Distribution Patterns and Community Structure of Pelecypoda in Aquatic Ecosystems Seagrass at Bakau Bay Village
Delly Andra S. Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH,
[email protected] Andi Zulfikar Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH,
[email protected] Linda Waty Zen Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH,
[email protected]
ABSTRACK Seagrass has several functions ie the nursery ground for several species of marine life such as group Crustacea , Polychaeta , echinoderms , and Pelecypoda. The study aims to determine the type of community structure pelechypoda , a pelechypoda distribution patterns and determine the relationship between density seagrass and density pelechypoda .there are 3 location were divided based on the condition of the seagrass station 1 high density conditions seagrass , seagrass condition station 2 midle density and station 3 low density seagrass. Each station contained three transect lines drawn perpendicular to the direction of the sea , each of which consists of 10 plots . Seagrass and pelechypoda done using transect quadrant with a size of 0.5 x 0.5 meters , and each transect placement was also performed measurements of environmental parameters include salinity , temperature , dissolved oxygen , substrate type , speed of currents , tides , and sediment pH . Analysis of data to determine the relationship between the density of seagrass and density Pelecypoda performed using simple regression analysis . The results showed pelechypoda distribution patterns in the waters of Mangrove Bay Village is random , the value of diversity index ( H ' ) at a high station 1 , station 2 and 3 were , uniformity index ( E ) at 3 stations is high and dominance index ( D ) is low . Seagrass density can explain the pelechypoda density of 0.72 ( 72 % ) The results of research on the relationship between the density of seagrass and density Pelecypoda concluded that they have a positive or a directly proportional relationship, where the regression equation Y = 5,34 + 0,25X
Keywords : Pelecypoda , Distribution Patterns , Density Seagrass
1
Pola Sebaran Dan Struktur Komunitas Pelecypoda Di Perairan Ekosistem Padang Lamun Desa Teluk Bakau
Delly Andra S. Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH,
[email protected] Andi Zulfikar Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH,
[email protected] Linda Waty Zen Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH,
[email protected]
ABSTRAK Padang lamun memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai daerah asuhan bagi beberapa spesies biota laut seperti kelompok krustacea, polychaeta, echinodermata, dan pelecypoda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas jenis pelechypoda, mengetahui pola sebaran pelechypoda dan mengetahui hubungan kerapatan lamun dengan tingkat kepadatan pelechypoda. Lokasi penelitian dibagi 3 stasiun berdasarkan kondisi lamunnya yaitu stasiun 1 kondisi lamun rapat, stasiun 2 kondisi lamun sedang, dan stasiun 3 kondisi lamun jarang. Tiap stasiun terdapat 3 garis transek ditarik tegak lurus ke arah laut yang masing-masing terdiri dari 10 plot. Pengambilan data lamun dan pelechypoda dilakukan dengan menggunakan transek kuadran dengan ukuran 0,5 x 0,5 meter, dan setiap penempatan transek dilakukan juga pengukuran parameter lingkungan meliputi salinitas, suhu, oksigen terlarut, jenis substrat, kecepatan arus, pasang surut, dan pH sedimen. Analisa data untuk mengetahui hubungan antara kerapatan lamun dengan kepadatan pelecypoda dilakukan dengan menggunakan analisis Regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan pola sebaran pelechypoda di Perairan Desa Teluk Bakau bersifat acak, nilai indeks keanekaragaman (H’) pada stasiun 1 tinggi, stasiun 2 dan 3 sedang, indeks keseragaman (E) pada 3 stasiun tergolong tinggi dan indeks dominansinya (D) tergolong rendah. Kerapatan lamun mampu menjelaskan kepadatan pelechypoda sebesar 0,72 (72%). Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian yaitu hubungan antara kerapatan lamun dengan kepadatan pelecypoda memiliki hubungan positif atau berbanding lurus, dimana persamaan regresinya Y=5,34 + 0,25X
Kata kunci : Pelecypoda, Pola Sebaran, Kerapatan Lamun
2
I.
PENDAHULUAN
jenis pelecypoda (kerang-kerangan) yang
A.
Latar Belakang
hidup pada habitat tersebut. Pelecypoda
Padang lamun merupakan suatu
dikenal sebagai kelompok kerang yang
ekosistem yang terdiri dari susunan flora dan
merupakan salah satu kelas dari filum
fauna dengan ciri yang khas serta hidup pada
mollusca yang mempunyai beberapa peranan
lingkungan yang khusus berupa perairan
penting.
yang berpantai landai (Tomascik et al, 1997
berperan sebagai siklus rantai makanan
dalam Indrayanti et al, 2003). Secara
mempengaruhi
ekologis, perairan di wilayah padang lamun
makrozoobenthos dan sebagai bioindikator.
Secara
ekologis
pelecypoda
struktur
komunitas
memiliki beberapa fungsi penting di perairan B.
pantai. Fungsi lamun diantaranya adalah
Peumusan
sebagai penyedia tempat berlindung bagi 1.
dalamnya (Tomascik et al, 1997 dan
2.
biota laut seperti kelompok krustacea ,
3.
dalam Indrayanti et al, 2003).
C.
jenis-jenis
hubungan
kerapatan
Tujuan Adapun tujuan dalam penelitian ini
yaitu:
lamun dipengaruhi oleh berbagai factor
1.
antara lain tegakan dan jenis lamun, jenis
Mengetahui jenis
substrat, dan kandungan bahan organic pada
struktur
pelecypoda
ekosistem
sedimen, selain itu juga dipengaruhi oleh
padang
komunitas di
perairan
lamun
Desa
Teluk Bakau, Kepulauan Riau
factor lingkungan dan kualitas air (Hynes, 2.
1978 dalam Indrayanti, 2003). Teluk
Bagaimana
Bakau, Kepulauan Riau
pelecypoda yang hidup pada habitat padang
Desa
sebaran
pelecypoda di perairan Desa Teluk
lamun adalah dari kelas pelecypoda dan
Perairan
pola
lamun dengan tingkat kepadatan
banyak
melimpah hidup pada substrat ekosistem
umum
Bagaimana
Bintan, Kepulauan Riau
juvenil maupun dewasa (Coles et al, 1993
Secara
komunitas
padang lamun Desa Teluk Bakau
gastropoda, dan kelompok ikan-ikan baik
gastropoda.
struktur
pelecypoda di perairan ekosistem
pelecypoda,
yang
Bagaimana
Bintan, Kepulauan Riau
(‘nursery ground’) bagi beberapa spesies
benthos
dapat
padang lamun Desa Teluk Bakau
2003), serta merupakan daerah asuhan
Hewan
yang
pelecypoda di perairan ekosistem
Kikutchi 1980, dalam Indrayanti et al,
echinodermata,
masalah
diambil dalam penelitian ini yaitu:
organisme-organisme laut yang hidup di
polychaeta,
Perumusan Masalah
Mengetahui
pola
sebaran
jenis
pelecypoda di perairan ekosistem
Bakau
padang lamun Desa Teluk Bakau,
memiliki komunitas padang lamun yang
Kepulauan Riau
relatif subur. Kondisi morfologi pantai 3.
mempengaruhi kerapatan dan jenis lamun
Mengetahui hubungan kerapatan lamun
yang terdapat didalamnya, serta hal ini akan
pelecypoda
mempengaruhi distribusi dan komposisi
3
dengan
kepadatan
D.
Pergerakannya di bantu oleh kaki di antara
Manfaat Sedangkan
manfaat
dalam
valves yang melebar atau mengait pada
penelitian ini yaitu:
dasar material dengan mekanisme tarik uluar
1.
Memberikan data atau informasi
dan kontarksi otot. Ciri umum pelecypoda
mengenai
yaitu
2.
struktur
lunak,
sedentari
padang lamun Desa Teluk Bakau,
ada yang hidup di air tawar (Nybakken,
Bintan, Kepulauan Riau
1992 dalam Laruba, 2011).
pengetahuan
baru
Pelecypoda tidak memiliki kepala,
jenis
mata serta radula di dalam tubuhnya,tubuh
pelecypoda di perairan ekosistem
bivalvia hanya terbagi menjadi tiga bagian
padang lamun Desa Teluk Bakau,
utama yaitu kaki, mantel,dan organ dalam.
Bintan Kepulauan Riau
Kaki dapat ditonjolkan antara dua cangkang
pola
Memberikan
sebaran
informasi
kepada
tertutup,
bergerak
memanjang
dan
masyarakat sekitar dan pemerintah
memendek berfungsi untuk bergerak dan
setempat
merayap (Robert et al, 1982 dalam Laruba,
untuk
memonitoring
secara keberlanjutan tentang Pola
2011).
Sebaran dan Struktur Komunitas Kerang-Kerangan
di
Menurut Nybakken (1992 dalam
Perairan
Syafikri,
2008),
penyebaran
gerakan
merupakan
Teluk Bakau, Bintan, Kepulauan
keluar atau ke daerah populasi lain. Ada tiga
Riau.
pola dasar untuk penyebaran yaitu pola
TINJAUAN PUSTAKA Pelecypoda
kebanyakan
didaerah
kelas
lainnya yang berupa interaksi antar populasi. Lamun
tumbuh
meliang, ada yang menempel (berpegang)
dan
Fitriyah, 2007). Pelecypoda mempunyai dua
di
lingkungan
laut,
vegetatif.
Rimpangnya
merupakan
terbenam dan menjalar dalam substrat pasir,
yaitu cangkok bagian dorsal dan bagian
lumpur dan pecahan karang. Padang lamun
ventral. Cangkok di bagian dorsal tebal dan
melindungi
terbenam
batang yang beruas-ruas yang tumbuh
cangkok yang dapat membuka dan menutup
untuk
air
dan berkembang biak secara generatif (biji)
yang ngebor (boring) (Wijani, 1990 dalam
berfungsi
tumbuhan
berpembuluh, berimpang (rhizome), berakar,
pada batu atau substrat yang keras dan ada
Cangkok
adalah
berbunga (Anthophyta) yang hidup dan
yang berlumpur atau berpasir, dengan cara
tipis,
dan
ataupun abiotik serta factor psikologis
littoral,
5000 meter. Lingkungan hidupnya di dasar
ventral
seragam,
bergantung pada kondisi lingkungan biotic
walaupun ada yang terdapat pada kedalaman
bagian
acak,
kedalam,
berkelompok. Pola sebaran populasi sangat
merupakan
molluska yang hidup pada daerah pasang surut,
individu
populasi
Ekosistem Padang Lamun Desa
penyebaran
di
pada
sediment) umumnya hidup dilaut walaupun
tentang
II.
(menetap
pelecypoda di perairan ekosistem
Memberikan
3.
komunitas
ini
tubuh.
4
merupakan hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir atau laut dangkal yang terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation)
N o
Parameter Lingkungan
1. 2.
Salinitas Jenis substrat
3.
Kecepatan Arus Pasang Surut Suhu dan DO Derajat Keasaman (pH) Sedimen Pelecypoda
dengan kerapatan tanaman yang padat (dense) atau jarang (sparse). Ekosistem padang
lamun
adalah
satu
sistem
4. 5.
(organisasi) ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi hubungan timbal balik
6.
antara komponen abiotik (air dan sedimen) dan biotik (hewan dan tumbuhan). (Menurut Azkab, 2000)
7. III.
METODE
Metode
Alat
Bahan
Salt meter Skop, kamera, penggaris mm Curren drag
Aquades
Multitester Soil Tester
Transek kuadran dalam penelitian
ini
Penelitian ini dilaksanakan pada
menggunakan metode survey. Sedangkan
bulan Januari sampai dengan Mey 2014 di
metode yang digunakan untuk mengetahui
Kawasan Ekosistem Padang Lamun Desa
kondisi padang lamun yaitu menggunakan
Teluk Bakau, Kepulauan Riau yang meliputi
metode transek dan petak contoh (transek
studi
plot) (Gambar 2).
literatur,
survey
awal
lokasi,
pengambilan data lapangan, analisa sampel, pengolahan
data,
analisa
data
0,5 m
dan
0,1 m
penyusunan laporan hasil penelitian. Bekiut merupakan peta lokasi penelitian (Gambar 1). Peta Lokasi Penelitian
Gambar 2. Transek pengamatan lamun (sumber: Kepmen lh No. 200 (2004)) Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yaitu veriabel bebas (nitrat dan posfat) dan variabel terikat (kerapatan lamun). Data-data yang dapat dianalisa Gambar 1. Peta lokasi penelitian
dalam penelitian ini yaitu:
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (Tabel 1):
5
1.
Pola sebaran
3.
Pola sebaran jenis suatu organisme pada
habitat
dapat
diketahui
Indeks keanekaragaman Formula
dengan
yang
digunakan
untuk
menghitung pola sebaran pelecypoda yaitu
menggunakan metode pola sebaran morisita
(Shannon-Wiener, 1963 dalam Wati, 2012).
(Soegianto, 1994) dalam (Rasid, 2012). )
∑(
Rumus untuk menghitung Indeks Persebaran Morisita yaitu: Keterangan:
ΣX2 – N N (N - 1) n
Id =
Dimana:
H’
= Indeks keanekaragaman
N
= Total jumlah individu
ni
= Jumlah individu jenis ke-n = jumlah taksa
Id
= indeks disperse morisita
n
n
= jumlah unit pengambilan contoh
Kriteria indeks keanekaragaman yaitu: Nilai H’ > 3 = Keanekaragaman spesies
(plot) x
tinggi
= jumlah individu biota pada tiap
Nilai H’ 1 ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman
plot N
spesies sedang
= jumlah total individu biota Hasil
indkes
morisita
Nilai H’ < 1 = Keanekaragaman spesies
yang
rendah
diperoleh dikelompokkan sebagai berikut: Id<1
= pola sebaran individu jenis
4.
bersifat seragam Id=1
Indeks dominansi Dominansi diperoleh dengan rumus
= pola sebaran individu bersifat
(Brower, 1989 dalam Wati, 2012).
acak Id>1
= pola sebaran individu jenis
2
bersifat mengelompok 2.
Kepadatan pelecypoda Kepadatan
merupakan
Keterangan:
jumlah
individu persatuan luas (Brower dan Zar,
C
= Indeks dominansi
1997 dalam Rasid, 2012) dengan formulasi
ni
= jumlah individu ke-i
sebagai berikut:
N
= Jumlah total individu
5. Dimana:
Indeks keseragaman Rumus (Krebs, 1985 dalam Rasid,
2
D = Kepadatan Pelecypoda (ind/m )
2012):
Ni = Jumlah Individu A = Luas Petak Pengambilan Contoh (m2) Keterangan:
6
e
= Indeks keseragaman
H’
= Indeks keanekaragaman
S
e< 0,4
= Jumlah spesies
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dengan nilai:
A.
Jenis
= Keseragaman populasi kecil
dan
komposisi
jenis
pelecypoda
0,4< e < 0,6 = Keseragaman populasi
Hasil pengamatan terhadap jenis
sedang
pelecypoda di Perairan Desa Teluk Bakau,
e> 0,6
= Keseragaman populasi tinggi
maka ditemukan 10 jenis pelecypoda yang
6.
Identifikasi jenis lamun
jenis yang ditemukan lebih rinci dapat
Identivikasi jenis lamun ditentukan
dilihat pada Tabel 2
terdapat di perairan tersebut. Masing-masing
dengan menggunakan panduan identifikasi
Tabel 2. Jenis dan komposisi pelecypoda
menurut (Kepmenlh No. 200 tahun 2004),
Stasiun II III
yaitu mencocokkan antara daun, bunga dan
N o
akar secara visual di lapangangan
1
Anadara antiquata
27
21
20
2
Meretrik meretrik Gaffrarium pecktinatum Gaffrarium tumidum Meretrix petechialis Tapes decussatus Circe Scripta Tapes balcheri sowerby Dosinia exoleta Megapitaria aurantiaca Total
26
17
7
31
22
18
57 17 13 20
35 17 15 20
36 10 8 14
32
32
25
24
8
9
20
23
2
268
210
149
7.
Kerapatan lamun
3
Kerapatan jenis lamun yaitu jumlah
4 5 6 7
total individu suatu jenis lamun dalam unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun ditentukan berdasarkan rumus (Fachrul,
8
2006)
9 10 Keterangan :
Jenis Pelecypoda
Ki = Kerapatan Jenis ke-i
Tabel
ni = Jumlah total individu dari jenis ke-i
ditemui kerapatan
Dari
jenis Gafrarium tumidum yang banyak
sampel (m2) Hubungan
memperlihatkan
semua jenis pelecypoda yang ditemukan
A = Luas area total pengambilan
8.
2
I
dibandingkan
spesies
lainnya
dengan jumlah 128 spesies. Spesies ini
lamun
dengan kepadatan pelecypoda
dijumpai pada tiap titik sampling dengan
Data
disajikan
jumlah yang lebih besar dibandingkan
dalam bentuk tabel dan grafik, kemudian
dengan spesies lainnya. Banyaknya spesies
data tersebut dianalisis dengan analisis
Gafrarium tumidum yang ditemui pada tiap
regresi sederhana (Fitriyah, 2007).
lokasi pengamatan diduga bahwa spesies ini
yang
diperoleh
mempunyai kemampuan adaptasi terhadap
Y = a + bX Keterangan:
berbagai faktor pembatas yang ada di daerah
Y
= Sebaran pelecypoda
intertidal seperti fluktuasi periodik salinitas,
X
= Kerapatan lamun
kondisi oksigen yang minimalis, dan daya
a
= Titik potong (intercept)
tahan terhadap hempasan ombak dengan
b
= Slope
7
cangkang yang tebal serta ukuran tubuhnya
aliran sungai, sehingga bahan-bahan organik
lebih kecil dibanding spesies yang lain.
secara langsung masuk ke perairan yang
Stasiun 1 merupakan lokasi yang
terbawa oleh aliran sungai dan mendukung
banyak dijumpai jenis-jenis pelecypoda. Hal
untuk
peningkatan
unsur
ini dikarenakan kondisi substrat yang lebih
ekosistem lamun serta jenis substrat yang
halus yang memang diminati oleh jenis-jenis
halus.
pelecypoda. Menurut Robberts et al (1982)
menyebutkan bahwa unsur hara dalam
dalam Hidayat et al (2004) menyebutkan
ekosistem lamun tidak hanya diciptakan oleh
bahwa jenis substrat halus bahkan lumpur
ekosistem itu sendiri, tetapi juga berasal dari
merupakan media yang paling disukai jenis
sungai atau daratan. Selain itu, stasiun 1
pelecypoda untuk hidup.
merupakan lokasi dengan kondisi lamun
Menurut
hara
Alirman
dalam
(2005)
yang rapat. Unsur hara dalam ekosistem B.
Kepadatan pelecypoda Kepadatan
padang
pelecypoda
selama
ekosistem
pengamatan mempunyai nilai yang berbeda di
masing-masing
stasiun.
lamun itu
dapat
dihasilkan
sendiri,
senada
oleh dengan
pernyataan yang dikemukakan oleh Short
Kepadatan
(1987) dalam Hasanuddin (2013) yang
tertinggi diperoleh pasa stasiun 1 sebanyak
menyebutkan
36 ind/m2, tertinggi kedua yaitu diperoleh
bahwa
unsur
hara
yang
terdapat dalam ekosistem lamun dipengaruhi
pada stasiun 2 sebanyak 28 ind/m2, dan
oleh hasil dekomposisi dari daun-daun
kepadatan terendah diperoleh pada stasiun 3
lamun yang membusuk.
sebanyak 20 ind/m2 (Tabel 3).
C.
Tabel 3. Tingkat kepadatan pelecypoda di perairan Kepadatan N (Ind/m2) Jenis Pelecypoda o I II III 1 Anadara antiquata 108 84 80 2 Meretrik meretrik 104 68 28 Gaffrarium 3 126 88 72 pecktinatum Gaffrarium 4 228 140 144 tumidum Meretrix 5 68 68 40 petechialis 6 Tapes decussatus 52 60 32 7 Circle scripta 84 80 56 Tapes balcheri 8 128 128 100 sowerby 9 Dosinia exoleta 96 32 36 Megapitaria 10 80 92 8 aurantiaca Total 36 28 20
Keanekaragaman, keseragaman, dominansi
Tabel 4. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi No Stasiun H’ E D 1 I 3.2 0.96 0.12 2 II 2.81 0.84 0.07 3 III 2.15 0.65 0.04 Tabel 4 menjelaskan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis yang diperoleh selama pengamatan yaitu stasiun 1 sebesar 3,2, stasiun 2 sebesar 2,81, dan stasiun 3 sebesar 2,15. Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman jenis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah jenis atau spesies yang didapat, adanya individu yang didapat melebihi jumlah individu
Tabel
3
menjelaskan
bahwa
lainnya, kondisi homogenitas substrat, dan
Tingginya kepadatan yang diperoleh pada
kodisi dari ekosistemnya (padang lamun)
stasiun 1 karena daerah tersebut terdapat
8
sebagai habitat dari fauna (Daget, 1976 dalam Arbi, 2011). Nilai indeks keseragaman (E) yang diperoleh yaitu stasiun 1 sebesar 0,96, stasiun 2 sebesar 0,84,dan stasiun 3 sebesar 0,65. Berdasarkan kategori menurut Krebs
N o
Stasiun
Id
1. 2. 3.
I II III
0.94 0.91 0.89
Kategori Uji Chi Square X2 hitung X2 tabel (95%) 12.52 42.56 10 13.08
(1985) dalam Rasid (2012), maka hasil
Berdasarkan nilai id yang tertera
perhitungan yang diperoleh menunjukkan
pada tabel 5 terlihat bahwa stasiun 1 nilai id
bahwa ketiga stasiun pengamatan memiliki
sebesar 0,94, stasiun 2 nilai id sebesar 0,91,
tingkat
tinggi.
dan stasiun 3 nilai id sebesar 0,89. Jika
Semakin kecil nilai indeks keseragaman
dilihat dari hasil perhitungan indeks dispersi
jenis, mengindikasikan bahwa penyebaran
morisita nilai id yang diperoleh <1 artinya
jenis tidak seragam atau merata, sedangkan
pola
semakin besar nilai indeks keseragaman
mengelompok. Namun, dalam hitungan
jenis maka penyebaran jenis ralatif seragam.
statisik nilai id yang diperoleh masih
Nilai indeks dominansi (D) pada
tergolong dalam kriteria = 1 yang berarti
masing-masing stasiun diperoleh satsiun 1
pola sebaran pelecypoda adalah acak. Untuk
sebesar 0,12, stasiun 2 sebesar 0,07, dan
melihat pola sebaran pelecypoda, maka
stasiun 3 sebesar 0,04. Hasil penelitian
dilakukan uji Chi square, dimana uji Chi
menunjukkan bahwa nilai indkes dominansi
square ini untuk membandingkan hasil dari
kecil 0,4 yang artinya dominansi di ketiga
perhitungan
lokasi pengamatan rendah. Secara umum,
perhitungan uji Chi square menunjukkan
kekayaan jenis pelecypoda dipengaruhi oleh
bahwa stsiun 1, stsiun 2, dan stasiun 3
banyak
berkaitan,
memiliki nilai x2 hitung lebih kecil dari x2
terutama faktor kualitas lingkungan baik
tabel yang menyatakan bahwa ketiga stsiun
fisika maupun kimia dan kondisi dari
pengamatan pola sebaran pelcypoda bersifat
ekosistemnya sendiri. Rendahnya tingkat
acak. Menurut Indardjo dan Muslim (1997)
dominansi pelecypoda di perairan Desa
dalam Riniatsih (2007) menyatakan bahwa
Teluk Bakau di duga tiap titik sampel
penyebaran individu secara acak dapat
pengamatan terdapat jenis yang beragam dan
terjadi
distribusi jenis disetiap titik sampel dalam
seragam dan tidak ada kecenderungan dari
suatu komunitas terdistribusi atau tersebar
organisme tersebut untuk bersama-sama.
keseragaman
faktor
yang
populasi
saling
sebaran
jika
pelecypoda
indeks
habitat
adalah
dispersi.
dalam
Hasil
keberadaan
secara merata. E. D.
Jenis dan jumlah tegakan lamun Hasil pengamatan terhadap jenis
Pola Sebaran Pelecypoda Nilai indeks dispersi (Id) pola
lamun di Perairan Desa Teluk Bakau,
penyebaran pelecypoda yang terdapat di
ditemukan 8 jenis lamun. Masing-masing
perairan Desa Teluk Bakau yaitu (Tabel 5)
jenis yang ditemukan secara rinci disajikan
Tabel 5. Pola sebaran pelecypoda
dalam Tabel 6.
9
Pola Sebaran
Acak Acak Acak
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 6. Jenis dan jumlah tegakan lamun Jenis lamun Stasiun I II III Syringodium iseotifolium Holophila spinulosa Holodule pinifolia Holodule uninervis Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Total
50 57 38 57 84 91 98 150 625
35 19 39 48 61 79 90 168 539
Tabel 7. Kerapatan Lamun No Jenis lamun
Stasiun II III
I
0 5 36 0 55 56 65 141 358
1 2 3 4 5 6 7 8
Syringodium iseotifolium Hilophila spinulosa Holodule pinifolia Holodule uninervis Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Total
Terlihat pada tabel 6 bahwa lamun
Tabel
7
200 228 152 228 336 364 392 600 83
menjelaskan
140 76 156 192 244 316 360 672 72
bahwa
yang ditemui di perairan Desa Teluk Bakau
kerapatan lamun di stasiun 1 lebih tinggi
pada saat penelitian terdiri dari 8 jenis.
dibandingkan stasiun 2 dan stasiun 3.
Stasiun 1 jumlah tegakan lebih banyak
Tingginya kerapatan lamun di stasiun 1 tidak
dijumpai dibandingkan stasiun 2 dan stasiun
lepas dari banyaknya jumlah tegakan yang
3. Hal ini diduga stasiun 1 merupakan
didapatkan di daerah tersebut. Selain itu,
daerah yang dekat dengan aliran sungai.
jenis
Diketahui
merupakan
kerapatan lamun. Substrat yang memiliki
penghantar zat hara dari daratan menuju laut
karakteristik yang halus lebih disukai lamun
yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan
untuk tumbuh dibandingkan substrat yang
biota laut untuk melangsungkan hidupnya.
memiliki karakteristik yang kasar, karena
Selain itu, unsur hara di perairan tidak hanya
substrat yang halus lebih mengandung unsur
berasal dari daratan, tetapi juga berasal dari
hara yang tinggi dari pada substrat yang
ekosistem itu sendiri atau daun lamun yang
kasar. Senada dengan pernyataan yang
telah membusuk.
dikemukakan oleh Erftmeijer (1993) dalam
yang
bahwa
sungai
substrat
juga
berpengaruh
untuk
Enhalus acoroides merupakan jenis
Steven (2013) menyebutkan bahwa semakin
sangat
ditemukan
kecil ukuran butiran substrat, maka akan
Menurut
semakin besar pula ketersediaan unsur hara
dibandingkan
mendominasi jenis
lainnya.
Tomascik et al (1997) dalam Hasanuddin
pada substrat tersebut.
(2013) menyatakan bahwa lamun jenis
Kerapatan
yang
tertinggi
dari
Enhalus acoroides merupakan jenis lamun
masing-masing stasiun pengamatan berbeda-
yang umum ditemui di daerah tropis dan
beda, hal ini berkaitan dengan substrat yang
tumbuh
berbeda pula. Menurut Kneer (2006) dalam
pada
sedimen
lumpur
hingga
sedimen kasar.
Faradilla
(2012)
menyatakan
bahwa
kerapatan jenis lamun disebabkan oleh F.
Tingkat Kerapatan Lamun
substrat yang berbeda.
Hasil penelitian diperoleh kerapatan lamun yang tertinggi pada stasiun 1 sebesar 83 individu/m2. Nilai kerapatan lamun lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 7.
10
0 20 144 0 220 224 260 565 48
G.
Hubungan
kerapatan
keanekaragaman, keseragaman, dan
lamun
dengan kepadatan pelecypoda
dominansi. Keanekaragaman pada
Analisis hubungan kerapatan lamun
stasiun 1 diperoleh sebesar 3,2
dengan kepadatan pelecypoda dilakukan
tergolong
dengan
diperoleh
menggunakan
regresi
linier
tinggi, 2,81
stasiun
dan
stasiun
2 3
sederhana. Hasil analisis dilakukan dengan
diperoleh 2,15 tergolong sedang.
memasukkan secara keseluruhan nikai-nilai
Nilai
dari
diperoleh 0,96, stasiun 2 diperoleh
data
variabel
pengamatan
yang
dilakukan.
keseragaman
stasiun
1
0,84 dan stasiun 3 diperoleh 0,65 di
Berdasarkan hasil analisis regresi
mana ke tiga stasiun keseragaman
linear sederhana diperoleh nilai koefisien
tergolong tinggi, selanjutnya nilai
2
Determinasi (R ) sebesar ≈72%, artinya
dominansi pada stasiun 1 diperoleh
bahwa variabel bebas (kerapatan lamun)
0,12, stasiun 2 diperoleh 0,07 dan
mampu
terikat
stasiun 3 diperoleh 0,04 di mana
72%,
ketiga stasiun dominansi tergolong
menjelaskan
(kepadatan
pelecypoda)
variabel sebesar
sedangkan sisanya dipengaruhi faktor-faktor
rendah.
lain di perairan. Adapun persamaan regresi
2.
Pola sebaran pelecypoda di perairan
yang diperoleh dari perhitungan yaitu:
Desa Teluk Bakau bersifat acak
Y
dengan nilai Id pada stasiun 1
= a + bX
Kepadatan pelecypoda (Y) = 5,34 + 0,25 X
diperoleh sebesar 0,94, stasiun 2
Berdasarkan hasil uji reresi tersebut
diperoleh sebesar 0,91, dan stasiun
menunjukkan bahwa nilai intercep atau titik
3 diperoleh sebesar 0,89
potong diperoleh sebesar 5,34 artinya jika
3.
kerapatan lamun nilainya 0, maka nilai
Hasil
analisis
regresi
linear
sederhana diperoleh nilai koefisien
kepadatan pelecypoda positif sebesar 5,34. Determinasi (R2) sebesar ≈72%,
Koefisien regresi variabel kerapatan lamun (X) diperoleh sebesar 0,25 artinya jika
artinya
kerapatan lamun mengalami kenaikan satu
bahwa
(kerapatan
variabel
lamun)
bebas mampu
satuan, maka kepadatan pelecypoda akan menjelaskan
mengalami kenaikan pula sebesar 0,25 satuan.
(kepadatan
V.
PENUTUP
A.
Simpulan
72%,
variabel pelecypoda)
sedangkan
terikat sebesar sisanya
dipengaruhi faktor-faktor lain di
Hasil penelitian yang diperoleh,
perairan Dan nilai intercep atau
maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
titik potong diperoleh sebesar 5,34
Struktur komunitas pelecypoda di perairan
Desa
Teluk
Bakau
artinya
tergolong baik, terlihat pada nilai
jika
kerapatan
lamun
nilainya 0, maka nilai kepadatan
11
pelecypoda positif sebesar 5,34.
Fachrul.,
lamun (X) diperoleh sebesar 0,25 jika
kerapatan
Metode
Sampling
Bioekologi. Penerbit Bumi Aksara
Koefisien regresi variabel kerapatan
artinya
2006.
Faradilla, Mona., 2013. Hubungan Nitrat dan Fhosfat Terhadap Biomassa
lamun
Lamun di Perairan Desa Malang mengalami kenaikan satu satuan,
Rapat Kecamatan Gunung Kijang
maka kepadatan pelecypoda akan
Kabupaten
Bintan
Kepulauan
mengalami kenaikan pula sebesar
Riau.
Provinsi
Skripsi
Ilmu
Kelautan Umrah. Tanjungpinang 0,25 satuan. Fitriyah, K., 2007. Studi Pencemaran Logam B.
Berat Kadmium (Cd) Merkuri (Hg),
Saran
dan Timbal (Pb) pada Air Laut,
Perlu diteliti lebih lanjut megenai faktor
lain
yang
berhubungan
Sedimen,
dengan
disedimen
dan
Kerang
Bulu
(Anadara antuquata) di Perairan
kepadatan pelecypoda seperti kandungan nutrien
dan
pantai Lekok Pasuruan. Universitas
parameter
Islam Negeri
lingkungan lainnya.
Hasanuddin, R., 2013. Hubungan Antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun
DAFTAR PUSTAKA
Enhalus Acoroides dengan Substrat Arbi,
U.,
2011.
Mollusca
Struktur di
Komunitas
Padang
dan Nutrien di Pulau Sarappo
Lamun
Lompo. Kab. Pangkep. Skripsi Ilmu
Perairan Pulau Talise, Sulawesi
Kelautan Hasanuddin. Makassar
Utara. Oseanografi dan Limnologi Indonesia
Hidayat,
Baskoro,
Sopiany.,
2013.
StrukturKomunitas Mollusca Bentik Alirman afu, La ode., 2005. Pengaruh
Berbasis Kekeruhan di Perairan
Limbah Organik Terhadap Kualitas
Pelabuhan
Perairan Teluk Kendari Sulawesi
Tanjung
Emas
Semarang. Universitas Diponegoro.
Tenggara. Program Studi Ilmu dan Teknologi Perikanan
Kelautan, dan
Ilmu
Fakultas
Indrayanti.,Widianingsih., Riniatsih., 2003.
Kelautan,
Kajian Potensi Kerang-Kerangan
Institut Pertanian Bogor.s
(Bivalvia)
dan
Siput
Laut
(Gastropoda) di Ekosistem Padang Azkab., 2000. Struktur dan Fungsi pada Komunikasi Biologi
Lamun. Laut,
Lamun
Balitbang
Perairan
Universitas Diponegoro
Puslitbang
Oseanologi-LIPI. Jakarta
12
Jepara.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup.,
Wati, Kurnia, T., 2012. Keanekaragaman Gastropoda Dipadang Lamun Perairan Desa Pengudang Kabupaten Bintan. Jurusan Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji.
2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Deputi MENLH Bidang Kebijakan
dan
Kelembagaan
Lingkungan Hidup. Jakarta
Pengelolaan. Laruba, S., 2011. Indeks Keanekaragaman Jenis
Pelecypoda
Hutan
Di
Kawasan
Mangrove
Desa
Bulalokecamatan Kabupaten
Kwandandang
Gorontalo
Utara.
Universitas Gorontalo Rasid, M., 2012. Pola Sebaran dan Densitas Populasi Kerang Bulu di Pantai Kawal Bintan Kepulauan Riau. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang Kepulauan Riau.
Riniatsih, Ita., 2007. Kelimpahan dan Pola Sebaran
Kerang-kerangan
(Bivalvia) di Ekosistem Padang Lamun Perairan Jepara. Jurusan Ilmu
Kelautan
dan
Perikanan.
Universitas Diponegoro. Steven.,
2013.
Pengaruh
Perbedaan
Substrat Terhadap Pertumbuhan Semaian dari Biji Lamun Enhalus acoroides. Universitas Hasanuddin, Makassar. Syafikri, 2008., Struktur Komunitas Bivalvia dan Gastropoda di Perairan Muara Sungai
Kerian
dan
Simbat.
Universitas Diponegoro
13