11 TEORI DAN IDEOLOGI NASIONALISME
Pengantar. Tidak seperti kebanyakan ideologi lain yang dibicarakan dalam buku ini, yang semuanya terkait erat dengan nilai-nilai "Barat" modern, nasionalisme memiliki suatu aura keantikan, bahkan diasalkan pada zaman pra sejarah. Bagaimanapun, keberadaan kultur yang berbeda dapat ditelusuri kembali kepada kelabut waktu, seperti sisa arkeologis dari Aztek. Hittite dan peradaban kuno lain yang tidak terhitung jumlahnya yang menghiasi museum-museum kita masih menjadi buktinya. Maka ada banyak teks kuno yang mengacu pada bangsa-bangsa yang berkonflik, seperti tulisantulisan Herodotus tentang perang antara bangsa Yunani dengan bangsa Persia, uraian Kaisar tentang kampanye militernya di Gaul, atau satu bagian dalam Injil Matius yang meramalkan bahwa pada Hari Terakhir, " bangsa akan bangkit melawan bangsa lain". Akan menarik untuk menyimpulkan bahwa bangsa-bangsa dan nasionalisme merupakan fenomena manusia primordial dan dengan demikian maka ia setua peradaban manusia sendiri. Namun Ernest Gellner berbicara kepada banyak sarjana yang sudah merefleksikan isu ini ketika ia menekankan: Nasionalisme cenderung memperlakukan dirinya sendiri sebagai suatu manifestasi dan prinsip yang dapat membuktikan dirinya sendiri, dapat diakses seperti adanya oleh semua manusia, dan yang dilanggar hanya oleh kebutaan tertentu yang keras kepala, ketika hakikat kemasukan dan pemaksaannya diperoleh dengan berutang kepada kenyataan keadaan tertentu yang sangat khas, yang susngguh-sungguh tercapai saat ini, tetapi yang masih asing bagi kebanyakan sejarah dan umat manusia. Akan menjadi tema utama pembahasan kita berikut ini, bahwa nasionalisme dalam berbagai perubahannya dan negara-negara yang didasarkan padanya sungguh pada dasarnya bersifat modern, bahkan dalam banyak contoh, ketika
Universitas Gadjah Mada
negara-negara yang mendasarkan diri pada nasionalisme tersebut dihubungkan dengan etnis tertentu yang khas atau dengan negara-negara politik yang barangkali setua catatan sejarah. Dengan kata lain, sementara kaum nasionalis menyerukan suatu masa lampau yang heroik yang ditarik jauh ke belakang sejarah di suatu waktu tertentu di masa lampau dan menghadirkannya ke dalam masa kini untuk melegitimasikan klaim yang mereka buat dengan mengatasnamakan rakyat "mereka, "nasionalisme" sebagai suatu ideologi yang mendifinisikan hubungan antara individu dengan negara dan yang melegitimasikan apa yang dilakukan negara atas nama warganya justeru tidak dapat dipahami secara literer sebetum datangnya "abad modern". Dengan demikian, akan sangat mengherankan bagi kebanyakan kaum intelektual Barat, bahwa nasionalisme membangun dirinya pada 100 tahun yang lalu sebagai determinan yang paling dapat diterima dan memiliki kekuatan dari modernitas itu sendiri. Kebaruan nasionalisme nampak dari etimologinya. Nation diturunkan lewat kata Prancis dari kata Latin natio, yang akar katanya nasci, dan yang dalam penggunakan klasik cenderung menjadi suatu istilah peyoratif bagi ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau tidak tahu adat menurut standar Romawi. Datam berbagai bahasa Romawi yang mewarisi kata "nation" sebagai bagian dari kebijakan jabatan atau pekerjaan, atau bahasa bukan Latin yang sebenarnya mengadopsinya di bawah pengaruh Renaissance, "nation" mengalami sejumlah perubahan semantik sebetum ia digunakan secara jelas untuk menunjukkan kesatuan kultural yang nyata dan kedaulatan politik yang tetap bagi semua orang. Secara signifikan, di antara dokumen-dokumen paling awal tentang pengguanaan kata ini adalah sebuah pamflet yang ditulis oleh Abas Sieyes dan Dektarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yang disusun pada saat Revolusi Prancis pada tahun 1789. Hanya setelah ini, istilah "nasionalisme" pertama kali mulai memperoleh peredaran luas dalam bahasa-bahasa Eropa untuk merujuk kepada energi yang menjiwai " kekuasaan rakyat" baru yang kejadian-kejadiannya di Prancis telah mampu menjatuhkan tidak hanya raja (seperti dalam Perang Sipil di Inggris) tetapi monarki itu sendiri, dan tidak hanya dalam suatu koloni yang melepaskan diri (seperti dalam Revolusi Amerika), tetapi dalam salah satu dari negara-negara absollutis Eropa yang paling tua didirikan.
Universitas Gadjah Mada
Ilmu bahasa-bahasa (filologi) juga menyoroti kenyataan bahwa, jauh dari suatu data universal tentang pengalaman manusia, konsep "nasionalisme" dengan implikasi revolusioner populisnya memiliki suatu sejarah yang banyak nuansanya seperti kita berpindah dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Bahkan dalam bahasa-bahasa yang sudah meminjamnya, seperti Jerman atau Polandia, nasionalisme mendapat konotasi yang spesifik. Sementara kultur-kultur yang pada dua ratus tahun terakhir ini memunculkan padanan untuk kata nasionalisme yang dikembangkan sendiri dengan akar linguistik pribumi, seperti Arab atau Cina, melakukan hal ini sepenuhnya karena dipengaruhi oleh kontak dengan Barat dan modernisasi. Dengan demikian, munculnya konsep nasionalisme merupakan suatu tes lakmus yang bisa diandalkan bagi pengaruh
semacam
itu.
Dalam
proses
menciptakan
konsep
ini,
mereka
menambahkannya dengan bayang-bayang makna yang khas dari kultur tertentu dan tidak dapat diterjemahkan. Studi kasus yang menarik tentang ini adalah istilah Arab Wetan, atau istilah Jepang kokumin4 di mana kedua kata ini sebagiannya bersifat tumpang tindih secara semantis dengan istilah Inggris "nation". Ini bukan sekedar kenyataan nasionalisme dihubungkan dengan kekuatan yang kompleks dari modernitas dan sudah menyesuaikan dirinya dengan sejarah, bahasa dan kultur unik yang banyak sekali, yang menghalangi mereka yang mencari definisi yang sederhana atau membuat penilaian yang tergesa-gesa terhadapnya. Apa yang selanjutnya memperumit semua pembahasan tentang nasionalisme adalah pesan ambivalen yang dimainkannya dalam sejarah modern. Di satu pihak nasionalisme sangat diperlukan untuk kepaduan institusi dan nilai-nilai demokratis dan karena itu mengambil bentuk "liberal" atau "nasionalisme kewarganegaraan" yang tidak berbahaya (ramah). Sementara di pihak lain, nasionalisme tampak sebagai suatu kekuatan yang berbahaya yang bisa merusak liberalisme dan bahkan membawanya kepada perusakan besar-besaran. Dalam kasus ini kita merujuk ke sejumlah istilah seperti
chauvinisme,
"nasionalisme
integrasi",
"hiper
atau
ultranasionalisme",
meskipun demi alasan kejelasan kita akan mengikuti distingsi "liberal" atau "iliberal", di mana kita menjadi sadar betul bahwa, sama seperti batas-batas nasional, garis demarkasi antara keduannya jarang bersifat lurus dan mudah dilihat. Perubahan dan nasionalisme liberal oleh unsur-unsur liberal terus
Universitas Gadjah Mada
menjadi satu determinan yang paling mengganggu dari kejadian-kejadian yang membingungkan dari proses-proses yang kita sebut sebagai "dunia modern". Demikianlah, kajian terhadap setiap contoh nasionalisme tertentu hendaknya memperhatikan apakah ia terutama bersifat kultural atau politis, sebuah gerakan atau sebuah rezim, dan bekerja untuk mempererat nilai-nilai liberal atau merusaknya. Pengertian Nasionalisme yang diperluas. Setelah refleksi pendahuluan ini menekankan hakikat nasionalisme yang paradoksal dan sukar dipahami, maka adalah balk bila kami menawarkan suatu definisi kerja tentang istilah itu, atau apa yang ilmuwan sosial ketahui (setelah Max Weber) sebagai suatu "tipe ideal". Nasionalisme: suatu ideologi yang memiliki kekuatan pengaruh yang menggerakkan, merupakan perasaan menjadi bagian dari sesuatu dan berfungsi membangun perasaan bagi suatu komunitas nasional. Pada penyebar ideologi ini mengatributkan kepada negara mereka suatu identitas kultural yang khas yang menetapkan bahwa negara itu terpisah dari negara-negara lain dan memberikan suatu tempat khusus di dalam proses historis. Komunitas ini (biasanya bersifat agung) diindentifikasi dengan seperangkat karakteristik yang unik yang menurut dugaan berasal dari realitas kontitusional, historis, geografis, agama, bahasa, etnis dan atau genetis. Sentimensentimen yang ditimbulkan oleh perasaan menjadi salah satu anggota komunitas ini bisa dibatasi pada suatu perasaan berharga yang luar biasa dalam kultur dan tradisi nasional itu tanpa terkait dengan tuntutantuntutan politik ("nasionalisme kultural"). Di pihak lain, ketika sentimen semacam itu memainkan suatu peran utama dalam dinamika gerakan politik, maka daya dorong nasionalisme umumnya bagi komunikas nasional dianggap membentuk suatu negara "secara alamiah" (apakah bersifat otonom atau bagian dari suatu federasi atau konfederasi negara), di mana kedaulatan yang seharusnya dimiliki atau terletak dalam tangan rakyat dijalankan oleh wakil yang terpilih atau yang memilih dirinya sendiri di dalam batas-batas teritorial yang diakui oleh komunitas politik internasional.
Universitas Gadjah Mada
Sejauh "negara bangsa" yang muncul menegakkan prinsip civil society sebagai basis di mana semua penduduk tetap menikmati sepenuhnya hak-hak asasi manusia karena kewarganegaraannya terlepas dari kriteria etnis, maka nasionalisme tidak dapat dipecah-pecahkan dari liberatisme politik dan melahirkan "nasionalisme liberal" (kadang-kadang
disebut
"nasionalisme
kewarganegaraan").
Dengan
demikian,
identitas nasional "sekunder" yang subyektif dalam pengertian "kecintaan terhadap negara seseorang" atau patriotisme, yang mungkin baik dibedakan dengan suatu pengertian identitas etnis primer sejauh dapat diperdebatkan merupakan kohesi sosial dan stabititas politik dari semua demokrasi liberal. Namun demikian, dalam masyarakat post-tradisional, kebutuhan manusia yang universal akan identitas dan rasa memiliki sering dipenuhi oleh bentukbentuk kecintaan afektif yang hebat terhadap tanah air sendiri ("chau-vinisme") atau etnis sendiri (etnosentrisme), orang sering memeliharanya melalui kebencian terhadap negara, etnis atau ketompok lain yang ada dalam negara. Emosi semacam itu sudah terbukti rentan untuk diekspliotasi karena tujuan politik mereka sendiri, baik melalui oligarki negara (dalam bentuk "nasionalisme resmi") atau melalui penghasutpenghasut dari suatu gerakan revolusioner. Dalam kasus-kasus semacam itu, nasionatisme bisa berlaku sebagai legitimasi terhadap kebencian yang diarahkan kepada "orang-orang asing" (xenophobia) dan dikriminasi berdasarkan etnisitas (rasisme), di mana secara aksiomatis keduanya menyangkal universalitas manusia, dan kemudian membangkitkan "nasionalisme iliberal". Ini kemudian berlaku untuk mendukung
kebijakan-kebijakan
domestik
maupun
luar
negeri
yang
dapat
menimbulkan penaklukan, penyiksaan atau bahkan pemusnahan yang sengaja terhadap komunitas etnis atau negara yang dirasakan sebagai asing, primitif atau yang merosot akhtaknya. Dalam bentuk ini, nasionalisme merupakan musuh yang paling potensial bagi suatu komunikats internasional yang harmonis dan bagi penciptaan suatu masyarakat politik dan ekonomi global yang berkelanjutan.
Definisi ini, selain kompleks, secara artifisial juga masih menyederhanakan fenomen nasionalisme dengan memisahkan ke dalam unsur-unsur komponen yang berbeda yang "pada dasarnya" bersama-sama sangat erat bertalian. Satu contoh klasik dari ini disediakan oleh karya Maximilien Roberspierre (1758-1994), salah seorang pengikut ideologi utama Jacobin dalam Revolusi Prancis. Meskipun ia memulai sebagai seorang aktivis yang sangat setia dan pandai berbicara dalam gerakan nasionalisme liberal yang meruntuhkan rezim orde lama (ancien regime),
Universitas Gadjah Mada
namun patriotismenya secara berangsur-angsur merosot ke dalam chauvinisme fanatis di mana ia membenarkan kediktatoran dan teror, suatu perbuatan tak wajar sebagaimana dicontohkan oleh keputusan Tribunai Revolusioner untuk mendefinisi ulang kejahatan pengkianatan sebagai lese-nation dan bukan lesemajeste. Kemampuan nasionalisme untuk dipraktikkan sebagai suatu gerakan populis emansipatoris atau suatu ortodoksi negara yang cenderung otoritarian, suatu kekuatan yang menegakkan nilai-nilai liberal radikal atau merusaknya, mendorong beberapa komentator untuk merujuk kepada ambivalensi esensialnya berdasarkan kualitas "kepada-Janus"nya. Bahkan kiasan yang lebih kuat yang mengibaratkan nasionalisme dengan penderita schizofrenia membawa
kita kepada
buku
Minogue yang
mengatakan, "nationalisme, sebagaimana riwayatnya diceritakan secara umum, di mulai dengan Sleeping Beauty dan berakhir pada monsternya Frankeistein". Namun demikian, seperti yang disampaikan Jacobinisme, tidak harus diasumsikan bahwa nasionalisme Eropa mengalami kemorosotan secara misterius sebagaimana terjadi pada abad ke-19. Sepanjang nasionalisme merupakan suatu kekuatan aktif dalam sejarah, ia akan selalu mengandung potensi untuk mendorong balk demokrasi liberal yang asli maupun ejekan fantasisnya, yang menegakkan hak-hak dari segmen kemanusiaan dengan mengorbankan orang lain. Bagaimanapun juga, Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 berjalan bersamaan dengan perusakan kultur Amerika asli (native American Culture), seperti Inggris mempertahankan institusi perbudakan di India Barat lama setelah "Glorious Revolution" pada tahun 1688 yang hanya dalam teori mentransferkan kedaulatan kepada rakyat Inggris (meskipun pada kenyataannya terhadap elit lakilaki yang berkuasa). Di sepanjang abad ke-20 nasionalisme terus menunjukkan kemampuan sebagai pemikiran ganda, dan kadangkadang berlaku sekaligus sebagai Dr. Jekyill yang tercerahkan dan Tuan Hyde yang socio-patologis.
Universitas Gadjah Mada
Teori-teori Liberal tentang Nasionalisme. Dalam perkembangan berturut-turut sebagai teori-teori politik, juga perwujudan nasionalisme yang kontradiktif baik sebagai kekuatan liberal maupun iliberal harus dipahami sebagai sejarah kehidupan yang paralel atau kohabitasi ketimbang degenerasi atau suksesi. Dapat dikemukakan bahwa sebagai suatu doktrin, nasionalisme liberal memiliki usia yang samatuanya dengan liberalisme itu sendiri. Dengan mengambil bahan dari prinsip-prinsip nasionalisme dan kemajuan Abad Pencerahan, nasionalisme menekankan keberadaan hak-hak dasar yang didasarkan atas hak-hak seseorang sebagai manusia. Namun demikian, hak-hak tersebut hanya bisa dinikmati dalam contoh pertama di dalam masyarakat sipil tertentu yang didasarkan pada hukum-hukum yang dapat dilaksanakan di dalam batas-batas wilayah yang ditentukan. Dengan kata lain, liberalisme mengandaikan eksistensi atau pembentukan suatu negara-bangsa yang konstitusional, meskipun visi akhirnya adalah suatu masyarakat global yang terbentuk dari negara-negara semacam itu di mana semua manusia bisa hidup berdampingan secara damai dan bebas. Di dalam skema ini,
nasionalitas
yang
muncul
diidentifikasi
terutama
dari
kenegaraan,
kewarganegaraan, dan kebebasan universal, dan tidak berdasarkan identitas etnis, homogenitas rasial atau suatu sejarah tertentu. Sejak akhir abad ke-18 sejumlah ilmuwan politik penting sudah memberikan kontribusi bagi penjelasan teoretis terhadap impian akan suatu tatanan dunia yang didasarkan pada hidup bersama yang damai dari bangsa yang liberal. Beberapa ilmuwan politik tersebut yang paling terkenal adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Immauel Kant (1724-1804), Jeremy Bantham (1748-1832), Richard Cobden (1804-1865), John Bright (1811-1889), dan Francieque Bouvet (1779-1971). Namun demikian, seperti halnya dengan banyaknya isu dasar lainnya yang berhubungan dengan liberalisme, agaknya hanya J.S.Mill (1806-1873) yang menawarkan kepada mahasiswa kontemporer uraian pemikiran politik yang paling jelas dari pemikiran liberal tentang nasionalisme. Misalnya dalam sebuah esai yang ditulis pada tahun 1840, Mill menyerang "nasionalisme dalam pengertian yang vulgar" di mana yang ia asosiasikan dengan suatu " antipati yang total terhadap orang asing dan acuh terhadap kesejahteraan umum serta ras manusia, atau suatu
Universitas Gadjah Mada
pilihan yang tidak adil dari kepentingan yang dianggap benar tentang negara kita sendiri." Meskipun demikian, Mill melihat nasionalitas sebagai "kondisi esensial dari stabilitas dalam masyarakat politik" ketika nasionalitas berisi "perasaan tentang kepentingan bersama di antara mereka yang hidup di bawah pemerintahan yang sama, dan berada dalam batas-batas alam dan historis yang sama". Nasionalitas dalam pengertian ini dianggapnya sebagai hal yang krusial guna memungkinkan masyarakat "melewati masa-masa pergolakan tanpa melemahkan keamanan apapun juga bagi eksistensi yang damai." Sembilan tahun kemudian Mill merasa terdorong untuk mempertahankan Revolusi Paris Februari 1848 yang mengakhiri "monarki borjuis" Louis Philipe. Dengan melakukan itu, ia melibatkan diri dalam membicarakan isu mengenai putusan Lord Brougham di mana Mill mempermasalahkan apa yang dilihatnya sebagai sebab yang sesungguhnya dari penurunan takhta raja, yakni "prinsip, bahwa spekulasi baru dalam hak-hak negara merdeka, keamanan pemerintahan negara tetangga, dan bahkan kebahagiaan dari semua bangsa, yang disebut Nationalitas, diadopsi sebagai suatu jenis aturan bagi pembagian dominion"-sutu komentar yang menggarisbawahi keadaan terakhir konsep tentang kedaulatan rakyat hingga tahun 1948. Namun demikian, sembari mempertahankan nasionalisme sebagai suatu arus utama liberalisme, Mill merasa perubahan hanya demi pembuktian yang disiapkan oleh revolusi-revolusi terakhir di Jerman dan Eropa Timur yang kadang-kadang bersifat "sentimen nasionalitas yang dibebani terlalu berat dengan kecintaan pada kebebasan sehingga
orang
ingin
untuk
bersekongkol
dengan
aturan
mereka
guna
menghancurkan kebebasan dan kemerdekaan dari setiap orang yang tidak berasal dari ras dan bahasa mereka." Mill kembali kepada topik tentang nasionalisme dalam suatu bab karya seminalnya tentang teori liberal, Consideration on Constitutional Government (1861) yang diberi judul Of Nationality, As connected With Representative Government. Bab ini berisikan rumusan klasik tentang hak masyarakat untuk penetuan nasib sendiri. Di mana sentimen nasionalitas hadir dalam kekuatan apa saja, berlaku primsip prima facie dalam menyatukan semua anggota dari nasionalitas itu di bawah pemerintahan yang sama, dan sebuah pemerintahan bagi mereka yang terpisahpisah. Ini hanya untuk mengatakan bahwa persoalan tentang pemerintahan
Universitas Gadjah Mada
seharusnya diputuskan oleh yang diperintah. Orang hampir tidak tahu apa pembagian ras manusia apakah sebenarnya dilakukan secara bebas atau ditentukan untuk dilakukan, dari berbagai badan kolektif dari umat manusia yang ada, manakah yang dipilih untuk mengasosiasikan diri mereka? Bagaimanapun, istilah prima facie merupakan suatu kualifikasi penting karena Mill tidak berniat untuk menulis suatu cek kosong yang akan membiarkan gerakan kaum nasionalis yang mengangkat dirinya sendiri untuk mengkonstitusikan diri mereka sendiri sebagai sebuah negara. Beberapa paragraf kemudia ia tambahkan hal-hal penting bahwa jika "berbagai macam nasionalitas yang berbeda-beda menjadi begitu bercampur-campur aduk secara lokal sehingga tidak praktis bagi mereka untuk berada di bawah pemerintahan yang terpisah. Tidak ada jalan yang terbuka bagi mereka untuk mengerjakan dengan suka hati apa yang harus dikerjakan, dan mendamaikan mereka sendiri untuk hidup bersama di bawah hak-hak dan hukum-hukum yang sama". Mill juga memberikan sedikit sekali rasa belaskasihan kepada gerakan separatis" untuk bertumbuh dan berkembang dalam aliran ide dan perasaan tentang masyarakat yang sangat beradab dan terpelihara", suatu penilaian yang ia terapkan kepada orang-orang seperti Bretons, Basques, Wets, orang-orang Skotlandia dan dengan pertimbangan tertentu, termasuk juga Irlandia. Dalam esai yang sama, Mill menyesalkan kasus di mana suatu masyarakat yang maju diambil alih oleh suatu masyarakat yang kurang beradab, tetapi yang lebih banyak lagi, dalam suatu bagian yang oleh sebagian orang dianggap sebagai profetis, bahwa jika Rusia mengisap "setiap negara terkemuka di Eropa" maka "ia akan menjadi satu dari berbagai kemalangan yang paling besar di bunia ini". Seorang negarawan kontemporer yang mungkin mendukung sebagian besar refleksi Mill tentang nasionalisme, adalah Vaclav Havel (1936-), mantan Presiden Chekoslovakia dan sekarang Presiden Republik Chechnya. Penggunanaan puisi dan dramanya untuk menyerukan kebebasan dasar sudah membuatnya menjadi pembangkang paling terkenal di negara itu di bawah Soviet, dan stetlah Revolusi Velvet pada tahun 1989, ia mulai menjadi duta besar untuk penentuan nasib sendiri negaranya dengan semangat humanisme yang erat kaitannya dengan inti dari sejumlah penganjurnya pada Abad Pencerahan seperti Kant. la merumuskan dalil tentang visinya ketiak pada tahun 1991 ia menerima suatu gelar kehormatan
Universitas Gadjah Mada
dari
Universitas
Lehigh
di
Bethehem,
Pennsylvania.
Dalam
pidatonya,
ia
mengingatkan konsep tentang "negeri sendiri" (home) yang menekankan betapa pentingnya bagi suatu perasaan identitas dan tujuan pribadi. Di antara komponenkomponen penting dari negeri sendiri yang ia identifikasi ada kesadaran etnis dan nasional, yang dalam kasusnya bisa dibedakan ke dalam "ke-Cekoslovakia-an" . Meskipun demikian, tema sentral pembicaraannya adalah menolak jenis nasionalisme yang dilihat Mill sebagai yang kemungkinan besar bisa menghancurkan kebebasan dan kemerdekaan orang lain. Bagi Havel, negeri sendiri harus digambarkan sebagai serangkaian lingkaran konsentris yang meluas dari tingkat lokal (keluarga, teman, gereja, profesi) sampai melampoi batas-batas negara (supranational) yakni Eropa, peradaban modern dan planet bumi secara keseturuhan. Satu-satunya landasan bagi perasaan identitas tingkat ganda ini adalah kedaulatan manusia yang "menemukan ekspresi politiknya dalam kedaulatan kewarganegaraan". Oleh karena itu saya tentu saja tidak ingin untuk merusak dimensi nasional dari identitas seseorang, atau menyangkalnya atau menolak untuk mengakui legitimasinya dan hak-haknya untuk realitas diri sepenuhnya. Saya hanya menolak jenis gagasan politik yang berusaha atas nama nasionalitas menindas aspek-aspek lain dari rumah manusia, aspek-aspek lain dari perikemanusiaan dan hak-hak asasi manusia. Untunglah bahwa kebutuhan untuk berjuang dalam teori dan dalam praktik suatu nasionalisme telah melucuti etnosentrisme dan yang cocok dengan hak-hak asasi manusia universal belum menjadi kepedulian dari para fils:` humanistik atau senimaseniman pembangkang. Nasionalisme terletak pada inti yang paling dalam dari salah satu institusi dunia global yang paling penting, yakni PBB. Deklarasi dan kebijakankebijakan yang teremanasi dari suatu arus yang cepat yang datang dari berbagai komponen organisasinya, semuanya diterangi oleh visi yang keluar dari suatu turunnaiknya perubahan menentang nasionalisme rasis yang memunculkan ketakutan terhadap Perang Dunia II. Inti dari visi ini adalah keyakinan bahwa semua masyarakat dunia pada dasarnya hidup berdampingan secara damai dan bekerja sama dalam meringankan penderitaan yang dibuat oleh manusia. Dengan kata lain, mereka mencerminkan suatu komitmen (sekurangkurangnya dalam prinsip, meskipun dalam praktiknya ia sudah sering
Universitas Gadjah Mada
dikompromikan dengan kepentingan setempat dari negara-negara anggota) untuk suatu egalitarianisme radikat berdasarkan isu nasionalitas. Yang tipikal untuk hal ini adalah Dektarasi tentang Ras dan Prasangka Rasial 27 Nopember 1978 yang dikeluarkan oleh badan dunta UNESCO: "Perbedaan antara prestasi orang yang berbeda-beda secara keseluruhan dapat diatributkan pada faktor-faktor geografis, historis, politis, ekonomi, sosiat, dan kultural. Perbedaan semacam itu sama sekali tidak berlaku sebagai suatu datih bagi setiap klasifikasi peringkat bangsa-bangsa dan masyarakat.
Universitas Gadjah Mada