PETUNJUK PENGERJAAN STUDI KASUS: Diskusikan dalam kelompok anda pertanyaan yang ada pada setiap kasus sebagai panduan dalam membahas artikel dibawah: Silahkan mencari sumber-sumber tambahan sebagai bahan dalam diskusi anda, jangan lupa tuliskan sumber dalam daftar pustaka dari laporan tugas anda.
KASUS 1 Employer Branding: Great Work to Place Posted By Dyah Hasto Palupi On 2010/11/25 @ 11:53 In Sajian Utama,Swa Majalah http://swa.co.id/2010/11/employer-branding-great-work-to-place/print/ Kecintaan karyawan dan masyarakat terhadap suatu perusahaan tidak terjadi dengan sendirinya. Diperlukan upaya dan strategi jitu untuk mewujudkannya. Memiliki kultur korporat adalah awal mulanya. Sudah lebih dari lima belas tahun R.B. Iskandar Kristantoro, Direktur Utama PT Citra Widya Education, meninggalkan Astra International. Setelah melepas posisi GM Human Resources Daihatsu Astra Motor pada medio 1990-an, tak kurang tiga perusahaan besar dijelajahnya, mulai dari Raja Garuda Mas, Texmaco, hingga Sinar Mas. Namun, walaupun sudah berselang lama, mantan project leader pembangunan Astra Management Development Institute ini mengaku kenangan dan kebanggaannya sebagai alumni Astra tiada habisnya. “Dengan makin mengenal banyak perusahaan, saya semakin bangga pernah bergabung dengan Astra,” ujar Iskandar. Ia mengacungkan jempol untuk budaya perusahaan (corporate culture) yang dikembangkan Astra. “Nilai-nilai yang dikembangkan membuat karyawan merasa bangga dengan perusahaan tempat mereka bekerja,” lanjutnya. Tidak banyak perusahaan yang masih dicintai dan dibanggakan oleh pemangku kepentingan (stakeholder) seperti Astra. Jika ada, perusahaan itu pastilah istimewa, entah karena kinerjanya yang bagus, benefit yang diberikan menggiurkan (kesejahteraan, fasilitas), atau mungkin pola hubungan antarkaryawan yang sangat indah. Dan alasanalasan tersebut akan memperkuat citra atau brand perusahaan. Dalam bahasa populer disebut employer brand, yakni citra diri sebagai tempat kerja yang diandalkan (great place to work) oleh karyawan, eks karyawan, calon (prospek) karyawan, konsumen, klien, dan pemangku kepentingan lainnya. Darimana datangnya employer brand? Sebenarnya ini adalah kombinasi dari berbagai faktor, mulai dari visi, kepemimpinan, kepribadian perusahaan, kinerja manajemen, hingga kebijakan yang ditempuh. Employer brand tidak datang seketika. Ia merupakan sebuah proses panjang yang saling menunjang, terutama di dalam internal perusahaan Dikatakan F.X. Sri Martono, Vice President Chief Corporate Human Capital Development Astra, faktor-faktor yang memengaruhi employer brand telah dengan sendirinya dilakukan Astra. Jika hal itu berdampak pada kepuasan dan kebanggaan karyawan, menurut Sri
Martono, jelas menggembirakan. Karena, berarti apa yang dilakukan Astra selama ini, satu kali dayung, dua dan tiga terlampaui. “Astra berkepentingan untuk meng-attract the best talents, me-retain dan memotivasi mereka demi berperan dan berkontribusi dalam pertumbuhan perusahaan yang berkesinambungan,” katanya tandas. Seperti diketahui, sudah menjadi kultur yang dikembangkan di Astra bahwa karyawan merupakan human capital. “Mereka bukan sekadar aset,” kata Sri Martono. Karyawan harus di-uwongke/ di-manusia-kan (as human being). Karena itu, hubungan dengan karyawan bukan sekadar hubungan transaksional antara karyawan dan pengusaha. Dikatakan Sri Martono, pimpinan Astra selalu menegaskan, karyawan adalah insan Astra. “Insan Astra adalah intangible asset. Sebagai human capital, mereka dibentuk menjadi winning team yang dapat merumuskan, mengembangkan dan mengeksekusi guna menunjang dan mendukung pertumbuhan yang sustainable,” ujar Martono membeberkan petuah Prijono Sugiarto, CEO Astra. Jadi, Astra karyawan sebagai partner in progress. Artinya, mereka memiliki kesempatan luas untuk tumbuh-kembang dalam social value, economic value dan development value melalui proses panjang. Agar employer brand terus meningkat, mau tak mau harus di-branding. Inilah pekerjaan rumah yang belum dilakukan banyak perusahaan di Indonesia secara strategis. Banyak perusahaan yang menginginkan employer brand meningkat, tetapi mereka tak tahu bagaimana caranya. Rene Suhardono, konsultan SITTI – penantang Google Inc., mencontohkan, secara internal pun banyak perusahaan salah kaprah memahami karyawannya. Perusahaan beranggapan dengan memenuhi kesejahteraannya, otomatis karyawan akan termotivasi. “Motivasi itu pilihan individu. Yang harus dilakukan perusahaan adalah memberi alasan sebanyak-banyaknya agar individu termotivasi,” katanya sambil menegaskan bahwa uang tidak cukup menjaga motivasi seseorang. Rene mengingatkan, your job is not your carrier. Hanya perusahaanlah yang memiliki pekerjaan, sedangkan pekerja hanya memiliki karier. “Semakin cepat orang memiliki kesadaran bahwa pekerjaan yang dilakoninya sekarang harus dijalani sebaik dan seprofesional mungkin, di sanalah ia menjalani peran untuk perkembangan kariernya,” lanjutnya. Sebaliknya, perusahaan pun juga harus mencermati apakah keberadaan karyawan itu merupakan bagian dari kiprah mereka. “Karena kalau karyawan betah berada di sebuah perusahaan tanpa berkontribusi, ya percuma.” Eileen Rachman, konsultan SDM Experd, menambahkan, sering perusahaan salah mengerti soal insentif kesejahteraan. “Mempertahankan karyawan tidak cukup dengan gaji yang besar, karena tidak terlalu kompetitif lagi,” ujarnya. Kini, yang lebih kompetitif adalah bila terbangun learning organization, di mana seorang karyawan akan semakin cerdas bila bekerja di perusahaan itu. Karena, seorang karyawan bisa dibawa ke manamana. Tetapi, perusahaan yang cerdas adalah perusahaan yang dinamis dan mengglobal, itu yang dicari calon karyawan. “Jadi, branding harus ke arah visi dan misi perusahaan serta perkembangan bisnisnya. Karena, agak sulit bila gaji yang selalu jadi ukuran. Tapi harus juga dilihat dari kepribadian organisasi. Misalnya, ada perusahaan yang mengklaim sebagai perusahaan modern dan menggunakan profesional, tetapi secara pengambilan keputusan tidak didelegasikan,” Eileen memaparkan. Hal-hal seperti ini kelihatannya persoalan kecil, tetapi lambat laun akan terlihat dari luar perusahaan. Agar employer branding berjalan baik, memang harus ada strateginya dan didesain sedemikian rupa. Untuk itu, Eileen menyarankan, yang pertama-tama dalam organisasi
perusahaan adalah harus memiliki aturan main yang jelas dan bervisi. Hal terpenting dalam employee branding adalah kebijakan dan suasana organisasinya, bukan flexi time dan sebagainya, melainkan kesehatan organisasi atau komunikasi dalam organisasi. “Proses ini akan sangat memperkuat corporate culture. Selain itu, juga value perusahaan sudah pasti bagus karena kualitas human capital akan mendongkrak penjualan,” ujarnya tandas. Komunikasi mutlak diperlukan. Perusahaaan harus dengan sengaja membuat komunikasi mengenai visi organisasi, suasana di organisasi, karier di organisasi, jenjang, peluang, ke dalam maupun ke luar perusahaan. Komunikasi internal sudah banyak kendaraannya, seperti mengembangkan dialog yang intens, membuat majalah internal, atau melakukan kegiatan outbond bersama-sama karyawan. Adapun komunikasi keluar bisa dilakukan dengan memperkenalkan diri ke kampus-kampus. “Kami selalu memperkenalkan Astra kepada angkatan kerja baru atau para lulusan baru (fresh graduates) melalui berbagai kegiatan di kampus-kampus,” kata Sri Martono. Hal serupa juga dilakukan A. Adji Watono, Presiden Direktur Dwi Sapta, sebagai bagian dari employer branding. Bagi Adji, dengan memiliki 425 karyawan untuk grup dan 225 karyawan di agensinya dengan sendirinya proses branding terus berjalan, disengaja maupun tak sengaja. Secara alami ia hanya meyakini bahwa dengan membuat perusahaan kuat, karyawan akan terbawa ikut kuat. “Kalau Dwi Sapta diakui sebagai agensi yang besar dan telah membuktikan diri sebagai salah satu top ten agency di Indonesia dan memegang 18 brand market leader, karyawan mana yang tak bangga bekerja di Dwi Sapta?” ujar Adji. Proses branding, menurutnya, memang berjalan seirama dengan proses memperkuat internal perusahaan. Bagi Adji, yang terpenting adalah menanamkan visi-misi dan nilai-nilai perusahaan kepada karyawan. Sehingga, komitmen terhadap pekerjaan tetap terjaga. Selain itu, Adji memberikan kiatnya. “Owner harus mau sleep and work with the company, tetapi perusahaan juga ingin sleep and work dengan employee”. Caranya? Karyawan didorong over the limit untuk melakukan quantum leap, tetapi juga diberi reward and punishment. Adapun Meriam W. Katombo, Direktur SDM PT P&G HP Indonesia, memberikan resepnya dengan memahami hal-hal yang penting bagi karyawan dan memastikan bahwa perusahaan memenuhi hal tersebut. “Ini yang kami sebut Employee Value Proposition (EVP) . Setelah mengetahui hal ini, dalam setiap komunikasi yang relevan kepada karyawan, perusahaan selalu mengaitkannya kembali kepada EVP tersebut sehingga karyawan dapat melihat hubungan dari apa yangg dilakukan perusahaan terhadap hal-hal penting bagi mereka.” Menurut Meriam, employee branding sangat penting dalam memperkuat nilai perusahaan di mata karyawan. Dari pengalamannya, setelah memperkenalkan EVP dan melakukan komunikasi tentang EVP tersebut secara periodik kepada semua karyawan, tingkat engagement karyawan menunjukkan peningkatan. “Tingkat engagement karyawan ini,” ujarnya, “kami ukur melalui survei internal yang dilakukan setiap tahun.” Eileen melihat, pada umumnya perusahaan-perusahaan multinasional memang jauh lebih baik dalam melakukan employer branding dibandingkan perusahaan nasional. Walaupun begitu, ada beberapa yang dinilai baik adalah Pertamina, Unilever dan Astra International. Khusus Astra, ia menggarisbawahi, dialah pelopornya. “Siapa sih yang tidak tahu program
pengembangan SDM di Astra, itu yang dikejar orang,” kata Eillen sambil menambahkan, perusahaan ibarat universitas bagi karyawan. Bagi Sri Martono, pujian terhadap Astra tidak akan membuatnya lengah. Misalnya, Astra tetap mengembangkan rewards management (remunerasi). Ini untuk menjaga competitiveness pasar (externally competetitive) mempertahankan keseimbangan internal (internal equitability). Compensation benefits dirancang sehingga cukup atraktif, dan dapat memberikan reward yang berbeda nyata bagi para talent sehingga dapat meretaindan me-motivate insan Astra untuk berkinerja terbaik dan bisa perform better and better. Astra juga melakukan pelatihan dan konsultasi secara periodik untuk mengoptimalkan potensi karyawan dan memaksimalkan kinerjanya, dan Astra juga membangun industrial peace, melalui proses komunikasi yang dialogis. Menurut Sri Martono, hal ini mendorong terciptanya learning organization dengan best practices sharing dan networking. Sampai saat ini, Astra juga melakukan branding kepada internal karyawannya. “Kami di Astra melakukannya secara terarah dan terstruktur, di mana branding strategy ini melekat pada internalisasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam Catur Dharma Astra, programprogram dan fasilitas yang diberikan kepada karyawan, ujar Sri Martono. Dikatakannya, employer brand merupakan sesuatu yang intangible. Jadi, tantangan dalam melakukan branding tersebut adalah bahwa ini adalah suatu brand yang memberikan pengalaman, tecermin dalam tingkah laku karyawan, serta bisa dirasakan oleh para stakeholder. Namun, Sri Martono mengatakan bahwa karyawan bukan objek untuk branding strategy, melainkan menjadi brand sekaligus channel yang efektif. “Karena bagi kami every employee is an ambassador of our brand,” ujarnya. Tugas bagian Human Capital Development adalah me-leverage program-program yang diarahkan sesuai dengan business needs dan juga menyemaikan sense of belonging terhadap branding ini ke karyawan. Akibatnya, efeknya tidak hanya dirasakan di internal karyawan. Resonansi brand ini juga ditularkan ke para mitra, komunitas dan pelanggan. Seperti Astra, citra yang terbangun di kalangan pencari kerja baru mengenai Astra adalah tempat untuk belajar, mengembangkan diri dan berkarier, juga tempat yang tepat untuk kerja yang menyenangkan. Persepsi positif Astra ini terbaca pula dalam hasil survei HayGroup terhadap mahasiswa Universitas Indonesia dan Atmajaya. Terhadap mereka ditanyakan nama perusahaanperusahaan tempat kerja yang diidamkan — lihat Tabel. Hasilnya, 10 terbesar perusahaan idaman, sebagai berikut: Pertamina menduduki posisi pertama (7,5%), Chevron Indonesia (4,7%), Astra Indonesia (3,7%), PT Unilever Indonesia (4,1%), Bank Indonesia (4,1%), Bank Mandiri (3,1%), Departemen Keuangan (2,8%), Total Oil Indonesia (2,0%), Telkom ( 1,9%), dan Krakatau Steel (1,8%). Selain itu juga ditanyakan, faktor apa saja yang memengaruhi penilaian mereka terhadap perusahaan. Jawabnya, yang tertinggi adalah perusahaan salary dan benefit besar (24,5%), lalu perusahaan memiliki reputasi yang baik (17,8%); perusahaan yang berprospek (8,4%); perusahaan yang sesuai dengan minat personalnya ( 6,9%), yang memberikan tantangan karier (6,1%), dan alasan-alasan personal lainnya. Temuan ini menarik, karena menggambarkan bahwa sampai saat ini masalah kesejahteraan masih menjadi prioritas pertama pencari kerja. Kendati Eileen Rahman maupun Rene Suhardono, mengingatkan bahwa hal itu bukan prioritas terpenting, toh fakta di lapangan mengatakan demikian.
Apa yang dilakukan Pertamina? Menurut Rukmi Hadihartini, Direktur Sumber Daya Manusia PT Pertamina, kini BUMN itu mengembangkan tema fundamental 6 C terkait dengan sumber daya manusia. C pertama adalah Clean. SDM Pertamina harus bersih dari benturan kepentingan, tidak menoleransi suap, dan menjunjung tinggi integritas. C-2 adalah Competitive; mampu berkompetisi dalam skala regional maupun internasional. C ketiga adalah Confident; yakni percaya diri dapat berperan dalam pembangunan ekonomi nasional. Lalu, C keempat, Customer Focus; C kelima Capable; dan C keenam, Comersial; mampu menciptakan nilai tambah yang berorientasi komersial dengan mengambil keputusan berdasarkan prinsip-prinsip bisnis yang sehat. Dikatakan Rukmi, pekerja di Pertamina harus memiliki tata nilai 6 C yang disebutkan itu. Mereka harus memiliki budaya berbasis kinerja dan harus terukur. “Ini mutlak. Pertamina dulu beda dengan sekarang,” ujar Rukmi tandas. “Kami harus profit. Ada performance management system. Budaya kami sekarang berbasis kinerja,” lanjutnya. Astra sebagai perusahaan pilihan ketiga di antara perusahaan-perusahaan yang dinilai sukses melakukan branding juga memiliki komitmen serupa. Bahkan Sri Martono meyakinkan bahwa employer brand telah dilakukan berpuluh tahun lalu. Employer brand tidak bisa mendadak. Astra membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menjadi seperti sekarang. Ada tahapan-tahapan yang berlangsung, seperti halnya pengembangan merek pada umumnya. Untuk itu, dibutuhkan strategi jangka panjang, visi dan misi yang jelas, serta upaya-upaya konkret. Dan untuk itu, komitmen, kultur korporat dan kepemimpinan yang kuat adalah kunci segalanya. Copyright © 2009 swaonline. All rights reserved. Pertanyaan Kasus 1: 1. Apa yang kelompok anda pahami dari konsep ”employer brand”? 2. Bagaimana langkah-langkah yang dilakukan oleh perusahaan untuk menjadi ”employer brand”? 3. Apa hubungan antara pengelolaan SDM dengan ”employer brand”? 4. Pelajaran apa yang bisa kelompok anda petik dari Astra International terkait dengan pengelolaan SDM dan menjadi ”employer brand”?
KASUS 2
Pertanyaan Kasus 2: 1. Bagaiman perubahan trend belanja yan gterjadi saat ini dan bagaimana Mustika Ratu memanfaatkan peluang tersebut? 2. Tipe konsumen seperti apa yang dibidik Mustika Ratu untuk memasarkan produknya? 3. Sistem distribusi seperti apa yang dibangun Mustika Ratu dalam memasarkan produknya? 4. Apa yang menjadi kunci keberhasilan Mustika Ratu dalam membangun pemasaran online?
KASUS 3
Pertanyaan Kasus 3: 1. Jelaskan dan analisis mengapa muncul Panera Bread ditengah krisis yang sedang terjadi di Amerika saat ini dan bahkan meraup keuntungan yang banyak! 2. Bagaimana bentuk Corporate Social Responsibility yang dimiliki oleh Panera Bread dan pihak-pihak mana saja yang diuntungkan? 3. Apakah Panera Bread dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan mengenai tanggungjawab sosial perusahaan yang dimilikinya terhadap perilaku konsumennya? 4. Standar etika perusahaan (Corporate ethical standard) apakah yang diterapkan oleh Panera Bread? Jelaskan dengan baik dan benar!
KASUS 4 Peran CFO yang Kian Dinamis Thursday, June 24th, 2010 oleh : Eva Martha Rahayu
Era mengurusi keuangan di belakang meja merupakan cerita lama. Untuk meningkatkan kekayaan perusahaan, banyak peran yang mesti dimainkan. Seiring dengan kian banyaknya tuntutan bisnis, peran seorang chief financial officer (CFO) kian berkembang. Dulu perannya hanya memprioritaskan pengawasan, transparansi plus pelaporan kinerja perusahaan. Kini, direktur keuangan makin terlibat dalam perumusan serta pemecahan masalah strategis perusahaan. Dengan pergeseran peran itu, CFO tidak lagi melihat masa lalu hanya sebagai angka, tetapi juga sebagai bisnis yang berubah. Dengan demikian, pemahamannya terhadap lingkungan bisnis sangat penting, mulai dari model bisnis yang dilakoni sampai kinerja perusahaan sebagai bahan pengambilan keputusan. Bila peran dinamis itu bisa dimainkan, CFO dapat menjadi mitra CEO. “Sebaliknya, jika peran CFO masih statis, dia cuma sebagai score paper dan paling banter sebagai advisor,kata Djoko Wintoro, Direktur Riset Prasetiya Mulya Business School. Pernyataan Djoko yang membagi peran CFO menjadi statis dan dinamis dikuatkan pandangan Willem Lucas Timmermans. Direktur Keuangan PT XL Axiata Tbk. ini membedakan CFO menjadi tiga fungsi. Pertama, menjalankan organisasi keuangan yang ketat, disiplin, efektif dan cepat. Kedua, menciptakan nilai perusahaan. Ketiga, mengelola kinerja perusahaan. Untuk itu, CFO harus melihat strategi dan kinerja melalui tiga prinsip penciptaan nilai, yaitu topline pertumbuhan, efisiensi operasional serta produktivitas aset,ucap Willem. Menurut Eddy Porwanto, bila CFO mampu memberikan nilai tambah bagi perusahaan, berarti juga memberikan nilai tambah buat pemegang saham. Caranya? Direktur Keuangan PT Garuda Indonesia itu menjelaskan, dalam hal penggunaan capital atau melakukan funding, perusahaan bisa mengombinasikan sumber dana dari utang dan modal sendiri. Namun, prinsip kehati-hatian perlu ditegakkan. Jika terlalu banyak utang, akan menyusahkan dan berisiko tinggi. Sementara jika utang terlalu sedikit, juga tidak baik bagi perusahaan. Sebab bagaimanapun biaya utang lebih rendah daripada biaya ekuitas, sehingga cost of capital menjadi tinggi,ujar Sidharta Utama, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Chairman of Management Board IICD, mengingatkan. Nah, agar bisa memberikan nilai tambah kepada perusahaan, CFO harus terlibat langsung dalam bisnis. Eddy mengatakan, ada tiga cara yang bisa dilakukan. Pertama, berperan dalam hal financial analysis sebagai analis sekaligus advisor. Kedua, melakukan measurement yang fokus dan detail atas perkembangan kinerja perusahaan dengan
mengacu pada key performance indicator (KPI). Ketiga, bertindak sebagai champion of change. Satu lagi peran CFO yang berbeda dari masa lalu, yaitu harus membangun high perfomance organization. Tujuannya agar tim finance mempunyai kapabilitas forward looking,ujar Eddy. Hal itu membutuhkan tim yang solid. Itulah sebabnya, proses seleksi karyawan harus ketat, penempatan orang juga mesti tepat, pelatihan dan pengembangan karier pun harus bagus. Pendeknya, dikatakan Eddy, dulu bidang keuangan terkenal dengan proses panjang dan berbelit, sekarang bukan zamannya lagi. Alhasil, CFO pun mesti bertindak sebagai freedom fighter, di mana proses-proses perkembangan usaha lebih disederhanakan. Umpamanya, divisi treasury dan analisis finansial bisa duduk bersama untuk mempercepat prosesnya. CFO juga harus paham faktor-faktor pengatrol nilai perusahaan. Menurut Sidharta, ada tiga hal yang meningkatkan value perusahaan. Pertama, kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi daripada yang diminta investor. Kedua, profit tumbuh sesuai dengan pertumbuhan industri. Bisa saja sebuah perusahaan kini memiliki laba tinggi, tetapi jika industrinya sudah seperti pabrikan rokok di Amerika Serikat yang melandai, profitnya bakal stagnan. Pertumbuhan itu tentu juga akan memengaruhi nilai perusahaan. Ketiga, makin rendah risiko, nilai perusahaannya akan lebih tinggi. Diakui Sidharta, jika sebuah bisnis ingin memperoleh profit yang tinggi, risiko yang harus diambil juga tinggi. Sebenarnya yang menjadi fokus adalah bagaimana caranya agar perusahaan dapat memperoleh profit sesuai dengan tuntutan investor,dia mengungkapkan. Untuk memaksimalkan profit, faktor utama yang harus diperhatikan adalah dari sisi funding. Seorang CFO harus mampu menentukan kombinasi struktur modal yang optimal, artinya seimbang antara posisi pinjaman dan ekuitas. Untuk dapat memperoleh funding, sekarang banyak alternatif. Jika mempraktikkan good corporate governance (GCG) dengan baik, perusahaan lebih mudah mendapatkan kredit bank atau lembaga pembiayaan lain. Dari sisi pengelolaan aset seperti working capital dan asset investment, Sidharta menjelaskan, CFO berperan memastikan bahwa aset perusahaan itu dikelola secara optimal dan tidak ada yang menganggur (idle). Seandainya perusahaan hendak melakukan akuisisi, pembiayaannya harus yang seminim mungkin. Ini yang tidak biasa di Indonesia, karena banyaknya praktik mark-up dan semacamnya, sehingga akhirnya membuat nilai aset menjadi tinggi dan tidak efisien. Ujung-ujungnya, tidak bisa menciptakan value creation, cetus Sidharta dengan tegas. Selain itu, kebanyakan CFO memiliki latar belakang keuangan. Akibatnya, sering mereka menjadi terlalu fokus pada short-term profit. Mereka cenderung mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang benefit secara langsungnya tidak terlihat, misalnya dalam hal investasi pada SDM. Tak pelak jika di
perusahaan sering terjadi perdebatan antara bagian keuangan dan bagian lain, seperti HR atau pemasaran. Struktur modal akan berpengaruh banyak ke biaya modal, sedangkan investasi yang efisien akan banyak berpengaruh ke profit jangka panjang perusahaan. Karena itu, Sidharta menilai, sebaiknya KPI seorang CFO jangan hanya dinilai dari financial measurement, karena akan menjadi terlalu berpikir jangka pendek. “Padahal, CFO itu harus tahu apa yang menyebabkan nilai perusahaan itu naik atau tidak. Dan CFO juga perlu mengetahui strategic management, katanya menegaskan. Yang jelas, bila CFO piawai meningkatkan kekayaan perusahaan dan pemegang saham, otomatis kariernya pun terkatrol. Sidharta menilai, kini banyak direktur keuangan yang akhirnya naik jabatan ke posisi CEO. Yang penting, mindset CFO harus lebih open. Yang perlu dipertimbangkan dalam menjalankan perusahaan itu tidak hanya untung besar, tapi juga kepuasan karyawan dan keberhasilan strategi, ujarnya mewanti-wanti lagi. Dalam SWA 8 Agustus 2011, Elisa Lumbantoruan sebagai CFO PT Garuda Indonesia (Persero), mengaku banyak tugas yang harus ia pikul untuk ‘menjaga’ kondisi keuangan perusahaan. Ada tiga tahapan fungsi dirkektorat keuangan, menurut Elisa, yaitu score keeper, advisor, operator dan value integrator. Sebagai score keeper, divisi keuangan mencatat transaksi, memproses data dan membuat laporan. Ini adalah level terendah dari funsi direktorat keuangan. Biasanya fungsi ini dapat ditemui pada perusahaan yang baru berdiri atau perusahaan keluarga. Kedua, divisi keuangan bertindak sebagai advisor karena selain melakukan pencatatan transaksi, mereka juga menjalankan fungsi pengawasan dalam hal manajemen risiko dan juga melakukan advice dengan memperhatikan kondisi makro ekonomi dan sebagainya. Ketiga, sebagai operator, direktorat keuangan mulai melakukan business review yaitu dengan mulai memberikan prediksi ke depan atau forward looking report. Terakhir adalah value integrator, yaitu direktorat keuangan mulai mengintegrasikan unit organisasi untuk fokus pada visi dan misi perusahaan dari aspek indicator finansial maupun indicator operasional. Elisa menjelaskan, pada akhirnya value integrator tersebut ditujukan untuk mengoptimalkan performa perusahaan karena memberikan predictive insight seperti mempertimbangkan kondisi makro ekonomi dalam menentukan strategi perusahaan. Dari peranan itulah, direktorat keuangan mulai mempengaruhi cara mengatur perusahaan atau ‘the way we manage the company’.
Pertanyaan Kasus 4: 1. Bandingkan peran CFO yang lama dengan yang sekarang! 2. Apa yang menyebabkan perubahan peran CFO ini? Jelaskan 3. Apa dampak positif yang dirasakan perusahaan apabila peran CFO dimaksimalkan? 4. Karakter, keahlian, dan kemampuan seperti apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang CFO?
KASUS 5
Pertanyaan Kasus 5: 1. Bagaimana strategi bauran pemasaran (4P) yang terapkan oleh Andre Valentino? 2. Mengapa Andre Valentino memilih menjajaki pasar luar Indonesia lebih dahulu? Langkah apa saja yang diambil sebelum memasuki pasarnya? 3. Jelaskan karakteristik pasar yang dituju oleh Andre Valentino? 4. Jelaskan hubungan antara target pasar dan bauran pemasaran (4P) khususnya pada artikel Andre Valentino diatas!