PENGEL P LOLAAN HUTAN LINDUN NG BERS SAMA MASY YARAKA AT DI KE ESATUA AN PEMA ANGKUA AN HUTA AN PERHU UTANI BANDUNG B G SELAT TAN : AN NALISIS P PERILAK KU EKONOMI RUM MAHTANG GGA
TASI DISERT
RWITA TJJIPTA PUR
SEKOL LAH PASC CASARJAN NA INSTITU UT PERTA ANIAN BOG GOR 2010 0
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul :
PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG BERSAMA MASYARAKAT DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN PERHUTANI BANDUNG SELATAN : ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2010
Tjipta Purwita NRP. A.161040294/EPN
ABSTRACT TJIPTA PURWITA. Community Based Protection Forest Management Program in Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Bandung Selatan : Analysis of Economic Household Behaviors (HARIANTO as the Head, BONAR M. SINAGA and HARIADI KARTODIHARDJO as the members of the Supervisory Commission). The Island of Java is inhabited by more than 60 % of Indonesian population. Imbalanced redistribution of population and land control has caused pressure to the environment, particularly the natural resources. A breakthrough to overcome the degradation of environment resulted from the population desperate need for land is a Community Based Forest Management Program (CBFMP) which provides the community with opportunity to develop agroforestry activities in the forest. The objectives of this research consist of : (1) to analyze the factors that influence the economic decision by households in time allocation for work, production, income, and expenditure, (2) to make a simulation of the effect of changes in the external and internal factors on households’ economic behaviors, and (4) to analyze the institutional aspects related to partnership contract in CBFMP. The analysis consisted of two household economic models, namely, CBFMP for Coffee and CBFMP for Grass & Cattle. Alternative policies were simulated in econometric models in the form of simultaneous equations consisting of 13 structural equations and 15 identity equations for the model of Coffee CBFMP, and 14 structural equations and 20 identity equations for the model of Grass and Cattle CBFMP. The method of Two-stage Least Squares (2 SLS) was used to estimate the parameters of structural equations. The research analyzed 12 simulation scenarios consisting of 12 external factors change (policy factors) impact. In general, Scenario 9 (the combined scenarios of the decreased debt rate with the increased price of input and labor wages) and Scenario 5 (the combined scenarios of the increased price of output with the increased price of input and labor wages) can be recommended as the best policy to empower the community around the forest (CBFMP for Coffee and CBFMP for Grass & Cattle) for the reason that it can accommodate the interests of various parties, namely: (1) the interest of community by increasing income and welfare, (2) government’s interest by improving agricultural productivity and securing vital projects in the upstream downstream of watershed area, (3) the interest of Perum Perhutani by preserving its protection forest, and (4) the importance of environment by the reduction of natural resource degradation. In addition, from the results of institutional analysis, it is recommended that the institution of CBFMP require improvement at the micro level, i.e. building a more mutually beneficial partnership contract between farmers taking part in CBFMP and Perum Perhutani. Key words : economic behaviors, community around the forest, empowerment, protection forest, institutional empowerment.
ABSTRAK TJIPTA PURWITA. Pengelolaan Hutan Lindung Bersama Masyarakat di Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Bandung Selatan : Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga (HARIANTO sebagai Ketua, BONAR M. SINAGA dan HARIADI KARTODIHARDJO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Pulau Jawa dihuni oleh lebih dari 60 persen penduduk Indonesia. Redistribusi penduduk dan penguasaan lahan yang tidak seimbang menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap lingkungan, khususnya sumberdaya hutan. Salah satu terobosan untuk mengatasi masalah degradasi lingkungan akibat tekanan penduduk yang lapar lahan adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan kegiatan agroforestry di kawasan hutan. Tujuan penelitian ini terdiri atas : (1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan ekonomi rumahtangga menyangkut alokasi tenaga kerja, produksi, pendapatan dan pengeluaran, (2) menganalisis dampak perubahan faktor eksternal terhadap perilaku ekonomi rumahtangga, serta (4) menganalisis aspek kelembagaan kontrak kerjasama kemitraan PHBM. Analisis dibangun untuk 2 (dua) model ekonomi rumahtangga, yaitu : PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Alternatif kebijakan disimulasi dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri atas 13 persamaan struktural dan 15 persamaan identitas pada Model PHBM Kopi; serta 14 persamaan struktural dan 20 persamaan identitas pada Model PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Metode Two Stage Least Squares (2SLS) digunakan untuk menduga parameter persamaan struktural. Penelitian menganalisis 12 skenario simulasi terdiri atas 12 dampak perubahan faktor eksternal (faktor kebijakan). Secara umum Skenario 9 (kombinasi penurunan suku bunga kredit dengan kenaikan harga input dan upah tenaga-kerja) dan Skenario 5 (kombinasi kenaikan harga output dengan kenaikan harga input dan upah tenaga-kerja) dapat disarankan sebagai kebijakan yang terbaik untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, dengan pertimbangan mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak, yaitu : (1) kepentingan masyarakat melalui peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, (2) kepentingan pemerintah melalui peningkatan produktivitas usahatani dan pengamanan proyek-proyek vital di wilayah DAS, (3) kepentingan Perum Perhutani melalui makin lestarinya hutanlindung yang dikelolanya, serta (4) kepentingan lingkungan melalui menurunnya perusakan sumberdaya alam. Disamping itu, dari hasil analisis kelembagaan direkomendasikan perlunya penguatan kelembagaan PHBM di tingkat mikro, yaitu membangun kontrak kerjasama kemitraan yang lebih saling menguntungkan antara petani peserta PHBM dengan Perum Perhutani. Kata kunci : perilaku ekonomi, masyarakat sekitar hutan, pemberdayaan, hutan lindung, penguatan kelembagaan.
RINGKASAN
Pulau Jawa dihuni oleh lebih dari 60 persen penduduk Indonesia. Redistribusi penduduk dan penguasaan lahan yang tidak seimbang menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap lingkungan yang menimbulkan banjir, tanah longsor, dan bencana kekeringan. Salah satu terobosan Perum Perhutani untuk mengatasi masalah degradasi lingkungan akibat tekanan penduduk yang lapar lahan adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Melalui program ini, masyarakat diberi akses untuk mengelola lahan kawasan hutan secara lebih optimal. Satu dari banyak lokasi program PHBM adalah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan, Propinsi Jawa Barat. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang diterapkan di lokasi penelitian dimaksudkan sebagai upaya penanganan terhadap perambahan kawasan hutan secara arif dengan mempertimbangkan 3 (tiga) kepentingan, yaitu : (1) kepentingan ekonomis masyarakat sekitar hutan melalui alih-profesi dari petani sayuran menjadi petani agroforestry dengan pemilihan komoditas yang tepat, (2) kepentingan ekologis melalui penerapan pola pertanian yang lebih ramah-lingkungan, dan (3) kepentingan sosial melalui peningkatan kesejahteraan petani sekitar hutan. Wilayah Pangalengan memiliki kekhususan karena merupakan kawasan hutan lindung di DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum sebagai sumber air bagi 3 (tiga) bendungan strategis, yaitu Jatiluhur, Cirata, dan Saguling. Karena itu, studi kasus mengenai perilaku ekonomi rumahtangga masyarakat sekitar hutan-lindung di wilayah ini perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini terdiri atas : (1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan ekonomi rumahtangga menyangkut alokasi waktu tenaga kerja, produksi, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga, (2) menganalisis dampak perubahan faktor eksternal perilaku ekonomi rumatangga, serta (3) menganalisis aspek kelembagaan kontrak kerjasama kemitraan PHBM. Lokasi penelitian adalah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan. Fokus penelitian adalah kegiatan PHBM pada Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan, bahwa LMDH Kubangsari merupakan LMDH yang terbaik di KPH Bandung Selatan dan wilayah hutannya berada di hulu DAS Citarum yang sangat vital sebagai sumber air bagi proyek-proyek penting, sehingga dapat menjadi benchmark bagi lokasi lain. Sampel dalam penelitian ini adalah rumahtangga sekitar hutan sebagai unit analisis, terdiri atas 59 rumahtangga peserta PHBM-Kopi dari populasi sebanyak 321 rumahtangga dan 31 rumahtangga peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah dari populasi sebanyak 200 rumahtangga.
Analisis dibangun untuk 2 (dua) model ekonomi rumahtangga, yaitu PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Alternatif kebijakan disimulasi dengan menggunakan pendekatan ekonometrik dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri atas 13 persamaan struktural dan 15 persamaan identitas pada model PHBM Kopi, serta 14 persamaan struktural dan 20 persamaan identitas pada model PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Metode Two Stage Least Squares (2SLS) digunakan untuk menduga parameter persamaan struktural. Hasil identifikasi karakteristik masyarakat sekitar hutan peserta PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah menunjukkan ciri-ciri spesifik sebagai-berikut : (1) masyarakat umumnya tidak memiliki lahan sendiri (landless), tetapi menjadi penggarap yang bergantung pada faktor lahan (landbase agriculture); (2) masih terjadi pengangguran terselubung pada PHBM Kopi; (3) petani PHBM Kopi berada di atas batas garis kemiskinan menurut Standar BPS, namun masih berada di bawah garis kemiskinan menurut Standar Bank Dunia; (5) lebih dari 60 % pendapatan rumahtangga PHBM Kopi berasal dari aktivitas non-usahatani, dan sisanya dari usahatani kopi, sedangkan petani Rumput-gajah & Sapi-perah lebih 80 % pendapatannya berasal dari usahatani rumput-gajah dan sapi-perah dan sisanya ditopang oleh aktivitas non-usahatani; serta (6) dilihat dari pola konsumsi masyarakat, lebih dari 60 % anggaran masih dibelanjakan untuk konsumsi pangan. Secara umum, aktivitas PHBM belum sepenuhnya mampu mengatasi kemiskinan masyarakat, khususnya pada PHBM Kopi, tetapi telah berhasil mengatasi perambahan hutan. Berdasarkan hasil analisis estimasi ekonometrika, perilaku ekonomi rumahtangga terkait keputusan alokasi tenaga kerja disimpulkan : (1) alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani bersifat saling-menggantikan terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani maupun tenaga kerja luar keluarga yang disewa; (2) alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani berkaitan dengan pendapatan luar usahatani, sedangkan alokasi tenaga kerja pada usahatani (baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga sewaan) berpengaruh pada pendapatan usahatani; (3) alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani pada PHBM Kopi sensitif terhadap perubahan total pengeluaran rumahtangga; Terkait dengan keputusan produksi, disimpulkan : (1) petani mengalami kendala finansial untuk mampu memperluas lahan garapan usahataninya; (2) produktivitas lahan PHBM lebih dipengaruhi oleh faktor yang terkait dengan kapasitas sumberdaya manusia daripada pemanfaatan teknologi penggunaan input produksi, sehingga pengelolaan lahan masih bersifat konvensional. Terkait dengan keputusan pengeluaran rumahtangga, disimpulkan : (1) sebagian besar pengeluaran rumahtangga dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan; (2) konsumsi non-pangan belum merupakan prioritas; dan (3) kesadaran investasi sumberdaya manusia belum sepenuhnya tumbuh di kalangan petani. Terkait dengan keputusan tabungan dan kredit rumahtangga, disimpulkan : (1) kesadaran menabung lebih tinggi pada petani PHBM Rumput-gajah & Sapiperah; dan (2) kebutuhan kredit lebih dirasakan oleh petani PHBM Kopi. Simulasi perubahan faktor eksternal masing-masing model sebanyak 12 alternatif skenario, menghasilkan kesimpulan umum : (1) Skenario 9 (kombinasi penurunan suku bunga pinjaman dengan kenaikan harga-harga input dan upah
v
tenaga-kerja) merupakan kebijakan terbaik bagi PHBM Kopi; dan (2) Skenario 5 (kombinasi kenaikan harga output dengan kenaikan harga-harga input dan upah tenaga-kerja) merupakan kebijakan terbaik bagi PHBM Rumput-gajah & Sapiperah. Hal ini dapat dipahami karena PHBM Kopi masih dalam taraf investasi sehingga masih memerlukan kredit/pinjaman bagi pengembangan usahanya. Sedangkan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sudah pada taraf pemanenan hasil sehingga diperlukan fasilitasi untuk meningkatkan harga jual susu sapinya. Kebijakan perluasan lahan andil maupun pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) memberikan dampak positif, tetapi magnitude-nya sangat kecil. Demikian pula kebijakan penurunan nilai sharing produksi hanya kondusif untuk PHBM Kopi. Disamping faktor-faktor ekonomi di atas, dari hasil analisis kelembagaan direkomendasikan perlunya penguatan kelembagaan kontrak PHBM, yaitu membangun kondisi pemungkin (enabling-condition) bagi efektifnya implementasi kebijakan terpilih di tingkat mikro (Skenario 9 dan 5) dalam rangka meningkatkan kinerja PHBM secara berkelanjutan, diantaranya : (1) pada PHBM Kopi perlu untuk mencegah pengalihan lahan demi cash-income secara cepat, pemanfaatan lahan secara lebih optimal dan inovatif, rekalkulasi sharing produksi sesuai dengan tipologi komoditas dan siklus produksinya, sinergitas dalam membina keterampilan praktis petani (termasuk keterampilan mengelola kredit secara sehat), serta capacity building terhadap KTH/LMDH; (2) pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah perlu mencegah kebijakan memperluas lahan andil secara terburu-buru, pemberdayaan petani untuk meningkatkan mutu keluaran rumput-gajah, teknologi pengawetan rumput-gajah, teknologi pengolahan susu, serta menyiapkan contengency-plan untuk mencari sumber pembeli baru. Implikasi kebijakan yang perlu disiapkan antara-lain adalah : menyusun strategi jangka-panjang untuk mengatasi tekanan eksternal terhadap kawasan hutan-lindung, penggalian pengetahuan dan kearifan lokal di tingkat mikro untuk melandasi kebijakan pembangunan makro, pemberdayaan kelembagaan ekonomi rakyat (koperasi) serta KTH/LMDH, menetapkan Key Performance Indicators yang spesifik bagi pengelola hutan lindung, membangun pola-pola kolaborasi antara pengelola hutan lindung dengan masyarakat sekitar hutan, serta mencegah kebijakan ekonomi yang sifatnya instant dan adhok.
vi
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG BERSAMA MASYARAKAT DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN PERHUTANI BANDUNG SELATAN : ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA
TJIPTA PURWITA
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Penguji Luar Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS 2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Penguji Luar Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Boen M. Poernama, MS 2. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA
Judul Disertasi
: PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG BERSAMA MASYARAKAT DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN PERHUTANI BANDUNG SELATAN : ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA
Nama Mahasiswa : TJIPTA PURWITA Nomor Pokok
: A.161040294/EPN
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Harianto, MS Ketua
Prof. Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Anggota
Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota
Mengetahui ,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 7 Agustus 2009
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 3 April 1960 dari Ayah S. Hadisartama bin Muhammad Sidik (Almarhum) dan Ibu Hj. Karlinah binti Djajasoekarta. Penulis merupakan putra ketiga dari delapan bersaudara. Tahun 1980 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Purwokerto. Pada tahun 1980 melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1991 penulis melanjutkan studi Pascasarjana konsentrasi Strategi Internasional di Prasetiya Mulya Business School Jakarta dan selesai pada tahun 1993. Pada akhir tahun 2004 penulis melanjutkan studi program Doktor pada Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja pada Konsultan Kehutanan
(1984–1986), Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Irian Jaya (1986–1992), Kepala Unit PT Inhutani II Sulawesi Tengah (1996–1997), Kepala Unit PT Inhutani II Kalimantan Timur (1997–2001), Direktur Pengembangan PT Inhutani II (2001–2005), dan Direktur Keuangan Perum Perhutani (2005–2008), serta Direktur Hutan Tanaman pada PT Musi Hutan Persada (Juni 2009–sekarang). Penulis aktif di organisasi DPP PERSAKI (Wakil Ketua Umum), APHI (Bidang Hutan Tanaman), Pramuka Saka Wanabhakti Nasional (Bidang Kegiatan), Kwartir Nasional Pramuka (Pembantu Andalan), LSPHI (Bendahara), Taman Hutan Hambalang (Ketua), serta Himpunan Alumni Fahutan IPB (Ketua Biro Sosial), serta LSPHI (Bendahara). Penulis menikah dengan Dra. Hj. Rr. Sulityawati T. Purwita, M.Hum pada tahun 1990 dan dikarunia tiga orang anak, yaitu : Citra Mahardhika Sutji Ayuningtyas Purwita (almarhumah), Puspa Diva Nur Aqmarina Purwita, dan Muhammad Belva Al Kautsar Purwita. Istri bekerja sebagai dosen Linguistik di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. atas rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2008 ini ialah ekonomi rumahtangga petani dengan judul disertasi : “Pengelolaan Hutan Lindung Bersama Masyarakat di Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Bandung Selatan : Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr.Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang
telah secara
intensif
membimbing
penulis,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan tugas penyusunan disertasi ini dengan baik. 2. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi yang telah membantu penyelesaian studi penulis di Institut Pertanian Bogor. 3. Dr. Ir. Dedy Jusadi, MS selaku Ketua Dewan Penguji Ujian Akhir Program Doktor serta Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Boen M Poernama, MSc selaku penguji luar komisi pada Ujian Akhir Program Doktor. 4. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi, Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, serta Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku dosen penguji luar komisi pada Ujian Tertutup Program Doktor. 5. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec yang telah membimbing penulis semenjak pengajuan proposal penelitian.
6. Rekan-rekan Direksi/Mantan Direksi PT Inhutani II (Ir. Arifin Trihastoyo, MM, Ir Budi Santoso, Ir. Hadi Siswoyo, MM, Drs. Soetardjo Nitidihardjo, MM, dan Ir. Tridjoko Sujono). 7. Rekan-rekan Direksi/Mantan Direksi Perum Perhutani (Dr. Ir. Transtoto Handadhari, MSc; Dr. Ir. Upik Rosalina Wasrin, Drs Sondang M. Gultom; Ir. Achmad Fachrodji, MM), Ir. Haryono Kusumo, MM., Steve Kosasih, SE., MM., serta Ir. Tedjo Rumekso. 8. Direktur Utama PT Musi Hutan Persada (Shoichiro Tomita) dan rekan-rekan Direksi PT Musi Hutan Persada (Bagus Kuncoro, Minoru Hirosako, Shingo Nishiyama). 9. Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc, Dr. Ir. Bambang Widyantoro, MM, Ir. Iman Santosa, MSc, Dr. Ir Bedjo Santoso, MS, Dr. Ir. Bambang Sukmananto, MSc yang memberi dorongan kepada penulis untuk selalu bersemangat menyelesaikan studi. 10. Rekan-rekan mahasiswa Progran Studi EPN Khusus dan EPN Reguler Sekolah Pascasarjana IPB dari berbagai angkatan, khususnya kepada Ir. Syaiful Ramadhan, MMA, Drs. Slametto, MT, dan Ir. Adi Lumaksono, MSc. 11. Administratur KPH Perum Perhutani Bandung Selatan (Ir. Endang Sutardi, MM almarhum dan Ir. Lies Bahunta, MSc), Ir. Iman Susetyadi, Ir. Wismo, Drs. Iwan, Ir. Hendrawan, Ir Uum, Ir. Djadjang Kusnadi, Daud, S.Ag, serta rekan-rekan yang bertugas di BKPH Perum Perhutani Pangalengan yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan. 12. Rekan-rekan teman sekerja penulis di Direktorat Keuangan Perum Perhutani yang telah membantu penulis menyelesaikan studi S3, diantaranya Asisten Direktur Keuangan (Dr. Djoko Wiyanto,SE, MM), para Kepala Biro (Dra Lestrina Surbakti, Drs Gatot Hariono, MM, Andi Prapantsa, SH, MM), Agus Eka Romanda, S.E, MM; Eka Nugraha, S.E.; Kezia Widjajanti, S.E., serta rekan-rekan lain yang tidak disebutkan satu per satu.
xi
13. Ir. Suriani, Ir. Deden Zainuddin, MS, Ir. Nusyirwan, MS yang telah banyak membantu penulis melakukan pengolahan data. Demikian pula kepada Mbak Ruby dan Mbak Yani yang telah membantu administrasi penyelesaian studi S3 EPN IPB. 14. Ibu tercinta Hj Karlinah Hadisartama dan Ibu mertua Dra Hj. Sri Suharti atas segala dorongan dan do’anya selama penulis menempuh pendidikan S3. 15. Istri tercinta Dra. Hj. Rr. Sulistyawati T. Purwita, M.Hum dan anak-anak tersayang (Puspa Diva Nur Aqmarina Purwita dan Muhammad Belva Al Kautsar Purwita) atas dorongan dan pengorbanannya selama penulis menyelesaikan studi, serta semua pihak yang tidak disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian studi. Kepada semuanya, kami memohonkan do’a semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala amal dan budi baik yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini belumlah sempurna karena berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Karena itu dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf yang sebesar-besarnya, seraya mengharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu-pengetahuan serta memotivasi kita untuk berkarya lebih besar lagi. Amien.
Bogor, Januari 2010
Tjipta Purwita
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xxii I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1
Latar Belakang.................................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah .........................................................................
7
1.3
Tujuan Penelitian .............................................................................
11
1.4
Kegunaan/Manfaat Penelitian..........................................................
12
1.5
Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..............................................
12
II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
16
2.1. Pengantar Ekonomi Rumahtangga ..................................................
16
2.2. Curahan Tenaga Kerja dan Pendapatan ...........................................
18
2.3. Teori Alokasi Waktu .......................................................................
21
2.4. Model Rumahtangga Petani Chayanov ...........................................
27
2.5. Teori Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima ..............................
32
2.6. Pembangunan Masyarakat Desa ......................................................
44
2.7. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ....
47
2.8. Akses Masyarakat terhadap Sumber-Sumber Ekonomi ..................
50
2.9. Kebijakan Fiskal untuk Mengurangi Kemiskinan ...........................
56
2.10. Konsep Kelembagaan dan Kemitraan .............................................
58
2.11. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu .....................................................
67
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ......................................
75
3.1. Kerangka Pemikiran ........................................................................
75
3.2. Hipotesis ..........................................................................................
86
IV. METODE PENELITIAN.........................................................................
87
4.1. Lokasi Penelitian .............................................................................
87
4.2. Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data ....................
88
4.2.1. Pengambilan Contoh..............................................................
88
4.2.2. Pengumpulan Data.................................................................
89
4.3. Instrumen Penelitian ........................................................................
90
4.3.1. Daftar Pertanyaan/Kuesioner ...............................................
90
4.3.2. Catatan Harian .....................................................................
93
4.4. Metode Analisis ...............................................................................
94
4.5. Spesifikasi Model ............................................................................
97
4.5.1. Spesifikasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi .....................................................................................
98
4.5.2. Spesifikasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah ................................................
110
4.6. Identifikasi dan Metode Pendugaan Model .....................................
125
4.7. Validasi dan Simulasi Model ...........................................................
126
4.8. Definisi dan Konsep Pengukuran ....................................................
128
V. GAMBARAN LOKASI DAN KARAKTERISTIK EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PHBM ..................................................... 136 5.1. Gambaran Umum Lokasi.................................................................
132
5.1.1. Visi dan Misi Perum Perhutani ............................................
132
5.1.2. Perkembangan Kegiatan PHBM di Perum Perhutani ..........
133
5.1.3. Gambaran Umum Wilayah Hutan pada Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan ......................
136
5.1.4. Sejarah PHBM di KPH Bandung Selatan ............................
139
5.1.5. Kondisi Geografi dan Administrasi Lokasi Penelitian ........
145
5.1.6. Kegiatan PHBM oleh Masyarakat Desa Hutan Kubangsari, Desa Pulosari, Pangalengan ................................................. 149 5.1.7. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan ...................................
155
5.1.8. Pola Usahatani .....................................................................
158
5.1.9. Aspek Biaya/Permodalan.....................................................
170
5.2. Karakteristik Petani Contoh.............................................................
173
5.2.1. Umur Petani Contoh ............................................................
173
5.2.2. Asal-usul Petani Contoh ......................................................
174
5.2.3. Tingkat Pendidikan ..............................................................
175
5.2.4. Mata-pencaharian Petani Contoh .........................................
177
5.2.5. Jumlah Anggota Rumahtangga Responden .........................
179
xv
5.2.6. Tanggungan Keluarga Petani Contoh ..................................
180
5.2.7. Penggunaan Waktu (Alokasi Waktu) .................................
181
5.2.8. Kontribusi Pendapatan Rumahtangga.................................
185
5.2.9. Pengeluaran Rumahtangga ..................................................
190
5.2.10. Pendapatan Siap Dibelanjakan ............................................
194
5.2.11. Tabungan dan Pinjaman/Kredit ...........................................
195
5.2.12. Deskripsi Lain Petani Contoh ..............................................
197
5.3. Rangkuman ......................................................................................
199
VI. PERILAKU EKONOMI RUMAH-TANGGA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN PESERTA PHBM .................................................... 203 6.1. Gambaran Umum Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM ...................................................................................
203
6.2. Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga PHBM Kopi ..........
204
6.2.1. Alokasi Tenaga Kerja Luar Keluarga yang Disewa pada Usahatani .............................................................................
204
6.2.2. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Usahatani .................
206
6.2.3. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Luar Usahatani.........
208
6.2.4. Penggunaan Pupuk...............................................................
211
6.2.5. Penggunaan Obat .................................................................
213
6.2.6. Penggunaan Bibit .................................................................
215
6.2.7. Luas Lahan Garapan ............................................................
217
6.2.8. Produktivitas Lahan .............................................................
219
6.2.9. Pengeluaran Konsumsi Pangan............................................
221
6.2.10. Pengeluaran Konsumsi Non-pangan....................................
223
6.2.11. Investasi Sumberdaya Manusia ...........................................
225
6.2.12. Tabungan .............................................................................
227
6.2.13. Kredit/Pinjaman Rumahtangga ............................................
230
6.3. Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah ...........................................................
232
6.3.1. Alokasi Tenaga-kerja Luar Keluarga pada Usahatani .......
232
6.3.2. Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Usahatani RumputGajah ....................................................................................
234
6.3.3. Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Usahatani Sapi-perah 237
xvi
6.3.4. Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Luar Usahatani .........
240
6.3.5. Penggunaan Pupuk pada Usahatani Rumput-gajah .............
242
6.3.6. Penggunaan Obat pada Usahatani Rumput-gajah................
245
6.3.7. Penggunaan Bibit pada Usahatani Rumput-gajah ...............
247
6.3.8. Luas Lahan Garapan Rumput-gajah ....................................
249
6.3.9. Produktivitas Usahatani Rumput-gajah ...............................
251
6.3.10. Produksi Susu Sapi ..............................................................
253
6.3.11. Pengeluaran Konsumsi Pangan............................................
255
6.3.12. Pengeluaran Investasi Sumberdaya Manusia.......................
257
6.3.13. Tabungan .............................................................................
259
6.3.14. Kredit/Pinjaman Rumahtangga ............................................
261
6.4. Rangkuman Hasil Estimasi ..............................................................
263
VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KEPUTUSAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PHBM ........... 273 7.1. Validasi Model ................................................................................
273
7.2. Perubahan Faktor-faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM ...........................................................
279
7.2.1. Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi ............
279
7.2.2. Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumputgajah & Sapi-perah ..............................................................
286
7.3. Rangkuman Hasil Simulasi .............................................................
292
VIII. ANALISIS ASPEK KELEMBAGAAN KEMITRAAN PETANIPERHUTANI DALAM PROGRAM PHBM ...........................................
297
8.1. Analisis Identifikasi Aspek Kelembagaan .......................................
297
8.2. Penguatan Kelembagaan Kemitraan PHBM ..................................
322
8.3. Rangkuman Aspek Kelembagaan ....................................................
331
IX. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
336
9.1. Simpulan ..........................................................................................
336
9.2. Implikasi Kebijakan.........................................................................
338
9.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan ......................................................
340
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
341
LAMPIRAN ..............................................................................................
354
xvii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Perkembangan Proses PHBM pada Desa Hutan s/d Desember 2007 ......................................................................................................
135
2. Sebaran dan Jumlah LMDH menurut Usaha Produktifnya s/d Desember 2007 .....................................................................................
135
3. Luas Kawasan Hutan KPH Bandung Selatan .......................................
138
4. Identifikasi Masalah yang Dihadapi Masyarakat di Wilayah Hulu Citarum KPH Bandung Selatan .................................................
141
5. Daftar Kriteria LMDH di BKPH Pangalengan KPH Bandung Selatan ..................................................................................................
144
6. Penggunaan Lahan di Wilayah Desa Lokasi Penelitian ......................
146
7. Perkembangan Jumlah Penduduk pada Desa di Lokasi Penelitian ......
147
8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...........................
147
9. Mata Pencaharian Penduduk pada Desa Lokasi Penelitian .................
148
10. Luas Kawasan Hutan Pangkuan Desa (HPD) LMDH Kubangsari ......
152
11. Jenis Tanaman Pokok pada Lokasi PHBM Kubangsari .....................
154
12. Karakteristik Luas Lahan yang Dikelola oleh Petani Contoh ..............
156
13. Rasio Rata-rata Luas Lahan yang Ditanami (Luas Lahan Efektif) dengan Lahan yang Tersedia (Luas Lahan Potensial) ..........................
158
14. Produksi Kopi Indonesia ......................................................................
160
15. Rekapitulasi Data Petani Kopi pada Lokasi Penelitian .......................
165
16. Rekapitulasi Data Petani Rumput Gajah .............................................
167
17. Rata-rata Modal Usahatani di Lokasi Penelitian .................................
171
18. Karakteristik Umur Rata-rata Petani Contoh .......................................
173
19. Asal-usul Petani Contoh ......................................................................
175
20. Karakteristik Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga .............................
175
21. Karakteristik Tingkat Pendidikan Istri ................................................
176
22. Karakteristik Matapencaharian Utama Masyarakat Sekitar Hutan ......
177
23. Karakteristik Matapencaharian Tambahan Masyarakat ......................
178
24. Karakteristik Jumlah Anggota Keluarga Petani Contoh ......................
179
25. Karakteristik Jumlah Tanggungan Keluarga Responden .....................
180
26. Karakteristik Alokasi Waktu Rata-rata Responden ............................
182
27. Pendapatan Rata-rata per Rumahtangga Responden .........................
188
28. Pengeluaran Rumahtangga Responden ...............................................
192
29. Pendapatan yang Siap Dibelanjakan ...................................................
194
30. Tabungan Rata-rata Responden ...........................................................
196
31. Pinjaman/kredit Rata-rata Responden ..................................................
196
32. Deskripsi Lain Petani Contoh ..............................................................
198
33. Hasil Pendugaan Persamaan Alokasi Tenaga Kerja Luar Keluarga pada Usahatani ......................................................................
204
34. Hasil Pendugaan Persamaan Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Usahatani ......................................................................................
206
35. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Luar Usahatani .............................................................
208
36. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Pupuk ................
211
37. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Obat .................
213
38. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Bibit .................
215
39. Hasil Pendugaan Parameter Luas Lahan Garapan ...............................
217
40. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produktivitas ........................
219
41. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi Pangan ..................
222
42. Hasil Pendugaan Persamaan Non-Pangan ............................................
224
43. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Sumberdaya Manusia ...............................................................................................
226
44. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan ..............................
228
45. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit/Pinjaman ...................
230
xviii
46. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenaga-kerja Luar Keluarga pada Usahatani ............................................................
232
47. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Usahatani Rumput-gajah ..............................................
234
48. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Usahatani Sapi-perah ....................................................
237
49. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Luar Usahatani ............................................................
240
50. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Pupuk ...............
243
51. Hasil Pendugaan Parameter Penggunaan Obat ....................................
245
52. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Bibit .................
247
53. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Lahan Garapan Rumput Gajah .......................................................................................
249
54. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produktivitas Usahatani Rumput Gajah ......................................................................................
251
55. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Susu .......................
254
56. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Konsumsi Pangan ..................................................................................................
256
57. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Investasi Sumberdaya Manusia ...........................................................................
258
58. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan ...............................
259
59. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit/Pinjaman ....................
262
60. Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi ......................................................................................................
274
61. Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah .................................................................
275
62. Dampak Perubahan Faktor –faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi ........................................
281
63. Dampak Perubahan Faktor-faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapiperah ....................................................................................................
288
64. Rangkuman Dampak Perubahan Faktor-faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM ...................
293
xix
65. Hak dan Kewajiban dalam Kerjasama PHBM Rumput-gajah antara Masyarakat (LMDH), Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS), dan Perum Perhutani .................................................
305
66. Hak dan Kewajiban dalam Kerjasama Kemitraan PHBM Kopi antara Petani Mitra (LMDH), Perum Perhutani, dan Pemodal .............
307
67. Hak-hak yang Terikat Berdasarkan Posisi Kelompok Masyarakat............................................................................................
319
xx
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Fungsi Kepuasan Seorang Anggota Keluarga .......................................
19
2.
Fungsi Kepuasan, Efek Pendapatan, Efek Substitusi & Efek Total ......
20
3.
Penawaran Tenaga Kerja .......................................................................
21
4.
Model Rumahtangga Usahatani Chayanov ............................................
29
5.
Model Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima .........................
34
6.
Pengaruh Perubahan Harga Produksi Pada Keseimbangan Rumahtangga Model Nakajima ..............................................................
37
Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menyewa Tenaga Kerja Luar Keluarga .........................................................................................
41
Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menjual Tenaga Kerja Keluarga..................................................................................................
43
9.
Skema Hak dan Akses Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat ................
55
10.
Kerangka Pemikiran Penelitian Ekonomi Rumahtangga Program PHBM .....................................................................................................
81
11.
Diagram Model Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM ..............
83
12.
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Plus ........................
134
13.
Kelembagaan Forum Komunikasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (Forum LMDH) ...........................................................................
301
14.
Mekanisme Pemasaran Kopi Hasil Usahatani PHBM Kopi ..................
315
15.
Mata-rantai Pemasaran PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah.................
316
7.
8.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Lokasi Penelitian ........................................................................................
355
2.
Metode Penarikan Contoh...........................................................................
356
3.
Daftar Keterangan Variabel Model Ekonomi Rumahtangga PHBM .........
357
A. Model Ekonomi Rumahtangga Peserta PHBM Kopi ..........................
358
B. Model Ekonomi Rumahtangga PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah ..
359
Program Komputer Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani Peserta PHBM Kopi dengan Metode 2 SLS, Prosedur SYSLIN, SAS/ETS Versi 9.1 .....................................................................................
361
Program Komputer Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah dengan Metode 2 SLS, Prosedur SYSLIN, SAS/ETS Versi 9.1 .....................................................................
363
Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani Peserta PHBM Kopi dengan Metode 2 SLS, Prosedur SYSLIN, SAS/ETS Versi 9.1 .......
366
Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM RumputGajah & Sapi-Perah dengan Metode 2 SLS, Prosedur SYSLIN, SAS/ETS Versi 9.1 ......................................................................................................
373
Program Komputer Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 ......................................................................................................
380
Program Komputer Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 ...................................................................
382
Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 ...........
385
Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM RumputGajah & Sapi-Perah Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 .....................................................................................
390
Program Komputer Simulasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 ......................................................................................................
395
Program Komputer Simulasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 ...................................................................
398
4.
5.
6. 7.
8.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16. 17. 18. 19. 20.
Contoh Hasil Program Komputer Skenario 1 Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 ...................................................................
402
Contoh Hasil Program Komputer Skenario 1 Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1........................
403
Dampak Perubahan Faktor–faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi ..............................................................
404
Dampak Perubahan Faktor-faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-perah ........................
406
Ikhtisar Penguatan Kelembagaan PHBM Kopi terkait Implementasi Kebijakan Penurunan Suku-Bunga Pinjaman .............................................
408
Ikhtisar Penguatan Kelembagaan PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah terkait Implementasi Kebijakan Peningkatan Harga Jual Output ...............
411
Ilustrasi Kegiatan PHBM di Lokasi Penelitian ...........................................
413
Gb. 1. Lokasi Penelitian : Hutan Pinus & Rasamala yang berdampingan dengan kebun teh. Masyarakat desa hutan peserta PHBM berada di kampung-kampung yang mengelilingi hutan-hutan ini (Foto : Penulis) ....
413
Gb. 2 PHBM KOPI : Kopi masyarakat yang siap dipanen. Bila perawatan dan pemeliharaan dilakukan dengan baik, produksi kopinya sangat bagus (Foto : Penulis) ............................................................................................
413
Gb. 3. PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH : Penanaman rumputgajah di bawah tegakan sebagai hijauan makanan ternak (Foto : Penulis) .
414
Gb. 4. PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH : Sapi diperah setiap hari pada pagi dan sore. Sapi dikandangkan secara berkelompok. Hasil produksi susu langsung dibawa ke tempat penampungan Koperasi Peternak Bandung Selatan/KPBS (Foto : Penulis) .....................................
414
xxiii
1
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pembangunan nasional menerapkan tripple-track strategy, yaitu strategi
pembangunan yang mengedepankan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi (progrowth), pemberantasan kemiskinan (pro-poor), dan peningkatan penyerapan tenaga kerja (pro-jobs). Pengalaman menunjukkan, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat apabila gagal dalam menciptakan suatu keadilan sosial dan pemerataan pendapatan (Nasution, 2007). Demikian pula dinyatakan, bahwa penciptaan kekayaan tanpa redistribusi akan meningkatkan ketimpangan. Saat kekayaan tumbuh, maka garis kemiskinan pun meningkat (Seabrook, 2006). Menurut hasil penelitian CIFOR (2004), dikemukakan bahwa lebih kurang 48.8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di kawasan hutan dan sekitarnya, diantaranya 10.2 juta jiwa adalah penduduk miskin. Dari jumlah tersebut, yang bermata-pencaharian langsung dari hutan adalah lebih kurang 6 (enam) juta jiwa. Mengingat besarnya multiplier-effects yang dapat diciptakan oleh sektor kehutanan (Majalah Tempo,19 November 2006), maka pembangunan kehutanan merupakan sektor yang sangat strategis untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran penduduk. Adapun tiga (3) agenda utama kebijakan revitalisasi sektor kehutanan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 adalah sebagai berikut : 1. Pertumbuhan sektor kehutanan rata-rata sebesar 2-3 persen per tahun.
2
2. Bergeraknya sektor-riil kehutanan dan usaha terkait berbasis usaha kecil, yang dapat membantu penyerapan tenaga-kerja. 3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam bentuk pemanfaatan hutan produksi melalui pemanfaatan tanaman rakyat dan pola-kemitraan, baik PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), MHR (Mengelola Hutan Rakyat), maupun HTR (Hutan Tanaman Rakyat). Selanjutnya
dalam
agenda
kerjanya,
Pemerintah
berupaya
mengefektifkan Hutan Produksi maupun Hutan Lindung, baik di Pulau Jawa maupun di Luar Pulau Jawa, dalam bentuk pemberian akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan tersebut (access-reform) guna peningkatan
kesejahteraannya.
Khusus
untuk
Pulau
Jawa,
Pemerintah
mengamanatkan kepada Perum Perhutani untuk membuka akses pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dikelolanya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, baik di kawasan Hutan Produksi maupun Hutan Lindung. Pulau Jawa merupakan pulau yang terpadat penduduknya di Indonesia. Di pulau ini terdapat pusat pemerintahan dan pusat perekonomian yang sangat dinamis. Namun ironis, bahwa pulau ini masih dihuni oleh penduduk miskin yang pada umumnya bermukim di sekitar hutan-hutan dan perdesaan. Setiap tahun pulau ini mengalami tekanan yang luar-biasa, sehingga terjadi kerusakan lingkungan yang membahayakan kelangsungan hidup umat manusia (Menko Perekonomian, 2006). Sejak masa Hindia-Belanda Pulau Jawa walau luasnya hanya 6 % dari seluruh luas daratan Nusantara, merupakan pulau yang mempunyai daya-tarik
3
tinggi ditinjau dari segi sosial, ekonomi, geopolitik dan kondisi sumber alam (khususnya kesuburan tanah). Pasca pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, Pulau Jawa menduduki posisi yang semakin penting dalam percaturan kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia (Kartodihardjo et al, 2006), karena : 1. Merupakan lokasi pusat pemerintahan nasional 2. Ditempati oleh sebagian besar penduduk Indonesia 3. Kontribusinya yang besar dalam perekonomian nasional Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, sekitar 113 juta jiwa atau 55 % dari 2006 juta jiwa penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa. Karena itu tidak mengherankan, apabila kontribusi Pulau Jawa terhadap perekonomian nasional juga sangat menonjol dibandingkan dengan pulau-pulau lain, yaitu sekitar 61 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (Kartodihardjo et al, 2006). Pulau Jawa dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Redistribusi penduduk yang tidak seimbang menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap lingkungan, khususnya hutan, sehingga mengancam terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah-longsor, dan bencana kekeringan. Padahal kondisi hutan Pulau Jawa sudah semakin menipis dan masih jauh dari proporsi luas hutan yang dipersyaratkan menurut Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 41 Tahun 1999, yaitu bahwa proporsi luas hutan perlu dipertahankan sebesar kurang lebih 30 persen dari luas daratan/pulau (Sudarsono, 2007). Terlepas dari posisi penting tersebut, pada saat ini Pulau Jawa mengalami permasalahan yang sangat serius pada daya-dukung ekologinya. Peristiwa bencana alam seperti banjir, tanah-longsor dan kekeringan, kini terjadi dimana-
4
mana. Di wilayah banjir tradisional, frekuensi dan intensitas banjir semakin meningkat dan menimbulkan kerugian yang semakin besar. Hal semacam ini tidak hanya dialami oleh kota Jakarta saja, tetapi kota-kota lain seperti Bandung, Semarang, dan Surabaya juga mengalami. Bahkan di luar wilayah perkotaan, banjir dan tanah-longsor menjadi pemandangan baru pada setiap musim hujan dan bencana yang timbul lebih mengerikan (Kartodihardjo et.al, 2006). Di Pulau Jawa, menurut Simatupang (2002), kegiatan pertanian belum menjadi sumber pendapatan utama bagi penduduk, melainkan baru sebatas sebagai sumber pendapatan tambahan. Sumber utama pendapatan penduduk masih berasal dari kegiatan non-pertanian. Karena itu agenda yang mendesak adalah bagaimana petani gurem dan buruh tani mampu mengandalkan kegiatan pertanian sebagai sumber penghidupan keluarganya Masalah pokok yang dihadapi adalah luas baku lahan produktif Pulau Jawa tidak memadai untuk memberikan kehidupan rumahtangga petani secara layak.
Total luas lahan
kurang dari 40 juta hektar, sedang jumlah rumahtangga petani lebih dari 20 juta orang, sehingga apabila luas lahan dibagi secara merata, maka seluruh petani tetap gurem dan tidak layak untuk menopang kehidupan yang ideal bagi ekonomi rumahtangganya. Disamping redistribusi penduduk yang tidak seimbang, Pulau Jawa juga mengalami redistribusi lahan yang tidak proporsional. Sebagian besar penduduk miskin memiliki luasan lahan yang sangat kecil atau bahkan tidak memiliki lahan sama-sekali, sementara sebagian kecil penduduk kaya menguasai lahan yang sangat besar. Kondisi yang timpang ini menimbulkan banyak kerawanan sosial dan lingkungan. Konflik-konflik sosial, khususnya konflik agraria, tidak
5
bisa terhindarkan karena keberadaan lahan merupakan kapital yang fixed, sehingga apabila demand-nya tinggi, maka harga lahan pun akan makin meningkat dan mudah mendorong terjadinya perebutan lahan antar berbagai kelompok kepentingan (Khudori, 2007). Degradasi hutan terjadi dimana-mana. Perambahan hutan di Pulau Jawa telah berlangsung sangat intensif. Puncaknya terjadi pada saat berlangsung euforia reformasi tahun 2001-2002, sehingga timbul degradasi hutan yang luar biasa besar. Disamping rakyat lapar kayu, kenyataan menunjukkan bahwa rakyat juga lapar lahan, sehingga kawasan hutan Negara termasuk kawasan hutan Perum Perhutani pun, menjadi sasaran perambahan yang intensif. Salah satu terobosan Perum Perhutani untuk mengatasi masalah degradasi lingkungan akibat tekanan penduduk yang lapar lahan adalah pemanfaatan lahan melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), dimana masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola lahan secara lebih optimal, memanfaatkan lahan-lahan yang belum produktif, serta membuka akses masyarakat untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan untuk mendukung proses penciptaan nilai tambah, khususnya dalam hal ketahanan pangan. Proses-proses pemanfaatan lahan seperti ini telah dilakukan sejak lama oleh Perum Perhutani, meskipun bukan dalam arti alih-kepemilikan atau “bagi-bagi lahan”, melainkan dalam arti pengaturan pemanfaatan lahan hutan secara lebih optimal kepada masyarakat/petani sekitar hutan. Satu dari banyak lokasi penerapan strategi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan, Propinsi Jawa Barat, yang memiliki kekhususan karena program ini diterapkan pada kawasan Hutan Lindung yang dikelolanya.
6
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang diterapkan di KPH Bandung Selatan, Unit Usaha Perum Perhutani Jawa Barat, dimaksudkan sebagai upaya penanganan terhadap perambahan kawasan hutan secara arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan minimal 3 (tiga) kepentingan, yaitu : (1) kepentingan ekonomis masyarakat sekitar hutan melalui alih-profesi petani sayuran menjadi petani agroforestry dengan pemilihan komoditas yang tepat, (2) kepentingan ekologis melalui penerapan pola pertanian yang lebih ramahlingkungan, dan (3) kepentingan sosial melalui peningkatan kesejahteraan petani sekitar hutan. Mengingat bahwa kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan merupakan daerah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum yang sangat penting untuk dilestarikan sebagai sumber air bagi 3 (tiga) bendungan strategis (yaitu Jatiluhur, Cirata, dan Saguling), maka wilayah ini perlu diamankan dari ancaman perambahan hutan dan pola pemanfaatan lahan yang tidak ramah-lingkungan. Karena itu, studi mengenai program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) khususnya yang terkait dengan perilaku ekonomi rumahtangga petani peserta program PHBM di wilayah BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, perlu dilakukan untuk menganalisis secara lebih jauh mengenai karakteristik ekonomi rumahtangga petani peserta program PHBM, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perilaku ekonomi rumahtangga petani, serta aspek-aspek kelembagaan di tingkat petani. Studi ini penting, karena pada umumnya program PHBM dilakukan pada Hutan Produksi, sedangkan pada penelitian ini program PHBM diterapkan pada kawasan Hutan Lindung yang merupakan penyangga bagi proyek-proyek vital di hilirnya
7
sehingga keberhasilan program PHBM akan sangat menentukan keberhasilan proyek-proyek vital lainnya. Terlebih lagi pada era reformasi, kerusakan hutan lindung lebih besar daripada kerusakan hutan produksi (Ginoga, 2003). 1.2
Perumusan Masalah Negara dunia ketiga pada umumnya menghadapi 2 (dua) persoalan pokok,
yaitu : (1) luas lahan untuk peningkatan tanaman ekspor yang terus meningkat, dan (2) ketimpangan penguasaan lahan. Akibatnya muncul masalah kemiskinan, deforestasi, dan degradasi lingkungan (Suhardjito et.al, 2000). Sebagai
negara
agraris,
kondisi
Indonesia
masih
sangat
rapuh.
Kepemilikan lahan masih didominasi oleh petani gurem yang hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 ha dengan proporsi meliputi 88 persen dari jumlah petani secara keseluruhan. Hal tersebut membuat
produktivitas pertanian menjadi
rendah dan tidak kompetitif. Selain itu, pertanian yang masih subsisten juga membuat kantong-kantong kemiskinan yang makin membesar, khususnya menyangkut penduduk yang berada di Pulau Jawa (Khudori, 2007). Kerawanan sosial di Pulau Jawa pada dasarnya terjadi karena persoalan ekonomi, yaitu terjadinya redistribusi aset yang tidak merata akibat konsentrasi penduduk yang sangat tinggi. Ketimpangan distribusi penguasaan lahan tersebut sudah terjadi sebelum Indonesia merdeka dan cenderung semakin timpang sejak Revolusi Hijau diterapkan pada lahan sawah (Suhardjito et.al, 2000). Pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk +/- 900 orang/km2 dan luas daratan yang relatif sempit (6 % wilayah daratan Indonesia), menyebabkan terbatasnya lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga (KK), yaitu hanya 0.10 ha
8
per KK atau 1.000 m2 per KK. Sementara itu desa yang lokasinya langsung berbatasan dengan hutan (Hutan Produksi dan Hutan Lindung) adalah berjumlah 5 552 desa hutan, dimana ± 6 483 685 orang yang secara langsung berinteraksi dan bergantung pada hutan melalui skema kerjasama PHBM (Perum Perhutani, 2007). Persoalan Perum Perhutani dalam mengelola hutan di Pulau Jawa ada dua hal (Awang, 2003), yaitu : (1) secara eksternal, menghadapi persoalan sosialkemasyarakatan yang sudah menahun dan krusial (kemiskinan perdesaan, terbatasnya peluang kerja, pengangguran, hubungan kelembagaan, menanggung dampak PHK dari perkotaan); dan (2) secara internal, menghadapi persoalan kualitas SDM yang perlu ditingkatkan, organisasi pendukung yang lemah, kesepakatan terhadap program sosial-kemasyarakatan, sistem tata-niaga kayu, pembinaan mental-spiritual, serta pemeratan pendapatan. Masalah eksternal sangat sensitif, karena menyangkut +/- 5 552 desa di sekitar hutan dan sekitar 30 juta penduduk Pulau Jawa yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan. Kawasan Hutan Lindung Perum Perhutani di daerah Pangalengan yang merupakan hulu sungai Citarum misalnya, mengalami ancaman perambahan yang sangat intensif. Perambahan hutan dalam bentuk pemanfaatan lahan tumpangsari yang tidak ramah lingkungan, menciptakan tingkat sedimentasi dan pencemaran hulu sungai Citarum yang sangat tinggi, sehingga mengancam kelestarian hutan dan keseimbangan lingkungan Pulau Jawa, diantaranya berkurangnya sumber air bagi 3 (tiga) bendungan strategis, yaitu : Jatiluhur, Cirata, dan Saguling (KPH Bandung Selatan, 2007).
9
Adapun ancaman yang paling krusial di sekitar kawasan DAS Citarum adalah bahaya banjir. Disamping karena faktor alam, faktor manusia sangat berperan dalam menciptakan kondisi lingkungan yang semakin rusak, diantaranya adalah : (1) berkurangnya kawasan serapan air akibat perambahan hutan, (2) konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dengan komoditas dan pola bertani yang tidak ramah-lingkungan, dan (3) pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah dan penggunaan pestisida (KPH Bandung Selatan, 2007). Perambahan hutan di daerah Pangalengan mencerminkan “kompetisi” pemanfaatan lahan kawasan Hutan Lindung antara masyarakat (petani pengguna/penggarap) dengan Perum Perhutani (selaku pengelola kawasan) yang telah berlangsung secara sangat intensif, terutama pada masa euforia reformasi, sehingga tidak menutup kemungkinan ancaman tersebut sewaktu-waktu akan muncul kembali. Sementara itu program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) semenjak tahun 2003 telah diluncurkan oleh Perum Perhutani sebagai solusi yang ditempuh. Program PHBM ini diyakini oleh Perum Perhutani merupakan strategi yang tepat dalam rangka membangun pemanfaatan lahan secara lebih optimal dan “win-win” antara masyarakat (petani penggarap) dengan Perum Perhutani, dimana masyarakat diikutsertakan dalam pengelolaan hutan secara utuh. Secara umum pokok persoalan dalam penelitian (research-question) ini adalah apakah pola pemanfaatan lahan hutan lindung melalui program PHBM tersebut telah berhasil membantu mengatasi persoalan kemiskinan masyarakat sekitar hutan (petani penggarap) dan mampu mengurangi kebergantungan petani
10
terhadap faktor lahan kawasan hutan sebagai salah satu tumpuan bagi sumber pendapatannya ? Selanjutnya permasalahan umum tersebut secara spesifik dapat dielaborasi menjadi 3 (tiga) permasalahan khusus sebagai-berikut : 1. Dilihat dari perspektif petani, seberapa jauh pemanfaatan lahan usahatani di hutan lindung melalui program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) telah memberikan manfaat yang positif
bagi peningkatan
kesejahteraan rumahtangga petani sekitar hutan, sehingga membantu petani peserta program PHBM mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mengurangi tekanan terhadap kelestarian hutan. 2. Secara kuantitatif faktor-faktor apakah yang diduga berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM di Hutan Lindung terkait dengan pengambilan keputusan menyangkut alokasi waktu tenagakerja, aspek produksi, pendapatan, dan pengeluaran rumahtangga petani, sehingga dapat diterapkan kebijakan pemerintah yang tepat untuk membantu rumahtangga petani mengatasi masalah kemiskinan masyarakat sekitar hutan. 3. Sejauhmana aspek kelembagaan kerjasama kemitraan antara masyarakat dengan Perum Perhutani melalui program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), khususnya menyangkut pembaharuan kontrak kerjasama kemitraan, dapat menunjang keberhasilan implementasi program PHBM secara jangka-panjang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan masalah yang sangat penting untuk dijawab. Karena itu penelitian mengenai perilaku ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM yang mengintegrasikan analisis aspek ekonomi dan
11
kelembagaan dalam membangun kerjasama kemitraan di kawasan Hutan Lindung antara penduduk dan Perum Perhutani, perlu dilakukan sebagai model atau benchmark bagi wilayah lain dengan karakteristik yang sama atau karakteristik yang mendekati (hampir sama) dengan karakteriristik lokasi penelitian. Penelitian ekonomi rumahtangga pada aktivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) belum banyak dilakukan, terlebih lagi aktivitas PHBM di kawasan hutan lindung sejauh ini masih merupakan hal yang baru, sehingga penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang penting. Bahkan pengelolaan kawasan hutan lindung pada umumnya dibiarkan (terlantar), sehingga studi mengenai kelembagaan PHBM pada hutan lindung menjadi sangat penting. 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM dalam pengambilan keputusan menyangkut aspek alokasi waktu tenaga kerja, produksi, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani. 2. Menganalisis dampak perubahan faktor eksternal terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM. 3. Menganalisis aspek kelembagaan kerjasama kemitraan PHBM, khususnya menyangkut kontrak kerjasama antara petani dengan Perum Perhutani. 1.4
Kegunaan/Manfaat Penelitian Kegunaan atau nilai-manfaat dari hasil penelitian ini diantaranya adalah :
12
1. Bermanfaat bagi pemerintah sebagai masukan dalam penciptaan kebijakan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan di kawasan hutan lindung terkait dengan persoalan pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan dan terciptanya kelestarian hutan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). 2. Bermanfaat bagi Perum Perhutani sebagai “benchmark” atau rujukan untuk mengembangkan program penataan pemanfaatan lahan kawasan hutan lindung yang lebih optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui pola kemitraan yang sesuai dengan harapan keduabelah pihak, pada kawasan lain yang relatif berkarakteristik samadengan lokasi penelitian. 3. Bermanfaat bagi masyarakat luas berkaitan dengan semakin banyaknya sumber informasi yang menyangkut pola-pola pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang lebih kondusif sebagai proses pembelajaran (lessonlearned) yang dapat diterapkan untuk daerah lain. 1.5
Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mencakup analisis kuantitatif dan kualitatif/deskriptif pola
usahatani lahan kering PHBM di wilayah hulu Sungai Citarum dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan rumahtangga petani peserta program PHBM melalui pendekatan konsep ekonomi rumahtangga, serta kajian aspek kelembagaan di tingkat petani dalam rangka membangun kerjasama kemitraan PHBM dengan Perum Perhutani. Mengingat begitu luas cakupan yang harus dianalisis, maka untuk mempertajam analisis penulis membatasi cakupan penelitian ini dengan mengambil studi kasus di wilayah kerja Perum Perhutani
13
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan, khususnya di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan yang merupakan wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Namun demikian, penentuan lokasi yang
relatif
mikro
ini
diharapkan
masih
cukup
representatif
untuk
menggambarkan kegiatan PHBM di wilayah KPH Bandung Selatan pada khususnya dan di wilayah Perum Perhutani pada umumnya, terutama untuk benchmark bagi tipologi kawasan hutan yang bertopografi tinggi seperti Hutan Lindung maupun Kawasan Hutan Produksi Terbatas. Studi dengan wilayah penelitian yang sangat mikro bisa merupakan kelemahan/keterbatasan namun sekaligus merupakan kekuatan, karena dapat dilakukan dengan metode penelitian langsung (survei) dan sebagaimana lazimnya persoalan menyangkut sosial-kemasyarakatan berada pada skala yang lebih mikro sehingga harus diobservasi secara lebih detil. Penelitian ini mengambil lokasi di kawasan Hutan Lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani sebagai wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang sangat vital, sehingga terdapat pembatasan terhadap jenisjenis komoditas usahatani yang bisa dikembangkan oleh petani, yaitu jenis-jenis komoditas yang sesuai dengan sifat kepekaan lahan daerah pegunungan yang mudah tererosi dan rawan longsor. Karena itu jenis-jenis komoditas yang dikembangkan harus bersifat ramah-lingkungan, memiliki sistem perakaran yang kuat menahan tanah, serta berumur-panjang. Dengan demikian terdapat keterbatasan preferensi petani dalam mengembangkan komoditas di kawasan Hutan Lindung dibandingkan apabila petani melakukan usahatani di wilayah Hutan Produksi Biasa yang topografinya relatif lebih landai atau datar.
14
Disamping itu, pengelolaan hutan lindung tidak diperkenankan memanen kayu tanaman pokok, sehingga petani peserta PHBM tidak memiliki kesempatan menikmati sharing hasil produksi dari Hutan Pangkuan Desa yang dikelolanya. Pendapatan petani murni berasal dari hasil usahatani tanaman keras yang dikembangkan oleh rumahtangga petani diantara tanaman pokok kehutanan yang harus diamankannya dan pendapatan lain non-usahatani. Komoditas yang dikembangkan petani terbatas pada kopi dan rumputgajah (yang diintegrasikan dengan pemeliharaan sapi-perah), sedangkan komoditas lain seperti cabe bendot dan terong kori tidak diperhitungkan, karena relatif masih sedikit nilainya (belum dikembangkan secara intensif) dan pada saat penelitian belum mencapai masa panen. Karena itu harga jual komoditas usahatani tidak dilakukan sebagai harga komposit, melainkan harga tunggal komoditas kopi (dalam bentuk gelondong/kopi basah) dan susu murni produksi sapi-perah. Disamping itu, komoditas kopi adalah tanaman yang relatif berdaurpanjang, sehingga penelitian yang bersifat cross-section yang berjangka hanya 1 (satu) tahun memiliki kelemahan dalam mengukur kinerja komoditas tanaman kopi. Penelitian ini memiliki keterbatasan lain, yaitu pendapatan petani yang dianalisis hanya pendapatan yang berasal dari kegiatan on-farm dan off-farm (baik sebagai buruh pada usahatani pada lahan milik orang lain maupun kegiatan non-pertanian/non-usahatani). Tetapi pendapatan yang berasal dari non-activity seperti warisan, kiriman, hadiah, Bantuan Langsung Tunai (BTL) dari Pemerintah, tidak ikut dianalisis, karena datanya tidak valid. Pada saat penelitian BLT belum dibagikan kepada masyarakat, sehingga tidak dihitung.
15
Menyangkut data tabungan dan kredit, data yang dianalisis murni berdasarkan angka-angka yang dilakukan sebagai pengakuan petani pada saat wawancara, sehingga (defisit)
yang
Karena
itu
bukan
dialami
didasarkan
petani
pada pendekatan angka surplus
berdasarkan perhitungan/analisis ekonomi.
akurasi data survei sulit untuk dapat divalidasi mengingat
pengakuan petani bisa berbeda-beda dan kurang akurat. Inilah satu kelemahan dari metode survei yang hanya mencatat data saat itu (cross-section), sehingga tidak tertutup kemungkinan timbul fenomena yang khas tetapi menyimpang dari apriori ekonomi (kaidah-kaidah ekonomi yang seharusnya). Disamping hal-hal di atas, keterbatasan penelitian ini juga menyangkut masalah tiadanya data ekonomi rumahtangga petani yang bersifat runtut-waktu (times-series) yang akurat dan kredibel. Analisis ekonometrika dilakukan hanya mendasarkan pada data primer yang bersifat cross-section melalui survei yang dilakukan secara langsung (face to face) dengan para petani (responden) di lokasi penelitian, baik petani peserta program PHBM Kopi maupun petani peserta program PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, sehingga sesekali dalam membangun model ekonometrik dijumpai nilai koefisien korelasi yang rendah antar variabel pembangunnya.
16
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengantar Ekonomi Rumahtangga Model ekonomi rumahtangga pertanian (agricultural household economics model) lahir dari pemikiran bahwa di dalam satu unit rumahtangga petani terdapat keputusan produksi yang tidak terpisahkan dengan keputusan konsumsi. Pada rumahtangga petani seperti ini dalam mengambil keputusan produksi, maka hasil produksi ada yang dikonsumsi sendiri dan ada yang dijual (Singh, et.al, 1986). Apabila hasil produksi petani sebagian besar atau seluruhnya dijual, maka keputusan yang diambil oleh rumahtangga petani tersebut adalah responsif terhadap signal pasar. Tetapi sebaliknya apabila hasil produksi petani sebagian kecil atau seluruhnya tidak dijual, maka keputusan produksi yang diambil oleh rumahtangga petani tidak responsif terhadap signal pasar (Suprapto, 2001). Dalam penelitian ini komoditas yang diusahakan adalah kopi dan rumput-gajah/sapi-perah (susu-sapi) yang relatif semua hasilproduksinya dijual ke pasar, karena produknya belum menjadi produk-olahan yang siap dikonsumsi oleh rumahtangga petani yang memproduksinya. Rumahtangga petani (Farm household) adalah satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan tenaga kerja dan reproduksi. Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku rumahtangga petani dalam aktivitasnya dapat bersifat subsisten, semi-komersial sampai berorientasi pasar. Rumahtangga petani merupakan satu unit kelembagaan keluarga, hidup bersama yang setiap
17
saat memutuskan secara bersama produksi pertanian, konsumsi, reproduksi dan kadang-kadang menyatukan pendapatan atau anggaran. Dalam rumahtangga petani terdapat keterkaitan antara kegiatan produksi dengan konsumsi dalam suatu sistem, maka model ekonomi rumahtangga petani dirumuskan dalam suatu sistem persamaan simultan yang terdiri atas sejumlah persamaan struktural dan identitas. Sesuai
dengan
prinsip
ekonomi,
rumahtangga
petani
dalam
mengalokasikan sumberdaya umumnya bertindak rasional, mengkonsumsi barang dan jasa untuk memaksimumkan utilitas, serta sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan, seperti layaknya sebuah perusahaan dalam skala yang lebih besar. Dharmawan (2002) menjelaskan, bahwa terdapat 6 (enam) fungsi utama dari rumahtangga, yaitu : (1) mengalokasikan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan, (2) mencapai bermacam-macam tujuan, (3) memproduksi barang dan jasa, (4) mengambil keputusan mengenai penggunaan pendapatan dan konsumsi, (5) melakukan hubungan sosial, dan (6) reproduksi dan menjaga keamanan anggota rumahtangga. Aktivitas ekonomi rumahtangga dapat mempengaruhi kesejahteraan rumahtangga dan anggotanya. Untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga dan anggotanya tersebut, maka perlu dukungan pemerintah. Intervensi pemerintah dapat dilakukan dalam bentuk kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga dan keluarganya. Kajian aktivitas ekonomi rumahtangga,
18
mempelajari dampak kebijakan pemerintah terhadap keputusan rumahtangga melalui analisis simulasi. 2.2. Curahan Tenaga Kerja dan Pendapatan Partisipasi anggota rumahtangga petani baik pria maupun wanita menunjukkan kontribusi yang nyata pada keseluruhan proses pertanian dan pemanfaatan hasilnya. Dalam interaksinya dengan lingkungan, diperoleh fakta bahwa waktu bagi setiap rumahtangga dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : (1) pola hidup, (2) pemilikan aset produktif, (3) keadaan sosial ekonomi keluarga, (4) tingkat upah, dan (5) karakteristik yang melekat pada setiap anggota rumahtangga. Curahan tenaga kerja menunjukkan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk berbagai kegiatan (labor-use). Sedangkan pendapatan dapat dinyatakan sebagai imbalan yang diperoleh tenaga kerja karena melakukan kegiatan produktif. Secara teoritis hubungan curahan tenaga kerja dengan pendapatan dapat diturunkan dengan menggunakan Teori Utilitas (Becker, 1976; Koutsoyiannis, 1979; Nicholson, 1983). Analisis curahan tenaga kerja merupakan analisis tentang penawaran tenaga kerja yang pada prinsipnya membahas keputusan-keputusan anggota rumahtangga (individu-induvidu) dalam mengalokasikan jam kerjanya. Individuindividu dalam mengalokasikan jam kerja akan bertindak rasional, yaitu akan memaksimumkan utilitasnya. Maksimisasi utilitas rumahtangga dilakukan dengan mengkombinasikan waktu santai dan barang konsumsi untuk memaksimumkan kepuasan. Tiap angkatan kerja anggota rumahtangga dihadapkan pada pilihan bekerja atau tidak.
19
Apabila memilih bekerja berarti akan memberikan nilai guna pendapatan yang lebih tinggi dan akan lebih mencurahkan waktunya bagi pencapaian kebutuhan konsumsi. Sebaliknya jika tidak bekerja yang dipilih, maka waktu santai akan mempunyai nilaiguna yang lebih tinggi daripada pendapatan (Mangkuprawira, 1984). Adanya kedua pilihan tersebut akan menghasilkan berbagai kombinasi untuk mencapai kepuasan yang maksimum seperti tertera pada Gambar 1. Barang Konsumsi
B2 U2
B1 B0
U1
U0
O
W0
W1
W2
Waktu santai
Gambar 1. Fungsi Kepuasan Seorang Anggota Keluarga Anggota rumahtangga akan mengkonsumsi Bo dan Wo untuk mendapatkan tingkat kepuasan Uo. Jika makin banyak B dan W yang dikonsumsi, maka makin tinggi tingkat kepuasan U yang akan dicapai (U2 > U1 > Uo). Dalam kesempatan mengkonsumsi barang dan waktu santai, anggota rumahtangga (individu) akan menghadapi 2 kendala, yaitu kendala waktu yang jumlahnya terbatas (24 jam per hari) dan anggota keluarga yang menawarkan
20
tenaga kerja dalam suatu pasar bersaing sempurna sehingga tidak akan mempengaruhi tingkat upah yang berlaku. Agar diperoleh kombinasi yang maksimum, dengan mempertimbangkan kendala yang ada, maka kombinasi optimum terletak pada garis anggaran yang menyinggung kurva indifference (Bryant, 1990). Bila terjadi kenaikan tingkat upah berarti terdapat tambahan pendapatan. Dengan status ekonomi lebih tinggi seseorang cenderung meningkatkan konsumsi dan menikmati waktu santai lebih banyak yang berarti pengurangan jam kerja (efek pendapatan). Di lain pihak, kenaikan tingkat upah berarti harga waktu santai menjadi lebih mahal dan mendorong keluarga mensubstitusi waktu-santainya dengan lebih banyak bekerja untuk menambah konsumsi barang (efek substitusi), sebagaimana dijelaskan sebagaimana Gambar 2. Upah
C2
E3
C"
E2
U2
C1 E1
U1
A
B
O
Gambar 2.
B"
D3
D1
D2
H Waktu santai
Fungsi Kepuasan, Efek Pendapatan, Efek Substitusi & Efek Total
Misalkan tingkat upah naik sehingga garis anggaran berubah dari BC1 menjadi BC2. Perubahan tingkat upah umum menghasilkan pertambahan pendapatan yang dilukiskan dengan garis
B”C” yang sejajar dengan BC1. Pertambahan
pendapatan mendorong keluarga untuk mengurangi jumlah jam kerja dari HD1 menjadi HD2 atau dari titik E1 ke titik E2 (efek pendapatan). Kenaikan
21
tingkat upah berarti juga harga waktu menjadi lebih mahal. Nilai waktu yang lebih tinggi mendorong keluarga mensubstitusi waktu-santainya untuk lebih banyak bekerja guna menambah konsumsi barang. Penambahan waktu bekerja tersebut dinamakan efek substitusi, yang ditunjukkan oleh penambahan jam kerja dari HD2 ke HD3 atau dari titik E2 ke titik E3. Efek total dari perubahan tingkat upah adalah selisih dari efek pendapatan dengan efek substitusi. Sebaliknya kenaikan tingkat upah akan mengakibatkan pengurangan waktu bekerja jika efek substitusi lebih kecil daripada efek pendapatan. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan upah dari BC3 menjadi HD4 (Gambar 3). Besarnya penyediaan waktu bekerja sehubungan dengan perubahan tingkat upah seperti ditunjukkan oleh grafik E1E2E3E4En disebut sebagai fungsi penawaran (Becker, 1976). Upah C4
C3
C2
E4 En
E3
C1
E2 E1
A
O
D3
D4
D2
D1
H Waktu santai
Gambar 3. Penawaran Tenaga Kerja
2.3. Teori Alokasi Waktu Masalah ketenagakerjaan sangat terkait dengan teori alokasi waktu dan pemanfaatan waktu santai yang berkembang sejak Becker mengemukakan teorinya. Becker mengintegrasikan keputusan produksi dan konsumsi kedalam sebuah keputusan rumahtangga serta hubungannya dengan alokasi waktu dan
22
pendapatan yang dianalisis secara simultan. Asumsi yang dipakai dalam model ekonomi rumahtangga yaitu : (1) waktu dan barang atau jasa merupakan unsur kepuasan, (2) waktu dan barang atau jasa dapat dipakai sebagai input dalam fungsi produksi rumahtangga, dan (3) rumahtangga bertindak sebagai produsen dan konsumen. Sesuai uraian di atas, waktu menurut Becker merupakan sumberdaya yang bersifat langka bagi rumahtangga. Hampir 50 persen atau lebih waktu yang tersedia dalam kehidupan rumahtangga digunakan untuk kegiatan rumahtangga dalam bentuk istirahat, memasak, rekreasi dan lain-lain. Begitu besar bagian waktu rumahtangga yang digunakan untuk kegiatan tersebut, maka persoalan alokasi waktu dan efisiensi waktu menjadi sangat penting dalam mempelajari kesejahteraan ekonomi rumahtangga. Rumahtangga
dalam
menghasilkan
unit
produksi
dengan
mengkombinasikan barang-barang modal dan barang mentah bersama dengan curahan tenaga kerja serta waktu untuk menghasilkan barang akhir. Maksimisasi utilitas rumahtangga dilakukan dengan cara mengkombinasikan input barang (xi) dan input waktu (Ti) melalui fungsi produksi fi untuk menghasilkan barang Zi. Fungsi produksi rumahtangga adalah : Zi = fi (xi, Ti), dimana i = 1, 2, .............n. Selanjutnya Gronau (1997) mempermasalahkan formulasi Becker karena Becker belum dapat memperlihatkan perbedaan antara waktu santai dan waktu bekerja di rumah. Dengan asumsi bahwa perilaku rumahtangga untuk kegiatan rumahtangga dan waktu santai bereaksi sama terhadap perubahan lingkungan, Gronau berpendapat bahwa terhapusnya waktu kerja di rumah dalam formulasi
23
Becker disebabkan kesulitan praktis dalam membedakan antara pekerjaan rumahtangga dan waktu santai. Gronau mengembangkan formulasi tersebut dengan membedakan secara eksplisit antara waktu santai dengan waktu kerja di rumahtangga. Hal ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang ternyata menunjukkan bahwa ada reaksi yang berbeda antara waktu kerja di rumah dan waktu santai terhadap lingkungan sosial ekonomi. Sebagai ilustrasi peningkatan pendapatan akan meningkatkan waktu santai, mengurangi jam kerja di pasar dengan tidak merubah jam kerja di rumah. Rumahtangga akan memaksimumkan kepuasan (Z) dengan mengkonsumsi barang dan jasa (x) serta konsumsi waktu santai (L), dituliskan sebagai-berikut : Z = Z (X, L) .............................................................................................. (1) Total konsumsi barang dan jasa (X) terdiri atas konsumsi barang-barang yang dibeli di pasar (Xm) dan konsumsi barang-barang yang diproduksi di rumah (Xh). Rumahtangga tidak hanya bertindak sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen sehingga Xh dihasilkan dari bekerja di rumah (H) sebagaiberikut : Xh = f (H) ................................................................................................. (2) X = Xm + Xh ............................................................................................ (3) Dalam memaksimumkan kepuasannya (Z), rumahtangga dibatasi kendala anggaran dan kendala waktu sebagai-berikut : Xm = WN + V ........................................................................................... (4) T = L + H + N ....................................................................................... (5)
24
Persamaan kendala anggaran (4) menunjukkan bahwa konsumsi barang yang dibeli di pasar (Xm) samadengan tingkat upah (W) dikali waktu bekerja di pasar (N) ditambah penghasilan dari sumber lain (V). Bersamaan dengan kendala waktu (5) menunjukkan total waktu yang tersedia (T) samadengan waktu santai (L) ditambah waktu untuk berproduksi dalam rumahtangga (H) dan waktu untuk bekerja di pasar (N). Dengan maksimisasi fungsi Langrangian G yang dikemukakan pada persamaan (6) dapat diturunkan persamaan (7) dan (8). Marginal produk bekerja di rumah samadengan harga bayangan (W*) seperti pada persamaan (7). Sedangkan bila seseorang bekerja di pasar (N>0) maka W* samadengan tingkat upah riil (W) seperti pada persamaan (8). Hal-hal diatas dapat diformulasikan sebagai-berikut : G = Z {[Xm + f(H)]L} + λ (WN + V-Xm) + μ(T-L-H-N).......................(6)
δZ / δL μ =f= = W* ............................................................................. (7) δZ / δX λ
δZ / δL = f = W= W* ............................................................................... (8) δZ / δX dimana μ dan λ masing-masing adalah kepuasan marginal dari waktu dan pendapatan. Selanjutnya Singh et.al. (1986) menyatakan bahwa rumahtangga adalah pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi serta hubungannya dengan alokasi waktu. Dalam memaksimumkan kepuasan melalui konsumsi barang dan konsumsi waktu, rumahtangga diasumsikan mengikuti model dasar sebagai-berikut : U = U (Xa, Xm, X1) ................................................................................... (9)
25
Diasumsikan rumahtangga sebagai konsumen akan memaksimumkan kepuasannya dengan kendala produksi, waktu, dan pendapatan, sebagai-berikut : Q = Q (L,A) ........................................................................................... (10) T = X1 + F .............................................................................................. (11) PmXm = Pa (Q-Xa) – W(L-F) ................................................................. (12) dimana : Q
= Jumlah produksi
Pm
= Harga barang yang dihasilkan oleh pasar
Pa
= Harga barang yang dihasilkan oleh rumahtangga
(Q-Xa)
= Surplus produksi untuk dipasarkan
W
= Upah pasar
L
= Total input tenaga kerja
F
= Input tenaga-kerja rumahtangga
A
= Faktor produksi tetap rumahtangga
Kendala-kendala yang dihadapi rumahtangga dapat disatukan dengan mensubstitusikan kendala produksi ke dalam kendala pendapatan, sehingga akan menghasilkan bentuk kendala tunggal, yaitu : PmXm + PaXa + WX1 = WT + π ............................................................. (13) dimana : π = PaQ(LA) – WL, merupakan keuntungan.
Persamaan (13) menunjukkan bahwa sisi kiri merupakan pengeluaran total rumahtangga untuk barang (Xm dan Xa) dan waktu (X1) yang dikonsumsi. Sedangkan sisi-kanannya adalah pengembangan dari konsep pendapatan penuh Becker (1965), dimana nilai waktu yang tersedia dicatat secara eksplisit. Selain
26
itu,
pengembangan
yang
dilakukan
adalah
memasukkan
pengukuran
keuntungan (Pa.Q – W.L), dimana semua tenaga kerja dihitung berdasarkan upah pasar. Persamaan (9) dan (13) merupakan inti dari model dasar ekonomi rumahtangga. Dalam memaksimumkan kepuasannya, rumahtangga dapat memilih konsumsi dari barang (Xm dan Xa), waktu (X1) dan input tenaga kerja (L) yang digunakan
dalam
aktivitas
produksi.
First
order
condition
untuk
mengoptimalkan penggunaan input tenaga kerja adalah : Pa ( δQ / δL ) = W ......................................................................................(14) Rumahtangga akan menyamakan penerimaan produk marjinal dari tenaga kerja dengan upah pasar. Selanjutnya persamaan (14) dapat diturunkan dengan menggunakan input tenaga kerja (L) sebagai fungsi dari Pa, W dan A, yaitu : L* = L*(W,Pa,A) ..................................................................................... (15) Apabila persamaan (15)
disubstitusikan ke sisi kanan persamaan (13)
maka akan diperoleh suatu persamaan sebagai-berikut : PmXm + PaXa + WX1 = Y* ...................................................................... (16) dimana Y* adalah merupakan pendapatan penuh pada saat keuntungan maksimum. Maksimasi kepuasan dengan kendala persamaan (16) dan memberikan first order condition sebagai-berikut :
δ U/ δ Xm= λ .Pm ................................................................................... (17) δ U/ δ X = λ .Pa ..................................................................................... (18) δ U/ δ X1= λ .W........................................................................................(19) PmXm + PaXa + WX1 = Y* ...................................................................... (20)
27
sehingga dapat diturunkan konsumsi barang yang dihasilkan di rumahtangga (Xa), konsumsi barang yang dibeli di pasar (Xm) dan konsumsi waktu luang (X1) yang
masing-masing dipengaruhi oleh harga, upah, dan pendapatan,
sebagai-berikut : Xm = Xm (Pm, Pa, W, Y*) ........................................................................ (21) Xa = Xa (Pm, Pa, W, Y*) ......................................................................... (22) X1 = X1 (Pm, Pa, W, Y*) ......................................................................... (23) Persamaan (21), (22), dan (23), permintaan bergantung pada harga dan pendapatan. Untuk kasus rumahtangga petani, pendapatan ditentukan oleh aktivitas produksi rumahtangga. Selanjutnya perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi akan merubah Y* dan perilaku produksi. 2.4. Model Rumahtangga Petani Chayanov Chayanov mengemukakan, bahwa rumahtangga membuat keputusan subjektif menyangkut jumlah tenaga kerja keluarga dalam proses produksi usahatani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya. Apabila Becker berangkat dari pemikiran rumahtangga secara murni, maka Chayanov sudah mengarahkan pemikirannya pada rumahtangga petani. Ellis (1988) memandang perilaku rumahtangga petani model Chayanov ini sebagai perilaku rumahtangga yang menghindar dari kerja keras atau yang disebut sebagai drudgery averse. Pada model ini, rumahtangga menganggap bekerja adalah sebagai sesuatu yang harus dihindari karena tidak menyenangkan. Pilihan rumahtangga adalah bekerja di usahatani untuk memperoleh pendapatan tetapi tidak menyenangkan atau bersantai (leisure) untuk memperoleh kepuasan. Bisa juga pilihannya adalah bekerja di usahatani untuk memperoleh pendapatan
28
untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi atau tidak bekerja dengan mendapatkan kesenangan waktu bersantai. Di dalam memilih harus ada kriteria tertentu yang menjadi patokan pengambilan keputusan. Seperti halnya pada teori alokasi waktu yang dijelaskan di atas, model Chayanov juga mengasumsikan bahwa rumahtangga petani berusaha memaksimumkan utilitas. Perbedaan utama dengan teori Becker adalah adanya pertimbangan subjektif rumahtangga di dalam menentukan alokasi waktu. Menurut Ellis (1988), faktor utama yang menentukan pilihan alokasi waktu adalah struktur demografi rumahtangga. Struktur demografi tersebut dinyatakan dalam bentuk rasio antara jumlah anggota rumahtangga yang menjadi beban konsumsi dengan jumlah anggota rumahtangga yang bekerja. Semakin banyak anggota rumahtangga yang menjadi beban konsumsi relatif terhadap yang bekerja, rasio tersebut semakin besar. Ellis (1988) mencatat asumsi yang mendasari model Chayanov adalah : (1) tidak ada pasar tenaga kerja, tidak ada upah yang dapat diperoleh anggota rumahtangga yang bekerja di luar rumahtangga, (2) produk yang dihasilkan usahatani dapat digunakan untuk konsumsi atau dijual ke pasar pada tingkat harga pasar yang berlaku, (3) seluruh rumahtangga petani dapat mengakses lahan secara fleksibel untuk digunakan dalam proses produksi usahatani, dan (4) terdapat pendapatan minimum per orang yang diterima sebagai norma masyarakat, dan konsekuensinya adalah adanya tingkat konsumsi minimum di rumahtangga. Konsep Chayanov selanjutnya menggambarkan perilaku rumahtangga dalam pengambilan keputusan aspek produksi maupun aspek konsumsi. Asumsi
29
teori ekonomi rumahtangga, perilaku rumahtangga bertujuan memaksimumkan produksi sekaligus memaksimumkan utilitasnya. Komponen-komponen utama dalam model Chayanov tersebut lebih jelas dapat dipelajari melalui kurva seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Model Rumahtangga Usahatani Chayanov Sumbu vertikal pada Gambar 4 menunjukkan output usahatani, namun karena asumsi Chayanov bahwa output yang dihasilkan rumahtangga dijual sehingga output dinyatakan samadengan pendapatan (output yang dinilai dengan uang). Sedangkan sumbu horizontal menunjukkan total waktu tenaga kerja rumahtangga yang tersedia. Total waktu ini ditentukan oleh jumlah pekerjaan. Seperti konsep Becker, Chayanov juga mengalokasikan waktu yang tersedia tersebut untuk aktivitas yang berbeda. Perbedaannya, Becker mengalokasikan waktunya untuk tiga kategori penggunaan, yaitu penggunaan waktu kerja di rumah, waktu kerja untuk memperoleh pendapatan dan waktu
30
untuk santai. Namun konsep Chayanov, alokasi total waktu yang tersedia hanya untuk pekerjaan usahatani dan waktu untuk santai. Dalam proses produksi usahatani diasumsikan output dihasilkan dengan menggunakan input tunggal yaitu tenaga kerja. Respon output yang dihasilkan pada berbagai tingkat penggunaan input tenaga kerja digambarkan sebagai fungsi produksi yang dinyatakan dengan kurva nilai total produksi (TVP). Kurva ini dinyatakan sebagai kurva nilai total produksi karena output dinilai dengan uang seperti telah dikemukakan sebelumnya. Berdasarkan prinsip teori produksi, maka fungsi produksi adalah bersifat diminishing marginal return. Fungsi produksi secara fungsional dapat dinyatakan sebagai: Y = Hq f (T) ceteris paribus, Y adalah total pendapatan keluarga, Hq adalah harga output dan T adalah input tenaga kerja. Lahan dianggap tetap sehingga dalam fungsi produksi tidak menangkap akses lahan. Kurva indiferens yang dicapai oleh rumahtangga menggambarkan jumlah utilitas tertentu. Utilitas tertentu ini dicapai dengan mengkombinasikan antara konsumsi pendapatan atau waktu santai. Fungsi utilitas dapat dinyatakan sebagai U = U (I,S), dimana I merupakan pendapatan rumahtangga dan S adalah adalah waktu santai. Kemiringan kurva indeferens menggambarkan jumlah perubahan pendapatan yang disebabkan perubahan satu unit waktu santai. Peningkatan waktu santai menyebabkan pendapatan yang diperoleh rumahtangga dari kerja akan menurun. Kemiringan kurva indeferens tersebut dapat dinyatakan sebagai tingkat upah subyektif dari rumahtangga. Tingkat relatif upah subyektif ini dibatasi dengan kebutuhan rumahtangga dalam memenuhi standar hidup minimum yang dapat diterima (pada Gambar 4 ditunjukkan dengan Imin).
31
Sedangkan jumlah maksimum hari-hari kerja penuh yang dilakukan anggota rumahtangga dibatasi pada jumlah tenaga kerja maksimum, Tmax tertentu. Kedua kondisi tersebut ditentukan oleh struktur demografi
rumahtangga
yaitu
berdasarkan pada ukuran keluarga dan banyaknya pekerja. Struktur demografi tersebut yang menentukan apakah anggota rumahtangga akan bekerja pada usahatani untuk memperoleh pendapatan ataukah memilih untuk santai. Apabila tidak ada waktu santai yang dapat mengkompensasi turunnya pendapatan (MUS = 0) maka bentuk kurva indiferens bersinggungan dengan kurva konsumsi minimum (cenderung berbentuk horizontal). Hal ini merupakan suatu
kendala.
Keseimbangan
rumahtangga
dalam
mengkombinasikan
konsumsinya dicapai pada saat kurva indiferens bersinggungan dengan kurva nilai
total produksi (titik E1) dengan pendapatan sebesar Pe dan waktu
penggunaan tenaga kerja dalam usahatani sebesar Te. Keseimbangan pada titik E1 yang dicapai oleh rumahtangga merupakan keseimbangan tertinggi. Kondisi ini dapat dicapai dengan penggunaan teknologi produksi tertentu. Secara ringkas dapat dinyatakan, bahwa dalam memaksimumkan utilitas pada model Chayanov, rumahtangga menghadapi tiga kendala, yaitu: kendala fungsi produksi : Y = Hq f(T), kendala pendapatan minimum (I ≥ Imin) dan kendala jumlah waktu kerja pada usahatani yang tersedia maksimum (T ≤ Tmax). Dengan pemecahan matematik maka keseimbangan tertinggi tercapai pada saat kemiringan kurva indiferens samadengan kemiringan nilai produksi marjinal, yaitu MUH/MUY = ∂Y/∂H = MVPL. Kondisi keseimbangan seperti dijelaskan di atas akan berubah bila terjadi perubahan struktur demografi yang merupakan penekanan konsep
32
Chayanov. Apabila ukuran keluarga dan banyaknya pekerja dalam rumahtangga berubah maka menyebabkan terjadi perubahan tingkat konsumsi minimum, sehingga rasio konsumsi per pekerja berubah. Perubahan ini berdampak pada perubahan keseimbangan output, tenaga kerja dan pendapatan keluarga. Terjadinya perubahan keseimbangan ini menyebabkan keseimbangan fungsi produksi dengan kurva indiferens akan berubah. 2.5. Teori Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima Teori Nakajima (Nakajima, 1986) tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih komprehensif dibandingkan dengan teori Becker dan Chayanov seperti dikemukakan di atas. Dasar teori yang digunakan adalah teori Becker dan Chayanov, namun dikembangkan lebih lanjut, yaitu adanya pasar produk dan pasar tenaga kerja serta pasar input lainnya. Ciri adanya keseimbangan subyektif masih tampak pada teori ini mengingat perilaku rumahtangga tidak terlepas dari penggunaan tenaga kerja dan keluarga. Nakajima
(1986)
mengasumsikan
bahwa
rumahtangga
berusaha
memaksimumkan fungsi utilitas U = U (T,M) dengan mengkombinasikan penggunaan tenaga kerja T dan pendapatan uang M. Fungsi utilitas U akan dimaksimumkan dengan kendala produksi F = F(T,L), yaitu kegiatan produksi usahatani
untuk
menghasilkan
satu
jenis
produk
usahatani
dengan
memanfaatkan input tenaga kerja T sebagai input variabel dan lahan L sebagai input tetap. Dari kegiatan usahatani tersebut, rumahtangga memperoleh pendapatan uang M = Py.F(T,L), dimana Py adalah harga pasar untuk produk usahatani yang dihasilkan.
33
Berdasarkan fungsi utilitas dan kendala yang ada, keseimbangan rumahtangga petani dapat dicari dan dihasilkan Py(∂F/∂T) = -UT/UM, dimana UT =
∂U/∂T, dan UM = ∂U/∂M. Jika diperhatikan Py(∂F/∂T) adalah nilai
produktivitas marjinal tenaga kerja keluar, sedangkan -UT/UM merupakan substitusi marjinal tenaga kerja terhadap pendapatan uang atau secara verbal merupakan nilai pendapatan yang dikorbankan setiap satu satuan tambahan tenaga kerja keluarga. Nakajima menyebut -UT/UM sebagai penilaian marjinal penggunaan tenaga kerja keluarga (marginal valuation of family labor). Penilaian tersebut bersifat subyektif, sehingga keseimbangan yang diperoleh juga merupakan keseimbangan subyektif. Hal tersebut sedikit berbeda dengan organisasi perusahaan, dimana perusahaan akan mencapai kondisi keuntungan maksimum jika nilai produktivitas marjinal penggunaan input tertentu akan samadengan faktor produksi yang bersangkutan. Jika faktor produksi tersebut adalah tenaga kerja, maka pada tingkat upah W, akan terjadi keseimbangan pada Py(∂F/∂T) = W. Secara grafis kondisi keseimbangan pada ekonomi rumahtangga petani Nakajima disajikan pada Gambar 5. Pada gambar tersebut terdapat dua gambar utama dimana gambar bagian bawah merupakan turunan dari gambar di atasnya. Pada Gambar 5 sumbu horizontal menunjukkan alokasi tenaga kerja rumahtangga. Diasumsikan rumahtangga mempunyai tenaga kerja maksimum sebesar T. Pilihannya adalah berapa yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani dan berapa yang dialokasikan untuk bersantai. Pada model dasar ini,
34
diasumsikan tidak ada pasar tenaga kerja. Dengan demikian rumahtangga tidak dapat menyewa atau menjual tenaga kerja.
Gambar 5. Model Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima Sumbu vertikal menggambarkan nilai uang pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari kegiatan usahatani Py.F(T,L). Secara implisit diasumsikan bahwa produk usahatani dapat dijual ke pasar dengan harga Py. Pada gambar juga diperlihatkan adanya garis minimum pendapatan untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga atau disingkat menjadi kebutuhan minimum subsisten MoMo’. Garis Mo-Mo’ bersudut positif untuk menunjukkan bahwa kurva indiferens selalu bersudut positif sejajar dengan garis Mo-Mo’, atau penilaian marjinal tenaga kerja keluarga selalu positif.
35
Selanjutnya, pada tingkat harga produk usahatani sebesar Py, terdapat kurva penerimaan produk total NPT. Turunan dari kurva ini adalah kurva nilai produksitivas marjinal (NPTT) yang tertera pada gambar dibawah. Kurva ini bersudut negatif, semakin menurun sejalan dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja keluarga. Disisi lain terdapat kurva penilaian marjinal tenaga kerja
keluarga
(VMT)
bersudut
positif.
Pada
kondisi
rumahtangga
memaksimumkan utilitas U, keseimbangan diperoleh pada titik A, yaitu pada titik singgung antara kurva nilai produk total NPT dengan kurva indiferen I. Pada kondisi ini, terjadi keseimbangan subjektif NPTT = VMT seperti telah dijelaskan diatas. Pada kondisi keseimbangan, tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar OT2. Sisanya T2T dialokasikan untuk waktu santai. Selanjutnya, pada model rumahtangga petani Nakajima dapat dipelajari pula pengaruh perubahan harga produk usahatani Py. Pengaruh perubahan yang terjadi dapat diilustrasikan dengan grafik seperti terlihat pada Gambar 5. Gambar 4 identik dengan Gambar 3. Jika pada kondisi Gambar 4 kemudian diasumsikan terjadi kenaikan harga produk Py, maka yang akan terganggu adalah kurva NPT, karena NPT = Py F(T.L) = M seperti telah dijelaskan sebelumnya. Harga produk pada kurva NPT menentukan sudut kemiringan kurva dari titik pusat tanpa mengubah bentuk kurva itu sendiri. Karena fungsi produksi secara fisik tidak berubah. Kurva NPT berubah menjadi
NPT1 seperti diperlihatkan
pada
Gambar 5. Perubahan juga terjadi pada kurva turunannya, yaitu pada kurva nilai produktivitas marjinal tenaga kerja (NPMT) dan kurva penilaian marjinal tenaga kerja keluarga (VMT). Setelah terjadinya
kenaikan
harga Py, titik
36
keseimbangan baru terjadi pada titik B, yaitu titik singgung antara kurva indiferen I1 dengan kurva NPT1. Tenaga kerja keluarga kemudian dialokasikan untuk usahatani sebesat OT3 dan untuk waktu santai sebesar T3T. Pada kurva turunannya, titik keseimbangan terjadi pada titik potong antara NPMT1 dan VMT1, yaitu suatu titik keseimbangan subjektif baru. Seperti halnya pada teori permintaan, efek perubahan harga produk dapat dipilih menjadi efek substitusi dan efek pendapatan. Pada model rumahtangga petani Nakajima, pemilahan yang sama dapat juga dilakukan. Pada Gambar 6 diperlihatkan kurva nilai produk total NPT dalam bentuk garis putus-putus sejajar dengan kurva nilai produk total NPT lama. Kurva NPT’ menunjukkan pergeseran nilai produk total yang lama tanpa mengubah sudut kemiringan dari titik pusat dan menyentuh kurva indiferen baru I1. Perubahan dari NPT ke NPT’ merupakan efek pendapatan. Sebenarnya fenomena ini bisa terjadi juga karena adanya perubahan pendapatan rumahtangga di luar kegiatan kerja, seperti pendapatan yang berasal dari penguasaan aset E, pada NPT = Py.F(T,L) = M. Karena E adalah suatu konstanta, maka perubahan E akan menggeser kurva NPT sejajar menjadi NPT’. Karena itu, Nakajima menyebut efek pendapatan ini sebagai efek pendapatan aset (asset income effect). Alokasi tenaga kerja keluarga sebagai efek pendapatan diperlihatkan perubahan dari titik A ke titik C, atau dari sepanjang T4-T2 pada sumbu horizontal. Efek pendapatan pada model Nakajima ini dapat dipastikan menurunkan penggunaan tenaga kerja keluarga di usahatani. Adanya peningkatan harga produk usahatani, pendapatan umah tangga meningkat dan kesejahteraan rumahtangga meningkat. Peningkatan kesejahteraan rumahtangga
37
tersebut menyebabkan rumahtangga mengurangi alokasi tenaga kerja di usahatani dan memperbanyak waktu santai.
Gambar 6. Pengaruh Perubahan Harga Produksi Pada Keseimbangan Rumahtangga Model Nakajima (Sumber : Becker, 1986) Efek substitusi bekerja sebaliknya dengan efek pendapatan. Pada model Nakajima ini, adanya peningkatan harga produk usahatani menyebabkan peningkatan nilai produk marjinal tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja keluarga mempunyai insentif lebih tinggi untuk bekerja di usahatani. Oleh karena itu,
38
peningkatan harga produk akan mendorong rumahtangga mengalokasikan lebih banyak tenaga kerja di usahatani dengan mengurangi alokasi waktu untuk santai. Mengingat adanya arah yang berlawanan antara efek pendapatan dan efek substitusi, maka efek total adanya peningkatan harga produk pada alokasi tenaga kerja tidak dapat dipastikan. Jika efek pendapatan lebih besar dibandingkan dengan efek substitusi maka efek peningkatan harga produk akan menurunkan alokasi tenaga kerja di usahatani. Sebaliknya, jika efek substitusi lebih dominan dibandingkan dengan efek pendapatan, maka efek peningkatan harga tersebut akan meningkatkan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani. Pada Gambar 6, diasumsikan efek substitusi lebih dominan dibandingkan dengan efek pendapatan, sehingga titik B berada di sebelah kanan titik A. Model ekonomi rumahtangga petani Nakajima dapat diperluas dengan mengasumsikan adanya
pasar
tenaga
kerja. Rumahtangga
petani
pada
kondisi ini mempunyai kesempatan untuk menyewa tenaga dari luar keluarga untuk kegiatan usahataninya, atau bisa juga bekerja diluar usahatani sendiri (menjual tenaga kerja) untuk pemperoleh sejumlah pendapatan. Pada model ini perlu dipisahkan antara tenaga kerja keluarga yang bekerja di usahatani Tf dan total tenaga kerja kerja yang tersedia T. Diasumsikan rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitas U = U(T,M), dengan kendala fungsi produksi F = F(Tf,L). Jika diasumsikan harga produk usahatani adalah Py dan upah tenaga kerja adalah W, maka rumahtangga akan memperoleh pendapatan berupa uang M = PyF(Tf,L)+W(T-Tf). Jika ternyata Tf < T, berarti
39
seluruh kebutuhan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri dipenuhi dari tenaga kerja dalam keluarga, sisa dari tenaga kerja yang tersedia digunakan untuk bekerja diluar usahatani sendiri. W(T-Tf) menjadi pendapatan yang diperoleh dari kegiatan diluar usahatani tersebut. Sebaliknya jika T < Tf, berarti sebagian kebutuhan tenaga kerja diusahatani sendiri dipenuhi dengan tenaga kerja dari luar keluarga atau tenaga kerja upahan. W(T-Tf) pada kondisi ini menjadi biaya usahatani. Namun didalam biaya tersebut terhitung juga penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang dinilai dengan tingkat upah yang berlaku. Berdasarkan asumsi di atas, U maksimum dapat diperoleh pada keseimbangan Py(∂F/∂Tf) = W, yaitu nilai produktivitas marjinal tenaga kerja di usahatani sama dengan tingkat upah yang berlaku. Keseimbangan ini merupakan kriteria
yang
sering
digunakan
pada
organisasi
perusahaan
untuk
memaksimumkan keuntungan. Kondisi keseimbangan seperti ini menunjukkan juga bahwa rumahtangga petani yang dibicarakan diasumsikan berperilaku sebagai organisasi perusahaan yang berusaha memaksimumkan keuntungan. Di sisi lain, keseimbangan juga tercapai pada kondisi (∂U/∂T)( ∂U/∂M) = ∂M/∂T = W. Keseimbangan tersebut menunjukkan bahwa penilaian marjinal tenaga kerja keluarga samadengan tingkat upah yang berlaku. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keseimbangan tersebut merupakan keseimbangan subjektif rumahtangga.
Dari
dua
keseimbangan
tersebut
menunjukkan
bahwa
rumahtangga mempunyai dua keputusan penting, yaitu keputusan produksi yang berusaha memaksimumkan keuntungan dan keputusan konsumsi yang berusaha memaksimumkan utilitas.
40
Pada Gambar 7 disajikan grafik model keseimbangan rumahtangga petani untuk kasus menyewa tenaga kerja luar keluarga. Kasus menyewa tenaga luar keluarga terjadi jika jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk kegiatan usahatani lebih banyak dibandingkan dengan jumlah t enaga kerja yang tersedia di rumahtangga. Pada Gambar 5 bagian atas diperlihatkan garis upah W dengan sudut kemiringan bergantung pada tingkat upah yang berlaku. Semakin mahal tingkat upah, sudut kemiringan garis tersebut akan semakin curam karena setiap tambahan satu satuan tenaga kerja tertentu akan memerlukan tambahan biaya tenaga kerja yang mahal. Garis upah tersebut menyentuh kurva nilai produk total usahatani NPT pada titik B. Titik ini merupakan
titik
keseimbangan
rumahtangga
untuk
memaksimumkan
keuntungan pada keputusan produksi, yaitu dirmuskan sebagai Py(∂F/∂Tf) = W. Disisi keputusan konsumsi, pada Gambar 7 diperlihatkan garis upah W menyentuh kurva indiferen pada titik A. Pada titik A terjadi keseimbangan subjektif rumahtangga, yaitu terpenuhinya kondisi (∂U/∂T)/( ∂U/∂M) = (∂M/∂T) = W. Alokasi tenaga kerja rumahtangga menurut keseimbangan ini terlihat pada sumbu horizontal, yaitu sebesar OTfk digunakan untuk kegiatan di usahatani sendiri, TfkT digunakan untuk waktu santai. Kegiatan usahatani sendiri memerlukan tenaga kerja sebanyak OTf, terdiri atas tenaga kerja keluarga sebesar OTfk dan tenaga kerja luar keluarga sebesar
OTfkTf.
Adanya
keseimbangan
subjektif
pada
rumahtangga
menyebabkan jumlah tenaga kerja keluarga yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani lebih kecil daripada jumlah tenaga kerja yang secara potensial tersedia di dalam rumahtangga.
41
Gambar 7. Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menyewa Tenaga Kerja Luar Keluarga (Sumber : Becker, 1986) Pada
kondisi
keseimbangan
di
atas,
rumahtangga
memperoleh
pendapatan uang M dari kegiatan usahatani dan dari penilaian tenaga kerja keluarga yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani. Hasil dari kegiatan usahatani dinyatakan dalam bentuk keuntungan π = Py.F(Tf L) – W. Tf . Pada Gambar 7 ditunjukkan dengan jarak BE, yang merupakan kondisi keuntungan maksimum seperti terjadi pada perusahaan. Selain pendapatan yang diperoleh dari keuntungan usahatani, rumahtangga juga memperoleh penerimaan dalam bentuk penilaian tenaga kerja keluarga pada tingkat upah yang berlaku. Jika M diidentifikasikan sebagai M = PyF(TfL) + W(T-Tf), dan sebagai π = PyF(TfL) -
42
W(Tf), maka M = π + WT. Pada kondisi Tf > T, berarti terdapat sebagian dari Tf merupakan tenaga kerja yang dibayarkan untuk usahatani sendiri adalah sebesar W(TfTfk). Nilai penggunaan tenaga kerja dalam keluarga menjadi nilai penerimaan bagi rumahtangga. Karena itu, M menjadi M = = π + WTfk dimana WTfk nilai tenaga kerja usahatani yang berasal dari dalam keluarga. Pada Gambar 7, M digambarkan dengan jarak ATfk. Kasus lain dari model rumahtangga Nakajima adalah apabila rumahtangga berkesempatan menjual tenaga kerja di luar usahatani sendiri. Kasus ini terjadi jika penggunaan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri lebih kecil dari jumlah tenaga kerja potensial yang ada di rumahtangga. Pada kondisi ini, rumahtangga bekerja di luar usahataninya sendiri untuk memperoleh upah kerja dan keperluan tenaga kerja di usahatani sendiri diperoleh dari tenaga kerja dalam keluarga. Kasus ini dapat dilihat pada Gambar 8. Pada Gambar 8 diperlihatkan kurva nilai produksi total NPT menyinggung garis upah W pada titik A. Pada titik tersebut tercapai keseimbangan Py(∂F/∂Tf) = W, yaitu nilai produktivitas marjinal tenaga kerja keluarga samadengan tingkat upah yang berlaku. Pada titik ini pula rumahtangga memperoleh keuntungan maksimum pada kegiatan produksi di usahatani sendiri. Pada kondisi ini jumlah tenaga kerja yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar OTF, lebih besar dari jumlah tenaga kerja yang tersedia di dalam rumahtangga sebesar OT. Oleh karena itu, rumahtangga mempunyai banyak tenaga kerja yang belum digunakan. Diasumsikan pada kasus ini, rumahtangga mempunyai kesempatan untuk menjual tenaga kerjanya di pasar tenaga kerja dengan tingkat upah W.
43
Keputusan ini menghasilkan keseimbangan dimana garis upah menyentuh kurva indiferen I pada titik B. Keseimbangan pada titik B merupakan keseimbangan subyektif rumahtangga, yaitu penilaian marjinal tenaga kerja keluarga samadengan tingkat upah yang berlaku, atau (∂U/∂T)/ (∂U/∂M) = ∂M/∂T = W. Berdasarkan titik-titik keseimbangan tersebut, alokasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani sendiri sebesar OTf untuk kegiatan di luar usahatani sendiri sebesar TfTj dan sisanya TjT digunakan untuk waktu santai.
Gambar 8. Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menjual Tenaga Kerja Keluarga Sumber : Becker, 1986
44
Keseimbangan di atas juga menghasilkan pendapatan rumahtangga M yang merupakan penjumlahan pendapatan dari kegiatan usahatani dan dari luar usahatani. Pendapatan dari kegiatan usahatani diperoleh sebesar keuntungan usahatani, yaitu π = Py(∂F/∂Tf)-WTf, merupakan keuntungan maksimum. Namun mengingat Tf adalah tenaga kerja dalam keluarga, maka WTf kembali menjadi penerimaan rumahtangga. Pendapatan dari luar usahatani sebesar jumlah tenaga kerja yang dijual dikalikan dengan tingkat upah yang berlaku, yaitu W(Tj-Tf). Total pendapatan rumahtangga sekarang menjadi M = Py(∂F/∂Tf) + W(Tj-Tf). Pada Gambar 8, M digambarkan dengan jarak BTj. Adanya kesempatan rumahtangga menyewa tenaga kerja luar keluarga atau bekerja di luar usahatani sendiri, memungkinkan rumahtangga untuk merespons adanya perubahan upah di pasar tenaga kerja. Asumsi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasar tenaga kerja yang dihadapi rumahtangga adalah pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna. Model ekonomi rumahtangga Nakajima akan sangat berbeda jika asumsi pasar tenaga kerja tersebut tidak bersaing sempurna. 2.6. Pembangunan Masyarakat Desa Sedikitnya ada 2 (dua) alasan mengapa masalah pembangunan masyarakat desa masih relevan untuk dibahas. Pertama, meskipun dalam 2 dasawarsa terakhir perkembangan kota berlangsung sangat pesat, tetapi secara umum Negara Republik Indonesia masih didominasi oleh daerah perdesaan. Kedua, meskipun sejak tahun 1970-an pemerintah Orde Baru telah mencanangkan berbagai kebijakan dan program pembangunan perdesaan tetapi masalah kemiskinan belum teratasi di wilayah perdesaan (Usman, 1998). Kepadatan
45
penduduk versus sumberdaya hutan secara resultan menghasilkan merosotnya daya-dukung (carrying capacity) suatu wilayah yang diikuti dengan menurunnya tingkat kesejahteraan (economics welfare) yang sering disebut sebagai kemiskinan (Effendy, 1999). Sejumlah studi menunjukkan, bahwa jumlah penduduk miskin dan termiskin di perdesaan masih cukup banyak. Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan kultur perdesaan. Kurang lebih separuh dari jumlah itu benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolut poor). Kondisi masyarakat seperti ini sangat memprihatinkan, antara-lain ditandai oleh adanya malnutrition, tingkat pendidikan yang rendah, dan rentan terhadap penyakit. Jumlah petani gurem (petani yang menguasai tanah kurang dari 0.5 hektar) tidak kurang dari 13 663 000 rumahtangga pada tahun 2003 (Sadikin, 2007). Kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik. Pembangunan harus berisi usaha untuk memberdayakan mereka sehingga masyarakat mempunyai akses pada sumbersumber ekonomi (sekaligus politik). Tidak berlebihan bila dikatakan, bahwa medan perang sesungguhnya dalam melawan kemiskinan dan kesenjangan yang utama adalah berada di desa. Jarang sekali anak muda penduduk desa yang mau jadi pesanggem. Mereka lebih tertarik ke kota (Santoso, 2004). Sementara urbanisasi dengan segala dimensinya tidak memecahkan masalah ini. Karena itu, usaha memberdayakan masyarakat desa serta perang melawan kemiskinan dan kesenjangan di daerah perdesaan masih harus menjadi agenda penting dalam
46
pembangunan dan menjadi prioritas untuk dipecahkan. Pada awal abad 20, angka tuna-wisma mencapai 40% dari total rumahtangga (Marzali, 2003). Usaha membangun masyarakat desa serta menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan merupakan fenomena yang semakin kompleks, sehingga pembangunan perdesaan dalam perkembangannya tidak semata-mata terbatas pada persoalan peningkatan produksi pertanian. Pembangunan perdesaan juga tidak hanya mencakup implementasi program peningkatan kesejahteraan sosial melalui distribusi uang dan jasa untuk mencukupi kebutuhan dasar, melainkan mencakup spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai kebutuhan agar masyarakat desa bisa mandiri, percaya-diri, dan tidak bergantung pada belenggu struktural (Hidayat, 2007). Faktor penting yang ditengarai membuat desa menjadi tidak berdaya adalah produktivitas yang rendah dan sumberdaya manusia yang lemah. Di beberapa daerah, ada gejala tanah pertanian semakin tidak produktif, sehingga hasil produksi sangat bergantung pada pupuk kimiawi dan obat-obatan. Ketika pupuk kimiawi dan obat-obatan terlambat diberikan, hasil produksi pun menurun. Sementara itu jumlah penduduk desa semakin meningkat, akibatnya perbandingan antara hasil produksi dan jumlah penduduk menjadi tidak seimbang lagi. Beban desa untuk mencukupi kebutuhan dasar terasa semakin berat. Konsekuensinya
kemudian adalah income penduduk menjadi rendah.
Yang mereka peroleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, dan hampir tidak ada yang dapat ditabung. Faktor penting lainnya yang juga membuat desa menjadi tidak berdaya adalah terbatasnya akses pada tanah. Rata-rata pemilikan tanah relatif kecil,
47
bahkan cukup besar jumlah anggota masyarakat yang tidak mempunyai tanah (landless). Kondisi demikian, disamping membuat distribusi penguasaan alat produksi menjadi buruk, juga menghambat program pembangunan pertanian yang diimplementasikan. Program pembangunan oleh masyarakat merupakan bentuk perencanaan dari bawah/akar-rumput atau sering disebut sebagai bottomup planning. Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social-empowering) secara nyata dan terarah (Adisasmita, 2006). 2.7. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Sejarah pengelolaan hutan di Pulau Jawa, khususnya yang dikelola Perum Perhutani, bermula dari pola pengelolaan berdasarkan pendekatan polisional (security-approach). Namun dari tuntutan perubahan lingkungan sosial masyarakat, sejak abad 18 sudah mulai berubah menjadi pendekatan kesejahteraan (prosperty-approach) yang ditandai dengan mulainya reboisasi dengan sistem Tumpangsari. Tahun 1974 Perum Perhutani telah memulai dengan program MALU (Mantri-Lurah), selanjutnya pada tahun 1982 dikembangkan menjadi Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada tahun 1986 lahirlah konsepsi Perhutanan Sosial/PS (Sosial Forestry) yang telah diteliti semenjak tahun 1984 (Perum Pehutani, 2007 dan Simon, 2004). Kondisi luasan pulau Jawa yang hanya 6 persen dari luas wilayah Indonesia harus mampu menampung aktivitas 60 persen penduduk Indonesia. Hal tersebut menuntut Perum Perhutani untuk lebih memberikan perhatian yang besar terhadap persoalan sosial ekonomi masyarakat. Selanjutnya
48
sejalan dengan terjadinya perubahan reformasi di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, maka Perum Perhutani melakukan penyempurnaan kembali pola pengelolaan sumberdaya hutan melalui perubahan paradigma dari Forest Timber Management menjadi Forest Resource Management dan dari State Based Forest Management menjadi Community Based Forest Management. Sejak tahun 2001 Perhutani melahirkan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sebagai penyempurnaan sistem-sistem Community Based Forest Management yang telah terbangun sebelumnya. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) didefinisikan sebagai suatu ”Sistem pengelolaan hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat Desa atau Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan dengan Pihak lain yang berkepentingan, dilandasi jiwa-berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional”. Pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada masyarakat (community based natural forest resources management) telah menjadi bahan diskusi yang hangat (Aliadi, 2000). Azas yang melandasi PHBM adalah ”bersama dan berbagi” (care and share). Jiwa yang ingin dibangun dalam PHBM adalah kesediaan Perum Perhutani, Masyarakat Desa Hutan (MDH) dan pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) untuk berbagi peran dalam pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Dalam sistem PHBM, masyarakat menjadi mitra-sejajar yang mampu bekerjasama membangun, melindungi dan memanfaatkan sumberdaya hutan
49
bersama-sama dengan stakeholders lain, aktif memfasilitasi masyarakat untuk menumbuhkembangkan budaya dan tradisi pengelolaan sumberdaya hutan di lahan-lahan desa
yang berada di sekitar kawasan hutan. Dengan demikian
budaya memiliki dan bertanggungjawab terhadap pengelolaan hutan dan pelestarian sumberdaya hutan oleh masyarakat dapat terbangun dan pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Konsep Desa Pangkuan Hutan (DPH) adalah membagi habis kawasan hutan ke dalam pangkuan desa-desa PHBM yang disesuaikan dengan batas administratif desa atau sejarah awal desa, dan pelaksanaan pengelolaan hutan dikerjasamakan oleh suatu lembaga desa yang disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Dalam PHBM dikenal istilah ”sharing”, yaitu bagi hasil produksi kayu dan non-kayu yang diberikan kepada LMDH berdasarkan kontribusi dari masyarakat di dalam proses produksi. Tetapi dalam kasus PHBM di hutanlindung
seperti
yang
terjadi di Pangalengan,
justru
petani
dikenakan
pungutan berupa “sharing” hasil produksi yang diserahkan kepada Perum Perhutani. Pengembangan usaha produktif masih terus diupayakan khususnya untuk mengolah lebih-lanjut hasil-hasil pangan dari kegiatan tumpangsari dan tumpanggilir maupun tanaman di bawah tegakan seperti kegiatan pengeringan padi, jagung, kacang-kacangan, pengolahan lebih-lanjut menjadi tepungtepungan, pengeringan porang, jamu-jamuan sampai ke bentuk spilasia (cacahan kering) dan produk lainnya dalam skala yang masih kecil dan sederhana.
50
Usaha produktif lainnya yang berbasis pertanian adalah penggemukan ternak sapi, kambing, domba, dan peternakan ayam serta perikanan darat. Usaha produktif lainnya yang tidak berbasis lahan dilakukan dengan PHBM, utamanya dengan bermodal hasil sharing seperti simpan-pinjam, usaha transportasi, home-industry, toko saprotan, dan lain-lain. Untuk pengembangan usaha produktif bagi masyarakat di sekitar desa hutan, Perum Perhutani telah memberikan bantuan dengan sistem pemberian pinjaman
lunak
yang
dikenal
dengan
istilah
Dana
PKBL (Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan). Selain memberikan pembinaan berupa pinjaman modal, bantuan kepada mitra-binaan diberikan pula dalam bentuk hibah yang meliputi pelatihan/ peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan para mitra-binaan, juga dalam bentuk pembiayaan kegiatan pameran dan promosi dagang. Kolaborasi dengan beberapa stakeholder seperti dinas/instansi terkait, LSM, Perguruan Tinggi, Pondok Pesantren, perwakilan masyarakat lokal dan lembaga-lembaga lainnya dilakukan untuk membangun kebersamaan dalamrangka mempercepat implementasi. 2.8. Akses Masyarakat terhadap Sumber-Sumber Ekonomi Menurut
Hernando
de
Soto,
kunci
keberhasilan
dalam
proses
pemberdayaan masyarakat adalah akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Ketika ekonomi Peru porak-poranda pada tahun 1993, de Soto mendesak pemerintah
Peru
untuk
mengubah
konsepsi
pemberdayaan ekonomi
masyarakat dengan membuka akses yang lebih besar pada kelompok ekonomi yang lemah. De Soto berhasil mempraktekkannya (Tempo, 27 Agustus 2006).
51
Krisis global yang terjadi tahun 1997 telah membuktikan, bahwa sektor usaha formal (konglomerasi) yang ketika itu menyumbangkan 80 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB), ternyata mati-suri, padahal jumlah mereka hanya 0.2 persen dari total pelaku ekonomi. Tetapi sebaliknya, aktivitas ekonomi skala mikro (sektor informal) relatif tetap berjalan. Ternyata, sektor informal merupakan katup penyelamat bagi kekuatan ekonomi Indonesia (Darusman, 2001). Menurut Sujiro Urata (JICA), pada
tahun 2000 sektor
informal mampu menyerap 99.6 persen tenaga kerja RI. Namun disayangkan, bahwa sektor ini kurang mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah, karena Pemerintah lebih kuat berpihak kepada sektor usaha besar. Kekurangan di sektor manajemen tradisional,
informal adalah : kegiatan masih dikelola dengan kurang
dukungan
aspek
legalitas, dan
tidak
menerapkan pembukuan yang rapi dan akurat. Padahal ekonomi rakyat tetap selamat meskipun krisis multi-dimensional merubuhkan sendi-sendi ekonomi moderen (Mubyarto, 2005). Realitas di atas bertolakbelakang dengan teori penyelamatan ekonomi negara yang ditawarkan oleh Hernando de Soto dan peraih Nobel asal India, Amartya Sen. Menurut keduanya, ekonomi negara akan kokoh apabila dibuka akses yang luas
terhadap sumber-sumber ekonomi nasional. Seperti halnya
Negara Berkembang lain, aset-aset tanah misalnya, belum secara optimal didayagunakan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Aset-aset tersebut masih menjadi ”aset tidur”. Menurut Winoto (Tempo, 27 Agustus 2006), tesis Hernando de Soto dan Amartya Sen masih sangat relevan dengan upaya pemberdayaan ekonomi
52
masyarakat di Indonesia. Asumsi dasar yang dikemukakan oleh kedua ekonom tersebut relatif sama dengan fakta yang ada di Indonesia. Fakta mengenai status pemanfaatan tanah yang ada di Indonesia, dari 80 juta hektar bidang tanah yang ada di Indonesia, baru 30 persen-nya yang memiliki status hak atas tanah. Menurut UUPA, hak menguasai tanah oleh negara dipegang oleh pemerintah pusat (bersifat sentralistis), tetapi setelah amandemen UUD 1945, berubah menjadi desentralistis (Bakri, 2007). Selanjutnya dikatakan, bahwa dari 30 persen yang ada haknya, baru 10 persen yang terpetakan. Karena itu 30 persen tanah yang terpetakan status haknya ditambah 70 persen yang memiliki status haknya merupakan peluang atau modal untuk pemberdayaan masyarakat, seperti yang dimaksud oleh Hernando de Soto dan Amartya Sen. Masalah mendasar dalam upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya petani dan pengusaha sektor informal, adalah penetapan hak-hak atas tanah. Apabila hal ini telah terjadi, maka upayaupaya untuk membangkitkan aset tidur untuk pemberdayaan ekonomi rakyat tentu telah lama dilakukan. Seiring dengan upaya pemenuhan hak-hak dasar berupa status hak atas tanah tersebut, maka peningkatan kapasitas masyarakat pun akan terjadi. Pemerintah telah menetapkan agenda Reforma Agraria yang akan mengatur
masalah
pendistribusian
tanah,
sekaligus
dibarengi
dengan
pemberdayaan masyarakat yang memiliki hak-hak atas tanah tersebut. Proses distribusi seperti ini tidak hanya dilakukan kepada para petani yang ada di perdesaan, tetapi juga pengusaha skala kecil dan menengah di perkotaan.
53
Reforma Agraria bukan sekedar redistribusi tanah, tetapi merupakan upaya menata kembali struktur agraria secara menyeluruh ke arah yang lebih memastikan terwujudnya keadaan agraria bagi petani atau pengusaha skala kecil. Program ini bertujuan memberdayakan petani dengan mewujudkan akses terhadap lapangan kerja, yang dijamin dengan akses terhadap modal dan pasar produksi (Sumardjono, 2006 dan Silalahi, 2006). Selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan meningkatkan produktivitas masyarakat melalui terbukanya peluang kerja dan peluang usaha.Program pembukaan peluang usaha masyarakat di bidang kehutanan (access-reform) sudah banyak dilakukan yang disebut sebagai bentuk kegiatan ”pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan”. Bentuk-bentuk kegiatan tersebut diantaranya adalah : a. Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), yaitu kegiatan pembinaan masyarakat desa hutan yang dilakukan oleh Pemegang HPH atau HPHTI sebagai kewajiban pembinaan sosial. b. Pemanfaatan Lahan melalui Tumpangsari, yaitu memberikan peluang usaha
kepada
masyarakat
(pesanggem)
untuk memanfaatkan lahan
diantara tanaman-pokok dengan menanam tanaman semusim yang bermanfaat bagi masyarakat. c. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perum Perhutani, yaitu suatu ”Sistem pengelolaan hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat Desa atau Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan dengan Pihak lain yang berkepentingan, dilandasi jiwa-berbagi,
54
sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional”. d. Hutan Kemasyarakatan (HKM), yaitu pengelolaan Hutan Produksi maupun
Hutan
Lindung
yang
sedang tidak dikonsesikan kepada
Pemegang HPH atau HTI. e. Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yaitu hutan tanaman oleh rakyat di dalam kawasan hutan (Hutan Produksi) sebagai bagian dari program revitalisasi sektor kehutanan. f. Hutan Desa, yaitu hutan di luar kawasan hutan yang dikelola secara komunal oleh masyarakat desa sebagai aset desa. g. Hutan Adat, yaitu hutan yang keberadaannya diakui sebagai hutan milik masyarakat adat. h. Hutan Rakyat, yaitu hutan yang dibangun di atas hutan tanah milik, bisa dikelola oleh kelompok (Koperasi) atau individu. Apabila
digambarkan
secara
skematik,
maka
bentuk-bentuk
”pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan” dalam konteks hak dan akses masyarakat
dalam
pengelolaan
hutan dapat
digambarkan sebagaimana yang dijelaskan pada Gambar 9. Revitalisasi sektor kehutanan perlu dipercepat untuk : (1) meningkatkan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, (2) mengurangi pengangguran dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan (pro-growth, pro-job, pro-poor). Kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) misalnya, ditempuh dengan menciptakan 3 (tiga) hal penting sebagai-berikut :
55
Perhutanan Sosial Akses Manfaat
Min.
PMDH Tumpang
Sari
PHBM Perhutani
Maks.
Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Kemasyarakatan Tanaman Desa Adat Rakyat Rakyat
Hutan
Masyarakat
Optimalisasi Interelasi Hutan dan Masyarakat
Kelestarian
dan
Kesejahteraan
Gambar 9. Skema Hak dan Akses Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat (Sumber : Departemen Kehutanan, 2006) a. Membuka akses legal, yaitu memberikan ijin (use-right) kepada masyarakat (perorangan maupun koperasi) untuk mengelola Hutan Tanaman Rakyat di dalam kawasan hutan, paling lama seratus tahun. b. Membuka akses ke lembaga keuangan/pembiayaan, yaitu terbentuknya lembaga pembiayaan berupa Badan Layanan Umum Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU-BP2H).
56
c. Membuka akses pasar, yaitu pengaturan harga berupa penetapan Dasar penjualan kayu Hutan Tanaman Rakyat dan kebijakan ekspor. 2.9. Kebijakan Fiskal untuk Mengurangi Kemiskinan Harga mengurangi kemiskinan dan pengangguran dapat dipandang sebagai salah satu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa secara berkeadilan. Untuk mencapai hal ini secara simultan, beberapa indikator pembangunan yang relevan, khususnya pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan jumlah penduduk miskin, perlu ditetapkan secara tepat (Bank Indonesia, 2006). Dalam kurun-waktu tahun 1967 hingga 2007, pertumbuhan Indonesia selalu positif, kecuali pada tahun 1998 adalah minus 13.20 persen. Sejak tahun 2000 pertumbuhan ekonomi belum mencapai tingkat kondisi yang normal, meskipun cenderung membaik. Fenomena paradoksal pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan pertanyaan :”Mengapa terjadi pertumbuhan ekonomi, tetapi kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi ?”. Jawaban pertanyaan tersebut adalah, bahwa masyarakat golongan bawah kurang mempunyai akses terhadap faktor produksi (tenaga kerja, modal, tanah, entrepreneurship). Dalam kegiatan ekonomi faktor produksi disinergikan untuk menciptakan nilai tambah (valueadded), yang agregasinya merupakan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari perekonomian yang berlangsung, terdapat 2 (dua) hal yang mungkin terjadi. Pertama, kesenjangan pendapatan yang semakin tinggi, dikarenakan sebagian kecil masyarakat menguasai faktor produksi dalam jumlah besar, sedangkan sisanya (yaitu penduduk miskin) tidak menguasai atau bahkan tidak memiliki samasekali faktor produksi tersebut, sehingga mereka tetap saja miskin. Kedua, seandainya penguasa faktor produksi tersebut adalah investor
57
asing, maka hal ini akan mengurangi ”kue” ekonomi domestik. Dari data BPS tahun 2005, PDB Indonesia sebesar Rp 273 triliun, tetapi sebesar Rp 85 triliun masih ”terbang” kembali ke negara asal investor (Bank Indonesia, 2006). Dari dua hal di atas, yang terjadi pada saat ini adalah kesenjangan struktural maupun spasial yang membentuk lingkaran-setan kemiskinan yang sulit diputus. Permasalahannya adalah, bahwa anggaran pemerintah sangat terbatas sehingga kail dan ikan secara memadai belum mampu disediakan oleh pemerintah. Namun, pada dasarnya yang lebih terbatas lagi adalah ketiadaan kebijakan pemerintah yang bernuansa pro-poor (Bank Indonesia, 2006). Upaya penanggulangan kemiskinan secara konseptual dapat dilakukan oleh 4 (empat) jalur strategis, yaitu : perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas, dan perlindungan sosial (Wihatnolo, 2007). Agar penduduk miskin (baca : anggota rumahtangga miskin) menjadi tidak miskin lagi, mereka memerlukan sesuatu yang dapat memberikan penghasilan atau sesuatu yang dapat meringankan beban konsumsinya. Bila tidak, penduduk miskin terpaksa mengeksploitasi sumberdaya alam, baik yang dalam penguasaannya maupun milik bersama (common-proverty, open access resources) yang mengakibatkan degradasi lingkungan (Suryana, 2003). Pemerintah sadar, bahwa penduduk miskin harus mendapat pemihakan. Karena itu disamping diberikan kail, kepada penduduk miskin juga mendapat bantuan ikan sebagai bekal memancing. Bantuan Langsung Tunai (BLT) diberikan dan raskin (beras untuk orang miskin) serta Bantuan Operasional Sekolah (BOS), disalurkan. Pemberdayaan usaha Mikro-Kecil-Menengah (UKMK) merupakan pemberdayaan bagi yang sudah mempunyai akses terhadap
58
faktor produksi. Sedangkan upaya yang penting adalah pemberian akses terhadap faktor produksi bagi penduduk miskin. Upaya inilah yang benar-benar merupakan the real pro-poor policy. Angka kemiskinan dan tingkat pengangguran akan sulit ditekan apabila tingkat pertumbuhan ekonomi masih relatif rendah. Upaya menekan pengangguran memerlukan kebijakan-kebijakan yang komprehensif. Kebijakan moneter yang diterapkan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999, yang hanya memfokuskan pada pengendalian inflasi dan nilai-tukar rupiah, sulit diharapkan untuk secara langsung dapat menekan pengangguran. Dengan kata lain, stimulus ekonomi melalui kebijakan moneter sulit dilakukan. Kebijakan fiskal, dengan demikian akan lebih efektif untuk merangsang perekonomian. Tetapi harus diingat, bahwa ekspansi fiskal untuk merangsang perekonomian, harus dilakukan secara hati-hati, karena defisit anggaran yang bersifat jangka-panjang akan mengancam fiscal-sustainability. 2.10. Konsep Kelembagaan dan Kemitraan Pengertian umum kelembagaan adalah mencakup ideologi, hukum adatistiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mempunyai peran yang sangat penting dalam memecahkan masalah-masalah nyata dalam pembangunan. Kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur interdependensi antar manusia terhadap sesuatu hal yang dicirikan adanya
property-right
(hak-kepemilikan),
aturan
representatif
(rule
of
representation) atau batas yurisdiksi (jurisdiction-boundary). Lebih lanjut kelembagaan dapat menjadi peubah eksogen dalam proses pembangunan, dengan demikian kelembagaan menyebabkan perubahan. Di pihak lain
59
kelembagaan dapat pula menjadi peubah endogen, sehingga kelembagaan merupakan akibat dari perubahan pada sistem lain (Pakpahan, 1989). Menurut North (1991) dalam Kartodihardjo (2006), institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Kelembagaan menurut Kartodihardjo (2006) mencakup organisasi (players of the game), hak-hak atas sumberdaya alam, peraturan perundang-undangan (rules of the game), struktur pasar, pengetahuan dan informasi, serta prosesproses politik di dalam pemerintahan. Keputusan dan tindakan sangat ditentukan oleh kelembagaan. Kerusakan sumberdaya alam kebanyakan disebabkan oleh perilaku individu maupun organisasi melalui keputusan-keputusan dan tindakannya tersebut. Menurut Schmid (1987) terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu kelembagaan sebagai aturan-main dan kelembagaan sebagai organisasi. Kelembagaan sebagai aturan-main yang mengatur hubungan antara individu yang didefinisikan haknya dan tanggungjawabnya. Sedangkan kelembagaan sebagai organisasi merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Kelembagaan dibangun oleh 3 (tiga) komponen utama, yaitu : (1) karakteristik sumberdaya, (2) struktur hak-hak (property-right), dan (3) performa. Berdasarkan asumsi interdependensi antara pelaku-pelaku ekonomi, maka proses determinasi performa merupakan resultan dari interaksi karakteristik sumberdaya dengan struktur hak-hak. Karakteristik sumberdaya
60
akan menentukan sifat interdependensi antar pelaku ekonomi, yaitu menentukan arah dan derajat efek yang timbul dari tindakan satu pihak kepada pihak lain. Sedangkan struktur hak-hak akan menentukan distribusi biaya manfaat. Pola distribusi hak dan kewajiban ditanggapi oleh setiap individu menurut perilakunya,
sehingga
akan
menentukan
performa.
Struktur
hak-hak
dikendalikan oleh pilihan publik sebagai suatu bentuk implementasi kekuasaan melalui mekanisme transaksi (Schmid, 1987). Masing-masing institusi memiliki karakteristik, yakni : (1) memiliki nilai dan tujuan yang bersumber dari para anggota untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat, (2) bersifat permanen dalam hal pola-pola perilaku yang ditetapkan institusi, (3) perubahan dramatis dapat mengakibatkan perubahan pada institusi lain, (4) bersifat dependen, disusun dan diorganisasi secara sempurna di sekitar rangkaian pola-pola norma, nilai dan perilaku yang diharapkan, dan (5) ide-ide institusi pada umumnya diterima oleh mayoritas anggota masyarakat, walaupun mereka belum tentu berpartisipasi di dalam institusi tersebut (Cohen, 1992). Konsep property-right mengandung makna sosial, yaitu bahwasanya hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Karena itu pernyataan hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah : (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain, dan (2) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuatan kontrol terhadap sumberdaya.
61
Selanjutnya menyangkut persoalan tenurial-security dan kepastian hukum, Ellsworth (2000) dalam Afiff (2005) menyatakan bahwa, terdapat 4 (empat) aliran yang diakui, yaitu : 1. Aliran Hak-hak Properti (Property Right) Aliran ini merupakan aliran yang tertua, yang mengasumsikan bahwa hak-hak properti (kepemilikan properti seperti individu, privat) secara bebas dapat diperdagangkan dan kepemilikan individu merupakan jalan yang terbaik untuk mendorong proses produksi yang lebih efisien. Aliran ini diilhami paham Ekonomi Pasar (Free Market Economy) yang disponsori oleh Bank Dunia. 2. Aliran Ketimpangan Struktur Agraria (Agrarian Structure Traditions) Aliran ini mengasumsikan, bahwa sertifikasi lahan individual tidak secara otomatis akan meningkatkan efisiensi, sehingga tidak selalu menguntungkan petani. Bahkan pada umumnya pemilik lahan yang sangat kaya (tuan-tanah) seringkali dinilai tidak efisien, sehingga struktur agraria yang adil menjadi sangat penting (wujudnya adalah : UU Nomor 5 tahun 1960 yang antara-lain mengatur Land-reform). Aliran ini juga belum memuaskan, karena ide Reforma Agraria
(Land-reform)
masih
terkait
dengan
Neoclassical
Economics.
Disamping itu, sertifikasi lahan di banyak tempat justru memfasilitasi transfer aset dari penduduk miskin ke sejumlah kelompok berada (kaya), seperti : perusahaan, pemilik tanah absante, pemodal besar dan pemilik tanah luas. 3. Aliran Advokasi Hak Properti Masyarakat Adat (Common Property Advocates) Aliran ini mempersoalkan privatisasi dari tanah-tanah atau aset-aset produksi milik komunal. Menurut pandangan ini, sangat penting dibedakan
62
sumberdaya yang dikelola tidak terurus secara “open-access” dengan pengelolaan properti komunal atau yang sering dikenal di Indonesia dengan istilah tanah ulayat. Dalam pengelolaan sumberdaya secara “open-access”, maka berarti tidak ada pemilikan dan tidak ada yang mengatur pengelolaan. Hal ini berbeda dengan tanah/hutan milik bersama (tanah ulayat). Aliran ini berpandangan, bahwa tanah-tanah ulayat penting untuk tidak dilakukan privatisasi sebab tanah-tanah tersebut adalah katup penyelamat untuk kelompok masyarakat miskin, khususnya pada masa-masa darurat. Dalam konteks Indonesia, aliran ini sangat kuat dianut oleh mereka yang memperjuangkan hakhak masyarakat adat. 4. Aliran Institusionalis (Instituzionalist) Aliran ini melihat lebih mendalam bagaimana suatu masyarakat memutuskan bahwa apakah sumberdaya itu kepemilikannya secara komunal (common), properti-negara, privat, atau open-access, atau bahkan kombinasi diantara 4 (empat) tipe tersebut. Aliran ini secara eksplisit menyatakan, bahwa tidak ada satu pun diantara rezim-rezim properti itu yang benar-benar ideal. Rezim-rezim properti selalu dalam kondisi berubah, sesuai dengan hasil negosiasi dan penyesuaian-penyesuaian yang ada dalam masyarakat. Aliran ini berpandangan, bahwa rezim properti adalah merupakan relasi sosial dari 3 (tiga) pihak, yaitu : seseorang yang memiliki berbagai bentuk hak, orang-orang yang dilarang untuk melanggar hak-hak tersebut, dan pihak ketiga (pemerintah atau pengadilan) yang menjamin hak-hak tersebut. Menurut aliran ini, isu yang lebih besar dari sekedar sertifikasi tanah adalah : “Sejauhmanakah kemampuan untuk mempertahankan suatu klaim atas properti (terlepas dari apakah sudah
63
disertifikasi atau belum) ketika berhadapan dengan individu/kelompok yang lebih kuat ?”. Aliran ini belum terlalu dianut oleh orang Indonesia. Selanjutnya Model Impak Institusional yang dikembangkan oleh Alland Schmid dalam Tatuh (1992) menjelaskan proses determinasi performa sebagai resultan dari interaksi antara karakteristik sumberdaya dengan struktur hak-hak. Untuk sumberdaya dengan karakteristik yang sama akan menghasilkan performa yang berbeda jika struktur hak-hak berbeda. Demikian juga halnya, untuk struktur hak-hak yang sama akan menghasilkan performa yang berbedabeda jika sumberdaya memiliki karakteristik yang berbeda. Mengenai konsep kemitraan, dinyatakan bahwa secara harfiah, kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan (Hafsah, 2000). Campbell (1999) menyatakan, bahwa kemitraan harus didahului dengan duduk bersama dan saling bicara antar pihak yang bermitra, saling membuka-hati dan menciptakan rasa saling percaya, serta saling mengerti dan menghormati satu sama lain. Menurut Undang-undang Usaha Kecil Nomor 9 Tahun 1995 pasal 1 ayat 8, menyatakan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Sedangkan menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 940/Kpts/OT.210/10/97, yang dimaksud dengan kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.
64
Konsep kemitraan diawali dari kesadaran bahwa pengelolaan hutan tidak akan efektif dan efisien jika dikelola hanya oleh pemerintah sendiri. Prinsip atau dasar kemitraan yang perlu dibangun adalah adanya saling percaya, kesamaan kepentingan dan tujuan, kesamaan pandangan tentang cara-cara pencapaian tujuan tersebut, pembagian tanggungjawab yang jelas, pembagian hak yang jelas, pembagian ongkos dan keuntungan yang adil berdasarkan kesepakatan bersama, dan lain-lain (Iswantoro, 1999). Menurut Direktorat Pengembangan Usaha Departemen Pertanian (2002), pola-pola kemitraan yang sering dilakukan diantaranya meliputi : 1. Inti-Plasma Subkontrak Kerjasama Inti-Plasma merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Dalam hal ini, perusahaan mitra mempunyai kewajiban : a.
Berperan sebagai perusahaan inti
b.
Menampung hasil produksi
c.
Membeli hasil produksi
d.
Memberi bimbingan teknis dan manajemen kepada kelompok mitra
e.
Memberikan pelayanan kepada kelompok mitra baik berupa permodalan, kredit, sarana produksi mapun teknologi
f.
Mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan perusahaan Sedangkan perusahaan kelompok mitra mempunyai kewajiban :
a. Berperan sebagai plasma b. Mengelola seluruh usaha budidaya sampai dengan panen
65
c. Menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra d. Memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati 2. Subkontrak Subkontrak merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Kelompok mitra dalam hal ini memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Tugas perusahaan mitra dalam pola subkontrak adalah : a. Membeli dan menampung komponen produksi perusahaan yang dihasilkan oleh kelompok mitra b. Menyediakan bahan baku/modal kerja c. Melakukan kontrol kualitas produksi Sementara tugas kelompok mitra adalah : a. Memproduksi kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra sebagai komponen produksinya b. Menyediakan tenaga kerja c. Membuat kontrak bersama yang mencantumkan antara-lain volume, harga, dan waktu Pola kemitraan subkontrak ini sangat kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Namun sisi kelemahannya adalah bahwa hubungan yang terjalin semakin lama cenderung semakin mengisolasi produsen kecil dan mengarah pada monopoli dan monopsoni.
66
3. Dagang Umum Salah satu pola kemitraan dimana perusahaan mitra berfungsi memasarkan hasil produksi kelompok mitranya atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Keuntungan pola ini adalah pihak kelompok mitra tidak perlu bersusah-payah dalam memasarkan hasil produksinya sampai ke konsumen. Sementara kelemahannya terletak pada harga dan volume produk yang sering ditentukan secara sepihak oleh perusahaan mitra sehingga merugikan kelompok mitra. 4. Keagenan Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan dimana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra. Sementara perusahaan mitra bertanggungjawab atas mutu dan volume produk. Keuntungan pola ini bagi kelompok mitra bersumber dari komisi yang diberikan perusahaan mitra sesuai dengan kesepakatan. Namun disisi lain pola ini memiliki kelemahan karena kelompok mitra dapat menetapkan harga produk secara sepihak. Selain itu kelompok mitra tidak dapat memenuhi target dikarenakan pemasaran produknya terbatas pada beberapa mitra usaha saja. Sementara tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan menurut Hafsah (2000) dalam Ernawati (2008), adalah : a. Meningkatkan pendapatan usaha kecil dari masyarakat b. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan c. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi perdesaan, wilayah dan nasional e. Memperluas kesempatan kerja
67
f. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional Menurut Ridwan (1999), kemitraan antara pemerintah (Perum Perhutani) dengan masyarakat (LMDH) dalam bentuk Cooperative Forest Management (CFM) seperti pola PHBM dapat diterapkan apabila memenuhi kriteria : a.
Adanya saling percaya antar perusahaan dengan kelompok masyarakat.
b.
Kegiatan yang dipilih sesuai dengan upaya menyelesaikan masalah sosial ekonomi masyarakat.
c.
Ada masukan dan keluaran produksi yang seimbang antara yang dimiliki oleh masyarakat dan perusahaan.
d.
Status lahan-hutannya adalah milik negara atau publik.
e.
Manajemen pengusahaan dan pengelolaan dipegang bersama masyarakat dan pengusaha.
f.
Perencanaan
pengusahaan
dan
pendayagunaan
sumberdaya
hutan
ditetapkan, disusun, dan dilaksanakan oleh masyarakat dan perusahaan. g.
Ada pembagian hasil usaha yang jelas ditetapkan bersama-sama dalam rapat antara masyarakat dan perusahaan.
h.
Pengambilan keputusan dilakukan atas persetujuan kelompok masyarakat dan perusahaan.
i.
Memiliki kelembagaan sosial dan ekonomi untuk kelanjutan CFM.
j.
Pola dan bentuk usaha dijalankan sangat bergantung kepada keadaan wilayah masing-masing.
2.11. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Mangkuprawira (1984) dalam penelitiannya mengenai “Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Keluarga dalam Kegiatan Ekonomi Rumahtangga
68
(Studi Kasus di Dua Tipe Desa di Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat)” antaralain menyimpulkan, bahwa (1) secara proporsional lebih dari 55 % rata-rata pengeluaran rumahtangga dialokasikan untuk makanan, (2) preferensi konsumsi untuk rumahtangga yang kepala-keluarganya berpendidikan semakin tinggi cenderung lebih berorientasi pada jenis makanan protein dibandingkan pola makanan karbohidrat, (3) tidak kurang dari 35 % jumlah anggota rumahtangga mencari nafkah lebih dari satu sumber (diduga karena dorongan untuk menambah pendapatan dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga), (4) merupakan “budaya” bahwa pekerjaan mencari nafkah banyak dialokasikan kepada pihak laki-laki sedangkan pekerjaan rumahtangga lebih banyak didistribusikan kepada wanita, serta (5) alokasi waktu suami dan istri dalam mencari nafkah dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis, ekonomi, dan ekologi. Penelitian Ratnawati (1989) mengenai “Evaluasi Proyek Perhutanan Sosial dan Analisis Optimalisasi Usahatani Tumpangsari Tanaman Pangan di RPH Hanjuang Tengah, KPH Sukabumi” antara-lain menghasilkan suatu kesimpulan, bahwa masyarakat mengalami keterbatasan lahan garapan sehingga dengan perbaikan pola tanam akan dapat meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan. Penelitian Krisnamurthi (1991) mengenai ”Pola Kegiatan Pertanian, Curahan Tenaga Kerja, dan Pendapatan Petani pada Wilayah Proyek Perhutanan Sosial di Jawa Tengah” menghasilkan kesimpulan, bahwa : (1) pola pertanian sekitar hutan adalah pola pertanian lahan kering yang sangat bergantung pada lahan (land base agriculture), (2) rata-rata penguasaan
69
sumberdaya lahan tidak terlalu sempit (tetapi distribusi lahan tidak merata), (3) hasil produksi sudah memenuhi kebutuhan pasar, (4) modal dimiliki oleh petani sendiri dan terdapat fasilitas kredit yang terbatas, dan (5) faktor yang berpengaruh positif terhadap pendapatan adalah curahan tenaga kerja, luas lahan dan luas efektif lahan, modal, umur petani dan tingkat pendidikan. Penelitian Haryati (2002) mengenai ”Kaitan Karakteristik Rumahtangga dan Peluang Perambahan Hutan di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu: Suatu Pendekatan Cluster” antara-lain menyimpulkan, bahwa : (1) rumahtangga di sekitar
Taman
Nasional
Lore
Lindu
berpendidikan
rendah,
(2)
bermatapencaharian beragam, tetapi dominan sebagai petani yang mengalami kelangkaan lahan, (3) umumnya cenderung memiliki lahan ladang dan tegalan, (4) terjadi marjinalisasi lahan oleh masyarakat, serta (5) pola penggunaan lahan pada umumnya adalah kebun Kakao. Sementara itu, Soehardono (2002) dalam penelitiannya mengenai ”Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian” antara-lain menyimpulkan, bahwa : (1) faktor determinan ketahanan pangan rumah-tangga petani adalah produksi, pendapatan, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, dan harga padi, (2) peningkatan produksi dan pendapatan sebagai dasar strategi peningkatan akses petani terhadap pangan terkendala karena tidak responsifnya perubahan luas sawahgarapan, (3) ketersediaan pangan dipengaruhi oleh harga padi, pendapatan ”dispossible”, pengeluaran pendidikan, dan lain-lain, serta (4) pengeluaran pangan sangat bergantung pada ukuran rumahtangga.
70
Penelitian Andriati (2003) mengenai ”Perilaku Rumahtangga Padi dalam Kegiatan Ekonomi di Jawa Barat” (8 desa) menghasilkan kesimpulan, antara lain : (1) rumahtangga petani di Jawa Barat terdistribusi pada usaha tani padi, buruh tani dan usaha non-pertanian, (2) curahan tenaga kerja pada usaha tani padi lebih tinggi daripada usaha pada agrosistem dataran rendah, (3) luas sawah garapan dipengaruhi oleh proporsi pendapatan bersih usaha-tani padi, dan (4) konsumsi pangan dan non-pangan dipengaruhi oleh pendapatan yang siap dibelanjakan. Selanjutnya Anwar (2005) yang meneliti mengenai ”Analisis Respons dan Produksi Pangan Rumah-Tangga Petani : Simulasi Perubahan Kebijakan Harga” antara-lain menghasilkan kesimpulan, bahwa : (1) produksi padi irigasi lebih tinggi daripada persawahan pasang-surut, (2) rumahtangga petani terdesak untuk segera mendapat cash-income, (3) pengeluaran rumahtangga didominasi oleh pengeluaran pangan, (4) sumber utama pertumbuhan produksi padi adalah luas lahan garapan petani, (5) penggunaan input produksi (tenaga kerja, pupuk, benih) ditentukan oleh luas garapan, dan (6) konsumsi padi dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang siap dibelanjakan. Kusnadi (2005) dalam penelitiannya mengenai “Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna di Beberapa Propinsi di Indonesia” mengintegrasikan harga bayangan input atau faktor produksi maupun harga output ke dalam model ekonomi rumahtangga petani dalam kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna responsif terhadap perubahan harga output usahatani, sehingga
71
perbaikan
harga
output
secara
efektif
dapat
menggerakkan
ekonomi
rumahtangga petani. Sebaliknya, rumahtangga petani tidak responsif terhadap perubahan harga pupuk dan upah tenaga kerja di luar usahatani. Dengan demikian, pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, disinsentif ekonomi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga input tidak terlalu banyak merugikan rumahtangga petani. Penelitian Asmarantaka (2007) mengenai ”Analisa Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani di Tiga Desa Pangan dan Perkebunan di Propinsi Lampung” menyimpulkan bahwa : (1) sumber pendapatan rumahtangga petani berasal dari usaha pertanian dan non-pertanian, (2) pengeluaran tertinggi adalah pada desa perkebunan, (3) masih terjadi pengangguran yang terselubung di desa, dan (4) di desa padi dan kebun sumber pengeluaran berasal dari pendapatan pertanian, sedangkan di desa ubi-kayu sumber pengeluaran berasal dari kegiatan non-pertanian. Katharina (2007) dalam penelitiannya mengenai “Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahtani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan Bandung”, antara-lain menyimpulkan bahwa (1) faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani sayuran untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi adalah kecuraman lereng, status lahan, dan jumlah anggota dewasa keluarga, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani sayuran adalah pupuk N, pestisida, tenaga-kerja, luas lahan, dan adopsi konservasi, serta (3) analisis usahatani kentang yang menerapkan sistem pertanian konservasi dalam satu musim tanam memberikan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan usahatani kentang yang tidak menerapkan teknik konservasi tanah,
72
tetapi sebaliknya untuk jangka-panjang (20 tahun) memberikan keuntungan yang lebih tinggi daripada usahatani yang tidak mengadopsi teknik konservasi tanah. Priyanti (2007) dalam penelitiannya mengenai “Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman-Ternak terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani” antara-lain menyimpulkan, bahwa (1) penggunaan tenaga-kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya sendiri, (2) alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga, kontribuasi pendapatan dan alokasi pengeluaran rumahtangga petani sistem integrasi tanaman-ternak relatif lebih besar dibandingkan petani non-integrasi, (3) faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan petani mengadopsi sistem tanaman-ternak adalah penggunaan kompos, alokasi penggunaan tenaga-kerja keluarga untuk usaha sapi, pendapatan usaha sapi, serta frekuensi keikutsertaan anggota rumahtangga petani dalam kegiatan organisasi tani, (4) keputusan produksi padi dan sapi dipengaruhi oleh penggunaan tenaga kerja keluarga dan pendapatan usahatani, serta (5) alokasi pengeluaran rumahtangga petani untuk konsumsi dan investasi dipengaruhi utamanya oleh pendapatan total rumahtangga petani. Selanjutnya Elly (2008) dalam penelitiannya mengenai “Dampak Biaya Transaksi terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak SapiTanaman di Sulawesi Utara” antara-lain menyimpulkan, bahwa (1) pangsa pasar perantara penjualan sapi adalah komponen terbesar dari struktur biaya transaksi usaha ternak sapi di Sulawesi Utara, (2) biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam penggunaan input, produksi dan pengeluaran, serta (3) kombinasi biaya transaksi (biaya perantara penjualan sapi, biaya
73
transpor penjualan jagung/kopra) dan harga output memberikan dampak positif terbaik terhadap pendapatan dan kesejahteraan (pengeluaran) rumahtangga petani usaha ternak sapi-kelapa di Bolang Mongondow. Singh dan Janakiran dalam Singh et.al. (1986) menggunakan data rumahtangga petani dari Korea dan Nigeria untuk menggambarkan model rumahtangga petani pada beberapa komoditas pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Korea, produksi yang dihasilkan oleh usahatani keluarga sangat terintegrasi dengan aspek pasar, meskipun tidak seluruhnya bersifat komersial. Sebaliknya di Nigeria, petani di bagian utara lebih terisolasi dari aspek pasar, sehingga hasil-hasil pertaniannya lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini juga terkait dengan kondisi geografis yang semi-arid, sehingga faktor ketidakpastian output relatif tinggi karena faktor iklim/cuaca. Muller dalam Caillavet et.al. (1994) menyatakan, bahwa 95 persen masyarakat Rwanda sangat bergantung pada sektor pertanian, dimana pendapatan masyarakat sebagian besar berasal dari hasil produk-produk pertanian. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa faktor produksi yang utama adalah tenaga-kerja dan tanah. Penelitian Hunter (1997) di Lesotho tentang “Small Ruminants in the Household Economy of Lesotho : Towards a Dynamic Functional Perspective” menyimpulkan bahwa, (1) di negara Lesotho dengan jumlah penduduk tunalahan (landlessness) yang semakin meningkat, kepemilikan ternak kecil mempengaruhi distribusi pendapatan dari para warga pendatang, (2)
pada
awalnya ternak kecil (domba, kambing) hanya sebagai benda ritual yang
74
digunakan untuk upacara-upacara adat, tetapi sekarang justru berperan sebagai komoditas ekonomi perdesaan yang sangat vital bagi peningkatan pendapatan rumahtangga. Penelitian Petty dan kawan-kawan (2005) di Ethiopia mengenai “ Coffee and Household Poverty : A Study of Coffee and Household Economy in Two Districts of Ethiopia” antara-lain menyimpulkan bahwa, (1) penurunan harga kopi
sangat
berpengaruh
pada
pengurangan
nilai
disposable
income
rumahtangga petani, (2) penurunan satu persen harga kopi (dengan menggunakan harga kopi tahun 2003 sebagai benchmark) berdampak pada penurunan disposable income sebesar 1.5 % di distrik Jimma I dan 0.7 % di distrik Jimma II.
75
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Data Bank Dunia menunjukkan, bahwa 49 persen penduduk Indonesia (108.78 juta orang) adalah keluarga miskin atau potensial menjadi miskin dengan penghasilan sekitar US $ 2 per hari (Kompas edisi 8 Desember 2006). Mengutip buku Hernando de Soto (The Mystery of Capital), salah satu kegagalan fundamental yang terjadi di negara berkembang dalam mengentaskan kemiskinan,
termasuk
yang
terjadi
di
Indonesia,
adalah
kegagalan
melaksanakan hukum kepemilikan tanah dan properti. Rekomendasi de Soto untuk mengatasi kemiskinan adalah membuka akses sebesar-besarnya terhadap modal bagi mereka yang selama ini bergerak di sektor informal. Menurut de Soto, mayoritas penduduk di Negara Dunia Ketiga tak mampu mengentaskan dirinya dari kemiskinan kendati telah bekerjakeras, terutama karena terputus dari jaringan pasar moderen. Masih menurut de Soto, masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, umumnya memiliki modal yang sangat potensial, yaitu aset berupa tanah. Aset inilah yang belum didayagunakan secara optimal untuk pemberdayaan ekonomi rakyatnya. Aset-aset ini adalah lahan tidur yang tidak dimanfaatkan secara tepat. Oleh karena itu tidak tertatanya aset tanah dan properti di Indonesia merupakan masalah serius yang harus segera ditangani. Lahan hutan-lindung pada umumnya juga kurang tertata dan belum optimal dalam pengelolaan maupun pemanfaatannya, sehingga merupakan aset yang potensial untuk dikembangkan. Bahkan pada banyak kasus, kawasan hutan-
76
lindung tidak memiliki institusi yang kuat untuk mengelolanya, sehingga terjadi penjarahan yang intensif. Fokus masalah penelitian ini ditujukan di Pulau Jawa, mengingat bahwa Pulau Jawa merupakan konsentrasi penduduk sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam khususnya hutan, sangat kuat. Jumlah penduduk Pulau Jawa 116 juta jiwa atau kurang-lebih 60 persen dari total penduduk Indonesia yang menghuni sebuah pulau yang luasnya hanya lebih kurang 6 persen luas daratan Indonesia, sehingga pengelolaan hutan di Pulau Jawa menghadapi persoalan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang sangat kompleks. Kondisi penguasaan lahan di Pulau Jawa sudah sangat melenceng dari kaidah-kaidah teknik konservasi lahan. Banyak gunung, jurang, bantaran sungai ataupun sempadan pantai yang seharusnya mempunyai fungsi lindung (perlindungan proses ekologis penyangga sistem kehidupan), dikuasai oleh masyarakat baik secara sah maupun tidak sah. Tetapi pada lain sisi, terdapat pula kawasan hutan produksi yang cukup landai bahkan relatif datar, yang seharusnya cocok untuk budidaya pertanian, tetap dipertahankan menjadi kawasan hutan (Soedarsono, 2007). Dapat dikatakan bahwa seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Jawa dewasa ini dalam keadaan rusak. Keberhasilan Pemerintah RI dalam program reboisasi dan penghijauan dalam rangka merehabilitasi DAS, sejak Pelita III menjadi berantakan dalam dasawarsa terakhir ini. Lahan masyarakat tandus yang sempat ditingkatkan daya-dukungnya menjadi rusak lagi, baik yang bersifat civil-teknis maupun vegetatif (Soedarsono, 2007).
77
Terjadi fluktuasi debit air yang sangat tajam, dimana banjir selalu terjadi di musim penghujan dan kekeringan selalu menghadang di musim kemarau. Banyak pakar yang mengatakan, bahwa di Pulau Jawa telah terjadi defisit air dan akan terjadi kekeringan dahsyat pada tahun 2015. Hingga saat ini penutupan hutan Pulau Jawa hanya meliputi 23 persen luas daratan Pulau Jawa. Meskipun kurang dari 30 persen, tetapi penutupan hutan sebesar 23 persen luas daratan itu tetap menimbulkan kecemburuan sektor lain. Sektor kehutanan dipandang kecil kontribusinya terhadap PDB. Semua waduk di Pulau Jawa mengalami krisis air yang luar biasa (Wawa, 2007). Waduk Jatiluhur pada tanggal 19 Pebruari 2006, ketinggian
airnya
hanya mencapai 83 cm, kurang dari ketinggian normal 92 cm. Volume air Jatiluhur hanya 309 juta meter kubik, padahal kebutuhan minimal sebanyak 635 juta meter kubik. Sebagian besar hutan di hulu sungai mengalami degradasi, sehingga kondisi ini harus diselamatkan. Pergerakan angka kemiskinan di Indonesia membuat keprihatinan semua pihak. Pada bulan Maret 2006, berdasarkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas), BPS mengumumkan angka kemiskinan nasional sebesar 39,05 juta orang (kurang lebih 16 persen populasi penduduk nasional) dan bulan Maret 2007, angka kemiskinan nasional sebesar 37,17 juta orang (15,58 persen), kemudian pada bulan Maret 2008 angka kemiskinan nasional sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2008, sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan (BPS, 2008) dan lebih ke
78
dalam lagi, kemiskinan ini dialami oleh masyarakat desa sekitar hutan. Ini merupakan fakta yang harus disadari oleh seluruh komponen bangsa. Menteri Negara Urusan Daerah Tertinggal saat membuka Pekan Raya Hutan dan Masyarakat di Kampus UGM bulan September 2006, mengatakan bahwa ”Desa miskin di Indonesia didominasi oleh wilayah yang masuk dalam dan di sekitar kawasan hutan” (Agro Indonesia edisi 10-16 Oktober 2006). Kemiskinan terjadi antara-lain karena sempitnya kepemilikan lahan yang dikelola petani/masyarakat. Tekanan terhadap kondisi hutan di Pulau Jawa disebabkan berbagai penyebab, diantaranya adalah : penjarahan, pencurian kayu, konversi hutan, kesempatan kerja yang terbatas, pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang lapar lahan. Kondisi seperti ini terjadi pula di kawasan hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Lokasi yang menjadi fokus penelitian (kawasan Perum Perhutani KPH Bandung Selatan) didominasi oleh kawasan hutan lindung yang memiliki tingkat kesuburan lahan yang relatif tinggi. Kondisi tersebut mendorong minat masyarakat dan pemilik modal untuk melakukan usaha pertanian yang cepat menghasilkan output dengan nilai ekonomis tinggi, diantaranya yaitu tanaman sayuran seperti kentang, wortel, kol, dan lain-lain. Kebiasaan masyarakat desa sekitar hutan di Pangalengan melakukan budidaya komoditas tanaman sayuran ini sudah berjalan berpuluh-tahun. Tanpa disadari bahwa budaya ini memberi dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan di sekitarnya (KPH Bandung Selatan, 2007), antara-lain : gagalnya
79
tanaman reboisasi/rehabilitasi hutan, timbulnya erosi dan aliran air permukaan yang tinggi, pendangkalan danau, pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dan obat-batan kimia yang tidak ramah lingkungan, serta timbulnya potensi konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan (Perum Perhutani). potensi konflik tersebut telah lama ada dan menjadi bagian dari pengelolaan hutan (Sumarjani, 2007). Memahami adanya persoalan tersebut di atas, maka dilakukan inisiatif bersama melalui strategi kolaboratif dan multi-pihak dengan mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang didukung oleh komitmen dari Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang mendorong percepatan penurunan perambah hutan diikuti dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat di luar kawasan hutan. Meskipun berhasil mengurangi perambahan hutan, namun upaya PHBM belum sepenuhnya berhasil mengentaskan kemiskinan masyarakat. Dari uraian di atas, maka dapat digambarkan bahwa telah terjadi “kompetisi manfaat lahan” hutan antara Perum Perhutani sebagai pemegang otoritas pengelola hutan lindung dengan masyarakat penggarap yang memanfaatkan lahan hutan lindung tersebut untuk menopang pendapatannya, sehingga perlu dicari suatu solusi yang tepat agar potensi konflik itu tidak semakin senjang dan merugikan kedua belah pihak. Karena itu fokus penelitian ini adalah petani sekitar hutan, dengan pertanyaan kunci (research-question) yang harus dijawab adalah : apakah pola pemanfaatan lahan melalui program PHBM tersebut telah berhasil membantu mengatasi persoalan kemiskinan masyarakat sekitar hutan (rumahtangga petani penggarap) yang pada umumnya
80
lapar lahan dan memiliki karakteristik sebagai petani gurem yang miskin, sehingga mampu mengurangi kebergantungan mereka terhadap faktor lahan kawasan hutan sebagai tumpuan pendapatannya yang utama ? Selanjutnya masih dari perspektif petani perlu dianalisis secara lebih mendalam pertanyaanpertanyaan kunci berikut : 1. Sejauhmana rumahtangga petani peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) telah menerapkan program PHBM dan merasakan manfaat positif bagi peningkatan kesejahteraannya, sehingga diharapkan akan dapat mengurangi kebergantungan petani pada faktor lahan, mengurangi tekanan terhadap kelestarian hutan, serta membantu mengatasi masalah kemiskinan masyarakat sekitar hutan. 2. Secara kuantitatif faktor-faktor apakah yang diduga berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM dalam pengambilan keputusan menyangkut aspek alokasi waktu tenaga kerja, produksi, pendapatan dan pengeluaran. 3. Sejauhmana dampak perubahan faktor-faktor eksternal maupun internal mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga peserta PHBM. 4. Sejauhmana aspek kelembagaan di tingkat petani dalam rangka kerjasama kemitraan antara masyarakat dengan Perum Perhutani melalui program PHBM telah dibangun dengan baik, sehingga hal tersebut dapat menunjang sustainabilitas program PHBM secara jangka-panjang. Secara skematik, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagaimana
diagram
pada
Gambar 10
dan 11. Diagram
tersebut menggambarkan bahwa telah terjadi kompetisi dalam manfaat lahan
81
hutan-lindung antara masyarakat petani penggarap dengan perusahaan (Perum Perhutani) akibat perbedaan kepentingan, yaitu : di satu sisi petani berkepentingan terhadap lahan untuk aktivitas usahatani, sementara pada sisi yang lain Perhutani berkepentingan untuk mengelola kawasan hutan bagi perlindungan tata-air dan sistem penyangga-kehidupan, termasuk pengamanan proyek-proyek penting pemerintah.
PETANI: Membutuhkan lahan hutan untuk usahatani lahan kering
PERHUTANI :
Kompetisi Pemanfaatan lahan Hutan Lindung antara : PETANI vs PERHUTANI
HL untuk perlindungan tata air dan konservasi, serta penyangga proyekproyek vital
Pemanfaatan lahan bersama melalui sistem AGROFORESTRY
Kerjasama Kemitraan : Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang saling menguntungkan
Rumahtangga Petani peserta PHBM/anggota LMDH
Stakeholders lain
Perum Perhutani
Penelitian Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM (3 fokus) Analisis karakteristik ekonomi rumahtangga peserta PHBM
Analisis perilaku ekonomi rumahtangga petani PHBM
Analisis aspek kelembagaan kemitraan PHBM
Hutan lestari, masyarakat sejahtera Gambar 10. Kerangka Pemikiran Penelitian Ekonomi Rumahtangga Peserta Program PHBM
82
Agar tidak terjadi konflik kepentingan yang berkepanjangan, maka keduabelah pihak menempuh resolusi konflik melalui pemanfaatan lahan secara bersama dengan sistem agroforestry yang dikemas kedalam program kerjasama kemitraan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang melibatkan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang mewakili kepentingan petani penggarap lahan, Perum Perhutani yang mewakili kepentingan negara, serta pihak-pihak lain yang terkait (stakeholders) dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan (win-win solution). Penelitian ini difokuskan pada analisis rumahtangga petani hutan (petani penggarap) peserta PHBM, menyangkut karakteristik rumahtangga petani dan pola usahatani yang dikembangkan, faktor-faktor yang berpengaruh pada pengambilan keputusan (decision-making) ekonomi rumahtangga maupun aspek kelembagaan dari kerjasama kemitraan PHBM itu sendiri. Apabila proses ini berjalan sesuai dengan harapan kedua-belah pihak serta stakeholders yang lain, maka akan terjadi suatu kondisi yang dicita-citakan bersama, yaitu : hutan selamat, masyarakat sejahtera, sebagaimana digambarkan pada diagram yang tertera pada Gambar 10. Sedangkan Gambar 11 adalah kerangka dasar pendekatan ekonomi rumahtangga petani. Berdasarkan kerangka ini, maka beberapa faktor yang diduga mempengaruhi keputusan rumahtangga petani diantaranya adalah penggunaan faktor input seperti lahan, benih/bibit, pupuk, dan obatobatan/pestisida, harga output, tingkat upah, serta alokasi waktu tenaga-kerja.
83
Faktor Input : Lahan, Pupuk, Obat-obatan /Pestisida, Bibit
Rumahtangga Petani PHBM
Keputusan Alokasi Waktu Tenaga Kerja
Keputusan Produksi
Kegiatan di luar usahatani (off-farm)
Kegiatan usahatani (onfarm)
Pendapatan dari luar usahatani (offfarm)
Pendapatan usahatani (onfarm) PHBM
Keputusan Pengeluaran
Pendapatan rumahtangga petani
Keputusan Pengeluaran rumahtangga
Kredit/ pinjaman
Investasi pendidikan, investasi kesehatan, dan tabungan
Konsumsi Pangan dan Non-pangan/Kebutuhan Pokok (Sandang, Hubungan Sosial, Rekreasi, dan lain-lain)
Gambar 11. Kerangka Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM
84
Pengambilan
keputusan
produksi
mencakup
keputusan
dalam
mengalokasikan faktor input dan produksi yang dihasilkan. Kegiatan produksi rumahtangga petani terdiri atas 2 (dua) kegiatan : 1. Kegiatan on-farm, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh rumahtangga petani dalam mengelola usahataninya di lahan kawasan hutan (lahan andil program PHBM), baik petani peserta PHBM Kopi maupun petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. 2. Kegiatan off-farm, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh rumahtangga di luar usahataninya sendiri, baik menjadi buruh-tani pada usahatani orang lain maupun pekerjaan di luar usahatani seperti mengajar, tukang ojek, berdagang (bandar), buruh bangunan maupun kegiatan lainnya. Curahan tenaga kerja (alokasi tenaga kerja) rumahtangga juga dibagi berdasarkan 2 (dua) kegiatan di atas. Adanya alokasi tenaga kerja rumahtangga pada kedua kegiatan tersebut dapat menimbulkan adanya keterkaitan
antar
rumahtangga, khususnya untuk kegiatan usahatani (on-farm). Keterkaitan antar rumahtangga terjadi bila rumahtangga petani menghadapi kekurangan tenaga kerja pada aktivitas usahataninya (on-farm) atau sebaliknya. Kekurangan tenaga kerja ini timbul misalnya karena curahan tenaga
kerja rumahtangga tidak
mencukupi kebutuhan pada kegiatan on-farm, karena tercurahkan untuk kegiatan lain, sehingga rumahtangga petani tersebut harus menyewa tenaga kerja dari luar keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa pada kegiatan usahatani (on-farm), dapat terjadi substitusi antara tenaga kerja rumahtangga petani (tenaga kerja keluarga) dengan tenaga kerja luar-keluarga. Dengan kata lain, apabila terjadi peningkatan penggunaan tenaga kerja rumahtangga petani pada
85
kegiatan usahatani (on-farm), maka penggunaan tenaga kerja luar keluarga akan mengalami peningkatan, demikian pula sebaliknya. Pendapatan rumahtangga petani diperoleh dari penjualan hasil panenan usahataninya sendiri (on-farm), hasil usahatani di lahan orang-lain (off-farm), maupun hasil aktivitas produktif di luar usahatani/pertanian seperti menjadi pedagang, buruh perkebunan teh dan sebagainya. Pendapatan rumahtangga dipengaruhi oleh curahan waktu tenaga kerja yang diputuskan oleh rumahtangga petani dan luas lahan garapan, jumlah tenaga-kerja keluarga, harga komoditas, dan sebagainya. Curahan waktu tenaga kerja rumahtangga petani antara-lain dipengaruhi oleh upah, ekspektasi harga output, karakteristik rumahtangga (jumlah angkatan kerja) dan curahan waktu pada kegiatan lainnya. Penelitian Tim IPB tahun 1986 (Krisnamurthi, 1991) menyatakan, bahwa yang berpengaruh
pada curahan
tenaga kerja pada aktivitas usahatani adalah : tingkat pendapatan keluarga, luas garapan tanaman pangan, dan jumlah angkatan kerja keluarga. Kasryno, et al (1988), dengan menggunakan data Patanas, menyatakan bahwa partisipasi tenaga
kerja
perdesaan berburuh-tani dipengaruhi oleh faktor umur,
pendapatan, luas lahan garapan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah angkatan kerja dalam keluarga, tingkat upah buruh luar usahatani, produktivitas lahan usahatani, kesempatan kerja luar pertanian, luas lahan pertanian, dan jumlah rumahtangga tak bertanah. Keputusan rumahtangga petani menyangkut konsumsi rumahtangga terkait dengan tingkat pendapatan petani, jumlah keluarga petani, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, dan lain-lain. Konsumsi rumahtangga terdiri atas konsumsi
86
pangan dan konsumsi non-pangan yang terdiri atas : konsumsi sandang, pendidikan, kesehatan, tempat-tinggal, hubungan sosial, rekreasi dan lain-lain. Karena komoditas yang dihasilkan petani PHBM berupa kopi dan rumput-gajah (yang terintegrasi dengan sapi-perah), maka seluruh hasil produksinya dijual ke pasar, hampir tidak ada yang dikonsumsi sendiri. Selain konsumsi dan pengeluaran rumahtangga lain, maka surplus yang diperoleh petani sebagian ditabung (saving), atau digunakan sebagai modal (capital) untuk menggerakkan aktivitas selama masa menunggu panenan. Disamping itu, apabila petani mengalami cash-defisit, maka sebagian petani PHBM telah melakukan pinjaman (kredit) sebagai salah-satu sumber uang tunai.
3.2. Hipotesis Berdasarkan tinjauan teoritis dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai-berikut : 1. Bagi masyarakat sekitar hutan, diduga kegiatan usahatani PHBM (on-farm) belum sepenuhnya menjadi sumber pendapatan petani yang mampu melepaskan petani dari belenggu kemiskinan dan kebergantungannya pada faktor lahan kawasan hutan. 2. Diduga program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) secara simultan mempengaruhi karakteristik dan perilaku ekonomi rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan menyangkut
aspek alokasi waktu
kerja, produksi, pendapatan, dan pengeluaran. 3. Diduga penguatan aspek kelembagaan di tingkat petani, khususnya terkait dengan perjanjian kontrak kemitraan, dapat membangun kemandirian petani secara jangka-panjang dan kelestarian hutan-lindung.
87
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Lokasi studi-kasus dalam penelitian ini adalah wilayah kerja Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan Perusahaan Umum (Perum) Perhutani Unit III Jawa Barat, di wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari di desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan : 1. KPH Bandung Selatan merupakan daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang sangat vital sebagai sumber air bagi Waduk Jatiluhur, Cirata, dan Saguling yang merupakan bendungan yang sangat penting bagi pertanian maupun sumber energi listrik masyarakat luas di Pulau Jawa dan Bali. 2. Wilayah BKPH Pangalengan sebagian besar merupakan kawasan Hutan Lindung yang memerlukan penanganan yang sangat serius, karena daerah ini sangat vital sebagai pengatur tata-air Kota Bandung dan sekitarnya. 3. Keterlibatan stakeholders relatif tinggi, diantaranya perhatian Pemerintah Daerah, pendampingan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bina Mitra, kerjasama antara Kelompok Tani Hutan (KTH) dengan Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) dalam rangka pengembangan hijauan makanan ternak (HTM), kerjasama dengan Perguruan Tinggi, serta akses kepada sumber-sumber pendanaan relatif telah terbangun secara baik.
88
4. Pada awal euforia reformasi (tahun 2001-2003) lokasi ini merupakan kawasan hutan dengan
tingkat
perambahan hutan yang sangat intensif
(tahun 2001-2003). 5. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari, merupakan LMDH yang telah berpredikat sebagai LMDH Mandiri (terbaik) diantara LMDH yang ada di KPH Bandung Selatan. 6. Lokasi penelitian relatif representatif karena jenis komoditas yang dikembangkan petani telah berproduksi. 7. Penelitian PHBM dengan latar belakang kawasan Hutan Lindung masih sangat jarang dilakukan, karena pada umumnya yang menjadi perhatian penelitian sejauh ini adalah kegiatan PHBM di lokasi Hutan Produksi. Sementara itu penelitian mengenai ekonomi rumahtangga petani PHBM yang memadukan aspek kelembagaan masih belum banyak dilakukan. 4.2. Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data 4.2.1. Pengambilan Contoh Contoh (sampel) dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani peserta program PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sebagai unit analisis. Populasi contoh adalah rumahtangga petani anggota PHBM di wilayah Hutan Pangkuan Desa (HPD) pada LMDH Kubangsari. Dari populasi peserta PHBM sebanyak 521 rumahtangga, diambil sebanyak 90 rumahtangga Petani (RTP) contoh, yang terdiri atas 59 rumahtangga contoh PHBM Kopi dan 31 rumahtangga contoh PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sebagaimana metode pengambilan contoh yang tertera pada Lampiran 2.
89
4.2.2. Pengumpulan Data Pengumpulan data primer menggunakan metode survei melalui wawancara dengan petani contoh yang dipilih secara acak (simple random sampling) dari Kelompok Tani Hutan (KTH) yang terlibat dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di kampung-kampung sekitar hutan pada lokasi penelitian. Wawancara
dilakukan oleh petugas survei pada responden dengan
tujuan untuk mengumpulkan atau menggali keterangan yang ingin diperoleh dari responden. Wawancara pada umumnya dilakukan pada malam hari, sebab para petani/responden pada umumnya sangat sibuk pada waktu siang, terlebih lagi para petani rumput-gajah yang sekaligus peternak, siklus penggunaan waktunya sangat ketat. Disamping itu, saat survei dilakukan para petani LMDH Kubangsari pada umumnya sedang sibuk melakukan panen kopi, sehingga waktu-luangnya hanya ada pada malam hari. Wawacara inipun harus dilakukan dengan
perjanjian. Sedangkan tenaga survei menggunakan tenaga Mandor
maupun pejabat KRPH setempat, bahkan pejabat Asper/Kepala BKPH, sehingga diharapkan komunikasi dengan masyarakat dapat berjalan secara lebih mulus. Disamping data primer, dikumpulkan pula data sekunder yang diperoleh dari laporan, statistik perusahaan (Perum Perhutani), kantor Kepala Desa, Kecamatan, Kabupaten maupun Propinsi. Data sekunder berbentuk Laporan Kabupaten dalam Angka, Monografi Daerah, Statistik Sosial-Ekonomi Daerah, dan lain-lain yang pada umumnya terdapat di Kantor Kecamatan, Kabupaten, maupun Kantor Propinsi. Selain itu, terdapat pula Laporan Statistik Sosial-
90
Ekonomi, baik Statistik Sosial-Ekonomi Pertanian, Statistik Industri, Statistik Kehutanan, dan lain-lain yang dapat dijadikan acuan dan sumber data sekunder. 4.3. Instrumen Penelitian Guna membantu petugas survei (enumerator) di dalam tugasnya mengumpulkan
data
dan
informasi,
dibutuhkan
alat-alat
bantu.
Alat
bantu/instrumen penelitian terdiri atas : 4.3.1. Daftar Pertanyaan/Kuesioner Daftar pertanyaan/kuesioner terdiri atas beberapa isian yang menyangkut hal-hal sebagai-berikut : a. Data Umum Lokasi Penelitian, antara-lain meliputi data : petugas pelaksana survei (nama, tanggal wawancara, waktu wawancara, nama pengawas survei), keadaan umum desa (luas desa : luas total, luas lahan pertanian, luas lahan perkebunan, luas lahan untuk perikanan, luas lahan untuk peternakan/penggembalaan ternak, luas lahan untuk pekarangan, luas lahan untuk perkampungan/pemukiman; batas wilayah desa, jarak desa ke : Ibukota Kecamatan, Kabupaten, Propinsi; curah hujan; suhu udara; kelembaban udara, sungai-sungai yang melalui; keadaan demografi (jumlah penduduk menurut umur; jumlah penduduk berdasarkan pendidikan, matapencaharian penduduk); keadaan pertanian (luas tanam, panen, dan produksi : pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan; tatawaktu/pola tanam per komoditas pertanian; dan lain-lain). b. Jati-diri
responden
rumahtangga
petani
meliputi
data
identitas
responden, seperti : nama, jenis kelamin, umur, asal suku, lamanya bermukim, tingkat pendidikan, agama, status dalam keluarga, status
91
perkawinan, pekerjaaan/matapencaharian utama, pekerjaan kedua, jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga, kepala rumahtangga, identitas istri, anak, dan anggota keluarga lainnya. c. Kondisi rumahtangga responden menyangkut pendataan mengenai tanggungan keluarga menurut umur (< 10 tahun, 10 s/d 65 tahun, > 65 tahun) dan pemilikan/penguasaan lahan (milik sendiri, lahan sewa, lahan milik Negara). d. Alokasi waktu rumahtangga petani, yang terdiri atas waktu untuk mencari nafkah, baik pada usahatani sendiri maupun di luar usahatani, waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga, pendidikan, sosial, dan pekerjaan yang sifatnya pribadi, serta waktu luang/istirahat, dengan penjelasan : d.1.
Waktu untuk mencari nafkah (N) adalah waktu yang digunakan
untuk aktivitas berikut : (1) bekerja pada usahatani yang diusahakan, baik meliputi aktivitas : penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, pengendalian hama/penyakit, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, hingga pemasaran hasil produksi; (2) bekerja di luar usahatani, baik menjadi buruh-tani, pemetik teh, dagang, jasa ojek, guru mengaji, dan lain-lain pekerjaan utama maupun tambahan. d.2.
Waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga (RT) adalah
waktu yang dipakai untuk memasak, menyiapkan makanan, mencari kayu bakar, mengasuh anak, mencuci alat-alat rumahtangga, membersihkan rumah dan pekarangan, mengangkut air untuk keperluan sehari-hari, dan lain-lain.
92
d.3.
Waktu untuk kegiatan sosial kemasyarakatan (S), adalah waktu
yang dipakai untuk aktivitas gotong-royong, rapat (KTH, LMDH, Forum LMDH), kegiatan pengajian, arisan dan lain-lain. d.4.
Waktu untuk kegiatan pendidikan (Pd), baik pendidikan formal
maupun informal, membantu anak belajar, dan sebagainya. d.5.
Waktu untuk kegiatan pribadi (Pi), adalah waktu yang dipakai
untuk tidur, mandi, beribadah, olah-raga, makan, minum, dan sebagainya. d.6.
Waktu luang (L), adalah waktu sisa yang masih ada.
Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa dalam 1 (satu) tahun harihari besar dan hari-hari Jum’at serta hari-hari eksidental yang tidak efektif untuk bekerja adalah 65 hari, sehingga waktu yang benar-benar tersedia untuk dapat dimanfaatkan adalah selama (T) 365 hari dikurangi 65 hari sehingga sama dengan 300 hari. Secara matematis, waktu yang tersedia (T) dapat dituliskan sebagai-berikut : T – 65 = N + RT + S + Pd + Pi + L 365 – 65 = N + RT + S + Pd + Pi + L 300 = N + RT + S + Pd + Pi + L, atau : L = 300 – N –RT – S - Pd – Pi e. Pendapatan rumahtangga yang terdiri atas : pendapatan usaha-tani yang diusahakan (terdiri atas : jenis komoditas yang diusahakan; luas lahan yang diusahakan; jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam HOK; besarnya biaya usaha tani berupa penggunaan input tenaga kerja, pupuk, obat-obatan, bibit; hasil panen yang diperoleh petani; harga per satuan komoditas; nilai kotor pendapatan usaha-tani; nilai bersih pendapatan
usahatani) dan
93
pendapatan di luar usahatani (meliputi : jumlah hari kerja per tahun dalam HOK; pendapatan per HOK, pendapatan kotor kegiatan non-usahatani dan pendapatan bersih kegiatan non-usahatani) f. Pengeluaran rumahtangga selama setahun yang terdiri atas : pengeluaran untuk
konsumsi
pangan
(kebutuhan
pokok),
sandang,
pendidikan,
kesehatan/pengobatan, pemeliharaan tempat tinggal, hubungan sosial, pengeluaran untuk rekreasi, dan pengeluaran lainnya. g. Tabungan dan Kredit/Pinjaman, antara-lain meliputi tempat melakukan (penyimpanan/tabungan, pinjaman, kredit) dan berapa besarnya, serta biaya bunga dan besarnya bunga tabungan. h. Informasi lain, antara-lain meliputi informasi mengenai pemahaman petani akan konsep PHBM, alasan pemilihan komoditas, dampak pemilihan komoditas terhadap konservasi, keadaan hutan (membandingkan dulu dengan sekarang), persepsi petani terhadap perkembangan kondisi perekonomian (membaik atau memburuk), serta persepsi petani terhadap kondisi ketahanan pangan (membaik atau memburuk), dan lain-lain. Daftar Pertanyaan setelah tersusun secara lengkap, dilakukan ujicoba terlebih dahulu sebelum dipergunakan untuk survei yang sesungguhnya. 4.3.2. Catatan Harian Di desa-desa di dalam dan sekitar hutan yang umumnya relatif masih tertinggal, tingkat pendidikan penduduk masih relatif rendah, sehingga responden pada penelitian ini belum terbiasa menghadapi petugas survei yang datang membawa Daftar Pertanyaan. Kesulitan teknis demikian diatasi dengan mencatat jawaban dalam Catatan Harian, jadi tidak langsung dalam
94
Daftar Pertanyaan. Jawaban-jawaban yang dicatat dalam Catatan Harian selanjutnya dipindahkan ke dalam Daftar Pertanyaan. Fungsi kedua dari Catatan Harian adalah untuk mencatat hal-hal yang tidak terdapat dalam Daftar Pertanyaan
yang diperoleh dari Tokoh
Masyarakat, Kantor Desa, Kantor Kecamatan, Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II, Instansi Pertanian/Kehutanan dan Dinas/Instansi lainnya.
4.4. Metode Analisis Pada dasarnya metode pengolahan/analisis data dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan (Wirartha, 2006), yaitu : 4.4.1. Pendekatan Deskriptif, meliputi : (a) pengolahan/analisis data kuantitatif dalam bentuk tabulasi (grafik dan tabel), (b) pengolahan/analisis data kualitatif dalam bentuk penyajian data secara deskriptif melalui pengamatan-pengamatan. Pendekatan ini untuk menjawab tujuan pertama penelitian
menyangkut
karakteristik rumahtangga petani dan tujuan keempat menyangkut aspek kelembagaan. 4.4.2. Pendekatan Ekonometrika dengan menggunakan sistem Persamaan Simultan, khususnya untuk menjawab tujuan kedua yaitu menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga dalam pengambilan keputusan menyangkut produksi, alokasi waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran, serta tujuan ketiga yaitu dampak dari perubahan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga. Pendekatan analisis-deskriptif terdiri atas hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat sekitar hutan peserta program PHBM, yaitu :
95
1. Analisis penggunaan lahan Analisis penggunaan lahan mengidentifikasi jenis komoditas yang diusahakan dan luas efektif penggunaan lahan. Luas efektif penggunaan lahan menunjukkan kemampuan petani mengusahakan/mengelola usahataninya. 2. Analisis penggunaan modal Analisis penggunaan modal dilakukan dengan menghitung total nilai input yang digunakan dalam aktivitas usahatani. Analisis dilakukan pula terhadap peranan kredit yang dialokasikan dari program Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Analisis ini sekaligus merupakan salah-satu pendekatan untuk mengetahui tingkat penguasaan faktor-faktor produksi oleh rumahtangga petani. 3. Analisis tingkat curahan tenaga kerja Analisis tingkat curahan tenaga kerja keluarga diidentifikasi melalui banyaknya jam kerja yang dicurahkan untuk aktivitas-aktivitas ekonomi, antaralain meliputi : a. Kegiatan usahatani keluarga, yaitu kegiatan berproduksi pada usatani sendiri, yang terdiri atas : (1) usahatani di lahan kawasan hutan dalam bentuk budidaya kopi, dan (2) usahatani di lahan kawasan hutan dalam bentuk penanaman rumput-gajah beserta usaha ternak (sapi-perah) secara terintegrasi. b. Kegiatan non-usahatani keluarga, yaitu : kegiatan produktif di luar aktivitas usahatani yang dikelolanya, seperti : menjadi buruh perkebunan, pekerja/buruhtani di tempat lain, dagang (kelontong, Bandar), jasa (tukang ojek, kelola warung, guru, tukang jahit, kuli bangunan, dan lain-lain).
96
4. Analisis tingkat pendapatan Analisis dilakukan dengan membandingkan tingkat pendapatan petani peserta PHBM Kopi dan peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Analisis tingkat pendapatan juga menelaah persentasi sumbangan masing-masing aktivitas ekonomi terhadap total pendapatan rumahtangga petani. 5. Analisis kelembagaan Analisis kelembagaan kemitraan PHBM menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Analisis ditekankan pada aspek-aspek yang menyusun struktur kelembagaan dan dampaknya, yaitu : a. Aspek batas yuridiksi/kewenangan, meliputi : a1 Karakteristik dari semua partisipan yang terikat pada kelembagaan a2. Eksternalitas baik manfaat maupun biaya dari dalam dan luar kelembagaan. a3. Homogenitas preferensi individu partisipan b. Aspek hak dan kewajiban, yang meliputi : b1. Aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang mengikat partisipan b2. Struktur insentif yang diberikan mitra kepada petani b3. Jenis-jenis transaksi yang terjadi antara mitra dengan petani b4. Perilaku petani sebagai respons terhadap insentif yang dibagun oleh mitra c. Aspek aturan representasi, meliputi : c1. Aturan-main kelembagaan c2. Posisi bargaining-power partisipan dalam menentukan aturan-aturan kontrak
97
c3. Tingkat partisipasi dari pelaku-pelaku kemitraan c4. Penanganan konflik yang terjadi antar partisipan Selanjutnya disamping menggunakan pendekatan analisis-deskriptif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan ekonometrik dengan bantuan program aplikasi komputer Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1. 4.5. Spesifikasi Model Model merupakan suatu penjelasan dari fenomena aktual sebagai suatu sistem
atau
proses (Sinaga, 1997). Model ekonometrika menggambarkan
hubungan masing-masing peubah penjelas (explanatory variables) terhadap peubah endogen (endogenous variables), khususnya mengenai tanda dan besaran dari parameter yang diduga secara apriori berdasarkan teori-teori ekonomi (Sinaga, 1997). Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa model ekonometrika yang dipergunakan untuk menganalisis perilaku rumahtangga petani sekitar hutan dalam penelitian ini adalah mempergunakan sistem persamaan simultan. Model persamaan simultan dapat menggambarkan secara kompleks keterkaitan antar peubah ekonomi dalam perilaku rumahtangga petani anggota LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), khususnya keterkaitan antara perilaku pengaturan pemanfaatan
lahan
melalui
PHBM
terhadap
keputusan
petani
dalam
peningkatan kesejahteraannya yang dicerminkan oleh keputusan produksi, alokasi waktu kerja, pendapatan, dan pengeluaran rumahtangga. Untuk melihat keterkaitan antara keputusan ekonomi rumahtangga dalam aspek alokasi waktu, produksi, pendapatan dan pengeluaran, dilakukan spesifikasi model ekonomi rumahtangga ke dalam 2 (dua) model persamaan
98
simultan, yaitu : (1) model persamaan petani peserta PHBM dengan komoditas kopi (PHBM Kopi), dan (2) model persamaan petani peserta PHBM dengan komoditas rumput-gajah & sapi-perah (PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah), sebagai-berikut : 4.5.1. Spesifikasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi a. Blok Alokasi Tenaga Kerja a.1. Alokasi Tenaga Kerja Luar Keluarga yang Disewa pada Usahatani Alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani (AKL) adalah jumlah tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani. Alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani diduga dipengaruhi oleh nilai waktu/proxy upah tenaga pada usahatani (UUD), alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD), serta pendapatan total (IT) yang diformulasikan sebagai-berikut : AKL = a0 + a1UUD + a2AKD + a3IT + U1, dengan parameter yang diharapkan adalah : a1, a2 <0, dan a3> 0, dimana : AKL UUD AKD IT U1
= Alokasi TK yang disewa pada usahatani (HOK) = Nilai waktu/proxy upah tenaga yang disewa pada usahatani (Rp/HOK) = Alokasi TK keluarga diluar usahatani (HOK)/Supply TK = Pendapatan/income total rumahtangga (HOK) = Error-term
a.2. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Usahatani Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) adalah merupakan jumlah tenaga kerja keluarga yang digunakan pada usahatani. Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani dipengaruhi oleh nilai waktu/proxy upah tenaga pada
usahatani
(UUD), alokasi tenaga kerja keluarga
diluar usahatani
99
(AKDUL), serta alokasi tenaga-kerja yang disewa pada usahatani (AKL) yang diformulasikan sebagai-berikut : AKD = b0 + b1UUD + b2AKDUL + b3AKL + U2, dengan parameter yang diharapkan adalah : b1, b2, b3 < 0, dimana : AKD UUD
= Alokasi TK keluarga pada usahatani (HOK/Tahun) = Nilai waktu/proxy upah tenaga yang disewa pada usahatani (Rp/HOK) AKDUL = Alokasi TK keluarga diluar usahatani (HOK)/Supply TK AKL = Alokasi TK yg disewa pada usahatani (HOK) U2 = Error-term
a.3. Total Alokasi Tenaga Kerja pada Usahatani Total alokasi tenaga kerja pada usahatani (TKU) merupakan persamaan identitas sebagai perjumlahan dari alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) dengan alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani (AKL) sebagai-berikut : TKU = AKD + AKL, dimana : TKU AKD AKL
= Total alokasi tenaga kerja pada usahatani (HOK/tahun) = Alokasi TK keluarga pada usahatani (HOK/tahun) = Alokasi TK luar keluarga yang disewa (HOK/tahun)
a.4. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Luar Usahatani Alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (AKDUL) merupakan jumlah alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani, seperti kegiatan berburuh
pada
kegiatan
perkebunan, misalnya.
Alokasi
tenaga
kerja
keluarga pada luar usahatani diduga dipengaruhi oleh total pengeluaran rumahtangga (TEXP), pendidikan suami (PDS), serta besarnya biaya produksi usahatani (CPR) sebagaimana formulasi berikut :
100
AKDUL = c0 + c1TEXP + c2PDS + c3CPR + U3, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah c1, c2, c3 > 0, dimana : AKDUL TEXP PDS CPR U3
= = = = =
Alokasi TK keluarga diluar usahatani (HOK) Total pengeluaran rumahtangga (Rp/tahun) Pendidikan suami (tahun) Biaya produksi usahatani (Rp/tahun) Error-term
a.5. Total Alokasi Tenaga Kerja Keluarga Total alokasi tenaga kerja keluarga (TAK) merupakan persamaan identitas sebagai perjumlahan dari alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) dengan alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (AKDUL) sebagai-berikut : TAK = AKD + AKDUL, dimana : TAK = Total alokasi tenaga kerja keluarga (HOK/tahun) AKD = Alokasi TK keluarga pada usahatani (HOK/tahun) AKDUL = Alokasi TK keluarga pada luar usahatani (HOK/tahun)
b. Blok Produksi b.1. Penggunaan Pupuk Penggunaan pupuk (PPK) merupakan jumlah input pupuk yang digunakan pada usahatani PHBM Kopi. Peubah ini diduga dipengaruhi oleh harga pupuk (HPPK), harga komoditas output kopi (HKP), serta luas lahan garapan kopi (LH), yang diformulasikan sebagai persamaan struktural berikut : PPK = d0 + d1HPPK + d2HKP + d3LH + U4, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah d2 , d3 > 0; d1 < 0, dimana :
101
PPK HPPK HKP LH U4
= = = = =
Penggunaan pupuk dalam usahatani kopi (Kg/tahun) Harga pupuk dalam usahatani kopi (Rp/kg) Harga komoditas hasil usahatani kopi (Rp/kg) Luas lahan garapan PHBM kopi (Ha) Error-term
b.2. Penggunaan Obat Penggunaan obat (OBT) merupakan jumlah input obat yang digunakan pada usahatani PHBM Kopi. Peubah ini diduga dipengaruhi oleh harga obat (HOBT), harga komoditas output kopi (HKP), serta luas lahan garapan kopi (LH) yang diformulasikan sebagai-berikut : OBT = e0 + e1HOBT + e2HKP + e3LH + U5, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah e2 , e3 > 0 ; e1 < 0, dimana : OBT = Jumlah penggunaan obat pada usahatani kopi (Liter/tahun) HOBT = Harga obat2an/pestisida usahatani kopi (Rp/liter) HKP = Harga komoditas hasil usahatani kopi (Rp/kg) LH = Luas lahan garapan PHBM kopi (Ha) U5 = Error-term b.3. Penggunaan Bibit Penggunaan bibit (BBT) merupakan jumlah input bibit yang digunakan pada usahatani PHBM Kopi. Peubah ini diduga dipengaruhi oleh harga bibit (HBBT), luas lahan garapan kopi (LH), serta harga komoditas output kopi (HKP), yang diformulasikan sebagai-berikut : BBT = f0 + f1HBBT + f2HKP + f3LH + U6, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah f2, f3 >0 ; f1<0, dimana : BBT HBBT HKP LH U6
= = = = =
Jumlah penggunaan input bibit (Batang/tahun) Harga bibit kopi (Rp/batang) Harga komoditas hasil usahatani kopi (Rp/kg) Luas lahan garapan PHBM kopi (Ha) Error-term
102
b.4. Luas Lahan Garapan : Luas lahan garapan (LH) terkait dengan persoalan sumberdaya (reources), sehingga secara teoritis akan dipengaruhi oleh kemampuan finansial petani. Karena itu luas lahan garapan (LH) kopi diduga dipengaruhi oleh pendapatan total rumahtangga petani (IT) dan kredit/pinjaman rumahtangga (KR), sebagaimana rumusan berikut : LH = g0 + g1IT + g2KR + U7, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah : g1, g2 > 0, dimana : LH IT KR U7
= = = =
Luas lahan garapan PHBM kopi (Ha) Pendapatan/income total rumahtangga (Rp/tahun) Kredit/pinjaman rumahtangga (Rp/tahun) Error-term
b.5. Produktivitas Lahan : Produktivitas lahan garapan secara teoritis berhubungan dengan teknologi pengelolaan lahan, sehingga sangat dipengaruhi oleh penggunaan faktor input.
Karena
itu
produktivitas
lahan
(YIELD)
diharapkan
dipengaruhi oleh penggunaan pupuk dalam usahatani (PPK), alokasi tenaga kerja
keluarga
pada
usahatani (AKD), alokasi tenaga kerja yang disewa
(AKL), serta umur kepala keluarga (UKK), sebagaimana rumusan berikut ini : YIELD = h0 + h1PPK + h2AKD + h3AKL + h4UKK + U8, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah : h1, h2, h3 > 0; h4 < 0, dimana : YIELD PPK AKD AKL UKK U8
= = = = = =
Produktivitas lahan usahatani (Kg/ha) Penggunaan pupuk dalam usahatani kopi (Kg/tahun) Alokasi TK keluarga pada usahatani (HOK/tahun) Alokasi TK yang disewa pada usahatani (HOK/tahun) Umur kepala keluarga (Tahun) Error-term
103
b.6. Produksi Kopi Produksi kopi
merupakan
persamaan
identitas yang dirumuskan
sebagai hasil perkalian luas lahan garapan PHBM kopi (LH) dengan produktivitas lahan (YIELD) sebagaimana diformulasikan sebagai-berikut : PROD = LH * YIELD, dimana : PROD = Produksi usahatani kopi (Kg/tahun) LH = Luas lahan garapan PHBM kopi (Ha) YIELD = Produktivitas lahan usahatani kopi (Kg/ha) c. Blok Biaya Usaha Tani c.1. Biaya Penggunaan Pupuk pada Usahatani Kopi Biaya penggunaan pupuk pada usahatani kopi (CPPK) adalah biaya (cost) yang dialokasikan oleh rumahtangga petani untuk pembelian/pengadaan pupuk
bagi
usahatani. Biaya penggunaan pupuk dalam usahatani kopi
merupakan persamaan identitas sebagai hasil perkalian antara jumlah pemakaian/permintaan
pupuk (PPK) dengan harga satuan pupuk (HPPK),
sebagaimana formulasi sebagai-berikut : CPPK = PPK * HPPK, dimana : CPPK = Biaya penggunaan pupuk dalam usahatani kopi (Rp/tahun) PPK = Jumlah penggunaan pupuk dalam usahatani (Kg/tahun) HPPK = Harga pupuk dalam usahatani kopi (Rp/kg) c.2. Biaya Penggunaan Obat/Pestisida pada Usahatani Kopi Biaya penggunaan obat/pestisida usahatani kopi (COBT) adalah biaya
(cost)
yang
dialokasikan
oleh
rumahtangga
petani
untuk
pembelian/pengadaan bibit bagi usahatani. Biaya penggunaan obat/pestisida usahatani kopi merupakan persamaan identitas yang dirumuskan sebagai hasil
104
kali antara jumlah penggunaan obat pada usahatani kopi (OBT) dengan harga obat usahatani kopi (HOBT), sebagai-berikut : COBT = OBT * HOBT, dimana : COBT OBT HOBT
= Biaya penggunaan obat pada usahatani kopi (Rp/tahun) = Jumlah penggunaan obat usahatani kopi (Liter/tahun) = Harga obat pada usahatani (Rp/liter)
c.3. Biaya Penggunaan Bibit Biaya penggunaan bibit (CBBT) merupakan alokasi biaya yang diperuntukkan bagi pengadaan/pembelian bibit bagi usahatani kopi. Biaya penggunaan bibit ini dinyatakan sebagai persamaan identitas sebagai hasil perkalian antara jumlah penggunaan input bibit dengan harga satuan bibit, sebagaimana rumusan berikut : CBBT = BBT * HBBT, dimana : CBBT = Biaya penggunaan input bibit (Rp/tahun) BBT = Jumlah penggunaan input bibit (Batang/tahun) HBBT = Harga bibit kopi (Rp/batang) c.4. Total Biaya Sarana Produksi Usahatani Kopi Total biaya sarana produksi usahatani kopi merupakan alokasi biaya untuk pengadaan sarana-produksi usahatani kopi yang dirumuskan sebagai persamaan identitas hasil perjumlahan dari biaya penggunaan pupuk pada usahatani kopi (CPPK), biaya penggunaan obat/pestisida usahatani kopi (COBT), serta
biaya
penggunaan
bibit (CBBT),
berikut : CSPR = CPPK + COBT + CBBT, dimana :
sebagaimana
rumusan
105
CSPR = Total sarana produksi usahatani kopi (Rp/tahun) COBT = Biaya penggunaan obat pada usahatani kopi (Rp/tahun) CBBT = Biaya penggunaan input bibit (Rp/tahun) c.5.
Sharing Produksi Sharing
produksi
merupakan
pengurang
penerimaan
(revenue)
rumahtangga petani, merupakan kontribusi petani yang diserahkan kepada kepada Perum Perhutani yang besarnya dipatok sesuai hasil perjanjian sebesar 15 % (k = 0.15) dari nilai penerimaan (revenue) hasil usahatani, yang dirumuskan sebagai persamaan identitas sebagai-berikut : SHR = k * PROD * HKP, dimana : SHR = Sharing produksi (Rp/tahun) PROD = Produksi usahatani kopi (kg/tahun) k = Konstanta besarnya sharing HKP = Harga komoditas hasil usahatani kopi (Rp/kg) c.6. Biaya Tenaga-Kerja pada Usahatani Kopi Biaya tenaga-kerja pada usahatani kopi (CTK) merupakan besarnya biaya sewa tenaga kerja luar keluarga yang bekerja pada usahatani yang dirumuskan sebagai persamaan identitas berikut ini : CTK = AKL * UUD, dimana : CTK AKL UUD
= Biaya tenaga-kerja pada usahatani kopi (Rp/Tahun) = Alokasi TK luar keluarga yang disewa (HOK) = Nilai waktu/proxy upah tenaga yang disewa pada usahatani (Rp/HOK)
c.7. Biaya Produksi dalam Usahatani Biaya produksi dalam usahatani (CPR) merupakan persamaan identitas yang dirumuskan sebagai perjumlahan dari total sarana produksi usahatani kopi
106
(CSPR) ditambah biaya tenaga-kerja pada usahatani kopi (CTK), sebagai berikut: CPR = CSPR + CTK, dimana : CPR CSPR CTK
= Biaya produksi dalam usahatani (Rp/tahun) = Total sarana produksi usahatani kopi (Rp/tahun) = Biaya tenaga-kerja sewa pada usahatani kopi (Rp/tahun)
d. BLOK PENDAPATAN RUMAH TANGGA d.1. Pendapatan/income Usahatani Kopi Pendapatan/income usahatani kopi (IUT) adalah merupakan selisih antara perkalian hasil produksi usahatani (PROD) dengan harga komoditas kopi (HKP) atau penerimaan usahatani (revenue) dikurangi dengan sharing produksi, dikurangi lagi dengan biaya produksi usahatani (CPR), yang dinyatakan sebagai persamaan identitas sebagai-berikut : IUT = (PROD * HKP) – SHR – CPR, dimana : IUT PROD HKP SHR CPR
= = = = =
Pendapatan/income usahatani kopi (Rp/tahun) Produksi usahatani kopi (Kg/tahun) Harga komoditas hasil usahatani kopi (Rp/kg) Biaya sharing produksi (Rp/tahun) Biaya produksi yang digunakan dalam usahatani (Rp/tahun)
d.2. Nilai Pendapatan/Income Non-Usahatani Nilai pendapatan/income non-usahatani (ILUT) adalah pendapatan yang diperoleh karena bekerja pada kegiatan non-usahatani yang dirumuskan sebagai persamaan identitas sebagai hasil perkalian antara besarnya alokasi tenaga kerja keluarga diluar usahatani (AKDUL) dengan nilai waktu/proxy upah kegiatan luar usahatani (UUL) sebagai-berikut :
107
ILUT = AKDUL * UUL, dimana : ILUT = Nilai pendapatan/income non-usahatani (Rp) AKDUL = Alokasi TK keluarga diluar usahatani kopi (HOK) UUL = Nilai waktu/proxy upah kegiatan luar usahatani (Rp/HOK) d.3. Total Pendapatan/Total-Income Rumahtangga Total pendapatan/total-income rumahtangga (IT) dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan perjumlahan antara pendapatan/income usahatani kopi (IUT) dengan nilai pendapatan/income non-usahatani (ILUT) sebagai-berikut : IT = IUT + ILUT, dimana : IT IUT ILUT
= Total pendapatan/total-income (Rp/tahun) = Pendapatan/income usahatani kopi (Rp) = Nilai pendapatan/income non-usahatani (Rp)
e. Blok Pengeluaran e.1. Pengeluaran Konsumsi Pangan Pengeluaran konsumsi pangan
(KP) merupakan persamaan struktural
(perilaku) yang diduga dipengaruhi oleh variabel total pendapatan/total-income (IT), tabungan rumahtangga (TAB), dan jumlah anggota keluarga (JAK) sebagai-berikut : KP = i0 + i1IT + i2TAB + i3JAK + U9, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah i1, i3 > 0; i2 < 0, dimana : KP IT TAB JAK U9
= = = = =
Pengeluaran pangan (Rp/Tahun) Total pendapatan/total-income (Rp/tahun) Tabungan rumahtangga (Rp/tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Error-term
108
e.2. Pengeluaran Konsumsi Non-Pangan Pengeluaran
konsumsi
non-pangan
(KL)
merupakan
pengeluaran
rumahtangga untuk memenuhi konsumsi non-pangan, seperti kebutuhan sosial, rekreasi, dan lain-lain yang diduga dipengaruhi oleh total pendapatan rumahtangga (IT), investasi sumberdaya manusia (INV), serta tabungan rumahtangga (TAB), yang dirumuskan sebagai persamaan struktural berikut : KL = j0 + j1IT + j2INV + j3TAB + U10, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah j1, j2 > 0 ; j3 < 0, dimana : KL IT INV TAB U10
= = = = =
Pengeluaran non-pangan (Rp/tahun) Total pendapatan/total-income (Rp/tahun) Investasi sumberdaya manusia (Rp/tahun) Tabungan rumahtangga (Rp/tahun) Error-term
e.3. Konsumsi Total Konsumsi total merupakan persamaan identitas yang diperoleh dari perjumlahan antara konsumsi pangan (KP) dengan konsumsi non-pangan (KL), sebagai-berikut : KT = KP + KL, dimana : KT KP KL
= Total pengeluaran rumah tangga (Rp/tahun) = Pengeluaran konsumsi pangan rumahtangga (Rp/Tahun) = Pengeluaran non-pangan rumahtangga (Rp/tahun)
e.4. Investasi Sumberdaya Manusia Investasi sumberdaya manusia merupakan pengeluaran rumahtangga untuk memenuhi keperluan biaya investasi pendidikan dan kesehatan, dirumuskan sebagai persamaan struktural yang dipengaruhi oleh variabel pendapatan total
109
(IT), jumlah anggota keluarga (JAK), dan besarnya nilai tabungan rumahtangga (TAB), sebagaimana formulasi berikut ini : INV = k0 + k1IT + k2JAK + k3TAB + U11, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah k1, k2 > 0 ; k3 < 0, dimana : INV IT JAK TAB U11
= = = = =
Pengeluaran investasi sumberdaya manusia (Rp/tahun) Total pendapatan rumahtangga (Rp/tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Tabungan rumahtangga (Rp/tahun) Error-term
e.5. Total Pengeluaan Rumahtangga Total pengeluaran rumahtangga (TEXP) dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan perjumlahan dari konsumsi total rumahtangga (KT) dengan pengeluaran investasi sumberdaya manusia (INV) sebagai-berikut : TEXP = KT + INV, dimana : TEXP KT INV
= Total pengeluaran rumahtangga (Rp/tahun) = Total pengeluaran konsumsi rumah tangga(Rp/tahun) = Pengeluaran investasi sumberdaya manusia (Rp/tahun)
f. Blok Tabungan & Kredit f.1.
Tabungan Tabungan rumahtangga merupakan sisa dana yang ditabung baik pada
institusi perbankan maupun bukan perbankan. Tabungan dirumuskan sebagai persamaan struktural yang dipengaruhi oleh pendapatan total rumahtangga (IT), total pengeluaran rumahtangga (TEXP), dan suku bunga tabungan (SBT), sebagaimana formulasi berikut : TAB = l0 + l1IT + l2 TEXP + l3SBT + U12, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah l1, l3 > 0 ; l2 < 0, dimana : TAB = Tabungan rumahtangga (Rp/tahun) IT = Total pendapatan/total-income rumahtangga (Rp/tahun)
110
TEXP = Total pengeluaran rumahtangga (Rp/tahun) SBT = Suku bunga tabungan (% per tahun) U12 = Error-term f.2.
Kredit/pinjaman Rumahtangga Kredit rumahtangga merupakan dana cash yang diperoleh dari pinjaman
komersial maupun pinjaman dari institusi non-perbankan, yang diduga dipengaruhi oleh total biaya sarana produksi usahatani (CSPR), total pengeluaran rumahtangga (TEXP), dan
suku-bunga pinjaman (SBP), yang
dirumuskan sebagai persamaan struktural berikut : KR = m0 + m1CSPR + m2TEXP + m3SBP + U13, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah : m1, m2 > 0; m3 < 0, dimana : KR CSPR TEXP SBP U13
= = = = =
Kredit/pinjaman rumahtangga (Rp/tahun) Total biaya sarana produksi usahatani kopi (Rp/tahun) Total pengeluaran rumahtangga (Rp/tahun) Suku bunga pinjaman (% per tahun) Error-term
4.5.2. Spesifikasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumputgajah & Sapi-perah a. Blok Alokasi Tenaga Kerja a.1. Alokasi Tenaga-kerja Luar Keluarga pada Usahatani Sapi-perah Alokasi tenaga-kerja luar keluarga pada usahatani sapi-perah (TKLS) merupakan persamaan struktural penggunaan tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani sapi-perah yang besarnya diduga dipengaruhi oleh varibel alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani, usia kepala keluarga (UKK), serta tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (TKDUL) dengan rumusan sebagai-berikut : TKLS = a0 + a1 TKDS + a2UKK + a3 TKDUL + E1, dengan parameter dugaan adalah a2, a3 > 0; a1 < 0,
111
dimana : TKLS TKDS UKK TKDUL E1
= = = = =
Alokasi TK luar keluarga pada usahatani (HOK/Tahun) Alokasi TK keluarga pada usahatani (HOK/tahun) Umur kepala keluarga (UKK) Alokasi TK keluarga pada di luar usahatani ((HOK/tahun) Error-term
a.2. Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Usahatani Sapi-perah Alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (TKDS) merupakan permintaan tenaga kerja pada usahatani sapi-perah yang dirumuskan sebagai
persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh variabel upah
tenaga kerja pada usahatani (UUDRG), luas lahan garapan (LRG), alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani
(TKDS), serta tenaga kerja keluarga
pada luar usahatani (TKDUL) sebagaimana rumusan-berikut : TKDS = b0 + b1UUDRG + b2LRG + b3TKDS + b4TKDUL + E2, dengan parameter dugaan adalah b2 , b3 > 0; b1, b4 < 0; dimana : TKDS UUDRG LRG TKDUL E2
= Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani sapiperah (HOK/tahun) = Upah tenaga yang bekerja pada usahatani sapi-perah (Rp/HOK) = Luas lahan garapan rumput-gajah (Ha) = Alokasi TK keluarga pada luar usahatani (HOK/Tahun) = Error-term
a.3. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Luar Usahatani Alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah (TKDUL) merupakan penawaran tenaga kerja pada luar usahatani sapi-perah yang dirumuskan sebagai persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh variabel upah tenaga kerja pada luar usahatani rumput-gajah & sapi-perah (UUL), total pengeluaran rumahtangga (TEXP), usia kepala keluarga (UKK),
112
serta total biaya produksi usahatani sapi-perah (CTOS) sebagaimana rumusan berikut : TKDUL = c0 + c1UUL + c2TEXP + c3UKK + c4CTOS + E3, dengan parameter dugaan adalah c1, c2, c3, c4 < 0; dimana : TKDS UUL TEXP UKK CTOS E3
= Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (HOK/tahun) = Upah tenaga kerja pada luar usahatani (Rp 1.000,-/HOK) = Total pengeluaran rumahtangga (x Rp 1000,-/HOK) = Umur kepala keluarga (Tahun) = Biaya total usahatani ternak sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun) = Error-term
a.4. Total Alokasi Tenaga-kerja Keluarga Total alokasi tenaga-kerja keluarga merupakan persamaan identitas sebagai hasil perjumlahan dari alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG), alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani sapiperah ( TKDS), dan alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja pada luar usahatani (TKDUL), sebagaimana rumusan berikut : TKSS = TKDRG + TKDS + TKDUL, dimana : TKSS = Total alokasi tenaga keluarga (HOK/tahun) TKDRG = Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (HOK/Tahun) TKDS = Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (HOK/tahun) TKDUL = Alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja pada luar usahatani (HOK) b. Blok Produksi b.1. Penggunaan Pupuk pada Usahatani Rumput-Gajah Penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah (PPKRG) dirumuskan sebagai
persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh variabel harga
113
pupuk (HPPKRG), harga susu sapi yang dihasilkan petani (HSS), dan luas lahan garapan rumput-gajah (LRG) sebagaimana formulasi berikut : PPKRG = d0 + d1HPPKRG + d2HSS + d3LRG + E4, dengan parameter dugaan adalah d2 , d3, > 0 d1 < 0, dimana : PPKRG = Jumlah penggunaan pupuk untuk rumput-gajah (Kg/tahun) HPPKRG = Harga pupuk untuk usahatani rumput-gajah (Rp1.000,/kg) HSS = Harga jual susu-sapi (Rp 1.000,-//liter) LRG = Luas lahan garapan rumput-gajah (Ha) = Error-term E4 b.2. Penggunaan Obat pada Usahatani Rumput-gajah Penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah (OBTRG) dirumuskan sebagai persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh variabel harga obat (HOBTRG), harga jual susu-sapi (HSS) dan luas lahan garapan rumput-gajah (LRG), sebagaimana rumusan berikut : OBTRG = e0 + e1HOBTRG + e2HSS + e3LRG + E5, dengan parameter dugaan adalah e2, e3 > 0 ; e1 < 0, dimana : OBTRG HOBTRG HSS LRG E5
= = = = =
Jumlah obat untuk rumput-gajah (Liter/tahun) Harga obat usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/liter) Harga jual susu-sapi (Rp 1.000,-/ liter) Luas lahan PHBM rumput-gajah (Ha) Error-term
b.3. Penggunaan Bibit pada Usahatani Rumput-gajah Penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah dirumuskan sebagai persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh harga bibit rumput-gajah (HBBTRG), luas lahan garapan rumput-gajah (LRG), serta total pendapatan rumahtangga (IT) sebagaimana rumusan berikut :
114
BBTRG = f0 + f1 HBBTRG + f2LRG + f3IT + E6 dengan parameter dugaan adalah f2, f3 > 0 ; f1 < 0, dimana : BBTRG HBBTRG LRG IT E6
= = = = =
Jumlah input bibit untuk rumput-gajah (untai/tahun) Harga bibit rumput-gajah (Rp 1.000,-/untai) Luas lahan PHBM rumput-gajah (Ha) Total pendapatan rumahtangga (Rp 1.1000,-/tahun) Error-term
b.4. Luas Lahan Garapan Rumput-gajah Luas lahan garapan rumput-gajah adalah lahan kawasan hutan lindung yang dialokasikan oleh Perum Perhutani sebagai lahan andil yang dikelola oleh petani PHBM sebagai lahan penanaman rumput-gajah. Variabel luas lahan garapan rumput-gajah (LRG) dirumuskan sebagai persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh total pendapatan rumahtangga sapi-perah (IT) dan pinjaman rumahtangga (KR), sebagaimana formulasi sebagai-berikut: LRG= g0 + g1IT + g2KR + E7, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah g1, g2 > 0; dimana : LRG IT KR E7
= = = =
Luas lahan garapan rumput-gajah (Ha) Total pendapatan rumahtangga (Rp 1000,- /tahun) Pinjaman rumahtangga (Rp 1000,-/tahun) Error-term
b.5. Produktivitas Usahatani Rumput-gajah Produktivitas usahatani rumput-gajah (YIELD) dirumuskan sebagai persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh penggunaan bibit rumputgajah (BBTRG), umur kepala keluarga (UKK), dan alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG), serta tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS) sebagaimana rumusan berikut :
115
YIELD = h0 + h1 BBTRG + h2 UKK + h3 TKLS + E8 dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah, h1, h3 > 0; h2 < 0, dimana : YIELD BBTRG UKK TKLS E8
= = = = =
Produktivitas lahan rumput-gajah (Kg/ha) Jumlah penggunaan bibit rumput-gajah (Untai/tahun) Umur Kepala Keluarga (tahun) Tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (HOK/tahun) Error-term
b.6. Produksi Rumput-gajah Produksi rumput-gajah merupakan hasil produksi rumput-gajah dari usahatani Produksi
rumput-gajah yang dilakukan oleh rumahtangga petani PHBM. rumput-gajah
dirumuskan
sebagai
persamaan
identitas yang
merupakan hasil perkalian antara luas lahan garapan (LRG) dengan produktivitas lahan rumput-gajah (YIELD), sebagai-berikut : PRODRG
= LRG*YIELD,
dimana : PRODRG LRG YIELD
= Produksi usahatani rumput-gajah (Kg/tahun) = Luas lahan garapan rumput-gajah (Ha) = Produktivitas usahatani rumput-gajah (Kg/ha)
b.7. Produksi Susu Produksi susu-sapi adalah jumlah/volume susu yang dihasilkan dari pemeliharaan sapi-perah yang diusahakan oleh petani rumput-gajah sebagai usaha yang terpadu (integrated) dengan budidaya rumput-gajah. Produksi sususapi dirumuskan sebagai persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh jumlah makanan/konsentrat sapi-perah (JMAK), total pendapatan rumahtangga (IT), tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS), serta pinjaman rumahtangga (KR) sebagaimana formulasi berikut :
116
PRODSS = i0 + i1JMAK + i2IT + i3TKLS + i4KR + E9 dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah i1 , i2, i3, i4 > 0 , dimana : PRODSS JMAK IT TKLS KR E9
= = = = = =
Jumlah produksi susu (liter/tahun) Jumlah makanan/konsentrat sapi-perah (kg/tahun) Pendapatan total rumahtangga (Rp/tahun) Tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (HOK/tahun) Pinjaman rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun) Error-term
c. Blok Biaya Usaha Tani c.1.
Biaya Penggunaan Pupuk pada Usahatani Rumput-gajah Biaya penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah (CPPKRG)
dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan perkalian antara jumlah penggunaan pupuk (PPKRG) dengan harga pupuk (HPPKRG) sebagaiberikut : CPPKRG = PPKRG*HPPKRG, dimana : CPPKRG = Biaya penggunaan pupuk dalam usahatani (Rp 1.000,-/thn) PPKRG = Jumlah penggunaan pupuk untuk rumput-gajah (kg/thn) HPPKRG = Harga pupuk untuk usahatani rumput-gajah (Rp1.000,-/kg) c.2.
Biaya Penggunaan Obat pada Usahatani Rumput-gajah Biaya penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah (COBTRG)
merupakan
persamaan identitas yang diperoleh sebagai hasil perkalian
antara jumlah penggunaan obat (OBTRG) dengan harga satuan obat untuk usahatani rumput-gajah, sebagaimana rumusan berikut : COBTRG = OBTRG * HOBTRG, dimana : COBTRG = Biaya obat2an usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,- /thn) OBTRG = Jumlah obat untuk rumput-gajah (Liter/tahun) HOBTRG = Harga obat usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/liter)
117
c.3.
Biaya Penggunaan Bibit pada Usahatani Rumput-gajah Biaya penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah (CBBTRG)
merupakan persamaan identitas sebagai perjumlahan antara jumlah penggunaan bibit (BBTRG) dengan harga atuan bibit (HBBTRG) sebagai-berikut : CBBTRG = BBTRG*HBBTRG, dimana : CBBTRG BBTRG HBBTRG c.4.
= Biaya penggunaan Input Bibit (Rp1.000,-/tahun) = Jumlah input bibit untuk rumput-gajah (Batang/tahun) = Harga bibit rumput-gajah (Rp 1.000,-/untai)
Biaya Sarana Produksi Rumput-gajah Biaya sarana produksi rumput-gajah (CSPRRG) dirumuskan sebagai
persamaan identitas yang merupakan perjumlahan dari biaya penggunaan pupuk (PPKRG), biaya penggunaan obat (COBTRG), dan biaya penggunaan bibit (CBBTRG) sebagai-berikut : CSPRRG = CPPKRG + COBTRG + CBBTRG, dimana : CPPKRG = Biaya penggunaan pupuk dalam usahatani (Rp/tahun) COBTRG = Biaya obat2an usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun) CBBTRG = Biaya penggunaan Input Bibit (Rp1.000,-/tahun) c.5.
Sharing Produksi yang Dibayarkan kepada Perum Perhutani Sharing Produksi yang dibayarkan kepada Perum Perhutani (SHRRG)
dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan hasil kali antara penerimaan hasil usahatani rumput-gajah (RUM) dengan besarnya proporsi sharing produksi rumput-gajah (k), sebagai-berikut : SHRRG
= k*RUM, dimana :
SHRRG k RUM
= Nilai sharing kepada Perhutani (Rp 1.000,-/tahun). = Proporsi sharing produksi rumput-gajah (%) = Penerimaan usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun)
118
c.6.
Biaya Produksi Total Rumput-gajah Biaya produksi total rumput-gajah (CTOTRG) dirumuskan sebagai
persamaan identitas yang merupakan perjumlahan biaya sarana produksi rumput-gajah (CSPRRG) dengan sharing produksi rumput-gajah (SHRRG) sebagaimana rumusan berikut : CTOTRG = CSPRRG + SHRRG, dimana : CTOTRG = Biaya total usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun) CSPRRG = Biaya sarana-produksi rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun) SHRRG = Nilai sharing kepada Perhutani (Rp 1.000,-/tahun). c.7.
Biaya Rumput-gajah yang Dikonsumsi oleh Sapi-perah Biaya rumput-gajah yang dikonsumsi oleh sapi-perah (CRUMS)
dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan perkalian antara harga rumput-gajah (PRUM) dengan produksi rumput-gajah (PRODRG) sebagaimana rumusan berikut : CRUMS = PRUM* PRODRG, dimana : CRUMS
= Biaya input rumput-gajah bagi sapi-perah (x Rp 1000,/tahun) PRUM = Harga input rumput-gajah (Rp/kg) PRODRG = Produksi usahatani rumput-gajah (1.000 kg/tahun)
c.8.
Biaya Makanan/Konsentrat Sapi-perah Biaya makanan/konsentrat sapi-perah (CMAK) dirumuskan sebagai
persamaan
identitas
yang
merupakan
hasil
perkalian
antara
jumlah
makanan/konsentrat yang dikonsumsi sapi-perah (JMAK) dengan harga makanan/konsentrat (HMAK) sebagaimana rumusan berikut : CMAK = JMAK*HMAK, dimana :
119
CMAK = Biaya makanan bagi sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun) JMAK = Jumlah makanan/konsentrat sapi-perah (Kg/tahun) HMAK = Harga satuan makanan sapi-perah (x Rp 1000,-/kg) c.9.
Biaya Total Sarana-Produksi Sapi-perah Biaya total sarana-produksi sapi-perah (CSPRS) dirumuskan sebagai
persamaan identitas yang merupakan hasil perjumlahan biaya input rumputgajah bagi sapi-perah (CRUMS) dengan biaya makanan/konsentrat bagi sapiperah (CMAK) sebagaimana rumusan berikut : CSPRS = CRUMS + CMAK, dimana : CSPRS = Biaya sarana-produksi sapi-perah ( x Rp 1000,-/tahun) CRUMS = Biaya input rumput-gajah ( x Rp 1000,-/tahun) CMAK = Biaya makanan bagi sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun) c.10.
Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga pada Usahatani Sapi-perah Biaya tenaga kerja luar keluarga/ tenaga-kerja yang disewa pada
usahatani sapi-perah
(CTKS) dirumuskan sebagai persamaan identitas yang
merupakan hasil perkalian antara upah tenaga kerja pada usahatani ternak-sapi (UUDS) dengan alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani sapi-perah (TKLS) sebagaimana rumusan berikut : CTKS = UUDS*TKLS, dimana : CTKS = Biaya tenaga kerja sewa sapi-perah (xRp 1000,-/tahun) UUDS = Upah tenaga yang disewa pada usahatani sapi-perah (Rp/HOK) TKLS = Alokasi TK yg disewa pada usahatani sapi-perah (HOK) c.11.
Biaya Total Produksi Usahatani Sapi-perah Biaya
sebagai
total
produksi
usahatani
sapi-perah (CTOS)
dirumuskan
persamaan identitas yang merupakan perjumlahan biaya sarana-
produksi usahatani sapi-perah (CSPRS) dan biaya tenaga kerja sewa sapiperah (CTKS) sebagai-berikut :
120
CTOS = CSPRS + CTKS, dimana : CTOS = Biaya total usahatani ternak sapi-perah (x Rp 1000,-/thn) CSPRS = Biaya sarana-produksi usahatani sapi-perah (x`Rp 1000,-/thn) CTKS = Biaya tenaga kerja sewa sapi-perah (xRp 1000,-/tahun) d. Blok Pendapatan Rumah Tangga d.1.
Penerimaan Hasil Produksi Usahatani Rumput-gajah Penerimaan hasil produksi usahatani rumput-gajah (RUM) dirumuskan
sebagai persamaan identitas yang merupakan hasil perkalian antara produksi rumput-gajah (PRODRG) dengan harga rumput-gajah (HRG) sebagaimana rumusan berikut : RUM
= PRODRG*HRG, dimana :
RUM = Penerimaan usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun) PRODRG = Produksi usahatani rumput-gajah (1.000 kg/tahun) HRG = Harga output rumput-gajah (Rp/kg) d.2. Pendapatan Usahatani Rumput-gajah Pendapatan usahatani rumput-gajah (YRUM) dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan selisih antara penerimaan hasil usahatani rumput-gajah (RUM) dengan Biaya total usahatani rumput-gajah (CTOTRG) sebagai-berikut : YRUM
= RUM – CTOTRG, dimana :
YRUM = Pendapatan usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun) RUM = Penerimaan usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun) CTOTRG = Biaya total usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun) d.3. Penerimaan Hasil Produksi Susu Penerimaan hasil produksi susu (RSS) dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan hasil perkalian antara produksi susu sapi (PRODSS) dengan harga susu sapi (HSS) sebagaimana rumusan berikut :
121
= PRODSS*HSS, dimana :
RSS
RSS = Penerimaan penjualan susu (Rp 1.000,-/tahun) PRODSS = Jumlah produksi susu (liter/tahun) HSS = Harga satuan susu-sapi (Rp 1.000,-/ liter) d.4. Pendapatan Usahatani Sapi-perah/Hasil Penjualan Susu Pendapatan usahatani sapi-perah/hasil penjualan susu (YSS) dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan selisih antara penerimaan susu (RSS) dengan biaya total usahatani ternak sapi-perah (CTOS) sebagaimana rumusan berikut : YSS
= RSS – CTOS, dimana :
YSS = Pendapatan hasil usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun) RSS = Penerimaan penjualan susu (Rp 1.000,-/tahun) CTOS = Biaya total usahatani ternak sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun) d.5.
Pendapatan Rumahtangga Petani dari Luar Usaha Sapi-perah Pendapatan rumahtangga petani dari luar usaha sapi-perah (YRUL)
dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan hasil perkalian antara alokasi tenaga-kerja keluarga diluar usahatani sapi-perah (TKDUL) dengan upah kegiatan luar usahatani sapi-perah (UUL) sebagaimana rumusan berikut : YRUL
= TKDUL*UUL, dimana :
YRUL = Pendapatan luar usahatani (x Rp 1000,-/tahun) TKDUL = TK Keluarga diluar Usahatani sapi-perah (HOK) UUL = Upah kegiatan luar usahatani (x Rp 1000,-/HOK) d.6.
Pendapatan Total Rumahtangga Petani Sapi-perah Pendapatan total rumahtangga petani sapi-perah (YTOS) dirumuskan
sebagai persamaan identitas yang merupakan perjumlahan pendapatan hasil usahatani sapi-perah (YSS) dan Pendapatan dari luar usahatani sapi-perah (YRUL) sebagaimana rumusan berikut :
122
YTOS = YSS + YRUL, dimana : YTOS = Pendapatan total usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun) YSS = Pendapatan hasil usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun) YRUL = Pendapatan dari luar usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun) d.7.
Pendapatan Total Rumahtangga Petani Rumput-gajah & Sapi-perah Pendapatan total rumahtangga petani rumput-gajah &sapi-perah (IT)
dirumuskan sebagai persamaan identitas yang merupakan
perjumlahan
antara pendapatan dari usahatani rumput-gajah (YRUM) dan pendapatan total usahatani sapi-perah (YTOS) sebagaimana rumusan berikut : IT
= YRUM + YTOS,
dimana : IT = Total pendapatan rumahtangga sapi-perah (x Rp 1000,- /thn) YRUM = Pendapatan dari usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/thn) YTOS = Pendapatan total usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/thn) e. Blok Pengeluaran e.1.
Pengeluaran Konsumsi Pangan Pengeluaran pangan keluarga (KP) dirumuskan sebagai persamaan
struktural yang diduga dipengaruhi oleh tabungan rumahtangga (TAB), pengeluaran non-pangan (KL) dan total pendapatan rumahtangga sapi-perah (IT) sebagai-berikut : KP = j0 + j1TAB + j2KL + j3IT + E10 dengan parameter dugaan adalah j3 > 0 ; j1, j2 < 0, dimana : KP TAB KL IT E10
= = = =
Pengeluaran pangan keluarga (x Rp 1000,-/tahun) Tabungan rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun) Pengeluaran non-pangan rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun) Total pendapatan/total-income rumahtangga sapi-perah (x Rp 1000,- /tahun) = Error-term
123
e.2.
Pengeluaran Konsumsi Total Pengeluaran konsumsi total (KT) dirumuskan sebagai persamaan
identitas yang merupakan perjumlahan antara pengeluaran pangan (KP) dengan pengeluaran non-pangan (KL) sebagaimana rumusan berikut ini : KT = KP + KL, dimana : KT = Total pengeluaran konsumsi rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun) KP = Pengeluaran pangan keluarga (x Rp 1000,-/thn) KL = Pengeluaran non-pangan (x Rp 1000,-/tahun) e.3.
Pengeluaran Investasi Sumberdaya Manusia Pengeluaran investasi sumberdaya manusia (INV) dirumuskan sebagai
persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh pengeluaran pangan & kebutuhan pokok keluarga (KP), pendidikan suami (PDS) dan pendapatan total (IT), sharing produksi (SHRRG) sebagai-berikut : INV = k0 + k1KP + k2PDS + k3IT + k4SHRRG + E11, dengan parameter dugaan adalah k2, k3 > 0 ; k1, k4 < 0, dimana : INV KP PDS IT SHRRG E11 e.4.
= = = = = =
Pengeluaran investasi rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun) Pengeluaran pangan & kebutuhan pokok (x Rp 1000,-/thn) Pendidikan suami (Tahun) Total pendapatan rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun) Nilai sharing kepada Perhutani (Rp 1.000,-/tahun). Error-term
Pengeluaran Total Rumahtangga Petani Pengeluaran total rumahtangga petani (TEXP) dirumuskan sebagai
persamaan identitas yang merupakan perjumlahan dari total pengeluaran konsumsi rumahtangga sapi (KT) dengan pengeluaran investasi rumahtangga (INV) sebagaimana rumusan berikut : TEXP = KT + INV, dimana :
124
TEXP = Total pengeluaran rumahtangga (x Rp 1000,-/HOK) KT = Total pengeluaran konsumsi rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun) INV = Pengeluaran investasi rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun) f. Blok Tabungan dan Kredit f.1.
Tabungan Tabungan rumahtangga merupakan sisa dana yang ditabung baik pada
institusi perbankan maupun bukan perbankan. Tabungan dirumuskan sebagai persamaan struktural
yang
dipengaruhi oleh penerimaan susu (RSS), total
pengeluaran rumahtangga (TEXP), serta suku bunga tabungan (SBT), sebagaimana formulasi berikut : TAB = l0 + l1RSS + l2TEXP + l3SBT + E12, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah l1, l2 < 0 ; l3 > 0, dimana : TAB RSS TEXP SBT E12 f.2.
= = = = =
Tabungan rumahtangga (Rp/tahun) Penerimaan susu (x Rp 1000,-/tahun) Total pengeluaran rumahtangga (x Rp 1000,-/HOK) Suku bunga pinjaman (% per Tahun) Error-term
Kredit/pinjaman Rumahtangga Kredit/pinjaman rumahtangga merupakan dana cash yang diperoleh dari
pinjaman komersial maupun pinjaman dari institusi non-perbankan seperti program PKBL Perum Perhutani, sebagaimana rumusan berikut : KR = m0 + m1SBP + m2CSPRS + E13, dengan parameter dugaan yang diharapkan adalah : m2 > 0; m1 < 0, dimana : KR SBP CSPR E13
= = = =
Kredit/pinjaman rumahtangga (Rp/tahun) Suku bunga pinjaman (% per tahun) Total sarana produksi usahatani kopi (Rp/tahun) Error-term
125
4.6. Identifikasi dan Metode Pendugaan Model Rumus identifikasi model struktural berdasarkan order condition menurut Koutsoyiannis (1977) dan Gujarati (1978), adalah : (G – g) + (K – M) > (G – 1) atau (K – M) > (g – 1) Apabila : (K – M) = (G – 1), maka model exactly identified (K – M) < (G – 1), maka model under identified (K – M) > (G – 1), maka model over identified dimana : K = Jumlah peubah predetermined di dalam model. M = Jumlah peubah predetermined (endogen dan eksogen) dalam persamaan. G = Jumlah persamaan di dalam model. g = Jumlah peubah endogen yang terdapat dalam persamaan. Jika sistem persamaan dalam model adalah over-identified, maka metode informasi terbatas (Limited Information Methods) 2SLS (Two Stage Least Squares) maupun 3SLS (Three Stage Least Squares) dapat digunakan. Dari spesifikasi model ekonometrika di atas, semua model (rumahtangga petani PHBM Kopi dan rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapiperah) adalah over-identified, sehingga berdasarkan pertimbangan efisiensi, konsistensi
dan
kemudahan,
dipergunakan adalah metode
metode
pendugaan
ekonometrika
yang
2SLS (Two Stage Least Squares). Metode ini
memiliki tingkat ketelitian yang cukup tinggi dan proses pengolahan data yang efisien dalam penggunaan waktu (Koutsoyiannis, 1977 dan Sarwoko, 2005). Pendugaan parameter model persamaan struktural dari Ekonomi Rumahtangga
Petani
Sekitar
Hutan
di
wilayah
Pangalengan
dalam
126
penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan bantuan program aplikasi komputer Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.
4.7. Validasi dan Simulasi Model Validasi model bertujuan untuk mengetahui tingkat representasi model dibandingkan dengan data aktual (dunia nyata), sejauh mana model yang dibangun mampu menjelaskan fenomena yang sebenarnya. Dengan kata lain, validasi model bertujuan mengetahui apakah suatu model cukup baik untuk analisis simulasi. Validasi model dilakukan dengan menggunakan statistik Root Mean Squares Percented Error (RMSPE) dan uji statistik U-Theil. Untuk mengetahui apakah model yang dibangun cukup baik digunakan untuk simulasi, evaluasi dan peramalan dampak alternatif kebijakan, maka terlebih dahulu dilakukan validasi model. Suatu model valid apabila nilai-nilai dugaan peubah endogen yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai aktualnya. Ukuran yang digunakan untuk mengetahui baik atau tidaknya suatu model adalah Root Mean Squares Percentage Error (RMSPE) dan koefisien UTheil, dimana semakin RMSPE dan U-Theil maka model semakin baik. Kedua ukuran tersebut dapat dituliskan dalam rumus sebagai berikut: T RMSPE = [ 1/T ∑ {( Yst - Yat ) / Yat }2 ]0.5 t=1 dimana: T = Jumlah pengamatan dalam simulasi Yst = Nilai simulasi dasar Yat = Nilai pengamatan aktual Koefisien U-Theil digunakan untuk uji statistik dan berhubungan dengan error simulasi. Disamping itu juga digunakan untuk mengevaluasi hasil simulasi
127
historis (Pindyck dan Rubinfeld, 1981). Proporsi bias UM , US dan UC merupakan indikator bias berdasarkan sumbernya. UM menunjukkan indikasi terjadinya error sistem karena hanya mengukur deviasi nilai rata-rata hasil simulasi dari data
aktualnya. Dengan demikian diharapkan nilai UM
mendekati nol,
berapapun nilai U-Theil yang diperoleh. US mencerminkan kemampuan model untuk mengikuti perilaku data aktual dari peubah yang diamati, dimana semakin kecil nilai US maka akan semakin baik daya prediksi model yang dibangun. UC merupakan bias residu dari UM dan US, dan sering disebut sebagai error yang bukan berasal dari sistem (nonsystematic error) serta nilainya harus mendekati satu. T [ 1/T ∑ (Yst - Yat ) 2 ]0.5 t=1 U-Theil = T T s 2 0.5 [1/T ∑ (Y t ) ] + [1/T ∑ (Yat ) 2 ]0.5 t=1 t=1
UM
=
US
=
UC
=
(Yst - Yat ) 2 (1/T) ∑ (Yst - Yat ) 2 ( σs - σa ) 2 (1/T) ∑ (Yst - Yat ) 2
2(1 - σ ) σsσa (1/T) ∑ (Yst - Yat ) 2
dimana : σs , dan σa masing-masing merupakan standar deviasi dari Yst dan Yat.
128
Analisa simulasi dilakukan terhadap model ekonomi rumahtangga petani PHBM, terdiri atas 12 skenario, yaitu : 1. Kenaikan harga input produksi 2. Kenaikan upah tenaga kerja. 3. Kombinasi skenario 1 & 2 4. Kenaikan harga output 5. Kombinasi skenario 3 & 4 6. Penurunan proporsi nilai sharing produksi. 7. Kombinasi skenario 3 & 6 8. Penurunan suku bunga pinjaman 9. Kombinasi skenario 3 & 8 10. Kenaikan luas lahan usahatani 11. Kombinasi skenario 3 & 10 12. Kenaikan pendapatan akibat program BLT (Bantuan Langsung Tunai) Tujuan simulasi adalah untuk merancang kebijakan pemberdayaan petani PHBM baik oleh pemerintah maupun perusahaan, dan untuk mengukur ketahanan ekonomi rumahtangga petani menghadapi kemungkinan perubahan eksternal.
4.8. Definisi dan Konsep Pengukuran Definisi dan konsep pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai-berikut : 1. Rumahtangga adalah keluarga inti ditambah dengan orang-lain, baik kerabat maupun bukan kerabat yang tinggal di bawah satu atap. Anggota rumahtangga adalah semua orang yang biasanya tinggal di suatu
129
rumahtangga, baik di rumah maupun yang sedang bepergian kurang dari 6 (enam) bulan. 2. Usia kerja adalah penduduk yang berumur 15 tahun atau lebih dengan tidak membedakan antara yang sedang bersekolah, mengurus rumahtangga, pensiun dan melaksanakan kegiatan lain. 3. Angkatan kerja adalah penduduk yang memiliki usia kerja (15 tahun atau lebih) dengan tidak membedakan antara yang sedang bersekolah, mengurus rumahtangga, pensiun dan melaksanakan kegiatan lain. 4. Bekerja adalah semua penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih yang dalam
periode
pengamatan
ikut
terlibat dalam memperoleh atau
membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan. 5. Curahan
kerja
adalah
jumlah
jam
kerja
yang dicurahkan anggota
keluarga yang digunakan untuk kegiatan mencari pendapatan (mencari nafkah) atau keuntungan, baik dari kegiatan usahatani maupun di luar usahatani yang diusahakan. 6. Kegiatan usahatani adalah alokasi waktu seseorang yang digunakan dalam kegiatan usahatani (on-farm), misalnya usahatani komoditas kopi atau rumput-gajah. 7. Kegiatan diluar usahatani adalah alokasi waktu yang digunakan seseorang dalam aktivitas di luar usahatani (off-farm), seperti misalnya : berdagang, melakukan jasa ojek, mengajar, menjadi buruh (tani, bangunan, memetik teh), dan lain-lain 8. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi
130
antara Perum Perhutani dan Masyarakat Desa atau para pihak yang berkepentingan, dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan akomodatif. 9. Desa Hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar hutan. 10. Kawasan Pangkuan Desa (KPD) adalah wilayah kawasan hutan yang sudah dikerjasamakan dalam pengelolaan hutan dan menjadi tanggungjawab LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). 11. Masyarakat Desa Hutan (MDH) adalah kelompok orang yang bertempattinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya. 12. Pihak yang berkepentingan (stakeholders) adalah pihak-pihak di luar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya PHBM, yaitu Pemerintah Daerah (Pemda), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM), Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan, Lembaga Donor, dan lain-lain. 13. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) adalah wadah berorganisasinya petani di kawasan Hutan Pangkuan Desa (HPD) yang melaksanakan program PHBM di kawasan hutan Perum Perhutani. 14. Kelompok Tani Hutan (KTH) adalah perkumpulan petani PHBM (kopi, rumput-gajah, terong-kori, dan lain-lain) yang tergabung dalam kelembagaan LMDH.
131
15. Kegiatan agroforestry adalah bentuk pemanfaatan lahan atau pola pengelolaan lahan yang dapat mempertahankan dan bahkan menaikkan produktivitas lahan secara keseluruhan, yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan, pertanian, peternakan, dan perikanan, baik secara bersama atau bergiliran , dengan menggunakan manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. 16. Tumpangsari adalah suatu pola pertanaman dimana tanaman lain ditanam di antara tanaman pokok pada waktu yang hampir bersamaan dengan tanaman pokok tersebut. 17. Tumpang-gilir
adalah
pengaturan
waktu
penanaman
tanaman
lain
sedemikian rupa sehingga sesudah tanaman pokok dipanen, tanaman lain sudah besar dan bahkan dapat segera dipanen, begitu seterusnya sehingga tercipta pemanfaatan waktu yang sebesar-besarnya. 18. Faktor
produksi
adalah semua unsur masukan produksi berupa lahan,
tenaga kerja, teknologi dan atau modal, yang dapat mendukung terjadinya proses produksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan. 19. Program PKBL adalah Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan, yaitu suatu program perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyisihkan sebagian keuntungan (1 sampai 5 persen) sebagai program community development bagi masyarakat yang menjadi stakeholders, diantaranya menyediakan fasilitas kredit berbunga lunak kepada usaha kecil, menengah, dan Koperasi.
V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PHBM
5.1. Gambaran Umum Lokasi 5.1.1. Visi dan Misi Perum Perhutani Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah pengelolaan Kementerian Negara BUMN dan berada pada lingkup binaan teknis Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Perum Perhutani diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan, dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya di Pulau Jawa, tidak termasuk kawasan hutan di wilayah DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Perum Perhutani melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan berprinsip pada kelestarian yang berkesinambungan dalam pemanfaatan hutan secara optimal. Kegiatan Perum Perhutani secara garis-besar meliputi : bidang perencanaan, pembinaan hutan, produksi, industri, pemasaran, dan pengamanan hutan. Sebagai Perusahaan BUMN, visi Perum Perhutani yang ditetapkan adalah “Menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sedangkan misi yang dikembangkan adalah : 1. Mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestri serta potensi usaha berbasis kehutanan
lainnya
guna
menghasilkan
keuntungan
pertumbuhan perusahaan secara berkelanjutan.
untuk
menjamin
133
2. Membangun dan mengembangkan perusahaan, organisasi serta sumberdaya manusia
perusahaan
yang
moderen,
profesional
dan
handal
serta
memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan. 3. Mendukung dan turut berperanserta dalam pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan internasional. 5.1.2. Perkembangan Kegiatan PHBM di Perum Perhutani Menurut pedoman PHBM, dinyatakan bahwa Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM) Plus adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, adaptif, partisipatif dan akomodatif, dengan pengertian : 1. Fleksibel : menurut usaha, tempat dan budaya serta kemampuan masyarakat desa hutan (MDH) 2. Akomodatif : seluruh unsur yang peduli (concern) 3. Partisipatif : keterlibatan seluruh pihak yang terkait (stakeholders) 4. Tanggungjawab Sosial : kepekaan terhadap kesejahteraan, intelektualitas, kesehatan, spiritual masyarakat desa hutan (MDH) Adapun indikator pencapaian keberhasilan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Plus menuju desa hutan yang mandiri adalah : 1. Tingkat pendidikan
134
2. Tingkat daya beli masyarakat 3. Tingkat kesehatan masyarakat 4. Keberhasilan reboisasi 5. Tingkat keamanan hutan 6. Jejaring kelembagaan Secara skematis penerapan Pengelolan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 12.
Dalam diagram
tersebut dijelaskan, bahwa untuk mencapai sasaran akhir berupa “hutan lestari, lingkungan terjaga, dan masyarakat sejahtera”, maka kegiatan PHBM Plus berperanan penting. Kegiatan ini didukung oleh sinergi antar sektor maupun sinergi antara BUMN dalam bentuk program PKBL (Pembinaan Kemitraan dan Lingkungan Hidup) atau program Community Development (CD). Sinergi antar sektor
Visi & misi Perhutani
PHBM Plus
Masyarakat sejahtera
Hutan lestari MDH Mandiri Lingkungan terjaga
Sinergi BUMN
PKBL
Sumber : Perum Perhutani (2007)
Gambar 12. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Plus Perkembangan proses PHBM pada desa hutan seluruh perusahaan Perum Perhutani sampai dengan Desember 2007 disajikan pada Tabel 1 berikut ini. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa jumlah desa yang telah menerapkan program PHBM adalah 4 819 desa atau 86% dari desa sekitar hutan yang ada. Sedangkan luasan hutan pangkuan desa yang telah menerapkan program PHBM
135
mencapai lebih kurang 1 883 669.52 ha dan jumlah orang yang terlibat mencapai lebih kurang 4 596 972 orang kepala keluarga (Perum Perhutani, 2007). Sampai dengan Desember 2007, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang telah terbentuk mencapai jumlah 3 686 unit dengan dominasi LMDH yang bergerak di sektor pertanian mencapai 2 103 unit (57 %) dan sektor jasa 1 063 unit (29 %), sebagaimana disajikan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 1. Perkembangan Proses PHBM pada Desa Hutan s/d Desember 2007
Unit
Jumlah desa Hutan
Desa PHBM (Desa MDH)
Luas Pangkuan Hutan (Ha)
Jumlah KK (Org)
Prosentasi (3 : 2)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
I
2 011
1 715
556 395.20
2 193 149
85 %
II
1 961
1 589
858 680.00
707 868
81 %
III
1 615
1 515
468 594.32
1 695 955
94 %
Total
5 587
4 819
1 883 669.52
4 596 972
86 %
Sumber : Perum Perhutani (2007) Tabel 2. Sebaran dan Jumlah LMDH menurut Usaha Produktifnya s/d Desember 2007 UNIT
(1)
I II III Total
JUMLAH LMDH
Industri
Perdagangan
Pertanian
SEKTOR USAHA PRODUKTIF Perkebunan
Peternakan
Perikanan
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Jasa
Lainlain
(9)
(10)
71
106
569
127
155
30
126
133
1 601
6
5
925
3
14
0
924
0
1 246
44
43
609
19
80
28
13
33
839
121
154
2 103
149
249
58
1,063
136
3 686
Sumber : Perum Perhutani (2007) Disamping komoditas pertanian, kegiatan PHBM menghasilkan pula produk perkebunan seperti kopi, kina, terpentin, dan sebagainya. Pada lokasi
136
penelitian yang dijadikan studi kasus, komoditas yang dominan adalah kopi Arabica yang berasal dari Aceh Tengah, yaitu kopi Kartikasari dan rumput-gajah. Kegiatan PHBM telah bersinergi dengan kegiatan Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Perum Perhutani berupa dana hibah maupun pinjaman lunak untuk membantu pengembangan usaha produktif masyarakat peserta PHBM. Adapun besarnya jumlah penyerapan tenaga kerja dan nilai tambahan penghasilan yang diperoleh dari aktivitas PHBM dari tahun 2001 hingga 2007 masing-masing Unit adalah sebanyak 11 983 470 orang dan Rp 439 371 081 179 (Perhutani, 2007). 5.1.3. Gambaran Umum Wilayah Hutan pada Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan memiliki kawasan hutan seluas 55 074,78 ha, terdiri atas kelas perusahaan rimba, yaitu : Pinus dan Tanaman Kayu Lain/TKL (diantaranya : Rasamala, Mahoni, Eukaliptus/ Eucalyptus, Rimba campur, Damar, Suren dan lain-lain). Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan terletak di wilayah administrasi Kabupaten Bandung yang sebagian besar merupakan kawasan penyangga (buffer-zone) dan tangkapan air (catchment-area) untuk wilayah hulu sungai Citarum. Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mempunyai fungsi strategis sebagai pengatur tataair (hidroorologi), penyangga proyek vital (Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur), maupun penunjang kemajuan perekonomian propinsi Jawa Barat, khususnya yang terkait dengan sektor pertanian.
137
Tugas dan tanggungjawab Perum Perhutani KPH Bandung Selatan cukup berat, karena 79 % wilayahnya berupa Hutan Lindung, sehingga memiliki keterbatasan dalam pemanfaatannya. Disamping merupakan penyangga proyek vital pembangkit tenaga listrik yang memenuhi kebutuhan Pulau Jawa dan Bali, wilayah hutan KPH Bandung Selatan memiliki nilai strategis lain, yaitu : 1. Sebagai pendukung cekungan Bandung dan sumber air bagi pertanian dan air bersih masyarakat di sekitarnya. 2. Mempunyai topografi yang sangat variatif dan merupakan hulu dari banyak sungai yang berperan-penting dalam menopang kualitas hidup masyarakat. 3. Kawasan hutan KPH Bandung Selatan dikelilingi oleh desa-desa yang masyarakatnya memiliki interaksi yang sangat erat dengan sumber-sumber kehidupan, khususnya hutan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 195/KptsII/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Propinsi Jawa Barat, wilayah hutan yang dikelola oleh KPH Bandung Selatan meliputi 3 (tiga) fungsi, yaitu : Hutan Lindung (43 595,99 ha), Hutan Produksi (7 723,23 ha), dan Hutan Produksi Terbatas (12 658,03 ha). Tetapi berdasarkan hasil rescoring yang diadakan pada tahun 2003, telah terjadi perubahan fungsi Hutan Produksi (HP) menjadi Hutan Lindung (HL), sehingga komposisi terakhir luas Hutan lindung bertambah menjadi 55 074.78 ha sebagaimana Tabel 3. Dengan demikian, maka KPH Bandung Selatan lebih banyak mengelola kawasan hutan lindung yang sangat erat-kaitannya dengan persoalan lingkungan (tata-air/hidro-orologi)
dan
bersentuhan
dengan
masalah-masalah
sosial,
sebagaimana Gambar 1 Lampiran 20. Karena itu persoalan yang menyangkut
138
aspek sosial, seperti pemberdayaan masyarakat melalui program PHBM, menjadi sangat penting.
KPH Bandung tidak memiliki peluang untuk memanfaatkan
produksi kayunya melalui penebangan (timber-extraction), melainkan hanya diperbolehkan mengembangkan peluang untuk pemanfaatan penyadapan getah Pinus secara terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pemanfaatan agroforestry melalui aktivitas PHBM. Tabel 3. Luas Kawasan Hutan KPH Bandung Selatan (Hasil Rescoring) Tahun 2003 NO
FUNGSI HUTAN
SK MENHUTBUN NO : 195/2003 (HA)
%
1
Hutan Produksi (HP)
7 723.23
14
2
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
3 755.56
7
3
Hutan Lindung (HL)
43 595.99
79
55 074.78
100
JUMLAH Sumber : RKL KPH Bandung Selatan
Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki kawasan hutan seluas 156 521.18 ha, diantaranya 49 616.23 ha berada di KPH Bandung Selatan (31,7 % dari luas DAS Citarum atau 90.1 % dari total kawasan hutan KPH Bandung Selatan) yang merupakan hulu DAS tersebut. Dengan demikian posisi KPH Bandung Selatan sangat strategis dalam menentukan berfungsinya DAS Citarum secara optimal. Ini mengandung pengertian, bahwa apabila kawasan hutan KPH Bandung Selatan mengalami kerusakan karena pencurian atau perambahan oleh masyarakat, maka dampaknya sangat besar bagi berfungsinya kawasan hilir yang sangat diperlukan untuk menopang hajat hidup orang banyak. Karena itu kawasan ini harus diamankan dari ancaman perambahan lahan maupun pencurian kayu, serta perusakan lingkungan, diantaranya melalui penerapan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).
139
5.1.4. Sejarah PHBM di KPH Bandung Selatan Kawasan hutan KPH Bandung Selatan mengalami tekanan berupa perambahan hutan yang sangat intensif. Menurut hasil kajian LSM Bina Mitra (2002), perambahan hutan yang terjadi di wilayah KPH Bandung Selatan disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya adalah pertambahan penduduk yang tinggi, pendapatan masyarakat yang relatif rendah, serta situasi perekonomian dan politik nasional yang tidak kondusif. Kebiasaan masyarakat desa sekitar hutan melakukan budidaya komoditas sayuran sudah berjalan berpuluh tahun, sebagaimana biasa dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan Pulau Jawa pada umumnya (seperti di Malang, Wonosobo, Gunung Dieng). Menurut penelitian Katharina (2006), petani sayuran (kentang) di Pangalengan enggan menerapkan sistem pertanian konservasi karena petani menginginkan keuntungan yang setinggitingginya dalam jangka-pendek. Padahal analisis untuk jangka 20 tahun, usahatani kentang dengan sistem pertanian konservasi (teras bangku dan searah kontur) memberikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan usahatani dengan sistem penanaman searah lereng. Menurut pengamatan KPH Bandung Selatan (2007), penanaman komoditas sayuran di lereng-lereng yang memotong kontur akan memberikan dampak negatif, diantaranya berupa : 1. Kegagalan kegiatan reboisasi dan
rehabilitasi
hutan,
karena
tidak-
dikehendakinya tanaman kehutanan oleh para penggarap dengan alasan akan menaungi tanaman sayuran.
140
2. Menimbulkan erosi dan aliran permukaan yang sangat tinggi, karena komoditas sayuran mempunyai perakaran yang dangkal dan daur tanaman yang relatif cepat (sekitar 90 hari), sehingga frekuensi pembukaan lahan semakin cepat dan menguras hara tanah. 3. Penggunaan pestisida, pupuk kimia dan obat-obatan yang tidak ramah lingkungan. Dampaknya adalah air bersih menjadi tercemar dan semakin tidak layak minum. 4. Terjadi proses pendangkalan waduk yang menimbulkan dampak negatif bagi ketersediaan sumber air bagi 3 (tiga) waduk strategis untuk pembangkit tenaga listrik Jawa-Bali. 5. Adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat petani dengan pemerintah (cq Perum Perhutani), berpotensi menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan. Salah satu alasan mengapa masyarakat sekitar hutan melakukan perambahan hutan adalah karena masyarakat belum dilibatkan secara penuh dalam proses pengelolaan hutan, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai pada proses monitoring dan evaluasi. Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam berinteraksi dan sesekali timbul benturan, karena akses bagi masyarakat untuk ikutserta menikmati nilai manfaat hutan tidak terbuka lebar, sebaimana disajikan pada Tabel 4 (Bina Mitra, 2002). Beberapa informasi penting yang dicatat dalam upaya perencanaan partisipatif melalui PRA (Participatory Rural Appraissal) yang dilakukan oleh mitra LSM (Bina Mitra) bekerjasama dengan Perum Perhutani adalah sebagaiberikut :
141
1. Pada dasarnya petani sayur di hutan telah memahami adanya dampak negatif dari aktivitas usaha-taninya dan memahami itikad baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk melarang aktivitas tumpangsari. Tabel 4. Identifikasi Masalah yang Dihadapi Masyarakat di Wilayah Hutan Hulu Citarum KPH Bandung Selatan INFORMASI PENTING
Masyarakat menggarap di lahan hutan tanpa ijin (perambahan) Penggarap dari luar desa menggarap dan menguasai lahan Hijauan makanan ternak sulit diperoleh pada saat musim kemarau
MASALAH KEHUTANAN DAN PERTANIAN Lahan yang ada terbatas (lahan yang ada dikelola oleh Perum Perhutani dan Perkebunan Negara)
Kegiatan usaha kurang, modal kurang, hasil pertanian kurang seimbang dengan modal berusahatani
Pupuk dan obat-obatan relatif mahal
Lembaga ekonomi masyarakat belum ada
Kesulitan air pada musim kemarau
Kesulitan bibit tanaman pertanian yang berkualitas
Harga jual masih rendah
POTENSI Tenaga Kerja banyak Sentra sayuran (wortel, kol, kentang, bawang daun) Potensi ternak sapi relatif besar Potensi kehutanan dan perkebunan besar
MASALAH KELEMBAGAAN
Ada indikasi terselubung permainan antara petani dengan oknum petugas Perhutani Beberapa LSM berencana membentuk forum untuk menyikapi lingkungan Hulu Sungai Citarum yang semakin rusak
Kelompok Tani Hutan (KTH) Adanya keinginan belum terbentuk secara merata masyarakat untuk menjalin kerjasama Kemitraan antara masyarakat kemitraan dengan dengan Perhutani belum Perum Perhutani terbentuk
Tidak ada pembinaan dari Perum Perhutani
Tidak ada lembaga pendamping/Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM)
Sumber : Hasil Kajian Zona Inti Kawasan Hulu Sungai Citarum (LSM Bina Mitra, 2003)
2. Ditemukan 3 (tiga) solusi utama untuk mengatasi perambahan lahan hutan, yaitu : a
Pertama, alih komoditas dari tanaman sayur menjadi tanaman perkebunan yang mempunyai sistem perakaran yang kuat untuk menahan erosi namun memiliki nilai ekonomis untuk masyarakat, antara-lain kopi.
142
b
Kedua, alih-profesi dari petani sayur kepada profesi lain yang sesuai dengan potensi setempat, yaitu : menjadi peternak sapi atau kambing dengan melakukan penanaman Hijauan Makanan Ternak (HMT) di kawasan hutan.
c Ketiga, alih-lokasi dengan tawaran pindah wilayah perkebunan di Cianjur. 3. Terbangun kesepakatan antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dengan Perum Perhutani untuk membangun kerjasama pengelolaan hutan. 4. Telah terjadi proses pembelajaran yang sangat penting, yaitu bahwa : a. Upaya penurunan perambahan hutan yang tidak diikuti dengan upaya pasca-perambahan, tidak menjamin terbebasnya lahan-hutan dari garapan tanaman sayuran. b. Upaya merubah tradisi masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus dengan pendampingan dari petugas/aparat maupun LSM. c. Kelembagaan petani melalui Kelompok Tani Hutan (KTH) mempunyai peranan penting untuk membangun proses penyadaran bersama. d. Hubungan kerja yang harmonis antara masyarakat dengan Perhutani terbangun semakin baik. e. Adanya kenaikan harga BBM dan kelangkaan minyak-tanah, mendorong minat masyarakat kembali melakukan aktivitas di kawasan hutan, terutama untuk mencukupi kebutuhan bahan-bakar dari kayu. Dari sisi Perum Perhutani dan petani PHBM, tujuan diterapkannya PHBM di KPH Bandung Selatan, diantaranya adalah :
143
1. Meningkatkan tanggungjawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihakpihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi maupun manfaat sumberdaya hutan. 2. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 3. Menyelaraskan
mutu
sumberdaya
hutan
sesuai
dengan
kegiatan
pembangunan wilayah. 4. Meningkatkan
pendapatan
perusahaan,
masyarakat
desa
hutan
dan
stakeholders lain secara simultan. 5. PHBM di Bagian Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan memiliki posisi yang paling luas dan relatif lebih maju dibandingkan dengan kegiatan PHBM di 8 (delapan) BKPH lainnya. Disamping itu, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari di BKPH Pangalengan yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah merupakan satu-satunya LMDH yang sudah mencapai score tertinggi dan mampu mencapai predikat sebagai LMDH Mandiri sebagaimana Tabel 5. Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian perilaku ekonomi rumahtangga petani PHBM dalam pengambilan keputusan menyangkut faktorfaktor alokasi waktu dan tenaga kerja, produksi, pendapatan dan pengeluaran di wilayah ini, menjadi sangat penting. Disamping faktor di atas, LMDH Kubangsari dipilih secara sengaja (purposive) sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan, antara-lain :
144
1. Mewakili LMDH yang merupakan daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang sangat strategis sebagai daerah tangkapan hujan dan sangat vital bagi proyek-proyek penting di hilirnya. Tabel 5. Daftar Kriteria LMDH di BKPH Pangalengan KPH Bandung Selatan BKPH/RPH (1)
LMDH
NILAI (SCORE)
DESA
(4)
(5)
Kubangsari
Pulosari
293
LMDH Mandiri
Warnasari
Warnasari
259
LMDH Madya
Margamulya
Margamulya
256
LMDH Madya
Sukaluyu
Sukaluyu
253
LMDH Madya
WAYANGWINDU
Sukamanah
Sukamanah
233
LMDH Madya
KANCANA
Margaluyu
Margaluyu
210
LMDH Madya
WAYANGWINDU
Margamukti
Margamukti
209
KANCANA
Wanasuka
Wanasuka
201
PANGALENGAN
(2)
Sumber : KPH Bandung Selatan (2007)
(3)
KATAGORI
LMDH Madya LMDH Madya
a
2. Merupakan LMDH pionir karena wilayah hutan di sekitarnya mendapat tekanan terberat pada saat reformasi. 3. Memiliki luas kawasan Pangkuan Hutan Desa (PHD) terbesar di KPH Bandung Selatan dan mewakili dinamika sosial yang terbaik. 4. Merupakan model yang baik dalam proses alih-komoditi yang mengarah kepada pengelolaan hutan yang sangat memperhatikan aspek ekologis (ecological-sound). 5. Memiliki multi-komoditas yang cukup ideal untuk contoh pengelolaan hutan di daerah dataran tinggi (kawasan Hutan Lindung) yang tidak semata-mata mementingkan aspek produksi/ekonomi, melainkan aspek hidro-orologis dan kelstarian fungsi hutan.
145
5.1.5. Kondisi Geografi dan Administrasi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat, termasuk dalam Bagian Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Secara geografis, lokasi penelitian merupakan hulu Sungai Citarum, masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Citarik (Cisangkuy Hulu). Desa Pulosari terletak di kaki Gunung Tilu. Di desa ini terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pangalengan, Sub DAS Cisangkuy. Jarak antara lokasi penelitian dengan Ibukota Propinsi (Bandung) lebihkurang 51 km dan dengan Ibukota Kabupaten (Soreang) lebih-kurang 31,5 km. Sarana-prasarana fisik Desa Pulosari dalam bentuk jalan dan jembatan relatif baik, sehingga aksesabilitas desa dengan wilayah lainnya relatif lancar. Secara administratif, lokasi penelitian berbatasan dengan desa-desa lain sebagai- berikut : sebelah Utara desa Lamajang, sebelah Selatan desa Margaluyu, sebelah Timur dengan desa Pangalengan, dan sebelah Barat dengan desa Warnasari, sebagaimana peta lokasi terlampir. Sedangkan secara administratif kecamatan, lokasi penelitian berbatasan dengan kecamatan Cimaung (sebelah Utara), kecamatan Kertasari (sebelah Selatan), kecamatan Pacet (sebelah Timur), dan kecamatan Pasir Jambu (sebelah Barat). Luas administratif desa Pulosari meliputi lebih-kurang 5.118,1 ha, dengan perincian penggunaan lahan sebagaimana Tabel 6. Penggunaan lahan yang
146
dominan adalah kawasan hutan dan perkebunan yang mencapai porsi di atas 70 % dari total lahan yang ada. Tipologi desa Pulosari adalah desa sekitar hutan, desa perkebunan, dan desa peternakan. Letak ketinggian lokasi penelitian adalah 1.200 – 1.500 m dari muka laut (dpl), dengan curah-hujan rata-rata 1.000 s/d 2.400 mm/tahun dan hari hujan rata-rata 7 bulan dalam setahun.
Suhu udara maksimum 20
o
C dan
minimum 18.22 o C. Tabel 6. Penggunaan Lahan di Wilayah Desa Lokasi Penelitian NO (1)
PENGGUNAAN
LUAS (HA)
(2)
(3)
1
LAHAN PERTANIAN Ladang Milik 2 LAHAN PERKEBUNAN Milik Rakyat Milik Negara Milik Swasta 3 LAHAN PERIKANAN Kolam/Tambak Danau 4 LAHAN PETERNAKAN 5 LAHAN PEKARANGAN 6 LAHAN PERKAMPUNGAN/PEMUKIMAN 7 PEKUBURAN 8 HUTAN Hutan Rakyat Hutan Negara TOTAL Sumber : Data Potensi Desa Tahun 2007
276.2 154.0 353.3 25.0 1.2 22.0 40.7 66.8 77,0 0 4 112.0 5 118.1
Hingga tahun 2007 penduduk berjumlah 9 325 orang, terdiri atas 4 841 orang pria dan 4 484 orang wanita. Keadaan jumlah penduduk selama 5 tahun terakhir disajikan pada Tabel 7. Dalam kurun waktu tersebut proporsi angkatan kerja produktif (usia 15 tahun ke atas hingga 56 tahun) relatif dominan.
147
Pendidikan di lokasi penelitian belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, meskipun akses lokasi penelitian terhadap pusat-pusat pendidikan di Ibukota Propinsi sudah relatif terbuka. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Tabel 7. Perkembangan Jumlah Penduduk pada Desa di Penelitian
Lokasi
JUMLAH PENDUDUK No
TAHUN
JUMLAH 0 – 5 th
6 – 16 th
17 – 50 th
51 th >
1
2003
1 626
1 984
3 584
995
8 189
2
2004
1 188
1 875
4 496
1 107
8 666
3
2005
1 263
1 875
4 950
1 107
9 195
4
2006
983
1 755
5 367
1 112
9 217
5
2007
977
2 044
4 666
1 620
9 325
Sumber : Data Potensi Desa, Monografi Desa (Diolah) Tabel 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan JUMLAH PENDUDUK No
PENDIDIKAN
2003
2004
2005
2006
2007
T
TT
T
TT
T
TT
T
TT
T
TT
PM
PM
PM
PM
PM
PM
PM
257
PM
227
1
BUTA AKSARA
2
SD
2 425
-
2 585
463
1 048
69
4 590
329
6 576
120
3
SLTP
2 279
-
927
-
1 105
-
659
-
661
-
4
SLTA
1 160
-
1 412
-
573
-
573
-
168
-
5 PT 3 4 30 Sumber : Data Potensi Desa Tahun 2007 dan Data Statistik Desa
76
-
17
-
Keterangan : T : Tamat, TT : Tidak Tamat
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah buruh tani dan petani yang pada umumnya tidak memiliki lahan (landless), sebagaimana terlihat pada Tabel 9.
148
Masyarakat desa hutan yang terkait dengan aktivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) masih dimasukkan ke dalam kategori buruh-tani karena mereka hanya sebagai penggarap lahan, bukan sebagai pemilik (owner) dari lahan yang diusahakannya. Usaha jasa relatif belum berkembang pesat. Demikian pula usaha dagang. Potensi yang relatif bagus ditunjukkan oleh aktivitas peternakan, khususnya ternak unggas besar, yaitu ternak sapi-perah. Kegiatan pertanian masyarakat pada umumnya didominasi oleh pertanian sayuran berupa kentang, kubis, tomat, dan petsai. Tabel 9. Mata Pencaharian Penduduk pada Desa Lokasi Penelitian No 1 2
3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13
Mata Pencaharian Pertanian Pangan : Sayuran Perkebunan Teh Kopi Peternakan Ternak besar Perikanan Dagang Jasa Pegawai Negeri Swasta Buruh Tani Montir Pengrajin Pariwisata Industri R/T Bidan Desa
Jumlah (Orang)
1 965 425 400 417 284 185 43 416 5 927 6 7 5 18 1
Sumber : Daftar Isian Potensi dan Perkembangan Desa Tahun 2007
Di lokasi penelitian, khususnya di wilayah administratif Kecamatan Pangalengan, terdapat potensi peternakan sapi yang cukup menonjol sebagai produsen susu nasional. Khusus untuk sapi-perah, masyarakat peternak yang
149
sebagian besar adalah juga menjadi peserta program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), pada umumnya menjadi anggota Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) yang menampung dan mengolah hasil produksi susu sapi para peternak perorangan. Potensi ternak dan produksi susu Pangalengan memberi dampak positif bagi peningkatan perekonomian masyarakat setempat. 5.1.6. Kegiatan PHBM oleh Masyarakat Desa Hutan Kubangsari, Desa Pulosari, Pangalengan Sejarah kerjasama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan Kubangsari, desa Pulosari, dengan Perum Perhutani, dimulai dengan pembentukan kelembagaan Kelompok Tani Hutan (KTH) Kubangsari, pembibitan persemaian kopi dan pembinaan budidaya kopi. Desa Pulosari termasuk ke dalam Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Pangalengan, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan. Budaya masyarakat sekitar Pangalengan pada umumnya adalah berusaha-tani sayur-sayuran yang telah berjalan selama puluhan tahun. Sebagian besar masyarakat menanam sayur dengan menggarap lahan hutan di lereng-lereng gunung/bukit dan pada umumnya adalah pendatang dari desa/wilayah lain (bukan asli desa Pulosari). Penanaman kopi dirintis pada tahun 1997 oleh petani penggarap (Iyu Haeruddin, Endjang Suwiyana, Asep Suparman) yang didukung oleh almarhum Bapak Rukma yang merintis penyediaan bibit kopi, para pejabat Perum Perhutani (Kepala KRPH, Kepala BKPH, dan Administratur Perhutani) dan LSM Bina Mitra (Daud, S.Ag) sebagai fasilitator.
150
Pada tahun 1997/1998 secara nasional terjadi krisis ekonomi, politik, dan sosial yang kompleks. Masyarakat di wilayah Bandung Selatan, khususnya Pangalengan, mengalami tekanan ekonomi, yaitu mengalami penurunan dayabeli dan keterpurukan di bidang ekonomi dan sosial. Hutan menjadi salah-satu sasaran yang paling mudah untuk dijarah dan dirambah oleh masyarakat yang lapar lahan dan kesulitan ekonomi, termasuk wilayah hutan Petak 39. Pada tahun tersebut akibat penjarahan hutan oleh masyarakat, Perum Perhutani mengalami kerugian sebesar Rp 17 juta/hari. Untuk mengatasi perambahan lahan, penanganan melalui pendekatan polisional (patroli dan tindakan represif lainnya) ternyata tidak efektif dan bahkan tidak membawa hasil yang berarti. Karena itu maka dilakukan perubahan strategi penanganan perambahan melalui metode persuasif. Melalui pendekatan dengan tokoh-tokoh kunci di masyarakat yang ada di desa Pulosari baik oleh Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) dari LSM Bina Mitra maupun Perum Perhutani, akhirnya diperoleh suatu solusi penanganan perambahan melalui penanaman kopi di bawah tegakan. Dari gagasan tersebut, maka masyarakat sekitar hutan diajak untuk berorganisasi dengan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Kubangsari sebagai wadah berhimpunnya para petani penggarap lahan dengan komoditas kopi. Pada awalnya anggota yang terhimpun hanya 98 orang dengan luas areal yang dikelola/digarap seluas 54.51 ha. Hasil rembug-KTH melahirkan gagasan untuk membuat persemaian kopi pada tahun 1999, diinspirasi oleh tanaman kopi milik H. Rukma (ayahanda Ir Nana Hibarna, yang sekarang menjadi petani kopi handal di desa Pulosari) yang dikelola secara sangat sederhana tetapi menjanjikan dari sisi ekonomi. Kemudian
151
pada bulan Mei 2000 dilakukan penanaman kopi secara serentak sebanyak 24.000 batang pohon. Tahun 2001 (bulan Nopember) dilakukan penanaman kembali sebanyak 63 596 batang. Selanjutnya tiap tahun dilakukan penambahan luas lahan penanaman budidaya kopi, sampai akhirnya berkembang menjadi kebun kopi yang relatif besar. Setelah ada penanaman kopi yang diinisiasi oleh masyarakat secara swadaya, maka secara perlahan-lahan kegiatan perambahan hutan menjadi berkurang dan pengelolaan Hutan Lindung semakin terkendali dengan baik. Pada tanggal 20 Desember 2003, kelembagaan masyarakat lebih diperkuat lagi dengan ditingkatkannya status Kelompok Tani Hutan (KTH) Kubangsari menjadi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari, sekaligus dibentuk pula Forum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan. Kemudian pada tanggal 12 Pebruari 2005 dibentuk lembaga ekonomi masyarakat berupa Koperasi Usaha Bersama (KUB) Koperasi Kubangsari Bandung Selatan sesuai dengan tuntutan warga. Dengan terbentuknya lembaga-lembaga tersebut maka pembinaan terhadap masyarakat lebih mudah untuk dilakukan. Upaya pendampingan dalam rangka penguatan kelembagaan terus dilakukan, antara-lain dengan pertemuan rutin yang diadakan sebulan sekali. Disamping itu juga telah diperhatikan upaya regenerasi kepengurusan dengan melibatkan para pemuda dalam kegiatan PHBM. Disamping membangun jejaring dengan instansi-instansi yang terkait, LMDH Kubangsari juga merintis pelatihan-pelatihan bagi petani kopi serta melakukan studi-banding tentang pengelolaan kopi di Kintamani, Propinsi Bali, yang sudah terkenal di dunia internasional. Dari hasil studi banding, disimpulkan
152
bahwa kopi Pangalengan lebih baik daripada kopi Kintamani, karena antara tanaman kopi dengan tanaman pokoknya terjalin simbiosis mutualistis. Komoditas lain diluar kopi yang dikembangkan adalah komoditas rumputgajah karena potensi Pangalengan sebagai produsen susu sapi-perah sudah sangat terkenal secara nasional maupun internasional. Baik Perum Perhutani maupun LMDH Kubangsari telah menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) antara-lain berupa bantuan ternak sapi serta penampungan hasil produksi susu perah hasil peternakan sapi masyarakat setempat. Hingga penelitian ini dilakukan, secara garis-besar kondisi kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di LMDH Kubangsari, desa Pulosari, kecamatan Pangalengan adalah sebagaimana tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Luas Kawasan Hutan Pangkuan Desa (HPD) LMDH Kubangsari LOKASI & LMDH
RPH PANGALENGAN,
NOMOR & TGL PERJANJIAN, serta JUMLAH ANGGOTA LMDH 36/SPK/TKU/BDS/2006 31 Juli 2006
BKPH PANGALENGAN,
KPH BANDUNG SELATAN
LMDH KUBANGSARI
JUMLAH ANGGOTA : 321 Org PHBM KOPI & 200 Org PHBM RUMPUT-GAJAH
JUMLAH
LUAS AREAL HPD (Ha) Petak 36 37 C 37 E 37 D 38 39 A 39 C 39 E 40 D 40 E 40 F 43 A 43 B 43 C 43 D 43 F
Ha 13.89 12.68 11.38 29.90 94.90 11.47 39.32 54.51 39.12 12.79 42.65 37.51 29.84 12.12 10.20 19.78 531.15
LUAS AREAL PHBM (Ha) Petak Ha 36 37 C 37 C 37 D 38 39 A 39 C 39 E 40 D 40 E 40 F 43 A 43 B 43 C 43 D 43 F
8.00 12.68 11.38 7.40 69.38 9.50 38.50 55.28 18.38 18.79 38.42 2.84 6.36 8.00 10.63 7.83 323.37
JENIS KOMODITI
KOPI (HA)
RUMPUT
8.00 12.68 11.38 69.38 9.50 38.50 55.28 18.38 18.79 38.4 8.00 10.00 298.31
7.40 2.84 6.36 0.63 7.83 25.06
(HA)
Sumber: Data Luas Kawasan Pangkuan Desa dan LMDH BKPH Pangalengan (2007)
Total jumlah petani sekitar hutan yang telah terdaftar sebagai anggota LMDH Kubangsari adalah 521 orang, dengan perincian : 321 orang melakukan
153
penanaman kopi sebagai tanaman andalan seluas 298.31 ha dan 200 orang petani yang memanfaatkan lahan hutan untuk produksi rumput-gajah seluas 25.06 ha. Luasan kerjasama PHBM ini setiap tahun bertambah/meningkat, sejalan dengan kesadaran masyarakat yang semakin meningkat dan kesediaan Perum Perhutani untuk memperluas lahan PHBM. Adapun kampung-kampung sekitar hutan yang berada di sekeliling desa Pulosari yang menjadi obyek penelitian diantaranya adalah : 1
Kampung Cisorolok
2
Kampung Kiarasanding
3
Kampung Kubangsari
4
Kampung Kiaramanuk
5
Kampung Cikalieus
6
Kampung Waspada
7
Kampung Rahong Jenis-jenis tanaman pokok (pohon kehutanan) yang terdapat di lokasi
penelitian diantaranya adalah : 1. Rasamala (Altingia exelsa) tanaman tahun 1937 dan 1946 2. Eukaliptus (Ecalyptus sp) tanaman tahun 1986 3. Pinus (Pinus mercusii) tanaman tahun 1994, 1997, 1998, 1999, dan 2000. 4. Suren (Toona sureni) tanaman tahun 2002 5. Rimba Campuran lainnya Karena kopi memerlukan naungan pada saat masa pertumbuhannya, maka masyarakat memerlukan tanaman/tegakan pohon yang sudah relatif besar sebagai penaung tanaman kopi, seperti tertera pada Tabel 11.
154
Tabel 11. Jenis Tanaman Pokok pada Lokasi PHBM Kubangsari ANAK PETAK
KELOMPOK TANI HUTAN (KTH)
36 B 37 A 37 C 37 D 37 E
CISOROLOK CISOROLOK CISOROLOK KIARASANDING CISOROLOK JUMLAH PETAK 37 38 A KUBANGSARI II KUBANGSARI II 38 B KIARASANDING 38 C KUBANGSARI II JUMLAH PETAK 38 39 A KIARAMANUK 39 B KIARAMANUK 39 C CIKALIEUS 39 D CIKALIEUS CIKALIEUS 39 E KUBANGSARI I KUBANGSARI I JUMLAH PETAK 39 40 A KUBANGSARI I 40 B KUBANGSARI I 40 C KEBON RAJA 40 D KEBON RAJA KEBON RAJA KEBON RAJA KEBON RAJA 40 E KEBON RAJA 40 F BATU BELAH BATU BELAH JUMLAH PETAK 40 43 A WASPADA WASPADA 43 B WASPADA RAHONG 43 C RAHONG 43 D RAHONG 43 E RAHONG RAHONG 43 F WASPADA WASPADA 43 F WASPADA JUMLAH PETAK 43 JUMLAH LMDH KUBANGSARI
LUAS BAKU (HA) 70.00 37.11 5.00 23.00 11.20 76.31 51.00 10.00 13.90 10.00 94.4 11.47 6.07 39.32 1.70 12.40 12.80 41.71 125.47 8.39 5.55 17.18 5.00 4.00 15.12 15.00 12.79 22.23 20.42 125.68 25.51 12.00 13.22 16.62 12.12 10.20 4.74 3.06 9.74 4.00 6.04 117.25 609.61
JENIS TANAMAN POKOK
TAHUN TANAM
PINUS PINUS PINUS PINUS RASAMALA
2003 1975 2004 2000 1986
EUKALIPTUS RIMBA CAMPUR PINUS RIMBA CAMPUR
1986 2006 1999 2005
RIMBA CAMPUR HAKL EUKALIPTUS RIMBA CAMPUR PINUS RIMBA CAMPUR EUKALIPTUS
1986 1986 1986 2004 1996 2005 1986
RASAMALA PINUS SUREN EUKALIPTUS RIMBA CAMPUR EUKALIPTUS PINUS RASAMALA PINUS RASAMALA
1952 1996 2002 1986 2007 1986 2000 1937 2000 1986
PINUS PINUS PINUS PINUS PINUS PINUS TEH PINUS RIMBA CAMPUR RIMBA CAMPUR RIMBA CAMPUR
1994 1996 1999 2001 1975 1993 1996 2004 2006 2004
Sumber : BKPH Pangalengan (2007)
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa jenis tanaman pokok/pohon hutan yang sekaligus berfungsi sebagai penaung kopi milik
masyarakat pada umumnya
adalah Pinus (Pinus mercusii), Rasamala (Altingia exelsa), Eukaliptus (Eucalyptus urophylla), dan Suren (Toona sureni). Tahun penanaman pohon-pohon tersebut bervariasi, tetapi yang paling tua adalah pohon Rasamala yang ditanam pada tahun 1937. Sedangkan petak yang paling luas untuk aktivitas PHBM ini adalah
155
petak 39 dan 40 yang luasnya mencapai di atas 125 ha per petak. Tanaman paling muda ditanam pada tahun 2007, yaitu jenis rimba campuran di anak petak 40 d. Hasil produksi kopi oleh LMDH dijual dalam bentuk kopi gelondongan dengan harga kopi (kondisi basah) berkisar Rp. 1 800/kg hingga Rp 2 800/kg, sedangkan bila dalam kondisi kering berkisar Rp 5 000/kg. Di lokasi penelitian petani (LMDH) belum memiliki mesin pengolah kopi hingga menghasilkan produk berbentuk tepung, sehingga added-value proses produksi kopi masih dinikmati oleh pengusaha pengolah dan eksportir. Panenan kopi perdana dimulai bulan April 2004 dengan produktivitas panenan berkisar 60 % dari produksi yang ideal, yaitu hanya +/- 44,6 ton. Tahun 2005 meningkat menjadi 66.0 ton, tahun 2006 menjadi 67.0 ton, dan tahun 2007 mencapai 80.0 ton, dan tahun 2008 diproyeksikan meningkat menjadi 110.0 ton. Meskipun belum optimal produksinya, namun komoditas kopi LMDH Kubangsari
memberikan
prospek
yang
sangat baik untuk menambah
pendapatan petani penggarap anggota PHBM yang hidup di kampung-kampung sekitar hutan. Karena prospeknya yang bagus untuk jangka-panjang inilah, maka petani Kubangsari tertarik untuk terus melakukan budidaya kopi. Sedangkan budidaya rumput-gajah dilakukan di bawah tegakan Pinus, Rasamala, maupun rimba campuran lainnya. Meskipun termasuk keluarga rumput, tetapi jenis ini memiliki perakaran yang kuat untuk menahan tanah dari erosi. 5.1.7. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya yang paling sering menjadi pembatas kegiatan pertanian di Pulau Jawa. Walaupun lahan pertanian di Pulau Jawa umumnya adalah lahan-lahan yang subur, namun ketersediaan lahan
156
yang sempit dengan pola pengusahaan yang sangat intensif, menyebabkan lahan menjadi faktor produksi yang sangat langka. Untuk memudahkan analisis maka lahan dalam penelitian ini dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu : lahan milik, lahan sewa, dan lahan milik negara. Lahan yang diusahakan melalui kegiatan PHBM termasuk dalam kelompok lahan milik negara, karena lahan tersebut statusnya tetap merupakan kawasan hutan yang dimiliki oleh negara. Lahan tersebut dikuasakan kepada petani PHBM dengan diikat oleh kontrak/perjanjian kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani penggarap melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Karakteristik luas lahan negara yang dikelola untuk usahatani maupun lahan milik dan lahan sewa, menunjukkan bahwa pada umumnya baik petani PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah memiliki lahan kelola yang relatif sempit, yaitu 1.6 ha untuk petani PHBM Kopi dan 0.28 ha untuk petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, sebagaimana tertera pada Tabel 12. Tabel 12. Karakteristik Luas Lahan yang Dikelola oleh Petani Contoh RATA-RATA LAHAN YANG DIKELOLA No.
LAHAN YANG DIKELOLA
PETANI PHBM KOPI (HA)
Persentasi
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPIPERAH(HA)
Persentasi
1
Milik Negara
1.50
86.2 %
0.15
53.6 %
2
Milik Sendiri
0.24
13.8 %
0.13
46.4 %
3
Lahan Sewa
0.00
0.0 %
0.00
0.0 %
JUMLAH
1.74
100.0 %
0.28
100.0 %
Sumber : Data primer (diolah) Kesimpulan pertama yang dapat diperoleh dari data pada Tabel 12 tersebut adalah bahwa ternyata pada umumnya peserta program PHBM adalah petani gurem yang memiliki lahan sendiri kurang dari 0.5 ha, yaitu 0.24 ha tanah milik
157
petani PHBM Kopi dan 0.13 ha lahan milik petani PHBM Rumput-gajah & Sapiperah. Atau dengan perkataan lain pada umumnya petani tersebut adalah landless, sehingga perlu lahan garapan yang diperoleh dari lahan andil dari Perum Perhutani. Lahan negara yang dikelola petani PHBM adalah kawasan hutan lindung yang merupakan areal kerja Perum Perhutani. Semua peserta PHBM memperoleh lahan garapan (andil) kawasan hutan negara. Luas lahan kawasan yang dikelola oleh petani tersebut adalah luas lahan bruto, karena tidak seluruh luas lahan ditanami dengan tanaman pertanian, melainkan hanya sebagian luasan saja. Tanaman Kopi Arabika yang ditanam oleh masyarakat adalah tanaman pengisi diantara tanaman pokok, yaitu tanaman kehutanan. Sedangkan untuk petani PHBM rumput-gajah, hampir 100 % lahan bruto dapat ditanami dengan rumputgajah yang ditanam di bawah tegakan. Hal lain yang dapat ditarik kesimpulan dari tabulasi di atas adalah, bahwa lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) memberikan sumbangan yang besar pada penguasaan lahan total, yaitu mencapai 80% pada PHBM Kopi dan 53 % pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Dengan demikian proporsi lahan milik atau lahan sewa terhadap total penguasaan lahan hanya relatif kecil. Pada awal dilakukan program PHBM, para petani melakukan pembagian petak/anak-petak yang dilakukan secara bebas, karena pada awalnya masyarakat merambah kawasan hutan, sehingga luas andil orang per orang tidak sama. Secara bertahap Perum Perhutani melakukan pengaturan dan penataan lahan secara lebih tertib, agar tidak menimbulkan konflik antar petani maupun terjadi
158
tukar-menukar dan jual-beli lahan. Pada pelaksanaan program PHBM selanjutnya dilakukan pembagian lahan (andil) yang lebih sistematis. Tabel 13 menyajikan luas lahan yang diusahakan secara ekonomis, yaitu luas lahan yang secara fisik dapat ditanami untuk tanaman pertanian masyarakat. Tabel tersebut menunjukkan bahwa persentasi penggunaan lahan PHBM dengan komoditas kopi relatif lebih sempit/kecil, rata-rata hanya 75 s/d 80%. Hal ini dikarenakan luas lahan PHBM yang sebenarnya dapat ditanami oleh petani adalah luas lahan PHBM yang secara fisik dapat ditanami dikurangi dengan tanaman (pohon) milik Perum Perhutani, yaitu tanaman pokok kehutanan. Sedangkan lahan PHBM untuk komoditas rumput-gajah hampir seluruhnya (100 %) dapat ditanami rumput-gajah sebagai Hijauan Makanan Ternak (HMT), karena rumput-gajah dapat ditanam di bawah tegakan pohon maupun seluruh lahan di luar tanaman pokok kehutanan. Tabel 13. Rasio Rata-rata Luas Lahan yang Ditanami (Luas Lahan Efektif) dengan Lahan yang Tersedia (Luas Lahan Potensial)
NOMOR
LAHAN YANG DIKELOLA
RASIO LUAS LAHAN/LUAS TERSEDIA PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH
KOPI
1
Milik Negara
100 %
80 %
2
Milik Sendiri
100 %
100 %
Rata-rata
100 %
90 %
Sumber : Data Primer (diolah) 5.1.8. Pola Usahatani Mengingat bahwa jenis komoditas maupun intensifikasi usahatani berbeda antara pola pertanian peserta PHBM Kopi dengan peserta PHBM Rumput-gajah
159
& Sapi-perah, maka untuk menganalisis secara deskriptif mengenai pola kegiatan pertanian pada lokasi penelitian dibagi menjadi 2 (dua) pola budidaya, yaitu : 1. Pola Budidaya Usahatani Program PHBM Kopi/Budidaya Kopi 2. Pola
Budidaya
Usahatani
Program
PHBM
Rumput-gajah
&
Sapi-
perah/Budidaya Rumput-gajah & Sapi-perah. 5.1.8.1. Usahatani Budidaya Kopi Di Indonesia, tanaman kopi diperkenalkan pertama kali oleh VOC antara tahun 1696-1699. Awalnya penanaman kopi hanya bersifat coba-coba (penelitian). Namun karena hasilnya memuaskan dan cukup menguntungkan sebagai komoditas perdagangan, maka VOC menyebarkan ke berbagai daerah, seperti Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan derah lain di Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, kopi merupakan komoditas ekspor yang penting. Pada tahun 1981, ekspor kopi sebanyak 210 800 ton menghasilkan devisa sebesar US $ 347.8 juta. Nilai ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2001, komoditas kopi mampu menghasilkan devisa sebesar US $ 595.7 juta dan menduduki peringkat pertama di antara komoditas ekspor subsektor perkebunan. Namun, produksi kopi Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2001 (390 000 ton) hingga tahun 2004 (300 000 ton), sebagaimana Tabel 14. Salah satu penyebab menurunnya produksi kopi adalah kurangnya perawatan lahan dan frekuensi pemupukan yang menurun. Padahal, jika petani menginginkan hasil yang maksimal, setidaknya pemupukan dilakukan 2 (dua) kali per tahun. Penurunan frekuensi pemupukan ini dikarenakan ketidakmampuan petani untuk membeli pupuk akibat harga jual kopi yang anjlok, disamping
160
mahalnya harga pupuk. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya mutu kopi yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Tabel 14. Produksi Kopi Indonesia Tahun Ekspor
Produksi (Ton)
Volume (Ton)
Nilai (juta US $)
1998/1998
420.00
363.00
615.80
1999/2000
370.00
358.00
488.80
2000/2001
390.00
345.60
339.90
2001/2002
380.00
254.80
203.50
2002/2003
360.00
322.50
218.80
2003/2004
350.00
229.70
155.80
Sumber : BPS dalam Najiyati dan Danarti (2006) Selain sebagai komoditas ekspor, kopi juga merupakan komoditas yang banyak dikonsumsi di dalam negeri. Menurut survei yang dilakukan oleh Departemen Pertanian (Najiyati dan Danarti, 2006), rata-rata penduduk Indonesia mengkonsumsi kopi sebanyak 0.5 s/d 0.7 kg/orang/tahun. Lebih dari 90 % tanaman kopi di Indonesia diusahakan oleh rakyat. Umumnya, tanaman kopi rakyat sudah berumur cukup tua, sehingga tidak produktif lagi. Penerapan teknologi yang digunakan pun masih sangat sederhana, sehingga mutunya relatif rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, maka langkah yang perlu ditempuh oleh para petani adalah sebagai-berikut : 1
Mengembangkan varietas kopi Arabika unggul pada lahan yang sesuai
2
Mengganti tanaman tua dengan tanaman muda varietas unggul yang dianjurkan (peremajaan)
3
Menerapkan teknik budidaya yang benar, baik sistem penanaman, pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, maupun pengaturan naungan.
161
4
Menerapkan sistem pemanenan dan pengolahan yang benar, baik cara pemetikan, pengolahan, pengeringan, maupun sortasi. Di lokasi penelitian (LMDH Kubangsari di desa Pulosari), budidaya
tanaman kopi oleh para petani hutan (peserta program PHBM) pada awalnya dilakukan dengan cara asal tanam, sehingga berakibat : 1. Populasi tanaman kopi dalam tiap hektar tidak merata, sehingga pada saat ini baru 60 % tanaman kopi yang dibudidayakan oleh petani yang dapat dipanen. 2. Umur tanaman tidak seragam (sama) sebagai akibat penyulaman yang dilakukan setiap tahun tidak beraturan dan aktivitas pemeliharaan belum optimal. 3. Produksi panenan kopi petani belum optimal. Kopi yang berumur 6 tahun misalnya, produktivitas rata-rata per pohon hanya mencapai kondisi 6o % dari tanaman induk kopi yang ditanam oleh Bapak Almarhum Rukma (pelopor perkopian di Kubangsari). 4. Secara umum, kopi yang ditanam belum memperoleh perawatan yang ideal, karena disamping faktor keterbatasan modal juga terdapat keterbatasan keterampilan petani kopi sehingga memerlukan capacity-building yang intensif. Penanaman kopi di lahan PHBM pada awalnya murni dilakukan secara mandiri dan atas inisiatif petani sendiri. Karena itu tidak memperoleh sentuhan dan pembinaan dari instansi formal maupun informal. Petani melakukan secara “trial and error”. Petani Kubangsari tidak memiliki bekal keterampilan yang cukup untuk melakukan budidaya kopi yang pada awalnya diragukan banyak orang, karena pengalaman wilayah lain di Indonesia menunjukkan, bahwa
162
penanaman kopi di hutan lindung dapat mengalahkan tanaman pokoknya yang berfungsi sebagai pengatur tata-air/hidro-orologi lingkungan sekitarnya. Tetapi beruntung, bahwa kopi jenis Arabika yang berasal dari Aceh Tengah (Ateng) di lokasi penelitian (kopi Ateng “Kartikasari”) justru memerlukan naungan, sehingga petani berkepentingan dengan tanaman pokok kayu tersebut. Karena itu petani justru menjaga secara sungguh-sungguh agar tanaman pohon di hutan lindung tidak dirambah atau ditebang secara liar/ilegal oleh oknum masyarakat, tetapi harus dilestarikan. Di antara petani PHBM yang sukses, tokoh masyarakat Bapak Iyu Haeruddin dapat menjadi contoh petani yang ulet dan tangguh. Dari hasil wawancara dengan yang bersangkutan, diperoleh informasi bahwa penanaman kopi di lahan kawasan hutan Perum Perhutani pada awalnya kurang mendapat dukungan baik dari masyarakat, aparat desa, maupun Perum Perhutani sendiri. Awalnya Iyu Haeruddin adalah perantau yang selama 6 tahun menjadi buruh di Jakarta. Setelah terjadi krisis ekonomi dan kehidupan masyarakat di Ibukota menjadi sangat berat, maka ia memutuskan kembali ke desa Pulosari pada tahun 1999. Setelah mendapat bantuan Kredit Usaha Tani (KUT) dari pemerintah, Iyu Haeruddin mengusahakan penanaman sayuran di lahan Perum Perhutani. Tetapi usaha ini pun gagal, karena petani sayur bermunculan sangat banyak sehingga hasil panen sayuran sampai melimpah-ruah dan tidak dapat dijual ke pasar. Banyak petani yang akhirnya terbelit hutang, karena tidak mampu membayar kredit yang diterimanya. Harga sayuran begitu fluktuatif dan petani tidak memperoleh untung. Disamping itu, bertani sayuran di lahan hutan milik Perhutani tentu saja dianggap ilegal/tanpa ijin.
163
Pada suatu ketika datang 3 (tiga) orang Aceh yang menawarkan penanaman kopi seluas 20 hektar dan berjanji akan memberikan upah/gaji sebesar Rp. 500 000/bulan. Tetapi tawaran tersebut ditolak. Akhirnya petani mencoba menanam kopi sendiri dan ditanam di lahan hutan milik Perum Perhutani. Karena tidak meminta ijin resmi, maka petani tersebut ditegur/dilarang oleh Perum Perhutani. Tetapi setelah menunjukkan hasil yang relatif baik dan ternyata tanaman kopi merupakan tanaman keras yang membutuhkan naungan, maka akhirnya Perum Perhutani dan aparat desa mendukung upaya penanaman kopi yang diharapkan dapat menjadi strategi alih-komoditi dari tanaman sayur yang kurang ramah lingkungan menjadi tanaman keras yang lebih ramah lingkungan. Komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan (Perum Perhutani) difasilitasi oleh seorang TPM (Tim Pendamping Masyarakat) yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bina Mitra, untuk menjembatani antara aspirasi masyarakat dengan tugas dan tanggungjawab perusahaan. Dari diskusi yang panjang, akhirnya disimpulkan bahwa tumpangsari sayuran di lahan hutan lindung yang tinggi topografinya, tidak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Sebaliknya disosialisasikan bahwa menanam komoditas kopi jauh lebih menguntungkan secara jangka-panjang, karena memiliki visi sosial, ekologis, sekaligus ekonomis secara bersama-sama (simultan) dan menyeluruh. Bagi masyarakat, terdapat 3 (tiga) keuntungan yang bisa dinikmati, yaitu : (1) menjaga kelestarian hutan, karena pohon-pohon kayu tidak lagi ditebang/dijarah, tetapi digunakan sebagai naungan bagi tanaman kopi; (2) membantu mengawetkan lahan hutan dari bencana tanah-longsor/erosi karena perakaran tanaman kopi cukup baik untuk menahan tanah dari ancaman erosi; (3)
164
keuntungan ekonomis berupa pendapatan yang relatif kontinyu, karena petani hanya sekali menanam, tetapi setelah itu memperoleh pendapatan (revenue) yang terus-menerus. Komoditas kopi yang ditanam masyarakat Pangalengan, khususnya desa Pulosari, adalah Kopi Arabika yang berasal dari Aceh Tengah, sehingga sering disebut sebagai “Kopi Kartikasari Ateng”, sebagaimana Gambar 2 Lampiran 20. Kopi tersebut cocok ditanam pada ketinggian lebih kurang 1400 m dari permukaan laut. Mengingat bahwa jenis kopi ini hanya membutuhkan sinar matahari sebesar 10 %, maka kopi Ateng ini sangat cocok ditanam di bawah tegakan. Karena itu tanaman-tanaman pohon Eucalyptus yang dahulu sering dijarah, justru sekarang harus dilestarikan sebagai naungan tanaman kopi. Bahkan pada daerah yang jarang (rawang), lahan-lahan tersebut disulam dengan jenis tanaman pohon Eucalyptus. Dengan demikian terjadi interaksi mutualistis antara tanaman pohon yang ditanam Perum Perhutani dengan tanaman kopi yang ditanam oleh masyarakat. Masyarakat menjaga agar tegakan hutan yang ada tetap lestari dan tidak dijarah lagi. Bahkan karena manfaat tanaman kopi secara ekologis, ekonomis, dan sosial cukup menjanjikan prospek yang baik, maka masyarakat sangat bersemangat/antusias untuk mengganti komoditas tumpangsari dari tanaman musiman menjadi tanaman MPTS, termasuk Kopi Arabika. Tanaman kopi yang ditanam tahun 2000 dan 2001 sejumlah 87 596 pohon menghasilkan produksi rata-rata per pohon 3 kg kopi gelondongan, sehingga produksi tiap tahun dari tanaman tersebut adalah 267 788 kg biji basah atau lebih kurang 131 000 kg biji kering.
165
Alih-komoditas dari tanaman hortikultura menjadi tanaman yang berjangka-panjang ini diperkuat dengan keluarnya SK Direksi Perum Perhutani Nomor : 136 tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang semakin membuka akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Kemudian pada tanggal 20 Mei 2003, Gubernur Jawa Barat juga menerbitkan Surat Edaran nomor : 522/1224/Binprod tentang penutupan kegiatan tumpangsari di kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi berkelerengan lebih dari 40 %. Akibat larangan tersebut, maka masyarakat sepakat untuk menghentikan aktivitas tumpangsari dengan tanaman musiman umur pendek. Selanjutnya masyarakat tertarik untuk mengalihkan tanaman dari tanaman umur pendek tersebut kepada tanaman keras berupa buah-buahan, termasuk tanaman kopi. Adapun rekapitulasi petani kopi yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Rekapitulasi Data Petani Kopi pada Lokasi Penelitian NO
PETAK
LUAS (HA) Baku
Tanaman
JUMLAH ANGGOTA (KK)
BLOK KTH
1
39 e
54.51
53.28
64
Kubangsari I
2
38
82.00
46.38
48
Kubangsari II
3
40 f
38.82
38.82
17
Batu Belah
4
39 c
39.00
38.50
41
Cikalieus
5
43 d,e
22.32
18.00
36
Rahongsari
6
39 a
11.00
7.50
13
Kiaramanuk
7
37 c
19.50
12.68
22
Cisorolok
8
37 e
22.40
22.40
32
Cisorolok
9
36
80.00
12.40
25
Cisorolok
10
40 e, d
Kebon Raja
JUMLAH
29.93
29.68
23
399.48
279.64
321
Sumber : BKPH Pangalengan
Pada tanggal 20 Desember 2003, kelembagaan masyarakat lebih diperkuat lagi dengan ditingkatkannya status Kelompok Tani Hutan (KTH) Kubangsari
166
menjadi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari, sekaligus dibentuk pula Forum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan. Kemudian pada tanggal 12 Pebruari 2005 dibentuk lembaga ekonomi masyarakat berupa Koperasi Usaha Bersama (KUB) Koperasi Kubangsari Bandung Selatan sesuai dengan tuntutan warga. Dengan terbentuknya lembaga-lembaga tersebut maka diharapkan pembinaan terhadap masyarakat lebih mudah untuk dilakukan. 5.1.8.2. Budidaya Rumput-gajah dan Pemeliharaan Sapi-perah Bentuk nyata kerjasama pemanfaatan kawasan hutan dengan komoditas rumput-gajah antara Kelompok Tani Hutan (KTH) sudah dimulai sejak tahun 1998. Dari tahun ke tahun proses kerjasama PHBM terus mengalami perubahan/perkembangan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Kerjasama pemanfaatan rumput-gajah sempat mengalami penurunan ketika terjadi perambahan hutan. Namun setelah perambahan berkurang dan adanya Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat yang melarang aktivitas tumpangsari di kawasan hutan lindung, maka produksi rumput-gajah mengalami peningkatan kembali. Pada awalnya kerjasama penanaman rumput-gajah dilakukan antara masyarakat sekitar hutan dengan Perum Perhutani saja, namun karena hal tersebut menyangkut pula pemasaran hasil susu-perah peternak dan proses pengolahannya (penanganan pasca-panen), maka kerjasama juga melibatkan pihak Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS). Rumput-gajah yang ditanam di bawah tegakan hutan mempunyai produktivitas rata-rata lebih kurang 12.000 kg/ha/bulan, sebagaimana Gambar 3 Lampiran 20.
167
Keberadaan kawasan hutan di lokasi penelitian sangat berpengaruh positif terhadap keberadaan Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) yang merupakan koperasi peternak terbesar di Jawa Barat dalam usaha susu sapi. Karena itu pihak-pihak yang terkait, yaitu petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Andalan (KTH-A) Kabupaten Bandung, Perum Perhutani KPH Bandung Selatan dan Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) sepakat melakukan
penandatanganan
Kesepakatan
Bersama
(Memorandum
of
Understanding) pada tanggal 1 April 2006. Rekapitulasi petani rumput-gajah yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Rekapitulasi Data Petani Rumput-gajah
NO
PETAK
LUAS (HA)
JUMLAH ANGGOTA (KK)
BLOK KTH
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1
37 d
6.99
39
Kiarasanding
2
38
4.74
33
Kiarasanding
3
43 a
3.14
17
Waspada
4
43 bI
7.15
29
Rahongsari
5
43bII
3.16
17
Waspada
6
43 c
0.32
4
Rahongsari
7
43d
1.70
21
Rahongsari
8
43 f
8.67
40
Waspada
45.87
200
JUMLAH
Sumber : BKPH Pangalengan Petani rumput-gajah pada umumnya sekaligus menjadi peternak sapi-perah, sehingga hasil akhir yang diperoleh para petani adalah hasil bersih dari penjualan susu-sapinya yang dijual kepada Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) sebagai penampung dan pengolah susu tersebut (captive-market).
168
Budidaya sapi-perah di Pangalengan memerlukan penanganan yang intensif (seperti ilustrasi pada Gambar 4 Lampiran 20), sehingga petani rumput-gajah yang sekaligus peternak sapi memiliki siklus kegiatan yang sangat sibuk, mulai waktu pagi hari hingga malam hari. Pada umumnya peternak mengandalkan tenaga kerja keluarga, namun tidak mencukupi. Beberapa rumahtangga petani/peternak memerlukan tambahan tenaga kerja sewaan untuk membantu tenaga keluarga. Adapun makanan sapi dewasa yang sedang berproduksi terdiri atas 2 (dua) golongan, yaitu : a. Makanan kasar Makanan kasar adalah bahan makanan yang mempunyai kadar serat kasar yang tinggi. Bahan ini umumnya terdiri dari makanan hijauan yang berupa rumput-gajah atau leguminosae dalam bentuk yang masih segar ataupun yang telah diawetkan, seperti : silage atau hey. Petani Pangalengan menggunakan rumput-gajah sebagai hijauan pakan ternak yang dipanen dari kawasan hutan Perum Perhutani. b. Makanan penguat/konsentrat Makanan penguat (konsentrat) adalah bahan makanan yang kadar-seratnya rendah dan mudah dicerna. Makanan penguat ini bagi sapi-perah merupakan makanan tambahan yang penting, karena berfungsi untuk memenuhi kekurangan zat-zat makanan yang terdapat dalam makanan kasar. Sapi-perah memerlukan pemeliharaan yang intensif, bergantung pada umur/tingkatan sapi tersebut, apakah sapi dara/remaja atau sapi dewasa. Sapi dara/remaja adalah sapi yang berumur 9 bulan sampai dengan sapi tersebut
169
beranak yang pertama kali. Sedang sapi dewasa adalah sapi yang telah beranak kedua kali hingga umur 4-5 tahun. Pemeliharaan sapi dara adalah menyediakan makanan yang terjamin mutunya, sedangkan untuk sapi dewasa perlu dilakukan pemeliharaan yang lebih kompleks, yaitu : pemeliharaan badan, pemeliharaan kuku, pemerahan, pemberian makanan sehat, mengawinkan sapi, perawatan sapi bunting, gerak-badan sapi, pemeliharaan sapi yang sedang kering, serta perawatan kepada pejantan. Ternak sapi-perah di Pangalengan umumnya dikandangkan secara berkelompok. Para petani membuat kandang secara bersama, kemudian sapi-sapi tersebut dibuatkan label yang jelas. Kandang-kandang dibuat di dekat rumah atau agak jauh dari rumah, dilengkapi dengan sumber air bersih yang cukup jumlahnya dan lancar. Jadi kandang-kandang tersebut berada di luar kawasan hutan. Masa laktasi (menghasilkan susu) sapi-perah dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah : 1. Faktor genetis/faktor individu yang sifatnya baka dan tak berubah-ubah (bawaan). 2. Makanan : Penyediaan makanan yang tidak mencukupi kebutuhan sapi, akan membatasi sekresi air susu. 3. Manajemen/perlakuan terhadap rangsangan pemerahan, lamanya kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, frekuensi pemerahan, dan lain-lain. Petani mengharapkan setiap hari dapat memproduksi susu segar yang dapat menghasilkan uang kas secara cepat. Untuk memperoleh susu segar yang bagus, maka pemerahan susu harus dilakukan pada : 15 hari sebelum partus (melahirkan) dan 7 hari sesudah partus. Pemerahan susu pada 15 hari sebelum partus,
170
komposisi air-sususnya belum seperti yang diharapkan, sedangkan sebelum 7 hari maka air susu masih berupa susu jolong (colostrums). Pemerahan susu dalam 1 (satu) hari dilakukan 2 (dua) kali, yaitu pagi dan sore. Begitu susu diperah, maka susu segar tersebut dibawa ke tempat pengumpulan untuk ditampung dan diuji oleh petugas KPBS. Selanjutnya susu tersebut dibawa dengan mobil ke tempat pengolahan di KPBS. 5.1.9. Aspek Biaya/Permodalan Penentuan nilai modal yang digunakan oleh petani dilakukan dengan pendekatan pengeluaran (expenditure), yaitu bahwa jumlah modal petani dinilai berdasarkan biaya atau pengeluaran sarana produksi yang dialokasikan oleh petani selama 1 (satu) tahun. Di lokasi penelitian, penggunaan modal yang utama adalah untuk melakukan kegiatan usahatani, baik pada peserta program PHBM maupun bukan peserta PHBM. Rata-rata penggunaan modal keluarga petani untuk kegiatan pertanian dapat dilihat pada Tabel 17. Nilai modal petani adalah nilai pengeluaran/biaya untuk berbagai keperluan input pertanian (usahatani), termasuk input-input yang diperoleh dari subsidi (apabila ada). Pengeluaran untuk tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan sebagai unsur biaya. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa pada responden peserta program PHBM Kopi (petani kopi), sebagian besar modal digunakan untuk membayar sharing kepada Perum Perhutani (35.3 %), kemudian upah tenaga kerja (24.8 %), penggunaan pupuk (22.3 %), pembelian obat-obatan (9.9 %), serta pembelian bibit (7.7 %). Penggunaan obat-obatan yang relatif kecil menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani kopi masih belum intensif, namun petani beralasan bahwa
171
penggunaan obat-obatan kurang diperlukan apabila pemeliharaan kopi berupa perlakukan pemangkasan batang (pruning) dapat dilakukan secara tertib dan teratur. Tabel 17. Rata-rata Biaya Usahatani di Lokasi Penelitian BIAYA PER KK PER TAHUN (RP) NO
BIAYA USAHA
PETANI PHBM KOPI
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH DAN SAPI-PERAH
1
Tenaga kerja
1 141 953 (24.8 %)
2
Pupuk
1 025 861 (22.3 %)
442 990
(1.5 %)
3
Obat-obatan
457 958 (9.9 %)
226 440
(0.8 %)
4
Bibit
355 314 (7.7 %)
47 120
(0.1 %)
5
Sharing
1 626 947 (35.3 %)
909 900
(3.0 %)
6
Biaya rumput
-
6 093 320 (20.4 %)
7
Makanan ternak
-
17 049 590 (57.1 %)
4 608 033 (100.0 %)
29 867 520 (100.0 %)
Jumlah Sumber : Data Primer (Diolah)
5 098 160 (17.1 %)
Pada responden peserta program PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, sebagian besar modal digunakan untuk membeli makanan ternak (konsentrat) yang mencapai 57.1 %, biaya rumput-gajah (20.4 %), dan tenaga kerja (17.1 %). Biaya rumput-gajah merupakan transfer-pricing dari budidaya rumput-gajah di areal Perum Perhutani yang dilakukan oleh petani yang sama dengan pemilik ternak sapi secara integrated. Penggunaan tenaga kerja tambahan dilakukan karena tenaga kerja keluarga tidak mencukupi untuk menangani pemeliharaan sapi-perah yang harus dilakukan secara disiplin dan intensif. Penggunaan pupuk relatif rendah pada usahatani yang terkait dengan PHBM, karena disamping banyak menggunakan pupuk organik yang dibuat sendiri (sehingga tidak dihitung nilainya), petani peserta PHBM pada umumnya juga belum terlalu intensif di dalam melakukan pemupukan. Penggunaan pupuk yang anorganik (chemicals) relatif tidak digunakan karena mahal dan dapat
172
merusak lingkungan (menimbulkan pencemaran), sehingga petani memilih menggunakan pupuk organik dengan memanfaatkan kotoran hewan ternak seperti sapi dan ayam. Kondisi ini sebetulnya menguntungkan, karena konsumen menyenangi hasil kopi yang dibudidaya secara alamiah (natural) tanpa tercemar oleh pupuk-pupuk kimia. Kopi yang dikelola secara alami dan environmentallyfriendly ini disukai oleh konsumen yang berkelas di berbagai negara konsumen kopi dunia. Pengeluaran lain yang cukup signifikan nilainya adalah sharing PHBM yang besarnya mencapai 26.9 % dari total capital yang digunakan, khususnya bagi petani PHBM Kopi. Sharing ini dibayarkan kepada Perum Perhutani yang nilainya sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian, seolah sebagai pengganti biaya sewa karena petani menggarap lahan hutan Perum Perhutani. Sharing petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah nilainya relatif kecil (hanya 3.0 %) dibandingkan total-capital yang digunakan, karena luasan lahan yang digunakan untuk rumput-gajah pada umumnya tidak besar seperti penggunaan lahan untuk budidaya kopi. Baik pengamatan terhadap responden peserta PHBM Kopi maupun peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa jumlah modal yang digunakan petani bersifat tidak tetap. Hasil intervieuw menunjukkan bahwa, dari waktu ke waktu penggunaan modal tersebut sangat berfluktuasi, bergantung pada perolehan pendapatan petani pada waktu sebelumnya. Penelitian tidak menggunakan data runtut-waktu (time-series), sehingga fluktuasi modal tersebut tidak dapat digambarkan secara lebih detil,
173
tetapi dicatat pada saat survei dilakukan untuk kurun waktu produksi selama 1 (satu) tahun. Modal/kapital yang dibutuhkan oleh petani sebagian diperoleh dari pinjaman bank maupun non-bank, sebagian dari hasil produksi sendiri, serta sebagian ada bantuan kredit lunak Perum Perhutani yang disalurkan melalui program PKBL (Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan), meskipun nilainya relatif belum signifikan. Masyarakat sekitar hutan baik yang telah menjadi peserta PHBM maupun yang bukan peserta PHBM, belum menggunakan modal secara optimum karena memang mengalami keterbatasan sumber permodalan. Pinjaman modal/kredit mikro nilainya sangat terbatas dan tidak secara signifikan membantu kebutuhan modal petani, sehingga petani (kopi, rumput-gajah, dan sayur) perlu memperoleh pemberdayaan untuk meraih sumber-sumber permodalan yang berkelanjutan.
5.2. Karakteristik Petani Contoh 5.2.1. Umur Petani Contoh Karakteristik umur petani contoh di lokasi penelitian menunjukkan, bahwa para petani contoh peserta program PHBM kopi rata-rata berumur 47.9 tahun, sedangkan petani contoh peserta program PHBM rumput-gajah & sapi-perah berumur 42.0 tahun, sebagaimana tertera pada Tabel 18. Tabel 18. Karakteristik Umur Rata-rata Petani Contoh UMUR NO
1 2 3 4
20 s/d 30 tahun 31 s/d 40 tahun 41 s/d 50 tahun Di atas 50 tahun Jumlah Umur Rata-Rata
PETANI PHBM KOPI
5 13 13 28 59
(8.5%) (22.0 %) (22.0 %) (47.5 %) (100.0 %) 47.9 Thn
Sumber : Data primer (diolah)
JUMLAH RESPONDEN (ORANG) PETANI PHBM RUMPUTGAJAH & SAPI-PERAH
5 12 4 10 31
(16.1 %) (36.7 %) (12.9 %) (34.3 %) (100.0 %) 42.0 Thn
10 25 17 38 90
JUMLAH
(11.1 %) (27.8 %) (18.9 %) (42.2 %) (100.0 %)
174
Rumahtangga petani peserta program PHBM Kopi didominasi oleh petani yang berumur di atas 50 tahun (47,5 %), sedangkan rumahtangga petani peserta program PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah didominasi oleh petani berumur antara 31 s/d 40 tahun (36.7 %) dan berumur di atas 50 tahun (34.3 %). Dari Tabel 18 di atas, dapat dicermati bahwa karakteristik umur petani peserta program PHBM relatif tidak berbeda, tetapi ada kecenderungan bahwa petani PHBM Kopi berumur lebih tua daripada petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Rata-rata umur petani PHBM Kopi adalah 47.9 tahun, sedangkan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah adalah 42.0 tahun. Hal ini dapat dimengerti, karena petani kopi pada umumnya merupakan penggarap lahan yang datang lebih lama dibandingkan petani rumput-gajah & sapi-perah dan lebih senior dibandingkan petani rumput-gajah & sapi-perah. 5.2.2. Asal-usul Petani Contoh Asal-usul petani PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah disajikan pada Tabel 19. Dari Tabel 19, petani peserta program PHBM (baik pada komoditas kopi maupun rumput-gajah & sapi-perah) pada umumnya adalah petani setempat, yaitu rata-rata di atas 80%. Sisanya merupakan petani pendatang yang berasal dari luar desa Pulosari. Hal ini menggambarkan bahwa, indikasi sebagian besar petani sekitar hutan yang mengikuti program PHBM adalah petani setempat yang pada awalnya merupakan petani penggarap hutan/perambah hutan, ternyata terbukti benar. Jadi menurut sejarahnya, petani PHBM adalah petani setempat maupun petani pendatang yang
berasal dari desa/kecamatan/kabupaten lain, yang
175
menggarap lahan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, jauh sebelum program PHBM diperkenalkan. Tabel 19. Asal-usul Petani Contoh Peserta PHBM NO ASAL-USUL 1 2
PENDATANG ASLI JUMLAH
PETANI PHBM KOPI
JUMLAH RESPONDEN (Orang) PETANI PHBM RUMPUTJUMLAH GAJAH & SAPI-PERAH
10 (16.9 %) 49 (83.1 %) 59 (100.0 %)
7 (22.6 %) 24 (77.4 %) 31 (100,0 %)
17 (18.9 %) 73 (81.1 %) 90 (100.0 %)
Sumber : Data primer 5.2.3. Tingkat Pendidikan Dilihat dari karakteristik tingkat pendidikan suami, baik masyarakat sekitar hutan peserta PHBM Kopi maupun peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah didominasi oleh suami yang berpendidikan Sekolah Dasar/Sekolah Rakyat (SD/SR), yaitu masing-masing 72.9 % untuk petani peserta PHBM Kopi dan 70.9 % untuk petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, seperti tertera pada Tabel 20. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi pendidikan masyarakat sekitar hutan pada umumnya adalah sangat memprihatinkan. Para suami yang berperan sebagai kepala rumahtangga masih berada pada tingkat pendidikan yang rendah, meskipun pada masyarakat sekitar hutan peserta PHBM kopi terdapat 3.4 % yang telah mengenyam pendidikan S1. Tabel 20. Karakteristik Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga
JUMLAH PETANI CONTOH (Orang) NO
1 2 3 4
TINGKAT PENDIDIKAN SD/SR SLTP SLTA S1 JUMLAH
PETANI PHBM KOPI 43 (72.9 %) 11 (18.6 %) 3 (05.1 %) 2 (03.4 %) 59 (100.0 %)
Sumber : Data primer (Diolah)
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH 22 (70.9 %) 6 (19.3 %) 3 (09.7 %) - (00.0 %) 31 (100.0 %)
JUMLAH
65 (72.2 %) 17 (18.9 %) 6 (06.7 %) 2 (02.2 %) 90 (100.0 %)
176
Sedangkan dilihat dari pendidikan istri, hal ini lebih memprihatinkan lagi, sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 21. Di atas 80 % para istri/ibu rumahtangga masyarakat sekitar hutan peserta PHBM hanya berpendidikan Sekolah Dasar/Sekolah Rakyat (SD/SR). Dari data pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum proporsi tingkat pendidikan responden peserta program PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah relatif masih rendah, sehingga masih memerlukan perhatian untuk ditingkatkan. Tabel 21. Karakteristik Tingkat Pendidikan Istri JUMLAH PETANI CONTOH (Orang) NO
TINGKAT PENDIDIKAN
PETANI PHBM KOPI
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH
JUMLAH
1
SD/SR
51 (86.4 %)
25 (80.6 %)
76 (84.4 %)
2
SLTP
6 (10.2 %)
5 (16.1 %)
11 (12.2 %)
3
SLTA
2 (3.4 %)
1 (3.3 %)
3 (3.4 %)
4
S1
0 (0.0 %)
0 (0.0 %)
0 (0.0 %)
59 (100.0 %)
31 (100.0 %)
90 (100.0 %)
JUMLAH Sumber : Data primer
Dari hasil wawancara, diperoleh argumen bahwa banyak anak usia sekolah yang terpaksa harus putus sekolah hanya sampai tingkat SMP/SLTP sederajat, karena lebih mementingkan untuk bekerja membantu orang-tuanya. Terlebih lagi petani kaya yang memiliki banyak ternak sapi-perah, umumnya membutuhkan tenaga-kerja keluarga yang relatif banyak untuk membantu kepala keluarga memelihara ternak sapi mulai pagi hari hingga malam hari secara terus-menerus. Untuk memelihara siklus budidaya rumput-gajah dan ternak sapi-perahnya dapat terjaga dengan baik, maka banyak anak yang mengorbankan masa belajarnya untuk tidak sekolah tinggi.
177
Masalah pendidikan bagi masyarakat sekitar hutan merupakan masalah yang sangat serius, karena salah satu indikator keberhasilan program PHBM adalah membantu mengangkat pendidikan masyarakat ke arah tingkat pendidikan yang lebih baik sebagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena itu hal ini merupakan tantangan berat bagi program PHBM yang ingin membantu meningkatkan nilai HDI/Human Development Index melalui
indikator
keberhasilan tingkat pendidikan masyarakat. 5.2.4. Mata-pencaharian Petani Contoh Selanjutnya apabila dilihat dari karakteristik mata-pencaharian dari usahatani PHBM yang digeluti, dari 90 responden petani terdapat petani PHBM Kopi sebanyak 59 orang (65.6 %) dan petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sebanyak 31 orang (34.4 %), sebagaimana tertera pada Tabel 22. Petani/buruh-tani pada umumnya tidak memiliki lahan sendiri, melainkan memanfaatkan kawasan lahan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani maupun lahan sewa di luar kawasan hutan. Tigapuluh satu (31) orang merupakan petani rumput-gajah yang sekaligus sebagai peternak sapi-perah, yaitu petani PHBM yang mengelola lahan Perum Perhutani dengan komoditas jenis rumputgajah sebagai hijauan makanan ternak (HMT). Tabel 22. Karakteristik Matapencaharian pada Usahatani PHBM Masyarakat Sekitar Hutan NO.
MATA PENCAHARIAN UTAMA
1
PETANI KOPI
2
PETANI RUMPUT & TERNAK SAPI-PERAH JUMLAH
Sumber : Data primer
JUMLAH PETANI CONTOH PETANI PHBM KOPI
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH
JUMLAH
59 (100.0 %)
0 (0.0 %)
59 (65.6 %)
0 (0.0 %)
31 (100.0 %)
31 (34.4 %)
59 (100.0 %)
31 (100.0 %)
90 (100 %)
178
Sementara mata-pencaharian tambahan (di luar usahatani PHBM) pada umumnya adalah sebagai buruh-tani/buruh perkebunan sebanyak 39 orang (43.3 %), sebagai pedagang/bandar adalah sebanyak 17 orang (18.9 %), pekerjaan lainnya berjumlah 7 orang (7.8 %), sisanya sebanyak 27 orang tidak memiliki pekerjaan tambahan, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Karakteristik Matapencaharian Masyarakat Sekitar Hutan NO
1 2 3 4
MATA PENCAHARIAN TAMBAHAN
PHBM KOPI
Di
Luar
JUMLAH PETANI CONTOH PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH 15 (48.4 %)
Usahatani
JUMLAH
BURUH
24 (40.7 %)
DAGANG/JASA
15 (25.4 %)
2 (6.4 %)
17 (18.9 %)
7 (11.9 %)
0 (0.0 %)
7 (7.8 %)
MURNI BEKERJA PADA USAHATANI
13 (22.0 %)
14 (45.2 %)
27 (30.0 %)
JUMLAH
59 (100.0 %)
31 (100.0 %)
90 (100.0%)
LAINNYA
39 (43.3 %)
Sumber : Data primer (diolah) Dari tabel 22 dan 23, secara umum dapat dikemukakan bahwa apabila digabung antara mata-pencaharian usahatani PHBM dan pekerjaan luar usahatani PHBM, maka masyarakat sekitar hutan (baik peserta program PHBM Kopi maupun peserta program PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah) sebagian besar memiliki pekerjaan di luar usahatani (70 %), terutama berprofesi sebagai buruh (43.3 %) dan dagang/penyedia-jasa (18.9 %) seperti jasa ojek, dagang, guru ngaji, guru TK dan lain-lain pekerjaan (7.8 %). Masyarakat sekitar hutan peserta program PHBM pada umumnya adalah petani yang tak punya lahan milik (landless) yang datang untuk menggarap dan memanfaatkan lahan kawasan hutan Perum Perhutani. Karena itu dalam statistik potensi desa, maka masyarakat sekitar hutan pada umumnya masih dimasukkan
179
pada klasifikasi bermata-pencaharian sebagai buruh, bukan sebagai petani penggarap. 5.2.5. Jumlah Anggota Rumahtangga Responden Karakteristik
jumlah
anggota
keluarga
masyarakat
sekitar
hutan
menunjukkan, bahwa jumlah rumahtangga yang memiliki anggota keluarga antara 4 s/d 7 orang adalah sebanyak 59 orang (65.6 %), antara 1 s/d 3 orang sebanyak 26 orang (28.9 %), dan anggota keluarga di atas 7 orang sebanyak 5 orang (5.5 %). Dengan demikian sebagian besar petani peserta PHBM memiliki anggota keluarga antara 4 s/d 7 orang, sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 24. Di satu sisi jumlah anggota keluarga yang besar merupakan beban bagi keluarga, tetapi di lain sisi merupakan sumber tenaga potensial bagi rumahtangga. Bagi petani peserta PHBM, jumlah anggota keluarga merupakan tenaga kerja yang bekerja di lahan usahataninya sendiri maupun menjadi buruh-tani/penyedia jasa yang siap bekerja di lahan usahatani milik orang-lain atau aktivitas lainnya yang produktif. Tabel 24. Karakteristik Jumlah Anggota Keluarga Petani Contoh RATA-RATA NO
JUMLAH PETANI CONTOH (Orang)
JUMLAH ANGGOTA KELUARGA (Org)
PETANI PHBM KOPI
PETANI PHBM RUMPUT-
JUMLAH
GAJAH & SAPI-PERAH
1
1 s/d 3
15 (25.4 %)
11 (35.5 %)
26 (28.9 %)
2
4 s/d 7
39 (66.1 %)
20 (64.5 %)
59 (65,6 %)
3
Di atas 7
5 (8.5 %)
0 (0.0 %)
5 (5.5 %)
Jumlah
59(100.0 %)
31 (100.0 %)
90 (100.0 %)
Sumber : Data primer (Diolah)
Khusus untuk petani PHBM, jumlah anggota keluarga rata-rata dalam rumahtangga petani adalah 4 orang (bagi petani rumput-gajah/sapi-perah) dan 5
180
orang (bagi petani kopi). Hal ini juga bisa dipahami, karena rata-rata umur petani kopi memang lebih tua daripada umur petani rumput-gajah/sapi-perah. 5.2.6. Tanggungan Keluarga Petani Contoh Ikhtisar karakteristik tanggungan keluarga rumahtangga responden, baik petani peserta program PHBM Kopi maupun responden peserta program PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Karakteristik Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Jumlah Petani Contoh (Orang)
Nomor
Rata-Rata Jumlah Tanggungan Keluarga (Org)
PHBM Kopi
PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah
JUMLAH
1
1 s/d 3
10
8
18 (20.0 %)
2
4 s/d 7
38
20
58 (64.4 %)
3
Di atas 7
11
3
14 (15.6 %)
Jumlah
59
31
90 (100.0 %)
Sumber : Data primer
Tanggungan keluarga petani peserta program PHBM sebagian besar berjumlah 4 s/d 7 orang (64.4 %), yaitu sebanyak 58 orang responden. Sisanya sebanyak 18 orang rumahtangga (20.0 %) memiliki tanggungan keluarga antara 13 orang dan 14 orang rumahtangga (15.6 %) memiliki tanggungan keluarga di atas 7 orang. Dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, rumahtangga peserta program PHBM Kopi maupun peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu memiliki tanggungan keluarga yang relatif
menengah (antara 4 s/d 7 orang). Sebagian besar (lebih 70 %)
tanggungan keluarga tersebut adalah telah berusia di atas 15 tahun atau telah memasuki usia kerja, sehingga merupakan tenaga kerja potensial yang siap bekerja mencari nafkah keluarga.
181
5.2.7. Penggunaan Waktu (Alokasi Waktu) Pada dasarnya alokasi waktu yang dimanfaatkan oleh responden dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dibagi menjadi 3 (tiga) aktivitas : 1. Alokasi waktu untuk usahatani (HOK/tahun atau jam kerja/tahun) 2. Alokasi waktu yang digunakan untuk mencari nafkah dari aktivitas di luar usahatani, misalnya : berdagang, melakukan penyediaan jasa ojek, menjadi guru/pembantu guru, menjadi buruh, dan lain-lain (HOK/tahun atau jam kerja/tahun) 3. Alokasi waktu untuk kegiatan non-produktif (HOK/tahun atau jam/tahun), merupakan sisa waktu yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, yaitu antara-lain : a. Mengurus rumahtangga b. Mengurus pendidikan c. Mengurus hubungan sosial d. Mengurus kegiatan keperluan pribadi e. Waktu istirahat/santai Berdasarkan hasil survei, maka summary karakteristik rumahtangga terkait dengan alokasi waktu adalah sebagaimana Tabel 26. Dari tabel tersebut terdapat catatan penting mengenai alokasi waktu yang digunakan oleh rumahtangga responden, sebagai-berikut : 1.
Alokasi waktu rata-rata responden peserta PHBM Kopi pada aktivitas produktif dalam 1 (satu) tahun adalah : a
2.058 jam (51.1 %) dialokasikan untuk kegiatan usahatani,
b
1.967 jam (48.9 %) dialokasikan untuk kegiatan non-usahatani,
182
c
Sisa-waktunya digunakan untuk kegiatan non-produktif (seperti mengurus rumahtangga, pendidikan anak, hubungan sosial, kegiatan pribadi, istirahat, dan lain-lain).
Tabel 26. Karakteristik Alokasi Waktu Rata-rata Responden NO
1
2
3
AKTIVITAS TOTAL ALOKASI WAKTU RUMAHTANGGA (JAM/TAHUN) PRODUKTIF PETANI PHBM PETANI PHBM RUMPUT‐ JUMLAH KOPI GAJAH & SAPI‐PERAH RUMAHTANGGA USAHA TANI Suami 1 456 4 177 5 579 Istri 378 1 064 1 442 Anak 224 623 847 Jumlah 1 2 058 5 864 7 868 Persentasi (51.1%) (83.0 %) (71.4 %) NON‐USAHATANI Suami 896 546 1 442 Istri 714 434 1 148 Anak 357 210 567 Jumlah 2 1 967 1 190 3 157 Persentasi (48.9 %) (17.0 %) (28.6 %) TOTAL 2 352 Suami 4 723 7 075 1 092 Istri 1 498 2 590 581 Anak 833 1 414 Jumlah 4 025 7 054 11 079 Persentasi (100,0 %) (100.0 %) (100.0 %)
Sumber : Data primer (Diolah) 2.
Alokasi waktu rata-rata responden peserta PHBM Rumput-gajah & Sapiperah pada aktivitas sehari-hari dalam 1 (satu) tahun adalah : a.
5 810 jam (83.0 %) dialokasikan untuk kegiatan usahatani (rumput-gajah & sapi-perah),
b.
1 190 jam (17.0 %) dialokasikan untuk kegiatan non-usahatani,
c.
Sisa-waktu di luar mencari nafkah digunakan untuk kegiatan nonproduktif (seperti mengurus rumahtangga, pendidikan anak, hubungan sosial, kegiatan pribadi, istirahat, dan lain-lain).
183
3. Untuk
kegiatan
produktif
(mencari
nafkah),
peranan
suami/kepala
rumahtangga sangat dominan, terutama pada kegiatan usahatani peserta PHBM (baik kopi maupun rumput-gajah & sapi-perah), yaitu sebagai-berikut : peranan suami adalah 70.7 %, istri lebih-kurang 18.4 %, dan anak hanya sebesar 10.9 %. Sedangkan untuk kegiatan mencari nafkah di luar usahatani, peranan suami lebih-kurang 45.6 %, istri 36.2 %, dan anak 18.2%. Dengan demikian, maka kegiatan mencari nafkah umumnya ditangani oleh suami (kepala-keluarga), sedangkan istri dan anak sifatnya membantu/mendukung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mangkuprawira (1984) di Sukabumi dan kondisi yang berlaku umum, bahwa rata-rata pada sebagian besar etnis di Indonesia, peranan suami selaku kepala keluarga masih menjadi tulangpunggung utama dalam mencari nafkah rumahtangganya. Setelah suami, maka peranan istri menempati posisi kedua, sedangkan anak lebih banyak sebagai pendukung
(supporter)
kedua
orang-tuanya,
kecuali
pada
kasus
petani/peternak sapi-perah peranan anak sangat diperlukan. Namun secara umum, peranan anak lebih diarahkan untuk melaksanakan kegiatan belajar (sekolah/kuliah), sehingga ada indikasi bahwa masyarakat mulai terbuka untuk mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya. 4. Dari data hasil survei, terlihat bahwa peserta program PHBM lebih mengutamakan aktivitas usahatani (di lahan kawasan hutan) dibandingkan dengan aktivitas non-usahatani-nya, yaitu mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mencari nafkah pada aktivitas usahatani, meskipun pendapatannya belum tentu lebih besar daripada aktivitas non-usahataninya. Hal ini mengindikasikan, bahwa kegiatan PHBM masih sangat bergantung
184
atau sangat terkait pada faktor lahan (landbase-agriculture), dimana aset lahan dipandang sebagai faktor produksi utama yang dapat menghidupi masyarakat secara berkelanjutan. Kegiatan non-usahatani masih dipandang sebagai tambahan bagi kegiatan usahatani-nya, kecuali pada PHBM Kopi. Pada PHBM Kopi, peranan pendapatan non-usahatani masih relatif tinggi karena produksi kopinya masih belum optimal. 5. Dilihat dari efektivitas penggunaan waktu produktif (waktu untuk mencari nafkah), ada indikasi bahwa petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah lebih banyak memanfaatkan waktu untuk mencari nafkah dibandingkan responden peserta program PHBM Kopi, yaitu : mencurahkan lebih dari 60 % dari seluruh waktunya (24 jam sehari) untuk kegiatan yang produktif (mencari nafkah), baik melalui kegiatan usahatani maupun kegiatan di luar usahatani. Sedangkan responden peserta PHBM Kopi mencurahkan waktu yang lebih sedikit dari total waktu yang tersedia, yaitu hanya mencurahkan lebih kurang 45 % total-waktunya untuk mencari nafkah keluarga baik melalui aktivitas usahatani maupun di luar usahatani. 6. Apabila mengacu standar BPS mengenai waktu produktif rumahtangga untuk mencari nafkah (yaitu 4 004 jam per tahun), maka petani peserta PHBM Kopi hanya berada sedikit di atas ambang batas standar BPS, yaitu 4 025 jam per tahun waktu untuk mencari nafkah. Sebaliknya, petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah berada jauh dari ambang batas standar BPS, yaitu 7 054 jam per tahun. Dengan demikian diindikasikan masih terjadi pengangguran terselubung pada PHBM Kopi.
185
7. Sisa waktu tak produktif (tidak untuk mencari nafkah), yaitu sisa waktu untuk aktivitas mengurus rumahtangga, kegiatan pribadi, kegiatan ibadah, kegiatan sosial, istirahat (tidur), termasuk di dalamnya leisure-time, untuk peserta program PHBM Kopi, relatif masih banyak, yaitu sebesar 55 % dari total waktu potensial. Sementara itu bagi responden peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah terdapat lebih-kurang 40 % total-waktunya digunakan tidak untuk mencari nafkah.
Dengan demikian, melalui upaya
pemberdayaan
(empowering) terhadap masyarakat sekitar hutan PHBM Kopi, diharapkan dapat meningkatkan pendayagunaan waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif. 5.2.8. Kontribusi Pendapatan Rumahtangga Penerimaan (revenue) dan pendapatan (income) merupakan indikator yang sangat penting bagi tingkat kesejahteraan rumahtangga petani, karena besarnya penerimaan dan pendapatan akan menentukan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan rumahtangga maupun masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai total pendapatan rumahtangga yang ideal, maka tiap anggota rumahtangga akan mengalokasikan curahan kerja ke berbagai kegiatan yang dapat mendatangkan uang. Kegiatan tersebut bisa berupa usahatani (onfarm) maupun non-usahatani (off-farm). Pada penelitian ini tingkat pendapatan petani (income) diukur dengan menghitung seluruh penerimaan (revenue) dari hasil produksi kegiatan usahatani yang dilakukan rumahtangga petani dikurangi dengan seluruh biaya-produksi yang dikeluarkan (seperti misalnya : biaya pembelian/pengadaan pupuk, biaya pembelian/pengadaan bibit, biaya pembelian obat-obatan, serta biaya tenaga
186
kerja), ditambah dengan pendapatan dari bekerja di luar usahatani (seperti : berburuh di tempat lain, berdagang, menyediakan jasa ojek, guru dan lain-lain mata pencaharian tambahan). Sesuai dengan batasan yang dikemukakan di awal, penerimaan yang berasal dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau penerimaan yang sifatnya eksidental seperti hasil kiriman uang dari sanak/saudara, tidak dimasukkan sebagai penghasilan rumahtangga, karena datanya tidak akurat untuk dicatat. Disamping itu, pada umumnya responden betul-betul mengandalkan sumber pendapatannya dari hasil jerih-payahnya sendiri, baik bekerja pada aktivitas usahatani maupun di luar usahatani. Dalam kasus petani peserta program PHBM penghasilan rumahtangga masih menggantungkan pada aktivitas usahatani lahan kering di areal kawasan hutan Perum Perhutani (andil yang ditentukan oleh Perum Perhutani) maupun aktivitas di luar usahatani. Pada kasus PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah misalnya, penghasilan utama bukan berasal dari aktivitas usahatani berupa penjualan rumput-gajah sebagai hijauan makanan ternak (HMT), melainkan dari penjualan hasil produksi susu-sapi yang telah memiliki captive-market, yaitu : Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) sebagai penampungnya. Sedangkan petani PHBM Kopi mengandalkan hasil dari panenan kopi Kartikasari yang ditanam di antara tanaman pokok, meskipun produksinya belum optimal sehingga pendapatan dari luar usahatani masih sangat berperanan penting. Rumahtangga petani peserta program PHBM dengan komoditas kopi (PHBM Kopi) menghasilkan pendapatan rata-rata per tahun per rumahtangga sebesar Rp 17 037 701, yang terdiri atas : pendapatan usahatani PHBM sebesar Rp. 6 650 443 (39.0 %) dan pendapatan dari non-usahatani sebesar Rp 10 387 258
187
(61.0 %). Dengan demikian, maka peranan pendapatan non-usahatani masih sangat penting, karena usahatani PHBM komoditas kopi masih berada pada tahap investasi sehingga produksinya belum optimal. Rumahtangga petani peserta program PHBM dengan komoditas rumputgajah & sapi-perah (PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah) menghasilkan pendapatan rata-rata per tahun per rumahtangga sebesar Rp 32 304 250 yang terdiri atas : pendapatan usahatani PHBM sebesar Rp 28 325 700 (rumput-gajah sebesar Rp. 4 439 530 & sapi-perah sebesar Rp. 22 259 720,- ) atau sebesar 87.7 % dari total pendapatan rumahtangga dan pendapatan dari non-usahatani (pendapatan tambahan) sebesar Rp 3 978 550 atau 12.3 % dari total pendapatan rumahtangga petani. Dengan demikian, maka pada model rumahtangga peserta PHBM
Rumput-gajah
&
Sapi-perah,
petani
mengandalkan
pendapatan
pemeliharaan sapi-perah sebagai pendapatan utamanya, sedangkan pendapatan di luar usahatani betul-betul berperan sebagai tambahan saja, sebagaimana tertera pada Tabel 27. Dari fakta ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa total pendapatan usahatani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (Rp 32 304 250/tahun) jauh lebih tinggi daripada pendapatan responden rumahtangga petani peserta PHBM Kopi (Rp 17 037 701/tahun). Hal ini dapat dimengerti karena rumahtangga petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah betul-betul mengalokasikan waktunya untuk bekerjakeras mengelola usahatani rumput-gajah & memelihara sapi-perah sehingga menghasilkan pendapatan yang besar, sedangkan petani peserta PHBM komoditas kopi masih memerlukan waktu untuk mencapai kondisi usahatani yang surplus (di atas Break Even Point/BEP).
188
Tabel 27. Pendapatan Rata-rata per Rumahtangga Responden NO
1
KEGIATAN RUMAHTANGGA RESPONDEN
USAHA TANI Suami Istri Anak Jumlah 1 Persentasi horizontal
2
NON-USAHATANI Suami Istri Anak Jumlah 2 Persentasi horizontal
3
TOTAL PENDAPATAN Suami Istri Anak JUMLAH TOTAL Persentasi horizontal
TOTAL PENDAPATAN RUMAHTANGGA (Rp/Tahun) PETANI PHBM KOPI
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH
5 832 439 818 004 0 6 650 443 (39.0 %)
23 226 989 3 483 519 1 615 192 28 325 700 (87.7 %)
5 827 251 4 113 359 446 648 10 387 258 (61.0 %)
1 993 253 1 814 219 171 078 3 978 550 (12.3 %)
11 659 690 4 931 363 446 648 17 037 701 (100,0 %)
25 220 242 5 297 738 1 786 270 32 304 250 (100.0 %)
Sumber : Data primer Dengan melihat hasil survei seperti Tabel 27, maka dapat diindikasikan bahwa
petani peserta PHBM masih mengandalkan penghidupannya dari hasil
usahatani PHBM (landbase-agriculture) yang tidak lain merupakan hasil budidaya kopi dan rumput-gajah & sapi-perah di areal kawasan hutan-lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, meskipun usahatani kopi bukan merupakan sumber pendapatan yang utama. Petani kopi belum mencapai kondisi usahatani/budidaya kopi yang optimal sehingga baru berperan sebesar 39.0 % terhadap pendapatan total petani PHBM Kopi, meskipun waktu yang dialokasikan untuk usahatani relatif besar. Sebaliknya, petani PHBM Rumput-gajah & Sapiperah mengandalkan pendapatannya pada produksi susu-sapinya (bukan pada produksi rumput-gajahnya).
189
Meskipun penanaman kopi belum optimal, tetapi petani sayur sekitar hutan banyak yang akhirnya tertarik menjadi peserta PHBM Kopi, karena : (1) bertani sayuran memiliki resiko yang sangat tinggi dan harus mengelola secara lebih intensif, (2) mekanisme pasar sayuran menciptakan terlalu banyak ketidakpastian (uncertainty) khususnya dari sisi stabilitas harga komoditas sayuran. Karena itu banyak petani sayuran di sekitar hutan yang pada akhirnya mengikuti pola PHBM bertanam kopi, karena sekali menanam kopi akan menuai hasil secara lebih lama (menuai hasil sampai akhir daur tanaman kopi). Dari sisi magnitude-nya, baik rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah maupun petani PHBM Kopi memiliki tingkat pendapatan total yang relatif masih rendah, yaitu masing-masing adalah sebesar Rp 2 692 021 per bulan per rumahtangga untuk petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (Rp 32 304 250 : 12 bulan) dan sebesar Rp. 1 419 808 per bulan per rumahtangga untuk rumahtangga PHBM Kopi (Rp. 17 037 701 : 12 bulan). Apabila rata-rata tiap rumahtangga memiliki 4 orang anggota keluarga usia kerja dan kurs dolar Amerika Serikat adalah Rp 11.000,-/US $ serta jumlah hari kerja 30 hari untuk petani rumput-gajah & sapi-perah, 20 hari kerja untuk petani PHBM Kopi, maka penghasilan per kapita per bulan masing-masing hanya mencapai Rp 673 005 pada rumahtangga PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (atau US $ 2.0 per kapita per hari) dan Rp 354 952 per kapita per bulan untuk rumahtangga peserta PHBM Kopi (atau US $ 1.6 per kapita per hari). Dengan demikian maka baik petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah maupun petani peserta PHBM Kopi telah berada di atas ambang batas garis kemiskinan menurut standar BPS (210 kkal atau setara Rp 182 846 per bulan). Tetapi apabila menggunakan garis
190
kemiskinan menurut standar Bank Dunia (yaitu US $ 2 per hari per kapita untuk negara berpendapatan sedang), maka petani peserta PHBM Kopi berada di bawah garis kemiskinan menurut standar Bank Dunia. Sedangkan untuk model rumahtangga PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah posisinya persis berada pada ambang batas garis kemiskinan menurut standar Bank Dunia untuk negara berpendapatan sedang. Selanjutnya apabila dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 900 000 per bulan, maka tingkat pendapatan rata-rata masyarakat sekitar hutan per kapita per bulan (baik yang sudah menjadi peserta PHBM Kopi maupun peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah) masih berada di bawah standar UMR. Dengan demikian secara konservatif dapat dikatakan bahwa, tingkat
kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan (dalam kasus ini peserta PHBM Kopi maupun PHBM Rumpur-gajah & Sapi-perah) yang menjadi fokus penelitian masih berada pada kondisi lingkar kemiskinan yang perlu mendapat dorongan untuk mengentaskannya. Dengan kata lain, masyarakat masih gayut dengan persoalan kemiskinan yang harus ditanggulangi. 5.2.9. Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah total pengeluaran (expenditure) dari rumahtangga, baik untuk konsumsi pangan/ kebutuhan-pokok maupun pengeluaran di luar pangan/kebutuhan pokok serta investasi, sebagaimana uraian sebagai-berikut : 1. Konsumsi pangan meliputi, antara-lain :
191
a. Kebutuhan pangan (beras/jagung/umbi-umbian, ikan asin/basah, daging, telur, susu, tahu, tempe, sayuran, buah-buahan) b. Kebutuhan pokok (kelapa, gula pasir, minyak-goreng hingga kebutuhan kayu bakar/minyak tanah, rokok, dan lain-lain) 2. Pengeluaran lain di luar pangan/kebutuhan pokok meliputi, antara-lain : a. Pengeluaran sandang (baju/kaos, celanan panjang/pendek, sarung/kain, sepat/sandal, perhiasan, dan lain-lain) Kebutuhan pemeliharaan tempat tinggal (pembayaran listrik, alat-alat listrik, perbaikan rumah, sewa rumah, ongkos perbaikan rumah, dan lainlain) b. Hubungan sosial (sumbangan hari besar agama, undangan hajatan, kegiatan pemerintah, PBB, dan lain-lain) c. Rekreasi (kunjungan ke famili, tempat hiburan, piknik, dan lain-lain) 3. Pengeluaran Investasi Sumberdaya Manusia, meliputi : a. Pengeluaran investasi pendidikan (uang sekolah/kuliah, uang jajan, buku pelajaran, pakaian dan seragam olah-raga, transportasi, dan lain-lain) b. Pengeluaran investasi kesehatan (biaya dokter/pengobatan, biaya obatobatan, dan lain-lain) Dari survei ekonomi rumahtangga yang dilakukan menghasilkan data mengenai pengeluaran rumahtangga responden masyarakat sekitar hutan peserta program PHBM maupun
responden masyarakat sekitar hutan bukan peserta
program PHBM sebagaimana tertera pada Tabel 28. Dari tabel tersebut dapat dicermati, bahwa pola konsumsi responden peserta program PHBM Kopi maupun peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah
192
menunjukkan kecenderungan yang relatif sama, yaitu bahwa : konsumsi pangan/kebutuhan pokok rata-rata rumahtangga masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran (expenditure) rumahtangga. Rata-rata pengeluaran pangan & kebutuhan pokok masing-masing sebesar Rp 6 958 226 per rumahtangga per tahun bagi petani peserta PHBM Kopi (atau 64.3 % dari total pengeluaran) dan Rp 6 830 000,- per rumahtangga per tahun bagi petani peserta PHBM Rumputgajah & Sapi-perah (atau 65.5 % dari total pengeluaran). Tabel 28. Pengeluaran Rumahtangga Responden NO
JENIS PENGELUARAN RUMAHTANGGA
NILAI PENGELUARAN RUMAHTANGGA (Rp/tahun) PETANI PHBM KOPI
1 2
3
Pangan/Kebutuhan pokok Investasi sumberdaya manusia
6 958 226 (64,3 %)
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH 6 830 000 (65.5 %)
Invest. Pendidikan Invest. Kesehatan Jumlah 2
1 169 898 755 881 1 925 779 (17.8 %)
973 339 674 821 1 648 160 (15.8 %)
685 248 694 128 283 820 280 366 1 943 562 (17.9 %) 10 827 567 (100,0 %)
688 484 695 847 287 175 283 884 1 955 390 (18.7 %) 10 433 550 (100.0 %)
Konsumsi non-pangan Sandang Tempat tinggal Hubungan sosial Rekreasi/lainnya Jumlah 3 JUMLAH TOTAL
Sumber : Data primer Pengeluaran investasi sumberdaya manusia menunjukkan pola yang relatif sama pula, yaitu sebesar Rp 1 925.779 per tahun (17.8 % dari total pengeluaran rumahtangga selama satu tahun) bagi petani peserta PHBM Kopi dan sebesar Rp 1 648 160 per tahun (15.8 % dari total pengeluaran rumahtangga selama satu tahun) bagi petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Pengeluaran investasi sumberdaya manusia terdiri atas investasi pendidikan dan investasi kesehatan. Investasi pendidikan terbesar berada pada petani peserta PHBM dengan komoditas kopi, yaitu sebesar Rp 1 169 898 per tahun. Sedangkan
193
rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah mengalokasikan pengeluaran pendidikan sebesar Rp 973 339 per tahun bagi petani peserta PHBM Rumput-gajah & sapi-perah. Hal ini logis, karena umur petani peserta PHBM Kopi relatif lebih tua dibandingkan dengan komunitas masyarakat PHBM Rumput-gajah % Sapi-perah, sehingga petani PHBM Kopi memiliki tanggungan anak sekolah yang lebih besar. Demikian pula biaya pengeluaran investasi kesehatan menunjukkan pola yang hampir sama dengan pola pengeluaran biaya investasi pendidikan. Dari
kondisi obyektif yang
ada, beruntung
bahwa
komunitas
rumahtangga sekitar hutan pada lokasi penelitian masih memprioritaskan biaya pendidikan bagi anak-anaknya yang relatif lebih besar dibandingkan kebutuhan lainnya (sandang, kesehatan, tempat tinggal, hubungan sosial, dan pengeluaran lainnya), sehingga kesadaran untuk membangun kualitas sumberdaya manusia menunjukkan kondisi yang relatif baik. Dengan demikian ada harapan, bahwa generasi mendatang dari keluarga masyarakat yang hidup di sekitar hutan mampu membiayai pendidikan anak-anaknya secara lebih baik, terlebih lagi apabila memperoleh subsidi/bantuan dana pendidikan dari pemerintah. Anggaran/budget yang dialokasikan oleh rumahtangga masyarakat desa hutan di lokasi penelitian, masih jauh dari kondisi yang ideal. Karena itu biaya investasi pendidikan perlu terus ditingkatkan untuk menghasilkan generasi baru yang lebih cerdas. Meskipun merupakan proporsi biaya pengeluaran terbesar, namun biaya pengeluaran pangan/kebutuhan pokok dinilai masih kurang. Dari pengamatan langsung di lapangan, banyak dari keluarga masyarakat sekitar hutan tidak mampu membeli makanan yang relatif bergizi (seperti daging dan telur) karena harganya
194
tak terjangkau. Sebagai gantinya, lauk-pauk berupa ikan asin menjadi makanan harian yang harus selalu ada. Demikian pula konsumsi gula pasir tidak mampu untuk dikonsumsi secara harian, karena harganya mahal. Dengan kata lain tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dipandang masih memprihatinkan. Hasil wawancara dengan masyarakat dari rumah ke rumah menunjukkan, bahwa pada saat penelitian banyak rumahtangga petani/buruh-tani yang mengalami keluhan karena harga minyak tanah sangat mahal dan harga beras merangkak naik. Meskipun ada kebijakan pemerintah mengganti konsumsi minyak tanah dengan gas-LPG, tetapi masyarakat di lereng-lereng gunung belum tersentuh oleh kebijakan itu. Bahkan kebijakan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) pun, banyak keluarga yang tidak menerima. Karena itu, untuk menyiasati kelangkaan dan semakin tingginya harga minyak tanah, masyarakat akhirnya melakukan aktivitas back to nature dengan memanfaatkan kayu bakar dari hutan. Perencekan kayu-bakar pun tidak dapat dihindarkan. 5.2.10. Pendapatan Siap Dibelanjakan Yang dimaksud dengan pendapatan siap dibelanjakan (disspossible-income) dalam penelitian ini adalah penerimaan total (total revenue) dikurangi dengan biaya pajak atau pungutan dari pemerintah, sehingga pendapatan ini merupakan pendapatan bersih (net total income) yang siap dibelanjakan. Tabel 29. Pendapatan yang Siap Dibelanjakan Rumahtangga NO
RESPONDEN
DISSPOSSIBLE INCOME Nilai (Rp/tahun)
Persentasi
1
Petani Peserta PHBM Kopi
17 037 701
34.5 %
2
Peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah
32 304 250
65.5 %
Sumber : Data primer (Diolah)
195
Berdasarkan hasil survei dalam penelitian ini, besarnya disspossibleincome pada dua komunitas masyarakat sekitar hutan adalah sebagaimana tertera pada Tabel 29. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa rata-rata pendapatan yang siap dibelanjakan petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah lebih besar daripada masyarakat sekitar hutan peserta PHBM Kopi. Dispossible income rumahtangga petani peserta PHBM Kopi relatif kecil, karena sebagian besar responden peserta PHBM Kopi belum mencapai kondisi panenan yang optimal, sehingga cash-surplus yang dapat dibelanjakan sangat rendah. Petani PHBM Kopi masih mengandalkan kontribusi pendapatan dari luar usahatani, sedangkan petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah mengandalkan kontribusi pendapatan dari produksi susu-perah. 5.2.11. Tabungan dan Pinjaman/Kredit Tabungan (saving) merupakan sebagian dari pendapatan yang disimpan di bank (BRI atau Bukopin) dan Koperasi sebagai cadangan untuk modal kerja, cadangan masa menunggu panen, biaya hajatan, maupun investasi bagi petani atau buruh-tani/pekerja lain. Nilainya dihitung berdasarkan pendekatan besarnya nilai surplus (pendapatan siap dibelanjakan dikurangi dengan seluruh pengeluaran rumahtangga), karena data hasil wawancara (pengakuan langsung) dengan masyarakat kurang dapat diyakini kebenarannya. Nilai tabungan petani peserta program PHBM maupun bukan peserta program PHBM, disajikan sebagaimana Tabel 30. Tabungan di bank komersial mendapat imbalan (interest-rate) secara komersial, sedangkan tabungan pada koperasi bunganya relatif lebih kecil
196
daripada bunga komersial. Petani rumput-gajah & sapi-perah misalnya, menitipkan tabungannya pada Koperasi Peternak Bandung Selatan. Nilai surplusnya relatif
besar, tetapi tidak semuanya ditabung karena sebagian
dibelanjakan untuk membeli barang modal seperti mobil maupun barang konsumtif seperti
alat-alat
elektronik dan rumah yang relatif lebih bagus
daripada komunitas masyarakat lainnya. Secara fisik rumahtangga petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah terlihat lebih sejahtera dibandingkan petani peserta PHBM Kopi. Tabel 30. Tabungan Rata-rata Responden No
Tabungan (Rp/tahun)
Responden
1
Petani Peserta PHBM Kopi
2
Peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah
3 189 889 21 870 700
Sumber : Data primer Yang dimaksud pinjaman atau kredit adalah dana segar (fresh-money) yang diterima oleh petani/masyarakat dari bank komersial atau sumber lain (koperasi, Perum Perhutani melalui program PKBL) sebagai pinjaman yang harus dikembalikan dengan tingkat bunga pinjaman (interest-rate) tertentu sebagai dukungan dana untuk modal kerja maupun investasi. Besarnya dana pinjaman/kredit komersial dicatat berdasarkan pengakuan responden saat dilakukan wawancara, sebagaimana tertera pada Tabel 31. Tabel 31. Pinjaman/kredit Rata-rata Responden NO.
Responden
Pinjaman/Kredit (Rp/th)
1
Petani PHBM Kopi
1 525 900
2
Petani PHBM Rumput-gajah & sapi-perah
5 132 230
Sumber : Data primer
197
Untuk ukuran usaha komersial, besarnya nilai pinjaman/kredit yang diterima oleh petani atau masyarakat sekitar hutan lainnya masih sangat kecil. Akses masyarakat untuk memperoleh fasilitas pinjaman/kredit relatif sangat terbatas, karena adanya hambatan berupa persyaratan klasik yang rigid, seperti misalnya persyaratan adanya agunan, sementara petani umumnya merupakan pelaku usaha kecil yang landless atau sekedar buruh tani. Kebijakan pemerintah yang akan membuka kesempatan petani memperoleh kredit murah, ternyata belum sampai menyentuh lapisan bawah masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar hutan. Petani masih sangat kesulitan mendapat akses jasa perbankan. Perum Perhutani melalui program PKBL (Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan) menyalurkan kredit/pinjaman dengan bunga lunak (soft-loan) dirasakan cukup membantu masyarakat desa hutan yang tergabung dalam LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), tetapi dari sisi magnitude-nya masih sangat kecil dibandingkan modal yang dibutuhan petani/masyarakat sekitar hutan. Karena itu program-program CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan atau program CD (Community Development) dari perusahaan BUMN masih perlu diefektifkan untuk mendukung para pelaku usaha kecil di tingkat perdesaan yang masih jauh dari sentuhan jasa perbankan atau lembaga-lembaga ekonomi lainnya. 5.2.12. Deskripsi Lain Petani Contoh Deskripsi lain yang dapat menambah informasi mengenai petani peserta program PHBM maupun bukan peserta program PHBM disajikan sebagaimana tertera pada Tabel 32. Dilihat dari status perkawinan, sebagian besar responden adalah kepala keluarga yang telah kawin dan pada umumnya responden adalah warga biasa,
198
hanya sedikit yang berstatus sebagai tokoh masyarakat, seperti Kepala Dusun, pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), dan lain-lain. Dari kasus pada penelitian ini, terlihat bahwa warga desa banyak yang kawin-muda, sehingga meskipun masih berusia muda tetapi sudah berstatus sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab untuk mencari nafkah bagi rumahtangganya. Tabel 32. Deskripsi Lain-lain Petani Contoh KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA
NO 1
Suku
Sunda
3
Lama mukim
Agama
0
0%
Jumlah
90
100 %
Sejak lahir
16
17.8 %
Tdk sejak lahir
74
82.2 %
Jumlah
90
100.0 %
Islam
90
100 %
0
0%
90
100,0 %
90
100 %
0
0%
Jumlah
90
100.0 %
Paham
70
78 %
Tdk Paham
20
22 %
Jumlah
90
100.0 %
Warga biasa
80
88.9 %
Tokoh Masyarakat
10
11.1
Jumlah
90
100.0 %
Jumlah Status Perkawinan Kawin Janda/duda 5
5
Paham PHBM
Status di Desa
PERSENTASI 100 %
Non-Islam 4
PETANI PESERTA PHBM 90
Suku Lain 2
JUMLAH (Orang)
Sumber : Data primer (Diolah)
Dari tabel 32 tersebut, terlihat bahwa 100 % baik petani peserta program PHBM Kopi maupun peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah adalah suku Sunda dan beragama Islam. Meskipun beberapa merupakan pendatang, tetapi semuanya merupakan suku Sunda, sehingga tidak ada yang datang dari suku/etnis
199
lain. Sementara untuk peserta PHBM yang telah bermukim di desa semenjak lahir adalah sebanyak 16 orang (17.80 %), sisanya bermukim tidak semenjak lahir.
5.3. Rangkuman 1. Kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) telah ditetapkan
oleh Perum Perhutani sebagai “icon“ bagi seluruh aktivitas perusahaan dengan sasaran
akhir
berupa “hutan lestari, lingkungan terjaga, dan masyarakat
sejahtera”. Kegiatan ini didukung oleh sinergi antar sektor serta sinergi program PKBL (Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan) dan program Community Development (CD). 2. Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan sebagian besar wilayahnya berupa hutan-lindung yang merupakan kawasan penyangga (buffer-zone) dan tangkapan air (catchment-area) untuk wilayah hulu sungai Citarum. Karena itu pengelolaannya akan banyak bersentuhan dengan persoalan lingkungan dan sosial, sehingga aktivitas PHBM menjadi penting. 3. Program PHBM di Pangalengan telah berhasil mendorong masyarakat sekitar hutan yang awalnya berprofesi sebagai petani sayur menjadi petani PHBM dengan aktivitas budidaya kopi atau penanaman rumput-gajah sehingga lebih ramah-lingkungan (environmentally-friendly). Namun untuk mencapai sasaran akhir “hutan lestari, lingkungan terjaga, dan masyarakat sejahtera”, program PHBM masih perlu dilakukan penguatan (strengthening). 5. Pola usahatani kopi dan rumput-gajah dipandang masih baik untuk penanaman di hutan-lindung. Kopi Arabika asal Aceh Tengah memerlukan naungan, sehingga petani berkepentingan dengan tegakan hutannya. Sedangkan komoditas rumput-gajah memiliki perakaran yang relatif kuat untuk menahan
200
tanah dari bahaya erosi, sehingga masih merupakan komoditas yang tepat untuk menutup kawasan lahan hutan-lindung. 5. Deskripsi karakteristis dan kegiatan masyarakat sekitar hutan peserta PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah yang diteliti/diamati menunjukkan ciri-ciri spesifik sebagai-berikut : a. Masyarakat umumnya tidak memiliki lahan sendiri (landless), tetapi menjadi penggarap lahan kawasan hutan-lindung dan menerapkan pola bertani yang bergantung pada faktor lahan (land-base agriculture). b. Dilihat dari penggunaan waktu produktif untuk mencari nafkah, keragaan petani PHBM Kopi berada sedikit di atas Standar BPS (4 004 jam kerja per
tahun),
sehingga
diindikasikan
masih
terjadi
pengangguran
terselubung. Tetapi untuk PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, hal tersebut tidak terjadi, karena penggunaan waktu produktif untuk mencari nafkah jauh di atas standar BPS (7 054 jam vs 4 000 jam kerja per tahun). c. Peranan suami dalam mencari nafkah masih dominan, baik pada PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Peranan istri dan anak lebih sebagai pendukung kepala keluarga dalam mencari nafkah. d. Dilihat dari pendapatan per kapita per bulan, posisi petani PHBM Rumputgajah & Sapi-perah maupun PHBM Kopi berada di atas ambang batas garis kemiskinan menurut Standar BPS (2 100 kkal per kapita per bulan atau ekuivalen/setara dengan pendapatan Rp 183 846 per bulan). Namun apabila dibandingkan dengan Standar Bank Dunia (pendapatan US $ 2 per hari per kapita untuk negara berpendapatan sedang), maka baik petani PHBM Kopi berada di bawah garis kemiskinan menurut Standar Bank
201
Dunia, sedangkan petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah berada tepat pada ambang batas garis kemiskinan menurut standar dunia. e. Dilihat dari sumber
pendapatan, 61 persen pendapatan rumahtangga
petani PHBM Kopi berasal dari aktivitas non-usahatani, 39 persen sisanya dari usahatani kopi. Petani Rumput-gajah & Sapi-perah 87.7 persen pendapatannya berasal dari usahatani yang terdiri atas usahatani rumputgajah (13.7 %) dan usahatani sapi-perah (74.0 %), sedangkan 12.3 persen sisanya ditopang oleh aktivitas non-usahatani. Namun pendapatan usahatani rumput-gajah tidak dihitung secara terpisah, karena rumputgajah seluruhnya dipasok untuk konsumsi sapi-perah. Kondisi ini mengindikasikan, bahwa kegiatan PHBM yang berbasis pada lahan kawasan lindung saja, belum mampu mengentaskan masyarakat untuk hidup lebih sejahtera. Diperlukan tambahan sumber pendapatan di luar usahatani yang tidak langsung berbasis lahan. f. Ditinjau dari pola konsumsi masyarakat, lebih dari 60 % alokasi anggaran masih dibelanjakan untuk konsumsi pangan & kebutuhan pokok. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan dasar (basic-needs) yang bersifat elementer. Namun kesadaran untuk mendorong pendidikan keluarga sudah tumbuh cukup baik. 6.
Petani
PHBM
Rumput-gajah
&
Sapi-perah
menunjukkan
tingkat
kesejahteraan yang lebih baik daripada petani PHBM Kopi, karena nilaitambah (added-value) berupa susu sapi memiliki nilai yang relatif lebih baik. Antara kegiatan usahatani di dalam kawasan hutan (budidaya rumput-gajah) dengan usahatani di luar kawasan hutan (pemeliharaan sapi-perah) telah
202
terjalin sinergitas yang sangat positif, karena keduanya terjalin kerjasama yang saling menguntungkan (kerjasama-mutualistis). Sebaliknya, antara usahatani kopi di dalam kawasan hutan dengan pengolahan menjadi produk yang bernilai tinggi di luar kawasan, belum terjalin secara terpadu sehingga banyak nilai-tambah yang akhirnya dinikmati bukan oleh petani, tetapi lebih dinikmati oleh eksportir pedagang besar. 7.
Meskipun lahan garapan PHBM Kopi relatif lebih luas (rata-rata per rumahtangga lebih-kurang 1.6 hektar) daripada luas lahan garapan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (rata-rata hanya 0.15 hektar per rumahtangga), tetapi pemanfaatannya belum optimal. Karena itu input teknologi maupun capital dan skill masih sangat diperlukan untuk meningkatkan optimalisasi lahan garapan PHBM Kopi tersebut.
8.
Terkait butir 7, diversifikasi produk melalui penanaman terong-kori maupun cabe-bendot merupakan inovasi yang baik untuk dikembangkan sebagai upaya optimalisasi lahan guna menciptakan sumber-sumber pendapatan baru yang dapat digunakan sebagai penyangga pada saat petani menunggu panenan. Pemilihan komoditas dan pola usahataninya harus sesuai dengan sifat hutan-lindung yang rentan terhadap erosi dan pencucian hara tanah.
9.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani PHBM belum sepenuhnya mampu mengentaskan masyarakat sekitar hutan dari persoalan kemiskinan, terutama pada PHBM Kopi. Namun demikian aktivitas PHBM telah
mampu
mengamankan
kawasan
hutan-lindung
dari
ancaman
perambahan hutan dengan mendorong alih-komoditas dari pola bertani daurpendek (sayur) kepada komoditas daur-panjang yang lebih ramah-lingkungan.
VI.
PERILAKU EKONOMI RUMAH-TANGGA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN PESERTA PHBM
6.1. Gambaran Umum Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Pada bagian ini akan dianalisis hasil pendugaan model ekonometrika menggunakan persamaan simultan untuk menggambarkan perilaku ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM. Pendugaan model dilakukan dengan menggunakan metode 2-SLS (Two Stage Least Squares) pada program SAS melalui prosedur SYSLIN. Data dianalisis berdasarkan : a. Nilai koefisien determinasi (R2), untuk mengukur proporsi keragaman peubah endogen yang dapat dijelaskan oleh peubah penjelas. b. Nilai statistik uji-F, untuk mengetahui pengaruh peubah penjelas secara bersama-sama terhadap peubah endogen. c. Nilai statistik uji-t, untuk mengetahui pengaruh masing-masing peubah penjelas terhadap peubah endogen. Hasil pendugaan model menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) bagi masing-masing persamaan model berkisar antara 0.14983 hingga 0.9993 dan nilai F-hitung berkisar antara 1.15 sampai dengan 24 829.3 dengan taraf nyata ߙ = 1 persen dan ߙ = 5 persen. Konsekuensi dari penggunaan data kerat-lintang (cross-section) dalam pendugaan model pada umumnya adalah relatif
rendahnya keragaman antar
pengamatan (observasi) yang berpengaruh pada rendahnya koefisien determinasi (R2) sebagai indikator kebaikansuain (goodness of fit) suatu model. Hal tersebut
204
terbukti pada beberapa persamaan perilaku seperti investasi sumberdaya manusia dan luas lahan garapan memiliki nilai koefisien determinasi yang sangat rendah. Hasil uji F di atas menunjukkan, bahwa secara bersama-sama peubah eksogen dalam setiap persamaan berpengaruh-nyata terhadap peubah endogen. Beberapa peubah penjelas berpengaruh-nyata terhadap peubah endogen, namun terdapat juga beberapa peubah penjelas yang berpengaruh tidak nyata pada taraf uji yang ditetapkan. Beberapa nilai parameter yang terlalu rendah muncul karena kurang-eratnya hubungan keterkaitan antara peubah penjelas dengan peubah endogen dalam persamaan model.
6.2. Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi 6.2.1. Alokasi Tenaga Kerja Luar Keluarga yang Disewa pada Usahatani Analisis pendugaan terhadap parameter persamaan alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani kopi (AKL) menghasilkan kondisi yang sesuai dengan apriori ekonomi yang dihipotesakan, sebagaimana terlihat pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil Pendugaan Persamaan Alokasi Tenaga Kerja Luar
Keluarga pada Usahatani Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Intersep
144.7975
12.21
<.0001
-0.00040
-1.07
0.2909
-0.102223
AKD (TK keluarga pada usahatani)
-0.23970
-9.18
<.0001
-1.010914
IT (Pendapatan total rumahtangga)
1.465E-7
0.39
0.6977
0.035814
UUD (Upah pada usahatani)
2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.70937
Nilai Fhit = 44.75
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0.70937, yang berarti bahwa keragaman alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani sebesar 70.94 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya. Ketiga peubah
205
penjelas tersebut adalah nilai waktu/proxy upah pada usahatani (UUD), alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) dan pendapatan total rumahtangga (IT). Nilai uji F-hitung, yaitu 44.75 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 4.16 pada
taraf-nyata 1 (satu) persen, yang
berarti bahwa secara bersama-sama
peubah penjelas dari persamaan alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani dapat menjelaskan dengan baik perilaku alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani. Peubah upah pada usahatani (UUD) memiliki koefisien parameter bertanda negatif, hal ini sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Perilaku rumahtangga mempunyai kecenderungan bahwa apabila upah pada usahatani meningkat, maka alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani (AKD) akan semakin menurun. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin meningkatnya upah pada usahatani, maka permintaan tenaga kerja luar keluarga pada usahatani akan semakin berkurang. Koefisien parameter peubah alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) bertanda negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani. Artinya adalah, bahwa apabila alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) meningkat, maka alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani (AKL) akan menurun. Ini berarti bahwa tenaga kerja keluarga pada usahatani dengan tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani bersifat saling menggantikan (substitusi).
206
Peubah pendapatan total rumahtangga petani (IT) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Ini berarti bahwa semakin besar pendapatan rumahtangga petani (IT), maka alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani (AKL) akan semakin meningkat. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin besar pendapatan rumahtangga petani (IT), maka kemampuan petani untuk menyewa tenaga kerja luar keluarga (AKL) semakin meningkat. Dilihat dari hasil analisis elastisitas, keputusan rumahtangga petani dalam mengalokasikan tenaga kerja luar keluarga pada usahatani hanya responsif terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD), tetapi tidak responsif (in-elastis) terhadap kedua peubah-bebas lainnya, yaitu upah tenaga kerja pada usahatani (UUD) dan pendapatan total rumahtangga petani (IT). 6.2.2. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Usahatani Analisis pendugaan terhadap parameter persamaan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani kopi (AKD) menghasilkan kondisi yang sesuai dengan apriori ekonomi yang dihipotesakan, sebagaimana terlihat pada Tabel 34. Tabel 34. Hasil Pendugaan Persamaan Alokasi Tenaga Kerja
Keluarga pada Usahatani Peubah
Parameter dugaan (2)
t-hitung (3)
Tarafnyata (4)
Intersep
566.8837
13.24
<.0001
UUD (Upah pada usahatani)
-0.00082
-0.50
0.6224
-0.049688
AKDUL (TK keluarga pada luar usahatani)
-0.01230
-0.21
0.8309
-0.011752
AKL (Alokasi TK yang disewa)
-3.65631
-9.81
<.0001
-0.866956
(1)
2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.67380
Elastisitas (5)
Nilai Fhit = 37.87
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0.67380, yang berarti bahwa keragaman alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani sebesar
207
67.38 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya. Ketiga peubah penjelas tersebut adalah nilai waktu/proxy upah pada usahatani (UUD), alokasi tenaga kerja keluarga di luar usahatani (AKDUL) dan alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa (AKL). Nilai uji F-hitung, yaitu 37.87 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 4.16 pada taraf-nyata 1 (satu) persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani dapat menjelaskan dengan baik perilaku alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani. Peubah upah pada usahatani (UUD) memiliki koefisien parameter bertanda negatif, hal ini sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Perilaku rumahtangga mempunyai kecenderungan bahwa apabila upah pada usahatani meningkat, maka alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) akan semakin menurun. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin meningkatnya upah pada usahatani, maka permintaan tenaga kerja keluarga pada usahatani pun akan semakin berkurang. Koefisien parameter peubah alokasi tenaga kerja keluarga di luar usahatani (AKDUL) bertanda negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Artinya adalah,
bahwa
apabila
alokasi
tenaga
kerja keluarga di luar usahatani
(AKDUL) meningkat, maka alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) akan menurun. Ini berarti bahwa hubungan antara tenaga kerja keluarga pada usahatani dengan tenaga kerja keluarga pada luar usahatani bersifat saling menggantikan (substitusi). Peubah alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa (AKL) memiliki tanda koefisien parameter negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap alokasi tenaga kerja
208
keluarga pada usahatani. Ini berarti bahwa semakin banyak alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa (AKL) maka alokasi tenaga kerja keluarga
pada
usahatani (AKD) akan berkurang. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin besar alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani atau tenaga yang disewa (AKL), maka tenaga kerja keluarga pada usahatani berkurang. Seperti halnya alokasi tenaga kerja keluarga di luar usahatani (AKDUL), maka antara alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa (AKL) dengan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) bersifat saling menggantikan (substitusi). Namun dilihat dari hasil analisis elastisitas, keputusan rumahtangga petani dalam mengalokasikan tenaga kerja luar keluarga pada usahatani tidak responsif (in-elastis) terhadap ketiga peubah-bebasnya. 6.2.3. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Luar Usahatani Hasil pendugaan persamaan alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (AKDUL) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah-penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Luar Usahatani Peubah
Parameter
t-hitung
dugaan (1)
Taraf-
Elastisitas
nyata
(2)
(3)
(4)
Intersep
-218.031
-1.29
0.2231
TEXP (Pengeluaran total rumahtangga)
0.000028
2.49
0.0308
1.079554626
PDS (Pendidikan suami)
14.88138
1.01
0.5070
0.038513592
CPR (Biaya produksi usahatani)
2.082E-6
0.08
0.4037
0.046732357
Koefisien Determinasi (R2) = 0.16859
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
(5)
Nilai Fhit = 3.72
209
Dari hasil pendugaan pada Tabel 35 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0,16859 yang berarti bahwa, keragaman alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani sebesar 16.86 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah total pengeluaran rumahtangga (TEXP), pendidikan suami (PDS) dan peubah biaya produksi usahatani (CPR). Uji-F hitung sebesar 3.72 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 2.78 pada tingkat kepercayaan ߙ = 5 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani. Tabel 35 menunjukkan, bahwa koefisien parameter peubah total pengeluaran rumahtangga (TEXP) adalah bertanda positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh-nyata pada taraf 5 % terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani. Artinya semakin tinggi pengeluaran rumahtangga, maka alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani akan semakin
meningkat pula. Hal tersebut dapat dimengerti karena pengeluaran
rumahtangga yang semakin tinggi mendorong perilaku rumahtangga petani untuk mengalokasikan tenaga kerja keluarga pada luar usahatani yang semakin meningkat, dengan harapan akan memperoleh kesempatan untuk terus meningkatkan pendapatan dari luar usahatani. Dilihat dari analisis elastisitas, respons alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani terhadap pengeluaran rumahtangga adalah bersifat elastis dengan koefisien elastisitas sebesar 1.079554626.
210
Peubah pendidikan suami (PDS) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani. Ini berarti, bahwa semakin meningkat pendidikan suami, maka semakin meningkat pula alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin tinggi pendidikan suami maka rumahtangga petani akan memiliki kepercayaan diri untuk bekerja di luar usahatani dengan harapan dapat memperoleh pendapatan yang lebih baik. Petani berkeinginan dapat memperoleh penghasilan dari luar usahatani yang semakin meningkat, terlebih lagi dalam kasus PHBM Kopi petani mengalami produksi/panenan kopi yang belum optimum sehingga pendapatannya masih relatif kecil. Namun dilihat dari analisis elastisitas, respons alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja pada luar usahatani terhadap pendidikan suami adalah inelastis/tidak responsif (elatisitas hanya 0.038513592). Peubah biaya produksi usahatani (CPR) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani. Ini berarti bahwa semakin besar biaya produksi usahatani (CPR) maka semakin meningkat pula alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani. Hal ini terjadi, karena rumahtangga petani terdorong untuk mencari kompensasi peningkatan pendapatan dari luar usahatani agar dapat mengimbangi kenaikan biaya produksi. Namun dilihat dari analisis elastisitas, respons alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani terhadap biaya produksi usahatani adalah in-elastis/tidak responsif (elatisitas hanya 0.046732357).
211
6.2.4. Penggunaan Pupuk Analisis pendugaan terhadap persamaan penggunaan pupuk (PPK) menunjukkan hasil, bahwa semua peubah bebas memiliki tanda yang telah sesuai
dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana dapat diperiksa pada
Tabel 36. Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.93979, yang berarti bahwa keragaman penggunaan pupuk pada usahatani kopi sebesar 93.98 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah-penjelasnya. Ketiga peubah tersebut adalah harga pupuk (HPPK), harga komoditas output kopi (HKP), serta luas lahan garapan kopi (LH). Dari ketiga peubah tersebut, peubah luas lahan (LH) berpengaruh nyata pada taraf nyata 1 (satu) persen, peubah harga pupuk (HPPK) berpengaruh-nyata pada taraf-nyata 5 (lima) persen, sedangkan peubah harga output kopi (HKP) berpengaruh tidak nyata terhadap penggunaan pupuk pada usahatani. Tabel 36. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Pupuk Peubah (1)
Parameter dugaan (2)
t-hitung (3)
Tarafnyata (4)
Elastisitas (5)
Intersep
1820.124
0.14
0.8874
HPPK (Harga pupuk)
-93.8586
-2.36
0.0269
-2.060236
HKP (Harga kopi)
4.496019
1.37
0.1760
1.8281614
LH (Luas lahan garapan)
4469.454
15.30
<.0001
0.9661447
Koefisien Determinasi (R2) = 0.93979
Nilai Fhit = 286.17
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Nilai uji F-hitung, yaitu 286.17 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 4.16 pada taraf-nyata 1 (satu) persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah
212
penjelas dari persamaan penggunaan pupuk pada usahatani kopi dapat menjelaskan dengan baik perilaku penggunaan pupuk pada usahatani. Peubah harga pupuk (HPPK) bertanda negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 (lima) persen terhadap jumlah penggunaan pupuk pada usahatani kopi. Ini berarti, bahwa semakin tinggi harga pupuk maka jumlah pupuk yang dapat dibeli semakin berkurang. Hal ini sangat logis, karena harga input pupuk semakin tinggi maka kemampuan petani membeli pupuk semakin berkurang. Dari analisis elastisitas, respons harga pupuk adalah elastis terhadap penggunaan pupuk, sebagaimana tertera pada Tabel 36. Peubah harga output kopi (HKP) memiliki tanda positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap penggunaan pupuk. Ini berarti, bahwa semakin tinggi harga output kopi, maka semakin besar penggunaan pupuk untuk usahatani. Hal ini dapat dimengerti, mengingat bahwa semakin tinggi harga output kopi maka penerimaan petani semakin meningkat sehingga daya-beli petani untuk membeli pupuk semakin meningkat pula. Dilihat dari analisis elastisitas, respons harga output kopi adalah elastis terhadap penggunaan pupuk. Dengan kata lain, penggunaan pupuk sensitif terhadap adanya perubahan harga output kopi. Peubah luas lahan (LH) juga memiliki tanda positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata terhadap penggunaan pupuk pada tarafnyata 1 (satu) persen. Ini berarti bahwa semakin luas lahan garapan usahatani kopi maka penggunaan pupuk semakin meningkat pula. Hal ini sangat logis, karena semakin luas lahan garapan usahatani kopi maka dibutuhkan pupuk yang lebih besar, sehingga penggunaan pupuk akan semakin meningkat. Tetapi
213
dilihat dari pendugaan respons pada persamaan penggunaan pupuk, peubah luas lahan tidak elastis (elastisitas 0.9661447), yang berarti bahwa peubah luas lahan tidak responsif terhadap penggunaan pupuk pada usahatani. Secara umum, disimpulkan bahwa perilaku petani dalam penggunaan input pupuk dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan garapan, tetapi sensitif terhadap perubahan harga input pupuk maupun harga output kopi. 6.2.5. Penggunaan Obat Penggunaan obat (OBT) merupakan jumlah input obat yang digunakan pada usahatani PHBM Kopi. Hasil pendugaan parameter persamaan penggunaan obat pada usahatani menunjukkan bahwa, penggunaan obat dipengaruhi oleh harga obat (HOBT), harga komoditas output kopi (HKP), dan luas lahan garapan kopi (LH) sebagaimana tertera pada Tabel 37. Tabel 37. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Obat Peubah
Parameter
t-
Taraf-
dugaan
hitung
nyata
(2)
(3)
(4)
(1)
Elastisitas (5)
Intersep
-1394.70
-0.71
0.4824
HOBT (Harga obat/pestisida dalam usahatani kopi )
-3.47394
-4.21
<.0001
-1.201330
HKP (Harga jual kopi)
0.940802
1.41
0.1635
2.275101
LH (Luas lahan garapan usahatani kopi )
885.2941
16.46
<.0001
1.138131
Koefisien Determinasi (R2) = 0.92512
Nilai Fhit = 226.51
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0.92512, yang berarti bahwa keragaman penggunaan obat pada usahatani kopi (OBT) sebesar 92.51 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya. Ketiga peubah penjelas tersebut adalah harga obat (HOBT), harga komoditas output kopi (HKP), serta luas lahan garapan kopi (LH).
214
Nilai uji F-hitung, yaitu 226.51 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 2.78 pada taraf-nyata 1 (satu) persen, yang berarti secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan penggunaan obat pada usahatani kopi dapat menjelaskan dengan baik perilaku penggunaan obat pada usahatani. Peubah harga obat (HOBT) memiliki tanda negatif dan berpengaruh nyata terhadap penggunaan obat pada taraf-nyata 1 (satu) persen. Ini berarti, bahwa semakin meningkat harga obat/pestisida maka penggunaan obat pada usahatani semakin menurun. Hal ini dapat dimengerti, karena harga input obat semakin tinggi maka kemampuan petani membeli obat/pestisida semakin berkurang. Disamping itu dilihat dari analisis elastisitas, peubah harga obat bersifat elastis, yang berarti bahwa penggunaan obat pada usahatani responsif/sensitif terhadap perubahan harga obat/pestisida. Peubah harga output kopi (HKP) memiliki tanda positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap penggunaan obat. Ini berarti, bahwa semakin tinggi harga output kopi, maka semakin besar penggunaan obat untuk usahatani. Hal ini dapat dimengerti, mengingat bahwa semakin tinggi harga output kopi maka pendapatan petani semakin meningkat sehingga daya-beli petani untuk membeli obat semakin meningkat pula. Namun demikian dilihat dari analisis elastisitas, respons harga output kopi adalah elastis atau responsif terhadap penggunaan obat pada usahatani. Peubah luas lahan (LH) juga memiliki koefisien parameter bertanda positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata terhadap penggunaan obat pada taraf-nyata 1 (satu) persen. Ini berarti bahwa semakin luas lahan garapan usahatani kopi maka penggunaan obat semakin meningkat pula.
215
Hal ini dapat dimengerti, karena semakin luas lahan garapan usahatani kopi maka dibutuhkan jumlah obat yang lebih besar, sehingga penggunaan obat akan semakin meningkat. Disamping itu dilihat dari pendugaan respons pada persamaan penggunaan obat, peubah luas lahan adalah elastis, yang berarti bahwa peubah luas lahan responsif terhadap penggunaan obat pada usahatani. Secara umum dapat dikemukakan, bahwa penggunaan obat dipengaruhi oleh harga obat dan luas lahan, serta sensitif terhadap perubahan ketiga variabel penjelasnya (HOBT, HKP, serta LH). 6.2.6. Penggunaan Bibit Analisis
pendugaan
terhadap
persamaan
penggunaan
bibit
(BBT)
menunjukkan hasil, bahwa semua peubah bebas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Bibit Peubah
Parameter
t-hitung
dugaan (1)
(2)
Taraf-
Elastisitas
nyata (3)
(4)
(5)
Intersep
608.8332
5.56
<.0001
HBBT (Harga bibit kopi)
-1.11816
-14.86
<.0001
-1.035739
HKP (Harga kopi)
0.011553
0.35
0.7269
0.051904
419.0996
158.11
<.0001
1.000986
LH (Luas lahan garapan) 2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.99926
Nilai Fhit = 24 829.3
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0.99926, yang berarti bahwa keragaman penggunaan bibit pada usahatani kopi (BBT) sebesar 99.0 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya. Ketiga peubah penjelas tersebut adalah harga bibit (HBBT), luas lahan garapan kopi (LH), serta harga komoditas output kopi (HKP).
216
Nilai uji F-hitung, yaitu 24 829.3 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 4.16 pada taraf-nyata 1(satu) persen, yang berarti secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan penggunaan bibit pada usahatani kopi dapat menjelaskan dengan sangat baik perilaku penggunaan bibit pada usahatani. Peubah harga bibit (HBBT) memiliki koefisien parameter bertanda negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap penggunaan bibit. Ini berarti, bahwa semakin tinggi harga bibit maka semakin berkurang penggunaan bibit pada usahatani kopi. Hal ini logis, karena semakin meningkat harga bibit maka daya beli petani untuk membeli input bibit akan menurun, akibatnya penggunaan bibit akan berkurang pula. Fenomena ini juga sejalan dengan hasil analisis elastisitas yang menunjukkan, bahwa harga bibit kopi adalah elastis terhadap penggunaan bibit kopi. Dengan demikian maka keputusan rumahtangga petani terkait dengan penggunaan input bibit adalah responsif terhadap harga bibit kopi. Peubah harga output kopi (HKP) memiliki tanda positif sesuai dengan hipotesis
yang
diharapkan, tetapi
berpengaruh
tidak
nyata terhadap
penggunaan bibit. Ini berarti, bahwa semakin tinggi harga output kopi, maka semakin besar penggunaan bibit
untuk usahatani. Hal ini dapat dimengerti,
mengingat bahwa semakin tinggi harga output kopi maka pendapatan petani semakin meningkat sehingga daya-beli petani untuk membeli bibit semakin meningkat pula. Namun demikian dilihat dari analisis elastisitas, respons harga output kopi adalah in-elastis atau tidak responsif terhadap penggunaan bibit pada usahatani, yaitu hanya memiliki elastisitas sebesar 0.051904.
217
Peubah luas lahan (LH) memiliki koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap penggunaan bibit. Hal ini berarti, bahwa semakin luas lahan garapan yang dikelola petani maka semakin meningkat pula penggunaan bibit kopi. Hal ini mudah dipahami, karena penggunaan bibit pada jarak tanam yang sama akan bergantung pada luas lahan garapannya. Semakin luas lahan garapan sudah barang tentu jumlah bibit kopi yang dibutuhkan akan semakin banyak. Disamping itu seperti halnya peubah harga bibit, hasil analisis elastisitas menunjukkan bahwa peubah luas lahan (LH) adalah elastis terhadap jumlah penggunaan bibit. Secara umum dapat dikemukakan, bahwa penggunaan input bibit sangat dipengaruhi oleh harga bibit (HBBT) dan luas lahan (LH), serta sensitif terhadap perubahan kedua peubah tersebut. 6.2.7. Luas Lahan Garapan Hasil dugaan parameter dan elastisitas luas lahan garapan (LH) petani PHBM Kopi dapat diperiksa pada Tabel 39. Tabel 39. Hasil Pendugaan Parameter Luas Lahan Garapan
Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
(2)
(3)
(1)
Taraf-
Elastisitas
nyata (4)
(5)
Intersep
0.874593
3.67
0.0005
IT (Pendapatan/income rumahtangga petani kopi)
1.26E-09
0.05
0.9622
0.014494
KR (Pinjaman/kredit rumahtangga)
3.83E-07
1.05
0.2939
0.394696
Koefisien Determinasi (R2) = 0.14066
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Nilai Fhit = 4.58
218
Dari Tabel 39 diperoleh hasil, bahwa semua peubah adalah bertanda sesuai dengan tanda yang diharapkan seperti kriteria ekonomi atau sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.14066 yang berarti, bahwa keragaman luas lahan garapan usahatani sebesar 14.07 % dapat dijelaskan oleh kedua peubah penjelasnya, yaitu pendapatan total rumahtangga (IT) dan besarnya kredit/pinjaman rumahtangga (KR). Peubah
pendapatan
rumahtangga
(IT)
berkorelasi
positif
namun
berpengaruh tidak nyata terhadap luas lahan garapan usahatani kopi. Ini berarti bahwa, semakin meningkat pendapatan usahatani kopi maka akan mendorong petani untuk semakin memiliki kemampuan mengelola luas lahan garapannya. Peubah pinjaman/kredit rumahtangga (KR) bertanda positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan namun berpengaruh tidak-nyata terhadap luas lahan garapan. Hal ini dapat dimengerti, karena pinjaman/kredit rumahtangga yang semakin meningkat, maka akan mendorong peningkatan kapasitas petani untuk semakin memiliki kemampuan/kapasitas mengelola lahan garapannya. Tetapi melihat kecilnya parameter dugaan peubah pinjaman rumahtangga tersebut, maka pengaruh peningkatan faktor pinjaman/kredit rumahtangga adalah relatif kecil. Hasil dugaan respon pada persamaan luas lahan garapan kopi seperti tertera pada Tabel 39 menunjukkan, bahwa keputusan rumahtangga petani yang terkait dengan luas lahan garapan (LH) tidak responsif terhadap kedua peubah bebas yang dimasukkan ke dalam persamaan luas lahan garapan kopi, yaitu pendapatan total rumahtangga (IT) dan pinjaman/kredit rumahtangga petani (KR). Dengan perkataan lain, luas lahan garapan tidak sensitif terhadap perubahan pendapatan total rumahtangga maupun kredit/pinjaman rumahtangga petani.
219
6.2.8. Produktivitas Lahan Produktivitas lahan (YIELD) diharapkan dipengaruhi oleh pemanfaatan teknologi penggunaan faktor input, baik input produksi ( pupuk, bibit, obat) maupun penggunaan sumberdaya manusia. Karena itu produktivitas lahan diharapkan dapat dipengaruhi oleh penggunaan pupuk (PPK), alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD), alokasi tenaga kerja yang disewa (AKL), dan umur kepala keluarga (UKK). Hasil pendugaan menunjukkan, bahwa keempat peubah bebas tersebut memiliki tanda koefisien sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 40. Tabel 40. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produktivitas
Peubah
Parameter dugaan
(1)
(2)
t-hitung (3)
Tarafnyata (4)
Elastisitas (5)
Intersep
1641.049
1.90
0.0631
PPK ( Penggunaan pupuk)
0.029317
0.46
0.6501
0.072092
AKD ( Alokasi TK keluarga pada usahatani)
2.547478
1.83
0.0730
0.269024
AKL ( Alokasi TK yang disewa)
2.975999
0.69
0.4913
0.074519129
UKK (Umur kepala keluarga)
-0.30376
-0.08
0.9400
-0.00523293
Koefisien Determinasi (R2) = 0.21527
Nilai Fhit = 3.70
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.21527 yang relatif kecil, yang berarti bahwa keragaman produktivitas lahan kopi sebesar 21.52 persen dapat dijelaskan oleh keempat peubah penjelasnya. Dari keempat peubah tersebut, hanya peubah alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) yang berpengaruh nyata pada taraf 10 (sepuluh) persen, sedangkan ketiga peubah lainnya berpengaruh tidak nyata.
220
Nilai uji F hitung, yaitu 3.70 adalah lebih besar daripada F(4,54) = 2.54 pada taraf nyata 5 (lima) persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan produktivitas lahan dapat menjelaskan dengan baik perilaku pengambilan keputusan rumahtangga petani terkait dengan produktivitas lahan garapan tanaman kopi. Peubah penggunaan pupuk (PPK) bertanda positif, sesuai hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas lahan. Perilaku rumahtangga petani menunjukkan, bahwa apabila penggunaan pupuk meningkat, maka petani akan mampu untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Dalam penelitian ini penggunaan pupuk merupakan variabel penjelas sebagai representasi dari penggunaan faktor input lainnya, karena nilai penggunaan pupuk jumlahnya lebih signifikan daripada kedua input lainnya (obat dan bibit). Peubah alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) memiliki tanda positif sesuai dengan apriori ekonomi yang diharapkan, karena semakin meningkat alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani maka akan mendorong peningkatan produktivitas lahan garapannya. Ini berarti produktivitas lahan masih dipengaruhi oleh perilaku tenaga kerja keluarga sebagai pengelolanya. Dari pengamatan di lapangan, terlihat bahwa semakin banyak mendapat sentuhan dari tenaga kerja maka semakin bagus tanaman kopi yang dikelolanya. Semakin intensif pemeliharaan oleh tangan petani, semakin produktif lahan hutan dan produksi kopinya. Peubah alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani atau alokasi tenaga kerja yang disewa (AKL), seperti halnya peubah alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) memiliki tanda positif sesuai hipotesis yang diharapkan,
221
tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas lahan. Ini berarti, bahwa semakin tinggi alokasi tenaga kerja yang disewa maka petani PHBM akan terdorong untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Hasil pendugaan respon pada persamaan produktivitas menunjukkan, bahwa keputusan petani terkait dengan peningkatan produktivitas lahan adalah tidak responsif terhadap semua peubah bebasnya, yaitu alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani atau alokasi tenaga kerja yang disewa (AKL), penggunaan pupuk (PPK) dan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD), serta usia kepala keluarga (UKK). Dengan demikian faktor produktivitas lahan tidak sensitif terhadap perubahan alokasi tenaga kerja yang disewa (AKL), penggunaan pupuk (PPK) dan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD), serta usia kepala keluarga (UKK). Secara umum disimpulkan, bahwa produktivitas lahan masih lebih banyak ditentukan oleh sumberdaya manusianya daripada penggunaan faktor input (penggunaan pupuk, misalnya). 6.2.9. Pengeluaran Konsumsi Pangan Hasil dugaan parameter persamaan konsumsi pangan (KP) menunjukkan bahwa semua tanda dugaan parameter
adalah sesuai dengan hipotesis yang
diharapkan sebagaimana disajikan pada Tabel 41. Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukan angka 0.37855 yang berarti bahwa, keragaman konsumsi pangan sebesar 37.85 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah pendapatan total rumahtangga (IT), tabungan rumahtangga (TAB), dan jumlah anggota keluarga (JAK). Uji-F hitung sebesar 11.17 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 4.16 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama
222
peubah penjelas dari persamaan pengeluaran pangan dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku ketiga peubah-penjelasnya. Tabel 41 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi Pangan Peubah (1)
Parameter dugaan (2)
t-hitung (3)
Tarafnyata (4)
Elastisitas (5)
Intersep
3341292
3.44
0.0011
IT (Pendapatan total)
0.260835
5.10
<.0001
0.638672615
TAB (Tabungan rumahtangga)
-0.49445
-2.77
0.0077
-0.22667285
JAK (Jumlah anggota keluarga)
182677.4
1.13
0.2622
0.12325769
Koefisien Determinasi (R2) = 0.37855
Nilai Fhit = 11.17
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Pendapatan total rumahtangga (IT) memiliki tanda koefisien paramater yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen. Ini berarti bahwa, semakin meningkat pendapatan total rumahtangga petani maka semakin besar pengeluaran pangan rumahtangga. Hal ini logis, karena semakin besar pendapatan rumahtangga petani maka semakin memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang konsumsi pangan yang semakin meningkat pula. Hal ini juga mencerminkan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Peubah tabungan memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap pengeluaran
pangan. Ini berarti semakin besar tabungan rumahtangga, maka
semakin berkurang pengeluaran konsumsi pangan rumahtangga. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin besar nilai tabungan maka semakin berkurang dana cash yang siap dibelanjakan, sehingga semakin meningkatnya nilai tabungan
223
akan mengakibatkan pengeluaran konsumsi pangan menjadi semakin berkurang (menurun). Peubah jumlah anggota keluarga (JAK) memiliki tanda koefisien paramater yang positif
sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Ini berarti
bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga, maka konsumsi pangan rumahtangga akan meningkat pula. Hal ini logis, karena semakin besar jumlah individu anggota rumahtangga maka semakin banyak konsumsi pangan yang harus disediakan/dialokasikan. Hasil pendugaan respon pada persamaan pengeluaran konsumsi pangan & kebutuhan pokok menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga petani terkait dengan pengeluaran konsumsi pangan tidak responsif terhadap ketiga peubah bebasnya, yaitu peubah pendapatan total rumahtangga (IT), tabungan rumahtangga (TAB), dan peubah jumlah anggota keluarga (JAK). 6.2.10. Pengeluaran Konsumsi Non-pangan Hasil pendugaan terhadap parameter persamaan pengeluaran konsumsi non-pangan (KL) menunjukkan, bahwa semua koefisien parameter peubahbebas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana diajikan pada Tabel 42. Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.55488 yang berarti bahwa, keragaman pengeluaran konsumsi non-pangan sebesar 55.49 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah pendapatan total rumahtangga (IT), pengeluaran investasi sumberdaya manusia (INV), dan tabungan rumahtangga (TAB).
224
Tabel 42. Hasil Pendugaan Persamaan Non-Pangan Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Intersep
525722.0
2.34
0.0227
IT (Total pendapatan/total-income)
0.091808
5.21
<.0001
0.08480992
INV ( Pengeluaran investasi)
0.000657
0.01
0.9895
0.00065099
TAB (Tabungan rumahtangga)
-0.03442
-0.55
0.5813
-0.05649218
Koefisien Determinasi (R2) = 0.55488
Nilai Fhit = 22.85
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Uji-F hitung sebesar 22.85 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 4.16 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan pengeluaran non-pangan dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku pengeluaran non-pangan, sebagaimana tertera pada Tabel 42. Peubah pendapatan total rumahtangga (IT) memiliki tanda koefisien paramater yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen. Ini berarti bahwa, semakin meningkat pendapatan total rumahtangga petani maka semakin besar pengeluaran konsumsi non-pangan. Hal ini logis, karena semakin besar pendapatan rumahtangga petani maka semakin memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang konsumsi non- pangan yang semakin meningkat pula. Peubah pengeluaran investasi sumberdaya manusia (INV) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap pengeluaran konsumsi non-pangan. Ini berarti bahwa semakin besar pengeluaran investasi sumberdaya manusia maka semakin meningkat pengeluaran konsumsi non pangan. Hal ini dapat dimengerti,
225
karena semakin besar pengeluaran investasi sumberdaya manusia maka mendorong semakin meningkatnya nilai pengeluaran konsumsi non pangan. Dengan kata lain pola konsumsi non-pangan bersifat komplementer dengan investasi sumberdaya manusia. Namun dari analisis elastisitas menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga terkait dengan pengeluaran konsumsi non-pangan tidak reponsif terhadap pengeluaran investasi sumberdaya manusia. Peubah tabungan rumahtangga (TAB) memiliki tanda koefisien parameter negatif
sesuai
dengan hipotesis yang diharapkan, dimana semakin besar
tabungan rumahtangga tersebut maka total pengeluaran rumahtangga akan semakin
berkurang, termasuk
pengeluaran
konsumsi
non-pangan. Namun
demikian peubah tabungan rumahtangga berpengaruh tidak nyata terhadap pengeluaran konsumsi non-pangan. Analisis elastisitas menunjukkan bahwa respon pengeluaran konsumsi nonpangan terhadap ketiga peubah-bebasnya (pendapatan total rumahtangga, investasi sumberdaya manusia, dan tabungan rumahtangga) adalah in-elastis. 6.2.11. Investasi Sumberdaya Manusia Analisis pendugaan terhadap parameter persamaan investasi sumberdaya manusia (INV) menunjukkan bahwa semua tanda koefisien peubah bebas yang dimasukkan telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 43. Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan angka 0.12247 (relatif rendah), yang berarti bahwa keragaman investasi sumberdaya manusia (INV) sebesar 12.25 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu
226
peubah pendapatan total rumahtangga (IT), peubah jumlah anggota keluarga (JAK), serta peubah tabungan keluarga (TAB). Tabel 43. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Sumberdaya Manusia Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Intersep
362224.3
0.41
0.6855
IT (Pendapatan total rumahtangga petani)
0.055704
1.19
0.2395
0.49282277
JAK (Jumlah anggota keluarga)
304747.6
2.06
0.0440
0.74295319
TAB (Tabungan rumahtangga)
-0.24870
-1.52
0.1348
-0.41195034
Koefisien Determinasi (R2) = 0.12247
Nilai Fhit = 2.56
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Uji-F hitung sebesar 2.56 adalah lebih kecil daripada F(3,55) = 2.78 pada tingkat kepercayaan ߙ = 5 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan investasi sumberdaya manusia kurang dapat secara baik menjelaskan perilaku pengeluaran investasi sumberdaya manusia. Peubah pendapatan total rumahtangga (IT) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap pengeluaran investasi sumberdaya manusia. Ini berarti, bahwa semakin tinggi pendapatan total rumahtangga maka semakin meningkat pengeluaran investasi sumberdaya manusia. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin tinggi pendapatan total rumahtangga maka kesempatan rumahtangga untuk meningkatkan pengeluaran investasi sumberdaya manusia (baik investasi pendidikan maupun investasi kesehatan) semakin terbuka. Hal ini juga menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani. Peubah jumlah anggota keluarga (JAK) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, dan berpengaruh nyata pada
227
taraf 5 (lima) persen terhadap pengeluaran investasi sumberdaya manusia. Ini berarti, bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga (JAK) maka semakin meningkat pengeluaran investasi sumberdaya manusia. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar jumlah anggota keluarga maka kebutuhan untuk pengeluaran investasi sumberdaya manusia akan semakin besar pula. Peubah tabungan keluarga (TAB) seperti halnya peubah pengeluaran konsumsi pangan (KP) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 (sepuluh) persen terhadap pengeluaran investasi sumberdaya manusia. Ini berarti bahwa semakin besar tabungan keluarga maka semakin berkurang pengeluaran investasi sumberdaya manusia. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar tabungan rumahtangga maka semakin berkurang dana cash yang siap dibelanjakan, sehingga semakin meningkatnya nilai tabungan keluarga akan mengakibatkan pengeluaran investasi sumberdaya manusia menjadi berkurang (menurun). Hasil analisis elastisitas menunjukkan, bahwa keputusan rumahtangga petani terkait dengan pengeluaran investasi sumberdaya manusia adalah tidak responsif terhadap ketiga peubah-penjelasnya. 6.2.12. Tabungan Analisis pendugaan terhadap parameter persamaan tabungan rumahtangga (TAB) menunjukkan bahwa
semua
tanda
koefisien
peubah bebas yang
dimasukkan telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 44. Koefisien determinasi (R2) menunjukan nilai 0.52557, yang berarti bahwa keragaman tabungan rumahtangga (TAB) sebesar 52.56 persen dapat
228
dijelaskan oleh ketiga peubah-penjelasnya, yaitu peubah total pendapatan rumahtangga (IT), pengeluaran total rumahtangga (TEXP), dan suku-bunga tabungan (SBT). Tabel 44. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Intersep
-1.428E7
-1.19
0.2377
IT (Pendapatan total rumahtangga petani)
0.234415
3.80
0.0004
1.248143
TEXP (Total pengeluaran)
-0.30754
-2.77
0.0076
-1.057099
SBT (Suku bunga tabungan)
2732979
1.31
0.1968
5.282026
Koefisien Determinasi (R2) = 0.52557
Nilai Fhit = 20.31
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Uji-F hitung sebesar 20.31 adalah lebih besar daripada F(3,55) = 4.16 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan tabungan rumahtangga (TAB) dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku tabungan rumahtangga petani, sebagaimana tertera pada Tabel 44. Peubah total pendapatan rumahtangga (IT) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap tabungan rumahtangga. Ini berarti, bahwa semakin besar total pendapatan rumahtangga maka semakin meningkat tabungan rumahtangga. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar total pendapatan rumahtangga maka kesempatan rumahtangga untuk meningkatkan tabungan rumahtangga semakin terbuka. Analisis elastisitas juga menunjukkan, bahwa keputusan rumahtangga petani terkait dengan tabungan rumahtangga
229
adalah responsif terhadap total pendapatan rumahtangga dengan koefisien elastisitas sebesar 1.248143. Peubah pengeluaran total rumahtangga (TEXP) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap tabungan rumahtangga petani. Ini berarti bahwa semakin besar pengeluaran total rumahtangga maka semakin berkurang tabungan rumahtangga petani. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar pengeluaran total rumahtangga maka semakin berkurang dana cash yang siap untuk ditabung, sehingga semakin meningkatnya pengeluaran total rumahtangga akan mengakibatkan tabungan rumahtangga petani menjadi semakin berkurang (menurun). Dari hasil analisis elastisitas menunjukkan pula, bahwa keputusan petani terkait dengan tabungan rumahtangga adalah responsif (elastis) terhadap pengeluaran total rumahtangga petani. Peubah suku bunga tabungan (SBT) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap tabungan rumahtangga. Ini berarti, bahwa semakin besar suku bunga tabungan maka semakin meningkat pula tabungan rumahtangga. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar suku bunga tabungan maka hal tersebut dapat mendorong peningkatan tabungan rumahtangga. Dana cash yang ada sementara ditabung sebelum rumahtangga petani memerlukannya dan dana cash tersebut akan diambil pada saat petani memerlukannya. Hasil analisis elastisitas juga menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga petani terkait dengan tabungan rumahtangga adalah responsif (elastis) terhadap suku bunga tabungan (SBT) dengan nilai elastisitas sebesar 5.282026.
230
6.2.13. Kredit/Pinjaman Rumahtangga Analisis pendugaan terhadap parameter persamaan kredit/pinjaman rumahtangga (KR) menunjukkan bahwa, semua tanda koefisien peubah bebas yang dimasukkan ke dalam persamaan telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 45. Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.25409 (relatif rendah), yang berarti bahwa keragaman kredit/pinjaman rumahtangga sebesar 25.41 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah total biaya sarana produksi usahatani (CSPR), pengeluaran total rumahtangga (TEXP), dan peubah tingkat suku bunga pinjaman (SBP). Tabel 45. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit/Pinjaman Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Intersep
11844573
1.71
0.0922
CSPR (Biaya sarana produksi)
0.192329
1.37
0.1750
0.000863
TEXP (Total pengeluaran)
0.061630
1.77
0.0817
0.437317
SBP (Suku bunga pinjaman)
-698010
-1.68
0.0981
-7.431484
Koefisien Determinasi (R2) = 0.25409
Nilai Fhit = 6.25
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Nilai uji-F hitung, yaitu sebesar 6.25 adalah lebih besar daripada nilai F(3,55) = 4.16 pada taraf nyata ߙ = 1 %, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan kredit/pinjaman rumahtangga dapat menjelaskan dengan sangat baik perilaku rumahtangga petani terkait dengan kredit/pinjaman rumahtangga, sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 45. Hasil pendugaan di atas menunjukkan, bahwa peubah total biaya sarana produksi usahatani (CSPR) memiliki parameter dugaan bertanda positif
231
seperti hipotesis yang diharapkan tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap peubah kredit/pinjaman. Ini berarti bahwa meningkatnya total biaya sarana produksi usahatani (CSPR), berpengaruh pada meningkatnya nilai kredit/pinjaman rumahtangga petani. Hal ini dapat dipahami, karena semakin meningkatnya total biaya sarana produksi usahatani (CSPR) akan mendorong meningkatnya kredit/pinjaman rumahtangga petani yang akan digunakan sebagai kapital untuk membeli kebutuhan input sarana produksi, baik berupa pupuk, obat, maupun bibit. Namun hasil analisis elastisitas menunjukkan bahwa, keputusan rumahtangga petani terkait dengan kredit/pinjaman adalah tidak responsif (in-elastis) terhadap total biaya sarana produksi usahatani. Peubah total pengeluaran rumahtangga (TEXP) mempunyai tanda koefisien parameter yang positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10 (sepuluh) persen. Ini berarti, bahwa semakin meningkatnya total pengeluaran rumahtangga (TEXP) berpengaruh pada meningkatnya kredit/pinjaman. Hal ini bisa dimengerti karena meningkatnya total pengeluaran rumahtangga akan mendorong rumahtangga petani melakukan kredit/pinjaman, meskipun hal tersebut merupakan perilaku yang kurang terpuji apabila dana cash pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan yang konsumtif. Namun hasil analisis elastisitas menunjukkan bahwa, keputusan rumahtangga petani terkait dengan kredit/pinjaman adalah
tidak
responsif terhadap total pengeluaran rumahtangga. Peubah sukubunga pinjaman (SBP) memiliki koefisien parameter yang bertanda negatif tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap kredit/pinjaman rumahtangga petani. Ini berarti, bahwa meningkatnya suku bunga pinjaman (SBP) cenderung menurunkan keputusan rumahtangga petani untuk melakukan
232
kredit/pinjaman. Atau sebaliknya apabila sukubunga pinjaman diturunkan sebagai upaya membantu pengusaha skala mikro, maka akan memberi insentif bagi rumahtangga petani untuk meningkatkan kredit/pinjamannya. Sukubunga pinjaman merupakan instrumen
kebijakan yang penting, terlebih lagi dalam
penelitian ini peubah sukubunga pinjaman (SBP) bersifat elastis terhadap besarnya kredit rumahtangga petani (KR) dengan elastisitas sebesar -7.431484. 6.3. Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumputgajah & Sapi-perah 6.3.1. Alokasi Tenaga-kerja Luar Keluarga pada Usahatani Hasil pendugaan persamaan alokasi tenaga-kerja luar keluarga pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah (TKLS) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 46. Tabel 46. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenagakerja Luar Keluarga pada Usahatani Peubah (1)
Parameter dugaan (2)
t-hitung (3)
Tarafnyata
Elastisitas
(4)
(5)
INTERCEP
201.0925
7.11
<.0001
TKDS (Tenaga kerja keluarga pada sapi)
-0.13478
-7.78
<.0001
-0.501003124
UKK (Umur kepala keluarga)
0.485960
0.72
0.4788
0.114748524
TKDUL (Tenaga kerja kel. Pd luar u/t)
0.031074
0.75
0.4595
0.029733509
2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.73236
Nilai Fhit = 24.63
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 46 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.73236 yang berarti bahwa, keragaman alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah sebesar 73.24 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (TKDS), umur kepala
233
keluarga (UKK), serta tenaga kerja keluarga pada luar usahatani rumput-gajah & sapi-perah (TKDUL). Uji-F hitung sebesar 24.63 adalah lebih besar daripada F(4.26) = 4.14 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah dapat
menjelaskan
secara sangat baik perilaku
alokasi tenaga-kerja luar keluarga pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah. Peubah alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (TKDS) memiliki tanda koefisien parameter negatif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata terhadap alokasi tenaga-kerja luar keluarga pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah (TKLS). Ini berarti, bahwa semakin meningkat alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja pada usahatani (TKDS), maka semakin menurun alokasi/permintaan tenaga-kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah (TKLS). Hal ini dapat dipahami, karena semakin besar alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja pada usahatani, maka rumahtangga petani semakin kurang memerlukan untuk menyewa tenaga kerja luar keluarga. Petani akan berupaya secara maksimum untuk memanfaatkan tenaga kerja keluarga sebaik-baiknya. Namun dilihat dari analisis elastisitas, respons alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah (TKDS) terhadap alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani adalah inelastis atau tidak responsif . Peubah alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (TKDUL) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap alokasi tenaga-kerja luar keluarga pada
234
usahatani rumput-gajah & sapi-perah (TKLS). Ini berarti, bahwa semakin meningkat alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani, maka semakin meningkat pula alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah (TKLS). Hal ini mudah dipahami, karena semakin banyak tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani, maka rumahtangga petani memerlukan banyak tenaga kerja yang disewa dari luar keluarga. Namun apabila dilihat dari analisis elastisitas, respons alokasi tenaga-kerja luar keluarga pada usahatani rumput-gajah & sapi-perah terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani adalah in-elastis. 6.3.2. Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Usahatani Rumput-Gajah Hasil pendugaan persamaan alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 47. Tabel 47. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenagakerja Keluarga pada Usahatani Rumput-gajah Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INTERCEP
219.1408
1.38
0.1808
UUDRG (Upah pd usahatani rumput-gajah)
-5.61959
-1.17
0.2515
-1.141168217
LRG (Luas lahan garapan)
405.0101
1.77
0.0888
0.343105459
TKDS (Tenaga kerja keluarga pada sapi)
0.156839
6.61
<.0001
0.58300066
TKDUL (Tenaga kerja kel. pd luar u/t)
-0.00914
-0.26
0.7933
-0.00874571
Koefisien Determinasi (R2) = 0.87395
Nilai Fhit = 45.07
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 47 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.87395 yang berarti bahwa, keragaman alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani rumput-gajah &
235
sapi-perah sebesar 87.39 persen dapat dijelaskan oleh keempat peubah penjelasnya, yaitu upah tenaga kerja pada usahatani rumput-gajah (UUDRG), luas lahan garapan (LRG), tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (TKDS), serta alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani (TKDUL). Uji-F hitung sebesar 45.07 adalah lebih besar daripada F(4.26) = 4.14 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah. Peubah upah tenaga kerja pada usahatani rumput-gajah (UUDRG) memiliki tanda koefisien paramater negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, namun tidak berpengaruh nyata terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin tinggi upah tenaga kerja pada rumput-gajah, maka alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah akan semakin menurun. Hal ini mudah dipahami, karena semakin tinggi upah tenaga kerja pada usahatani rumput-gajah, maka permintaan tenaga kerja keluarga yang bekerja pada usahatani rumput-gajah akan semakin berkurang, meskipun tenaga kerja keluarga dalam penelitian ini tidak diperhitungkan sebagai tenaga kerja yang harus dibayar. Dilihat dari elastisitas, respons alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah adalah bersifat elastis terhadap upah tenaga kerja pada usahatani rumput-gajah dengan nilai elastisitas sebesar -1.141168217. Peubah luas lahan garapan (LRG) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, namun tidak berpengaruh-nyata terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG).
236
Ini berarti semakin luas lahan garapan rumput-gajah, maka semakin dibutuhkan tenaga-kerja
keluarga
pada
usahatani
rumput-gajah
(TKDRG)
untuk
menggarapnya. Hal ini logis, karena semakin luas lahan garapan, maka tenagakerja keluarga yang diperlukan sebagai pengolah dan pengelola lahan tersebut akan semakin besar pula. Namun dilihat dari elastisitas, terlihat bahwa respons alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah tidak elastis terhadap luas lahan garapan. Peubah tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (TKDS), memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah, maka semakin meningkat pula alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dipahami, karena usahatani rumput-gajah terintegrasi dengan usaha sapi-perah, sehingga semakin besar tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah, maka akan semakin besar pula alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumputgajah, karena semakin banyak kebutuhan rumput-gajah yang dikonsumsi oleh ternak sapi. Namun apabila dilihat dari analisis elastisitas, respons alokasi tenagakerja keluarga pada usahatani rumput-gajah terhadap tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah adalah in-elastis. Peubah alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani (TKDUL) memiliki tanda koefisien parameter negatif sesuai hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak-nyata terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG). Ini berarti, bahwa semakin meningkat
237
alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani rumput-gajah (TKDUL), maka semakin berkurang alokasi/permintaan tenaga-kerja luar keluarga pada usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin besar alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani (TKDUL), maka tentu saja akan semakin berkurang tenaga kerja keluarga yang berkerja pada usahatani rumput-gajah. 6.3.3. Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Usahatani Sapi-perah Hasil pendugaan persamaan alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (TKDS) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Usahatani Sapi-perah Peubah
Parameter
t-hitung
dugaan (1)
(2)
Taraf-
Elastisitas
nyata (3)
(4)
(5)
INTERCEP
1469.557
2.29
0.0304
UUDS (Upah tenaga kerja sapi-perah)
-32.6421
-1.96
0.0602
-1.832678861
TKLS (TK luar keluarga pada usahatani sapi)
-2.08025
-1.92
0.0653
-0.712809731
TKDRG (TK keluarga pada rumput-gajah)
4.267731
4.40
0.0002
1.885047605
UKK (Umur kepala keluarga)
-1.70125
-0.47
0.6444
-0.177435293
Koefisien Determinasi (R2) = 0.88240
Nilai Fhit = 48.77
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 48 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.88240 yang berarti bahwa, keragaman alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (TKDS) sebesar 88.24 persen dapat dijelaskan oleh keempat peubah penjelasnya, yaitu peubah upah
238
tenaga kerja pada usahatani sapi-perah (UUDS), alokasi tenaga luar keluarga yang disewa pada usahatani sapi (TKLS), dan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG), serta usia kepala keluarga (UKK). Uji-F hitung sebesar 48.77 adalah lebih besar daripada F(4,26) = 4.14 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapiperah dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah. Peubah upah tenaga kerja pada usahatani sapi-perah (UUDS) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 (sepuluh) persen terhadap alokasi tenagakerja keluarga pada usahatani sapi-perah. Ini berarti bahwa semakin besar upah tenaga
kerja
pada
usahatani
sapi-perah,
maka
semakin
berkurang
permintaan/alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin besar upah tenaga kerja pada usahatani sapi-perah maka semakin berkurang permintaan/alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah. Analisis elastisitas menunjukkan, bahwa respons alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah adalah responsif (elastis) terhadap upah tenaga kerja pada usahatani sapi-perah. Peubah jumlah tenaga-kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani (TKLS) memiliki tanda koefisien parameter negatif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 (sepuluh) persen terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga
pada usahatani sapi-perah. Ini berarti, bahwa semakin
meningkat jumlah tenaga-kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani, maka
239
semakin berkurang pula alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah. Hal ini mudah dipahami, karena semakin banyak tenaga-kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani (TKLS), maka alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah semakin berkurang. Sapi-perah adalah aset hidup yang harus dipelihara dan dikelola secara sungguh-sungguh, sehingga pengelolaannya tidak dapat dilakukan secara amatiran. Karena itu dibutuhkan tenaga kerja luar keluarga yang profesional, baik dari sisi jumlah maupun kualitas. Dilihat dari analisis elastisitas, respons alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah terhadap alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani adalah tidak responsif/in-elastis. Peubah alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumputgajah, maka semakin meningkat pula alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah, karena keduanya saling melengkapi (komplementer). Hal ini dapat dipahami, karena semakin besar alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG), maka petani semakin memerlukan tenaga kerja pada pengelolaan usaha sapi-perah mengingat bahwa sapi-perah memerlukan pemeliharaan yang sangat intensif. Akibatnya alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah semakin meningkat. Dilihat dari analisis elastisitas pun, respons alokasi tenaga-kerja pada usahatani rumput-gajah terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani adalah elastis/ responsif.
240
Peubah umur kepala keluarga (UKK) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah. Ini berarti bahwa semakin tua umur kepala keluarga, maka semakin berkurang alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin tua umur kepala keluarga, maka semakin menurun kemampuannya untuk bekerja memelihara sapi-perah yang sangat memerlukan ketahanan fisik yang prima. 6.3.4. Alokasi Tenaga-kerja Keluarga pada Luar Usahatani Hasil pendugaan persamaan alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah (TKDUL) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenagakerja Keluarga pada Luar Usahatani Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INTERCEP
-322.817
-1.83
0.0793
UUL (Upah tenaga kerja luar usahatani)
11.96616
4.68
<.0001
0.892691891
TEXP (Total pengeluaran rumahtangga)
0.008415
0.62
0.5432
0.51665672
UKK (Umur kepala keluarga)
1.894592
0.64
0.5275
0.4675340926
CTOS (Total biaya usahatani sapi-perah)
0.006151
0.84
0.4071
1.0222164028
2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.56187
Nilai Fhit = 8.34
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 49 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.56187 yang berarti bahwa, keragaman alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah (TKDUL) sebesar
241
56.19 persen dapat dijelaskan oleh keempat peubah penjelasnya, yaitu peubah upah tenaga kerja pada luar usahatani sapi-perah (UUL), total pengeluaran rumahtangga (TEXP), umur kepala keluarga (UKK), serta total biaya usahatani sapi-perah (CTOS). Uji-F hitung sebesar 8.34 adalah lebih besar daripada F(4,26) = 4.14 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku alokasi tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah. Peubah upah tenaga kerja pada luar usahatani sapi-perah (UUL) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap alokasi tenagakerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah. Ini berarti bahwa semakin besar upah tenaga kerja pada luar usahatani sapi-perah, maka semakin meningkat alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin besar upah tenaga kerja pada luar usahatani sapi-perah maka semakin meningkat alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani yang ditawarkan. Peubah pengeluaran rumahtangga total (TEXP) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah. Ini berarti bahwa semakin besar pengeluaran rumahtangga, maka semakin meningkat alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapiperah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin besar pengeluaran rumahtangga
242
total maka semakin meningkat alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah untuk mencari pendapatan tambahan di luar usahatani. Peubah usia kepala keluarga (UUK) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah. Ini berarti bahwa semakin tua usia kepala keluarga, maka semakin bertambah alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin tua usia kepala keluarga maka semakin menurun kemampuannya untuk bekerja
memelihara sapi-perah, sehingga semakin tua
umur kepala keluarga memilih bekerja di luar usahatani. Bekerja pada usahatani sapi-perah memerlukan tenaga yang prima. Peubah biaya total usahatani sapi-perah (CTOS) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah. Ini berarti bahwa semakin besar biaya total usahatani sapi-perah, maka semakin meningkat alokasi tenaga-kerja keluarga pada luar usahatani sapi-perah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin besar biaya total usahatani rumput-gajah & sapiperah maka semakin mendorong petani untuk bekerja pada luar usahatani. 6.3.5. Penggunaan Pupuk pada Usahatani Rumput-gajah Hasil pendugaan persamaan penggunaan pupuk pada usahatani rumputgajah (PPKRG) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 50.
243
Tabel 50. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Pupuk Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INTERCEP
-30845.8
-3.42
0.0020
HPPKRG (Harga pupuk)
-18389.9
-0.35
0.7269
-0.917507264
HSS (Harga jual susu)
11691.15
6.42
<.0001
11.6858951
9314.649
2.42
0.0225
0.464925012
LRG (Luas lahan garapan) 2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.87488
Nilai Fhit = 62.93
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 50 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.87488 yang berarti bahwa, keragaman penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah sebesar 87.49 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah harga pupuk (HPPKRG), harga susu sapi yang dihasilkan petani (HSS), dan luas lahan garapan rumputgajah (LRG). Uji-F hitung sebesar 62.93 adalah lebih besar daripada F(3,27) = 4.6 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah. Peubah harga pupuk (HPPKRG) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif, sesuai dengan
hipotesis yang diharapkan, namun berpengaruh tidak
nyata terhadap penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti bahwa semakin meningkat harga pupuk, maka semakin berkurang penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah. Hal ini logis karena semakin meningkat harga pupuk maka permintaan pupuk (penggunaan pupuk) akan menurun. Namun
244
dilihat dari hasil analisis elastisitas, respons penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah adalah in-elastis (tidak responsif) terhadap harga pupuk. Peubah harga susu sapi yang dihasilkan petani (HSS) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat harga susu sapi yang dihasilkan petani (HSS), maka semakin meningkat pula penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin meningkat harga susu sapi maka pendapatan petani akan meningkat sehingga kemampuan petani untuk membeli pupuk pun semakin meningkat pula. Dilihat dari analisis elastisitas, respons penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah adalah elastis (responsif) terhadap harga susu sapi, sehingga peubah harga output (susu-sapi) merupakan variabel yang penting. Peubah luas lahan garapan rumput-gajah (LRG) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 (lima) persen terhadap penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat luas lahan garapan rumput-gajah, maka semakin meningkat pula penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dipahami, bahwa semakin meningkat luas lahan garapan rumput-gajah, maka semakin besar pupuk yang diperlukan. Dengan perkataan lain penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah pun meningkat. Namun dilihat dari analisis elastisitas, respons penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah terhadap luas lahan garapan rumput-gajah adalah in-elastis.
245
6.3.6. Penggunaan Obat pada Usahatani Rumput-gajah Hasil pendugaan persamaan penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah (OBTRG) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Hasil Pendugaan Parameter Penggunaan Obat
Peubah
Parameter dugaan
(1)
(2)
t-hitung (3)
Tarafnyata (4)
Elastisitas (5)
INTERCEP
-27.1380
-0.53
0.6036
HOBTRG (Harga obat untuk usahatani)
-2.15748
-2.49
0.0194
-17.09982257
HSS (Harga susu-sapi)
40.40616
3.30
0.0027
22.73455027
15.71534
0.65
0.5203
0.441544252
LRG (Luas lahan garapan rumput-gajah) 2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.60676
Nilai Fhit = 13.89
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 51 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.60676 yang berarti bahwa, keragaman penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah sebesar 60.68 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah harga obat (HOBTRG) dan harga susu sapi yang dihasilkan petani (HSS), serta luas lahan garapan rumput-gajah (LRG). Uji-F hitung sebesar 13.89 adalah lebih besar daripada F(3,27) = 4.6 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah.
246
Peubah harga obat (HOBTRG) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 (lima) persen terhadap penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti bahwa semakin tinggi harga obat, maka semakin berkurang penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin tinggi harga obat (HOBTRG), maka kemampuan petani untuk membeli obat menjadi semakin berkurang. Apabila dilihat dari hasil analisis elastisitas, maka respon penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah terhadap harga obat adalah elastis (responsif). Peubah harga susu sapi yang dihasilkan petani (HSS) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf
1 (satu) persen terhadap penggunaan obat pada usahatani
rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat harga susu sapi yang dihasilkan petani (HSS), maka semakin meningkat pula penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin meningkat harga susu sapi maka pendapatan petani akan meningkat sehingga kemampuan petani untuk membeli obat pun semakin meningkat pula. Dilihat dari analisis elastisitas, respons penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah adalah sangat elastis (responsif) terhadap harga susu sapi, sehingga peubah harga output (susu-sapi) merupakan variabel yang penting. Peubah luas lahan garapan rumput-gajah (LRG) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat luas lahan garapan rumput-gajah, maka semakin meningkat
247
pula penggunaan obat pada usahatani rumput-gajah. Hal ini adalah logis, karena semakin luas lahan garapan rumput-gajah maka kebutuhan obat semakin meningkat, sehingga penggunaan obat untuk usahatani pun meningkat. Namun dilihat dari analisis elastisitas, respons penggunaan obat pada usahatani rumputgajah terhadap luas lahan garapan rumput-gajah adalah in-elastis (tidak responsif). 6.3.7. Penggunaan Bibit pada Usahatani Rumput-gajah Analisis pendugaan terhadap parameter persamaan penggunaan bibit rumput-gajah (BBTRG) menunjukkan bahwa semua tanda koefisien peubah bebas yang dimasukkan telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 52. Tabel 52. Hasil Pendugaan Parameter Penggunaan Bibit Rumput-gajah Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Intersep
48.98605
0.11
0.9117
HBBTRG (Harga bibit rumput-gajah)
-1686.09
-0.39
0.7028
-0.284189826
LRG (Luas lahan garapan)
3226.009
1.66
0.1090
0.918846166
IT (Pendapatan total rumahtangga)
0.004708
0.77
0.4499
0.287923069
2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.54912
Nilai Fhit = 10.96
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.54912, yang berarti bahwa penggunaan bibit rumput-gajah (BBTRG) sebesar 54.91 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah harga bibit rumput-gajah (HBBTRG), luas lahan garapan (LRG), dan pendapatan total rumahtangga petani rumput-gajah & sapi-perah (IT). Uji-F hitung sebesar 10.96 adalah lebih besar daripada F(3,27) = 4.6 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan penggunaan bibit rumput-gajah (BBTRG) dapat
248
menjelaskan secara sangat baik perilaku penggunaan bibit rumput-gajah, sebagaimana tertera pada Tabel 52. Peubah harga bibit rumput-gajah (HBBTRG) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, namun berpengaruh tidak nyata terhadap penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti bahwa semakin tinggi harga bibit rumput-gajah, maka semakin berkurang penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin tinggi harga bibit (HBBTRG), maka kemampuan petani untuk membeli bibit menjadi semakin berkurang. Apabila dilihat dari hasil analisis elastisitas, maka respon penggunaan bibit pada usahatani rumputgajah terhadap harga bibit adalah tidak elastis (tidak responsif). Peubah luas lahan garapan (LRG) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 (lima) persen terhadap penggunaan pupuk pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat luas lahan garapan rumput-gajah (LRG), maka semakin meningkat pula penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dipahami, karena semakin meningkat luas lahan garapan maka petani akan semakin memerlukan banyak bibit rumput-gajah. Namun dilihat dari analisis elastisitas, respons penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah terhadap luas lahan garapan rumput-gajah adalah in-elastis (tidak responsif). Peubah pendapatan total rumahtangga petani (IT) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 (lima) persen terhadap penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat pendapatan total rumahtangga petani, maka
249
semakin meningkat pula penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah. Hal ini adalah logis, karena semakin meningkat pendapatan total petani maka kemampuan petani untuk membeli bibit rumput-gajah semakin meningkat, sehingga penggunaan bibit untuk usahatani pun meningkat. Namun dilihat dari analisis elastisitas, respons penggunaan bibit pada usahatani rumput-gajah terhadap pendapatan total rumahtangga petani adalah in-elastis (tidak responsif). 6.3.8. Luas Lahan Garapan Rumput-gajah Hasil pendugaan persamaan luas lahan garapan rumput-gajah (LRG) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan sebagaimana disajikan pada Tabel 53. Tabel 53. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Lahan Garapan Rumput-gajah Peubah
Parameter
t-hitung
dugaan (1)
(2)
Taraf-
Elastisitas
nyata (3)
(4)
(5)
INTERCEP
0.048620
5.00
<.0001
IT (Pendapatan total)
2.232E-6
7.71
<.0001
0.479244
KR (Kredit/pinjaman rumahtangga)
6.477E-6
2.86
0.0080
0.220944
Koefisien Determinasi (R2) = 0.84462
Nilai Fhit = 76.10
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 53 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.84462 yang berarti bahwa, keragaman luas lahan garapan rumput-gajah (LRG) sebesar 84.46 persen dapat dijelaskan oleh kedua peubah penjelasnya, yaitu peubah pendapatan total rumahtangga (IT) dan besarnya kredit/pinjaman rumahtangga (KR). Uji-F hitung sebesar 76,10 adalah lebih besar daripada F(2,28) = 5.45 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama
250
peubah penjelas dari persamaan luas lahan garapan rumput-gajah (LRG) dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku luas lahan garapan rumput-gajah (LRG). Peubah pendapatan total rumahtangga (IT) memiliki tanda koefisien parameter yang positif dan berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap luas lahan garapan rumput-gajah. Ini berarti bahwa semakin tinggi pendapatan total rumahtangga (IT), maka semakin meningkat luas lahan garapan rumput-gajah yang diperlukan. Hal ini logis karena semakin besar pendapatan total rumahtangga maka semakin memiliki kemampuan untuk mengelola lahan garapannya. Namun karena memperluas lahan garapan (andil) bergantung pada kebijakan dan keputusan Perum Perhutani, maka hal tersebut tidak mudah untuk direalisasikan. Dilihat dari analisis elastisitas juga menunjukkan, bahwa respons luas lahan garapan rumput-gajah terhadap pendapatan total rumahtangga adalah in-elastis (tidak responsif). Peubah besarnya kredit/pinjaman rumahtangga (KR) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap luas lahan garapan rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat besarnya kredit/pinjaman rumahtangga (KR), maka semakin meningkat pula luas lahan garapan rumput-gajah yang dikelola. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin meningkat kredit/pinjaman rumahtangga (KR), maka mendorong rumahtangga petani untuk berkemampuan memperluas lahan-garapannya, meskipun hal tersebut sulit untuk dilakukan, karena adanya keterbatasan luas lahan garapan (andil) yang dibagikan kepada petani. Untuk kasus rumput-gajah, penambahan luas lahan garapan masih logis untuk dilakukan karena kebutuhannya tidak seluas lahan garapan kopi. Tetapi dilihat dari analisis
251
elastisitas menunjukkan, bahwa respons luas lahan garapan rumput-gajah terhadap besarnya kredit/pinjaman rumahtangga (KR) adalah in-elastis (tidak responsif). 6.3.9. Produktivitas Usahatani Rumput-gajah Hasil pendugaan persamaan produktivitas usahatani rumput-gajah (YIELD) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 54. Tabel 54. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produktivitas Usahatani Rumput-gajah Peubah
Parameter
t-hitung
dugaan (1)
(2)
Taraf-
Elastisitas
nyata (3)
(4)
(5)
INTERCEP
392.2422
57.48
<.0001
BBTRG (Penggunaan bibit)
0.015604
1.92
0.0660
0.020499618
UKK (Usia kepala keluarga)
-0.06324
-0.81
0.4278
-0.006595743
TKLS (TK luar keluarga pada usahatani sapi)
0.031184
1.24
0.2271
0.010685379
Koefisien Determinasi (R2) = 0.15279
Nilai Fhit = 1.62
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 54 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.15279 (relatif kecil) yang berarti bahwa, keragaman produktivitas usahatani rumput-gajah sebesar 15.28 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah penggunaan bibit untuk budidaya rumput-gajah (BBTRG), umur kepala keluarga (UKK), serta alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS). Uji-F hitung sebesar 1.62 adalah lebih kecil daripada F(3,27) = 2.92 pada tingkat kepercayaan ߙ = 5 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan produktivitas usahatani rumput-gajah kurang
252
dapat menjelaskan secara baik perilaku rumahtangga petani terkait dengan produktivitas
usahatani
rumput-gajah.
Dilihat
dari
analisis
elastisitas
menunjukkan bahwa respon produktivitas usahatani rumput-gajah terhadap ketiga peubah-bebasnya adalah in-elastis atau tidak responsif. Peubah penggunaan bibit untuk budidaya rumput-gajah (BBTRG) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, namun berpengaruh tidak-nyata terhadap produktivitas usahatani rumput-gajah. Ini berarti bahwa semakin tinggi penggunaan bibit untuk budidaya rumput-gajah (BBTRG), maka semakin meningkat produktivitas usahatani rumput-gajah, karena jumlah bibit yang digunakan (yang berkualitas) sudah tentu akan meningkatkan produktivitas lahan garapan. Namun dilihat dari analisis elastisitas menunjukkan bahwa, respons produktivitas usahatani rumput-gajah terhadap penggunaan bibit untuk budidaya rumput-gajah adalah in-elastis atau tidak responsif. Peubah umur kepala keluarga (UKK) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas usahatani rumput-gajah. Ini berarti bahwa semakin meningkat umur kepala keluarga (UKK), maka semakin berkurang produktivitas usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin meningkat umur kepala keluarga (UKK) maka semakin berkurang kemampuan fisik kepala rumahtangga untuk menangani pekerjaan pemeliharaan rumput-gajah & sapiperah. Beban pekerjaan pemeliharaan rumput-gajah & sapi-perah adalah pekerjaan yang sangat berat sehingga memerlukan tenaga-kerja yang fit/sehat. Apabila pekerjaan ini ditangani oleh orang yang berusia tua, maka produktivitas pun akan berkurang. Namun analisis elastisitas menunjukkan bahwa respon
253
produktivitas usahatani rumput-gajah terhadap umur kepala keluarga adalah inelastis atau tidak responsif. Peubah alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas usahatani rumput-gajah. Ini berarti, bahwa semakin meningkat alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS), maka semakin meningkat pula produktivitas usahatani rumput-gajah. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin meningkat alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS), maka produktivitas lahan akan meningkat, karena pekerjaan budidaya rumput-gajah & sapi-perah masih banyak bergantung pada peranserta tenaga fisik petani secara langsung. Karena itu semakin banyak tenaga luar keluarga yang disewa (TKLS), maka semakin meningkat produktivitas lahannya. Namun apabila dilihat dari analisis elastisitas, maka respon produktivitas
usahatani
rumput-gajah
terhadap alokasi tenaga-kerja luar
keluarga yang disewa (TKLS) adalah in-elastis (koefisien elatisitas hanya 0.010685379) atau tidak responsif. Dengan demikian respons produktivitas ushatani rumput-gajah bersifat in-elastis terhadap ketiga peubah-bebasnya. 6.3.10. Produksi Susu Sapi Hasil pendugaan persamaan produksi susu (PRODSS) menunjukkan semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 55. Dari hasil pendugaan pada Tabel 55 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.86982 yang berarti bahwa, keragaman persamaan produksi susu sapi sebesar 86.98 persen dapat dijelaskan oleh keempat
254
peubah-penjelasnya, yaitu peubah jumlah makanan ternak sapi (JMAK), pendapatan total rumahtangga (IT), alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS), serta kredit/pinjaman rumahtangga (KR). Tabel 55. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Susu Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INTERCEP
2458.994
0.72
0.4763
JMAK (Jumlah makanan ternak sapi)
4.053594
2.32
0.0282
IT (Pendapatan total rumahtangga)
0.219179
4.88
<.0001
2.348973584
TKLS (Tenaga kerja luar keluarga pada usahatani)
8.148936
0.83
0.4115
0.372467473
KR (Kredit/pinjaman rumahtangga)
0.208230
0.66
0.5158
0.354542762
2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.86982
0.31853924
Nilai Fhit = 43.43
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Uji-F hitung sebesar 43.43 adalah lebih besar daripada F(4,26) = 4.14 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan produksi susu sapi dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku produksi susu sapi. Peubah jumlah makanan ternak sapi (JMAK) memiliki tanda koefisien parameter positif dan berpengaruh nyata pada taraf 5 (lima) persen terhadap produksi susu sapi. Ini berarti, bahwa semakin meningkat jumlah makanan ternak sapi (JMAK), maka semakin banyak produksi susu yang dihasilkan. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin banyak jumlah makanan ternak sapi (JMAK) yang dikonsumsi, maka petani dapat memproduksi susu sapi secara lebih produktif. Namun apabila dilihat dari analisis elastisitas, maka respons produksi susu terhadap total jumlah makanan ternak sapi (JMAK), masih tidak elastis. Peubah pendapatan total rumahtangga (IT) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap produksi susu. Ini berarti, bahwa semakin meningkat
255
pendapatan total rumahtangga (IT), maka semakin meningkat pula produksisusunya. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar pendapatan total rumahtangga (IT), maka semakin banyak keleluasaan rumahtangga untuk membeli sarana-produksi yang lebih memadai dan memiliki kemampuan untuk membayar biaya sewa tenaga-kerja. Disamping itu dilihat dari analisis elastisitas, ternyata respons produksi susu terhadap pendapatan total rumahtangga (IT) adalah elastis (responsif) dengan besar koefisien-elatisitasnya adalah 2.359529974. Peubah alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS) memiliki tanda koefisien parameter yang positif. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Ini berarti bahwa semakin meningkat alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS), maka semakin meningkat produksi susu sapi. Hal ini dapat dipahami, karena semakin banyak alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS) maka petani semakin berkemampuan untuk meningkatkan produksi-susunya.
Namun
apabila
dilihat
dari
hasil
analisis
elastisitas
menunjukkan, bahwa respons produksi susu terhadap alokasi tenaga-kerja luar keluarga yang disewa (TKLS) adalah in-elastis/tidak responsif. 6.3.11. Pengeluaran Konsumsi Pangan Hasil
pendugaan
persamaan
pengeluaran
konsumsi
pangan
(KP)
menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 56. Dari hasil pendugaan pada Tabel 56 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.8540 yang berarti bahwa, keragaman pengeluaran konsumsi pangan (KP) sebesar 85.40 persen dapat dijelaskan oleh
256
ketiga peubah-penjelasnya, yaitu peubah tabungan rumahtangga (TAB), pengeluaran non-pangan (KL), dan pendapatan total rumahtangga (IT). Tabel 56. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Konsumsi Pangan Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INTERCEP
6459.766
3.02
0.0054
TAB (Tabungan rumahtangga)
-0.53048
-5.18
<.0001
-1.698677634
KL (Konsumsi non-pangan)
-1.84379
-4.56
<.0001
-0.527865765
IT (Pendapatan total rumahtangga)
0.507796
4.66
<.0001
2.401752188
Koefisien Determinasi (R2) = 0.85840
Nilai Fhit = 54.56
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Uji-F hitung sebesar 54.56 adalah lebih besar daripada F(3,27) = 4.6 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan pengeluaran konsumsi pangan dapat menjelaskan secara baik perilaku pengeluaran konsumsi pangan (KP). Peubah tabungan rumahtangga (TAB) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap pengeluaran konsumsi pangan. Ini berarti bahwa semakin besar tabungan rumahtangga (TAB), maka semakin berkurang pengeluaran konsumsi pangan. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin besar tabungan rumahtangga (TAB) maka semakin berkurang dana cash yang siap dibelanjakan, sehingga semakin meningkatnya tabungan rumahtangga (TAB) akan mengakibatkan pengeluaran konsumsi pangan (KP) menjadi berkurang (menurun). Namun apabila dilihat dari analisis elastisitas, respons pengeluaran konsumsi pangan (KP) terhadap tabungan rumahtangga (TAB) adalah elastis/ responsif dengan koefisien elastisitas sebesar -1.698677634.
257
Peubah pengeluaran konsumsi non-pangan (KL) memiliki tanda koefisien parameter negatif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap pengeluaran konsumsi pangan (KP). Ini berarti, bahwa semakin meningkat pengeluaran konsumsi non-pangan (KL), maka semakin menurun pengeluaran konsumsi pangan (KP). Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin meningkat pengeluaran konsumsi non-pangan (KL), maka alokasi dana untuk memenuhi konsumsi pangan (KP) menjadi berkurang karena keterbatasan dana yang dimiliki petani. Dengan demikian maka pengeluaran konsumsi pangan (KP) akan menjadi menurun. Namun apabila dilihat dari analisis elastisitas, maka respons pengeluaran konsumsi pangan (KP) terhadap pengeluaran konsumsi non-pangan (KL) adalah in-elastis (tidak responsif). Peubah pendapatan total rumahtangga (IT) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh sangat-nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap pengeluaran konsumsi pangan (KP). Ini berarti, bahwa semakin meningkat pendapatan total rumahtangga (IT), maka semakin meningkat pula pengeluaran konsumsi pangan (KP). Hal ini adalah logis, karena semakin meningkat pendapatan total rumahtangga (IT), maka pengeluaran konsumsi pangan (KP) pun meningkat. Dilihat dari analisis elastisitas, respons pengeluaran konsumsi pangan (KP) terhadap pendapatan total rumahtangga (IT) adalah elastis (responsif). 6.3.12. Pengeluaran Investasi Sumberdaya Manusia Hasil pendugaan persamaan pengeluaran investasi sumberdaya manusia (INV) menunjukkan bahwa semua koefisien peubah penjelas memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 57.
258
Tabel 57. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Investasi Sumberdaya Manusia Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INTERCEP
-768.391
-0.42
0.6802
KP (Konsumsi pangan)
-0.11511
-0.55
0.5852
-0.47701721
PDS (Pendidikan suami)
358.8610
1.98
0.0588
1.559257472
IT (Pendapatan total rumahtangga)
0.022321
0.35
0.7261
0.43749547
SHRRG (Sharing produksi)
-0.05676
-0.02
0.9872
-0.257414921
Koefisien Determinasi (R2) = 0.14983
Nilai Fhit = 1.15
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Dari hasil pendugaan pada Tabel 57 tersebut, terlihat bahwa koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.14983 yang berarti bahwa, keragaman investasi sumberdaya manusia (INV) sebesar 14.98 persen dapat dijelaskan oleh keempat peubah penjelasnya, yaitu peubah pengeluaran pangan (KP), pendidikan suami (PDS), dan pendapatan total rumahtangga (IT), serta sharing produksi (SHRRG). Uji-F hitung sebesar 1.15 adalah lebih kecil daripada F(4,26) = 2.74 pada tingkat kepercayaan ߙ = 5 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan investasi sumberdaya manusia (INV) kurang dapat menjelaskan secara baik perilaku investasi sumberdaya manusia (INV). Peubah pengeluaran pangan (KP) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap investasi sumberdaya manusia (INV). Ini berarti semakin besar pengeluaran pangan (KP), maka semakin berkurang investasi sumberdaya manusia (INV). Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin besar pengeluaran pangan (KP) maka semakin berkurang dana cash yang siap dibelanjakan, sehingga semakin meningkatnya pengeluaran pangan akan mengakibatkan investasi
259
sumberdaya manusia (INV) menjadi berkurang (menurun). Namun apabila dilihat dari analisis elastisitas, respons investasi sumberdaya manusia (INV) terhadap pengeluaran pangan keluarga (KP) adalah in-elastis/tidak responsif. Peubah pendidikan suami (PDS) memiliki tanda koefisien parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 (sepuluh) persen terhadap investasi sumberdaya manusia (INV). Ini berarti, bahwa semakin meningkat pendidikan suami (PDS), maka semakin meningkat pula investasi sumberdaya manusia (INV). Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin meningkat pendidikan suami (PDS), maka kesadaran rumahtangga untuk mengalokasikan pengeluaran biaya pendidikan dan kesehatan semakin meningkat. Karena itu maka pengeluaran investasi sumberdaya manusia (INV) pun semakin meningkat. Apabila dilihat dari analisis elastisitas, respons investasi sumberdaya manusia (INV) terhadap pendidikan suami (PDS) adalah bersifat elastis/responsif. 6.3.13. Tabungan Analisis pendugaan terhadap parameter persamaan tabungan rumahtangga (TAB) menunjukkan bahwa semua tanda koefisien peubah bebas yang dimasukkan telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 58. Tabel 58. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INTERSEP
-67369.6
-4.87
<.0001
RSS (Penerimaan hasil penjualan susu)
0.673837
8.38
<.0001
1.555931244
TEXP (Total pengeluaran rumahtangga)
-0.20673
-0.56
0.5832
-0.09862179
SBT (Suku bunga tabungan)
8408.505
4.09
0.0004
2.62303936
Koefisien Determinasi (R2) = 0.86079 Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Nilai Fhit = 55.65
260
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.86079, yang berarti bahwa keragaman tabungan rumahtangga (TAB) sebesar 86.08 persen dapat dijelaskan oleh ketiga peubah penjelasnya, yaitu peubah penerimaan hasil susu (RSS), pengeluaran total rumahtangga (TEXP), dan suku bunga tabungan (SBT). Uji-F hitung sebesar 55.65 adalah lebih besar daripada F(3,27) = 4.6 pada tingkat kepercayaan ߙ = 1 persen, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan tabungan rumahtangga (TAB) dapat menjelaskan secara sangat baik perilaku tabungan rumahtangga petani, sebagaimana tertera pada Tabel 58. Peubah penerimaan hasil susu (RSS) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap tabungan rumahtangga. Ini berarti, bahwa semakin besar penerimaan hasil susu (RSS) maka semakin meningkat tabungan rumahtangga. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar penerimaan hasil susu (RSS) maka kesempatan rumahtangga untuk meningkatkan tabungan rumahtangga semakin terbuka. Analisis elastisitas juga menunjukkan, bahwa keputusan rumahtangga petani terkait dengan tabungan rumahtangga adalah responsif terhadap penerimaan hasil susu (RSS) dengan koefisien elastisitas sebesar 1.555931244. Peubah pengeluaran total rumahtangga (TEXP) memiliki tanda koefisien parameter yang negatif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap tabungan rumahtangga petani. Ini berarti bahwa semakin besar pengeluaran total rumahtangga maka semakin berkurang tabungan rumahtangga petani. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar pengeluaran
261
total rumahtangga maka semakin berkurang dana cash yang siap untuk ditabung, sehingga
semakin
meningkatnya
pengeluaran
total
rumahtangga
akan
mengakibatkan tabungan rumahtangga petani menjadi semakin berkurang (menurun). Namun hasil analisis elastisitas menunjukkan, bahwa keputusan petani terkait dengan tabungan rumahtangga adalah tidak responsif (in-elastis) terhadap pengeluaran total rumahtangga petani. Peubah suku bunga tabungan (SBT) memiliki tanda koefisien parameter yang positif sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (satu) persen terhadap tabungan rumahtangga. Ini berarti, bahwa semakin besar suku bunga tabungan (SBT) maka semakin meningkat pula tabungan rumahtangga. Hal ini dapat dimengerti, karena semakin besar suku bunga tabungan (SBT), maka dana cash rumahtangga petani semakin meningkat, sehingga hal tersebut dapat mendorong peningkatan tabungan rumahtangga. Dana cash yang ada sementara ditabung sebelum rumahtangga petani memerlukannya dan dana cash tersebut akan diambil pada saat petani memerlukannya. Apabila dilihat dari hasil analisis-elastisitasnya, maka
hasilnya menunjukkan bahwa
keputusan rumahtangga petani terkait dengan tabungan rumahtangga adalah responsif (elastis) terhadap suku bunga tabungan (SBT) dengan koefisien elastisitas sebesar 2.62303836. 6.3.14. Kredit/Pinjaman Rumahtangga Analisis pendugaan terhadap parameter persamaan kredit/pinjaman rumahtangga (KR) menunjukkan bahwa, semua tanda koefisien peubah bebas yang dimasukkan ke dalam persamaan telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, sebagaimana disajikan pada Tabel 59.
262
Tabel 59. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit/Pinjaman Peubah
Parameter dugaan
t-hitung
Tarafnyata
Elastisitas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INTERSEP
8843.576
0.71
0.4820
SBP (Suku bunga pinjaman)
-457.590
-0.62
0.5374
-1.443819131
CSPRS (Biaya sarana produksi pada sapi)
0.159724
4.31
0.0002
0.720238591
2
Koefisien Determinasi (R ) = 0.55764
Nilai Fhit = 17.65
Sumber : Analisis Ekonometrik dari data primer
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.55764, yang berarti bahwa keragaman kredit/pinjaman rumahtangga sebesar 55.76 persen dapat dijelaskan oleh kedua peubah penjelasnya, yaitu peubah tingkat suku bunga pinjaman (SBP) dan peubah total biaya sarana produksi usahatani (CSPRS). Nilai uji-F hitung, yaitu sebesar 17.65 adalah lebih besar daripada nilai F(3,55) = 4.6 pada taraf nyata ߙ = 1 %, yang berarti bahwa secara bersama-sama peubah penjelas dari persamaan kredit/pinjaman rumahtangga dapat menjelaskan dengan sangat baik perilaku rumahtangga petani terkait dengan kredit/pinjaman rumahtangga, sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 59. Peubah sukubunga pinjaman (SBP) memiliki koefisien parameter yang bertanda negatif tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap kredit/pinjaman rumahtangga
petani. Ini berarti, bahwa meningkatnya suku bunga pinjaman
(SBP) cenderung menurunkan keputusan rumahtangga petani untuk melakukan kredit/pinjaman. Atau sebaliknya apabila sukubunga pinjaman diturunkan sebagai upaya membantu pengusaha skala mikro, maka akan memberi insentif bagi rumahtangga petani untuk meningkatkan kredit/pinjamannya. Sukubunga pinjaman merupakan instrumen kebijakan yang penting, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap kredit/pinjaman, karena dalam wawancara/interview sulit untuk
263
mendapatkan angka kredit yang valid berdasarkan pengakuan petani. Apabila dilihat dari hasil analisis elastisitas menunjukkan bahwa, keputusan rumahtangga petani terkait dengan kredit/pinjaman adalah responsif terhadap suku bunga pinjaman (SBP) dengan koefisien elastisitas sebesar -1.443819131. Peubah total biaya sarana produksi usahatani (CSPR) memiliki parameter dugaan bertanda positif seperti hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 1 (persen) persen terhadap peubah kredit/pinjaman. Ini berarti bahwa meningkatnya total biaya sarana produksi usahatani (CSPR), berpengaruh pada meningkatnya nilai kredit/pinjaman rumahtangga petani. Hal ini dapat dipahami, karena semakin meningkatnya total biaya sarana produksi usahatani (CSPR) akan mendorong meningkatnya kredit/pinjaman rumahtangga petani yang akan digunakan sebagai kapital untuk membeli kebutuhan input sarana produksi, baik berupa pupuk, obat, maupun bibit. Namun hasil analisis elastisitas menunjukkan
bahwa,
keputusan
rumahtangga
petani
terkait
dengan
kredit/pinjaman adalah tidak responsif terhadap total biaya sarana produksi usahatani. 6.4. Rangkuman Hasil Estimasi Berdasarkan hasil analisis pendugaan/estimasi ekonometrik, berikut disajikan rangkuman faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sebagaiberikut : 1.
Alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani PHBM Kopi (AKL) dipengaruhi secara nyata oleh alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh upah usahatani
264
(UUD) dan pendapatan total rumahtangga petani (IT). Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani PHBM Kopi (AKD) bersifat elastis terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD). Sedangkan alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (TKLS) dipengaruhi secara nyata oleh tenaga-kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (TKDS), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh umur kepala keluarga (UKK) dan alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (TKDUL). Alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa pada usahatani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (TKLS) bersifat tidak elastis terhadap semua peubah-bebasnya (TKDS, UKK dan TKDUL). 2.
Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani PHBM Kopi (AKD) dipengaruhi secara nyata oleh alokasi tenaga kerja luar keluarga yang disewa (AKL), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh upah usahatani (UUD) dan alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (AKDUL). Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani PHBM Kopi (AKD) bersifat tidak elastis terhadap ketiga peubah-bebasnya. Sedangkan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani PHBM Rumputgajah & Sapi-perah (TKDRG) dipengaruhi tidak secara nyata oleh upah tenaga kerja rumput-gajah (UUDRG) dan luas lahan garapan rumput-gajah (LRG). Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (TKDRG) bersifat elastis terhadap upah tenaga kerja rumputgajah, tetapi tidak elastis terhadap luas lahan garapan.
265
Alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani sapi-perah (TKDS) bersifat elastis dan dipengaruhi secara nyata oleh upah tenaga-kerja pada usahatani (UUDS) dan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani Rumput-gajah (TKDRG), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh alokasi tenaga kerja luar keluarga pada usahatani yang disewa (TKLS) dan umur kepala keluarga (UKK). 3.
Alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani PHBM Kopi (AKDUL) dipengaruhi secara nyata oleh total pengeluaran rumahtangga (TEXP), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh
pendidikan suami (PDS) dan biaya
produksi usahatani (CPR). Alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani PHBM Kopi (AKDUL) bersifat elastis terhadap total pengeluaran rumahtangga (TEXP) dan tidak elastis terhadap kedua peubah-bebas lainnya (PDS dan CPR). Sedangkan alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani PHBM Rumputgajah & Sapi-perah (TKDUL) dipengaruhi secara nyata oleh upah luar usahatani (UUL), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh total pengeluaran rumahtangga (TEXP), umur kepala keluarga (UKK) dan total biaya produksi sapi (CTOS). Alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (TKDUL) bersifat elastis terhadap total biaya produksi sapi (CTOS). 4.
Penggunaan input pupuk pada PHBM Kopi (PPK) dipengaruhi secara nyata oleh harga pupuk (HPPK) dan luas lahan garapan usahatani (LH), serta dipengaruhi secara tidak nyata oleh harga output kopi (HKP). Penggunaan pupuk pada PHBM Kopi bersifat elastis terhadap perubahan harga pupuk
266
(HPPK) dan harga kopi (HKP), namun tidak elastis terhadap luas lahan garapan (LH). Sedangkan penggunaan input pupuk pada PHBM Rumput-gajah & Sapiperah (PPKRG) dipengaruhi secara nyata oleh harga jual susu (HSS) dan luas lahan garapan rumput-gajah (LRG), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh harga pupuk (HPPKRG). Penggunaan pupuk pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah bersifat elastis (responsif) terhadap perubahan harga jual susu (HSS) dan luas lahan garapan (LRG), namun tidak elastis terhadap harga pupuk (HPPKRG). 5.
Penggunaan obat pada usahatani PHBM Kopi (OBT) dipengaruhi secara nyata oleh harga obat (HOBT) dan
luas lahan garapan (LH), tetapi
dipengaruhi secara tidak nyata oleh harga komoditas kopi (HKP). Penggunaan obat pada PHBM Kopi bersifat elastis terhadap harga obat (HOBT) dan luas lahan garapan (LH), tetapi tidak elastis terhadap harga komoditas kopi (HKP). Sedangkan penggunaan obat pada usahatani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (OBTRG) dipengaruhi secara nyata oleh harga obat (HOBTRG) dan harga susu (HSS), namun dipengaruhi secara tidak nyata oleh luas lahan garapan (LRG). Penggunaan obat pada usahatani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (OBTRG) bersifat
elastis
terhadap peubah harga obat
(HOBTRG) dan harga susu (HSS). 6.
Penggunaan input bibit pada usahatani PHBM Kopi (BBT) dipengaruhi secara nyata oleh harga bibit kopi (HBBT) dan luas lahan garapan kopi (LH), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh harga komoditas kopi (HKP).
267
Penggunaan input bibit pada usahatani PHBM Kopi (BBT) bersifat elastis terhadap harga bibit kopi (HBBT) dan luas lahan garapan (LH), tetapi tidak elastis terhadap harga kopi (HKP). Sedangkan penggunaan input bibit pada usahatani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (BBTRG) dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan garapan kopi (LRG), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh harga bibit rumput-gajah (HBBTRG) dan pendapatan total rumahtangga (IT). Penggunaan input bibit pada usahatani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (BBTRG) tidak elastis terhadap semua peubah-bebasnya (HBBTRG, LRG, maupun IT). 7.
Luas lahan garapan merupakan aset sumberdaya (resources) yang terkait erat dengan kemampuan finansial si pengelolanya. Hal itu terbukti bahwa, luas lahan garapan usahatani kopi (LH) dipengaruhi oleh peubah pendapatan total rumahtangga (IT) dan besarnya kredit/pinjaman rumahtangga (KR). Namun respon luas lahan terhadap semua peubah-bebasnya bersifat in-elastis. Sedangkan pada model PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, luas lahan garapan rumput-gajah dipengaruhi secara nyata oleh peubah pendapatan total rumahtangga (IT) dan besarnya kredit/pinjaman rumahtangga (KR). Namun sama seperti model PHBM Kopi, respons luas lahan garapan rumput-gajah terhadap peubah-bebasnya bersifat in-elastis.
8.
Produktivitas lahan terkait erat dengan penerapan teknologi pemanfaatan faktor produksi (pupuk, obat, bibit, sumberdaya manusia). Dalam kasus ini, produktivitas lahan usahatani kopi (YIELD) dipengaruhi secara nyata oleh alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani (AKD) dan dipengaruhi secara tidak nyata oleh faktor penggunaan pupuk (PPK) dan tenaga luar keluarga
268
yang disewa (AKL). Namun respons produktivitas terhadap semua peubahpenjelasnya bersifat in-elastis (tidak responsif). Sedangkan pada model PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, produktivitas usahatani (YIELD) dipengaruhi secara tidak nyata oleh penggunaan bibit (BBTRG), umur kepala keluarga (UKK), serta tenaga kerja luar keluarga yang disewa (TKLS), meskipun respons produktivitas terhadap keempat peubah-bebasnya bersifat tidak elastis. Dapat disimpulkan, bahwa produktivitas lahan masih banyak bergantung pada sumberdaya manusianya daripada penggunaan teknologi faktor input produksi lainnya. 9.
Produksi susu sapi pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (PRODSS) dipengaruhi secara nyata oleh
pendapatan total rumahtangga (IT), serta
dipengaruhi secara tidak nyata oleh jumlah makanan/konsentrat (JMAK), tenaga-kerja
luar
keluarga
yang
disewa
(TKLS),
serta
besarnya
kredit/pinjaman rumahtangga (KR). Produksi susu sapi bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan total rumahtangga (IT) dan tidak elastis terhadap ketiga peubah lainnya. Sedangkan produksi pada PHBM Kopi tidak dianalisis/diestimasi sebagai persamaan perilaku. 10. Konsumsi pangan pada PHBM Kopi (KP) dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan total (IT), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh tabungan keluarga (TAB). Konsumsi pangan rumahtangga PHBM Kopi (KP) bersifat tidak elastis terhadap kedua peubah-bebasnya (IT dan TAB). Sedangkan konsumsi pangan rumahtangga pada model PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, dipengaruhi secara nyata oleh tabungan rumahtangga (TAB), pendapatan total (IT), serta konsumsi non-pangan (KL). Konsumsi pangan
269
rumahtangga PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (KP) bersifat tidak elastis terhadap konsumsi non-pangan (KL). 11. Konsumsi non-pangan rumahtangga PHBM Kopi (KL) dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan total (IT), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh pengeluaran investasi sumberdaya manusia (INV) dan tabungan rumahtangga (TAB). Konsumsi non-pangan rumahtangga PHBM Kopi (KL) bersifat tidak elastis terhadap ketiga peubah-bebasnya (IT, INV, TAB). 12. Investasi sumberdaya manusia untuk PHBM Kopi (INV) dipengaruhi sangat nyata oleh jumlah anggota keluarga (JAK), serta dipengaruhi secara tidak nyata oleh pendapatan total (IT) dan tabungan rumahtangga petani (TAB). Investasi sumberdaya manusia untuk PHBM Kopi (INV) bersifat tidak elastis terhadap ketiga peubah-bebasnya. Sedangkan investasi sumberdaya manusia untuk PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (INV) dipengaruhi secara nyata oleh pendidikan suami (PDS), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh konsumsi pangan (KP), pendapatan total rumahtangga petani (IT), serta sharing produksi (SHRRG). Investasi sumberdaya manusia untuk PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (INV) bersifat elastis terhadap pendidikan suami (PDS) dan bersifat in-elastis terhadap ketiga peubah-babas lainnya (KP, IT, dan SHRRG). 13. Tabungan rumahtangga petani untuk model PHBM Kopi (TAB) dipengaruhi
sangat nyata oleh pendapatan total (IT) dan pengeluaran total (TEXP), serta dipengaruhi secara tidak nyata oleh suku-bunga tabungan (SBT). Tabungan rumahtangga petani untuk model PHBM Kopi (TAB) bersifat elastis terhadap ketiga peubah-bebasnya (IT, TEXP dan SBT).
270
Sedangkan tabungan rumahtangga petani untuk model PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (TAB) dipengaruhi sangat nyata oleh penerimaan/ revenue susu (RSS) dan suku-bunga tabungan (SBT), serta dipengaruhi secara tidak nyata oleh pengeluaran total (TEXP). Tabungan rumahtangga petani untuk model PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (TAB) bersifat elastis terhadap penerimaan/revenue susu (RSS) dan suku-bunga tabungan (SBT). 14. Kredit/pinjaman pada PHBM Kopi (KR) dipengaruhi secara nyata oleh total
pengeluaran (TEXP) dan suku-bunga pinjaman (SBP), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh oleh biaya sarana produksi (CSPR). Kredit/pinjaman pada PHBM Kopi (KR) bersifat elastis hanya terhadap suku-bunga pinjaman (SBP). Sedangkan kredit/pinjaman rumahtangga petani untuk model PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (KR) dipengaruhi secara nyata oleh biaya sarana produksi (CSPRS), tetapi dipengaruhi secara tidak nyata oleh suku-bunga pinjaman (SBP). Kredit/pinjaman rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (KR) bersifat elastis terhadap suku bunga pinjaman (SBP), tetapi bersifat tidak elastis terhadap biaya sarana produksi (CSPRS). 15. Dari analisis estimasi dan analisis respons di atas, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai-berikut : a.
Alokasi
tenaga kerja keluarga pada usahatani kopi (AKD) bersifat
saling-menggantikan (substitusi) terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (AKDUL) maupun tenaga kerja luar keluarga yang disewa (AKL). Demikian pula pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani rumput-gajah (TKDRG)
271
maupun sapi-perah (TKDS) bersifat substitusi terhadap tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani (TKDUL) maupun tenaga luar keluarga yang disewa (TKLS). b.
Alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani terkait erat dengan pendapatan luar usahatani, sedangkan alokasi tenaga kerja pada usahatani (baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga sewaan) akan berpengaruh pada produktivitas usahatani yang pada akhirnya berpengaruh pula pada pendapatan usahatani.
c.
Alokasi tenaga kerja keluarga pada luar usahatani (AKDUL) pada PHBM Kopi sensitif terhadap perubahan total pengeluaran rumahtangga (TEXP).
d.
Penggunaan pupuk pada PHBM Kopi sensitif terhadap perubahan harga pupuk (HPPK) maupun harga output kopi (HKP), demikian pula pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sensitif terhadap perubahan harga susu (HSS).
e.
Penggunaan obat pada PHBM Kopi (OBT) sensitif terhadap perubahan harga obat (HOBT) dan luas lahan garapan (LH), sedangkan pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sensitif terhadap perubahan harga susu (HSS) dan harga obat (HOBTRG).
f.
Penggunaan bibit pada PHBM Kopi (BBT) sensitif terhadap perubahan harga bibit (HBBT) dan luas lahan garapan (LH), sedangkan pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (BBTRG) tidak sensitif terhadap perubahan variabel-variabel bebasnya.
272
g.
Baik pada PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, petani mengalami kendala finansial untuk mampu memperluas lahan garapan usahataninya. Secara empirik, petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah
lebih
memiliki
kapasitas
untuk
memperluas
lahan
garapannya, karena memiliki kekuatan finansial yang lebih besar daripada petani PHBM Kopi. h.
Produktivitas lahan PHBM (Kopi maupun Rumput-gajah & Sapi-perah) lebih bergantung/lebih dipengaruhi oleh faktor yang terkait dengan kapasitas
sumberdaya
manusia
daripada
pemanfaatan
teknologi
penggunaan input produksi. Ini berarti semakin banyak tenaga-kerja yang dialokasikan pada aktivitas usahatani (baik tenaga keluarga maupun tenaga sewaan) akan meningkatkan produktivitas lahan. i.
Produksi susu sapi sensitif terhadap perubahan tingkat pendapatan rumahtangga (IT).
j.
Konsumsi pangan pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (KP) sensitif terhadap perubahan tabungan rumahtangga (TAB) dan pendapatan total rumahtangga petani (IT).
k.
Tabungan rumahtangga
PHBM Kopi
(TAB) sensitif
terhadap
perubahan variabel-variabel bebasnya (IT, TEXP, dan SBT). Sedangkan pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sensitif terhadap perubahan revenue susu (RSS) dan suku-bunga tabungan (SBT). l.
Kredit/pinjaman baik pada PHBM Kopi (KR) maupun PHBM rumputgajah & sapi-perah (KR) sensitif terhadap perubahan suku-bunga pinjaman (SBP).
VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KEPUTUSAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PHBM
7.1. Validasi Model Validasi model berdasarkan nilai Root Mean Squares Percentage Error (RMSPE) dan Theil Inequality Coefficients (U-Theil) untuk kedua model ekonomi rumahtangga masyarakat sekitar hutan (peserta PHBM Kopi dan PHBM Rumputgajah & Sapi-perah), disajikan pada Tabel 60 dan 61. Model simultan yang dibangun untuk ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Kopi terdiri atas 28 peubah endogen. Berdasarkan hasil validasi pada Tabel 60, menunjukkan bahwa 14 peubah endogen (50.00 %) mempunyai nilai RMSPE yang lebih kecil dari 100. Dengan perkataan lain, kesalahan estimasi 14 peubah endogen tersebut adalah lebih kecil dari 100 persen. Model simultan yang dibangun untuk ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah terdiri atas 33 peubah endogen. Berdasarkan hasil validasi pada Tabel 60, menunjukkan bahwa 23 peubah endogen (75.0 %) mempunyai nilai RMSPE yang lebih kecil dari 100. Dengan perkataan lain, kesalahan estimasi 23 peubah endogen tersebut adalah lebih kecil dari 100 persen. Nilai RMSPE yang semakin kecil menurut Sitepu dan Sinaga (2006) dapat digunakan sebagai peramalan. RMSPE lebih kecil dari 100 persen artinya nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historisnya dengan tingkat kesalahan di bawah 100 persen pada setiap persamaan. Dari
keragaan
yang
dihasilkan,
secara keseluruhan model yang
dibangun menghasilkan nilai RMSPE yang kurang baik apabila dibandingkan
274
dengan hasil penelitian Bakir (2007), tetapi masih lebih baik apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Elly (2008). Untuk keperluan simulasi, hasil validasi menurut nilai Root Mean Squares Percentage Error (RMSPE) seperti disajikan pada Tabel 60 dan 61 dipandang cukup baik. Tabel 60. Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Variabel Endogen AKL AKD TKU AKDUL TAK PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KP KL KT INV TEXP TAB KR
RMSPE 99.8 101.0 36.6 0.0 160.9 188.6 129.7 110.0 110.0 16.3 82.6 188.6 129.7 110.0 138.1 82.6 0.0 93.1 78.6 0.0 146.8 68.4 100.5 67.5 148.6 63.3 0.0 109.4
Bias (UM) 0.02 0.02 0.01 0.06 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.02 0.05 0.07 0.05 0.07 0.06 0.00 0.05 0.02 0.01
Var. (US) 0.35 0.49 0.56 0.48 0.56 0.62 0.50 0.72 0.73 0.70 0.68 0.63 0.59 0.73 0.64 0.60 0.14 0.36 0.70 0.47 0.45 0.19 0.40 0.19 0.43 0.14 0.66 0.47
Cov. (UC) 0.62 0.49 0.42 0.46 0.41 0.38 0.50 0.27 0.27 0.29 0.31 0.37 0.41 0.27 0.36 0.38 0.85 0.63 0.28 0.48 0.49 0.76 0.54 0.75 0.57 0.81 0.32 0.52
U-Theil 0.2553 0.2888 0.1991 0.4674 0.2968 0.2523 0.2886 0.2520 0.2521 0.0922 0.2548 0.2533 0.2881 0.2525 0.2593 0.2509 0.2608 0.2499 0.2590 0.4726 0.3593 0.2229 0.2927 0.2235 0.4231 0.2207 0.4437 0.2877
Selain nilai RMSPE, nilai statistik U-Theil juga sering digunakan dalam validasi suatu model. Nilai statistik U-Theil selalu bernilai antara 0 hingga 1 (Sitepu dan Sinaga, 2006). Nilai U-Theil mendekati nol mengindikasikan bahwa
275
model mengikuti data aktualnya dengan baik. Apabila nilai U-Theil mendekati nol mengindikasikan bahwa model tersebut merupakan model yang baik. Hasil validasi beberapa penelitian menggunakan besaran minimum dan maksimum serta Tabel 61. Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Variabel Endogen TKLS TKDRG TKDS TKDUL TKSS PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG SHRRG CTOTRG CMAK CSPRS CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KT INV TEXP TAB KR
RMSPE 103.1 162.2 586.1 00.0 328.7 20.8 108.1 47.4 27.0 1.6 27.8 28.1 27.8 28.1 20.8 108.1 47.4 25.5 27.8 24.4 00.0 7.3 5.5 37.1 157.6 00.0 71.3 65.6 46.1 168.8 41.4 171.3 20.1
Bias (UM) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00
Var. (US) 0.23 0.17 0.21 0.03 0.14 0.00 0.11 0.03 0.18 0.09 0.20 0.28 0.23 0.29 0.00 0.11 0.05 0.02 0.23 0.23 0.00 0.10 0.14 0.30 0.27 0.00 0.37 0.23 0.31 0.49 0.13 0.11 0.09
Cov. (UC)
U-Theil
0.77 0.82 0.79 0.97 0.85 0.99 0.89 0.97 0.81 0.91 0.80 0.72 0.77 0.71 0.99 0.89 0.94 0.98 0.77 0.76 0.00 0.89 0.85 0.69 0.73 0.99 0.62 0.76 0.69 0.51 0.87 0.89 0.91
0.4131 0.3888 0.5036 0.2904 0.4240 0.0822 0.2033 0.1702 0.1152 0.0077 0.1186 0.1179 0.1169 0.1170 0.0823 0.2041 0.1705 0.1062 0.1169 0.1085 0.0000 0.0313 0.0264 0.1583 0.2182 0.3149 0.1915 0.2419 0.2042 0.3869 0.1815 0.1721 0.5036
276
patokan angka tertentu (Kusnadi, 2005; Bakir,2007; Asmarantaka, 2007; Rochaeni, 2005; Elly, 2008). Penelitian ini menggunakan nilai U-Theil < 30 persen dan U-Theil > 30 persen sebagai patokan. Berdasarkan hasil validasi model ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Kopi seperti tertera pada Tabel 59, menunjukkan bahwa 24 peubah endogen (85.71 %) mempunyai nilai U-Theil yang < 0.3, sedangkan 4 peubah endogen (14.29 %) mempunyai nilai U-Theil yang > 0.3. Dengan perkataan lain bahwa model ini sangat baik, dalam arti model yang dibangun dapat digunakan untuk simulasi perubahan peubah eksogen dalam rumahtangga petani peserta PHBM Kopi. Berdasarkan hasil validasi model ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah seperti tertera pada Tabel 60, menunjukkan bahwa 26 peubah endogen (78.78 %) mempunyai nilai U-Theil yang < 0.3, sedangkan 6 peubah endogen (21.2 %) mempunyai nilai U-Theil yang > 0.3. Dengan perkataan lain, model ini sangat baik digunakan untuk simulasi perubahan peubah eksogen dalam rumahtangga petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapiperah. Menurut Sitepu dan Sinaga (2006) dinyatakan, bahwa statistik U-Theil dapat diuraikan ke dalam 3 komponen, yaitu : komponen bias (UM), variance (US), dan covariance (UC). Model yang baik akan menghasilkan bias (UM) dan variance (US) yang mendekati 0, sedangkan covariance (UC) mendekati 1. Komponen bias (UM) menunjukkan bahwa error estimasi dengan nilai yang diharapkan adalah nol. Analisis komponen bias (UM) sebagaimana tertera pada Tabel 60 dan 61, menunjukkan hasil sebagai-berikut :
277
a
Dalam model ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Kopi, dari 28 peubah endogen, 28 peubah (100 %) mempunyai nilai bias (UM) ≤ 0.2.
b
Dalam model ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah : dari 34 peubah endogen, 33 peubah (100.0 %) memiliki nilai bias (UM) ≤ 0.2.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua model yang dibangun dalam penelitian ini adalah sangat baik (valid) untuk simulasi. Menurut Pindyck and Rubinfeld (1991) dan Sitepu dan Sinaga (2006) dinyatakan, bahwa suatu model memiliki prediksi yang cukup baik dengan hasil penyimpangan rata-rata simulasi dan aktualnya sangat rendah apabila nilai bias (UM) lebih kecil 0.2. Komponen kedua dari statistik U-Theil adalah komponen ragam/ variance (US), yang menunjukkan suatu kemampuan model untuk menggantikan variasi dari peubah dependen, dengan nilai yang diharapkan adalah nol. Analisis ragam (US) menunjukkan hasil sebagai-berikut : a.
Dalam model ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Kopi, dari 28 peubah endogen, 5 peubah (17.86 %) mempunyai nilai ragam (US) ≤ 0.3, sisanya 23 peubah (82.14 %) mempunyai nilai ragam (US) ≥ 0.3. Hasil ini kurang baik.
b.
Dalam model ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah : dari 33 peubah endogen, 30 peubah (90.90 %) memiliki nilai ragam (US) ≤ 0.3, sedangkan 3 peubah 3 endogen (9.10 %) mempunyai nilai ragam (US) ≥ 0.3. Hasil ini sangat baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model PHBM Rumput-gajah
dan Sapi-perah yang dibangun pada penelitian ini adalah sangat baik, yaitu
278
mengindikasikan bahwa pada umumnya peubah endogen dalam persamaan yang dibangun mampu menggantikan variasi peubah dependen, sedangkan
model
PHBM Kopi adalah kurang baik. Dari keragaan di atas, dapat dikemukakan bahwa model yang terbaik dalam penelitian ini adalah
model ekonomi
rumahtangga petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah dibandingkan dengan model PHBM Kopi. Komponen ketiga dari statistik U-Theil adalah komponen kovarian/ covariance (UC) yang digunakan untuk mengukur random-error, yaitu menunjukkan bahwa error simulasi adalah berfluktuasi karena acak, dengan nilai yang diharapkan adalah 1 (satu). Analisis covariance (UC) menunjukkan hasil sebagai-berikut : a. Dalam model ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM Kopi, dari 28 peubah endogen, 10 peubah endogen (35.71 %) mempunyai nilai covariance (UC) ≥ 0.5, sisanya 18 peubah endogen (64.29 %) mempunyai nilai covariance (UC) ≤ 0.5. b.
Dalam model ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM rumput-gajah & sapi-perah : dari 33 peubah endogen, 26 peubah endogen (81.25 %) memiliki nilai covariance (UC) ≥ 0.6 dan 6 peubah endogen (18.75 %) memiliki nilai covariance (UC) ≤ 0.6. Hasil ini lebih baik apabila dibandingkan dengan model ekonomi rumahtangga petani PHBM Kopi.
Hasil analisis covariance (UC) di atas dibangun
dalam
menunjukkan,
bahwa model yang
penelitian ini relatif masih cukup baik, sehingga layak
digunakan untuk simulasi.
279
Hasil secara keseluruhan dengan menggunakan kriteria
Root Mean
Squares Percentage Error (RMSPE) dan Theil Inequality Coefficients (U-Theil) beserta komponennya menunjukkan bahwa model yang dibangun adalah valid dan memiliki kemampuan prediksi yang cukup baik. Karena itu disimpulkan, bahwa model dalam penelitian ini layak untuk dijadikan dasar bagi simulasi kebijakan maupun non-kebijakan.
7.2. Perubahan Faktor-faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM 7.2.1. Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi Simulasi perubahan faktor-faktor eksternal (faktor-faktor yang berada di luar kemampuan rumahtangga petani) terhadap perilaku rumahtangga petani dilakukan melalui 12 (dua belas) skenario, yaitu terdiri atas : a.
Skenario 1 (S-1)
=
Kenaikan harga pupuk, obat, dan bibit sebesar 10 %
b.
Skenario 2 (S-2)
=
Kenaikan upah usahatani sebesar 10 %
c.
Skenario 3 (S-3)
=
Kombinasi skenario 1 dan 2
d.
Skenario 4 (S-4)
=
Kenaikan harga kopi sebesar 10 %
e.
Skenario 5 (S-5)
=
Kombinasi skenario 3 dan 4
f.
Skenario 6 (S-6)
=
Penurunan sharing produksi k = 10 %
g.
Skenario 7 (S-7)
=
Kombinasi skenario 3 dan 6
h.
Skenario 8 (S-8)
=
Penurunan suku bunga pinjaman 2 basis point
i.
Skenario 9 (S-9)
=
Kombinasi skenario 3 dan 8
j. Skenario 10 (S-10) =
Kenaikan luas lahan garapan sebesar 10 %.
k. Skenario 11 (S-11) =
Kombinasi skenario 3 dan 10.
l. Skenario 12 (S-12) =
Kenaikan pendapatan petani akibat program BLT.
280
Skenario 1 (kenaikan harga input faktor produksi pupuk, obat, bibit), Skenario 2 (kenaikan upah), Skenario 3 (kombinasi Skenario 1 dan 2), Skenario 4 (kenaikan harga output), Skenario 6 (penurunan sharing produksi), Skenario 8 (penurunan suku bunga pinjaman), serta Skenario 10 (kenaikan luas lahan), merupakan skenario tunggal yang sifatnya membantu untuk mendapatkan kesimpulan akhir perubahan kebijakan, sehingga tidak disajikan secara detil pada disertasi ini. Secara lengkap seluruh Skenario (Skenario 1 sampai dengan 12) disajikan pada pada Lampiran 16, sedangkan hasil simulasi perubahan faktorfaktor penting yang berpengaruh pada perilaku ekonomi rumahtangga petani PHBM Kopi (5 Skenario) disajikan pada Tabel 62 dengan uraian sebagaiberikut : Skenario 5 (Kenaikan Harga Output) : Simulasi pada Skenario 5 ini (kombinasi kenaikan harga-harga input produksi dan upah tenaga kerja dengan kenaikan harga output) menggambarkan kondisi pasar yang bersaing sempurna dimana baik harga input (pupuk, obat, bibit, dan upah tenaga-kerja) maupun output mengalami kenaikan yang sama. Apabila skenario ini terjadi maka tingkat kesejahteraan petani masih dapat dipertahankan karena dampak kenaikan harga output masih lebih besar daripada kenaikan harga-harga faktor produksi maupun upah. Penggunaan faktor produksi (pupuk dan bibit) mengalami penurunan sedikit (masing-masing sebesar 0,1 % dan 7,3 % karena kenaikan harganya belum dapat diatasi oleh naiknya harga kopi) yang mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan sebesar 0,3 %. Namun kondisi ini dikompensasi oleh naiknya luas lahan garapan yang meningkat sebesar 2.3 % sehingga secara keseluruhan mengakibatkan produksi kopi meningkat
281
sebesar 2.0 %. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya pendapatan total rumahtangga petani sebesar 10.4 % (terdiri atas meningkatnya pendapatan usahatani sebesar 12, 7 % dan pendapatan luar usahatani sebesar 9.4 %). Tabel 62. Dampak Perubahan Faktor –faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi NO 1
Variabel Endogen/Perilaku AKL
Nilai Dasar
S-5
S-7
S-9
S-11
S-12
76
0.7
3.1
11.6
-2.1
-3.7
2
AKD
270
-1.4
-4.5
-13.0
1.6
3.3
3
AKDUL
375
9.4
48.7
31.0
2.9
-0.9
4
PPK
7 005
-0.1
-20.4
21.4
-13.0
-20.8
5
OBT
1 183
13.0
-12.1
37.1
-3.3
-12.5
6
BBT
635
-7.3
-10.4
32.9
-2.7
-10.8
7
LH
1.5
2.3
-0.3
43.0
0.0
-0.7
8
YIELD
2 746
-0.3
-2.4
-0.7
-0.7
-1.0
9
PROD
4 159
2.0
-2.8
42.0
6.3
-1.7
10
CSPR
1 882 716
11.9
-8.1
40.3
0.6
-8.6
11
SHR
1 736 622
12.2
-33.3
42.0
5.3
-1.7
12
CTK
1 208 230
9.7
12.5
23.4
2.2
4.1
13
CPR
4 827 567
11.5
-13.4
36.7
2.7
-3.0
14
IUT
6 749 911
12.7
8.0
45.8
7.1
-0.9
15
ILUT
13 862 593
9.4
8.0
31.0
2.6
1.8
16
IT
20 612 505
10.4
8.0
35.8
4.1
0.9
17
KT
10 002 808
6.0
2.1
20.5
2.3
0.3
18
INV
2 004 438
2.2
0.8
7.4
0.8
0.1
19
TEXP
12 007 246
5.3
1.9
18.3
2.1
0.3
20
TAB
3 766 584
8.2
2.9
28.1
3.2
0.4
21
KR
1 606 976
5.1
-1.0
104.4
1.1
-1.8
Keterangan : a. b. c. d. e.
Skenario 5 (S-5)
= Kombinasi skenario 3 dan 4 (kenaikan harga output pada kondisi naiknya harga input dan upah) Skenario 7 (S-7) = Kombinasi skenario 3 dan 6 (penurunan sharing produksi pada kondisi kenaikan harga input dan upah) Skenario 9 (S-9) = Kombinasi skenario 3 dan 8 (penurunan suku bunga 2 basis point pada kondisi kenaikan harga input dan upah) Skenario 11 (S-11) = Kombinasi skenario 3 dan 10 (kenaikan luas lahan garapan sebesar 10 % pada kondisi kenaikan harga input dan upah) Skenario 12 (S-12) = Kenaikan pendapatan petani akibat program BLT.
Penjelasan notasi variabel tertera pada Lampiran.
282
Skenario 5 ini secara keseluruhan memberikan dampak yang kondusif bagi rumahtangga petani karena petani masih dapat menikmati kenaikan pengeluaran konsumsi (pangan dan non-pangan) maupun investasi sumberdaya manusia, serta tabungan rumahtangga petani masing-masing sebesar 6.0 %, 2.2 %, serta 8.2 %. Dengan demikian kenaikan harga output (kopi) mampu mengatasi dampak naiknya harga faktor-faktor produksi (pupuk, obat, bibit maupun upah tenaga-kerja), sehingga terjadi cash-surplus pada rumahtangga petani. Fenomena ini masih menunjukkan kecenderungan perilaku ekonomi rumahtangga yang lebih senang menyewa tenaga kerja luar keluarga apabila kondisi eksternal cukup kondusif. Skenario 7 (Penurunan nilai Sharing Produksi) : Skenario 7 (kombinasi skenario 3 & 6) ini menggambarkan kondisi pasar yang mengalami kenaikan harga-harga faktor input produksi dan upah tenaga kerja, diimbangi
dengan
kebijakan
penurunan
sharing
produksi.
Apabila kombinasi ini dilakukan, maka kebijakan penurunan nilai sharing produksi bagi petani kopi dari 15 % total revenue menjadi 10 % total revenue akan memberikan dampak yang masih positif bagi petani. Ini berarti kebijakan penurunan nilai sharing produksi masih mampu mengatasi mekanisme pasar yang mengalami kenaikan
harga-harga input faktor produksi (pupuk, obat, bibit)
maupun kenaikan upah tenaga kerja. Penurunan pengenaan sharing produksi berdampak pada menurunnya nilai sharing produksi sebesar 33.3 % yang berakibat pada menurunnya biaya produksi sebesar 13.4 %. Karena terjadi penurunan penggunaan faktor input (pupuk, obat
283
dan bibit) serta penurunan tenaga kerja, maka akibatnya terjadi penurunan produktivitas lahan maupun luas lahan garapan yang dikelola, yang berakibat pada menurunnya produksi kopi. Namun laju penurunan ini masih lebih rendah daripada laju penurunan biayanya, sehingga total pendapatan
petani
masih
meningkat sebesar 8.0 %. Pendapatan luar usahatani maupun pendapatan usahatani meningkat masing-masing sebesar 8.0 %, sehingga total pendapatan rumahtangga petani meningkat yang mendorong peningkatan pengeluaran rumahtangga petani sebesar 1.9 % yang mencerminkan adanya kenaikan tingkat kesejahteraan petani. Skenario 9 (Penurunan Suku Bunga) : Skenario ini menggambarkan kondisi mekanisme pasar yang diimbangi dengan kebijakan penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis poin, sementara faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Kebijakan penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis poin dalam kondisi kenaikan harga-harga input produksi dan kenaikan upah tenaga-kerja, berdampak sangat positif bagi kesejahteraan rumahtangga petani PHBM kopi karena kebijakan ini masih mampu mengatasi dampak kenaikan harga-harga input maupun upah tenaga kerja. Meskipun upah tenaga kerja naik, namun rumahtangga petani masih mampu untuk meningkatkan tenaga kerja luar keluarga yang disewa. Sementara itu, tenaga kerja keluarga pada usahatani dikurangi dan memilih bekerja di luar usahatani untuk meningkatkan pendapatan luar usahataninya. Kondisi ini masih menguntungkan petani karena pendapatan total rumahtangga petani semakin meningkat sebesar Rp 7 388 661 (35.8 %) yang pada akhirnya berakibat pada meningkatnya konsumsi pangan sebesar Rp 1 404 681 (18.2 %),
284
konsumsi non-pangan sebesar Rp 642 060 (28.0 %) maupun investasi sumberdaya manusia sebesar Rp 148 749 (7.4 %). Dampak dari turunnya suku bunga pinjaman sebesar 2 basis poin mengakibatkan peningkatan kredit sebesar Rp 1 677 396 (104.4 %), tabungan rumahtangga sebesar Rp 1 056 812 (28.1 %) serta total pengeluaran meningkat menjadi sebesar 18.3 %. Karena terjadinya peningkatan kredit sebesar 106.69 % dan pendapatan petani sebesar 35.8 %, maka luas lahan garapan kopi meningkat sebesar 43.0 % dan produksi kopi meningkat sebesar 43.8 %, meskipun produktivitas lahan usahatani menurun sebesar 0.7 % karena berkurangnya tenaga kerja keluarga yang bekerja di usahatani. Kondisi ini sangat menguntungkan petani karena suku bunga pinjaman sangat elastis terhadap besarnya nilai kredit/pinjaman, sehingga kenaikan suku bunga sedikit saja akan mempengaruhi peningkatan kredit/pinjaman yang cukup signifikan. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya luas lahan garapan kopi yang akhirnya mempengaruhi peningkatan produksi dan pendapatan rumahtangga, serta kesejahteraan petani. Skenario 11 (Kenaikan luas lahan garapan) : Skenario 11 (kenaikan harga-harga input produksi dan upah tenaga-kerja dikombinasi dengan kenaikan luas lahan garapan) memberikan dampak yang masih positif bagi peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani, namun nilainya relatif tidak besar apabila dibandingkan dengan simulasi kenaikan harga kopi (skenario 5) maupun penurunan suku bunga pinjaman (skenario 9) dan dampak turunnya nilai sharing (skenario 7) pada kondisi pasar yang sama. Kebijakan perluasan lahan garapan kopi dikombinasi dengan naiknya harga-harga input produksi berdampak pada menurunnya penggunaan faktor
285
input (penggunaan pupuk, obat dan bibit)
karena kuatnya dampak kenaikan
harga-harga faktor input produksi (pupuk, obat dan bibit), sehingga menurunkan produktivitas lahan sebesar 0.7 %. Namun produksi kopi masih meningkat sebesar 6.3 % sehingga pendapatan total petani meningkat sebesar Rp 838 488 (4.1 %) yang berakibat pada meningkatnya kesejahteraan rumahtangga petani, yaitu meningkatnya konsumsi pangan sebesar 2.1 %, konsumsi non-pangan sebesar 3.2 %, serta investasi sumberdaya manusia sebesar 0.8 %. Meskipun
memberikan
dampak
yang
positif
bagi
kesejahteraan
rumahtangga petani, tetapi dalam operasionalnya kebijakan memperluas lahan andil menghadapi 2 kendala, yaitu : terbatasnya lahan kawasan hutan Perum Perhutani yang bisa dibagi kembali kepada petani maupun masih kurang intensifnya lahan andil yang telah dikelola oleh petani. Karena itu kebijakan ini diduga sulit dioperasionalkan, mengingat bahwa kawasan ini merupakan kawasan hutan lindung. Skenario 12 (Kenaikan Pendapatan Akibat Program BLT) : Apabila diterapkan kebijakan berupa pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) per rumahtangga petani sebesar Rp 300 000 per triwulan sedangkan faktor lain adalah tetap (ceteris paribus) maka akan berdampak meningkatkan kesejahteraan rumahtangga petani, namun peningkatannya kurang signifikan apabila dibandingkan dengan dampak kebijakan kenaikan harga output kopi (Skenario 5) maupun penurunan suku-bunga kredit sebesar 2 basis point (Skenario 9), perluasan lahan andil (Skenario 11), serta penurunan proporsi sharing produksi (Skenario 7).
286
Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan meningkatkan semua faktor produksi, produktivitas lahan, penyerapan tenaga kerja maupun pendapatan petani namun magnitude-nya kecil. Total alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani meningkat sebesar 1.8 persen, penggunaan faktor input menurun akibat kenaikan harga-harga input (pupuk sebesar 20.8 %, obat sebes ar 12.5 %, serta bibit sebesar 10.8 %), luas lahan garapan menurun sebesar 0.7 % karena menurunnya nilai kredit sebesar 1.8 %, produktivitas lahan menurun sebesar 1.0 % karena berkurangnya tenaga luar keluarga yang disewa, sehingga produksi kopi juga menurun sebesar 1.7 %. Namun demikian kebijakan program BLT
masih
meningkatkan pendapatan rumahtangga petani sebesar 0.9 % (yang terdiri atas pendapatan usahatani menurun sebesar 0.9 % tetapi pendapatan luar usahatani meningkat sebesar 1.8 %) yang mendorong meningkatnya total pengeluaran rumahtangga sebesar 0.3 %, terdiri atas kenaikan konsumsi pangan sebesar 0.3 % dan kenaikan konsumsi non-pangan sebesar 0.4 %, serta investasi sumberdaya manusia sebesar 0.1 %. 7.2.2. Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & SapiPerah Seperti halnya pada PHBM Kopi, simulasi kebijakan perubahan faktorfaktor eksternal (faktor-faktor yang berada di luar kemampuan rumahtangga petani) terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi- Perah dilakukan melalui 12 (dua belas) skenario, yaitu terdiri atas : a. S-1 (Skenario 1)
= Kenaikan harga pupuk, obat, dan bibit sebesar 5 % dan harga makanan/konsentrat 10 %.
b. S-2 (Skenario 2)
= Kenaikan upah tenaga kerja dalam usahatani sebesar 10%
c. S-3 (Skenario 3)
= Kombinasi Skenario 1 dan 2
287
d. S-4 (Skenario 4)
= Kenaikan harga output susu dan rumput sebesar 10 %
e. S-5 (Skenario 5)
= Kombinasi Skenario 3 dan 4
f. S-6 (Skenario 6)
= Penurunan sharing (k = 0.10)
g. S-7 (Skenario 7)
= Kombinasi Skenario 3 dan 6
h. S-8 (Skenario 8)
= Penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis point
i. S-9 (Skenario 9)
= Kombinasi Skenario 3 dan 8
j. S-10 (Skenario 10) = Kenaikan luas lahan garapan sebesar 10 %. k. S-11 (Skenario 11) = Kombinasi skenario 3 dan 10. l. S-12 (Skenario 12) = Kenaikan pendapatan petani akibat program BLT. Secara lengkap seluruh Skenario (Skenario 1 sampai dengan 12) disajikan pada pada Tabel Lampiran 17, sedangkan hasil simulasi perubahan faktor-faktor penting yang berpengaruh pada perilaku ekonomi rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah (5 Skenario penting) disajikan pada Tabel 63 dengan uraian sebagai-berikut : Skenario 5 (Kenaikan Harga Output) : Simulasi pada skenario 5 ini (kenaikan harga-harga input produksi, harga bahan makanan/konsentrat dan upah tenaga kerja dikombinasi dengan kenaikan harga output baik rumput-gajah maupun susu-sapi) berdampak positif bagi kesejahteraan rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Meskipun terjadi penurunan
jumlah
tenaga kerja keluarga pada usahatani
(rumput-gajah berkurang 52.9 % dan sapi-perah berkurang 91.8 %) dan terjadinya kenaikan biaya produksi rumput-gajah sebesar 41.7 % serta kenaikan biaya produksi pemeliharaan sapi-perah sebesar 11.6%, namun hal tersebut dapat
288
diimbangi oleh kenaikan pendapatan total rumahtangga sebesar 47.6 %, sehingga tingkat kesejahteraan petani pun meningkat. Tabel 63. Dampak Perubahan Faktor-faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapiperah NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
VARIABEL ENDOGEN TKLS TKDRG TKDS TKDUL TKSS LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CSPRRG SHRRG CTOTRG CMAK CSPRS CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KT INV TEXP TAB KR
Keterangan : a. S-5 (Skenario 5) b. S-7 (Skenario 7) c. S-9 (Skenario 9) d. S-11 (Skenario 11) e. S-12 (Skenario 12)
NILAI DASAR 129.8 187.9 720.2 172.9 893.1 0.15 402 61.4 16 805.3 6 211.9 50 942.6 731.3 931.8 1 663 17 067.1 23 278.9 28 377.1 4 572.4 22 565.6 4 340.6 31 478.5 7 108.2 9 063.6 1 633 10 696.6 22 113.8 5 151.8
S-5 69.7 -52.9 -91.8 27.5 -68.7 24.2 1.4 25.9 24.6 25.7 30.7 62.1 25.7 41.7 10.0 14.2 11.6 34.9 54.6 24.2 47.6 32.0 25.1 3.6 21.8 45.5 10.2
S- 7 66.6 -50.8 -88.3 13.8 -68.5 7.2 0.9 8.1 9.7 8.0 9.6 -22.3 -28.0 -25.5 10.0 9.5 7.8 10.8 12.0 15.8 12.3 3.6 2.8 4.4 3.1 14.6 6.8
S- 9 60.8 -43.4 -77.9 61.9 -50.8 12.0 1.0 12.9 13.4 12.7 13.3 -19.8 12.7 -1.5 10.0 10.7 8.8 17.3 19.0 43.5 22.1 15.6 12.3 -9.0 9.3 -64.7 7.7
S- 11 58.8 -44.1 -77.9 13.8 -60.2 10.0 0.8 9.3 8.7 8.8 8.7 -21.7 8.8 -4.6 10.0 9.7 7.9 12.0 9.7 18.1 11.2 3.3 2.6 2.9 2.6 13.3 7.0
S- 12 -4.3 3.8 5.8 1.2 4.9 0.9 0.0 0.9 0.5 0.9 0.5 0.5 0.8 0.7 0.0 0.2 0.2 1.2 0.9 0.7 1.8 3.2 2.5 -0.8 2.0 0.6 0.2
= Kenaikan harga output (kombinasi Skenario 3 dan 4) = Penurunan nilai sharing produksi (Kombinasi Skenario 3 dan 6) = Penurunan suku bunga pinjaman (kombinasi Skenario 3 dan 8) = Peningkatan luas lahan (kombinasi skenario 3 dan 10). = Kenaikan pendapatan petani akibat program BLT.
289
Pendapatan total rumahtangga petani meningkat sebesar 47.6 % terdiri atas peningkatan pendapatan rumput-gajah sebesar Rp 1 597 900 (34.9 %), pendapatan susu sebesar Rp 12 326 900 (54.6 %) dan peningkatan pendapatan di luar usahatani sebesar Rp 1 051 100 (24.2 %). Hal ini mendorong kenaikan konsumsi rumahtangga (konsumsi pangan dan non-pangan) sebesar Rp 2 272 800 (32.0 %) maupun investasi sumberdaya manusia sebesar Rp 590 100 (3.6 %) serta tabungan rumahtangga sebesar Rp 10 051 100 (45.5 %). Naiknya harga jual produk susu memberikan dampak yang sangat signifikan kepada peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani rumput-gajah & sapi-perah. Skenario 7 (Penurunan Sharing Produksi) : Skenario 7 (kombinasi Skenario 3 & 6) menggambarkan kondisi pasar yang mengalami kenaikan harga-harga faktor input produksi dan upah tenaga kerja, diimbangi dengan kebijakan penurunan sharing produksi. Apabila kombinasi ini dilakukan, maka kebijakan penurunan nilai sharing produksi bagi petani rumput-gajah dari 15 % total revenue menjadi 10 % total revenue mampu memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan petani karena meningkatnya pendapatan luar usahatani dan peningkatan penjualan susu. Kebijakan penurunan nilai sharing produksi sebesar 10 % dari total revenue (k = 0.10) yang dikombinasikan dengan kenaikan harga-harga input produksi maupun kenaikan upah tenaga-kerja, memberikan dampak peningkatan pendapatan rumahtangga petani sebesar Rp 3 880 100 (12.3 %), terutama disumbang oleh peningkatan pendapatan susu sebesar Rp 2 698 800 (12.3 %) dan pendapatan luar usahatani sebesar Rp 686 400 (15.8 %). Peningkatan pendapatan
290
petani mendorong peningkatan pengeluaran rumahtangga petani sebesar Rp 326 600 (3.1 %) yang mencerminkan peningkatan kesejahteraan petani. Skenario 9 (Penurunan Suku Bunga Pinjaman) : Skenario ini menggambarkan kondisi mekanisme pasar yang diimbangi dengan kebijakan penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis poin, sementara faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Kebijakan penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis poin ini pada kondisi meningkatnya harga-harga input produksi (harga pupuk, obat, bibit, konsentrat) dan upah tenaga-kerja, berdampak positif bagi kesejahteraan rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah karena suku bunga pinjaman sangat elastis terhadap pinjaman/kredit rumahtangga petani. Akibat dari perubahan ini adalah meningkatnya jumlah kredit/pinjaman rumahtangga sebesar Rp 399 000 (7.7 %) yang mengakibatkan meningkatnya produktivitas luas lahan garapan rumput-gajah sebesar 1.0 %, meningkatnya produksi dan luas lahan garapan rumput-gajah masing-masing sebesar 12.9 % dan 12.0 %, serta pada akhirnya meningkatkan produksi susu sapi sebesar 13.4 %. Meningkatnya produksi rumput-gajah dan produksi susu serta menurunnya biaya sarana-produksi (akibat berkurangnya penggunaan pupuk dan obat), mengakibatkan meningkatnya pendapatan total rumahtangga petani sebesar Rp 6 955 400 (22.1 %), yang terdiri atas meningkatnya pendapatan rumput-gajah sebesar Rp 791 300 (17.3 %), meningkatnya pendapatan dari penjualan susu-sapi sebesar Rp 4 277 700 (19.0 %), serta pendapatan luar usahatani sebesar Rp 1 886 300 (43.5 %). Peningkatan pendapatan ini mendorong peningkatan pengeluaran total rumahtangga sebesar Rp
994 780 (9.3 %), sehingga
291
kesejahteraan petani meningkat. Konsumsi pangan meningkat sebesar 15.6 % dan kredit/pinjaman rumahtangga meningkat sebesar 7.7 %. Skenario 11 (Kenaikan Luas Lahan Garapan) : Skenario 11 (kenaikan harga-harga input produksi dan upah tenaga-kerja dikombinasikan dengan kenaikan luas lahan garapan) masih memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani PHBM rumputgajah & sapi-perah. Kenaikan luas lahan garapan rumput-gajah sebesar 10 % pada kondisi pasar yang bersaing, mengakibatkan penurunan tenaga kerja pada usahatani rumputgajah sebesar 44.1 % dan penurunan tenaga kerja usahatani sapi-perah sebesar 77.9 %, namun diimbangi dengan kenaikan tenaga kerja luar keluarga yang disewa sebesar 58.8 % dan peningkatan alokasi tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani sebesar 13.8 %. Dari sisi penggunaan input produksi, kenaikan harga-harga input produksi menyebabkan menurunnya penggunaan pupuk sebesar 0.5 % dan penggunaan obat sebesar 81.2 %, sehingga menurunkan biaya sarana produksi sebesar 21.7 %. Hal tersebut mengakibatkan pendapatan rumput meningkat sebesar Rp 547 400 (12.0 %), produksi susu sapi-perah sebesar Rp 2 193 100 (9.7 %) dan pendapatan luar usahatani sebesar Rp 787 000 (18.1 %), sehingga total pendapatan rumahtangga petani meningkat menjadi sebesar Rp 3 527 500 (11.2 %). Akibat peningkatan pendapatan rumahtangga petani maka total pengeluaran rumahtangga petani meningkat sebesar Rp 279 600 (2.6 %), konsumsi rumahtangga petani meningkat sebesar Rp 232 200 (2.6 %) dan investasi sumberdaya manusia meningkat sebesar Rp 47 400 (2.9 %). Dengan demikian
292
kebijakan kenaikan luas lahan pada kondisi pasar bersaing sempurna akan berdampak positif bagi peningkatan kesejaheraan petani, meskipun nilainya masih lebih rendah dibandingkan kebijakan kenaikan harga jual susu (skenario 5), penurunan suku bunga pinjaman (skenario 9) maupun penurunan sharing produksi (skenario 11). Skenario 12 (Kenaikan Pendapatan Petani akibat Program BLT) : Apabila diterapkan kebijakan berupa pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) per rumahtangga petani sebesar Rp 300 000 per triwulan sedangkan faktor lain adalah tetap (ceteris paribus) maka akan berdampak meningkatkan kesejahteraan rumahtangga petani, namun peningkatannya kurang signifikan. Bantuan
Langsung
Tunai
meningkatkan
semua
faktor
produksi,
produktivitas lahan, penyerapan tenaga kerja maupun pendapatan petani namun magnitude-nya kecil. Kebijakan program BLT meningkatkan pendapatan rumahtangga petani sebesar Rp 580 500 (1.8 %) dan total pengeluaran rumahtangga sebesar Rp 214 700 (2.0 %). Dampak kebijakan ini masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan kebijakan penurunan nilai sharing produksi maupun kenaikan luas lahan garapan. 7.3. Rangkuman Hasil Simulasi Simulasi perubahan faktor-faktor eksternal terhadap perilaku ekonomi rumahtangga menghasilkan kinerja (perilaku ekonomi) yang berbeda antara 2 (dua) model ekonomi rumahtangga masyarakat sekitar hutan (PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah) sebagaimana disajikan pada Tabel 64. Dari Tabel 64 dapat disajikan rangkuman hasil simulasi perilaku ekonomi rumahtangga sebagai-berikut :
293
Tabel 64. Rangkuman Dampak Perubahan Faktor-faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM No.
1 2 3 4 5 6
PERILAKU EKONOMI
TK keluarga Produksi Pendapatan RT Pengeluaran RT Tabungan RT Kredit RT
S-5 KP
-1.4 2.0 10.4 5.3 8.2 5.1
S-7
RG-SP
KP
-52.9 -4.5 25.9 -2.8 47.6 8.0 21.8 1.9 45.5 2.9 10.2 -1.0
S-9
RG-SP
KP
-50.8 11.6 8.1 42.0 12.3 35.8 3.1 18.3 14.6 28.1 6.8 104.4
S-11
S-12
RG-SP KP RG-SP KP
-43.4 12.9 22.1 9.3 -64.7 7.7
1.6 6.3 4.1 2.1 3.2 1.1
RG-SP
-44.1 3.3 9.3 -1.7 11.2 0.9 2.6 0.3 13.3 0.4 7.0 -1.8
3.8 0.9 1.8 2.0 0.6 0.2
Keterangan : KP = PHBM Kopi RG-SP = PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah
1.
Kombinasi kenaikan harga output dengan kenaikan harga-harga input dan kenaikan upah tenaga kerja (Skenario 5) masih memberikan dampak yang positif baik pada PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Ini berarti bahwa kenaikan harga output pada proporsi yang sama mampu mengatasi dampak kenaikan harga-harga input produksi maupun kenaikan upah tenaga kerja. Tetapi dampak positif pada PHBM Rumput-gajah & Sapiperah jauh lebih signifikan dibandingkan PHBM Kopi, terbukti mampu menaikkan pendapatan rumahtangga petani sebesar 47.6 % pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah yang jauh lebih besar daripada PHBM Kopi yang hanya meningkat sebesar 10.4 %. Demikian pula dampak kenaikan pengeluaran, tabungan dan kredit rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah jauh lebih besar daripada rumahtangga petani PHBM Kopi.
2.
Kombinasi penurunan sharing produksi dari 15 % total revenue menjadi 10% total revenue dengan kenaikan harga-harga input produksi dan kenaikan upah tenaga kerja (Skenario 7) memberikan dampak yang positif pada PHBM Kopi, meskipun masih menurunkan penyerapan tenaga kerja keluarga dan
294
produksi kopi. Demikian pula bagi PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah kebijakan ini masih berdampak positif, karena rumahtangga petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah mampu mengimbangi dengan meningkatkan pendapatan di luar usahatani serta penjualan susu-sapinya, sehingga total pendapatan rumahtangga PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah menjadi meningkat. Namun secara umum, baik pada PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah dampak positif penurunan nilai sharing produksi masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan dampak positif kenaikan harga jual output produksi (Skenario 5). 3.
Kombinasi penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis poin dengan kenaikan harga-harga input produksi dan kenaikan upah tenaga kerja (Skenario 9) berdampak sangat positif baik pada PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, tetapi lebih dirasakan pada PHBM Kopi. Pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, kenaikan pendapatan akibat kebijakan penurunan suku bunga (Skenario 9) masih lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan pendapatan akibat meningkatnya harga jual susu sapi (Skenario 5), tetapi masih lebih baik daripada dampak penurunan sharing produksi (Skenario 7). Sebaliknya untuk PHBM Kopi dampak penurunan suku-bunga (Skenario 9) masih lebih baik daripada dampak kenaikan harga jual output kopi (Skenario 5) maupun dampak penurunan sharing produksi (Skenario 7).
4.
Kombinasi kenaikan luas lahan sebesar 10 % pada PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah dengan kenaikan harga-harga input produksi dan kenaikan upah tenaga kerja (Skenario 11) memberikan dampak positif baik bagi PHBM Kopi maupun bagi PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah. Pada
295
PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah dampak kenaikan luas lahan masih lebih baik daripada PHBM Kopi. Hal ini dapat dipahami, karena kenaikan sedikit saja luas lahan garapan rumput-gajah akan memberikan dampak kenaikan produksi rumahtangga PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah yang lebih tinggi dibandingkan dengan PHBM Kopi, mengingat produktivitas rumput-gajah jauh lebih tinggi daripada produktivitas kopi. Namun demikian, pada PHBM Kopi dampak kenaikan luas lahan garapan (Skenario 11) masih jauh lebih rendah daripada dampak penurunan suku-bunga (Skenario 9), dampak kenaikan harga-jual kopi (Skenario 5), maupun dampak penurunan sharing produksi (Skenario 7). Sedangkan pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, dampak kenaikan luas lahan (Skenario 11) lebih rendah daripada dampak kenaikan harga jual output (Skenario 5), dampak penurunan suku-bunga (Skenario 9), maupun dampak penurunan sharing produksi (Skenario 7). 5.
Kenaikan pendapatan karena program BLT (Skenario 12) memberikan dampak yang positif baik terhadap PHBM Kopi maupun PHBM Rumputgajah & Sapi-perah, namun nilainya kurang signifikan apabila dibandingkan dengan kenaikan harga output atau pun penurunan suku bunga pinjaman dan penurunan sharing produksi. Dari hasil simulasi perubahan faktor-faktor eksternal terhadap perilaku
ekonomi rumahtangga petani, dapat ditarik hal-hal penting sebagai berikut : 1.
Pada PHBM Kopi, kebijakan penurunan suku-bunga 2 basis poin (Skenario 9) secara berturut-turut memberikan dampak yang lebih baik daripada kebijakan kenaikan harga-jual kopi (Skenario 5), kebijakan penurunan nilai sharing produksi (Skenario 7), kebijakan kenaikan luas lahan (Skenario 11),
296
maupun pemberian BLT (Skenario 12). Dengan perkataan lain, bagi PHBM Kopi kebijakan terbaik yang dapat diambil adalah penurunan suku-bunga 2 basis poin (Skenario 9) karena memberikan dampak meningkatnya pendapatan, pengeluaran, tabungan maupun kredit rumahtangga yang terbaik dibandingkan dengan kebijakan lainnya (Skenario 5, 7, 11 maupun 12). 2.
Pada PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, kebijakan kenaikan harga jual output (Skenario 5) secara berturut-turut memberikan dampak yang lebih baik daripada kebijakan penurunan suku-bunga sebesar 2 basis poin (Skenario 9), kebijakan penurunan nilai sharing produksi (Skenario 7), kebijakan kenaikan luas lahan (Skenario 11), maupun pemberian BLT (Skenario 12). Dengan perkataan lain, bagi PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah kebijakan terbaik yang dapat diambil adalah kebijakan peningkatan harga jual output (Skenario 5) karena memberikan dampak meningkatnya pendapatan, pengeluaran, tabungan maupun kredit rumahtangga yang terbaik dibandingkan dengan kebijakan lainnya (Skenario 9, 7, 11 maupun 12).
3.
Fenomena di atas (butir 1 dan 2) dapat dipahami karena PHBM Kopi masih dalam taraf investasi sehingga masih memerlukan kredit modal kerja bagi pengembangan usahanya, sehingga kebijakan penurunan suku-bunga (Skenario 9) layak menjadi kebijakan terbaik yang perlu diambil. Sedangkan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sudah berada pada taraf pemanenan hasil sehingga memerlukan fasilitasi untuk mampu meningkatkan harga jual sususapinya. Karena itu kebijakan kenaikan harga-jual output susu-sapi sebagaimana dilakukan seperti Skenario 5 layak menjadi kebijakan terbaik yang perlu diambil.
297
VIII. ANALISIS ASPEK KELEMBAGAAN KEMITRAAN PETANI- PERHUTANI DALAM PROGRAM PHBM
8.1. Analisis Identifikasi Aspek Kelembagaan Fokus kajian ekonomi kelembagaan ditujukan pada lembaga sebagai unit analisis. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai kelembagaan adalah pengaturanpengaturan sosial tentang hubungan antar individu dan kelompok. Ekonomi kelembagaan menempatkan norma, peraturan, kesepakatan dan berbagai bentuk serupa, yang kemudian tercermin dalam bentuk struktur hak (property-right) dan hal-hal yang diakui bersama (common-denominator), sebagai faktor penentu dalam pengambilan keputusan ekonomi (Spechler dalam Krisnamurthi, 1998). Ekonomi kelembagaan memandang perilaku sebagai bagian dari rangkaian Struktur – Perilaku – Kinerja (Structure – Conduct – Performance). Struktur dianggap akan menentukan pola perilaku, dan pola perilaku akan mempengaruhi kinerja, serta pada akhirnya kinerja akan mempengaruhi kondisi struktur kelembagaan ekonomi yang bersangkutan (Schmid, 1987 dalam Krisnamurthi, 1998). Struktur dapat dianggap sebagai kondisi lingkungan setiap pelaku ekonomi, atau kondisi kelembagaan, atau lebih spesifik lagi peraturan yang formal maupun informal. Perilaku/conduct adalah respon yang dilakukan oleh setiap individu, masyarakat, atau organisasi. Sedangkan performance yang biasanya diterjemahkan sebagai kinerja atau keragaan adalah kondisi yang dapat diukur sebagai perwujudan respon yang dilakukan (Kartodihardjo, 2008). Dalam uraian deskriptif berikut, akan disajikan ciri-ciri/karakteristik institusi yang terkait dengan kelembagaan PHBM diantaranya meliputi batas
298
yurisdiksi, hak kepemilikan dan aturan representasi, serta penguatan kelembagaan yang diharapkan. 8.1.1. Batas Yurisdiksi Batas
yurisdiksi
(jurisdictional-boundary)
merupakan
ciri
sistem
kelembagaan yang menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi PHBM. Implikasi fisik batas yurisdiksi PHBM diantaranya adalah diwujudkan dalam bentuk pembagian lahan andil kepada para petani penggarap (peserta program PHBM), dengan seperangkat ketentuan seperti batas suatu andil yang mempresentasikan hak petani untuk menggarap lahan pada kawasan tersebut, ketentuan tentang jenis komoditas yang boleh dikembangkan, aturan tidak boleh memindahtangankan lahan andil tersebut kepada pihak lain, dan ketentuan lainnya. Batas antar andil diberi tanda yang jelas di lapangan. Berdasarkan ketentuan menyangkut aspek kewenangan, Direksi Perum Perhutani telah memberikan wewenang dan tanggungjawab (delegation of authority) kepada Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH)/Administratur Bandung Selatan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan kegiatan kerjasama kemitraan PHBM di wilayah administrasinya, antara-lain meliputi : 1. Menetapkan lahan andil bagi petani peserta PHBM. 2. Bersama masyarakat desa hutan dan atau pihak lain yang berkepentingan menetapkan nilai dan proporsi berbagi dari hasil kegiatan PHBM. 3. Menandatangani kesepakatan/perjanjian kerjasama dengan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan atau pihak yang berkepentingan dalam rangka PHBM. 4. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk pengembangan dan pencapaian tujuan PHBM.
299
5. Melakukan pengendalian/pengawasan atas pelaksanaan PHBM di tingkat operasional. Dalam menjalankan kewenangan yang dilimpahkannya, Administratur/ KKPH Bandung Selatan telah menetapkan nilai dan proporsi berbagi hasil produksi (sharing produksi) dari kegiatan PHBM, dengan cara musyawarah bersama masyarakat. Tetapi dari hasil survei yang dilakukan, penetapan sharing (bagi-hasil) masih bersifat “sama-rata dan sama-rasa” antara PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, yaitu sebesar 15 (limabelas) persen dari revenue kopi dan revenue rumput-gajah. Akibatnya sebagaimana simulasi pada Skenario 6 dan 7, dampak perubahan nilai sharing produksi kurang berpengaruh signifikan pada PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah apabila dibandingkan dengan pengaruh faktor lain, seperti : faktor suku-bunga ataupun harga-jual produk. Karena itu penetapan nilai sharing produksi perlu ditinjau kembali. Apabila tidak dilakukan kalkulasi nilai sharing produksi secara proporsional, maka ketentuan tentang sharing bisa menimbulkan hambatan yang berpotensi mengganggu proses penciptaan nilai-tambah dari kegiatan PHBM itu sendiri. Penetapan sharing untuk PHBM Kopi dan PHBM Rumput-gajah & Sapiperah semestinya bisa dibedakan karena nilai-tambah yang bisa dinikmati petani maupun Perhutani berbeda antara kedua model PHBM tersebut. Dalam implementasi PHBM, petani dan Perum Perhutani juga sepakat untuk menempatkan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) sebagai motivator dan fasilitator untuk meningkatkan kualitas hubungan kerjasama antara Perum Perhutani KPH Bandung Selatan dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari, misalnya menempatkan pemerintahan desa sebagai
300
fasilitator bagi pemberdayaan masyarakat desa hutan melalui perangkat-desanya (penyuluh, pendidik, tenaga medis, dan lain-lain), menempatkan Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) selaku konsumen/penampung hasil sususapi (off-taker) produksi masyarakat, serta menempatkan institusi Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) sebagai konsumen yang dapat ikut mengembangkan hasilhasil produksi PHBM. Penetapan nilai dan proporsi berbagi dalam PHBM (sharing-produksi) telah dilakukan pada saat penyusunan rencana dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak berdasarkan proporsi kontribusi masing-masing pihak. Untuk kasus PHBM dalam penelitian ini, Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) antara Perum Perhutani dengan petani (LMDH) telah ditandatangani mulai tahun 2003 dan terus-menerus dilakukan perbaikan sesuai usulan/kesepakatan kedua-belah pihak. Selanjutnya mengenai wewenang untuk mengambil langkah yang diperlukan bagi pengembangan dan tujuan program PHBM, baik Perum Perhutani maupun para pengurus LMDH dari berbagai desa sepakat membentuk Forum Komunikasi LMDH se-BKPH Pangalengan dengan Ketua Forum dipilih seorang petani senior, yaitu Drs. Asep Sutisna. Forum LMDH ini merupakan wahana bagi para pengurus/anggota LMDH untuk melakukan pertemuan secara berkala guna mendiskusikan masalah-masalah bersama yang dihadapi, bertukar informasi antar desa, serta membuat kesepakatan-kesepakatan untuk saling bekerjasama satu sama lain, khususnya dalam membangun kapasitas (capacity-building) para pengurus maupun anggota LMDH setempat. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebagai wadah masyarakat petani untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan rumahtangga petani
301
anggotanya secara umum telah berfungsi secara baik, tetapi kapasitas LMDH untuk mendorong anggotanya mengembangkan usaha produktif yang mandiri, masih perlu dilakukan pembenahan/penguatan. Secara skematis kelembagaan LMDH beserta perangkatnya, disajikan sebagaimana tertera pada Gambar 13.
Gambar 13. Kelembagaan Forum Komunikasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (Forum LMDH) Petani peserta PHBM (Kopi maupun Rumput-gajah & Sapi-perah) membentuk organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) di wilayah masing-masing, misalnya di kampung-kampung yang berdekatan, kemudian dari berbagai Kelompok Tani Hutan (KTH) membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Perangkat organisasi KTH dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat, sedangkan Ketua LMDH dipilih berdasarkan pemungutan suara seperti layaknya pemilihan seorang Kepala Desa.
302
Pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai organisasi petani yang terkecil dimulai dengan pendaftaran calon anggota PHBM. Idealnya calon peserta diutamakan bagi buruh tani yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan dan menyanggupi untuk mengerjakan lahan yang diberikan. Setelah calon anggota terdaftar, barulah dilakukan seleksi dan dilakukan pembagian andil dengan luasan tertentu. Tetapi hasil penelitian dan pengamatan menunjukkan bahwa, proses seperti ini tidak sepenuhnya diikuti. Pembagian andil dilakukan dengan mengikuti lahan yang telah diklaim oleh petani sebagai lahan jarahan melalui pendekatan persuasif. Itulah mengapa antar petani tidak persis bisa diatur untuk menguasai lahan andil seluas 0.5 ha atau kelipatannya. Ada petani yang menguasai lahan hingga 2 ha, tetapi ada pula yang menguasai kurang dari 0,5 ha. Meskipun demikian, dalam analisis tidak dilakukan stratifikasi luas lahan andil seperti itu. KTH-KTH berhimpun dan sepakat membentuk kelembagaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Kemudian beberapa LMDH difasilitasi oleh aparat desa maupun Perum Perhutani membentuk Forum LMDH, yang anggotanya terdiri atas pengurus LMDH dari berbagai desa yang relatif berdekatan, tokoh masyarakat/pemuka desa, Kelompok Tani Hutan Tipe A (yang relatif besar dan maju), serta pihak-pihak lain yang terkait. Forum LMDH melakukan pertemuan secara rutin/periodik untuk membahas masalah-masalah yang perlu dipecahkan masing-masing LMDH-nya. Perum Perhutani membagi lahan hutan yang dikelola kedalam Hutan Pangkuan Desa (HPD) atau wengkon yang kemudian dibagi-bagi lagi kedalam andil untuk masing-masing petani penggarap. Luas rata-rata andil untuk PHBM Kopi lebih kurang 1.6 ha per Kepala Keluarga/rumahtangga petani, sedangkan
303
PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah rata-rata 0.16 ha. Masing-masing andil diberi batas dan dipetakan secara jelas, sehingga diharapkan antar petani tidak saling menyerobot atau melanggar batas satu sama lain. Dengan demikian secara agregat petani PHBM masih tergolong kelompok petani gurem karena “memiliki” luas lahan yang kurang dari 0.5 hektar. Konsep Desa Pangkuan Hutan adalah membagi habis luas kawasan hutan dengan jumlah desa yang langsung berbatasan dengan hutan berdasarkan luas wilayah administrasi desa, nilai historis dan kesepakatan antar desa. Pengaturan pengelolaan hutan bersama masyarakat di dalam desa pangkuan hutan dilakukan oleh Perhutani bersama-sama LMDH secara partisipatif. Di dalam areal Hutan Pangkuan Desa (HPD) masyarakat memiliki akses untuk bertani/menanam tanaman keras (untuk kasus hutan lindung dalam penelitian ini) atau tanaman hortikultura seperti padi, jagung, kacang-kacangan, porang, kunyit, jamu-jamuan (untuk hutan produksi yang lebih datar), sehingga petani akan memperoleh manfaat dari andil/lahan garapan tersebut. Dengan demikian maka Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLDT) memberi kesempatan petani penggarap untuk menanam jenis komoditas yang memiliki prospek pasar yang bagus, sesuai dengan kondisi tapak yang tersedia, serta minat petani peserta program PHBM. Hutan lindung berada pada topografi yang tinggi dan relatif curam, sehingga pemilihan jenis vegetasi yang tepat merupakan keputusan yang penting. 8.1.2. Hak dan Kewajiban Sebagai lembaga formal yang mempunyai dasar hukum dan menganut kemitraan yang bersifat sejajar, PHBM Kubangsari yang berada di desa Pulosari, memiliki aturan kerjasama yang secara eksplisit mencantumkan hak dan
304
kewajiban atau aturan-main (rules of the games) dari masing-masing pihak yang melakukan kerjasama. Perjanjian Kerjasama dimaksud ditandatangani oleh Administratur/Kepala KPH Bandung Selatan selaku Kuasa Direksi Perum Perhutani dengan Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) yang mewakili masyarakat desa hutan, diketahui oleh Kepala Desa dan atau pejabat pemerintah yang lebih tinggi dengan dikuatkan oleh Notaris setempat. Sebagai contoh, kerjasama PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah bersifat 3 (tiga) pihak atau tripatrit, karena melibatkan LMDH Kubangsari, KPBS (Koperasi Peternak Bandung Selatan), dan Perum Perhutani, sebagaimana Tabel 65. Kesepakatan antara Petani PHBM yang tergabung dalam KTH dan LMDH dengan Perum Perhutani merupakan landasan hukum yang diformalkan dalam bentuk Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) kemitraan yang mengatur pembagian peran dan tanggungjawab masing-masing pihak yang bekerjasama. Pada awalnya kerjasama PHBM Rumput-gajah hanya dilakukan antara Perum Perhutani dengan petani rumput-gajah di desa-desa sekitar hutan. Produktivitas rumput-gajah yang ditanam di bawah tegakan rata-rata hanya 12 ton per ha per bulan. Angka tersebut tergolong rendah, karena pemanfaatannya belum optimal. Tetapi setelah diadakan kerjasama tripartit antara Petani, Perhutani, dan KPBS sebagaimana tertera pada Tabel 65, maka produktivitas rumput-gajah semakin meningkat secara lebih pesat. Petani termotivasi untuk meningkatkan produktivitas karena ada kepastian usaha yang lebih terjamin. Perjanjian tripartit di atas telah dengan jelas merinci hak
dan
kewajiban
masing-masing
pihak
yang
terlibat,
tetapi
dalam
operasionalnya harus dikawal dengan baik agar semua pihak memenuhi tanggungjawab yang diembannya.
305
Tabel 65. Hak dan Kewajiban dalam Kerjasama PHBM Rumputgajah antara Masyarakat (LMDH), Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS), dan Perum Perhutani PARA PIHAK Petani Peserta PHBM (LMDH Kubangsari)
HAK Memperoleh hasil produksi dari kerjasama ini untuk kepentingan para petani rumput-gajah Memperoleh bimbingan & pembinaan dari Pihak Perhutani & KPBS
Perum Perhutani (Administratur/ KKPH Bandung Selatan
KPBS (Koperasi Peternak Bandung Selatan)
Menetapkan luas bagian kawasan hutan yang dikerjasamakan (andil) Mendapatkan sharing bagi hasil
Bersama LMDH dan KPBS menentukan cara penanaman dan pemeliharaan tanaman kehutanan dan rumput-gajah Menghentikan dan mencabut secara sepihak hak bertani bagi petani yang melalaikan kewajiban Mengetahui perkembangan kerjasama pemberian modal dari pemodal kepada LMDH Mendapatkan kepastian dari anggota LMDH tentang pembelian susu sapi yang diternakkannya. Mengetahui perkembangan pengelolaan rumput-gajah
KEWAJIBAN Bersama-sama dengan KPBS menyediakan bibit tanaman rumput-gajah di obyek kerjasama sesuai dengan pola tanam. Menjaga dan memelihara tanaman kehutanan dari segala gangguan. Membantu KPBS dalam memantau dan mengetahui produktivitas rumput-gajah dari anggota Kelompok Tani. Meninggalkan tanpa syarat hak bertani dan menyerahkan kembali kepada Perhutani bila melanggar ketentuan perjanjian. Membimbing dan membina LMDH secara rutin demi kelancaran dan peningkatan kerjasama, dibantu KPBS Memberi peringatan terhadap LMDH Kubangsari yang melanggar aturan perjanjian termasuk jika ada anggota LMDH yang merambah kawasan hutan. Mengawasi segala proses yang berjalan dalam kerjasama ini
Memfasilitasi petani rumputgajah yang aktif dalam memenuhi kewajiban bagi hasil/sharing kepada Perhutani Membantu anggota LMDH yang aktif sebagai anggota KPBS jika terjadi tunggakan sharing akibat kekeringan hasil susu-sapinya. Membina anggota LMDH guna mendapatkan hasil rumput-gajah yang maksimal, tanpa merusak tanaman kehutanan. Bersama-sama LMDH turutserta menjaga kelestarian hutan
Sumber : KPH Bandung Selatan (Diolah), 2007
306
Apabila hubungan kontraktual kemitraan PHBM ini bisa berjalan sesuai dengan tugas dan tanggungjawab, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian, maka masyarakat akan terbantu untuk semakin mandiri karena memperoleh pemberdayaan (empowering) dari PKBS maupun Perum Perhutani sebagai mitranya. Karena itu disarankan perlu keterlibatan pihak lain, misalnya LSM maupun aparat desa yang bisa ikut memonitor dan mengawasi implementasi kemitraan program PHBM, sehingga dapat memastikan bahwa butir-butir perjanjian betul-betul telah dijalankan secara benar dan kerjasama kemitraan ini bisa menyejahterakan petani. Sedangkan pada perjanjian kerjasama pengembangan kopi, pihak Perhutani berperan sebagai pengelola kawasan hutan yang menjadi obyek kerjasama, LMDH berperan sebagai mitra Perhutani, yaitu tempat berhimpunnya para petani di kawasan hutan pangkuan desa Pulosari yang mendapatkan hak bertani dari Perum Perhutani, serta Pemodal/investor (Drs. Yana Priana) sebagai pihak yang membantu memberikan modal untuk kelancaran kerjasama ini, sebagaimana disajikan pada Tabel 66. Sesuai perjanjian ini maka Perum Perhutani memperoleh nilai bagi hasil (sharing) sebesar 15 persen dari nilai produksi kopi sebagai kompensasi digunakannya lahan kawasan hutan untuk kegiatan usahatani kopi, tetapi Perum Perhutani berkewajiban membina petani melalui LMDH agar dapat melaksanakan usahataninya secara optimal. Demikian pula investor akan memperoleh bagian hasil produksi karena membantu permodalan kepada petani. Yang perlu dicatat adalah perhitungan sharing produksi hendaknya tetap didasarkan pada perhitungan nilai embanan tugas dan tanggungjawab serta peran masing-masing
307
Tabel 66. Hak dan Kewajiban dalam Kerjasama Kemitraan PHBM Kopi antara Petani Mitra (LMDH), Perum Perhutani, dan Pemodal PARA PIHAK Petani Peserta PHBM (LMDH Kubangsari)
Perum Perhutani (Administratur/KKPH Bandung Selatan)
HAK
KEWAJIBAN
Memperoleh hasil produksi kopi
Mentaati dan menjalankan Juknis pembuatan tanaman sesuai petunjuk Perhutani dan mekanisme panen
Melaksanakan pengelolaan kawasan hutan sesuai ketentuan
Menanam dan memelihara tanaman kehutanan dan Kopi sesuai Juknis
Memperoleh bimbingan & pembinaan dari Pihak Perhutani
Mengamankan dan menjaga keberhasilan tanaman hutan dan kopi
Bersama Perhutani menentukan cara penanaman dan pemeliharaan
Meninggalkan tanpa syarat hak bertani dan menyerahkan kembali kepada Perhutani setelah habis masa perjanjian
Menetapkan luas bagian lahan (andil)
Membimbing dan membina LMDH secara rutin demi kelancaran dan peningkatan kerjasama
Mendapatkan sharing bagi hasil
Turutserta membina kegiatan pemeliharaan, pemanenan sampai pemasaran kopi petani.
Bersama LMDH menentukan cara penanaman dan pemeliharaan
Mengawasi segala proses yang berjalan
Mendapatkan bagi hasil/sharing produksi kopi
Memberikan modal untuk kegiatan budidaya kopi petani
Mengetahui perkembangan & hasil panen kopi di obyek perjanjian kerjasama ini
Turutserta menjaga keamanan hutan di sekitar obyek kerjasama
Turutserta membantu petani
Memenuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Perhutani
Tidak dapat mengakhiri perjanjian & menarik modalnya
Memelihara lingkungan & ekosistem di sekitar obyek perjanjian
Menghentikan dan mencabut secara sepihak hak bertani bagi petani yang melalaikan kewajiban Mengetahui perkembangan kerjasama pemberian modal dari pemodal kepada LMDH Pemodal (Drs YanaPriyana)
kopi & memberikan masukan kepada LMDH dan Perhutani dalam pengembangan kegiatan PHBM
Sumber : KPH Bandung Selatan (Diolah)
308
pihak secara transparan dan proporsional, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tujuan kerjasama tripatrit antara LMDH, Perhutani, dan Pihak Ketiga (Pemodal/Investor) pada dasarnya adalah membangun kelestarian hutan, optimalisasi
fungsi
dan
manfaat
sumberdaya
hutan
bagi
peningkatan
kesejahteraan masyarakat, serta merealisasikan visi dan misi Perum Perhutani. Karena itu, bagi Perhutani misalnya, goal yang terpenting adalah lestarinya hutanlindung yang dikelolanya, sehingga sharing produksi PHBM semestinya bukan menjadi tujuan utama. Sharing produksi diperlukan untuk menumbuhkan tanggungjawab masyarakat agar lebih merasa memiliki (sense of belonging) terhadap keberhasilan program PHBM. Karena itu bagi KPH Bandung Selatan yang sebagian besar wilayah hutannya merupakan hutan-lindung, harus memiliki indikator kinerja kunci (key-performance indicators) yang spesifik (khas) yang berbeda dengan KPH lain yang wilayahnya terdiri atas hutan-produksi, misalnya. Hal ini harus menjadi kebijakan korporat yang diputuskan secara partisipatif bersama Unit dan KPH sendiri. Demikian pula pihak pemodal/investor, harus bisa menjadi motivator petani agar bisa bekerja lebih keras karena memperoleh dukungan permodalan yang dipinjamkannya. Kesimpulannya adalah, perjanjian yang dibangun harus mengantarkan rumahtangga petani peserta PHBM menjadi pemain/pelaku usahatani yang tangguh, sehingga aktivitasnya akan menghasilkan cash-surplus yang bisa dinikmati oleh petani sendiri, oleh investor, dan oleh Perhutani, bahkan secara regional akan memberikan dampak ekonomi berupa multiplier-effect maupun pengentasan kemiskinan. Bila tidak, maka petani sebagai pihak yang terlemah, selalu akan menjadi korban.
309
Perjanjian kerjasama yang bermaterai dan disaksikan secara formal oleh aparat desa dan kecamatan mengandung makna, bahwa kedua/ketiga-belah pihak terikat secara hukum untuk bekerjasama di bidang agribisnis komoditas kopi atau rumput-gajah dalam hal pembiayaan, pengeloaan, pemasaran, dan pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama, diantaranya adalah : 1. Pengaturan Input Produksi a. Lahan Lahan yang digunakan untuk kerjasama kemitraan antara petani dan Perum Perhutani serta Pihak Ketiga adalah lahan kawasan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani BKPH Pangalengan. Lahan tersebut meliputi petak 37 d, 43 a, 43 b, 43 f, 38, 39 e, 39 a, 40 e, 40 d, di bawah tegakan Eukaliptus, Pinus, Rasamala, dan Rimba Campuran. Dari 90 sampel yang diamati, luas lahan garapan (andil) petani yang terkecil adalah 0.1 ha (rumput-gajah) dan yang terluas adalah 2.9 ha (tanaman kopi). Walaupun berbeda-beda luas andil yang dibagikan kepada masyarakat, tetapi di lapangan relatif tidak terjadi konflik antar petani karena masing-masing petani telah menjadi anggota KTH dan LMDH yang menjadi forum bersama. Terlebih lagi untuk kasus PHBM di Pangalengan, masyarakat sebelumnya telah merambah hutan sehingga pengaturan lahan tidak dimulai dari nol, melainkan sudah banyak petani yang mengklaim areal lahan hutan, sehingga pembagian andil mudah dilakukan, seperti telah dikemukakan sebelumnya. b. Bibit Pengadaan bibit kopi atau komoditas lain pada dasarnya menjadi tanggungjawab petani dan Kelompok Tani Hutan (KTH) yang bersangkutan.
310
Namun beberapa anggota LMDH yang mampu telah membuat usaha pembibitan sendiri, sehingga dapat membantu pengadaan bibit bagi anggota lainnya. Adapula pembibitan yang ditangani oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan dijual kepada para anggota yang membutuhkan. Pembelian bibit bisa dilakukan secara tunai atau dalam bentuk kredit/pinjaman. Petani dengan lahan yang kecil/sempit, pada umumnya membeli bibit secara angsuran/kredit, sehingga tidak langsung memberatkan cash-flow. Usaha pembibitan merupakan bisnis yang cukup prospektif, karena usaha ini memiliki captive-market, yaitu para petani anggota LMDH di desa hutan tersebut atau dapat pula untuk memasok kepada anggota LMDH desa lain apabila terdapat sisa bibit yang tidak terserap di desanya. Banyak petani yang menggunakan bibit hasil produksi sendiri, sehingga hasil wawancara kadangkala menimbulkan bias, karena tidak dihitung besarnya biaya bibit yang dihasilkan secara swadaya dalam struktur cost usahatani. c. Pupuk Pengadaan pupuk untuk usahataninya diupayakan membeli di pasar atau secara swadaya dilakukan dengan membuat pupuk organik dari bahan-bahan pupuk yang ada di sekitarnya, diantaranya pupuk kandang dari kotoran sapi, ayam, atau kambing. Sejauh ini pemberian pupuk bersubsidi dari pemerintah belum dilakukan. Petani murni mengupayakan pupuk atas usahanya sendiri. Petani PHBM secara
alamiah memanfaatkan potensi pupuk kandang
(kompos) yang memanfaatkan limbah kotoran sapi yang awalnya hanya dibuang ke sungai begitu saja. Dengan pengolahan kompos, maka di satu sisi petani dapat menghemat (saving) biaya input pupuk, tetapi di lain sisi petani dapat pula
311
memproduksi kopi organik yang sangat digemari oleh konsumen kopi dunia karena lebih ramah lingkungan. d.
Obat-obatan Obat-obatan yang digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit relatif
kurang banyak digunakan dibandingkan input lainnya, karena menurut petani disamping harganya mahal obat-obatan juga tidak banyak membantu apabila perawatan tidak dilakukan secara baik. Yang lebih banyak membantu justru perlakuan pemeliharaan yang dilakukan secara teratur dan tertib. Meskipun petani memiliki keterbatasan kapital untuk berbelanja obat, namun pada dasarnya obat-obatan/pestisida tetap diperlukan untuk pengendalian hama dan penyakit, karena kopi jenis Kartikasari Aceh Tengah (Ateng) juga rentan terhadap hama dan penyakit, terutama karat daun dan jamur akar. Obatobatan/pestisida tersebut dibeli di pasar dengan harga pasar yang berlaku. 2. Pembagian Hasil dan Mekanismenya Apabila perjanjian PHBM hanya dilakukan antara petani (LMDH Kubangsari) dengan Perum Perhutani, tanpa melibatkan pihak investor/pemodal, maka secara umum proporsi bagi-hasil diatur sebagai-berikut : a Perum Perhutani sebesar 15 % dari hasil panen b Pihak LMDH sebesar 85 % dari hasil panen Dalam konteks PHBM Kopi, mekanisme yang mengatur pembagian sharing (bagi-hasil) tersebut disepakati sebagai-berikut : a Pemanenan kopi dilakukan oleh masing-masing petani anggota LMDH, kemudian dilaporkan dan dicatat oleh Perhutani, disaksikan oleh LMDH.
312
b Bagi-hasil masing-masing pihak diwujudkan dalam bentuk biji kopi basah (gelondongan) yang telah siap jual dan dilakukan setiap panen c Prosentasi bagi hasil diperhitungkan dari realisasi produksi saat panen dan diserahkan sebagai akumulasi hasil panen. d Pembagian sharing dilakukan secara terbuka, dihitung dalam bentuk uang dan diperhitungkan dengan harga pasar yang saat itu berlaku. Dalam konteks perjanjian PHBM Rumput-gajah, status LMDH berfungsi sebagai wadah berorganisasinya petani di kawasan Hutan Pangkuan Desa (HPD) yang terhimpun dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) dan merupakan mitra Perhutani, sedangkan KPBS (Koperasi Peternak Bandung Selatan) berfungsi sebagai koperasi yang bergerak di bidang susu sapi-perah yang mewadahi Kelompok Tani Hutan (KTH) Rumput-gajah sebagai anggota aktif KPBS dengan tanggungjawab menjamin pembelian susu hasil produksi petani PHBM Rumputgajah & Sapi-perah. Antara Perum Perhutani, LMDH, dan KTH, diikat dengan mekanisme sistem bagi-hasil melalui pengaturan sebagai-berikut : a Panenan rumput-gajah dilakukan oleh masing-masing Kelompok Tani Hutan (KTH), kemudian dilaporkan dan dicatat oleh Pengurus LMDH, disaksikan oleh petugas Perum Perhutani dan KPBS b Perhutani memantau produktivitas rumput-gajah melalui Ketua KTH
dan
Perwakilan KPBS. Penyelesaian bagi hasil dilakukan oleh KPBS setiap bulan ke Perhutani. Selanjutnya apabila perjanjian kerjasama di atas melibatkan investor, maka pihak Perum Perhutani memberikan hak kepada petani untuk menanam, memelihara, dan memanen, sedangkan pemodal membantu menyediakan bantuan kapital
313
kepada petani anggota LMDH dalam bentuk upah harian yang besarnya disesuaikan dengan kesepakatan antara LMDH dengan pemodal selama proses pemeliharaan tanaman kopi, biaya insentif sebesar Rp 300 000/orang/bulan dari pemodal kepada LMDH Kubangsari. Adapun proporsi bagi-hasil disepakati sebagai-berikut : Perum Perhutani sebesar 20 % dari hasil panen, termasuk untuk pembangunan desa sebesar 1 %, sedangkan sisanya sebesar 80 % dibagikan untuk pemodal, petani, kas LKMD. Dari gambaran ini maka bagian petani menjadi sangat kecil, karena hasil terbesar dari panenan kopinya banyak terserap oleh investor dan Perum Perhutani. Masyarakat (petani) lebih bertindak sebagai “buruh”/tenaga-kerja karena tidak mengeluarkan modal/kapital tunai, melainkan hanya memberikan kontribusi berupa tenaga fisiknya. Hal ini tentu saja sangat tidak menguntungkan bagi petani. 3. Pemasaran Struktur pemasaran kopi pada umumnya melibatkan 3 (tiga) pelaku ekonomi utama, yaitu : petani, pedagang pengumpul lokal maupun besar (tengkulak, huller), serta pengekspor. Dalam konteks PHBM Kopi pemasaran kopi dilakukan secara langsung dari petani ke pengekspor melalui perantaraan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Harga disepakati berdasarkan tingkat mutu yang dihasilkan oleh petani. Dari sisi pemasaran, pada umumnya petani PHBM menyalurkan hasil produksinya melalui mekanisme sebagai-berikut : a
Tiap keluarga/rumahtangga petani melakukan panenan di lahannya masingmasing, baik dikerjakan oleh Kepala Keluarga beserta anggotanya maupun dibantu tenaga kerja dari luar keluarga yang diupah.
314
b
Selanjutnya hasil panenan kopi basah (gelondongan) dibawa ke tempat pengumpulan untuk ditimbang, disaksikan oleh pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) dan petugas Perum Perhutani.
c
Hasil panenan yang telah ditimbang, langsung dibayar secara tunai (cash) oleh KTH/LMDH, untuk kemudian diolah dengan mesin sederhana menjadi gabah (kopi kering).
d
Selanjutnya hasil produksi kopi “gabah” dijual kepada produsen kopi yang akan mengolahnya lebih lanjut dengan sistem masinal yang produknya berkualitas ekspor.
Mekanisme pemasaran kopi dalam kerjasama PHBM Kopi disajikan sebagaimana diagram pada Gambar 14, yaitu bahwa rumahtangga petani menjual kopi basah (kopi-gelondongan) kepada Kelompok Tani Hutan (KTH). Setelah diperiksa dan ditimbang oleh petugas KTH, petani langsung dibayar secara tunai (cash) oleh petugas KTH. Selanjutnya KTH akan mengolah menjadi gabah dengan alat pengolahan yang sederhana. Setelah gabah-kopi dikeringkan dengan panas matahari, kemudian gabah-kopi tersebut dikumpulkan di koperasi yang dikelola oleh LMDH. Kopi tersebut diolah oleh koperasi menjadi beras-kopi. Selanjutnya koperasi/LMDH akan menjual kopi tersebut kepada konsumen akhir yang sekaligus berfungsi sebagai eksportir. Untuk PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, mekanisme pamasarannya lebih sederhana. Petani rumput-gajah tidak menjual rumputnya ke pasar bebas, melainkan digunakan sendiri untuk hijauan makanan ternak sapi-perah yang dimilikinya. Karena tidak ada mekanisme penjualan ke pasar eksternal, maka
315
KPBS membantu petani untuk meminjamkan dana tunai pembayaran sharing rumput-gajah yang diserahkan kepada Perum Perhutani, yang pengembaliannya
Gambar 14. Mekanisme Pemasaran Kopi Hasil Usahatani PHBM Kopi di Pangalengan
316
diperhitungkan dengan hasil penjualan susu-sapi hasil usahatani PHBM kepada KPBS. Dengan demikian antara petani, KPBS, dan Perum Perhutani terjalin hubungan ekonomi yang saling-menguntungkan satu sama lain (mutual relationship). KPBS sebagai koperasi yang cukup besar menjamin pemasaran susu-sapi hasil pemeliharaan sapi-perah petani peserta PHBM yang dikumpulkan di tempat penampungan susu. Lokasi penampungan susu berada dekat dengan lokasi pemeliharaan sapi masyarakat, sehingga setiap hasil susu yang baru saja diperah (fresh) langsung bisa dikirimkan ke petugas KPBS. Selanjutnya KPBS mengolahnya menjadi susu olahan yang akan dipasok ke PT Ultra Jaya atau PT Susu Bendera, sebagaimana mekanisme pada Gambar 15. PT Ultra Jaya PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH Petani Rumputgajah
Peternak Sapiperah
KPBS PT Susu Bendera
Gambar 15. Mata-rantai Pemasaran PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah 4. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan implementasi kerjasama kemitraan PHBM (Kopi maupun Rumput-gajah & Sapi-perah) dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH), Perum Perhutani, pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) sepanjang tahun, dengan tujuan pendampingan, pengawalan, dan pengamatan atas pelaksanaan program PHBM. Sedangkan evaluasi kemitraan PHBM dilakukan secara periodik oleh LMDH, Asper/KBKPH dan Administratur/KKPH Perum Perhutani (bulanan, kuartalan, dan semesteran). Minimal dalam kurun-waktu 6
317
(enam) bulan dilakukan Forum Komunikasi LMDH dengan sasaran evaluasi meliputi : a
Perkembangan kegiatan PHBM (progress-report)
b
Peningkatan kesejahteraan petani peserta PHBM
c
Peningkatan kelestarian sumberdaya hutan
d
Peran dan tanggungjawab para pihak yang terlibat, serta dampak program PHBM terhadap masyarakat dan lingkungan. Fokus dari evaluasi jangka pendek adalah terbinanya KTH secara baik,
tanaman hutan tumbuh dan terpelihara secara baik, serta terjadinya peningkatan pendapatan KTH. Sedangkan titik-berat evaluasi jangka menengah adalah terbentuknya KTH yang mandiri/berswadaya, keterlibatan/partisipasi aktif KTH dalam pengamanan hutan dan meningkatnya manfaat hutan yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Evaluasi jangka-panjang menitikberatkan pada peningkatan kesadaran masyarakat terkait dengan kelestarian sumberdaya hutan dan menurunnya tingkat gangguan hutan. 5. Sanksi dan Perselisihan Apabila berdasarkan monitoring dan evaluasi, salah satu pihak tidak mampu memenuhi sebagian atau seluruh kewajiban yang diembannya (wanprestasi), maka yang bersangkutan dikenakan sanksi yang diatur melalui musyawarah dan mufakat. Bentuk sanksi yang dikenakan diantaranya adalah peneguran lisan, pencabutan hak bertani dan hak pengelolaan, pengurangan nilai bagi hasil, bahkan pembatalan kerjasama. Sebagai contoh, apabila tanaman kehutanan di lokasi kerjasama PHBM mengalami kematian akibat kelalaian petani (seperti tersabit, terpotong, terbakar), maka yang bersangkutan dikenakan denda
318
berupa uang dengan jumlah yang diatur tersendiri. Demikian pula apabila petani tidak memberikan sharing bagi hasil selama 2 (dua) periode atau 6 bulan tanpa alasan yang jelas, akan dikenakan sanksi. Segala bentuk perselisihan diselesaikan melalui mekanisme musyawarah dan mufakat dalam Forum PHBM Desa, tetapi apabila penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat ini tidak tercapai maka penyelesaian dibawa ke Pengadilan Negeri Bandung Selatan. 6. Pengaturan Hak Pemilikan Hak pemilikan (property-right) merupakan aturan (hukum, adat, tradisi) yang menentukan hubungan antara pemerintah (dipresentasikan oleh Perum Perhutani) dengan masyarakat terkait dengan pemanfaatan sumberdaya milik negara, seperti kawasan hutan (Kartodihardjo, 2008). Hak pemilikan dapat dijabarkan lebih-lanjut ke dalam 4 (empat) macam hak, yaitu : hak memasuki dan memanfaatkan (access & withdrawal), hak menentukan bentuk pengelolaan (management),
hak
menentukan
keikutsertaan/mengeluarkan
pihak
lain
(exclusion), dan hak dapat memperjualbelikan (alienation). Schlager and Ostrom dalam Kartodihardjo (2006) membedakan hak-hak yang seharusnya dipunyai oleh 4 (empat) kelompok masyarakat yang mempunyai strata hak pemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, yaitu : pemilik (owner), kepunyaan (proprietor), penyewa (claimant), dan pengguna (authorized-user) sebagaimana disajikan pada Tabel 67. Apabila mengacu batasan Schlager and Ostrom di atas, maka dapat dikatakan bahwa petani PHBM (PHBM Kopi maupun Rumput-gajah & Sapiperah) adalah pengguna (user) lahan hutan milik negara, sehingga hanya
319
mendapatkan hak memasuki dan memanfaatkan (access & withdrawal) lahan kawasan hutan lindung yang menjadi lahan garapannya. Sedangkan di luar aktivitas PHBM, status petani adalah sebagai penyewa (claimant) sehingga memiliki hak yang lebih tinggi daripada sekedar user, yaitu hak memasuki & memanfaatkan serta hak menentukan bentuk pengelolaan. Bahkan pada satu-dua orang petani contoh di luar PHBM melakukan usahataninya pada lahan milik sendiri, sehingga berada pada strata yang sangat kuat, yaitu sebagai owner. Tabel 67. Hak-hak yang Terikat Berdasarkan Posisi Kelompok Masyarakat STRATA HAK
(1) Memasuki dan memanfaatkan (Access & withdrawal) Menentukan bentuk pengelolaan (Management) Menentukan keikutsertaan/ Mengeluarkan pihak lain (Exclusion) Dapat memperjual-belikan hak (Alienation) Sumber : Kartodihardjo, 2006
PEMILIK (Owner)
KEPUNYAAN (Proprietor)
PENYEWA (Claimant)
(3)
(2) √
√
(4) √
√
√
√
√
√
PENGGUNA (User)
(5) √
√
Dengan demikian dilihat dari sisi hak kepemilikan (property-right), maka posisi petani peserta PHBM adalah sangat lemah, sehingga perlu lebih diberikan penguatan agar memiliki hak yang lebih kuat dalam kontrak, meskipun dalam berbagai pasal perjanjian petani PHBM telah dilibatkan dalam penentuan hak pengelolaan melalui forum PHBM. Karena itu pada beberapa hal, terutama pada PHBM Kopi misalnya, pemanfaatan lahan terkesan belum dilakukan secara intensif oleh petani penggarap sehingga produktivitas lahannya belum optimal. Pada beberapa individu petani terkesan, bahwa rasa memiliki (sense of belonging) petani terhadap lahan garapan kopinya masih kurang. Petani masih lebih condong pada aktivitas di luar usahatani, meskipun tidak melepaskan hak atas lahan garapan tersebut.
320
8.1.3. Aturan Representasi Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi (Kartodihardjo, 2008). Dalam proses pengambilan keputusan organisasi, terdapat 2 (dua) jenis biaya yang mendasari keputusan, yaitu : (1). biaya membuat keputusan akibat prosesi partisipasi dalam membuat keputusan, dan (2). biaya eksternal yang ditanggung oleh seseorang/organisasi sebagai akibat keputusan organisasi itu. Aturan pengambilan keputusan (representasi) yang sederhana untuk mengatasi masalah ini adalah meminimumkan kedua jenis biaya tersebut. Aturan representasi antara masyarakat (LMDH) dan Perum Perhutani serta Pihak Ketiga dituangkan secara tersurat maupun tersirat dalam bentuk Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) yang pada intinya berisi kesepakatan para pihak untuk menyumbangkan kemampuan dan kapasitas masing-masing guna menciptakan tujuan akhir kerjasama kemitraan PHBM berupa “hutan lestari dan masyarakat sejahtera”. Tujuan perjanjian kerjasama PHBM yang dibangun adalah terjaminnya kelestarian hutan, optimalisasi fungsi dan manfaat sumberdaya hutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat yang tergabung dalam LMDH Kubangsari. Jangka waktu perjanjian PHBM Kopi dapat berlangsung selama tanaman kopi tersebut masih produktif, dengan catatan setiap tahun dilakukan evaluasi oleh pihak-pihak yang terlibat, sehingga dimungkinkan untuk dilakukan adendum/perubahan yang disepakati bersama. Hal ini merupakan suatu kemajuan dari perjanjian yang terdahulu, dimana jangka-waktu perjanjian pada awalnya hanya berlaku untuk jangka 1 (satu) tahun. Adanya kepastian
321
pemanfaatan yang berlangsung jangka-panjang ini menciptakan kemantapan petani dalam pengambilan keputusan memilih sistem PHBM mana yang akan diikuti, jenis komoditas apa yang layak dikembangkan, berapa modal/kapital yang dibutuhkan, dan bentuk-bentuk keputusan yang lain. Hubungan kemitraan PHBM antara Perum Perhutani dengan petani (LMDH) dapat didekati dengan teori Principal-agent relationship (Bramasto, 2003), dimana Perum Perhutani bertindak sebagai prinsipal yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada LMDH selaku agen. Hubungan kemitraan principal-agent relationship akan menjadi efisien apabila tingkat harapan keutungan (reward) ke-2 belah pihak seimbang dengan korbanan masingmasing serta biaya transaksi (transaction-cost) dapat diminimalkan. Proses pengambilan keputusan pihak-pihak yang terkait akan berada pada 2 (dua) titik ekstrim, yaitu pada titik ekstrim yang satu kegagalan sepenuhnya ditanggung oleh agen (LMDH) atau resiko ditanggung sepenuhnya oleh prinsipal (Perhutani) pada titik ekstrim lainnya. Pada kenyataannya, akan tercapai optimalisasi dalam pengambilan keputusan yang meminimalkan risiko pada kedua pihak, baik dilakukan melalui sistem bagi-hasil (profit-sharing) maupun saling bahu-membahu antara kedua pihak tersebut. Partisipasi atau peranserta secara aktif rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan menyangkut kemitraan PHBM, turut menunjang keberhasilan program PHBM tersebut. Partisipasi rumahtangga petani PHBM dimulai dari identifikasi masalah, penyusunan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, mitigasi (kelompok masyarakat terlibat dalam mengukur sekaligus mengurangi dampak negatif dari PHBM), hingga monitoring dan evaluasi.
322
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi KTH dan LMDH dalam semua tahapan proses PHBM telah tumbuh dengan baik, namun peranserta individu rumahtangga petani belum nampak menonjol, kecuali individu-individu tertentu yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai dengan daya kritis yang tinggi. Terkesan bahwa secara umum individu petani merupakan anggota masyarakat yang patuh dan taat-azas pada ketentuanketentuan yang telah ditetapkan, sehingga terkesan kurang bersikap kritis. Namun pada saat Forum Komunikasi LMDH dibuka, para petani yang merupakan pengurus LMDH banyak yang bersikap kritis dan aktif dalam diskusi. Pengambilan
keputusan
banyak
dilakukan
melalui
mekanisme
musyawarah dan mufakat secara berjenjang, sehingga apa yang dibawa dalam forum pertemuan yang lebih tinggi telah mendapat permufakatan dari para anggotanya. Tetapi dalam pengamatan dan penelitian ini menunjukkan, bahwa proses pengambilan keputusan masih lebih didominasi oleh Perum Perhutani sebagai prinsipal karena memiliki input informasi yang lebih baik, memiliki organisasi yang lebih kuat, serta memiliki sumberdaya manusia yang cukup baik.
8.2. Penguatan Kelembagaan Kemitraan PHBM Dari uraian terdahulu, nampak bahwa keragaan petani PHBM Kopi belum sepenuhnya menunjukkan kinerja yang optimum, sehingga rumahtangga petani masih mengandalkan pendapatan (income) dari luar usahatani. Berdasarkan pengamatan dan interview yang dilakukan, penyebab kurang optimalnya kinerja petani PHBM Kopi, diantaranya adalah karena :
323
1. Budidaya kopi diawali oleh penanaman kopi yang dilakukan secara “asaltanam” sebagai proses pembelajaran (learning-process), sehingga populasi tanaman kopi dalam tiap hektar tidak merata. 2. Produksi panenan tanaman kopi tidak optimal, dimana pada usia tahun ke 6 (enam) produktivitas rata-rata per pohon hanya mencapai 60-70 % dari produktivitas tanaman induk yang ditanam oleh Bapak Rukma (almarhum) sebagai standar (benchmark). 3. Petani PHBM Kopi belum memiliki keterampilan tentang tatacara bertanam kopi yang memadai. Dari awal penanaman murni dilakukan oleh petani sendiri, tanpa bimbingan Dinas terkait. 4. Petani PHBM Kopi tidak memiliki dana atau kapital yang memadai untuk membiayai pemeliharaan tanaman kopi yang relatif ideal, sehingga pemeliharaan belum dilakukan secara optimal. Untuk PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, kehidupan petani pesertanya relatif lebih baik (lebih sejahtera) daripada petani peserta PHBM Kopi maupun masyarakat sekitar hutan pada umumnya, karena keragaan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah secara umum lebih baik. Namun demikian untuk jangka panjang, kelembagaan yang kuat perlu dibangun agar kerjasama kemitraan petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah dapat berkelanjutan. Dari hasil analisis simulasi kedua model (PHBM Kopi versus PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah) sebagaimana Skenario 1 sampai Skenario 12 pada masing-masing model, telah disimpulkan bahwa kebijakan terbaik bagi PHBM Kopi adalah kebijakan penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis poin (Skenario 9), sedangkan bagi PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah adalah
324
kebijakan berupa peningkatan harga jual output (Skenario 5). Kebijakan-kebijakan ini diperlukan untuk memberdayakan seluruh potensi/kapasitas petani dan semua pihak yang terkait guna meningkatkan kinerja implementasi PHBM di tingkat operasional. Selanjutnya untuk mengantarkan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut (Skenario 9 bagi PHBM Kopi dan Skenario 5 bagi PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah) pada tataran operasional secara efektif, maka diperlukan penguatan kelembagaan PHBM berupa penguatan kontrak kemitraan pada masing-masing model ekonomi rumahtangga sebagai kondisi-pemungkin (enabling-condition) yang menunjang keberhasilan implementasi kebijakan pada tataran operasional, sebagaimana disajikan pada Lampiran 14 dan 15. Bagi PHBM Kopi, untuk menunjang efektivitas implementasi kebijakan penurunan suku bunga pinjaman sebagai kebijakan yang terbaik (Skenario 9) pada tataran operasional, memerlukan dukungan penguatan kelembagaan sebagaimana tertera pada Lampiran 14 sebagai-berikut : 1.
Terkait
dengan
karakteristik
batas
yurisdiksi
menyangkut
larangan
mengadakan tukar-menukar lahan hutan atau mengalihkan lahan kepada pihak lain, maka pengawasan dari Perhutani perlu semakin ditingkatkan (termasuk pengawasan terhadap oknum Perhutani sendiri yang berperilaku kurang terpuji), penguatan organisasi ekonomi petani (Koperasi LMDH) untuk menghadapi tengkulak/bandar yang nakal, serta upaya untuk memberikan fasilitas kredit atau BLT/Raskin bagi petani yang terdesak keuangannya, sehingga lahan PHBM masih dapat dioptimalkan produksinya. Langkah ini sekaligus untuk mengurangi resiko terjadinya hambatan
325
pengembalian kredit akibat disewakannya lahan kepada pihak lain atau hambatan akibat kegagalan panen. 2.
Terkait karakteristik batas yurisdiksi menyangkut penetapan luas lahan andil, maka disarankan petani tidak langsung diberikan kebijakan perluasan lahan andil, melainkan didorong untuk memanfaatkan lahan andil yang dikelolanya secara lebih optimal terlebih dahulu, sehingga resiko terjadinya kredit macet akan berkurang. Petani perlu diberi ruang untuk lebih berinovasi dalam memanfaatkan lahan andil, sepanjang hal tersebut masih sesuai dengan kaidah pengelolaan hutan-lindung. Penanaman Cabe Bendot dan Terong Kori sebagai tanaman pengisi diantara tanaman kopi dan pohon hutan yang telah dirintis, perlu dikembangkan lebih serius. Demikian pula jenis MPTS (Multipurpose
Tree
Species)
seperti
tanaman
buah-buahan,
dapat
memperkaya lahan andil. Apabila optimalisasi lahan andil dapat terus ditingkatkan, maka kebijakan pemberian kredit akan lebih terjamin tingkat pengembaliannya, karena petani memiliki kemampuan untuk membayarnya. 3.
Terkait karakteristik hak dan kewajiban menyangkut penetapan nilai sharing produksi yang belum dilakukan secara proporsional, maka direkomendasikan dilakukan rekalkulasi sharing disesuaikan dengan tipologi komoditas dan siklus produksinya. Pada tahap investasi, perlu keberpihakan kepada petani agar petani mampu bertahan hidup melalui kebijakan keringanan pembayaran sharing. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu petani untuk membayar kewajiban bunga kredit dengan mengatur dana cash yang dikelolanya, sehingga resiko kredit macet dapat dieliminasi.
326
4.
Terkait karakteristik hak dan kewajiban menyangkut sharing produksi sebagai peningkatan income perusahaan (Perhutani), maka perlu ditetapkan Key Performance Indicators (KPI) pengelolaan hutan lindung yang menekankan bahwa ukuran keberhasilan pengelola hutan lindung adalah optimalnya fungsi lindung. Karena itu diusulkan sharing produksi bukan sebagai peningkatan income perusahaan, melainkan merupakan dana kolektif petani yang akan dikembalikan ke hutan dalam bentuk kegiatan reboisasi hutan lindung. Melalui upaya ini diharapkan pengelolaan hutan lindung lebih lestari sehingga ada jaminan petani bisa menggarap lahan secara berkelanjutan dan memiliki kemampuan untuk mengelola kredit dengan baik. Dengan sendirinya langkah ini akan menjamin kebijakan penurunan sukubunga kredit akan bisa berjalan lebih efektif.
5.
Terkait karakteristik hak dan kewajiban menyangkut kapasitas pembinaan terhadap petani yang belum optimal karena kendala budget dan sumberdaya, maka direkomendasikan untuk memanfaatkan kapasitas institusi di daerah guna bersinergi membina petani, terutama mendorong pelatihan praktis keterampilan yang dibutuhkan petani, termasuk keterampilan di dalam pengelolaan kredit. Demikian pula penyediaan bibit kopi yang lebih berkualitas dari pemerintah (bibit yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit) misalnya, akan sangat membantu petani. Keterampilan petani yang meningkat ditunjang pemilihan bibit yang berkualitas akan menjamin keberhasilan usahatani kopi, sehingga kondisi ini akan mendorong efektivitas kebijakan penurunan suku bunga kredit.
327
6.
Terkait karakteristik hak dan kewajiban menyangkut pengamanan areal (tanaman kehutanan maupun tanaman kopi) dari segala bentuk gangguan terutama pada masa panenan, maka direkomendasikan pengerahan dukungan dari seluruh potensi institusi di daerah, meningkatkan forum komunikasi KTH/LMDH, meningkatkan perondaan, sehingga tidak terjadi kegagalan panen. Perlu diingat, tanaman kopi membutuhkan tanaman penaung berupa tanaman hutan sehingga keseluruhan tanaman (baik pohon hutan maupun tanaman kopi) harus dapat diamankan. Tanaman hutan maupun tanaman kopi yang aman dari pencurian/gangguan akan menjamin keberhasilan usahatani kopi, sehingga petani berani untuk mengambil kredit/pinjaman.
7.
Terkait karakteristik hak dan kewajiban menyangkut penyediaan fasilitasi pinjaman lunak melalui PKBL yang sumber-dananya terbatas, maka direkomendasikan dibuka akses yang lebih luas untuk memperoleh kredit mikro disertai upaya peningkatan keterampilan dalam pengelolaan kredit mikro. Keberpihakan pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan, karena apabila mengandalkan kredit PKBL saja maka dananya relatif terbatas.
8.
Terkait
karakteristik
hak
dan
kewajiban
menyangkut
penyediaan
barang/produksi yang sesuai harga pasar, direkomendasikan pemberdayaan terhadap Koperasi LMDH untuk mengolah kopi gelondong menjadi barang setengah jadi/barang jadi (kopi gabah/kopi beras), sehingga dapat meningkatkan added-value yang tinggi. Untuk itu perlu ada fasilitasi alat-alat produksi pengolahan kopi disertai persiapan perangkat lunaknya, misalnya koperasi difasilitasi melakukan investasi untuk membeli mesin pengolah kopi sampai tingkat kopi beras (OCE) sehingga dapat meningkatkan nilai output
328
komoditas kopi. Dengan memasuki proses pengolahan kopi yang semakin canggih, maka nilai output yang dihasilkan semakin tinggi, sehingga petani tidak khawatir untuk meningkatkan nilai kreditnya. 9.
Terkait karakteristik aturan representasi menyangkut posisi tawar LMDH yang masih relatif lemah di mata Perhutani, maka disarankan dilakukan capacity building terhadap KTH/LMDH, khususnya keterampilan dalam budidaya kopi bagi petani beserta aspek pemasarannya. Perum Perhutani atau pemerintah (Dinas Perkebunan) dibantu LSM memfasilitasi pendidikan dan penyuluhan, serta pembinaan terhadap petani PHBM agar keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge), serta sikap mental (mental-attitude) petani dapat lebih baik untuk mendukung tingkat efisiensi dan produktivitas penanaman kopi. Semakin kuat posisi-tawar KTH/LMDH maka keberhasilan usahatani kopi akan semakin meningkat, sehingga hal ini mendukung kebijakan penurunan suku-bunga pinjaman. Bagi PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, untuk mendukung efektivitas
implementasi kebijakan peningkatan harga output (Skenario 5) sebagai kebijakan yang terbaik, maka dukungan penguatan kelembagaan kontrak kemitraan yang perlu dibangun sebagaimana tertera pada Tabel Lampiran 15 adalah sebagaiberikut : 1. Terkait dengan karakteristik
batas yurisdiksi
menyangkut penetapan luas
lahan garapan rumput-gajah, direkomendasikan agar kepada petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah tidak langsung diterapkan kebijakan menaikkan luas lahan andil, melainkan menyediakan bibit rumput-gajah yang bermutu baik oleh KPBS maupun Perhutani sehingga mutu susu-sapi lebih terjamin dan
329
diharapkan harganya dapat meningkat. Disamping itu, dilakukan pula pemberdayaan (empowering) terhadap individu petani untuk meningkatkan mutu keluaran rumput-gajah yang lebih tinggi sehingga output susu yang dihasilkan pun akan bernilai tinggi. Dengan upaya ini maka kebijakan menaikkan harga output akan lebih efektif untuk diterapkan. 2. Terkait karakteristik hak dan kewajiban menyangkut jaminan pembelian sususapi oleh KPBS dengan harga yang memadai, direkomendasikan KPBS dan Perhutani melakukan pembinaan terhadap petani dalam pemilihan bibit unggul, menerapkan pola pengolahan lahan yang baik, pemupukan dan pemeliharaan rumput-gajah yang memadai, serta perawatan terhadap sapi yang dipelihara secara lebih baik. Dengan kualitas usahatani seperti ini, maka jaminan pembelian susu produksi petani oleh KPBS dengan harga jual yang memadai, akan mudah diwujudkan, sehingga hal tersebut mendukung diterapkannya kebijakan peningkatan harga output (susu-sapi). 3. Terkait hak dan kewajiban menyangkut penurunan produksi maupun mutu rumput-gajah pada musim kemarau, direkomendasikan KPBS dapat membantu petani dalam menyangga tunggakan kewajiban sharing produksi, membantu teknologi untuk menciptakan bahan makanan berupa rumput-gajah yang diawetkan serta memberi jaminan untuk tetap membeli produk susu-sapi dari petani secara berkelanjutan. Dengan demikian meskipun terjadi musim kemarau, resiko menurunnya produksi rumput-gajah maupun berkurangnya pasokan susu-sapi akan dapat diantisipasi. 4. Terkait dengan karakteristik aturan representasi menyangkut lemahnya posisi tawar petani menghadapi jangka waktu perjanjian yang relatif pendek, maka
330
direkomendasikan untuk dilakukan evaluasi perjanjian secara rutin setiap tahun, advokasi terhadap petani untuk mencegah KPBS menurunkan harga susu secara sepihak serta koordinasi tripartit (Perhutani, KPBS dan Petani) untuk menciptakan kontrak kerjasama yang lebih permanen. Dengan upaya ini diharapkan kebijakan menaikkan harga output tetap dapat diimplementasikan secara baik. 5. Terkait dengan karakteristik aturan representasi menyangkut posisi tawar petani menghadapi resiko menurunnya proporsi susu petani yang diolah lebih lanjut oleh KPBS, maka direkomendasikan perlu ada fasilitasi pemerintah untuk mendorong KPBS mengembangkan unit pengolahan susu menjadi produk turunan yang lebih tinggi sehingga memberikan added-value yang lebih besar bagi perusahaan dan petani. Dengan added-value yang lebih tinggi pada KPBS, maka dampaknya akan sangat dirasakan petani. Namun apabila terjadi force-majeur yang dialami KPBS, maka petani PHBM Rumput-gajah & Sapiperah perlu menyiapkan emergency-exit untuk mencari sumber pembeli baru agar penjualan susu-sapi dengan harga yang layak, tetap dapat dipertahankan. Analisis terhadap kinerja PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah di tingkat implementasi belum sepenuhnya mencapai titik yang optimum seperti yang diharapkan, sehingga dapat dikatakan bahwa penguatan kelembagaan PHBM adalah suatu keharusan. Untuk meningkatkan kinerja petani kopi maupun rumput-gajah & sapi-perah secara lebih maksimal, kebijakan ekonomi saja sebagai syarat perlu (necessary-condition) tidaklah mencukupi. Karena itu diperlukan dukungan kebijakan kelembagaan sebagai syarat cukup (sufficient-condition). Namun demikian karena kelembagaan menyangkut
331
interaksi antar pelaku yang terlibat (Perhutani, KPBS, petani penggarap), maka diperlukan kesediaan masing-masing pihak untuk saling berbagi peran dan tanggung-jawab sesuai dengan kesepakatan baru yang diatur dalam kontrak. Dalam teori prinsipal-agents relationship kembali ditegaskan, bahwa hubungan kemitraan antara prinsipal dan agen akan menjadi efisien apabila tingkat harapan keuntungan (reward) ke-2 belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya transaksi (transaction-cost) yang mungkin terjadi dapat diminimalkan. Karena itu tidak ada satu pihak pun yang merasa memiliki dominasi yang lebih besar ( karena power, penguasaan aset yang lebih besar, penguasaan informasi yang lebih kuat, networking yang lebih bagus) daripada pihak yang lain, tetapi semuanya berkedudukan yang sama dan harus taat pada rules of the games yang disepakati bersama. Dengan demikian usulan penguatan kelembagaan sebagaimana tertera pada Tabel Lampiran 14 dan 15 akan efektif, apabila terjalin hubungan kesetaraan antara berbagai pihak yang berinteraksi.
8.3. Rangkuman Aspek Kelembagaan 1. Kerjasama kemitraan yang telah diformalkan dalam wujud kontrak kerjasama antara petani PHBM dengan Perum Perhutani maupun pihak lain, secara konseptual telah dibangun secara baik. Namun dalam implementasinya masih terdapat deviasi akibat penafsiran yang berbeda, pembagian hak & kewajiban para pihak yang belum proporsional, sehingga kinerja operasional PHBM pun belum optimum. 2. Dalam teori prinsipal-agents relationship, kontrak kerjasama kemitraan akan efektif apabila ada kesetaraan antara pihak-pihak yang berinteraksi. Dari hasil analisis, posisi petani (LMDH) sebagai agen dalam kontrak kerjasama
332
kemitraan PHBM masih relatif lebih lemah apabila dibandingkan dengan posisi Perum Perhutani yang bertindak sebagai prinsipal. Karena itu perlu upaya penguatan kelembagaan kontrak PHBM dengan membangun posisi kesetaraan antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Perum Perhutani sebagai institusi yang lebih kuat dapat melakukan inisiasi untuk meningkatkan pemberdayaan petani agar kelembagaan petani terbangun secara lebih baik. 3. Dari hasil analisis simulasi perubahan faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku ekonomi rumahtangga sebagaimana Skenario 1 sampai Skenario 12, disimpulkan bahwa kebijakan terbaik bagi PHBM Kopi adalah penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis poin (Skenario 9). Karena itu agar implementasi kebijakan penurunan suku bunga pinjaman tersebut dapat berjalan secara efektif, maka perlu dilakukan penguatan kelembagaan kontrak PHBM Kopi sebagai-berikut : a.
Terkait karakteristik batas yurisdiksi, direkomendasikan langkah-langkah sebagai-berikut : a1. Mencegah adanya penyewaan lahan andil agar petani tidak terlena untuk mendapatkan dana cash secara cepat, namun mengalami opportunity-loss untuk mendapatkan dana cash yang lebih besar dari usahatani. Dengan lahan andil yang tetap dikelola, maka petani tetap menjalankan aktivitas usahatani kopi, sehingga berkemampuan untuk membayar kredit dan kewajiban lainnya secara baik. a2 Tidak terburu-buru menerapkan kebijakan perluasan lahan andil bagi petani. Tetapi sebaliknya, mendorong petani untuk memanfaatkan lahan yang dikelolanya secara lebih optimal dan inovatif.
333
a3. Melakukan diversifikasi penanaman hutan lindung sepanjang tidak mengurangi fungsi lindung dari hutan, misalnya penanaman Cabe Bendot dan Terong Kori sebagai tanaman pengisi diantara tanaman kopi dan pohon hutan, karena jenis ini merupakan tanaman berkayu/perdu yang dapat membantu fungsi lindung. Dengan demikian, di satu sisi penutupan lahan akan semakin meningkat, sedangkan di sisi yang lain petani memiliki pendapatan alternatif yang lebih baik ketika menunggu masa panen. b. Terkait karakteristik
hak dan kewajiban, direkomendasikan langkah-
langkah sebagai-berikut : b1. Melakukan
rekalkulasi sharing produksi sesuai dengan tipologi
komoditas dan siklus produksinya. b2. Menetapkan Key Performance Indicators (KPI) yang menekankan bahwa
ukuran
keberhasilan
pengelola
hutan
lindung
adalah
optimalnya fungsi lindung, bukan pada profit making oriented. Pengenaan sharing produksi bukan sebagai peningkatan income perusahaan, melainkan merupakan dana kolektif
untuk reboisasi
hutan lindung agar hutan-lindung dapat dikelola secara lebih optimal. b3. Memanfaatkan kapasitas semua institusi untuk bersinergi membina petani, terutama fasilitasi pelatihan keterampilan praktis yang dibutuhkan
petani, termasuk keterampilan di dalam pengelolaan
kredit secara sehat. b4. Meningkatkan pengamanan areal (tanaman kehutanan maupun tanaman kopi) dari segala bentuk gangguan terutama pada masa
334
panenan, sehingga keseluruhan panenan dapat menghasilkan cashsurplus yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani. b5. Membuka akses yang lebih luas untuk memperoleh kredit mikro disertai upaya peningkatan keterampilan petani dalam pengelolaannya. b6. Mendorong Koperasi LMDH untuk meraih added-value yang tinggi dengan mengolah kopi gelondong menjadi kopi gabah/kopi beras. c. Terkait karakteristik aturan representasi menyangkut posisi tawar LMDH yang relatif masih lemah, maka disarankan dilakukan capacity building terhadap KTH/LMDH meliputi fasilitasi pendidikan dan penyuluhan, peningkatan keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge), serta sikap mental (mental-attitude) petani. 4. Bagi PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah kebijakan terbaik hasil simulasi atas 12 alternatif skenario adalah kebijakan peningkatan harga jual output (Skenario 5). Agar kebijakan Skenario 5 tersebut dapat diimplementasikan secara efektif, maka perlu dilakukan penguatan kelembagaan kontrak kemitraan PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah sebagai-berikut : a.
Terkait karakteristik batas yurisdiksi, direkomendasikan langkah-langkah sebagai-berikut : a1. Mencegah perluasan lahan andil bagi petani secara terburu-buru. Sebaliknya, petani perlu melakukan intensifikasi lahan antara-lain melalui penyediaan bibit rumput-gajah yang unggul oleh KPBS maupun Perhutani, sehingga kualitas susu sapi yang dihasilkan lebih terjamin dan lebih laku di pasaran..
335
a2. Pemberdayaan
(empowering)
terhadap
individu
petani
untuk
meningkatkan mutu keluaran rumput-gajah yang lebih tinggi sehingga output susu yang dihasilkan pun akan bernilai tinggi. b.
Terkait karakteristik hak dan kewajiban, direkomendasikan langkahlangkah sebagai-berikut : b1. Melakukan pembinaan terhadap petani yang lebih intensif terkait kemampuan mengelola bibit unggul, menerapkan pola pengolahan lahan yang baik, pemupukan dan pemeliharaan rumput-gajah yang memadai, serta perawatan terhadap sapi yang dipelihara. b2. KPBS membantu petani dalam menyangga tunggakan kewajiban sharing produksi pada musim kemarau, membantu teknologi untuk menciptakan bahan makanan berupa rumput-gajah yang diawetkan serta jaminan pembelian susu-sapi petani secara berkelanjutan.
c. Terkait karakteristik aturan representasi menyangkut posisi tawar LMDH yang masih relatif lemah di mata KPBS, maka disarankan
fasilitasi
pemerintah untuk mendorong KPBS mengembangkan unit pengolahan susu menjadi produk turunan yang lebih tinggi sehingga mampu menjamin pasokan dari petani tetap lancar dan menyiapkan emergency-exit untuk mencari sumber pembeli baru di luar KPBS.
IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan 1.
Kegiatan usahatani PHBM, terutama PHBM Kopi, belum sepenuhnya mampu mengentaskan masyarakat sekitar hutan dari belenggu kemiskinan, tetapi telah berhasil mengatasi perambahan dan perusakan kawasan hutan-lindung melalui program alih komoditas dari bertanam sayur menjadi bertanam kopi maupun rumput-gajah yang lebih ramahlingkungan.
2.
Kegiatan PHBM memiliki prospek yang sangat baik dalam penciptaan nilai-tambah, karena PHBM di dalam kawasan (usahatani kopi maupun rumput-gajah) sangat layak disinergikan dengan aktivitas luar kawasan (pengolahan kopi dan pengolahan susu) yang bernilai tinggi.
3.
Kebijakan
memperluas
lahan
andil
tidak
secara
otomatis
mensejahterakan petani, karena disamping sangat dipengaruhi oleh faktor kemampuan finansial petani, perluasan lahan andil juga dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Karena itu kebijakan perluasan lahan andil perlu dilakukan secara hati-hati, terlebih untuk kasus kawasan hutan lindung. 4.
Pengelolaan lahan pola PHBM ditengarahi masih bersifat konvensional, karena produktivitas lahan masih lebih mengandalkan pada kapasitas sumberdaya manusia daripada penggunaan teknologi pemanfaatan input produksi. Karena itu produktivitas lahan masih memungkinkan untuk ditingkatkan apabila dilakukan introduksi teknologi.
337
5.
Perilaku ekonomi rumahtangga petani PHBM terbukti bertindak rasional dalam menghadapi tekanan eksternal. Namun karena lemahnya sumberdaya kapital yang dimiliki petani, maka perlu keberpihakan pemerintah, perusahaan, maupun pihak lain, untuk membantu peningkatan kesejahteraan petani.
6.
Kebijakan penurunan sharing produksi (Skenario 7) maupun kenaikan luas lahan garapan (Skenario 11), tidak efektif untuk diterapkan, karena dampaknya tidak signifikan dibandingkan dengan dampak kebijakan penurunan suku-bunga kredit/pinjaman (Simulasi 9) maupun kebijakan kenaikan harga output (Simulasi 5).
7.
Kebijakan terbaik bagi petani PHBM Kopi adalah penurunan suku bunga pinjaman (Skenario 9), sedangkan bagi petani PHBM Rumputgajah & Sapi-perah adalah peningkatan harga jual output (Skenario 5). Fenomena ini sangat realistis, karena petani kopi masih dalam taraf investasi sehingga memerlukan kredit bagi pengembangan usahanya. Sedangkan petani rumput-gajah & sapi-perah sudah berada pada taraf pemanenan hasil, sehingga memerlukan insentif berupa peningkatan harga jual output (susu sapi) agar kesejahteraan petani dapat terus ditingkatkan karena pendapatan dan tingkat konsumsi petani meningkat.
8.
Bagi petani PHBM Kopi, penguatan kontrak kemitraan PHBM yang perlu dibangun agar kebijakan penurunan suku bunga pinjaman dapat diimplementasikan secara efektif adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mereduksi resiko kredit macet, diantaranya melalui : (1) pencegahan penyewaan lahan andil dengan modus memperoleh cash-
338
income secara cepat, (2) peningkatan pemanfaatan lahan secara lebih optimal dan inovatif, serta (3) rekalkulasi sharing produksi secara lebih proporsional. 9.
Bagi petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah, penguatan kontrak kemitraan yang perlu dibangun agar kebijakan peningkatan harga output dapat diimplementasikan secara efektif adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan added-value dan harga jual output (susu sapi), diantaranya meliputi : (1) penyediaan bibit rumput-gajah yang unggul dan introduksi teknologi pemanfaatan lahan yang lebih intensif, (2) penerapan teknologi pengolahan susu beserta produk turunannya yang bernilai tinggi, serta (3) adanya jaminan pembelian susu-sapi yang berkelanjutan dengan harga yang kompetitif.
9.2. Implikasi Kebijakan 1.
Perlu disusun strategi jangka-panjang untuk mengatasi tekanan eksternal
terhadap
kawasan
hutan-lindung
dengan
mendorong
pengembangan kegiatan produktif di luar kawasan, sehingga hal tersebut dapat bersinergi dengan kegiatan PHBM di dalam kawasan. Idealnya, aktivitas diluar kawasan hutan merupakan peningkatan nilaitambah dari produk-produk primer yang dihasilkan oleh usahatani di dalam kawasan hutan sehingga terdapat keterkaitan (linkage) yang saling menguntungkan satu sama lain. 2.
Perlu dilakukan pemanfaatan lahan yang lebih optimal melalui diversifikasi komoditas yang sesuai dengan sifat/fungsi hutan lindung terlebih dahulu sebelum diterapkan kebijakan perluasan lahan andil.
339
3.
Perlu dilakukan introduksi teknologi penggunaan faktor input maupun teknologi
pengolahan
lahan
yang
lebih
intensif
agar
dapat
meningkatkan produktivitas lahan usahatani. Penggunaan pupuk organik yang bahan bakunya tersedia di lokasi sangat baik dilakukan, karena budidaya kopi organik sangat diminati oleh konsumen kopi dari seluruh dunia dan lebih ramah lingkungan. 4.
Perlu keberpihakan kepada petani PHBM khususnya dalam peningkatan kapital, baik berupa perangkat lunak maupun perangkat keras yang dapat meningkatkan kapasitas petani dalam membangun kemitraan dengan perusahaan.
5.
Perlu ditetapkan Key Performance Indicators (KPI) yang spesifik bagi pengelola hutan lindung agar jelas indikator penilaian pengelolaan hutan lindung, dimana kebijakan sharing produksi bukan dinilai sebagai income-generating
bagi
perusahaan,
melainkan
lebih
untuk
menumbuhkan rasa tanggungjawab petani dalam melestarikan hutan lindung. Di lain sisi, penilaian kinerja pengelolaan hutan lindung lebih ditujukan kepada semakin meningkatnya fungsi-fungsi lindung dari hutan yang dikelolanya. 6.
Terhadap petani PHBM Kopi, pemerintah perlu membuka akses yang lebih luas terhadap kredit mikro dengan bunga pinjaman yang layak. Sedangkan bagi petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah pemerintah perlu membantu jaminan peningkatan harga susu sapi. Kredit mikro dapat diwujudkan dalam bentuk program PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) maupun program-program lainnya.
340
7.
Pemberdayaan rumahtangga petani PHBM tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi semata, melainkan harus dibarengi dengan penguatan kelembagaan di level mikro berupa perbaikan substansi kontrak kemitraan PHBM yang dapat mengefektifkan implementasi kebijakan penurunan suku bunga bagi PHBM Kopi maupun peningkatan harga jual output bagi PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah.
8.
Disarankan adanya realokasi anggaran untuk meningkatkan aktivitas PHBM luar kawasan yang dapat mengurangi kebergantungan petani pada faktor lahan kawasan hutan, sehingga tekanan terhadap hutan akan semakin berkurang..
9.
Pada setiap hutan lindung perlu dibangun kelembagaan berupa kemitraan kolaboratif yang mengakomodasi kepentingan pengelola hutan lindung dengan masyarakat sekitar hutan agar hutan lindung dapat berfungsi secara lebih optimal.
9.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan 1.
Perlu penelitian lanjutan pada skala yang lebih luas dengan melakukan stratifikasi berdasarkan tipologi PHBM.
2.
Perlu dilakukan penelitian ekonomi kelembagaan masyarakat sekitar hutan secara lebih mendalam di Pulau Jawa.
3.
Perlu
dilakukan
penelitian
model
pengelolaan
hutan
berdasarkan tipologi masyarakat dan agro-ekosistemnya.
lindung
DAFTAR PUSTAKA Adnan, H. dan Yentirizal. 2007. Berkah atau Bencana : Adaptasi Kelembagaan dan Aksi Kolektif Masyarakat dalam Menerima Program Transmigrasi. Journal Governance Brief : (37) : 1-11. CIFOR, Bogor. Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Graha Ilmu, Yogyakarta. Afiff, S. 2005. Tinjauan atas Konsep “Tenure-Security” dengan Beberapa Rujukan pada Kasus-kasus di Indonesia. Jurnal WACANA Insist Press : 20 (6) : 227-249. Affianto, A., W.A. Djatmiko, S. Riyanto dan T. T. Hermawan. 2005. Analisis Biaya dan Pendapatan dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat : Sebuah Panduan Perhitungan Bagi Hasil. Pustaka Latin, Bogor. Andriati. 2003. Perilaku Rumahtangga Petani Padi dalam Kegiatan Ekonomi di Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Agro Indonesia. 2006. Hutan di Jawa untuk Rakyat. Agro Indonesia, III (120): 10-16, Agro Indonesia, Bogor. Aliadi, A. 2000. Berbagi Pengalaman Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat. Pustaka Latin, Bogor. Antara. 2007. Government to Revitalize Two Million Hectares of Land for Plantation. Kantor Berita Antara, Jakarta. Anwar, K. 2005. Analisis Respon Produksi dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani : Simulasi Perubahan Kebijakan Harga. Tesis Magister Sains, Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. APEKI DPD Bandung. 2008. Tinjauan tentang Usaha Budidaya Kopi Petani Hutan Program PHBM di Wilayah Kabupaten Bandung/KPH Bandung Selatan Masa Panen Tahun 2008. Tidak diterbitkan. Asmarantaka, R.W. 2007. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani di Tiga Desa Pangan dan Perkebunan di Provinsi Lampung. Disertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arifin, B. 2002. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
342
Arifin, B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Awang, S.A. dan B. A. Sutjahjo. 2003. Perubahan Arah dan Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Hutan Perhutani di Pulau Jawa. Penerbit Aditya Media, Yogyakarta. Bakri, M. 2007. Hak-hak Menguasai Tanah oleh Negara. Paradigma Baru untuk Reforma Agraria. PT Buku Kita, Jakarta Bank Indonesia, 2006. Laporan Perekonomian Indonesia 2005. Bank Indonesia, Jakarta. Becker, G.S. 1965. A Theory of Allocation of Time. The University of Chicago Press, Chicago. Becker, G.S. 1976. The Economic Approach to Human Behaviour. The University of Chicago Press, Chicago. BKPH Pangalengan. 2006a. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Lembaga Masyarakat Desa Hutan Kubangsari Desa Pulosari Kecamatan Pangalengan. Tim Sukses PHBM BKPH Pangalengan, Bandung. BKPH Pangalengan. 2006b. Selayang Pandang Proses Kerjasama Pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Budidaya Murbei Blok Sukaratu RPH Wayang Windu BKPH Pangalengan Kerjasama dengan LMDH Sukamanah Desa Sukamanah Kecamatan Pangalengan. Tim Sukses PHBM BKPH Pangalengan, Bandung. Binawan, A.L. dan A. Prasetyantoko. 2004. Keadilan Sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Biro Pusat Statistik. 2006. Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia 20022005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bryant, W. K. 1990. The Ecnomic Organization of The Household. Cambridge University Press, New York. Campbell. 1999. Prinsip-prinsip dan Proses Pengembangan Kemitraan. Prosiding Seminar Pemberdayaan Aset Perekonomian Rakyat melalui Strategi Kemitraan dalam Mengelola Sumberdaya Alam. Pustaka Latin, Bogor. CAPRi. 2007. Collective Action and Property Rights for Poverty Reduction, CAPRi-BMZ Project Overview. CIFOR, Bogor.
343
Chomzah, A.A. 2003. Hukum Pertanahan : Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Seri Hukum Pertanahan IV. Prestasi Pustaka, Jakarta. CIFOR. 2003. Refleksi Empat Tahun Reformasi Mengembangkan Sosial Forestry di Era Globalisasi. Intisari Lokakarya Nasional Sosial Forestri di Cimacan, 10 – 12 September 2002. CIFOR. 2004. CAPRi Proposal : ”Collective Action to Secure Property Rights for the Poor : Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and Governance Sistems”. CIFOR in Collaboration with ICRAF and Bappeda Jambi. Colfer, C.J.P. 1999. Siapa yang Perlu Dipertimbangkan ? Menilai Kesejahteraan Manusia dalam Pengelolaan Hutan Lestari. CIFOR, Bogor. Colfer, C.J.P. 1999. Panduan Penilaian Dasar Kesejahteraan Manusia. CIFOR, Bogor. Daniel, M.. 2004. Jakarta.
Pengantar Ekonomi Pertanian.
Penerbit Bumi Aksara,
Darusman, D. 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia. Debut Press, Yogyakarta. Darusman, D. dan Widada. 2004. Konservasi dalam Perspektif Ekonomi Pembangunan. Direktorat Jenderal PHKA, Bogor. Departemen Kehutanan. 2007a. Hutan Tanaman Rakyat (Konsep dan Rencana). Bahan Diskusi Himpunan Peminat dan Ahli Kehutanan di Jakarta tanggal 2 Maret 2007. Direktorat Jenderal BPK Departemen Kehutanan Jakarta, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2007b. Hutan Tanaman Rakyat. Bahan Sosialisasi dan Semiloka Hutan Tanaman Rakyat di Jakarta tanggal 21 Pebruari 2007. Direktorat Jenderal BPK Departemen Kehutanan Jakarta, Jakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Pedoman Survei Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Dharmawan, A.H. 2002. The Farm Household Livelihood Strategies and local Structural Change in Rural Indonesia : Case Studies from West Java and West Kalimantan. Jurnal Mimbar Sosek, 15 (3) : 73-101.
344
Direktorat Pengembangan Usaha. 2003. Pedoman Kemitraan Usaha Agribisnis. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktur Produksi Perhutani. 2007. Peningkatan ”Andil” Masyarakat Desa Hutan dalam Pemanfaatan Lahan Kawasan Hutan Perum Perhutani untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan Pulau Jawa. Effendy, A. 1999. Menyongsong Globalisasi dan Otonomi Daerah Green Revolution, Upaya Mengatasi Hancurnya Hutan Tropis Indonesia. Tinjauan Kritis Kebijakan, Kasus, Analisis dan Strategi Solusi. Yayasan Lamda, Bogor. Ellsworth, Lynn. 2000. A Place in the World : Tenure Security and Community Livelihoods, A Literature Review, Washington DC : Forest Trends and New York : Ford Foundation (http : //www.forest-trends.org/documents/publications/Place_World.pdf). Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Disertasi Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fattah, A. 1999. Strategi Pengelolaan Hutan Indonesia sebagai Amanah. PT Pola Aneka Sejahtera, Jakarta. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Francis, D. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Penerbit Quills, Yogyakarta. Ginoga, K. dan Erwidodo. 2001. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kondisi Hutan dan Masyarakat Sekitar Hutan : Kasus di Hutan Produksi Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan 2 (1) : 15-30. Ginoga, K. dan D. Djainuddin. 2005. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan 2 (2) : 169194. Gronau, R. 1977. Leisure, Home Production, and Work : The Theory of the Allocation of Time Revisited. Columbia University Press, New York. Grosh, M and Paul Glewwe. 2000. Designing Household Survey. The World Bank. Washington, D.C.
345
Gujarati, D. 1978. Basic Econometrics. Mc Graw-Hill, Inc., New York. Haeruman, H. 2005. Paradigma Pengelolaan untuk Menyelamatkan Hutan Tropika Indonesia : Membangun Etika Pengelolaan Hutan Lestari. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hafsah, M.J. 2000. Kemitraan Usaha : Konsepsi dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hasbullah, J. 2006. Sosial Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). MR-United Press, Jakarta. Hardono, G.S. 2002. Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harsono, B. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Penerbit Jambatan, Jakarta. Haryati, S. 2002. Kaitan Karakteristik Rumahtangga dan Peluang Perambahan Hutan di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah : Suatu Pendekatan Cluster Analysis. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hidayat, S. Dan D. Syamsulbakhri. 2007. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Sebuah Rekonstruksi Konsep Community Based Development (CBD). Pustaka Quantum, Jakarta. Hunter, J.P. 1997. Small Ruminants in the Household Economy of Lesotho. Ministry of Agriculture and Marketing, Lesotho. Insist Press. 2005. Kebijakan Kehutanan : Gagal. Insist Press, Yogyakarta. Institut Pertanian Bogor. 2004. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. Seri Pustaka IPB Press, Bogor. Iswantoro, H. 1999. Konsep dan Strategi Kemitraan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gajahmada. Proceedings Seminar Pemberdayaan Aset Perekonomian Rakyat melalui Strategi Kemitraan. Pustaka Latin, Bogor. Jakarta Post. 2007. Environment Policy Poorly Enforced, Research Shows. The Jakarta Post, Jakarta. Jogiyanto. 2006. Filosofi, Pendekatan, dan Penerapan. Pembelajaran Metode Kasus untuk Dosen dan Mahasiswa. Andi Offset, Yogyakarta.
346
Kadarisman, H. Kemitraan Berasaskan Kebersamaan Memperkuat Ekonomi Nasional Berbasis Usaha Kecil dan Menengah. Lembaga Humaniora, Jakarta. Kartodihardjo, H et al. 2006a. Daya Dukung Pulau Jawa. Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.
Kementerian
Kartodihardjo, H. 2006b. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan : Telaah Lanjut Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan. Penerbit IDEALS, Bogor. Kartodihardjo, H. 2006c. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kartodihardjo dan Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. PT Equinox Publishing Indonesia, Jakarta. Kartodihardjo dan Jhamtani, 2008. Dibalik Kerusakan Hutan & Bencana Alam Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan. Wana Aksara. Tangerang, Banten. Katharina, R. 2007. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Khairina. 2007. Pangan Beras, Riwayatmu Kini Harian Kompas edisi 24 Pebruari 2006, halaman 38. Khudori. 2007. Petani, Kemiskinan, dan Reforma Agraria. Harian Kompas edisi 16 Maret 2007, halaman 6. Kompas. 2007. Akibat Salah Urus Pertanian (Fokus Beras). Harian Kompas edisi 24 Pebruari 2007, halaman 33. Koutsoyiannis. 1979. Modern Micoeconomics. Mac Millan Press, Ltd. London. KPH Bandung Selatan. 2007a. Data Kriteria LMDH KPH Bandung Selatan. KPH Bandung Selatan, Bandung. KPH Bandung Selatan. 2007b. Rencana Kerja Lima Tahun (RKL) KPH Bandung Selatan Tahun 2007-2011. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, KPH Bandung Selatan, Bandung.
347
KPH Bandung Selatan. 2007c. Selayang Pandang Implementasi PHBM KPH Bandung Selatan. KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Krisnamurthi, B. 1998. Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha Koperasi Unit Desa di Jawa Barat : Suatu Kajian Cross-Section. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kuntari, R.. 2007. Pemerintah dan Petani : Perbandingan antara Tuan Puteri dan Anak Tiri. Harian Kompas edisi 24 Pebruari 2007. Kusnadi, N. 2005. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna di Beberapa Propinsi di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mangkuprawira, S. 1984. Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Keluarga dalam Kegiatan Ekonomi Rumahtangga : Studi Kasus di Dua Tipe Desa di Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Marzali, A. 2003. Strategi Peisan Cakalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Menteri Kehutanan RI. 2006. Bahan Rapat Kerja Panitia Ad Hoc I DPD RI dengan Menteri Kehutanan tentang Masalah Agraria Kehutanan tanggal 7 Nopember 2007. Departemen Kehutanan, Jakarta. Menteri
Kehutanan RI. 2007a. Sambutan Menteri Kehutanan pada Pembukaan Sosialisasi dan Semiloka Hutan Tanaman Rakyat di Jakarta tanggal 21 Pebruari 2007. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Menteri Kehutanan RI. 2007b. Dari Revolusi Hijau menuju Pembangunan Berkelanjutan : Peran dan Kontribusi Sektor Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Mubyarto. 2005. A Development Manifesto : The Resilience of Indonesian Ekonomi Rakyat during the Monetary Crisis. Penerbit Kompas, Jakarta. Najiati dan Danarti. 2006. Kopi : Budidaya dan Penanganan Pasca Panen. Edisi Revisi. Penerbit Swadaya, Depok.
348
Nasution, M. 2007. Revitalisasi Perhutani bagi Kepentingan Bangsa. Disajikan dalam rangka Optimalisasi Sektor Kehutanan untuk Mengatasi Masalah Kemiskinan dan Pengangguran dalam Pembangunan yang Berkelanjutan di Yogya tanggal 23 Januari 2007. Nicholson, W. 1983. Intermediate Micro Economics and Its Application. 3rd Edition. The Dryden Press, Chicago. North, D.C. 1991. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Political Economy of Institutionas and Decisions. Cambridge University Press, Cambridge. Nugraha, B.S., I. Hamad, L. Tofi, N. Hifni, Kasta. 2005. Penerbit Suspensos, Jakarta.
Investasi Sosial.
Nugraha, P. 2007. Revitalisasi Pertanian Jalan di Tempat ? Harian Kompas edisi 24 Pebruari 2007. Nugrahadi, E.W. 2001. Keputusan Ekonomi Rumahtangga Pengusaha dan Pekerja Industri Produk Rotan Jadi di Kota Medan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Paige, J.M. 2004. Revolusi Agraria : Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara-negara Dunia Ketiga. Penerbit Pedati, Pasuruan. Pakpahan, A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Pakpahan, A., H. Kartodihardjo, R. Wibowo, H. Nataatmadja, S. Sadjad, E. Haris, dan H. Widjaya. 2005. Membangun Pertanian Indonesia : Bekerja Bermartabat dan Sejahtera. Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor, Bogor. Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Konphalindo, Jakarta. Pemerintah
Kabupaten Bandung, 2007. Daftar Isian Potensi dan Perkembangan Desa Tahun 2007. Biro Pusat Statistik Kabupaten Bandung, Bandung.
Perdana, A.A. 2004. Poverty Alleviation and Sosial Insurance Policy : Past Lessons and Future Challenges. The Indonesian Quartily, 32 (3) : 266-272. Perhutani, 1997. Pedoman Pembinaan Masyarakat Desa Hutan di Perum Perhutani. PHT 54 Seri Produksi 99. Direksi Perum Perhutani, Jakarta
349
Perhutani, 2007. PHBM Plus Menuju Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera Desa Mandiri. Direksi Perum Perhutani, Jakarta. Persaki Pusat dan Perum Perhutani. 1985. Pemugaran Kawasan Hutan di Pulau Jawa. Proceedings Lokakarya Pemugaran Kawasan Hutan di Pulau Jawa di Semarang tanggal 12 – 14 September 1985. Petty, C and J. Seaman, N. Majid. 2004. Coffee and Household Poverty : A Study of Coffee and Household Economy in Two Districts of Ethiopia. Save the Children, United Kingdom, London. Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. Mc Graw-Hill, Inc., New York. Poerwokoesoemo, S. 1956. Jati Jawa (Tectona grandis Linn). Jawatan Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. Prabowo, H.E. 2007. Kehidupan : Petani Miskin Kian Miskin. Harian Kompas edisi 24 Pebruari 2007, halaman 35. Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman – Ternak terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Puslitbang Perhutani, 2007. Laporan Penelitian Pengaruh Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat terhadap Keberhasilan Pengelolaan Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perum Perhutani, Cepu. Rachmawati, E. 2008. Kemitraan antara Perum Perhutani dengan Petani Vanili dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani : Studi Kasus Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Raharjo, D.Y., A. Sembiring, N. Azis. 2005. Menanti Perubahan. Potret Kulon Progro di Masa Transisi Politik Otonomi Daerah. Studio Kendil, Bogor. Rakyat Merdeka. 2006. BPN Lakukan Reforma Agraria. Berita Nusantara Rakyat Merdeka edisi 19 November 2006. Ridwan, A. 1999. Peluang dan Tantangan Sektor Kehutanan dalam Pengembangan Perekonomian Rakyat di Kabupaten Jember. Proceedings Seminar Pemberdayaan Aset Perekonomian Rakyat melalui Strategi Kemitraan. Pustaka Latin, Bogor.
350
Riyanto, B. 2004. Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan di Indonesia. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor. Riyanto, B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor. Schmid, A. 1987. Property, Power and an Inguiry Info Law and Economics. Preager, New York. Sadikin, dan S. Samandawai. 2007. Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa. Yayasan Akatiga, Bandung. Santoso, H.. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan : Kontes Harian di Desadesa Sekitar Hutan di Jawa. Penerbit DAMAR, Yogyakarta. Sarwoko. 2005. Dasar-dasar Ekonometrika. Penerbit ANDI, Yogyakarta. Sardjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan : Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Wahana Sinergi, Yogyakarta. Sastraatmadja, E. 2006. Untukmu Dewan Ketahanan Pangan. Masyarakat Geografi Indonesia, Bandung. Sayafa’at, N., P. Simatupang, S. Mardianto, Khudori. 2005. Pertanian Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional. Argumentasi Teoritis, Faktual, dan Strategi Kebijakan. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Seabrook, J. 2006. Kemiskinan Global : Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme. Resist Book, Yogyakarta. Seksi Perencanaan Hutan. 2007. Kajian Makro Pengelolaan Hutan Perum Perhutani pada DAS Citarum. Seksi Perencanaan Hutan III Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, Bandung. Setiawan, U. 2007. Momentum Baru Reforma Agraria. Harian Kompas edisi 23 Pebruari 2007. Shopia, M.S. 2007. Pembaharuan Agraria untuk Siapa ? Jurnal Duta Rimba 11 (2) : 7-13 Silalahi, S.B. 2006. Penataan Ruang Pertanian dan Kendalanya. Makalah Seminar Reforma Agraria Pelaksanaan Otoda & Penataan Ruang dalam Upaya Pengaturan Tanah untuk Petani tanggal 13 September 2006, di Hotel Millenium, Jakarta.
351
Simatupang, P. 2006. Reformasi Agraria menuju Pertanian Berkelanjutan : Komentar terhadap Makalah Profesor Mubyarto. Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun I Nomor 8 bulan Oktober 2006. Simon, H. 2004. Aspek Sosial Teknis Pengelolaan Hutan Jati di jawa. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sinaga, B. M. 1997. Pendekatan Kuantitatif dalam Agribisnis. Jurusan Ilmuilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, S. 2005. Statistik Terapan untuk Penelitian. Penerbit Grasindo, Jakarta. Soedarsono, M.A. 2007. Kawasan Hutan Menghadapi Reformasi Agraria (Telaahan Kasus Pulau Jawa). Diskusi Himpunan Pensiunan Kehutanan (HPK) dalam rangka Hari Bakti Rimbawan di Jakarta, 7 Maret 2007. Suharjito, D. 1999. Hak-hak Penguasaan atas Tanah Hutan di Indonesia. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suharjito,
D. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Penerbit Pustaka Kehutanan Masyarakat, Aditya Media, Yogyakarta.
Suharjito, D. 2006. Berbagai Pengalaman Pendampingan Masyarakat Desa dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, bekerjasama dengan Debut Press, Yogyakarta. Sumardjani, L. 2007. Konflik Sosial Kehutanan : Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Penerbit Flora Mundial Communications, Jakarta. Sumardjono, M.S.W. 2006. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Sumarningsih, F.E. 2006. Landreform di Indonesia dan Pelaksanaannya. Penerbit Srikandi, Surabaya. Suporahardjo. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin, Bogor.
352
Suprapto, T. 2001. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Irian Jaya. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supriadi, 2007. Hukum Agraria. Sinar Grafika, Jakarta. Suryana, A., 2003. Kapita Selekta. Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE, Yogyakarta. Syamsudin. 2007. Are Community Aspirations Being Accommodated in Development Plans ? A Lesson from Collective Action in Jambi. Governence Brief, CIFOR, Bogor. Syaukani HR, 2006. Tanpa Reforma Agraria Semakin Banyak Menciptakan Petani Gurem. Makalah Seminar Reforma Agraria Pelaksanaan Otoda & Penataan Ruang dalam Upaya Pengaturan Tanah untuk Petani tanggal 13 September 2006, di Hotel Millenium, Jakarta Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Penerbit Pustaka Latin, Bogor. Tata, I. 2000. Menggugat Revolusi Hijau. Yayasan Tirta Karangsari bekerjasama dengan PAN-Indonesia dan Yayasan Kehati, Jakarta. Tatuh, J. 1992. Analisis Kontrak dalam Kegiatan Peremajaan Hutan Negara di Jawa dengan Acuan Kontrak Tumpangsari dan Perhutanan Sosial. Penelitian di KPH Pati dan Cepu, Jawa Tengah. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tempo, 2006. Bisnis Sepekan : Tanah Gratis Buat Petani. Majalah Tempo Edisi 15 Oktober 2006. Tempo, 2006. Hernando de Soto : Gagasan Kontroversial dari Dunia Ketiga. Majalah Tempo Edisi 10 September 2006. Tempo, 2006. Hernando de Soto : Memberdayakan yang Terpinggirkan. Majalah Tempo Edisi 27 Agustus 2006. Tempo, 2006. Mengembangkan Peran Hutan sebagai Tulang-punggung Perekonomian. Majalah Tempo edisi 19 Nopember 2006, halaman 66. Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Yudhoyono, S.B. 2006a. Kesejahteraan, Keadilan, dan Persatuan. Pidato Kenegaraan Presiden RI di Depan Sidang Paripurna Khusus DPD tanggal 23 Agustus 2006.
353
Yudhoyono, S.B. 2007b. Mari Kita Sukseskan Program Pro-Rakyat. Pidato Awal tahun Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 31 Desember 2007. Yudhoyono, S.B. 2007c. Pertumbuhan, Lapangan Kerja dan Pengurangan Kemiskinan. Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Depan Rapat paripurna DPR tanggal 26 Agustus 2006. Yustianto, A. 2007. Reformasi Lahan untuk Pengentasan Kemiskinan : Suatu Pemikiran dari Hernando de Soto. Disarikan dari berbagai tulisan dan artikel Hernando de Soto. Yustika, A.E. 2007. Reformasi Tanah dan Pertanian. Harian Kompas Edisi 1 Maret 2007. Yustika, A.E. 2007. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori & Strategi. Bayu Media Publishing, Malang. Walhi, 2005. Hentikan Perampasan Hak-hak Rakyat. September 2005.
Walhi, Edisi 24
Wawa, J.E. 2007. Irigasi : Krisis Air Hadang Petani. Artikel harian Kompas Edisi 24 Pebruari 2007, halaman 38. Wiradi, G. dan J. Breman 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa. Studi Kasus Dinamika Sosial Ekonomi di Dua Desa Menjelang Akhir Abad ke 20. Penerbit DAMAR, Yogyakarta. Wirartha, I. M. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit ANDI, Yogyakarta. Wrihatnolo, R.R. dan Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2007. Manajemen Pemberdayaan Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Wollenberg, E., D. Edmunds, L. Buck, J. Fox dan S. Brodt. 2005. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Pustaka Latin, Bogor. Zairani, D. 2003. Analisis Peluang Kerja dan Keputusan Ekonomi Rumahtangga Pengusaha Kecil di Bogor. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
354
LAMPIRAN
355
Lampiran 1. Lokasi Penelitian
LOKASI PENELITIAN KPH BANDUNG SELATAN
KPH Bandung Selatan
PETA DESA LOKASI PENELITIAN Margamulya
Pulosari Margamukti Warnasari
Sukamanah
Margamekar Wanasuka
Sukaluyu Margaluyu
Banjarsari
356
Lampiran 2. Metode Pengambilan Contoh
357
Lampiran 3. Daftar Keterangan Variabel Model Ekonomi Rumahtangga PHBM A. Daftar Variabel Model Ekonomi Rumahtangga PHBM Kopi No.
Variabel
Keterangan
1
UKK
Umur KK (thn)
2
PDS
Pendidikan suami (tahun)
3
PDI
Pendidikan istri (tahun)
4
JAK
Jumlah anggota keluarga (orang)
5
LH
Luas lahan garapan PHBM kopi (Ha)
6
YIELD
Produktivitas lahan (kg/ha)
7
PROD
Produksi usahatani kopi (kg)
8
HKP
Harga output kopi (Rp/kg)
9
CTK
Biaya tenaga-kerja pada usahatani kopi (Rp/Tahun)
10
PPK
Jumlah penggunaan pupuk dalam usahatani kopi (Kg/tahun)
11
HPPK
Harga pupuk dalam usahatani kopi (Rp/kg)
12
CPPK
Biaya penggunaan pupuk dalam usahatani kopi (Rp/tahun)
13
OBT
Jumlah penggunaan obat2an/pestisida usahatani kopi (Liter/tahun)
14
HOBT
Harga obat2an/pestisida usahatani kopi (Rp/liter)
15
COBT
Biaya penggunaan obat2an usahatani kopi (Rp/tahun)
16
BBT
Jumlah penggunaan input bibit (Batang/tahun)
17
HBBT
Harga bibit kopi (Rp/batang)
18
CBBT
Biaya penggunaan input bibit (Rp/tahun)
19
CSPR
Total sarana produksi usahatani kopi (Rp/tahun)
20
k
Konstanta sharing produksi (%)
21
SHR
Biaya sharing produksi (Rp/tahun)
22
CPR
Biaya produksi dalam usahatani (Rp/Tahun)
23
IUT
Pendapatan/income usahatani kopi (Rp)
24
ILUT
Pendapatan/income luar -usahatani (Rp)
25
IT
Total pendapatan/total-income rumahtangga (Rp/tahun)
26
AKD
Alokasi TK keluarga pada usahatani (HOK/Tahun)
358
27
UUD
Nilai waktu/proxy upah tenaga yang disewa pada usahatani (Rp/HOK)
28
AKL
Alokasi TK yg disewa pada usahatani (HOK)
29
UUL
Nilai waktu/proxy upah kegiatan luar usahatani (Rp/HOK)
30
AKDUL
Alokasi TK keluarga diluar usahatani (HOK)/Supply TK
31
TAK
Total alokasi tenaga kerja pada usahatani (HOK)
32
KP
Pengeluaran pangan rumahtangga (Rp/Tahun)
33
KL
Pengeluaran non-pangan rumahtangga (Rp/tahun)
34
KT
Total pengeluaran konsumsi rumah tangga(Rp/tahun)
35
PDD
Pengeluaran investasi pendidikan (Rp/tahun)
36
KES
Pengeluaran investasi kesehatan (Rp/tahun)
37
INV
Pengeluaran investasi sumberdaya manusia (Rp/tahun)
38
TEXP
Total pengeluaran rumahtangga (Rp/tahun)
39
TAB
Tabungan rumahtangga (Rp/tahun)
40
SBT
Suku bunga tabungan (% per tahun)
41
KR
Kredit/pinjaman rumahtangga (Rp/Tahun)
42
SBP
Suku bunga pinjaman (% per tahun)
359
B. Daftar Variabel Model Ekonomi Rumahtangga PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah NO. 1
VARIABEL UKK
KETERANGAN Umur KK (thn)
2
PDS
Pendidikan suami (tahun)
3
PDI
Pendidikan istri (tahun)
4
JAK
Jumlah anggota keluarga (orang)
5
LRG
Luas lahan PHBM rumput-gajah (Ha)
6
YIELD
Produktivitas usahatani rumput-gajah (1000 kg/ha)
7
PRODRG
Produksi usahatani rumput-gajah (1.000 kg/tahun)
8
HRG
Harga output rumput-gajah (Rp/kg)
9
RUM
Penerimaan hasil usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun)
10
PPKRG
Jumlah penggunaan pupuk untuk rumput-gajah (kg/tahun)
11
HPPKRG
Harga pupuk untuk usahatani rumput-gajah (Rp1.000,-/kg)
12
CPPKRG
Biaya penggunaan pupuk dalam usahatani (Rp/tahun)
13
OBTRG
Jumlah obat untuk rumput-gajah (Liter/tahun)
14
HOBTRG
Harga obat usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/liter)
15
COBTRG
Biaya obat2an usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun)
16
BBTRG
Jumlah input bibit untuk rumput-gajah (batang/tahun)
17
HBBTRG
Harga bibit rumput-gajah (Rp 1.000,-/untai)
18
CBBTRG
Biaya penggunaan input bibit (Rp1.000,-/tahun)
19
CSPRRG
Biaya sarana-produksi rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun)
20
k
Proporsi sharing produksi rumput-gajah (%)
21
SHRRG
22
CTOTRG
Nilai sharing rumput-gajah yg disetorkan kepada Perhutani (Rp 1.000,-/tahun). Biaya total usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun)
23
YRUM
Pendapatan dari usahatani rumput-gajah (Rp 1.000,-/tahun)
24
SP
Jumlah sapi yang memproduksi susu (ekor)
25
PRODSS
Jumlah produksi susu (liter/tahun)
26
HSS
Harga jual susu-sapi (Rp 1.000,-/ liter)
27
RSS
Penerimaan penjualan susu (Rp 1.000,-/tahun)
28
CTKS
Biaya tenaga kerja sewa sapi-perah (xRp 1000,-/tahun)
29
JMAK
Jumlah makanan/konsentrat sapi-perah (kg/tahun)
30
HMAK
Harga satuan makanan/konsentrat sapi-perah (x Rp 1000,-/kg)
360
31
CMAK
Biaya makanan/konsentrat bagi sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun)
32
PRUM
Harga input rumput-gajah yang dikonsumsi sapi-perah (Rp/kg)
33
CRUMS
Biaya input rumput-gajah bagi sapi-perah ( x Rp 1000,-/tahun)
34
CSPRS
35
CTOS
Biaya sarana-produksi usahatani sapi-perah ( x`Rp 1000,/tahun) Biaya total usahatani ternak sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun)
36
YSS
Pendapatan hasil usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun)
37
YRUL
Pendapatan dari luar usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun)
38
YTOS
Pendapatan total usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/tahun)
39
IT
40
TKDRG
41
UUDRG
Total pendapatan/total-income rumahtangga sapi-perah (x Rp 1000,- /tahun) Alokasi TK keluarga pada usahatani rumput-gajah (HOK/Tahun) Upah tenaga yang disewa pada usahatani (x Rp 1000,-/HOK)
42
TKDS
Alokasi TK keluarga pada usahatani sapi-perah (HOK/Tahun)
43
UUDS
44
TKLS
Upah tenaga yang disewa pada usahatani sapi-perah (Rp/HOK) Alokasi TK yg disewa pada usahatani sapi-perah (HOK)
45
UUL
Upah kegiatan luar usahatani sapi-perah (x Rp 1000,-/HOK)
46
TKDUL
Alokasi TK Keluarga diluar Usahatani sapi-perah (HOK)
47
TKSS
Total Alokasi Tenaga Kerja pada Usahatani sapi-perah (HOK)
48
KP
Pengeluaran pangan rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun)
49
KL
Pengeluaran non-pangan rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun)
50
KT
51
INV
52
TEXP
Total pengeluaran konsumsi rumahtangga sapi (x Rp 1000,/tahun) Pengeluaran investasi sumberdaya manusia (x Rp 1000,/tahun) Total pengeluaran rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun)
53
TAB
Tabungan rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun)
54
SBT
Suku bunga tabungan (% per tahun)
55
KR
Pinjaman rumahtangga (x Rp 1000,-/tahun)
56
SBP
Suku bunga pinjaman (% per tahun)
361
Lampiran 4. Program Komputer Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode 2 SLS, Prosedur SYSLIN, SAS/ETS Versi 9.1 OPTIONS nodate NONUMBER ; PROC IMPORT OUT= WORK.kopi1 DATAFILE= "C:\Documents and Settings\User\Desktop\DATA SAS\kopi1.txt" DBMS=TAB REPLACE; GETNAMES=YES; DATAROW=2; RUN; data work.estimasi; set work.kopi1; PROD=LH*YIELD; CPPK=PPK*HPPK; COBT=OBT*HOBT; CBBT=BBT*HBBT; CSPR=CPPK+COBT+CBBT; CTK=AKL*UUD; CPR=CSPR+CTK; SHR=k*PROD*HKP; IUT=(PROD*HKP-SHR)-CPR; ILUT=AKDUL*UUL; IT=IUT+ILUT; KT=KP+KL; TEXP=KT+INV; TKU =AKD + AKL; TAK=AKD + AKDUL; LABEL AKL AKD TKU AKDUL TAK PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KP KL KT INV TEXP
= 'TK Luar Kel pd U/t' = 'TK Kel pd U/t' = 'TK pd U/t' = 'TK Kel pd Luar U/t' = 'Total TK Kel' = 'Penggunaan Pupuk' = 'Penggunaan Obat' = 'Penggunaan Bibit' = 'Luas Lahan Garapan' = 'Produktivitas U/t' = 'Produksi U/t' = 'Biaya Pupuk' = 'Biaya Obat' = 'Biaya Bibit' = 'Biaya Sarpra U/t' = 'Sharing Produksi' = 'Biaya TK Sewa' = 'Total Biaya Produksi' = 'Pendapatan U/t' ='Pendapatan Luar U/t' = 'Total Pendapatan RT' = 'Konsumsi Pangan RT' = 'Konsumsi Non-pgn RT' = 'Konsumsi Total RT' = 'Investasi SDM' ='Total Pengeluaran RT'
362
TAB KR HKP HPPK HOBT HBBT PDS PDI UKK UUD UUL JAK SBP SBT k PDD KES
= = = = = = = = = = = = = = = = =
'Tabungan RT' 'Kredit RT' 'Harga Kopi' 'Harga Pupuk' 'Harga Obat' 'Harga Bibit' 'Pendidikan Suami' 'Pendidikan Istri' 'Umur Kepala Keluarga' 'Upah U/t' 'Upah Luar U/t' 'Jumlah Angg. Kel.' 'Suku Bunga Kredit' 'Suku Bunga Tabungan' 'Konstanta Sharing' 'Biaya Pendidikan' 'Biaya Kesehatan';
PROC SYSLIN 2SLS DATA=work.estimasi OUTEST=A; ENDOGENOUS AKL AKD TKU AKDUL TAK PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KP KL KT INV TEXP TAB KR; INSTRUMENTS HKP PDS PDI UUD UUL HPPK HOBT HBBT JAK SBP SBT UKK k PDD KES ; MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL
AKL AKD AKDUL PPK OBT BBT LH YIELD KP KL INV TAB KR
IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY RUN;
= = = = = = = = = = = = =
TKU TAK PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KT TEXP
UUD AKD AKDUL; UUD AKDUL AKL ; TEXP PDS IUT; HPPK HKP LH; HOBT HKP LH ; HBBT LH ; IUT KR; AKD AKL UKK; IT TAB JAK; IT PDS TAB; IT JAK TAB; IT TEXP SBT; CSPR SBP ; = = = = = = = = = = = = = = =
AKD + AKL; AKD + AKDUL ; PROD ; CPPK ; COBT ; CBBT ; CPPK + COBT + CBBT; SHR ; CTK ; CTK + CSPR ; IUT ; ILUT ; IUT + ILUT ; KP + KL ; KT + INV
363
Lampiran 5. Program Komputer Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah dengan Metode 2 SLS, Prosedur SYSLIN, SAS/ETS Versi 9.1
OPTIONS NODATE NONUMBER; PROC IMPORT OUT= WORK.rumput1 DATAFILE= "C:\SAS_UPDATE\SAS_RUMPUT_10NOV09\rumput1-10Nov09.txt" DBMS=TAB REPLACE; GETNAMES=YES; DATAROW=2; data work.estimasi; set work.rumput1;
PRODRG=(LRG*YIELD); CPPKRG = (PPKRG*HPPKRG); COBTRG = (OBTRG*HOBTRG); CBBTRG = (BBTRG*HBBTRG); CSPRRG = (CPPKRG + COBTRG + CBBTRG); RUM = PRODRG*PRUM; SHRRG=(k*RUM); COTRG = (CSPRRG + SHRRG); YRUM = RUM - COTRG; TKSS=(TKDS+TKDUL); CMAK = (JMAK*HMAK); CSPRS =(RUM + CMAK); CTKS=(TKLS*UUDS); CTOS = (CSPRS + CTKS); RSS=(PRODSS*HSS); YSS = (RSS - CTOS); YRUL = (TKDUL*UUL); IT= (YRUM + YSS + YRUL); KT = (KP + KL); TEXP = (KT + INV); LABEL UKK PDS PDI JAK HPPKRG HOBTRG HBBTRG k JMAK HMAK PRUM HSS SP UUDRG UUDS UUL SBP SBT
= = = = = = = = = = = = = = = = = =
'Umur KK' 'Pendidikan Suami' 'Pendidikan Istri' 'Jumlah Anggota RT' 'Harga Pupuk' 'Harga Obat' 'Harga Bibit' 'Konstanta Sharing' 'Jumlah Konsentrat' 'Harga Konsentrat' 'Harga Rumput-gajah' 'Harga Susu' 'Jumlah Sapi' 'Upah u/t Rumput' 'Upah u/t Sapi' 'Upah Luar u/t' 'Suku Bunga Pinjaman' 'Suku Bunga Tabungan'
364
KL TKLS TKDRG TKDS TKDUL TKSS PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG SHRRG CTOTRG CMAK CSPRS CTKS CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KL KT INV TEXP TAB KR
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
'Konsumsi Non-pangan' 'Tenaga Kerja Sewaan' 'TK Kel. pd Rumput' 'TK Keluarga pd Sapi' 'TK Kel. pd Non u/t' 'Total TK Keluarga' 'Penggunaan Pupuk' 'Penggunaan Obat' 'Penggunaan Bibit' 'Luas Lahan Garapan' 'Produktivitas Lahan' 'Produksi RG' 'Produksi Susu' 'Penghasilan Rumput' 'Penghasilan Susu' 'Biaya Pupuk' 'Biaya Obat' 'Biaya Bibit' 'Biaya Sarprod RG' 'Biaya Sharing' 'Total Biaya Rumput' 'Biaya Konsentrat' 'Biaya Sarprod Sapi' 'Biaya TK Sewaan' 'Total Biaya Sapi' 'Pendapatan Rumput' 'Pendapatan Susu' 'Pendapatan Luar u/t' 'Pendapatan Total' 'Konsumsi Pangan' 'Konsumsi Non-Pgn' 'Konsumsi Total' 'Investasi SDM' 'Total Pengel. RT' 'Tabungan RT' 'Kredit RT';
PROC SYSLIN 2SLS data=work.estimasi OUTEST=HASIL; ENDOGENOUS TKLS TKDRG TKDS TKDUL TKSS PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG SHRRG CTOTRG CSPRS CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KT INV TEXP TAB KR; INSTRUMENTS UKK PDS PDI JAK HPPKRG HOBTRG HBBTRG K JMAK HMAK PRUM HSS SP UUDRG UUDS UUL SBP SBT KL; MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL
TKLS TKDRG TKDS TKDUL PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODSS KP INV
= = = = = = = = = = = =
TKDS UKK TKDUL; UUDRG LRG TKDS TKDUL; UUDS TKLS TKDRG UKK; UUL TEXP UKK CTOS; HPPKRG HSS LRG ; HOBTRG HSS LRG ; HBBTRG LRG IT; IT KR; BBTRG UKK TKLS; JMAK IT TKLS KR; TAB KL IT; KP PDS IT SHRRG;
365
MODEL TAB MODEL KR
= =
IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Run;
PRODRG CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG RUM SHRRG COTRG YRUM TKSS CMAK CSPRS CTKS CTOS RSS YSS YRUL IT KT TEXP
RSS TEXP SBT; SBP CSPRS; PRODRG; CPPKRG; COBTRG; CBBTRG; CPPKRG + COBTRG + CBBTRG; RUM; SHRRG; CSPRRG + SHRRG; RUM-COTRG; TKDS+TKDUL; CMAK; RUM + CMAK; CTKS; CSPRS + CTKS; RSS; RSS - CTOS; YRUL; YRUM + YSS + YRUL; KP + KL; KT + INV;
366
Lampiran 6. Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode 2 SLS, Prosedur SYSLIN, SAS/ETS Versi 9.1 Model AKL Dependent Variable AKL Label TK Luar Kel pd U/t Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 88024.69 29341.56 44.75 <.0001 Error 55 36063.51 655.7003 Corrected Total 58 96704.51 Root MSE 25.60664 R‐Square 0.70937 Dependent Mean 69.69492 Adj R‐Sq 0.69352 Coeff Var 36.74105 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 144.7975 11.86148 12.21 <.0001 Intercept UUD 1 ‐0.00040 0.000373 ‐1.07 0.2909 Upah U/t AKD 1 ‐0.23970 0.026123 ‐9.18 <.0001 TK Kel pd U/t IT 1 1.465E‐7 3.751E‐7 0.39 0.6977 Total Pendapatan RT Model AKD Dependent Variable AKD Label TK Kel pd U/t Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 1274592 424864.1 37.87 <.0001 Error 55 617068.5 11219.43 Corrected Total 58 1887094 Root MSE 105.92180 R‐Square 0.67380 Dependent Mean 293.93220 Adj R‐Sq 0.65600 Coeff Var 36.03613 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 566.8837 42.82994 13.24 <.0001 Intercept UUD 1 ‐0.00082 0.001663 ‐0.50 0.6224 Upah U/t AKDUL 1 ‐0.01230 0.057345 ‐0.21 0.8309 TK Kel pd Luar U/t AKL 1 ‐3.65631 0.372657 ‐9.81 <.0001 TK Luar Kel pd U/t
367
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model AKDUL Dependent Variable AKDUL Label TK Kel pd Luar U/t Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 1370654 456884.8 3.72 0.0166 Error 55 6759840 122906.2 Corrected Total 58 8226252 Root MSE 350.57977 R‐Square 0.16858 Dependent Mean 280.83051 Adj R‐Sq 0.12323 Coeff Var 124.83678 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐218.031 176.9407 ‐1.23 0.2231 Intercept TEXP 1 0.000028 0.000012 2.22 0.0308 Total Pengeluaran RT PDS 1 14.88138 22.28264 0.67 0.5070 Pendidikan Suami CPR 1 0.000031 0.000037 0.84 0.4037 Total Biaya Produksi Model PPK Dependent Variable PPK Label Penggunaan Pupuk Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 6.1631E8 2.0544E8 286.17 <.0001 Error 55 39483269 717877.6 Corrected Total 58 7.6908E8 Root MSE 847.27659 R‐Square 0.93979 Dependent Mean 6844.38983 Adj R‐Sq 0.93651 Coeff Var 12.37914 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1820.124 12791.30 0.14 0.8874 Intercept HPPK 1 ‐93.8586 39.74094 ‐2.36 0.0218 Harga Pupuk HKP 1 4.496019 3.280006 1.37 0.1760 Harga Kopi LH 1 4469.454 267.9726 16.68 <.0001 Luas Lahan Garapan
368
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model OBT Dependent Variable OBT Label Penggunaan Obat Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 22546289 7515430 226.51 <.0001 Error 55 1824842 33178.94 Corrected Total 58 27547458 Root MSE 182.15087 R‐Square 0.92512 Dependent Mean 1150.84746 Adj R‐Sq 0.92104 Coeff Var 15.82754 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1394.70 1971.872 ‐0.71 0.4824 Intercept HOBT 1 ‐3.47394 0.825232 ‐4.21 <.0001 Harga Obat HKP 1 0.940802 0.666164 1.41 0.1635 Harga Kopi LH 1 885.2941 53.77917 16.46 <.0001 Luas Lahan Garapan Model BBT Dependent Variable BBT Label Penggunaan Bibit Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 5954009 1984670 24829.3 <.0001 Error 55 4396.294 79.93263 Corrected Total 58 6765551 Root MSE 8.94050 R‐Square 0.99926 Dependent Mean 619.45763 Adj R‐Sq 0.99922 Coeff Var 1.44328 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 608.8332 109.4611 5.56 <.0001 Intercept HBBT 1 ‐1.11816 0.075262 ‐14.86 <.0001 Harga Bibit HKP 1 0.011553 0.032905 0.35 0.7269 Harga Kopi LH 1 419.0996 2.650756 158.11 <.0001 Luas Lahan Garapan
369
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LH Dependent Variable LH Label Luas Lahan Garapan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 5.925888 2.962944 4.58 0.0143 Error 56 36.20414 0.646503 Corrected Total 58 38.70961 Root MSE 0.80405 R‐Square 0.14066 Dependent Mean 1.47953 Adj R‐Sq 0.10997 Coeff Var 54.34539 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.874593 0.238222 3.67 0.0005 Intercept IT 1 1.258E‐9 2.645E‐8 0.05 0.9622 Total Pendapatan RT KR 1 3.827E‐7 3.612E‐7 1.06 0.2939 Kredit RT Model YIELD Dependent Variable YIELD Label Produktivitas U/t Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 2222035 555508.7 3.70 0.0098 Error 54 8100175 150003.2 Corrected Total 58 15712015 Root MSE 387.30252 R‐Square 0.21527 Dependent Mean 2783.33898 Adj R‐Sq 0.15714 Coeff Var 13.91503 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1641.049 864.9012 1.90 0.0631 Intercept PPK 1 0.029317 0.064270 0.46 0.6501 Penggunaan Pupuk AKD 1 2.547478 1.393075 1.83 0.0730 TK Kel pd U/t AKL 1 2.975999 4.295061 0.69 0.4913 TK Luar Kel pd U/t UKK 1 ‐0.30376 4.019560 ‐0.08 0.9400 Umur Kepala Keluarga
370
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KP Dependent Variable KP Label Konsumsi Pangan RT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 2.063E14 6.876E13 11.17 <.0001 Error 55 3.386E14 6.157E12 Corrected Total 58 5.08E14 Root MSE 2481366.46 R‐Square 0.37855 Dependent Mean 6958226.27 Adj R‐Sq 0.34465 Coeff Var 35.66091 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 3341292 970279.5 3.44 0.0011 Intercept IT 1 0.260835 0.051098 5.10 <.0001 Total Pendapatan RT TAB 1 ‐0.49445 0.178731 ‐2.77 0.0077 Tabungan RT JAK 1 182677.4 161259.1 1.13 0.2622 Jumlah Anggota Keluarga Model KL Dependent Variable KL Label Konsumsi Non‐pangan RT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 4.9E13 1.633E13 22.85 <.0001 Error 55 3.931E13 7.148E11 Corrected Total 58 8.787E13 Root MSE 845429.296 R‐Square 0.55488 Dependent Mean 1943561.02 Adj R‐Sq 0.53060 Coeff Var 43.49898 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 525722.0 224251.7 2.34 0.0227 Intercept IT 1 0.091808 0.017629 5.21 <.0001 Total Pendapatan RT INV 1 0.000657 0.049807 0.01 0.9895 Investasi SDM TAB 1 ‐0.03442 0.062035 ‐0.55 0.5813 Tabungan RT
371
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model INV Dependent Variable INV Label Investasi SDM Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3.973E13 1.324E13 2.56 0.0644 Error 55 2.847E14 5.176E12 Corrected Total 58 3.059E14 Root MSE 2274985.09 R‐Square 0.12247 Dependent Mean 1925779.66 Adj R‐Sq 0.07461 Coeff Var 118.13320 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 362224.3 889578.9 0.41 0.6855 Intercept IT 1 0.055704 0.046848 1.19 0.2395 Total Pendapatan RT JAK 1 304747.6 147846.8 2.06 0.0440 Jumlah Anggota Keluarga TAB 1 ‐0.24870 0.163866 ‐1.52 0.1348 Tabungan RT Model TAB Dependent Variable TAB Label Tabungan RT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 4.376E14 1.459E14 20.31 <.0001 Error 55 3.95E14 7.182E12 Corrected Total 58 1.245E15 Root MSE 2680001.48 R‐Square 0.52557 Dependent Mean 3189889.75 Adj R‐Sq 0.49970 Coeff Var 84.01549 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1.428E7 11967289 ‐1.19 0.2377 Intercept IT 1 0.234415 0.061719 3.80 0.0004 Total Pendapatan RT TEXP 1 ‐0.30754 0.111038 ‐2.77 0.0076 Total Pengeluaran RT SBT 1 2732979 2091868 1.31 0.1968 Suku Bunga Tabungan
372
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KR Dependent Variable KR Label Kredit RT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 1.447E13 4.822E12 6.25 0.0010 Error 55 4.246E13 7.721E11 Corrected Total 58 5.758E13 Root MSE 878680.387 R‐Square 0.25409 Dependent Mean 1525900.42 Adj R‐Sq 0.21340 Coeff Var 57.58439 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 11844573 6911544 1.71 0.0922 Intercept CSPR 1 0.192329 0.139974 1.37 0.1750 Biaya Sarpra U/t TEXP 1 0.061630 0.034751 1.77 0.0817 Total Pengeluaran RT SBP 1 ‐698010 414841.3 ‐1.68 0.0981 Suku Bunga Kredit
373
Lampiran 7. Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah dengan Metode 2 SLS, Prosedur SYSLIN, SAS/ETS Versi 9.1 Model TKLS Dependent Variable TKLS Label Tenaga Kerja Sewaan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 115558.4 38519.48 24.63 <.0001 Error 27 42230.96 1564.109 Corrected Total 30 141619.4 Root MSE 39.54882 R‐Square 0.73236 Dependent Mean 137.77419 Adj R‐Sq 0.70262 Coeff Var 28.70554 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 201.0925 28.27975 7.11 <.0001 Intercept TKDS 1 ‐0.13478 0.017314 ‐7.78 <.0001 TK Keluarga pd Sapi UKK 1 0.485960 0.676681 0.72 0.4788 Umur KK TKDUL 1 0.031074 0.041412 0.75 0.4595 TK Kel. pd Non u/t Model TKDRG Dependent Variable TKDRG Label TK Kel. pd Rumput Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 181897.2 45474.29 45.07 <.0001 Error 26 26235.56 1009.060 Corrected Total 30 215190.4 Root MSE 31.76570 R‐Square 0.87395 Dependent Mean 177.70968 Adj R‐Sq 0.85456 Coeff Var 17.87506 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 219.1408 159.3365 1.38 0.1808 Intercept UUDRG 1 ‐5.61959 4.791855 ‐1.17 0.2515 Upah u/t Rumput LRG 1 405.0101 229.1034 1.77 0.0888 Luas Lahan Garapan TKDS 1 0.156839 0.023741 6.61 <.0001 TK Keluarga pd Sapi TKDUL 1 ‐0.00914 0.034529 ‐0.26 0.7933 TK Kel. pd Non u/t
374
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TKDS Dependent Variable TKDS Label TK Keluarga pd Sapi Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 6700479 1675120 48.77 <.0001 Error 26 893002.4 34346.25 Corrected Total 30 8199180 Root MSE 185.32741 R‐Square 0.88240 Dependent Mean 660.16129 Adj R‐Sq 0.86431 Coeff Var 28.07305 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1469.557 641.6082 2.29 0.0304 Intercept UUDS 1 ‐32.6421 16.61456 ‐1.96 0.0602 Upah u/t Sapi TKLS 1 ‐2.08025 1.080885 ‐1.92 0.0653 Tenaga Kerja Sewaan TKDRG 1 4.267731 0.969850 4.40 0.0002 TK Kel. pd Rumput UKK 1 ‐1.70125 3.642624 ‐0.47 0.6444 Umur KK Model TKDUL Dependent Variable TKDUL Label TK Kel. pd Non u/t Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 818964.5 204741.1 8.34 0.0002 Error 26 638604.2 24561.70 Corrected Total 30 1468272 Root MSE 156.72173 R‐Square 0.56187 Dependent Mean 169.93548 Adj R‐Sq 0.49447 Coeff Var 92.22425 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐322.817 176.7334 ‐1.83 0.0793 Intercept UUL 1 11.96616 2.558065 4.68 <.0001 Upah Luar u/t TEXP 1 0.008415 0.013657 0.62 0.5432 Total Pengel. RT UKK 1 1.894592 2.958087 0.64 0.5275 Umur KK CTOS 1 0.006151 0.007300 0.84 0.4071 Total Biaya Sapi
375
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PPKRG Dependent Variable PPKRG Label Penggunaan Pupuk Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 38734790 12911597 62.93 <.0001 Error 27 5539530 205167.8 Corrected Total 30 44059256 Root MSE 452.95449 R‐Square 0.87488 Dependent Mean 3014.25806 Adj R‐Sq 0.86098 Coeff Var 15.02706 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐30845.8 9006.124 ‐3.42 0.0020 Intercept HPPKRG 1 ‐18389.9 52111.17 ‐0.35 0.7269 Harga Pupuk HSS 1 11691.15 1821.130 6.42 <.0001 Harga Susu LRG 1 9314.649 3847.088 2.42 0.0225 Luas Lahan Garapan Model OBTRG Dependent Variable OBTRG Label Penggunaan Obat Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 390.5574 130.1858 13.89 <.0001 Error 27 253.1143 9.374604 Corrected Total 30 639.0968 Root MSE 3.06180 R‐Square 0.60676 Dependent Mean 5.35484 Adj R‐Sq 0.56307 Coeff Var 57.17815 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐27.1380 51.65190 ‐0.53 0.6036 Intercept HOBTRG 1 ‐2.15748 0.867436 ‐2.49 0.0194 Harga Obat HSS 1 40.40616 12.25896 3.30 0.0027 Harga Susu LRG 1 15.71534 24.12799 0.65 0.5203 Luas Lahan Garapan
376
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model BBTRG Dependent Variable BBTRG Label Penggunaan Bibit Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 857684.3 285894.8 10.96 <.0001 Error 27 704231.1 26082.63 Corrected Total 30 1540149 Root MSE 161.50119 R‐Square 0.54912 Dependent Mean 528.22581 Adj R‐Sq 0.49903 Coeff Var 30.57427 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 48.98605 437.4340 0.11 0.9117 Intercept HBBTRG 1 ‐1686.09 4373.107 ‐0.39 0.7028 Harga Bibit LRG 1 3226.009 1946.244 1.66 0.1090 Luas Lahan Garapan IT 1 0.004708 0.006139 0.77 0.4499 Pendapatan Total Model LRG Dependent Variable LRG Label Luas Lahan Garapan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 0.034154 0.017077 76.10 <.0001 Error 28 0.006283 0.000224 Corrected Total 30 0.040697 Root MSE 0.01498 R‐Square 0.84462 Dependent Mean 0.15032 Adj R‐Sq 0.83352 Coeff Var 9.96507 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.048620 0.009721 5.00 <.0001 Intercept IT 1 2.232E‐6 2.895E‐7 7.71 <.0001 Pendapatan Total KR 1 6.477E‐6 2.268E‐6 2.86 0.0080 Kredit RT
377
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model YIELD Dependent Variable YIELD Label Produktivitas Lahan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 86.95563 28.98521 1.62 0.2072 Error 27 482.1498 17.85740 Corrected Total 30 573.4839 Root MSE 4.22580 R‐Square 0.15279 Dependent Mean 402.12903 Adj R‐Sq 0.05866 Coeff Var 1.05086 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 392.2422 6.823779 57.48 <.0001 Intercept BBTRG 1 0.015604 0.008143 1.92 0.0660 Penggunaan Bibit UKK 1 ‐0.06324 0.078551 ‐0.81 0.4278 Umur KK TKLS 1 0.031184 0.025227 1.24 0.2271 Tenaga Kerja Sewaan Model PRODSS Dependent Variable PRODSS Label Produksi Susu Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 4.3077E8 1.0769E8 43.43 <.0001 Error 26 64471228 2479663 Corrected Total 30 4.9857E8 Root MSE 1574.69445 R‐Square 0.86982 Dependent Mean 16690.6452 Adj R‐Sq 0.84979 Coeff Var 9.43459 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2458.994 3402.348 0.72 0.4763 Intercept JMAK 1 4.053594 1.744316 2.32 0.0282 Jumlah Konsentrat IT 1 0.219179 0.044880 4.88 <.0001 Pendapatan Total TKLS 1 8.148936 9.762145 0.83 0.4115 Tenaga Kerja Sewaan KR 1 0.208230 0.316028 0.66 0.5158 Kredit RT
378
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KP Dependent Variable KP Label Konsumsi Pangan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 2.386E8 79532266 54.56 <.0001 Error 27 39359921 1457775 Corrected Total 30 3.0183E8 Root MSE 1207.38348 R‐Square 0.85840 Dependent Mean 6830.00000 Adj R‐Sq 0.84266 Coeff Var 17.67765 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 6459.766 2137.736 3.02 0.0054 Intercept TAB 1 ‐0.53048 0.102352 ‐5.18 <.0001 Tabungan RT KL 1 ‐1.84379 0.404417 ‐4.56 <.0001 Konsumsi Non‐Pgn IT 1 0.507796 0.108877 4.66 <.0001 Pendapatan Total Model INV Dependent Variable INV Label Investasi SDM Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 14987265 3746816 1.15 0.3573 Error 26 85038499 3270711 Corrected Total 30 98610554 Root MSE 1808.51085 R‐Square 0.14983 Dependent Mean 1648.16129 Adj R‐Sq 0.01904 Coeff Var 109.72900 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐768.391 1842.990 ‐0.42 0.6802 Intercept KP 1 ‐0.11511 0.208267 ‐0.55 0.5852 Konsumsi Pangan PDS 1 358.8610 181.5997 1.98 0.0588 Pendidikan Suami IT 1 0.022321 0.063024 0.35 0.7261 Pendapatan Total SHRRG 1 ‐0.05676 3.497896 ‐0.02 0.9872 Biaya Sharing
379
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TAB Dependent Variable TAB Label Tabungan RT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3.2457E9 1.0819E9 55.65 <.0001 Error 27 5.2491E8 19441276 Corrected Total 30 3.8815E9 Root MSE 4409.22619 R‐Square 0.86079 Dependent Mean 21870.5484 Adj R‐Sq 0.84532 Coeff Var 20.16057 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐67369.6 13825.36 ‐4.87 <.0001 Intercept RSS 1 0.673837 0.080384 8.38 <.0001 Penghasilan Susu TEXP 1 ‐0.20673 0.372191 ‐0.56 0.5832 Total Pengel. RT SBT 1 8408.505 2056.701 4.09 0.0004 Suku Bunga Tabungan Model KR Dependent Variable KR Label Kredit RT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 45853183 22926591 17.65 <.0001 Error 28 36373940 1299069 Corrected Total 30 82872525 Root MSE 1139.76721 R‐Square 0.55764 Dependent Mean 5132.22581 Adj R‐Sq 0.52604 Coeff Var 22.20805 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 8843.576 12409.55 0.71 0.4820 Intercept SBP 1 ‐457.590 732.8396 ‐0.62 0.5374 Suku Bunga Pinjaman CSPRS 1 0.159724 0.037057 4.31 0.0002 Biaya Sarprod Sapi
380
Lampiran 8.
Program Komputer Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1
OPTIONS NONUMBER; PROC IMPORT OUT= WORK.kopi DATAFILE= "C:\COFFEE-3\EXPOR-KP1.xls" DBMS=EXCEL REPLACE; SHEET="expor-kp"; GETNAMES=YES; MIXED=NO; SCANTEXT=YES; USEDATE=YES; SCANTIME=YES; RUN; data work.estimasi; set work.kopi; PROD=LH*YIELD; CPPK=PPK*HPPK; COBT=OBT*HOBT; CBBT=BBT*HBBT; CSPR=CPPK+COBT+CBBT; SHR=k*PROD*HKP; CTK=AKL*UUD; CPR=CSPR+SHR+CTK; IUT=(PROD*HKP)-CPR; ILUT=AKDUL*UUL; IT=IUT+ILUT; KT=KP+KL; TEXP=KT+INV; TAK=AKD + AKDUL; TAU=AKD + AKL;
LABEL AKD AKDUL TAK TAU AKL PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KP KL KT INV TEXP TAB KR HKP HPPK HOBT HBBT PDS PDI
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
'TK Kel pd U/t' 'TK Kel pd Luar U/t' 'Total TK Kel' 'Total TK pd U/t' 'TK Luar Kel pd U/t' 'Penggunaan Pupuk' 'Penggunaan Obat' 'Penggunaan Bibit' 'Luas Lahan Garapan' 'Produktivitas U/t' 'Produksi U/t' 'Biaya Pupuk' 'Biaya Obat' 'Biaya Bibit' 'Biaya Sarpra U/t' 'Sharing Produksi' 'Biaya TK Sewa' 'Total Biaya Produksi' 'Pendapatan U/t' 'Pendapatan Luar U/t' 'Total Pendapatan RT' 'Konsumsi Pangan RT' 'Konsumsi Non-pangan RT' 'Konsumsi Total RT' 'Investasi SDM' 'Total Pengeluaran RT' 'Tabungan RT' 'Kredit RT' 'Harga Kopi' 'Harga Pupuk' 'Harga Obat' 'Harga Bibit' 'Pendidikan Suami' 'Pendidikan Istri'
381
UKK UUD UUL JAK SBP SBT k PDD KES
= = = = = = = = =
'Umur Kepala Keluarga' 'Upah U/t' 'Upah Luar U/t' 'Jumlah Anggota Keluarga' 'Suku Bunga Kredit' 'Suku Bunga Tabungan' 'Konstanta Sharing' 'Biaya Pendidikan' 'Biaya Kesehatan';
PROC SimnLIN data=work.estimasi simulate stat theil ; ENDOGENOUS AKL AKD TAU AKDUL TAK PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KP KL KT INV TEXP TAB KR; EXOGENOUS HKP PDS PDI UUD UUL HPPK HOBT HBBT JAK SBP SBT UKK K PDD KES ; PARM a0 144.5410 b0 566.8837 c0 -218.031 d0 1820.124 e0 -1394.70 f0 608.8332 g0 0.874593 h0 1641.049 i0 3341292 j0 525722.0 k0 362224.3 l0 -1.428E7 m0 11844573 AKL AKD AKDUL PPK OBT BBT LH YIELD KP KL INV TAB KR
= = = = = = = = = = = = =
a0 b0 c0 d0 e0 f0 g0 h0 i0 j0 k0 l0 m0
a1 b1 c1 d1 e1 f1 g1 h1 i1 j1 k1 l1 m1 + + + + + + + + + + + + +
-0.00040 -0.00082 0.000028 -93.8586 -3.47394 -1.11816 1.258E-9 0.029317 0.260835 0.091808 0.055704 0.234415 0.192329
-0.23929 -0.01230 14.88138 4.496019 0.940802 0.011553 3.827E-7 2.547478 -0.49445 0.000657 304747.6 -0.30754 0.061630
a3 b3 c3 d3 e3 f3
1.521E-7 -3.65631 0.000031 4469.454 885.2941 419.0996
h3 i3 j3 k3 l3 m3
2.975999 h4 -0.30376 182677.4 -0.03442 -0.24870 2732979 -698010;
a1*UUD + a2*AKD + a3*IT; b1*UUD + b2*AKDUL + b3*AKL ; c1*TEXP + c2*PDS + c3*CPR ; d1*HPPK + d2*HKP + d3*LH; e1*HOBT + e2*HKP + e3*LH; f1*HBBT + f2*HKP + f3*LH; g1*IT+ g2*KR ; h1*PPK + h2*AKD + h3*AKL + h4*UKK ; i1*IT + i2*TAB + i3*JAK; j1*IT + j2*INV + j3*TAB; k1*IT + k2*JAK + k3*TAB; l1*IT + l2*TEXP + l3*SBT; m1*CSPR + m2*TEXP + m3*SBP;
PROD=LH*YIELD; CPPK=PPK*HPPK; COBT=OBT*HOBT; CBBT=BBT*HBBT; CSPR=CPPK+COBT+CBBT; SHR=k*PROD*HKP; CTK=AKL*UUD; CPR=CSPR+SHR+CTK; IUT=(PROD*HKP)-CPR; ILUT=AKDUL*UUL; IT=IUT+ILUT; KT=KP+KL; TEXP=KT+INV; TAK=AKD + AKDUL; TAU=AKD + AKL; Run;
a2 b2 c2 d2 e2 f2 g2 h2 i2 j2 k2 l2 m2
382
Lampiran 9.
Program Komputer Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1
OPTIONS NODATE NONUMBER; PROC IMPORT OUT= WORK.rumput1 DATAFILE= "C:\SAS_UPDATE\SAS_RUMPUT_10NOV09\rumput1-10Nov09.txt" DBMS=TAB REPLACE; GETNAMES=YES; DATAROW=2; data work.estimasi; set work.rumput1; PRODRG=(LRG*YIELD); CPPKRG = (PPKRG*HPPKRG); COBTRG = (OBTRG*HOBTRG); CBBTRG = (BBTRG*HBBTRG); CSPRRG = (CPPKRG + COBTRG + CBBTRG); RUM = PRODRG*PRUM; SHRRG=(k*RUM); COTRG = (CSPRRG + SHRRG); YRUM = RUM - COTRG; TKSS=(TKDS+TKDUL); CMAK = (JMAK*HMAK); CSPRS =(RUM + CMAK); CTKS=(TKLS*UUDS); CTOS = (CSPRS + CTKS); RSS=(PRODSS*HSS); YSS = (RSS - CTOS); YRUL = (TKDUL*UUL); IT= (YRUM + YSS + YRUL); KT = (KP + KL); TEXP = (KT + INV); LABEL UKK PDS PDI JAK HPPKRG HOBTRG HBBTRG k JMAK HMAK PRUM HSS SP UUDRG UUDS UUL SBP SBT KL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = =
'Umur KK' 'Pendidikan Suami' 'Pendidikan Istri' 'Jumlah Anggota RT' 'Harga Pupuk' 'Harga Obat' 'Harga Bibit' 'Konstanta Sharing' 'Jumlah Konsentrat' 'Harga Konsentrat' 'Harga Rumput-gajah' 'Harga Susu' 'Jumlah Sapi' 'Upah u/t Rumput' 'Upah u/t Sapi' 'Upah Luar u/t' 'Suku Bunga Pinjaman' 'Suku Bunga Tabungan' 'Konsumsi Non-pangan'
383
TKLS TKDRG TKDS TKDUL TKSS PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG SHRRG CTOTRG CMAK CSPRS CTKS CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KL KT INV TEXP TAB KR Run;
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
'Tenaga Kerja Sewaan' 'TK Keluarga pd Rumput' 'TK Keluarga pd Sapi' 'TK Kel. pd Non u/t' 'Total TK Keluarga' 'Penggunaan Pupuk' 'Penggunaan Obat' 'Penggunaan Bibit' 'Luas Lahan Garapan' 'Produktivitas Lahan' 'Produksi RG' 'Produksi Susu' 'Penghasilan Rumput' 'Penghasilan Susu' 'Biaya Pupuk' 'Biaya Obat' 'Biaya Bibit' 'Biaya Sarprod RG' 'Biaya Sharing' 'Total Biaya Rumput' 'Biaya Konsentrat' 'Biaya Sarprod Sapi' 'Biaya TK Sewaan' 'Total Biaya Sapi' 'Pendapatan Rumput' 'Pendapatan Susu' 'Pendapatan Luar u/t' 'Pendapatan Total' 'Konsumsi Pangan' 'Konsumsi Non-Pgn' 'Konsumsi Total' 'Investasi SDM' 'Total Pengel. RT' 'Tabungan RT' 'Kredit RT';
proc SIMNLIN DATA=work.estimasi simulate stat outpredict theil; ENDOGENOUS TKLS TKDRG TKDS TKDUL TKSS PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG SHRRG CTOTRG CMAK CSPRS CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KT INV TEXP TAB KR; EXOGENOUS UKK PDS PDI JAK HPPKRG HOBTRG HBBTRG K JMAK HMAK PRUM HSS SP UUDRG UUDS UUL SBP SBT KL; PARM a0 201.0925 b0 219.1408 c0 1469.557 d0 -322.817 e0 -30845.8 f0 -27.1380 g0 48.98605 h0 0.048620 i0 392.2422 j0 2458.994 k0 6459.766
a1 b1 c1 d1 e1 f1 g1 h1 i1 j1 k1
-0.13478 -5.61959 -32.6421 11.96616 -18389.9 -2.15748 -1686.09 2.232E-6 0.015604 4.053594 -0.53048
a2 b2 c2 d2 e2 f2 g2 h2 i2 j2 k2
0.485960 405.0101 -2.08025 0.008415 11691.15 40.40616 3226.009 6.477E-6 -0.06324 0.219179 -1.84379
a3 b3 c3 d3 e3 f3 g3
0.031074 0.156839 4.267731 1.894592 9314.649 15.71534 0.004708
i3 0.031184 j3 8.148936 k3 0.507796
b4 -0.00914 c4 -1.70125 d4 0.006151
j4
0.208230
384
l0 -768.391 m0 -67369.6 n0 8843.57
l1 -0.11511 m1 0.673837 n1 -457.590
TKLS TKDRG TKDS TKDUL PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODSS KP INV TAB KR
= = = = = = = = = = = = = =
a0 b0 c0 d0 e0 f0 g0 h0 i0 j0 k0 l0 m0 n0
PRODRG CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG RUM SHRRG CTOTRG YRUM
= = = = = = = = =
(LRG*YIELD); (PPKRG*HPPKRG); (OBTRG*HOBTRG); (BBTRG*HBBTRG); (CPPKRG + COBTRG + CBBTRG); PRODRG*PRUM; (k*RUM); (CSPRRG + SHRRG); RUM - COTRG;
TKSS CMAK CSPRS CTOS RSS YSS YRUL IT KT TEXP
= = = = = = = = = =
(TKDS+TKDUL); (JMAK*HMAK); (RUM + CMAK); (CSPRS + CTKS); (PRODSS*HSS); (RSS - CTOS); (TKDUL*UUL); (YRUM + YSS + YRUL); (KP + KL); (KT + INV);
run;
+ + + + + + + + + + + + + +
l2 358.8610 l3 0.022321 m2 -0.20673 m3 8408.505 n2 0.159724 ;
a1*TKDS + a2*UKK + a3*TKDUL; b1*UUDRG + b2*LRG + b3*TKDS + b4*TKDUL; c1*UUDS + c2*TKLS + c3*TKDRG + c4*UKK; d1*UUL + d2*TEXP + d3*UKK + d4*CTOS; e1*HPPKRG + e2*HSS + e3*LRG; f1*HOBTRG + f2*HSS + f3*LRG ; g1*HBBTRG + g2*LRG + g3*it; h1*IT + h2*KR ; i1*BBTRG + i2*UKK + i3*TKLS; j1*JMAK + j2*IT + j3*TKLS + j4*KR; k1*TAB + k2*KL + k3*IT; l1*KP + l2*PDS + l3*IT + l4*SHRRG; m1*RSS + m2*TEXP + m3*SBT; n1*SBP + n2*CSPRS;
l4
-0.05676
385
Lampiran 10. Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 43 Endogenous 28 Exogenous 15 Parameters 52 Equations 28 Number of Statements 28 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= ESTIMASI Solution Summary Variables Solved 28 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 7.786E‐9 Maximum Iterations 3 Total Iterations 176 Average Iterations 2.983051 Observations Processed Read 59 Solved 59 Variables AKL AKD TKU AKDUL TAK PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT Solved For CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KP KL KT INV TEXP TAB KR
386
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev AKL 59 59 69.6949 40.8328 75.9568 16.5460 AKD 59 59 293.9 180.4 269.9 53.6190 TKU 59 59 363.6 148.7 345.9 37.1604 AKDUL 59 59 280.8 376.6 375.0 96.2340 TAK 59 59 574.8 400.5 645.0 96.9197 PPK 59 59 6844.4 3641.4 7005.2 683.9 OBT 59 59 1150.8 689.2 1182.7 168.3 BBT 59 59 619.5 341.5 634.5 50.9736 LH 59 59 1.4795 0.8169 1.5155 0.1226 YIELD 59 59 2783.3 520.5 2745.6 86.1442 PROD 59 59 3936.4 2178.8 4159.5 341.5 CPPK 59 59 1025861 543346 1051476 93973.4 COBT 59 59 457958 272709 467262 49380.8 CBBT 59 59 355314 196117 363977 29115.9 CSPR 59 59 1839133 998277 1882716 167918 SHR 59 59 1626947 853975 1736622 150195 CTK 59 59 1141953 952659 1208230 671880 CPR 59 59 4608033 2386421 4827567 858262 IUT 59 59 6238281 3646373 6749911 584580 ILUT 59 59 10387258 14348664 13862593 3890740 IT 59 59 16625538 14494934 20612505 4085429 KP 59 59 6958226 2959384 7713022 1440556 KL 59 59 1943561 1230839 2289786 373484 KT 59 59 8901787 3731123 10002808 1791249 INV 59 59 1925780 2296380 2004438 858885 TEXP 59 59 10827567 4630352 12007246 2602655 TAB 59 59 3189890 4634002 3766584 1167606 KR 59 59 1525900 996333 1606976 309332
387
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error AKL 59 6.2619 45.6506 32.9687 66.2785 40.4220 99.8416 AKD 59 ‐23.9878 34.9742 143.1 67.6267 178.8 101.0 TKU 59 ‐17.7259 8.1867 117.1 32.0668 147.4 36.6341 AKDUL 59 94.1923 . 271.3 . 399.2 . TAK 59 70.2046 76.0959 278.2 91.6020 400.8 160.9 PPK 59 160.8 66.7710 3110.7 92.7924 3728.3 188.6 OBT 59 31.8638 55.1244 613.5 84.0418 731.1 129.7 BBT 59 15.0827 46.3957 279.0 71.4009 338.3 110.0 LH 59 0.0360 46.3519 0.6662 71.3120 0.8084 110.0 YIELD 59 ‐37.7580 1.5183 403.6 13.8789 514.2 16.3480 PROD 59 223.1 38.2723 1742.9 58.6698 2207.3 82.5681 CPPK 59 25615.1 66.7710 467530 92.7924 560802 188.6 COBT 59 9304.2 55.1244 242513 84.0418 288537 129.7 CBBT 59 8663.6 46.3957 160273 71.4009 194433 110.0 CSPR 59 43582.9 53.9020 868189 80.6864 1031491 138.1 SHR 59 109675 38.2723 719332 58.6698 897613 82.5681 CTK 59 66276.9 . 525318 . 746258 . CPR 59 219535 38.5670 2073838 62.9573 2519216 93.1571 IUT 59 511631 40.3988 2851052 58.3477 3621565 78.6176 ILUT 59 3475336 . 10111326 . 15126643 . IT 59 3986966 82.0500 10603471 95.6067 15445563 146.8 KP 59 754796 32.9850 2868221 52.0934 3431804 68.3869 KL 59 346225 56.6315 1047941 72.6937 1350556 100.5 KT 59 1101021 33.9963 3714942 52.2505 4425131 67.4756 INV 59 78658.2 77.7023 1402856 107.2 2183139 148.6 TEXP 59 1179679 30.1944 4320366 48.3623 5306701 63.3065 TAB 59 576695 . 3192432 . 4229724 . KR 59 81075.1 46.8442 708677 66.5219 993622 109.4
388
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) AKL 59 1633.9 0.24 0.02 0.03 0.95 0.35 0.62 AKD 59 31972.2 0.18 0.02 0.01 0.97 0.49 0.49 TKU 59 21724.1 0.16 0.01 0.01 0.98 0.56 0.42 AKDUL 59 159375 ‐0.03 0.06 0.07 0.87 0.48 0.46 TAK 59 160663 0.15 0.03 0.01 0.96 0.56 0.41 PPK 59 13900569 ‐0.08 0.00 0.07 0.93 0.62 0.38 OBT 59 534508 ‐0.17 0.00 0.15 0.85 0.50 0.50 BBT 59 114478 0.09 0.00 0.00 0.99 0.72 0.27 LH 59 0.6535 0.09 0.00 0.00 0.99 0.73 0.27 YIELD 59 264399 0.12 0.01 0.00 0.99 0.70 0.29 PROD 59 4872167 ‐0.03 0.01 0.03 0.96 0.68 0.31 CPPK 59 3.145E11 ‐0.15 0.00 0.10 0.90 0.63 0.37 COBT 59 8.325E10 ‐0.29 0.00 0.19 0.80 0.59 0.41 CBBT 59 3.78E10 0.08 0.00 0.00 0.99 0.73 0.27 CSPR 59 1.064E12 ‐0.17 0.00 0.10 0.90 0.64 0.36 SHR 59 8.057E11 ‐0.22 0.01 0.14 0.85 0.60 0.38 CTK 59 5.569E11 0.62 0.01 0.01 0.98 0.14 0.85 CPR 59 6.346E12 0.01 0.01 0.11 0.88 0.36 0.63 IUT 59 1.312E13 0.13 0.02 0.00 0.98 0.70 0.28 ILUT 59 2.288E14 0.00 0.05 0.06 0.88 0.47 0.48 IT 59 2.386E14 0.00 0.07 0.07 0.87 0.45 0.49 KP 59 1.178E13 ‐0.07 0.05 0.22 0.73 0.19 0.76 KL 59 1.824E12 ‐0.09 0.07 0.12 0.81 0.40 0.54 KT 59 1.958E13 ‐0.12 0.06 0.25 0.69 0.19 0.75 INV 59 4.766E12 0.30 0.00 0.01 0.99 0.43 0.57 TEXP 59 2.816E13 0.04 0.05 0.20 0.75 0.14 0.81 TAB 59 1.789E13 0.46 0.02 0.05 0.93 0.66 0.32 KR 59 9.873E11 0.15 0.01 0.03 0.97 0.47 0.52
389
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics Inequality Coef Variable U1 U Label AKL 0.5015 0.2553 TK Luar Kel pd U/t AKD 0.5197 0.2888 TK Kel pd U/t TKU 0.3756 0.1991 Total TK pd U/t AKDUL 0.8545 0.4674 TK Kel pd Luar U/t TAK 0.5738 0.2968 Total TK Kel PPK 0.4818 0.2523 Penggunaan Pupuk OBT 0.5462 0.2886 Penggunaan Obat BBT 0.4793 0.2520 Penggunaan Bibit LH 0.4793 0.2521 Luas Lahan Garapan YIELD 0.1816 0.0922 Produktivitas U/t PROD 0.4916 0.2548 Produksi U/t CPPK 0.4840 0.2533 Biaya Pupuk COBT 0.5425 0.2881 Biaya Obat CBBT 0.4800 0.2525 Biaya Bibit CSPR 0.4939 0.2593 Biaya Sarpra U/t SHR 0.4894 0.2509 Sharing Produksi CTK 0.5036 0.2608 Biaya TK Sewa CPR 0.4863 0.2499 Total Biaya Produksi IUT 0.5023 0.2590 Pendapatan U/t ILUT 0.8587 0.4726 Pendapatan Luar U/t IT 0.7028 0.3593 Total Pendapatan RT KP 0.4544 0.2229 Konsumsi Pangan RT KL 0.5885 0.2927 Konsumsi Non‐pangan RT KT 0.4590 0.2235 Konsumsi Total RT INV 0.7321 0.4231 Investasi SDM TEXP 0.4512 0.2207 Total Pengeluaran RT TAB 0.7562 0.4437 Tabungan RT KR 0.5466 0.2877 Kredit Rumahtangga
390
Lampiran 11.
Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 52 Endogenous 33 Exogenous 19 Parameters 59 Equations 33 Number of Statements 33 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= ESTIMASI Solution Summary Variables Solved 33 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 6.545E‐9 Maximum Iterations 3 Total Iterations 63 Average Iterations 2.032258 Observations Processed Read 31 Solved 31
391
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev TKLS 31 31 137.8 68.7070 129.8 136.8 TKDRG 31 31 177.7 84.6936 187.9 157.2 TKDS 31 31 660.2 522.8 720.2 1008.2 TKDUL 31 31 169.9 221.2 172.9 195.6 TKSS 31 31 830.1 662.8 893.1 1060.5 PPKRG 31 31 3014.3 1211.9 3032.2 1226.2 OBTRG 31 31 5.3548 4.6155 5.3851 3.6808 BBTRG 31 31 528.2 226.6 538.2 263.1 LRG 31 31 0.1503 0.0368 0.1522 0.0527 YIELD 31 31 402.1 4.3722 402.0 6.2349 PRODRG 31 31 60.5161 15.0460 61.4502 21.8478 PRODSS 31 31 16690.6 4076.6 16805.3 6317.1 RUM 31 31 6089.5 1798.6 6211.9 2534.5 RSS 31 31 50500.9 12938.3 50942.6 19798.7 CPPKRG 31 31 452.4 181.4 455.0 183.6 COBTRG 31 31 226.6 193.5 227.9 154.7 CBBTRG 31 31 47.1194 21.2093 48.3451 25.4834 CSPRRG 31 31 726.0 375.4 731.3 350.2 SHRRG 31 31 913.4 269.8 931.8 380.2 CTOTRG 31 31 1626.5 520.0 1663.0 706.7 CMAK 31 31 17067.1 5361.5 17067.1 5361.5 CSPRS 31 31 23156.6 7075.8 23278.9 7571.9 CTOS 31 31 28254.8 5116.5 28377.1 5702.1 YRUM 31 31 4450.1 1230.2 4572.4 2081.9 YSS 31 31 22246.1 8725.7 22565.6 14588.8 YRUL 31 31 3980.2 5324.1 4340.6 5242.1 IT 31 31 30676.4 12096.0 31478.5 20471.8 KP 31 31 6830.0 3171.9 7108.2 5099.6 KT 31 31 8785.4 2360.0 9063.6 4567.1 INV 31 31 1648.2 1813.0 1633.0 657.1 TEXP 31 31 10433.5 2997.1 10696.6 4466.0 TAB 31 31 21870.5 11374.7 22113.8 14280.9 KR 31 31 5132.2 1662.1 5151.8 1313.1
392
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error TKLS 31 ‐8.0021 12.4502 100.7 80.1050 140.6 103.1 TKDRG 31 10.1728 34.2853 124.8 95.4416 170.9 162.2 TKDS 31 60.0628 120.0 763.7 265.2 1038.7 586.1 TKDUL 31 2.9574 . 102.5 . 155.3 . TKSS 31 63.0202 39.1617 756.4 173.2 1029.9 328.7 PPKRG 31 17.9655 2.2735 433.4 16.2624 535.0 20.7999 OBTRG 31 0.0303 8.7972 1.9876 61.1949 2.7463 108.1 BBTRG 31 9.9984 5.6872 164.7 36.9078 199.3 47.3797 LRG 31 0.00193 2.1992 0.0291 20.7752 0.0364 27.0148 YIELD 31 ‐0.0936 ‐0.0175 4.8760 1.2119 6.1642 1.5299 PRODRG 31 0.9341 2.3833 12.1451 21.5601 15.1041 27.7589 PRODSS 31 114.7 ‐0.2334 3474.7 22.4641 4134.8 28.1070 RUM 31 122.3 2.3833 1215.3 21.5601 1523.3 27.7589 RSS 31 441.8 ‐0.2334 10477.9 22.4641 12476.5 28.1070 CPPKRG 31 2.6437 2.2735 65.0597 16.2624 80.2620 20.7999 COBTRG 31 1.3571 8.7972 84.2980 61.1949 116.3 108.1 CBBTRG 31 1.2258 5.6872 14.6855 36.9078 18.0708 47.3797 CSPRRG 31 5.2266 1.6591 137.2 21.6635 172.4 25.4856 SHRRG 31 18.3473 2.3833 182.3 21.5601 228.5 27.7589 CTOTRG 31 36.5557 1.0077 282.7 18.5890 380.7 24.3814 CMAK 31 0 0 0 0 0 0 CSPRS 31 122.3 0.5026 1215.3 5.7071 1523.3 7.3090 CTOS 31 122.3 0.2785 1215.3 4.4255 1523.3 5.5387 YRUM 31 122.3 3.3978 1215.3 29.0474 1523.3 37.0634 YSS 31 319.4 ‐12.5591 9287.8 72.8496 11037.1 157.6 YRUL 31 360.3 . 2035.5 . 4194.6 . IT 31 802.1 ‐3.9105 11065.3 46.6661 13457.1 71.3054 KP 31 278.2 3.5747 2978.3 51.1918 3920.5 65.5802 KT 31 278.2 3.1695 2978.3 35.5479 3920.5 46.1465 INV 31 ‐15.1212 67.3893 985.9 95.4431 1619.1 168.8 TEXP 31 263.0 4.3144 2921.5 29.2033 4066.6 41.4133 TAB 31 243.3 13.9097 7044.7 78.0567 8734.9 171.3 KR 31 19.5399 3.8106 778.8 14.5579 1143.5 20.0840
393
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) TKLS 31 19767.7 0.16 0.00 0.77 0.22 0.23 0.77 TKDRG 31 29211.9 0.07 0.00 0.76 0.24 0.17 0.82 TKDS 31 1078903 0.17 0.00 0.76 0.24 0.21 0.79 TKDUL 31 24118.8 0.72 0.00 0.05 0.95 0.03 0.97 TKSS 31 1060672 0.34 0.00 0.64 0.36 0.14 0.85 PPKRG 31 286199 0.90 0.00 0.06 0.94 0.00 1.00 OBTRG 31 7.5423 0.80 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 BBTRG 31 39705.4 0.67 0.00 0.30 0.69 0.03 0.97 LRG 31 0.00132 0.71 0.00 0.51 0.49 0.18 0.81 YIELD 31 37.9968 0.34 0.00 0.57 0.43 0.09 0.91 PRODRG 31 228.1 0.71 0.00 0.52 0.47 0.20 0.80 PRODSS 31 17096749 0.75 0.00 0.59 0.40 0.28 0.72 RUM 31 2320318 0.80 0.01 0.50 0.49 0.23 0.77 RSS 31 1.5566E8 0.78 0.00 0.59 0.41 0.29 0.71 CPPKRG 31 6442.0 0.90 0.00 0.06 0.94 0.00 1.00 COBTRG 31 13531.6 0.79 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 CBBTRG 31 326.6 0.71 0.00 0.33 0.67 0.05 0.94 CSPRRG 31 29731.1 0.89 0.00 0.01 0.99 0.02 0.98 SHRRG 31 52207.2 0.80 0.01 0.50 0.49 0.23 0.77 CTOTRG 31 144946 0.85 0.01 0.48 0.51 0.23 0.76 CMAK 31 0 . . . . . . CSPRS 31 2320318 0.98 0.01 0.17 0.82 0.10 0.89 CTOS 31 2320318 0.97 0.01 0.24 0.75 0.14 0.85 YRUM 31 2320318 0.68 0.01 0.65 0.34 0.30 0.69 YSS 31 1.2182E8 0.64 0.00 0.64 0.36 0.27 0.73 YRUL 31 17594396 0.68 0.01 0.15 0.84 0.00 0.99 IT 31 1.8109E8 0.77 0.00 0.67 0.32 0.37 0.62 KP 31 15369934 0.63 0.01 0.61 0.38 0.23 0.76 KT 31 15369934 0.49 0.01 0.73 0.27 0.31 0.69 INV 31 2621548 0.42 0.00 0.00 1.00 0.49 0.51 TEXP 31 16537601 0.44 0.00 0.57 0.42 0.13 0.87 TAB 31 76299074 0.78 0.00 0.37 0.63 0.11 0.89 KR 31 1307484 0.72 0.00 0.01 0.99 0.09 0.91
394
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics Inequality Coef Variable U1 U Label TKLS 0.9162 0.4131 Tenaga Kerja Sewaan TKDRG 0.8708 0.3888 TK Keluarga pd Rumput TKDS 1.2412 0.5036 TK Keluarga pd Sapi TKDUL 0.5624 0.2904 TK Kel. pd Non u/t TKSS 0.9757 0.4240 Total TK Keluarga PPKRG 0.1650 0.0822 Penggunaan Pupuk OBTRG 0.3912 0.2033 Penggunaan Obat BBTRG 0.3476 0.1702 Penggunaan Bibit LRG 0.2351 0.1152 Luas Lahan Garapan YIELD 0.0153 0.0077 Produktivitas Lahan PRODRG 0.2424 0.1186 Produksi RG PRODSS 0.2409 0.1179 Produksi Susu RUM 0.2402 0.1169 Penghasilan Rumput RSS 0.2396 0.1170 Penghasilan Susu CPPKRG 0.1651 0.0823 Biaya Pupuk COBTRG 0.3931 0.2041 Biaya Obat CBBTRG 0.3507 0.1705 Biaya Bibit CSPRRG 0.2117 0.1062 Biaya Sarprod RG SHRRG 0.2402 0.1169 Biaya Sharing CTOTRG 0.2233 0.1085 Total Biaya Rumput CMAK 0.0000 0.0000 Biaya Konsentrat CSPRS 0.0630 0.0313 Biaya Sarprod Sapi CTOS 0.0531 0.0264 Total Biaya Sapi YRUM 0.3303 0.1583 Pendapatan Rumput YSS 0.4629 0.2182 Pendapatan Susu YRUL 0.6376 0.3149 Pendapatan Luar u/t IT 0.4090 0.1915 Pendapatan Total KP 0.5221 0.2419 Konsumsi Pangan KT 0.4314 0.2042 Konsumsi Total INV 0.6667 0.3869 Investasi SDM TEXP 0.3751 0.1815 Total Pengel. RT TAB 0.3556 0.1721 Tabungan Rumahtangga KR 0.2123 0.1069 Kredit Rumahtangga
395
Lampiran 12. Program Komputer Simulasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1 OPTIONS NONUMBER; PROC IMPORT OUT= WORK.kopi DATAFILE= "C:\COFFEE-3\EXPOR-KP1.xls" DBMS=EXCEL REPLACE; SHEET="expor-kp"; GETNAMES=YES; MIXED=NO; SCANTEXT=YES; USEDATE=YES; SCANTIME=YES; RUN; data work.estimasi; set work.kopi; PROD=LH*YIELD; CPPK=PPK*HPPK; COBT=OBT*HOBT; CBBT=BBT*HBBT; CSPR=CPPK+COBT+CBBT; SHR=k*PROD*HKP; CTK=AKL*UUD; CPR=CSPR+SHR+CTK; IUT=(PROD*HKP)-CPR; ILUT=AKDUL*UUL; IT=IUT+ILUT; KT=KP+KL; TEXP=KT+INV; TAK=AKD + AKDUL; TAU=AKD + AKL; LABEL AKD AKDUL TAK TAU AKL PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KP
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
'TK Kel pd U/t' 'TK Kel pd Luar U/t' 'Total TK Kel' 'Total TK pd U/t' 'TK Luar Kel pd U/t' 'Penggunaan Pupuk' 'Penggunaan Obat' 'Penggunaan Bibit' 'Luas Lahan Garapan' 'Produktivitas U/t' 'Produksi U/t' 'Biaya Pupuk' 'Biaya Obat' 'Biaya Bibit' 'Biaya Sarpra U/t' 'Sharing Produksi' 'Biaya TK Sewa' 'Total Biaya Produksi' 'Pendapatan U/t' 'Pendapatan Luar U/t' 'Total Pendapatan RT' 'Konsumsi Pangan RT'
396
KL KT INV TEXP TAB KR HKP HPPK HOBT HBBT PDS PDI UKK UUD UUL JAK SBP SBT k PDD KES
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
'Konsumsi Non-pangan RT' 'Konsumsi Total RT' 'Investasi SDM' 'Total Pengeluaran RT' 'Tabungan RT' 'Kredit RT' 'Harga Kopi' 'Harga Pupuk' 'Harga Obat' 'Harga Bibit' 'Pendidikan Suami' 'Pendidikan Istri' 'Umur Kepala Keluarga' 'Upah U/t' 'Upah Luar U/t' 'Jumlah Anggota Keluarga' 'Suku Bunga Kredit' 'Suku Bunga Tabungan' 'Konstanta Sharing' 'Biaya Pendidikan' 'Biaya Kesehatan';
/*SIMULASI 1 : KENAIKAN HARGA INPUT PRODUKSI HPPK = 1.1*HPPK; HOBT = 1.1*HOBT; HBBT = 1.1*HBBT;*/ /*SIMULASI 2 : KENAIKAN UPAH UUD = 1.1*UUD;*/ /*SIMULASI 3 : KENAIKAN HARGA INPUT PRODUKSI DAN UPAH TK HPPK = 1.1*HPPK; HOBT = 1.1*HOBT; HBBT = 1.1*HBBT; UUD = 1.1*UUD;*/ /*SIMULASI 4 : KENAIKAN HARGA KOPI HKP = 1.1*HKP;*/ /*SIMULASI 5 : KENAIKAN HARGA KOPI PADA PASAR BERSAING HPPK = 1.1*HPPK; HOBT = 1.1*HOBT; HBBT = 1.1*HBBT; UUD = 1.1*UUD; HKP = 1.1*HKP;*/ /*SIMULASI 6 : PENURUNAN SHARING PRODUKSI k = 0.10;*/ /*SIMULASI 7 : PENURUNAN SHARING PRODUKSI PADA PASAR BERSAING HPPK = 1.1*HPPK; HOBT = 1.1*HOBT; HBBT = 1.1*HBBT; UUD = 1.1*UUD; k = 0.10;*/ /*SIMULASI 8 : PENURUNAN SUKU BUNGA 2 BASIS POIN SBP = SBP-2;*/ /*SIMULASI 9 : PENURUNAN SUKU BUNGA 2 BASIS POIN PADA PASAR BERSAING HPPK = 1.1*HPPK; HOBT = 1.1*HOBT; HBBT = 1.1*HBBT; UUD = 1.1*UUD; SBP = SBP-2;*/ /*SIMULASI 10 : KENAIKAN LUAS LAHAN LH = 1.1*LH; */
397
/*SIMULASI 11 : PENURUNAN SUKU BUNGA 2 BASIS POIN PADA PASAR BERSAING HPPK = 1.1*HPPK; HOBT = 1.1*HOBT; HBBT = 1.1*HBBT; UUD = 1.1*UUD; LH = 1.1*LH; */ /*SIMULASI 12 : KENAIKAN PENDAPATAN KARENA BLT*/
PROC SimnLIN data=work.estimasi simulate stat theil ; ENDOGENOUS AKL AKD TAU AKDUL TAK PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT IT KP KL KT INV TEXP TAB KR; EXOGENOUS HKP PDS PDI UUD UUL HPPK HOBT HBBT JAK SBP SBT UKK K PDD KES ; PARM a0 144.5410 b0 566.8837 c0 -218.031 d0 1820.124 e0 -1394.70 f0 608.8332 g0 0.874593 h0 1641.049 i0 3341292 j0 525722.0 k0 362224.3 l0 -1.428E7 m0 11844573 AKL AKD AKDUL PPK OBT BBT LH YIELD KP KL INV TAB KR
= = = = = = = = = = = = =
a0 b0 c0 d0 e0 f0 g0 h0 i0 j0 k0 l0 m0
+ + + + + + + + + + + + +
a1 b1 c1 d1 e1 f1 g1 h1 i1 j1 k1 l1 m1
-0.00040 -0.00082 0.000028 -93.8586 -3.47394 -1.11816 1.258E-9 0.029317 0.260835 0.091808 0.055704 0.234415 0.192329
a2 b2 c2 d2 e2 f2 g2 h2 i2 j2 k2 l2 m2
-0.23929 -0.01230 14.88138 4.496019 0.940802 0.011553 3.827E-7 2.547478 -0.49445 0.000657 304747.6 -0.30754 0.061630
a3 b3 c3 d3 e3 f3
1.521E-7 -3.65631 0.000031 4469.454 885.2941 419.0996
h3 i3 j3 k3 l3 m3
2.975999 h4 -0.30376 182677.4 -0.03442 -0.24870 2732979 -698010;
a1*UUD + a2*AKD + a3*IT; b1*UUD + b2*AKDUL + b3*AKL ; c1*TEXP + c2*PDS + c3*CPR ; d1*HPPK + d2*HKP + d3*LH; e1*HOBT + e2*HKP + e3*LH; f1*HBBT + f2*HKP + f3*LH; g1*IT+ g2*KR ; h1*PPK + h2*AKD + h3*AKL + h4*UKK ; i1*IT + i2*TAB + i3*JAK; j1*IT + j2*INV + j3*TAB; k1*IT + k2*JAK + k3*TAB; l1*IT + l2*TEXP + l3*SBT; m1*CSPR + m2*TEXP + m3*SBP;
PROD=LH*YIELD; CPPK=PPK*HPPK; COBT=OBT*HOBT; CBBT=BBT*HBBT; CSPR=CPPK+COBT+CBBT; SHR=k*PROD*HKP; CTK=AKL*UUD; CPR=CSPR+SHR+CTK; IUT=(PROD*HKP)-CPR; ILUT=AKDUL*UUL; IT=IUT+ILUT+ +300000;; KT=KP+KL; TEXP=KT+INV; TAK=AKD + AKDUL; TAU=AKD + AKL; Run;
398
Lampiran 13. Program Komputer Simulasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1
OPTIONS NODATE NONUMBER; PROC IMPORT OUT= WORK.rumput1 DATAFILE= "C:\SAS_UPDATE\SAS_RUMPUT_10NOV09\rumput1-10Nov09.txt" DBMS=TAB REPLACE; GETNAMES=YES; DATAROW=2; data work.estimasi; set work.rumput1; PRODRG=(LRG*YIELD); CPPKRG = (PPKRG*HPPKRG); COBTRG = (OBTRG*HOBTRG); CBBTRG = (BBTRG*HBBTRG); CSPRRG = (CPPKRG + COBTRG + CBBTRG); RUM = PRODRG*PRUM; SHRRG=(k*RUM); COTRG = (CSPRRG + SHRRG); YRUM = RUM - COTRG; TKSS=(TKDS+TKDUL); CMAK = (JMAK*HMAK); CSPRS =(RUM + CMAK); CTKS=(TKLS*UUDS); CTOS = (CSPRS + CTKS); RSS=(PRODSS*HSS); YSS = (RSS - CTOS); YRUL = (TKDUL*UUL); IT= (YRUM + YSS + YRUL); KT = (KP + KL); TEXP = (KT + INV); LABEL UKK = 'Umur KK' PDS = 'Pendidikan Suami' PDI = 'Pendidikan Istri' JAK = 'Jumlah Anggota RT' HPPKRG = 'Harga Pupuk' HOBTRG = 'Harga Obat' HBBTRG = 'Harga Bibit' k = 'Konstanta Sharing' JMAK = 'Jumlah Konsentrat' HMAK = 'Harga Konsentrat' PRUM = 'Harga Rumput-gajah' HSS = 'Harga Susu' SP = 'Jumlah Sapi' UUDRG = 'Upah u/t Rumput' UUDS = 'Upah u/t Sapi' UUL = 'Upah Luar u/t' SBP = 'Suku Bunga Pinjaman' SBT = 'Suku Bunga Tabungan' KL = 'Konsumsi Non-pangan' TKLS = 'Tenaga Kerja Sewaan' TKDRG = 'TK Keluarga pd Rumput' TKDS = 'TK Keluarga pd Sapi'
399
TKDUL TKSS PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG SHRRG CTOTRG CMAK CSPRS CTKS CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KL KT INV TEXP TAB KR Run;
= 'TK Kel. pd Non u/t' = 'Total TK Keluarga' = 'Penggunaan Pupuk' = 'Penggunaan Obat' = 'Penggunaan Bibit' = 'Luas Lahan Garapan' = 'Produktivitas Lahan' = 'Produksi RG' = 'Produksi Susu' = 'Penghasilan Rumput' = 'Penghasilan Susu' = 'Biaya Pupuk' = 'Biaya Obat' = 'Biaya Bibit' = 'Biaya Sarprod RG' = 'Biaya Sharing' = 'Total Biaya Rumput' = 'Biaya Konsentrat' = 'Biaya Sarprod Sapi' = 'Biaya TK Sewaan' = 'Total Biaya Sapi' = 'Pendapatan Rumput' = 'Pendapatan Susu' = 'Pendapatan Luar u/t' = 'Pendapatan Total' = 'Konsumsi Pangan' = 'Konsumsi Non-Pgn' = 'Konsumsi Total' = 'Investasi SDM' = 'Total Pengel. RT' = 'Tabungan RT' = 'Kredit RT';
/*SIMULASI 1 : KENAIKAN HARGA INPUT PRODUKSI HMAK = 1.1*HMAK; HPPKRG = 1.1*HPPKRG; HOBTRG = 1.1*HOBTRG; HBBTRG = 1.1*HBBTRG;*/ /*SIMULASI 2 : KENAIKAN UPAH UUDS = 1.1*UUDS; UUL = 1.1*UUL;*/ /*SIMULASI 3 : KENAIKAN HARGA INPUT PRODUKSI DAN UPAH TK HMAK = 1.1*HMAK; HPPKRG = 1.1*HPPKRG; HOBTRG = 1.1*HOBTRG; HBBTRG = 1.1*HBBTRG; UUDS = 1.1*UUDS; UUL = 1.1*UUL;*/ /*SIMULASI 4 : KENAIKAN HARGA SUSU SAPI HSS = 1.1*HSS;*/ /*SIMULASI 5 : KENAIKAN HARGA SUSU SAPI PADA PASAR BERSAING HMAK = 1.1*HMAK; HPPKRG = 1.1*HPPKRG; HOBTRG = 1.1*HOBTRG; HBBTRG = 1.1*HBBTRG; HSS = 1.1*HSS;*/ /*SIMULASI 6 : PENURUNAN SHARING PRODUKSI k = 0.10;*/ /*SIMULASI 7 : PENURUNAN SHARING PRODUKSI PADA PASAR BERSAING HMAK = 1.1*HMAK; HPPKRG = 1.1*HPPKRG;
400
HOBTRG = 1.1*HOBTRG; HBBTRG = 1.1*HBBTRG; k = 0.10;*/ /*SIMULASI 8 : PENURUNAN SUKU BUNGA 2 BASIS POIN SBP = SBP-2;*/ /*SIMULASI 9 : PENURUNAN SUKU BUNGA 2 BASIS POIN PADA PASAR BERSAING HMAK = 1.1*HMAK; HPPKRG = 1.1*HPPKRG; HOBTRG = 1.1*HOBTRG; HBBTRG = 1.1*HBBTRG; SBP = SBP-2;*/ /*SIMULASI 10 : KENAIKAN LUAS LAHAN LRG = 1.1*LRG; */ /*SIMULASI 11 : PENURUNAN SUKU BUNGA 2 BASIS POIN PADA PASAR BERSAING HMAK = 1.1*HMAK; HPPKRG = 1.1*HPPKRG; HOBTRG = 1.1*HOBTRG; HBBTRG = 1.1*HBBTRG; LRG = 1.1*LRG; */ /*SIMULASI 12 : KENAIKAN PENDAPATAN KARENA BLT*/
proc SIMNLIN DATA=work.estimasi simulate stat outpredict theil; ENDOGENOUS TKLS TKDRG TKDS TKDUL TKSS PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG SHRRG CTOTRG CMAK CSPRS CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KT INV TEXP TAB KR; EXOGENOUS UKK PDS PDI JAK HPPKRG HOBTRG HBBTRG K JMAK HMAK PRUM HSS SP UUDRG UUDS UUL SBP SBT KL; PARM a0 201.0925 b0 219.1408 c0 1469.557 d0 -322.817 e0 -30845.8 f0 -27.1380 g0 48.98605 h0 0.048620 i0 392.2422 j0 2458.994 k0 6459.766 l0 -768.391 m0 -67369.6 n0 8843.57 TKLS TKDRG TKDS TKDUL PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODSS KP INV
= = = = = = = = = = = =
a0 b0 c0 d0 e0 f0 g0 h0 i0 j0 k0 l0
a1 b1 c1 d1 e1 f1 g1 h1 i1 j1 k1 l1 m1 n1 + + + + + + + + + + + +
-0.13478 -5.61959 -32.6421 11.96616 -18389.9 -2.15748 -1686.09 2.232E-6 0.015604 4.053594 -0.53048 -0.11511 0.673837 -457.590
a2 b2 c2 d2 e2 f2 g2 h2 i2 j2 k2 l2 m2 n2
0.485960 a3 405.0101 b3 -2.08025 c3 0.008415 d3 11691.15 e3 40.40616 f3 3226.009 g3 6.477E-6 -0.06324 i3 0.219179 j3 -1.84379 k3 358.8610 l3 -0.20673 m3 0.159724 ;
0.031074 0.156839 4.267731 1.894592 9314.649 15.71534 0.004708 0.031184 8.148936 0.507796 0.022321 8408.505
a1*TKDS + a2*UKK + a3*TKDUL; b1*UUDRG + b2*LRG + b3*TKDS + b4*TKDUL; c1*UUDS + c2*TKLS + c3*TKDRG + c4*UKK; d1*UUL + d2*TEXP + d3*UKK + d4*CTOS; e1*HPPKRG + e2*HSS + e3*LRG; f1*HOBTRG + f2*HSS + f3*LRG ; g1*HBBTRG + g2*LRG + g3*it; h1*IT + h2*KR ; i1*BBTRG + i2*UKK + i3*TKLS; j1*JMAK + j2*IT + j3*TKLS + j4*KR; k1*TAB + k2*KL + k3*IT; l1*KP + l2*PDS + l3*IT + l4*SHRRG;
b4 -0.00914 c4 -1.70125 d4 0.006151
j4
0.208230
l4
-0.05676
401
TAB KR
= m0 + m1*RSS + m2*TEXP + m3*SBT; = n0 + n1*SBP + n2*CSPRS;
PRODRG CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG RUM SHRRG CTOTRG YRUM TKSS CMAK CSPRS CTOS RSS YSS YRUL IT KT TEXP run;
= = = = = = = = = = = = = = = = = = =
(LRG*YIELD); (PPKRG*HPPKRG); (OBTRG*HOBTRG); (BBTRG*HBBTRG); (CPPKRG + COBTRG + CBBTRG); PRODRG*PRUM; (k*RUM); (CSPRRG + SHRRG); RUM - COTRG; (TKDS+TKDUL); (JMAK*HMAK); (RUM + CMAK); (CSPRS + CTKS); (PRODSS*HSS); (RSS - CTOS); (TKDUL*UUL); (YRUM + YSS + YRUL)+ 300000; (KP + KL); (KT + INV);
402
Lampiran 14. Contoh Hasil Program Komputer Skenario 1 Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev AKL 59 59 69.6949 40.8328 75.1523 16.5548 AKD 59 59 293.9 180.4 273.0 53.6523 TKU 59 59 363.6 148.7 348.2 37.1846 AKDUL 59 59 280.8 376.6 364.3 96.4654 TAK 59 59 574.8 400.5 637.3 96.9200 PPK 59 59 6844.4 3641.4 5522.9 705.4 OBT 59 59 1150.8 689.2 1030.1 177.1 BBT 59 59 619.5 341.5 563.6 51.7490 LH 59 59 1.4795 0.8169 1.4993 0.1237 YIELD 59 59 2783.3 520.5 2707.6 86.1744 PROD 59 59 3936.4 2178.8 4058.1 340.0 CPPK 59 59 1025861 543346 911535 107734 COBT 59 59 457958 272709 446836 58073.8 CBBT 59 59 355314 196117 355571 31942.3 CSPR 59 59 1839133 998277 1713942 190355 SHR 59 59 1626947 853975 1694314 149493 CTK 59 59 1141953 952659 1193750 664108 CPR 59 59 4608033 2386421 4602006 860095 IUT 59 59 6238281 3646373 6693421 566565 ILUT 59 59 10387258 14348664 13465783 3885248 IT 59 59 16625538 14494934 20159205 4065025 KP 59 59 6958226 2959384 7626844 1438768 KL 59 59 1943561 1230839 2250395 371846 KT 59 59 8901787 3731123 9877239 1788065 INV 59 59 1925780 2296380 1995312 858857 TEXP 59 59 10827567 4630352 11872551 2600170 TAB 59 59 3189890 4634002 3701748 1165446 KR 59 59 1525900 996333 1566214 312274
403
Lampiran 15. Contoh Hasil Program Komputer Skenario 1 Model Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah dengan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, SAS/ETS Versi 9.1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev TKLS 31 31 137.8 68.7070 152.9 137.5 TKDRG 31 31 177.7 84.6936 158.9 157.5 TKDS 31 31 660.2 522.8 548.5 1012.1 TKDUL 31 31 169.9 221.2 172.9 195.5 TKSS 31 31 830.1 662.8 721.4 1060.6 PPKRG 31 31 3014.3 1211.9 2847.5 1211.6 OBTRG 31 31 5.3548 4.6155 0.7261 3.6794 BBTRG 31 31 528.2 226.6 500.8 255.8 LRG 31 31 0.1503 0.0368 0.1473 0.0515 YIELD 31 31 402.1 4.3722 402.2 6.2753 PRODRG 31 31 60.5161 15.0460 59.4601 21.3479 PRODSS 31 31 16690.6 4076.6 16400.5 6211.6 RUM 31 31 6089.5 1798.6 6009.3 2466.8 RSS 31 31 50500.9 12938.3 49714.3 19451.1 CPPKRG 31 31 452.4 181.4 448.6 190.6 COBTRG 31 31 226.6 193.5 31.5476 163.3 CBBTRG 31 31 47.1194 21.2093 47.2498 25.9450 CSPRRG 31 31 726.0 375.4 527.4 363.9 SHRRG 31 31 913.4 269.8 901.4 370.0 CTOTRG 31 31 1626.5 520.0 1428.8 707.8 CMAK 31 31 17067.1 5361.5 18773.8 5897.7 CSPRS 31 31 23156.6 7075.8 24783.0 8017.4 CTOS 31 31 28254.8 5116.5 29881.2 6129.9 YRUM 31 31 4450.1 1230.2 4369.8 2023.0 YSS 31 31 22246.1 8725.7 19833.1 13944.2 YRUL 31 31 3980.2 5324.1 4340.3 5241.2 IT 31 31 30676.4 12096.0 28543.1 19833.0 KP 31 31 6830.0 3171.9 5935.9 4882.0 KT 31 31 8785.4 2360.0 7891.3 4407.9 INV 31 31 1648.2 1813.0 1704.2 656.6 TEXP 31 31 10433.5 2997.1 9595.5 4314.2 TAB 31 31 21870.5 11374.7 21513.7 14119.7 KR 31 31 5132.2 1662.1 5392.0 1384.1
Lampiran 16. Dampak Perubahan Faktor–faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Kopi NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
VARIABEL ENDOGEN
S‐ 1
S‐ 2
S‐ 3
S‐ 4
S‐5
S‐6
S‐7
S‐8
S‐9
S‐10
S‐11
S‐12
13862593
‐1.1 1.1 0.7 ‐2.9 ‐1.2 ‐21.2 ‐12.9 ‐11.2 ‐1.1 ‐1.4 ‐2.4 ‐13.3 ‐4.4 ‐2.3 ‐9.0 ‐2.4 ‐1.2 ‐4.7 ‐0.8 ‐2.9
21 IT
20612505
‐2.2
0.5
‐1.7
12.1
10.4
5.4
8.0
37.3
35.8
5.0
4.1
0.9
22 KP
7,713,022
‐1.1
0.3
‐0.9
6.1
5.3
2.8
1.9
19.0
18.2
2.5
2.1
0.3
23 KL
2,289,786
24 KT
10,002,808
‐1.7 ‐1.3
0.4 0.3
‐1.3 ‐1.0
9.5 6.9
8.2 6.0
4.3 3.1
2.9 2.1
29.2 21.3
28.0 20.5
3.9 2.8
3.2 2.3
0.4 0.3
12 13 14 15 16 17 18 19 20
AKL AKD TKU AKDUL TAK PPK OBT BBT LH YIELD PROD CPPK COBT CBBT CSPR SHR CTK CPR IUT ILUT
NILAI DASAR 76 270 346 375 645 7.005 1.183 635 1.5 2.746 4.159 1.051.476 467262 363977 1882716 1736622 1208230 4827567 6749911
‐3.6 3.1 1.6 0.8 1.7 0.1 0.1 0.1 0.1 0.5 0.6 0.1 0.1 0.1 0.1 0.6 ‐2.0 1.3 0.0 0.8
‐4.6 4.3 2.3 ‐2.1 0.5 ‐21.1 ‐12.8 ‐11.1 ‐1.0 ‐0.9 ‐1.9 ‐13.2 ‐4.3 ‐2.2 ‐8.9 ‐1.9 3.0 ‐3.4 ‐0.8 ‐2.1
5.3 ‐5.6 ‐3.2 11.1 4.1 20.8 25.6 3.6 3.1 0.6 3.7 20.9 25.8 3.6 18.7 14.0 6.0 13.9 14.2 11.1
0.7 ‐1.4 ‐1.0 9.4 4.8 ‐0.1 13.0 ‐7.3 2.3 ‐0.3 2.0 9.9 24.3 1.9 11.9 12.2 9.7 11.5 12.7 9.4
7.8 ‐8.9 ‐5.2 51.7 26.3 0.7 0.8 0.7 0.7 ‐1.5 ‐0.9 0.7 0.8 0.7 0.7 ‐33.3 8.8 ‐9.5 9.0 3.6
3.1 ‐4.5 ‐2.9 48.7 26.4 ‐20.4 ‐12.1 ‐10.4 ‐0.3 ‐2.4 ‐2.8 ‐12.5 ‐3.4 ‐1.5 ‐8.1 ‐33.3 12.5 ‐13.4 8.0 8.0
16.1 ‐17.0 ‐9.8 32.1 11.5 42.1 49.3 43.5 43.5 0.2 43.8 42.1 49.7 43.6 44.3 43.8 18.3 37.6 48.2 32.1
11.6 ‐13.0 ‐7.6 31.0 12.6 21.4 37.1 32.9 43.0 ‐0.7 42.0 33.6 51.0 46.2 40.3 42.0 23.4 36.7 45.8 31.0
2.1 ‐2.3 ‐1.3 4.3 1.5 7.1 8.4 7.4 0.0 0.1 7.3 7.0 9.2 7.4 7.6 6.3 ‐1.1 5.0 7.2 3.9
‐2.1 1.6 0.8 2.9 2.4 ‐13.0 ‐3.3 ‐2.7 0.0 ‐0.7 6.3 ‐4.5 7.1 7.0 0.6 5.3 2.2 2.7 7.1 2.6
‐3.7 3.3 1.8 ‐0.9 0.9 ‐20.8 ‐12.5 ‐10.8 ‐0.7 ‐1.0 ‐1.7 ‐12.9 ‐3.9 ‐1.9 ‐8.6 ‐1.7 4.1 ‐3.0 ‐0.9 1.8
405
NO.
VARIABEL ENDOGEN
25 INV
NILAI DASAR
S‐ 1
S‐ 2
S‐ 3
S‐ 4
S‐5
S‐6
S‐7
S‐8
S‐9
S‐10
S‐11
S‐12
2,004,438
‐0.5
0.1
‐0.3
2.5
2.2
1.1
0.8
7.7
7.4
1.0
0.8
0.1
26 TEXP
12,007,246
‐1.1
0.3
‐0.9
6.2
5.3
2.8
1.9
19.1
18.3
2.5
2.1
0.3
27 TAB
3,766,584
‐1.7
0.4
‐1.3
9.5
8.2
4.3
2.9
29.2
28.1
3.9
3.2
0.4
28 KR
1,606,976
‐2.5
0.1
‐2.4
7.1
5.1
1.4
‐1.0
105.6
104.4
2.9
1.1
‐1.8
Keterangan : Skenario 1 (S-1) Skenario 2 (S-2) Skenario 3 (S-3) Skenario 4 (S-4) Skenario 5 (S-5) Skenario 6 (S-6) Skenario 7 (S-7) Skenario 8 (S-8) Skenario 9 (S-9) Skenario 10 (S-10) Skenario 11 (S-11) Skenario 12 (S-12)
= = = = = = = = = = = =
Kenaikan harga pupuk, obat, dan bibit sebesar 10 % Kenaikan upah usahatani sebesar 10 % Kombinasi skenario 1 dan 2 Kenaikan harga kopi sebesar 10 % Kombinasi skenario 3 dan 4 Penurunan sharing produksi k = 10 % Kombinasi skenario 3 dan 6 Penurunan suku bunga pinjaman 2 basis point Kombinasi skenario 3 dan 8 Kenaikan luas lahan garapan sebesar 10 %. Kombinasi skenario 3 dan 10. Kenaikan pendapatan petani akibat program BLT.
Penjelasan notasi variabel tertera pada Lampiran.
406
Lampiran 17. Dampak Perubahan Faktor-faktor Eksternal terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM Rumput-Gajah & Sapi-perah NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
VARIABEL ENDOGEN TKLS TKDRG TKDS TKDUL TKSS PPKRG OBTRG BBTRG LRG YIELD PRODRG PRODSS RUM RSS CPPKRG COBTRG CBBTRG CSPRRG SHRRG CTOTRG CMAK CSPRS
NILAI DASAR 129.8 187.9 720.2 172.9 893.1 3032.2 5.3851 538.2 0.1522 402 61.4502 16805.3 6211.9 50942.6 455 227.9 48.3451 731.3 931.8 1663 17067.1 23278.9
S‐ 1 17.8 ‐15.4 ‐23.8 5.78 ‐19.2 ‐6.1 ‐86.5 ‐6.9 ‐3.2 0.0 ‐3.2 ‐2.4 ‐3.3 ‐2.4 ‐1.4 ‐86.2 ‐2.3 ‐27.9 ‐3.3 ‐14.1 10.0 6.5
S‐ 2 62.3 ‐45.6 ‐82.5 15.5 ‐63.5 5.9 5.6 18.8 12.7 1.0 13.8 14.9 13.7 14.8 5.9 5.7 18.7 6.7 13.7 10.6 0.0 3.6
S‐ 3 66.6 ‐50.9 ‐88.3 13.7 ‐68.6 ‐1.2 ‐81.9 9.9 7.2 0.9 8.1 9.7 8.0 9.6 3.7 ‐81.3 9.9 ‐22.4 8.0 ‐5.4 10.0 9.5
S‐ 4 ‐38.1 33.2 51.3 6.0 42.5 61.6 116.3 11.1 7.5 ‐0.1 7.3 4.1 7.3 9.3 61.7 116.8 11.1 75.5 7.3 37.3 0.0 2.0
S‐5 69.7 ‐52.9 ‐91.8 27.5 ‐68.7 64.8 38.7 35.2 24.2 1.4 25.9 24.6 25.7 30.7 73.2 45.8 35.1 62.1 25.7 41.7 10.0 14.2
S‐ 6 ‐0.08 0.00 0.03 0.12 0.04 0.01 0.01 0.02 0.07 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.02 0.00 ‐33.32 ‐18.67 0.00 0.00
S‐ 7 66.6 ‐50.8 ‐88.3 13.8 ‐68.5 ‐1.2 ‐81.9 10.0 7.2 0.9 8.1 9.7 8.0 9.6 3.7 ‐81.3 9.9 ‐22.3 ‐28.0 ‐25.5 10.0 9.5
S‐ 8 ‐4.9 6.7 9.2 47.9 16.7 2.1 2.0 6.7 4.6 0.1 4.6 3.6 4.6 3.6 2.1 2.0 6.8 2.4 4.6 3.6 0.0 1.2
S‐ 9 60.8 ‐43.4 ‐77.9 61.9 ‐50.8 1.0 ‐79.8 16.9 12.0 1.0 12.9 13.4 12.7 13.3 6.1 ‐79.1 16.9 ‐19.8 12.7 ‐1.5 10.0 10.7
S‐ 10 ‐20.2 17.4 26.9 ‐0.5 21.6 1.7 1.6 2.0 10.0 10.0 3.3 ‐3.2 2.9 ‐3.1 1.7 1.6 1.8 1.7 2.9 2.4 0.0 0.8
S‐ 11 58.8 ‐44.1 ‐77.9 13.8 ‐60.2 ‐0.5 ‐81.2 10.9 10.0 0.8 9.3 8.7 8.8 8.7 4.4 ‐80.6 10.6 ‐21.7 8.8 ‐4.6 10.0 9.7
S‐ 12 ‐4.3 3.8 5.8 1.2 4.9 0.4 0.4 1.3 0.9 0.0 0.9 0.5 0.9 0.5 0.4 0.4 1.3 0.5 0.8 0.7 0.0 0.2
407
NO. 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
VARIABEL ENDOGEN CTOS YRUM YSS YRUL IT KP KT INV TEXP TAB KR
NILAI DASAR 28377.1 4572.4 22565.6 4340.6 31478.5 7108.2 9063.6 1633 10696.6 22113.8 5151.8
Keterangan : S-1 (Skenario 1) S-2 (Skenario 2) S-3 (Skenario 3) S-4 (Skenario 4) S-5 (Skenario 5) S-6 (Skenario 6) S-7 (Skenario 7) S-8 (Skenario 8) S-9 (Skenario 9) S-10 (Skenario 10) S-11 (Skenario 11) S-12 (Skenario 12)
= = = = = = = = = = = =
S‐ 1 5.3 ‐4.4 ‐12.1 5.0 ‐9.3 ‐16.5 ‐12.9 4.4 ‐10.3 ‐2.7 4.7
S‐ 2 3.0 18.6 29.6 16.8 26.3 23.7 18.6 ‐1.0 15.6 21.4 2.6
S‐ 3 7.8 10.8 11.9 18.0 12.3 3.5 2.7 3.3 2.8 14.6 6.8
S‐ 4 1.6 9.9 18.9 3.7 15.5 12.5 9.8 0.2 8.3 13.5 1.4
S‐5 11.6 34.9 54.6 24.2 47.6 32.0 25.1 3.6 21.8 45.5 10.2
S‐ 6 0.00 0.02 0.02 0.07 0.02 0.06 0.05 1.06 0.20 ‐0.01 0.00
S‐ 7 7.8 10.8 12.0 15.8 12.3 3.6 2.8 4.4 3.1 14.6 6.8
Kenaikan harga pupuk, obat, dan bibit sebesar 5 % dan harga makanan/konsentrat 10 %. Kenaikan upah tenaga kerja dalam usahatani sebesar 10% Kombinasi Skenario 1 dan 2 Kenaikan harga output susu dan rumput sebesar 10 % Kombinasi Skenario 3 dan 4 Penurunan sharing (k = 0.10) Kombinasi Skenario 3 dan 6 Penurunan suku bunga pinjaman sebesar 2 basis point Kombinasi Skenario 3 dan 8 Kenaikan luas lahan garapan sebesar 10 %. Kombinasi skenario 3 dan 10. Kenaikan pendapatan petani akibat program BLT.
Penjelasan notasi variabel disajikan pada Tabel Lampiran.
S‐ 8 1.0 6.2 6.8 26.1 9.4 15.6 12.3 ‐9.0 90.2 ‐79.5 0.9
S‐ 9 8.8 17.3 19.0 43.5 22.1 15.6 12.3 ‐9.0 9.3 ‐64.7 7.7
S‐ 10 0.6 3.9 ‐7.8 1.7 ‐4.8 ‐3.2 ‐2.5 ‐0.6 ‐2.2 ‐4.6 0.6
S‐ 11 7.9 12.0 9.7 18.1 11.2 3.3 2.6 2.9 2.6 13.3 7.0
S‐ 12 0.2 1.2 0.9 0.7 1.8 3.2 2.5 ‐0.8 2.0 0.6 0.2
Lampiran 18.
SUB SISTEM 1
BATAS YURISDIKSI
HAK & KEWAJIBAN
Ikhtisar Penguatan Kelembagaan PHBM Kopi terkait Implementasi Kebijakan Penurunan Suku-Bunga Pinjaman
KONTRAK KERJASAMA SAAT INI 2 LMDH tidak diperkenankan mengadakan tukar-menukar lahan kawasan hutan atau mengalihkan dengan cara apapun
KINERJA 3
Masih ada oknum
PERILAKU 4
Produktivitas lahan
PENGUATAN KELEMBAGAAN 5
Pengawasan perlu
lebih dipengaruhi oleh ditingkatkan disertai petaninya sendiri capacity-building (SDM) daripada dalam budidaya kopi . penggunaan input Yang terdesak dana produksi (pupuk, bibit, cash untuk konsumsi, obat). dibantu kredit, Lahan idle mendorong fasilitas raskin/BLT, petani mencari jalan BOS. pintas dengan Organisasi petani menikmati cash secara dibina agar kuat (Pasal 4). cepat, sementara petani menghadapi tengkulak mencari alternatif (bandar) kopi . pekerjaan lain di luar Perbaikan klausul usahatani. kontrak : “Petani diperkenankan mengadakan kerjasama dengan pihak lain sepanjang tidak menimbulkan pengalihan hak atas lahan”. Luas lahan garapan Petani tidak langsung Perhutani Pembinaan banyak dipengaruhi diberikan kebijakan Perhutani terhadap menetapkan oleh kemampuan untuk memperluas petani belum optimal luas bagian finansial petani., lahan andil. lahan andil dan Pemanfaatan lahan namun petani memiliki Mendorong petani kopi belum optimal. berhak keterbatasan. memanfaatkan lahan Resiko bagi mencabut Perilaku memperluas andil secara lebih timbulnya kredit secara sepihak lahan terkendala optimal. sepanjang macet . keterbatasan lahan sesuai dengan kaidah (Pasal 5). Perhutani. pengelolaan hutanlindung. Dari simulasi, dampak perluasan lahan andil Dieksplisitkan (Skenario 11) nilainya optimalisasi lahan, tidak signifikan. disertai SOP-nya dalam kontrak. Memberatkan petani Petani kopi tidak Rekalkulasi sharing Perhutani Kopi, karena keberatan membayar disesuaikan dengan berhak produksi belum sharing produksi, tipologi komoditas mendapatkan optimum. tetapi perlu dan siklus sharing disesuaikan dengan produksinya. Resiko kredit macet, produksi siklus produk (product Petani kopi diberikan meskipun suku(Pasal 5). life cycle). keringanan untuk bunganya sudah membayar sharing diturunkan. Penetapan produksi kopi agar Dampak penurunan nilai sharing cash-surplus dapat nilai sharing < belum untuk membayar kenaikan harga dilakukan suku-bunga kredit. output < penurunan secara suku bunga kredit , Perbaikan kontrak : proporsional. tetapi > dampak “Sharing produksi perluasan lahan. dikenakan secara proporsional sesuai siklus produksinya”. petani yang menyewakan lahan. Memperoleh cash secara cepat meskipun tidak lestari (sustain). Opportunity-loss untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dari lahannya. Kemampuan mengembalikan kredit menjadi rendah.
409
SUB SISTEM 1
HAK & KEWAJIBAN
KONTRAK KERJASAMA KINERJA SAAT INI 2 3 Perhutani Sharing produksi berhak atas merupakan prestasi sharing (Pasal peningkatan income 5). Dalam perusahaan, tetapi pelaksanaan, bagi petani cukup meskipun memberatkan karena belum mencapai belum mencapai produksi produksi optimum. optimum, Terjadi risiko kredit petani tetap macet apabila tidak wajib setor. ada keringanan pembayaran.
PERILAKU
PENGUATAN KELEMBAGAAN
4
Pada tahap investasi, pendapatan petani kopi menjadi menurun, sehingga petani mencari sumber pendapatan dari luar usahatani. Petani mengharapkan sharing tidak menjadi ukuran keberhasilan pengelola hutan lindung, tetapi share petani untuk memulihkan hutanlindung.
5
Perlu Key
Performance Indicators (KPI) pengelola hutanlindung yang spesifik: ukuran keberhasilan adalah optimalnya fungsi lindung. Sharing bukan pendapatan perusaahaan, tetapi untuk reboisasi. Ada keringanan pembayaran sharing secara angsuran apabila produksi belum optimum, untuk menghindari beban petani yang terlalu berat, termasuk beban pengembalian kredit. Perbaikan kontrak : “Perhutani berhak atas sharing produksi, yang akan digunakan untuk reboisasi hutanlindung”. Perhutani Kapasitas pembinaan Persamaan perilaku Memanfaatkan berkewajiban produktivitas : kapasitas institusi di dari Perhutani belum membimbing produktivitas lahan daerah untuk optimal, karena dan membina banyak ditentukan oleh membina petani kendala budget dan kualitas SDM-nya, menjadi lebih mandiri. secara rutin sumberdaya. bukan semata-mata petani maupun Program pelatihan penggunaan input LMDH (Pasal 5). LMDH belum praktis sesuai produksi sepenuhnya menjadi kebutuhan petani. Kesadaran organisasi petani Pelatihan berpendidikan petani yang mandiri dan keterampilan khusus kopi cukup baik. pertanian dan kuat. pengelolaan kredit Individu petani bagi masyarakat desa banyak yang belum setempat. mandiri. Perbaikan klausul kontrak : “Perhutani dan LMDH bekerjasama mengoptimalkan semua potensi institusi guna memberdayakan petani PHBM, termasuk kemampuannya dalam mengelola kredit”. Petani Petani Perondaan bersama Dukungan dari Perum berkewajiban mengamankan areal sering dilakukan pada Perhutani dan institusi menjaga dan saat terjadi panenan, lain mengamankan secara gotongmemelihara tetapi belum optimal. areal dan seluruh aset royong, tetapi masih yang berada di
410
SUB SISTEM 1
KONTRAK KERJASAMA KINERJA SAAT INI 2 3 belum optimum. tanaman kehutanan dari Gangguan keamanan segala gangguan hutan (tanaman (Pasal 5) pokok maupun tanaman kopi) dapat menimbulkan resiko kredit macet.
Petani berhak memperoleh bimbingan dari Perhutani, diantaranya pinjaman lunak PKBL (Pasal 5).
Nilai komoditas berdasarkan harga yang berlaku di pasar (Pasal 9).
ATURAN REPRESENTASI
LMDH berstatus sebagai mitra Perhutani yang sejajar (Pasal 4).
Permodalan petani PHBM Kopi sangat minimal, akses terhadap kredit mikro terbatas.
Posisi petani masih lemah karena menjual kopi melalui KTH/LMDH (sedikit di bawah harga pasar).
Kapasitas KTH & LMDH sebagai wadah organisasi petani belum optimal.
PERILAKU 4 Pengamanan aset (areal mapun tanaman) oleh petani menjadi beban tambahan, namun ini merupakan tanggungjawab yang harus diemban petani.
Petani berkompetisi untuk mendapatkan pinjaman lunak PKBL
Petani mencari alternatif penjualan yang menguntungkan dan loyalitas petani terhadap KTH/LMDH agak rawan.
LMDH masih belum kuat dalam proses pengambilan keputusan dan negosiasi.
PENGUATAN KELEMBAGAAN 5 atasnya. Meningkatkan forum komunikasi antar KTH. Perbaikan kontrak : ”Untuk mengamankan aset hasil produksi, lahan perusahaan, maupun aset-aset produktif lain, LMDH dan Perum Perhutani bekerjasama melakukan upaya pengamanan terpadu”.
Akses memperoleh
kredit-mikro disertai pembinaan dan pemanfaatannya. Pembinaan pemanfaatan kredit untuk usaha produktif. Perbaikan kontrak : “Petani berhak memperoleh kredit, disertai pembinaan dari instansi yang berkompeten agar pinjaman tersebut berfungsi optimal (produktif)”. Pemberdayaan koperasi LMDH untuk mengolah menjadi produk setengah jadi (kopi gabah/beras), sehingga harga kopi gelondong petani sama dengan harga pasar. Fasilitasi alat produksi kepada koperasi LMDH. Perbaikan kontrak : “Kopi produksi petani dijual kepada Koperasi LMDH sesuai harga pasar”. “Capacity‐building” terhadap KTH & LMDH melalui pelatihan leadership, benchmarking keluar dan pendampingan oleh LSM.
411
Lampiran 19. Ikhtisar Penguatan Kelembagaan PHBM Rumput-Gajah & Sapi-Perah terkait Implementasi Kebijakan Peningkatan Harga Jual Output. SUB SISTEM 1 BATAS YURISDIKSI
HAK & KEWAJIBAN
KONTRAK KERJASAMA SAAT INI 2 Perhutani menetapkan luas bagian kawasan hutan yang dikerjasamakan, tetapi berkewajiban membina petani bersama KPBS.
KPBS mendapatkan kepastian dari anggota LMDH (petani) tentang pasokan rumputgajah yang bermutu bagi sapi, tetapi memberi jaminan pembelian susu yang dihasilkannya.
KINERJA
PERILAKU
PENGUATAN KELEMBAGAAN
3
4
5
Pemanfaatan lahan
Luas lahan garapan Seyogyanya tidak rumput-gajah lebih banyak dipengaruhi langsung diberikan optimal oleh kemampuan kebijakan untuk dibandingkan PHBM finansial petani dalam memperluas lahan Kopi. mengelola lahan, baik andil. Agar karena meningkatnya produktivitas lahan Masalahnya : asupan pendapatan (IT) meningkat, rumput-gajah yang maupun ketersediaan empowering terhadap dikonsumsi sapi sumberdana pinjaman individu petani sendiri belum menjamin (KR). perlu dilakukan. produk susu-sapi Karena itu pembinaan yang bermutu tinggi Petani kopi memiliki oleh Perhutani atau sehingga harganya sumberdaya finansial KPBS sangat meningkat. yang lebih baik dibutuhkan. daripada petani PHBM Kopi. Perhutani dan KPBS membantu untuk menyediakan sumber bibit rumput-gajah yang unggul. Dengan demikian produktivitas per satuan lahan akan meningkat. Demikian pula mutunya, sehingga harga jual susu-sapi diharapkan dapat meningkat. Dalam klaususl kerjasama perlu ditegaskan : “Perluasan lahan andil merupakan pilihan terakhir. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, KPBS berkewajiban membantu menyediakan bibit rumput-gajah yang bermutu”. KPBS memberikan Petani menjual susu Bekerjasama dengan fasilitasi kepada hanya kepada KPBS, KPBS dan Perum petani rumput-gajah sehingga Perhutani yang aktif memasok kehidupannya sangat meningkatkan mutu susu dengan mutu bergantung pada produk susu yang yang bagus, tetapi KPBS. dihasilkan, misalnya hal ini belum melalui pemilihan berjalan secara jenis yang unggul, optimal. Harga jual pola pengolahan lahan masih ditentukan yang baik, pemupukan oleh KPBS. yang baik, pemeliharaan yang memadai, perawatan sapi yang baik.
412
SUB SISTEM 1
KONTRAK KERJASAMA SAAT INI 2
KINERJA
PERILAKU
PENGUATAN KELEMBAGAAN
3
4
5
Tetapi di lain pihak, KPBS juga harus berkomitmen untuk menjamin harga susu dinaikkan sesuai dengan harga-jual yang wajar. HAK & KEWAJIBAN
KPBS membantu Pada musim kemarau, produksi anggota LMDH rumput-gajah (petani hutan) yang mengalami aktif sebagai penurunan yang anggota KPBS cukup drastis, apabila terjadi demikian pula tunggakan sharing terjadi penurunan mutu. akibat kekeringan
Disamping itu terjadi penunggakan sharing. Perjanjian produksi rumputgajah dan pasokan susu bersifat jangka-pendek.
Posisi petani sangat lemah dalam perjanjian.
Timbul resiko apabila terjadi penurunan hargajual susu karena tuntutan pasar.
Petani mengalami kesulitan dana cash , sementara produksi rumput-gajah berkurang.
Petani menderita hutang pembayaran sharing.
Harga-jual susu-sapi tidak dapat dijamin selalu meningkat.
KPBS berperan sebagai penyangga bagi kesulitan petani, serta menjamin harga jual susu tidak mengalami penurunan.
Fasilitasi teknologi untuk pembuatan bahan makanan rumput-gajah yang dikeringkan.
Petani kurang berdaya Perlu ada advokasi apabila KPBS menurunkan harga susu-nya secara sepihak.
kepada petani apabila KPBS menurunkan harga susu secara sepihak.
Dalam kontrak ditegaskan, bahwa KPBS harus menjamin agar harga susu stabil dan terjadi peningkatan.
Perjanjian ditinjau setiap tahun, ATURAN REPRESENTAS I
KPBS dan Proporsi untuk Petani tetap loyal Pemerintah diolah sendiri untuk menjual membantu kredit produsen susu masih lebih kecil kepada KPBS, tetapi kepada KPBS untuk menampung susu daripada yang mengharap ada mengembangkan petani untuk diolah dijual ke produsen peningkatan harga fasilitas pengolahan menjadi produk akhir. Keuntungan jual agar marjin agar added-value jadi maupun akan dinikmati keuntungannya produk susu dapat setengah jadi. oleh KPBS. meningkat. ditingkatkan.
Disamping itu perlu ada penguatan lembaga LMDH agar dapat meningkatkan bargaining-position menghadapi para produsen susu.
413
Lampiran 20. Ilustrasi Kegiatan PHBM di Lokasi Penelitian
Gb. 1. Lokasi Penelitian : Hutan Pinus & Rasamala yang berdampingan dengan kebun teh. Masyarakat desa hutan peserta PHBM berada di kampung-kampung yang mengelilingi hutan-hutan ini (Foto : Penulis)
Gb. 2 PHBM KOPI : Kopi masyarakat yang siap dipanen. Bila perawatan dan pemeliharaan dilakukan dengan baik, produksi kopinya sangat bagus (Foto : Penulis)
414
Gb. 3. PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH : Penanaman rumput-gajah di bawah tegakan sebagai hijauan makanan ternak (Foto : Penulis).
Gb. 4. PHBM RUMPUT-GAJAH & SAPI-PERAH : Sapi diperah setiap hari pada pagi dan sore. Sapi dikandangkan secara berkelompok. Hasil produksi susu langsung dibawa ke tempat penampungan Koperasi Peternak Bandung Selatan/KPBS (Foto : Penulis).