Diskusi Manajemen Produksi Teater Bentara Budaya Bali Minggu, 18 Agustus 2013
Menyoal Dapur Belakang Teater
Dari Amatir Menjadi Tak Amatir Ratu Selvi Agnesia Sudah secara umum penonton hanya terpukau dengan pertunjukan yang nyata dan saat itu pula di depan mata, hanya saat di panggung pertunjukan baik prosenium atau outdoor. Jika diibaratkan dengan gunung es, tontonan teater yang mereka lihat sebenarnya hanya penampakan puncaknya. Dibawah gunung es tersimpan lebih banyak peristiwa kelahiran sebuah panggung teater, dimana terdapat sebuah pergulatan dan kerja kolektif berbagai pihak. Dan dibawah gunung es itu, saya menyebutnya “dapur belakang panggung teater” yang menentukan pertunjukan itu berlangsung secara profesional atau amatir. Kita selalu mengenal istilah teater adalah candu, sebuah metafora yang seolah menuntut diri pekerja teater untuk ketagihan, namun dikhawatirkan hanya sekedar “asal pentas”, sehingga bagi saya analogi teater adalah sebuah hidangan makanan. Setiap hari kita membutuhkan makan, dan bagi sebagian orang teater adalah makanan batin selain juga menyajikan sebuah wacana dan representasi sebuah kehidupan nyata/imajinasi ditranformasikan ke atas panggung. Tetapi untuk meracik sebuah hidangan yang sedap di lidah dan membangkitkan selera makan perlu proses mencampur bumbu dan ramuan yang tepat, koki yang handal dan yang terpenting memakai rasa dan hati. Oleh sebab itulah, kita perlu menyoal dapur belakang teater atau manajemen produksi teater. Tentang Manajemen Teater di Indonesia Teater adalah bagian dari lini disiplin ilmu seni pertunjukan. Dalam teater melibatkan. Pertama, kolektif art (seni kolektif) dimana setiap personal/anggota di dalam kelompok/organisasi teater tersebut harus saling bekerjasama dan saling bergantung satu sama lain. Kedua, teater adalah synthetic art (seni campuran) didalam pertunjukan teater terdapat berbagai elemen seni seperti keaktoran, gerak, rupa (artistik), musik, kostum (fashion), bahkan di era seni postmodern saat ini dalam beberapa dekade kebelakang, dalam pertunjukan teater sudah melibatkan multimedia, tari dll. Beberapa pertunjukan teater yang terlibat dalam kinerja kerja saya kebanyakan melibatkan Synthetic art yang lebih luas. Dalam tataran dunia ide dan pelaksanaanya, bagi saya, teater modern Indonesia adalah teater yang menawarkan gagasan baru yang krusial tanpa melupakan akar landasan tradisi. Seperti pertunjukan Stage Corner Community, Techno Ken Dedes (2011) Peraih Hibah Seni Kelola untuk karya Inovatif, dan TeaterStudio Indonesia, Emergency: Bionarasi Tubuh Terbelah yang menggunakan bentuk Teater Avant Garde dengan teori Grotowski namun menggunakan artistik bambu dalam menanggapi kekerasan hidup di ranah urban/perkotaan. Adapun, teater di Indonesia terbagi atas tiga manajemen produksi: pertama adalah teater dengan manajemen tradisional, mengkhususkan pada satu jenis kegiatan yang sudah standar atau terjadwal, dengan karakterisik manajemen yang diterapkan turun menurun dan tidak membutuhkan pengetahuan manajemen yang tidak terlalu kompleks atau dalam taraf sederhana. Contoh: Teater Sunda Kiwari di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung dan Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih di Jakarta. Kedua, teater dengan manajemen profesional, teater yang memiliki banyak kegiatan dan fungsi manajemen lengkap seperti produksi, pemasaran, keuangan dan sumber daya manusia serta strategi, organisasi dikelola oleh pengelola penuh waktu, memiliki karya
dengan artistik yang memadai dan kerapkali berorientasi bisnis (profit). Contoh: Teater Garasi Yogyakarta, Teater Koma dan teater di kota-kota besar dengan jaringan yang luas. Seperti yang diungkapkan Putu Wijaya, “Dalam bentuk yang lebih modern, pertunjukan teater diselenggarakan dengan cara yang profesional. Profesional dalam hal ini adalah adanya manajemen yang matang dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pascaproduksinya”. (Wijaya, 2007:192) Ketiga, teater dengan manajemen amatir, berorientasi sekedar kepada eksistensi, organisasi dikelola oleh pelaku seni paruh waktu, jabatan pengelola dirangkap oleh sutradara yang tidak jarang masih juga berperan sebagai penulis naskah, pemain, mengurus pemasaran dan mengelola keuangan, akibatnya pengelola tidak memiliki waktu dan perhatian yang cukup untuk mengembangkan kemampuan manajerial dan tata panggungnya. Pengorganisasian manajemen yang masih meraba-raba. Pegiatnya timbul dan tenggelam dan keberadaanya seperti jamur di musim hujan lalu kerontang dan hilang di musim kemarau, sehingga cenderung tidak ada regenerasi. Tidak dapat dipungkiri kecenderungan teater di Indonesia masih mengikuti pola manajemen seperti pada teater kampus, pelajar dan teater komunitas yang hanya berorientasi pada sekedar festival. “teater Indonesia adalah teater yang penuh ambiguitas, ini disebabkan oleh banyak hal, terutama teater di Indonesia hingga kini masih amatiran, baik dari segi manajemen produksi maupun dari segi manajemen artistik (penyutradaraan, skenografi, panggung, cahaya, musik, rias. (Tommy F Awuy, Teater Indonesia) Kelompok teater modern di kota-kota besar di Indonesia harus sudah bergeser pada teater yang digarap secara profesional bahkan dalam bentuk kesenian populer. Tengok gedunggedung pertunjukan di Taman Ismail Marzuki dan gedung pementasan lain di Jakarta yang sudah tak ramah lagi untuk kelompok teater amatiran dengan sewa gedung yang melangit. Lalu bagaimana dengan di luar Jakarta? Jangan pikirkan dahulu gedung pertunjukan, tapi pikirkan bagaimana kelompok teater modern dan teater tradisional mulai memberdayakan kesejahteraan anggota tanpa mematikan kreatifitas ide yang harus terus bergulir. Untuk melihat sejauh mana amatir teater kita, mari kita coba telaah satu persatu yang mungkin kita pernah alami dalam sebuah proses produksi teater diantaranya: sulit mencari tempat pertunjukan yang refresentatif, kurangnya sponsor bahkan defisit saat pertunjukan, pemain tidak mendapat honor atau bahkan merugi, pembagian tugas yang tidak jelas saat pelaksanaan, penonton sedikit, akomodasi kacau balau dll. Menurut pengamatan saya, masalah diatas disebabkan karena, hanya segelintir kelompok teater yang memahami betul, mereka ingin menggarap teater secara serius dan dimanajemen dengan baik, tidak hanya sekedar pentas. Tetapi kebanyakan, ternyata hanya menginginkan pentas tanpa ditunjang manajemen produksi teater yang baik. Itulah masalahnya! Tujuan manajemen produksi teater agar proses teater berlangsung dengan lancar, penuh dengan loyalitas, rapi, sistematis, terkoordinasi, tidak berantakan, efektif, efisien atau setidaknya, tidak menjadi atau dianggap amatir dalam mencapai keberhasilan pertunjukan. Istilah Manajemen Produksi Teater tidak asing lagi di telinga, namun langka dilakukan secara gamblang dan profesional tetapi manajemen produksi teater semakin menjawab kebutuhan saat ini untuk para pelaku teater di dalam sebuah organisasi teater.
Proses Manajemen Produksi Teater Sesuai definisi, dalam manajemen produksi teater terdapat 4 langkah yakni perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dan pengawasan. Keempat langkah ini yang disebut proses. -
Perencanaan merupakan titik awal proses memanajemen organisasi seni pertunjukan, rencana merupakan penjabaran dan pengejawantahan dari keinginankeinginan pimpinan maupun anggota organisasi. tanpa rencana, organisasi teater bagaikan layang-layang putus yang ikut kemana arah angin bertiup. Dalam perencanaan dilihat kondisi saat ini lalu menjadi kondisi yang diinginkan, sehingga kita paham, akan apa yang akan dilakukan dan sejauh mana pencapaian yang bisa diraih. Rencana harus ditunjang oleh: pertama, rencana jangka pendek atau rencana operasional yang terdiri dari rencana kegiatan seminggu, sebulan, setahun atau setiap pertunjukan. Seperti waktu dan tempat, jadwal (timeline), biaya, dan penanggung jawab kegiatan. Kedua, rencana jangka panjang atau disebut rencana stratejik, meliputi keseluruhan kegiatan organisasi dalam jangka panjang meliputi keseluruhan kepentingan organisasi, seperti perumusan misi dan visi. Sebelum membuat perencanaan yg realistis, alangkah bijaknya jika dipahami dahulu analisis SWOT (strenght/kekuatan, weakness/kelemahan, Opportunity/peluang, threat/ancaman) setelah itu baru ditentukan Sasaran yang baik yang harus meliputi SMART (Spesifik, Measurealble/dapat diukur, Attainable/dapat dicapai dan menantang, realistic/sesuai kondisi eksternal dan internal dan Time/ada batasan waktu). Adapun, SMART merupakan pedoman umum yang dipakai untuk manajemen seni pertunjukan lingkup kecil hingga manajemen proyek besar yang menyangkut biaya, mutu dan waktu.
-
Pengorganisasian dilakukan untuk menjamin agar kemampuan orang-orang yang ada di dalam organisasi dapat dimanfaatkans ecara optimal. Proses pengorganisasian diantaranya: merinci pekerjaan-pekerjaan, mengelompokan pekerjaan-pekerjaan, membagi tugas dan menyusun mekanisme koordinasi. Pemimpin dalam sebuah organisasi teater, baik sutradara sebagai pimpinan artistik yang menafsirkan konsep atau pimpinan produksi yang merealisasikan biaya, harus memiliki pengarahan tidak sekedar memberi tugas, tetapi mampu mengembangkan kemampuan dan meningkatkan motivasi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk struktur organisasi yang lengkap dengan uraian pekerjaan yang berisi tugas dan wewenang setiap anggota organisasi, serta mekanisme kerja antar bagian organisasi di dalam kelompok teater.
-
Pengendalian dan pengawasan adalah mekanisme yang berfungsi untuk menjamin atau memastikan tercapainya sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Proses pengendalian yaitu menatapkan standar sasaran, mengukur hasil atau prestasi yang ada, membandingkan hasil dengan standar dan mengambil tindakan. Adapun pengendalian yang baik harus fokus pada hal penting/prioritas kegiatan, bersifat ekonomis, tepat waktu dengan pendeteksian sejak dini secara periodik pada potensi kritis, dapat dimengerti dan dapat diterima oleh seluruh anggota organisasi.
Keuangan dan Fundraising Mengelola organisasi dapat diidentikan dengan merawat kesehatan tubuh manusia. Uang di organisasi ibarat darah di dalam tubuh manusia, Apabila organisasi kekurangan uang akibatnya seperti manusia kekurangan darah. Tubuh akan loyo, tidak bersemangat, dan lama-kelamaan sekarat. Masalah yang biasanya muncul dalam keuangan organisasi teater: -berapa dana yang dibutuhkan dan dari mana sumber dana diperoleh? -bagaimana mengalokasikan menggunakan dana tersebut? -bagaimana melakukan pengendalian keuangan? Kegiatan yang harus dilakukan adalah pertama, mencatat semua transaksi/kegiatan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaraan uang, kedua mengelompokan transaksi tersebut ke dalam unsur-unsur keuangan, seperti: harta, utang, modal, pendapatan, biaya, penerimaan, pengeluaran dan Ketiga, membuat laporan keuangan. Sedangkan untuk solusi masalah darimana sumber dana diperoleh, dibutuhkan solusi fundraising. Fundraising adalah upaya penggalangan dana tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi di dalamnya tercakup upaya mendapatkan dukungan/bantuan non-uang, seperti sumbangan pemikiran, tenaga, pinjaman tempat, dan fasilitas. Fundraising bukanlah hanya bentuk permohonan materi, namun merupakan tindakan yang terhormat demi sebuah karya, sehingga jangan merasa bersalah, malu apalagi minta maaf saat melakukannya karena kesannya justru akan negatif bagi calon donor/ sponsor. Fundraising khusus dilakukan untuk suatu proyek atau produk, sering disebut sponshorsip. Biasanya di Indonesia, fundraising dilakukan oleh pimpinan organisasi atau bagian dana usaha dengan kriteria berupa seseorang yang dikenal oleh sumber dana, berpengaruh, memiliki kemampuan presentasi dan negosiasi, komitmen waktu dan mengetahui sumber dana. Namun akhir-akhir ini, marak perusahaan event organizer yang menawarkan jasa pengelolaan event, didalamnya mencakup fungsi fundraising, mereka dibayar dengan presentase tertentu dari dana yang didapatkan. Di negara maju, bahkan ada ahli fundraising yang berperan sebagai konsultan dan dibayar atas jasanya. Adapun Siklus Fundrising terdiri dari: 1. Proyek Mendeskripsikan sebuah kegiatan pertunjukan dengan topik yang diangkat harus dikemukakan secara jelas tanpa bertele-tele, menggunakan bahasa lugas, persuasif namun tetap menarik. Ini dituangkan dalam bentuk proposal yang ditulis dengan baik, dilengkapi dengan foto, video, atau kliping koran pementasan sebelumnya untuk menyakinkan calon penyandang dana. Tanpa dokumentasi, seniman tidak punya alat untuk memberikan informasi ke orang lain tentang karyanya. 2. Identifikasi sumber dana untuk memahami motivasi orang atau institusi memberi sponsor, diantaranya: kebutuhan untuk kebanggaan diri, kebutuhan untuk diakui orang lain, kebanggaan karena diasosiasikan dengan sesuatu, rasa tanggung jawab dan kecintaan pada seni, pertimbangan bisnis, sumbangan dari orang-ke-orang dan memberi sumbangan karena terganggu.
Sponsor yang biasa memberi dana bisa berupa: instansi pemerintah, organisasi nirlaba, organsisasi bisnis, dan pribadi. 3. Penelitian sumber dana Lead/sumber dana bermacam-macam, dibutuhkan penelitian berupa informasi program, alamat, contact person, dan lain-lain. Lead yang paling jelas hubungannya bisa berupa: simpatisan, teman-teman, berita dan iklan di media masa, organisasi budaya lain, organisasi penyandang dana dan nasib baik. 4. Penentuan metode fundraising Metode fundraising yang tepat sangat tergantung pada hubungan antara pencari dana dengan calon pemberi dana. Makin bersifat pribadi pendekatan fundrising-nya, makin besar kemungkinan suksesnya. Pendekatan tersebut antara lain: melalui surat, email, telpon dan lebih baik adalah kunjungan pribadi oleh seseorang yang dikenal oleh calon donatur 5. pelaksanaan fundrising Pertama dilakukan pendekatan (kontak awal) yang diidentifikasi kepada calon sponsor, kedua penyampaian proposal sembari paparkan tujuan program dan yakinkan bahwa sponsor sejalan dengan tujuan program. Setelah itu lakukan presentasi secaha khusus untuk menjalin raport/hubungan dan terakhir membina hubungan baik dengan sponsor pada saat pelaksanaan kegiatan. 6. pembinaan hubungan dan evaluasi -menyampaikan ucapan terimakasih pada saat hari-hari besar -memberi informasi perkembangan organisai dan pelaksanaan program -mengundang pada acara-acara organisasi -menempatkan pada tempat duduk yang istimewa -melibatkan dalam pekasanaan kegiatan -menyampaikan laporan hasil kegiatan dan penggunaan dana atau evaluasi yang pada dasarnya adalah perbandingan target fundraising dengan realisasinya.
Manajemen Pemasaran Sebelum membahas penting atau tidaknya sebuah pemasaran sebuah kelompok teater baik dalam karya atau eksistensi kelompok teater tersebut, ada 3 pola pikir tentang pemasaran bagi suatu organisasi seni pertunjukan khususnya teater, diantaranya: -
ART For ART Berarti, seni untuk seni. Pelaku seni yang menganut pendapat ini akan berkonsentrasi pada berkarya sebagai realisasi dirinya dan organisasi teaternya. Mereka tidak melihat apakah masyarakat atau pasar membutuhkan/ akan menikmati karyanya atau tidak, tujuan mereka hanya menciptakan karya yang memiliki nilai seni tinggi tanpa mempertimbangkan apakah akan ada yang menontonnya.
-
ART For Mart Seni untuk pasar. Organisasi teater yang menciptakan karya dengan memperhatikan selera penonton atau pemesannya. Pelaku teater berkesenian menuruti selera pasar. Jadi, pasar berpengaruh pada apa yang akan dilakukan oleh pelaku teater.
-
ART berwawasan Stakeholders Organisasi dan pelaku tetater berorientasi pada semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) baik itu penonton atau publik, para pelaku seni lain dengan karya seninya, masyarakat sekitar dengan tuntunannya dan donatur. Jadi orientasinya pada karya seni dan pada pasar. Pertunjukan harus punya kualitas estetika yang bermutu dan juga punya nilai jual.
Dengan berlandaskan ART berwawasan Stakeholders sehingga organisasi membutuhkan pemasaran yang pada dasarnya adalah proses tukar menukar.
teater
Pemasaran adalah suatu proses yang membantu organisasi seni pertunjukan/teater menukarkan suatu karya seni yang mempunyai nilai atau manfaat bagi publik penontonnya dengan sesuatu (nama, posisi, uang) yang dibutuhkan organisasi tersebut. Manfaat pemasaran: mengenali pasar, memiliki karya yang tepat, mencapai publik/penonton, mengembangkan pesan yang memotivasi, menarik perhatian publik, menonjolkan kelebihan organisasi. Langkah dalam pemasaran, 6P: -Product (Produk) Apa yang ditawarkan? -Publics (publik) Siapa yang akan menonton? -Price (harga) Berapa akan memasang harga? -Place (tempat) Dimana produk tersedia untuk ditonton? -Prduction (produksi) bagaimana dapat memenuhi keinginan publik? -Promotion (promosi) apa yang bsia dilakukan untuk memotivasi publik agar mau menonton? Elemen publikasi/promosi terbagi atas: 1.Target Audience/ kepada siapa sasarannya -publik, pengunjung, penyandang dana 2. Teknik saluran komunikasi Dalam teks publikasi sebuah karya, pembuat teks harus memposisikan diri sebagai penonton, apakah penontonnya jenis penonton yang penasaran dengan jalan cerita, atau penonton yang ingin tahu tentang kisah sukses seniman atau karya tersebut? Kata-kata juga harus dipilih dengan seksama, jangan sampai menggunakan kata-kata yang sukar dicerna oleh penonton. Poster, brosur, leaflet, flyer, spanduk, baliho, katalog, sms, telpon, iklan di media, siaran pers, direct mail, jejaring sosial, website dll Pada akhirnya, kita tak lepas dengan ungkapan bila teater selalu berbicara tentang proses. Proses dalam teater adalah proses organisasi dan proses individu, untuk mewujudkan itu diperlukan proses dalam manajemen produksi teater yakni cara memanfaatkan berbagai
input untuk menghasilkan karya seni melalui suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengendalian yang matang dan pengawasan dari hulu hingga hilir, keseluruhannya dilaksanakan dari niat kami pentas hingga layar panggung tersibak dan sasaran jangka panjang dari mulai untuk kemajuan organisasi teater kalian dan selanjutnya semoga akan menjadi kemajuan organisasi teater di Indonesia. ***
Catatan: 1.
Achsan Permas, Chrysanti Hasibuan-Sedyono, L.H.Pranoto, Triono Saputro (2002), Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan, Lembaga Manjemen PPM, Jakarta.
2.
Langley Stephne (1990), Theatre Management And Production In America, Drama Publisher , New York.
3.
Mulgiyanto, Sal (1985), Manajemen Pertunjukan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasa dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta
4.
Greenfield James M (2001), The Non Propit Handbook L Fundraising, Acfre, Fahp, John Wille & Sons, Inc, New York.
5.
Tommy F. Awuy (et.al), Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1999.