ISSN 1410-1939
KEBUTUHAN PUPUK FOSFOR BERDASARKAN STATUS HARA POSFAT LAHAN SAWAH DI PROVINSI JAMBI [PHOSPHOROUS REQUIREMENT REFERRED TO PHOSPHATE STATUS OF RICE FIELD IN JAMBI PROVINCE] Busyra B.S.1 Abstract Requirement of TSP fertilizer has kept increasing year by year simultaneously with govermental programmes of rice intensification such as BIMAS, INMAS, and INSUS. Like other kind of fertilizer, P fertilizer is one of components in such programmes and had already been used since 1960’s. As a consequence of rice intensification in rice field and phosphate properties that is hardly leached, this causes a P pool in rice field which is intensively fertilized with high dosage P fertilizer every planting season. Lately, it was known that, in fact,from 246.481 ha of rice field area in Jambi Province, 115.831 ( 46,99%) had a high status of P, 118,189 ha (47,95%) temperate status, and 1.051 ha (6,11%) with low status. If the result of this research can be applied in level of farmers, where only 50, 75 and 125 kg SP-36/ha/season for high, temperate, and low status respectively is applied, and if compared with prevailing general recommendation namely 100 – 150 kg/ha/season, they will econoomize the use of SP-36 as much as 3.436 t ha-1 or equivalent to 6,872 billion per planting season. It is hoped that fertilizer distribution can be aimed to other marginal land for annual crop and estate crop in dry land and increase farmers revenue. In term of supporting food stability and developing agribusiness and also regional authority centered in a regency, map of land resources with soil nutrient status in operational scale (1:50.000) need to be available in every regency. Such map and data are needed by every policy maker as a reference to determine allocation of fertilizer distribution based on time, sorts, and amounts. Therefore, to every regency which hasn’t had information about soil nutrient status, it is needed to inventarize and map with technical assistance from research institution under central UPT (technical service unit) available in Jambi and research instituton and regional development. Kata kunci: status P, padi sawah, pemupukan, Provinsi Jambi.
PENDAHULUAN Pupuk sebagai salah satu komponen paket program intensifikasi memiliki peranan cukup besar dalam mencapai keberhasilan program tersebut. Sejak dilaksanakannya program intensifikasi dari Pelita I sampai sekarang, pertumbuhan penggunaan pupuk buatan di Indonesia cukup pesat. Ada beberapa hal yang telah mendorong pertumbuhan penggunaan pupuk cukup tinggi ini, antara lain adanya subsidi harga pupuk, disamping itu dengan pemakaian varietasvarietas padi unggul yang responsif terhadap pupuk. Bersama-sama dengan pupuk nitrogen 1
maka pupuk fosfat merupakan salah satu pupuk yang disertakan dalam program intensifikasi dan penggunaannya cukup besar di kalangan petani di Indonbesia. Banyak usaha telah berhasil dilakukan dalam memacu peningkatan produksi padi, akan tetapi berbagai tantangan masih terus dihadapi seperti peningkatan jumlah penduduk yang relatif tinggi, ancaman hama dan penyakit, tekanan lingkungan, serta menyusutnya lahan-lahan subur untuk pembangunan dibidang lain, serta diberlakukannya kebijakan penghapusan subsidi pupuk oleh Pemerintah sehingga biaya usahatani untuk pembelian pupuk akan bertambah.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda, Kotabaru, Jambi
69
Jurnal Agronomi 8(1): 69–74
Pupuk merupakan salah satu sarana produksi penting dalam upaya peningkatan dan pelestarian produksi pertanian, khususnya tanaman pangan. Disamping itu ketergantungan pertani cukup tinggi pada pupuk, dan pupuk yang umum digunakan adalah pupuk tunggal urea, ZA, TSP/SP-36 dan KCl. Dengan meningkatnya areal dan intensitas pertanaman (IP) serta makin intensifnya pengelolaan tanaman, maka kebutuhan akan pupuk semakin meningkat pula. Sejak dimulainya Pelita I sampai Pelita II, pemakaian pupuk TSP melonjak tiga kali lipat, dari 80.000 ton/tahun menjadi 233.300 ton/tahun (Helmy dan Daulay, 1987). Mulai tahun 1977 sampai tahun 1987 kenaikan rata-rata penggunaan TSP mencapai 19% per tahun. Menurut Adiningsih (1992) pada tahun 1990 penyaluran pupuk untuk pertanian telah mencapai 5,36 juta ton. Bahkan pada tahun 1997, dari 5,65 juta ton pupuk yang disalurkan ke petani tersebut sebanyak 0,98 juta ton adalahTSP/SP-36 (Karama et al (1997). Pada tahun 1999 realisasi penjualan pupuk di Indonesia adalah urea 2.448.000 ton 325.000 ton TSP/SP36, 216.000 ton ZA dan 212.000 ton KCl. Walaupun pupuk merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam peningkatan produksi pangan terutama padi sawah. Perbaikan mutu intensifikasi padi melalui penambahan jenis dan takaran pupuk selama ini tampaknya tidak menjamin pencapaian tingkat produksi maksimum, bahkan sejak tahun 1985 terjadi gejala penurunan kenaikan produksi (levelling off). Ini suatu petunjuk bahwa efisiensi pupuk berkurang. Adiningsih dkk. (1989) mengemukakan bahwa pelandaian produksi berkaitan erat dengan menurunnya kesuburan kimia, fisika, dan biologi tanah, hal ini disebabkan kurang tepatnya perawatan dan pengelolaan tanah. Disamping itu penggunaan pupuk N dan P yang makin meningkat akan mempercepat pengurasan hara lain seperti K, S, dan Mg, sehingga dapat mengakibatkan ketidak seimbangan hara dalam tanah. De Datta et al (1979) melaporkan bahwa setengah sampai dua pertiga dari senjang hasil padi aktual dan potensial disebabkan oleh kurang tepatnya takaran dan cara pengelolaan pupuk. Selanjutnya ditambahkan oleh Dabin (1980), ketersediaan fosfat pada tanah masam sangat rendah bahkan bisa menjadi tidak tersedia, karena pupuk P yang diberikan akan difiksasi oleh oksidaoksida aluminium dan besi. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan tanah dalam memfiksasi fosfor merupakan faktor yang penting dalam menentukan rekomendasi takaran fosfat yang efisien untuk memperoleh respon terhadap pemupukan.
70
Rekomendasi pemupukan pada saat ini masih bersifat umum, statis dan tidak efisien, padahal sudah seharusnya bersifat spesifik lokasi, karena sangat erat hubungannya dengan iklim, tanah, dan tanaman (Widjaja-Adhi, 1993). Sejak dicanangkannya Program Intensifikasi padi sawah, secara umum takaran pemberian pupuk untuk padi sawah berkisar antara 150-200 kg urea/ha, SP-36 100-150 kg/ha dan KCl 50-75 kg/ha. Sehingga setelah 20-30 tahun dilaksanakannya program intensifikasi di beberapa daerah dilaporkan adanya ketidak seimbangan hara dalam tanah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sebagian besar lahan sawah intensifikasi di Jawa, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Pulau Lombok sudah tidak respon terhadap pemupukan P dan K (Setyorini dkk, 1995). Sehubungan dengan kebijakan Pemerintah terhadap penghapusan subsidi pupuk, maka perlu dicermati apakah takaran pupuk TSP/SP-36 yang selama ini masih layak dan ekonomis kita digunakan mengingat sesuai dengan sifat pupuk fosfat itu sendiri tidak mobil dan hanya sekitar 1015% dapat diserap tanaman dan selebihnya akan tertinggal dalam tanah. Sehingga bagi lahan-lahan sawah yang status fosfat tanahnya sudah mencapai tingkat sedang sampai tinggi kiranya perlu dikurangi pemakaian pupuk, bahkan untuk 2 sampai 3 musim tanam tidak perlu dipupuk. Bertitik tolak dari kenyataan di atas maka dalam tulisan ini akan mengemukakan bagaimana status fosfat potensial tanah sawah yang ada di Provinsi Jambi dalam hubungannya dengan perbaikan paket pemupukan, sehingga dapat mengurangi biaya penyediaaan pupuk SP-36 oleh pemerintah serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di Propinsi Jambi. STATUS FOSFOR TANAH POTENSIAL LAHAN SAWAH PROVINSI JAMBI Luas lahan sawah di Provinsi Jambi 246.482.ha , dari luasan tersebut terdiri dari lahan sawah irigasi, sawah lebak/payo dan sawah pasang surut yang tersebar di 10 kabupaten dan kotamadya serta tersebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Sekitar 51.739 ha dari lahan sawah yang ada telah menerapkan IP 100-200 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jambi, 2002). Seperti halnya Provinsi lain di Indonesia, di Provinsi Jambi dosis pemupukan untuk padi sawah masih bersifat umum sehingga pemakaian pupuk TSP/SP-36 oleh petani masih relatif ringgi. Hal ini juga ada kaitannya dengan anggapan petani,
Busyra B.S.: Kebutuhan Pupuk Fosfor…
dimana pupuk posfat identik dengan pupuk buah. Makin banyak P diberikan, maka makin tinggi hasil yang dicapai. Persepsi tersebut diduga menjadi salah satu penyebab tidak logis dan tidak efisiennya penggunaan pupuk. Dengan tingginya penggunaan pupuk P, sedangkan jumlah P yang mampu diserap tanaman hanya selitar 10% serta sifat unsur P pada komdisi tanah pH masam akan terikat oleh Al dan Fe, serta pada kondisi pH tanah tinggi akan membentuk Ca-P, hal demikian akan menyebabkan meningkatnya areal sawah berkadar P tinggi (Adiningsih dkk., 1993). Berdasarkan hasil survai Puslitanak (1999), dari 246.482 ha lahan sawah di provinsi Jambi maka telah 115.831 ha (46,99%) berstatus P tinggi, 118.180 ha (47,95%) status sedang dan 30.470 ha (5,06) berstatus rendah. Berdasarkan potensi lahan sawah yang ada, sekitar 195.333 ha dapat diterapkan IP-100, 130.908 ha dengan IP 100-200 dan 47.779 ha dengan IP 200-300 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jambi, 2002) Hal ini dibuktikan pula dengan hasil penelitian Pemetaan Status hara P sawah di Kabupaten Kerinci oleh Busyra et al (2002) dimana dari sawah 17.216 ha ternyata 11.762 ha (68,32%) telah berstatus P tinggi. Untuk mendukung program Intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi lahan kritis, maka pemupukan merupakan tindakan yang harus dilakukan. Menurut Satari (1987), diantara harahara esensial, peran, kebutuhan, dan penggunaan pupuk P, terutama untuk padi sawah, umumnya sangat menonjol setelah N. Fosfat berperan penting dalam pertumbuhan dan peningkatan hasil tanaman. Soepardi (1983) mengemukakan bahwa peran P antara lain; berperan dalam metabolisme dan sebagai penyusun senyawa kompleks; sebagai aktivator, kovaktor, dan menentukan pengaruh enzim; serta berperan dalam proses fisiologik. Berdasakan sifatnya fosfor dalam tanah tidak mobil, sedangkan efisiensi serapan P dari pupuk TSP oleh tanaman sangat rendah, sehingga pemupukan P yang terus menerus mengakibatkan akumulasi unsur tersebut dalam tanah. Hasil evaluasi kebutuhan P untuk padi sawah selama dua musim pada lahan intensifikasi, menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah di Jawa dan Madura berstatus P sedang sampai tinggi dan tidak tanggap terhadap pemupukan fosfat (Adiningsih dkk, 1988). Juga, percobaan pemupukan P jangka panjang yang dilaksanakan pada tanah sawah di Jawa sejak tahun 1987 menunjukkan bahwa tanahtanah yang mempunyai status P tinggi sampai sedang tidak tanggap terhadap pemupukan P sampai musim ketiga dan keempat (Rochayati et al, 1990).
Berdasarkan hasil penelitian di Jawa, pada lahan sawah yang berstatus P rendah respon terhadap pemupukan fosfor, status P sedang sedikit respon dan status P tinggi tidak respon sama sekali. Oleh karena itu Adiningsih et al (1989) menyarankan dosis rekomendasi pemupukan P untuk lahan sawah berstatus P tinggi dan sedang perlu diturunkan masing-masing menjadi 50 dan 70% dari dosis anjuran. Dilain pihak Moersidi et al. (1989) mengeluarkan anjuran pemupukan yang lebih spesifik yaitu tanah berstatus P tinggi dipupuk 50-75 kg TSP/ha, berstatus P sedang dipupuk 75-125 kg TSP/ha dan tanah yang berstatus P rensah dipupuk lebih dari 125 kg TSP/ha. Hasil spesifik lagi untuk Kabupaten Kerinci dari penelitian Busyra et al (2001) Pemupukan SP-36 sebanyak 50 kg , masingmasing 25 kg sebagai starter pada waktu tanam dan 25 kg sebagai susulan memberikan hasi lebih tinggi dibandingkan dengan dosis pupuk rekomendasi umum. Dalam rangka menyusun paket rekomendasi pemupukan spesifik lokasi maka Peta status hara P skala 1:250.000 yang telah dibuat Puslittanak (1999) yang baru dapat dimanfaatkan untuk perencanaan, maka untuk keperluan operasional penentuan kebutuhan pupuk perlu kiranya ditindak lanjuti dengan penyusunan peta P yang lebih operasional dengan skala 1:50.000 untuk setiap kabupaten di Provinsi Jambi. Dengan adanya peta status hara P provinsi Jambi tersebut, maka akan diperoleh paket rekomendasi pemupukan P pada padi sawah yang lebih rasional dan efisien berdasarkan status hara tanah serta dapat menghemat kebutuhan pupuk dalam rangka antisipasi kelangkaan pupuk, meningkatan efisiensi usahatani dan pendapatan petani serta distribusi pupuk dapat diarahkan pada lahan dan komoditas pada agro ekosistem marginal. Di samping itu juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemupukan berlebihan. METODE PENETAPAN KEBUTUHAN PUPUK Penetapan status hara fosfor pada lahan sawah berdasarkan kriterian yang dikemukakan oleh Syofyan dan Suryono (2002). dimana status P tanah rendah dimana kandungan P tanah berkisar antara 20-40 me/100 gr tanah, status P sedang berkisar antara 40-60 me/100 gr tanah dan tinggi jika kandungan P tanah > 60 me/100 gr tanah. Luasan sawah dengan status P tanah rendah, sedang, dan tinggi diperoleh dari hasil Pemetanan
71
Jurnal Agronomi 8(1): 69–74
status hara P di Provinsi Jambi tahun 1999 skala 1:250.000. dari peta tersebut tercantum luasan untuk masing-masing status hara fosfor tanah. Kebutuhan pupuk untuk masing-masing status fosfor tanah sawah berdasarkan rekomendasi dari Puslitbangtanak Bogor dari hasil penelitian di daerah Jawa, dimana untuk statur P rendah, sedang dan tinggi masing-masing dipupuk dengan 100, 75 dan 25 kg TSP.ha/musim. Data dari kebutuhan pupuk TSP tersebut dikonversikan labi dengan faktor koreksi 1.3 karena karena pupuk P yang beredar di pasaran sekarang adalah SP36. Maka rekomendasi berdasarkan pupuk SP36 pada status P tanah sawah rendah, sedang dan tinggi masingmasing menjadi 130, 97,5 dan 65 kg SP36/ha/musim. Berpedoman kepada Peta status hara P tanah sawah di Provinsi Jambi yang dikeluarkan oleh Puslitbangtanah dan Agroklimat Bogor maka penentuan kebutuhan pupuk fosfor untuk Provinsi Jambi dapat ditentukan. KEBUTUHAN PUPUK FOSFAT Berdasarkan status hara P potensial tanah sawah di provinsi Jambi, yang dituangkan dalam bentuk Peta status P tanah sawah skala 1: 250.000 (Puslitbangtanak, 1999), dengan peta tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dalam membuat rekomendasi penggunaan pupuk fosfat berdasarkan status hara tanah. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat di beberapa daerah di Jawa, untuk tanah sawah dengan status P rendah, sedang dan tinggi masingmasing dipupuk 100, 75 dan 50 kg TSP/ha/musim. Karena pada saat ini banyak beredar di pasaran adalah SP-36, maka penggunaan pupuk SP-36 sebagai pengganti pupuk TSP terlebih dahulu perlu dikonversikan berdasarkan kadar hara di dalam pupuk. Menurut Moersidi (1999), pupuk SP-36 mempunyai kadar dan kelarutan fosfatnya di dalam tanah lebih rendah dibandingkan TSP, dimana pupuk SP-36 mempunyai kadar 36% P2O5 total dan 30% P2O5 larut dalam air. Dengan demikian jika rekomendasi pemupukan P berdasarkan status hara tanah dengan menggunakan pupuk SP-36 maka dalam penghitungan kebutuhan pupuk sebagai sumber fosfor dikalikan dengan faktor koreksi 1,3. Berdasarkan hal diatas maka rekomendasi pemupukan dengan pupuk SP-36 pada tanah sawah dengan status P tanah rendah, sedang dan tinggi masing-masing adalah 130, 97,5 dan 65 kg SP-36/ha/musim.
72
Dari hasil pemetaan status hara P tanah sawah di Provinsi Jambi, dapat digunakan sebagai pedoman untuk perencanaan daerah dalam menentukan besarnya kebutuhan pupuk. Besarnya kebutuhan pupuk per musim tanam di Provinsi Jambi berdasarkan peta status hara P tanah sawah di provinsi Jambi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan pupuk SP-36 untuk padi sawah di Provinsi Jambi berdasarkan status hara P tanah Status P tanah
Luas lahan sawah (ha)
Kebutuhan pupuk SP-36 (ton/musim)
Rendah
30,470
3,961
Sedang
118,180
11,522
Tinggi
115,831
7,529
Jumlah
264,481
23,012
Berdasarkan Tabel 1 tersebut maka kebutuhan pupuk SP-36 dalam usahatani padi sawah berdasarkan rekomendasi pemupukan menurut status hara P tanah sawah di Provinsi Jambi per musim tanam adalah sebanyak 23.012 ton/musim. Apabila dibandingkan dengan anjuran Dinas Pertanian di beberapa tempat yaitu bervariasi dari 100 sampai 150 kg SP-36/ha/musim, dari luasan sawah 264.481 ha yang ada di provinsi Jambi dengan rata-rata dipupuk 100 kg SP-36/ha, maka dibutuhkan pupuk sebanyak 26.448 ton SP36/musim. Dengan adanya hasil pemetaan status hara P pada lahan sawah tersebut, maka dapat diperkiraan kebutuhan pupuk yang cukup rasional karena telah mempertimbangkan kondisi tanah setempat. Dengan membandingkan antara kebutuhan pupuk SP-36 berdasarkan rekomendasi umum yang berlaku pada saat ini dengan kebutuhan pupuk berdasarkan status hara P maka terjadi penghematan penggunaan pupuk sebanyak 3.436 ton SP-36/musim tanam. Bila dari jumlah pupuk yang dapat dihemat tersebut kita konversikan dalam bentuk rupiah, dengan harga pupuk SP-36 di pasaran Rp. 2.000,-/kg, maka untuk provinsi Jambi 6,872 milyar per musim tanam. Dari penghematan dana untuk pembelian pupuk tersebut, maka biaya yang seharusnya digunakan untuk pembelian pupuk dapat dialihkan untuk modal usahatani lainnya. Untuk mendapatkan dosis rekomendasi pemupukan fosfor yang lebih tepat lagi perlu kiramya ditindak lanjuti dengan dengan pengujian lapang dengan beberapa taraf pemupukan P pada tiap kabupaten
Busyra B.S.: Kebutuhan Pupuk Fosfor…
di provinsi Jambi dengan berbagai status hara P tanah (rendah, sedang maupun tinggi). IMPLIKASI KEBIJAKAN Dengan adanya peta status hara P tanah maka sangat membantu Pemerintah Daerah dalam perencanaan pembangunan di bidang pertanian, khususnya dalam hal perencanaan penyediaan saprodi pupuk untuk program intensifikasi padi sawah maupun palawija serta perencanaan pendistribusian pupuk sampai ke tingkat kecamatan yang mempunyai kondisi lahan marginal. Disamping itu dengan adanya penghematan pupuk juga sangat bermanfaat untuk pembangunan dibidang lain dalam rangka otonomi daerah Penelitian status hara P lahan sawah ini apabila dirtindak lanjuti dengan melakukan pemetaan di tiap kabupaten (terutama daerah sentra produksi padi sawah) dengan skala 1:50.000, maka sangat bermanfaat untuk menentukan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi. Selanjutnya kegiatan ini ditunjang lagi dengan kegiatan penelitian lapang, terutama pemupukan P pada masingmasing tanah sawah yang mempunyai status hara berbeda, sehingga nantinya akan diperoleh rekomendasi yang lebih tepat lagi. KESIMPULAN Dosis pemupukan pada program intensifikasi di Provinsi Jambi masih bersifat umum belum berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman sehingga pemakaian pupuk TSP/SP-36 oleh petani masih relatif tinggi. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab tidak logis dan tidak efisiennya penggunaan pupuk. Dengan tingginya penggunaan pupuk P, sedangkan jumlah P yang mampu diserap tanaman hanya selitar 10% serta sifat unsur P pada komdisi tanah pH masam akan terikat oleh Al dan Fe, serta pada kondisi pH tanah tinggi akan membentuk Ca-P, hal demikian akan menyebabkan meningkatnya areal sawah berkadar P tinggi. Dari luas lahan sawah 246.482 ha di provinsi Jambi, terdapat 115.831 ha (46,99%) berstatus P tinggi, 118.180 ha (47,95%) status sedang dan 30.470 ha (5,06%) berstatus P rendah. Apabila diterapkan paket rekomendasi berdasarkan status P tanah potensial rendah, sedang dan tinggi, masingmasing 125, 75 dan 50 kg SP-36/ha maka akan dapat dihemat pemakaian pupuk SP-36 sebanyak
3.436 ton SP36 per musim tanam atau setara dengan 6,872 milyar per musim tanam. Dari penghematan penghematan pupuk tersebut dapat dimanfaatkan pada lahan merginal lainnya untuk tanaman palawija dan perkebunan serta meningkatkan pendapatan petani dengan berkurangnya biaya usahatani untuk pembelian pupuk SP36. Dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis serta otonomi daerah yang akan berpusat di tingkat kabupaten, maka sumberdaya lahan dalam bentuk peta status hara tanah pada skala operasional (1:50.000) perlu tersedia di tiap kabupaten. Data dan Peta tersebut sangat diperlukan oleh para pembuat kebijakan sebagai dasar penentuan alokasi penyaluran pupuk menurut waktu, jenis dan jumlahnya. Oleh karena itu bagi kabupaten -kabupaten yang belum mempunyai informasi tentang status hara tanah sawah perlu melakukan inventarisasi dan pemetaan dengan bantuan teknis dari Balai Penelitian di bawah UPT Pusat yang ada di Provinsi/Daerah dan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah. DAFTAR PUSTAKA Adiningnih, Moersidi, M. Sudjadi dan AM. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung, 21 Nopember 1988. Pusat Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Dept. Pertanian. Adiningnih, Moersidi., M. Sudjadi, dan A.M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Proseding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat. Bogor. Adiningnih, Rochayati, S., D. Setyorini dan M. Sudjadi. 1993. Efisiensi penggunaan pupuk pada lahan sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian tanah dan Agroklimat. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Biro Pusat statistik Kabupaten Kerinci. 2000. Kerinci dalam angka tahun 2000. Busyra, BS, Yardha, Endrizal, Nur asni, Salwati, Hendri P, Mugiyanto dan Azwar. 2001. Penelitian Adaptif Pemupukan Spesifik Lokasi pada padi sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Badan Litbang Pertanian. Laporan Hasil Penelitian.
73
Jurnal Agronomi 8(1): 69–74
Busyra, BS., Hendri.P., Endrizal, Azwar, Muzirman, J. Soryono dan Trikunto. 2002. Pemetaan Status Hara P dan K Lahan sawah Kabupaten Kerinci. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Badan Litbang Pertanian. Laporan Hasil Penelitian (belum dipublikasikan). Dabin, B. 1980. Phosphorous deficiency in tropical soils as constraints on agricultural output, p. 217-232. In: Soil Related Constraints to Food Production in the Tropics. IRRI, Los Banos. Philippines. De Datta, S.K., F.V. Gracia, A.K. Chatterjee, W.P. Abilay, Jr., J.M. Alcantara, B.S. Cia, and H.C. Jerza. 1979. Bilogical constraints for farmers rice yield in three Philippines provinces. IRRI Research Paper Series 30. 69p. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jambi. 2002. Potensi pengenbangan lahan tanaman pangan dan hortikultura Propinsi Jambi. Helmy, A dan Daulay. 1987. Perkembangan penggunaan pupuk fosfat untuk tanaman pangan 1980/1981-1984/85. Hal 201-221 dalam Pros. Lokakarya Nasional Penggunaan Pupuk Fosfat. PPT. Bogor. Karama, A.S., A.M. Fagi, and Sri Rochayati. 1997. Current use of and requirement for nutrients for sustainable food crops production in Indonesia. p. 291-305. In Proceeding in the Nutrient Management fo Sustainable Crop Production in Asia. Bali, 9-12 December 1996. Moersidi. S. 1999. Fosfat alam sebagai pupuk fosfat. Puslitbangtanak Bogor. Hal 36.
74
Moersidi. S., D. Santoso, M. Soepartini, M. Al;Jabri, J. Sri Adiningsih, dan M. Sudjadi. 1989. Peta keperluan fosfat tanah di Jawa dan Madura. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk No. 8: hal 13-25 Puslittanak. 1999. Peta status Posfor tanah sawah provinsi Jambi skala 1:500.000. Rochayati, Mulyadi, dan Sri Adiningsih. 1990. Penelitian efisiensi penggunaan pupuk di laha sawah. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Setyorini, D., A. Kasno, I. G. M. Subiksa, D. Nursyamsi, Sulaeman dan J. Sri Adiningsih. 1995. Evaluasi status P dan K tanah sawah intensifikasi sebagai dasar penyusunan rekomendasi pemupukan P dan K di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. Pembahasan Laporan Paket Teknologi Hasil Penelitian ARMP-I. Cisarua. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Sofyan, A dan J. Suryono. 2002. Petunjuk teknis pembuatan peta status P dan K lahan sawah skala 1:50.000 serta percobaan pemupukan. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Widjaya-Adhi, I.P.G. 1993. Soil Testing and Formulating Fertilizer Recomendation. IARD Journal, Vol. 15 No. 4.