Orasi Ilmiah
PANCASILA NASIONALISME DAN
H A R G A DIRI BANGSA Orasi untuk mengisi Kegiatan Orientasi dan Pembekalan Mahasiswa Baru 20x1/2012 Universitas Pasundan Bandung, 13 September 2011
Oleh: S r i -E d i S w a s o n o (Guru Besar Universitas Indonesia; Penasihat Menteri PPN/BA
UNPAS 2011
.
Pa n c a s ila , n a s io n a l is m e d a n H a r g a d ir i b a n g s a *) Oleh: Sri-Edi Swasono Pengantar Assalamualaikum. Wr. Wb. Bapak Rektor UNPAS Yth, para Wakil Rektor, para Dekan, para Dosen, Panitia Kegiatan Orientasi Mahasiswa dan para Mahasiswa senior serta Mahasiswa baru, Merdeka! Orasi ini diawali dengan satu contoh tentang malapetaka akademik di salah satu kampus kita. Beberapa tahun yang lalu, kuliah subtopik “interdependensi ekonomi” yang saya buka di kias Semester ke-8 di salah satu universitas terkemuka di Jakarta, terpaksa tidak dapat saya lanjutkan. Bagaimana mungkin, para mahasiswa tidak mengenal Laut Sawu, Teluk Tomini, Morotai, Sorong, Timika dan berbagai lokasi geografi strategis lain untuk membangun pola-pola interdependensi ekonomi yang akan dibahas di kias. Semula saya tidak yakin bahwa mahasiswa-mahasiswa Semester ke-8 ini benar-benar “buta” ilmu bumi Indonesia. Ketika dengan jengkel saya tawarkan kepada mereka, siapa yang tahu di mana Laut Sawu, Bima, Waingapu, Maumere, Ende, Larantuka dan Rote, akan saya luluskan tanpa ujiannya saya periksa. Maka benar-benarlah malapetaka ini terbukti: tidak seorang pun mengacungkan tangannya. Mereka memang tidak mengenal negeri mereka sendiri. Di kias ini ada yang mengakui berasal dari Jawa Barat (lahir Betawi) pun tidak tahu di mana Pameungpeuk. Ada yang menyatakan Jambi di se belah timur Palembang. Ada yang menggambar letak Minahasa di an-
Orasi untuk mengisi Kegiatan Orientasi dan Pembekalan Mahasiswa Baru Universitas Pasundan 2011/2012. Bandung, 13 September 2011.
tara Makasar dan Parepare. Demikian pula Boyolali (tempat asal orang tuanya) dikatakan di sebelah Selatan Solo, dan mengatakan Cepu be rada di Jawa Timur. Mereka meletakkan Pontianak di antara Ketapang dan Pangkalan Bun, padahal jelas Tugu Khatulistiwa hanya ada di kota Pontianak. Mereka tidak lancar menyebutkan 10 nama kota besar di Pulau Jawa, sempat berhenti pada hitungan deretan kota ke-8. Mereka tidak bisa menyebutkan 20 sukubangsa di Indonesia (dari 520 sukubangsa yang kita miliki) dalam waktu singkat. Kesimpulan saya, mereka tidak merasa sempit atau sesak nafas hidup di Indonesia hanya berwawasan cekak Jabotabek, tanpa tahu the land beyond, ibarat miopi dan berkacamata sempit cukuplah hidup ini. Ibaratnya, tidak perlu mengenal Indonesia berikut isi dan peng huninya, yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote. Seolah-olah mereka tidak merasa risih tanpa tahu p o in tze r o keberadaan mereka. Bila bangsa kita semacam yang ada di kelas itu, maka ini merupakan suatu pelumpuhan toal (a complete disem powerm ent) terhadap suatu bangsa. Bagaimana mungkin pemuda-pemuda kita bisa melaksanakan tugas bela negara apabila mereka tidak tahu negerinya sendiri, tidak tahu di mana letak negeri dan teritori yang dibelanya. Lebih parah lagi tidak semua peta Indonesia menggambarkan teritori Indonesia secara utuh. Dari 14 peta atau atlas Indonesia yang saya miliki hanya 2 peta yang memuat Pulau Miangas sebagai pulau terdepan paling utara dari wilayah Indonesia, itupun salah satu dari 2 peta ini salah cetak menulis Pulau Miangsa yang seharusnya Pulau Miangas. Bagaimana mungkin pemuda-pemuda kita bisa menjaga kedaulatan (sovereignty) bangsa dan negara ini bila mereka tidak mengetahui segenap teritori berikut kekayaan dan potensi negerinya. Pertanyaan ini juga berlaku terutama bagi para penguasa dan pejabat negara. M en gap a Kita M em erlukan Pancasila Mpu Tantular menyampaikan tuah agungnya: “Bhinneka Tunggal Ika Tan H ana D arm a M angrw a”, yang beraneka itu adalah satu, tidak ada kewajiban yang mendua (hanya demi bangsa dan negara yang satu). Inilah Indonesia, sangat beranekaragam, pluralistik dan multikulturalistik, namun satu, ikatan kesatuannya adalah
2
Pancasila dan Nasionalisme
Pancasila. Barangkali tidak terlalu figuratif mengibaratkan pecahan 1/2 yang tidak bisa dijumlah dengan 1/3, kecuali setelah 1/2 ditransformasi menjadi 3/6 dan 1/3 menjadi 2/6, maka teijumlahlah penyatuan utuhnya menjadi 5/6. Seperenam adalah penyebut (common denominator), sebagaimana Pancasila berfungsi sebagai penyebut pemersatu (common platform) bagi pluralisme dan multikulturalisme Indonesia. Artinya kita masing-masing saling berbeda-beda, namun satu dalam kebersamaan cita-cita dan paham bernegara sebagai sesama warganegara. Oleh karena itu Pancasila adalah “asas bersama” yang tunggal bagi seluruh warganegara yang bhinneka, yang menjadikannya identitas bangsa ini. Sebagai common platform, Pancasila di dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara merupakan “suatu kalimat yang tidak diperselisihkan” sebagaimana di dalam perikehidupan beragama merupakan suatu kalimatun sawa di dalam agama (Ali ‘Imran, ayat 64). .. Ada benarnya sebagian dari kita menegaskan bahwa Pancasila di samping merupakan nilai budaya, identitas bangsa, filsafat negara dan ideologi nasional, Pancasila merupakan platform nasion yang dengan penuh toleransi diterima semua agama sebagai onsensus nasional. Pancasila adalah “paham persatuan” sekaligus e ij nasional” untuk mempertahankan persatuan nasional. Ber<msar platform ini, maka persatuan bukanlah sekadar persatean ya g p Tanpa platform nasional bangsa ini alan éla élo, mudah terombang-ambing tanpa pegangan, terlanda kebmgung , na^ ona| tanpa pedoman arah untuk mempertahankan kemerd yang telah kita miliki sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 -
Bhinneka Tunggal Ika: Embrio Nasionalisme Kita Banyak di antara kita, bukan hanya mahasiswa saja, y ^ g tidak menyadari bahwa kita hidup dalam pluralisme dan m , apalagi dalam konteks dinamika sosial-kulturalnya. Kelengkapan dari tuah Mpu Tantular adalah bahwa d, dalam kebhinneka tunggalikaan adalah dilanjutkan dengan e eng
p
yang
menegaskan “Tan Hana Darma Mangrwa” yang artinya tidak ada kewajiban yang mendua (hanya demi bangsa dan negara yang sahi)’ inilah loyalitas tunggal kepada bangsa dan negara, inilah embno dari Sri-Edi Swasono
3
nasionalisme Indonesia. Adanya bangsa dan adaanya negara berikut loyalitas tunggalnya ini membentuk apa yang disebut Wawasan Nusantara.1) Bila para pemuda-pemudi kita tidak mampu berwawasan Nusantara, tidak tahu tanah airnya sendiri, tidak tahu SabangMerauke dan Miangas-Rote serta keanekaragaman di dalamnya, mate ini merupakan cacat embrional bagi nasionalisme Indonesia. Apa itu nasionalisme? Nasionalisme adalah cinta kepada tanah-air, nasionalisme adalah semangat pemujaan dan kesetiaan kepada tanah-air nusa dan bangsa. Nasionalisme adalah patriotisme. Nasionalisme adalah doktrin ideologis untuk mengutamakan kepentingan nasional. Nasionalisme adalah suatu gerakan untuk meraih atau mempertahankan kemerdekaan, independency dan kemandirian. Nasionalisme adalah kesadaran kebangsaan, harga-diri, dan identitas diri sebagai suatu bangsa. Nasionalisme bukanlah eksklusivisme chauvinistik yang mengabaikan interdependensi global. Nasionalisme mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab global. NasiQnalisme dapat mengambil bentuknya untuk mencintai produk-produk buatan bangsa sendiri termasuk mengkonsumsi dan memajukan aneka ragam kuliner khas bangsa sendiri, tidak ketinggalan pula memakai dan memajukan kebhinnekaan busanabusana nasional, seni budaya nasional, beragam adat istiadat nasional serta nilai-nilai adiluhung segenap bangsa kita. Memperkukuh semangat nasionalisme berarti mentransformasi segala keaneka ragaman kekayaan budaya nasional ini menjadi kebanggaan dan identitas nasional yang dipangku dalam suatu kebersamaan nasional.
o catatan: Bhinneka Tunggal Ika, lengkapnya Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, tidak sama dengan E Pluribus Unum Amerika Serikat. Bhinneka Tunggal Ika dikumandangkan oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 sebagai rasa kebersamaan, persatuan dan kesatuan dari pluralisme dan roultikulturalisme kaum anak-negeri se-Nusantara. Sedangkan E Pluribus Unum Menjadi simbol persatuan dan kesatuan rakyat Amerika Serikat dari pluralisme dan multikulturalisme lfanm pendatang (kaum imigran) yang dikumandangkan tatkala Amerika Serikat merdeka pada tahun 1776.
4
Pancasila dan Nasionalisme
Kita haras menyadari Kemerdekaan Indonesia dapat kita rebii kembali karena bangkitnya “kesadaran nasional” dan tekad kuat untu£ menolak subordinasi dan penjajahan, artinya tekad kuat untu merdeka. . , Tekad untuk merdeka dipelopori oleh kaum elit yang Ke mudian kita kenal sebagai “para pendiri bangsa” atau “the founaing fathers”. Mereka ini adalah elit yang telah tercerahkan oleh nilai-nilai kemuliaan baru mengenai kemanusiaan, persamaan dan kesetaraan, kedaulatan, kemandirian, kesadaran-diri dan harga-diri, kebangsaan dan kerakyatan. Nilai-nilai baru yang mereka emban menjadi po apikir (mindset) revolusioner yang menyisihkan nilai-nilai membentukkan pola-pikir rendah-diri, mewajarkan ketertun subordinatif yang nonemansipatif, melayakkan harkat-martaba a negeri sebagai Inlander di bawah kaum Europeanen dan vree Oosterlingen. j.. Oleh karena itu, dinamika nasionalisme dalam sp<ect Sein dan das Sollen, menempatkan nation and character sebagai inti perjuangan dan pembangunan nasional. Saya kutipkan berikut ini kilas balik ruh pequangan Kemerdekaan Indonesia: Bung Kamo “menggugat” di Pengadilan p leid o o i-nya beijudul “Indonesië Klaagt-Aan Menggugat”), menegaskan: t ‘daerah “...imperialisme berbuahkan ‘negeri-negeri orana pengaruh’... yang di dalam sifatnya ‘menaklu^ l t Denting untuk lain, membuahkan negerijajahan... syarat yang PJndonesia itu pembaikan kembali semua susunan pergaulan muuy ialah Kemerdekaan Nasional...”. Dua tahun sebelumnya Bung Hatta menuding Pengadilan Den Haag (1928), dalam p leidooi-nya berjudul Ind onésie ry (“Indonesia Merdeka”), Bung Hatta menegaskan: “...lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain...’’. Setelah bangsa Indonesia berhasil menjadi- bangsa yang merdeka, tugas kultural utama bangsa ini adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kecerdasan kehidupan bangsa adalah konsepsi Sri-Edi Swasono
5
budaya, bukan konsepsi biologis-genetika. Mencerdaskan kehidupan, menurut Meutia Hatta,2> lebih jauh dari sekedar mencerdaskan otak bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai pencerahan seperti dikemukakan di atas agar kita menjadi bangsa yang tangguh dan beijaya, mampu mendisain dan mengukir sendiri masa depannya, untuk tidak lagi menjadi Inlander yang penuh dengan keminderan dan kemalasan, bahkan dalam dimensi kontemporer, mampu proaktif ikut mendisain wujud globalisasi. Di sinilah kiranya tugas budaya kita tidaklah ringan. Kita harus mampu melakukan urdeaming (afleren) terhadap nilai-nilai lama yang usang dan yang tidak relevan dengan alam kemerdekaan dan konteks mondialnya. Alam kemerdekaan dan tuntutan global kontemporer menuntut pula kepada kita untuk mampu melakukan leaming (leren) secara cepat dan efisien. Namun kita harus menjaga bahwa pola-pikir kita tetap tangguh, tidak menjadi mixed-up, ambivalen ataupun éla-élo tanpa pegangan dan pendirian.
Nasionalisme Dalam Globalisasi Nasionalisme tidak akan usang betapapun kita menghadapi globalisasi. Kelompok-kelompok cendikiawan yang sok ke-BaratBarat-an yang sekaligus gampang kagum dan tunduk terhadap globalisasi, cenderung mencemooh semangat nasionalisme. Cemooh mereka ini tak lain adalah persembunyian untuk menutupi ketertundukan mereka terhadap skenario globalisme tentang duniatanpa-batas (borderless-world), berakhirnya negara-bangsa (the end o f nation-states) dan berakhirnya sejarah perang ideologi (the end o f history) yang berhasil mencuci otak kita. Apa itu globalisasi? Saya kutipkan beberapa catatan mengapa globalisasi harus tetap kita waspadai.
2) Lihat Meutia Hatta, Masukan untuk RUU Kebudayaan, Rapat Dengar Pendapat Umum, Panja RUU tentang Kebudayaan, Komisi X DPR-RI Jakarta, 23 Februari 2011; lihat Meutia Hatta, “Antropologi dan Integrasi Nasional”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FISIP UI, 25 Maret 2006. 6
Pancasila dan Nasionalisme
Saya kutipkan beberapa catatan mengapa globalisasi harus kita waspadai: “...Dalam keadaan dunia semakin terglobalisasi... akan teijadi peru sakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, ke masyarakatan dan etnis...” (Huntington, 1996). “...Globalisasi adalah nama lain untuk dominasi Amerika...” (H. Kissinger, 1998). “...Dari segi kultural globalisasi telah cenderung meliputi meluasnya (demi pembaikan ataupun pemburukan) Amerikanisasi...” (T. Friedman, 2001). “...Dunia akan memiliki ekonomi global tanpa pemerintahan global... saat ini kita memiliki ekonomi global tanpa masyarakat global...” (G. Soros, 1998). “...Globalisasi adalah imperialism ekonomi baru...” (Petras & Veltmeyer, 2001). Tetapi globalisasi tidak lagi sekedar suatu proses dominasi Amerika ataupun Amerikanisasi yang sederhana, “...globalisasi telah menciptakan perang dagang...” (Krugman, 2001), bahkan saat ini, “...telah dengan parah mengakibatkan perang mata uang global yang mencemaskan...” (Swasono, 2010). “...Cara bagaimana globalisasi telah ditatalaksana...perlu secara radikal dipikirkan ulang... membuat globalisasi bekeija merupakan langkah-langkah berikutnya untuk memujudkan keadilan global...” (Stiglitz, 2007), atau, sebagaimana kita saksikan adalah “...ekonomi teijun bebas made in Amerika... pasar-bebas dan tenggelamnya ekonomi dunia...” (Stiglitz, 20i0).3> Di atas telah dikemukakan bahwa nasionalisme tidak pernah usang, dari sini saya mengharap bahwa para pemuda-pemudi kita
3) Digambarkan: “...in an increasingly globalized world ...there is an exa cerbation of civilizational, societal and ethnic self-consciousness...” (Huntington, 1996). “...Globalization is another name for American domination...” (H. Kissinger, 1998). “...Culturally speaking, globalization has tended to involve the spread (for better or worse) of Americanization...” (T. Friedman, 2001). “...The world is going to have a global economy without a global govemment...we have a global economy without a global society...” (G. Soros, 1998). “...Globalization is a new economic imperialism...” (Petras & Veltmeyer, 2001). But globalization is no longer as simple as a process of American domination or Americanization, “...it has created trade war...” (Krugman, 2001) and, “...at the moment, has severely caused an alarming global currency war...” (Swasono, 2010). “...The way globalization has been managed... need to be radically rethought.... Making globalization work: is the next steps to global justice...” (Stiglitz, 2007), or, as we have been witnessing, we have the “...made in USA free fall... the free market and the sinking of the world economy...” (Stiglitz, 2010). Sri-Edi Swasono
7
tid ak term akan oleh skenario the borderless world, the end o f nation states dan the end o f ideology. Untuk itu akan saya kutipkan pandangan-pandangan m utakhir dari ilmuan-ilmuan di Barat m engenai nasionalism e. Joan Robinson (1962): Ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme ... Aspirasi negara berkembang lebih tertuju pada tercapai dan terpeliharanya kemerdekaan serta harga diri bangsa daripada sekadar untuk makan ... Para penganut mazhab klasik menjagoi perdagangan bebas dengan alasan bahwa hal ini menguntungkan bagi Inggris dan bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia...”. Ho Chi Minh (awal 1970-an): “...Kami akan menang perang... kita mempunyai senjata rahasia, yaitu nasionalisme...”. Leah Greenfeld (2001): "... Meskipun ada yang mengatakan bahwa dewasa ini kita berada pada masa kapitalisme tahap lanjut, dan bahkan mungkin telah mencapai tahap pascaindustrialisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa nasionalisme... tidak menghilang, dan bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera menghilang... Nasionalisme pertama kali muncul di Inggris dan telah sangat mempengaruhi pandangan masyarakatnya ... ciri-ciri pertumbuhan yang berkesinambungan dari suatu perekonomian modern ternyata tidak berlangsung secara berkesinambungan; pertumbuhan hanya akan berkelanjutan justru jika di dorong dan di topang oleh nasionalisme...”. Ian Lustic (2002): “..Nasionalisme merupakan suatu ke kuatan pembangunan yang tak ada tandingannya di dunia masa kini...”. Meutia Hatta (2006): "...Nasionalisme adalah soal pe rasaan, soal komitmen dan soal keberkahan. Bagi saya, apakah nasionalisme merupakan hal yang masuk akal atau tidak masuk akal dari segi sejarah kelahirannya, hal itu tidaklah menjadi masalah. Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemer dekaannya dengan segala alasan dan tuntutan yang rasional dan sah, tidak ada hal lain bagi kita kecuali untuk mempertahankan dan mensyukurinya. Nasionalisme tidak saja indah, memberikan hargadiri, percaya-diri dan jati-din, tetapi juga harus disyukuri sebagai karunia Tuhan...”.
Pancasila dan Nasionalisme
Keprihatinan Nasional Kita Keprihatinan nasional kita bertitik-tolak dari doktrin “Tahta untuk Rakyat”. Bung Hatta dikenal sebagai ‘Bapak Kedaulatan Rakyat’, Bung Hatta yang menciptakan istilah ‘Kedaulatan Rakyat’ dari istilah Volkssouvereiniteit. "...Bagi kita, ra’j a t itoe jang oetama, ra’j a t oemoem jang mempoenjai kedaoelatan, kekoeasaan (souvereiniteit). Karena ra'jat itoe jantoeng-hati Bangsa. Dan ra’j a t itoelah jang mendjadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra’j a t itoe kita akan naik dan dengan ra’j a t kita akan toeroen. Hidoep ataoe matinja Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergantoeng kepada semangat ra’j at. Pengandjoer-pengandjoer dan golongan kaoem terpeladjar baroe ada berarti, kalaoe dibelakangnja ada ra'jat jang sadar dan insjaf akan kedaoelatan dirinja...”. (Mohammad Hatta, Daulat Ra’j a t - terbitan pertama - 20 September 1931). Dari doktrin kedaulatan rakyat di atas, jelaslah bahwa posisi rakyat yang sentral-substansial, bagi Hatta pemikiran pembangunan nasional haruslah people-centered dan people-based. Dalam berbagai makalah saya telah saya kemukakan enam keprihatinan nasional melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Pertama, mengapa pembangunan yang teijadi di Indonesia ini menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan? Akibatnya pembangunan menjadi proses dehumanisasi. Kedua, mengapa yang teijadi sekedar pembangunan di Indonesia dan bukan pembangunan Indonesia? Orang mancanegara yang membangun Indonesia dan menjadi pemegang konsesi bagi usaha-usaha ekonomi strategis, sedang orang Indonesia menjadi penonton atau menjadi jongos globalisasi. Ketiga, mengapa “daulat pasar” dibiarkan begitu berkuasa, sehingga menggusur “daulat rakyat”. Keempat, bukankah seharusnya kita menjadi Tuan di Negeri Sendiri, menjadi “The Master in our own Homeland, not just to become the Host”, yang hanya melayani kebutuhan globalisasi dan ke pentingan mancanegara? Jadi mengapa kita tetap menjadi koelie di Negeri Sendiri, sekedar menjadi master ofceremony? Akibatnya GDp Sri-Edi Swasono
9
berkembang lebih cepat dari GNP. Banyak ekonom lengah akan hal ini.^ Kelima, kesejahteraan rakyat tidak kunjung tercapai, kesen jangan antara kaya dan miskin makin meningkat. Keenam, kesenjangan antara kaya dan miskin yang memben tukkan kesenjangan frustasi (frustration-gap) pada pihak si miskin, yaitu gap antara aspirasi yang berkembang oleh dorongan iklan konsum tif mewah dan makin meluasnya tarikan hidup melimpah (affluency) pihak yang kaya (kesenjangan antara aspirasi imaginer dan kenyataan faktual) dengan segala absurditas yang menyertainya, telah mendorong ketimpangan struktural dalam pemilikan (wealth). Ibaratnya setiap detik terjadi transfer pemilikan dari yang miskin ke yang kaya. Konsentrasi pemilikan makin timpang, wujudnya antara lain landless peasants yang makin meningkat dan homelessness yang makin meluas. Apakah kita telah menjadi afailed State? Penutup: Apa itu Pem bangunan - Kemana Kita Menuju? Pembangunan nasional, terutama pembangunan ekonomi, haruslah berorientasi Indonesia dan mengembangkan ke-Indonesiaan, demi Indonesia, dengan memobilisasi faktor-faktor dominan Indonesia sebagai modal pembangunan, agar cita-cita kita untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia...” dapat terwujud. Dimensi-dimensi pembangunan nasional perlu kita kenal secara utuh. Dapat saya antarkan sebagai berikut:
-t) M estinya para ekonom tidak meremehkan gejala ini, minimal prihatin, bahwa selisih perkem bangan antara GDP (yang territorial based) dengan GNP (yang citizen/people-based) terhadap N ational Incom e makin besar. Dari tahun 2000 hingga 2009 selisih itu berkem bang (dalam%) dari 9,7 (2000) menjadi 12,98 (2001); 14,39 (2002); 16,72 (2003); 14,46 (2004); 15,9 (2005)', 16,50 (2006); 16,29 (2007); 12,55 (2008); 14,97 (2009).
10
Pancasila dan Nasionalisme
(1) Definisi populer pembangunan sebagaimana dikenal di lingkungan ekonom mainstream neoklasikal, yaitu yang berorientasi pada pertum buhan Gross Domestic Product (GDP), telah banyak ditentang oleh para ilmuan sosia’ dan khususnya para ekonom reformis yang kita kenal sebagai ekonom kontemporer strukturalistik, yang m enekankan pentingnya humanisme dan kebersamaan. Pem bangunan m emang bukanlah sekedar peningkatan pendapatan (per tumbuhan GDP/kenaikan per capita income), semacam ini merupakan pandangan simplistis dan ketinggalan zaman. (2) Definisi populer pertama di atas kemudian dikoreksi dengan tuntutan tentang siapa yang harus menikmati pembangunan. Oleh karena itu pembangunan juga membicarakan perlunya peme rataan pembangunan, artinya tidak cukup dengan menimbang tinggi rendahnya p er capita income saja, tetapi juga ketimpangan tentang penyebaran pertumbuhan GDP. Gini ratio sebagai konsepsi korektif telah secara rutin dibicarakan di ruang-ruang kias kita, toh belum menjawab esensi ketimpangan distribusi GDP. Pada dasarnya GDP merupakan “kue pembangunan”. Pertanyaan yang relevan adalah kue pem bangunan” macam apa yang kita' buat, “kue tart yang penuh kan dungan im por (high import contents) atau ‘ tumpeng yang sarat dengan kandungan lokal (heavy local contents). Makin tinggi kan dungan im por berarti makin besar ketergantungan kita pada luarnegeri dan sekaligus makin kecil peranan partisipasi rakyat 1 negen sendiri. Sebaliknya dengan membuat kue tumpeng, yang berarti makin tinggi kandungan lokal, berarti makin tinggi tingkat kemandirian dan sekaligus m akin luas dan intensif partisipasi dan emansipasi rakyat dalam pembangunan, makin tinggi pula pemerataan eseja eraan ekonomi. 5) . » , (3) Pembangunan dituntut sebagai upaya peningkatan ke mam puan produktif (productive capabihty) rakyat. Seperti dikatakan °leh A m artya Sen, pembangunan adalah “perluasan kemampuan rakyat”, sehingga proses pembangunan harus diartikan sebagai proses pemberdayaan rakyat.
t s) Lihat Sri-Edi Swasono, “Kue Melly Tan” dalam Sri-M Swasono Pelita Hati: Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta- Ul-Press, 1992), hlm. 99105; Amit Baduri, The Face You Are Afraid to See (Delhi: Pinguin, 2009). Sri-Edi Swasono
11
(4) Lebih dari itu pembangunan harus pula bermakna sebagai peningkatan pemilikan (wealth) oleh rakyat, wealth merupakan sumber kemakmuran dan kesejahteraannya.6* (5) Di samping itu definisi dan dimensi pembangunan yang selalu saya kemukakan adalah bahwa pembangunan tidak saja harus menghasilkan “nilai-tambah ekonomi”, tetapi juga sekaligus “nilaitambah sosial-kulturalV) Artinya pembangunan adalah “proses humanisasi”, proses ditingkatkannya harkat-martabat manusia, dengan kualitas hidupnya yang mampu memahami betapa pentingnya meraih suatu kecerdasan hidup 8), tumbuhnya harga-diri, percaya-diri, kebanggaan-diri, identitas-diri dan kemandirian.^
6) Peningkatan pemilikan (wealth) ini saya artikan dalam konsepsi TripleCo, khususnya dalam hal co~ownership sebagai perluasan distribusi yang lebih _ merata dalam pemilikan atau penguasaan aset nasional 7) LifrgMfrPEfli SwasojKv^gfcSpose hkondYrrik a : M^ w a sp ^ g ^ G lo ^ a lisa si Jan PasajySebas, edisi 2010 (Yogyakarta: Pustep UGM, 2010), hlm. 32. * Mengenai kecerdasan kehidupan bangsa: menurut Meutia Hatta ecpraasan kehidupan bangsa adalah konsepsi budaya, bukan konsepsi biologis genetika. Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih jauh dari sekedar mencerdaskan °tak bangsa, meliputi upaya menghapuskan: buta ketaqwaan, buta aksara, buta senf%«4 aya, buta peradaban, buta sejarah, buta geografi, buta spasial^btrttf' ideologi, buta^pereatuanCkebangsaan), buta kebersamaanjCkenjkyatefijr buta solidaritas, buta bci^HrTTTnrTnptrkj bntn buta kemartabatan, buta kemandirian, buta kesetaraan (termasuk kesetaraan gender, status), buta modernisasi, buta humanisme. Dengan demikian mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tuntutan modernisasi dan peradaban sebagai khalifatullah, meninggalkan ketertinggalan sosial-budaya dan sosial-ekonomi (lihat Meutia Hatta, Masukan untuk RUU Kebudayaan, Rapat Dengar Pendapat Umum, Panja RUU tentang Kebudayaan, Komisi X DPR-RI Jakarta, 23 Februari 2011; lihat pula Meutia Hatta, “Antropologi dan Integrasi Nasional”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FISIP UI, 25 Maret 2006). 9) Perjuangan anak-anak muda untuk memperoleh identitas-diri dan kebanggaan-diri sebagai warganegara Indonesia nampak terseok-seok. Tidak ada tembok dan bangunan yang bersih dari corat-coret anak muda, suatu graffiti salah esensi dan ekspresi nihil untuk mencari pengakuan eksistensi terhadap keterlantaran sosial-kultural, yang juga menggambarkan neighborhood's decline. Mengkonsumsi makanan-makanan asing, ngerumpi di kafe-kafe asing untuk merasa modem atau agak terkesan maju seperti Barat, barangkali bagian dari Perjuangan memperoleh identitas-diri dan eksistensi ilusif dan delusif. Sementara itu negara tidak memberikan kepada mereka suatu kebanggaan nasional. Graffiti
12
Pancasila dan Nasionalisme
szs^ssz cgdh)"> ,asihaSya'“»*
°z l
h
„ n l ! ^ 311® j°an ac^a^a^ proses mencerdaskan kehidupan
harga-diri b a n
g s a kehidupan maka Wta meraih jati-diri dan
. .
^®n8an catatan kaki 9 di halaman 12, maka jelaslah m„i9L ecerdasan hidup maka globalisasi dan neoliberalisme An/fwrtrihV/iK n®Sen kita saat ini akan menjadi proses minderisasi iaif-Mri rlan h ° ^ h adap rakyat kita. Rakyat akan terlentang tanpa ttmpaq “PonnU^u^A n ' ^ enSan demikian itu maka doktrin pedagogi S L n f £ ? ^ ^ amana” “Luhung Elmuna”, “Jembar Budayana” «jiiatn VAhani enaran .^an merupakan tuntutan zaman, merupakan j-- . j. .3'? s ra^egis bagi pendidikan tinggi untuk meraih jatidm, harga-dm dan kebesaran bangsa, menjadi a dignified nation. j semoSa Orasi saya ini dapat mengisi segi intellektualisme dan patriotisme Kegiatan Orientasi dan Pembekalan Mahasiswa Baru Universitas Pasundan 2011/2012. Semoga para Mahasiswa UNPAS akan menjadi bunga-bunga bangsa dan patriot pembangunan Indonesia. Masa depan Indonesia ada di tangan kalian semua. Hidup para pemuda! Merdeka! Wassalamualaikum. Wr. Wb.
jorok itu bisa pula diartikan sebagai ketiadaan cinta neighborhood di mana mereka UHaS u i" m®mP?roleh kehidupan, ketiadaan cinta lingkungan atau barangkali kedangkalan akan kesadaran nasional *°>Meutia Hatta, loc.it. L,- „ Kor^>ePsi GDH ini diawali oleh Raja Bhutan sekitar 40 tahun lalu, artinya f i S ? tS Domestl(r Product (GDP) saja tidaklah mencukupi. Mohammad Hatta /■¡/r . e , me|luangkan pandangan tentang perlunya meningkatkan kebahagiaan
7
* & .■ *
*">'»"*»"«'>• « H
<*“
<“ ■"> konsep*
Sri-Edi Swasono
13
LAMPIRAN - APPENDIX') LIST OF ETHNIC GROUPS IN INDONESIA (27 PROVINCES, 1 9 9 5 ) 1. Bali: (4) Bali, Loloan, Nyama Selain, Trunyan. 2. Bengkulu: (9) Bengkulu, Enggano, Kaur, Lembak, Muko-Muko, Pekai, Rejang, Serawai, Suban. 3. D.I. Aceh/NAD: (11) Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo-Lut, Gayo Luwes, Gayo Serbejadi, Kluet, Simeulu, Singkil, Tamiang. 4. DIY: (l) Yogyakarta. 5. DKI: (1) Betawi 6. Irian Jaya: (109) Aero, Airo Sumaghaghe, Airoran, Ambai, Amberboken, Amungme, Anu, Arfak, Asmat, Auyu, Ayfat, Baso, 'Baudi, Berik, Bgu, Biak, Borto, Buruai, Citak, Damai, Dani, Dem, Demisa, Demta, Dera, Edopi, Eipomek, Ekagi, Ekari, Emumu, Eritai, Fau, Foau, Gebe, Gresi, Hattam, Humboldt, Hupla, Inanwatan, Irarutu, Isirawa, Iwur, Jaban, Jair, Kaburi, Kaeti, Kais, Kalabra, Kamberau, Kamoro, Kapauku, Kapaur, Karon, Kasuweri, Kaygir, Kembrano, Kemtuk, Ketengban, Kimaghama, Kimyal, Kokoda, Kmnai, Korowai, Kupol, Kurudu, Kwerba, Kwesten, Lani, Maden, Mairasi, Mandobo, Maniwa, Mansim, Manhuke, Marind Anuim, Maiyakh, Mey Brat, Mimika, Moire, Mombum, Moni, Mooi, Mosena, Murop, Muyu, Nduga, Ngnalik, Ngnalum, Nimboran, Palamul, Palata, Pisa, Sailolof, Samarokena, Sapran, Sawung, Sawuy, Sentani, Silimo, Tabati, Tehid, Timorini, Uruwai, Waipam, Waipu, Wamesa, Wanggom, Wano, Waris, Waropen, Wodani, Yahray, Wali, Yapen, Yaqay, Yei. 7. Jam bi: (6) Anak Dalam, Batin, Jambi, Kerinci, Pengkulu, Pindah. 8. Jaw a Barat: (5)
Baduy, Banten, Cirebon, Naga, Sunda. 9. Jaw a Tengah: (5)
">(Sri-Edi Swasono, “Mutualism and Brotherhood”, WISDOM 2010, Local Wisdom Inspiring Global Solutions and Colloquium in Honour of Dr. Ann Dunham Soetoro and Prof. Mubyarto, University of Gadjah Mada, 5-8 Desember 2010).
14
Pancasila dan Nasionalisme
Bagelen, Banyumas, Jawa, Nagarigung, Samin. 10. Jaw a T im ur: (6) Bawean, Jawa, Madura, Surabaya, Tengger, Osing. 11. K alim an tan Barat: (71) Babak, Badat, Barai, Bangau, Bukat, 'Cempedek, Dalam, Darat, Darok, Desa, Dusun, Embaloh, Empayuh, Engkarong, Ensanang, Entungau, Galik, Gun, Iban, Jangkang, Kalis, Kantuk, Kayan, Kayanatan, Kede, Kendayan, Keramai, Klemantan, Kopak, Koyon, Lara, Limbai, Maloh, Mayau, Mentebak, Menyangka, Menyanya, Merau, Mualang, Muara, Muduh, Muluk, Ngabang, Ngalampa, Ngamukit, Nganayatn, Panu, Pengkedang, Pompang, Pontianak, Pos, Punti, Randuk, Ribun, Sambas, Sanggau, Sani, Seberuang, Sekajang, Selayang, Selimpat, Senangkan, Senunang, Sisang, Sintan, Suhaid, Sungkung, Suruh, Tabuas, Taman, Tingui. 12. K alim an tan S elatan: (10) Abai, Bakumpai, Banjar, Beaki, Berangas, Bukit, Dusun Deyah, Harakit, Pagatan, Pitap. 13- K alim an tan Tengah: (10) Bantian, Bawo, Lawangan, Maanyan, Ngaju, Ot Danum, Paku, Punan, Siang, Tamuan. 14 * K alim an tan T im ur: (29) Auheng, Baka, Bakung, Basap, Benuaq, Berau, Berusu, Bem, Bulungan, Busang, Dayak, Huang Tering, Jalan, Kenyah, Kulit, Kutai, Long Gelât, Long Paka, Modang, Oheng, Pasir, Penihing, Saq, Seputan, Tidung, Timai, Tou, Tukung, Tunjung. 1 5 - Lam pung: (1) Lampung. 16. M aluku: (43) Alune, Ambon, Ani, Babar, Bacan, Banda, Buli, Buru, Galela, Gane, Gebe, Halmahera, Haruku, Jailolo, Kei, Kisar, Laloda, Leti, Lumoli, Maba, Makian, Mare, Memalu, Moa, Modole, Morotai, Nuaulu, Pagu, Patani, Pelauw, Rana, Sahu, Sawai, Seram, Tanimbar, Ternate, Tidore, Tobaru, Tobelo, Togutil, Wai Apu, Wai Loa, Weda. 17 - N usa Ten ggara B arat: (9) Bayan, Bima, Dompu, Donggo, Kore, Mata, Mbojo, Sasak, Sumbawa. 18. N usa T en ggara Tim ur: (48) Abui, Alor, Anas, Atanfui, Atoni, Babui, Bajawa, Bakifan, Blagar, Boti, Dawan, Deing, Ende, Faun, Flores, Hanifeto, Helong, Kabola, Karera, Kawel, Kedang, Kemak, Kemang, Kolana, Kramang, Krowe Muhang, Kui, Labala, Lamaholot, Lemma, Lio, Manggarai, Marae, Maung, Mêla, Modo, Muhang, Nagekeo, Ngada, Moenleni, Riung, Rongga, Rote, Sabu, Sikka, Sumba, Tetun. 1 9 - Riau: (9) Akit, Hutan, Kuala, Kubu, Laut, Lingga, Riau, Sakai, Talang Mamak. Sri-Edi Swasono
15
20. Sulawesi Selatan: (13) Abung Bunga Mayang, Bentong, Bugis, Daya, Duri, Luwu, Makassar, Mandar, Massenrengkulu, Selayar, Toala, Toraja, Towala-wala. 21. Sulawesi Tengah: (25) Bada, Bajau, Balaesang, Balantak, Banggai, Bungku, Buol, Dampelas, Dondo, Kaili, Muna, Mekongga, Mori, Napu, Pamona, Pipikoro, Saluan, Sea-sea, Tajio, To Laki, Toli-Toli, Tomia, Tomini, Wakatobi, Wawoni. 22. Sulawesi Tenggara: (9) Buton, Cina, To Laiwiu, To Landawe, To Mapute, Orang Butung, Orang Lajolo, Orang Muna, Moronene. 23. Sulawesi Utara: (20) Bantik, Bintauna, Bolaang Itang, Bolaanng Mongondow, Bolaang Uki, Borgo, Gorontalo, Kaidipang, Minahasa, Mongondow, Pelahi, Ponosakan, Ratahan, Sangir, Talaud, Tombulu, Tonsawang, Tonsea, Tontemboan, Toulour. 24. Sumatra Barat: (2) Mentawai, Minangkabau. 25. Sumatra Selatan: (29) Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Enim, Kayu Agung, Kikim, Kisam, Komering, Lahat, Lematang, Lintang, KLom, Mapur, Meranjat, Musi, Musi Banyuasin, Musi Sekayu, Ogan, Palembang, Pasemah, Pedamaran, Pegagan, Rambang Senuling, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, Semendo. 26. Sumatra Utara: (14) Angkola, Asahan, Batak, Dairi, Karo, Langkat, Mandailing, Nias, Pakpak, Psisir Natal, Siladang, Sumalungun, Toba, Ulu Muara Sipongi. 27. Timor Timur: (2) Ilimano, Timor Timur. Main Source: Melalatoa, M. Junus, Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995). Other Sources: Geerland, G., Atlas der Völkerkunde (Gottra: Berhaus, Heinich, !Ö9 3 ). Koentjaraningrat, Atlas Etnografi Sedunia (Jakarta: Penerbit Dian Ralgat, 1969). Ter Haar, B., Adat Law in Indonesia (New York: Institute of Pacific Relations, 1948).
16
Pancasila dan Nasionalisme
Z' Ájy-Á^
¿ /£ /
A'i
y I ^
M
^
l