DISKRIMINASI KAUM AHMADIYAH DI LOMBOK NTB “Analisis Teori Nasionalisme Elnest Gellner”
Agus Dedi Putrawan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram
[email protected]
Abstrak: Indonesia dikenal dengan kesantunan, keramahan, serta saling harga menghargai, sebagaimana tergambarkan dalam sebuah semboyan “berbeda-beda namun tetap satu jua”. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea keempat terdapat rumusan sila-sila Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Rumusan sila-sila pada pancasila itulah dalam hukum positif Indonesia secara yuridis-konstitusional sah, berlaku, dan mengikat seluruh lembaga Negara, lembaga masyarakat, dan setiap warga Negara tanpa terkecuali. Betapapun ideal dalam wacana, akhir-akhir ini pancasila sebagai perekat bangsa kini telah tercoreng oleh tindakan-tindakan diskriminasi kaum mayoritas atas kaum minoritas di beberapa tempat di Indonesia. Intoleransi kini menjadi trending topic masyarakat Indonesia, isu yang begitu mencolok tentang isu-isu agama seperti penyerangan serius dan pengusiran paksa, pembunuhan dan lain sebagainya sebagai manifestasi dari diskriminasi terhadap kaum minoritas, ambil contoh; warga Jamaat Ahmadiyah di Lombok pada tahun 2006, kini orang sudah tidak merasa nyaman lagi hidup berdampingan, bertegur sapa dengan orang-orang di luar kelompoknya. Tulisan ini ingin menanyakan kembali identitas nasional bangsa Indonesia dan mencoba menganalisis melalui teori National And Nationalisme Elnerst Gellner. Kata Kunci: Diskriminasi, Ahmadiyah, Nationalism
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
97
A. Pendahuluan R. Philip Buckly, dalam orasi ilmiahnya mengatakan: “Identitas Tidak Akan Ada Tanpa Adanya Perbedaan” menurutnya perbedaan itu adalah suatu hal yang nyata di dalam kehidupan.1 Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdapat 17.504 pulau tersebar dari Sabang hingga Merauke, di mana 9.634 pulau belum diberi nama, dan 6.000 pulau belum berpenghuni. Tiga dari enam pulau terbesar di dunia ada di Indonesia yaitu pulau Kalimantan, pulau Sumatra dan Papua. Indonesia disebut negara maritim terbesar di dunia dengan luas 93.000 km, dan panjang pantai 81.000 km persegi, atau hampir 25 % panjang pantai di dunia. Indonesia merupakan negara yang multi etnis, agama (Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu), suku dan budaya. Menjadi salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia, total penduduknya 240 juta jiwa. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut maka para Founding Fathers memikirkan sebuah dasar negara yang mampu merekatkan semua dalam frame nasionalisme yang dinamakan Pancasila ”berbeda-beda tapi tetap satu jua”.2 Stadium General, Pascasarjana UIN Yogyakarta, (17, Desember, 2013). 2 Andreas dkk, Pancasila “Kekuatan Pembebas” (Yogyakarta: Kanisius, 2012), h. 28. 1
98
|
Komunitas
Dalam perkembangannya di Indonesia, tumbuh berbagai macam gerakan dan organisasi keagamaan sebelum ia merdeka seperti; Perserekatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1913), Persis (1920), dan Nahdlatul Ulama (1926). Sementara dari kalangan penganut Khatolik didirikan Madi Projo (1913) dan di kalangan penganut kristen dibentuk Perkumpulan Kristen (1920).3 Jika ditelisik lebih dalam, Indonesia pasca penjajahan oleh Belanda dan Jepang, para pendiri bangsa menyadari perbedaan adalah sebuah keniscayaan, maka semangat nasionalisme “senasip seperjuangan” menjadi modal utama untuk menyatukan semua perbedaan di atas. Maka pada 1 Juni, 1945 Pancasila diperkenalkan oleh Ir. Soekarno melalui sidang pertama PBUPKI.4 Perbedaan ketika itu Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2005), h. 5. 4 Pertama-tama Pancasila berisikan :1, Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Kesejahtraan Sosial, 5. Ketuhanan. Selanjutnya ditindak lanjuti pada Sidang Panitia Kecil/Panitia Sembilan (Pancasila Dalam Piagam Jakarta) 22 Juni 1945 yang berisikan; 1. Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Sidang PPKI Menetapkan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: 1. Ketuhanan yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, 3. 3
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
dikesampingkan, dan mereka hanya fokus pada terma “merdeka atau mati”, hingga Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dan diakui beberapa waktu kemudian. Namun, Indonesia di era kontemporer saat ini jauh keluar dari cita-cita pendiri bangsanya (Founding Fathers), di mana perbedaan menjadi Political Of Tools (alat politik) atau komoditi yang empuk untuk menekan kaum minoritas, perbedaan menjadi modal sosial untuk bertindak, merebut dan mempertahankan kekuasaan (mempertahankan Privilege). Atas dasar perbedaan orang jadi bisa membakar, membunuh, mengusir sesama warga negara, berdiri di atas tendensi-tendensi, sekat-sekat, baik budaya, agama, etnis dan lain sebagainya. Fatwa sesat, kafir, halal darah, seolah-olah menjadi suatu hal yang enteng berseliweran dalam ruang publik masyarakat Indonesia saat ini. Kaum minoritas selalu saja menjadi bulan-bulanan: “Dalam laporan yang ditulis Mohammad Zulfan Tadjoeddin dari United Nation Support Facility For Indonesian Recovery (UNSFIR) tahun 2002, menunjukkan jumlah kekerasan sejak 1998 melesat naik.laporan itu berisi, di tahun itu, 124 insiden terjadi Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Lihat. Tim Penyusun, Buku Empat Pilar MPR, 2012, h. 41.
dengan korban tewas 1.343 orang. Dua tahun sebelumnya (1996), terjadi 8 insiden dengan jumlah korban tewas 227 orang. Pada tahun 1997, terjadi 15 insiden dengan 131 korban tewas. Setahun pasca Suharto jatuh (1999), jumlah insiden masih terus menanjak, jumlahnya mencapai 300 insiden dengan 1.813 korban tewas. Pada tahun 2000, menjadi 408 insiden dengan 1.617 korban. Sedangkan pada tahun 2001 menjadi 233 insiden dengan korban terwas 1.065 orang.”5
Intoleransi kini menjadi trending topic masyarakat Indonesia dalam catatan Yayasan Denny JA dan LSI Community, 2012, Isu yang begitu mencolok tentang isu-isu agama seperti penyerangan serius dan pengusiran paksa, pembunuhan manifestasi dari diskriminasi terhadap warga di Sampang Madura (kaum Syi’ah), Lombok ( Jamaat Ahmadiyah, 2006) Cikeusik ( Jama’at Ahmadiyah, 2011), kini orang sudah tidak merasa nyaman lagi hidup berdampingan, bertegur sapa dengan orang-orang di luar kelompoknya. Selalu saja timbul steriotype di akar rumput. Kemudian situasi yang seperti ini membuat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkannya sebagai sebuah komoditi atau pilitical
Zuly Qodir, “Peran Ulama Mempertahankan NKRI dan Ke-Indonesiaan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Ulama Menyelamatkan Indonesia” dalam rangka Hut Fakultas Dakwah, 11/11.2014. 5
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
99
of tools, marketing religius dan lain-lain, guna mempertahankan previlage-nya. Sudah menjadi rahasia publik bahwa eskalasi ketegangan yang terjadi di timur tengah dikemas dalam bungkus agama sedikit banyak mempengaruhi ekalasi hubungan serta mengancam kerukunan inter dan antar umat beragama, sebut saja agresi Amerika dan kawan-kawan ke Irak beberapa waktu lalu, puncaknya pada 11 September 2001. Ironisnya, saat ini masih banyak para tokoh agama (Political A Religion Establishment) atau apparatus agama terjebak dengan cara pikir sempit dan sektarian, sehingga sangat mudah sekali disulut-sulut dengan isu-isu di atas. 6 Di Lombok NTB. Hampir 8 tahun sudah, sejak penyerangan serius dan pengusiran paksa dari Ketapang, Lingsar, Lombok Barat pada 4 Februari 2006, dan di kabupaten Lombok Timur sebanyak 35 Lebih Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 100 jiwa kelompok ini hidup dalam ketidakpastian di penampungan wisma transito sebagaimana di liris oleh Beritasatu. com.7 Banyak anak-anak dan keluarga Jamaat Ahmadiyah ( JA) kehilangan haknya, mulai dari akte kelahiran, dokumen kependudukan, kartu tanda Abdul Karim, dkk, Wacana Politik Islam Kontemporer ( Yogyakarta: Suka-Press, 20017), h. 207-208. 7 http://sp.beritasatu.com/home/ dianggap-sesat-nasib-warga-ahmadiyahterlunta-lunta/30257, Selasa, 5/2/ 2013, 13:48 6
100
|
Komunitas
penduduk, Jamkesmas, Jamkesda, Jampersal, mereka kehilangan hak kewarganegaraannya, dan lucunya, pemerintah setempat masih saja menutup mata. Tulisan ini mencoba menanyakan kembali nasionalisme ke-Indonesiaan, menawarkan konsep kebangsaan “Nasionalisme” yang digagas oleh Elnest Gellner. Nasionalisme yang selama ini redup, tiarap dalam ruang pikiran dan kesadaran masyarakat Indonesia. Membangun kembali citacita toleransi dalam ruang pluralis demi mewujudkan masyarakat yang multikultural antara satu dengan lainnya, baik individu maupun kelompok sebagai sebuah cita-cita hidup dan melepaskan tendensi, sekat-sekat yang berpotensi memecah persatuan berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Kemudian tulisan ini juga akan, sedikit banyak menyinggung lokal wisdom masyarakat suku sasak, Lombok NTB, dengan pulau seribu masjidnya. B. Pembahasan 1. Apa yang Salah dalam Ahmadiyah Sebagian masyarakat awam ketika mendengar sebutan Ahmadiyah, mereka pasti mengeluarkan statement miring seperti “sesat, nabi baru, kitab baru, dan agama baru”, sikap dan tindakan yang mengundang rasa resah
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
di masyarakat inilah yang bertentangan dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945, padahal jelas tertuang dalam undang-undang diatur: Pasal 28E, Ayat 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya 8 Undang-Undang no. 8 tahun 1985. Tentang Organisasi Kemasyarakatan, resmi berdiri ber-Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor J.A 5/23/13 tanggal 13 Maret 1953. Jamaat Ahmadiyah memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara di dalam hukum. Coba telaah undang-undang pasal 1 ayat 3, (Negara Indonesia Adalah Negara Hukum). Pasal 27 ayat 1 (segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya). Pasal 28 D ayat 1 (setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum). Pasal Undang-Undang Dasar Republik Indonesia “UUD ’45 dan Amandemennya” (Surakarta: Pustaka Mandiri Surakarta), h. 39.
28 I ayat 1 dan 2 ((Pasal 1) hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (Pasal 2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu). Pasal 29 ayat 2 (Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu).9
Lalu apa yang salah dalam Jemaah Ahmadiah Indonesia ( JAI)?, mereka tidak menyalahi UndangUndang Dasar 1945, tidak melanggar HAM. Sikap dan kesadaran tentang pengaplikasian undang-undang di masyarakat memang sangat ironis, jangankan untuk mengplikasikan bahkan mereka mungkin tidak tahu bunyi pasal-pasal di atas. Tingkat kesadaran yang masih rendah inilah yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang bermain dalam wacana pengkafiran Jamaat Ahmadiyah Indonesia ( JAI). Padahal jika kita telisik lebih dalam, Islam sangat kaya dengan khazanah pemikiran dan
8
Ibid, lihat juga. Munasir Sidik, DasarDasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiah Indonesia ( Jakarta: JAI, 2008), h. 2,4,5. 9
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
101
bahkan perbedaan yang merupakan rahmat dari Allah SWT. Salah satu yang mencengangkan dan menakutkan di millennium ke tiga ini adalah tendensi pembongkaran (dekonstruksi). Masuknya globalisasi dengan demokrastisasinya membuat sekat-sekat, segala tendensi berambrukkan, mencair menjadi satu, sehingga hari ini kita bingung membedakan suku mana dengan suku mana, budaya mana dengan budaya mana, aliran mana dengan aliran mana, bahkan dalam satu kategori pun kita sulit untuk menentukan mana yang disebut murni.10 Sebut saja salah satunya kategori Islam, orang-orang mengaku “kami mewakili Islam” maka pertanyaannya adalah Islam yang mana..? begitu banyak aliran atau organisasi yang mengatas namakan diri Islam. Dalam aplikasinya, kita sulit membedakan mana Muhammadiyah dan mana NU, mana HMI dan mana PMII, semua seakan kabur dan tidak ada garis pemisah diantaranya. Idealitas dan realitas ini dalam ruang publik selalu dipertanyakan. Teologi Islam dapat dipetakan menjadi tiga yaitu; Sunni, Syi’ah dan Ahmadiyah. ketiganya adalah Islam, karena tidak boleh satu dari ketiganya ini dapat difatwakan “kafir”, ketiganya terlahir dari sejarah umat Islam. Selanjutnya Syahadat serta amalan Tendensi kemurnian atau biasa dikenal dengan istilah purifikasi inilah yang paling banyak memakan korban. 10
102
|
Komunitas
Sholat yang dilakukan ketiganya sama, hanya saja letak perbedaan dari ketiga sekte ini adalah interpretasi alQuran tentang “Khataman Nabiyin” Sunni dan Syi’ah memahami tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw. Ahmadiyah memahami “Khatamal Anbiya” masih ada manusia yang dapat menerima rahmat keruhanian setelah Nabi Muhammad saw. “Khatamal Anbiya” juga difahami, masih ada pintu untuk berkomunikasi dengan Tuhan den tidak akan pernah tertutup, karena sifat Allah “Mutakallim” (bercakapcakap) adalah sifat yang kekal. Nabi Muhammad menerima materai kenabian kemudian setelahnya tidak ada lagi. Kesaksian atas materai tersebut, kemudian taat kepada Rasulullah manusia bisa dikaruniai “kenabian”.11 Ahmadiayah adalah juru bicara Islam di dunia Internasional, terbukti dengan siaran 24 jam di TV CNN, mendakwahkan kedamaian dan anti kekerasan dengan semangat “Love For All, Hatred For None”. Mempunyai kurang lebih 190 juta pengikut di seluruh dunia, mereka menjadi kekuatan masyarakat sipil yang mandiri, tidak pernah mengharapkan bantuan pemerintah.12 Ajaran yang Qasim Mathar, Sebuah Pengantar, Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, Inti Ajaran Islam “Bagian Pertama” (Indonesia: Neratja Press, 2014), h. Iv. 12 Wawancara. Muhlisin/Muballigh (Ketua Jamaat Ahmadiyah Kampung Krucil, Desa Lenong, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjar Negara), 12 Januari 2014 11
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
dibawa Hadrat Mirza Ghulam Ahmad (1835) ini memang sejak lama hidup di Indonesia (sekitar 1924-1925), namun Booming akibat diskriminasidiskriminasi terhadap Jemaatnya setelah diblow up media serta dua fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU); fatwa MUI tentang Ahmadiyah “sesat” sedang fatwa NU “Ahmadiyah berbeda dengan Ahlussunnah Wal Jamaah”. “atas rumor tersebut kami kesal atas fatwa MUI, tapi di sisi lain kami bersyukur karena semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia, banyak orang menjadi penasaran dan ingin melihat lebih dekat Ahmadiyah. Atas diskriminasi saudara-saudara kami itu, bagi Jamaat Ahmadiyah, Prinsip kami akan selalu taat kepada pemerintah karena itu terdapat dalam al-Quran, (taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah pemimpin).13
Kaum Ahmadiyah selalu terbuka dalam dialog-dialog, diskusi-diskusi, setiap kegiatan mereka wajib mengundang pemerintah (kepala Desa, Kecamatan, Kepolisian), juga tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat di Desa (tokoh-tokoh; NU, Muhammadiyah, FPI).
negara sendiri; sifat kenasionalan, makin menjiwai bangsa Indonesia, kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.14 Secara etimologis kata nasionalisme, yang kata dasarnya adalah natio berarti bangsa kemudian dipersatukan karena kelahiran. Kata natio berasal kata nascie yang berarti dilahirkan.15 Dalam arti ini bahwa yang menjadi titik tekan dalam nasionalisme adalah sebuah “kesetiaan” kepada negara, berjuang, menjaga, mencintai, mempertahankan, dan mengabdi kepada negara. Menurut Elnest Gellner “Nationalism is primarily a political principle, which holds that the political and the national unit should be congruent”.16 Teorinya mengenai nasionalisme sempat membuat geger ilmuan-ilmuan seangkatan dengannya. Menurutnya nasionalisme merupakan prinsip utama politik yang menyatakan bahwa politik dan ke satuan nasional (The National Unity) harus sebangun.17 Ia melanjutkan, KBBI, Ofline. Abdul Choliq, Nasionalisme “Dalam Perspektif Islam” Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2 08/ 2011: (PDF), h. 46. 16 Ernest Gellner, National And Nationalism (United Kingdom: Basil Blackwell Ltd, 1983 ), h. 1. 14
2. Ellnest Gellner dan Tawaran Konsep “Nasionalism” Nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan Wawancara. Ustadz Teqno, Muballigh Ahmadiyah Banjar Negara. 12 Januari 2014 13
15
17Ibid,
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
103
nasionalisme merupakan suatu perjuangan untuk membuat budaya dan perpolitikan menjadi bersesuaian. Nasionalisme adalah pemaksaan umum suatu tradisi besar kehidupan masyarakat. Hal itu sesungguhnya berawal dari tradisi kecil yang sebelum nya telah mengangkat kehidupan mayoritas dan dalam beberapa kasus keseluruhan penduduk.18 Ia membayangkan suatu model negara “nasionalisme” dengan mengutamakan aspek-aspek ekonomi, pendidikan dan perubahan sosial dan budaya. Baginya pemikiran ekonomi merupakan unsur utama bagi munculnya nasionalisme dan homogenitas budaya dan bahasa menjadi prasyarat penting menuju masyarakat industrial modern, ia meng amati kemajuan-kemajuan masyarakat yang diraih oleh masyarakat industrial negara-negara Eropa pada akhir abad ke 18, dan selama abad ke 19-20. Ketika memasuki fase nasionalis me, seharusnya batasan-batasan etnis, suku, agama, oleh masyarakat dilemahkan dan kemudian memperkuat batasan kebangsaan.19 Secara umum ada tiga faktor yang mendorong yang menghasilkan Nasionalisme; Power, Education, Shared Culture.20 Dalam sejarahnya, masyarakat eropa mengalami beberapa tahap perkembangan manusia dengan Abdul Choliq, Nasionalisme “Dalam Perspektif Islam” Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011:,(PDF), h. 47. 19 Elnest Gellner, ..... h. 12. 20 Ibid, ....h. 97 18
104
|
Komunitas
meminjam teori strukturalisme Emile Durkheim yang membaginya menjadi tiga tahap. Pertama, The Hunter-Gatherer (manusia pra-sejarah). Kedua, The AgroLiteral Society (manusia melek huruf dengan pekerjaan secara dominan sebagai seorang petani). Ketiga, The Industrial Society (masyarakat industri).21 Proses dari tahapan-tahapan diatas akan melahirkan nasionalisme unggul. Pada tahap pertama dan kedua, masyarakat masih terkekang dengan budaya patrimonial, di mana penguasa menjadi sentral figure dalam mengendalikan tatanan politik yang ada. Simbol-simbol agama menjadi tameng untuk mendapatkan legitimasi masyarakat dengan menggunakan terma “atas nama tuhan” hingga pada akhirnya tidak ada orang yang akan berani membantah. Prinsip feodalisme masih mengakar, sehingga identitas individu beserta seperangkat kebebasannya selalu terkungkung. Mereka yang dari kalangan tertindas hanya pasrah menerima “kutukan” dengan harapan di surga mendapatkan tempat yang layak, dengan alasan “nasip” mereka lantas hanya menerima dengan lapang dada apa yang terjadi pada dirinya, tanpa berusaha merubah keadaan. Dalam kondisi Karya Durkheim menekankan representasi kolektif dan kesadaran kolektif, struktur-struktur mental dan ide-ide yang dimiliki oleh anggota individu dari sebuah masyarakat, lihat. John Scott, Teori Sosial “Masalah-Masalah Dalam Sosiologi” (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2012), h. 81. 21
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
seperti ini, seorang penguasa tidak mampu menciptakan homogenitas budaya untuk masyarakatnya, bahkan penguasa akan merasa diuntungkan dengan adanya keragaman tersebut, di satu sisi dikarenakan kekuasaannya semakin kuat, juga tidak ada ancaman bagi power yang ia miliki. Semangat nasionalisme akan tumbuh ketika memasuki tahap transisi dari The Agro-Literal Society (manusia melek huruf dengan pekerjaan secara dominan sebagai seorang petani), menuju The Industrial Society (masyarakat industri). Para petani sudah mulai berpindah ke kota (urban), mulai berbisnis, anak-anak mereka disekolahkan, mendirikan pabrik, mempekerjakan karyawan, dan akhirnya mereka perposisi sebagai pekerja-pekerja profesional. Jika dulu ketika bertani (agro literar society) yang mereka fikirkan bagaimana menghasilkan padi (product), setelah peralihan ini (industrial society) mereka berfikir bagaimana melipat gandakan produksi. Mereka mulai membutuhkan pekerja-pekerja profesional untuk dipekerjakan di pabrik, perusahaan, pertanian, dan untuk menghindari kerugian mereka membuat suatu prosedur-prosedur seleksi seperti; surat lamaran (ijazah, biodata, pengalaman kerja), interview, dan terakhir kontrak kerja. Orang sudah tidak lagi berdebat tentang isu-isu agama, warna kulit, etnis, suku, buta huruf, pengangguran,
karena pada kondisi seperti ini tingkat rasionalitas masyarakat sudah tinggi dan orang-orang hanya berfikir masalah produksi, prestasi, income, dan lain-lain. Di tahap masyarakat industri ini jaminan kesehatan, jaminan kerja, jaminan pensiun, kesejahtraan mereka dapatkan dari perusahaan tempat mereka bekerja (capital). Indonesia dengan kemerdekaan yang telah diraihnya,22 juga reformasi 1998 yang telah digulirkan rupanya memenangkan sistem demokrasi sebagai sebuah sistem bernegara untuk mencapai kesejahtraan rakyat, di mana secara umum kedaulatan berada di tangan rakyat, dan sistem perwakilan diutamakan, dengan selogan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Demokrasi Indonesia sudah menampakan keberhasilannya secara prosedural seperti lahirnya lembagalembaga pemilihan umum, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berorganisasi, kebebasan memilih dan dipilih dalam kontestasi politik dan lain sebagainya. Namun secara esensi demokrasi di Indonesia masih dalam tahap transisi, dapat dilihat dari hukum yang cenderung tajam kebawah
“Proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang disusul oleh pengesahan UUD 1945, merupakan suatu tindakan pilihan para Founding Fathers untuk memulai babak baru kehidupan berbangsa dan bernegara.” lihat.. Ipong S Azhar, , Benarkah DPR Mandul “Pemilu, Partai dan DPR Masa Orde Baru” Edisi revisi. (Yogyakarta: Bigraf, 1997), h 1. 22
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
105
kemudian tumpul ke atas,23masih ada ketimpangan-ketimpangan mencolok seperti; kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan lain sebagainya. 3. Indonesia Hari Ini Indonesia rupanya melompati proses tahapan-tahapan pembentuk nasionalisme yang di gambarkan Elnest Gellner, The Hunter-Gather Society, The Agro-Literal Society, dan The Industrial Society. Seharusnya dalam demokrasi, isu-isu SARA, kemiskinan, pengangguran, buta huruf itu sudah selesai dalam pembahasannya. Kita lihat masih terdapat sisa-sisa budaya patrimonial dalam masyarakat, padahal sistem yang dianut adalah sistem demokrasi. Secara umum budaya patrimornial adalah antitesis dari demokrasi. Budaya feodal, patriarkal, dis kriminasi peran perempuan diruang Kasus salah tangkap (Syamsul), “Penahanan dan penangkapan yang dilakukan Polda Jawa Timur tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dan cenderung menyalahi prosedur, mulai dari penangkapan dan tidak adanya barang bukti, sehingga perlakuan tidak manusiawi baik verbal maupun nonverbal yang dialaminya seperti kekerasan dan penyiksaan. Terhadap perkara tersebut, Putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Tingkat Pertama (4 Juli 2011) dan Putusan Mahkamah Agung (2012) menyatakan korban tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum ( JPU) putusan PN dikuatkan juga oleh Putusan Mahkamah Agung RI (01 Februari 2012) yang menolak Kasasi JPU.” Dikutip dari Kontras (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Menteng, Jakarta Pusat. 23
106
|
Komunitas
publik, nepotisme, dinasti politik masih mengakar dalam kehidupan seharihari. Meskipun katanya demokrasi pancasila dapat mengakomodir ke arifan lokal masyarakat namun dalam pengaplikasiannya para pengambil kebijakan cenderung tidak konsiten akan kepancasilaan demokrasinya dengan memproduksi perda-perda bermasalah yang tidak pro terhadap kaum minoritas. konsep pancasila menjadi mainan-mainan politik era orde baru dan sekarang malah berganti menjadi demokrasi liberal (pasca reformasi) yang bahkan super liberal dalam arti umum. Pemerintah seakan tidak mempunyai kekuatan lagi membendung pengaruh kapitalisme, belum lagi rantai yang kuat membelenggu dirinya dengan rantai IMF dan Bank Dunia membuat ia tak lagi berdaya. Belum selesai dalam pembahasannya, diskriminasi dan intoleran menjadi pelengkap kerumitan di Indonesia. Minimal ada tiga kondisi pendukung untuk keberhasilan demokrasi. Pertama, Structure Condition, di mana income per kapita suatu negara terus meningkat (di atas standar negara miskin), standar pendidikan (tidak hanya wajib belajar 9 tahun, SMA), tingkat pengangguran rendah, lapangan kerja tersedia, perekonomian stabil. Kedua, Political Condition, harus diakui selalu saja atmosphere politik mempengaruhi kehidupan sensitif masyarakat,
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
urusan dapur, keluarga, tempat kerja, transportasi, BBM, dan lain sebagainya. Ketiga, Cultural Condition, kondisi ini akan hadir apabila setiap orang dengan budaya berbeda-beda mau berdampingan hidup bersama dalam ketidaksamaan. Sikap toleransi inter dan antar umat beragama sudah terpatri dalam dirinya. Tentu untuk meraih 3 kondisi di atas memang perlu waktu yang panjang, serta perjuangan yang keras berbagai pihak. Tingkat rasionalitas dengan pendidikan setidaknya dapat mendekati tujuan-tujuan kondisi tersebut. 4. Ahmadiyah di Lombok NTB “Conflict in Indonesia has defined social reality in Ambon, Poso, West and Central Kalimantan, North and South Maluku, Papua, Aceh, East Timor and other regional areas. It is normatively contextualized by strained inter-ethnic, inter-religious relations and/or powerful abuses of state intervention within the complexity of the interplay between politics, economy, nationalism and cultural specificity” (Abdullah 2006; Aspinall 2009; Barter 2011; Bertrand 2004; Van Klinken 2005; Prasojo 2008; Trijono et al. 2004; Woodward 2007).24 Saipul Hamdi & Bianca J. Smith, “Sisters, militias and Islam in conflict: questioning ‘reconciliation’ in Nahdlatul Wathan, Lombok, Indonesia” (Published Online: 23 July 2011, Copyright. Springer Science+Business Media B.V. 2011), h. 31. 24
Benih-benih konflik dalam suatu perbedaan memang sebuah keniscayaan, hubungan yang tegang antar-etnis antar-agama dan/ atau pelanggaran yang kuat dalam kompleksitas interaksi antara politik, ekonomi, nasionalisme dan spesifisitas budaya. “rakyat” menjadi alasan pembernaran pihak penguasa untuk melakukan tindakan kekerasan, dan di saat itu pula “rakyat” dikorbankan untuk mewujudkan stabilitas atau kedamaian.25 Konflik yang terjadi di Lombok seolah menggambarkan bahwa daerah-daerah di luar ibu kota Negara ( Jakarta) Indonesia menjadi papan catur permainan politik di atas yang didalangi oleh kaum elit yang merasa tak puas dengan pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut kemudian di-Break Down ke tingkat daerah dan dikemas dengan isu-isu SARA yang menyesatkan. Hampir tidak ada konflik yang Unsetting, selalu melewati proses-proses mobilisasi massa yang dimotori oleh para provokator ulung, merangkul tokoh-tokoh kharismatik Diskriminasi terhadap orang-orang Kristen (Katolik, Protestan) di kota Mataram dan sekitarnya respon terhadap konflik yang terjadi di Poso. Atas nama agama orang bisa menjarah barang-barang, merusak dan membakar rumah, gereja, toko, dan swalayan dan tempat-tempat umum lainnya. Lihat. Buku, Meretas Jalan Perdamaian Membangun Kemanusiaan “Konflik Sosial di Mataram Lombok NTB, Konflik Akar Rumput di Pati dan Revitalisasi Budaya Adat Alor Timur” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. x 25
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
107
untuk melegitimasi tindakan-tindakan mereka dan akhirnya terpecah menjadi diskriminasi, konflik dan peperangan.26 Lombok yang dikenal dengan pariwisata, kedamainan, keramahtamahan selama 55 tahun terakhir. Kini tercoreng akibat konflik sosial yang terjadi di Mataram, konflik itu kemudian dikenal dengan sebutan “Januari Kelabu” karena terjadi pada bulan 16-19 Januari 2000. Konflik ini pun dapat difahami sebagai high politic set up nasional,27 ditambah lagi diskriminasi atas Jamaat Ahmadiyah yang diblow up media begitu cepat seakan menambah daftar intoleran di pulau Lombok. Berdirinya masjid (pulau seribu masjid) di seluruh wilayah pulau Lombok seakan menggambarkan perlawanan terhadap ekspansi yang pernah di lakukan Bali (Hindu) di masa lalu. Seolah sebutan pulau seribu masjid merupakan politik identitas umat Islam mayoritas di pulau itu terhadap Bali (Hindu). Tak heran denyut-denyut konflik menguap ketika banyak gereja dibangun di kota Mataram, Cakranegara, dan Ampenan menjadi bulan-bulanan massa yang membabi buta pada “Januari Kelabu,” dan kejadian ini ditengarai adalah sebuah perlawanan terhadap pesatnya kristenisasi di kota itu. Charles Tilly, The Politics of Collective Violence, (USA: Cambridge University Press, 2003), h. 12. 27 Buku, Meretas Jalan… (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. x 26
108
|
Komunitas
Jamaat Ahmadiyah sebenarnya telah lama eksis di pulau Lombok, mereka berbaur menjadi satu bersama muslim-muslim lainnya. Tidak ada perbedaan yang mencolok di antara mereka, hubungan yang terjalin puluhan tahun, dari turun temurun tak ada masalah berarti yang ditimbulkan. Mereka hidup berdampingan, bekerja sama dengan nilai-nilai gotong-royong, urung rembuk membangun desa, dan lain sebagainya. Namun akhir-akhir ini, hubungan itu pun pecah menjadi konflik, diskriminasi, pengusiran, kekerasan yang tak masuk akal tehadap minoritas (Ahmadiyah), dimotori oleh oknum-oknum yang mempunyai kepentingan di balik itu. Paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Lombok sangat cepat tersulut untuk berkonflik. Pertama, faktor pendidikan; mayoritas mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi, kalau pun ada hanya di tingkat dasar dan menengah, namun rata-rata tidak tamat (putus sekolah SD, SMP, SMA), karena kapasitas pendidikan tidak memadai dalam persaingan kerja, akibatnya jumlah pengangguran cukup banyak, lebih tragis lagi mayoritas mereka usia produktif. Kedua, dari sektor pekerjaan, kebanyakan di wilayah kasar dan informal seperti pertanian, buruh bangunan, buruh perhotelan,
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
pembantu rumah tangga, pedagang eceran, penjual ikan.28
kata pemimpinnya hampir pasti pengikutnya akan meng-amini.30
Ketiga, teologi yang diajarkan di Indonesia pada umumnya, (Lombok khususnya) adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasan dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan faham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam..... sehingga timbullah kesan di kalangan sementara umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.29
Kelima, minimnya peran pemerin tah dan kepatuhan rakyatnya yang diungguli oleh para tuan guru mengakibatkan pemerintah seakan menjadi singa yang tak bergigi di hadapan rakyatnya. Legitimasi masyarakat sasak masih memposisikan tuan guru sebagai tokoh Center, solusi dari segala masalah agama dan kemasyarakatan.
Sehingga tak heran jika timbul faham baru, atau baru diketahui, tanpa mengenal lebih dekat, sebagian mereka mengeluarkan statement “sesat”.
Dari diagnosa permasalahpermasalahan di atas, kiranya kita dapat mengidentifikasi dan mamberi solusi-solusi kedepan, baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjangnya. 5. Wacana Ukhuwwah dan Persaudaraan Islam
Keempat, ke-tidak bersatunya tokoh-tokoh agama (tuan guru) dalam mengantisipasi kemungkinankemingkinan terjadinya konflik, tidak pernah ada jalinan inter/antar umat beragama untuk berdialog satu dengan lainnya. Karena mayoritas masyarakat sasak adalah pengikut tokoh-tokoh agama disetiap daerah tempat tinggalnya, sehingga apapun
Masyarakat muslim Indonesia hari ini berada dalam dua arus besar yang begitu keras yaitu arus globalisasi dengan modernisasi dan arus Islam. Dalam buku yang berjudul Islam In The Public Sphere “The Politic Of Identity And The Future Of Demokrasi In Indonesia” meliris hasil dari sebuah penelitian. Semakin kuat globalisasi, semakin kuat pula gerakan-gerakan Islam dengan simbol-simbolnya timbul di ruang publik. Timbulnya simbol-simbol agama di ruang publik
Ibid...h. 11. 29 Harun Nasution, Teologi Islam “AliranAliran, Sejarah, Analisa Perbandingan” ( Jakarta: Ui-Press, 2002), h. Ix-x.
Agus Dedi Putrawan, Dekarismatisasi Tuan Guru “Pudarnya Pesona Tuan Guru Dalam Politik Pemilihan Umum 2014” Tesis (Yogyakarta: Uin Suka, 2015), h. 82.
28
30
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
109
ternyata tidak mengancam eksistensi demokrasi yang selama ini diAmini sebagian kalangan konservatif “demokrasi bertentangan dengan Islam”. 87.1 % setuju akan demokrasi, 12.9 % menolak demokrasi, diambil dari 10 Provinsi di Indonesia, (Aceh, Sulawesi Utara, Jakarta, Banten, Sumatra Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Sumatra Barat, Bali)31 Dalam ruang globalisasi dan Islam yang berada di tengah-tengah sistem demokrasi Indonesia (Public Sphere) ini sudah tidak relevan lagi mengangkat isu-isu “sesat” karena akan semakin memperkeruh keadaan, malah dengan isu-isu tersebut umat muslim lebih mudah marah padahal kultur Islam Indonesia dikenal ramah. Yang semestinya dilakukan adalah pendidikan di tingkat paling bawah tentang sejarah peradaban Islam, bukan hanya Fikiqh, Tajwid. Karena umat Islam mengadopsi dan memakai mazhab-mazhab tersendiri, ketika mereka berbeda mazhab maka yang terjadi adalah saling mengkafirkan satu dengan lainnya, padahal jika ditelisik sejarah peradaban Islam perbedaan adalah sebuah keniscayaan.32 Ciri 31 Sukron Kamil dkk, Islam In The Public Sphere “The Politic Of Identity And The Future Of Demokrasi In Indonesia” ( Jakarta: CSRC, 2011), h. 52-57.
Ketahuilah, bahwa pada hakikatnya sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummat manusia. Sejarah itu sendiri identik dengan peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak peradaban itu, seperti keliaran, keramah-tamahan, dan solidaritas 32
110
|
Komunitas
islam yang paling pokok terbagi golongan (ashabiah); tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negaranegara dengan berbagai macam tingkatannya; tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai kehidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri. Keterangan sejarah, menurut wataknya, bisa dirembesi kebohongan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini: Sebab yang pertama ialah semangat terlibat (Tasyayyu’ar, partisanship) kepada pendapat-pendapat dan mazhab-mazhab. Apabila pikiran dalam keadaan netral dan normalnya menerima informasi, diselidikinya dan ditimbang-timbangnya informasi itu, sehingga ia dapat menjelaskan kebenaran yang terdapat di dalamnya. Namun, apabila pikiran dihinggapi semangat terlibat terhadap suatu pendapat atau kepercayaan, maka dengan serta merta pikiran akan menerima setiap informassi yang menguntungkan pendapat atau kepercayaannya. Oleh karena itu, semangat terlibat merupakan penutup terhadap pikiran, mencegah untuk mengadakan kritik dan analisa, dan membuat pertimbangannya condong kepada kebohongan. Akibatnya, kebohongan itu diterima dan dinukilkan. Sebab kedua yang menyebabkan timbulnya kebohongan dalam informasi ialah terlalu percaya kepada orang-orang yang menukilnya. Pemeriksaan terhadap subjek ini tergantung pada ta’dil dan tarjih (personality critism). Sebab ketiga ialah tidak sanggup memahami maksud yang sebenarnya. Maka banyak sekali para penukil tidak mengetahui maksud sebenarnya dari observasinya, atau segala sesuatu yang ia pelajari hanya menurut pikiran dan pendengarannya saja. Sebab keempat ialah asumsi yang tak beralasan terhadap kebenaran sesuatu hal. Ini sering sekali terjadi. Pada umumnya asumsi itu muncul dalam bentuk terlalu percaya kepada kebenaran para penukil. Sebab kelima ialah ketidaktahuan tentang bagaimana kondisi-kondisi sesuai dengan realitas., disebabkan kondisi-kondisi
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
menjadi dua: Islam tinggi (high islam) para cendikiawan dan Islam rendah ( low islam) rakyat biasa.33 Ketika umat Islam itu merasa bersaudara, dengan membangun Ukhuwwah dan persaudaraan karena Islam adalah wasilah utama untuk ‘Izzul Islam Wal-Muslimin. Ukhuwwah dan persaudaraan Islam adalah jalan terdekat untuk memperoleh ampunan itu dimasuki oleh ambisi-ambisi dan distorsidistorsi artifisial. Sebab keenam ialah adanya fakta bahwa kebanyakan manusia cendereung untuk mngambil hati orang-orang yang berpredikat besar dan orang-orang yang kedudukannya tinggi, dengan jalan memujimuji, menyiarkan kemasyuran, membujukbujuk, menganggap baik segala perebuatan mereka dan mmberi tafsiran yang selalu menguntungkan trehadap semua tindakan mereka. sebab ketujuh yang membuat kebohongan tak dapat dihindarkan- dan ini yang lebih penting diperhatikan ialah ketidaktahuan tentang watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban (Umran). Dikutip dari. Ibn Khaldun, Muqaddimah, Diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h. 57-58. 33 “Perbedaan antara keduanya tidaklah terlalu tegas, tetapi sering bersifat gradual dan kabur, seperti garis demarkasi yang mirip tetapi tidak identik yang memilah antara wilayah yang secara efektif dikuasai oleh pemerintah pusat dan wilayah yang dikuasai oleh suku lokal dan para pemimpin mereka. Dikutip dari, Ernest Gellner, menolak Posmodernisme “Antara Fundamentalisme Rasionalis Dan Fundamentalisme Religius” (Bandung: Mizan, 1994), h. 2122. Sangkalannya terhadap relativisme postmodernisme (agama dan sains berlaku universal) dan fundamentalisme agama (kebenaran universal agama), memberikan alternatif ke tiga yakni; fundamentalisme rasionalis, yang menganggap rasionalitas sebagai standar yang berlaku linta-budaya.
dan ridha Allah SWT.34 tendensitendensi dan sekat-sekat harus dikesampingkan terlebih dahulu. Ibn Khaldun tentang teori solidaritasnya, Adanya solidaritas kelompok merupakan suatu keharusan bagi membangun suatu dinasti yang kuat dan besar.35 Begitu indah ukhuwwah Islamiyah yang dipraktekan oleh para sahabat di zaman nabi, mereka telah berhasil mengubur habis fanatisme golongan dan asal keturunan. Semuanya melebur dalam satu keluarga besar kaum muslimin.36 Kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhiat, tidak akan terwujud kecuali dengan cara bersatu dan bekerjasama, yaitu gotong-royong dan saling tolongmenolong mewujudkan maslahat dan manghadapi kasusahan.37 C. Kesimpulan Meminjam pendapat Asghar Ali Engineer “Agama, selama bertahuntahun, selain sebagai seperangkat doktrin spiritual dan mengikat pemeluknya, agama juga menjadi sistem pengertian Miftah Faridl, Masyarakat Ideal (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), h. 2. 35 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ( Jakarta: UI Press, 1991), h. 105. 36 Miftah Faridl Masyarakat Ideal. h. 4. 37 Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, diterjemahkan oleh, Arif Mahfudin Dzofir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 3. Judul asli, Public Duties In Islam, Th Institution Of Th Hisba (London: The Islamic Foundation, 1985). 34
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
111
(signification), sistem simbol dan sistem ibadah yang menyediakan sense of identity yang mendalam bagi penganutnya untuk menghadapi hidup di dunia yang kompleks ini sebagai sebuah tantangan eksistensial.”38 Agama selain berada di dalam hati manusia (kesalehan private), namun juga akan tercermin dari kehidupan publik yang mereka jalani (kesalehan publik). Islam mengajarkan hubungan dua dimensi, Habluminallah dan Habluminnas, (hubungan dengan Allah SWT. dan hubungan sesama manusia). Fanatisme buta dengan mengkafirkafirkan sesama manusia akan merusak kedua dimensia tersebut karena yang berhak menilai kafir dan tidak kafir adalah Allah itu sendiri, manusia harus mampu membedakan antara dosa dan kejahatan di ruang publik. Dosa hanya Allah yang tahu dan yang paling pantas memberi hukuman “kafir dan tidak”, sedangkan kejahatan terkait tindak kriminalitas yang bertentangan dengan hukum positif. Indonesia mempunyai UU yang mengontrol tindak pidana, ada penegak hukum yang menjadi eksekutifnya. Indonesia sudah sepakat sedari dulu akan hal itu, dalam pembentukannya setiap sekat-sekat etnis, agama, suku, budaya setuju membentuk negara Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 87. diterjemahkan oleh, Agung Prihantoro dengan judul asli, Islam And Liberation Theology “Essay On Liberative Elements In Islam.
kesatuan republik Indonesia dalam bingkai pancasila. Dengan semangat nasionalisme harusnya perdebatanperdebatan diatas sudah selesai, dan mulai berbenah untuk kesejahtraan masyarakat, jangan hanya terjebak dan mandek (tidak jalan-jalan) dalam urusan akidah. Dalam al-Quran telah ditegaskan “Sesungguhnya Orang Yang Mu’min Itu Adalah Bersaudara”.(Qs, al-Hujurat. 49:10). “Dan Orang-Orang Beriman Laki-Laki Dan Perempuan, Sebagian Mereka Adalah Penolong Sebagian Yang Lain”. (Qs, at-Taubah, 9:71).39 Sudah saatnya Indonesia yang plural ini menyadari dirinya meski berbeda namun bisa berdampingan, dengan semangat multikultural Indonesia sadar bahwa perbedaan adalah sebuah kekuatan yang khas yang negaranegara lain tidak memilikinya. Daftar Pustaka Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Andreas dkk, Pancasila “Kekuatan Pembebas” (Yogyakarta: Kanisius, 2012). Abdul Karim, dkk, Wacana Politik Islam Kontemporer ( Yogyakarta: Suka-Press, 20017).
38
112
|
Komunitas
39
9:71).
(Qs, al-Hujurat. 49:10)., (Qs, at-Taubah,
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
Abdul Choliq, Nasionalisme “Dalam Perspektif Islam” Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XVI, No. 2. 08/ 2011. Dedi Putrawan, Agus, Dekarismatisasi Tuan Guru “Pudarnya Pesona Tuan Guru Dalam Politik Pemilihan Umum 2014” Tesis (Yogyakarta: Uin Suka, 2015).
Elnest Gellner, National And Nationalism (United Kingdom: Basil Blackwell Ltd, 1983 ). Ernest Gellner, menolak Posmodernisme “Antara Fundamentalisme Rasionalis Dan Fundamentalisme Religius” (Bandung: Mizan, 1994). Ipong S Azhar, Benarkah DPR Mandul “Pemilu, Partai dan DPR Masa Orde Baru” (Yogyakarta: Bigraf, 1997). Harun Nasution, Teologi Islam “Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan” ( Jakarta: Ui-Press, 2002), Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2005). Ibn
Khaldun, Muqaddimah, Diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011).
Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, diterjemahkan oleh, Arif Mahfudin Dzofir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Judul asli, Public Duties In Islam, Th
Institution Of Th Hisba (London: The Islamic Foundation, 1985). John Scott, Teori Sosial “MasalahMasalah Dalam Sosiologi” (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2012). Munasir Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiah Indonesia ( Jakarta: JAI, 2008). Miftah Faridl, Masyarakat Ideal (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997). Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ( Jakarta: UI Press, 1991). Qasim Mathar, Sebuah Pengantar, Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, Inti Ajaran Islam “Bagian Pertama” (Indonesia: Neratja Press, 2014). Sukron Kamil dkk, Islam In The Public Sphere “The Politic Of Identity And The Future Of Demokrasi In Indonesia” ( Jakarta: CSRC, 2011). Qs, al-Hujurat. 49:10)., (Qs, at-Taubah, 9:71). Tilly, Charles, The Politics of Collective Violence, (USA: Cambridge University Press, 2003). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia “UUD ’45 dan Amandemennya” (Surakarta: Pustaka Mandiri Surakarta). Zuly
Qodir, “Peran Ulama Mempertahankan NKRI dan Ke-Indonesia-an”, Makalah
Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
|
113
Disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Ulama Menyelamatkan Indonesia” dalam rangka Hut Fakultas Dakwah, 11/11.2014. Refferensi Elektronik http://sp.beritasatu.com/home/ dianggap-sesat-nasibwa rg a - a h m a d i ya h - t e r l u n t a -
114
|
Komunitas
lunta/30257, Selasa, 5/2/ 2013, 13:48 KBBI, Ofline. Saipul Hamdi & Bianca J. Smith, “Sisters, militias and Islam in conflict: questioning ‘reconciliation’ in Nahdlatul Wathan, Lombok, Indonesia” (Published online: 23 July 2011, copyright. Springer Science+Business Media B.V. 2011).
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam