DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM MENGHADAPI PENYAKITNYA
OLEH FENTY RATIKASARI 802007062
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fenty Ratikasari Nim : 802007062 Program Studi : Psikologi Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty freeright) atas karya ilmiah saya berjudul: DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM MENGHADAPI PENYAKITNYA Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data , merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Salatiga Pada Tanggal : 19 Juni 2015 Yang menyatakan,
Fenty Ratikasari
Mengetahui, Pembimbing Utama
Ratriana Y.E. Kusumiati, M.Si., Psi.
Pembimbing Pendamping
Rudangta A.S., M.Psi.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Fenty Ratikasari
Nim
: 802007062
Program Studi
: Psikologi
Falkultas
: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul : DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM MENGHADAPI PENYAKITNYA
Yang dibimbing oleh : 1. Ratriana Y.E. Kusumiati, M.Si., Psi. 2. Rudangta A.S., M.Psi.
Adalah benar-benar hasil karya saya. Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa meberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 19 Juni 2015 Yang memberi pernyataan
Fenty Ratikasari
LEMBAR PENGESAHAN DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM MENGHADAPI PENYAKITNYA
Oleh Fenty Ratikasari 802007062
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Disetujui pada tanggal : 29 Juni 2015 Oleh : Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Ratriana Y.E. Kusumiati., M.Si., Psi.
Rudangta A.S., M.Psi.
Diketahui Oleh,
Disahkan oleh,
Kaprogdi
Dekan
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
DINAMIKA COPING PADA PENDERITA SIROSIS HATI DALAM MENGHADAPI PENYAKITNYA
Fenty Ratikasari Ratriana Y.E. Kusumiati Rudangta Arianti Sembiring
Progam Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi coping yang digunakan oleh seorang penderita sirosis hati dalam menghadapi penyakit yang diderita dan segala macam masalah dalam hidupnya. Penelitian ini merupakan rancangan studi kasus untuk melihat suatu keseluruhan yang mencakup hubungan-hubungan atau proses. Temuan penelitian ini menunjukkan individu melakukan coping sepanjang hidupnya untuk meredakan tekanan-tekanan dalam dirinya, dan setiap strategi yang digunakan mempunyai dampak tersendiri bagi kesehatannya. Individu menunjukkan kondisi kesehatan yang membaik setelah ia mampu menerima setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Dengan demikian, seorang penderita sirosis hati diharapkan mampu melakukan coping yang efektif dan sesuai bagi dirinya untuk menghadapi kondisi penyakit dan segala macam peristiwa dalam hidupnya. Kata kunci : coping, sirosis hati
i
ABSTRACT
The purpose of this study was to find the image of coping strategies used by a cirrhotic liver many patients in the face of events in his life that. This research is a case study design to see a whole includes relations or process. The research indicated that the individual doing her coping with the pressures, to calm her and every strategy has an impact that is used for his health. Improving the health condition of a person who is able to accept any after the incident happened in their lives. Thus, a cirrhosis is capable of coping with effective and suitable for themselves to deal with this disease and all kinds of conditions for life. Keywords : coping, liver cirrhosis.
ii
1
PENDAHULUAN Terminal illness adalah istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan penyakit yang aktif, ganas, dan tidak dapat disembuhkan. Penyakit tersebut biasanya bersifat progresif dan pada akhirnya akan mengakhiri hidup penderita. Sirosis hati merupakan salah satu penyakit yang dapat dikatakan sebagai terminal illness. Sirosis hati banyak ditemui di negara-negara maju maupun negara-negara yang sedang berkembang. Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosistik hepatik yang berlangsung progesif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vascular, dan regenerasi nodulus parenkim hati (Nurdjanah, 2006). Sirosis secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai dengan gejala-gejala klinis yang jelas. Secara konvensional sirosis hati diklasifikasikan sebagai sirosis makronodular, yaitu besar nodul lebih dari 3 mm, mikronodular, yaitu besar nodul kurang dari 3 mm, campuran makronodular dan mikronodular. Penyebab sirosis hati antara lain adalah karena adanya penyakit infeksi seperti bruselosis, ekinokokus, skistosomiasis, toksoplasmosis, hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, siomegalovirus). Penyakit keturunan metabolik seperti sindrom fanconi, galaktosemia, penyakit gauncher, penyakit simpanan glikogen, hemokromatosis, intoleransi fruktosa herediter, tirosinemia herediter, dan penyakit Wilson. Sirosis hati juga dapat disebabkan oleh obat dan toksin antara lain alkohol, amidoran, arsenik, obstruksi bilier, penyakit perlemakan hati non alkoholik, sirosis bilier primer, kolangitis sklerosis
2
primer. Ada juga penyebab lain atau tidak terbukti, seperti penyakit usus inflamasi kronik, fibrisis kistik, pintas jejunoileal, sarkoidosis (Nurdjanah, 2006). Gejala awal sirosis kompensata meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki – laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, dan hilangnya dorongan seksualitas. Pada sirosis lanjut (dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Dapat juga disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/malena, serta perubahan mental meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2006). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2008), sirosis hati menimbulkan berbagai dampak psikologis dan kognitif pada penderitanya, antara lain merasa bahwa hidupnya dibatasi dan bergantung pada obat-obatan, serta merasa rendah diri karena merasa tidak dapat melakukan pekerjaannya akibat dari penyakit yang dideritanya. Dalam penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa dukungan sosial dari keluarga terdekatnya dapat mengurangi dampak emosi yang bersifat negatif. Pasangan hidup adalah orang yang paling memungkinkan memberikan dukungan yang besar bagi seorang penderita sirosis hati. Sebuah pernikahan yang harmonis tentunya diharapkan untuk menunjang kesehatan seorang penderita sirosis hati. Namun demikian, masalah dapat saja timbul dalam sebuah hubungan pernikahan. Salah satu masalah yang seringkali terjadi dalam hubungan pernikahan adalah hadirnya orang ketiga, atau dapat disebut dengan perselingkuhan.
3
Perselingkuhan adalah suatu hubungan pribadi di luar nikah, yang di dalamnya terdapat unsur relasi yang pribadi dan melibatkan sekurang-kurangnya satu individu, baik yang berstatus sudah menikah dan yang satunya belum atau tidak menikah, atau keduanya sudah menikah. Perselingkuhan bisa terjadi karena dua pihak saling tertarik kepada orang lain (Satiadarma, 2001). Pasangan pelaku perselingkuhan sering kali merasakan sakit hati yang sangat mendalam karena merasa dikhianati, ditinggalkan, atau dicampakkan oleh pasangan yang melakukan perselingkuhan. Sakit hati yang dirasakan ini muncul akibat adanya cedera yang dialami pada kesatuan lembaga perkawinannya atau pada keasatuan hubungan interpersonal yang selama ini diyakininya sebagai selubung rasa aman di dalam kehidupannya (Hedva, dalam Satiadarma, 2001) Selain perselingkuhan, masalah lain yang dapat timbul dalam sebuah pernikahan adalah kematian pasangan hidup. Kematian orang yang dicintai merupakan sebuah pukulan, hal yang terasa menyakitkan, dan nampak mustahil untuk diterima. Dukacita merupakan respons adaptif dari kehilangan. Rasa dukacita adalah sebuah stressor. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa stress dari rasa duka cita membuat orang lebih banyak mengeluarkan air mata, yang kemudian akan meningkatkan resiko dari gangguan kardiovaskuler, infeksi, dan gangguan inflamasi. Selanjutnya, terbukti bahwa stress berhubungan dengan hormon-hormon yang menjadi lebih aktif. Hall dan Irwin (dalam Kastenbaum, 2007) melaporkan bahwa tingkat tertinggi dari kortisol, epinefrin, dan norepinefrin menandakan bahwa orang yang sebuah
ketidakstabilan
sistem
fisiologis
yang
sedang berduka cita mengalami menempatkan
kesehatan
dan
kelangsungan hidup mereka dalam resiko yang tinggi. Kebingungan dan keputusasaan sering kali berlanjut sebagai dampak dari kehilangan pasangan hidup. Akan selalu
4
terdapat periode kesedihan di dalamnya, terutama untuk wanita. Kesedihan memberikan pengaruh terhadap kondisi fisik seseorang. Gejala -gejala pada gangguan fisik tersebut dapat terjadi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Rasa sakit dan nyeri, kehilangan nafsu makan, kehilangan stamina, sakit kepala, pusing, dan menstruasi yang tidak teratur banyak dilaporkan (Kastenbaum, 2007). Seperti yang telah dipaparkan di atas, perselingkuhan dan kematian pasangan hidup merupakan masalah serius yang menimbulkan berbagai macam tekanan dan gangguan psikologis maupun kesehatan bagi orang yang mengalaminya. Bagi seorang penderita sirosis, mengalami kejadian tersebut tentu saja akan berpengaruh pada kesehatan dan menempatkan kelangsungan hidupnya pada resiko yang tinggi. Untuk dapat mengatasi masalah tersebut, seorang penderita sirosis diharapkan mampu melakukan coping yang efektif untuk mengurangi tekanan yang terjadi dalam hidupnya. Menurut Lazarus dan Folkman (1986) coping sendiri dibedakan menjadi dua macam strategi, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Problem-focused coping adalah usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Sedangkan emotionfocused coping adalah usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus & Folkman, 1986).
5
Carver, dkk (1998) merumuskan dimensi-dimensi untuk setiap tipe strategi coping sebagai berikut, problem-focused coping meliputi active coping (coping aktif) adalah suatu proses pengambilan langkah aktif untuk mencoba menghilangkan atau mengelabui penyebab stress atau memperbaiki akibatnya dengan cara langsung. Planning (merencanakan) adalah suatu usaha untuk menghilangkan sumber stress dengan cara memikirkan bagaimana cara untuk mengatasi sumber stress tersebut, antara lain dengan membuat strategi untuk bertindak dan langkah yang perlu diambil untuk mengatasi masalah. Suppression of competing activities (penekanan pada aktivitas bersaing) yaitu usaha untuk membatasi ruang gerak atau aktivitas dirinya yang tidak berhubungan dengan masalah untuk berkonsentrasi penuh pada tantangan maupun ancaman yang sedang dialaminya. Restrain coping (coping menahan) yaitu latihan mengontrol diri atau mengendalikan tindakan langsung sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak. Seeking support for instrumental reason (mencari dukunagn sosial untuk alasan instrumental) yaitu usaha individu untuk mencari informasi atau pendapat orang lain mengenai apa yang harus dilakukan. Folkman, dkk (dalam Chamberlain dan Lyons, 2006) mengemukakan bahwa bentuk strategi coping yang berorientasi pada problem-focused coping meliputi cautiousness (kehati-hatian), instrumental actions (tindakan instrumental), dan negosiation (negosiasi). Sedangkan emotional-focused coping mempunyai beberapa dimensi antara lain, seeking social support emotional reason atau mencari dukungan sosial emosional, yaitu mencari dukungan sosial melalui dukungan moral, simpati, atau pengertian. Positive reinterpretation atau menilai kembali keadaan secara positif, denial (pengingkaran) yaitu suatu respons atau tanggapan individu yang berbentuk penolakan terhadap sumber stress atau berusaha untuk bertindak seolah-olah stressor tidak nyata. Acceptance
6
(penerimaan), yaitu tanggapan individu terhadap situasi penuh tekanan dengan pasrah menerima kondisi tersebut sebagai sesuatu yang harus dijalani. Turning to religion (kembali pada agama), yaitu sikap individu dalam menenangkan dan menyelesaikan masalah dengan kembali pada agama yang dianggap dapat memberikan dukungan secara emosioanal. Folkman (dalam Chamberlain dan Lyons, 2006) menjabarkan aspekaspek perilaku yang dikategorikan sebagai strategi emotional-focused coping antara lain avoidance (pelarian diri), yaitu usaha individu untuk menghindari atau melarikan diri dari situasi sress yang dihadapinya. Selain avoidance, perilaku lain yang dikategorikan dalam emotional-focused coping adalah minimalization, self blame (menyalahkan diri sendiri), seeking meaning, dan support mobilization. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu mendeskripsikan gambaran dinamika copying dalam menghadapi penyakit pada setiap peristiwa hidup yang signifikan yang dialami oleh seorang penderita sirosis hati. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus yang merupakan desain penelitian yang mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan sebagainya dalam waktu tertentu (Rahardjo, 2010). Pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi. Selanjutnya, peneliti juga melakukan triangulasi data dengan keponakan dan kakak yang memiliki hubungan paling dekat dengan partisipan (Moleong, 2010). Triangulasi dilakukan sebanyak dua kali di rumah saudara partisipan setelah wawancara yang pertama dan kedua.
7
Partisipan Partisipan adalah seorang perempuan penderita sirosis hati berusia 40 tahun. Partisipan dinyatakan menderita sirosis hati sejak tahun 1999. Hasil pemeriksaan fisiologis hati terakhir menunjukkan fungsi hati partisipan tersisa kurang dari 50%. Partisipan menderita penyakit liver non hepatitis sejak berusia tujuh tahun karena adanya luka akibat benturan saat ia terjatuh. Karena penyakitnya, sejak kecil partisipan terbiasa dibatasi aktivitasnya dan hanya diperbolehkan untuk bermain di dalam rumah. Karena hal tersebut lah partisipan mengaku dirinya menjadi orang yang tidak mudah dekat dengan orang lain dan memiliki hobi membaca dan menulis untuk menceritakan isi hatinya. Partisipan menikah dan mempunyai dua orang anak. Hubungan partisipan dengan suami awalnya dirasakan sebagai hubungan yang harmonis dan sangat jarang menemui masalah. Dukungan dari anak dan suami partisipan dirasakan partisipan sebagai hal yang paling menumbuhkan semangat hidupnya. Namun, pada pernikahan tahun ke-14, partisipan harus tinggal terpisah dengan suami karena tuntutan pekerjaan. Tidak berapa lama setelah tinggal terpisah, partisipan menemukan suaminya memiliki hubungan dengan perempuan lain. Hal tersebut merupakan peristiwa yang sangat memukul bagi diri partisipan, merasa sakit hati dan harus berpura-pura tidak mengetahui perselingkuhan suami demi menjaga perasaan anak-anaknya membuat kesehatan partisipan memburuk dan penyakitnya menjadi sering kambuh. Keadaaan ekonomi juga berubah karena suami partisipan sering kali terlambat mengirimkan uang bulanan. Perselingkuhan suami partisipan akhirnya berakhir sepuluh bulan kemudian. Suami partisipan kemudian meminta maaf kepada partisipan dan anak-anaknya, serta
8
kembali menjadi suami yang memperhatikan partisipan seperti sebelumnya. Namun, setelah hubungan suami partisipan dengan pasangan selingkuhnya berakhir, partisipan mulai menerima teror dari wanita tersebut. Kesehatan suami pertisipan juga mulai memburuk, dan dinyatakan menderita leukemia oleh dokter. Pertisipan merasa penyakit suaminya bukanlah hal yang wajar karena ia tinggal di daerah yang masih sangat kental dengan hal-hal klenik. Partisipan dan suami kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan melakukan pengobatan di kota tersebut. Tetapi suami partisipan meninggal tidak lama setelahnya, sebelum hasil pemeriksaan sumsum tulang belakangnya keluar. Anak sulung partisipan mulai menunjukkan perubahan sikap setelah kematian ayahnya. Ia terlihat menolak lingkungan barunya dan sulit untuk diajak berkomunikasi. Hal tersebut diakui partisipan menjadi sumber stress terbesar pada dirinya. Keadaan ekomoni yang berubah, partisipan yang tidak mempunyai pekerjaan, dan lingkungan yang baru juga menimbulkan berbagai masalah dalam diri partisipan. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam hidupnya tersebut, partisipan banyak melakukan coping dan penyesuaian diri. Dengan banyaknya masalah yang berhasil ia selesaikan, partisipan merasakan kondisi kesehatannya membaik dari hari ke hari. Peneliti melakukan pengambilan data sebanyak dua kali yang dilakukan di rumah partisipan wawancara pertama dilakukan pada tanggal 23 Juli 2014 pukul 21.1522.45. Selanjutnya, wawancara kedua dilakukan pada 29 November 2014 pukul 22.0023.45 WIB. Kedua wawancara dilakukan pada malam hari atas permintaan partisipan agar suasana rumahnya tenang dan partisipan juga sudah selesai melakukan pekerjaannya.
9
Analisis Data Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara dengan mendengarkan hasil rekaman sembari mengetik kata perkata. Peneliti juga mengetik hasil observasi lapangan yang didapatkan pada saat pengambilan data berlangsung. Selanjutnya, proses pengodean pada transkrip untuk memudahkan proses analisis data. Proses selanjutnya ialah penentuan tema serta makna di balik setiap kalimat yang diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal maupun non verbal. Tema dan makna tersebut peneliti tambahkan pada bagian kiri transkrip. Kemudian berdasarkan tema dan makna yang peneliti mengelompokkannya menjadi beberapa kategorisasi tema (Moleong, 2010). HASIL Hasil analisis memunculkan kategorisasi tema sebagai berikut : gambaran strategi coping pada awal menderita penyakit sirosis, gambaran strategi coping saat pada saat terjadi perselingkuhan oleh suami, gambaran strategi coping saat suami menderita penyakit terminal, gambaran strategi coping setelah kematian suami. Gambaran strategi coping pada awal menderita penyakit sirosis Partisipan merasa tidak bisa berpikir saat pertama kali menerima diagnosis sirosis, ia merasa tidak percaya dan berusaha untuk melakukan pemeriksaan ulang. ”Aku nggak langsung percaya kalau aku sakit sirosis, setengahnya yakin kalau ada kesalahan diagnosis.” Partisipan kemudian berusaha mencari informasi terkait dengan penyakitnya, dalam hal ini pasien mengarahkan diri untuk menggunakan Seeking support for instrumental reason (mencari dukungan untuk alasan instrumental) yaitu usaha individu untuk mencari informasi atau pendapat orang lain mengenai apa yang harus dilakukan.
10
“Aneh ya mbak, yakin nggak sakit, tapi tetap berusaha cari tahu detilnya penyakit ini. Tante cari buku, artikel, waktu itu internet masih belum mudah diakses kayak sekarang.” Namun semakin banyak mencari informasi tentang penyakitnya, partisipan merasa semakin takut. “Semakin tante cari tahu, jadi tumbuh rasa takut.” Partisipan kemudian berhenti dan menghindari mencari informasi tentang penyakitnya (avoidance) sebagai strategi coping untuk mengatasi rasa takut karena penyakitnya. ”Tante banyak membaca, membaca eee tapi begitu divonis sirosis, tante jadi ketakutan, untuk sesedikit mungkin menghindari karena merasa itu akan menambah ketakutannya tante. Karena tante merasa aku akan mati bukan oleh penyakitku, tapi oleh ketakutanku.” Partisipan juga menghindari (avoidance) melakukan hal-hal yang akan membuatnya down dan menyebabkan penyakitnya kambuh. “Biasanya untuk hal-hal yang…eee…terutama untuk yang melayat segala macem tante hampir tidak pernah lakukan, karena justru akan membuat tante semakin down dan biasanya kalau sudah drop itu akan bleeding, hampir selalu bleeding, dan kemudian beberapa hari akan tidak bisa bangun.” Hal ini nampaknya tidak efektif untuk dilakukan, karena dengan menghindari mencari informasi tentang penyakitnya tidak membuat kondisi penyakit partisipan menjadi lebih baik, dan partisipan juga tetap menyimpan rasa takut dalam dirinya. Hal pertama yang dipikirkan oleh partisipan setelah menerima diagnosis sirosis hati adalah bagaimana jika dirinya mati sementara anaknya masih kecil. ”Kan terutama tentang kematian ya, karena anak masih kecil, waktu itu anak baru satu, begitu didiagnosa kena penyakit mematikan pastilah yang dipikirkan tentang kematian. Karena kan tidak ada rasa sakit sebetulnya, jadi tidak merasa sakit sakit secara fisik, sakit, sakit, nyeri atau apa. Jadi ketakutan itu bagaimana jika aku mati” Partisipan juga khawatir dengan kondisi anaknya, dan memikirkan apakah anaknya juga menderita penyakit yang sama.
11
“Yang tante pikirkan cuma anak, anak, dan anak. Tante mungkin merasa karena seumur hidup tante sakit, rasanya sudah tidak ada artinya apakah tante itu sakit, atau parah, apakah lebih parah dari sebelumnya atau tidak. Tapi bagaimana dengan anak tante apakah dia sakit juga seperti tante atau tidak.” Pada awal masa sakitnya partisipan mengaku menjadi lebih mudah tersinggung dan banyak merasakan emosi negatif, partisipan juga merasa menjadi orang yang tidak berguna dan merasa suatu hari suaminya akan meninggalkannya. “Saat itu tante menjadi mudah tersinggung, marah, takut, dan awal-awal tahu penyakit itu ya banyak pengaruh yang negatif, terutama ke suami tante, menjadi semakin sering merasa tidak berguna, merasa suatu saat dia akan meninggalkan tante, karena mungkin siapa yang akan tahan dengan orang yang sakit, begitulah.” Partisipan juga mengaku menyesal telah menjalani pemeriksaan, karena setelah mengetahui bahwa dirinya sakit, partisipan menjadi merasa lebih sakit. Dan setiap kali penyakitnya kambuh, partisipan menjadi tidak mampu melakukan apa-apa. “Jujur sebenernya tante menyesal sempat melakukan biopsy, karena merasa setelah tante tahu bahwa tante sakit sirosis itu jauh lebih membuat tante sakit. Kalau kambuh itu semakin terasa sangat merasa tidak punya kemampuan melakukan sesuatu. Dulu sebelum tante tahu bahwa tante sirosis, kambuh itu biasa, tante tetep melakukan kegiatan biasa, tapi sejak sirosis, dinyatakan sirosis tante menjadi terasa semakin sakit, semakin tidak berdaya.” Setiap kali penyakitnya kambuh, partisipan akan mengalami perdarahan dan harus beristirahat total saat kondisinya menurun. Ia juga harus menjalani transfusi darah jika perdarahannya terlalu banyak. ”Muntah darah, muntah darah, dan biasanya kalau sudah muntah darah diawali dengan bengkak di perut, kemudian kaki, itu biasanya kalau tante memaksakan untuk tidak bedrest biasanya tante muntah darah. Itu yang menyebabkan tante harus transfusi karena muntah darahnya terlalu banyak. Tapi tidak terlalu sering yang seperti itu. Kalau dibarengi dengan menstruasi biasanya, karena menstruasi tante menjadi tidak berhenti, terlalu banyak, jadi dibarengi dengan transfusi.” Namun, dukungan yang kuat dari suami dan umur anak partisipan yang masih kecil membuat partisipan merasa harus tetap hidup.
12
“Apalagi anak tante waktu itu baru berumur sekitar tiga empat tahun, jadi aku harus sembuh itu pasti ada. Terutama suami tante orang yang sangat gigih, kuat sekali merasa sakit ini bukan berarti apa-apa untuk kita.” Partisipan mulai meyakini dirinya positif menderita sirosis hati setelah muncul gejala-gejala yang mirip dengan sirosis. “Setelah beberapa bulan tante kan semakin sering muntah darah, menstruasi mulai nggak teratur, mulai bener-bener nggak teratur. Sebenernya seumur hidup tante nggak pernah teratur menstruasi ya, tapi akhir-akhir itu benerbener sulit sekali. Dan itulah tante mulai…jangan-jangan benar.” Partisipan akhirnya menerima diagnosis tersebut setalah melakukan biopsy yang ke dua. “Jadi benar-benar ketika awalnya masih dugaan sirosis eee tante ketakutan dan segala macem, tapi begitu tante sudah biopsy dua kali, sudah…sudah…hasil biopsy yang pertama ditegaskan kembali bahwa itu sirosis, tante udah mulai siap.” Setelah partisipan dapat menerima jika dirinya menderita sirosis hati, partisipan mulai berusaha memperoleh dukungan sosial emosional (Seeking support for emotional reason) dengan mengikuti klub sesama penderita penyakit liver. Dalam klub tersebut partisipan juga banyak mendapatkan saran tentang apa yang harus dilakukan demi memperbaiki kesehatannya. Dengan adanya dukungan dari teman-teman yang memiliki masalah yang sama, partisipan merasa lebih mampu bertahan. “Kalau…eee…awalnya tante hanya bergatung pada pengobatan medis saja, bener-bener apa yang diberikan oleh dokter saja, sampai kemudian beberapa teman yang…bukan sirosis, tapi mereka kanker hati mengatakan jangan terlalu bergantung sama obat, gitu.. tante sempat ikut klub seperti itu selama hampir tiga tahun ternyata ya setidaknya mungkin sakit ini tidak berkurang, tapi juga tidak berkembang menjadi lebih sakit lagi. Ternyata eee…benar bahwa ketika kita tentram kita akan merasa punya teman, punya banyak teman yang senasib, kita akan lebih mampu bertahan.” Langkah ini terlihat efektif untuk dilakukan oleh partisipan, dukungan dari teman-teman sesama penderita penyakit tersebut membuat partisipan merasa dirinya tidak sendirian menghadapi penyakitnya, dan membuat ia merasa lebih mampu menghadapi penyakitnya. Gambaran strategi coping pada saat terjadi perselingkuhan oleh suami.
13
Pada pernikahan tahun ke 14, partisipan menemukan suaminya yang tinggal di luar kota berselingkuh dengan wanita lain. Partisipan bersikap seolah-olah tidak tahu tentang perselingkuhan suaminya demi menjaga perasaan anak-anaknya. “Pada saat…eee… perkawinan tante waktu itu ke..ke 14, itu ada peristiwa yang mungkin sangat memukul tante, karena kami harus tinggal terpisah kota karena pekerjaan suami tante yang menuntut seperti itu, ternyata suami tante berselingkuh dan tante harus menahan pura-pura tidak tahu. Berat sekali rasanya, karena ini tentang anak-anak.” Kesehatan partisipan memburuk saat ia mengetahui suaminya berselingkuh, pada saat itu hanya anak partisipan yang mengurusnya hingga sekolahnya terganggu. “Buruk sekali! Saat itulah saat terburuk dalam hidup tante karena hidup tidak berdampingan dengan suami, mengetahui suami di sana dengan orang lain, saat itu tante sering sekali muntah darah, sampai anak tante yang paling besar itu sekolahnya sempet terganggu karna tante sering telpon, pulang nak mama muntah darah, di sekolah itu dia sering pulang untuk mengurus tante.” Yang dikhawatirkan oleh partisipan jika sampai berpisah dengan suaminya adalah siapa yang akan mengurus anak-anaknya jika dirinya meninggal. “Yang tante khawatirkan ketika tante misalnya harus berpisah mungkin tante, kalau misalnya dalam kondisi tante masih hidup gitu mungkin tidak ada apaapa. Tapi kalau misalnya tante tidak ada yang tante takutkan siapa yang akan mengurus anak-anak yang sudah sangat terbiasa hanya dengan tante? Mereka tidak pernah mau diurus sama siapapun, gitu. Jadi yang tante takutkan bukan bagaimana tante mengurus anak-anak saat tante ada, tante takutkan kalau misalnya tante tidak ada bagaimana dengan mereka? Gitu.” Partisipan mengaku perasannya yang tidak menentu membuat berat badannya turun drastis dan mengalami perdarahan yang tidak henti-henti. ”Ya itu perasaan yang makin, semakin tertekannya tante, buruk semakin buruknya perasaan tante, sakit tante itu semakin terasa semakin menggerogoti menggerogoti tante. Dan tante waktu itu “kalau aku berpisah bagaimana dengan anakku? Bagaimana jika aku tidak ada anakku bagaimana” sampai dengan ke tahapan itu waktu itu. Dan ternyata perasaan yang sangat tidak menentu itu membuat tante bener-bener eee sakitnya tu bener-bener semakin eee berat badan tante turun drastis sekali, pendarahan yang tidak berhentiberhenti.”
14
Pada proses triangulasi, keponakan partisipan mengatakan bahwa kondisi partisipan saat itu terlihat lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, saat partisipan tidak pernah menceritakan perihal perselingkuhan suaminya kepada keluarga. Saat itu suami partisipan juga sering kali terlambat mengirimkan uang bulanan untuk partisipan dan anak-anaknya. Partisipan mengatasi rasa stress yang timbul karena hal tersebut dengan melarikan diri (avoidance) pada hal-hal yang menyenangkan, yaitu membelanjakan habis uangnya. Ia juga melanggar pantangan makan untuk membuktikan bahwa dirinya kuat. “Tante seperti perempuan umumnya tante itu suka belanja gitu. Duit udah nggak ada sekalian diabisin aja gitu, jadi kalau tante stress sekali misalnya kok bulan ini nggak dikirimin lagi gitu kan, ada berapa sih sisanya? Udah habisin aja lah, gitu. Tante biasanya belanja kacau gitu, belanja yang tidak…tante kan orangnya sangat cermat ya, kalau belanja itu selalu membawa catatan, dan hanya yang tertulis di catatan itu yang tante belanjakan. Tapi kalau pikiran tante sedang kacau, tante akan belanja apa saja tanpa ini berguna atau tidak gitu, pokoknya belanja, belanja, belanja gitu. Hehe karena itu tidak mengatasi apa-apa sebenernya, tapi itu cara tante, kadang-kadang tante menerjang makanan yang tidak boleh dimakan gitu, seperti itu. Tante beli apa yang mengandung banyak kacang, itu tante makan yang banyak gitu, seperti apa ya, eee…seperti “aku ni hebat kok, cuma makanan aja nggak akan bikin aku kenapa-kenapa”, gitu.” Dengan membelanjakan habis uangnya, partisipan merasa bisa melakukan hal apa saja yang ingin dilakukannya, sama seperti yang dilakukan suaminya, tetapi kemudian ia menyesal telah melakukan hal tersebut, dan berpikir bagaimana jika nanti uangnya habis dan kiriman tidak datang. ”Ada seperti dendam yang tersalurkan gitu mbak, ada seperti perasaan eee suka-suka aku gitu kan ya. Aku sudah diperlakukan seperti ini, tapi ya sama aja, setelah itu berlalu ada penyesalan yang besar sekali gitu, kenapa hal yang sangat buruk ini aku lakukan? Kenapa ego ego yang besar ini yang aku biarkan mendominasi gitu, lebih ke bagaimana dengan besok? Bagaimana dengan nanti kalau kiriman semakin tidak datang? Selalu ada perasaan seperti itu dan tante eee merasa terlalu apa ya, terlalu merendahkan diri kalau minta, gitu. Dan ada kekacauan pikiran, terus besok bagaimana?”
15
Selain rasa menyesal karena membelanjakan habis uangnya, pada saat-saat tertentu, melanggar pantangan makan dapat membuat kondisi partisipan memburuk hingga muntah darah, namun partisipan berpikir pengaruh hal tersebut terhadap kesehatannya tidak sebesar pengaruh yang ditimbulkan oleh pikiran negatifnya. ”Eee ada saat-saat tertentu yang membuat bener-bener tante sampai muntah darah gitu mbak, seperti misalnya tante makan kacang, apa gitu kan langsung drop. Tapi kalau tante pikir sepertinya makanan itu tidak sebesar pengaruhnya daripada pikiran tante gitu, tidak sebesar pengaruh seperti kalau tante sedang down, sedang sedih, tante sedang bingung, sedang kecewa itu akan tante akan lebih sering bleeding kalau tante mengalami hal-hal yang buruk daripada karena makanan.” Hal tersebut menunjukkan bahwa avoidance yang dilakukan partisipan tidak efektif digunakan sebagai strategi coping, karena hanya bersifat sementara meredakan tekanan dan menimbulkan masalah yang lebih besar setelahnya. Karena partisipan merasa apa yang ia lakukan tidak banyak membantu menyelesaikan masalahnya, partisipan kemudian mulai menggunakan active coping, yaitu mengambil tindakan langsung untuk mengatasi stress karena masalah keuangannya. “Tante hidup di kota yang memerlukan biaya besar, sudah terbiasa dengan hidup yang serba mudah, kemuadian tante…sampai tante mulai mencari-cari pekerjaan gitu. Mulai membantu-bantu teman membuat sistem di kasir-kasir supermarket. Partisipan kemudian berusaha mencari tahu apa kesalahannya hingga suaminya berselingkuh, dan berpikir mungkin suaminya berselingkuh karena dirinya sakit. Partisipan juga berpikir alasan suaminya berselingkuh adalah karena menginginkan pasangan yang tidak sakit, dan mempersiapkan pengganti dirinya jika ia meninggal nanti. “Tante biasanya lebih banyak menggali eee aku kenapa? Apa karena aku sakit dia seperti ini? Atau apa? Aku salah apa?”
16
“Eee terutama karena tante merasa tante ini sakit gitu ya, kemungkinan besar suami tante pengen punya pasangan yang normal, dalam tanda kutip tidak membebani terlalu banyak, mungkin dia mempersiapkan suatu saat tante tidak ada, mungkin dia bersiap-siap untuk ada pendamping lain yang mungkin jauh lebih baik dalam kesehatan, atau apa pun, ada perasan seperti itu.” Pada akhirnya partisipan berpikir bahwa ia harus menerima perselingkuhan suaminya agar kondisi kesehatannya tidak semakin memburuk. Setelah ia dapat menerima perselingkuhan suaminya, kesehatannya membaik, ia juga dapat beraktifitas kembali. “Itu karena sudah sampai pada perasaan ikhlas, mungkin belum ikhlas sebetulnya ya, tapi eee lebih ke menerima, awalnya tante kondisinya itu kan sempat sangat apa ya, sakitnya tu bener-bener cukup berat, karena dalam berapa bulan tante bisa turun berat badan sampai 20 kg lebih. Itu kondisi tante merasa ya sudah mungkin harus seperti itu, tidak, mungkin tidak membaik gitu, tapi mungkin tidak lagi menjadi semakin buruk gitu, sepertinya penyakitnya tante masih bisa, masih bisa beraktifitas lebih baik gitu. Biasanya waktu dalam kondisi yang sangat tertekan gitu untuk mengantar anak tante yang masih TK itu tante nggak kuat gitu. Tante jalan itu sudah sangat kelelahan gitu, tapi ketika tante dalam tahap ya sudahlah mungkin harus seperti ini tante kembali bisa beraktifitas yang ringan-ringan seperi sehari-hari gitu.” Acceptance dan active coping ini terlihat efektif untuk dilakukan oleh partisipan, masalah keuangan partisipan mulai teratasi dengan tindakan langsung yang diambil oleh partisipan. Penerimaan partisipan pada perselingkuhan suaminya karena ia merasa bahwa suaminya berselingkuh karena diri partisipan yang sakit juga membuat kesehatan partisipan semakin membaik. Gambaran strategi coping pada saat suami menderita penyakit terminal. Suami partisipan mengakhiri hubungannya dengan wanita lain tersebut sepuluh bulan setelah menjalin hubungan. Namun kemudian partisipan menerima banyak teror dari mantan pasangan selingkuh suaminya, dan kesehatan suaminya mulai memburuk. “Iya. Tepat setahun setelah mereka berhubungan mbak, dari… sebenernya belum setahun ya, dari september ke juli, sepuluh bulan ya mbak ya, itu semua bener-bener berakhir dan aa…saat itulah tante bener-bener diteror apapun, dengan cara apapun, mulai dari tante pernah mengantarkan anak sekolah mau ditabrak, kejadian itu dalam tiga hari berturut-turut tante mau ditabrak. Ketika
17
mau keluar dari kompleks, itu tante mau..tante kan jalan kaki nganter anak, itu mau ditabrak, tiga kali. Teror sms yang terus menerus setiap hari, teror-teror mengerikan yang berupa seperti meletakkan apa, barang apa, seperti misalnya bangkai tikus di depan rumah, di depan pintu segala macam itu terus-terusan. Dan buruknya mbak, saat itulah suami tante mulai drop secara kesehatan. Kesehatannya memburuk, dia lemah sekali.” Partisipan mengaku telah memaafkan peselingkuhan suaminya, dan merasa penyakit suaminya bukanlah penyakit yang wajar. “Kalau masalah perselingkuhan tante benar-benar sudah, tante benar-benar sudah ikhlas, bener-bener memaafkan, tidak ada lagi bekas di hati gitu waktu itu kan.” “Tante merasa kita tinggal di suatu daerah yang..maaf, klenik gitu. Daerah yang sangat-sangat…kita di suku Dayak. Perempuan itu bersuku Dayak, yang mereka terkenal dengan magic yang luar biasa, dan tante..penyakit suami tante juga bukan penyakit yang wajar, karena Hbnya sampai 3,8, ketika ditransfusi 9 bag, dalam tiga hari Hbnya turun lagi menjadi 3,2. Itu bukan penyakit wajar sepertinya.” Dokter menyatakan suami partisipan menderita leukemia, dan harus menjalani biopsy sumsum tulang untuk memastikan tipenya. “Makanya dokter bilang ini keganasan yang luar biasa, tidak pernah ditemukan dalam orang leukemia mana pun, tipe melanosit atau apa, tidak ada. Akhirnya satu-satunya jalan harus BMT.” Saat suami sakit, partisipan mengaku kesehatannya justru lebih baik dari biasanya. Partisipan merasa tidak lagi memiliki tempat untuk bergantung, sehingga ia tidak pernah mengalami perdarahan. “Tapi luar biasa, ketika suami tante mulai sakit tante justru menjadi orang yang jauh lebih sehat dari biasanya. Tante…mungkin ee.. “Aku tidak punya tempat bergantung!” Seperti itu, itu membuat tante tidak pernah bleeding.” Partisipan memutuskan untuk berhenti berobat dan tidak lagi mempedulikan kesehatannya, yang dipikirkan saat itu hanyalah suaminya harus tetap hidup. “Tante yang bergantung sama obat selama hampir sepuluh…dua belas tahun! Bergantung sama obat dua belas tahun tante tidak berobat lagi, tante sudah tidak peduli dengan kesehatan tante waktu itu, yang tante pikirkan suami tante harus hidup! Karena dalam mindset kita berdua dulu kan “aku akan titipkan
18
anak aku sama kamu”, tante selalu bilang gitukan sama suami tante ya, “aku tidak akan berumur panjang, anak-anak aku akan aku titipkan, tolong jaga dia baik-baik”.” Partisipan mengambil strategi minimalization atau tidak memikirkan masalah kesehatannya dan berfokus pada kesehatan suaminya. Partisipan juga mengambil tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung dan menyusun rencana yang diperlukan demi kesembuhan suaminya (instrumental action). “Waktu itu kan tante tidak berpikir suami tante meninggal, tidak seperti itu, kita sempet membuat rencana lain bahwa suami tante harus berhenti bekerja dan tante yang akan menggantikan posisi dia sebagai pencari nafkah, awalnya seperti itu. Kita akan pindah ke kota yang lebih kecil, ya mungkin di sana tante akan berusaha mencari uang gitu, awalnya rencananya seperti itu.” Tindakan yang diambil partisipan ini nampaknya efektif untuk mengatasi tekanan dalam diri partisipan, dan berdampak baik pula bagi kesehatannya. Gambaran strategi coping setelah kematian suami. Suami partisipan kemudian meninggal setelah menjalani biopsy sumsum tulang. Partisipan mengaku merasa sangat berat kehilangan suaminya, tetapi ia harus tegar dan terlihat kuat di depan anaknya. Ia juga mengaku hatinya sangat hancur dan harus menjadi orang yang super untuk menutupi perasannya. “Hal terbesar dalam hidup itu kehilangan ya mbak. Itu sungguh…berat sekali kehilangan gitu. Tante harus, harus tegar, harus terlihat kuat di depan anak tante. Tapi padahal di dalam hati tante kan hancur sekali gitu, jadi aku harus menjadi seorang yang super untuk menutupi hatiku yang sebetulnya sudah hancur, gitu.” Kesehatan partisipan kemudian sempat menurun setelah suaminya meninggal, tetapi tidak seburuk dibandingkan saat suaminya berselingkuh. Partisipan mengaku dirinya lebih kuat bertahan karena merasa tidak lagi mempunyai tempat untuk bergantung. Kalau masa itu jelas kesehatan tante berada dalam kondisi yang buruk gitu, tapi tidak seburuk ketika suami sedang berselingkuh. Fase terburuk tante adalah ketika suami berselingkuh. Tapi ketika suami tante sudah meninggal justru mungkin karena perasaan “aku tidak ada lagi tempat bergantung” itu membuat
19
tante lebih…lebih kuat bertahan. Tapi kalau dibandingkan dengan kondisi kita msih sangat harmonis, ini juga buruk gitu! Saat ini juga, saat…saat itu ini termasuk yang buruk, meskipun tidak seburuk waktu suami tante berselingkuh, gitu.” Partisipan merasa kematian suaminya adalah hal yang terbaik, namun ia juga merasa kepergian suaminya adalah hal yang tidak adil, karena ia harus memikirkan segala sesuatunya sendirian. “Ada hal yang berlawanan bahwa yang terbaik buat dia adalah pergi gitu, meninggal gitu. Tapi ada ego lain yang mengatakan “ini tidak adil, kenapa aku harus memikirkan segalanya sendirian?” ini bukan…ini bukan tentang materi ya mbak, tapi justru seandainya masih ada ayahnya, mungkin ketika anak-anak menjadi nakal, menjadi apa, tante tidak akan bingung menghadapinya harus seperti apa. Partisipan juga merasa sangat marah setiap ada orang yang menasehatinya agar tetap kuat karena orang tersebut belum pernah merasakan apa yang ia rasakan. “Tante akan marah sama orang yang mengatakan “tabahlah, yang kuat ya..”, tante selalu marah, gitu. “Kamu belum pernah menjadi aku, bagaimana kamu bisa menasehati aku?” Setelah suami meninggal, partisipan dan anak-anaknya pindah ke kota kecil dan tinggal bersama kakaknya. Anak sulung partisipan mulai memperlihatkan perubahan sikap dan sulit untuk diajak berkomunikasi. Pertisipan mengaku kesulitan menghadapi perubahan sikap anaknya, hal tersebut menimbulkan kekhawatiran pada diri partisipan, dan ia merasa sumber stress terbesarnya saat itu justru datang dari anaknya tersebut. “Dia sepertinya menolak, menolak terutama lingkungannya. Dia tidak suka berganti lingkungan yang seperti ini. Entah mungkin juga secara materi kita juga sangat berubah total ya, mungkin. Tante sulit sekali menghadapi, bahkan kekhawatiran terbesar tante tu justru sama dia gitu.” Kepindahan partisipan ke tempat yang baru juga menimbulkan kekhawatiran pada diri partisipan akan pandangan orang-orang di sekitarnya tehadap diri dan status barunya sebagai janda. “Ini sulit sebetulnya mbak ya, karena tante bukan orang yang bisa bergaul dengan cepat dengan lingkungan baru gitu. Terus status tante juga yang
20
membatasi tante untuk lebih…di sini maaf kalau yang namanya single parent itu cenderung mungkin orang lebih memandang lebih…kurang apa ya, kurang respect gitu, sepertinya seperti…terutama ketika kita terkadang tante kan ada ikut temen audit ya, pulang agak larut atau apa, dengan taksi atau apa, itu sempet tante merasa “aku harus bagaimana?”, takut atau apa gitu.” Partisipan menggunakan strategi negosiasi (negotiation) untuk mengatasi masalahnya karena anaknya. Partisipan mengajak anaknya berkomunikasi dan mencari jalan keluar bersama. Partisipan juga mengambil tindakan instrumental dengan berpindah dari rumah saudaranya dan mengontrak rumah sendiri. “Eee…si kakak ini sempat meminta tante untuk “Ma, aku mau tinggal sendiri” gitu, mau tinggal kita bertiga saja, gitu kan. Akhirnya dengan bagaimanapun caranya tante mengontrak rumah, di situ mulai dia, mulai…mungkin mulai…karena dia usianya juga udah mulai agak lebih besar, dia mulai lebih…lebih…tidak, tidak terlalu tertutup gitu.” Coping yang dilakukan oleh partisipan menunjukkan hasil yang positif dengan perubahan sikap anaknya yang menjadi lebih baik dan mengurangi sumber stress pada diri partisipan. Partisipan juga berusaha melakukan penyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, berusaha untuk dekat dan mengenali masyarakat sekitarnya. Penyesuaian diri yang dilakukan partisipan tersebut terlihat efektif, karena dengan mengenal masyarakat sekitranya, partisispan tidak lagi khawatir akan pandangan masyarakat tentang dirinya. “Meskipun tante tidak mudah bergaul tapi nyatanya tante punya kebiasaan yang lebih memperhatikan ini ketika bertemu tante berusaha berusaha, bukan berusaha untuk akrab tapi berusaha mengerti, berusaha dekat, ternyata mereka bukan orang yang, biarpun di lingkungan kampung tapi bukan yang orang yang memandang aneh segala sesuatu gitu.” Dalam kondisi apapun, partisipan masih tetap berdialog dengan suaminya untuk mengatasi kerinduannya. Partisipan merasa harus berkomunikasi dengan suaminya untuk menguatkan dirinya. “Dalam kondisi kambuh, dalam kondisi apa… tante masih, sampai dengan hari ini tante masih berdialog dalam tanda kutip, ketika berdialog dengan suami tante gitu.”
21
“Tante selalu… masih sampai dengan hari ini tu tante bisa dibilang masih… ada kakak tante mengatakan mewek, kayak orang gila. Tante katakan “aku bukan gila, aku bukan ngomong sendiri, aku bener-bener butuh ini untuk menguatkan aku.” Anak partisipan mengakui jika partisipan memang selalu memeluk foto suaminya sebelum tidur. Partisipan juga kadang-kadang masih mengenakan baju suaminya saat tidur. Partisipan merasa suaminya masih berada di sekitarnya, ia tidak merasa berbicara sendiri, dan merasa sepertinya suaminya menjawab apa yang ia katakan. “Iya…tante merasa… tante tidak pernah merasa suami tante itu hilang, dia pasti ada di sekitar sini, dia pasti mendampingi aku. Makanya tante berbicara seperti dijawab gitu, bukan bericara…tante tidak melakukan bicara sendiri gitu. Sepertinya dia selalu menjawab apa yang tante katakan, selalu menyambut apa yang tante ceritakan seperti dulu gitu.” Pada akhirnya partisipan pun menyerahkan kepada Tuhan (turning to religion) atas apa yang terjadi pada hidupnya. Ia menghibur diri dengan berpikir Tuhan memilihnya untuk menjalani kehidupan yang sekarang karena dirinya lah yang paling kuat. “Jadi sepertinya aku sudah dipersiapkan Tuhan untuk jadi aku yang sekarang, gitu. “Aku yang dipilih karena aku yang paling kuat”. Tante selalu bisa dibilang menghibur diri seperti itu, tante merasa berprestasi menjadi seperti ini. Tante menjadi merasa lebih unggul dipilih Tuhan menjadi seperti ini.” Partisipan mengambil hikmah (seeking meaning) atas kematian suaminya, ia merasa kematian suaminya tersebutlah yang menyembuhkannya. “Ternyata kehilangan ini bisa dibilang menyembuhkan tante. Menyembuhkan penyakit yang mengerikan.” Turning to religion dan seeking meaning yang dilakukan oleh partisipan tersebut terlihat efektif untuk mengurangi tekanan pada diri partisipan, dengan menyerahkan segala sesuatu yang dialaminya kepada Tuhan, partisipan percaya bahwa dirinya kuat dan mampu melewati setiap masalah dalam hidupnya.
22
Namun partisipan juga tetap menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan masalah pada dirinya. Partisipan melakukan avoidance dengan tidak melakukan pemeriksaan tes fungsi hati yang tersisa karena ia tidak ingin mengetahui kondisi sirosisnya yang sebenarnya. Partisipan melakukan hal tersebut karena jika ia mengetahui kondisi penyakitnya yang sebenarnya, hal tersebut justru akan membunuhnya. “Eee jujur tante ada perasaan tidak mau lagi tahu tentang berapa persen penyakit ini menggerogoti tante, tante tidak ingin tahu lagi tentang itu. Karena ada kekhawatiran kalau tante tahu justru pengetahuan itu yang akan membunuh tante, gitu. Jadi sempat dua kali tante berpikir apakah mau biopsy lagi? Tapi biopsy itu, biopsy itu tidak akan menolong apa-apa, hanya akan me mengetahui penyakit ini seperti apa, penyakit itu dalam kondisi mana. Ya masih ada kemungkinan akan berkembang baik, akan menjadi lebih baik dari sebelumnya tinggal mungkin 11 sampai 12% mungkin akan meningkat gitu. Ada kemungkinan seperti itu menurut dokter, tapi itu juga tidak akan berarti apaapa gitu. Takutnya justru akan menjadi semakin buruk, dan itu akan membunuh tante gitu.” Saat ini, partisipan bekerja lebih keras dan melakukan aktivitas fisik lebih berat dari sebelumnya namun kondisi sirosisnya tidak memburuk. Partisipan mengaku kondisi kesehatannya membaik dan kembali menjadi seperti awal-awal saat ia menderita sirosis. “Sampai sekarang tante juga bekerja, bisa dibilang lebih, jauh lebih keras daripada sebelum-sebelumnya gitu. Secara fisik tante beraktifitas jauh, sangatsangat jauh lebih keras, tapi Alhamdulillah nggak ada yang…ya mungkin sebetulnya kekuatan pikiran tante mengatakan “aku harus hidup untuk mereka berdua”, yang kedua kan masih kecil ya, si kecil ini membutuhkan banyak perhatian karena dia manja, dia orang yang sangat dekat dengan tante, sangat dekat dengan tante, jadi mungkin tante sekarang bisa dibilang kondisi tante, kesehatan tante selama lima belas tahun terakhir, inilah kondisi tante yang terbaik.”
23
PEMBAHASAN Partisipan mampu bertahan dari penyakitnya hingga saat ini dan melewati berbagai masalah dalam hidupnya tidak terlepas dari coping yang terus menerus ia lakukan sepanjang hidupnya. Dari pemaparan sebelumnya dapat dikatakan jika partisipan menggunakan kedua strategi coping sesuai dengan kemampuan dan masalah yang ia hadapi. Strategi coping partisipan mengalami perubahan setiap kali terjadi peristiwa signifikan dalam hidupnya. Pada awal mendapatkan diagnosis dirosis hati, partisipan menolak untuk mempercayai apa yang dokter katakan, ia merasa dokter bisa saja melakukan kesalahan dan berusaha untuk melakukan pemeriksaan ulang. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross (2005) bahwa pada awal menderita penyakit terminal, seseorang akan melakukan penyangkalan sebelum akhirnya ia dapat menerima penyakit tersebut. Partisipan melakukan penyangkalan (denial) untuk mengatasi rasa takut akan kondisi penyakitnya, hal tersebut ia lakukan dengan cara menghindari (avoidance) membaca buku yang memberikan informasi terkait kesehatannya, ia juga menghindari hal-hal yang membuatnya merasa down dan berpikir tentang kematian, salah satunya dengan tidak pernah pergi melayat. Namun kemudian partisipan berpikir bahwa penyakitnya harus dihadapi, ia pun kemudian mencari dukungan sosial emosional (seeking social support for emotional reason), baik dari keluarga maupun dari rekan sesama penderita penyakit terminal. Partisipan juga mulai mengumpulkan informasi tentang penyakitnya, meminta saran tentang apa saja yang harus ia lakukan untuk menghadapi panyakitnya (seeking support for instrument reason). Partisipan juga mengikuti saran dokter dengan menghindari hal-hal yang dapat memperparah kondisinya, yaitu dengan membatasi kegiatan yang menguras energinya, rutin menjalani
24
pengobatan, dan mentaati diet yang disarankan oleh dokter. Dukungan dari suami dan anak partisipan pun mampu memberikan semangat hidup pada diri partisipan, dan menimbulkan keyakinan pada dirinya jika ia dapat sembuh Partisipan kemudian mulai melanggar aturan diet yang ditetapkan dokter saat menghadapi perselingkuhan suaminya. Selain memakan apa saja yang seharusnya tidak boleh ia konsumsi, partisipan juga melarikan diri (avoidance) pada hal menyenangkan lainnya seperti membelanjakan habis uang yang ia punya saat kiriman dari suaminya tidak kunjung datang. Dengan membelanjakan habis uangnya, partisipan merasa bisa melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain, sama seperti suaminya yang berselingkuh tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaannya. Melanggar pantangan makan ia lakukan untuk membuktikan bahwa dirinya kuat dan tidak akan mati hanya karena makanan. Lazarus dan Folkman (1986) menyebut hal ini sebagai pelarian diri (escapism avoidance). Namun kedua hal tersebut nampaknya tidak efektif karena tidak menyelesaikan masalah, hanya bersifat sementara dalam mengatasi tekanan, dan sering menimbulkan masalah kesehatan lain yang lebih serius. Rasa bersalah dan menyesal karena membelanjakan habis uang yang seharusnya menjadi hak anak-anaknya muncul pada diri partisipan. Partisipan kemudian mulai mencari strategi yang lebih efektif untuk menghilangkan sumber stressnya, ia mulai mencari alternatif tindakan yang bisa ia lakukan untuk mengatasi masalah keuangannya, dalam hal ini partisipan mulai kembali menggunakan problem-focused coping yaitu active coping dengan cara mencari pekerjaan untuk mengatasi masalah keuangannya. Strategi-strategi tersebut rupanya belum sepenuhnya dapat mengatasi tekanan pada diri partisipan, kesehatannya masih tetap memburuk. Partisipan kemudian mulai
25
berpikir apa yang menyebabkan suaminya berselingkuh, ia berpikir mungkin suaminya melakukan hal tersebut karena ia sakit. Menyadari hal tersebut, partisipan kemudian beruaha untuk menerima saja apa yang suaminya lakukan. Setelah partisipan dapat menerima perselingkuhan suaminya, ia merasa kesehatannya mulai membaik dan dapat melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan (acceptance) efektif untuk mengurangi tekanan pada dirinya. Setelah perselingkuhan tersebut berakhir, kesehatan suami partisipan mulai menurun. Dokter menyatakan suaminya menderita leukemia, partisipan menyadari penyakit tersebut lebih berbahaya dari sirosis yang ia derita. Tidak seperti waktu dirinya menerima diagnosis sirosis hati, kali ini partisipan tidak menghindari untuk memperoleh informasi terkait penyakit suaminya. Partisipan melakukan banyak coping aktif, mengusahakan kesembuhan suami, mencari banyak informasi tentang penyakit dan berbagai alternatif pengobatan suaminya. Partisipan juga melakukan planning (perencanaan) dan instrumental action (melakukan tindakan instrumental) tentang halhal apa saja yang mungkin dilakukan untuk mengusahakan kesembuhan suaminya, seperti pindah ke kota yang lebih kecil dan bertukar posisi dengan suami sebagai pencari nafkah. Strategi ini nampak efektif untuk dilakukan, partisipan juga melakukan minimalization dengan tidak dulu memikirkan tentang kesehatannya, ia berfokus pada kesembuhan suaminya, hal tersebut membuat kesehatan partisipan juga ikut membaik, ia merasa harus tetap hidup karena saat itu ia merasa tidak memiliki tempat untuk bergantung. Setelah suaminya meninggal, partisipan tetap menghadirkan suaminya dalam kehidupan sehari-hari. Partisipan tetap melakukan komunikasi dengan suaminya dengan jalan berbicara pada foto suaminya setiap sebelum tidur atau menuliskan isi hatinya
26
untuk seolah-olah dibaca bersama suaminya. Teori duka cita yang diungkapkan oleh Bolwby (dalam Jeffreys, 2005) menyebut hal ini termasuk dalam fase kerinduan dan mencari (yearning and searching). Selama fase ini individu yang berduka mencoba memulihkan keadaan seseorang yang menjadi objek kehilangan. Ini merupakan “attachment behavior”. Orang yang berkabung mengalami hasutan dan distres seperti, memanggil nama dari orang (almarhum) yang dicintai, menggunakan pakaian yang merupakan milik almarhum, dan merenungkan tentang apa yang telah hilang dari kehidupan pribadinya. Partisipan juga menghindari datang ke makam suaminya karena hal tersebut membuat ia merasa apa yang dialaminya adalah hal yang tidak adil. Hal ini menunjukkan partisipan kembali menggunakan avoidance untuk mengatasi tekanan yang sebenarnya ada dalam dirinya. Kedua orang terdekat partisipan juga menyatakan hal yang sama pada proses triangulasi. Keponakan partisipan menceritakan partisipan selalu menolak setiap kali keluarga mengajaknya untuk mengunjungi makam. Namun, selain melakukan avoidance, partisipan juga tetap menggunakan problem-focused coping untuk mengatasi tekanan yang timbul karena kematian suaminya. Masalah yang timbul dari kematian suaminya antara lain perubahan sikap anaknya, berpindah ke lingkungan yang baru dan masalah ekonomi yang sangat jauh berubah. Partisipan menghilangkan tekanan yang timbul karena masalah keuangannya dengan melakukan tindakan langsung (active coping) yaitu dengan berusaha mencari pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mengatasi masalah dengan anaknya, partisipan berkomunikasi dan melibatkan anaknya untuk mencari jalan keluar (negotiation). Partisipan mengambil penyelesaian (instrumental action) dengan berpindah rumah sesuai dengan keinginan anaknya. Ia juga berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan berusaha mengenal orang-orang sekitarnya hingga
27
kekhawatirannya tentang pandangan orang sekitar terhadap status barunya sebagai seorang janda tidak lagi ada. Partisipan terlihat menggunakan strategi problem-focused coping seperti active coping, instrumental action, dan negosiation saat ia merasa mampu dan mempunyai tenaga untuk melakukan sesuatu yang berguna. Penemuan ini sesuai dengan pernyataan lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) bahwa Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah. Merasa tidak lagi memiliki tempat untuk bergantung adalah salah satu faktor yang membuat partisipan mampu melakukan tindakan-tindakan yang dulu tidak dapat dilakukaannya. Selain semua usaha tersebut, partisipan juga menyerahkan apa yang terjadi pada hidupnya kepada Tuhan (turning to religion). Ia berpikir bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuannya. Partisipan belajar untuk menerima saja semua yang terjadi pada hidupnya, seperti menderita penyakit sejak masih kecil, dan harus kehilangan suami di usia yang masih muda. Partisipan merasa kondisi kesehatannya saat ini membaik karena ia menerima segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Partisipan mengaku merasa menjadi orang yang hebat dan kuat karena dipilih Tuhan untuk menjalani kehidupannya yang sekarang. Dalam hal ini, partisipan menggunakan emotional-focused coping yaitu penerimaan (acceptance). Cara ini nampaknya efektif untuk mengatasi tekanan-tekanan pada diri partisipan. Kondisi kesehatan partisipan yang sebenarnya tetap menjadi masalah dalam diri partisipan saat ini, namun partisipan kembali lagi melakukan penyangkalan (denial) yang ditunjukkan dengan menolak melakukan pemeriksaan fungsi hati untuk mengetahui berapa prosentase dari organ hatinya yang masih berfungsi normal.
28
Partisipan kembali menolak untuk mengetahui kondisi kesehatannya yang sebenarnya karena merasa dirinya akan ketakutan dan hal tersebut justru akan membunuhnya.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa strategi coping yang dilakukan oleh partisipan sepanjang hidupnya mempunyai dampak dan efektivitas yang berbedabeda. Seiring berjalannya waktu, partisipan menunjukkan penggunaan coping yang positif untuk mengatasi segala tekanan dalam hidupnya. Partisipan akan melakukan tindakan langsung yang ia rasa dapat ia lakukan untuk mengatasi masalahnya. Partisipan juga tetap menggunakan emotional-focused coping untuk meredakan tekanan karena masalah yang tidak dapat ia atasi. Partisipan merasa kondisi kesehatannya akan semakin memburuk jika ia memikirkan segala sesuatu terlalu dalam. Partisipan kemudian belajar untuk menerima saja apapun yang terjadi dalam hidupnya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Hal tersebut dirasakan efektif untuk mengatasi tekanannya. Meskipun demikian, partisipan tetap melakukan penyangkalan (denial) dan avoidance dalam beberapa hal. Menghindari datang ke makam suami, dan menolak untuk melakukan pemerikasaan fungsi hati menjadi salah satu hal yang dilakukan partisipan sebagai bentuk coping. Dengan tidak melakukan pemeriksaan fungsi hati, maka partisipan tidak akan mengetahui kondisi sebenarnya dari penyakitnya saat ini, dan tidak dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap resiko penyakit yang lebih buruk. Menghindari datang ke makam suami menunjukkan sebenarnya partisipan masih mengalami duka cita yang mendalam atas kematian suaminya. Melalui penelitian ini, bagi penderita sirosis diharapkan untuk lebih aktif menggunakan tindakan-tindakan instrumental dan aktif yang terlihat efektif untuk
29
mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Untuk meredakan tekanan psikologis karena keadaan yang tidak dapat diubah, penderita sirosis hati diharapkan mampu menerapkan problem-focused coping seperti menilai kembali keadaan secara positif (positive reinterpretation), juga menyerahkan kembali segala sesuatu yang terjadi kepada Tuhan (turning to religion), dan akhirnya dapat menerima (acceptance) apa yang terjadi pada dirinya. Selain itu, dukungan dari orang terdekat dan masyarakat nampaknya juga mempunyai pengaruh yang besar untuk memberikan semangat hidup bagi penderita sirosis, karenanya diharapkan pada masyarakat dapat memberikan dukungan moral kepada penderita sirosis dalam menghadapi penyakit dan segala masalah dalam hidupnya. Sebagai orang yang memiliki riwayat penyakit terminal, seseorang seharusnya lebih sadar akan pentingnya mengetahui kondisi penyakit yang sebenarnya agar dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap resiko penyakit yang terburuk. Dalam hal ini, seorang penderita sirosis diharapkan untuk tidak menghindari pemeriksaan dan tindakan medis yang diperlukan demi kesehatannya. Selanjutnya, mengingat masih adanya kekurangan pada penelitian ini, para peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengkaji lebih lanjut mengenai coping yang efektif pada seorang penderita penyakit terminal dengan kasus yang serupa, dengan menambahkan jumlah partisipan agar diperoleh keragaman data yang lebih luas.
30
Daftar Pustaka Carver, C. S., Scheier, M. F., Weintraub, J. K. (1989). Assesing coping strategies: A theoritically based approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56, (2) ,pp. 267-283. Chamberlain, K., Lyons, A. (2006). Health psychology. Chambridge: Chambridge University Press. Jeffreys, J. S. (2005). Helping grieving people: When tears aren’t enough. New York: Brunner-Routlegde. Kastenbaum, R. J. (2007). Death, society, and human experience (9th ed.). USA: Pearson. Kubler-Ross, E. (2005). Encountering death and dying. USA: Chelsea House Publisher Lazarus, S., & Folkman, R.S. (1986). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nurdjanah, S. (2006). Ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Jakarta: FKUI Pamungkas, I. (2008). Dukungan sosial serta dampak-dampak psikologis dan sosial yang dialami oleh penderita sirosis. Skripsi yang tidak diterbitkan. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Rahardjo, M. (2010). Jenis dan metode penelitian kualitatif. Diakses Juli 21, 2012, dari http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/215-jenis-dan-metode-penelitiankualitatif.html Sarafino, E. P. (2006). Health psychology: Biopsychology interactions. Fifth Edition. US: John Wiley & Sons. Satiadarma, M. P. (2001) Menyikapi perselingkuhan. Jakarta: Pustaka Populer Obor.