Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. 1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan deep ecology ? 2. Bagaimana menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari ? 3. Apa peran pemerintah dalam konsep deep ecology ?
DEEP ECOLOGY Deep Ecology merupakan salah satu pendekatan dalam memandang isu lingkungan. Konsep ini di kemukakan oleh Naess, ia mengemukakan dengan istilah Ecosophy. Secara gramatikal Ecosophy terdiri dari 2 suku kata yaitu Eco yang berarti rumah tangga dan Sophy yang berarti kearifan. Secara harfiah Ecosophy dapat diartikan sebagai kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. Kearifan ini menjelma sebagai suatu pola hidup atau gaya hidup (way of life). Sehingga mereka yang menganut pendekatan ini mereka selalu hidup selaras dengan lingkungan sekitarnya. Mereka akan merawat atau menjaga lingkungan seperti mereka menjaga dan merawat rumah tangganya. Sehingga manusia tidak lagi dilihat dalam suatu kesatuan yang terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling berhubungan. Pendekatan Deep Ecology ini menekankan pada tidak hanya sekedar teori semata namun juga bergerak pada tataran praksis. Arne Naess sangat menekankan perubahan gaya hidup karena melihat krisis ekologi yang dialami saat ini semua berakar pada perilaku manusia, seperti pola produksi dan konsumsi yang sangat eksesif dan tidak ekologis, semua teknologi yang ditemukan oleh manusia cenderung untuk merusak lingkungan baik secara langsung maupun tidak. Konsekuensi dari pendapat Naess ini harus ada perubahan mendasar dari perilaku manusia yang pada awalnya melihat lingkungan sebagai obyek, sehingga lingkungan dilihat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia kurang bahkan hampir tidak menganggap lingkungan sebagai ”mitra sejajar” manusia. Seharusnya lingkungan berkedudukan sejajar dengan manusia, manusia dan lingkungan saling tergantung dan saling mengisi. Deep Ecology dari Arne Naess ini harus dilihat sebagai latar belakang kritiknya terhadap antroposentrisme atau lebih luas dikenal sebagai shallow ecological movement yang memusatkan perhatian pada bagaimana mengatasi masalah pencemaran dan pengrusakan sumber daya alam. Salah satu pilar utama dari shallow ecological movement adalah asumsi bahwa krisis lingkungan merupakan persoalan teknis, yang tidak membutuhkan perubahan dalam kesadaran manusia dan sistem ekonomi. Shallow ecological movement lebih cenderung mengatasi gejala-gejala dari sebuha isu lingkungan bukan akar permasalahan atau sebab utama dampak, termasuk faktor manusia dan sosial yang lupa untuk diperhatikan. Terdapat beberapa prinsip dalam Deep Ecology sebagai suatu gerakan lingkungan, diantaranya: 1. Prinsip biospheric egalitarianism – in principle, yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan mahluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu
keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Bagi Naess hak semua bentuk kehidupan untuk hidup adalah sebuah hak universal yang tiddak bisa diabaikan. 2. Prinsip Non Antroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau terpisah dari alam. Manusia tidak dilihat sebagai penguasa dari alam semesta, tetapi sama statusnya sebagai ciptaan Tuhan.Deep Ecology melihat bahwa manusia tergantung pada lingkungan (perspektif bioregional) 3. Manusia berpartisipasi dengan alam, sejalan dengan kearifan prinsip-prinsip ekologis. Hal ini mengarahkan bahwa manusia harus mengakui keberlangsungan hidupnya dan spesies lainnya tergantung dari kepatuhan pada prinsip-prinsip ekologis. Disini sikap dominasi digantikan dengan sikap hormat kepada alam. 4. Prinsip Realisasi Diri (Self-Realization), manusia merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi diri. Hanya melalui itu manusia dapat mempertahankan hidupnya. Bagi Naess realisasi diri manusia beralngsung dalam komunitas ekologis. Pada pendekatan Deep Ecology adanya pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis. Hubungan simbiosis ini mengarahkan bahwa hidup secara bersama dan saling menggantungkan, sehingga keberadaan yang satu menunjang keberadaan yang lain. Deep Ecology dan Kebijakan pembangunan di Indonesia. Menurut Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun 2004-2009 dinyatakan arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi perbaikan manajemen dan system pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi manfaat ekonomi dari sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, pengembangan peraturan perundangan lingkungan, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup dengan memperhatikan kesetaraan gender. Melalui kebijakan ini diharapkan sumber daya alam tetap dapat mendukung perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan agar kelak dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Tetapi pada kenyataannya, pembangunan yang dilakukan masih lebih memperhatikan aspek ekonomi, yang oleh karenanya terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam di Indonesia. Hutan Indonesia yang merupakan asset internasional habis dijarah oleh pelaku-pelaku illegal logging, sementara bahan energi mineral digali habis-habisan sehingga meninggalkan lubang-lubang besar di bumi Indonesia. Peruntukan lahan yang tidak sesuai menyebabkan berbagai ekosistem berubah dan keanekaragaman hayati terancam punah. Pembangunan fisik yang terus menerus dilakukan tidak diimbangi dengan usaha konservasi yang memadai. Selain itu tidak ditanganinya dengan serius sektor-sektor pertanian dan perikanan yang merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk Indonesia, menyebabkan kemiskinan terjadi dimana-mana. Bahkan Negara
yang mempunyai sumber daya alam berlimpah ini tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, sehingga penduduk di beberapa tempat kelaparan karena tidak mampu membeli bahan pangan yang harganya melambung tinggi. Kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo dan Banjir Besar yang kembali terulang di ibukota Jakarta, merupakan contoh bencana alam yang disebabkan oleh kelalaian manusia. Sementara masyarakat menuntut tindakan yang tegas, pemerintah masih sibuk mempertahankan ego masing-masing dan saling melemparkan tanggung jawab. Berbagai bencana yang timbul karena kesalahan manusia, belum mampu menyadarkan pemerintah untuk melakukan dengan sebenar-benarnya pembangunan berkelanjutan. Sementara itu masuknya pendidikan lingkungan sebagai muatan lokal pada kurikulum pendidikan di beberapa daerah merupakan satu langkah maju untuk membangkitkan kembali kesadaran akan kaitan manusia dengan lingkungan. Pendidikan ini diharapkan mampu memberikan kesadaran lingkungan sedari dini. Sementara untuk merubah perilaku manusia yang telah terlanjur terbentuk diperlukan ketegasan aparat dalam menegakan aturan yang ada. Hal ini dikarenakan perubahan perilaku yang sudah mengakar hanya bisa dilakukan secara paksa melalui aturan-aturan dengan sanksi yang tegas. Apabila dikaitkan dengan deep ecology, kondisi di Indonesia baru mencapai kesadaran, tetapi kesadaran ini belum mewujud pada tindakan. Sehingga sebagian ahli mengatakan bahwa konsep yang digunakan di Indonesia adalah shallow deep ecology. Hal ini bisa dipahami karena merubah pola pikir dan cara pandang suatu masyarakat bukanlah suatu proses yang mudah dan cepat. Masykuri dalam aritkelnya ETIKA LINGKUNGAN: Solusi Menghadapi Mentalitas Frontier menyatakan bahwa akar dari banyak permasalahan lingkungan adalah bersumber dari adanya mentalitas “Frontier“ yang cukup mengakar dalam peradaban manusia, bahkan masih tetap terasakan sampai sekarang ini. Mentalitas Frontier (Frontier Mentality) adalah mentalitas dasar atau etika yang ditandai oleh tiga konsep ajaran dasar, (Chiras, 1985, hal. 435) yaitu : 1. Bahwa dunia sebagai penyedia sumber daya yang tak terbatas untuk digunakan oleh manusia, dan tidak perlu berbagi dengan segala bentuk kehidupan lain yang memerlukannya. Dengan kata lain “segala sesuatunya senantiasa tetap tersedia terus dan itu semua untuk kita manusia”. Sebagian dari konsep ini, juga terdapat anggapan bahwa bumi ini memiliki kapasitas yang tidak terbatas untuk menerima dan mengolah pencemaran. 2. Bahwa manusia itu terpisah dari alam dan bukan merupakan bagian dari alam itu sendiri.
3. Bahwa alam dilihat sebagai sesuatu yang harus ditundukkan. Teknologi adalah alat ampuh bagi manusia untuk menundukkan alam, dan juga merupakan jawaban bagi banyak permasalahan konflik antara masyarakat manusia dengan alam. Mentalitas frontier ini telah menguasai jalan pikiran dan perilaku manusia cukup lama, bahkan tetap mendominasi pola pikir atau paradigma masyarakat modern dewasa ini bukan hanya dalam melihat problema lingkungan, tetapi juga dalam upaya memecahkan masalah lingkungan. Mentalitas frontier ini sangat kuat mempengaruhi pola pikir, pengambilan keputusan, tujuan dan harapan individu maupun masyarakat, bahkan sebagai dasar pembenaran setiap tindakan kita. Secara lebih rinci mentalitas Frontier ini menegaskan pemahamannya bahwa : a. Bumi adalah bank sumber daya yang tak terbatas. b. Bila persediaan sumber daya habis, kita pindah ke tempat lain. c. Hidup akan semakin baik bila kita terus dapat menambahkan kesejahteraan material kita. d. Harga yang harus dibayar untuk setiap usaha adalah penggunaan materi, energi dan tenaga kerja. Ekonomi pada dasarnya adalah ketiga hal tersebut. e. Alam adalah untuk ditundukkan. f. Hukum dan teknologi baru akan memecahkan masalah lingkungan yang kita hadapi. g. Kita lebih tinggi dari pada alam, kita terpisah dari alam dan superior terhadap alam. h. Limbah adalah sesuatu yang harus diterima dari setiap usaha manusia. Menurut Masykuri etika yang harus digunakan masyarakat modern saat ini adalah Etika Keberlanjutan (sustainable ethics) yang dikemukakan oleh Chiras (1985: 435) yang memiliki anggapan dasar bahwa : 1. Bumi merupakan sumber persediaan yang memiliki batas. 2.
Mendaur-ulang dan menggunakan sumber daya yang dapat diganti akan mencegah terjadinya kehabisan persediaan sumber daya.
3. Nilai hidup tidak di ukur dari besarnya uang kita di bank. 4.
Harga setiap usaha, bukan hanya penggunaan energi, tenaga kerja dan materi tetapi harga eksternal, seperti : kerusakan lingkungan dan kemerosotan derajat kesehatan manusia harus juga diperhitungkan.
5. Kita harus memahami dan bekerja sama dengan alam. 6.
Usaha-usaha individu dalam mengatasi masalah yang sangat menekan harus dibarengi dengan hukum yang kuat serta teknologi yang tepat.
7. Kita adalah bagian dari alam, kita dikuasai oleh hukum alam, oleh karena itu harus menghormati komponen hukum-hukum tersebut. Kita tidak lebih hebat dari alam. 8.
Limbah adalah tidak dapat ditoleran, sehingga setiap limbah harus punya nilai guna.
Daftar Acuan Naess, Arne.1993.Ecology, Community and Lifestyle, Outline of an Ecoshophy. Trans. By David Rothenberg. Cambridge: Cambridge University Press.