917
Distribusi spasial pirit pada lahan tambak di Kecamamtan Bontoa ... (Kamariah)
DISTRIBUSI SPASIAL PIRIT (FeS2) PADA LAHAN TAMBAK DI KECAMATAN BONTOA KABUPATEN MAROS PROVINSI SULAWESI SELATAN Kamariah, Anugriati, Makmur, dan Mat Fahrur Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kecamatan Bontoa merupakan wilayah yang terdiri atas pesisir dan topografi datar. Pada umumnya kondisi lahan di Kecamatan Bontoa adalah daerah dataran rendah sebagian besar digunakan/dimanfaatkan sebagai lahan tambak, sawah tadah hujan, dan untuk pertanian padi sawah dan palawija. Tanah sulfat masam biasanya dapat dijumpai pada kondisi lahan seperti ini, terutama daerah sekitar pantai atau sungai-sungai besar dan biasanya masih mendapat pengaruh dari pasang-surutnya air laut. Tanah sulfat masam adalah nama umum yang diberikan kepada tanah atau sedimen yang mengandung pirit. Banyaknya masalah yang ditimbulkan oleh pirit menunjukkan bahwa umumnya produktivitas tambak masih tergolong rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran pirit yang terdapat di lahan tambak Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros yang selanjutnya berguna sebagai informasi lahan yang perlu dikelola atau diremediasi untuk mengurangi kemasaman tanah. Sebanyak 52 titik pengukuran dan contoh tanah telah diambil secara acak sederhana. Hasil penelitian menunjukkan kandungan pirit yang relatif tinggi dijumpai di bagian utara Kecamatan Bontoa yaitu di Desa Ampekale dan Desa Tuppabiring. Tingginya kandungan pirit didesa-desa tersebut karena masih dipengaruhi oleh pasang-surut sehingga meninggalkan endapan liat dari sungai begitu pula dari akar bakau, juga sebagai akibat kandungan bahan organik yang merupakan sumber karbon bagi bakteri dalam pembentukan pirit. Kandungan pirit yang relatif rendah di Desa Pajukukang dan Desa Bonto Bahari yang kebanyakan tambaknya merupakan konversi dari sawah. KATA KUNCI:
distribusi spasial, tanah, tambak, Kabupaten Maros
PENDAHULUAN Kabupaten Maros merupakan salah satu wilayah pemerintahan di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan jarak sekitar 30 km dari Kota Makassar. Kabupaten Maros memiliki empat kecamatan pesisir dengan luas wilayah secara keseluruhan 1.613,11 km2; dengan potensi sumberdaya alam yang dapat dijadikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat dan daerah apabila dikelola secara baik dan benar. Salah satu kecamatan pesisir di Kabupaten Maros yaitu Kecamatan Bontoa, merupakan lokasi kawasan minapolitan untuk pengembangan perikanan budidaya (Pemerintah Kabupaten Maros, 2011). Secara geografis Kecamatan Bontoa terletak pada posisi 119o30’36"–119o 39’00" BT dan 4o53’24"– 4o57’36" LS. Luas wilayah Kecamatan Bontoa secara keseluruhan adalah 6.877,17 ha. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Lau dan Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar. Kecamatan Bontoa merupakan wilayah yang terdiri atas pesisir dan topografi datar, pencaharian penduduk sebagian besar adalah sektor pertanian dan sub sektor perikanan. Luas wilayah di Kecamatan Bontoa, dengan jumlah 8 desa dan 1 kelurahan, adalah 6.877,17 ha. Luas lahan berpengairan semiteknis di Desa Bontoa seluas 4,50 ha; sedang di Desa Bonto Bahari 55,50 ha dan luas tadah hujan di Kecamatan Bontoa 1.667,82 ha. Adapun luas lahan bukan sawah yaitu tambak 2.540,99 ha dan hutan rakyat 24,00 ha. Luas area potensi perikanan tahun 2009 adalah 2.887,88 ha (Pemerintah Kabupaten Maros, 2011). Pada umumnya kondisi lahan di Kecamatan Bontoa adalah daerah dataran rendah sebagian besar digunakan/dimanfaatkan sebagai lahan tambak, sawah tadah hujan dan untuk pertanian padi sawah
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
918
dan palawija (Pemerintah Kabupaten Maros, 2011). Tanah sulfat masam biasanya dapat dijumpai pada kondisi lahan seperti ini, terutama daerah sekitar pantai atau sungai-sungai besar dan biasanya masih mendapat pengaruh dari pasang-surutnya air laut. Letak lokasi lahan tambak penelitian berada di sekitar areal persawahan, pemukiman penduduk, dan berbatasan langsung dengan tepi pantai. Tanah sulfat masam adalah nama umum yang diberikan kepada tanah atau sedimen yang mengandung pirit (FeS2) (Dent, 1986; Sammut & Lines-Kelly, 2000; Lin et al., 2004; Schaetzl & Anderson, 2005) yang terbentuk dari hasil endapan laut yang mengandung sulfat kemudian bersenyawa dengan besi. Pirit bersifat stabil dan tidak menimbulkan masalah bagi organisme jika berada dalam kondisi anaerob (Madsen et al., 1985, White et al., 1995; 1997; Smith et al., 2003; Shamshuddin et al., 2004; Orndorff et al., 2008), tetapi jika tanah sulfat masam dikeringkan, maka pirit akan mengalami oksidasi sehingga menyebabkan terbentuknya senyawa H2SO4 yang dapat meningkatkan kemasaman tanah. Berikut adalah persamaan reaksi yang menggambarkan terjadinya oksidasi pirit dan menyebabkan pemasaman tanah (Konsten et al., 1994, Simon et al., 2005): 2 FeS2 + 7 O2 + 2 H2O 2 Fe 2+ + 4 H2SO4 Dengan kondisi yang sangat masam dan lingkungan yang sering tergenang (reduktif) maka tanah sulfat masam memiliki tingkat kesuburan yang rendah yang disebabkan rendahnya kandungan unsur hara dan tingginya kandungan unsur toksit sehingga produktivitas tambak sangat rendah. Banyaknya masalah yang ditimbulkan oleh pirit yang menandakan keberadaan tanah sulfat masam, dari hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa umumnya produktivitas tambak masih tergolong rendah. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan ketersediaan unsur haranya yang rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran pirit yang terdapat di lahan tambak Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros yang selanjutnya berguna sebagai informasi lahan yang perlu dikelola atau diremediasi untuk mengurangi kemasaman tanah agar pemanfaatan lahan tambak bisa optimum sehingga lebih meningkatkan produksi. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 dan bulan Maret sampai Juni 2011 di 4 desa yaitu Desa Ampekale, Tuppabiring, Pa’jukukang, dan Bonto Bahari di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Sebanyak 52 titik pengukuran dan contoh tanah telah diambil secara acak sederhana (Gambar 1) mengikuti petunjuk Hazelton & Murphy (2009). Data yang dikumpulkan meliputi data primer berupa data tanah khususnya untuk peubah kualitas tanah sulfat masam dan data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran berbagai laporan, pustaka, dan hasil penelitian dari berbagai instansi terkait. Peta yang dikumpulkan antara lain peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 Kabupaten Maros. Untuk analisis data digunakan Peta Penutup/ Penggunaan Lahan yang digunakan berasal dari hasil klasifikasi Citra ALOS (Advanced Land Observing Satellite) AVNIR-2 (The Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type2) akuisisi 2 tahun 2005. Informasi spasial lain yang diperoleh dari data primer dan sekunder juga diintegrasikan dengan peta Penutup/ Penggunaan Lahan. Data dari peubah karakteristik tanah dianalisis dengan metode statistik klasik untuk mendapatkan minimum, maksimum, rata-rata, standar deviasi, pada kedalaman tanah 0-20 dan 20-40 cm. Metode Kriging (Mulla & McBratney, 1999; Essington, 2004; Lin, 2008) dalam Program ArcGIS 9.3 digunakan dalam interpolasi terhadap data tanah yang ada pada kedalaman tanah 0-20 cm dan 20-40 cm. Contoh tanah diambil pada dua kedalaman tanah yaitu 0-20 cm dan 20-40 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan bor tanah, sisa tumbuhan segar, kerikil, cangkang, dan kotoran lainnya dibuang dan bongkahan besar dikecilkan dengan tangan. Peubah kualitas tanah yang diukur langsung di lapangan adalah pHF (pH tanah yang diukur di lapangan) dengan pH-meter (Watling et al., 2004), pHFOX (pH tanah yang diukur di lapangan setelah dioksidasi dengan hidrogen peroksida (H2O2) 30%) dengan pH-meter (Watling et al., 2004), dan potensial redoks dengan redox-meter (Essington, 2004). Adapun untuk peubah kualitas tanah lainnya yang selanjutnya akan dianalisis di Laboratorium Tanah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) di Maros, maka contoh tanah yang ada secepatnya dimasukkan dalam kantong plastik dan selanjutnya dimasukkan dalam cool box yang
919
Distribusi spasial pirit pada lahan tambak di Kecamamtan Bontoa ... (Kamariah)
Gambar 1. Peta titik pengambilan contoh tanah di kawasan pertambakan Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros diberi es (Watling et al., 2004), karena adanya contoh tanah yang tergolong tanah sulfat masam, contoh tanah diovenkan pada suhu 80°C-85°C selama 48 jam (Ahern et al., 2004), sedangkan contoh tanah lainnya dikeringudarakan untuk analisis bahan organik metode Walkley & Black sesuai petunjuk Sulaeman et al. (2005). Setelah kering, contoh tanah dihaluskan dengan cara ditumbuk pada lumpang porselin dan diayak dengan ayakan ukuran lubang 2 mm dan selanjutnya dianalisis. Peubah kualitas tanah sulfat masam yang dianalisis meliputi pHKCl (pH dari ekstrak KCl) (McElnea & Ahern, 2004a), pHOX (McElnea & Ahern, 2004b), SP (sulfur peroksida) (Melville, 1993; McElnea & Ahern, 2004c), SKCl (sulfur yang diekstrak dengan KCl) (Melville, 1993; McElnea & Ahern, 2004d), SPOS (SP-SKCl) (Ahern & McElnea, 2004), TPA (Titratable Peroxide Acidity atau sebelumnya dikenal dengan Total Potential Acidity) (McElnea & Ahern, 2004b), TAA (Titratable Actual Acidity atau sebelumnya dikenal dengan Total Actual Acidity) (McElnea & Ahern, 2004a), TSA (Titratable Sulfidic Acidity atau sebelumnya dikenal dengan Total Sulfidic Acidity) (TPA-TAA) (McElnea & Ahern, 2004b) dan pirit (Ahern et al., 1998a; 1998b), Fe dengan spektrofotometer (Menon, 1973). HASIL DAN BAHASAN Morfologi wilayah pesisir Kecamatan Bontoa terbentuk dari pedataran yang merupakan lereng dari lembah perbukitan yang berbatasan dengan muara sungai. Batuan penyusun geomorfologi pedataran didominasi oleh endapan aluvial, endapan rawa, batu gamping terumbu, dan tufa (Pemerintah Kabupaten Maros, 2011). Hasil analisis kualitas tanah tambak di Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Jenis tanah yang dijumpai di kawasan pertambakan Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros sebagian adalah tanah sulfat masam. Indikator awal di lapangan yaitu pengukuran peubah pH F berkisar antara 4,88 dan 7,84 dengan rata-rata 7,01±0,55 dan pH FOX berkisar antara < 0,00 dan 6,99 dengan ratarata 3,10±2,07 pada kedalaman 0-20 cm (Tabel 1). Pada kedalaman 20-40 cm, pH F berkisar antara 5,32 dan 7,52 dengan rata-rata 6,85±0,43, pHFOX berkisar antara 0,26 dan 7,54 dengan rata-rata 2,94±2,06 (Tabel 2). Terdapatnya nilai pHFOX yang lebih kecil dari 3 mencirikan adanya kemasaman sulfat (Hazelton & Murphy, 2009), begitu pula dengan pHF-pHFOX rata-rata 3,95±2,07 untuk kedalaman
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
920
Tabel 1. Hasil analisis kualitas tanah tambak pada kedalaman 0-20 cm di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros
Peubah pH F pH FOX pH F-pHFOX Potensial redox (mV) pH KCl pH OX
Rataan
Standar deviasi Maksimum Minimum
7,06 3,10 3,95 -259 6,44 2,70 334,83
0,55 2,07 2,07 94 1,29 1,68 377,73
7,84 6,99 6,76 -73 8,03 7,09 1.424,00
4,88 0,00 0,34 -436 2,74 0,68 0,00
+
2,95
10,23
56,00
0,00
+
331,88
375,88
1.415,00
0,00
0,40 2,59 2,19 5,74 9,90 1,61 2.293,6
0,27 4,80 4,74 3,81 6,57 1,69 2.073,3
1,13 35,60 35,02 13,45 23,19 6,32 4.833,0
0,07 0,23 -0,01 0,39 0,67 0,00 25,0
+
TPA (mol H /ton) TAA (mol H /ton) TSA (mol H /ton) SKCl (%) SP (%) SPOS (%) C-organik (%) Bahan organik (%) Pirit (%) Fe (mg/L)
Tabel 2. Hasil analisis kualitas tanah tambak pada kedalaman 20-40 cm di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros
Peubah pH F pH FOX pH F-pHFOX Potensial redox (mV) pH KCl pH OX
Rataan
Standar deviasi Maksimum Minimum
6,85 2,94 3,91 -242 5,67 2,55 472
0,43 2,06 2,16 123 1,71 1,99 502
7,52 7,54 6,36 22 7,86 6,81 1.578
5,32 0,26 -1,09 -450 1,38 0,56 0
+
8
18
71
0
+
464
497
1.564
-60
0,54 2,03 1,49 6,47 11,15 2,28 2433,7
0,40 1,29 1,02 4,45 7,68 2,20 2.175,7
1,99 4,35 3,10 16,58 28,59 6,98 4.850,5
0,07 0,18 -0,26 0,00 0,00 -0,27 12,0
+
TPA (mol H /ton) TAA (mol H /ton) TSA (mol H /ton) SKCl (%) SP (%) SPOS (%) C-organik (%) Bahan organik (%) Pirit (%) Fe (mg/L)
921
Distribusi spasial pirit pada lahan tambak di Kecamamtan Bontoa ... (Kamariah)
0-20 cm dan 3,91±2,16 untuk kedalaman 20-40 cm. Semakin besar nilai pH F-pHFOX menunjukkan potensi kemasaman tanah yang lebih tinggi (Mustafa et al., 2010a). Pada tanah sulfat masam, pHFpHFOX dapat melebihi nilai 5 (Mustafa & Rahmansyah, 2008). Hasil pengukuran peubah lain yang menggambarkan kemasaman tanah yaitu SKCl, SP, SPOS, TPA, & TSA. Menurut McElnea et al. (2002a; 2002b), bahwa pada tanah sulfat masam, terutama yang rendah kandungan bahan organiknya, maka TSA berkorelasi baik dengan SPOS. TSA juga mempunyai hubungan secara linier dengan kandungan pirit (Sutrisno, 1990 dalam Noor, 2004) pada tanah sulfat masam. Pirit (FeS2) merupakan ciri utama dari tanah sulfat masam. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pirit adalah jumlah bahan organik, suhu sedimen, pasokan SO4, dan bikarbonat, serta suasana an-aerob dan kandungan Fe (Dent, 1986). Kandungan pirit yang relatif tinggi dijumpai di bagian Utara Kecamatan Bontoa yaitu di Desa Ampekale dan Desa Tuppabiring (Gambar 2 dan 3). Tingginya kandungan pirit di desa-desa tersebut yang merupakan desa di sepanjang Sungai Binanga Sangkara yang berbatasan dengan Kabupaten Pangkep disebabkan karena masih dipengaruhi oleh pasang-surut sehingga meninggalkan endapan liat dari sungai begitu pula dari akar bakau. Sesuai Noor (2004) menyatakan bahwa endapan liat yang berasal dari serat sisa akar vegetasi bakau mengandung pirit yang tinggi. Juga sebagai akibat kandungan bahan organik yang merupakan sumber karbon bagi bakteri dalam pembentukan pirit. Kandungan pirit yang relatif rendah di Desa Pajukukang dan Desa Bonto Bahari (Gambar 2 dan 3) yang kebanyakan tambaknya merupakan konversi dari sawah menjadi tambak. Menurut Bowman (1993) dan White et al. (1997), bahwa konsentrasi pirit (FeS2) pada tanah masam yang teroksidasi menghasilkan asam sulfat yang merupakan asam kuat dan mampu meningkatkan kemasaman secara mendadak dalam tambak dan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Pada umumnya tambak di Kecamatan Bontoa dikelola secara tradisional dan karena musim hujan yang berkepanjangan maka kondisi tambak tergenang dan tidak pernah dikeringkan selama hampir setahun. Terdapatnya sawah tadah hujan dataran rendah yang dicirikan oleh permukaan lahan datar hingga agak berombak, dibatasi pematang, penggenangan akibat air pasang tidak kontinu dengan
Gambar 2. Peta distribusi spasial pirit tanah tambak pada kedalaman 0-20 cm di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
922
Gambar 3. Peta distribusi spasial pirit pada kedalaman 20-40 cm di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros kedalaman dan periode bervariasi (Greenland, 1997) yang telah dikonversi menjadi tambak. Menurut Greenland (1997), kondisi permukaan tanah sawah memungkinkan hara tercuci lebih cenderung tertampung kembali ke lahan bawahnya daripada keluar dari sistem tanah. Penggenangan ini menyebabkan terjadinya reduksi sulfat (H 2SO4) menjadi sulfida (H 2S) yang bersifat racun. Dalam proses reduksi Fe3+ tereduksi terlebih dahulu menjadi Fe2+ menyusul kemudian SO42- menjadi S2-. Oleh sebab itu, dalam larutan tanah selalu terdapat Fe2+ yang akan bereaksi dengan H2S yang terbentuk akibat reaksi SO42- dan terbentuk FeS yang mengendap (Patrick & Reddy, 1978). Kandungan besi ferro biasanya terdapat berlebihan pada lahan sulfat masam yang tergenang dan kosentrasinya bisa mencapai ribuan mg/L dalam larutan tanah (Abdurachman & Suriadikarta, 2000; Boyd, 1995). Haanhart & Ni (1992), menunjukkan bahwa kelarutan Fe2+ di dalam tanah sulfat masam mengikuti pola kondisi redoks tanah di mana kelarutan Fe2+ meningkat pada saat nilai redoks tanah turun dan pada saat nilai redoks tanah naik (kondisi oksidasi) maka kondisi Fe2+ menjadi sangat rendah. Menurut Mustafa et al. (2010b), kandungan pirit yang rendah dijumpai pada vegetasi sagu, padi, rumput, dan campuran. Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 di mana kandungan pirit yang rendah terdapat pada tambak bekas sawah yakni di Desa Pajukukang dan Desa Bontobahari. KESIMPULAN Kandungan pirit yang relatif tinggi dijumpai di bagian Utara Kecamatan Bontoa yaitu di Desa Ampekale dan Desa Tuppabiring. Kandungan pirit yang relatif rendah di Desa Pajukukang dan Desa Bonto Bahari yang kebanyakan tambaknya merupakan konversi dari sawah menjadi tambak. UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terima kasih kepada Saudara Rosiana Sabang, Rahmiyah, Wikra, dan Ilham atas bantuannya dalam pengambilan dan analisis sampel di Laboratorium Tanah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. DAFTAR ACUAN Ahern, C.R., McElnea, A., & Baker, D.E. 1998a. Peroxide oxidation combined acidity and sulfate. In
923
Distribusi spasial pirit pada lahan tambak di Kecamamtan Bontoa ... (Kamariah)
Ahern, C.R., Blunden, B., & Stone, Y. (Eds.) Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW. p. 4.1-4.17. Ahern, C.R., McElnea, A., & Baker, D.E. 1998b. Total oxidisable sulfur. In Ahern, C.R., Blunden, B., & Stone, Y. (Eds.) Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. 5.1-5.7. Boyd, C.E. 1995. Bottom Soil, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 348 pp. Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A Baseline for Research and Development. ILRI Publication 39. International Institute for Land Reclamation and Improvement, Wageningen, 204 pp. Essington, M.E. 2004. Soil and Water Chemistry: An Integrative Approach. CRC Press, Boca Raton, 534 pp. Greenland, D.J. 1997. The Sustainability of Rice Farming. CAB International. New York, USA and IRRI. Los Banos, Laguna Philippinies, 237 pp. Hazelton, P. & Murphy, B. 2009. Interpreting soil test results. What do all the numbers means? 2nd ed. CSIRO Publishing. Hanhart, K. & Ni, D.V. 1992. Water Management of the rice field at Hoa An, Mekong Delta, Vietnam. In Dent, D.L. & van Mesvoort, M.E.F. (Eds.) Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI publ. No. 53. Wageningen, The Netherland. Konsten, C.J.M., Breemen, N.V., Suping, S., Aribawa, I.B., & Groenenberg, J.E. 1994. Effect of flooding on pH of rice-producing, acid sulphate soils in Indonesia. Soil Science Society of America Journal, 58: 871-883. Lin, C., Wood, M., Heskins, P., Ryffel, T., & Lin, J. 2004. Controls on water acidification and de-oxygenation in an estuarine waterway, eastern Australia. Estuarine Coastal and Shelf Science, 61: 55-63. Lin, Y.P. 2008. Simulating spatial distributions, variability and uncertainty of soil arsenic by geostatistical simulations in geographic information systems. Open Environmental Sciences, 2: 26-33. Madsen, H.B., Jensen, N.H., Jakobsen, B.H., & Platou, S.W. 1985. A method for identification and mapping potentially acid sulfate soil in Jutland, Denmark. Catena, 12: 363-371. McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004a. KCl extractable pH (pHKCl) and titratable actual acidity (TAA). In Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B2-1-B2-3. McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004b. Peroxide pH (pHOX), titartable peroxide acidity (TPA) and excess acid neutralising capacity (ANCE). In Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B31-B3-7. McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004c. Sulfur-peroxide oxidation method. In Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B7-1-B7-2. McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004d. Sulfur 1M KCl extraction (SKCl). In Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B8-1-B8-2. McElnea, A.E., Ahern, C.R., & Menzies, N.W. 2002a. Improvements to peroxide oxidation methods for analysing sulfur in acid sulfate soils. Australian Journal of Soil Research, 40: 1,115–1,132. McElnea, A.E., Ahern, C.R., & Menzies, N.W. 2002b. The measurement of actual acidity in acid sulfate soils and the determination of sulfidic acidity in suspension after peroxide oxidation. AustralianJournal of Soil Research, 40: 1,133–1,157. Menon, R.G. 1973. Soil and Water Analysis: A Laboratory Manual for the Analysis of Soil and Water. Proyek Survey O.K.T. Sumatera Selatan, Palembang, 190 pp. Mulla, D.J. & McBratney, A.B. 1999. Soil Spatial Variability. In Summer, M. (Ed.). Handbook of Soil Science. Boca Raton. FL. CRC Press, p. 321-352. Mustafa, A. & Rachmansyah. 2008. Kebijakan dalam pemanfaatan tanah sulfat masam untuk budidaya tambak. Dalam Sudradjat, A., Rusastra, I.W., & Budiharsono, S. (Eds.) Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Budidaya. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta, hlm. 1-11.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
924
Mustafa, A., Rachmansyah, & Anugriati. 2010a. Distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai S POS tanah untuk tambak tanah sulfat masam di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta. ISBN 978-979-786-033-2. Buku 2. hlm. 1,109-1,121. Mustafa, A., Marsambuana, A., & Kamariah. 2010b. Keragaman kualitas tanah berdasarkan jenis vegetasi di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta. ISBN 978-979786-033-2. Buku 2, hlm. 1,093-1,107. Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta, 238 hlm. Orndorff, Z.W., Daniels, W.L., & Fanning, D.S. 2008. Reclamation of acid sulfate soils using limestabilized biosolids. Journal of Environmental Quality, 37: 1,447-1,455. Patrick, W.H. & Reddy, C.N. 1978. Chemical changes in rice soil. In Soils and Rice. IRRI, Los Banos, Philipines, p. 361-379. Pemerintah Kabupaten Maros. 2011. Laporan akhir. Master Plan, Pengembangan Kawasan Minapolitan Kabupaten Maros. Sammut, J. & Lines-Kelly, R. 2000. An Introduction to Acid Sulfate Soils. Natural Heritage Trust, Australia, 27 pp. Schaetzl, R.J. & Anderson, S. 2005. Soils: Genesis and Geomorphology. Cambridge University Press, Cambridge, 817 pp. Shamshuddin, J., Muhrizal, S., Fauziah, I., & Husni, M.H.A. 2004. Effect of adding organic materials to an acid sulfate soil on the growth of cocoa (Thebroma cacao L.) seedlings. Science of the Total Environment, 323: 33-45. Simón, M., Martin, F., Garcia, I., Bouza, P., Dorronsoro, C., & Aguilar, J. 2005. Interaction of limestone grains and acidic solutions from the oxidation of pyrite tailings. Environmental Pollution, 135: 65– 72. Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Diedit oleh: Prasetyo, B.H., Santoso, D., & Widowati, L.R. Balai Penelitian Tanah, Bogor, 136 hlm. Watling, K.M., Ahern, C.R., & Hey, K.M. 2004. Acid sulfate soil field pH test. In Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Departement of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. H1-1-H1-4. White, I., Melville, M.D., Lin, C., van Oploo, P., Sammut, J., & Wilson, B.P. 1995. Identification and management of acid sulphate soils. In Hazelton, P.A. & Koppi, A.J. (Eds.) Soil Technology - Applied Soil Science - A Course of Lecturer. Third edition. Australian Society of Soil Science Inc., NSW Branch and Department of Agricultural Chemistry & Soil Science, The University of Sydney, Sydney, p. 463-497. White, I., Melville, M.D., Wilson, B.P., & Sammut, J. 1997. Reducing acidic discharges from coastal wetlands in eastern Australia. Wetlands Ecology and Management, 5: 55-72.