90
DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) oleh:
Lia Hilyah NIM: 105045201521 Dibawah bimbingan Pembimbing
Dr. Rumadi, MA NIP: 196903041997031012
KONSENTASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 1430 H/2009 M
91
DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara)
Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Lia Hilyah NIM: 105045201521
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1430 H/2009 M
92
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI
Skripsi berjudul DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah. Jakarta, 10 Desember 2009 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A, M.M. NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASAH 1. Ketua
: Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., M.A., M.M. NIP: 195505051982031012
(…....…..……..…)
2. Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag NIP: 197102151997032002
(…………………)
3. Pembimbing : Dr. Rumadi, M.A NIP: 196903041997031012
(………….……..)
4. Penguji I
: Sri Hidayati, M.Ag NIP: 197102151997032002
(………………...)
5. Penguji II
: Drs. Heldi, M. Pd NIP: 196304141993031002
(.….…….…...….)
93
Skripsi berjudul DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 8 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah, KonsentrasiSiyasaSyariyyah. Jakarta, 8 Mengesahkan, Dekan Fakultas
Desember Syariah
dan
2009 Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
PANITIA
1.Ketua NIP.
UJIAN
:
2. Sekretaris NIP. 3. Pembimbing: NIP.
Dr.
:
Asmawi,
Sri
Dr.
M.Ag
Hidayati,
Jaenal
Aripin,
M.Ag
M.Ag
(………………………) 197210101997031008 (………………………) 197102151997032002 (………………………) 197210161998031004
4. Penguji I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (………………………) NIP. 197112121995031001 5. Penguji II NIP. 150326892
:
Khamami
Zada,
MA
(………………………)
94
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, atas berkat dan rahmat-Nya, penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul: Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafii Maarif (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara), dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad saw, beserta keluarga dan para pengikutNya. Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan motifasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun secara kelembagaan. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Maka perkenankanlah penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum 2. Bapak DR. Rumadi, MA selaku pembimbing dalam penyelesaian skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berarti demi kelancaran penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Asmawi, MAg selaku ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati, MAg selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga penulis dapat
95
menyelesaikan studi di Jurusan Jinayah Siyasah Prodi Siyasah Syar’iyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Abi dan Umiku tercinta, kakak dan adik-adikku tersayang, dan semua saudaraku yang ikut berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas dukungan dan kasih sayang kalian. Aku Begitu Menyayangi dan Mencintai kalian semua. 6. Orang terdekat penulis Abangku (Salman). Terima kasih atas dukungan dan motivasinya. 7. Sahabat-sahabatku Istiqomah, Rohma, Arie Zakiyah, Qie-qie, Lisa Astarina, Susanti (Ds), Foe (Ds). Terima kasih atas dukungan dan persahabatan kalian yang selalu menemani penulis saat suka dan duka. 8. Sahabat-sahabat Siyasah Syar’iyyah angkatan 2005. Terima Kasih atas kebersamaan dan persahabatannya. Semoga kita dapat terus menjalani silaturrahmi. 9. Semua teman-teman penulis di mana pun berada, yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Kepada Lembaga Institut Maarif, terima kasih atas bantuan data-data yang telah diberikan sehingga dapat mempermudah penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berdo’a kepada Allah swt, semoga segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasannya. Serta segala ilmu yang penulis dapatkan selama di perkuliahan dapat
96
bermanfaat. Dan segala pengorbanan penulis dalam penyususan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amien…
Jakarta, 8 Desember 2009
Penulis
97
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 8 Desember 2009
Lia Hilyah
98
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... i DAFTAR ISI...............................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………….1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………..9 D. Tinjauan Pustaka………………………………………………...10 E. Metode Penelitian……………………………………………….11 F. Subjek Penelitian…...……………………………………………13 G. Sistematika Penulisan……………………………………………13
BAB II
BIOGRAFI SYAFI'I MA'ARIF A. Riwayat Hidup Syafi'i Ma'arif …………………………………..16 B. Pendidikan dan Karir Syafi’i Ma’arif……………………………23 C. Aktifitas Syafi’i Ma’arif…………………………………………29 D. Karya-karya Syafi’i Ma’arif…………………………………….36 E. Fase Perkembangan Pemikiran Syafi’i Ma’arif 1. Pembentukkan Intelektual Syafi’i Ma’arif.………………….40
99
2. Pertumbuhan Intelektual Syafi’i Ma’arif…..………………...40 3. Perkembangan Intelektual Syafi’i Ma’arif.………………….41 4. Kematangan Intelektual Syafi’i Ma’arif….………………….41
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG IDEOLOGI DASAR NEGARA DI INDONESIA A. Pengertian Ideologi ……………………………………………...43 B. Bentuk-Bentuk Ideologi dan Dasar Negara yang Pernah Berkembang di Indonesia………………………………………..44 1. Islam Sebagai Dasar Negara…………………………………..45 2. Pemahaman Negara Sekuler.………………………………….52 3. Interseksi Agama dan Negara dalam Ideologi Pancasila……..54 4. Ideologi dan Falsafah Pancasila………………………………58
BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI'I MA'ARIF TENTANG IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA A. Pandangan Ahmad Syafi'i Ma'arif tentang Islam sebagai Ideologi Negara............................................................................................69 B. Pandangan Ahmad Syafi'i Ma'arif tentang Pancasila sebagai Ideologi Negara.............................................................................79 C. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka...............................................83
100
D. Relevansi Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam Konteks Indonesia sekarang..........................................................85
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………88 B. Saran……………………………………………………………..89
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………...90
101
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kalangan intelektual Muslim sejak zaman klasik hingga saat ini terdapat tiga aliran tentang hubungan agama dan negara, yaitu: Pertama, golongan sekuler (Barat), berpendapat bahwa agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan politik atau negara. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad saw hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia. Nabi tidak pernah bermaksud mendirikan suatu negara atau pun sejenis bangunan politik lainnya. Kedua, aliran ini berpendapat bahwa Islam memang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan masalah negara tetapi ia memiliki seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara atau dalam kata lain memiliki hubungan integralistik yang saling mempengaruhi melalui nilainilai etika tersebut. Tokoh utama yang mewakili aliran ini adalah Muhammad Husain Haikal.1 Ketiga, para Islamis pada umumnya berpendapat, Islam merupakan sebuah agama yang khas. Sebab, Islam mengatur bukan hanya urusan transcendental, tapi juga hubungan sosial, bahkan politik. Sejarah Islam juga telah memperlihatkan bahwa Nabi Muhammad saw dalam kenyataannya merupakan pimpinan politik dan agama
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), h. 3
102
sekaligus.2 Namun, Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta itu memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa sunnah Nabi maupun realitas alQur'an memang tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku, karena alQur'an memang lebih merupakan petunjuk etik bagi manusia, bukan sebuah kitab ilmu politik. Umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntunan masyarakat. Tujuan terpenting dalam al-Qur'an lebih terarah pada upaya agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Maka atas dasar nilai-nilai etik al-Qur'anlah, bangunan politik Islam dan bangunan sosiokultural wajib ditegakkan.3 Karena itu, dapat dipahami pula jika Islam akhirnya menjadi "ideologi" yang ampuh dalam panji-panji perlawanan rakyat Indonesia ketika melawan kolonial, penjajah dan pendatang asing yang atribut kulturnya berbeda dengan pribumi yang mayoritas Muslim.4 Keinginan adanya cara hidup Islami dengan diberlakukannya syariat Islam di lembaga negara disuarakan sejak sebelum Indonesia merdeka hingga pasca-
2
Dhurorurudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 51 3 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 16 4
Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 53
103
kemerdekaan.5 Pada awal-awal menjelang kemerdekaan Indonesia, para tokoh pendiri bangsa Indonesia dihadapkan dengan perdebatan panjang tentang ideologi dan dasar negara yang akan diterapkan di Indonesia. Berbagai kalangan mencoba memberikan argumen dan menawarkan dasar negara untuk Indonesia. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUUPK) yang dilantik pada 28 Mei 1945, ditugaskan untuk merumuskan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi. Para anggota BPUUPK mencoba mempertanyakan "Philosofische Grondslang" (Landasan filosofis) bagi negara yang hendak didirikan, Soekarno dan Moehammad Yamin merupakan tokoh yang paling siap untuk memberikan jawaban. Soekarno dan Moehammad Yamin mengajukan lima prinsip dasar yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Sedangkan dari kalangan Islam yang paling bersemangat adalah Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah, mengajukan Islam sebagai dasar negara. Usul Ki Bagus ini merupakan anti-tesis terhadap usulan Soekarno-Yamin. Dengan munculnya dua usulan yang berbeda itu, maka dimulailah pergumulan pertama antara Pancasila dan Islam dalam sidang-sidang BPUPKI. Dalam badan BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang sangat tajam antara wakil-wakil kaum Muslimin dengan golongan nasionalis-sekuler. Perdebatan itu dengan sendirinya memanaskan keadaan politik menjelang lahirnya Indonesia.
5
Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler (Yogyakarta: Uswah, 2008), h. 33
104
Sidang pertama BPUPKI diselenggarakan tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pokok bahasan sidang pertama itu membicarakan dasar (ideologi) negara yang akan dibentuk.6 Para pemimpin Islam menginginkan agar negara didirikan di atas petunjuk al-Qur'anul Karim dan al-Hadits shahih, sehingga Indonesia harus menjadi negara Islam. Sedangkan kaum nasionalis-sekuler, mengingat bahwa tidak hanya dihuni oleh orang-orang Islam, mereka menghendaki konstruk negara Indonesia merdeka tidak harus berdasarkan pada suatu agama tertentu (Islam), sebab jika negara yang majemuk ini, terutama dari dimensi agama, Islam dijadikan sebagai agama resmi negara dan sebagai dasar negara, tentu akan terjadi diskriminasi terhadap agamaagama lain.7 Dari pihak Islam beralasan bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Indonesia beragam Islam. Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan, sebab -sebagaimana diutarakan oleh Ki Bagus Hadikusumo- tidak ada institusi formal seperti negara yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial Belanda adalah contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat berjalan, kendati pun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Lebih lanjut Hadikusumo menjelaskan bahwa sebagian besar ajaran Islam mempunyai hubungan langsung dengan persoalan politik.
6
Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia, h. 122 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Ke-I, h. 89 7
105
Pernyataan Ki Bagus Hadikusumo itu sepenuhnya dapat dipahami oleh pihak nasionalis-sekuler. Namun, kelompok ini masih tidak dapat menerima gagasan negara Islam, karena menurut Soepomo (wakil nasionalis-sekuler), Indonesia mempunyai keistimewaan-keistimewaan tertentu. Lebih dari itu, ia juga meragukan apakah syariat Islam tetap cukup mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern. Ideologi Islam dalam pandangan mereka adalah bentuk sistem kuno yang tidak mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat modern. Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda itu. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPKI.8 Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberikan anak kalimat pengiring, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam ini adalah hasil rumusan panitia sembilan: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusumo Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Moehammad Yamin. Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri dari tujuh atau delapan perkataan di atas dirasakan oleh sebagian bangsa kita belahan timur sebagai
8
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, h. 109
106
diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945. Alasan paling keras disuarakan untuk menolak pemberlakuan syariat Islam adalah persoalan minoritas non-Muslim. Kekhawatiran minoritas non-Muslim seperti ini pernah diungkapkan secara terbuka dan terus terang oleh seorang cendekiawan Kristen, Th. Sumartana. Menurutnya, "Bagi umat non-Muslim, kesangsian dan ketakutan utama mereka terhadap pemberlakuan syariat Islam adalah manakala status kewarganegaraan mereka tereduksi menjadi sekedar "para penumpang" atau "para tamu", bahkan lebih ngeri lagi kalau dianggap sebagai "orang asing" di negara sendiri. Mereka ingin diakui dan diterima sebagai sesama warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, karena mereka juga merasa memiliki andil dalam pendirian republik ini. Pasca polemik Soekarno dan Natsir, perdebatan yang sama kembali muncul pada masa Orde Baru antara tahun 1960-an sampai 1980-an di kalangan para intelektual Muslim. Pada masa awal Orde Baru, pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan dari pada masalah politik. Untuk itu stabilitas merupakan prinsip penting bagi pemerintah, pada awal dekade 1970-an pemerintah mengadakan restrukturisasi politik dalam usaha menciutkan peran politik masyarakat untuk suksesnya stabilitas. Bersamaan dengan depolitisasi masa lalu, pemerintahan Orde
107
Baru merencanakan apa yang disebut dengan pembangunan nasional dengan modernisasi isu sentralnya.9 Salah satu tokoh pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia pada masa ini adalah Ahmad Syafii Maarif. Sebelum meneruskan kuliah ke Universitas Chicago, pola pikir Maarif terikat oleh pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi dan menjadikannya sebagai rujukan primer. Pada tahun 1976-1978, Syafii Maarif aktif dalam MSA (Muslim Students' Association), yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu negeri. Sampai meninggalkan Athens tahun 1978, masih belum ada yang dapat ditawarkan Syafii Maarif untuk menembus kebuntuan intelektualisme Islam. Kesamaan ideologi Maarif dengan tokoh-tokoh Masyumi ini ia pertahankan hingga akhirnya berubah haluan setelah sampai di Chicago pada awal 1980-an.10 Periode Chicago merupakan perubahan mendasar dalam pola pemikirannya tentang Islam, Maarif merasa sedang mengalami kelahiran kedua dalam pemikiran. Islam baginya adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Qur'an adalah kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai acuan dalam berpolitik. Pergumulan dengan kuliah-kuliah Fazlur Rahman selama empat tahun telah mempengaruhi sikap hidup Maarif secara mendasar.11
9
Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT. Bineka Cipta, 1999), Cet. Ke-I, h. 38 10 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 195 11
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 224
108
Menurut Syafii Maarif, sebutan negara Islam tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas adalah sebuah keniscayaan, jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negeri yang adil dan makmur. Adapun perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Dalam konteks ini, Nurchalish Madjid menggambarkan bahwa pengertian Islam hakiki bukanlah strukur atau kumpulan hukum, yang bisa melahirkan formalisme agama, tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid yang melahirkan jiwa yang hanif, terbuka, demokratis, atau paling tidak mampu menempatkan dirinya dalam konfigurasi pluralistik.12 Selanjutnya, untuk menjelaskan posisinya dalam masalah hubungan Islam dan negara, Ahmad Syafii Maarif sering mengutip ungkapan Hatta "Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tidak terasa, pakailah filsafat garam, tak tampak tetapi terasa". Menurut Syafii Maarif, Pancasila yang sudah disepakati itu harus membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar wahyu, sehingga tuduhan bahwa Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak berbeda dengan negara sekuler akan dapat ditangkal. Pancasila yang hanya dimuliakan dalam kata, tetapi dikhianati dalam laku, hanyalah akan memperpanjang derita bangsa, sementara tujuan kemerdekaan berupa tegaknya sebuah masyarakat adil dan makmur akan semakin menjauh saja.
12
Ahmad Taufik, dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet. Ke-I, h. 156
109
Untuk mempelajari lebih dalam lagi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tersebut, penulis merasa perlu dan merasa tertarik untuk membahas hal itu dalam sebuah skripsi dengan judul: DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara). Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jauh tentang konsep ideologi bernegara Ahmad Syafii Maarif.
B. Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Supaya penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dipersoalkan, maka penulis membatasi permasalahan penelitian ini pada pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang ideologi Negara Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan yang akan di jadikan bahan perumusan masalah oleh penulis sebagai berikut:
a. Bagaiman pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara sebelum kuliah di Chicago dan pasca kuliah di Chicago? b. Bagaimana hubungan Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara Menurut pandangan Ahmad Syafii Maarif?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
110
1. Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk memperoleh gambaran yang jelas pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara. b. Untuk mengetahui alasan-alasan ideologi Ahmad Syafii Maarif dalam bernegara. 2. Manfaat Penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi bagi pengembangan kajian Politik Islam di Indonesia, khususnya tentang konsep ideologi negara. b. Karya ilmiah ini merupakan wujud kontribusi dan sumbangan pemikiran penulis untuk almamater dimana penulis menuntut ilmu.
D. Tinjauan Pustaka Dalam penyusunan skripsi ini yang digunakan adalah dokumen-dokumen tertulis yang bersangkutan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Langkah ini dimaksud agar dalam proses penulisannya dilakukan kepada kepustakaan yang sudah ada sehingga dapat dijadikan acuan dalam upaya melengkapi penulisan skripsi ini. Adapun kepustakaan yang berhubungan dengan judul ini adalah sebagai berikut:
111
Roudhonah, Pemikiran Da’wah Ahmad Syafii Maarif. Disertasi ini mengkaji tentang cara berda’wah Ahmad Syafii Maarif yang bertujuan agar kehidupan di dunia ini selalu berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits.13 Buku Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (19591965), dalam buku ini mengkaji kritis realitas politik yang tercermin dalam tingkah laku politik praktis partai-partai Islam pada periode demokrasi terpimpin (19591965). Suatu periode singkat dalam sejarah modern Indonesia, tetapi cukup penting dan genting bila ditempatkan dalam suatu perspektif sejarah perjuangan partai-partai Islam di Indonesia.14 Buku Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, buku ini mengkaji tentang penyebab kemunduran umat Islam. Dan dalam buku ini mencoba mengenengahkan problem tersebut melalui analisisnya yang memadukan perspektif sosial, politik, budaya, dan sejarah yang ditekuninya.15 Buku Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, dalam buku ini mengkaji tentang kumpulan makalah-makalah dalam seminar yang dilaksanakan oleh perpustakaan yayasan Hatta. Salah satu dari pengisi seminar tersebut adalah Ahmad
13
Roudhonah, Pemikiran Da’wah Ahmad Syafii Maarif (Jakarta: Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN, 2008) 14
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin (Yogyakarta: PT. Pustaka Parama Abiwara, 1988) 15 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995)
112
Syafii Maarif, beliau membahas tentang pengaruh gerakan modern Islam Indonesia terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dewasa ini. 16 Di antara tinjauan pustaka di atas, tidak ada kesamaaan judul secara langsung berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Dari sini penulis tertarik mengkaji lebih dalam tentang dinamika pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif (tinjauan atas ideologi negara).
E. Metode Penelitian Untuk mencapai tujuan serta hasil yang komprehensif dan akurat, serta bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual, maka penulis memerlukan metode penelitian yang mampu menjadi kerangka eksplorasi berbagai bahan dan perangkat yang diperlukan. 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif. Adapun sifatnya adalah deskriptif, yaitu menggambarkan pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara. Penelitian ini juga merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif-doktriner. 2. Teknik Pengumpulan Data
16
Fauzi Ridjal, Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991)
113
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah Studi dokumenter, yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari sumber-sumber informasi milik obyek yang ditulis secara langsung tanpa perantara penulis lainnya. Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul penulis menggunakan metode pengumpulan data yang bersumber sebagai berikut: Data Primer; yaitu buku-buku politik karangan Ahmad Syafii Maarif yang berkaitan langsung dengan bahasan skripsi ini, di antaranya adalah buku Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: Pustaka LP3ES) Indonesia, 2006), dan buku Peta Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995). Sedangkan data Skunder, yaitu penulis peroleh dari buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan penulis, yaitu berupa artikel, majalah, surat kabar, yang ditulis oleh penulis lain yang mempunyai relevansi dengan masalah penelitian sebagai bahan penunjang. 3. Teknik Pengolahan Data Pengelolaan data dalam penelitian ini mengunakan teknik pengelolaan data Editing, yaitu memeriksa, mengontrol dari pada data yang di peroleh, untuk menjamin kemantapan terhadap data tersebut atau menjamin validitas dan reabilitas data.17 4. Teknik Analisis Data
17
Surjadi Soerdirja, Metode Penelitian Sosial (Terhadap Dan Kebijakan), Jakatra,26 Oktober 2000, h. 81
114
Analisi data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi secara kualitatif komparatif dengan menggunakan metode-metode penelitian deskriptif komparatif yaitu penelitian yang berusaha memberikan uraian dan menggambarkan secara garis besar kemudian dilakukan analisis terhadap pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif terhadap Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara sekarang. 5. Teknik Penulisan Skripsi Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku panduan penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta Tahun 2008.
F. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ia adalah seorang tokoh politik yang aktif dalam organisasi Muhammadiyyah.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih jelas dan mudah dipahami pembahasan dalam penelitian ini, penulis memaparkan sistematika penulisannya sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN. Sebagai karya ilmiah, penelitian ini dimulai dengan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah. Yaitu hal-hal apa saja yang melatar belakangi permasalahan yang dibahas. Agar masalah yang dibahas tidak melebar pemaparannya, maka masalah tersebut dibatasi, dan kemudian dirumuskan. Pada bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penulisan, yaitu menjelaskan
115
tujuan penulis melakukan penelitian, dan manfaat apa yang akan dicapai. Selanjutnya, dala bab ini juga dipaparkan tinjauan pustaka. Dalam penelitian ilmiah harus ada metode penelitian agar penelitian tersebut dapat terarah dan sistematis. Untuk itu, pada bab ini penulis memaparkan metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF. Dalam bab ini, penulis membahas sejarah ringkas kelahiran dan latar belakang keluarga Ahmad Syafii Maarif, jenjang pendidikan yang pernah dilalui. Selanjutnya aktivitas dan bagaimana karir Maarif di dunia Islam Indonesia, dan karya-karya apa saja yang sudah dihasilkan. Pembahasan ini diperlukan agar penulis bisa mengetahui latar belakang keluarga Syafii Maarif, alur pemikiran, Fase perkembangan pemikiran, dan tokohtokoh yang mempengaruhi pemikirannya. BAB III
TINJAUAN UMUM TENANG IDEOLOGI NEGARA. Bab ini
penulis memaparkan tentang pengertian ideologi negara, bentuk-bentuk ideologi dan dasar negara yang berkembang di Indonesia, antara lain Islam sebagai dasar Negara, Pengertian Negara sekuler, Interseksi agama dan Negara dalam ideologi Pancasila, dan falsafah Pancasila. BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG
IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA. Bab ini dimulai dari penjelasan tentang Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam sebagai ideologi negara dan dilanjutkan dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Pancasila sebagai ideologi negara yang meliputi; Pancasila sebagai ideologi terbuka, relevansi pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif dalam konteks Indonesia sekarang.
116
BAB V PENUTUP. Bab ini merupakan sebuah kesimpulan dari bab-bab sebelumnya atau konklusi dari penelitian tentang pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang ideologi negara. Bab ini juga berisi saran-saran penulis, dengan apa yang telah penulis simpulkan
117
BAB II BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF F. Kelahiran Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syafii Maarif sering di panggil dengan istilah “Buya” oleh orang yang dekat dengannya. Istilah Buya di ucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang benar-benar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuwan atau cendekiawan yang mempunyai reputasi intelektual yang sangat tinggi. Namun Ahmad Syafii Maarif sendiri mengatakan “tidak usahlah disebut dengan Buya, cukup dengan nama saja, sebutan Buya masih dipermasalahkan”. Kadang Ahmad Syafii Maarif suka memelesetkan dengan kata “Buaya”, seolah-olah mencoba menetralisasi atau ingin membersihkan kandungan “karismatik” atau feodalistik” yang dari sebutan khas untuk tokoh Minang itu. Lagi-lagi sikap humanis yang egaliter. Di hadapannya apapun yang berbau “keangkeran diri” diubah menjadi hal wajar, biasa dan bahkan lugu dan polos.18 Ahmad Syafii Maarif lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf dan Fathiyah pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus "Makkah Darat", Sumatera Barat. Sumpur Kudus "Makkah Darat" (Makkah Darek dalam bahasa Minang) adalah ungkapan yang sering diulang-ulang tidak saja oleh kaum elit negeri Minang,
18
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay (editor), Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua (Jakarta: Maarif Institute, 2005), h. 37
118
rakyat jelata pun tak lupa pula menyebutnya.19 Secara kultural melambangkan sebuah gerak perlawanan terhadap apa yang bernama kultur hitam Jahiliyah yang dikuasai Parewa (preman) sangar daerah pedalaman. Sewaktu kecil Syafii Maarif tidak ada cita-cita tinggi yang ingin diraih, tidak ada angan-angan untuk jadi apa atau siapa, karena memang lingkungan nagari yang sempit dan sederhana itu tidak mendorong orang untuk menjadi sosok melebihi orang kampungnya. Semasa kecil Syafii Maarif, pengaruh kota belum menjalar di kampungnya, karena televisi20 saat itu belum lagi ada. Wawasan Syafii Maarif pun hanyalah sebatas nagari Sumpur Kudus. Dalam kehidupan sehari-hari, Syafii Maarif bergaul dengan teman-teman sekampungnya, mengadu sapi, mengadu ayam, mengail, menjala, menembak burung dengan senapang angin milik abangnya dan mengembala sapi.21 Ayah Syafii Maarif lahir pada tahun 1900, Ia adalah seorang terpandang di kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi kepala nagari tahun 1936. Keluarga Ahmad Syafii Maarif merupakan keluarga terhormat, ayahnya sebagai kepala suku Melayu dengan menyandang gelar Datuk Rajo Malayu yang jabatannya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk dalam kategori elit di kampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai masalah, tidak saja
19
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 3
20
Televisi Republik Indonesia (TVRI) di Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus 1962 dengan studionya yang sederhana di komplek Senayan Jakarta (Onong Uchyana Effendy, Dimensi Komunikasi, Bandung: Alumni, 1981), h. 178 21
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 82
119
menyangkut masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga tingkat nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya dengan membaca. Bahkan ayahnya cerdas, semua orang kampung mengakui. Maarif sendiri sering menyaksikan betapa rasa hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti datang dengan sikap sopan sebagai pertanda bahwa yang ditemui itu memang layak untuk itu. Ayah Ahmad Syafii Maarif bersaudara seayah-seibu (Abd. Rauf dan Bailam) berjumlah tujuh; Ma’rifah, Karimah, Siti Dariyah, Saidina Hasan, Bainah, Attudin Rauf, dan Ahmad. Karimah dan Ahmad wafat sewaktu masih kecil, sementara Saidina Hasan wafat pada 1949 di rumah sakit Sawahlunto dalam usia sekitar 32 tahun. Ayah Ahmad Syafii Maarif wafat pada tanggal 5 Oktober 1955, dimakamkan di Tapi Selo, tanah persukuan orang Melayu. Semula ayahnya sakit di Tanjung Ampalu, di tempat ibu tirinya bernama Mak Maran, kemudian etek Lamsiah, ibu tiri Maarif yang lain, memboyongnya ke Tapi Selo sampai ayahnya wafat di sana. Waktu itu ayahnya berusia 55 tahun.22 Sementara ibu Maarif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun 1905 dan meninggal dunia sewaktu Maarif berusia 18 bulan. Ahmad Syafii Maarif tidak bisa membayangkan seperti apa perawakan ibunya, seperti apa senyumannya, dan seperti apa pula ketika dia menggendong anak-anaknya. Ahmad Syafii Maarif tidak pernah melihat foto ibunya, hal ini menjadi sulit baginya untuk membayangkan sosok ibunya. Ibunya wafat pada tahun 1937 dalam usia sekitar 32 tahun, sempat dua tahun menyusuinya. Maarif tidak sempat merasakan betapa manis atau pahitnya hidup 22
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 66
120
bersama ibunya, orang mengatakan bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafii Maarif tidak pernah mengenal wajah ibunya. Seperti wanita-wanita yang lain di Sumpur Kudus, ibunya adalah wanita yang sering menunggang Kuda untuk menempuh perjalanana jauh. Syafii Maarif pun menceritakannya “selagi sehat kabarnya ibuku kalau bepergian biasa naik Kuda dengan selendang sarung bugis yang diselempangkan di bahunya, suatu kebiasaan yang tak terlalu lazim di kampungnya. Tetapi sebagai isteri orang terkemuka pada tingkat nagari masyarakat dapat memakluminya. Alangkah anggunnya ibuku barang kali berada di atas punggung kuda”.23 Budaya perempuan naik kuda, berarti pula bahwa posisi perempuan di kampung Syafii Maarif sangat terhormat, tidak kalah dengan kaum pria dan sebenarnya kultur Minangkabau adalah matrilinial, yakni kaum perempuan secara teori memang mempunyai posisi dominan. Apakah ini terkait ini, yang jelas ibu Syafii Maarif bukanlah manusia yang kolot pada saat Indonesia berada di bawah sistem penjajahan. Ibunya telah wafat pada umur yang masih muda, sehingga Ahmad Syafii Maarif sendiri tidak dapat menelusuri sejarahnya, hanya pusaranya yang ada tidak jauh dari rumah tempat kelahiran Ahmad Syafii Maarif. Sesaat setelah ibunya wafat, Syafii Maarif diberi tahu bahwa ayahnya menggendongnya ke tepi Batang Sumpur, tak jauh dari rumah kelahirannya sebelah barat melalui pematang sawah. Sungai ini tak pernah kering, sumber penghidupan para petani yang merupakan mayoritas 23
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 73
121
penduduk kampungnya, batang sumpur ini digambarkan sebagai “airnya jernih, pasirnya putih, tebingnya landai, dan ikannya jinak”, sekalipun dalam kenyataannya ketika hujan lebat airnya keruh juga, dan ikannya tidak pernah jinak, kecuali yang sakit atau pingsan.24 Setelah ibunya meningggal, Ahmad Syafii Maarif dititipkan pada bibinya Bainah (dipanggil etek), yang tempat tinggalnya sekitar 500 meter dari tempat kelahirannya. Tampaknya, ayah Maarif sengaja menitipkan anaknya pada adiknya sendiri, mungkin agar dapat diawasinya dari dekat, sebelum pergi merantau, selama 16 tahun Maarif hidup bersama bibi dan pamannya. Bibi Bainah mempunyai anak bernama Saiful Wahid yang lahir tahun 1939. Saiful punya dua adik kandung bernama Yusnida dan Muslim, keduanya sudah wafat dalam usia yang relatif muda, sedangkan etek (bibi) Bainah wafat pada 1973 dalam usia belum terlalu tua. Ahmad Syafii Maarif menikah pada tanggal 5 Februari awal tahun 1965 dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah. Maarif menikah di rumah mertuanya (Sarialam dan Halifah) yang dikenal dengan kawasan Mandahiling dalam sebuah upacara sederhana. Pada saat menikah, usia Ahmad Syafii Maarif sudah berumur 30 tahun. Ahmad Syafii Maarif memiliki beberapa orang anak, anak pertamanya bernama Salman yang lahir di Yogyakarta pada bulan Maret 1966. Namun sayang, Salman meninggal diusianya kurang sedikit dari 20 bulan, setelah sakit beberapa lama di Padang. Saat itu Salman diajak ibunya pulang ke Padang dalam keadaan 24
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 72
122
kurang sehat, sedangkan Ahmad Syafii Maarif tetap di Jawa. Akhirnya Salman wafat tidak di depan ayahnya (Syafii Maarif). Kuburan Salman di pinggir laut, sekarang sudah tidak ada bekasnya lagi karena telah ditelan ombak. 25 Dengan meninggalnya Salman, Syafii Maarif begitu terpukul batinnya, sebagaimana diungkapkannya “sungguh nak, kepergianmu menyebabkan batin ayah sangat terguncang, tetapi inilah kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui. Hanya iman saja yang dapat menolong agar tidak terus berlarut dalam suasana ketidakstabilan jiwa.26 Anak selanjutnya adalah bernama Iwan yang lahir pada November tahun 1968 dan ia wafat pada Oktober tahun 1973. Anak ketiga Ahmad Syafii Maarif adalah Mohammad Hafiz yang lahir premature dengan berat badan 2.20 kg pada 25 Maret 1974. Dari ketiga anaknya, Hafiz merupakan anak satu-satunya yang hidup hingga dewasa. Kini Syafii Maarif hidup dengan anak semata wayangnya bernama Mohammad Hafiz dan isterinya Hj Nurkhalifah. Panggilan Ibu Hj.Nurkhalifh (isteri) terhadap Ahmad Syafii Maarif yaitu dengan sebutan Kak Oncu, sebuah kebiasaan anak nagari Sumpur Kudus memanggil suaminya berdasarkan urutan kelahiran di kalangan keluarganya. Dan dalam perjalanan hidupnya, melalui suasana suka dan duka, perang dan damai, hanya satu kata yang diucapkannya, yaitu bersyukur. Rasa syukur itulah yang merupakan
25
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 185
26
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 186
123
perekat rumah tangga yang beranggotakan tiga orang tersebut: Buya, Ibu Hj. Nurkhalifah, dan Mohammad Hafiz. 27 Mohammad Hafiz sangat bangga pada ayahnya (Syafii Maarif), yang telah memberi pelajaran secara relatif demokratis, dan liberal, dimana bertiga mempunyai suara equal dalam menyampikan pendapat, dan kadang disertai adu argumen. Ketika Hafiz mengobrol ringan dengan seorang teman Syafii Maarif di Padang, orang tersebut mengatakan bahwa; “…..ayahmu itu adalah gambaran pribadi orang Minang yang seutuhnya dan semestinya sikap yang egaliter, sederhana, adil, tegas, dan jujur…..”28 tentulah Hafiz tidak menyangkal, apalagi Hafiz hidup di antara orang Minang selama setahun lebih di Padang. Kesimpulan yang didapatkan mungkin seorang Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu segelintir orang yang dari sekian lapis generasi Minang yang bisa mempertahankan image orang Minang yang semestinya, setelah generasinya yang melahirkan pribadi seperti H. Agus Salim, Moh. Hatta, Buya Hamka dan lainnya. Di samping itu, Dalam buku Refleksi 70 tahun Ahmad Syafii Maarif kesan yang diutarakan Moh. Hafiz tentang ayahnya (Syafii Maarif), ada dua macam fungsi, sebagai seorang ayah dan sebagai seorang individu yang unik. Sebagai seorang ayah, selama hidup di bawah naungan beliau, pelajaran paling berharga Mohammad Hafiz adalah tentang tawakkal dan kesederhanaan manusianya, terutama menghadapi
27
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 73 28
Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif:Cermin Untuk Semua, h.11
124
kenakalan seorang anak bernama Mohammad Hafiz, bahkan sampai dewasa pun masih bandel, keras kepala, dan tidak mau diatur. Sedangkan sebagai seorang individu yang unik, Syafii Maarif memberikan pelajaran bagaimana seharusnya “hablum minannas”, berhubungan dengan individuindividu lain di muka bumi ini, yaitu dengan selalu berprasangka positif dan baik dan menghilangkan berprasangka buruk pada orang, saling menghargai dan menghormati. Terkadang sedikit naif, sikap agak berlawanan dengan sikap pandangan/opini Muhammad Hafiz sendiri yang ekstra hati-hati, bahkan cenderung sarkastik terhadap orang.29
G. Pendidikan Dunia awal masa kecil Ahmad syafii Maarif dilewati di kampung halamannya. Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus. Selanjutnya Ahmad Syafii Maarif melanjutkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikan di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau dan selesai pada tahun 1953. Pendidikan menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi sebagian dilanjutkan di Yogjakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Mu’alimin Yogyakarta. Ternyata datang ke Jawa meneruskan pendidikan tidak semudah yang dibayangkan. Karena ada beberapa alasan dari pihak sekolah untuk menolak Ahmad 29
Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, h. 11
125
Syafii Maarif masuk ke kelas empat, yaitu; pertama, kelas empat sudah penuh, kedua, dari seorang guru, Syafii Maarif mendengar bahwa kualitas pelajaran di Yogya lebih tinggi dibandingkan dengan Mu’alimin daerah lain. Jadi Ahmad Syafii Maarif akan mengalami kesulitan bila masuk ke kelas empat. Awalnya Ahmad Syafii Maarif merasa syok, namum Ahmad Syafii Maarif tidak bisa berbuat apa-apa dan kemudian menganggur, jika tidak mau mengulang kelas tiga. Semua itu dihadapinya dengan tabah, dan mengulang kuartal terakhir kelas tiga Mu’alimin, 30 sehingga akhirnya dapat tamat pada 12 Juli 1956.31 Ahmad Syafii Maarif "mendinamisasikan" dirinya, berkat M. Sanusi Latief, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta.32 Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya pada tahun 1956, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di Surakarta, tepatnya di Universitas Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) atas bantuan saudaranya.
30
Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 106
31
Suara Karya, Ketua Umum; Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial (Jakarta: 10
Juli 2000 32
Juli 2000
Suara Karya, Ketua Umum; Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial (Jakarta: 10
126
Namun baru satu tahun kuliah bantuan itu sempat terhenti karena hubungan pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan PRRI/Permesta,33 akhirnya Ahmad Syafii Maarif memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, kemudian Ahmad Syafii Maarif menjadi guru di desa Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. 34 Sambil mengajar, Ahmad Syafii Maarif kembali melanjutkan kuliah, karena sering tidak masuk kuliah -karna sering mengajar- akibatnya Ahmad Syafii Maarif hanya tamat Sarjana Muda (BA) pada tahun 1964. Putus sambung kuliah sudah pernah dirasakannya, namun karena motivasi belajar yang cukup tinggi, akhirnya ia berhasil menyelesaikan kuliah, walau harus ditempuh sambil bekerja.35 Gelar Sarjana (Drs) diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP Yogyakarta pada Agustus 196836, dengan skripsi berjudul “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954)”, dibawah bimbingan Dharmono Hardjowidjono, dosen sejarah Asia Tenggara. Untuk temanteman seangkatannya, Ahmad Syafii Maarif adalah lulusan pertama.
33
PPRI adalah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia,suatu pemerintahan tandingan dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara(dari masyumi)sebagai Perdana Menteri, PPRI di proklamirkan di Padang, tanggal 15 Februari 1958. Pemberontakan ini menuntut otonomi regional, perbaikkan Duumvirate Soekarno dan Hatta, Pembentukan Senat, Penggantian Kepala Staf ABRI Jendral Nasution dan Stafnya, dan pembatasan aktivitas PKI. Permesta adalah Perjuangan Semesta Alam, yang bergabung dengan PPRI yang dipimpin oleh H. N. V.Sumual, Permesta diproklamirkan pada tanggal 2Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 97-98 34
Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000), h. 172 35
36
Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, h. Xi
Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, h. 172-173
127
Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafii Maarif berangkat ke Amerika, ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980) hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama temantemannya dari Malaysia yang juga aktivis MSA (Muslim Students’ Association) yang masih serba belia, sementara usia Syafii Maarif sendiri sudah di atas 30 tahun. Selama perkembangan pemikiran keislamaan Syafii Maarif di Atheans belum ada perkembangan yang berarti, Syafii Maarif masih terpasung dalam status quo. Masih berkutat pada ajaran maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal, pemikir dan penyair dari pakistan pun telah Syafii Maarif ikuti, tetapi ruh ijtidanya belum singgah secara mantap di otak Syafii Maarif yang masih bercorak aktivis, belum reflektif dan kontemplatif. Apalagi Syafii Maarif aktif dalam MSA (Muslim Students Association), yang masih merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu Negeri.37 Di lingkungan MSA, ia bergaul dengan teman-teman dari Saudi Arabia, Kuwait, Mesir, Iraq, Libia, Al-Jazair, di samping teman-teman dari Indonesia dan Malaysia. Dari segi moral pergaulan, MSA sungguh bagus, hati-hati, dan saling menjaga. Tidak ada di antara mereka yang larut dalam budaya serba bebas ala Barat. Di Athens ia adalah salah seorang khatib pada hari Jum’at yang diselenggarakan di sebuah ruangan luas di lingkungan kampus. Di Athens, lingkungan pergaulan Syafii Maarif berada di tengah-tengah orang-orang saleh, tetapi hampir sepi dari pemikiran
37
Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.209
128
yang memungkinkan kita keluar dari kebutuhan intelektual yang sudah beradab diderita dunia.Muslim. Teori-teori keIslaman yang bertolak dari sikap anti asing ternyata tidak mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas yang semakin sekuler kalau bukan ateistik. Sebuah paradoks berlaku di sini. Para pendukung Maududi, Qutb, yang mengkritik Barat in toto, umumnya tidak betah hidup di negerinya sendiri, karena berhadapan dengan penguasa yang korup, otoritarian, dan ulama konservatif. Justru mereka memilih hidup di barat yang dijadikan sasran kritik itu.38 Menurut Syafii Maarif, di dunia ini kita tidak boleh memakai kaca mata hitam. Di antara mahasiswa muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia, tidak sedikit yang menemukan Islam setelah mereka belajar di Barat. Bahkan sebagian mereka menjadi puritan. Di tanah airnya masing-masing belum tentu mereka mengenal shalat dan praktik-praktik Islam lainnya, di Barat justru muncul kesadara baru untuk mencapai Muslim yang baik. Oleh sebab itu akan lebih bijak bila orang bersikap lapang dada saja, jangan ekstrim anti sesuatu, sebab Barat-Timur itu milik Allah. Kearifan tidak bersifat Barat atau bersifat Timur. Orang bias saja menemukan kearifan itu di mana saja asal di cari dengan sungguh-sungguh melalui hati dan otak yang terbuka semata-mata karena rindu kepada kebenaran. Syafii Maarif pun berkata Islam haruslah senantiasa bersentuhan dengan realitas. Bukan saja bersentuhan,tetapi
38
Titik-tititk Kisar di Perjalananku, h.213
129
malah wajib berupaya mengubah realitas yang pengap menjadi sesuatu yang asri, adil, dan penuh rahmat yang dapat diukur dengan parameter apa pun.39 Pada tahun 1978 diusia 43 tahun Maarif meninggalkan Athens, Di Ohio inilah ia mendapat MA pada Departemen Sejarah dengan tesis “Islamic Politics Under Guided Democracy in Indonesia” (1959-1965) dibawah bimbingan Prof. William H. Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia dan sejarah Jepang yang teramat baik terhadapnya. Dari sinilah Ahmad Syafii Maarif mengikuti ke mana tapak kaki melangkah sampai mencapai puncak prestasi akademik, Ph.D (Doctor of Philosophy), dari negara yang mengklaim dirinya sebagai "bapak Demokrasi", Amerika Serikat, tepatnya di University of Chicago (Desember 1983)40 dalam usia 47 tahun. Tidak mudah bagi Maarif untuk meneruskan belajar ke Universitas Chicago, sekalipun ia sudah diterima untuk program Ph.D dalam Pemikiran Islam. Bantuan sahabatnya M. Amien Rais, sungguh menjadi penting bagi Maarif untuk bisa belajar Islam ke kampus “orientalis” itu. Professor Frederick turut membantunya untuk mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation dan USAID melalui perwakilannya di Jakarta. Akhirnya dengan bantuan banyak pihak, beasiswa itu bisa ia dapatkan. Pada saat-saat awal itu tidak terbayang dalam otakknya bahwa Chicago akan mengubah secara fundamental sikap intelektualnya tentang Islam dan kemanusiaan. Gelar Ph.D dalam
39
Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.214 40
Ahmad Syafii Maarif, Mencri Autentisitas, h. Sampul
130
bidang pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1983 dengan disertasi “Islam as the Basic of State; A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Cinstituent Assembly Debates in Indonesia” dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman.41 Meskipun Syafii dibesarkan dalam tradisi akademik di negara superpower, namun kritiknya terhadap kebijakan politik luar negeri dari negara adikuasa, misalnya Amerika yang dianggap kurang fair dan cenderung “berat-sebelah” terhadap negaranegara Muslim, tak pernah luntur. Sebelum mencapai "puncak-puncak" di atas, Ahmad Syafii Maarif melakukan perjalanan dan pengembaraan dari satu daerah ke daerah yang lain disertai berbagai interupsi dalam kehidupannya. Antara rantau dan alam, dalam sosok Ahmad Syafii Maarif, selalu terlibat dalam dialog secara terus-menerus disertai dengan sikap kritis "Alam terkembang jadi guru". Proses atau "struktur pengalaman" inilah yang membentuk sosoknya sebagai manusia bebas dan merdeka.
H. Aktivitas Sebagai anak panah Muhammadiyah, tidak lama setelah tamat Mu’allimin, Syafii Maarif berangkat ke Lombok dalam usia 21 tahun. Syafii Maarif datang ke Lombok Timur pada 19 Agustus 1956 dan mengajar pada 21 Agustus 1956. Ia ditempatkan di kampung Batuyang, di rumah Subki, adik kandung H. Harist yang
41
Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intlektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1995), cet. 111, h, 5
131
juga sebagai kepala desa. Ia mengajar pada PGA Muhammadiyah Pohgading yang terletak di pinggir sungai. Pada tahun 60-an di samping mengajar di Baturetno, Maarif juga mengajar di kota Solo. Di Madrasah Mu’alimat NDM pimpinan pak Duhardi, SMA MIS (Modern Islamic School) pimpinan pak Abdul Manna Kadim. Mata pelajaran yang Maarif asuh umumnya sama dengan yang di Baturetno yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Cukup lama Maarif bolak-balik Solo-Baturetno dengan kereta api. Pada saat itu Maarif naik kereta api dari Pasar Pon terus melaju ke Baturetno dengan jarak 52 km. Kereta api Solo-Baturetno adalah kendaraan para pedagang kecil(bakul), anak sekolah, dan rakyat umumnya. Syafii Maarif termasuk dalam katagori yang terakhir. Semua ini Syafii Maarif jalani tanpa perasaan gelisah yang mengganggu, karena cara inilah satu-satunya jalan bagi Maarif untuk meneruskan kuliah di Solo: Universitas Cokroaminoto. Pada tanggal 1 Juni 1967 Ahmad Syafii Maarif diangkat menjadi pegawai negeri dengan jabatan asisten perguruan tinggi. Sebagai asisten, Ahmad Syafii Maarif diberi tugas mengajar sejarah Indonesia kuno pada FKIS IKIP Yogyakarta, di samping juga menjadi asisten sejarah Islam pada Fakultas Syariah dan Tarbiyah UII (Universitas Islam Indonesia) Pada tahun 1966 Ahmad Syafii Maarif diterima menjadi sebagai korektor majalah Suara Muhammadiyah (SM), pimpinan alm. H.A.
132
Basuni, B.A dan alm Mohammad Diponegoro. Di samping sebagai korektor majalah, Ahmad Syafii Maarif juga dipercayakan mengurus iklan untuk majalah. 42 Bakat menulis Ahmad Syafii Maarif banyak disalurkan melalui suara Muhammadiyah. Bermacam topik yang ia tulis, tetapi umumnya menyangkut masalah agama, sejarah, dan politik. Sewaktu bekerja pada Suara Muhammadiyah, ia pun pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang Yogyakarta. Setelah sekian lama menjadi korektor, posisi redaksi kemudian diberikan kepada Ahmad Syafii Maarif sampai ia berhenti bekerja di sana karena beliau mau berangkat ke Amerika Serikat pada Juli 1972. Setelah pulang dari Chicago, Maarif kembali ke Indonesia dan mengajar pada jurusan sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta (sekarang FIS Universitas Negeri Yogyakarta). Pada tahun 1984 IAIN membuka program Pasca Sarjana. Maarif diminta sebagai salah seorang tenaga pengajar. Tugas ini ia emban selama beberapa tahun. Tahun 1986 selama 100 hari Maarif diminta untuk mengajar studi keislaman di Universitas OIWA. Saat itu Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Barnadib, mantan Rektor IKIP, sama-sama berangkat ke Universitas yang sama. Aktivitas lain Ahmad Syafii Maarif adalah di Muhammadiyah. Sejak tahun 1985 atas dorongan M.A. Rais, Maarif diminta aktif sebagai anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sebagai alumnus Madrasah Mu’allimin, tentu tidak sulit bagi Maarif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tabligh ini. Sebelumnya sewaktu bekerja pada majalah SM, Maarif pun pernah menjadi anggota 42
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 173
133
Majelis Pustaka PP Muhammadiyah pimpinan H.A. Basuni, BA. Dalam berkiprah pada Majelis Tabligh ini Maarif mulai berkunjung ke daerah-daerah. Majelis pimpinan M. A. Rais ini sangat aktif dalam menjalankan misi da’wahnya, tidak saja secara lisan, penerbitan pun digalakkan. Ahmad Syafii Maarif selama 2 tahun (1990-1992) bertugas di UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia). Proses keberangkatan Maarif ke Malaysia dimulai dari informasi dari Dr. Ir. Imaduddin Abdul Rahim, tokoh pergerakan Islam yang bersahabat dekat dengan Anwar Ibrahim. Imaduddin memberitahukan bahwa pihak UKM memerlukan tenaga dosen dari Indonesia dengan kualifikasi Ph.D dalam kajian Islam. Ijazah Maarif dari Chicago memang dalam bidang itu. Di UKM Maarif diberi tugas untuk mengajar mata kuliah sejarah perang Salib, Islam dan Perubahan Sosial di Asia Tenggara. Ia juga merupakan dosen tamu di Institute of Islamic studies, universitas McGill, Kanada (1993-1994). Di samping terkenal sebagai seorang pengajar, Ahmad Syafii Maarif juga dikenal sebagai seorang penulis yang aktif. Tulisannya banyak dimuat di berbagai media masa baik berupa Jurnal, Majalah seperti Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Ishlah dan Genta, Surat Kabar seperti Mercu Suar, Abadi, Adil dan kedaulatan rakyat. Bentuk tulisannya yang lain dituangkan alam bentuk buku yang juga sudah diterbitkan oleh berbagai badan penerbit. Pada Muktamar tahun 2000 di Jakarta, Ahmad Syafii Maarif kemudian terpilih untuk memimpin Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Selama kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah, banyak terobosan baru yang
134
belum pernah dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika pada periode sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil dan dikenal sebagai gerakan da’wah, pendidikan, dan amal usaha sosial, maka pada era Syafii Maarif, Muhammadiyah lebih mewarnai percaturan bangsa dan menjawab tantangan perkembangan dunia. Dorongan beliau untuk membubuhkan dan memberikan ruang pada lahirnya pemikiran kritis di Muhammadiyah, intensifnya hubungan antar umat beragama dan ormas Islam lainnya, keterlibatan yang sangat aktif dalam gerakan Moral Anti Korupsi, serta partisipasi aktifnya dalam berbagai forum dialog dunia untuk memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan adalah di antara beberapa terobosan yang sangat terasa signifikansinya. Di era Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah yang mengambil jarak dari semua partai politik dan tidak terlibat pada politik praktis juga kembali ditegaskan. Hal itu terumuskan lewat Tanwir Makassar pada Juni 2003 yang tidak mendukung partai dan calon presiden tertentu. Bahkan, di saat tokoh-tokoh bangsa dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda pada perebutan “kue” kekuasaan, Syafii Maarif justru tidak bergeming dan tetap konsisten dengan perannya sebagai pemimpin umat dan guru bangsa. Hal ini tentu saja berangkat dari keyakinan beliau selama ini, bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan pemikiran, sosial, dan da’wah. Jadi, Muhammadiyah bukan gerakan politik yang bisa dijadikan untuk dijadikan alat untuk merebut kekuasaan. 43
43
Abd Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 116-117
135
Kesan yang diperoleh Ahmad Syafii Maarif dalam menjalankan tugas sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan sebanyak mungkin kegiatannya adalah: 1) Muhammadiyah dengan segala kelemahannya masih berada di papan atas. Tapi bila parameter yang digunakan adalah cita-cita al-Qur’an untuk menciptakan sebuah masyarakat Indonesia yang bermoral, Muhammadiyah masih juga berada di awal jalan, suasana seperti ini memang memprihatinkan. Tentu untuk bergerak ke sana merupakan tanggung jawab semua kekuatan bangsa dengan pimpinan pemerintah yang juga harus bermoral.44 2) Pada sisi lain Syafii Maarif menggambarkan bahwa isu-isu pembaharuan dikerjakan Muhammadiyah barulah sekedar menyentuh jenis ijtihad pinggiran, sementara jenis ijtihad di luar itu belum disentuh bayak oleh Muhammadiyah. Lebih jauh dikatakan bahwa secara intelektual Muhammadiyah tidak tau betul apa yang harus dikerjakannya.45 3) Yang menjadi sorotan adalah karena Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai gerakan Islam, gerakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar. Rumusan semacam ini mengisaratkan tanggung jawab yang besar sekali, sementara energi Muhammadiyah lebih banyak terkuras oleh kerjakerja sosial kemasyarakatan. 4) Dalam berbagai forum Syafii Maarif sering mengatakan bahwa di bidang pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah hanyalah sebagai pembantu pemerintah, tidak lebih dan tidak kurang. 5) Muhammadiyah belum mampu menawarkan sistem alternatif, baik untuk pendidikan, kesehatan
44
45
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 348
M. Yunan Yunus, Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial (Jakarta: Uhamka Press, 2005), h. 72
136
maupun dalam bidang-bidang kemanusiaan lain yang selalu memerlukan perhatian khusus. Selanjutnya, Ahmad Syafii Maarif adalah salah seorang yang mempunyai prakarsa untuk mendirikan Maarif Institute for Culture and Humanity. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada tahun 2002 dan secara resmi berdiri pada tanggal 28 Februari 2003. Adapun salah satu misi Maarif Institute adalah memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat peran dan fungsi civil society, legislative dan eksekutif serta mendorong proses resolusi konflik, mediasi dan rekonsiliasi.46 Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang menghindari politik praktis, Ia menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih kurang tujuh tahun dan tidak pernah terjun ke politik praktis, baik itu menjabat jabatan publik, mencalonkan ataupun bergerak melalui partai politik. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif merupakan khazanah intelektual yang sangat berharga, karena gagasan-gagasannya tidak dapat dilihat semata-mata sebagai renungan intelektual dari tokoh yang berada di atas menara gading, sebab mereka menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, keagamaan dan politik di Indonesia dimana beliau terlibat secara intens dan serius sebagai pelaku utama yang bergerak di luar sistem praktis yang mencurahkan segenap perhatiannya sebagai pelaku yang menyerukan pergerakan moral dan memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia. 46
Raja Juli Antono, Laporan Tahunan (Jakarta, Maarif Institute, 2000-2007), h. 4
137
I. Karya-Karya Ahmad Syafii Maarif adalah seorang penulis yang produktif, mulai belajar menulis semenjak masih sekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogjakarta tahun 1950-an, diteruskan sampai sekarang setelah batang usianya di atas setengah abad.47 Sebagian karangannya adalah mengenai Islam. Tulisan-tulisannya diterbitkan pada artikel-artikel yang bertebaran di media masa, seperti surat kabar (Mercu Suar, Abadi, Adil dan Kedaulatan Rakyat), majalah (Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Islah, Gatra dan Genta) dan jurnal (Informasi, Sigma Pi Gama dan Mizan).48 Beberapa bukunya telah diterbitkan oleh penerbit terkenal. Sampai kini, Ahmad Syafii Maarif telah menghasilkan berbagai karya. Segudang “produk pemikirannya”, dan jejak langkah yang telah digoreskan, merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang, berliku, bahkan penuh onak duri. Kesulitan dan tantangan hidup telah dibacakan sebagai peluang untuk bergerak terus tanpa henti. Puluhan buku telah lahir dari tangan seorang anak udik yang semula tidak punya citacita besar dan muluk-muluk. Tugasnya sebagai ketua PP Muhammadiyah yang diembannya selama tujuh tahun (1998-2005) telah membawanya ke pusaran perkembangan politik, sosial, dan budaya secara nasional dan internasional. Periode ini adalah titik-titik krusial dalam transformasi republik ini, dan Ahmad Syafii Maarif
47
48
Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektual Islam, h. 5
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Jakarta: LP3ES, 2006), h. sampul akhir
138
di antara anak bangsa yang ikut mengambil peran. Di antara karya-karya Ahmad Syafii Maarif adalah: 1. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009). 2. Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim (2006). 3. Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006). 4. Menggugah Nurani Bangsa (2005). 5. Mencari Autentitas dalam kegalauan (Jakarta: PSAP, 2004). 6. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000). 7. Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999). 8. Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997). 9. Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (Yogjakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, 1997). 10. Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 11. Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim (Bandung: Mizan, 1995). 12. Membumikan Islam (1995). 13. Percik-Percik Pemikiran Iqbal (Shalahuddin Press, 1994). 14. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1994). 15. Islam dan Politik di Indonesia (1988). 16. Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Bandung: Pustaka, 1985).
139
17. Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985). 18. Dinamika Islam (Shalahuddin Press, 1984). 19. Islam, Mengapa Tidak? (Shalahuddin Press, 1984). 20. Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia (Jakarta: LEPPENAS, 1983). 21. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (Yogyakarta: Yayasan FKIS IKIP Yogyakarta, 1975). Tulisan-tulisan Ahmad Syafii Maarif sampai saat ini masih terus mengalir, terutama yang selalu diterbitkan pada kolom Resonasi Republika (bergantian dengan penulis lainnya). Dan tulisan-tulisannya sangat beragam, tidak hanya tentang keislaman, namun juga mencakup tentang keindonesiaan dan kemanusiaan. Ahmad Syafii Maarif adalah satu dari sedikit cendekiawan Muslim Indonesia yang secara serius memikirkan nasib bangsanya. Melalui tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii Maarif ingin berbagi kegelisahan sekaligus mengajak untuk mengatasinya, kepada semua anak bangsa. Abd. Rohim Ghazali mengatakan bahwa, sejauh ini gagasan yang paling menonjol dari Ahmad Syafii Maarif adalah kegetolannya dalam merelevansikan realitas obyektif umat Islam yang ada dalam sejarah dengan doktrin-doktin suci Islam baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits. Untuk upaya ini, setidaknya Ahmad Syafii Maarif telah menulis tiga buku; 1) Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo
140
Sejarah (1985). 2) Membumikan Islam (1995). 3) Islam, Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997). Dalam tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii Maarif tampaknya memiliki satu obsesi akan tampilnya Islam sebagai agama yang memiliki kekuatan transformasi bagi kehidupan umat. Sayangnya, diakui oleh Ahmad Syafii Maarif, obsesinya itu masih jauh “panggang dari api”.49 Kiranya melalui karya-karyanya, Ahmad Syafii Maarif ingin mengajak bangsa Indonesia
khususnya,
dalam
melaksanakan
kegiatan-kegiatannya
hendaknya
berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits, politik harus dibangun sesuai dengan moralitas al-Qur’an. Demikian juga dengan kegiatan kehidupan di dunia ini, segala kegiatannya kendaknya berlandaskan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw, seperti dalam ukhwah islamiyah, yaitu persaudaraan Islam, dari manapun kita berasal, tetapi terikat sesaudara seagama Islam, bukan dengan masih mementingkan golongan dan budaya masing-masing. Kini, Di usia senjanya, bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah, sebagai sumber inspirasinya dalam “perang dan damai” dan anak semata wayangnya, Mohammad Hafiz, Ahmad Syafii Maarif tetap menikmati hari-harinya. Ahmad Syafii Maarif berharap di sisi hidupnya, ia mampu menghasilkan karya-karya besar tentang Islam dan kemanusiaan. Dapat dipastikan bahwa karya itu kelak akan memberikan sumbangan besar bagi peradaban.
49
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 20
141
E.Fase Perkembangan Pemikiran Syafii Maarif 1. Pembentukan Intelektual Pembentukan Intelektual terjadi pada waktu Syafii Maarif belajar Di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tangan, Lintau, selama menganggur selam tiga tahun pasca Syafii Maarif. Dengan modal pendidikan Mu’allimin, Syafii Maarif telah berani berpidato di depan publik kampong yang jumlahnya terbatas. Bahkan lebih dari itu, Syafii Maarif sudah berani pula memberi ceramah di tempattempat lain. Dengan bekal ilmu agama yang serba sedikit, sebagai pemula, Syafii Maarif telah berani berdebat di masjid menghadapi kaum elit Sumpur Kudus dengan semangat tinggi. Topik perdebatan tidak melebihi masalah-masalah khilafiah di tingkat kampung. Paham agama Muhammadiyah yang telah dipompakan ke dalam otak dan hatinya sejak masih belajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus telah menjadi modal Syafii Maarif untuk berkayuh lebih jauh, sampai ke puncak karier akademiknya.50 2. Pertumbuhan Intelektual Pertumbuhan Intelektual terjadi setelah meneruskan pelajaran ke Madrasah Mu’allimin Jogjakarta. Wawasan semakin luas, tetapi nalurinya sebagai seorang “Fundamentalis” belum berubah. Bahkan sampai Syafii Maarif belajar sejarah pada Universitas Ohio di Athens, Amerika Serikat, paham agamanya belum banyak mengalami perubahan. Cita-cita politik Syafii Maarif tetap saja ingin menaklukan
50
Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku, h. x
142
Indonesia agar menjadi Negara Islam, padahal batang usianya ketika itu sudah di atas 40 tahun. 3. Perkembangan Intelektual Perkembangan Intelektual Syafii Maarif terjadi di lingkungan Kampus Universitas Chicago. Syafii Maarif mengalami kebangkitan spiritual dan intelektual yang baru. Otak dan hatinya mendapatkan “virus” pencerahan. Menurut Syafii Maarif, ini adalah perkembangan pemikiran keislaman dan keindonesiaan. Peran Fazlur Rahman, dengan segala kritiknya kepada sang guru, sungguh sangat besar. Strategi dan pendekatan yang digunakannya agar Syafii Maarif menimbang seluruh kekayaan khazanah Islam klasik dan modern dengan al-Qur’an sebagai sumber pokoknya.51 4. Pematangan Intelektual Pematangan Pemikiran Syafii Maarif terjadi setelah ia kembali dari Chicago, Islam bagi Syafii Maarif adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Qur’an adalah Kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai pedoman dan acuan tertinggi dalam semua hal, termasuk acuan dalam berpolitik. Pasca Chicago pemikiran keindonesiaan dan keagamaan Syafii Maarif telah lebur menjadi satu. Menurut Syafii Maarif Islam yang dianut mayoritas penduduk tidak boleh menang
51
Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.xi
143
sendiri, saudara-saudara sebangsa dan setanah air tetapi berbeda iman haruslah dilindungi dan diperlakukan secara adil dan proporsional. 52
52
Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalanan ku, h. 404
144
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA DI INDONESIA
A. Pengertian Ideologi Secara etimologi, istilah ideologi berasal dari kata Yunani, idea (ideos dalam bahasa Latin) dan logos. Idea artinya gagasan, ide, atau cita-cita, logos adalah ilmu. Secara sederhana, ideologi dapat dipahami sebagai ilmu tentang ide, gagasan atau cita-cita.53 Dalam kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan ideologi sebagai sekumpulan konsep bersistem yang menjadikan asas pandang memberikan arah dan tujuan hidup seseorang atau satu kelompok masyarakat.54 Bagi para penganutnya, ideologi bukan hanya sekedar doktrin. Ideologi pada dasarnya mengaitkan tindakan dengan sejumlah makna yang kemudian memberikan pengaruh pada tingkah laku sosial penganutnya. Ideologi mempertegas landasan moral dari tindakan-tindakan yang kemudian menjadi kekuatan untuk membangun identitas dan solidaritas sosial para penganutnya.55 Ideologi yang didefinisikan dalam buku DR. Faisal Ismail oleh A.S. Hornby sebagai ”seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori masyarakat teori 53
Paul Barry Clark dan Andrew Linxey, ed., Distionary of Ethics, Theology and Society, (New York; Routledge, 1996), h. 466 54
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 319 55
David E. Apter, Politik Modernisasi, Terjemahan Hermawan Sulistyo dan Wardah Hafidz (Jakarta: PT Gramedia, 1987), h. 327-340
145
ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seseorang atau kelompok tertentu’, adalah sesuatu yang sangat penting dan benar-benar vital bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa, karena ideologi memberi kejelasan identitas nasional, kebangsaan dan kekuatan yang bisa mengilhami untuk mencapai cita-cita sosial dan politik.56 Jadi, dalam politik, ideologi politik menjadi penggerak dinamis yang utama dalam kehidupan organisasi atau lembaga politik serta dalam kehidupan politik suatu negara dan bangsa, karena ideologi berfungsi ”menyatukan rakyat dalam organisasi politik untuk melakukan tindakan politik secara efektif.” Lebih dari itu tujuan ideologi adalah untuk membangkitkan perasaan dan mendorong munculnya tindakan, sedangkan kekuatan ideologi terletak pada kapasitasnya dalam menangkap dan menggerakan imajinasi manusia serta melepaskan energi-energi manusia. 57
B. Bentuk-Bentuk Ideologi dan Dasar Negara yang Pernah Berkembang di Indonesia Dalam khazanah pemikiran ideologi dan falsafah negara Indonesia, diskursus tentang Islam dan Pancasila memang bukan persoalan baru. Diskursus ini telah berlangsung sangat lama, namun sampai sekarang tetap menjadi wacana yang menarik dan aktual, bahkan kontroversial. Ini menandakan bahwa masalah Islam dan
56
DR. Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: wacana ketegangan kreatif antara Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wancana,1999). h. 15 57
DR. Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 1
146
Pancasila merupakan masalah penting yang menjadi perhatian masyarakat dan umat Islam Indonesia. 1.
Islam Sebagai Dasar Negara Di kalangan umat Islam, terdapat pemahaman dan keyakinan bahwa Islam
bersifat universal, menyeluruh dan meliputi aspek kehidupan manusia, di dalamnya berisi beberapa pokok ajaran yang dapat diterapkan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, termasuk tentang kenegaraan. Atas pemahaman dan keyakinan tersebut, kemudian melahirkan konsep bersatunya Islam dan negara, dalam hal ini keduanya tidak terpisah atau tidak dapat dipisahkan (integrated). Oleh karena itu, kekuasaan Islam juga meliputi kekuasaan negara, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan. Dalam hubungan Islam dan Negara, Natsir mendasari uraiannya kepada alQur’an: ”Dan kami telah jadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah kepada ku” (51:56). Dari ayat tersebut Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan: ” Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Dunia dan akhirat ini sama sekali bagi kaum Muslimin tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka, selanjutnya didalilkan bahwa Negara sebagai kekuatan dunia merupakan sesuatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan
147
ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin modernis Negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan manusia. Sebagai alat, adanya Negara bersifat mutlak, karena itu Natsir membela perinsip persatuan agama dengan Negara.58 Menurut Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan kenegaraan merupakan bagian integral risalah Islam. Bagi Natsir, kaum Muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis atau Komunisme.59 Paham pemisahan Islam dari Negara, dan bukan kaitan non formal/legal antara Islam dan Negara, inilah yang menyulut kritik dari beberapa pemikir dan aktivis Islam politik, khususnya Mohammad Natsir. Bertolak belakang dengan posisi Soekarno, Natsir Menjadi pembela utama paham penyatuan agama dan Negara.60 Hubungan Negara dan Agama dalam pidato Natsir di depan Majelis Konstituante pada tahun 1957, Natsir mempertegas dan menjelaskan lebih lanjut pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara di Indonesia di mana ummat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar Negara, Natsir berdalih bahwa untuk dasar Negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekularisme (al-maniyah), atau paham agama (dini). Dan pancasila menurut pendapatnya bercorak al-maniyah, karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui 58
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study Tentang Perdebatan dalam Konstituante, h. 130 59
Mohammad Natsir, Capital Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 436
60
Mohammad Natsir, Capita Selecta, h.429
148
wahyu sebagai sumbernya. Seperti kalangan umat Islam yang lain, Natsir percaya akan watak Holistik Islam. Ia amat mendukung H.A.R. Gibb, yang memang mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam, bahwa ”Islam itu sesungguhnya lebih dari suatu sistem agama saja, dia itu adalah suatu kebudayaan yang lengkap.61 Bagi Natsir Islam tidak hanya terdiri dari praktik-praktik ibadah, melainkan juga prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan masyarakat. Meski demikian, Natsir amat menyadari bahwa al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad tidak punya ”tangan dan kaki” untuk membuat manusia berjalan sesuai dengan aturan-aturan Islam. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Islam memerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya dijalankan. Dalam konteks khusus inilah ia melihat Negara sebagai alat yang cocok untuk menjamin agar perintah-perintah dan hukum-hukum Islam dijalankan. Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semua aturan-aturan Islam, seperti kewajiban belajar, zakat, dan pemberantasan perzinahan, dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan ”kesempurnaan berlakunya undang-
61
Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 80
149
undang Ilahi bagi yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) maupun sebagai anggota masyarakat”.62 Menanggapi pernyataan Soekarno yang menyatakan tidak ada Ijma ulama yang memerintahkan membentuk negara, Natsir secara tersirat menilai Soekarno tidak obyektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab di satu pihak ia menganjurkan agar umat Islam membuang ”warisan tradisioanl”. Tetapi di pihak lain ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada Ijma tentang persatuan agama dengan negara. Apakah Soekarno akan menerima keputusan itu atau tidak? Atau ia malah berkata, ”ya” itu cuma satu Ijma ulama, satu gedachte traditie, dan bukankan saya (Natsir) sudah bilang bahwa semua warisan tradisional itu harus dibuang jauh-jauh.63 Keinginan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi bernegara di Indonesia, sudah sejak lama cita-citakan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Hal ini bisa kita telusuri dengan membaca sejarah Indonesia, khususnya pada saat-saat awal menjelang kemerdekaan tahun 1945. Perdebatan sengit dan alot tidak bisa dihindari dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUUPKI), antara wali-wali umat Islam dan pemimpin-pemimpin umat Islam dan pemimpinpemimpin nasional. Isu yang paling krusial dalam perdebatan ini adalah pembicaraan tentang ideologi negara Indonesia yang bakal lahir.
62
Mohammad Natsir, Capital Selecta, h. 442
63
Mohammad Natsir, Capital Selecta, h. 434
150
Dalam sidang BPUPKI dihadiri 68 orang anggota. Komposisi anggotanya adalah 8 orang dari jepang dan 15 orang dari golongan nasionalis Islam, sedangkan selebihnya dari golongan nasional sekuler dan para aristokrat jawa yang mereka secara tegas menolak Islam sebagai dasar Negara. Diantara 15 orang golongan nasionalis Islam terdiri dari K.H. Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas Marsus, K.H. Kahar Muzakkir (ketiganya dari golongan muhammadiyah), K.H. Masykur dan K.H.A.Wachid Hasyim (keduanya dari golongan NU), Sukiman Wiryosandjoy (PII), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Partai Penyadar) dan K.H. Abdul Halim (PUI). Melihat komposisi ini, dari sis kuantitas jumlah golongan Islam yang memperjuangkan ideologi dan dasar Islam hanya 25% dari keseluruhan anggota selain anggota yang dari pihak jepang.64 Dalam menggagas tentang dasar Negara, dari kelompok nasionalis sekuler tampil tiga orang: Muhammad Yamin yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945, Supomo yang berpidato pada tanggal 31 Mei 1945 dan Soekarno yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan dari kelompok nasionalis Islam: K.H. Kahar Muzakkir, dan K.H.A.Wachid Hasyim. Sedangkan Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah, mengajukan Islam sebagai ideologi negara (Dasar Negara), meskipun pada akhirnya harapan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia menjadi kandas.
64
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi (Jakarta:Hudaya,1970), h.11-12
151
Keinginan umat Islam untuk hidup secara Islami bukannya tanpa alasan. Mereka berargumen bahwa umat Islam Indonesia berjumlah 90% membentuk nation Indonesia, sehingga tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam. 65 Apalagi Islam merupakan bagian integral dan dominan (baik kuantitas maupun kualiatas) dalam kekayaan rohani bangsa Indonesia yang akan tetap hidup dalam keinsyafan nilai dan kesadaran norma dan bangsa sampai kapan pun. Menurut Natsir, kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tidak terlepas dari serpak terjang orang-orang Islam. Natsir mencontohkan di Mataram ada Sultan Agung yang begitu membela Islam, di Aceh ada Cut Nyak Dien, dan bahkan di lain tempat ada pahlawan-pahlawan yang memberikan perlawanan untuk memerdekakan Islam dalam melawan penjajahan non islam. Teori tentang hubungan Islam dan kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh beberapa tokoh Islam Indonesia sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ibn Taimiyah pada periode klasik bagian tengah dari sejarah Islam. Dalam kitabnya, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah, Ibn Taimiyah menjelaskan, “Wilayah (organisasi politik) bagi (kehidupan kolektif) manusia merupakan keperluan agama terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak dengan kokoh.66 Negara bagi Ibnu Taimiyah, berfungsi sebagai institusi politik untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan mencegah larangan-larangan-Nya. 65
Endang Syaifuddin Ansari, Komitmen Umat Islam Indonesia; Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam (Jakarta: Usaha Enterprises, 1976), h. 143-144 66
Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1996), h. 138
152
Selanjutnya ia mengatakan, “dan karena Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar serta menolong pihak yang teraniaya. Tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan.67 Dr. Abd al-Karim Zaidan menyimpulkan pendapat Ibnu Taimiyah ini dengan mengatakan bahwa orang Islam wajib menegakkan suatu Daulah Islamiyah untuk melaksanakan hukum-hukum syariah.68 Kelompok Islam formalis ini berpendapat, jalan untuk merealisasikan hukum Islam adalah melalui jalur politik dalam arti seluas-luasnya,69 dengan membentuk konstitusi Islam, memakai Islam sebagai dasar
dan
ideologi
negara.
Khomeini
misalnya,
berargumentasi bahwa setelah hukum dibuat perlu diciptakan kekuasaan eksekutif. Demikian pula Islam, setelah mendatangkan hukum Islam pun menetapkan pemegang kekuasan eksekutif. Di zaman Rasulullah saw adalah juga pelaksanan hukum. Beliau menjalankan hukum pidana Islam. Pemikir Indonesia Muhammad Natsir berdalil bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Oleh sebab itu, Natsir membela prinsip peraturan agama dan negara.
67
Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah, h. 138
68
Abd. Al-Karim Zaidan, Al-Fardl wa al-Daulah fi al-Syariah al-Islamiyah (Al-Ittihad alIslami al-Alami, 1970), h. 9 69
205
G.H, Jansen, Islam Militan, terjemahan Armahedi Mahzar (Bandung: Pustaka, 1980), h.
153
Dengan demikian, Natsir ingin islam sebagai landasan ideologi Negara. Karena menurutnya agama islam adalah agama yang bisa menunjukkan semua sikap yang ada dalam rumusan pancasila.
2. Pemahaman Negara Sekuler Sekuler mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Dalam konteks Islam, sekuler ini menolak pendasaran Negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari Negara.70 Yang dimaksud negara sekuler adalah pemisahan agama dan negara sehingga negara tidak menjadikan agama sebagai instrument politik tertentu. Karenanya, tidak ada ketentuan-ketentuan keagamaan yang diatur melalui legislasi negara. Agama adalah urusan pemeluknya masing-masing yang tidak ada sangkuta pautnya dengan negara. Kalau memang ada ketentuan agama yang menuntut keterlibatan publik (intern pemeluk agama) tidak perlu meminjam “tangan nagara” untuk memaksakan pemberlakuannya, namun cukup diatur sendiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan. Dengan demikian negara dapat dikatakana sekuler jika negara tersebut tidak menjadikan kitab suci dasar konstitusinya, dan tidak menjadikan hukum agama
70
Marjuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia, (Yogtakarta: LKiS, 200)1, h. 28
154
sebagai hukum nasional. Atas dasar itu, semua agama memiliki posisi yang sama, tidak ada yang istimewa.71 Soekarno yang termasuk seorang yang menghendaki pemisahan Islam dan Negara, mengemukakan beberapa argument: Pertama, penyatuan agama(Islam) dan Negara bertentangan dengan prinsip demokrasi, Kedua, dimungkinkan pembentukan syariat Islam dalam Negara demokrasi, dan Ketiga, tidak ada consensus ahli agama tentang bersatunya agama dan politik. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan masalah Negara adalah persoalan dunia dan kemaslahatan. Soekarno menilai, bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran agama merupakan tanggung jawab pribadi kaum muslimin dan bukan Negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini, tidak mempunyai wewenang turut campur untuk mengatur apalagi memeksakan ajaran-ajaran agama kepada warga negaranya. 72 Meskipun Soekarno mendukung pemisahan agama(Islam) dan Negara, bukan berarti tidak boleh ada hubungan apapun antara kedua arus religio-politik ini. Soekarno dengan tegas menentang hubungan formal-legal antara Islam dan Negara, khususnya dalam sebuah Negara yang tidak semua penduduknya beragama Islam. Model semacam ini, hanya akan menimbulkan perasaan terdiskriminasikan, khususnya dikalangan masyarakat non-muslim.73
71
Marjuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia, h. 31 72
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Darul Falah, 1964), h. 452,453,406
73
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 452
155
Di Indonesia, Pancasila yang mengandung konsep sekularisme dipahami sebagai netral dan bersikap empati terhadap semua agama, semuanya memperoleh hak yang sama. Hal ini tertuang dalam pasal 29 UUD 1945 yanag menjamin kebebasan keyakinan dan beribadah, agama apapun itu. Dengan kata lain, semua penduduk dapat memperoleh kesetaraan hak-hak sebagai warga Negara, tanpa melihat agamanya. Namun pengertian yang benar dalam pengertian sekularisme masih banyak di salah pahami, termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia(MUI) sendiri yang telah mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Padahal ketiga paham itu merupaka dasar bagi kebebasa beragama dan peranan agama di ruang publik. Tiga prinsip itu pula yang menjamin otonomi masyarakat sipil dan penyelenggaraan kehidupan beragama yang toleran dan sekaligus dinamis, karena itu pemahaman terhadap triologi sekularisme, liberalism, dan pluralism harus di luruskan.74
3.Interseksi Agama dan Negara dalam Ideologi Pancasila Dalam Islam, agama dipahami tidak hanya berdimensi vertical (mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), tetapi juga meliputi horizontal (mengatur hubungan antara sesama manusia dengan berbagai aspek kehidupannya). Sehubungan dengan hal ini, agama dalam konsepsi Islam mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan Negara, karena Islam mempunyai konsep dalam mengatur persoalan74
Nawiriddin, Islam dan Pancasila: Studi Hubungan Ideal dalam Konstruk Negara Nasional, (Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta), h.160
156
persoalan sosial kehidupan manusia. Dalam konteks inilah, agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak boleh bertolak belakang apalagi dipisahkan. Pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik, Negara yang dibangun Nabi sangat multicultural dan pluraris yang menjamin kebebasan beragama di kalangan warga Negara Madinah yang diakui oleh sebagian besar sarjana muslim dan bahkan beberapa sarjana Barat sebagai bukti adanya demokrasi dalam sistem kenegaraan Islam kelasik.75 Oleh karena itu, Islam menolak sekularisme sebab konsep Islam mencakup seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk dalam bidang kenegaraan. Dalam Islam tidak ada pemisah antara urusan agama dengan urusan politik. Dalam pengertian, politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka sistem nilai Islam. 76 Dalam perspektif inilah, hubungan Islam dan Pancasila lebih di tekankan pada pola hubungan simbiosis atau simbiotis, yaitu suatu pola hubungan timbal balik dan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Islam dan Pancasila memang tidak bisa di perbandingkan dan menjadi mitra bersama dalam membangun masyarakat, bangsa dan Negara. Spirit ajaran Islam tidak dapat berkembang dan efektif berlaku dalam masyarakat tanpa bantuan Negara pancasila sebagai alat kekuasaan untuk “memaksa”. Sebaliknya, Pancasila tanpa bimbingan Islam akan mengalami krisis
75
Azyumardi Azra, Pergerakan Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina,1996), h. 76
Muhammad Hari Zamharir, Agama, dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, (Raja Grafindo: Jakarta,2004), h. 74
157
etika dan moral, dengan panduan Islam Pancasila dapat berkembang dalam bimbingan etika. Dalam pandangan Al-Mawardi, kepemimpinan Negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun hubungan secara simbiotik, keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.77 Oleh karena itu, konsep Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep kekuasaan dan kenegaraan, meskipun belakangan ini pemikir dan pengamat muslim Indonesia lebih menitik beratkan subtansi keislaman dari simbolnya. Kecendrungan ini diwakili oleh kalangan elit politik muslim, baik pada zaman orde baru, orde lama, maupun Orde Reformasi. Kecendrungan atau penekanan terhadap subtansialisme nilai-nilai Islam dalam konsep kenegaraan diistilahkan dengan pendekatan subtansialisme. Konsep ini lebih mendorong kepada perjuangan penerapan subtansi atau nilai-nilai Islam dibandingkan dengan perjuangan formalisasi Islam. Subtansialisme dimaksudkan sebagai aksentuasi bahwa subtansi atau makna iman dan pribadatan lebih penting dari formalitas simbiolisme keagamaan serta ketaatan yang besifat literal kepada teks wahyu Tuhan. Sementara peasn-pesan alQur’an dan hadist yang mengandung esensi abadi dan bemakna universal, ditafsirkan kembali berdasarkan runtut dan rentang waktu generasi kaum muslim serta
77
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Ode Baru, h. 156
158
mengkontekstualisasikannya dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya. Eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinstik, dalam iklim politik Indonesia lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia modern. Ini merupakan pandangan dasar kaum subtansialis yang dilandasi dari perspektif historis.78 Soekarno sendiri pada dasaranya menganut paham hubungan yang brsifat subtansialisme antara Islam dan negara atau Pancasila hal ini dapat dipahami dalam salah satu bukunya yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi”, bahwa otensitas sebuah Negara Islam tidak semata-mata ditunjukan oleh penerimaan formal atau legal Islam dalam kebijakan-kebijakan Negara. Menurut soekarno, dalam suatu negeri yang menganut sistem demokrasi, di mana rakyat melalui wakil-wakilnya di legislatif boleh memperjuangkan dan memasukan segala macam keagamaannya dalam sistem kenegaraannya dan perundang-undangan Negara, meskipun agama dipisahkan oleh negara.79 Oleh karena itu, dalam Pancasila, Islam atau agama lainnya mempunyai tempat yang terhormat. Hal ini didasarkan pada adanya jaminan konstitusional bahwa Negara menjamin kemerdekaan warga Negara untuk beragama dan memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama-agama untuk menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Islam dan agama-agama lainnya, menjadi landasan spiritual etika dan moral bagi pembangunan masyarakat Indonesia 78
M. Syafii Anwra, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 156
79
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Darul Falah, 1964), h. 452-453
159
4. Ideologi dan Falsafah Pancasila Pengertian Pancasila dapat ditelusuri dari bahasa Sansekerta (India), bahasa Kasta Brahmana, sedangkan bahasa rakyat jelata ialah Prakerta. Menurut M. Yamin, dalam bahasa Sansekerta perkataan Pancasila terdiri dari dua kata, yaitu: Panca yang berarti “lima” dan Syila (dengan huruf i pendek), yang berarti “batu-sendi”, “alas/dasar”, atau Syiila (dengan huruf i panjang) yang dalam berarti “peraturan tingkah laku yang penting/baik/senonoh”. Dari kata Syiila ini dalam bahasa Indonesia menjadi “susila” yang artinya “tingkah laku yang baik”. 80 Jadi, Pancasila secara etimologi dapat diartikan dengan “lima prinsip dasar, atau bisa juga diartikan dengan “lima aturan tingkah laku yang penting”. Pada awalnya, istilah Pancasila dipergunakan oleh masyarakat India yang memeluk agama Budha. Istilah ini digunakan untuk memberi nama rumusan lima dasar moral dalam agama Budha. Pancasila berarti “lima aturan” atau “five moral principles” yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa (awam) agama Budha, yang dalam bahasa aslinya dikenal dengan sebutan Pali “Pancasila”, yang berisi larangan atau lima pantangan yang bunyinya; 1) dilarang membunuh, 2) dilarang mencuri, 3) dilarang berzina, 4) dilarang berdusta, 5) dilarang minum minuman keras.81
80
Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan (Yogjakarta: Liberty, 1994), h. 8-9
81
Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 9
160
Dalam sejarah Indonesia kuno, perkataan Pancasila telah dikenal sejak kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478 M) abad XIV, yaitu terdapat dalam buku Nagarakertagama karya Empu Pra-panca (penulis dan penyair istana) dan buku Sutasomo karya Empu Tantular.82 Istilah Pancasila masuk dalam pembendaharaan kesusteraan Jawa-Kuno pada zaman Majapahit di bawah raja Haym Wuruk dan Patih Gajah Mada. Dalam buku Negarakertagama, istilah Pancasila dikenal dalam bentuk syair pujian ditulis oleh pujangga istana bernama Empu Pra-panca selesai pada tahun 1365, yakni di dalam Sarga 53 bait ke 2 yang berbunyi; “Yatnanggegwani Pancasyiila Kertasangskarabhisekakakrama”, artinya: (Raja) menjalankan dengan setia kelima pantangan (Pancasila) itu begitu pula upacara-upacara
ibadat dan penobatan-
penobatan. Sedangkan dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular, istilah Pancasila di samping mempunyai arti “lima batu karang atau lima prinsip moral”, juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Krama), yaitu: 1) tidak boleh melakukan kekerasan; 2) tidak boleh mencuri; 3) tidak boleh berjiwa dengki; 4) tidak boleh berbohong; 5) tidak boleh mabuk minuman keras.83 Setelah Majapahit runtuh dan Islam tersebar ke seluruh Indonesia, pengaruh ajaran moral Budha yaitu Pancasila, masih dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai
82
Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis, Histories dan Yuridis-Konstitusional (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), h. 15 83
Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis-Konstitusional, h. 15. Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3S, 1996), h. 144
161
lima larangan (pantangan, wewaler, pamali), dan isinya agak lain, yang disebut dengan singkatan “Ma-lima”, yaitu lima larangan, yang dimulai dari awal kata “Ma”, yaitu: 1) Mateni artinya membunuh, 2) Maling artinya mencuri, 3) Madon artinya berzina, 4) Madat artinya menghisap candu, 5) Main artinya berjudi. Lima larangan moral atau “Ma-lima” ini dalam masyarakat Jawa masih dikenal dan juga masih menjadi pedoman moral, tetapi namanya bukanlah Pancasila, tetapi dengan nama “Ma-lima”.84 Selanjutnya, secara terminologi istilah Pancasila mulai diperkenalkan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Soekarno pada 1 Juni 1945 menyampaikan usulan lima dasar negara republik Indonesia, usulan konsep Soekarno ini diberinya nama atau diistilahkannya dengan Pancasila, dengan muatan makna baru yang berbeda dengan makna dalam pengertian Budha atau pada masa kerajaan Majapahit. Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya tanggal 17 Agustus 1945, besoknya pada 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945 yang sebelumnya masih merupakan rancangan hukum dasar serta dalam pembukaannya memberi nama Pancasila. Sejak saat itulah Pancasila secara resmi atau secara formal masuk ke dalam bahasa Indonesia walaupun di dalam pembukaan UUD 1945 itu tidak disebutkan nama Pancasila. Pancasila dalam pembukaan ini sebagai dasar negara, karena itu istilah Pancasila artinya “lima dasar” yang dimaksud ialah satu dasar negara yang terdiri atas lima unsur yang menjadi satu kesatuan dasar falsafah negara republik 84
Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 10-11
162
Indonesia yang isinya sebagaimana tertera dalam alinia ke empat bagian akhir pembukaan UUD 1945, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, 5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.85 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya nama Pancasila bukanlah berakar dari budaya Indonesia asli, tetapi berasal dari budaya Sansekerta, yang kemudian diadopsi menjadi pembendaharaan bahasa Jawa-kuno dan bahasa Indonesia. Meskipun istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta, namun muatan makna dan nilai-nilainya sangat jauh berbeda dengan muatan makna Pancasila dalam UUD 1945, makna Pancasila dalam UUD 1945 sarat dengan muatan-mutan budaya masyarakat Indonesia sendiri, bukan berasal dari budaya India atau agama Budha. Soekarno mengambil konsep ini, dengan memberinya isi dan makna baru. Soekarno sendiri menyatakan menggali Pancasila dari bumi dan kepribadian mendalam bangsa Indonesia. Menurutnya Pancasila merupakan refleki konteplatif dari warisan sosio-historis Indonesia kemudian merumuskannya dalam lima prinsip.86 Ketika menyampaikan usulan konsep dasar negara Indonesia, Soekarno memberinya nama dengan Panca Sila. Pancasila menurutnya, terdiri dari Panca yang berarti lima
85
Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 11-12
86
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 144
163
dan Sila berarti azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah didirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.87 Menurut sejarawan Anhar Gonggong, secara historis dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan campuran berbagai ide. Namun, Soekarno merumuskan Pancasila berangkat dari sebuah pemahaman kondisi bahwa Indonesia merupakan negara majemuk. Majemuk dalam dua hal; pertama, segi geografis atau kondisi alam, kedua, majemuk dalam arti memiliki ragam latar budaya dan penduduk. Dalam kondisi seperti ini Soekarno sangat menyadari bahwa bangsa ini memerlukan sebuah alat pengikat yang menurut Soekarno tak lain adalah Pancasila. Konsep Pancasila oleh Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945, sebenarnya sintesa dari berbagai ideologi Barat, terutama Nasionalisme, Sosialisme, Internasionalisme dan hanya ditambah dengan ide ketuhanan yang berasal dari gerakan keagamaan. Menurut Dawam Rahardjo, ada dua hal yang menarik yang perlu dicatat.88 Pertama, para perumus lima sila dalam Piagam Jakarta dan UUD 1945, mengganti istilah terknik dalam ideologi Barat, dengan istilah-istilah Indonesia, agar mengandung makna yang berakar kepada nilai-nilai agama tradisi. Misalnya, kemanusiaan yang adil dan beradab, musyawarah yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan atau keadilan sosial. Ini adalah gejala mencari identitas dalam proses menyerap ide-ide modernis. Kedua, gerakan Islam tidak mengajukan konsep 87
Soekarno, ”Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945”, dalam Wawan Tunggul Alam (Ed.), Bung Karno Menggali Pancasila (Kumpulan Pidato), h. 29-30 88
Dawam Rahardjo, ”Agama, Masyarakat, dan Negara”, dalam Mukti Ali, dkk (Ed). Agama dalam Pergumulan, h. 133
164
tandingan yang kemudian dikenal dengan konsep negara Islam, tetapi hanya ingin agar sila ketuhanan diberi keterangan ”dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dan ketika permintaan ini ditolak, dan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, Hatta juga beralasan bahwa dihilangkannya anak kalimat itu adalah untuk mencegah masyarakat Kristen di Indonesia Timur memisahkan diri,89 maka mereka menginginkan predikat ”Yang Maha Esa” di belakang ketuhanan dan agar sila ini ditempatkan pada sila pertama, sebagai nilai paling dasar dan mendasari sila-sila lain. Permintaan untuk mencantumkan Piagam Jakarta (tujuh kata-kata) itu mempunyai latar belakang yang sederhana yaitu agar umat Islam bisa memperoleh kemerdekaan beragama dengan menjalankan syariat Islam. Dengan kesempatan untuk menjalankan syariat Islam itu, maka para pemimpin gerakan Islam berpikir bahwa umat Islam bisa memelihara dan mengembangkan identitas mereka dalam negara Indonesia.90 Kelahiran dan perumusan Pancasila mempunyai akar sejarah yang panjang, dan merupakan refleksi dan puncak konstruksi serta solusi terhadap perbedaan budaya, agama dan ideologi. Jadi, Pancasila adalah puncak prestasi kolektif pada cendekiawan (Muslim dan non-Muslim) dalam membangun identitas dan cita-cita negara Indonesia, yang merdeka. Bisa dikatakan Pancasila adalah miniatur dari perpaduan antara budaya, agama dan modernitas. 89
Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 58 90
Dawam Rahardjo, ”Agama, Masyarakat, dan Negara”, dalam Mukti Ali, dkk (Ed). Agama dalam Pergumulan, h. 136-137
165
Kini, pancasila sebagai ideologi dan dasar negara indonesia, dapat diterima oleh sebagian besar intelektual Muslim Indonesia, mereka berkeyakinan bahwa pancasila merupakan ideologi terbuka dan tidak bertentangan dengan islam, bahkan pancasila sejalan dengan piagam madinah yang meletakkan dasar-dasar legal dan histories toleransi islam terhadap umat non-Muslim.91 Menurut Nurchalish Madjid, bahwa kaum muslim Indonesia bisa menerima pancasila dengan dua pertimbangan. Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama islam. Dalam artian bahwa, nilai-nilai yang tertuang dalam pancasila itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam. Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama. Nurchalish menganggap bahwa pancasila adalah laksana sebuah dokumen yang di dalamnya bertuliskan perjanjian kesepakatan antara berbagai pihak atau pun golongan untuk membentuk politik Negara yang dibangun dengan landasan kebersamaan. Pancasila dilaksanankan sebuah perjanjian luhur yang telah digariskan sebagai wadah yang membentuk perjalanan dalam mendirikan bangsa dan berlandaskan ideologi. Nurchalish menerima pancasila sebagai landasan ideologi Negara adalah karena melihat sejarah masa silam, sebagaimana “konstitusi madinah” yang diajukan rasulullah ketika memimpin negeri Madinah dulu. Sekalipun itu tidak bisa disamakan, dengan kedudukan serta fungsi pancasila yang diterapkan di Indonesia. Kenapa Piagam Madinah dapat diterima oleh mereka yang non-muslim di bawah
91
2004
Azyumardi azra, fenomena hidayat nurwahid dan politik islam, media Indonesia, 11 oktober
166
pimpinan seorang rasul islam di kota yastrib semasa dulu? Apakah dikarenakan seorang pemimpin waktu itu dari golongan islam? Jawabannya adalah isi dari piagam madinah itu sangat menarik, bahkan dari sudut tinjauan modern pun sangat mengagumkan. Pandangan Syafii Maarif tetang hubungan Islam dan Pancasila ini layak untuk dipertimbangkan. Bertolak dari historis umat Islam dan bangsa Indonesia, khususnya dalam usaha merumuskan dasar Negara menjelang kemerdekaan sampai perdebatan di Majelis Konstituante, Syafii Maarif berkesimpulan bahwa dalam soal penafsiran terhadap Pancasila umat Islam Indonesia dan golongan lain perlu belajar dari Bung Hatta. Dengan terus terang Syafii Maarif memuji pandangan negarawan yang pernah menjadi Wakil Presiden RI tentang Pancasila. Menurut Syafii Maarif, di banding dengan tafsiran-tafsiran dari tokoh-tokoh Islam maupun golongan non-Islam lainnya, Pancasila versi Hatta lebih masuk akal dan dibenarkan oleh sejarah. Dalam analisisnya tentang Pancasila, Hatta berpendapat bahwa sila ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Seiring dengan prinsip dasar ini, sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam peraktek. Demikian pula dengan sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, “Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menjadi tujuan terakhir Pancasila. Dengan berpegang teguh dengan filsafat ini, pemerintah Negara Indonesia tidak boleh menyimpang dari jalan lurus bagi keselamatan masyarakat, ketertiban dunia, serta
167
persaudaraan antar bangsa. Dengan menempatkan sila Ketuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, Negara memperoleh landasan moral yang kukuh. Demikian inti pokok pandangan Hatta tentang Pancasila, yang didukung dan dibenarkan sepenuhnya oleh Syafii Maarif.92 Kritik Hatta terhadap golongan islam itu juga di setujui oleh Syafii Maarif dalam Majelis Konstituante yang terus mendesak dasar negara Islam bagi Indonesia. Bahkan Syafii Maarif merasa bersyukur karena usaha tokoh-tokoh Islam yang hendak menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia gagal terwujud. 93 Dari pengalaman Historis itu Syafii Maarif menegaskan pendiriannya bahwa usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu Negara Islam, sekalipun sah menurut Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan “Usaha Prematur dan tidak realistik karena sebuah fondasi intelektual keagamaan yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi diciptakan”. Erat kaitannya dengan masalah ini adalah kenyataan bahwa mayoritas rakyat Indonesia belum memahami betul arti Islam bagi manusia, baik bagi individual maupun kolektif.94 Dalam hubungan Islam dan pancasila Amien Rais tidak berbicara dalam perspektif normatif dan filosofis, tapi lebih melihat pada pelaksanaan Pancasila dalam praktek.
Iasangant
mengecam
keras
usaha
pihak-pihak
tertentu
yang
mempertentangkan Islam dan Pancasila. Pancasila menurut Amien Rais sama sekali 92
M. Syafii Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, h. 200
93
M. Syafii Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, h. 201
94
M. Syafii Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, h. 202
168
tidak bertentangan dengan Islam, walaupun peringkatnya berbeda. Islam adalah agama wahyu, sementara pancasila adalah ideologi buatan manusia. Dalam konteks ini, ia mengingatkan, umat Islam telah mengaktualisasikan pancasila dalam kehidupan kesehariannya, kalau tidak hendak dikatakan bahwa Pancasila itu sendiri adalah hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia. Pandangan Amien Rais di sekitar penerimaan Muhammadiyah terhadap penetapan Pancasila sebagai satusatunya
asas.
Menurutnya,
penerimaan
Pancasila
sebagai
asas
organisasi
Muhammadiyah dalam Muktamar di Solo tahun 1985, didasarkan pada pertimbangan rasional, yang berbeda dengan NU.95 Penerimaan NU terhadap Pancasila bukan semata-mata karena situasi, penerimaan itu benar-benar dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan dan pemahaman NU terhadap sejarah. Dalam pemahaman keagamaan NU terhadap suatu nilai di dalam masyarakat, sepanjang nilai tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Maka, nilai tersebut mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembngkan agar selaras dengan tujuan-tujuan Islam. Dalam pandangan NU, Islam itu bersifat menyempurnakan sehingga bila ada sesuatu yang baik di dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan Islam maka ia termasuk kategori Islami. Apalagi sila pertama dari Pancasila, yang menjiwai sila-sila lainnya dipandang mengandung nilai-nilai kehidupan. Dari pihak lain, Pancasila yang digali dan dipilih merupakan kristalisasi
95
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 203
169
dari nilai luhur kebudayaan Indonesia. Termasuk kebudyaan Islam yang dianut dan dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. 96
96
1992), h.
Kacung Marjian, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,
170
BAB IV PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA A. Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam sebagai Ideologi Negara di Indonesia Teori suatu Negara Islam di Indonesia adalah fenomena baru-baru ini saja, dan itu hampir dilakukan oleh penulis-penulis dan politisi modernis Muslim. Dari dunia pesantren, sulit diperoleh suatu karya yang berarti tentang masalah ini. Tetapi, sekalipun kelompok modernis telah banyak berbicara tentang sebuah Negara berdasarkan Islam pada priode pasca kemerdekaan, menurut penilaian Syafii Maarif, belum seorang pun diantara mereka yang telah berhasil menyusun suatu karya sistematis dan ilmiah, yang mampu mengartikulasikan hakikat dan corak suatu Negara Islam yang ingin mereka ciptaka di Indonesia.97 seluruhnya Keinginan adanya cara hidup Islami dengan diberlakukannya syariat Islam di lembaga negara telah disuarakan sejak sebelum Indonesia merdeka hingga pasca-kemerdekaan.98 Dari kalangan Islam beralasan, bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan, sebab tidak ada institusi formal seperti negara yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial
97
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, h.127 98
Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler (Yogyakarta: Uswah, 2008), h. 33
171
Belanda adalah contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat berjalan, kendati pun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Para Islamolog Indonesia umumnya berpendapat, Islam merupakan sebuah agama yang khas. Sebab, Islam mengatur bukan hanya urusan transendental, tapi juga hubungan sosial, bahkan politik. Sejarah Islam juga telah memperlihatkan bahwa Nabi Muhammad saw dalam kenyataannya merupakan pimpinan politik dan agama sekaligus. Banyak sarjana Barat modern menggambarkan bahwa khatamil anbiya’ (Nabi penutup) itu sebagai “Nabi-Penguasa atas komunitas Islam”.99 Ahmad Syafii Maarif mengakui bahwa pada mulanya yang menjadi cita-cita politik bagi orang-orang Islam di Indonesia adalah keinginan untuk mendirikan suatu negara nasional Islam. Melalui pemimpin-pemimpin umat Islam menginginkan citacita tersebut terwujud. Tidak lain, menurut Ahmad Syafii Maarif, dibentuknya negara nasional Islam tersebut adalah untuk menjamin dan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam kehidupan kolektif.100 Ahmad Syafii Maarif, sebelum meneruskan kuliah ke Universitas Chicago, pola pikir Maarif terikat oleh pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi dan menjadikannya sebagai rujukan primer. Pada tahun 1976-1978, Syafii Maarif aktif dalam MSA (Muslim Students' Association), yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu negeri. Sampai meninggalkan Athens tahun 1978, masih 99
Manzoruddin Ahmed, “The Classical Muslim State”, Islamic Studies, 1. no. 3 (September, 1962), h. 83 100
Syafii Maarif, Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, dalam Fauzi Rahman (Ed.), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), h. 162
172
belum ada yang dapat ditawarkan Syafii Maarif untuk menembus kebuntuan intelektualisme Islam. Kesamaan ideologi Maarif dengan tokoh-tokoh Masyumi ini ia pertahankan hingga akhirnya berubah haluan setelah sampai di Chicago pada awal 1980-an.101 Menurut Ahmad Syafii Maarif, bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta ini memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana, sebagai alat bagi agama, dan bahkan sebagai sebuah perwujudan (suatu eksistensi) dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa sunnah Nabi maupun realitas al-Qur’an memang tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku, karena memang al-Qur’an lebih merupakan petunjuk etik bagi manusia, bukan sebuah kitab politik. Umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntutan masyarakat. Tujuan terpenting dalam al-Qur’an lebih terarah pada upaya agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Maka atas dasar nilai-nilai etik alQur’anlah, bangunan politik Islam dan bangunan sosio-kultural wajib ditegakkan.102 Al-Qur’an dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif tidak menjelaskan tentang bentuk pemerintahan, dan Ahmad Syafii Maarif berpandangan memang tidak perlu al-Qur’an menjelaskan tentang bentuk suatu pemerintahan dalam perspektif Islam,
101
102
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 195
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, h. 16 dan 18
173
tetapi Islam menekankan yang dinamakan prinsip syura atau musyawarah, artinya menurut Ahmad Syafii Maarif adalah prinsip syura menempatkan manusia setara di depan hukum bahkan di depan Tuhan sekalipun. Jadi Syafii Maarif berpendapat Islam itu tidak menjelaskan suatu bentuk pemerintahan, tetapi Islam lebih dekat dengan sistem demokrasi dan bentuk pemerintahan republik, walaupun demikian demokrasi dan pemikiran yang digunakan tidak selalu sama dengan Barat. Ahmad Syafii Maarif tidak setuju terhadap tokoh-tokoh Islam yang terus mendesakkan dasar negara Islam untuk Indonesia. Berbeda dengan pandangan para tokoh Islam lainnya, terutama dari golongan tua dari kubu modernis, Ahmad Syafii Maarif justru bersyukur karena usaha para tokoh Islam untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara gagal. Apalagi jika yang dimaksudkan sebagai dasar negara Islam itu adalah syariat sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab. Menurut Syafii Maarif, syariat seperti itu hanyalah merupakan hasil ijtihad mereka jauh sebelum jatuhnya kekaisaran Baghdad. Bagaimana mungkin akan diterapkan pada abad ke-20. Seandainya syariat dan dasar negara Islam itu jadi kenyataan pada tahun 1950-an, perpecahan besar akan melanda bangsa Indonesia. “Boleh jadi umurnya tidak akan lebih dari 50 hari, karena partai-partai Islam akan bertarung sendiri untuk membawa syari’at dalam kehidupan politik”, akhirnya menurut Ahmad Syafii Maarif, meskipun usaha seperti itu konstitusional, bagaimana pun ia merupakan usaha prematur yang tidak realistis karena belum mempersiapkan pondasi intelektual keagamaan yang kukuh.
174
Ahmad Syafii Maarif menyayangkan, pada abad semodern ini belum ada satu contoh pun tentang negara Islam yang dapat dijadikan teladan. Semuanya bermasalah. Islam malah sering digunakan untuk tangga mendapatkan keuntungan duniawi. Dalam ungkapan lain, nama Tuhan sering dibajak untuk tujuan-tujuan rendah. Maarif tidak rela dan bahkan berontak melihat kenyataan buruk semacam ini. Ia tidak mau menyaksikan apabila Islam dijadikan ”barang dagangan” dengan harga murah. Islam adalah pedoman hidup maha sempurna. Syafii Maarif melihat proyek negara Islam yang diawali abad ke-20 tidak satupun yang berdasakan hasil penelitian komprehensif dan mendalam dengan menyiginya di bawah cahaya al-Qur’an dengan konsep syuranya yang menempatkan manusia pada posisi setara dan sejajar.103 Jika upaya serba radikal ini gagal, dan memang tidak punya syarat untuk berhasil, maka menurut Syafii Maarif sebab utamanya adalah karena sebuah gagasan besar dikerjakan oleh otak-otak kecil yang lebih banyak dikuasai oleh emosi, bukan oleh kekuatan penalaran yang mantap secara teori, tetapi belum berangkat dari pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits secara autentik. Suasana dunia Islam yang terjepit telah dijadikan dasar tak langsung dari teori yang coba dibangun itu. Hasil akhirnya pasti akan kacau balau karena suasana batin yang marah menghadapi realitas telah dijadikan pangkal tolak dalam membangun teori pasti akan sia-sia. 104 Dalam masalah syariat, jelas Ahmad Syafii Maarif lebih melihat konsep syariat sebagai esensi Islam sebagai agama keadilan, bukan semata-mata hukum103
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 231
104
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 232
175
hukum yang bersifat particular. Menurut M. Syafii Anwar, 105 Ahmad Syafii Maarif mengkitik tajam pemikiran kelompok Islam radikal. Dalam formulasi Syafii Anwar, setidaknya ada tiga kritik utama dari Ahmad Syafii Maarif terhadap kelompok Islam radikal yang sangat bersemangat untuk menggesa penerapan syariat Islam. Kritik pertama, kelompok Islam radikal memahami syariat secara simplistik yakni sematamata dalam bingkai hukum dan fiqh saja. Apalagi jika syariat sekedar dipahami sebagai pelaksanaan hukum rajam dan potong tangan, ini merupakan pemahaman yang lemah secara intelektual. Lebih jauh lagi, pemahaman seperti ini akan membawa implikasi serius terutama bagi munculnya kesan bahwa Islam adalah agama yang menakutkan. Kedua, Ahmad Syafii Maarif mengkritik pemahaman kelompok Islam radikal atau modernis revivalis yang umumnya sangat -meminjam istilah Marshall Hodgson“shari’a minded”. Mereka yang tergolong “syari’a minded” ini umumnya melihat syariah semata-mata disandarkan pada pendekatan hukum/fiqh serta pemikiran dan pengamatan parsial yang “hitam–putih”. Mereka tidak melihat pengalaman historis dan perbandingan dengan negara-negara Islam dalam mengimplementasikan syariat, seperti Pakistan dan Sudan, yang sampai sekarang tetap dirundung masalah. Ia menilai kelompok Islam radikal yang acap kali menuntut pelaksanaan syariat Islam sangat ahistoris, karena menegasikan pengalaman kelompok, golongan, partai-partai Islam di masa lalu dan masa kini yang selalu gagal memperoleh dukungan mayoritas
105
M. Syafii Anwar, Syafii Maarif,Bung Hatta, dan Deformalisasi Syariat, dalam Abd Rohim Ghazali, Saleh Partoanan Daulay, ed,. Muhammadiyah dan Politik Islam Insklusif, h. 33
176
dalam perdebatan-perdebatan di konstituante tahun 1950-an atau DPR, serta perolehan suara dalam pemilu. Kelompok Islam radikal juga tidak mau belajar dari pengalaman negara-negara lain yang terlalu bersemangat ingin menegakkan syariat Islam, tetapi justru keadaannya tidak lebih baik. Ketiga, Ahmad Syafii Maarif mengingatkan bahwa masalah mendasar umat Islam Indonesia adalah bagaimana mengatasi keadaan yang carut-marut karena ketimpangan ekonomi, pengangguran yang tinggi, pendidikan yang rendah. Keadaan seperti ini tidak dibaca secara cerdas oleh kelompok Islam radikal. Mereka memahami dan ingin menerapkan syariat serta bermaksud melakukan perubahan terhadap situasi secara radikal, tanpa melihat realitas permasalahan bangsa secara kritis dan jernih. Masalah-masalah mendasar bangsa seperti itu akan berhasil jika dipecahkan dengan formalisasi syariat, apalagi jika konsepsi syariat itu lebih bermuara pada pendekatan legal-formal yang eksklusif. 106 Dari kritiknya terhadap Islam radikal itu, sikap Ahmad Syafii Maarif sangatlah jelas, ia secara tegas menolak formalisasi syariat, karena baginya tuntutan seperti itu bukan saja ahistoris, tidak realistis, dan tidak dilandasi dengan pondasi intelektual yang kuat. Ketika muncul isu syariat Islam di Indonesia, dengan jelas dan tegas Syafii Maarif mengatakan, bahwa syariat agama itu tidak diterapkan langsung dalam kehidupan bernegara, masyarakat, berbangsa, tetapi ditarik dulu esensi moralnya. Lalu esensi moral dari syariat agama itu dibersamakan dengan esensi
106
Syafii Anwar, ” Syafii Maarif, Bung Hatta, dan Deformalisasi Syariat” dalam Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay (ed), Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif , h. 33-35
177
moral dari syariat agama-agama lain, dan bersama-sama dijadikan dasar moral etis bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara di Indonesia. 107 Itulah sebabnya Ahmad Syafii Maarif bersama-sama dengan tokoh-tokoh Islam semacam KH Hasyim Muzadi, Nurchalish Madjid, Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain pada tahun 2001 tegas-tegas menolak tuntutan penerapan kembali Piagam Jakarta dan upaya-upaya memformalisasikan syariat yang disuarakan oleh kelompok Islam radikal dan partai-partai Islam lainnya. Karena sikapnya yang menolak kembalinya Piagam Jakarta ini, sebagian golongan Muhammadiyah dan sejumlah ormas Islam dari kelompok modernis revivalis, menilai Maarif sebagai tokoh Islam yang anti syariat. Sejumlah penulis dari kalangan Islam radikal juga mengecap sikap Maarif yang menurut mereka “tidak mendukung mereka perjuangan umat Islam”.108 Pemikiran Maarif yang menolak tuntutan penerapan kembali piagam Jakarta karna Maarif dipengaruhi oleh pemikiran gurunya Prof. Fazlur Rahman. Pemikir asal Pakistan ini memang sangat percaya bahwa syura merupakan gagasan politik ulama dalam al-Qur’an. Bagi Rahman, syura adalah sebuah institusi yang telah ada dalam masyarakat Arabiah pra-Islam, yakni ketika mereka menyelesaikan persoalan bersama melalui permusyawaratan. Adapun tentang bentuk demokrasi, Rahman berpendapat bahwa bentuknya bisa berbeda-beda menurut kondisi yang ada dalam masyarakat. Namun demikian, untuk memilih bentuk demokrasi yang sesuai dengan 107
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. xii-xiii 108
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 35
178
masyarakat Islam, peranan ijtihad menjadi sangat menentukan. Bagi Rahman, umat Islam bebas menentukan tipe sistem politik apa pun, termasuk demokrasi, sepanjang perinsip syura dipertahankan dan dihormati secara sadar.109 Dari pandangan gurunyalah maarif menjadikan rujukan utama didalam memformulasika pemikiran politiknya tentang Islam dan Negara. Karena itu, menurut Maarif, tidak ada alasan untuk menolak sistem politik demokrasi, sekalipun demokrasi liberal dari Barat, sepanjang prinsif syura dijalankan secara konsekuen. Bagi Ahmad Syafii Maarif, sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas (Indonesia) adalah sebuah keniscayaan, jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negara yang adil dan makmur. Menurut Ahmad Syafii Maarif, perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Yang penting adalah prinsip moral Islam bagi tegaknya keadilan untuk semua harus dijadikan program untuk bertindak. Adapun beberapa prinsip hukum Islam untuk publik dapat saja diintegrasikan dalam hukum nasional, sehingga tidak lagi bersifat eksklusif, kecuali yang bertalian dengan hukum keluarga, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan juga yang menyangkut masalah zakat.110 Dalam konteks Indonesia, doktrin etika moral al-Qur’an, masih lebih menonjol dalam retorika dan bahkan menjadi komoditas politik para politisi, dari 109
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 43 110
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), h. 75
179
pada sebagai pedoman hidup sehari-hari. Contoh yang paling menonjol dari fenomena ini adalah munculnya beberapa komponen umat yang menganut diberlakukannya syariat Islam dan atau diberlakukannya kembali Piagam Jakarta. Mereka ini, disebut Ahmad Syafii Maarif sebagai kelompok yang lebih menekankan simbol dari pada substansi.111 Syafii Maarif mengutip ungkapan bung Hatta yang mengatakan; “Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tapi tak terasa, pakailah filsafat garam, tak tampak tetapi terasa.112 Hatta dengan imannya yang tulus tidak rela menyaksikan Islam Indonesia seperti gincu, tampak tetapi tidak terasa, sibuk dengan serimoni tetapi kehilangan substansi, meneriakkan “Allahu Akbar” sambil merusak dan menghujat orang lain.113 Istilah “garam dan gincu” ini sering dikutip Maarif untuk menjelaskan posisinya dalam masalah hubungan Islam dan negara. Jadi, Islam diharapkan dapat mewarnai cara bertindak, berpikir dan merasa, meski tidak diformalisasikan. Dengan cara itu dampaknya pun lebih baik karena akan terjadi internalisasi nilai-nilai. Menurut Maarif, pemahaman syariat hanya sebagai hukum dan fiqh sangatlah simplistik. Sebab, syariah memang bukan hukum dan fiqh tetapi nilai-nilai dan moralitas yang menyemangati keadilan, kesetaraan, keadaban, dan kemanusiaan. Satu hal yang kini banyak disalahpahami dari Ahmad Syafii Maarif, adalah kekurang setujuanya pada upaya pemberlakuan syariat Islam atau Piagam Jakarta. 111
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 21 112
Z. Yasni, Bung Hatta Menjawab (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 179
113
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 281
180
Yang kurang bahkan yang tidak ia setujui sebenarnya bukanlah pemberlakuan syariat Islam melainkan pemaknaannya yang eksklusif. Syriat Islam, bagi Ahmad Syafii Maarif adalah etika atau norma kehidupan bersama yang universal. Syariat Islam tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu karena hal itu akan mengerdilkannya atau mendistorsinya. Syariat Islam tidak bisa dikurung dalam ruang sempit hanya untuk kepentingan yang eksklusif. Tentu saja, Ahmad Syafii Maarif tidak akan menyetujui upaya siapa pun yang ingin mengerdilkan dan mendistorsi aspek-aspek tertentu dari Islam. Karena Islam adalah agama universal. Agama yang berasal dari Tuhan seluruh alam, dan dibawa oleh seorang Rasul yang juga diperuntukkan (sebagai pembawa rahmat) untuk seluruh alam.114
B. Pandangan Ahmad Syafii Ma’arif tentang Pancasila sebagai Ideologi Negara Indonesia Menurut Ahmad Syafii Maarif, setelah dikaji dalam konteks kultur Indonesia, sampai sekarang tidak ada konsep lain yang tepat yang secara rasional dapat mengukuhkan persatuan dan keutuhan bangsa, kecuali lima dasar Pancasila.115 Kelima sila Pancasila itu jika dipahami secara benar dalam satu kesatuan tidak ada yang perlu dipersoalkan dari pandangan sudut pandangan teologi Islam. Sila pertama
114
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 25-26 115
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 23
181
Ketuhanan Yang Maha Esa akan menjadi sila kosong bilamana keadilan dan kemakmuran untuk semua tidak menjadi realitas di tanah air kita. Pengalaman traumatik masa lampau jangan diulang lagi, sebab hanya akan berujung dengan kesia-siaan. Dengan ungkapan lain, Islam yang harus ditawarkan adalah sebuah Islam yang bersedia bergandengan tangan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. 116 Maka demi upaya mengukuhkan keindonesiaan dan kemanusiaan, bagi Maarif Piagam Jakarta tidak perlu lagi dilihat dari perspektif legal formal, tetapi diambil ruhnya berupa tegaknya keadilan yang merata bagi seluruh penghuni Nusantara, tanpa diskriminasi. selanjutnya Pancasila yang sudah disepakati sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia, harus membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar wahyu. Bagi Ahmad Syafii Maarif, langkah ini perlu dilakukan agar Pancasila ini bebas dari tuduhan dari sebutan negara sekuler. Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya harus berhenti untuk hanya dijadikan retorika politik. Semua nilai yang terkandung dalam Pancasila harus diterjemahkan ke dalam format yang konkrit sehingga prinsip “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” benar-benar menjadi kenyataan. Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa Pancasila dapat disebandingkan meski tidak persis sama- dengan Piagam Madinah. Alasannya berdasarkan dua hal; pertama, secara substantif, baik Piagam Madinah maupun Pancasila mengakui kaitan antara nilai-nilai agama dan masalah-masalah kenegaraan. Kedua, secara fungsional, kedua rumusan politik tersebut mencerminkan titik temu (common platform), yang 116
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 312
182
berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang mengatur sebuah masyarakat politik dengan latar belakang sosial keagamaan yang beragam. 117 Sholahuddin Wahid seorang tokoh Nahdatul Ulama (NU) dalam hal ini berpendapat, Pancasila adalah cara terbaik, sudah sebagai wujud kesepakatan bersama. Dengan Pancasila, Indonesia kendati bukan negara agama (Islam), tetapi juga bukan negara sekuler. Keberadaan Departemen Agama misalnya, merupakan bentuk titik temu antara negara sekuler dengan negara agama. Bahkan, ketika UU Perkawinan bisa dimasuki oleh ketentuan syariat Islam, maka penafsiran para tokoh Islam terhadap Pancasila mulai berubah, yang semula dianggap sekuler menjadi sesuatu yang bersifat religius.118 Menurut Syafii Maarif, penerimaan Pancasila sebagai dasar falsafah negara oleh para pemikir Muslim Indonesia yang lebih mudah ialah penerimaan secara sadar, bukan karena kalkulasi politik kekuasaan, bukan pula untuk mengganti Islam dengan Pancasila, sesuatu yang tidak mungkin. Para pemikir ini menurut Syafii Maarif adalah generasi-generasi terdidik yang lahir di era lain dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang sibuk dengan pertarungan tentang masalah dasar negara yang sangat melelahkan itu. Bagi pemikir yang datang kemudian, alur pemikiran dan
117
Bahtiar Efendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 243 118
Kautsar), i
Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-
183
strategi intelektualnya sudah berbeda, “ilmu garam jauh lebih penting dari pada ilmu gincu”. 119 Maka tugas selanjutnya menurut Syafii Maarif, adalah mengisi Pancasila dengan nilai-nilai kenabian yang sangat kaya dalam masalah moral, etika, sumber hukum, dan doktrin eskatologis yang tidak mungkin diberikan filsafat ciptaan manusia. Untuk keperluan masalah-masalah besar ini, Pancasila harus bersikap jujur dalam mengukur dirinya yang serba terbatas dalam dinding keindonesiaan, sekalipun aspek universal dari empat sila yang lain dapat dikembangkan lebih jauh. Jika Pancasila tetap saja menjadi permainan bibir, sementara prinsipprinsipnya diabaikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka menurut Syafii Maarif masa depan Indonesia sulit sekali dibayangkan akan menjadi lebih baik. Ia mengatakan bahwa sudah lebih 60 tahun Indonesia merdeka tapi hampir tidak ada pemerintahan yang benar-benar berpihak kepada rakyat banyak yang miskin. Memang di era demokrasi liberal tahun 1950-an, ada dua atau tiga kabinet yang mempunyai program bagus untuk kesejahteraan rakyat, tetapi tidak punya waktu untuk melaksanakannya karena umurnya relatif singkat. Pertentangan partai-partai menjadi sebab utama mengapa umur kabinet di era itu tidak bisa panjang. 120
119
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 284
120
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 315
184
C. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Saat hal yang patut kita terima ialah kesepakatan bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka. Pengertian secara umum Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah ideologi yang terbuka kepada perubahan-perubahan yang datang dari luar, tetapi memiliki kebebasan dan integritas untuk menentukan manakah nilai-nilai dari luar yang mempengaruhi dan mengubah nilai-nilai dasar yang selama ini sudah ada dan manakah yang tidak boleh berubah.121 Terlepas dari pernyataan perumusan dan pengkalimatan formalnya sebagaimana terpateri dalam Mukaddimah UUD 1945, masing-masing nilai yang lima itu menciptakan suatu sosial-politk yang potensi sangat dan selaras antara semua anggota masyarakat, mengikuti commonsense masing-masing pribadi. Pandangan sosial-politik yang dihasilkan itu semua absah belaka, sepanjang sejarah tidak menghalangi jiwa dan semangat dan titik temu kebaikan bersamaan antara semua golongan, tanpa diskriminasi atau pembedaan satu dari yang lain secara tidak benar. Sebagai ideologi terbuka, maka Setiap orang dapat memberikan kontribusi tentang arti sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai sumber legitimasi politik dan mengandung cita-cita nasional yang tinggi, Pancasila tidak mungkin di buatkan penjabarannya sekali untuk selamanya. Pelaksanaan nilai-nilai itu akan menyatu dengan proses, dan proses yang progresif (terus menerus membuat kemajuan) hanya akan terjadi jika dijiwai dengan semangat keterbukaan sebagai ideologi yang juga 121
Omcivics. “Panvasila Sebagai Ideologi Terbuka”. Artikel ini diakses pada 12 November 2009 dari http://www.Slideshare.net/omcivics/pancasila -sebagai-ideologi-terbuka.
185
mengandung nilai-nilai universal, Pancasila tidak mungkin diwujudnyatakan dengan semangat napistis dan atapistis. Ini berarti Pancasila harus dipersepsikan sebagai ideologi yang terbuka, kesanalah muara konpergensi nasional dan nilai Indonesia. 122 Pemahaman yang bisa ditarik dari penjelasan tersebut adalah bahwa Pancasila mempunyai muatan makna yang bersifat terbuka, universal, dan visioner, dengan kata lain Pancasila mengandung nilai-nilai yang bisa diterjemahkan dan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan bangsa Indonesia, kapan pun dan dimana pun. Penafsiran ini tentunya harus disesuaikan dengan budaya dan agama masyarakat setempat, sehingga antara nilainilai Pancasila dengan agama yang dianut masyarakat tidak bertentangan. Tidak diragukan lagi bahwa Pancasila diterima sebagai dasar negara, karena dianggap secara prinsipil dan konsepsional, nilai-nilainya tidak bertentangan dengan Islam, bahkan mempunyai spirit yang sama. Perbedaan dan pertentangan terjadi antar Islam dan Pancasila tidak dalam konteks nilai-nilainya, tetapi tafsiran yang diberikan terhadap Pancasila melampaui batas-batas dari spirit muatan nilai-nilai Pancasila itu sendiri, sehingga terjadi pertentangan antara Islam dan Pancasila. Syafii Maarif pun berpendapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara harus bersifat terbuka. Dengan kata lain, bila Pancasila ingin tetap bermakna bagi masyarakat Indonesia, ia harus membuka diri untuk menerima sinar dari agamaagama yang berorientasi pada nilai-nilai transedental yang lebih tinggi. Dalam
122
42
Nurchalish Madjid, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h.
186
konteks masyarakat indonesia yang mayoritas pemeluknya beragama Islam. Syafii Maarif mengharapkan agar Islam dijadikan sumber moral bagi umat Islam, ini juga berarti bahwa penganut agama berhak penuh menyinari Pancasila dengan ajaran agamanya masing-masing.123
D. Relevansi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Indonesia Dewasa Ini Belajar dari realitas sejarah politik Indonesia yang lebih banyak merugikan umat Islam, memaksa kita melakukan reorientasi politik dengan berpijak pada sirah nabawiyah (sejarah Nabi) bahwa Dustur Madinah (Piagam Madinah) secara substansial dinilai mempunyai persamaan dengan Pancasila. Keduanya sama-sama merupakan jawaban konstitusional terhadap realitas sosio-politik masyarakat yang tengah dihadapi. Piagam Madinah maupun Pancasila merupakan jawaban terhadap realitas pluralisme keagamaan dalam masyarakat masing-masing (Madinah maupun Indonesia). Pemahaman ini hendaknya bisa melahirkan kesadaran baru bagi umat Islam Indonesia, bahwa Islam perlu dimasyarakatkan tanpa harus mengganti Pancasila atau bahkan dalam bentuk formalisme lainnya, termasuk partai. Yang penting adalah mengembangkan substansi Islam. Islam lebih berperan sebagai patokan utama,
123
Ahmad Syafii Maarif, Piagam Madinah dan Konvergensi Sisial, (Pesantren No. 3, Vol. VII), h. 21-22
187
sebagai sumber moral bagi pelaksanaan bernegara, bahkan termasuk sumber moral bagi pelaksanaan Pancasila. Islam yang ingin dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam, sebuah Islam yang memberi keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara ini, tanpa diskriminasi, apapun agama yang diikutinya atau bahkan tidak diikutinya. Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin, sekalipun ajarannya sangat anti-kemiskinan, sampai kemiskinan itu berhasil dihalau sampai ke batas-batas yang jauh di negeri kepulauan ini. Kegigihan dan keinginan sekelompok masyarakat Muslim untuk mendirikan negara Islam Indonesia, dapat menimbulkan citra buruk bagi umat Islam. Apalagi keinginan tersebut kerapkali diiringi dengan tindakan-tindakan anarkis dan cenderung represif, kondisi ini dapat menimbulkan kecurigaan, bahkan kebencian di kalangan kelompok-kelompok lainnya. Bahkan yang lebih buruk lagi, tudingan Barat terhadap Islam sebagai sumber teroris dunia seakan-akan mendekati kebenaran. Bila hal ini dikenal sebagai agama pembawa rahmat akan menjadi cacat. Sudah saatnya umat Islam Indonesia memiliki kesadaran bahwa berjuang untuk Islam tidak hanya dapat dilakukan dengan usaha mendirikan negara Islam. Tetapi lebih jauh dari itu, dapat pula dilakukan dengan berjuang melalui berbagai sektor kehidupan lainnya. Sektor pendidikan, ekonomi, dan stabilitas nasional
188
merupakan beberapa bidang yang cukup mendesak untuk ditangani. Keterpurukan perekonomian Indonesia saat ini lebih disebabkan lemahnya ketiga sektor di atas. Jika Islam ditampilkan dengan wajah garang oleh segelintir orang -egoistik, penuh retorika murahan- ibarat monster, pasti akan menakutkan dan dibenci oleh banyak pihak yang berfikir jernih, siapa pun mereka, apa pun agamanya. Sebuah monster yang sering berbicara atas nama Tuhan, jelas terlepas dari kawalan syariah dalam maknanya yang benar. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif yang secara tegas menolak formalisasi syariat, sepertinya mesti kita pertimbangkan secara adil. Baginya tuntutan seperti itu bukan saja ahistoris, tidak realistis, dan tidak dilandasi dengan pondasi intelektual yang kuat. Ahmad Syafii Maarif yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta ini memberikan sebuah interpretasi bagi kita semua bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana, sebagai alat bagi agama, dan bahkan sebagai sebuah perwujudan (suatu eksistensi) dari agama itu sendiri. Dengan demikian bisa kita terima tawaran intelektual Ahmad Syafii Maarif, tentang sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas (Indonesia) adalah sebuah keniscayaan, jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negara yang adil dan makmur. Untuk kondisi Indonesia saat ini, semestinya umat Islam sudah lebih mau terbuka bahwa perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi.
189
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
190
1. Menurut Ahmad Syafii Maarif, bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta ini memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana dan bahkan sebagai sebuah perwujudan (suatu eksistensi) dari agama itu sendiri. Apalagi realitas al-Qur’an tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku. Umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntutan masyarakat. 2. Ahmad Syafii Maarif secara tegas menolak formalisasi syariat, karena baginya tuntutan seperti itu bukan saja ahistoris, tidak realistis, dan tidak dilandasi dengan pondasi intelektual yang kuat 3. Bagi Ahmad Syafii Maarif, sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas (Indonesia) adalah sebuah keniscayaan. Menurut Ahmad Syafii Maarif, perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Yang penting adalah prinsip moral Islam bagi tegaknya keadilan untuk semua harus dijadikan program untuk bertindak. Adapun beberapa prinsip hukum Islam untuk publik dapat diintegrasikan dalam hukum nasional, sehingga tidak lagi bersifat eksklusif, kecuali yang bertalian dengan hukum keluarga, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan juga yang menyangkut masalah zakat.
2. SARAN
191
Setelah melalui proses dan kajian terhadap pemikiran Ahmad Syafii Maarif
dinamika
ideologi
Negara
Indonesia,
kiranya
penulis
perlu
mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut di atas, yaitu; perlunya penelitian yang lebih komprehensif tentang Pancasila sebagai ideology terbuka secara khusus, sehingga mampu memberikan informasi yang lebih utuh. Dengan penelitian yang lebih komprehensif, diharapkan dapat melahirkan pemahaman bahwa Indonesia merupakan Negara yang multi cultural, multi agama, dan etnis. Untuk itu diperlukan suatu bangunan Negara nasional yang mampu menggabungkan kesemua unsur budaya dan keragaman cultural Indonesia.
192
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Manzoruddin.“The Classical Muslim State”, Islamic Studies, 1. no. 3 September, 1962 Ansari, Endang Syaifuddin. Komitmen Umat Islam Indonesia; Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam. Jakarta: Usaha Enterprises, 1976 Antono, Raja Juli. Laporan Tahunan , Jakarta, Maarif Institute, 2000-2007 Amir Azis, Ahmad. Neo Modernisme Islam Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT. Bineka Cipta 1999 Apter, David E. Politik Modernisasi, Terjemahan Hermawan Sulistyo dan Wardah Hafidz , Jakarta: PT Gramedia, 1987 Awwas, S. Irfan. Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. Yogjakarta: Uswah, 2008 Azra, Azyumardi. Pergerakan Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina,1996 Bakry, Ms Noor. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogjakarta: Liberty, 1994 Clark, Paul Barry dan Andrew Linxey, ed., Distionary of Ethics, Theology and Society, New York; Routledge, 1996 Darmodiharjo, Darji, dkk. Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis-Konstitusional. Surabaya: Usaha Nasional, 1991 Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998 Effendy, Onong Uchyana. Dimensi Komunkasi, Bandung: Alumni, 1981 Ghazali, Abd Rohim. Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif. Jakarta: Maarif Institute, 2005 Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua Jakarta: Maarif Institute, 2005
193
Ismail, DR. Faisal. Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: wacana ketegangan kreatif antara Islam dan Pancasila, Yogyakarta: Tiara Wancana,1999
Jansen, G.H. Islam Militan, Terjemahan Armahedi Mahzar. Bandung: Pustaka, 1980 Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1996 Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, dalam Fauzi Rahman (Ed.), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1994 Independensi Muhammadiyah: Di Tengah Pergumulan Islam dan Politik, Jakarta:Cidesindo,2000 Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku. Yogjakarta: Ombak, 2006 Islam dalam Bandung: Mizan, 2009
Bingkai
Keindonesiaan
dan
Kemanusiaan.
Peta Bumi Intlektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1995), Cet. Ke-3 Piagam Madinah dan Konvergensi Sisial, Pesantren No. 3, Vol. VII Madjid, Nurchalish. Mizaan,1978
Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan , Bandung:
Mangkusasmito, Prawoto. Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi,Jakarta:Hudaya,1970 Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2008 Natsir, Mohammad. Capital Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1973 Nawiriddin. Islam dan Pancasila: Studi Hubungan Ideal dalam Konstruk Negara Nasional, Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta 2008
194
Ridjal, Fauzi. Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993 Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Darul Falah, 1964 Suara Karya, Ketua Umum: Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial, Jakarta, 2000 Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syar’iyyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1996 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988 Wahid,Marjuki, Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia, Yogtakarta: LKiS, 2001 Yasni, Z. Bung Hatt Menjawab. Jakarta: Gunung Agung, 1979 Yunus, M. Yunan. Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial ,Jakarta: Uhamka Press, 2005 Zaidan, Abd Al-Karim. Al-Fardl wa al-Daulah fi al-Syariah al-Islamiyah. Al-Ittihad al-Islami al-Alami, 1970 Zamharir, Muhammad Hari. Agama, dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Raja Grafindo: Jakarta,2004
Internet: Omcivics. “Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka”. Artikel ini diakses pada 12 November 2009 dari http://www.Slideshare.net/omcivics/pancasila -sebagaiideologi-terbuka
195