Saipul Hamdi / Distribusi Lama Penyinaran Matahari di LPD Sumedang (6,91⁰ LS; 107,84⁰ BT) LAPAN
153
Distribusi Lama Penyinaran Matahari di LPD Sumedang (6,91⁰ LS dan 107,84⁰ BT) LAPAN Saipul Hamdi dan Sumaryati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung 40173
[email protected]
Abstrak – Telah dilakukan analisa statistik untuk mengetahui distribusi lama penyinaran matahari harian pada bulanbulan basah, kering, dan peralihan. Lama penyinaran matahari diukur di Loka Pengamatan Dirgantara Sumedang Jawa Barat (6,91⁰ LS dan 107,84⁰ BT, 864 m dpl) menggunakan Campbell Stokes Recorder selama 15 tahun atau n = 4.464 hari data (1999-2013). Dengan menggunakan frekuensi kejadian terbanyak diperoleh kesimpulan bahwa pada bulan-bulan basah lama penyinaran matahari didominasi oleh penyinaran yang singkat yaitu 0-1 jam/hari dengan frekuensi kejadian sebesar 24% sedangkan pada bulan-bulan kering didominasi oleh penyinaran yang panjang yaitu 9 jam/hari dengan fekuensi kejadian sebesar 18%. Pada bulan-bulan peralihan lama penyinaran matahari terdistribusi secara merata hingga (1-10 jam/hari) dari panjang siang hari sekitar 12 jam/hari . Tidak ditemukan hubungan yang langsung antara lama penyinaran matahari dengan panjang siang hari di tempat pengukuran, karena lama siang hampir sama sepanjang tahun. Kata kunci: lama penyinaran matahari, Campbell Stokes Recorder Abstract – A statistical analysis has been used to explain the distribution of sun shine duration in wet season, dry season, and cool/mild season. The Sun shine duration is measured at Loka Pengamatan Dirgantara Sumedang West Java (6.91⁰ S, 107.84⁰ E, 864 m msl) by using Campbell Stokes Recorder within 15 years, or n = 4,464 days data (19992013). From the most frequent occurrence drives conclusion that the wet season is dominated by shorter time of sun shine duration (0-1 hours/day) in 24% of events, while the dry season is dominated by longer time of sun shine duration in 18% of events. In cool/mild season, sun shine duration is distributed fairly 1-10 hours/day in duration of day 12 hours/day. It is not found direct relationship between the sun shine duration and duration of day at location of measurement because the duration of a day is similar relatively in a year. Keywords: sun shine duration, Campbell Stokes Recorder I. PENDAHULUAN Energi total radiasi matahari yang diterima oleh permukaan bumi ditentukan oleh beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut: (i) Jarak bumimatahari (ii) sudut datang matahari (iii) panjang siang dan (iv) pengaruh atmosfer. Energi yang memasuki atmosfer bumi merupakan energi yang datang melalui proses radiasi, dan besarnya berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Jarak bumi-matahari sepanjang tahun tidaklah tetap melainkan bergantung pada waktu karena orbit bumi mengelilingi matahari berbentuk ellips dan memiliki eksentrisitas orbit sebesar 0,0167. Jarak terdekat (perihelion) terjadi setiap tanggal 3 Januari, sedangkan jarak terjauhnya (aphelion) terjadi setiap tanggal 3 Juli. Faktor yang kedua adalah sudut datang sinar matahari yang menyebabkan lintasan yang dilalui oleh radiasi matahari menjadi lebih panjang ketika sinar matahari datang tidak tegak lurus (90⁰) terhadap bidang permukaan bumi. Semakin bertambah kemiringan sudut datang sinar matahari maka semakin berkurang energi matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Selain disebabkan lebih panjangnya lintasan yang dilalui oleh sinar matahari, juga karena sinar matahari tersebar ke
permukaan yang lebih luas. Kemiringan sudut ini disebut sebagai sudut zenith matahari. Panjang siang merupakan faktor ketiga yang memengaruhi besar (jumlah) energi matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Akibat adanya deklinasi sebesar 23,5⁰ menyebabkan panjang siang dan malam dalam satu tahun tidaklah tetap. Faktor keempat adalah pengaruh atmosfer bumi. Ketika memasuki atmosfer bumi maka cahaya matahari akan mengalami beberapa proses antara lain pemantulan, penghamburan, dan penyerapan. Proses-proses tersebut sangat bergantung pada komposisi atmosfer, terutama aerosol, ozon stratosfer, kandungan uap air atau awan, serta senyawa-senyawa kimia lainnya (GRK dan lainlain). Uap air diketahui memiliki daya yang kuat dalam melemahkan sinar matahari, sedangkan ozon hanya memiliki daya serap yang kuat pada pita gelombang ultraviolet. Sebagian energi matahari dimanfaatkan untuk menggerakkan proses-proses fotokimia termasuk menghangatkan atmosfer. Tulisan ini dibuat untuk menggambarkan distribusi (pola) lama penyinaran matahari yang diukur di Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang pada periode
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823
154
Saipul Hamdi / DistribusiLama Penyinaran Matahari di LPD Sumedang ( 6,91⁰ LS ; 107,84⁰ BT) LAPAN
1998-2013 berdasarkan 4 kategori musim yaitu musim basah (DJF = Desember Januari Februari), musim peralihan (MAM = Maret April Mei, SON = September Oktober November) dan musim kering (JJA = Juni Juli Agustus). II. LANDASAN TEORI Ketika memasuki atmosfer bumi, sinar matahari mengalami interaksi dengan bahan-bahan penyusun atmosfer bumi misalnya ozon, uap air, karbondioksida, debu, dan lain-lain. Pada saat langit bersih (clear day) dan matahari berada pada zenithnya maka penyerapan total radiasi matahari oleh uap air dan karbondioksida adalah sebesar 6-8 % dari konstanta matahari [1]. Insolasi adalah radiasi matahari yang tiba di permukaan bumi tiap satuan waktu dan luas, atau dikenal juga sebagai radiasi global [2]. Berdasarkan definisi yang dikeluarkan oleh WMO bahwa lama penyinaran matahari didefinisikan sebagai kekuatan insolasi yang melebihi batas 120 watt/m2 [3]. Lama penyinaran matahari dihitung dalam satuan jam/hari yaitu lamanya matahari menyinari bumi dalam periode satu hari yang disebut juga sebagai panjang siang yaitu lamanya matahari berada pada horizon. Semakin jauh letak tempat dari garis ekuator maka fluktuasi lama penyinaran matahari akan semakin besar [4]. Energi yang berasal dari sinar matahari memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan di planet bumi ini, baik bagi manusia, hewan, tanaman, dan lingkungan sekitar termasuk bumi itu sendiri. Bagi tanaman sinar matahari bermanfaat untuk melangsungkan proses fotosintesa untuk membuat makanan. Demikian juga bagi manusia dan hewan yang berdampak secara langsung dan tidak langsung. Bagi bumi itu sendiri, tanpa energi dari matahari maka akan terjadi kepunahan kehidupan karena bumi tidak dapat mempertahankan kehangatannya. Di bidang pertanian, energi radiasi matahari memegang peranan yang sangat penting karena menjadi sumber energi bagi tanaman dalam proses fotosintesa yang mengubah energy matahari menjadi energy kimia. Selain itu, keseimbangan air bagi tanaman diatur melalui proses evaporasi [5]. Variasi iklim lokal berpengaruh langsung terhadap distribusi radiasi matahari di Indonesia [6]. Hal ini berkaitan dengan jumlah uap air yang tersedia di atmosfer dan berpotensi menahan laju sinar matahari, terlebih jika disertai dengan turunnya hujan. Secara umum, kondisi atmosfer yang menyimpang dari keadaan standar dapat dinyatakan dengan bilangan kebeningan atmosfer [7]. Kebeningan atmosfer berkaitan erat dengan kekeruhan atmosfer yang banyak dipengaruhi oleh senyawa kimia, debu, uap air, dan lain-lain. Selain dipengaruhi oleh keadaan atmosfer, radiasi matahari juga dipengaruhi oleh aktivitas matahari yang dinyatakan dengan bintik matahari. Semakin tinggi aktivitas matahari, yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya bintik, maka semakin besar pula iradiasi matahari dan sebaliknya [8].
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Periode Data pengukuran lama penyinaran matahari yang digunakan di dalam tulisan ini adalah data tahun 1998 hingga 2013, berasal dari Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang (Jawa Barat). Loka pengamatan ini terletak pada ketinggian 864 meter dari permukaan laut dan memiliki koordinat geografis 6,91⁰ LS dan 107,84⁰ BT. Tidak ada industri berat di sekitar tempat pengukuran ini yang akan mengubah kecerahan atmosfer secara kuat, demikian juga aktivitas transportasi. Lingkungan di sekitar tempat pengukuran ini masih berupa persawahan dan banyak pepohonan sehingga kualitas udaranya relatif lebih bersih. B. Pemilahan Data Sebelum data hasil pengukuran diolah, dilakukan terlebih dahulu penyaringan data untuk menghilangkan data-data yang tidak layak pakai. Hasilnya, data pengukuran lama penyinaran matahari pada tahun 2005 tidak dapat digunakan karena adanya kesalahan teknis yang menyebabkan data tersebut tidak bisa dipercayai kebenarannya. Pada tahun-tahun tertentu tidak ditemukan adanya pengukuran pada hari minggu dan hari libur sehingga jumlah hari data dalam tahun tersebut menjadi berkurang banyak, dan menyebabkan persentasi jumlah hari data pun menjadi mengecil. Selain itu, pada tahuntahun tertentu ditemukan juga kekosongan data yang diakibatkan oleh habisnya persediaan kertas recorder sehingga semakin mengurangi jumlah hari data. Pengukuran dilakukan setiap hari sejak pukul 6 pagi hingga 18 sore atau dengan perkiraan panjang hari sebesar 12 jam/hari. C. Pengolahan Data Data hasil pengukuran diklasifikasikan berdasarkan tahun dan musimnya. Dipilih empat musim yang bersesuaian dengan kriteria musim dari BMKG yaitu musim hujan (DJF = Desember-Januari-Februari), musim peralihan (MAM = Maret-April-Mei, dan SON = September-Oktober-Nopember), dan musim kering (JAJ = Juni-Juli-Agustus). Pengelompokan tersebut dilakukan pada tiap-tiap tahun untuk mengetahui pola dasar lama penyinaran matahari, dan dapat dikaitkan dengan kejadian-kejadian El-Nino dan La-Nina. Setelah dilakukan pengelompokan berdasarkan musim untuk tiap-tiap tahun data, data-data tersebut dikelompokkan lagi menjadi satu kelompok besar berdasarkan musimnya untuk mengetahui distribusi penyebaran lama penyinaran matahari selama 15 tahun data. Jumlah data untuk tiap-tiap musim selama 15 tahun adalah tidak sama karena ditemukan banyak data yang tidak bisa diyakini kebenarannya. Data kemudian dihitung frekuensi kemunculannya untuk tiap-tiap interval data (Tabel 3.1).
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823
155
Saipul Hamdi / Distribusi Lama Penyinaran Matahari di LPD Sumedang (6,91⁰ LS; 107,84⁰ BT) LAPAN
7 8 9 10 11 12
Lama Penyiaran (jam)
6,1 – 7,0 7,1 – 8,0 8,1 – 9,0 9,1 – 10,0 10,1 – 11,0 11,1 – 12,0
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 4.1 adalah persentasi jumlah hari data tiap-tiap tahun yang digunakan di dalam tulisan ini. Persentasi dihitung dari jumlah total hari dalam 1 tahun. Tidak ada data yang digunakan untuk tahun 2005 seperti telah dijelaskan sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian besar tahun (12 tahun) memiliki jumlah data lebih dari 75% sehingga diharapkan betul-betul dapat menggambarkan keadaan yang cukup baik untuk rentang waktu selama 15 tahun. Pada saat tulisan ini dibuat, belum diperoleh data penyinaran matahari untuk triwulan terakhir tahun 2013 sehingga persentasi jumlah data tahun 2013 hanya sebesar 75% (tiga triwulan saja). Gambar 4.2 adalah persentasi jumlah hari terhadap lama penyinaran untuk tiap-tiap musim pada periode pengamatan 1998-2013. Tidak ditemukan pola penyinaran matahari yang spesifik pada musim basah DJF maupun musim peralihan MAM. Namun tidak demikian halnya dengan musim kering JJA dan musim peralihan SON. Pada kedua musim ini ditemukan pola yang menunjukkan penambahan lama penyinaran matahari dari tahun ke tahun semakin membesar. Pola tersebut ditandai dengan garis berwarna kuning. Garis berwarna kuning tersebut menghubungkan persentasi frekuensi kemunculan lama penyinaran matahari terpanjang pada tiap-tiap tahun. Frekuensi kemunculan tersebut ditunjukkan dengan puncak tertinggi dari tiap-tiap garis. Bertambahnya lama penyinaran matahari dari tahun ke tahun dapat dipikirkan sebagai akibat dari semakin berkurangnya faktor-faktor utama yang menahan laju sinar matahari mencapai bumi yaitu awan. Dengan kata lain dapat difikirkan lebih lanjut bahwa bertambahnya lama penyinaran matahari dari tahun ke tahun disebabkan berkurangnya penutupan awan di tempat tersebut.
Gambar 4.1 Persentasi jumlah hari data tiap-tiap tahun.
Persentasi jumlah hari tanpa skala
0 – 1,0 1,1 – 2,0 2,1 – 3,0 3,1 – 4,0 4,1 – 5,0 5,1 – 6,0
Label
Lama Penyinaran (Jam)
Lama penyinaran (jam)
Persentasi jumlah hari tanpa skala
1 2 3 4 5 6
Lama Penyinaran (jam)
Persentasi jumlah hari tanpa skala
Label
Persentasi jumlah hari tanpa skala
Tabel 3.1 Interval data yang dipergunakan di dalam klasifikasi.
Lama Penyinaran (jam)
Lama Penyinaran (jam)
Gambar 4.2. Gambaran umum persentase jumlah hari terhadap lama penyinaran tahun 1998-2013. Sumbu vertikal adalah persentasi jumlah hari tanpa skala terhadap jumlah hari data total. Gambar secara kasar menjelaskan kemiripan pola penyinaran dalam 4 musim yang berbeda.
Gambar 4.3 Lama penyinaran matahari tahun 1998-2013 di LPD Sumedang dikelompokkan berdasarkan musim (DJF = Desember-Januari-Februari, MAM = Maret-AprilMei, JJA = Juni-Juli-Agustus, SON = SeptemberOktober-November). Jumlah hari DJF = 1.099 hari, MAM = 1.255 hari, JJA = 1.223 hari, dan SON = 1.119 hari).
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823
156
Saipul Hamdi / DistribusiLama Penyinaran Matahari di LPD Sumedang ( 6,91⁰ LS ; 107,84⁰ BT) LAPAN
Gambar 4.3 merupakan bagian utama dari tulisan ini, dan menggambarkan pola lama penyinaran matahari dalam musim yang berbeda. Pada musim DJF, hampir 25% jumlah hari data memiliki lama penyinaran yang sangat dominan yaitu 0-1 jam/hari yang diartikan sebagai sangat pendeknya lama penyinaran matahari, meskipun panjang siang pada musim DJF adalah relatif lebih panjang dibandingkan musim yang lain (gambar 4.4). Lama penyinaran yang singkat umumnya terjadi pada cuaca yang sangat mendung, lembap, atau bahkan hujan sepanjang hari, dan merupakan salah satu ciri daerah hujan tropis. Pada musim MAM (gambar 4.3) pun tidak terlihat pola spesifik yang akan menjelaskan secara lebih rinci mengenai lamanya penyinaran matahari terhadap bumi. Lama penyinaran terbanyak (15%) adalah 6-7 jam per hari sebagai keadaan yang normal untuk sebuah musim peralihan. Boleh dikatakan bahwa lama penyinaran matahari terdistribusi secara merata pada 1-8 jam penyinaran per hari. Panjang siang pada musim peralihan MAM berangsur-angsur menurun dari 12,25 jam menjadi 11,6 jam dan tidak berkorelasi dengan lama penyinaran matahari. Pola distribusi lama penyinaran pada musim kering JJA adalah berlawanan dengan pola distribusi pada musim basah DJF (gambar 4.3). Lama penyinaran dengan frekuensi kejadian terbanyak 9 jam/hari yaitu 18% dari jumlah hari data 1.145 hari, sedangkan frekuensi lama penyinaran yang singkat (< 3 jam/hari) sangat sedikit ditemukan. Lama penyinaran yang panjang disebabkan oleh jumlah kandungan uap air di atmosfer relatif lebih sedikit karena pada saat tersebut matahari sedang berada di daerah aphelion (jarak terjauh) dan di garis balik utara yang menyebabkan berkurangnya energi matahari yang diterima oleh bumi. Energi matahari diperlukan untuk membentuk uap air yang dilepaskan ke atmosfer. Pada musim peralihan dari kering ke basah (SON, gambar 4.3) lama penyinaran matahari terdistribusi secara merata dari 0 hingga 9 jam/hari, bahkan sejumlah 7,5% dari 1.084 hari data memiliki lama penyinaran sebesar 9-10 jam/hari. Pada musim ini mulai terbentuk awan-awan yang menghalangi sinar matahari, dan bahkan di akhir musim peralihan ini seringkali ditemukan hujan meskipun dengan intensitas yang rendah. Pada musim ini juga matahari mendekati bumi kembali dan panjang siang berangsur-angsur menjadi lebih panjang.
Gambar 4.4 Panjang siang di Loka Pengamatan Dirgantara Sumedang (Julian day 1 = 1 januari dan 365 = 31 Desember).
3. Pada musim peralihan (MAM) lama penyinaran tersebar secara merata hingga tidak melebihi 8 jam/hari namun masih ditemukan lama penyinaran lebih dari 8 jam dengan persentasi hari data yang kecil (sedikit). 4. Pada musim peralihan SON, lama penyinaran ratarata hingga 9 jam/hari dan hanya beberapa hari data saja yang mencapai 10-11 jam/hari. 5. Secara umum, lama penyinaran pada musim peralihan terdistribusi secara lebih lebar hingga 9 jam/hari dibandingkan pada musim kering dan basah. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan disampaikan kepada LPD Sumedang – Jawa Barat yang telah melakukan pengamatan panjang. PUSTAKA [1]
[2] [3] [4] [5] [6]
[7]
V. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis data lama penyinaran matahari di LPD Sumedang periode tahun 1999-2013 adalah sebagai berikut : 1. Pada bulan basah (DJF) persentasi lama penyinaran terbanyak adalah 0-1 jam/hari (23%) dan terdistribusi mengikuti distribusi normal. 2. Pada bulan kering (JJA) persentasi lama penyinaran terbanyak adalah 8-9 jam/hari (18% hari data) namun tidak ditemukan penyinaran yang melebihi 11 jam/hari.
[8]
F.E. Fowle, The Transparency of Aqueous Water Vapour. Astrophys. J., vol. 54, 1915, pp 394. B. Tjasyono, Klimatologi. ITB, Bandung, 2004. WMO, Guide to Meteorological Instruments and Methods of Observation. WMO-No.8 seventh edition, 2008. Lakitan, Benyamin, Dasar-dasar Klimatologi. PT Rajawali Grafindo, Jakarta, 1994. Wisnubroto. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya, Jakatya. 2006 Y.S. Utomo, dan H. Isril, Pemodelan Matematis untuk Analisis Radiasi Surya di Permukaan Bumi Daerah Khatulistiwa (15⁰LS-15⁰LU), Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2004, Universitas Diponegoro Semarang, 2004. H. Hoesin, Penelitian Ketersediaan Tenaga Radiasi Matahari di Indonesia, Laporan Teknis Lembaga Fisika Nasional – LIPI, Bandung, 1983. C. Y. Yatini, Variasi Konstanta Matahari dan Kaitannya dengan Aktivitas Matahari, Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia, Vol. 4, no 0420, 2004.
TANYA JAWAB Riswanto, UAD ? a). Bagaimana pengaruh tingkat ketinggian wilayah terhadap data yang diperoleh misalkan daerah bukit vs lembah?
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823
Saipul Hamdi / Distribusi Lama Penyinaran Matahari di LPD Sumedang (6,91⁰ LS; 107,84⁰ BT) LAPAN
b). Jika terdapat aktivitas matahari yang ekstrim (badai matahari) bagaimana pengaruhnya? Saipul Hamdi, LAPAN @ a). Secara teori memang insolasi bergantung juga terhadap ketinggian orografi, sehingga daerah yang memiliki orografi tinggi akan lebih insolasinya, sehingga bisa saja diperoleh LPM yang lebih panjang.
157
b). Badai matahari ekstrim akan meningkatkan insolasi hinggabeberapa persen, namun perlu dilihat periode lamanya badai matahari. Yang perlu dipahami bahwa definisi LPM>120 W/m2 jadi, apabila badai matahari terjadi ketika insolasi >120w/m2 maka tidak memberikan efek yang signifikan terhadap LPM.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823