PENGETAHUAN TENTANG HIV PARA PEKERJA KONTRAK DARI INDONESIA DI LUAR NEGERI Jeda dalam informasi
Disiapkan oleh: Graeme Hugo Dosen Geography (Jurusan Ilmu Bumi), University of Adelaide
Manager: Lee-Nah Hsu South East Asia HIV and Development Project
September 2000
Hak Cipta dari United Nations Development Programme. Hak cipta dilindungi undangundang. Penerbitan ini boleh dikutip, direproduksi atau diterjemahkan, sebagian atau keseluruhan, dengan syarat sumbernya diakui. Penerbitan ini tidak boleh direproduksi untuk penggunaan komersial apapun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari UNDP. Untuk informasi hubungi: Lee-Nah Hsu, Manager, UNDP South East Asia HIV Development. Alamat email:
[email protected]
and
Foto dari: Discover Indonesia: JAWA TENGAH : BOROBUDUR & PRAMBANAN
Katalog National Library of Thailand dalam penerbitan ISBN: 974-680-173-2
Opini yang dinyatakan dalam penerbitan ini tidak selalu mewakili opini dari negara anggota Executive Board UNDP atau dari lembaga dalam sistem United Nations (PBB) yang disebutkan di sini. Penjelasan dan istilah yang digunakan serta presentasi materi tidak berarti pernyataan atau opini apapun pada pihak United Nations menyangkut status legal dari negara manapun, wilayah, kota atau daerah, atau dari pemerintahannya, atau dari perbatasannya.
PRAKATA Migrasi pekerja internasional kemungkinan merupakan pergerakan dengan pertumbuhan tercepat antar negara pada dasawarsa pertama abad ke duapuluh satu. Indonesia telah menjadi salah satu sumber utama buruh internasional di dunia selama sekitar dasawarsa lalu. Dari semua jenis pergerakan populasi internasional, pekerja pendatang sangat rentan terhadap HIV bila tidak ada sistem untuk membantu mereka saat berada di luar negeri. Menyadari kebutuhan akan pengetahuan dan informasi yang lebih praktis untuk membantu pekerja asing, UNDP South East Asia HIV and Development Project, bekerja sama dengan ILO Asia and Pacific Regional Office, memutuskan untuk menyelidiki dasar pengetahuan tentang HIV/AIDS di antara para pekerja kontrak Indonesia dan mekanisme bila pengetahuan dan persiapan tentang hal itu akan diberikan pada mereka. Survei ini memperlihatkan sebuah jeda besar informasi bukan hanya dalam hal penyakit menular tapi juga benar-benar tidak adanya pengetahuan perawatan kesehatan mendasar yang diberikan pada pekerja asing legal maupun illegal. Implikasi dari kemungkinan penyebaran regional dari HIV baik di dalam negeri dan di luar negeri sangatlah besar.
Lee-Nah Hsu Manajer UNDP South East Asia HIV and Development Project
KATA SAMBUTAN Makalah saat ini terutama didasarkan pada data yang diambil dari sebuah survei yang diadakan untuk International Labour Organisation (ILO) Jakarta Office oleh Pusat Penelitian Populasi dan Tenaga Kerja dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPT-LIPI). Survei ini ditujukan untuk menyediakan kebutuhan informasi dari para pekerja kontrak asing serta sejumlah pertanyaan sehubungan dengan HIV/AIDS. Input dan dukungan dari Dr. Yulfita Raharjo, Direktur PPT-LIPI dan stafnya terutama Dr. Aswatini Roharto, Dra Haning Romdiati, Dra Mujiani dan Dr. Sukobandijono dalam mengadakan survei ini beserta analisisnya sangatlah dihargai. Dukungan ILO yang mendanai survei juga dihargai begitu pula input ilmiah yang cukup besar bagi proyek tersebut oleh Dr. Roger Bohning, ILO South-East Asia and the Pacific Multidisciplinary Advisory Team (SEAPAT) di Manila. Dukungan Dr. Lee Nah Hsu, UNDP South East Asia HIV and Development Project, juga sangat dihargai.
KATA PENGANTAR Makalah ini melaporkan temuan tentang pengetahuan HIV/AIDS di kalangan pekerja kontrakan asing (OCW) dari Indonesia (Tenaga Kerja Indonesia/TKI). Makalah ini memanfaatkan sebuah penelitian terhadap TKI yang diadakan di Indonesia pada 1999. Hasilnya terbatas pada materi yang diambil dari survei khusus ini dan tidak berusaha untuk mengulas gambaran keseluruhan sehubungan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS di antara tenaga kerja internasional Indonesia. Namun tidak perlu disebutkan bahwa pergerakan populasi internasional (baik ke dan dari Indonesia) telah meningkat sangat besar dalam dua dasawarsa terakhir dan ini berdampak pada penyebaran HIV/AIDS di negara ini. Makalah ini dimulai dengan ringkasan singkat kecenderungan terakhir dalam migrasi pekerja internasional di Indonesia untuk menempatkan temuan tersebut dalam konteks. Makalah itu kemudian meringkas metode yang digunakan dalam survei yang digunakan di sini. Hal ini diperlukan agar hasil survei bisa dimengerti. Perlu disebutkan bahwa survei ini terutama dirancang untuk menilai kebutuhan informasi dari TKI yang akan menetap di Indonesia dengan mewawancarai mereka yang kembali baru-baru ini. Sebuah pertanyaan ditempelkan pada kuetioner yang menanyakan apakah responden memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS. Bagian berikutnya dari makalah mempersembahkan temuan dari survei sehubungan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS di antara para responden. Setelah itu barulah hasilnya diinterpretasikan.
MIGRASI BURUH INTERNASIONAL DI INDONESIA Pengiriman pekerja ke luar negeri untuk bekerja sebagai buruh kontrakan dalam periode waktu tertentu memiliki sejarah panjang di Indonesia yang dimulai sejak jaman penjajahan (Hugo, 1980). Namun, dalam era menjamurnya migrasi buruh internasional global pada 1970-an dan awal 1980-an (Castles dan Miller, 1993) Indonesia lebih lamban dari negara-negara yang kelebihan buruh di Asia untuk memasuki arena ekspor buruh. Bagaimanapun juga, hal ini telah berubah selama dua dasawarsa terakhir dan kini Indonesia termasuk salah satu negara emigrasi terbesar di dunia, meski bagian terbesar emigrasi yang terjadi adalah atas dasar sementara yang melibatkan TKI. Indonesia, Bahkan sebelum dimulainya krisis ekonomi pada 1997, merupakan sebuah negara yang pada dasarnya kelebihan tenaga kerja dengan tingginya tingkat kekurangan lapangan kerja (melebihi 30%), rendahnya penghasilan ($980 per tahun 1
pada 1995 dan jauh lebih rendah lagi sejak dimulainya krisis) dan tenaga kerja yang cepat berkembang (2,4% per tahun) di antara 80 juta tenaga kerjanya (Hugo, 1995). Karenanya, tidaklah mengherankan bila Indonesia menjadi salah satu negara emigrasi utama di Asia Tenggara dalam menjamurnya pergerakan populasi internasional global selama dua dasawarsa terakhir. Meskipun begitu, bagian terbesar dari pergerakan keluar Indonesia, bukanlah dari jenis penetap tradisional.1
Kebanyakan adalah
pekerja migran kontrak yang telah bekerja untuk sementara di sejumlah tempat tujuan meski tempat tinggal akhir yang permanen di negara-negara itu cukup besar dalam hal Malaysia. Sayangnya tidaklah memungkinkan untuk menyediakan gambaran akurat tentang skala ekspor buruh dari Indonesia karena angka statistik yang tersedia hanya mengindikasikan sebagian kecil dari pergerakan keseluruhan. Sumber utama data seperti itu adalah Kementrian Tenaga Kerja yang memantau pergerakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) legal di luar negeri namun tak memiliki informasi tentang jumlah yang jauh lebih besar yang (1) pergi ke luar negeri secara legal Namun tidak mendaftar sebagai TKI pada Kementrian Tenaga Kerja, atau (2) ke luar negeri tanpa melalui proses resmi apapun. Tabel 1 menunjukkan angka statistik resmi sehubungan dengan penempatan buruh Indonesia di luar negri dan dengan meningkatnya tempo pergerakan, begitu terlihat jelas pula dominasi Timur Tengah sebagai tujuan utama dan dengan tingkat yang lebih kecil, ke negara tetangga Malaysia dan Singapura. Karena kebanyakan pekerja memiliki kontrak untuk dua tahun atau lebih, jumlah sebenarnya dari TKI resmi di luar negeri dalam tahun apapun jauh lebih besar dari jumlah yang diberangkatkan pada sebuah tahun tersendiri. Skala aliran yang meningkat ini tampak jelas pada Tabel dengan jumlah yang diberangkatkan setiap Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) lebih digandakan dibanding tiap tahunnya. Pola dari lebih banyaknya pekerja yang dikirim ke luar negeri tiap tahun terhenti pada dua tahun karena situasi luar biasa. Penurunan dalam migrasi resmi pada 1995-1996 sebagian merupakan peninggalan dari data ini karena pada 1994 Menteri Tenaga Kerja menciptakan sebuah perusahaan baru yang didukung pemerintah, P.T. Bijak, yang memiliki berbagai peran, yang diantaranya adalah untuk bersaing dengan perekrut swasta dalam merekrut pekerja secara langsung dengan perekrut swasta dalam 1
Misalnya, jumlah dalam negara-negara tujuan utama migrasi permanen seperti Australia, Kanada and Amerika Serikat adalah masing-masing 44.175 pada 1996 (ABS 1996 Census), 7.610 pada 1991 (Statistics Canada) dan 64.376 pada 1998 (US Census Bureau Current Population Survey, April 1998).
2
merekrut pekerja secara langsung dan mengirim mereka ke luar negeri (Hugo 1995, hal. 295). Pekerja yang dikirim ke luar negeri oleh P.T. Bijak tidak terlibat dalam data resmi Departement Tenaga Kerja yang disampaikan dalam Tabel 1 untuk 19941997, meskipun kini mereka sudah terlibat. Untuk memberi pandangan dari dampak hal tersebut, jumlah pekerja yang diberangkatkan oleh P.T. Bijak ke Malaysia antara Oktober 1995 dan September 1996 adalah 36.247 (Setiawati 1997, hal. 91). Perusahaan ini juga mengirim 9.000 pekerja Indonesia ke Korea Selatan dan jumlah yang sedikit lebih besar ke Taiwan pada waktu yang hampir bersamaan. Begitu pula angka-angka sejumlah Tabel 1: Tahun (Tahun Tunggal)
Jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang Diproses oleh Kementrian Tenaga Kerja, 1969-2000 Timur Tengah
Angka 2000-2001* 1999-2000 1998-99 1997-98 1996-97 1995-96 1994-95 1993-94 1992-93 1991-92 1990-91 1989-90 1988-89 1987-88 1986-87 1985-86 1984-85 1983-84 1982-83 1981-82 1980-81 1979-80 1977
%
9,588 153,890 179,521 131,734 135,336 48,298 99,661 102,357 96,772 88,726 41,810 60,456 50,123 49,723 45,405 45,024 35,577 18,691 9,595 11,484 11,231 7,651
25 38 44 56 26 40 57 64 56 59 48 72 82 81 66 81 77 64 45 65 70 74
Periode Perencanaan Lima Tahun: Repelita VII Repelita VI: Repelita V: Repelita IV: Repelita III: Repelita II: Repelita I:
* **
1999-2003 1994-99 1989-94 1984-89 1979-84 1974-79 1969-74
Malaysia/ Singapura
Angka 23,602 187,643 173,995 71,735 328,991 46,891 57,390 38,453 62,535 51,631 38,688 18,488 6,614 7,916 20,349 6,546 6,034 5,597 7,801 1,550 564 720
Lainnya
% 63 46 42 30 64 39 33 24 36 34 45 22 11 13 30 12 13 19 37 9 4 7
Angka 4,520 62,990 58,153 31,806 52,942 25,707 19,136 19,185 12,850 9,420 5,766 5,130 4,682 3,453 2,606 4,094 4,403 5,003 3,756 4,570 4,391 2,007
% 12 16 14 14 10 21 11 12 7 6 7 6 8 6 4 7 10 17 18 26 27 19
Total
Persen Peruba han Dari Tahun
Angka
Sebelum nya n.a. -2 +75 -55 328 -31 10 -7 15 74 3 37 1 11 23 21 57 38 18 11 56
37,710 404,523 411,609 235,275 517,269 120,896 176,187 159,995 172,157 149,777 86,264 84,074 61,419 61,092 68,360 54,297 46,014 29,291 21,152 17,604 16,186 10,378 3,675 Target
2,800,000 1,250,000 500,000 225,000 100,000 none set none set
Rasio Jenis Kelamin (Pria/ 100 Wanita) 45 44 28 20 79** 48 32 36 54 48 73 35 29 35 61 44 79 141
Total Dikerahkan
1,461,236 652,272 292,262 96,410 17,042 5,624
Hanya 1 April 2000 Tahun di mana 300,000+ pekerja pindahan Malaysian disahkan (194.343 pria dan 127.413 wanita).
3
Sumber:
Suyono, 1981; Singhanetra-Renard, 1986:52; Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 1986:2; Kantor-kantor AKAN, Bandung dan Jakarta; AKAN (Antar Kerja Antar Negara); Departemen Tenaga Kerja, Republik Indonesia, 1998:14
517.269 pekerja pindahan yang dikerahkan pada 1996-97 perlu dilihat sebagai anomali karena termasuk lebih dari 300.000 pekerja Indonesia di Malaysia yang mengajukan diri untuk menerima amnesti bagi pekerja yang belum didokumentasi (Kassim, 2000). Apa yang jelas dalam Tabel 1 adalah peningkatan cukup besar dalam jumlah pekerja kontrakan yang masuk ke Indonesia setelah dimulainya Krisis Ekonomi 1997. Krisis tersebut tak diragukan lagi meningkatkan tekanan untuk melakukan migrasi pekerja internasional sehingga pada periode antara awal krisis dan akhir 1999 ada lebih banyak pekerja yang masuk secara resmi daripada yang terjadi dalam keseluruhan lima Repelita pertama. Jelas bahwa krisis tersebut telah memicu peningkatan migrasi buruh internasional resmi ke luar dari Indonesia. Sebuah penelitian lapangan di Indramayu, Jawa Barat (Romdiati, Handayani dan Rahayu 1998, 23) menemukan bahwa krisis di daerah ini telah menyebabkan banyak penduduk setempat yang memanfaatkan migrasi buruh internasional sebagai strategi bertahan hidup. Para wanita dikirim ke Saudi Arabia untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Satu ciri dari krisis ini yang lebih umum di Indonesia adalah peningkatan partisipasi wanita dalam tenaga kerja untuk memperluas portofolio pilihan penghasilan rumah tangga (ILO 1999). Tampaknya bagian dari strategi tersebut mungkin melibatkan lebih banyak wanita yang dilibatkan dalam migrasi buruh internasional. Salah satu ciri pergerakan resmi ini adalah dominasi wanita, yang terutama diarahkan untuk dipekerjakan sebagai PRT. Misalnya di antara pekerja yang diberangkatkan selama periode Repelita VI (1994-1999) 2.042.206 wanita dikirim ke luar negeri dibanding dengan 880.266 pria. Selain itu, tampaknya selama periode Krisis Ekonomi proporsi wanita di antara pekerja migran telah meningkat bersama rasio jenis kelamin yang mencapai titik-titik terendah pada periode 1997-99 (Tabel 1). Dominasi wanita dalam pergerakan ini membawa dampak signifikan bagi program sehubungan dengan penyediaan informasi bagi pekerja migran berpotensi. Tabel 2 menggambarkan tujuan dari para pekerja ini dalam Repelita VI dan mengindikasikan dominasi Saudi Arabia, Malaysia dan Singapura. Setelah beberapa 4
waktu negara-negara di Asia menjadi tujuan lebih penting bagi TKI meskipun 199899 adalah tahun di mana terjadi jumlah terbesar TKI dikirim ke Saudi Arabia. Ini berdampak cukup penting bagi penyediaan informasi karena ada relatif sedikit negara tujuan dibanding negara-negara pengirim tenaga kerja utama lainnya seperti Filipina. Program informasi yang menjelaskan kondisi tempat tujuan dapat dibatasi hingga sejumlah kecil negara.
5
Tabel 2:
Indonesia: Tujuan Tenaga Kerja Indonesia dalam Repelita VI, 1994-99 Sumber: DEPNAKER Tujuan
Jumlah
Persen
ASIA PASIFIK Malaysia Singapura Taiwan Korea Selatan Hong Kong Brunei Jepang Asia lainnya AMERIKA EROPA TIMUR TENGAH/AFRIKA Saudi Arabia Uni Emirat Arab Timur tengah lainnya/ Afrika TOTAL
848,543 556,575 146,427 44,851 37,288 35,140 14,040 12,274 1,943 12,833 5,204 594,656 550,218 41,768 2,670
58.1 38.1 10.0 3.1 2.6 2.4 1.0 0.8 0.1 0.9 0.4 40.6 37.7 2.9 0.2
1,461,236
100.0
Rasio Jenis Kelamin 79.9 96.1 22.9 152.9 524.7 1.7 28.3 4620.7 16,091.7 40,003.1 7,667.1 8.3 8.5 2.6 74.2 43.1
Namun pergerakan ‘resmi’ TKI yang dirujuk singkat di atas hanyalah bagian dari migrasi buruh internasional ke luar dari Indonesia. Pergerakan yang tidak tercatat jumlahnya jauh lebih besar dari pergerakan tercatat namun pertimbangan migrasi buruh internasional di Indonesia hampir seluruhnya terfokus pada pergerakan tercatat. Sangat penting dalam pertimbangan apapun untuk memberi informasi pada para pekerja migran berpotensi bahwa grup-grup yang dianggap sebagai pekerja tidak tercatat berpotensi juga diikut-sertakan seperti mereka yang melalui saluran-saluran resmi. Pengetahuan dari migrasi yang tak tercatat di Indonesia jauh lebih terbatas dibanding untuk pergerakan yang tercatat, namun kemungkinannya lebih besar secara signifikan dalam hal skala dibanding pergerakan tercatat. Migrasi tak tercatat ke luar dari Indonesia muncul dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: (1) Migran yang memasuki sebuah negara secara illegal dan tidak melalui pos pemeriksaan perbatasan yang resmi. Di Indonesia, misalnya, hal ini termasuk sejumlah besar yang menyeberangi Selat Malaka dari Riau ke pesisir Johor di Malaysia.
6
(2) Mereka yang memasuki sebuah negara secara legal namun tetap tinggal setelah visanya habis. Ini berlaku bagi banyak pekerja yang memasuki Sabah dari Kalimantan Timur. (3) Mereka yang memasuki sebuah negara dengan visa non-pekerja (seperti visa umroh atau haji untuk memasuki Saudi Arabia atau ijin kunjungan ke Sabah) namun malahan bekerja di negara tujuan tersebut. Gambar 1:
Rute Utama Migrasi Tak Tercatat dari Indonesia ke Malaysia
Sumber: Hugo, 1998 Ketiga jenis pergerakan tak tercatat ini cukup besar di Indonesia. Meskipun migrasi terjadi ke banyak negeri tujuan, migrasi ke Malaysia dan, untuk porsi yang lebih kecil, ke Singapura sangat besar.
Pergerakan ini berbeda dalam banyak hal dengan
pergerakan legal, karena didominasi pria (meski keterlibatan wanita sedang meningkat) dan terutama terfokus pada Malaysia meski migrasi illegal ke tujuan lainnya seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan, Saudi Arabia dan mungkin Australia sedang meningkat (Jakarta Post, 18 April 1995). Gambar 1 menunjukkan bahwa pergerakan pekerta tak tercatat ke Malaysia terjadi di sepanjang dua sistem rute utama: (1) Dari Jawa Timur, Lombok dan Sumatra Utara melalui Sumatra Timur (terutama Riau) ke Semenanjung Malaysia (terutama Johor). 7
(2) Dari Flores, dan Sulawesi Selatan ke Kalimantan Timur lalu memasuki Malaysia Timur, terutama Sabah. Masuk secara illegal ke Malaysia dari Indonesia tidaklah sulit ataupun terlalu mahal dan kebanyakan orang Indonesia secara etnis mirip dengan kaum mayoritas di Malaysia. Sebagian besar pergerakan ini melibatkan sindikat dan jaringan rumit para perantara, perekrut dan perantara lainnya (Spaan, 1994). Estimasi dari jumlah yang terlibat dalam pergerakan ini cukup bervariasi. Sebuah amnesti di Semenanjung Malaysia pada 1993 membuat sekitar setengah juta pekerja illegal dari Indonesia untuk memperlihatkan diri (Kompas, 19 Juni 1995) di mana 180.000 bekerja di konstruksi, 170.000 di perkebunan, 40.000 di pabrik, 40.000 di bidang layanan, 60.000 di hotel-hotel dan 50.000 sebagai pembantu rumah tangga. Namun, karena memperlihatkan diri berarti para majikan terpaksa membayarkan to pay migrant workers gaji lebih tinggi dan kondisi kerja lebih baik pada pekerja asing, jelas tidak semua pekerja illegal terdeteksi oleh amnesti tersebut.
Dalam pemilu di Indonesia tahun 1997 sekitar 1,4 juta penduduk
Indonesia yang tinggal di Malaysia ikut memilih (Kassim, 1997) jadi Departemen Imigrasi pemerintah Malaysian pada 1997 mencatat tenaga kerja dari Indonesia yang berdomisili di Indonesia pada 1,9 juta – angka yang jauh melebihi kebanyakan perkiraan lainnya (lihat misalnya Hugo 1995a). Pada Oktober 1998 pemerintah Malaysia memperkirakan bahwa ada 200.000 istri dan anak dari pekerja kontrakan asing di negara itu (Asian Migration News, 31 Oktober 1998). Tabel 3 memperlihatkan perkiraan dari sederetan sumber dan konsultasi dengan para pejabat di
Departemen Tenaga Kerja Indonesia tentang perhitungan
penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri pada 1999. Ini mewakili lebih dari 3% tenaga kerja Indonesia. Sehingga jelas bahwa migrasi buruh internasional kini cukup berdampak pada tenaga kerja Indonesia. Pentingnya pergerakan ke Malaysia ini terlihat jelas dalam fakta bahwa hal itu dilaporkan sedemikian pada 1993 (Kompas, 23 September) 23 persen dari tenaga kerja Malaysia adalah orang Indonesia. Migrasi ke Malaysia didominasi oleh pria dan diasosiasikan dengan jenis pekerjaan bergaji rendah dan berstatus rendah yang dijauhi oleh orang Malaysia sehingga menciptakan sebuah pasar tenaga kerja yang bersegmentasi (Hugo, 1995).
8
Tabel 3:
Indonesia: Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Indonesia pada 2000
Tujuan Saudi Arabia Uni Arab Emirat Malaysia Hong Kong Singapura Taiwan Korea Selatan Jepang Filipina Brunei Lainnya Total
Estimasi jumlah 425,000 35,000 1,900,000 32,000 70,000 46,762 11,700 3,245 26,000 2,426 20,000 2,572,133
Sumber Kedubes RI di Riyadh Asian Migration News, 30 April 1999 Kassim, 1997 DEPNAKER Asian Migration News, 5 Mei 1999 Kyodo, 24 Mei 2000 Asian Migration Yearbook, 1999:182 Asian Migration Yearbook, 1999:128 SCMP, 10 Desember 1998 Asian Migration Yearbook, 1999:125 DEPNAKER
Dalam mempertimbangkan sebuah program informasi untuk calon TKI dan TKI aktual, penting untuk menekankan bahwa dalam sebuah negara yang besar dan sangat beragam, tenaga kerja migran bukanlah contoh random antar sector dari pekerja Indonesia. Mereka secara selektif diambil dari grup-grup dan wilayah tertentu. Ini terutama karena signifikansi dari migrasi berantai dan kenyataan bahwa begitu sebuah jaringan migrasi sudah berdiri, akan memudahkan dan mendorong pergerakan lebih lanjut sepanjang jaringan itu, yang menghubungkan wilayah-wilayah di Indonesia dengan wilayah di negara tujuan. Akibatnya, dampak migrasi buruh internasional terkonsentrasi pada wilayah tertentu dalam sebuah negara dan semakin menguuat di daerah tersebut. Di saat dampak migrasi buruh internasional pada tingkat nasional dibatasi di Indonesia, hal ini berdampak besar pada wilayah tertentu serta banyak komunitas. Kenyataannya, para migran cenderung untuk tidak hanya datang dari bagian-bagian tertentu di Indonesia Namun juga dari desa tertentu di dalam wilayah tersebut. Selanjutnya, ini berarti bahwa program informasi bisa ditargetkan untuk bagian negara tesebut. Gambar 2 menunjukkan bahwa bagian terbesar dari TKI ‘resmi’ direkrut dari Jawa, terutama dari propinsi Jawa Barat. Juga ada konsentrasi signifikan dari daerahdaerah asal TKI resmi di dalam propinsi seperti Jawa Barat seperti ditunjukkan Gambar 3.
Menentukan asal dari pekerja tak tercatat jauh lebih sulit. Namun,
beberapa indikasi dapat diambil dari data tentang pekerja yang dideportasi. Misalnya, Gambar 4 menunjukkan distribusi propinsi asal pekerja migran Indonesia yang terdeteksi di Sabah tanpa memiliki surat-surat imigrasi yang diperlukan dan dideportasi ke Kalimantan Timur. Ini menunjukkan bahwa dominasi pekerja tak tercatat berasal dari Sulawesi Selatan dan kedua propinsi di Nusa Tenggara, terutama 9
Nusa Tenggara Timur. Propinsi asal utama dari
para migran tak tercatat yang
bepergian ke Malaysia bagian Timur dan Barat adalah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah, sementara titik transit utama untuk penyeberangan ke Malaysia adalah di Sumatra Utara, Riau dan Kalimantan Timur (Jakarta Post, 18 April 1995). Menarik untuk dicatat bahwa pola distribusi tempat asal migran ini cukup berbeda dari untuk TKI legal. Misalnya, untuk Jawa di mana Jawa Barat adalah tempat asal dominan dari pekerja migran resmi, Jawa Timur tak pelak lagi menjadi daerah asal utama para pekerja tak tercatat dari Jawa (Spaan, 1999).
10
Gambar 2:
Indonesia: Propinsi Tempat Asal TKI Tercatat Resmi, 1989-92
Sumber: Hugo, 1998
Gambar 3:
Jawa Barat: Kabupaten Tempat Asal TKI yang Tercatat Resmi, April 1989-Maret 1992
Sumber: Adi 1996, hal. 86
11
Gambar 4:
Indonesia: Daerah Tempat Asal Pekerja yang Dideportasi dari Sabah ke Kalimantan Timur, 1994 hingga 1998 PHILIPPINES 1000
SOUTH CHINA SEA
5000
BRUNEI
10000
MALAYSIA EAST KALIMANTAN
SINGAPORE WEST KALIMANTAN
NORTH SULAWESI
CENTRAL SULAWESI
CENTRAL KALIMANTAN SOUTH SUMATRA
LAMPUNG
S.E. SULAWESI
JAVA
SEA
JAKARTA WEST JAVA
CENTRAL JAVA
SOUTH KALIMANTAN
MALUKU SOUTH SULAWESI
EAST JAVA
BALI
FLORES
YOGYAKARTA
INDIAN OCEAN
1000
0km
WEST NUSA TENGGARA
EAST TIMOR
EAST NUSA TENGGAR
WEST TIMOR
AUSTRALIA
Sumber: Kantor Pengembangan Propinsi dari propinsi Kalimantan Timur Samarinda METODOLOGI PENELITIAN TENTANG KEBUTUHAN INFORMASI TKI Tulisan yang berhubungan dengan migrasi internasional di Indonesia sangatlah terbatas. Ada kekurangan penelitian empiris yang menjelaskan keputusan untuk bermigrasi, pengalaman migrasi, pengalaman di negara tujuan, dampak terhadap tempat asal, dsb. Suatu kesulitan besar di sini adalah bahwa di Indonesia sejumlah besar pergerakan tidaklah diberitakan dan karenanya tak mudah diteliti. Namun begitu, tidaklah menjadi dasar dari bukti empiris bahwa TKI yang meninggalkan Indonesia di bawah program resmi, secara yakin menjawab pertanyaan sehubungan dengan para pekerja migran seperti kebutuhan informasi mereka, pengetahuan tentang kesehatan serta status kesehatan mereka. Karenanya perlu untuk mengadakan sejumlah pemungutan data awal untuk memberi jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan ini. Pengambilan informasi primer dalam bidang ini sulit karena tidak adanya sumber yang dapat digunakan sebagai kerangka sampling untuk memilih sebuah sampel 12
representatif dari TKI yang akan diinterview. Selain itu, dalam hal migrasi tak tercatat bahkan tidak ada data kolektif dari pekerja migran yang berangkat dari daerah masing-masing. Telah ditentukan bahwa grup-grup berikut ini perlu ditargetkan untuk mendapatkan data latar belakang untuk mendasarkan strategi yang berhubungan dengan menyempurnakan pemberian informasi untuk para calon TKI. (1) Para TKI yang pulang dan dianggap masih mengingat dengan jelas jenis-jenis informasi yang tak mereka peroleh sebelum berangkat namun dibutuhkan dalam proses migrasi dan menetap di tempat tujuan. Inilah juga grup yang paling bisa mengindikasikan sumber informasi yang saat ini diakses oleh para TKI, pelatihan yang mereka terima, dsb. (2) TKI dalam proses keberangkatan ke luar negeri patut diajak bicara karena mereka baru saja melalui proses untuk memutuskan apakah akan bermigrasi, ke mana, dsb. Karenanya mereka seharusnya berada dalam kondisi untuk menunjukkan apa saja sumber informasi yang penting bagi mereka dalam membuat keputusan untuk bermigrasi. (3) Grup calo/sponsor adalah unsur penting dalam memberikan informasi bagi calon TKI yang sudah siap di Indonesia. Peran mereka yang penting dalam sebagian besar migrasi ke Malaysia telah ditunjukkan (Hugo, 1993).
Namun, mereka
kemungkinan Bahkan lebih penting dalam migrasi ke Saudi Arabia. Spaan (1999, hal. 293) telah menunjukkan: “Di daerah pedalaman mereka
menjadi kunci dalam penyebaran
informasi tentang Timur Tengah serta tentang agensi perekrut di Jakarta. Mereka mengetahui prosedurnya dan memiliki jaringan yang dibutuhkan untuk mengirim calon migran. Posisi dominan mereka dibanding para migran memudahkan pengelolaan. Hampir tanpa kecuali mereka meminta bayaran untuk layanan mereka.” Isu yang terakhir menjadikan mereka salah satu grup paling sulit untuk diteliti tidak hanya saat mereka terlibat dalam migrasi tak tercatat. (4) Para pemimpin komunitas di daerah asal juga penting dalam proses informasi itu. Hanya sedikit bukti sejauh ini tentang peran yang dimainkan grup ini dalam mempengaruhi keputusan bermigrasi. Namun, para pemimpin opini ini bisa berperan dalam penyebaran informasi ke para calon TKI seperti halnya mereka menjadi penyalur penting dari informasi lainnya bagi komunitas.
13
(5) PJTKI, tentu saja, merupakan pemain utama dalam pemberian informasi bagi calon migran. Satu peran seperti itu adalah melalui jaringan mereka yang terdiri dari calo dan satunya lagi melalui sesi informasi /pelatihan yang mereka sediakan bagi TKI sebelum berangkat. (6) DEPNAKER adalah unsur utama dalam system tersebut. Menurut Konvensi ILO, DEPNAKER berperan dalam tanggung jawab akhir untuk menyediakan informasi akurat yang cukup bagi calon TKI. Ini termasuk kantor-kantor pusat serta kantorkantor di tingkat propinsi dan kabupaten dan Pusat untuk Pengiriman Pekerja ke Luar Negeri yang merupakan sebuah badan dari Departemen itu. (7) LSM-LSM yang berkepentingan besar dalam TKI. LSM-LSM masih belum bisa bekerja banyak dengan pemerintah tentang isu informasi. Karenanya, penelitian atas jenis informasi yang dibutuhkan, cara-cara yang tepat untuk menyebarkannya, dsb., memiliki sejumlah besar grup sasaran dan cukup sulit untuk bisa mengidentifikasi semua grup ini, dan setelah hal itu dilakukan, meminta kerjasama mereka untuk terlibat dalam sebuah penelitian. Untuk hal ini digunakan sebuah metodologi campuran yang memadukan metode kuantitatif dan kualitatif dan yang mencoba mendapatkan informasi dari sebanyak mungkin grup seperti itu. Dalam beberapa hal metodologi tersebut bersifat eksperimental karena belum ada penelitian di Indonesia yang telah mencoba menyelidiki kebutuhan informasi dari pekerja migran. Berdasarkan sumber daya yang tersedia diputuskan bahwa layak untuk terutama memfokuskan pada menginterview migran itu sendiri dan terutama mereka yang termasuk dalam grup pertama yang disebut di atas – mis. mereka yang baru saja kembali dari luar negeri. Karenanya kemudian diputuskan bahwa grup-grup TKI berikut ini patut diinterview: x 100 TKI yang baru tiba di Bandara Cengkareng, Jakarta. x 100 TKW yang baru kembali dari Saudi Arabia ke desa-desa di Jawa Barat, mis. Cianjur. x 100 TKI yang baru kembali di Kalimantan Timur, mis. di Nunakan di perbatasan dengan Sabah. x 100 TKI yang baru kembali di Riau, mis. Batam. Strategi ini dirancang untuk ‘menangkap’ pekerja migran yang baru kembali, baik legal dan ilegal. Strategi itu juga direnanakan untuk menginterview 10 informan
14
utama di setiap bidang. Mereka adalah para pemimpin setempat dan individu lain yang terlibat di dalamnya (mis. calo), atau memiliki pengetahuan mendalam tentang, situasi dan proses para pekerja migran. Selain itu, pemangku kepentingan utama juga akan diinterview di Depnaker, Departemen Immigrasi dan LSM terkait. Sejumlah masalah ditemukan di lapangan yang tidak memungkinkan untuk mengikuti metodologi tepat seperti yang direncanakan. Tidaklah mungkin untuk menginterview orang yang baru tiba di bandara Jakarta. Setelah pergi untuk waktu yang lama mereka tak sabar untuk bertemu dengan keluarga mereka. Melakukan interview juga sulit karena mereka kembali dalam sebuah grup. Interview pastilah sangat mengganggu dan terbukti sangat sulit untuk memperoleh ijin untuk melakukan interview di terminal khusus yang disediakan untuk TKI. Akibatnya, karena kebanyakan pekerja migran yang pulang di Bandara Jakarta adalah dari Jawa Barat maka diputuskan untuk menginterview pekerja migran dalam jumlah lebih besar di propinsi itu yang diambil dari kabupaten asal utama di propinsi tersebut - Indramayu, Cianjur dan Sukabumi. Para informan local menunjukkan bahwa banyak dari pekerja migran itu datang dari kecamatan Sliyug (Indramayu) dan Cibeber (Cianjur). Sedangkan di dua wilayah lainnya sulit untuk mengidentifikasi pekerja migran yang kembali ketika mereka menyeberang kembali ke Indonesia. Ada beberapa grup besar yang menunggu untuk berangkat ke Malaysia jadi grup inilah yang diinterview dan bukannya rencana semula untuk menginterview TKI yang pulang. Tidak dimungkinkan untuk memenuhi sasaran semula sebanyak 100 interview di setiap tempat karena kesulitan untuk menemui mereka serta keterbatasan waktu. Oleh karena itu jumlah orang berikut ini diinterview di setiap lokasi: (1) 146 Jawa Barat (2) 58 Nunakan (Kalimantan Timur) (3) 76 Batam/Pekan Baru (Riau) Kuesioner yang digunakan untuk menginterview para migran yang pulang maupun yang akan berangkat disertakan sebagai Lampiran A. Kuesioner ini menyelidiki sumber informasi apa yang digunakan oleh TKI, pelatihan apa yang mereka terima serta jenis pengalaman mereka di luar negeri. Beberapa strategi tambahan yang digunakan untuk mengumpulkan data dari TKI adalah termasuk mengadakan beberapa diskusi kelompok focus dengan grup-grup terdiri dari sekitar sepuluh migran untuk meneliti isu informasi tersebut. Ini terutama digunakan di Nunakan di mana pekerja migran lebih kerasan untuk berbicara dalam sebuah grup 15
dibanding menggunakan interview perseorangan. Selain itu, di Nunakan beberapa pekerja migran yang pulang sebentar dari Sabah untuk memperoleh dokumen resmi atau untuk memperbaharui visa mereka, juga diinterview. Selain interview terstruktur dengan TKI, sejumlah diskusi mendalam telah dijalankan dengan para pemangku kepentingan dan yang lainnya dengan pengetahuan baik tentang proses migrasi untuk mendapatkan pengetahuan lebih mendalam tentang isu migrasi itu. Diskusi terperinci seperti ini diadakan di ketiga lokasi regional serta di Jakarta. Grup-grup yang diinterview termasuk yang berikut: (1) Lembaga dan Pejabat Pemerintah Diskusi-diskusi ini diadakan di Jakarta bersama pejabat penting serta di kawasan local di tingkat propinsi dan kabupaten. Ini melibatkan beberapa diskusi dengan para pejabat dari AKAN (badan dari Depnaker yang terlibat dalam pengiriman tenaga kerja ke luar negeri). Dalam banyak kasus hanya ada sedikit korespondensi antara informasi yang diterime dalam diskusi ini dengan informasi dari TKI. DEPNAKER menerima tanggung jawab untuk menyediakan informasi bagi calon pekerja. Misalnya, di Cianjur Kandepnaker (kantor Depnaker di tingkat propinsi) memiliki sebuah program informasi yang memberikan rincian peluang kerja bagi calon TKI, memiliki brosur untuk dibagikan dan telah menyebarkan informasi melalui radio setempat. Dalam beberapa kasus mereka bekerja sama dengan PJTKI dalam aktivitas ini dan membagikan informasi tentang hal berikut: (1) jenis pekerjaan yang kemungkinan diterima TKI; (2) formalitas yang harus mereka jalani; dan (3) kondisi di tempat tujuan. Namun, sebagian besar dari hal ini tampaknya tidak benar-benar disampaikan ke calon TKI. Lebih jauh lagi para pejabat di Cianjur membuat beberapa komentar tentang isu ini sebagai berikut: (1) Materi informasi itu perlu pengembangan lebih lanjut. Materi itu sangat kekurangan rincian tentang peluang kerja, kondisi-kondisi di luar negeri serta hak dan kewajiban pekerja dan majikan. (2) Tidak ada upaya untuk mendistribusikan informasi secara meluas. (3) Ada kebutuhan untuk menggunakan cara formal maupun informal untuk menyebarkan informasi, namun, cara informal jarang digunakan. Misalnya, para kepala desa tidak pernah dihubungi untuk memberi informasi lebih baik bagi mereka tentang bekerja di luar negeri sehingga 16
mereka dapat memberi saran lebih baik pada penduduk desa yang berniat pergi ke luar negeri. Demikian pula di Indramayu, pejabat DEPNAKER mengindikasikan bahwa mereka telah menyebarkan informasi. Brosur pun tersedia. Namun, tak semua desa yang mengirimkan pekerja telah dikunjungi. Dan bila dikunjungi, itu pun hanya sekali, sehingga para pejabat DEPNAKER, seperti di tempat lainnya, hanya memiliki sedikit latar belakang tentang desa-desa yang mengirimkan TKI dalam jumlah besar. In Sukabumi, dilaporkan ada beberapa kunjungan ‘sosialisasi’ ke desa-desa oleh staf DEPNAKER. Di Nunakan, ada satu dari segelintir kantor regional AKAN. Bagaimanapun juga, fungsi-fungsinya sebagian besar adalah administratif. Kantor ini menjawab berbagai pertanyaan dari calon TKI yang mengunjunginya namun tidak ada program informasi aktif. Di Riau, sebuah program (informasi) ‘sosialisasi’ telah berlangsung selama setahun. Mereka menggunakan wahana DEPNAKER untuk membawa informasi ke desa-desa yang mengirim TKI. Beberapa lembaga pemerintah yang diinterview termasuk Kantor Imigrasi. Lembaga-lembaga ini tidak memiliki program khusus untuk memberi informasi pada calon TKI.
Sebuah grup lain yang terlibat adalah Kementerian
Pemberdayaan Wanita yang baru dibentuk, mengingat besarnya proporsi wanita di antara TKI. Sejak 1998 bekas Kementrian untuk Peranan Wanita telah mengadakan sebuah program kerja sama dengan badan-badan pemerintah lainnya, terutama DEPNAKER, di daerah-daerah yang mengirimkan TKI dalam jumlah besar (mis. Indramayu, Cianjur dan Nusa Tenggara Barat). Materi yang mereka sebarkan meliputi hal-hal berikut: (1) persiapan yang dibutuhkan sebelum berangkat ke luar negeri; (2) kondisi-kondisi di negara-negara tujuan; (3) peringatan tentang dampak bagi keluarga yang ditinggal – gangguan terhadap pernikahan, dsb.; dan (4) penggunaan pengiriman uang secara produktif dengan menggunakan contoh TKI yang berhasil. Misalnya, di Lombok, seorang wanita telah membeli beberapa sepeda motor yang disewakannya ke turis. Namun, layanan sosialisasi ini tidaklah rutin dan bergantung pada kerja sama DEPNAKER. Layanan ini telah terbatas hanya pada beberapa bidang tentang tempat asal TKI. 17
Kementrian tentang Peranan Wanita memiliki sebuah proyek contoh di Bandara Jakarta yang melibatkan TKW yang kembali guna membantu mereka yang pulang namun tidak menyelesaikan kontrak mereka. (2) PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) Peran utama mereka adalah untuk membantu TKI menyelesaikan semua formalitas yang diperlukan sebelum bermigrasi dan mereka memang bertanggung jawab untuk memberikan informasi tentang hal berikut: (1) jenis pekerjaan di luar negeri; (2) proses perekrutan; dan (3) prosedur untuk kembali ke Indonesia. Kebanyakan PJTKI yang diinterview melaporkan bahwa mereka bekerja dengan DEPNAKER dalam fungsi ini. Bagaimanapun juga, jelas bahwa dalam banyak kasus informasi yang dibutuhkan tidak diberikan dan, bila diberikan, tidak dengan cara yang bisa dimengerti dengan mudah oleh TKI. Ada rincian yang kurang lengkap tentang kewajiban dan hak pekerja serta majikan. Penyebaran informasi bersama antara PJTKI dan DEPNAKER di Indramayu kabarnya tidak berhasil karena calon TKI tidak mendengarkan dan tampaknya semakin percaya dan bergantung pada calo. Jelas bahwa sponsor/calo berdiam di desa-desa dan berkesempatan lebih besar untuk berbicara empat mata dengan calon TKI dan selama jangka waktu yang lebih panjang.
Mereka juga dikenal dan dipercayai oleh penduduk setempat.
Namun, sponsor/calo tidak selalu memiliki informasi yang benar atau memiliki akses ke informasi yang berguna. Dalam beberapa interview, disarankan bahwa perlu adanya pelatihan calo/sponsor sebagai cara untuk terus memberi mereka informasi yang relevan. Kerumitan dari proses perekrutan itu menjadi masalah di sini. Ada suatu system agen dan sub-agen yang berjalan sehingga bukanlah proses yang mudah untuk memberi informasi pada calo. Ada beberapa konsorsium PJTKI yang melakukan periklanan bersama, berbagi situs perekrutan internet, dsb. yang bisa dianggap sebagai wahana berpotensi. (3) LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Agensi-agensi ini telah melakukan banyak hal untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah-masalah TKI. Sebuah konsortium LSM yang berhubungan dengan para pekerja migran telah dibentuk (KOPBUMI-Konsorsium Pembela 18
Buruh Migran Indonesia). Konsorsium ini melibatkan 58 LSM dan 6 individu. Peran-peran utamanya adalah perlindungan terhadap pekerja migran, memberi saran pada mereka, melakukan negosiasi untuk mereka dan mereka memiliki informasi yang ditempelkan di daerah serta di pusat. Karenanya mereka memiliki informasi yang dibutuhkan TKI namun aktivitas mereka dalam menyebarkan informasi ini ke calon TKI cukup terbatas. Ada beberapa operasi yang berhasil oleh para anggota KOPBUMI dalam menyebarkan informasi ke TKI dan kieluarga mereka namun saat ini jumlahnya terbatas. Basis pekerja lapangan dari LSM jelas merupakan cara efektif untuk menyebarkan informasi pada tingkat akar rumput. Sejumlah interview terperinci diadakan dengan grup-grup di setiap kategori di atas. Karenanya digunakan sebuah metodologi campuran untuk menentukan kebutuhan informasi dari TKI maupun pola penyebaran informasi yang sudah ada. Materi yang dikumpulkan dalam penelitian ini sehubungan dengan HIV/AIDS sangatlah terbatas karena fakta bahwa dorongan utama penelitian itu adalah untuk menetapkan kebutuhan informasi dari calon TKI. Lampiran A menunjukkan pertanyaan yang ditanyakan dari pekerja migran. Kuesioner itu diterapkan oleh para juru interview yang ahli dari LIPI. Pertanyaan-pertanyaan yang penting tentang HIV menanyakan TKI apakah mereka telah menjalani tes medis sebelum berangkat ke luar negeri, apakah mereka mengetahui sesuatu tentang HIV/AIDS dan apakah mereka memiliki pengetahuan apapun tentang penyakit menular seksual (PMS) lainnya. Responden juga ditanyakan dari mana mereka mendapat bagian terbesar dari informasi mereka sehubungan dengan isu kesehatan.
HASIL SURVEI Isu pertama tentang relevansi berkaitan dengan proporsi TKI yang menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum berangkat ke luar negeri. Tes-tes kesehatan ini meliputi pemeriksaan kesehatan umum namun tidak mengandung tes untuk HIV/AIDS. Kenyataannya, di beberapa negara ke mana TKI dikirimkan mereka diminta untuk menjalani pemeriksaan kesehatan lebih lanjut dan lebih terperinci yang sering termasuk sebuah tes untuk menentukan apakah mereka positif untuk HIV positive. Bila mereka ternyata positif HIV mereka diminta pulang ke Indonesia namun mereka biasanya tidak diberitahu sebabnya selain bahwa mereka tidak lulus dalam pemeriksaan medis. Akibatnya baik TKI itu sendiri maupun pihak otoritas yang
19
memproses kepulangan mereka sebelum masanya ke Indonesia tidak menyadari bahwa mereka positif HIV. Salah satu ciri dari migrasi buruh internasional ke luar dari Indonesia adalah bahwa banyak TKI sebenarnya tidak menjalani tes medis sebelum berangkat ke luar negeri. Ini termasuk sejumlah besar pekerja yang pergi ke luar negeri atas sponsor selain dari program resmi pemerintah. Namun, juga jelas bahwa di antara mereka yang memang ke luar negeri dengan program resmi jumlah yang cukup besar tidak menjalani pemeriksaan medis di Indonesia; dan di antara mereka yang diperiksa, pemeriksaannya sering hanya terbatas dan ala kadarnya. Ini semua terbukti dalam survei ini. Tabel 4 menunjukkan bahwa ada variasi cukup besar antara ketiga bidang penelitian tentang sejauh mana TKI menjalani tes medis sebelum pergi ke luar negeri. Ini terutama terjadi di Kalimantan Timur dan mencerminkan fakta bahwa tes medis lebih umum di antara TKI yang berangkat dari Indonesia bagian timur, terutama Jawa. Kebanyakan TKW yang berangkat secara legal ke Timur Tengah telah menjalani pemeriksaan medis.
20
Tabel 4:
Penelitian Informasi Tenaga Kerja Indonesia: Responden Yang Melaporkan Telah Menjalani Pemeriksaan Medis Sebelum Dikirim Ke Luar Negeri
Sampel Penelitian
Ya No. % Jawa Barat 142 97.7 Kalimantan Timur 24 41.4 Riau 61 80.3 Sumber: Studi Informasi TKI ILO/LIPI
Tidak No. 4 34 9
% 2.7 58.6 11.8
Tak Menjawab No. % 97 3.0 6 7.9
Bagaimanapun juga, penting untuk dicatat bahwa meski pemeriksaan kesehatan sudah dilaksanakan sebelum migrasi, masalah kesehatan merupakan penyebab signifikan Indonesia memiliki tingkat sangat tinggi kepulangan TKI sebelum waktunya. Tingkat kepulangan awal yang tinggi ini terutama terjadi di kalangan wanita yang pergi ke Saudi Arabia untuk bekerja. Tabel 5 menunjukkan bahwa dalam beberapa survei TKI yang dipulangkan dari Timur Tengah, proporsi cukup besar kembali dalam satu tahun sedangkan kebanyakan kontrak setidaknya berlangsung tiga tahun. Tingkat yang tinggi dari kepulangan prematur ini tidak disukai dari beberapa sudut pandang. Yang paling penting adalah dari sudut pandang pekerja migran itu sendiri yang tak hanya menderita akibat pengalaman negatif di tempat tujuan namun kemungkinan mereka juga menderita kerugian finansial cukup besar. Dalam sebagian besar kasus, pekerja migran yang baru pertama kali meminjam uang dalam jumlah besar untuk membiayai perjalanan mereka ke luar negeri. Dengan tingginya bunga yang harus dibayarkan dan kenyataan bahwa mereka hanya bekerja untuk waktu yang singkat, mereka kemungkinan memiliki utang yang besar dan akan memakan waktu lama untuk terbayarkan. Dari sudut pandang reputasi Indonesia sebagai pemasok yang handal untuk tenaga kerja serta kredibilitas perusahaan perekrut di mata majikan dan klien, hal itu juga dianggap negatif. Tabel 5:
Penelitian Terhadap TKI Yang Dipulangkan: Persen Yang Kembali ke Indonesia Dalam Setahun
Tempat asal Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Barat Jawa Barat Jawa
Tujuan Timur Tengah Timur Tengah Timur Tengah Timur Tengah Timur Tengah
Tahun 1986 1986 1986 1992 1999
Referensi Mantra et al., 1986 Mantra et al., 1986 Mantra et al., 1986 Adi, 1996 Pujiastuti, 2000
Pergi Kurang dari Setahun Persen Number 18.1 167 63.4 93 21.0 100 12.2 90 60.0 40
21
Tabel 6: Survei TKI Jawa Barat: Alasan Kepulangan Alasan Kontrak selesai Gaji tak cukup tinggi Pekerjaan terlalu berat Kangen pada keluarga Sakit Pengaruh jahat PJTKI memulangkan mereka Deportasi Lainnya
Jumlah 78 2 4 26 13 1 5 1 16
Persen 53 1 3 18 9 1 3 1 11
Alasan untuk kepulangan prematur adalah, tentu saja, tidak seluruhnya fungsi dari isu informasi.
Kurangnya pelatihan yang diberikan pada pekerja migran,
kurangnya mekanisme pelindung serta praktik-praktik tidak etis dari beberapa majikan dan perekrut semuanya menyumbang pada tingginya tingkat kepulangan prematur.
Tabel 6 menunjukkan alasan-alasan yang diberikan untuk kepulangan
prematur oleh responden dalam penelitian di Jawa Barat yang dikutip sebelumnya. Dalam survei ini hanya 53 persen responden yang pulang karena kontrak mereka telah selesai. Akan terlihat bahwa 9 persen dari mereka yang kembali adalah karena jatuh sakit dan ini termasuk beberapa yang tak lulus dalam tes medis di tempat tujuan. Tentu saja tidaklah diketahui berapa besar proporsinya yang merupakan orang yang teridentifikasi sebagai positif HIV. Kebasnyakan dari negara tujuan orang Indonesian membutuhkan pemeriksaan penyaringan HIV pada saat kedatangan, 3 bulan kemudian dan selanjutnya setiap tahun. Bukti lebih jauh dari tingginya tingkat kepulangan prematur dari TKI ditunjukkan oleh data pemerintah yang dikumpulkan di Bandara Jakarta saat kepulangan pekerja migran. Pada 1998 pemerintah menunjuk satu terminal khusus di Bandara Jakarta hanya untuk TKI (Terminal 3). Semua TKI yang pulang diharuskan oleh Depnaker untuk menjawab sebuah kuesioner yang menanyakan nama mereka, tempat asal, nomor paspor, pekerjaan, PJTKI yang mengirim mereka ke luar negeri, tanggal keberangkatan dan kepulangan mereka, negara tujuan dan majikan. Mereka juga diminta menunjukkan masalah apapun yang mereka alami. Juga ada sejumlah formalitas lain untuk diisi serta biaya yang harus dibayar. Data yang dikumpulkan untuk bulan September – Oktober 1999 dan Desember 1998 diperlihatkan dalam Tabel 7. Data ini menunjukkan bahwa kebanyakan TKI yang diproses di Terminal 3 di Jakarta adalah wanita dari Jawa yang telah bekerja di
22
Timur Tengah. Di antara mereka lebih dari sepertiganya kembali sebelum saatnya. Kenyataannya lebih dari seperempat kembali dalam kurang dari setahun dan lebih dari sepersepuluh dalam tiga bulan. Ini memperlihatkan sangat tingginya tingkat kepulangan prematur. Akan terlihat bahwa kurang dari 60 persen menyatakan bahwa mereka kembali karena kontraknya sudah selesai. Dari semua migran yang kembali, 4,8 persen pada 1998 dan 2,4 persen pada 1999 menyatakan bahwa ada alasan kesehatan untuk kepulangan prematur mereka. Juga hampir dipastikan bahwa beberapa dari mereka yang termasuk kategori besar ‘lainnya’ adalah mereka yang tak lulus dalam tes medis di tempat tujuan. Secara keseluruhan buktinya adalah bahwa cukup banyak TKI, terutama wanita, yang gagal dalam pemeriksaan medis di tempat tujuan dan terpaksa kembali pulang.
Tabel 7:
Laporan tentang TKI Yang Pulang di Bandara Jakarta Desember 1998 dan September – Oktober 1999
Jumlah Total % Wanita % Timur Tengah Masa Bekerja (%) <3 bulan 4-11 bulan 12-23 bulan 24+ bulan Alasan pulang (%) Berakhirnya kontrak Berlibur Sakit Ada masalah Lainnya Daerah Tempat asal (%) Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Luar Jawa
Desember 1998 8,690 99.2 93.4
September – Oktober 1999 32,483 96.7 70.2
15.6 12.3 12.7 59.4
11.4 14.2 19.9 54.5
59.4 2.9 4.8 15.6 17.3
55.5 4.7 2.4 12.9 24.5
-
49.2 23.6 18.1 9.1
Kembali ke pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS, Tabel 8 menunjukkan bahwa kurang dari setengah TKI yang diinterview memiliki pengetahuan apapun tentang penyakit tersebut. Kenyataannya, di antara grup yang sebagian besar wanita yang pergi ke Saudi Arabia dari Jawa Barat hanya sepersepuluh responden memiliki pengetahuan apapun tentang HIV/AIDS. Ini menunjukkan sangat rendahnya tingkat pemahaman akan penyakit ini dan mungkin menunjuk pada perlunya peningkatan kesadaran di antara para TKI mungkin sebagai bagian dari pelatihan pra-
23
keberangkatan mereka. Dalam banyak kasus responden yang menyatakan bahwa mereka telah mendengar tentang HIV/AIDS, tidak mengetahui apa sebebarnya penyakit itu serta cara penularannya. Hanya ada sedikit atau tak ada upaya sama sekali dari PJTKI dan calo untuk memberikan informasi apapun tentang HIV/AIDS. Dalam hal Nunakan (Kalimantan Timur), para pekerja migran resmi diharuskan menjalani pemeriksaan medis sebelum memasuki Malaysia. Kantor Tenaga Kerja di Nunakan menunjukkan adanya penekanan dalam pemeriksaan medis untuk menjalani tes darah dan urin untuk mendeteksi apakah calon migran itu memiliki HIV/AIDS penyakit menular seksual atau penyakit menular lainnya.
Tabel 8:
Survei Informasi Tenaga Kerja Indonesia Pengetahuan Responden tentang HIV/AIDS, 1999
Ya Tidak No. % No. Jawa Barat 16 11.0 130 Kalimantan Timur 21 46.6 31 Riau 35 46.1 38 Sumber: Penelitian Informasi TKI ILO-LIPI, 1999
% 89.9 53.4 50.0
Tak Menjawab No. % 3 3.9
Kepada para pekerja migran ditanyakan sumber informasi kesehatan mana yang telah diakses untuk mendapat informasi tentang kesehatan dan Tabel 9 menunjukkan hasil-hasil untuk Studi Jawa Barat. Ciri yang paling menonjol di sini adalah fakta bahwa lebih dari setengah tidak mendapat informasi kesehatan dari manapun dan kurang dari sepersepuluh mendapatkannya selama pelatihan mereka untuk pergi ke luar negeri. Jelaslah hanya sedikit atau sama sekali tak ada informasi kesehatan yang diberikan pada TKI sebelum mereka berangkat. Ada kebutuhan besar dan mendesak untuk memberi TKI yang akan meninggalkan Indonesia dengan informasi lengkap tentang masalah kesehatan pada umumnya dan terutama tentang HIV/AIDS.
24
Tabel 9:
Indonesia: Studi Informasi Tenaga Kerja Indonesia dari Jawa Barat: Sumber Responden akan Informasi Kesehatan
Sumber Nomor Media cetak 9 Media elektronik 8 Lokasi pelatihan 10 LSM 1 Teman/Keluarga 8 Lainnya 27 Tidak mengakses 83 Sumber: Studi Informasi TKI ILO-LIPI, 1999
Persen 6.2 5.5 6.8 0.7 5.5 18.5 56.8
KESIMPULAN Migrasi buruh internasional mungkin merupakan jenis pergerakan yang berkembang paling cepat antar negara dalam dasawarsa pertama abad ke duapuluh satu. Indonesia telah menjadi salah satu sumber terbesar dunia untuk migran buruh internasional selama sekitar satu dasawarsa terakhir. Selain itu, Indonesia adalah salah satu populasi terbesar di dunia dan tingginya tingkat kekurangan lapangan kerja yang menjadikannya salah satu negara kelebihan buruh terbesar di dunia dan sumber migran buruh sangat besar. Selain itu, jelas bahwa jumlah pekerja Indonesia yang memiliki pengalaman bekerja di luar negeri meningkat seiring dengan pengetahuan komunitas tentang migrasi buruh internasional. Tak ada keraguan bahwa ini berarti kemungkinan melakukan migrasi buruh internasional kini masuk dalam perhitungan dari proporsi dalam jumlah jauh lebih besar dari penduduk Indonesia dibanding masa lalu. Selain itu, proporsi ini terus meningkat. Karenanya migrasi buruh internasional akan terus meningkat secara substansial. Dari begitu banyaknya jenis pergerakan populasi internasional yang melibatkan migrasi buruh, ini terutama penting dalam penyebaran penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS. Ini bukan saja karena migrasi telah terbukti merupakan salah satu dari cara utama di mana penyekit menular disebarkan (Prothero, 1977). Migrasi juga diasosiasikan dengan beberapa dari ciri spesifik migrasi buruh internasional. Hal ini termasuk yang berikut: x
Pergerakan itu jarang melibatkan unit-unit keluarga dan biasanya melibatkan baik pria maupun wanita lajang atau orang yang telah menikah dan pasangannya tinggal di rumah. Karenanya mereka merupakan target utama dari industri seksual komersial.
25
x
Para buruh pertanian pria muda yang berpindah sering ditempatkan dalam berbagai jenis barak dan merupakan sasaran mudah bagi industri seksual komersial.
x
Para pekerja migran biasanya setidaknya baru bisa pulang dalam dua tahun dan ini juga menjadikan mereka sasaram mudah dari industri seksual komersial.
x
Wanita muda adalah unsur yang semakin penting dari pergerakan ini dan mereka sangat rentan untuk menjadi pembawa penyakit menular dalam beberapa cara. Yang pertama, beberapa diantaranya menjadi terlibat dalam industri seksual komersial di negara tujuan. Ini bisa merupakan kemauan mereka sendiri namun mereka sering ditipu untuk melakukan aktivitas tersebut (Jones, 1996). Bila demikian halnya mereka terpapar pada risiko tertular. Dalam banyak kasus para wanita menjadi pembantu rumah tangga dan di bidang ini banyak terjadi pelecehan seksual. Dalam banyak kasus para wanita itu dilecehkan oleh para pria dalam rumah tangga di tempat mereka bekerja dan mereka bisa tertular karena para pria tersebut juga sering mengunjungi tempat pelacuran.
x
Fakta bahwa sebagian besar dari migrasi buruh internasional yang terjadi di Indonesia tidak tercatat adalah penting. Telah ditunjukkan bahwa informasi kesehatan yang diberikan pada TKI resmi di Indonesia sangatlah terbatas. Namun, mereka yang bergerak secara illegal sama sekali tidak mendapat informasi itu sehingga kerentanan mereka untuk tertular pun meningkat karena tidak mendapat informasi sama sekali.
x
Fakta bahwa hampir semua pergerakan itu bersifat sementara berarti para pekerja migran akan kembali ke Indonesia dan bila tertular dapat menyebarkan penyakit itu di tempat asal mereka.
26
LAMPIRAN A: TERJEMAHAN
BAHASA
KUESTIONER
INGGRIS
DARI
KUESTIONER
YANG
DIBERIKAN PADA TENAGA KERJA INDONESIA YANG KEMBALI
Latar belakang Responden
1.
Nama
2.
Jenis kelamin
3.
Usia
4.
Tempat lahir
5.
Status pernikahan
6.
Status keluarga
7.
Tingkat pendidikan yang diraih
8.
Kepemilikan atas media elektronik
9.
Penggunaan media mass
10. Sejarah migrasi
Proces Perekrutan 11. Sumber informasi tentang peluang bekerja di luar negeri. 12. Sumber informasi tentang kebutuhan birokrasi untuk pergi ke luar negeri. 13. Cara mendaftar sebgai pekerja migran luar negeri. 14. Bila mendaftar melalui calo (perantara/perekrut), mengapa? 15. Persepsi tentang calo. 16. Prosedur pendaftaran sebagai TKI. 17. Lokasi pendaftaran. 18. Tingkat pengetahuan atas dokumen yang dibutuhkan untuk mendaftar sebagai TKI. 19. Siapa yang membantu dalam memenuhi kebutuhan tersebut? 20. Tingkat pengetahuan atas kebutuhan lainnya. 21. Pengetahuan tentang paspor. 22. Apakah memiliki paspor dan digunakan dalam migrasi.
27
Persiapan 23. Sumber informasi tentang biaya pergi ke luar negeri sebagai pekerja migran. 24. Sumber informasi tentang kebutuhan administratif. 25. Sumber informasi tentang proses migrasi. 26. Sumber informasi tentang peluang kerja di tempat tujuan. 27. Sumber informasi tentang gaji di tempat tujuan. 28. Sumber informasi tentang kondisi kerja di tempat tujuan. 29. Siapa yang terlibat dalam keputusan untuk bermigrasi? 30. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan TKI untuk pergi ke luar negeri? 31. Apa saja yang termasuk dalam biaya tersebut? 32. Sumber dana tersebut. 33. Pelatihan yang diterima sebelum berangkat. 34. Siapa yang memberikan pelatihan? 35. Seberapa memuaskan pelatihan itu? 36. Kemampuan berbicara dan mengerti bahasa di tempat tujuan. 37. Apakah dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum berangkat. 38. Pengetahuan tentang penyakit (termasuk HIV/AIDS). 39. Sumber informasi tentang kesehatan (termasuk HIV/AIDS).
Proses Keberangkatan 40. Jenis visa yang diperoleh 41. Masalah yang dialami selama perjalanan ke tempat tujuan.
Bekerja di Luar negeri 42. Berapa kali pergi ke luar negeri untuk bekerja. 43. Negara-negara tempat bekerja dan kapan. Tentang migrasi terakhir 44. Lama tinggal di luar Indonesia. 45. Alasan pulang ke Indonesia. 46. Alasan untuk mencari kerja di luar negeri. 47. Jenis pekerjaan saat di luar negeri. 48. Tempat bekerja. 49. Gaji. 50. Cara pembayaran. 28
51. Cara pembayaran yang disukai. 52. Apakah gaji sesuai perkiraan sebelum bermigrasi? 53. Apakah pengalaman bekerja sesuai perkiraan? 54. Segi-segi positif dari pengalaman kerja di luar negeri. 55. Segi-segi negatif dari pengalaman kerja di luar negeri. 56. Apakah pengalaman itu sesuai yang diperkirakan? 57. Adakah masalah yang dialami di tempat tujuan? 58. Masalah yang dialami. 59. Siapa yang dihubungi untuk membantu dalam mengatasi masalah-masalah tersebut? 60. Hubungan dengan sesama TKI selama di luar negeri. 61. Adakah pertemuan dengan sesama TKI selama di luar negeri? 62. Hubungan dengan Keduibes/konsulat Indonesia selama di luar negeri. 63. Apakah kedubes/konsulat membantu mengatasi masalah itu?
Hubungan dengan Daerah Tempat asal 64. Apakah uang dikirimkan? 65. Berapa banyak? 66. Cara pengiriman. 67. Penggunaan uang yang dikirim itu. 68. Uang yang dibawa pulang. 69. Penggunaan uang tersebut.
Rencana Migrasi di Masa Depan 70. Maksud untuk pergi ke luar negeri lagi. 71. Alasan untuk pergi ke luar negeri lagi. 72. Alasan untuk tidak pergi ke luar negeri lagi.
29
DAFTAR PUSTAKA Adi, R. (1996) The Impact of International Labour Migration in Indonesia, Unpublished PhD thesis, The University of Adelaide. Castles, S. and Miller, M. (1993) The Age of Migration: International Population Movements in the Modern World, Macmillian, Basingstoke. Departemen Tenaga Kerja, Republic of Indonesia (1998) Strategi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri, Departemen Tenaga Kerja, Republic of Indonesia, Jakarta. Hugo, G.J. (1980) Population Movements in Indonesia During the Colonial Period, pp. 95-135 in J.J. Fox, R.G. Garnaut, P.T. McCawley and J.A.C. Mackie (eds.) Indonesia: Australian Perspectives, Research School of Pacific Studies, Australian National University, Canberra. Hugo, G.J. (1993) Indonesian Labour Migration to Malaysia: Trends and Policy Implications, Southeast Asian Journal of Social Science, 21(1): 36-70. Hugo, G.J. (1995) Labour Export from Indonesia: An Overview, Asean Economic Bulletin 12(2): 275-298. Hugo, G.J. (1998) International Migration in Eastern Indonesia, Paper prepared for East Indonesia Project, January. Jones, S. (1996) Women feed Malaysian Boom, Inside Indonesia 47, July-September: 16-18. Kassim, A. (1997) International Migration and its Impact on Malaysia, Paper presented at 11th Asia-Pacific Roundtable, Labour Migration in Southeast Asia: The Impact (Political, Economic, Social, Security), Kuala Lumpur, 5-8 June. Mantra, I., Kasnawi, T.M. and Sukamardi (1986) Mobilitas Angkatan Kerja Indonesia Ke Timor Tengah (Movement of Indonesian Workers to the Middle East), Final Report Book 1, Population Studies Centre, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Prothero, R.M. (1977) Disease and Mobility: a Neglected Factor in Epidemiology, International Journal of Epidemiology 6(3): 259-67. Pujiastuti, T.N. (2000) The Experience of Female Overseas Contract Workers from Indonesia, Unpublished MA Thesis, Department of Geographical and Environmental Studies, The University of Adelaide.
30
Romdiati, H., Handayani, T. and Rahayu, S. (1998) Aplikasi Jaring Pengaman Sosial Bidang Ketenagakerjaan: Beberapa Isu Penting Dari Hasil Kajian Cepat Di Propinsi Jawa Barat, PPT-LIPI, Jakarta. Setiawati, S. (1997), The Demographic and Socio-economic Characteristics of Overseas Contract Workers (OCWs) from Indonesia, Unpublished M.A. Thesis, Population and Human Resources, University of Adelaide. Singhanetra-Renard, A. (1986) The Middle East and Beyond: Dynamics of International Labour Circulation Among Southeast Asian Workers, Mimeo. Spaan, E. (1994) Taikongs and Calos: The Role of Middlemen and Brokers in Javanese International Migration, International Migration Review 28(1): 93113. Spaan, E. (1999) Labour Circulation and Socioeconomic Transformation: The Case of East Java, Indonesia, Report No. 56, NIDI, The Hague. Suyono, M. (1981) Tenaga Kerja Indonesia di Timur Tengah Makin Mantap, Suara Karya h.v.k.: 2-6.
31
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa Program HIV dan Pembangunan Asia Tenggara http://www.hiv-development.org
DAFTAR TERBITAN SAMPUL
JUDUL Pertanian Afrika-Asia Melawan AIDS African-Asian Agriculture against AIDS http://www.hiv-development.org/publications/5A_id.htm
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV Building Dynamic Democratic Governance and HIV-Resilient Societies http://www.hiv-development.org/publications/Oslo_Paper_id.htm Pedoman Farmers’ Life School Farmers’ Life School Manual http://www.hiv-development.org/publications/FLS_id.htm
Perpindahan Penduduk dan HIV/AIDS: Kasus Ruili, Yunnan, Cina Population Movement and HIV/AIDS: The case of Ruili, Yunnan, China http://www.hiv-development.org/publications/Ruili_Model_id.htm
Dari Peringatan Dini Menuju Tanggapan Sektor Pembangunan Menghadapi Wabah HIV/AIDS From Early Warning to Development Sector Responses against HIV/AIDS Epidemics http://www.hiv-development.org/publications/EWDSR_id.htm Tanggapan Multisektoral terhadap Kerentanan HIV pada Penduduk yang Berpindahpindah Tempat: Contoh-contoh dari Republik Rakyat Cina, Thailand dan Viet Nam Multisectoral Responses to Mobile Populations’ HIV Vulnerability: Examples from People’s Republic of China, Thailand and Viet Nam http://www.hiv-development.org/publications/Multisectora_id.htm HIV/AIDS dan Ancaman terhadap Ketersediaan Pangan: peran teknologi tepat daya (labour saving technology/LST) dalam rumah tangga petani Meeting the HIV/AIDS Challenge to Food Security: The role of labour-saving technologies in farm-households http://www.hiv-development.org/publications/meeting-challenge_id.htm Konsultasi Negara Cluster Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura Tentang Pengurangan Kerentana HIV Para Pekerja Migran: Pra-Keberangkatan, PascaKedatangan dan Reintegrasi Pekerja Yang Kembali Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore Cluster Country Consultation on Migrant Workers’ HIV Vulnerability Reduction: Pre-departure, post-arrival and returnee reintegration http://www.hiv-development.org/publications/BIMPS-Report_id.htm
TANGGAL ISBN 974-91418-5-7 April 2004
974-91870-8-3 Feburari 2004
974-91708-1-4 Januari 2004
974-91669-7-3 Agustus 2003
974-91330-6-4 Mei 2003
974-91165-8-5 Februari 2003
974-680-220-8 Desember 2002
974-680-221-6 September 2002
Masyarakat Menghadapi Tantangan HIV/AIDS: Dari Krisis ke Kesempatan Dari Kerentanan Masyarakat ke Ketangguhan Masyarakat Communities Facing the HIV/AIDS Challenge: From crisis to opportunities, from community vulnerability to community resilience http://www.hiv-development.org/publications/Crisis_id.htm Suatu Strategi Pembangunan Untuk Memberdayakan Para Petani Pedessaan dan Mencegah HIV A Development Strategy to Empower Rural Farmers and Prevent HIV http://www.hiv-development.org/publications/HESA_id.htm
Mobilitas Penduduk dan HIV/AIDS di Indonesia Population Mobility and HIV/AIDS in Indonesia http://www.hiv-development.org/publications/Indonesia_id.htm
Pergerakan Penduduk dan Kerentanan Terhadap HIV: Kaitan Brunei-IndonesiaMalaysia-Filipina Di Wilayah Pertumbuhan Asean Timur Assessing Population Movement & HIV Vulnerability: Brunei – Indonesia – Malaysia – Philippines linkages in the East ASEAN Growth Area http://www.hiv-development.org/publications/BIMP_id.htm Pengetahuan tentang HIV Para Pekerja Kontrak Dari Indonesia Di Luar Negeri: Jeda dalam informasi Indonesian Overseas Contract Workers’ HIV Knowledge: A gap in information http://www.hiv-development.org/publications/Contract%20Workers_id.htm
974-680-271-8 Juli 2002
974-680-200-3 Januari 2002
92-2-112631-5 November 2001
974-680-175-9 November 2000
974-680-173-2 September 2000
Pengembangan Kapasitas
Kemitraan Multisektoral
Advokasi Kebijakan
Pembangunan Ketahanan
UNDP adalah jaringan pembangunan global PBB yang mengadvokasi perubahan dan menghubungkan negara-negara ke pengetahuan, pengalaman dan sumber daya untuk membantu masyarakat membangun kehidupan yang lebih baik. Program HIV dan Pembangunan Asia Tenggara UNDP, United Nations Building, Rajdamnern Nok Avenue, Bangkok 10200, Thailand Tlp: +66-2-288-2165; Fax: +66-2-280-1852; Website: www.hiv-development.org
Pembangunan adalah proses memperbesar pilihan rakyat untuk menjalin kehidupan yang lebih panjang dan sehat, memiliki akses ke pengetahuan, dan untuk memiliki akses ke penghasilan dan aset; untuk menikmati taraf kehidupan yang layak.
ISBN: 974-680-173-2