Discord(Ther Melian #3) by Shienny M.S.
Beres baca dalam hitungan jam~ Kira-kira berapa jam yah? Kemarin malam sekitar 2-3 jam, pagi sampe siang ini sekitar 2-3 jam. Mungkin sekitar 6-7 jam total baca. Karena libur aja nih jadi bacanya cepet. :P Buku ini sebenarnya sudah dibeli sejak sekitar November silam. Alasan kenapa baru dibaca sekarang? Karena saya guling2 pas random-page-read menemukan hint2 yg menjurus lovey-dovey sementara saya gak tahan ama yang romantis2~ Aaaa, itu baru random-page-read aja udah jadi panda gatal2. Tapi akhirnya, kemarin mulai dibaca juga. Alasannya? Karena saya mulai desperate melihat Reading Challenge Goodreads ketinggalan makin jauh dan gak nambah2 karena dua buku yang ada di list yg satu tebel dan sifatnya teknis, yang satu mood bacanya timbul tenggelam. Akhirnya sambar Ther Melian deh. Oke, di buku ketiga ini, tensinya melonjak dengan cukup tajam. Nuansanya--dalam arah positif ya--lebih chaos daripada buku kedua (apalagi pertama). Gak salah deh kalau dikasih sub-judul "Discord" (terlepas dari saya menduga kuat kata "discord" ini sedikit banyak terpengaruh Dissidia: Final Fantasy di mana ada God of Discord bernama Chaos). Makin banyak karakter galau di dalam cerita karena satu dan lain hal. Buat saya, ini menunjukkan perkembangan karakter yang cukup dinamis dan menarik juga melihat bagaimana "alignment" para karakter ini berubah dari yang tadinya abu-abu, lalu mulai ada pergeseran nilai RGB (Red Green Blue, jangan merasa rendah diri karena nggak paham istilah ini, biasanya yang ngerti yang hobi urusan ama Photoshop ato anak IT yang pernah belajar grafika) sehingga si warna abu-abu ini menunjukkan kecenderungan putih dan hitam. Karakter "abu2" menurut saya tidak jelek. Bosan kan disodorin karakter yang terlalu jelas hitam dan putihnya? Makanya saya bilang karakter abu2 tidak jelek. Tapi, harus diingat bahwa pembaca mempunyai keinginan untuk
Karakter "abu2" menurut saya tidak jelek. Bosan kan disodorin karakter yang terlalu jelas hitam dan putihnya? Makanya saya bilang karakter abu2 tidak jelek. Tapi, harus diingat bahwa pembaca mempunyai keinginan untuk dapat lebih mendukung salah satu dari dua pihak yang berseteru dalam cerita (atas dasar faktor apapun itu). Kalau pada akhirnya karakter utama berkecenderungan abu2 gelap menjurus hitam, pembaca harus dapat merasakan rasa simpati padanya. Jangan sampai sepanjang cerita malah "Ini kenapa karakter utamanya bukan si antagonis sih? Kenapa malah pake si ini? Si ini kan jahat, dst, dst. Si itu kan baik, dst dst." Dari Ther Melian buku pertama yang kedua kubu terasa setara abu2nya, di buku ketiga ini saya merasa lebih dapat menentukan saya akan ikut mendukung Team Valadin atau Team Vrey. That's a good thing. Rawr. Oke, lalu tentang ceritanya sendiri. Buku ketiga masih melanjutkan cerita tentang Valadin dan misi nasionalisnya, tapi sekarang ditambah dengan pihak yang secara jelas mengoposisi dia. Konsisten. Dan arahnya jelas. Itu harus, tapi kenapa saya merasa patut mengomentari di review ini adalah karena masih ada buku fiksi-fantasi lokal yang bahkan untuk konsistensi dan arah cerita saja bingung mau dibawa kemana. Entah mereka harus minta tolong diiringi band Armada atau Ayu Ting Ting soal "kemana" ini. Saya sebenarnya menemukan banyak "kemudahan" di sepanjang cerita. *ngecek ke wikipedia dulu jangan sampe salah sebut* Yep, plot device. Salah satunya menurut saya adalah Putri Ashca dengan sejumlah "perhiasan" (seriously? itu semua perhiasan beneran??? dasar putri yang boros...) berisi ramuan alkimia ini dan itu. Mulai dari menutup luka (mungkin kalau ada yang mengikuti Twitter saya sempat melihat saya menanyakan tentang kauterisasi pada Bu Dokter Anggra sekalian senggol2 pengarang TM, itu nanyain sesuatu dari buku ini :P), memadamkan api, membuka jalan, Ashca punya solusinya! Membuat saya barusan mikir Ashca ini saingannya Doraemon... Dan demi Tuhan, kalo ngomongin perhiasan banyak, saya kok ingetnya Tessy Srimulat... orz Intermezzo: Saya tahu alasan kenapa Desna sangat protektif pada Putri Ashca. Karena dengan semua perlengkapan alkimia itu, sang putri bisa tersandung, jatuh, lalu meledak! MELEDAK! Karena salah satu perhiasannya pecah dan isinya mungkin memang cairan yang bisa meledak... Plot device lainnya adalah kapal udara dari jaman baheula yang ditemukan di sekitar pertengahan cerita. Kapal udara ini terutama sangat membantu dalam kejar-kejaran antara Team Valadin dan Team Vrey. Dan kalau membicarakan tentang peradaban purba yang mulai banyak disebut2 di buku ketiga ini (curiga terkuak di buku keempat), saya yakin akan dua hal: (view spoiler)[ Yang membangun peradaban purba di Ther Melian [image error] Tapi ini bercanda ding. :)) Buat yang ngerti pasti ngeh itu gambar dari mana. :P (hide spoiler)] Lalu yang kedua, tentang 7 putri dan pangeran yang sempat disebut2 itu, somehow saya mencocokkan ulang dengan para Aether dan sepertinya ada kecocokan tersendiri di sana. Kembali soal plot device. Bukannya tidak setuju. Plot device itu perlu. Saya sendiri berpengalaman menulis cerita dan mengalami sendiri bagaimana rumitnya suatu situasi dan potensi bertambah panjangnya sebuah cerita kalau tidak ada plot device yang terlibat. Jadi saya bukannya tidak menyetujui plot device. Di Discord, sayangnya, saya pribadi beranggapan ada terlalu banyak plot device. Kalau cuma sedikit dan sesekali, pembaca bisa menerimanya sebagai keberuntungan dari sang karakter, tapi kalau terlalu banyak, kebetulan dan
Di Discord, sayangnya, saya pribadi beranggapan ada terlalu banyak plot device. Kalau cuma sedikit dan sesekali, pembaca bisa menerimanya sebagai keberuntungan dari sang karakter, tapi kalau terlalu banyak, kebetulan dan keberuntungan jadi tidak terasa valid dijadikan alasan. Mungkin kecuali karakter utamanya adalah si Untung kali yaa. Jika saya boleh menjabarkan plot device di sini, ada 4 yang paling mencolok: Ascha, Mythressil (CMIIW cara nulisnya), pedang Valadin, pedang Leighton. OOT, ditujukan pada pengarangnya: Kamu harus mencoba memainkan Monster Hunter~ Rasakan sendiri gimana repotnya menghadapi monster dengan "gaya konvensional" alih2 "gaya Dissidia". *merujuk pada ujian di Templia Sylvestris* OOT terakhir itu bagian dari pendapat pribadi. :P Saya jenis orang yang menyukai battle scene "konvensional". Jadi jika disuruh memilih film action, antara Crouching Tiger Hidden Dragon dan Ip Man, saya lebih pilih Ip Man. Dengan sedikit keterlibatan ilmu meringankan tubuh. Lalu, mari, saatnya MENGELUH. ROMANTIC SCENE DI BUKU TIGA BANYAK BANGEEEETTTTT!!! AAAAAAAAAAAA-A-A-A-A-AAAAA-A!!! *panda mulai garuk2 kegatalan* Mulai yang melibatkan air ala Final Fantasy X (maaf, saya blak2an) sampe yang selintas doang di atas kapal udara~ Kadarnya buat saya udah bikin gatal2~ NOOO~ Ini agak melempar target konsumen juga menurut saya. Tadinya sih saya kira Ther Melian ini untuk pembaca pria maupun wanita, tapi semua berubah saat Negara Api menyerang but then I took an arrow in the knee, tapi begitu di buku tiga, saya langsung merasa ini sih pembaca cowok (yang kebanyakan gak gitu suka muatan romansa terlalu kental di bacaannya) dan pembaca cewek (yang mayoritas menerima muatan romansa, tapi saya percaya pasti ada yang kadar sensitivitasnya macam saya) bakalan jengah juga nih. Agak disayangkan juga sebenarnya diputuskan untuk dimunculkan dalam kadar tinggi di satu buku begini. Padahal menurut saya bisa agak disebar sampai ke buku keempat nanti. Jadi pembaca nggak langsung "kaget". Sedikit kembali soal karakter sebelum saya mengakhiri review ini, ada dua karakter yang tewas di buku ketiga ini (view spoiler)[Desna dan Izahra (hide spoiler)] yang jika diperhatikan sebenarnya adalah karakter figuran. Peran mereka sejauh ini juga lebih sebagai plot device dan selebihnya, sebelum mereka sempat unjuk gigi lebih jauh, mereka "punah" duluan di buku ketiga ini. Ini pertanda lanjutan bahwa pengarangnya sayang ke karakter2 utamanya. :P 3 dari 5 bintang. Penilaian berdasarkan deskripsi Goodreads, yakni "I liked it". Bukan berarti buku ketiga ini jelek, tapi tahu sendirilah... ada faktor yang membuat saya guling2 gatal waktu bacanya. Sesuatu yang bukan selera saya. Jadi saya tidak bisa kasih "I really liked it" (4 bintang) karena masalah selera. Hehe.|Vrey akhirnya mengetahui alasan dibalik kepergian ayahnya yang meninggalkan dia dan saudaranya bertahun-tahun yang lalu. WHAT? Cuman itu doang, komentar yang keluar begitu aku membaca alasan ayahnya kenapa dia pergi meninggalkannya. *garuk-garuk tembok* Dan seperti dugaan awal, Leighton tentu saja tidak mati. *yes* Kalau di buku #2 Valadin terlihat labil, di sini Valadin terlihat galau. Di buku ini lebih banyak menceritakan perjalanan Valadin dalam menaklukkan relik elemental yang tersisa yang berunjung dengan kesuksesan hingga dia mempunyai ketujuh relik.
Di buku ini lebih banyak menceritakan perjalanan Valadin dalam menaklukkan relik elemental yang tersisa yang berunjung dengan kesuksesan hingga dia mempunyai ketujuh relik. Jujur, aku lelah membaca buku ini, terlalu banyak pertempuran yang justru membuat bosan untuk dibaca karena plot yang sama, hanya berbeda tempat dan cara mengujinya. Entah kenapa, menurutku lebih menarik di buku #2, walaupun di buku #3 ini lebih chaos dan ada beberapa yang mati juga, tapi yah, yang mati juga bukan orang yang penting-penting banget, kecuali Desna sih. Ooooh, God, I still hate Laruen. What’s wrong with that girl? Seriously, aku masih tidak menangkap alasan dibalik kebeciannya terhadap Vrey. Dan Putri Ascha, kok aku membayangkan seperti perhiasan berjalan? Entah kenapa dia selalu punya perhiasan yang digunakan untuk mengatasi berbagai rintangan seperti membuka jalan, membuat Valadin membeku, membuat api dan ledakan. Yak ampun, gak takut jatuh terus perhiasannya pecah dan jadi senjata makan tuan gitu? Typo, typo, typo, bad typo. Masih aja ada typo. Yang parah adalah typo penyebutan nama. Pffff….. |Here be warned- SPOILER AHEAD! Continue at your own risk. Menyambung buku sebelumnya, saya bersyukur untuk dua hal- Lei masih hidup walaupun tidak utuh - Valadin jelas dicoret dari kemungkinan dapat Vrey Bicara soal Valadin, saya tidak mengubah penilaian- dia tetap saja BUODOH. Perjalanan status penilaian dia di kepala saya mungkin bisa diuraikan jadiNyebelin -> BEGO -> Amit-amit -> Kasihan -> Orang DODOL yang malang Soal kekuatan, bolehlah. Ja-imnya pun, yah, dia memang seperti itu (kalau tidak mana mungkin Lar dan Eizen kesemsem sama dia, kan? Vrey waktu ingusan juga). Tapi di sini kita berkesempatan melihat sisi rapuh (kalau nggak mau disebut HETARE) dan labil Valadin, terutama waktu dia masih memandang ayah Vrey sebagai 'senior', dan sewaktu dia frustrasi tentang Vrey dan pembantaian yang dilakukan kelompoknya (aduh ini orang, umur udah berapa sih! kok masih aja ragu melulu) dan berakhir dengan love scene yang sama sekali tidak vulgar ataupun panas secara perasaan (saya rasa akan banyak yang nyumpahin manager mak lampir aka Lady Ella setelah ini). Hal bagus di sisi Valadin sepertinya hanya bahwa mereka sukses mendapat semua Relik - kesampingkan harganya, yang kalau pakai pakem cerita shonen dijamin dibayar belakangan dengan amat sangat mahal sekali dan akan nyusahin banyak orang. Oh, dan jangan lupa buli-buli Eizen yang tampaknya sudah benar-benar dicap jadi yarare-chara alias karakter korban, tak peduli betapa kuatnya dia. Kalau dari sisi Vrey... Kayaknya banyakan cerita apesnya, sejujurnya. Tentu saja, tidak semuanya jelek karena akhirnya hints yang sudah diberikan sejak buku 2 akhirnya kejadian! Oh yey! Dan kembali saya krik krik, kenapa yang nggak pakai adegan 'wow', di tempat basah pula, bisa lebih HOT ketimbang yang di padang pasir yang panas dalam berbagai arti itu?. Sayangnya satu coupling yang saya cukup suka kandas di sini. Dan Vrey ini kok jago amat merusak kemenangan yaa... Tapi, yah... Nasib tokoh di tangan pengarang. Tinggal satu buku lagi! Mudah-mudahan berakhir baik, dan awas kalau pasangan utama jadi janda/duda! Kalau mau dosa, lakukan sampai akhir! Kalau mau pasangan, jangan dipisah! Sekian!|Discord. The third installment in the (romance) fantasy series, Ther Melian. Aku tahu bakal banyak yang protes kenapa aku kasih dua bintang, tapi biar aku tulis reviewku dulu. Yang pertama mau kubahas adalah soal cover. Cover Ther Melian selalu terlihat "mengkilap" dan menarik untuk
Yang pertama mau kubahas adalah soal cover. Cover Ther Melian selalu terlihat "mengkilap" dan menarik untuk dipandang. Dua buku Ther Melian sebelumnya tidak terlalu berpengaruh buatku untuk mengambil buku dari rak buku atau nggak (bukan dalam artian negatif. Aku sudah memutuskan beli sejak sebelum liat covernya). Tapi khusus buku ketiga ini, ternyata beda. Covernya mempengaruhi feel-ku untuk mengambil buku ini dari rak. Bukan membuatku tertarik, justru sebaliknya. Sebenarnya covernya memang keren. Kinclong seperti dua buku sebelumnya dan gambar cowok bishonen itu jelas bakal menarik perhatian cewek buat ngambil bukunya. Yang jadi masalah adalah... cover ini nggak berhubungan sama judulnya. Begini... judul seri ketiga ini adalah Discord. Search artinya di berbagai web penerjemah kita akan menemukan arti yang terkesan bloody. Penuh dengan pertempuran dan pertikaian. Penulisnya pun juga sudah menggembargemborkan di mana-mana kalau seri buku ini akan penuh dengan pertikaian keras dari kedua belah pihak. Tapi kenapa, oh kenapa, gambar yang dipilih buat melambangkan pertikaian itu justru cowok bishounen lagi pegang kalung?!! Ditambah dengan background biru!! It does not reflects any discord situation at all! Belum lagi karena aku ngerasa ada cover lain yang lebih cocok jadi cover Discord. Cover yang juga dipamerkan sama penulisnya sendiri. Namely, this:
Nah, ITU baru cocok jadi cover Discord! Gambar dua kubu yang sedang bertempur, ditambah background merah menyala. Apalagi kalau dibuat dua versi cover, satu dari tiap kubu. Bisa buat maksa seorang kolektor buat beli dua buku cuma buat ngelengkapi gambar Discord. Jadi, sewaktu penulis berniat bagi2 gambar di atas buat jadi poster + tandatangannya, aku berasa pengen teriak. "Harusnya gambar ini jadi cover Discord! Baru gambar Leighton itu yang dicetak gede2, trus dibagi2 ke pembaca cewek! Pasti laris manis tuh!" But, yea, that's juist my personal ranting. Doesn't got anything to do with the story. Now, let my real review begins. Seperti dua buku sebelumnya, Discord dibuka dengan masa lalu salah seorang tokoh. Kali ini antara Valadin dengan Reuven, ayah Vrey, sang Kamen Rider Decade di buku sebelumnya. Di sini, Valadin memuji dan mengagungkan Reuven sebagai seorang elvar yang bijak... tapi rasa bijaknya itu ga nyampe ke aku. Di sini Reuven justru kerasa kaya Valadin di prolog buku dua- seorang elvar yang tertarik pada manusia yang umurnya jauh lebih muda (mencoba menjauhi kata pedofil.) Dan, IMO, cara pandang Reuven dan semua alasan yang dia kasih ke Valadin untuk membenarkan kepergiannya itu benar-benar kerasa jauh dari bijak. He's just another elvar that fell in love with a human. Nothing special. Masuk ke story di masa kini. Vrey memulai pembicaraannya dengan sang ayah yang telah meninggalkannya selama sekian-belas tahun. Mengetahui alasan kenapa sang ayah meninggalkannya dulu. Di sini, aku merasa aku berharap terlalu banyak. Setelah alasan Reuven dijadikan salah satu kalimat khusus dalam sinopsis di belakang buku, aku berharap kalau alasan kepergiannya itu akan menjadi sesuatu yang grand. Yang berhubungan dengan plot utama. Mungkin Reuven sudah punya firasat buruk di masa lalu dan melakukan sesuatu di kuil-kuil templia lain untuk mencegah seseorang seperti Eizen mencoba menyalahgunakan kemampuan para Aether. Sesuatu yang memakan waktu belasan tahun, seperti usaha Hohenheim meletakkan titik-titik Philosopher Stone di berbagai penjuru negeri untuk melawan Homunculus. Tapi.... ternyata... alasannya... cuma itu doang?
Tapi.... ternyata... alasannya... cuma itu doang? GRRAAHHH!!!! SAYA KECEWWAAAAA!!! Belum lagi setelah itu Reuven mati dalam usaha yang klise banget untuk menyelamatkan Vrey. Bikin aku tambah kesel dan pengen nyabik2 ini ayah ababil. Dan cerita berlanjut... menuju bagian Valadin. Jujur, aku kecewa dengan bagian perjalanan Valadin ini. Bukan karena jelek, tapi karena kisahnya ini sudah diceritakan berulang-ulang sejak buku pertama. Valadin menuju templia Aether. Valadin melewati gardian penjaga. Valadin melewati ujian sang Aether. Valadin mendapatkan kekuatan Aether. Pola yang sama, hanya di tempat dan anggota party berbeda. Membuat bagian Valadin dalam buku ini menjadi sangat predictable. Aku sudah ga peduli lagi seberapa sulit ujian dari para Aether karena, toh, akhirnya Valadin pasti bisa melewati ujian itu. Akhirnya bagian Valadin ini lebih banyak aku skip aja. Memang ada beberapa bagian dialog yang berpengaruh pada cerita ke depannya, tapi aku bisa membaca dan mengerti itu tanpa harus mengikuti keseluruhan langkah Valadin. Kembali ke cerita Vrey, ada satu hal lagi yang ngganjel banget di kepalaku. Sewaktu Kota Kuil hancur dan bala bantuan datang dari berbagai negara, termasuk kerajaan Lavanya. Mereka mengirimkan kapal udara, obat-obatan, dan juga prajurit untuk membantu proses pemulihan kembali Kota Kuil. Tapi dari sekian banyak pasukan bantuan itu, kok ga ada satu pun anggota keluarga kerajaan Lavanya? Aren't they worried about their little princess that might die in the previous conflict? Ato Desna adalah satu-satunya orang dalam kerajaan yang mikirin keadaan dan keselamatan sang putri? Ato jangan-jangan putri Ascha ini bukan putri kandung raja Lavanya? Aku jadi terpaksa men-switch otakku untuk menganggap cerita ini seperti tipikal cerita RPG. Ga usah peduli politik dan keadaan keluarga kerajaan lain yang ga berhubungan sama tokoh utama. Asal tokoh utama dan ceritanya jalan, beres. Aku pun terseret lebih lanjut ke dalam cerita. Mencoba menerima segala plot device yang ada. Tapi sebelum lanjut dengan ceritanya, ada satu lagi yang mau aku bahas. Kadar lovey-dovy-nya. Sejujurnya, aku ga bermasalah dengan kadar romance dalam cerita fantasy. Aku sudah baca beberpa buku yang memasukkan romance dalam cerita. Fantasy or non-fantasy. Dan asal kadarnya pas, aku sangat bisa enjoy dengan romance dalam fantasy. Asal kadarnya pas. Tapi... di buku ini.... GRRRAAHHH!! Dosisnya itu kebanyakan!!! Saking banyaknya kayanya romance di cerita ini bisa dipake sama Shazin buat bunuh orang!! Belum lagi ditambah sama deskripsi macam "mata Leighton blablabla..." atau "mata Valadin blablabla..." Oke, aku tahu ini adalah deskripsi yang sudah ada semenjak buku pertama, dan aku bisa menerimanya. (di buku kedua dosisnya sedikit naik. Ada deskripsi Vrey mencium aroma Valadin) But, bear in mind that I'm a guy. And a guy doesn't really feel comfy staring at other guy's eyes. Aku ga tahu apa yang ada di pikirannya cewek waktu baca deskripsi ini, but it really turns a guy off!
But, bear in mind that I'm a guy. And a guy doesn't really feel comfy staring at other guy's eyes. Aku ga tahu apa yang ada di pikirannya cewek waktu baca deskripsi ini, but it really turns a guy off! Ditambah lagi dengan kemampuan sang penulis yang super jago nggambar tokoh2 cowok yang bishounen banget, aku jadi tambah yakin kalau buku ini seharusnya ditujukan buat cewek. Dan... dengan sekian banyak deskripsi cowok super bishounen, super keren, dan super hot yang bisa bikin cewek2 ON, deskripsi tentang ceweknya malah sedikit banget. Sekalinya ada deskripsi soal cewek, deskripsi itu cuma ditulis "Wanita itu berwajah cantik." Sudah. The end. GRRRAAAHHHH!!! IT DOES NOT TURN US ON!!!! Apalagi melihat berbagai keadaan dan situasi yang memungkinkan untuk para karakter cewek itu dgambarkan dengan lebih seksi, misal: - Hujan di sekitar templia ini membuat tubuh Laruen basah kuyup. Pakaiannya mencetak seluruh lekuk tubuhnya dengan sempurna. atau: - Gaun putih berenda yang dikenakan Leidz Thyddia terlihat seakan mengambang hanya beberapa mili di atas kulit putihnya yang mulus. Now, THAT will turn us on. At least walopun kadar romance naik sampe tingkat lethal, kita para cowok ga akan banyak protes, karena ada bagian imbang yang bikin kita seneng juga. Dan ngomong2 soal Laruen, aku jadi ngerasa kasian banget sama karakter ini. Bukan karena cintanya yang gagal sama Valadin, tapi karena peran Laruen di buku ini seolah sudah out of focus. Dulu dia gadis kecil yang penuh semangat dan sangat memuja Valadin, kemudian kita tahu masa lalunya dan hubungannya dengan Vrey. But now, she looks like she just graduated from Imperial Stormtrooper Marksmanship Academy. Missing Vrey even when she was POINT BLANK. Dan sewaktu baca buku ini, aku juga ngerasa kalo penulis terlalu sayang sama para karakternya. Which is not a bad thing.... no, actually it is a bad thing. Penulis terlalu sayang sama karakter2nya sampai mencegah mereka mati dengan entah-alasan-apa-yang-ada, membuatku jadi tidak merasakan greget yang seharusnya ada sewaktu aku tidak tahu apakah karakter akan hidup atau mati. Atau apakah misi akan berjalan sempurna atau tidak. Apa di Discord ga ada yang mati? Ada, tapi semuanya karakter figuran. Karakter yang ga terlalu berperan penting di cerita, yang kematian mereka tidak banyak mengganggu perjalanan hero/ villain dalam mencapai tujuannya. Kecuali mungkin Desna. His death means that Princess Ascha will be left alone in this world. Poor girl. Dan yang bikin aku ga semangat lagi adalah selamatnya para tokoh utama itu karena Dark Lord Valadin adalah seorang noble demon. Which means, he won't kill Vrey or permanently prevent her from stopping his quest for glory. *Ngeliat ke atas* Wow, what a long review. So, to summed it up: Ya, aku sedikit kecewa dengan Discord- Ya, aku ga menikmati adegan dan dosis romance-nya- Ya, aku merasa Valadin terlalu lembek dan Vrey terlalu dibuat menjadi hero yang mampu menyelematkan semuanya dalam kondisi apa pun. Tapi aku masih menunggu Genesis dan akan melihat akhir kisah ini. Walaupun akhir itu sebenarnya sangat sudah bisa ditebak.|Sebelum memulai review buku ini, izinkan aku menyampaikan bahwa membaca buku tapi tidak langsung membuat reviewnya itu ternyata bukan sesuatu yang bagus. Kesibukan dan buku-buku lain yang dibaca bisa membuat kita lupa kalau kita sebenernya ngutang satu review, dan tiba-tiba aja udah setahun lebih berlalu, dan review nya bahkan belum ditulis draftnya. Untungnya sih masih ada catata-catatan kecil soal poin-poin yang mau dibahas di dalam review, tapi karena feel yang didapat setelah baca buku udah hilang, jadinya agak bingung juga sama poin-poin yang udah ditandain tadi. Ini kutandain karena apa ya? Yah, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah.
tapi karena feel yang didapat setelah baca buku udah hilang, jadinya agak bingung juga sama poin-poin yang udah ditandain tadi. Ini kutandain karena apa ya? Yah, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah. Anyway, aku akan mencoba membuat review ini sebaik mungkin, dengan ingatan yang tersisa (duile kesannya amnesia amat). Here it goes. Secara keseluruhan buku ini masih belum banyak berubah dari kedua buku sebelumnya, namun dalam artian yang baik. Penulisannya masih rapi dan enak dibaca. Ada beberapa misteri yang diungkap, seperti kenapa Valadin mau menerima dan merawat Vrey, dan belakangan Laruen. Namun ada beberapa misteri baru yang kembali dilempar, yang kemungkinan besar dijawab (mudah-mudahan) di buku terakhir dari seri ini. Yang membuat kenikmatan bacaku berkurang drastis adalah cukup banyaknya logika cerita yang dilempar di kisah ini yang tidak tepat, berkontradiksi dengan apa yang sudah ditulis beberapa bab sebelumnya, atau hanya sekedar tidak logis saja. Bagi yang ingin tahu, silakan buka spoiler di bawah. Bagi yang lagi males baca review kelewat detil dan rese, silakan langsung lanjut ke bawahnya. (view spoiler)[Di hal. 109, Valadin berkata, “…Sepertinya kekhawatiranku tidak beralasan. Lagi pula, selama ini kita sudah berkali-kali menggunakan kekuatan para Aether untuk membantu kita dalam perjalanan dan tidak pernah sekalipun terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan…” Nggak sekalipun terjadi hal yang tidak kita inginkan? Hoi Mas, baru satu bab yang lalu kamu menggalau sepenuh hati karena kamu menyesal sudah membakar sebuah kota demi melarikan diri. Karena “Jerit tangis para penduduk Kota Kuil dan bau hangus jasad mereka masih menghantuinya, bahkan sampai hari ini, dan itu menyiksanya. Sangat menyiksanya” (hal. 76). Lah, apa itu namanya kalau bukan hal yang tidak diinginkan? Di hal. 207, Gnomus sang Aether Tanah berkata tentang Zward Eldrich, “…Pedang ini ditakdirkan untuk melakukan hal-hal luar biasa. Inilah pedang yang akan membunuh Odyss!” Err, say what? Bagian sebelah mananya dari Ther Melian sebelumnya yang sudah pernah membahas apa dan siapa itu Odyss? Kenapa nama itu tiba-tiba muncul di sini, tanpa pemberitahuan apa pun, padahal kayaknya sangat-sangat penting? Yeah, memang setelahnya Valadin bertanya apakah Odyss itu adalah Dewa yang dipuja manusia. Oke, pertanyaan soal siapa Odyss itu sudah terjawab. Yang membuatku mengerutkan kening adalah, kenapa pengetahuan soal ini baru muncul belakangan, di buku ketiga? Kalau memang Odyss adalah suatu sosok yang penting, kenapa nggak dikasih tahu dari buku pertama? Dan apa kemampuan Odyss itu sebenarnya? Kenapa dia dipuja manusia? Kenapa dari buku satu nggak ada satu pun manusia digambarkan menyembahnya, baik dalam bentuk perkataan, “Demi Odyss!” atau “Oh Odyss tolong kami!”, ataupun dalam bentuk ritual pemujaan apa pun? Jadinya, keterangan soal Odyss ini seperti dilemparkan belakangan oleh penulis, seakan-akan penulis baru belakangan kepikiran, “Oh! Aku punya ide bagus! Mari kita jadikan Zward Eldrich sebagai pedang pembunuh dewa!” Geh. Di hal. 306 tertulis “Putri Ascha memerintahkan kapten kapal mendaratkan Mythressil sedikit jauh dari kota, sebisa mungkin agar tidak menarik perhatian orang.” Pertanyaannya, seberapa jauh? Setahuku, di padang pasir terbuka tanpa ada bangunan tinggi yang menghalangi, kapal udara pasti sudah terlihat sejak berkilometer-kilometer jauhnya. Jadi rasanya mustahil mereka bisa mendarat tanpa menarik perhatian orang, kecuali mendaratnya sekitar, say, sepuluh atau dua puluh kilo dari kota.
Pertanyaannya, seberapa jauh? Setahuku, di padang pasir terbuka tanpa ada bangunan tinggi yang menghalangi, kapal udara pasti sudah terlihat sejak berkilometer-kilometer jauhnya. Jadi rasanya mustahil mereka bisa mendarat tanpa menarik perhatian orang, kecuali mendaratnya sekitar, say, sepuluh atau dua puluh kilo dari kota. Tapi waktu Vrey dan Leighton jalan ke kota, kayaknya nggak sejauh itu juga tuh? Di hal. 339 tertulis “Eizen mengibaskan tongkat sihirnya, menciptakan embusan angin yang cukup keras untuk bertiup ke dalam gua dan menyingkirkan semua asap.” Errrr, kalau asapnya dibawa angin masuk ke dalam gua, bukannya guanya malah jadi penuh asap dan jadinya nggak bisa dimasukin? Nggak semua gua itu punya jalur keluar ataupun jalur udara, lho. Jadi menurutku ini bukan cara yang logis buat menghilangkan asap yang memenuhi mulut gua. Di buku Wolf Totem ada tuh cara menangkap anak serigala dengan cara membuat api di depan mulut gua tempat serigala bersarang, lalu mengipasi asapnya supaya masuk ke dalam gua. Anak serigala yang kena asap akan segera keluar dari gua dan dengan mudah ditangkap pemburu yang udah menunggu di pintu gua. See what I mean? Di hal. 359 tertulis, “Vrey harus menutupi seluruh wajahnya dengan kain saat melintasi daratan tandus dan berangin itu. Kacamata pemberian Putri Ascha membantu melindungi matanya, tapi dia masih tetap harus melindungi hidung dan mulutnya dari debu dan pasir yang bertebaran.” Hmm, ini kain yang dipake Vrey itu gimana sih, sampe nggak bisa nutupin hidung dan mulutnya? Tipe cadar yang nutupin seluruh muka, kayak cewek-cewek Arab gitu? Atau tipe setengah muka, kayak bandit-bandit? Yang mana pun, menurutku seharusnya kain kayak gitu udah cukup buat nutupin hidung ama mulut Vrey dari debu dan pasir. Di hal. 434 diceritakan kalau Vrey berhasil menghapus rune sihir terakhir yang menghalangi jalan ke Templia di Hutan Batu. Saat itu ada seseorang yang tiba-tiba mendekat dan “memasuki ruangan batu tempat Vrey berada.” Pertanyaanku, ini settingnya di Hutan Batu kan? Tempat di mana berdiri batu-batu besar yang terpisah satu sama lain, dan bagian atasnya membuka ke arah langit, selayaknya hutan? Nah, sejak kapan Vrey digambarkan memasuki suatu “ruangan batu”? Dalam bayanganku, rune sihir itu adanya di permukaan salah satu batu besar tadi, atau di dasarnya, bukan di sebuah ruangan. Cara Vrey mengalahkan Izahra juga kurang logis menurutku. Diceritakan Vrey hendak menghunjamkan belatinya ke lengan Izahra. Tapi karena terkena hantaman tombak Izahra di rusuk, arah hunjaman belati Vrey meleset dan jadinya menghunjam leher Izahra. Kalau dibayangkan, hal ini rasanya nggak mungkin. Kalau terkena hantaman, seseorang itu biasanya akan terjatuh, dan hunjaman pisau yang dilakukannya pasti akan mengarah ke bawah, bukan meleset ke atas. Jadi nggak mungkin belati Vrey bisa meleset ke leher Izahra, yang paling mungkin melesetnya itu kalo nggak ke lutut ya ke kaki. Lain ceritanya kalau belati itu ditebaskan, terutama ke arah atas atau miring ke atas. Dalam keadaan begitu, barulah mungkin kalau belati Vrey meleset terus ke atas sampai ke leher Izahra. Lagipula, diceritakan kalau “Terdengar suara belati menembus daging” (yang menandakan kalau belati Vrey menghunjam sesuatu) tapi lalu diceritakan “Aen Glinr justru menebas tepat ke leher sang Agwyn,” Menusuk / menghunjamkan itu sama sekali berbeda dengan menebas, lho. Lanjut, jalan menuju Templia Sylvestris digambarkan selalu diguyur hujan. Ini karena adanya tumpahan air dari air mancur rusak yang ada di Taman Melayang Sylvestris yang - well - melayang di atas Templia. Setting yang bagus, dan penjelasan kenapa jalannya selalu hujan juga masuk akal. Sayangnya, hal itu tidak menjelaskan kenapa jalan menuju Templia itu selalu mendung. (Hal. 474. “Di balik formasi batu itu seolah terbentang dunia lain. Tidak seperti seluruh bagian Hutan Batu yang berlimpah sinar matahari, tempat itu sangat gelap dengan awan mendung
dan penjelasan kenapa jalannya selalu hujan juga masuk akal. Sayangnya, hal itu tidak menjelaskan kenapa jalan menuju Templia itu selalu mendung. (Hal. 474. “Di balik formasi batu itu seolah terbentang dunia lain. Tidak seperti seluruh bagian Hutan Batu yang berlimpah sinar matahari, tempat itu sangat gelap dengan awan mendung menggantung di atasnya. Hujan deras juga turun membasahi jalan yang terlihat dari celah.”) Adanya tumpahan air nggak serta-merta akan membuat langit jadi mendung, kan? Padahal kalau digambarkan jalan menuju Templia Syslvestris itu selalu hujan walaupun matahari bersinar cerah, menurutku malah akan kelihatan lebih misterius. (hide spoiler)] Masih ada banyak kesalahan tulis di buku ini. Salah satunya adalah Paradisa yang salah ditulis jadi Leighton di hal. 466. Belum lagi gaya bicara Feyn yang berubah-ubah, sebentar-sebentar bilang “saya”, sebentar-bentar pake “aku”. Atau sebentar-sebentar pake “kamu”, sebentar-sebentar pake “anda”. Benar-benar aneh dibacanya. Mengenai karakterisasinya, buatku di buku ini terlihat sekali upaya penulis untuk “menyetir” opini pembaca supaya memihak tim Vrey. Di hal. 316 Vrey marah-marah sama Ceana karena Ceana menyebut Valadin baik karena orangnya ramah. Dengan gencar Vrey berteriak-teriak, ”Apa menurutmu orang baik akan menusuk seseorang lalu meninggalkannya begitu saja untuk mati? Apa orang baik tega menghancurkan seisi kota dan membunuh banyak orang tak bersalah? Valadin melakukan semua itu dan dia melakukan semuanya sambil tersenyum, tanpa penyesalan sedikit pun! Apa kamu masih berpikir dia orang baik?!” Lalu, yang kamu lakukan sendiri apa Vrey? Membantai ratusan peri hanya untuk membuat sebuah jubah? Dan dengan alasan apa, selain hanya karena itu adalah artefak paling oke seseantero benua Ther Melian? Menurutku masih lebih mending Valadin. Dia melakukan semuanya karena ingin memajukan bangsanya. Lah Vrey? Cewek itu cuma ngejer ketamakan diri sendiri. Buatku, orang yang sendirinya nggak bisa dibilang baik tingkah laku dan perbuatannya nggak punya hak buat menghakimi apakah orang lain itu baik atau tidak. Jadinya kayak seorang maling yang menghujat maling lain. Dan menurutku, setelah melalui dua buku di mana karakternya digambarkan “abu-abu”, yaitu memiliki alasan masing-masing untuk melakukan tindakan mereka, di buku ini aku jadi merasa diceramahi oleh penulis supaya memihak Vrey dan timnya. Kenapa sih nggak dibiarin aja pembaca yang nentuin, tim mana yang mau mereka dukung? Lanjut, pertarungannya masih sangat kental akan nuansa RPG. Bagaimana di tengah pertarungan Sylvestris sempat-sempatnya mengenalkan nama kedua burungnya. Bagaimana Astrapia dan Paradisa itu digambarkan sebagai tipikal bos RPG, yang satu tipe attacker yang satu lagi tipe support. Nggak ada yang salah sih soal itu. Tapi kalau aku pribadi sih lebih suka kalau pertempurannya lebih riil dan nggak terlalu kental RPG-nya. Terakhir, soal kisah cintanya, aku pribadi bukan orang yang akan protes kalau banyak adegan romantisnya. Tapi aku merasa di buku ini sepertinya dipaksain supaya semua “tokoh utamanya” punya kisah cinta. Yang kumaksud adalah getar-getar asmara antara (view spoiler)[Karth dan Laruen (hide spoiler)]. Aku jadi ngerasa penulis ingin semua tokohnya tuh berpasang-pasangan, walaupun jadinya agak maksa dan mungkin nggak penting buat plot. Jangan-jangan nanti (view spoiler)[Ellanese bakal jadian sama Eizen (hide spoiler)]. Atau malah (view spoiler)[ threesome antara Valadin, Ellanese sama Eizen (hide spoiler)]? Pokoknya, kalau getar-getar asmara di atas nggak penting peranannya di buku terakhir, aku akan mempertahankan pendapatku kalau pasangan itu ada hanya karena penulis mikir, “Ah kan kasian si X kalo nggak ada pasangannya. Ya udah, kupasangin ama si Y aja ya?” Demikianlah review dariku. Sebenarnya penulisannya yang rapi saja sudah cukup untuk membuat buku ini diberi tiga bintang, sayangnya hal-hal di atas benar-benar mengurangi kenikmatanku membaca, jadinya nilai buku ini juga merosot di mataku.
tiga bintang, sayangnya hal-hal di atas benar-benar mengurangi kenikmatanku membaca, jadinya nilai buku ini juga merosot di mataku.