas bahwa Undang-Undang KPK berlaku kedepan (prospective) yaitu sejak tanggak 27 Desember 2002, artinya keseluruhan Undang-Undang a quo hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum UndangUndang a quo diundangkan. Secara argumentum a contrario UndangUndang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang a quo diundangkan; b. Pasal 70 Undang-Undang KPK menyatakan bahwa " Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 ( satu ) tahun setelah Undang-Undang ini di undangkan ". Pasal ini adalah mengatur tentang saat KPK mulai melaksanakan tugas dan wewenangnya yaitu paling lambat 1 (satu) tahun setelah UndangUndang a quo diundangkan. Undang-Undang a quo diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002 sekaligus berarti saat itu pulalah KPK melaksanakan tugas dan wewenangnya; c. Pasal 68 Undang-Undang KPK, yang berada di bawah Bab ketentuaan Peralihan (Bab XI) menyatakan semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya
belum
selesai
pada
saat
terbentuknya
Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 dan seterusnya;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas yang menjadi pokok persoalan hukum yang harus dipertimbangkan dalam perkara ini a quo perkara Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si adalah:
45
a. Apakah KPK mengambil alih proses hukum yang sebelumnya dilakukan oleh Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan atau tidak; b. Kapan tempus delicti peristiwa pidana terjadi a quo Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si; Menimbang, bahwa pertama-tama kami akan pertimbangkan, apakah KPK telah mengambil alih proses hukum yang dilakukan sebelumnya oleh Kepolisian dan Kejaksaan atau tidak; Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Penyidikan oleh KPK No.BP/01 .Xl/ 2004/KPK tanggal 29 Nopember 2004, terlihat bahwa KPK melakukan tindakan penyidikan berdasarkan laporan kejadian Korupsi No.LKK/02/VI/2004/KPK tanggal 25 Juni 2004, yang dilaporkan oleh AKBP Yurod Saleh, Penyidik pada Sat Gas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan berdasarkan laporan tersebut KPK melakukan penyidikan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si., dengan dasar Surat Perintah Penyidikan No. Sprint-DIK/02/VI/2004/P.KPK tanggal 29 Juni 2004, dan selanjutnya dilakukan Penuntutan oleh KPK dengan melimpahkan perkara ini ke Pengadilan dengan Surat Dakwaan No.01/TUT.KPK/XII/2004 yang terdaftar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan No.01/Pid.B/TPK/2004/PN.JKT.PST. Menimbang, bahwa Terdakwa dipersidangan juga menerangkan bahwa ia sebelumnya belum pernah diperiksa oleh Kepolisiaan atau Kejaksaan dalam perkara ini; Menimbang, bahwa di dalam berita acara penyidik tersebut juga tidak ditemukan Surat atau bukti lainnya, bahwa penyidik KPK melakukan proses a quo dalam perkara ini dengan cara pengambil alihan proses hukum yang belum selesai yang dilakukan oleh Lembaga Kepolisian atau Kejaksaan, yang juga berwenang melakukan proses hukum penyidikan tindak pidana korupsi, yang telah ada sebelum KPK terbentuk.
46
Menimbang, bahwa dengan demikian KPK dalam perkara a quo, dalam melakukan proses hukum murni menggunakan kewenangan berdasarkan Pasal 6 c, dan bukan berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. Menimbang bahwa berdasarkan Dakwaan Penuntut Umum dan dikuatkan oleh saksi-saksi dan Terdakwa serta bukti surat, terbukti dari rentetan peristiwa tersebut tempus delictinya telah terjadi beberapa tindak pidana sejak Februari 2002 sampai 5 Nopember 2002 sebelum KPK terbentuk tanggal 27 Desember 2002; Menimbang, bahwa meskipun ada rentetan peristiwa pidana yang di dalamnya terdapat perbuatan melawan hukum yang juga terjadi setelah tanggal 27 Desember 2002, hal tersebut tidaklah dapat dipisah-pisahkan, karena sesuai dengan Dakwaan Penuntut Umum di mana Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut (lihat dakwaan baik Primair maupun subsidair); Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, KPK murni melakukan proses hukum berdasarkan Pasal 6 c, bukan pengambilalihan proses hukum yang belum selesai berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 dan tempus delicti nya terjadi a quo perkara Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (sebelum KPK terbentuk), maka kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berlaku ketentuan Pasal 70 jo. Pasal 72 Undang-Undang No.30 Tahun 2002, di mana kewenangan KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002 (UndangUndang diundangkan). Artinya keseluruhan Undang-Undang a quo hanya dapat diperlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi
setelah
Undang-Undang
dimaksud
diundangkan.
Secara
agumentum a contrario, Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang a
quo
diundangkan,
kecuali
dalam
hal
penerapan
Pasal
68
47
(pengambilalihan hukum yang belum selesai) dan harus memenuhi ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002; Menimbang, bahwa sebab kami mempertimbangkan kewenangan KPK karena menurut salah satu asas KPK sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 Undang-Undang No.
30
Tahun 2002
adalah
kepastian
hukum,
proporsionalitas dan demikian juga menurut penjelasan umum UndangUndang No. 30 tahun 2002 pada alinea VI, pengaturan kewenangan KPKdilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpangtindih kewenangan dengan berbagai instansi; Menimbang, bahwa adapun instansi yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP adalah Polri, sedangkan Jaksa diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983; Menimbang, bahwa terhadap kewenangan (kompetensi) tersebut dipertimbangkan, karena menyangkut hukum acara dan hukum acara merupakan ketentuan hukum yang baku tidak dapat ditafsirkan lain, selain ditentukan dalam Undang-Undang tersebut; Menimbang, bahwa setiap Tersangka berhak diselidiki, dan disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara, tidak boleh undue process, hak due process dalam tindakan penegakan hukum bersumber dari cita-cita Negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum (the law is supreme) yang menegaskan "kita diperintah oleh hukum dan bukan oleh orang (government of law and not of men). Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supermasi hukum". Di dalam menangani tindak pidana tidak seorangpun berada dan menempatkan diri di atas hukum (No one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fait manner). Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum pidana sesuai dengan "persyaratan konstitusional" serta harus "menaati hukum". Due process tidak "membolehkan pelanggaran" terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih menegakkan bagian hukum lain.
48
Menimbang bahwa penyelesaian Tindak Pidana Korupsi harus didasarkan atas ketentuan dan procedure yang berlaku, menyandarkan diri "Rule of Law", bahwa penyimpangan Hukum Acara Pidana (Umum) masih harus bergerak dalam batas yang diakui oleh prinsip dalam Negara Hukum. Selanjutnya dalam symposium Tracee Baru pada tahun 1966 mengenai Indonesia Negara hukum, adanya 3 (tiga) ciri dari unsur utama dalam Negara hukum Indonesia, yaitu: a. Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia; b. Peradilan bebas dan tidak memihak; c. Legalitas dalam arti hukum baik formil maupun materiil; Menimbang, bahwa Oemar Senoadji, (2007:32) berpendapat suatu perUndang-Undangan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam aspek hukum Pidana materiil maupun Hukum Acara Pidana dalam Negara hukum Indonesia; berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila; tidak akan meninggalkan hak azasi manusia dan prinsip legalitas, yang dalam Negara hukum manapun dipandang sebagai palladium dari kepastian hukum, apa lagi sistem Peradilan bebas, dari factor extra-judisiel dan dari paksaan ("compulsion") dan jauh dari tekanan, direktiva atau rekomendasi dari executive dan legislative; Menimbang, bahwa sebagaimana diketahui fungsi Peradilan tidak lain dalam rangka memeriksa dan mengadili perkara untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth justice) atau menemukan keadilan menurut hukum (Legal Justice) yaitu suatu keadilan yang diwujudkan berdasarkan sistem hukum yang dianut (according to legal system), jadi suatu keadilan yang lahir dari proses peradilan sesuai dengan hukum acara yang berlaku (dueprocess); Menimbang, bahwa dengan demikian proses peradilan bukan semata-mata menemukan keadilan moral (not moral justice) yang lepas dalam kaitan penyelesaian perkara ataupun sistem hukum yang dianut, maka keadilan diharapkan harus didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam UndangUndang dan berbagai peraturan lainnya yang mengatur kewenangan
49
Majelis untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, sehingga proses penegakan hukum dilakukan secara professional dan proporsionalitas sehingga diharapkan diperoleh keadilan yang sebenarnya; Menimbang, bahwa Hakim adalah tangan keadilan, bukan algojo bagi sekedar nafsu hukum, tangan keadilan Hakim bukan saja untuk memuaskan khalayak ramai, atau korban, tetapi juga keadilan untuk pelaku dan keluarganya, rasa malu, tercoreng yang mungkin akan dikenang turun temurun merupakan faktor sosiologis yang harus dipertimbangkan. Keadilan Hakim adalah keadilan Komprenhensif, bukan keadilan sesaat atau untuk kepentingan tertentu (Sambutan Ketua Mahkamah Agung R.I. pada pembukaan Rapat Kerja Nasional tanggal 2730 September 2004 halaman 4 dan 5); Menimbang, bahwa Hakim dalam hal tertentu juga tidak kaku dalam menerapkan hukum hal ini terbukti dalam putusan sela, eksepsi lainnya dari
Penasihat
Hukum
yang
lainnya
tidak
mendasar,
telah
dikesampingkan; Menimbang, bahwa karena tentang kewenangan suatu lembaga penegak hukum adalah kaitan dengan HAM, dan dalam hukum acara pidana merupakan hal yang mendasar suatu proses penegakan hukum; Menimbang, bahwa dengan adanya kewenangan KPK yang berlaku kedepan
atau
Prospective
sebagaimana
pertimbangan
Mahkamah
Konstitusi tersebut dan juga uraian-uraian tersebut di atas di mana dalam penegakan hukum harus didasarkan hukum acara yang berlaku (due process), maka berarti KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan); Menimbang, bahwa oleh karena KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK dinyatakan tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari
50
Berita Acara yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak sah pula atau tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si., dengan demikian Penahanan yang dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa juga tidak sah; Demikianlah pendapat dari Hakim Ketua dan Hakim Anggota I yang berbeda pendapat dengan Hakim-Hakim Anggota lainnya dalam musyawarah untuk mengambil keputusan, dan pendapat ini merupakan satu kesatuan dengan putusan ini, sebagaimana yang dimaksud Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang No. 4 Tahun 2002 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
7. Pembahasan KPK dibentuk berdasarkan Undang-undang sehingga mempunyai legitimasi yang kuat, KPK juga bersifat indepanden dan bebas dari pengaruh siapapun. Kewenangan KPK adalah: (a) melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi semua lembaga negara dan pemerintah; (b) memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolan administrasi tersebut berpotensi korupsi; (c) melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia, dan
Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi
Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan. ( Pasal 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ) Begitu pula dengan pemeriksaan aparat maupun pejabat negara yang terlibat dengan dugaan korupsi, wewenang untuk memerintahkan Presiden agar membuat izin juga dimiliki oleh KPK. Kewenangan inilah yang digunakan KPK untuk memeriksa kasus dugaan korupsi pembelian helikopter MI-2 senilai Rp 12 Miliar oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam ( NAD ) Abdullah Puteh. Inilah kasus pertama yang berhasil
51
dibawa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) hingga ke meja pengadilan. Terlepas dari keistimewaannya sebagai kasus pertama yang dibawa KPK hingga ke hadapan para hakim, kasus ini ternyata menghadirkan tantangan lain yang cukup berat bagi KPK. Tantangan tersebut dipicu dengan diajukannya gugatan yang dilempar Bram HD Manoppo, Direktur Utama PT Putra Pobiagan Mandiri. Bram mengajukan gugatan judicial review terhadap Undang-undang No 30 Tahun 2002 yang menjadi dasar berdirinya KPK kepada Mahkamah Konstitusi ( MK ). Gugatan tersebut mulai disidangkan MK pada akhir November 2004. Dalam gugatannya, Bram mempersoalkan pasal 68 UU KPK yang menurutnya menetapkan azas retroaktif. Pasal 68 tersebut menyebutkan ”Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidada korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ”. Pasal tersebut dianggap oleh Bram HD Manoppo dinilai bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Ketentuan yang lebih tinggi tingkatannya itu menegaskan : ” Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Gugatan Bram inilah yang kemudian menghasilkan putusan MK yang dinilai banyak kalangan kontroversial. Dalam keputusan yang dibacakan dalam sidang pada 15 Februari 2005, para hakim MK memang menolak gugatan Bram HD Manoppo. Namun begitu, dalam bagian pertimbangan dari keputusan tersebut, MK mengemukakan hal-hal yang menimbulkan persepsi bahwa KPK tidak boleh menyelidiki kasus-kasus korupsi yang terjadi sebelum UU KPK ditetapkan, yakni pada 27 Desember 2002. Hakim Ketua, KRESNA MENON dan Hakim Anggota I GUSRIAL, berpendapat bahwa kewenangan KPK adalah berlaku kedepan
52
atau Prospective.
Hal tersebut didasarkan kepada pertimbangan
Mahkamah Konstitusi. Kresna Menon dan Gusrial juga berpendapat KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan). Selanjutnya karena KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK dinyatakan tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari Berita Acara yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak sah pula atau tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si..
Dengan
demikian Penahanan yang dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah. Dikaitkan dengan adanya penafsiran A Contrario Argumentum, yang menyatakan bahwa ada kalanya suatu peristiwa tidak diatur secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Dan bagaimana menemukan hukumnya bagi peristiwa yang tidak diatur itu adalah dengan cara menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya, ini merupakan metode A Contrario Argumentum. Metode A Contrario Argumentum merupakan cara penafsiran atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Dengan mengatur suatu peristiwa tetapi peristiwa yang mirip lainnya tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku secara kebalikannya. Hakim mengatakan “ peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a
53
contrario argumentum titik berat diletakkan pada ketidak samaan persitiwanya. Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK hanya dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap
tindak
pidana
yang
dilakukan
setelah
diundangkannnya Undang-undang KPK sampai dengan terbentuknya KPK. Doctrine ”Sens-Clair (la doctrine du senclair) menyebutkan bahwa hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan : a. bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”; b. bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit; c. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya : Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan ”hukum dan makna sebenarnya”;
54
d. bahwa ”apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita,
bahwa
Undang-Undang
tidak
saja
menunjukan
banyak
kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kapada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan UndangUndang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris”.
B. Implikasi Penggunaan Penafsiran Hukum A Contrario Argumentum Oleh Hakim Mahkamah Agung Terhadap Keabsahan Tindakan Penyidikan Oleh KPK Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter
Di dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam perkara Korupsi Pengadaan Helikopter dengan terdakwa Abdullah Puteh ini, Hakim Ketua, KRESNA MENON dan Hakim Anggota I GUSRIAL, berpendapat bahwa kewenangan KPK adalah berlaku kedepan atau Prospective. tersebut didasarkan kepada pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Hal
Kresna
Menon dan Gusrial juga berpendapat KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan). Selanjutnya karena KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK dinyatakan tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari Berita Acara yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak sah pula atau tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si.. Dengan demikian Penahanan yang
55
dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah. Kewenangan KPK terkait Putusan MK No. 069/PUU-II/2004 Pertimbangan
hukum
MK
yang
kontroversial
tersebut
berbunyi:
Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undangundang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang
tempus
delicti-nya
terjadi
setelah
undang-undang
dimaksud
diundangkan. Secara A Contrario Argumentum, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan. Berkaitan dengan permohonan Hak Uji Materil yang diajukan oleh Bram Manopo yang pada saat itu merupakan terdakwa Korupsi bersama-sama dengan Mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh (dalam dakwaan terpisah). Putusan MK tersebut diputus oleh MK sebelum Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan putusannya baik terhadap Bram Manopo sendiri maupun Abdullah Puteh. Tak lama setelah Putusan MK tersebut dijatuhkan Pengadilan Tipikor menjatuhkan putusannya, yang pada intinya menghukum keduanya. Dari putusan yang menghukum tersebut terlihat bahwa Pengadilan Tipikor tetap menganggap bahwa KPK tetap berwenang untuk menangangi perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum berdirinya KPK, atau dengan kata lain Pengadilan Tipikor tidak sependapat dengan pendapat hukum MK sebagaimana dikutip diatas. Dalam tingkat banding terjadi hal yang sama, Pengadilan Tinggi tetap menghukum terdakwa walapun terdakwa telah membawa putusan MK tersebut sebagai bagian dari memori bandingnya. Selanjutnya dalam tingkat kasasi Abdullah Puteh kembali mengajukan pertimbangan hukum MK sebagai salah satu alasan dalam memori kasasinya.
56
Namun atas alasan tersebut Mahkamah Agung melalui putusannya no. 1334 K/Pid/2005 berpendapat lain, dalam pertimbangan hukumnya di halaman 8082 Mahkamah Agung berpendapat:
“ Menimbang bahwa dengan adanya pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi khususnya pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Undang-Undang a quo, pertimbangan mana menimbulkan pro dan kontra antara ahli hukum yang dapat berimplikasi negatif terhadap penerapan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dalam upaya pemberantasan tindak
pidana
korupsi,
Mahkamah
Agung
memandang
perlu
mempertimbangkan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang memberikan pertimbangan atas pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, mengingat pertimbangan tersebut, menimbulkan penafsiran sebagai pendapat Mahkamah Konstitusi.
“ Menimbang, bahwa dengan menunjuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi khususnya pertimbangan mengenai Pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berlaku kedepan (prospective) sekalipun diakui bahwa masalah penerapan Undang-Undang bukan wewenang Mahkamah Konstitusi dihubungkan
dengan
wewenang
Mahkamah
Konstitusi
sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 23 c ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan tersebut diatas adalah berlebihan (overbodig), kontradiktif dan melampaui batas wewenangnya serta dapat menghambat upaya percepatan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1) dan (2) Undang-Undang-Undang Dasr Negara RI 1945 jo pasal 10 ayat (1), (2), pasal 56 ayat (3) dan (5), pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
57
dihubungkan
dengan
pertimbangan-pertimbangan
hukum
Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya Nomor : 069/PUU/II/2004, Judex Factie telah dengan tepat dan benar mengadili perkara a quo menurut ketentuan UndangUndang. Berdasarkan pertimbangan tersebut keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa huruf B butir 4 sampai dengan 16 tidak dapat dibernarkan, karena tidak beralasan menurut hukum;”. Dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung terlihat jelas bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi mengenai tidak berwenangnya KPK dalam menangani perkara korupsi yang terjadi sebelum 2002. Dengan ditolaknya argumentasi Pemohon Kasasi yang mendalilkan bahwa Pengadilan Tinggi Tipikor salah menerapkan hukum dengan mendasarkan diri pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka hal ini berarti Pengadilan Tipikor berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh KPK yang tempus delicti-nya terjadi sebelum berlakunya UU KPK, dan oleh karenanya hal tersebut berarti juga bahwa KPK dapat mengusut perkara korupsi yang demikian.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan 2 ( dua ) simpulan sebagai berikut : 1. Penafsiran a contrario argumentum dalam Proses penyidikan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlihat dengan adanya perbedaan pendapat dari dua orang hakim, yaitu hakim ketua dan hakim anggota I. Hakim ketua dan Hakim anggota I berpendapat bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh. Keadaan tersebut disebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh terjadi sebelum diundangkannya UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tanggal 27 Desember 2002. Dengan tidak diperbolehkannya KPK melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut, maka berita acara pemeriksaan KPK dianggap tidak sah. Surat dakwaan yang dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan yang tidak sah, berakibat surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan persidangan juga dianggap tidak sah. Penahanan terhadap Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah karena didasarkan kepada penyidikan yang tidak sah. 2. Implikasi penafsiran a contrario argumentum dalam penyidikan perkara korupsi pengadaan Helikopter oleh Abdullah Puteh ini sesuai dengan putusan MA bahwa KPK secara hukum dapat melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan atas perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakuknya UU KPK bahkan sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
58
59
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Untuk membuktikan unsur melawan hukum KPK tetap dapat menggunakan doktrin Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Fungsi Positif maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung.
B. Saran-Saran 1.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang eksistensi KPK dan juga berbagai kasus lain memberi pesan agar legislatif lebih berhati-hati, lebih cermat dan lebih cerdas dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Kerja legislatif diharapkan harus serius karena ketidakcermatan sebuah produk hukum berdampak dalam banyak hal termasuk tanggung jawab moril terhadap semua produk peraturan perundang-undangan.
2.
KPK harus berani berperan menjadi ‘pengendali’ bagi gerakan pemberantasan korupsi nasional. Dari banyaknya kasus korupsi yang muncul di media, hanya sebagian kecil yang bias ditindak lanjuti dan diselesaikan di pengadilan. Tidak efektifnya pemberantasan korupsi disebabkan tumpang tindihnya upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum. KPK sebagai lembaga yang memegang amanat mengkoordinasikan, mensupervisi dan melaksanakan pemberantasan korupsi seharusnya berani tampil paling depan dan menjadi ‘dirigen’ bagi lembaga penegak hukum lainnya, bukan seperti saat ini yang masih ragu menggunakan kewenangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Adami Chazawi. 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang : Bayumedia Publishing. Danang Kurniadi. 2008. Mega skandal korupsi di Indonesia. Yogyakarta : Pukat Korupsi. Johnny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publising. Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Satjipto Raharjo. 1982. Ilmu Hukum. Bandung : Alumni. Sudikno Mertokusumo. 1995. Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta. Suradi. 2006. Korupsi dalam sektor pemerintahan dan swasta. Yogyakarta : Gaya Media Yogyakarta.
Perundang-undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Internet : Liza Erwina S.H.,M.Hum, Penemuan Hukum Oleh Hakim di Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. Diakses pada tanggal 3 Desember 2009, Pukul 09.22 WIB Kewenangan KPK dalam Menangani Korupsi Sebelum Tahun 2003 Antara Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Diakses pada tanggal 2 Maret 2010, Pukul 16.00 WIB.