DINAMIKA HARA N PADA LAHAN SAWAH INTENSIFIKASI BERMINERAL LIAT DOMINAN 2:1 I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno Balai Penelian Tanah, Bogor
ABSTRAK Padi merupakan makanan pokok rakyat Indonesia yang memiliki nilai strategis dalam keamanan pangan nasional. Laju kenaikan produksi padi cenderung mengalami stagnasi, karena sistem pengelolaan hara yang belum maksimal. Untuk meningkatkan produksi padi dan efisiensi pemupukan N maka penerapan teknologi pemupukan terpadu mutlak dibutuhkan, melalui pemanfaatan pupuk organik berupa pupuk kandang sapi dan jerami yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik (N, P, dan K) sebagai mana yang tertuang dalam Permentan No. 40/OT.140/04/2007. Sifat N yang mobil dan mudah berubah merupakan faktor penyebab rendahnya efisiensi pemupukan N, hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian dinamika hara N pada lahan sawah intensifikasi bermineral liat dominan 2:1. Telah dilakukan penelitian di Ngawi, Jawa Timur, dari Juli-Oktober 2009. Rancangan percobaan adalah rancangan acak kelompok (randomize complete block design), lima perlakuan dan diulang tiga kali, ukuran petak 5 x 5 m. Perlakuan terdiri atas (1) Kontrol (2) NPK, (3) NP + 5 t/ha jerami, (4) NPK + 2 t/ha pukan, (5) NPK + 2 t/ha pukan + 5 t/ ha jerami. Total pemberian urea 200 kg/ha, 100 kg diberikan pada saat padi berumur 2 MST dan 100 kg lagi pada 7 MST. SP-36 (75 kg/ha) dan KCl (75 kg/ ha) diberikan sehari sebelum tanam dengan cara disebar di atas permukaan petakan. Jerami diberikan dua minggu sebelum tanam dan pukan sapi satu minggu sebelum tanam. Bibit padi varietas Adirasa-1 berumur 14 hari ditanam dengan sistem jajar legowo 2:1 (15 cm - 35 cm x 20 cm). Perubahan dan pergerakan N diamati pada kedalaman 0-25 cm, 25-50 cm, 50-75 cm, 75-100 cm, pada 14, 18, 21, 35 HST dan menjelang primordia. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk kandang sapi dan jerami cenderung meningkatkan kadar NNH4+ tanah dan air petakan tiga hari setelah pemupukan urea, kenaikan kadar NNH4+ terbesar terjadi pada perlakuan NPK + 2 t/ha pukan + 5 t/ha jerami sebesar 63,48%, diikuti perlakuan NPK + 2 t/ha pukan (49,87%) dan NP + 5 t/ha jerami (8,71%). Ada kecenderungan bahwa semakin dalam lapisan tanah semakin sedikit kadar N-NO3- yang terukur. Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan pH tanah. Jumlah anakan padi tertinggi pada saat menjelang primordia diperoleh pada perlakuan NPK + 2 t/ha pukan + 5 t/ha jerami (23,00) sedangkan tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan NP + 2 t/ ha jerami (72,65 cm) dan terendah pada kontrol (58,67 cm).
129
I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno
PENDAHULUAN Berbagai cara dilakukan untuk mengamankan ketahanan pangan nasional, termasuk peningkatan produksi padi melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi, akan tetapi laju kenaikan produksi cenderung mengalami stagnasi, bahkan di Jawa Tengah dari tahun 1997 mulai terlihat gejala penurunan produksi dari 5,327 t/ha (1997) menjadi 5,069 t/ha (1999) (Adimihardja et al., 2004). Gejala ini muncul karena pada lahan sawah intensifikasi terjadi proses penambangan hara yang tidak diimbangi dengan upaya perbaikan kesuburan tanah, sehingga menyebabkan tanah miskin hara dan bahan organik. Bahkan ada perkembangan pandangan dewasa ini yang menyatakan bahwa pengelolaan kesuburan tanah pada pertanian konvensional, pertanian intensif, pertanian monokultur, penggunaan varietas unggul dan penggunaan pupuk anorganik yang tinggi akan berdampak negatif terhadap ekosistem tanah, sehingga sistem pertanian semacam ini tidak bersifat berkelanjutan (Sutanto, 2006). Tanah sawah di Kabupaten Ngawi didominasi oleh Vertisols, dengan karakteristik bertekstur liat, didominasi oleh mineral liat 2:1, memiliki konsistensi yang keras pada saat kering dan sangat plastis pada saat basah sehingga sulit untuk diolah. Kemampuan tanah mengikat air dan menahan lengas cukup tinggi namun memiliki daya lulus air yang rendah sehingga menjadikan banjir disaat hujan (Peniwiratri dan Arbiwati, 2007) selain itu proporsi air dan udara dalam tanah yang tidak seimbang akan berdampak pada dinamika hara di dalam tanah sehingga dapat menurunkan produktivitas tanaman. Tanaman menyerap hara N dalam bentuk NO3- dan NH4+, sehingga keberadaannya di dalam larutan tanah harus tetap terpelihara. Rendahnya serapan hara pupuk oleh tanaman sebagian besar diakibatkan oleh gagalnya proses penyediaan hara yang optimum di dalam larutan tanah sebagai akibat rendahnya kadar bahan organik tanah dan ketidaksinkronan antara jumlah hara yang tersedia dengan waktu tanaman membutuhkan hara tersebut. Rendahnya kadar N tanah menjadi alasan petani untuk memberikan pupuk N dalam jumlah besar, namun pemberian pupuk urea takaran tinggi belum tentu menjamin produksi yang tinggi, karena berkaitan dengan tingkat efisiensi pupuk N yang rendah (Hardjowigeno dan Rayes, 2005) dimana pupuk N bersifat mudah larut, sangat mobil dan dengan cepat berubah dari bentuk yang satu kebentuk lainnya yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Estiaty et al., 2004; Winarso, 2005). Dalam pengelolaan hara terpadu, penggunaan pupuk organik dan anorganik sebagai sumber hara merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi, walaupun secara kuantitatif kandungan hara pupuk organik rendah namun
130
Dinamika Hara N pada Lahan Sawah Intensifikasi
memiliki keunggulan lain yaitu dapat memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah (Hartatik dan Setyorini, 2008). Namun bahan organik yang diberikan akan mengalami tahapan penting dalam siklus hara N yaitu nitrifikasi, yang ditandai dengan terbentuknya senyawa nitrit dan nitrat akibat peristiwa oksidasi amonia oleh bakteri autotrofik. Menurut Adiwiganda dan Wild (1989) perubahan N sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah mikroorganisme, kelembaban, bahan organik, pH, temperatur, dan kadar N-NO3- dalam tanah. Kompleksnya perubahan N ini, menjadi fenomena yang menarik untuk dipelajari, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana pergerakan N pada lahan sawah intensifiaksi melalui penerapan teknologi pemupukan terpadu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika hara N pada lahan sawah intensifikasi yang bermineral liat dominan 2:1. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di lahan sawah milik petani di Desa Sidokerto Kecamatan Karang Jati Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Berlangsung dari bulan Juli-Oktober 2009. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui mineral liat yang dominan. Contoh tanah komposit sebagai contoh tanah awal diambil dari 5-10 sub contoh pada kedalaman 0-20 cm dari permukaan tanah di lokasi penelitian. Anak-anak contoh tersebut digabung dan dilakukan quartering agar contoh tanah komposit homogen. Contoh tanah dikirim ke laboratorium untuk dianalisis: tekstur 3 fraksi, pH H2O dan pH KCl, C-organik, N-total (Kjeldhal), P-terekstrak HCl 25%, dan Olsen, K-terekstrak HCl 25% dan Ca, Mg, K, Na dan KTK terekstrak NH4OAc 1N pH 7 (Balittanah, 2005). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (randomize complete block design), terdiri atas lima perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali. Ukuran petak perlakuan adalah 5 x 5 m. Perlakuan terdiri atas : (1) Kontrol, (2) NPK, (3) NP + 5 t/ha jerami, (4) NPK + 2 t/ha pupuk kandang, dan (5) NPK + 2 t/ ha pupuk kandang + 5 t/ha jerami. Pemupukan SP-36 (75 kg/ha) dan KCl (75 kg/ha) diberikan sehari sebelum tanam dengan cara disebar di atas permukaan petakan. Pupuk Urea dengan takaran awal 100 kg/ha diberikan pada umur tanaman 2 MST, selanjutnya pemupukan kedua berdasarkan hasil pengamatan alat BWD yang dimonitor setiap 7-10 hari sejak umur 21 HST. Total pupuk Urea yang diberikan setiap perlakuan adalah 200 kg/ha. Bahan organik berupa jerami sisa hasil panen
131
I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno
diberikan dengan takaran 5 t/ha dan pupuk kandang sapi diberikan dengan takaran 2 t/ha. Jerami diberikan dua minggu sebelum tanam atau bersamaan dengan pengolahan tanah pertama, pupuk kandang diberikan 1 minggu sebelum tanam. Tanaman indikator yang digunakan adalah padi hibrida varietas Adirasa1, ditanam dengan sistem jajar legowo 2:1 (15 cm - 35 cm x 20 cm). Bibit yang ditanam telah berumur 14 hari di pesemaian, ditanam 3-4 bibit per rumpun. Parameter agronomis yang diamati selama masa pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman dan jumlah anakan, pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing pada umur 3 MST, 5 MST, dan menjelang primordia. Pengamatan dilakukan terhadap 10 rumpun per petak. Parameter kimia meliputi: pH tanah, N-NH4+ dan N-NO3-. Untuk melihat perubahan dan pergerakan N di masing-masing perlakuan, contoh tanah diambil pada empat kedalaman yaitu: 025 cm, 25-50 cm, 50-75 cm, 75-100 cm, di lima titik tiap petak, lalu masingmasing anak contoh perkedalaman dikompositkan. Intensitas pengambilan contoh tanah selama masa pertumbuhan adalah lima kali yaitu pada saat tanaman padi berumur 14, 18, 21, 35 HST, dan menjelang primordia. Analisis tanah per kedalaman dilakukan terhadap: pH H2O, N-NH4+ (pengekstak KCl 1N), N-NO3- (pengekstrak CaCl2 0,01M). Parameter pH tanah diukur dengan alat pH meter dengan perbandingan tanah dan air (1:2,5), kadar N-NH4+ diukur dengan alat spectrophotometer pada λ 636 nm dan N-NO3- pada λ 210 nm yang absorbansinya dikoreksi dengan pengukuran pada λ 275 nm. Contoh air irigasi, air di petakan dan contoh air keluar diambil pada saat sebelum tanam dan fase pertumbuhan dan dianalisis kadar haranya. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diuji (pengelolaan hara) melalui program SPSS dilakukan analisis sidik ragam (anova) dilanjutkan dengan pengujian beda antar perlakuan dengan menggunakan DMRT (duncan multiple range test) dengan selang kepercayaan 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik tanah awal (sebelum percobaan) Tanah yang digunakan dalam penelitian dinamika hara N termasuk ordo Vertisols, bertekstur liat (clay) dengan kadar liat 69% dan didominasi oleh mineral liat 2:1. Tanah bersifat mengembang dan mengerut artinya pada saat musim kemarau tanah akan mengerut dan membentuk rekahan-rekahan sedangkan pada musim hujan (basah) tanah akan mengembang kembali. Tanah memiliki kadar C-organik 1,16% yang dikategorikan rendah, dan ini dapat menggambarkan 132
Dinamika Hara N pada Lahan Sawah Intensifikasi
kadar N tanah yang rendah pula (0,09%). Rendahnya kadar C-organik ini dapat dikaitkan dengan kebiasaan petani yang tidak mengembalikan jerami ke lahan sawah mereka, karena banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan ada juga yang dibakar sehingga berdampak pula pada rendahnya kadar K. Menurut Suranta (1999) hasil analisis kadar P-tersedia tanah (36 ppm) tergolong tinggi, demikian pula dengan kadar basa-basa Ca (68,28 me/100g) dan Mg (4,48 me/ 100g) juga tinggi. Tanah sawah di Sidokerto telah lama diusahakan sebagai lahan pertanian dan dikelola secara intensif, lamanya pengelolaan dapat meningkatkan kadar P-tersedia, Ca dan Mg dalam tanah karena berkaitan dengan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik serta pelapukan bahan induk tanah. Tabel 1. Sifat kimia fisik tanah sawah intensifikasi kedalaman 0-20 cm di Desa Sidokerto, Kecamatan Karang Jati, Kabupaten Ngawi, sebelum diberi perlakuan Parameter
Satuan
Nominal
Tekstur Pasir : 3% Debu : 28% Liat : 69%
-
Liat (Clay)
pH- H2O pH- KCl
-
7,7 6,7
Bahan organik C-organik N-total C/N
% % -
1,16 0,09 13
ppm
36
me/100 g me/100 g me/100 g me/100 g me/100 g
68,28 4,48 0,39 1,29 38,10
ppm ppm ppm ppm
13,2 150,0 9,0 1,6
P- Olsen Ekstrak NH4OAC 1N pH 7 Ca Mg K Na KTK DTPA Fe Mn Cu Zn
133
I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno
Pertumbuhan tanaman Pemupukan NPK yang dikombinasikan dengan pupuk kandang dan jerami nyata menambah tinggi tanaman padi, bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan NPK (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian bahan organik berupa pupuk kandang dan jerami melalui rangkaian proses pelapukan dengan bantuan mikroorganisme tanah akan menciptakan kondisi ketersediaan hara yang baik di dalam larutan tanah, sehingga meningkatkan serapan hara oleh tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Alves et al. (2007) yang menyatakan bahwa penggabungan pupuk N-organik (komersial) dengan kompos akan memberikan banyak keuntungan, dimana pupuk N organik komersial mudah mengalami mineralisasi dan cepat tersedia dalam jumlah besar bagi tanaman, sehingga jumlah N yang diserap tanaman juga besar, disamping itu bahan organik (kompos) akan meningkatkan C-organik tanah serta ikut menambah sumbangan N mineral tanah. Jumlah anakan pada umur 3 MST umumnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan kecuali pada perlakuan kontrol. Pengaruh yang nyata antar perlakuan baru terlihat pada pengamatan 5 MST dan pada saat primordia. Hal ini merujuk pada fase pertumbuhan tanaman padi itu sendiri, dimana pada umur 2-3 MST tanaman masih mengalami pertumbuhan yang lambat, selanjutnya mulai terlihat mengalami pertumbuhan anakan yang cepat pada umur 4 MST, fase pertumbuhan cepat ini harus didukung oleh ketersediaan hara N yang cukup, dalam hal ini waktu pemberian pupuk urea yang dilakukan 2 MST selaras dengan tingkat kebutuhan N tanaman, sehingga ada sinkronisasi antara pelepasan hara dari pupuk dengan saat tanaman membutuhkan hara dalam jumlah besar. Tabel 2. Pengaruh pemupukan NPK yang dikombinasikan dengan bahan organik terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan padi di Ngawi, MK 2009 Perlakuan
Kontrol NPK NP+Jerami NPK+Pukan NPK+Pukan+Jerami
Tinggi tanaman 3 MST
5 MST
Primordia
..................... cm ..................... 24,60 a 35,55 a 58,67 a 25,37 a 38,01 ab 61,73 ab 29,67 b 41,44 b 72,65 c 27,80 b 37,91 ab 64,13 abc 29,69 b 40,41 b 70,75 bc
Jumlah anakan 3 MST
5 MST
Primordia
.................. batang ................... 5,00 a 8,00 a 16,00 a 6,00 b 11,00 b 20,00 b 6,00 b 13,00 c 23,00 c 6,00 b 11,00 b 21,00 bc 6,00 b 13,00 c 23,00 c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
134
Dinamika Hara N pada Lahan Sawah Intensifikasi
pH tanah Selama masa pertumbuhan tanaman, tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata antar perlakuan terhadap pH tanah, akan tetapi perubahan pH tanah pada masing masing perlakuan secara umum memiliki pola yang hampir sama. Dapat digambarkan bahwa sebelum pemupukan urea (14 HST) pH tanah cenderung stabil, akan tetapi setelah aplikasi pupuk urea terlihat ada penurunan pH tanah dan mencapai titik terendah pada saat tanaman berumur 21 HST, kemudian pada umur 35 HST pH tanah naik kembali mendekati pH awal. Pada umur 50 HST dilakukan pemupukan urea susulan (100 kg/ha) yang didasarkan pada hasil pengamatan BWD, maka pada saat menjelang primordia terjadi lagi penurunan pH tanah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Winarso (2005) bahwa pemberian pupuk urea sebagai sumber hara N akan menurunkan pH tanah akibat adanya pelepasan H+ dari reaksi nitrifikasi yaitu perubahan NH4+ menjadi NO3-. Disamping itu bahan organik berupa jerami dan pupuk kandang melalui proses perombakan yang dilakukan oleh mikroorganisme akan menyumbang senyawa-senyawa asam organik yang dapat menurunkan pH tanah.
pH tanah
8.0 7.8
Kontrol
7.6
NPK NP+Jerami
7.4
NPK+Pukan
7.2
NPK+Pukan+Jerami
T S H
or di a Pr im
T 35
H 21
18
H
S
S
T
T S H 14
0
H
ST
7.0
Um ur padi
Gambar 1. Pola perubahan pH tanah di kedalaman 0-25 cm sepanjang masa pertumbuhan tanaman padi
135
I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno
Kadar amonium dan nitrat Pada pengamatan tiga hari setelah pemupukan urea (18 HST) didapatkan kadar N-NH4+ tertinggi sebesar 17,056 mg/kg pada perlakuan NPK + 2 t/ha pukan + 5 t/ha jerami, kemudian diikuti perlakuan NPK + 2 t/ha pukan sebesar 12,352 mg/kg, sedangkan terendah ada pada perlakuan kontrol yaitu 3,453 mg/kg. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang sapi dan jerami cenderung meningkatkan kadar N-NH4+ dalam tanah dibandingkan dengan perlakuan NPK dan kontrol. Tabel 3. Pengaruh pemupukan NPK dan bahan organik terhadap kadar N-NH4+ dalam tanah pada 14, 18, 21, 35 HST, dan primordia Kadar N-NH4
Perlakuan 14 HST Kontrol NPK NP+Jerami NPK+Pukan NPK+Pukan+Jerami
18 HST
21 HST
+
35 HST
Primordia
........................................ mg/kg ........................................ 1,950 b 3,453 a 6,762 b 1,831 a 6,608 a 0,803 ab 6,192 a 5,143 ab 1,735 a 8,464 a 2,305 b 6,783 a 4,364 a 6,647 b 9,916 a 2,130 b 12,352 ab 4,888 a 3,306 ab 5,362 a 4,270 a 0,100 a 17,056 b 4,405 a 5,793 ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Menurut Alves et al. (2007) ada efek stimulus dari pupuk N terhadap percepatan pembebasan NH4+ dari bahan organik bila keduanya dikombinasikan, dan sebaliknya proses perubahan pupuk N (urea) menjadi N-NH4+ sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik tanah, mikroorganisme serta temperatur (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Kecepatan terbentuknya NH4+ ini merupakan indeks yang baik bagi kemampuan tanah untuk memenuhi kebutuhan N tanaman padi. Pada pengamatan 21 HST ada kecenderungan penurunan kadar N-NH4+ pada hampir semua perlakuan kecuali perlakuan kontrol yang justru mencapai puncaknya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian ion amonium dengan cepat telah diserap oleh tanaman dan sebagian lagi mengalami nitrifikasi membentuk nitrat dan atau bentuk lain. Sampai pengamatan 35 HST terlihat bahwa perubahan kadar amonium paling stabil ada pada perlakuan NP + 5 t/ha jerami sedangkan perubahan yang sangat drastis terjadi pada perlakuan kontrol dan NPK.
136
Dinamika Hara N pada Lahan Sawah Intensifikasi
Tabel 4. Pengaruh pemupukan NPK dan bahan organik terhadap kadar N-NO3tanah pada 14, 18, 21, 35 HST, dan primordia Kadar N-NO3-
Perlakuan 14 HST Kontrol NPK NP+Jerami NPK+Pukan NPK+Pukan+Jerami
18 HST
21 HST
35 HST
Primordia
........................................ mg/kg ........................................ 0,572 b 0,795 a 0,665 a 0,422 b 1,003 b 0,370 a 0,973 a 0,657 a 0,220 a 0,982 ab 0,240 a 0,727 a 0,602 a 0,237 a 0,810 ab 0,577 b 1,477 b 0,647 a 0,218 a 0,677 a 0,795 c 0,674 a 0,647 a 0,273 a 0,915 ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Hal ini sesuai dengan pendapat Waluyo (2002) bahwa telah terjadi penurunan kadar N mineral tanah dalam rentang waktu satu tahun, dari 30,3 mg/ kg menjadi 14,4 mg/kg pada tanah yang ditanami kedelai dan 3,4 mg/kg yang ditanami oat. Dalam kasus ini, terjadinya penurunan kadar N-NH4+ terpantau juga di lapangan ketika dilakukan uji BWD terhadap warna daun tanaman padi pada 6 MST yang terlihat mengalami perubahan skala warna dari skala 4 ke skala 3, maka sesuai rekomendasi dilakukan pemupukan urea susulan (100 kg/ha) pada umur 50 HST. Hal ini pulalah yang menyebabkan terjadinya kenaikan kadar amonium dalam tanah pada saat primordia. Laju konversi dari N-NH4+ ke N-NO3- tercepat terjadi pada perlakuan NPK + Pukan dengan kadar nitrat sebesar 1,477 mg/kg pada hari ke-3 setelah pemupukan urea, namun dengan cepat menurun hingga menyentuh angka 0,21 mg/kg (35 HST), ini berarti telah terjadi perubahan NO3- kebentuk lain atau ikut tercuci bersama aliran air. Pada pengamatan 21 HST, 35 HST, dan saat primordia kadar nitrat yang tinggi diperoleh pada perlakuan kontrol dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Manakala pupuk urea ditambahkan lagi ke dalam tanah (pada pemupukan susulan) maka terjadi lagi kenaikan kadar nitrat tanah yang terukur pada saat tanaman padi memasuki masa primordia. Menurut Adiwiganda dan Wild (1989) terbentuknya nitrat ini tidak terlepas dari adanya proses nitrifikasi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi kelembaban tanah, bila kadar air dalam petakan berkurang akan berpeluang terjadi oksidasi terhadap amonium sehingga terbentuk senyawa nitrit dan nitrat, hal ini sesuai dengan kondisi dilapangan yang kekurangan air akibat musim kemarau. Selain itu pH tanah yang mendekati netral (7,7) akan memberi peluang bagi percepatan nitrifikasi, karena Saraswati et al. (2007) mengemukakan bahwa pH tanah akan berpengaruh terhadap laju
137
I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno
nitrifikasi, dimana bila pH tanah > 5 akan memiliki potensial nitrifikasi yang lebih besar dibandingkan dengan pH tanah < 5. Dari hasil analisa contoh air dalam petakan di masing-masing perlakuan pada minggu pertama setelah aplikasi pupuk urea didapatkan bahwa kadar NNH4+ jauh lebih tinggi dibandingkan dengan N-NO3- seperti terlihat pada Gambar 2. Ini membuktikan bahwa pupuk urea yang diberikan langsung mengalami hidrolisis oleh air dalam petakan dan selanjutnya mengalami proses amonifikasi membentuk ion amonium yang lebih stabil pada kondisi anaerob.
Kadar N-NH4+ dan N-NO3- di air petakan
Kadar N (mg/kg)
2,5 2,0
N-NH4+ N-NO3-
1,5 1,0 0,5 0,0 1
2
3
4
5
Perlakuan
Gambar 2. Perbandingan kadar amonium dan nitrat dalam air petakan setelah 1 minggu dipupuk urea Rendahnya kadar nitrat yang terbentuk diduga karena kondisi tanah yang tergenang sehingga menghambat proses nitrifikasi, dan yang terjadi menurut D’Haene et al. (2003) adalah proses denitrifikasi, lebih jauh Vermoesen et al. (1993) menegaskan bahwa curah hujan, evapotranspirasi dan tekstur tanah berperan dalam menentukan lama tidaknya keberadaan nitrat di dalam tanah dalam kondisi dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Walaupun pola perubahan dan pergerakan N di dalam tanah sulit untuk diamati dan sangat bervariasi, namun disini kami mencoba untuk memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana pola pergerakan N di lahan sawah intensifikasi.
138
Dinamika Hara N pada Lahan Sawah Intensifikasi
NP K
K ont r ol
NO 3 0.00
0.50
1.00
-
NO 3
( mg k g -1 ) 1.50
2.00
2.50
0.00
3.00
0
0
10 20
10
0.50
1.00
-
( mg k g -1 ) 1.50
2.00
2.50
3.00
20
30
30
14 HST
40 50
21 HST
60
35 HST
70
18 HST
50
21 HST
60
14 HST
40
18 HST
35 HST
70
80 90
80
100
100
90
N P K + 2 t h a - 1 pu k a n
NP + 5 t ha - 1 j e r a mi
N O 3 - ( mg kg -1 )
N O 3 - ( mg k g -1 ) 0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
0.00
3.00
0
0
10
10
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
20
20 30
30
14 HST
40 50
21 HST
60
35 HST
70
18 HST
50
21 HST
60
14 HST
40
18 HST
35 HST
70
80
80
90
90
100
100
N P K + 2 t ha
NO 3 0.00
0.50
1.00
-1
-
puk a n + 5 t ha
-1
je r a mi
( mg k g -1 ) 1.50
2.00
2.50
3.00
0 10 20 30 40 50 60 70
14 HST 18 HST 21 HST 35 HST
80 90 100
Gambar 3. Pola pergerakan nitrat pada tanah sawah intensifikasi pada saat tanaman padi berumur 14, 18, 21, dan 35 HST
Dari Gambar 3 terlihat bahwa ion nitrat pada tiga hari setelah pemupukan telah banyak terbentuk, dan posisinya sebagian besar masih berada di kedalaman 0-25 cm, kecuali pada perlakuan kontrol yang terlihat mulai bergerak ke lapisan 25-50 cm dan 50-75 cm, semakin dalam tanah jumlah ion nitrat semakin sedikit, ini berarti sangat sedikit NO3- yang tercuci. empat hari kemudian pergerakan nitrat ke lapisan bawah semakin terlihat jelas, dan pada tiga minggu setelah pemupukan proporsi kadar nitrat di masing-masing kedalaman terlihat berimbang. 139
I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno
N PK
Kontrol N- NH 4
N- NH 4 0.00
5.00
+
10.00
( mg k g -1 ) 15.00
0.00
20.00
25.00
5.00
( mg k g -1 ) 15.00
20.00
25.00
0
0 10 20
10 20 30
30 40 50 60 70
14 HST
14 HST
40
18 HST
50
21 HST
60
35 HST
70
18 HST 21 HST 35 HST
80
80 90 100
90 100
NP K + 2 t ha - 1 puk a n
N P + 5 t ha - 1 j e r a mi
N- NH 4 0.00
+
10.00
5.00
10.00
+
( mg k g -1 ) 15.00
N- NH 4 20.00
25.00
0.00
0
5.00
+
( mg k g -1 )
10.00
15.00
20.00
25.00
0
10
10
20 30
14 HST
40
18 HST
50
21 HST
60
35 HST
70
20 30
14 HST
40
18 HST
50
21 HST
60
80
70 80
90
90
100
100
35 HST
N P K + 2 t ha - 1 puk a n + 5 t ha - 1 j e r a m i
N- NH 4 0.00
5.00
10.00
+
( mg kg -1 ) 15.00
20.00
25.00
0 10 20 30 40 50 60 70
14 HST 18 HST 21 HST 35 HST
80 90 100
Gambar 4. Pola pergerakan amonium pada tanah sawah intensifikasi pada saat tanaman padi berumur 14, 18, 21, dan 35 HST Menurut Mukhlis dan Fauzi (2003) ion NO3- bergerak di dalam tanah mengikuti proses difusi dan aliran massa, bergeraknya nitrat ke lapisan yang lebih dalam diduga karena nitrat tidak terjerap oleh koloid liat, sehingga mudah terikut bersama aliran air, disaat air bergerak ke lapisan bawah. Pola pergerakan NH4+ juga hampir sama dengan nitrat, dimana pada tiga hari setelah pemupukan jumlah amonium yang terbentuk cukup besar dan sebagian telah masuk ke lapisan yang lebih dalam. Memang umumnya pengamatan pergerakan N pada lahan sawah dilakukan sampai kedalaman 50 cm karena adanya lapisan tapak bajak (plow plan), akan tetapi dalam kasus ini
140
Dinamika Hara N pada Lahan Sawah Intensifikasi
berbeda dimana pengamatan dilakukan sampai kedalaman 100 cm. Penetapan ini didasarkan pada karakteristik tanah yang didominasi oleh mineral liat 2:1 yang bersifat mengembang dan mengerut, tidak semua tanah sawah membentuk lapisan tapak bajak dan walaupun terbentuk membutuhkan waktu yang cukup lama, juga penanaman padi dilakukan pada saat musim kering. Menurut Mukhlis dan Fauzi (2003) pergerakan NH4+ dalam tanah sangat dipengaruhi oleh aliran massa, difusi, hidrolisis urea, air tanah, mineral liat, aktivitas bakteri nitrifikasi, dan pH. Mengingat kondisi lahan yang mengalami kekurangan air, maka tanah telah membentuk rekahan-rekahan yang cukup dalam bahkan lebih dari 50 cm, hal ini meyebabkan penurunan permukaan air tanah dan masuknya udara kedalam ruang pori tanah yang akan mempengaruhi reaksi redoks dan perpengaruh pula terhadap perubahan N dalam tanah. Turunnya permukaan air tanah ini akan ikut serta membawa sebagian ion amonium ke lapisan tanah yang lebih dalam, sebagian yang lain akan terjerap pada koloid tanah lapisan atas, terkepung oleh mineral liat, terfiksasi oleh senyawa organik dan mikroorganisme dan bahkan diserap tanaman. KESIMPULAN 1. Pemberian bahan organik berupa pupuk kandang sapi dan jerami bila dikombinasikan dengan pupuk NPK cenderung meningkatkan kadar N-NH4+ dalam tanah dan di air petakan pada minggu pertama setelah pemupukan. 2. Pola pergerakan amonium dan nitrat dalam tanah bervariasi, tapi secara umum dapat dikatakan kadar nitrat yang terukur semakin kecil seiring dengan bertambahnya kedalaman, dan dengan mengetahui pola perubahan N di dalam tanah, kita dapat menentukan intensitas dan waktu pemberian pupuk N yang tepat. 3. Pengkombinasian pupuk NP dengan 5 t/ha jerami mampu mempertahankan kestabilan hara N di dalam tanah sehingga berpotensi untuk meningkatkan serapan hara N dan produksi padi. Ucapan terima kasih Dalam kesempatan ini, kami menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Krisnadi di BPTP Jawa Timur dan Bapak Sutikno (PPL Karang jati) yang telah banyak meluangkan waktu, fikiran dan tenaganya untuk terlaksananya kegiatan penelitian ini, juga ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Katiman dan anggota Kelompok Tani Mugo Lestari, Desa Sidokerto, Kecamatan Karang Jati, Kabupaten Ngawi yang telah menyediakan lahan dan banyak membantu untuk penelitian ini. 141
I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A., Wahyunto, dan R. Shofiyati. 2004. Gagasan pengendalian konservasi lahan sawah dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional. Hlm 52 Dalam Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan. Puslitbangtanak. Bogor. Adiwiganda, Y.T. and A. Wild. 1989. Measurement of N loss from soil in the form of N2O gas. Indonesian Journal of Crop Science. 4(1). Alves, F., H.M. Ribeiro, F. Cabral, A.C. Cunha-Queda, and E. Vasconcelos. 2007. Nitrogen and carbon mineralization from organic farming fertilizers applied to a sandy soil. P 45 In Proc. Mineral Versus Organic Fertilization Conflict or Synergism. Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University. Belgium. Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. D’Haene, K., E. Moreels, S. De Neve, B.C. Daguilar, P. Boeckx, G. Hofman, and O.V. Cleemput. 2003. Soil Properties Influencing the Denitrification Potential of Flemish Agricultural Soils. Biol. Fertil. Soil. Ghent. Belgium. Estiaty, L.M, D. Fatimah, dan I. Yunaeni. 2004. Zeolit Alam Cikancra Tasikmalaya: Media Penyimpan Ion Amonium dari Pupuk Amonium Sulfat. Jurnal Zeolit Indonesia 3(2):56. Hardjowigeno, S. dan M.L. Rayes. 2005. Tanah Sawah : Karakteristik, Kondisi dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Bayumedia Publishing. Malang. Hartatik, W. dan D. Setyorini. 2008. Validasi rekomendasi pemupukan NPK dan pupuk organik pada padi sawah. Dalam Prosiding Seminar Sumberdaya Lahan Pertanian. BBSDLP Bogor. Mukhlis dan Fauzi. 2003. Pergerakan Unsur Hara N dalam Tanah. Digital Library. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Peniwiratri, L. dan D. Arbiwati. 2007. Kajian penggunaan haspramin terhadap sifat fisik dan kimia vertisol lahan kering yang ditanami tebu. Dalam Pros. HITI IX. Yogyakarta. Permentan No. 40/Permentan/OT.140/04/2007. 2007. Rekomendasi Pemupukan N,P dan K Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi. Departemen Pertanian. Jakarta. Saraswati, R., E. Husen, dan R.D.M. Simanungkalit. 2007. Metode Analisis Biologi Tanah. BBSDLP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Hlm 181-185.
142
Dinamika Hara N pada Lahan Sawah Intensifikasi
Suranta, I M.W. dan A. Hardjono. 1999. Metode Analisis Tanah. PT Astra Agro Lestari. Jakarta. Sutanto, R. 2006. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 95.
dan
Vermoesen, A., O. Van Cleemput, and G. Hofman. 1993. Nitrogen Loss Processes: Mecanisms and Importance. Pedologie. XLIII-3. Faculty Agricultural and Applied Biological Sciences. University of Ghent. Belgium. Waluyo, S.H. 2002. Biological Nitrogen Fixation of Soybean in Acid Soils of Sumatra, Indonesia. Wageningen. The Netherlands. P 151. Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta. Hlm 42-44.
143
I. Adamy Sipahutar dan A. Kasno
TANYA JAWAB Pertanyaan (Sukristiyonubowo, Balittanah) : 1. Pola pergerakan N yang telah ditampilkan sudah cukup bagus, bagaimana kalau dinamika N ini dikaitkan dengan intensitas pemberian urea ? 2. Berdasarkan literatur yang pernah saya baca, pengambilan contoh tanah untuk tanah sawah tidak sampai kedalaman 1 m karena ada plow plan. Jelaskan. Jawaban : 1. Dengan mengetahui pola perubahan dan pergerakan N di dalam tanah, kita akan dapat memprediksi waktu pemberian pupuk N yang tepat dan juga intensitas pemupukan, apakah 1, 2, atau 3 kali pemberian, tergantung pada seberapa cepat N menghilang dari zona perakaran. Bila N cepat berubah dan menjauhi zona perakaran maka sebaiknya pemberian pupuk N di-split. 2. Memang idealnya pengambilan contoh tanah pada lahan sawah yang sering tergenang adalah sampai kedalaman 50 cm karena adanya plow plan, akan tetapi kita mengamati pergerakan N hingga kedalaman 100 cm didasarkan pada karakteristik tanah yang didominasi oleh mineral liat 2:1 yang bersifat mengembang dan mengerut. Penelitian dilakukan pada saat musim kering, akibat kekurangan air tanah membentuk rekahan-rekahan yang kedalamannya melebihi 50 cm, hal ini diduga dapat merusak plow plan dan faktanya ditemukan sejumlah N pada kedalaman > 50 cm. Selain itu, tidak semua tanah sawah membentuk lapisan tapak bajak, walaupun terbentuk akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
144