Majalah Hukum Forum Akademika
Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Oleh: Syofyan Nur1 Abstrak Sanksi pidana bertujuan untuk memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku. Pidana juga merupakan hal yang perlu sebagai salah satu bentuk kontrol sosial namun keberadaannya disesalkan karena pidana itu mengandung penderitaan. Dalam perkara narkotika, sanksi pidana diperlukan sebagai efek jera yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana narkotika. Namun sering ditemukan perbedaan sanksi pidana yang dijatuhkan hakim terhadap kasus yang sama atau lebih dikenal dengan Disparitas Pidana. Disparitas pidana adalah kesenjangan yang terjadi antara putusan yang satu dengan putusan yang lain dalam kasus yang sama. Persoalannya mengapa terjadi disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan penelitian hukum, baik secara langsung di lapangan maupun penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus hukum (case law approach). Serta dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah bersumber dari peraturan perundang-undangannya, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam undang-undang tersebut hanya mengatur batas minimum dan batas maksimum sehingga memberi peluang kepada hakim untuk bebas memilih menjatuhkan pidana, selain itu juga faktor yang bersumber dari hakim, baik dari segi internal maupun eksternal. Melalui penelitian ini disarankan agar para pembuat peraturan perundang-undangan (draft legislator) untuk dapat menyempurnakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terutama memuat ancaman pidana yang jelas dan tegas, selain itu diharapkan agar dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di Indonesia memuat pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Kata Kunci: Disparitas, Pidana, Tindak Pidana Narkotika
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi.
18
Majalah Hukum Forum Akademika
A. Pendahuluan Perkembangan penggunaan narkotika pada saat ini tidak hanya untuk bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan serta tekhnologi saja, tetapi sudah bergeser kepada
tujuan
untuk
mencari
keuntungan
yang
besar
dengan
cara
menyalahgunakannya. Padahal sanksi pidana yang termuat dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memuat sanksi yang cukup berat mulai dari pidana denda, penjara seumur hidup bahkan sampai pidana mati. Pidana mati adalah upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi. 2 Di tinjau dari pendekatan filosofi kemanusiaan, bahwa hukuman dengan pidana mati sangat pantas di jatuhkan bagi para pengedar dan jaringannya karena sesuai dengan bobot kejahatannya dan akhirnya akan menghancurkan sebagian dari generasi muda bangsa.3 “Pemberian sanksi berat kepada pelaku diharapkan menimbulkan efek jera sehingga kejahatan di dalam masyarakat dapat ditanggulangi”.4 Pendapat masyarakat awam sering kali menilai suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan orang lain tidak dapat diperbandingkan sebagai sama-sama perbuatan tercela. Tidak jarang terjadi perbedaan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada seseorang dan orang lain yang melakukan suatu perbuatan pidana yang sama atau sejenis. Contohnya adalah kasus narkotika, posisi seseorang pengguna narkotika dengan pengguna lainnya bisa terjadi perbedaan dalam penjatuhan sanksi pidananya. Perbedaan atau disparitas pidana adalah perbedaan hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan oleh haikm kepada pelaku tindak pidana narkotika antara satu dengan yang lainnya dengan menggunakan dasar pasal yang sama, perbedaan barang bukti yang tidak begitu mencolok. Adapula sanksi pidana yang dijatuhkan sama tetapi dengan barang bukti yang jauh berbeda jumlahnya. 2
Andi Hamzah, dkk. 1994. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan. Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 27. 3 Moh, Taufik Makaro, dkk. 2005. Tindak Pidana Narotika. Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 47. 4 Gatot Supramono. 2004. Hukum Narkoba Indonesia. Djambatan, Jakarta, hal. 93.
19
Majalah Hukum Forum Akademika
Untuk melakukan penelitian ini, penulis mengambil beberapa contoh kasus (case law) putusan hakim dengan dasar pasal yang sama tetapi putusan yang dijatuhkan berbeda dalam perkara penyalahgunaan narkotika. Lokasi penelitian ini penulis ambil dari perkara narkotika yang pernah diputus oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi. Adapun putusan yang akan menjadi contoh kasus adalah putusan sebagai berikut: Tabel 1: Putusan Pengadilan Negeri Muara Bulian Tentang Penyalahgunaan Narkotika No 1.
No. Perkara
Dakwaan
Barang bukti 19/Pid.B/2010/PN.MBLN Pasal 0,50 111ayat (1) gram UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkoba
2.
66/Pid.B/2010/PN.MBLN Pasal 111 0,32 ayat (1) UU gram No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
3.
11/Pid.B/2011/PN.MBLN Pasal 111 37,5 ayat (1) UU gram No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
4.
47/Pid.B/2011/PN.MBLN Pasal 111 1,6 gram ayat (1) UU No,35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Tuntutan
Putusan
Pidana Penjara 6 Tahun, denda Rp.800 juta,subsider 6 bulan kurungan Pidana Penjara 6 Tahun, dendaRp. 800 juta,subsider 6 bulan kurungan Pidana Penjara 5 Tahun, denda Rp. 800 juta, 6 bulan kurunga Pidana Penjara 5 Tahun,denda Rp.800 juta, subsider 6 bulan kurungan
Pidana penjara 5 tahun,denda Rp.800 juta,subsider 2 bulan kurungan
Sumber: Pengadilan Negeri Muara Bulian Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi
20
Pidana Penjara 4 tahun,denda Rp.800 juta, subsider 3 tahun kurungan Pidana Penjara 4 tahun,denda Rp.800 juta. Subsider 3 bulan kurungan Pidana Penjara $ tahun,denda Rp. 800 juta,subsider 3 bulan kurungan
Majalah Hukum Forum Akademika
Berdasaran tabel contoh kasus di atas, maka yang akan dianalisis adalah disparitas putusan dengan Nomor 19/Pid.B/2010/PN.MBLN dan putusan Nomor 11/Pid.B/2011/PN.MBLN. karena pada dua putusan ini terdapat disparitas barang bukti, disparitas penuntutan dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim. B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang penelitian dan penulisan tersebut di atas, maka untuk mempermudah analisis, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian dan penulisan ini adalah: “Mengapa terjadi disparitas putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika dengan mengkaji putusan hakim Nomor 19/Pid.B/2010?PN.MBLN dan Putusan Nomor 11/Pid.B/2011/PN.MBLN”?
C. Tinjauan Kepustakaan Sanksi pidana menurut Muladi bertujuan: “memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggarnya supaya ia merasakan akibat perbuatannya”.5 Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku. Menurut Alf Ross sebagaimana yang dikutip oleh Muladi, bahwa: Untuk dapat dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua syarat, yaitu pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan, dan pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.6 Penggunaan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan dilakukan melalui kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana menurut Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief adalah: “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”.7 5
Muladi, dkk, 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. PT. Alumni, Bandung, hal. 5. Ibid., hal.1. 7 Barda Nawawi Airef. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (perkembangan penyusunan konsep KUHP baru). Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 3. 6
21
Majalah Hukum Forum Akademika
Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan dilakukan melalui proses sistematik, melalui apa yang disebut sebagai penegakan hukum pidana dalam arti luas, yaitu penegakan hukum pidana dilihat sebagai suatu proses kebijakan. Muladi berpendapat, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan yang melewati beberapa tahapan sebagai berikut: 1) Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum inabstrakto oleh badan pembuat undang-undang, disebut juga tahapa kebijakan legislatif; 2) Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan, disebut juga tahap kebijakan yudikatif; 3) Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekusi atau administratif.8 Tahap kebijakan yang kedua dan ketiga biasanya disebut sebagai penegakan hukum (law enforcement). Menyangkut pilihan pidana yang digunakan dalam kebijakan formulasi, dari berbagai jenis sanksi pidana yang dikenal dalam hukum pidana, pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak digunakan dalam perumusan hukum pidana di Indonesia selama ini. Penjatuhan pidana dapat menimbulkan derita, maka perlus suatu pembenaran dan harus dicari dasarnya. Hal ini menunjukan masalah pidana tidak sekedar persoalan kebijakan tetapi sudah masuk perdebatan secara teoretik dan filosofi tentang alasan penggunaan sanksi pidana. Dalam perjalanannya berkembanglah teori pemidanaan seperti teori pembalasan, teori tujuan, dan teori gabungan. Berdasarkan asas actus non facit reum nisi mens sit rea, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) dan sikap batin jahat/tercela (mens rea).
8
Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP. Semarang, hal. 113.
22
Majalah Hukum Forum Akademika
Menurut Barda Nawawi Arief, actus reus tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act) dalam arti yang biasa, tetapi mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi: 1) Perbuatan dari terdakwa; 2) Hasil atau akibat dari perbuatan inti; 3) Keadaan-keadaan yang tercantum atau terkandung dalam rumusan tindak pidana.9
D. Pembahasan Untuk melihat serta menganalisis tentang terjadinya disparitas pidana dalam kasus penyalahgunaan narkotika, penulis terlebih dahulu memaparkan posisi kasus dari contoh kasus yang penulis jadikan sample dalam penelitian dan penulisan ini, sebagai berikut: 1. Kasus Pertama Perkara Nomor 19/Pid.B/2010/PN.MBLN Dalam kasus pertama ini terdakwa adalah Ardhino Bin Sadudin, lahir di Jambi, Umur 25 Tahun, pekerjaan buruh, pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), alamat RT/RW. 02/02 Desa Rambahan Kel. Sridadi Kec. Muaro Bulian Kab. Batang Hari. Kronologis kejadian perkara adalah sebagai berikut: Pada hari Minggu Tanggal 17 Januari 2010 sekitar jam 21.30 WIB, Julisman, Bory Edyrwan, Alex Darmanto melakukan observasi/pengamatan ke daerah Pasar Baru dan melihat Ardinho Bin Sadudin alias Dino bersama tiga orang temannya, yaitu Joko, Andi dan Wahyudi. Ketika itu Julisman langsung menghampiri terdakwa Ardinho, namun ketiga orang teman terdakwa langsung lari dan luput dari pengejaran aparat. Lalu Julisman melihat bungkusan ganja di tangan terdakwa Ardinho dan berusaha membuang bungkusan tersebut ke arah parit/selokan. Kemudian Julisman dengan menggunakan penerangan dari cahaya korek api dan handphone langsung menyenterkan ke arah bungkusan yang dibuang keselokan tadi. Lalu Julisman menyuruh Ardinho untuk membuka isi bungkusan yang dibuang itu, ketika dibuka isinya adalah ganja. Pada saat itu Julisman bertanya kepada terdakwa ganja ini milik siapa, dan dijawab oleh Ardinho ganja ini milik teman yang lari tadi. Saat itu juga Julisman menyenterkan kembali disekitar tempat duduk terdakwa dan ditemukan 1 (satu) linting ganja dibungkus dengan kertas rokok/paper warna putih, sedangkan satu bungkus, dibungkus dengan kertas koran ditemukan oleh saksi Julisman sekitar beberapa 9
Barda Nawawi Arief. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 26.
23
Majalah Hukum Forum Akademika
meter dari tempat duduk Ardinho. Kemudian Ardinho dibawa ke Polres Batang Hari untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dimana Ardinho tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang untuk memiliki, menyimpan, menguasai ganja tersebut. Terdakwa didakwa secara subsidaritas melakukan tindak pidana, dakwaan primair sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dakwaan subsidair sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Setelah
dilakukan
pemeriksaan
sidang
pengadilan
dan
setelah
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan, majelis hakim berkesimpulan bahwa dakwaan Penuntut
Umum terbukti secara sah dan
meyakinkan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan primair tanpa hak atau melawan hukum menguasai narotika golonan I dalam bentuk tanaman, dan menjatuhkan pidana pejara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan.
2. Kasus Kedua Perkara Nomor; 11/Pid.B/2011/PN.MBLN Dalam kasus ini terdakwa adalah Silmi Bin Muhtar, lahir di Terusan, umur 22 tahun. Pekerjaan buruh, agama islam, alamat; Rt 02 Desa Terusan Kec. Muara Bulian, Kab. Batang Hari. Kronologis kejadian perkara adalah sebagai berikut; Pada hari sabtu, tanggal 13 November 2010 sekira pukul 21.00 Wib di jembatan Rt 03 Desa Terusan Kec. Muara Bulian, Kab. Batang Hari, Abdul Kadir Bin Daeng Palie, Tsh Sianturi Bin J Sianturi serta Rg Ginting Bin Ginting, Wilson Simamora Bin Simamora. Harpen Yosmardi Bin Muradi, melakukan patroli di desa Terusan., saksi mencurigai dua orang yang berada di jembatan Rt 03 Desa Terusan, pada saat dilakukan penangkapan JOK berhasil mearikan diri sedangkan Silmi Bin Muhtar berhasil ditangkap, kemudian dilakukan penggeledahan badan dan sepeda motor, ditemukan 20 (dua puluh) paket daun ganja kering yang sudah dibungkus dengan kertas koran, beratnya kurang lebih 37,4 (tiga puluh tujuh koma empat) gram. Yang rencananya akan dijual kepada seorang bernama JOK. Yang mana daun ganja kering tersebut sudah terbagi atas dua bagian, yaitu satu bagian yang berjumlah 17 (tujuh belas) paket yang diletakkan di dalam kantong plastik berwarna hitam dipegang oleh Silmi Bin Muhtar, sedang 3 (tiga) paket lagi
24
Majalah Hukum Forum Akademika
dletakkan di dalam jok sepeda motor BH 3359 BN merk Jupiter Z berwarna biru, seharga Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) per paketnya, hingga akhirnya Silmi Bin Muhtar dibawa oleh pihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut. Terdawa didakwaa melakukan tindak pidana berdasarkan surat dakwaan yang berbentuk subsidaritas yaitu; dakwaan primair melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dakwaan subsidair melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Setelah
dilakukan
pemeriksaan
sidang
pengadilan
dan
setelah
mempertimbangkan hal yang memberatkan dan yang meringankan, majelis hakim berkesimpulan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan subsidair dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,(delapan ratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
Analisis Kasus Menurut penulis, kedua putusan pengadilan yaitu putusan Nomor 19/Pid.B/2010/PN.MBLN dan putusan Nomor 11/Pid.B/2011/PN.MBLN sudah memenuhi syarat sebagaimana termuat dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Menurut peneliti Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak mengklasifiasi perbuatan dan cenderung menggeneralisir perbuatan dan menyamakan pidana terhadap semua perbuatan. Seharusnya untuk menjamin tercapainya keadilan harus dibuat klasifikasi tertentu terhadap perbuatan dan juga terhadap ancaman pidananya harus berbeda. Disparitas pemidanaan ini menurut Barda Nawawi tidak dapat dilepaskan dari sistem perumusan dan pengancaman pidana dalam perundang-undangan yang ada. Dengan perkataan lain dapat merupakan sumber tidak langsung terjadinya sumber disparitas pidana. Apabila ini dibiarkan akan berakibat timbulnya sikap apatis, sinis dan ketidakpuasan warga masyarakat dengan melakukan main hakim sendiri atau mengadakan reaksi langsung terhadap si pelaku tindak pidana dan
25
Majalah Hukum Forum Akademika
aparat penegak hukum, maka undang-undanglah yang menjadi sumber tidak langsung terjadinya disparitas pidana. Selain faktor yang bersumber dari hukum itu sendiri, faktor penyebab disparitas pidana yang lain adalah bersumber pada diri hakim baik bersifat inbternal maupun eksternal yang menyangkut pengaruh-pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial. Menurut Maria Christine dalam hal penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika bersifat kasuistis, maksudnya antara satu kasus dengan kasus yang lain tidak dapat disamakan. Dapat diambil contoh rumusan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yaitu: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun. Dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,(delapan milyar rupiah). Dari rumusan pasal di atas tampak bahwa ancaman hukuman yang ada kurang tegas, sehingga hakim berpeluang secara bebas untuk memilih dan menentukan sendiri pidana yang paling tepat menurutnya. Dengan demikian hakim mempunyai wewenang sendiri dalam menilai kasus-kasus narkotika sehingga bisa saja penilaian antara satu kasus dengan kasus nakotika yang lain hasilnya berbeda. Menurut peneliti dapat dikatakan bahwa disparitas pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan pengguanaan pembebasan hakim. Meskipun kembebasan hakim diakui Undang-Undang, dan memang nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringli penggunaannya melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan hukum di Indonesia.
26
Majalah Hukum Forum Akademika
E. Penutup 1. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dikemukakan, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana dalam putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika, sebagai berikut: a.
Bersumber dari hukum atau peraturan itu sendiri, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika khususnya Pasal 111 ayat (1) tidak jelas memuat batas minimum dan maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda, tidak mengatur batasan narkotika yang dilanggar.
b.
Tidak adanya standar atau pedoman pemidanaan yang dapat mewujudkan rasa keadilan yang dapat dipedomani hakim dalam menjatuhkan pidana perkara narkotika.
c.
Dari diri hakim baik berasal dari internal maupun eksternal, faktor internal meliputi profesionalitas dan integritas seorang hakim dalam menangani suatu perkara. Faktor eksternal sendiri karena undang-undang memberi ruang kepada hakim untuk bebas memilih pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana narkotika.
2. Saran Kepada pembentuk undang-undang diharapkan dapat diatur kembali dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana yang akan datang memuat pedoman pemidanaan dan juga patokan pemidanaan yang dapat mewujudkan rasa keadilan dan memberi kemudahan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana.
27
Majalah Hukum Forum Akademika
Daftar Pustaka
A.
Buku
Andi Hamzah, dkk. 1994. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan. Ghalia Indonesia, Jakarta. Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Mandar Maju, Bandung. Bambang Waluyo. 2008. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta. Barda Nawawi Airef. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (perkembangan penyusunan konsep KUHP baru). Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Barda Nawawi Arief. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Gatot Supramono. 2004. Hukum Narkoba Indonesia. Djambatan, Jakarta. Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Moh, Taufik Makaro, dkk. 2005. Tindak Pidana Narotika. Ghalia Indonesia, Jakarta. Muladi, dkk, 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. PT. Alumni, Bandung. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP. Semarang. Mulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana Persfektif Teoritis dan Praktek, PT. Alumni, Bandung, 2008. B.
Peraturan Perundang-Undangan/Produk Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Pengadilan Nomor 19/Pid.B/2010/PN.MBLN. Putusan Pengadilan Nomor 11/Pid.B/2011/PN.MBLN.
28