Diskusi VI Kota berkelanjutan Rifai membangun sustainable city, menuju kota Indonesiayang inklusif, aman, tangguh dan lestari dikaitkan dengan SDG Kita akan fokuspada isu strategi. Kita membahas kota tapi tidak membatasi jika ingin membahas rural development, diangkat karena urbanisasi menjadi isu penting karena pertumbuhan urban meningkat dengan 30% pertumbuhan adalah penduduk kota. Di Indonesia, penduduk kota berjumlah 120 juta lebih terutama di Jawa. Elisa melihat terkait isu perkotaan dan dokumen nasional (lihat detail presentasi) sebagai narasumber dari rujak center for urban stuides, fokus pada isu kota n ilmu pengetahuan, Tujuan embangunan lestari no 11 SDGs dengan RPJMNberupa 3 buku yang belum disahkan. 250 juta akan tinggal di kota, namun kemiskinan dan kesenjangan makin tinggi, makin banyak jumlah penduduk maka gini rasio makin tinggi, dan trendnya meningkat. Di Jakarta, angka kemiskinan meningkat dengan standar yang lama. Kita mengkritisi standard 1,25 dollar perhari, hanya pangan saja, bukan sanitasi, transportasi, jaminan kesehatan, sementara standar PBB, 5 dollar/ hari, jadi yang miskin adalah 4,3 milyar orang. Tujuan pembangunan lestari tidak hanya tujuan no 11 tapi terkait dengan tujuan no 1 mengakhiri kemiskinan, pola knsumsi dan produksi no 12, karena kota merupakan rangkaian konsumsi boros dibanding desa untuk mendukung dan menjamin kelangsungan hidup di masa depan dan tidak merusak ekosistem Tujuan 11 tidak bisa dilepaskan dari struktur dan tata ruang, setingkat hak milik, misalnya petani kalah karena tidak punya sertifikat, pemahaman ruang sebagai dimensi dan ruang sosial budaya tidak berhenti pada selembar kertas. 1.Memastikan akses terhadap perumahan dan pelayanan dasar yang layak dan memperbaiki kualitas pemukiman, misalnya kualitas sepertinya bagus dan tidak kumuh tapi tidak punya fasilitas air, mencari bahasa yang tidak memojokkan kaum miskin misalnya 2. jelas 3. meningkatka kualitas urbanisasi, terkait perencanaan dan pengelolaan urbanisasi, dengan rencana tata ruang 4. warisan budaya dan natural dunia, di Indonesia hanya ada beberapa saja yang sudah diakui dunia, ada 60 ribu yang sudah terdaftar d kemedikbud. Misalnya kita memperluas pada kota tua Jakarta, kota gedhe Jogjakarta, kota lama semarang, bagaiman menyikapinya. 5.mengurangikerentanan bencana alam 6. mengurangi dampak buruk lingkungan
1
7. ruang public diakui pentingnya untuk keberlanjutan dan sosial budaya ekonomi di dalamnya Tantangan SDG berlaku untuk semua, jadi bagaimana merumuskan yang relevan bagi semua kota yang berbeda konteksnya, bagaimana paradigma diadopsi di tingkat lokal. Akan ada cek list untukmemenuhi target 2030. Konsep perumahan tidak layak lebih baik daripada perumahan kumuh.Perbaikan layanan dasar seperti air dan listrik. Jadi misalnya mengubah mindset untuk membangun dari kayu atau bamboo daripada beton, yang lebih cocok dengan iklim kita tapiIndikator transportasi untuk memudahkan mobilitas atau akses karena tidak terlepas dari tata ruang, misalnya di Jakarta, kantor dan mall ada di tengah, sehingga transportasi terkonsentrasi ke kota, jadi bukan hanya kuantitas alat transportasi namun integrasi tata ruang dan transportasi, agar mobilisasi mudah di area tertentu. Semua kebutuhan berjarak dalam radius satu kilometer, meliputi hunian, kantor dan sekolah. Warga bisa bersepeda atau berjalan kaki. Target 4; 60 ribu cagar budayaseluruh Indonesia terdaftar di kemendikbud. Konflik kepentingan antara pemerhati cagar budaya dan pemerintah daerah, misalnya membangun mall di area cagar budaya. Bagaimana kota lama dipertahankan nilainya dan keunikannya. Jika dihilangkan nila kota tua itu juga akan berkurang. Ali sadikin dulu memulai program konservasi dan revitalisasi kota tua Target 5, untuk kota global city punya standar berbeda dengan kota lain, misalnya secara ekonomi yang terjadi di New York berpengaruh di kota besar lainnya tapi tidak di kota sekunder. Maka harus disesuaikan pada konteksnya masing-masing dengan karakteristk yang berbeda. RPJMD memasukkan target ini, inventarisas potensi dan masalah diperlukan sehingga tidak hanya mengambil target saja. Kita memahami mengapa ada SDG ini, bagaimana kemiskinan direduksi menjadi angka dan bukan akar masalahny yang adalah akibat sistemik pembangunan. Misalnya SCBD sebelumnya adalah kampung besar, lalu digusur dan kemudian menjadi lebih miskin karena tercerabut dari komunitasnya dgn pekerjaan baru krn pekerjaan lama terlalu jauh sehingga lebih miskin setap terjadi penggusuran. RPJMN, Yang berkaitan dengan isu kemiskinan dan perkotaan ada 5, kemudian, 5 Agenda prioritas pembangunan dan nawacita.Semua nya hampir serupa antar dokumen, semua sudah ada dalam dokumen. Bagaimana caranya merangkai, misalnya warisan budaya tidak ada konteks kota, ruang publik tidak secara khusus unuk meningkatkan kualitas hidup warganya bukan hanya bicara soal kreativitas. JIka Kita membahas per bidang dan terpencar di bab yang berbeda misalnya sarana dan prasarana, bencana terkait elembagaan dan sarana prasarana sampai tata ruang, transportasi di bagian sarana dan prasarana.
2
7 pusat kegiatan nasional secara spesifik memasukkan masing-masing kota, masalahnya menggunakan perkotaan sebagai smart city tanpa prioritas, apakah kota kabupaten harus menjadi smart city, Bappenas tidak sensitif karena menyamaratakan kota. Tiap pulau punya tujuan yang berbeda, namun tidak terintegrasi satu sama lain. Tujuan bisa ada dengan pemikiran jika orang miskin dan diffabel, anak-anak, manula dan perempuan bisa hidup nyaman maka secara umum, semua akan merasa nyaman. Setiap perencana kota harus keliling kota duduk di kursi roda memangku anak dan berjalan dengan manula. Moderator : penjelasan ini menjadi pengetahuan awal untuk diskusi. Mengkaitkan untuk internalisasi, dokumen mencakup semua.Internalisasi dan mainstreaming SDG dalam RPJMN menjadi masukan dan mempertajam untuk agenda lokal.Misalnya slum di Jakarta beda dengan India. Kampung pulo dikatakan slum padahal beda dengan slum di London atau di India.Namun kita bisa bicara semua issue, bisa mempertajam konteks SDG. Romlidari perekat demokrasi tangerang, kota industri hunian diantarapabrik sehingga tidak layak. Model pembangunannya seperti buka warung, tiap lahan bisa dibangun pabrik, maka hak hidup masyarakat atas lingkungan yang bersih dan sehat, serta tercemarnya sumber daya air sungai dan air tanah, sementra PDAM masih warisan jaman Belanda. Pesimis dengan praktek lapangan, Tangerang sebagai satelit Jakarta sebagai kota yang akan menjadi beton dan bukan untuk manusia, hanya pabrik saja. RTRW akan mengubah lahan sawah menjadi pabrik dan pergudangan, kota akan mati. Ruang terbuka hijau 30% belum tercapai. Banyak kota satelit didorong menjadi kota industri juga di banten yang mengkonversi sawah menjadi industri. Inkonsisten , pemda hanya mementingkan income dengan perhatian investor yang berarti industrialisasi yang hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan. Masyarakat lokal tersingkir, karena awalnya menjadi petani dan tidak siap masuk dunia industri maka pemiskinan berulang terjadi. Masyarakat Tangerang menjadi penonton di wilayahnya sendiri dan berdampak pada unculnya kawasan kumuh baru, pendatang mencari rumah petak dan kontrakan yang menyumbang kekumuhan karena tidak didesign untuk menjadi kawasan layak huni. Kawasan industri dan hunian kumuh berdiri atas dasar tuntutan pasar bukan pada pengaturan tata ruang. Tantangan untuk kota industri, karena revitalisasi sulit dilakukan, relokasi industri sangat sulit dilakukan. Andangdari Bappeda Wonosobo sedang menyusun RPJMD, indikator 309 belum ada. Kita perlu menyepakati definisi kota, misalnya kota pemerintahan atau memiliki ciri perkotaan. Antar kementrian berbeda misalnya definisi antara PU dan kemendagri, pemda bingung karena ukurannya berbeda beda. Indikator kota besar sedang, kecil juga berbeda indikatornya misalnya soal emisi gas, kota yang baru berkembang dan kota lama. Wonosobo kesulitan misalnya soal transportasi karena dahulu perencanaan buruk, trayek angkot semua ke kota. Terkait kekumuhan dan terkait hak kepemilikan tanah, pelanggaran soal sepadan, tanah negara disertifikatkan pribadi karena perilaku oknum BPN.
3
Mengkaitka visi, misi, nawacita, agneda prioritas membingungkan, kota hijau, cerdas, ramah anak memang membingungkan, hal ini perlu diintegrasikan. Hal ini perlu disuarakan di kementrian dengan program sendiri, kita pandai membahas dokumen tapi lemah dalam implemenasi. Misalnya fungsi budget DPR, 40% anggaran dikuasai oleh DPRD padahal tidak bersentuhan langsung dan secara ekonomi tidak berdampak. Kini ada pula DAK ad hoc dari anggota DPR, untuk mengatasi pasar terbakar. Akses pendidikan ditarik dari kabupaten ke propinsi, bagaimana dengan di luar Jawa, hal ini semakin menghambat akses pendidikan. Intinya soal indikator dan definis kota, Jika definis masih rancu maka implementasi sulit Gamma : dari PKBI DIY, terkait banyak isilah dan konsep karena dampak terburuknya adalah kantong korupsi baru, pemerintahan seharusnya peduli dengan indigenous people dalam konteks pembangunan kota, masyarakat asli yang berasimilasi di kota dan pinggiran, di DIY misalnya anak jalanan tidak sematamata ekonomi, atau manusia perahu, atau peziarah yang menjadi stateless dan terlupakan, waria tidak diakui sebagai warga negara dalam konteks tata ruang kota, tidak punya KTP, KK, apalagi BPJS. Kita perlu mendiskusikan kekumuhan, karena masing-masing punya definisinya sendiri, tidak bisa membandingkan pakaian Jawa dan Papua, maka konteks lokal penting untuk menciptakan ruang kota, agar tidak menyeragamkan kota ,isalnya kantor pemerintahan yang java centris. Pembanguna lestari sebagai tambahan konsep juga bisa membingungkan Khairani dari Power Aceh, kita bicara pembangunan fisik kota, tapi membangun kesadaran warga lebih penting. Kota Banda Aceh setelah tsunami sebenarnya membangun bisa lebih baik dan lebih mudah. Dengan bantuan internasional seharusnya bisa dibangun 3-4 lebih bagus tapi tidak terwujud krn tidak ada kesadaran warga. 15 tahun ke depan, bagaimana membangun dan kemudian menjaganya. Indicator seharusnya lokal, bagaimana niat baik pemerintah untuk membangun dari semua walikota. 2017 dengan pemda baru bisa menawarkan deal politik untuk menjalankan SDGs dan pesimis dengan Aceh. Daerah otonomi khusus merencanakan semuanya sendiri, tidak perlu apapun dari luar, maka ketika terjadi, pembangunan berkelanjutan menjadi sulit. Data, membangun kota dengan data sedang menjadi simbol di aceh, sistem informasi desa misalnya harus dihubungka degan fasilitas diffabel. Apakah menjadi mitra pemerintah, atau ada diluar? Jika pemerintah terbuka akan lebih mudah. Moderator : belajar pengalaman di Aceh bagaimana tangguh terhadap bencana, data sebenarnya tergantung pemakainya, bagaima data diperoleh dengan mudah dan masyarakat bisa menggunakan untuk kepentingannya.
4
Makassar punya sejarah maritim yang panjang, banyak menghancurkan gedung dengan nilai sejarah, demi pengembangan kota dihancurkan, dengan konsep kota dunia, pesisir mulai dikembangkan tapi menggusur masyarakat pesisir. Mereka kehilangaa sumber hidup karena masuknya sektor swasta. Beberapa komunitas akan dipindahkan dari habitatnya. Dalam hal infrastruktur, ada akses air bersih namun pada wilayah tertentu dan musim tertentu kesulita air.Jadi belum tentu infrastruktur yang bagus menjamin kualitas. Rasa aman berkurang dengan banyaknya kasus pembegalan, pada perempuan dan di moda transportasi, ruang public yang beralih fungsi, infrastruktur untuk diffabel Makasar juga latah reklamasi dan serentak ekspansi kota dengan cara mudah. Kupang dan Manado, melakukab reklamasi terkait sustanaibility, maka lestari juga terkait komunitas. Titok dari IRE : tidak ada RTWR yang menjadi acuan secara nasional sehingga semua alamiah, tidak ada RT RW misalnya kabupaten sleman. Tidak ada kajian komposisi desa kota denga komposis pangan yang bisa dipenuhi desa untuk memasok kota, misalya China, melakukan riset daya tampung Shanghai karena tidak bisa dilebarkan lagi, karena jika lahan sawah terancam ketahanan pangan terancam dan akan mudah ditaklukan. Bicara kota ramah dan memberi rasa aman, bersinergi dengan target dan tujuan SDG lainya, perkembangan Indonesia mau di set up seperti apa? Kaitan dengan kota dan tuntutan ruang terbuka, Jogja menyusun perda rumah susun merupakan solusi rasional untuk mengatasi kepadatan, kajian sosial perlu dilakukan. Konsep rumah susun untuk pekerja, bukan untuk sektor informal.Mengejar ruang terbuka tidak bisa disesaikan hanya dengan rumah susun, bagaimana menyelamatkan masyarakatnya. Moderator mengubah konsep vertical menjadi horizontal Mugiyanto dari INFID SDGs sebagai 169 perintah terlalu berlebihan namun sifatnya yang general tidak bisa menjawab kebutuhan kota secara spesifik, maka mengkontekskan secaralokal memang penting. Benang merah adalah pentingnya HAM dalam perspektif pembangunan kota dan dasar pembuatan kebijakan. Sangat lemah perspektif HAM dapat dilihat dalam peanganan kampung pulo. INFD memfasilitasi wonosobo dan HAM sebagai landasan pembuat kebijakan, misalnya dalam pembangunan fasum, untuk meminimalisasi pelanggaran HAM dalam proses pembangunan yang kini sangat agresif. Lisa meliat permasalahan daerah, adalah partisipasi publik dalam penyusunan perencanaan dokumen publik, misalnya sleman ada tapi prosesnya sangat buruk, warga tidak endapat manfaat dan tidak dapat mengontrol.Warga hanya bisa akses ke musrenbang, bappenas sebagai penyelenggara nasional sebenarnya bisa melakukan dengan lebih baik.
5
Perlu ada data dan inventarisasi untuk menjadi dasar kebijakan sehingga kebijakan tidak hanya diambil secara politis.Keberlanjutan adalah kehidupannya bukan pembangunannya.Pembangunan yang hanya memunculkan konflik dan kemiskinan sebaiknya dihentikan.adat istiadat dan tradisi dikesampingkan dan hanya melihat banguna secara fisik. Strategi yang baik musrenbang, forum reses DPR. RTRW bisa direvisi tiap 5 tahun dengan kajian namun tidak ada penjadwalan sehingga masyarakat tidak bisa partisipasi. Andang : anggaran penelitian tidak ada karena dianggap tidak menyentuh secara langsung Sugeng menjelaskan ada contoh penganggaran partisipatif dengan menyuguhkan menu pembangunan yang bisa dipilih masyarakat di Paris. Yang dipilih misalnya gedung tinggi dihijaukan dan kantor terbuka yang bisa dipakai oleh masyarakat. Pemda seharusnya bisa melakukan inovasi, bagaimana jika pemimpinnya tidak reformis. Jika asumsi kepala daerah yang baik tidak ada maka tanggung jawab kita untuk menyebarluaskan pengetahuan.Baru kali ini ada tujuan khusu tentang kota, kita harus menekankan manusianya. Kongres kota menarik untuk merumuskan. SDGs memberi momentum untuk bekerjasama dengan pemda reformis. Moderator menawarkan forum 19 Desember di Surabaya, urban social forum ketiga, mengakomodir kawan aktivis perkotaan dan pemerintah untuk sharing pengalaman.Ada 20 panel tambahan misalnya right to the city, di Univ 17 agustus d Surabaya. Terkait participatory budgeting seperti sudah dilupakan.Ada praktek kecil di komunitas anggaran berbasis partisipatif.UU desa juga untuk mendorong participatory budgeting. Ada urban poverty , climate change, city and human right, east Indonesian cities and urbanization, urban social forum akan ada websitenya .
6